Flores Vernacular Architecture

Page 1


ARSITEKTUR

FLORES

Arsitektur Tradisional Flores



_002.

index.

Contents

Wolotopo

Introduction

4

Acknowledgements

176

Participants

178

Colophon

179

Picture of participants 180

Bena

Lokasi Sejarah Sistem masyarakat Religi Mata pencaharian Pola perkampungan Hunian

8 10 12 17 22 24 30

Lokasi Sejarah Sistem masyarakat Religi Mata pencaharian Pola perkampungan Hunian

54 56 56 64 66 66 77

Footnotes

52

Footnotes

92

Arsitektur Tradisional Flores


_003.

index.

Nage

Wogo

Todo

Lokasi Sejarah Sistem masyarakat Religi Mata pencaharian Pola perkampungan Hunian

94 96 96 100 100 100 105

Lokasi Sejarah Sistem masyarakat Pola perkampungan Hunian

116 118 118 119 123

Lokasi Sejarah Sistem masyarakat Religi Mata pencaharian Pola perkampungan Hunian

142 144 144 148 152 154 159

Footnotes

114

Footnotes

141

Footnotes

174

Arsitektur Tradisional Flores


introduction. Pulau Flores kaya akan pernyataan arsitektur setempat yang berakar dari tradisinya. Arsitektur dalam hal ini terbungkus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan seharihari suatu masyarakat bertradisi kuat seperti yang berada di lokasi-lokasi Flores yang terjajaki oleh regu penyusun buku ini. Oleh sebab itu isi laporan perlu menutur tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial kebudayaan dan ekonomi yang dalam hal ini berupa pertanian dengan pencukupan diri. Gejala ekonomi pasar mulai merasuki wilayah mulai terlihat, dan tak terhindarkan. Kekayaan khasanah arsitektur yang terkandung di atas pulau ini tak mungkin diungkapkan dalam satu dua buku dalam format terbatas. Dalam keterbatasan itu pula buku ini hadir sebagai hasil catatan kunjungan mahasiswa arsitektur FTUI ke Pulau Flores selama dua minggu pada bulan Agustus 2002. Dalam keterbatasan waktu, catatan ini hanya mengungkapkan seluk beluk hubungan rupa dan kehidupan di lima daerah Flores Tengah, yaitu Wolotopo, Bena, Nage, Wogo, dan Todo. Kerincian masing-masing daerah berbeda, sesuai dengan jangka waktu kunjungan, kekayaan keterangan yang terkumpulkan, dan daya cerna regu peliput. Kesulitan dalam mengungkapkan kelima masyarakat bertradisi kuat ini adalah bahwa semua keterangan, selain artefak yang tertinggal, berupa lisan. Waktu kunjungan yang singkat menyulitkan regu penjajak menggali lebih dalam sehingga mereka tak mampu memeriksa silang terhadap keterangan lisan ini. Dalam hal ini paparan dalam laporan buku ini merupakan suatu upaya terakhir terhadap data yang mampu regu penjajak kumpulkan dan susunkan menurut kategori yang ditentukan sebelum terjun ke lapangan. Dari segi itu, apa yang diungkapkan buku ini masih

_004. membuka ruang untuk diperiksa dan diperbaiki oleh siapa saja yang kemudian berminat melakukannya. Di lapangan, anggota regu penjajak berupaya mengungkapkan apa yang dipaparkan oleh informan mereka. Paparan buku ini sedapat mungkin beranjak dari sudut pandang masyarakat. Regu penjajak tidak memberi penilaian tentang baik atau buruk, juga tidak berprasangka terhadap nilai kearsitekturan dari sudut pandang mata pelajaran yang mereka peroleh di bangku kuliah. Hal tersebut mereka lakukan demi mendapatkan pandangan orang dalam (emic), bukan pandangan yang sudah tersusun dari semula. Sepintas keadaan tersebut tampak bertentangan dengan kategori yang dibawa sebelum mereka terjun ke lapangan. Kategori yang dibawa hanyalah sejenis panduan agar ada pembagian kerja bagi semua anggota yang terlibat. Namun keterangan yang mereka peroleh tidak dianalisis menurut suatu tata nilai yang ditentukan dari luar (etic). Arsitektur dalam paparan ini terkait erat dengan kehidupan yang sarat dengan tradisi yang lahir dari kehidupan bertani di atas lahan yang mengendalakannya. Pertanian menuntut penguasaan pengetahuan tentang musim, kandungan tanah, dan tata air. Penguasaan unsur alam itu menuntut teknologi yang sesuai agar masyarakat bersangkutan mampu bermukim lama sesuai dengan dukungan sumberdaya yang tersedia dalam teritori yang dikuasainya. Untuk bertahan hidup masyarakat setempat tunduk pada tata aturan sosial dan hukum yang mengikatnya. Arsitektur tunduk pada aturan tata ruang yang termasuk di dalam seperangkat aturan tata masyarakat. Jika arsitektur mengacu ke tata ruang yang bermakna bagi pembuat dan pemakainya, maka kita akan menemukan tata ruang yang Arsitektur Tradisional Flores


