Majalah Rangkang Demokrasi #7

Page 1

ISSN: 2089-0222

Demam Baliho dan Bendera

12

Desi Saflin Anggota Partai SIRA

5 Menit yang Menentukan

14

Ismadi Pemuda Gampong Puuk

Rangkang

DEMOKRASI Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id

Air Mata Politik

Pilkada

Dan Pembangunan Politik Aceh


Saleum Rasa syukur kepada Allah SWT dan ucapan terimakasih kepada semua pihak mengiringi penyusunan Rangkang Demokrasi Edisi ke-1 untuk tahun 2012 ini. Ini merupakan edisi pertama untuk tahun ini seiring dengan dimulainya pembelajaran Sekolah Demokrasi Aceh Utara untuk Agkatan II. Setelah melalui proses seleksi, ada 37 orang yang lulus menjadi peserta Sekolah yaitu dari partai politik 6 orang, masyarakat sipil (LSM, Tokoh masyarakat dan mahasiswa) 20 orang, unsur pemerintah 7 orang dan pebisnis 4 orang. Kami mengucapkan terimakasih kepada para siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara yang telah bersusah payah mengikuti proses seleksi hingga menjadi bagian utama dari sekolah ini. Sebagai pembuka edisi ini, Izinkan kami memperkenalkan ‘Wajah’ baru di tim pelaksana SDAU tahun 2012 ini yaitu seorang pemuda yang bernama Muhammad Usman yang akrab disapa ‘Osama’. Osama tahun ini menjadi salah satu fasilitator pendamping di SDAU. Beliau merupakan alumni SDAU Angkatan I dan saat ini juga ketua Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDUA) yaitu organisasi alumni sekolah demokrasi. Selama ini Osama dikenal kiprahnya dalam dunia aktifis dan pergerakan di kawasan Aceh Utara bahkan di level Provinsi Aceh khususnya berkaitan dengan sepak terjuangnya dalam isu advokasi hak korban pelanggaran HAM. Osama selalu di depan dalam usaha-usaha advokasi korban pelanggaran HAM. Terakhir beliau ikut memobilisasi ribuan masyarakat dalam upaya advokasi Qanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) Aceh, menjadi bagian penting dari peringatan tahunan Tragedi Pelanggaran HAM Gedung KNPI dan Simpang KKA. Secara formal beliau pernah terlibat di lembaga K2HAU (Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara), KontraS Aceh, dan Lembaga SKS (Solidaritas Kelompok Sipil). Dengan sumbangan spirit baru ini kami harapkan akan membawa semangat baru untuk kegiatan Sekolah di tahun 2012. Selamat membaca,!

DaftarIsi ▼ RESENSI

▼ OPINI

5

Pilkada dan Pembangunan Politik Aceh Bisma Yadhi Putra | Aktifis Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat.

9

Air Mata Politik Zulhilmi | Anggota Partai SIRA

12

Demam Baliho dan Bendera Desi Saflin | Anggota Partai SIRA

14

5 Menit yang Menentukan Ismadi | Pemuda Gampong Puuk

18

Politk Pendidikan Farida Hanum | Aktifis Perempuan

▼ KEGIATAN

20 PENANGGUNG JAWAB: Edi Fadhil PEMIMPIN UMUM: Edi Fadhil, SIDANG REDAKSI: Edi Fadhil, Muhammad Usman, Zulkifli Hamid REDAKTUR PELAKSANA: Eka Saputra WARTAWAN: Muksalmina SIRKULASI: Zakaria LAYOUTER/DESAIN GRAFIS: Eka Saputra IKLAN: Zakaria KEUANGAN: Dewi Tirta Wati KASIR: Ika Febriani

2

: Jl. Petua Ali No. 49. Gampong Tumpok Teungoh, Lhokseumawe, Aceh Kode Pos: 24351 : rangkangdemokrasi@sepakat.or.id : http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012 : sekolahdemokrasi.acehutara

Diterbitkan atas kerjasama antara:


humor

Suara Pembaca Masukan untuk Format Majalah

Sudah 4 edisi saya membaca Rangkang Demokrasi, saya mempunyai beberapa masukan. Dari pengamatan saya majalah ini harusnya bisa memperbaiki formatnya dari Majalah yang cenderung menjadi Kumpulan Tulisan/Opini peserta Sekolah Demokrasi menjadi majalah yang lebih bersifat reportase yang terfokus pada satu isu di setiap edisi penerbitannya, jadi misalnya disetiap penerbitan ada isu sentral yang diangkat dan peserta Sekolah di anjurkan untuk menulis tentang isu tersebut dan penyajiaannya merupakan kombinasi antara reportase langsung dilapangan dan kajian keilmuan yang diketengahkan melalui Opini peserta. Jadi harapannya majalah ini bisa lebih fokus, kalau selama ini opini yang diangkat berbeda-beda isunya jadi pembaca lebih cepat bosan dan tidak fokus. Menurut saya banyak sekali isu-isu sosial di Aceh yang menarik untuk kita hadirkan untuk masyarakat dan peserta SD bisa memperkuat melalui analis sesuai dengan ilmu yang didapat di sekolah demokrasi. Dengan demikian saya mengharapkan majakah ini bisa mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam melihat realitas sosial di sekitar kita. Terimakasih. Harwita (Ita) Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Tinggal di Limpok Darussalam

Jin Botol Pun Tak mampu

Jawaban Ita yang baik, terimakasih untuk surat elektroniknya. Masukan yang sangat bagus. Sesuai dengan visi “Rangkang Demokrasi” sebagai suplemen Sekolah Demokrasi Aceh Utara pertamakali diharapkan menjadi media belajar menulis bagi peserta sekolah sekaligus untuk membahas isu-isu publik. Kami akan pertimbangkan usul Ita untuk rencana penerbitan di edisi mendatang.

Anak, Ibu dan Pengemis Seorang Ibu dan anaknya sedang berjalan melintasi seorang pengemis hingga akhirnya membuat Sang ibu iba dan menyeru anaknya agar memberikan recehan pada si Pengemis itu; Ibu: “Nak, kamu punya 500 gak, coba kamu kasih gih ke kakek itu” Seru Ibu pada anaknya. anak: “Ada Bu, ini Kek…” Jawab sang anak sembari memberikan uang itu pada kakek pengemis tadi. Tanpa banyak bicara si pengemis membuang uang recehan tadi kembali persis di antara kedua kaki anak tsb. Ibu: “Kenapa Kek, uangnya terlalu kecil yah? Ya sudah ini saya ganti”. Tanya si Ibu heran, seraya memberikan uang lembaran Dua Puluh Ribu Rupiah (Rp20.000). Lagi-lagi si Pengemis tersebut menolak pemberian ibu anak tsb. kali ini uang tadi diremas hingga membentuk gumpalan bola dan dilempar sejauh-jauh mungkin. Ibu: “Lho… lho… lho… Kenapa sih Kakek ini, jangan dibuang dong kalo gak mau.”

Suatu hari, Ali yg berjiwa petualang melakukan ekspedisi ke sebuah pulau. Singkat cerita, Ali menemukan sebuah botol, karena Ali pengalaman dengan kartun aladdin diusaplah botol itu. dan BOOM, keluarlah jin ganteng dari planet mars jin : terimakasih juragan sudah memanggil saya Ali : anda jin? ganteng juga jin : maaf, saya hanya mengabulkan harapan anda, bukan nafsu maho anda Ali : baiklah, saya punya berapa kesempatan? jin : silakan minta 3 permintaan Ali berfikir Ali : saya ingin mobil mewah terbaru jin : baik, silakan nanti anda liat di rumah anda Ali : berikutnya, saya minta uang yang banyak jin : sudah saya simpan di rekening anda untuk permintaan ketiga, Ali berfikir lama ali : mmm, bisakah saya meminta pesawat yang bisa mengantar saya berlibur ke planet mars? jin : hmm, bagaimana ini,permintaan anda terlalu sulit tampaknya, apakah anda punya permintaan selain itu? Ali : ohiya ada!, saya ingin jadi cowo paling ganteng di dunia ini !! jin : hmm,anda ingin pesawat warna apa?

