Flores Vernacular Architecture

Page 54

footnotes.

_052.

Di tiap tempat yang disinggahi, nenek moyang Suku Atarobo selalu mendirikan kampung lengkap dengan tubu (tugu) dan kanga (pelataran) untuk melakukan upacara adat, yang letaknya di tengah-tengah kampung. Di samping itu, mereka juga membuat pekuburan batu dan potu (tempat berlindung dari serangan musuh). ii Bangunan untuk meletakkan benda keramat. iii Selama perjalanan, mereka selalu menggunakan parang untuk membuka hutan. iv Nara sumber : Bpk. Miguel Meja , Kepala Urusan Umum Desa Wolotopo v Bertugas sebagai penasehat. vi Ciptaan Kobus Ari, biasanya dinyanyikan di saat melakukan tarian Ule Lela Nggewa . vii mengiringi Tari Tandak viii seharunya keempat alat musik ini diletakkan di Keda. Namun sekarang diletakkan di Sao Atalaki agar tidak hilang. ix Proses Buka ladang : 1) Waktu untuk buka ladang ditentukan oleh Musolaki, pada saat berkumpul di rumah adat. Upacara ini sendiri adalah dengan menan capkan parang di sebuah tempat di atas bukit. Lamanya proses buka ladang sekitar 1 – 2 bulan. Tarian yang digunakan di upacara ini adalah Tari Gawi. 2) Tanah di Wolotopo dianggap tidak berharga secara uang. Ladang milik tuan tanah harus ditebus dengan kepala babi. 3) Pada saat panen bengkuang, seluruh warga bangun di waktu dini hari di rumah masing-masing untuk membersihkan bengkuang sampai putih. Pagi harinya langsung dijual ke pasar. 4) Sekarang, pada saat panen maka akan diadakan pemberkatan di gereja. Persembahan akan diberikan ke gereja untuk dimakan pastur. Begitu juga pada saat pencarian bibit baru, akan diadakan upacara pemberkatan di gereja. 5) Pada saat musim memetik kelapa, harus ada salah satu anggota musolaki (laki kena) untuk memetik kelapa terlebih dahulu, yang akan diikuti warga yang lainnya. Jangka waktu memetik kelapa adalah 3 bulan. Setelah itu batang diikat dengan janur sebagai tanda kelapa tersebut tidak boleh dipetik lagi sebelum diijinkan oleh Musolaki . x Jika ia berhalangan hadir, maka dapat digantikan oleh anak laki-laki kedua. xi Disebut paaloka, berupa makanan (nasi, daging, dan buah). Sesembahan ini juga dilakukan untuk kesembuhan penyakit. xii berupa pemotongan babi atau ayam. Pemotongan dan proses masak-memasak harus dilakukan di luar rumah. Setelah itu dibawa ke dalam rumah, untuk diletakkan di pusat rumah sebagai sesembahan kepada nenek moyang. xiii Posisi ini untuk rakyat biasa. Berbeda dengan Musolaki. xiv Sebelah timur xv sebelah barat. xvi Bagian inti rumah adat yang berisikan benda-benda pusaka. xvii Bentuk dari kuburan adalah berupa tumpukan batu yang diambil dari hutan dengan cara dipikul , diikat tali, dan kayu. Menyerupai bentuk meja. Saat ini, bentuk kuburan sudah seperti bentuk kuburan secara universal. Selain karena repotnya membawa batu dari hutan, juga karena ajaran Agama Katolik. xviii Tubuhnya diikat dengan benang tenun agar tidak jatuh. xix Tarian ini menggambarkan kegembiraan. xx Dilakukan selama 1 hari. Tata cara penguburan seperti ini dilakukan terakhir kali pada tahun 2000, untuk Musolaki Kenai, namun tanpa diiringi tarian. Hal ini disebabkan karena telah menurunnya keyakinan terhadap nenek moyang. xxi Seseorang yang dianggap berjasa bagi suku Lio. Karena telah memenangkan perjuangan melawan Kilasega dan Delaroga. Ia merupakan pemimpin pertama sebelum adanya struktur Musolaki. xxii Ukiran kepala kerbau. Ukiran 3 dimensi ular dan biawak yang terletak pada 6 kolom struktur Keda Kanga. Ukiran tersebut dipercayai disemayami oleh jin yang menjaga. xxiii Pada upacara pernikahan, mempelai menuggu di depan pintu untuk dipanggil masuk Gereja oleh Pastur. Berbeda dengan tata cara Eropa dimana mempelai sudah berada di dalam sebelum Pastur masuk. Contoh lainnya adalah adanya upacara pemberkatan benih di Gereja sebelum upacara adat penanaman benih. Bertujuan untuk meminta restu dari Tuhan agar mendapatkan hasil panen yang baik. Pada saat panen, diadakan upacara syukur panen yang berbentuk pemberian hasil panen pada Gereja. xxiv Antara lain adalah rupi veko (suling), gendang dari kulit sapi, rotan , ubi kayu. xxv Antara lain adalah bambu, panah dan busur bambu (wo’o le’e) xxvi Antara lain adalah berwaja (tungku), ngesu (ulekan) xxvii Suku Ndona, Ngalupolo, dan Delaroga. xxviii Altar untuk pemujaan. xxix Sebagai tanda kepemilikan tanah atau bukti daerah kekuasaan. xxx Didiami oleh Suku Lena. xxxi Didiami oleh Suku Dikarabu dan Rabulaki. xxxii Didiami oleh Suku Fongi dan Da. xxxiii Rumah-rumah adat tambahan tersebut merupakan rumah tinggal untuk para keturunan dari 3 rumah adat pertama tadi. Juga untuk para pendatang baru yang diberi lahan karena telah membantu perang melawan suku Tugalero. Pada perkembangannya, rumah-rumah adat baru tersebut akhirnya berganti menjadi rumah biasa, karena pertimbangan materi-materi bangunan yang tidak tahan lama, seperti atap asli yang terbuat dari rumbia, dirubah menjadi atap seng. xxxiv Bagian depan desa/sekitar pintu masuk desa. Dimana terdapat gereja, kantor desa, balai desa, dan sekolah-sekolah. xxxv Seperti kantor kepala desa dan balai desa. xxxvi Seperti orientasi kepada jalan didepan rumahnya, ke arah matahari terbit, atau ke arah sumber air. Bahkan pemerintah juga menghimbau agar rumah-rumah menghadap ke jalan serta harus memiliki pintu depan dan belakang. Yang masih dan akan selalu berorientasi ke arah Keda Kanga dan tugu batu adalah ketiga rumah adat utama tadi. Dahulu tidak boleh membangun rumah di dekat Keda Kanga. Namun karena tidak ada lahan lagi dan perkampungan semakin padat, akhirnya rumah-rumah dibangun di sekitar Keda Kanga. Selain itu, dahulu sebenarnya rumah juga tidak boleh berada di dataran yang lebih tinggi dari Keda Kanga. i

Arsitektur Tradisional Flores


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.