Solopos Edisi Senin, 16 Mei 2011

Page 8

8

inspirasi

SOLOPOS

Senin Wage, 16 Mei 2011

Agus Fatchur Rahman

Politisi wedangan Oleh: Fetty Permatasari

S

uara skuter butut merengek-rengek membelah keheningan Sabtu (7/5) pagi. Di halaman rumah berdinding batu kali Jl Aipda KS Tubun Kuwungsari Sragen Kulon, Sragen, puluhan karangan bunga berisi ucapan selamat atas pelantikan Agus Fatchur Rahman sebagai bupati Sragen periode 2011-2016 masih berjejer rapi. Sebuah tenda lengkap dengan panggung kecil dan puluhan kursi juga masih tertata apik di kebun kosong sebelah rumah bergaya arsitektur lama itu. Seorang lelaki berkucir asyik memanasi skuter sambil mesam mesem menyambut sejumlah tamu. Euforia pelantikan Bupati Sragen Agus Fatchur Rahmanmemang masih terasa lekat. Tapi sepertinya Agus santai-santai saja. Di teras rumah bernomor 43 itu, lelaki paruh baya itu asyik membolak-balik setumpuk undangan pernikahan sembari mengisap rokok dari pipa berwarna kuning gading. Sesekali, ia tampak menyeruput teh dari cangkir mungilnya yang bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah jambu. “Saat saya jadi wakil bupati, saya tidak pernah merasa jadi pejabat. Kalau sore berkaus oblong dan blue jeans saya naik pit onthel atau Vespa ke wedangan,” ujarnya sambil menunjuk skuter kesayangannya bernomor polisi AD 6383 BE itu. Agus lalu bercerita bagaimana suka citanya nongkrongdi wedangan. Bagi Agus, nongkrongdi wedangan kian membangkitkan passion-nya untuk melayani masyarakat. Di sana semangat egalitarian, kebersamaan dan kesederajatan tercipta begitu saja. Strata sosial lenyap. Orang berkeluh kesah apapun sebebasnya. Setiap orang merasa punya daya dan berhak bersuara tentang apa saja, gratis. Dan, detik-detik dramatik bagi Agus adalah ketika ada seseorang mengkritik kinerja pemerintahan Sragen di hadapannya tanpa orang itu tahu bahwa dia adalah orang nomor dua di Pemkab Sragen. Dari sanalah sempat terbesit ide di benaknya memproklamasikan ideologi baru bernama “warungisme”. Ia menilai konsep itu menjadi sebuah ideologi khas dari masyarakat Jawa dan masih dinikmati banyak orang. “Tapi di tingkat substansi, orang mulai tidak paham. Ideologi warungisme sebetulnya menjadi antitesisnya dunia gemerlap. Makanya saya menyebut wedangan sebagai Dugem, dunia remang-remang. Biasanya teman-teman sudah tahu kalau saya SMS diminta menyusul ke Dugem, ha ha ha.”

Dunia avonturir Barangkali dari warungisme itulah, Agus terus

mendapat kepercayaan untuk mengabdi di Bumi Sukowati. “Cita-cita saya hanya ingin memberi pengabdian pada Tanah Air Sragen ini tapi sesungguhnya tumpah darah saya,” Bagi Agus, selain dari kebiasaannya nongkrong di wedangan sejak belia, semangat-semangat itu sebetulnya meletup karena pengaruh masa lalunya. Lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Siti Nuryati-Sjamsuri yang bekerja sebagai PNS, sejak kecil Agus hobi berpetualang. Ia menyebut hobinya itu avonturir. Avonturir adalah serial petualangan yang diterbitkan oleh Radya Pustaka. Melalui serial avonturir, pembaca akan dilibatkan sebagai tokoh utama cerita yang dapat menentukan sendiri jalannya petualangan. Di SD, kisah avonturir Agus dimulai dari seringnya ia menumpang sepur kluthuk dari Sragen ke Solo maupun Madiun dengan teman-temannya. Di SMP dia tak berbeda. “Kalau sudah sampai di Madiun, kongkow sebentar lalu balik lagi,” kenangnya. Agus juga tak pernah besan mengikuti segala rupa kegiatan yang bersentuhan dengan petualangan alam di Pramuka. Agus mengaku mulai menemukan wadah sebagai kristalisasi hidup berpetualang saat duduk di SMA. Sekitar 1978, ia dan teman-temannya di SMA membuat kelompok pecinta alam. Saat itu, organisasi pecinta alam masih jarang. “Kami ke Lawu itu sampai tanpa hitungan. Lalu mengembara ke mana-mana sampai Merbabu, Merapi, Sindoro dan Slamet,” kenangnya. “Ketika liburan sekolah Kelas II SMA, saya pernah ke Bali dengan nggandhul-nggandhul kereta api, truk dan saat itulah kali pertama saya ke Bali,” ungkap lelaki yang sejak 2005 mulai hobi berkendara motor trail ini. Dari dunia petualangan itu, ia merasa ketika orang miskin mau melakukan mobilitas vertikal, modalnya harus genep. Artinya, taruhlah ia tidak terlalu pandai, harus ditutupi dengan kemampuan lain seperti kemampuan menggalang persaudaraan. Walhasil, tak terbesit di benak Agus menjadi PNS. Setamat SMA, cita-citanya simpel: kuliah di Fakultas Hukum lalu melanjutkan studi kenotariatan. Sayang, kematian ayahandanya pada 1989 membuatnya banting setir. Karena adik-adiknya kala itu masih kuliah, baru tiga semester menjalani kuliah kenotariatan, ia menerima tawaran teman ayahnya untuk bekerja di Kantor Kementerian Agama Sragen. Kenangan yang tak terlupakan bagi Agus, SK pengangkatannya menjadi PNS ia “sekolahkan” di bank untuk membeli skuter yang hingga kini masih dirawatnya. ”Dulu warnanya merah