Anak: “Iya nih kakek kok begitu sih, rejeki itu gak boleh ditolak”. tambah si anak. Pengemis: “Maaf Bu, bisa lihat tulisan itu? Terima kasih.” Jawab si Pengemis seraya menunjukan potongan kardus yang sudah ditulisi “SEDANG ISTIRAHAT”. Ibu & anak: !#(*&$!@#)&%%_#@*^$!)

Mari bergabung dan berdiskusi bersama komunitas kami di halaman Facebook. klik facebook.com/sekolahdemokrasi.acehutara

Kirimkan kritik dan saran atau pendapat anda melalui email rangkangdemokrasi@sepakat.or.id

Redaksi menerima tulisan berbentuk opini dan artikel yang bertemakan tentang politik, sosial dan isu demokrasi. Panjang tulisan artikel maksimal 500-600 kata. Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

3


Editorial

“SEKOLAH DEMOKRASI; MENGGAGAS DEMOKRASI KONTEKSTUAL”

Gagasan untuk membentuk “Sekolah Demokrasi” didasarkan pada pertimbangan bahwa demokrasi dapat didorong maju dengan menggunakan berbagai cara yang semakin memungkinkan berjalannya proses-proses yang membuka partisipasi rakyat secara lebih luas. Proses-proses tersebut dapat disingkat dengan beberapa kata kunci seperti rekrutmen politik, artikulasi kepentingan dan aspirasi politik serta agregasi berbagai kepentingan tersebut agar mendapat dukungan yang lebih luas, yang kemudian dibantu oleh komunikasi politik untuk membuat agregasi kepentingan itu kembali diterima para aktor politik dan para beneficiaries demokrasi sebagai kepentingan mereka. Sekolah Demokrasi memandang demokrasi sebagai nilai, sistem politik dan perilaku mengusung demokrasi kontekstual dalam arti bahwa demokrasi sebagai sebuah nilai universal dalam penerapannya memerlukan penghayatan melalui ekspresiekspresi lokal. Dengan demikian konsepsi tentang demokrasi kontekstual menetapkan dua jenis batasan, Pertama, dengan demokrasi kontekstual tidaklah diandaikan bahwa demokrasi bersifat partikular dan karena itu berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidaklah benar bahwa demokrasi yang dikembangkan di Aceh berbeda dengan demokrasi yang dikembangkan di daerah lainnya, yang berbeda adalah bentuk-bentuk penghayatan dan cara-cara pengungkapannya, sedangkan nilainilai yang diejawantahkan tetaplah sama. Sekalipun sama dimana-mana nilai-nilai seperti transparansi, partisipasi, keadilan, menghargai sesama, namun nilai-nilai yang universal itu dalam penerapannya haruslah memanfaatkan ekspresi-ekspresi lokal, sebagai contoh sederhana misalnya dalam hal menghargai sesama, orang di Jawa menghormati orang dengan cara berbicara dengan halus, namun di tempat-tempat di pinggir laut, orang tidak bisa berbicara dengan halus karena akan kalah dengan suara ombak, jadi nilai menghargainya tetap sama, namun ekspresinya akan berbeda di setiap daerah. Inilah demokrasi yang digagas oleh sekolah demokrasi, demokrasi kontekstual, demokrasi dengan nilai universal namun diekspresikan dengan ekspresi lokal setempat. Sekolah Demokrasi diharapkan menjadi ruang diskusi antar pilar demokrasi serta menjembatani komunikasi dan saling belajar antar pilar (politisi,

4

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

civil society, pebisnis dan pemerintah). Kedepan diharapkan para lulusan sekolah demokrasi akan melembaga dan menjadi semacam lembaga “intermediate” yang bisa menjembatani komunikasi antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Pemilihan 4 pilar demokrasi sebagai peserta juga didasarkan pada kondisi dimana antar pilar sering terjadi jarak atau“gap” yang membuat aspirasi rakyat tidak berjalan semestinya. Kalangan LSM sering menuding pemerintah yang korup, tidak becus, tidak mengerti lapangan dan sebagainya, demikian juga dengan pemerintah yang cenderung menganggap kalangan LSM hanya pintar mengkritik. Sekolah Demokrasi menyediakan tempat bagi para pihak dari 4 pilar untuk saling belajar bersama bagaimana demokrasi bisa dijalankandengan baik, bagaimana kepentingan politik bisa diartikulasikan dalam kerangka untuk mencapai kemaslahatan dan bagaimana ke empat pilar bisa saling bekerjasama dalam agenda-agenda perubahan sosial. Dalam praktek pembelajaran, Sekolah Demokrasi menekankan pencapaian pada 3 hal yaitu: Pengetahuan Demokrasi, Nilai-Nilai Demokrasi dan Keterampilan Demokrasi. Ketiga komponen ini berjalan beriringan dan tidak boleh satu komponen terlepas dari komponen yang lain, kalau masingmasing komponen dilepas dari komponen yang lain maka hasilnya menjadi tidak efektif, jika peserta hanya mendapatkan pengetahuan tanpa nilai dan keterampilan politik, dikhawatirkan peserta hanya menjadi “buku berjalan” dan tidak punya kekuatan untuk menggerakkan masyarakat, jika peserta hanya mempunyai keterampilan politik tanpa pengetahuan dan nilai demokrasi, maka dikhawatirkan sekolah demokrasi akan meluluskan orang-orang yang mahir tapi akan berbahaya bagi masyarakat karena berpotensi menjadi tukang tipu karena terampil namun tidak punya nilai dan ilmu. Jika lulusan sekolah demokrasi hanya mempunyai nilai demokrasi, tanpa pengetahuan dan keterampilan, maka dikhawatirkan peserta hanya akan menjadi “orang saleh”, yang menghayati nilai-nilai demokrasi namun tidak mumpunyai efek bagi perbaikan masyarakat. Jadi ketiga hal tersebut mutlak dimiliki secara bersamaan oleh lulusan sekolah demokrasi. []


OPINI Bisma Yadhi Putra Aktifis Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Pilkada

Dan Pembangunan Politik Aceh POLITIK adalah lapangan pertarungan yang penuh dinamika dan intrik. Maka tak heran bila di dalamnya kerap terjadi gonjang-ganjing atau kisruh, baik yang terjadi antar sesama elite politik maupun juga bisa merembet ke pertarungan antar kelompok masyarakat. Dampak yang ditimbulkan akibat kisruh politik tidak hanya berakibat pada terjadinya instabilitas politik semata, namun juga bisa menyebabkan instabilitas sosial. Terlebih lagi di wilayah yang sedang dalam proses membangun perpolitikan yang mapan dan mantap, dampak dari kisruh politik dapat mengganggu dan menghambat pembangunan politik (political development).

