Buletin Sidogiri edisi 65

Page 40

CAKRAWALA

ARTIKEL

an-Nawawi mengatakan: “Menurut para ulama Hadis, fikih, dan lainnya, mengamalkan Hadis dha‘îf tentang fadhâ’ilul-a‘mâl, targhîb (motivsasi) dan tarhîb (peringatan), diperbolehkan dan disunahkan selagi tidak sampai pada taraf palsu.” Lebih lanjut an-Nawawi mengatakan: “Menurut para ulama Hadis, fikih, dan lainnya, mengamalkan Hadis dha‘îf tentang fadhâ’ilul-a‘mâl, targhîb (motivsasi) dan tarhîb (peringatan), diperbolehkan dan disunahkan selagi tidak sampai pada taraf palsu.” Selain itu, sebagaimana dikutip al-‘Allamah al-Laknawi dalam al-Ajwibah al-Fadhîlah, Ibnu Hajar al-Haitami juga memaparkan sebuah kesimpulan akan bolehnya beramal dengan Hadis dha‘îf. Al-Haitami berkata, “Para ulama telah sepakat akan bolehnya mengamalkan Hadis dha‘îf dalam masalah fadhâ’ilula‘mâl. Karena jika faktanya Hadis itu justru shahîh, berarti ia telah mendapatkan haknya karena telah diamalkan. Dan jika sebaliknya, maka tidak ada efek negatif yang berupa penghalalan, pengharaman, dan mennyia-nyiakan hak sebab mengamalkannya.” Namun demikian, kelompok ini, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hajar al-Haitami, juga menetapkan beberapa syarat untuk mengamalkan Hadis dha‘îf dalam urusan fadhâ’ilul-a‘mâl. Pertama, tingkat ke-dha‘if-an Hadis tersebut tidak terlalu parah. Karena itu Hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang pendusta, atau yang diduga pendusta dan orang yang kekeliruannya berakibat fatal,

40

BULETIN SIDOGIRI.EDISI 65.MUHARRAM.1433

tidak bisa diamalkan. Kedua, Hadis tersebut terhimpun dalam sebuah dasar umum yang diterima. Sehingga kandungan Hadis yang sifatnya mengada-ada (ikhtirâ’) yang tidak memilki suatu dasar umum tertentu juga tidak bisa diamalkan. Ketiga, ketika mengamalkan Hadis dha‘îf, seseorang tidak boleh berkeyakinan akan ketetapan Hadis itu. Demikian agar ia tidak menisbatkan pada Nabi  suatu perkataan yang tidak pernah beliau katakan. Melainkan ia mengerjakannya semata-mata sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyâth) kalau perkataan itu pada kenyataanya adalah perkataan Nabi . Kesimpulannya, jika mengikuti pendapat mayoritas ulama, maka kita bebas, bahkan dianjurkan, untuk mengamalkan Hadis-Hadis fadhâ’ilul-a‘mâl yang statusnya dha‘îf, asalkan mengikuti syaratsyarat yang telah ditetapkan. Karena itu, menurut penulis, orang-orang yang getol menyampaikan Hadis-Hadis dha‘îf, baik di podium, mimbarmimbar dakwah, di majelis-majelis taklim, atau di manapun, perlu memberitahukan status Hadis tersebut kepada para audiens. Tujuannya agar orang yang mengamalkan Hadis tersebut tidak berkeyakinan bahwa Hadis itu benar-benar datang dari Nabi  sebagaimana syarat ketiga di atas. Dan tentu saja hal ini hanya bisa terpenuhi apabila yang menyampaikan Hadis itu paham akan status Hadis yang ia sampaikan. Wallâhu a‘lam. Badrus Sholeh SH/BS


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.