Solopos edisi Selasa, 10 Mei 2011

Page 20

SOLOPOS

VIII

Selasa Pon, 10 Mei 2011

Membangun waralaba

Tak sulit tapi harus teruji

Pemimpin yang humble

S

osok pemimpin yang rendah hati (humble) mulai langka ditemui di negeri ini. Ironisnya, pemimpin yang ada saat ini menunjukkan arogansinya di setiap kesempatan. Banyak pemimpin yang Dok berpikir menjadi pemimpin Fatchiah E Kertamuda adalah melakukan tugas, memiliki otoritas, memiliki posisi untuk memberikan perintah kepada orang yang dipimpin, memiliki kemampuan untuk mendapatkan pengaruh atas orang lain karena kepandaiannya. Menjadi pemimpin yang humble berarti dia harus mendorong orang yang dipimpinnya dan memberikan mereka penghargaan dan pemimpin memberikannya sesuai haknya. Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin yang rendah hati perlu memiliki kemampuan yang tidak hanya sekadar pengetahuan, keterampilan dan bakat. Jim Collins (2005) dalam artikelnya berjudul Level 5 Leadership: A Triumph of Humility menyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang hebat, salah satunya dia harus mencapai level 5 dalam kepemimpinan. Level 5 merupakan level eksekutif, di mana seorang pemimpin telah memiliki ketahanan yang baik melalui kombinasi antara pribadi yang rendah hati dan sikap profesional. Namun, menurut Collins, mencapai level 5 tidaklah mudah karena seorang calon pemimpin haruslah melalui level atau tingkat sebelumnya. Adapun tingkat sebelumnya adalah level 1, highly capable individual. Pada level ini, seorang pemimpin baru membuat kontribusi yang produktif melalui pengetahuan, bakat, keterampilan dan kebiasaan baiknya dalam bekerja. Apabila dilihat, level ini merupakan tingkat awal untuk menguji keandalan kemampuannya dari berbagai hal. Melalui tahap ini merupakan hal yang akan membawanya memberikan suatu kemajuan bagi institusi yang dipimpinnya. Pada level 2 yaitu contributing team member, seorang pemimpin turut berkontribusi meraih prestasi dalam meraih tujuan kelompok. Selain itu, pemimpin juga bekerja secara efektif dengan orang lain dan mengatur kelompok yang dipimpinnya. Selanjutnya level 3 yaitu competent manager, peran pemimpin pada level ini adalah mengorganisir orang yang dipimpinnya dan sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai target dan tujuan yang telah ditetapkan. Faktor penting pada level ini adalah bagaimana pemimpin mampu bekerja sama dan sama-sama bekerja dengan orang-orang yang dipimpinnya agar visi misi institusi yang dipimpinnya dapat diraih. Pada level 4, effective leader, pemimpin mulai mengatalisis komitmen dan berusaha dengan kuat untuk mewujudkan visi dan menstimulasi kelompok untuk meraih kinerja yang tinggi. Pemimpin yang memiliki kemampuan ini akan dapat meraih suatu hasil yang diharapkan dengan terus memberikan motivasi dan semangat kerja dari orang-orang yang dipimpinnya secara bijaksana dan dengan penuh pertimbangan. Perjuangan Untuk melampau setiap level tersebut diperlukan perjuangan yang tidak mudah bagi seorang pemimpin. Setiap level tentu memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda bagi setiap pemimpin. Namun, bila semua level tersebut dapat dilalui meskipun sulit maka dia akan dapat menjadi pemimpin yang humble. Perlu usaha dan kerja keras dan juga ketulusan hati untuk dapat sampai pada level 5 sebagai eksekutif yang memiliki pribadi rendah hati dan juga kemampuan secara profesional. Penelitian yang dilakukan oleh Rowatt et al (2006) mengungkapkan untuk menjadi seseorang yang rendah hati diperlukan lima hal yaitu ketulusan (sincerity), kejujuran (fairness), terbuka (open-mindedness), respek terhadap orang lain, dan tidak arogan, egois atau sombong. Pareena G Lawrence seorang profesor Economics and Management dari University of Minnesota, USA, dalam tulisannya berjudul Neohumility/Humility and Business Leadership: Do they belong together? mengemukakan bahwa tingkat yang dasar dari suatu kondisi kerendahan hati (humility) adalah tidak sombong, bijaksana, sabar, peduli dan tulus. Kondisi tersebut akan mengantarkan seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin yang rendah hati sehingga dia akan berperilaku sopan dan mampu mengendalikan diri. Tampaknya beberapa hal tentang dasar untuk menjadi pemimpin yang rendah hati tersebut sangat sederhana dan mudah, tetapi dalam kenyataannya hal tersebut sangat sulit. Meskipun setiap orang merasa bisa/mampu tetapi tidak semua yang merasa sebagai pemimpin dapat melakukannya. Salah satu faktor penting mengapa hal itu terjadi adalah keinginan untuk melakukannya. Keinginan merupakan faktor yang memang hanya muncul dari dalam lubuk hati terdalam dari seorang pemimpin. Dan hal tersebut hanya mampu dilakukan seorang pemimpin yang humble dan memiliki karakter yang memang terbentuk tidak dalam sekejap. Namun sosok yang telah mampu melampaui banyak rintangan, tantangan dan telah dapat mengatasinya dengan penuh kematangan, kedewasaan sehingga dia menjadi pemimpin yang rendah hati. Meskipun masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat mewujudkan pemimpin yang diharapkan. Namun paling tidak, rendah hati bagi seorang pemimpin menjadi faktor penentu dalam menjalankan tugasnya. Dengan kerendahan hatinya maka setiap perilaku dan tindakannya akan menjadi cerminan diri positifnya dan tidak mementingkan keinginan dan kesenangan pribadinya. Akan tetapi, dia akan menjadi pemimpin yang peduli dan menghargai orang lain. Sudahkah pemimpin negeri ini memiliki paling tidak tingkat dasar agar menjadi rendah hati? Pertanyaan ini penting untuk menjadi pertimbangan dan introspeksi diri bagi setiap orang yang memiliki otoritas dan pengaruh kuat di lingkungannya. q JIBI/Bisnis Indonesia