D

alam berbagai literatur ilmu politik, pembangunan politik selalu identik dengan modernisasi politik. Oleh banyak pemikir politik kontemporer, modernisasi politik yang dimaksudkan adalah usaha membangun sistem politik yang demokratis. Harus

diakui, berbicara pembangunan politik berarti memusatkan perhatian pada modernisasi politik, dan berbicara mengenai modernisasi politik tidak terlepas pada pembahasan mengenai demokratisasi. Saat ini, demokrasi menjadi trend dalam peradaban politik modern. Selepas dari konflik bersenjata,

Aceh mulai berbenah dalam berbagai bidang, termasuk di bidang politik. Pilkada pada tahun 2006 yang berlangsung sangat demokratis menandakan bahwa pembangunan politik di Aceh mulai berjalan dengan baik. Partisipasi masyarakat dalam suksesi Pilkada sangat tinggi. Masyarakat juga sangat antusias

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

5


OPINI

untuk terlibat dalam dunia politik praktis. Gaffar (1989) menyebutkan bahwa salah satu indikator sudah menguatnya karakteristik pembangunan politik adalah “terjadi peningkatan partisipasi daripada warga masyarakat di dalam kehidupan politik” dan “partisipasi ini dapat tersalurkan melalui partai-partai politik dan kelompok kepentingan”. Dari fakta tersebut, dapat dikatakan pembangunan politik Aceh sudah maju satu langkah. Namun “cobaan” muncul di tahun 2011. Ancaman terhadap tatanan politik Aceh yang sudah terbangun dengan cukup baik justru datang dari pesta demokrasi (baca: Pilkada) yang seharusnya menjadi penguat konstelasi politik atau mendorong pembangunan politik. Kisruh Pilkada yang terjadi saat ini sebenarnya bisa berakibat besar terhadap melemahnya demokrasi dan pembangunan politik di Aceh. Kisruh Pilkada saat ini diwarnai dengan pergulatan sesama elite politik yang sangat alot. Pihak yang satu menentang disertakannya calon independen dalam Pilkada, sementara pihak lainnya menginginkan calon independen tetap disertakan dalam Pilkada. Namun komposisi pihak yang bertikai ini tidak hanya terdiri dari elite-elite politik semata, tapi juga terdiri dari elemen-elemen sipil. Di Lhokseumawe, misalnya, berbagai organisasi bersatu membentuk sebuah aliansi yang mereka namakan dengan Gerakan Sipil Pendukung UUPA Sesuai MoU Helsinki.

Gerakan ini melakukan aksi unjuk rasa menuntut Pilkada ditunda. Bahkan dalam aksi unjuk rasa tersebut, salah satu organisasi mengusung sebuah spanduk yang bertuliskan: Pengingkaran terhadap UUPA adalah pemicu “perang” baru. Namun bisa dikatakan bahwa inti tersirat dari tuntutan gerakan ini adalah menginginkan agar calon independen tidak disertakan pada dalam Pilkada. Sementara itu di lain tempat, muncul pula gerakan yang berbeda tuntutan dengan gerakan sipil yang disebut di atas. Berbagai organisasi sepakat untuk membentuk sebuah aliansi yang diberi nama Koalisi Organisasi Pendukung Pilkada Damai dan Tepat Waktu yang menyuarakan Pilkada damai dan dilanjutkan sesuai tahapan yang tengah berjalan (Serambi Indonesia, 16/11/2011). Fakta ini menunjukkan bahwa pertarungan kepentingan dalam kisruh Pilkada tak hanya terjadi antara sesama elite politik, namun juga ikut menyeret elemen sipil. Atau dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan; pihak yang menentang adanya calon independen dan menuntut Pilkada ditunda terdiri dari elite politik dan elemen sipil, sementara itu pihak yang mendukung adanya calon independen dan menuntut Pilkada tidak boleh ditunda juga terdiri dari para elite politik dan elemen sipil. Dalam iklim politik yang demokratis, perbedaan tersebut adalah hal yang lazim terjadi. Namun yang ditakutkan adalah apabila dua kubu tersebut tidak lagi menghargai dan menghilangkan sikap

}

Jadwal Talkshow SDAU di TVRI Aceh

6

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

B

Talkshow Interaktif Sekolah Demokrasi Aceh Utara di TVRI Aceh

10 Maret 2012 07 April 2012 05 Mei 2012 02 Juni 2012 30 Juni 2012 28 Juni 2012 22 September 2012

: I Jam.00 W 16

Jangan Lewatkan


OPINI toleransi terhadap perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dalam keadaan yang demikian, tidak tertutup kemungkinan praktik-praktik kekerasan akan terjadi. Kondisi civil society yang demikian hanya akan merintangi jalan menuju demokrasi terkonsolidasi (Manan, 2005:219). Jika ini terjadi, maka pembangunan politik yang pernah “maju satu langkah” menjadi menurun kualitasnya. Selain permasalahan yang ada pada civil society, yang paling berpengaruh besar adalah permasalahan yang timbul akibat manuver-manuver para elite politik. Jika jauh-jauh hari sebelum Pilkada saja ribuan orang telah melakukan aksi unjuk rasa, bukan tidak mungkin elemen sipil yang tuntutannya tidak terpenuhi akan melakukan aksi lanjutan sehingga situasi politik semakin memanas. Mobilisasi massa secara besar-besaran bisa saja dilakukan oleh eliteelite politik yang merasa kepentingannya tidak bisa dicapai. Dalam keadaan seperti ini akan muncul “perang” baru yang menghambat pembangunan politik. Kisruh Pilkada telah menciptakan suasana kurang harmonis di antara elite politik. Inilah sebenarnya yang menjadi problem serius untuk segera harus diselesaikan. Memang dalam politik benturan-benturan kepentingan (conflict of interest)

akan selalu ada, namun membiarkan situasi politik yang tidak stabil seperti saat ini berlarut-larut tanpa ada upaya problem solving agar terciptanya situasi kondusif tidak hanya akan berdampak pada terhambatnya pembangunan politik, tapi juga berpengaruh pada goyahnya proses demokratisasi dan terganggunya pembangunan ekonomi. Akibatnya, sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Huntington (2004) mengemukakan bahwa “pertumbuhan ekonomi akan melahirkan stabilitas politik” dan sebaliknya “beberapa bentuk kestabilan politik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi”. Senada dengan itu, Pye (2009) juga setuju bahwa “pembangunan politik adalah merupakan keadaan politik masyarakat yang membantu jalannya pembangunan ekonomi”. Jika pembangunan politik bisa diwujudkan bersamaan dengan keberhasilan dalam mencapai pertumbuhan di bidang ekonomi, maka peluang untuk menegakkan demokrasi semakin terbuka lebar. Dalam bukunya yang berjudul Polical Man, Seymour Martin Lipset mengaitkan demokrasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan implikasi bahwa semakin makmur suatu bangsa, semakin besar peluang bangsa tersebut menciptakan demokrasi. Jadi terdapat korelasi yang tinggi antara kondisi ekonomi dan terbentuknya

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

7


OPINI 8

demokrasi yang stabil. Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi jika situasi politik tidak stabil. Kisruh Pilkada Aceh merupakan suatu bentuk ketidakstabilan politik di mana para elite-elite politik lebih mencurahkan segala fokus dan energinya pada usaha untuk mewujudkan kepentingannya masing-masing. Dampak kisruh Pilkada terhadap pembangunan politik Aceh jelas sangat besar. Pembangunan politik dan demokrasi dapat berjalan dengan baik apabila situasi politik dalam keadaan stabil di mana antara para elite politik terjalin hubungan yang harmonis, sekalipun kepentingan mereka berbeda-beda. Ketiadaan stabilitas politik ini yang nantinya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dan dengan tidak adanya pertumbuhan ekonomi yang baik, maka peluang untuk mengokohkan kultur berdemokrasi di Aceh menjadi kecil. Apalagi jika kemudian situasi gonjang-ganjing politik merembet kepada terjadinya huru-hara sosial yang terjadi akibat provokasi-provokasi pihak tertentu yang merasa kepentingannya tidak berhasil terwujud. Semua itu akan berdampak pada pembangunan Aceh secara menyeluruh. Pembangunan mutlak perlu dilakukan agar sebuah peradaban tidak “kalah� akibat digerus oleh zaman. Namun pembangunan akan dengan mudah dilakukan dan dapat berjalan dengan baik dalam situasi politik dan sosial yang kondusif dan harmonis. Pilkada harus bisa menjadi rahim untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang visioner sehingga ke depannya