marun, sempat ganti cat warna hijau dan belum setahun ganti cat putih,” kisahnya. Terbiasa hidup berpetualang, Agus merasa pekerjaannya sebagai PNS kurang menantang. Di luar pekerjaannya, ia lalu menjadi aktivis Partai Golkar. Pada 1997, ia malah menjadi anggota DPRD Sragen. Namun, baru setahun menjabat, reformasi bergulir dan terbitlah aturan yang melarang PNS menjadi anggota legislatif. Agus lebih memilih melepas pekerjaan PNS-nya meski tanpa uang pensiun maupun pesangon. Saat itu, pangkatnya sudah IIIC dengan jabatan sebagai Kepala Urusan Umum Depag Sragen. “Sejak itulah saya jadi politisi tenan. Sampai detik ini pun saya tidak punya naluri untuk berbisnis,” ungkapnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Sejam berbincang, ia menandaskan empat batang rokok dari dua merk rokok berbeda, kretek dan filter. q

Espos/Fetty Permatasari

l

Agus Fatchur Rahman SH MH

Dari Rendra sampai filosofi kopi

T

iba-tiba raut wajahnya berubah serius. Pandangannya mene- kaman pementasan Rendra pada 8 rawang. Agus Fatchur Rahmanteringat sejumlah momentum Januari 2005. dalam hidup yang kadang membuat semangatnya kendur. TaSelain kaset, Agus juga menyimpan pi, ia mengaku selalu punya jurus ampuh untuk menggedor sema- puisi tulisan tangan Rendra berjudul Sangatnya itu. ”Kalau sedang sumpek, saya baca puisi,” ungkapnya. jak orang kepanasan. Ia bahkan menempelnya di dinding ruang Agus membacakan sepenggal puisi karya Ismet Hadad berjudul dekat meja kerjanya. Dari puisi itu, ada satu baris yang membuatDoa Perahu. Tuhanku, beri tahu kini ke mana kan harus ku per- nya amat terpikat. ”Bunyinya begini, karena kami arus kali dan kagi//Ke muara menyongsong laut biru atau melawan arus menuju mu batu tanpa hati maka air akan mengikis batu,” ujarnya dengan bumi. ”Puisi ini jadi kredo. Hidup itu sedikit gaya berdeklamasi. pilihan,” ungkap lelaki yang hobi miTerpesona cerpen num kopi dan teh ini. Sejumlah orang dekatnya malah meDari penggalan puisi itu, Agus mengnyebut lidah Agus begitu cerdas meniaku paling tidak suka dengan orang lai kualitas teh dan kopi. yang arogan, sombong dan overakting Agus dan puisi ibarat dua sisi mata saat berkuasa. Belakangan tak hanya uang logam. Sejak lama, Agus jatuh puisi, Agus makin terpesona pada cercinta pada puisi. Ia selalu terkagumpen. Ia mengaku kumpulan cerita dan kagum pada nama Rendra yang sudah prosa Satu Dekade karya Dewi Lestadidengarnya sejak ia duduk di SD. Bari berjudul Filosofi Kopi telah dibaca ginya, puisi mengandung filosofi yang berulang-ulang. Benarlah, di meja rudalam tentang makna kehidupan. ang tamunya, buku itu tercecer memAgus merasa puisi banyak mengbaur dengan koran dan sejumlah buingatkan hidupnya. Saat kuliah, Agus ku antologi cerita pendek dan puisi mengaku banyak menghabiskan makarya Rendra maupun Sapardi Djoko lamnya dengan menonton teater. KaDamono. “Saya juga suka ngguntingi dang, ia juga ikut wedangan di depan puisi dari koran,” katanya. Pasar Beringharjo bersama para tokoh Sebagai penikmat puisi, Agus pun terkondang seperti Umar Kayam. gerak menuangkan sejumlah pikiranBagi Agus, momentum mengesannya dalam bentuk puisi. Namun, ia lekan ketika ia kali pertama melihat Renbih suka menuangkannya dalam bendra di Kridosono Jogja. Dari sana, ia tuk puisi singkat di Facebook. Di dinmerasa betapa sesungguhnya Rendra ding Facebook-nya malah nyaris semua adalah pembaca puisi yang baik dan kata-kata yang dituangkan beraroma artikulator yang bagus soal penderitapuitis. an rakyat. “Sejak itu saya berjanji suaSalah satunya yang ia tuangkan betu hari saya harus membawa dia ke lum lama ini berbunyi, Angin malam Sragen. Akhirnya, Januari 2005, sabergembira, dalam rasa merdeka, aku Espos/Fetty Permatasari ya bisa juga membawa Rendra ke Sraterjerat kenangan bersamamu. ”Itu sagen bersama Ken Zuraida,” ungkapnya BUKU PUISI—Agus membaca buku puisi Album Sajak-sajak at saya teringat sahabat saya yang besambil menunjukkan kaset video re- karya A Mustofa Bisri. Di depannya tergeletak buku Filosofi Kopi lum lama ini meninggal,” ungkapnya. q karya Dewi Lestari.