Bukan jalan cepat

Espos/Adib Muttaqin Asfar

DARI KLINIK KECIL—Outlet Nakamura di Solo Grand Mall, beberapa waktu lalu. Butuh waktu tiga tahun bagi Gus Minging DS, pemiliknya, untuk menjadikan klinik ini menjadi waralaba.

l Oleh: Adib Muttaqin Asfar bota, Nakamura, Bebek Goreng Pak Slamet, Donutsboyz dan Simranchise atau wara- ple Fast. Di luar itu, sebenarnya laba kini tengah boo- ada banyak produk yang berpoming. Di Solo, ca- tensi pasar bagus namun belum bang-cabang usaha dijadikan sebagai waralaba. bermodel waralaba “Sebenarnya ada yang menajuga menjamur, mu- wari saya untuk menjadikan ini lai dari bisnis makan- sebagai franchise tapi saya masih an hingga jasa. Namun, waralaba mempelajari dan belum pengalamdi kota ini masih didominasi oleh an mengelolanya,” kata Dadang label-label asal Jakarta, Jogja, Ban- Hidayat, pemilik Terang Bulan Midung dan Semarang. ni Mandiri, beberapa waktu lalu. Meski jumlahnya masih lebih Usaha makanan ini kini sudah sedikit dibandingkan dengan la- memiliki tiga cabang di Kartasubel luar kota, beberapa produk ra namun semuanya belum berasal Solo kini mulai berekspansi bentuk waralaba. Ketiganya make luar kota dengan model wa- sih berbentuk cabang yang dikeralaba. Sebut saja Istibank, Ro- lola sendiri oleh Dadang.

F

Melakukan ekspansi usaha dengan sistem waralaba memang tidak asal-asalan. Biasanya ada proses panjang yang harus dilalui oleh sebuah usaha sebelum dijadikan waralaba. Tahapan tersebut bisa menjadi ukuran apakah sebuah usaha layak menjadi diwaralabakan atau tidak. Waralaba-waralaba besar asal Solo yang kini tengah berkibar juga lahir dengan proses yang panjang. Umumnya mereka butuh waktu beberapa tahun untuk bisa menjadi besar, baru kemudian berekspansi sebagai waralaba. “Idealnya waralaba itu kan menjual nama, bukan hanya jual produk. Jadi produk ini harus dike-

nal dulu oleh banyak orang,” kata Joko Sutrisno, pemilik Istibank, lembaga pendidikan yang sudah lama menjadi waralaba. Karena menjual nama, produk yang ditawarkan memang sudah harus teruji terlebih dahulu di pasar. Menurut Joko, usaha ini pun juga harus teruji sebagai usaha yang menguntungkan. Jadi sebelum menjadi waralaba, sebuah usaha harus sudah untung atau balik modal terlebih dahulu. Menurut Joko, sebuah produk paling tidak harus sudah bertahan lima tahun sebelum jadi waralaba. Hal ini penting karena orang yang berhati-hati akan memperhitungkan lamanya usa-