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

arah pembangunan Aceh menjadi lebih baik. Kisruh Pilkada merupakan hal yang wajar terjadi dalam politik. Dari banyak Pilkada yang telah berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, kisruh politik kerap mewarnainya, baik yang terjadi sebelum atau sesudah Pilkada dilangsungkan. Hanya saja yang paling penting adalah bagaimana menemukan pemecahan masalah yang efektif untuk meredakan intensitas konflik yang semakin hari semakin memanas. Pemecahan ketegangan satu demi satu mendukung stabilitas politik, sedangkan akumulasi persoalanpersoalan yang tidak terselesaikan mengakibatkan atmosfer politik yang penuh kepahitan dan frustasi (Lipset, 1960:45). Upaya untuk menciptakan stabilitas politik harus dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai political responsibility. Tercapainya pembangunan politik yang mapan, modern dan demokratis adalah cita-cita banyak pihak. Baik civil society maupun political society harus saling bahu-membahu atau bersinergi untuk mewujudkannya. Karena dengan adanya pembangunan politik yang baik, target-target lain seperti terwujudnya stabilitas sosial-politik, pertumbuhan ekonomi atau pembangunan infrastruktur akan mudah diwujudkan. Maka dari itu kisruh Pilkada harus segera diselesaikan agar situasi politik menjadi kodusif dan situasi sosial penuh hawa harmonis. Akhir kata, Ayu Ting Ting makan somay, yang penting Pilkada damai. []


OPINI

Air Mata Politik Zulhilmi Anggota Partai SIRA dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Tanggal 9 april 2012 penetuan vonis oleh masyarakat Aceh. Tahapan Pemilukada telah usai maka saatnya kampanye akan menjadi ajang untuk merebut simpati rakyat agar memilih calon-calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik atau pun jalur perseorangan.

B

eberapa poster dan Alat peraga politik mulai menghiasi tempat-tempat umum. Para tim sukses sibuk untuk mempromosikan calon kandidatnya agar dapat dipilih oleh masyarakat selaku pemilih. Banyak dari kandidat mengusung konsep, visi dan misi untuk perubahan. Berbagai macam slogan bermunculan. Slogan tersebut seperti sebuah Air mata politik yang mungkin sekedar janji-janji kosong

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

9


OPINI

semata,- namun hal itu lazim dalam panggung Pemilukada. Mungkin cara seperti itu yang bisa dilakukan oleh para timses maupun pendukung caloncalon tapi yang tidak sedap adalah ketika visi dan misi itu tidak sepenuhnya dijalankan alias pepesan kosong belaka. Bek gara-gara peng seritoh ribee meunyeusai limong thon (jangan karena uang seratus Ribu sesal selama lima tahun) hal itu tidak berarti sama sekali karena siapapun yang terpilih sebagai seorang pemimpin akan dapat membawa Aceh kearah yang lebih baik. Pencitraan Politik Panggung politik bukanlah ajang untuk kompetisi elite namun lebih kepada pengambilan kebijakan terhadap publik. Banyak dari Pemimpin setelah terpilih tidak menyadari bahwa terlalu “lebay� menjadikan masyarakat kecewa dan muak terhadap cara dan sikap politik tanpa adanya realisasi. Sebenarnya masyarakat hanya ingin kepastian politik bukan keputusasaan masal sehingga menjurus kepada kekecewaan terhadap pemimpin. Masyarakat cuma mengharapkan terlaksananya janji-janji masa kampanye. Namun, kenyataannya malah menjadi nihil semata. Apa lagi Pemimpin yang membanggabanggakan keberhasilan dalam progress pembangunan yang hanya menyentuh prasarana fisik. Masyarakat sebenarnya sudah jenuh dengan ketidakpastian pemimpin dalam merealisasikan janji politik masa kampanye. Ada kandidat yang pada saat kampanye mengeluarkan Air mata politiknya dan menunjukkan bahwa mereka perhatiaan kepada

10

masyarakat, namun itu hanya terjadi pada saat kampanye. Setelah terpilih pemimpin tersebut hanya mewujudkan kepentingan kelompok serta pendukungnya. Hal ini yang sebenarnya tidak demokratis karena pembangunan berjalan tidak sepenuhnya dan mungkin tidak mempunyai makna bagi masyarakat secara umum Pemimpin lupa bahwa programprogram yang dilaksanakan karena adanya pendanaaan bersumber dari APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) atau APBK (Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten atau Kota) yang merupakan kepunyaan rakyat. Namun, kandidat yang pernah menjadi Incumben membanggakan hal tersebut sebagai pencitraan atau sebuah suksesi keberhasilan yang sebenarnya merupakan program yang mesti dijalankan oleh mereka selama menjabat sebagai

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

kepala daerah di propinsi atau kabupaten/kota. Seharusnya kebanggan itu dapat dilakukan jika seorang pemimpin kreatif dengan membuat program dari hasil inovasi dan kreatifitasnya “mengail� sumber pendanaan dari sumber sumber lain tanpa harus selalu mengandalkan APBA maupun APBK. Mewujudkan Pilkada Damai Intimidasi yang selama ini terjadi merupakan sebuah rumusan bahwa demokrasi Aceh sarat dengan kekerasan serta karakter politik yang terbentuk pasca perdamaian. Padahal jelas bahwa pemaksaan pilihan politik itu mencidrai proses demokrasi yang berjalan di Aceh. Cerminan ini menggambarkan bahwa Aceh belum mampu berdemokrasi karena masih ada yang belum siap untuk menerima kekalahan maupun kemenangan. Kontes demokrasi ini sebenarnya

Ikrar pilkada damai yang dilakukan akan sia-sia jika munculnya praktik intimidasi yang selama ini sering diberitakan diberbagai media Massa dan hal ini, tidak mencerminkan sikap yang demokratis.


