Buletin Sidogiri edisi 65

Page 39

perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan hukum penggunaanya. Dari hasil penelitian penulis terhadap kitabkitab mustalahul-hadîts, didapati tiga kelompok pemikiran yang saling berbeda pendapat dalam persoalan ini. Kelompok pertama, berpendapat bahwa Hadis dha‘îf tidak boleh digunakan dalam hal apapun, baik yang berkaitan dengan fadhâ’ilul-a‘mâl (keutamaan-keutamaan) atau penetapan hukum halal-haram. Pendapat ini diafiliasikan kepada Abu Bakar bin al-Arabi yang dikuti oleh Syihab al-Khafaji dan Jalal ad-Duani. Kelompok kedua berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, Hadis dha‘îf bisa digunakan dalam semua permasalahan, termasuk dalam permasalahan halal-haram dan hukum-hukum yang lain (meski kemudian term dha‘îf dalam pendapat ini diarahkan pada Hadis yang taraf ke-dha‘îf-annya tidak terlalu parah. Sebab para ulama tidak menggunakan Hadis dengan taraf ke-dha‘îf-an yang tinggi). Hal demikian apabila dalam suatu bab memang tidak ditemukan dalil selain Hadis dha‘îf tersebut, serta tidak ada keterangan yang bertentangan dengannya. Ini merupakan pendapat sebagian ulama-ulama penting seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Abi Daud. Bahkan al-Mawardi mengatakan bahwa Imam asySyafii juga menggunakan Hadis mursal sebagai hujjah ketika tidak menemukan dalil lain selain itu. Adapun mengenai perkataan Imam Ahmad yang berupa “Hadis

yang dha‘îf lebih baik daripada pemikiran yang kuat”, para ulama telah mentakwilnya. Menurut mereka, apa yang dikehendaki oleh Imam Ahmad dengan kata dha‘îf memilki makna yang berbeda dengan arti dha‘îf yang dipahami secara umum. Dha‘îf yang dikehendaki Imam Ahmad adalah Hadis hasan. Sebab Imam Ahmad hanya membagi Hadis menjadi dua macam, yaitu shahîh dan dha‘îf (karena tidak memenuhi standard maksimal Hadis shahîh). Sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa mengamalkan hadis dha‘îf yang tidak berkaitan dengan permasalahan hukumhukum syariat dan akidah, seperti urusan fadhâ’ilul-a‘mâl yang berisi kesunatan-kesunatan (mustahabbât) dan ha-hal yang dimakruhkan (makrûhât) justru diperbolehkan, dan bahkan disunahkan. Demikian ini merupakan pendapat mayoritas ulama ahli Hadis, fikih, dan lainnya. Imam an-Nawawi merupakan salah satu ulama yang sangat tegas menganjurkan untuk mengamalkan Hadis-Hadis dha‘îf dalam urusan fadhâ’ilul-a‘mâl. Dalam al-Adzkâr ia menulis: “Bagi orang yang menerima suatu keterangan tentang fadhâ’ilula‘mâl dianjurkan baginya untuk mengamalkannya, sekalipun hanya satu kali, agar ia tergolong sebagai ahlinya. Dan tidak seharusnya ia meninggalkannya sama sekali, melainkan mengamalkan semampunya. Karena Rasulullah  bersabda: “Jika aku perintahkan sesuatu pada kalian, maka kerjakanlah semampunya.” (Muttafaq ‘Alaih).

Bahkan alMawardi mengatakan bahwa Imam asy-Syafii juga menggunakan Hadis mursal sebagai hujjah ketika tidak menemukan dalil lain selain itu.

BULETIN SIDOGIRI.EDISI 65.MUHARRAM.1433

39


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.