Gus Minging mengingatkan agar waralaba tidak dipandang sebagai cara cepat untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Memang ada banyak usaha yang dengan cepat tumbuh menjadi waralaba. Namun menurut dia, itu bukan proses yang bagus untuk membangun usaha. Memang tak ada standar khusus berapa buah cabang yang disyaratkan sebelum menjadi waralaba. Nakamura ditawarkan menjadi waralaba setelah memiliki enam cabang. Lain lagi dengan Istibank yang sudah memiliki 17 cabang sebelum menjadi waralaba seperti saat ini. Lain lagi dengan cerita Solo Leker yang telah menjadi waralaba hanya dalam hitungan bulan. Usaha yang awalnya hanya memiliki dua outlet di Solo ini dengan cepat tumbuh menjadi waralaba dengan lebih dari 55 mitra di seluruh Indonesia. Namun, perkembangan itu juga tidak terjadi dengan instan. Nama usaha ini dikenal dengan promosi yang kuat dari pemiliknya, khususnya melalui dua raksasa supermarket Indonesia, Hypermart dan Carrefour. “Ini memang berkembang pesat setelah kami berhasil masuk ke supermarket itu,” kata Hardiyanto Setyadi, salah satu pemilik Solo Leker. q

Buka cabang dulu, baru waralaba

P

ada Februari 2004, Gus Minging masih belum jadi apa-apa. Dia baru saja membuka praktik terapi tradisional Nakamura yang dipelajarinya saat masih bekerja di Jepang. Saat itu orang belum kenal namanya, apa lagi nama kliniknya yang masih dianggap sama saja dengan jasa pijat biasa. “Sudah lokasinya di Pasar Legi, jasanya pijat lagi. Awalnya ini benar-benar sulit,” kenang Gus Minging. Maka, menjadi sebuah usaha yang berekspansi dengan model waralaba seperti saat ini belum terbayang di benaknya kala itu. Gus Minging saat itu hanya membuka praktik di rumah milik orangtuanya. Bukan hanya menjadi pengelola tapi terapis yang merangkap pelatih sekaligus kasir. Meski demikian, dia sudah punya satu keyakinan. “Ini bukan tempat terakhir tapi baru yang pertama.” Keyakinannya memang tak langsung berbuah manis. Butuh waktu baginya untuk mendapat kepercayaan khalayak yang pada saat itu belum banyak mengenalnya. Yang jelas, jasa terapinya saat itu memang belum bisa berekspansi sebagai waralaba. Perlahan-lahan setelah menjadi ramai, dia belajar membuka cabang baru.

Usulkan tema berikutnya Pembaca SOLOPOS bisa berperan serta mengusulkan tema liputan FOKUS Muda dan FOKUS Kreatif berikutnya, melalui SMS ke nomor 08112 724811.

ha sebagai poin penilaian. “Orang yang mau ambil franchise berhak mempertanyakan detail pengelolaan keuangannya, dia berhak meng-crosscheck ke masingmasing outlet,” lanjut Joko. Karena itu, sebuah usaha yang ingin berekspansi dengan sistem waralaba harus berani buka-bukaan tentang keuangan usahanya. Jika tidak, ini akan mengurangi kepercayaan orang untuk menjadi mitra. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gus Minging DS, pendiri Nakamura yang bergerak dalam jasa klinik terapi pemijatan. Menurutnya, waralaba bukan sebuah sistem yang bisa diterapkan asal-asalan. Butuh waktu dan proses untuk membuktikan bahwa sebuah usaha layak dijual namanya sebagai waralaba. “Mengelola satu tempat usaha itu berbeda dengan dua tempat, beda lagi dengan tiga tempat, belum lagi 10 tempat. Jadi harus belajar mengelola dulu.” Menurut dia, kemampuan seorang pengusaha untuk mengelola lebih dari satu tempat usaha harus benar-benar teruji. Hal ini terkait dengan kesiapan untuk menjamin berbagai masalah, seperti kesiapan suplai produk, suplai SDM, sampai standardisasi pelayanan. Paling tidak, ketiga hal ini sudah bisa terjamin.