OPINI masyarakat Aceh yang menjadi juri sehingga menentukan layak atau tidaknya salah satu calon menjadi pemimpin. Sementara Ikrar pilkada damai yang terjadi di tingkat elit mungkinkah terwujud di lapisan bawah. Hanya elemen masyarakat Aceh yang dapat mewujudkannya karena hal ini, harus disosialisasikan oleh para kandidat calon kepala daerah pada Timses maupun pendukunnya masing-masing. Ikrar pilkada damai yang dilakukan akan sia-sia jika munculnya praktik intimidasi yang selama ini sering diberitakan diberbagai media Massa dan hal ini, tidak mencerminkan sikap yang demokratis. Masalah yang ditimbulkan oleh segelintir oknum yang tidak bertanggungjawab menjadikan penilaian yang buruk oleh masyarakat. Namun, masyarakat dihantui rasa ketakutan akan munculkannya konflik baru dan ini mengakibatkan terganggunya proses pemilukada dalam menentukan masa depan Aceh. Hal ini, seharusnya tidak perlu terjadi dan semua kalangan harus mampu menahan diri demi kualitas Pilkada yang baik. Hasil Pilkada nantinya akan mendapatkan sosok pemimpin yang akan merubah Aceh yang

lebih maju dari daerah lain di Indonesia. Semua kalangan mestinya menjaga agar tahapan pilkada ini berjalan damai hingga hari pencoblosan dan mencapai hasil yang demokratis sesuai denga asas nya Jurdil dan Luber. Karena jangan buat ikrar Pilkada damai ini terjadi sia-sia karena sangat disayangkan jika prosesnya menjadi tidak aman. Para pendukung dan timses juga harus berperan aktif karena ditataran itulah yang paling penting untuk mewujudkan pilkada Damai. Pemilukada yang damai bisa membuat masyarakat menentukan pilihannya sesuai hati tanpa ada tekanan dari kalangan mana pun sehingga dapat berjalan demokratis. Pemimpin Masa Depan Aceh Hasil pemilukada Aceh merupakan cerminan pilihan hati masyarkat tanpa penekanan dan pemaksaan pilhan politik. Pemimpin harus peka terhadap kondisi Masyarakat serta dapat memahami keinginannya. Artinya pemimpin bukan hanya

memikirkan keinginan kelompok atau pendukungnya saja serta mengabaikan masyarakat secara keseluruhan. Pemimpin yang bijaksana selalu menjalankan amanah dan janji-janji politiknya serta bertanggungjawab kepada masyarakat yang telah memberi kepercayaan memimpin untuk periode lima tahun. Bagi pemilih harus selektif dalam menentukan pilihan karena sosok pemimpin masa depan Aceh sangat menentukan maju atau tidaknya pembangunan dalam segi fisik maupun non fisik. Kemudian pemimpin tersebut harus dekat dengan masyarakat serta dikenal dengan baik oleh masyarakat dan berjiwa Islami. Semua itu kembali pada diri masyarakat selaku pemilih karena kualitas hasil pemilukada Aceh sangat menentukan sosok pemimpin yang bijaksana serta membawa Aceh ke gerbang perubahan yang sebenarnya.[]

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

11


OPINI

Demam Baliho dan

Bendera

Desy Saflin Anggota Partai SIRA dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Tidak lama lagi, tahapan Pilkada Aceh 2012 akan memasuki hari yang ditunggu-tunggu. Hari pemungutan suara sudah di depan mata. Para kontestan yang bersaing mulai menggeliatkan manuver politiknya guna meraih simpati atau dukungan dari publik agar terpilih dalam pesta demokrasi kali ini.

12

B

anyak di antara mereka mulai mengeluarkan jurus-jurus jitu yang mereka punya untuk memenangkan persaingan ini. Berbagai baliho mulai dipasang di sepanjang jalan, baik di pusat kota hingga perkampungan. Ada yang menebar “senyum maut� serta janji-janji manis. Biasanya, usai pilkada, janjijanji itu bagaikan sari tebu yang habis manis sepahnya dibuang. Ada juga gambar kandidat yang sedang berpakaian muslim atau pakaian adat sebagai pencitraan politiknya seakan paham akan

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

ajaran agama dan hukum ketika mereka menjabat sebagai pemimpin rakyat kelak yang pada akhirnya ajaran agama tetap terkandung di dalam Al Quran dan hukum masih ada tertinggal di dalam hadist tanpa ada implementasi sekalipun oleh mereka sendiri sebagai pemikat kaum kaum yang ingin pemimpinnya bertindak sesuai ajaran agama dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan ada hal yang paling menarik, yaitu gambar kandidat yang menebarkan wajah fokus dan serius guna menggambarkan sifat kecocokan kewibawannya


depan. Bukan saja mengumbar janji janji manis semata tetapi juga menghambur hamburkan uang demi sebuah suara untuk kepentingan pribadi dan golongannya menuju kemenangan yang melalui jalan apa pun. Mungkinkah ini yang dinamakan demam baliho dan bendera dalam pesta rakyat negeri ini, atau malahan pesta kaum kaum elit yang mempunyai anggaran yang begitu besar guna mendapatkan suara suara rakyat untuk mewujudkan impian sebagai penguasa Aceh? Pemakaian atribut merupakan hal yang lumrah terjadi dalam setiap kampanye politik. Setiap kandidat akan berusaha sebisa mungkin agar dirinya dikenal publik luas. Tujuannya hanya untuk mendapat dukungan sebesar-besarnya agar keluar sebagai pemenang. Tentu untuk meraih dukungan seperti itu dibutuhkan dana yang besar. Tanpa dikenal publik, peluang seorang kandidat untuk menang sangatlah kecil. Oleh karena itu pencitraan politik mutlak diperlukan. Penyebaran spanduk, stiker atau bendera-bendera partai atau gambar kandidat pun marak bermunculan. Dana yang dikucurkan untuk itu pun tidak sedikit, mulai dari yang menghabiskan uang jutaan hingga miliaran. Modal politik seperti itu tentu akan berusaha dikembalikan ketika mereka terpilih. Akibatnya, masyarakat yang awalnya menaruh harapan banyak pada kandidat yang mereka pilih ditelantarkan karena orang yang mereka pilih hanya sibuk mengurusi jabatannya, agar modal besar yang sudah dikeluarkannya bisa kembali.

Masyarakat yang awalnya tertarik dengan berbagai atribut kampanye akan gigit jari. Pemimpin yang demikian, alih-alih ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat, justru hanya menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi. Tujuannya sejak awal hanya ingin meraih kekuasaan, bukan berjuang demi kemaslahatan masyarakat. Berbagai janji-janji manis hanya menghiasi spanduk atau di bibir saja. Orientasi mereka hanya kekuasaan. Pemimpin yang seperti itu lahir tentu karena kurang cerdasnya pemilih. Berbagai spanduk yang ditebar di jalanan, selain untuk pencitraan agar dikenal publik luas, juga untuk memanipulasi citra si kandidat. Kalau mereka berhasil, tentu publik akan berbondong-bondong member dukungan tanpa mempelajari tingkah-laku atau jejak rekam masa lalu di kandidat, apakah ia baik, berkompeten, atau tidak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masyarakat tidak lagi tertipu atau terkesan dengan atribut-atribut kampanye. Pemilih harus lebih cermat. Demam atribut kampanye yang kini menjangkit di masyarakat adalah cerminan bahwa pemilih belum cerdas. Masyarakat memang berpartisipasi dalam memilih, tapi mereka memilih karena terpesona dengan berbagai atribut kampanye, bukan atas dasar penilaian-penilaian objektif seperti visi-misi atau program kerja yang ditawarkan bagus. Masyarakat harus segera disembuhkan dari demam atribut kampanye tersebut.[]

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

OPINI

terhadap kepemimpinannya kelak yang mementingkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan rakyat Aceh. Dengan ekspresi demikian agar tak terkesan mereka tamak dan rakus akan kekuasaan dalam pesta demokrasi. Para kontestan ingin menampilkan kepada publik bahwa mereka adalah pemimpin yang pro rakyat. Ada juga cara yang lain yaitu dengan menyebarkan aneka stiker dan menempelkannya di berbagai tempat seperti di tiang listrik, pohon atau dinding-dinding rumah yang kerap dilakukan tanpa meminta permisi atau izin kepada yang punya rumah. Hal lainnya yang paling ramai adalah pembuatan benderabendera partai yang sangat mewarnai sisi-sisi jalan, dengan warna yang beraneka ragam dan bentuknya, dari yang berukuran kecil sampai ukuran sangat besar sekali pun berserakan di sisi-sisi jalan. Mengingatkan kita semua akan peringatan 17 Agustus. Belum lagi ketika rombongan konvoi tim sukses yang tidak mehiraukan tata cara lalulintas yang baik. Ditambah lagi mengibarkan bendera-bendera di setiap sisi jalan atau apa pun itu asalkan dapat berdiri tegak tanpa mempertimbangkan layak atau tidaknya bendera itu berkibar. Secara tidak langsung semua itu gambaran bahwa sosok partai yang sombong dan congkak dengan mengandalkan biaya kampanye yang melimpah ruah tanpa mau tahu penderitaan orang-orang miskin yang berusaha mencari penghidupan layak dengan usaha dan kesempatan yang hampa, bahkan tiada. Sungguh ironis calon pemimpin rakyat aceh ke