S

Selalu mengapresiasi kegiatan seni

utradara teater asal Solo, HanindaEspos Rabu (11/5) malam. wan, memang tak terlalu mendalam Selain pada acara tersebut, sekitar 2000-an, Hanindawan juga beberapa kali diundang oleh mengenal Agus Fatchurrahman. Namun, keduanya beberapa kali terlibat daAgus untuk mementaskan teater di Sragen. Halam kegiatan kesenian bersama. Salah sanindawan tak terlalu ingat nama acaranya. Tatunya ketika penobatan raja seni di Taman pi, Hanindawan masih ingat, ia mementaskan Budaya Jawa Tengah (TBJT) atau Taman lakon Nyai Ontosoroh ketika pentas di Sragen. Budaya Surakarta (TBS) pada 2005 yang “Kegiatan serupa selanjutnya, baik di TBS maudigelar oleh komunitas TBS, sejumlah sepun di Sragen, beliau juga masih support,” niman dan aktivis yang sering nongkrong Sebagai pelaku seni, Hanindawan salut terhkt hadap Agus yang semakin getol menghidupkan bersama di warung kompleks TBS. Hanindawan Saat itu, Agus bersedia menjadi sponsor dunia seni di Bumi Sukowati. Kesempatan menacara tersebut. Dari kegiatan itulah, Agus juga dinobat- jadi orang nomor satu di Sragen kini menurut Haninkan menjadi salah satu raja seni di Solo. “Di acara itu dawan, semestinya menjadi momentum emas untuk setahu saya beliau yang menyokong hadiah. Dari kegi- meningkatkan eksistensi dunia seni di Sragen. Baik daatan tersebut, saya melihat apresiasinya terhadap ke- ri sisi kuantitas maupun kualitas kesenian. “Karena dugiatan yang berhubungan dengan seni cukup tinggi,” nia seni itu sangat strategis untuk menjangkau berbaujar pemimpin Teater Gidag Gidig itu saat dihubungi gai hal,” ungkapnya. q

paten Sragen, 1995-1999 Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sragen, 1995-2000 l Sekretaris DPD II Partai Golkar Sragen, Istri 1999-2004 l Ketua DPD II Partai Golkar Sragen, Pendidikan 2004-2009 l SD Muhammadiyah Sragen, lulus 1967 l Ketua DPD II Golkar Sragen, 2009-2015 l SD Muhammadiyah Sragen, lulus 1967 l SMP Negeri 2 Sragen, lulus 1976 Pekerjaan l SMA Negeri 1 Sragen, lulus 1980 Lahir Alamat

D

: Sragen, 17 Juni 1962 : Jl Aipda KS Tubun 43 Kuwungsari, Sragen Kulon, Sragen : Wahyuning Harjanti