Istibank

Letaknya tak jauh-jauh, yaitu di Goro Assalam. Cabang itu bahkan sempat nyaris ditutup sebelum perkembangan pelanggan yang datang ke Nakamura. Sambil membuka cabang baru, dia belajar banyak tentang pasar, pembukuan, pengelolaan SDM dan seluk-beluk perusahaan dari pengusaha-pengusaha di luar Solo. Maklum, saat itu belum banyak pengusaha Solo yang menerapkan sistem waralaba. “Ya itulah perjalanan yang seharusnya dilalui setiap pengusaha. Sebelum jadi franchise, mesti tahu dulu rasanya jadi kasir, mengelola cabang dan karyawan,” terangnya. Laki-laki berkaca mata ini butuh waktu tiga tahun lamanya untuk siap berekspansi dengan sistem waralaba. Hingga 2007, Nakamura sudah memiliki enam cabang di Solo, Klaten dan Sragen. Setelah itu Gus Minging tidak serta-merta hanya memakai sistem waralaba untuk membuka lokasi baru, namun juga sistem cabang. Cabang pertama di Jogja misalnya, semula memang benar-benar berstatus cabang yang dikelola secara langsung. Namun selanjutnya cabang tersebut ditawarkan ke mitra sebagai waralaba. Proses yang hampir sama juga dilalui Joko Sutrisno saat membangun jaringan Is-

tibank. Awalnya, dia juga hanya memiliki satu cabang dan belum berpikir akan menjadikannya sebagai waralaba. Lembaga pendidikan ini sudah beroperasi cukup lama, 10 tahun, sebelum menjadi waralaba. Waktu itu, Joko sudah memiliki 17 cabang. “Sebenarnya untuk mengukur kelayakannya ya tiga cabang tapi saya baru mulai setelah punya 17 cabang,” terang Joko. Bagi Joko, mengelola bisnis waralaba adalah belajar on business karena harus bisa mengelola usaha sendiri. Karena itu, sebelum menjadikan Istibank sebagai waralaba, dia juga membeli waralaba lain yang berbasis di luar kota. Dia sendiri belajar mewaralabakan usaha di sebuah lembaga pendidikan entrepreneurship yang juga jadi waralaba. Kini, Istibank memiliki 36 cabang di seluruh Indonesia. Ada yang waralaba dan ada juga yang berstatus sebagai cabang. Setelah menjadi waralaba, akses untuk berekspansi memang semakin luas dengan banyaknya jalan untuk memasarkannya. Menurut Joko, waralaba memungkinkan sistem marketing yang tidak bisa ditemukan dengan sistem cabang biasa. Waralaba bisa ditawarkan melalui komunitas yang sebelumnya sudah dimiliki. Selain itu waralaba juga bisa ditawarkan melalui pameran franchise yang diselengga-

Tahap mewaralabakan usaha Persiapan 1. Menyiapkan perangkat waralaba seperti SOP, perjanjian kerja sama dan perangkat hukum. 2. Usaha sudah berjalan minimal dua hingga lima tahun tergantung jenis dan kondisi usaha. 3. Minimal memiliki tiga outlet atau cabang. Sifat waralaba Waralaba pasti ada biaya yang timbul, yaitu franchise fee dan royalty fee. Franchise fee biasanya dibayarkan untuk lima tahun sebagai penjualan nama. Biasanya besaran ditentukan 10% dari hasil bisnis per bulan. Sementara royalty fee adalah biaya per bulan. Sistem marketing l Komunitas, yaitu melalui komunitas pengusa-

ha atau entrepreneurship di berbagai kota. l Pameran franchise l Seminar-seminar, khususnya tentang warala-

ba. l Iklan di media massa Sumber: hasil wawancara

rakan secara roadshow ke berbagai kota. “Tapi yang paling efektif adalah seminar how to franchise. Biasanya orang datang untuk belajar membuat waralaba tapi di situ bisa disisipkan tawaran waralaba kami,” ungkap Joko. q


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.