13


OPINI

5 Menit yang Menentukan,! (Sebuah Tinjauan tentang Demokrasi Lokal)

Menyorot pemlihan kepala daerah secara langsung yang akan dilaksanakan di Aceh pada tanggal 9 april 2012 mendatang ini adalah tras politik yang menghiasi berbagai media massa baik lokal maupun nasional. Semua pihak berharap bahwa pemilukada berjalan sukses aman tanpa konflik, idiom ini adalah harapan semua orang karena rencana pelaksanaan pemilukada Aceh sudah empat kali mengalami penundaan yang menyita biaya yang tidak sedikit dengan cost politik yang sangat mahal.

Ismadi Pemuda Gampong Puuk Kec. Samudera dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

A

jang pemilukasa yang seharusnya dijadikan wahana melahirkan seorang pemimpin baru demi kepentingan masa depan daerah agar tidak mengalami penyesatan tujuan dan maksud. Karena sudah jamak terjadi Kepala daerah dan Wakil kepala daerah yang dipilih langsung menurut ukuran seberapa tebal kantong yang

14

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

dimiliki si calon. Jauh-jauh hari William Liddle (2001), Guru Besar Ilmu Politik dari Harvard University Amerika Serikat juga sempat khawatir soal demokrasi lokal, sebab penyelenggaraannya sangat rentan dimasuki “demokrasi� model kaum penjahat. Demokrasi lokal akan menjadi media kepentingan sejumlah pihak tertentu yang memandang


di pilah menjadi tiga golongan; Pemilih emosional yang artinya pemilih model ini lebih melihat sosok pemimpin yang akan dipilih karena ada hubungan kedekatan emosional dengannya, merasa senasib, hubungan budaya sejarah dan pertemanan maupun kekerabatan atau persaudaraan umumnya model pemilih separti ini kebanyakan terdapat didaerah pedalaman yang dimanfaatkan oleh kompetitor pilkada dengan harapan kesejahteraan. Secara strata kelompok ini adalah kalangan orang kalangan akar rumput yang mempunyai tingkat pendidikan dan finansial yang terbatas; Pemilih yang oportunis biasanya pemilih kategori ini lebih memanfaatkan situasi, yang penting ia punya tujuan dan kepentingannya maka ia menentukan pilihan kepada pasangan yang menurutnya itu adalah momen bagi keuntungan pribadinya. Biasanya pemilih yang seperti ini lebih melihat untung ruginya secara finansial. Kesemua kelompok pemilih model ini terdiri dari berbagi strata ada kelas bawah, menengah, maupun kelas atas; Pemilih rasional pemilih ini adalah beda dengan kedua katagori di atas model pemilih seperti ini lebih banyak kalangan menengah keatas baik tingkat pendidikannya maupun ekonominya dan umumnya berada didaerah perkotaan Dari analisa di atas yang bahwa budaya politik dan demokrasi lokal di Aceh masih berorentasi pada kekuasan yang menguntukan kelompok dan golongan tertentu oleh kompetitor untuk konstituennya. Untuk itu penulis menawarkan kriteria pemimpin yang layak dipilih agar keberadaan kita

lima menit dalam bilik suara tidak menjadi bencana lima tahun mendatang karena seperti pepatah Aceh mengatakan jangan sampai “Teulah sithon ureung meugo teulah siuroe ureung meurusa�. Adapun kriteria pemimpin yang akan memimpin negeri ini sebaiknya kita perlu melakukann filterisasi dengan memperhatikan model Tawaran An-Naim seorang pemikir Islam kontemporer dalam bukunya Toward an Islamic Reformation : Civil Liberties, Human Right and Internasional Law menyimpulkan seorang pemimpin harus mampu: 1. Membangun kekuatan/ kekuasasan yang solid dan amanah, 2. Mengembangkan sistim pemerintahan yang efektif, 3. Menerapkan model kepemimpinan yang determinatif, 4. Membudayakan manajemen perubahan yang lebih modern, 5. Membangun kerjasama dengan siapapun bukan dengan golongan dan kelompoknya saja, 6. Memberdayakan energi sosial dan kekuatan ekonomi rakyat. Demikianlah kriteria pemimpin yang ideal secara umum paling tidak untuk konteks Aceh kriteria seperti ini kita harapkan dimiliki oleh semua kempetitor yang akan berkompetisi. Tinggal masyarakat akan mementukan yang terbaik menurut mereka. Semoga akan terpilih pemimpin terbaik untuk Aceh 5 tahun mendatang! Amin []

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

OPINI

bahwa masyarakat pemilih dapat dibengkokkan pandangannya tentang sebuah arti pilkada dengan semata-mata berpikir mendapatkan sogokan tertentu. Hal itu dibuktikan oleh sebuah survei yang digelar Universitas Paramadina –berkolaborasi dengan Pride Indonesia– bahwa persentase keinginan warga yang paling tinggi adalah agar pasangan calon memberikan uang kepada mereka. Bukti politik uang sedemikian mendalam, sehingga pilkada sangat jelas merusak esensi demokrasi lokal. Dalam survei yang mengambil sampel pilkada di Kabupaten Mojokerto tersebut, 14,9 persen warga berharap agar kontestan pilkada itu memberikan uang bila ingin dipilih. Sedangkan warga yang menginginkan kontestan memberikan sembako mencapai 10,6 persen. Money politics dan budaya bagi kaos oblong serta tebar pesona di poster dan pemanfaatan silaturahmi persaudaraan disela-sela acara-acara seperti peringatan kenduri maulid untuk menjual visi misi bukanlah hal yang baru dalam praktek pemilu di Aceh dan umumnya Indonesia. Pertanyaan sekarang akankah itu terulang pada pesta demokarasi Pemilukuda di Aceh?. Budaya politik yang demikian apakah dihalalkan menurut prosedur yang digariskan KIP selaku panitia independen tentunya sulit diteksi. Dari realita di atas disini penulis ingin mengambarkan mengapa budaya politik seperti hasil riset di atas tidak bisa dijamin untuk tidak terjadi lagi karena menurut terminolgi partisipasi masyarakat melaui pemilu dapat dikategorikan bahwa pemilih bisa

15


OPINI

Siswa/i Sekolah Demokrasi Aceh

ABDUL MUTHALEB Staf LSM SAHARA

16

AFRINA DEWI Masyarakat Sipil

AMIRUDDIN Guru PNS

ANNA MISWAR CV. Tandaseru Consulting

IRWAN Guru PNS

AZHARUL HUSNA Mahasiswa

Aktifis Solidaritas Mahasiswa Mahasiswa untuk Rakyat

BISMA YADHI P.