S1 Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja, lulus 1986 l S2 UNS Solo, lulus 2006 l

Organisasi Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabu-

l

l Anggota

DPRD Srgaen, 1997-1999 DPRD Sragen 1999-2001 l Wakil Bupati Sragen, 2001-2006 l Wakil Bupati Sragen, 2006-2011 l Bupati Sragen, 2011-2016 l Anggota

l

S

Sumber: wawancara q fey

Pembangunan karakter prioritas utama

ebetulnya perkenalan Agus dengan dunia sastra dimulai sejak kecil. Di bangku SD, sang nenek kerap meminjaminya buku cerita. Ada cerita yang hingga kini melekat di memori otak Agus. Cerita itu berbahasa Jawa yang berjudul Kumpule balung pisah karya Suparto Broto. Cerita itu mengisahkan sebuah keluarga yang amat bahagia tapi kemudian orangtuanya bercerai. Akhirnya anak-anaknya mengembara ke berbagai tempat. Setelah sekian lama, mereka bertemu kembali. “Saya membaca sampai nangis. Kalau sekarang, cerita seperti itu mungkin biasa. Dulu itu sesuatu yang tragis,” kenangnya. Selain cerita, sang nenek juga kerap menggelontor Agus dengan beragam berita dari koran maupun majalah. Sang nenek akan menceritakan sepotong, selebihnya Agus diminta membacanya sendiri. “Eneng cerita apik banget Gus neng koran. Nyoh wacanen dhewe ya,” ujarnya begitu menirukan ucapan neneknya. Tapi, dari pengalaman itu, Agus merasa

penanaman karakter gemar membaca oleh sang nenek melekat hingga kini. Demikian juga dengan penanaman kepedulian. Lewat membaca, secara tidak langsung si pembaca diajak peduli pada apa yang tercantum dalam sebuah cerita. “Dalam membangun Sragen ini, karakter manusianya itulah yang ingin saya bangun dulu,” ujarnya. Konkretnya, pembangunan karakter itu melalui pendidikan. Agus menilai mobilitas vertikal orang miskin bisa dilakukan ketika sekolah yang dibuat negara ini bisa memberikan bekal yang komplet. Praktis, sekolah harus memberikan pendidikan karakter yang bagus bagi anak. Konsekuensinya sekolah harus membekali dengan pengetahuan agama dan kearifan lokal yang memadai. “Saya membayangkan kalau anak Sragen wawasan ketakwaannya bagus, akan memberikan bekal komprehensif kepada mereka bersaing di berbagai bidang. Selanjutnya, Sragen bisa memberikan kontribusi terbaik bagi negara ini,” harapnya. q

Aktivis sejak belia

alam hidup Soetarman, 82, selalu Di almamaternya, dia selalu aktif menjadi koada saja hal bertaut dengan Agus ordinator reuni angkatannya. Saat menjadi Wakil Bupati, Agus populer dengan julukan pejaFatchurrahman. Soetarman berkisah ibunda Agus merupakan teman istribat yang suka nongkrong di warung hik. Ia sunya, sedangkan mertua Agus adalah sahaka membaur di kalangan akar rumput. batnya. Ketika ia dan istrinya menikah, kaKarena itulah, Soetarman langsung mendukek Aguslah yang menikahkan. “Jadi saya kungnya saat Agus mencalonkan diri menjadi mengenalnya sudah lama. Apalagi dulu di bupati. “Saya ikut menyemangati. Saya bilang, SMA, dia murid saya,” ujar mantan Kepakamu orang Sragen asli dan lulusan dari SMA la SMA Negeri 1 Sragen era 1975-an saat fey favorit di Sragen, punya bekal organisasi banyak, jadi mesti berani. Terbukti memang dia dijumpai Espos di rumahnya Jl Raya SuSoetarman kowati 5-7 Sragen, Sabtu (7/5). bisa,” ungkap kakek delapan cucu ini. Sebagai kepala sekolah, Soetarman tak pernah langSebagai orang yang lama berkecimpung di bidang pensung mengajar Agus. Tapi, anak didiknya itu kerap ber- didikan, ia berharap di masa kepemimpinan mantan siskomunikasi dengannya lantaran Agus merupakan akti- wanya ini, kualitas pendidikan di Sragen bisa diperbaivis OSIS. ki. “Terus terang saja pendidikan di Sragen sekarang kaTerang saja, setelah mulai terjun di masyarakat, Agus rut-marut. Jadi saya berharap betul bisa diperbaiki,” memang aktif di organisasi Muhammadiyah dan Parpol. pungkasnya. q


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.