DAILAMI Teungku Dayah

DARMADI Ketua BEM Unimal

ISKANDAR MUDA Mahasiswa

DESI SAFLIN Partai SIRA

FARIDA HANUM Aktifis Perempuan

HENDRI BAKRI Partai SIRA

IBNU HAJAR Teungku Dayah

ISKANDAR Dosen

ISMADI Tokoh Pemuda

MAWADDAH Guru PNS

M. SUHERI Partai SIRA

MUNTASIR Guru PNS

NASRUDDIN Masyarakat Sipil

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012


OPINI

Angkatan II 20012

RINA WATI Koalisi Perempuan Indonesia

RIZQI WAHYUDI Partai Aceh

SALBIAH Masyarakat Sipil

SAMSUL BAHRI Guru PNS

SYARKAWI Dinkes Kota Lhokseumawe

SYAUKANI Partai Bersatu Aceh

YUSRA Mahasiswa

ZARMA YUSUF Ketua DPW IPKINDO Aceh

ZULFIKAR Anggota PPK dan Tokoh Pemuda

ZULHILMI Partai SIRA

ZULMANIDAR Pengusaha Sawit

M. RAJU Komite Mahasiswa Pemuda Aceh

MUSTAFA MOTTI Direktur CV. Noer Pratama

ZURAIDA Staf Dinas Tanaman Pangan Aceh Utara

RACHMAD FAZWI Ketua Asosiasi Mahasiswa Sosiologi Aceh

Dalam operasional harian, Sekolah Demokrasi Aceh Utara di laksanakan oleh Tim Inti sebagai berikut:

EDI FADHIL Koordinator

ZULKIFLI HAMID Fasilitator

M. USMAN Fasilitator

DEWI TIRTA. W. Finance

EKASAPUTRA Admin

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

IKA FEBRIANI Kasir

MUKSALMINA Operasional

| Rangkang Demokrasi

17


Resensi

Politik Pendidikan Farida Hanum Aktifis Perempuan dan siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

A

da salah satu buku yang sangat menarik untuk di jadikan referensi dalam berpolitik yaitu berjudul “Politik Pendidikan� yang ditulis oleh M. Sirozi, Ph.D. Buku ini mengupas tentang hubungan Politik dan Pendidikan, Fungsi Politik Institusi Pendidikan, Kontrol Negara terhadap Pendidikan, Prospek Kajian Poltik Pendidikan, Problem Metodologi Penelitian Poltik Pendidikan, Voter Education, Komunikasi Politik dan Demokrasi, Radio dan Pendidikan Politik Masyarakat, Sketsa Politik Pendidikan di era otonomi daerah, Aspekaspek Politik Desentralisasi Pendidikan. Politik pendidikan merupakan satu bidang kajian yang banyak diminati di Universitas terkemuka di Eropa, Amerika, dan Australia. Akan tetapi, bidang kajian tersebut belum familiar dikalangan ilmuan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam buku ini juga dikatakan dalam sistem pendidikan, turut serta mengembangkan berbagai orientasi politik mendasar yg harus dimiliki bersama, oleh sebagian anggota dari system yang sedang berjalan dengan berbagai variasi. Sosialisasi politik diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk mengerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan sistem politik, harus ada dukungan yang cukup dari warga negara. Dukungan atau

18

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

kritik terhadap suatu sistem, diberikan oleh agenagen sosialisasi, seperti keluarga, mesjid atau gereja, kelompok sebaya (peer group), dan sekolah. Sekolah, misalnya dapat mensosialisasikan anak didik, untuk menerima kebijakan-kebijakan pemerintah, dan memiliki sikap loyal terhadap pemerintah. Sebaliknya sekolah juga dapat menanamkan sikap kritis terhadap suatu rezim. Menurut buku ini, telah menjadi kenyataan sejarah bahwa selalu saja ada ketegangan permanen, antara perangkat negara yang birokratis dan subtansi dari aktivitasnya. Ketegangan tersebut menghasilkan sejumlah pertanyaan, yang dapat dijawab dan sejumlah jawaban yang dapat diberikan, melaui pendidikan sebagai suatu perangkat negara. Inilah alasan penting mengapa pendidikan suatu negara, akan melakukan berbagai upaya untuk mengontrol sistem atau praktek kependidikan yang ada di negara tersebut. Hal yang menarik juga di buku pendidikan politik ini, membahasa tentang Vooter Education atau pendidikan pemilih, yaitu suatu upaya sadar untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih, tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan hak suara mereka dalam Pemilu. Sehingga mereka dapat memberikan


hak suara, sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan hati nurani, tanpa merasa terpaksa atau tertekan. Walaupun kita akui sekarang ini kondisi ideal seperti diatas sudah banyak yang bertolak belakang, realita yang terjadi adanya pemaksaan kehendak,, disertai intimidasi dari orang-orang yang memperebutkan kekuasaan, dengan mengorbankan masyarakat kecil yang tidak paham apa sesungguhnya yang sedang mereka hadapi. Dijelaskan juga dalam membangun agenda publik dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk untuk membangun agenda perdebatan politik nasional, media elektronik salah satunya radio sangat diperlukan. Mengingat begitu besar dan heterogennya masyarakat ditanah air, dapat dipastikan bahwa radio akan terus memainkan peranan penting, sebagai sarana komunikasi massa

dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam media ini haruslah diprioritaskan nilai-nilai pendidikan terkandung di dalamnya. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuatan politik, karena pada hakekatnya pendidikan adalah cermin aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatankekuatan politik yang sedang berkuasa. Pada era zaman sekarang ini, yang mana lingkungan politik yang cenderung lebih terbuka dan demokratis, berbagai kebijakan dan program pendidikan tidak bisa ditetapkan dan dipaksakan melaui cara otoriter, tetapi membutuhkan proses kebijakan yang dialogis dan demokratis. Meskipun lebih cepat, proses kebijakan yang otoriter dapat menimbulkan sikap apriori yang dapat mematikan kreativitas dan menghambat pertisipasi

masyarakat. Masyarakat akan memandang berbagai agenda pendidikan sebagai agenda pihak penguasa, sehingga menilai tidak turut bertanggung jawab dan tidak perlu berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Proses kebijakan yang otoriter, cenderung menggunakan coercive approach atau pendekatan paksa, yaitu pendekatan yang menekankan control, dan tekanan dalam menyelesaikan kontroversi dan konflik. Penyelesaian ditempuh melalui winningloosing struggle atau perjuangan kalah menang, dengan menggunakan jalur politik dan perjuangan fisik, arbitration atau menyerahkan keputusan pada pihak ketiga, dan pengadilan. Perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi menjadi desentralisasi, membawa implikasi politik yang sangat luas. Apabila aspek-aspek politik lebih dikedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan� politik yang tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Secara keseluruhan isi dari buku ini sangat bagus, sebagai wacana kita untuk lebih memahami keterkaitan dan hubungan antara pendidikan dan politik, dengan berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan sosial masyarakat. Kajian kita terhadap politik pendidikan melaui buku ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik, tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik negara dengan isu-isu politik dan sosial yang berkembang di masyarakat di Indonesi yang hegemoni. []

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

19


KEGIATAN

Orasi Ilmiah, Wisuda Siswa Sekolah Demokrasi Angkatan I Dan Peluncuran Sekolah Demokrasi Angkatan II

T

anggal 08 Februari lalu Sekolah Demokrasi Aceh Utara menyelenggarakan kegiatan Wisuda peserta Angkatan I dan sekalian dengan peluncuran angkatan II yang dirangkai dengan kegiatan Orasi Ilmiah sekaligus sosialisasi modul Lokal SDAU yang bertema “Perdamaian berbasis resolusi konflik” dan tambahan materi “Demokrasi dalam Konteks Aceh”. Setelah menjalankan kegiatan pembelajaran selama 1 tahun penuh di tahun 2011, Sekolah Demokrasi Angkatan I sudah menghasilkan 33 orang alumni yang sekarang menghimpun diri dalam Perkumpulan yang diberi nama Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU). KDAU mempersepsikan dirinya sebagai lembaga yang berfungsi sebagai fasilitator komunikasi antara masyarakat sipil dan masyarakat politik yang sesuai dengan konsep dasar tujuan sekolah demokrasi. Peluncuran Angkatan II Ada 37 peserta yang lulus seleksi menjadi peserta SDAU angkatan kedua, Secara proporsional 37 orang peserta tersebut, jumlah peserta perempuan adalah

20

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

11 orang, dari partai politik 6 orang, masyarakat sipil (LSM, Tokoh masyarakat dan mahasiswa) 20 orang, unsur pemerintah 7 orang dan pebisnis 4 orang. Kegiatan peluncuran (Launching) dimaksudkan sebagai wahana untuk memperkenalkan peserta Sekolah Demokrasi Angkatan II kepada masyarakat sekaligus sebagai sarana silaturrahmi dengan peserta angkatan I. Orasi Ilmiah Orasi Ilmiah disampaikan oleh bapak Fuad Mardhatillah, MA. Dosen Filsafat di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan topik “Perdamaian Berbasis Resolusi Konflik Aceh” yang juga merupakan sebagai judul modul lokal SDAU. Materi ini dirangkai dengan materi “Demokrasi dalam Konteks Aceh”. Dalam Orasi Ilmiahnya Pak Fuad menyampaikan bahwa nilai nilai demokrasi juga sangat akrab dengan nilai nilai adat Aceh. Pak Fuad menyampaikan misalnya kebiasaan duek pakat menjelang kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang sarat dengan nilai nilai musyawarah dan gotong royong. Hal lain misalnya dalam soal sistem pemerintahan


tidak mudah terbentuk. Dalam konteks resolusi konflik, ada kebutuhan untuk memahami konflik secara multidisiplin keilmuan, lintas pendekatan dan multi aspek dari berbagai unsure yang menjadi bagian dari konflik. Di samping itu, diperlukan pula pihak-pihak nonpartisan yang dapat memainkan fungsinya untuk menengahi, menjembatani dan menfasilitasi dalam membangun komunikasi antara para pihak, untuk pada waktunya dapat membawa para pihak ke meja perundingan. Ada sebuah catatan penting yang kiranya perlu disadari dan dimiliki semua pihak yang bertikai. Yaitu adanya kesediaan para pihak untuk rela mengakomodasi sejumlah kepentingan pihak-pihak lain, jika perdamaian benar-benar sudah menjadi dambaan semua pihak yang berkonflik. Tegasnya, rumusan kesepakatan suatu resolusi konflik, hanya akan mungkin dapat dicapai jika semua pihak yang bertikai berkenan melepas sejumlah kepentingannya (give), untuk mendapatkan sejumlah kepentingannya yang lain (accept).

KEGIATAN

lokal di Aceh yang lalu sebenarnya sudah sangat baik, itu dilihat dari sektor Demokratis, kemandirian, keterbukaan dan akuntabilitas yang sudah sangat tinggi. Sistem pemilihan aparatur misalnya dilakukan dengan cara pemilihan langsung mulai dari Geuchik, Imum meunasah, Tuha Peut dan Tuha Lapan. Geuchik dan Imum Meunasah adalah lembaga eksekutif melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh tuha peut gampong atas dasar masukan-masukan yang disampaikan oleh tuha lapan gampong dan bertanggung jawab langsung kepada masyarakatnya. Tuha peut merupakan legislatifnya gampong yang berwenang menentukan arah kebijakan berdasarkan masukan yang disampaikan oleh tuha lapan gampong dan berwenang untuk meminta pertanggung jawaban atas kinerjanya eksekutif gampong sesuai perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Gampong mempunyai otorita yang luas untuk mengurus dirinya sendiri baik soal internal kependudukan gampong, Adat istiadat, social budaya, keagamaan dan pengelolan sumber daya alam atas kekayaan dan asset gampong, dan melakukan hubungan keluar. Mengenai Modul Lokal “Resolusi Konflik dan Demokrasi� Pak Fuad menyampaikan bahwa kodrat manusia yang hidup berkelompok-kelompok dalam suku, bangsa, ras, ataupun bentuk-bentuk organisasi kemanusiaan, sungguh masing-masing mereka hidup, tumbuh dan berkembang di dalam lingkungannya masing-masing. Bersama segala hasil cipta, karya dan karsa dalam suasananya masing-masing yang pasti saling berbeda-beda. Sehingga membentuk dan menciptakan cara berpikir, bertingkah laku dan berbudaya yang khas dari setiap anggota suku dan bangsanya. Penting untuk disadari, bahwa setiap konflik yang terjadi di tengah kehidupan umat manusia, pasti di dalamnya selalu menyimpan sebuah penyelesaian yang mendamaikan. Namun sering sekali itu bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan mudah, tanpa hambatan dan pengorbanan yang harus dihadapi oleh para pihak yang berkonflik. Apalagi jika di dalam arena konflik ada pihak-pihak ketiga yang berkepentingan melestarikan konflik, baik secara ekonomis maupun politis. Akibatnya, suasana awal yang kondusif untuk memulai suatu upaya penyelesaian seringgkali

Resolusi Konflik Aceh Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI yang berlangsung sejak 1976 sampai 2005, telah melahirkan banyak sekali kekerasan dalam berbagai bentuk dan jenisnya yang cukup beragam. Paska peristiwa terjadinya bencana dahsyat gempa dan tsunami, ketika kepemimpinan pemerintahan pusat Indonesia berada di tangan Susilo Bambang Yudoyono dan Mohd Jusuf Kalla, tampak upaya-upaya dialogis kembali dirintis. Melalui bantuan mediasi dan fasilitasi yang diberikan Crisis Management Initiative untuk menfasilitasi perundingan RI dan GAM di Helsinki Finlandia. Singkatnya, bahwa peristiwa bencana dahsyat gempa dan tsunami tampak telah berhasil merubah pola-pikir dan paradigma resolusi konflik Aceh ke paradigma yang lebih mengedepankan porsesproses kemanusiaan. Memalui proses ini, bangsa ini dapat belajar untuk lebih menjadi manusia yang berakal, dimana akalnya kemudian dapat menjadi alat, sebagai the soft power yang dimana akal-sehat dapat lebih digunakan sebagai model penyelesaian konflik. Modul Lokal “Resolusi Konflik dan Demokrasi akan menjadi sisipan bahan pembelajaran In Class Sekolah Demokasi mulai tahun 2012. []

Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012

| Rangkang Demokrasi

21


KEGIATAN

Galeri Foto Kegiatan 1

2 3 4

5

22

Rangkang Demokrasi | Edisi 7 | Tahun 2 | April 2012


Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan II 6 9

7

8

Keterangan: 1. Ujian tulis seleksi penerimaan siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara 2. Tes wawancara penerimaan siswa angkatan II 3. Wisuda siswa SDAU angkatan I 4. Outbond siswa dan pelaksana program SDAU. 5. Pelatihan Jurnalistik untuk siswa SDAU. 6. Talkshow Radio siswa SDAU di RRI Lhokseumawe. 7. Siswa SDAU mengunjungi percetakan Serambi Indonesia. 8. Suasana belajar inclass SDAU. 9. Talkshow siswa di TVRI Banda Aceh.


Disampaikan oleh:

Jangan Takut intimidasi

Lawan dan Laporkan


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.