introduction. khas sebagai antartindak manusia dengan lingkung alam melalui tata sosial dan budaya mambangun. Dalam kajian arsitektur yang dihasilkan sebuah masyarakat bertradisi kuat, pemahaman faktor sosial budaya amat kental. Segi sosial budaya meliputi segala hasil pemikiran manusia, hanya keadaan alam seperti iklim dan tapak, dari sekian banyak unsur arsitektural, yang terluput dari segi tersebut. Penjajakan regu penyusun buku ini memahami arsitektur melalui pemahaman terhadap faktor sosial budaya. Oleh sebab itu mereka perlu memahami sejarah, sistem masyarakat, kepercayaan, teknologi membangun, dan sistem mata pencaharian yang mencakup cara berhuni di atas bumi ini. Setiap gugus permukiman bermula dari saat penduduk menempati suatu lokasi yang mereka pilih sesuai dengan kriteria yang tunduk pula pada aturan yang menradisi. Lokasi selalu memberitahu kita tentang hubungan tempat tertentu dengan lingkungan yang lebih luas dan nisbi terhadap tempat lain. Kisah suatu masyarakat pemukim akan mengungkap cara mereka tiba dan membangun lokasi itu dan kemudian bertahan hidup di situ. Dari situ pula terungkap cara mereka menetap, menglasiďŹ kasi lingkungan secara simbolik, menata sesuai dengan sistem masyarakat yang melibatkan seperangkat nilai, termasuk pola kepercayaan dan turunannya berupa hirarki serta ritus yang memaknakan ruang hidup kelompok. Cara membangun tampaknya tak terlepas dari perangkat nilai tersebut dan teknologi terbingkai sejauh permukiman tersebut masih terbelenggu di dalam teritorinya hingga ada perkenalan para penganutnya dengan dunia luar. Nilai mereka akan tertentang pada saat terjadi persinggungan nilai. Di sini menarik untuk kita saksikan bagaimana suatu masyarakat yang

_005. nisbi terasing mempertahankan nilai lamanya melalui ungkapan ruang dan bangunan yang melingkunginya. Wolotopo, yang mengambil porsi terbesar dalam paparan isi, membuka pintu perkenalan penyusun buku ini ke pembaca. Desa ini belum lama, sejak 1990an terbuka dari keterkucilannya terhadap dunia luar, berkat terobosan transportasi yang pada akhirnya memudahkan dunia yang nisbi terselubung (kecuali bagi Misionaris Katolik) berhubungan dengan masyarakat ini. Dengan kemudahan pencapaian maka masyarakat Wolotopo akan meningkatkan hubungan dengan dunia luar dan mendapat tantangan luar biasa terhadap nilainilai tradisi mereka. Desa ini melaksanakan pemamongan yang tunduk pada peraturan leluhur dan juga pada peraturan pemerintah Republik Indonesia. Sistem pemamongan demikian tidaklah aneh dan masih merupakan suatu upaya menyelaraskan bentuk pamong dari luar (Indonesia) dengan dalam (suku-suku yang telah bersepakat). Keadaan demikian tentu mengingatkan kita pada penyusunan ulang teritori mental dalam menghadapi bahasa penghancuran teritori mental yang sudah menjadi citra alam bawah sadar sekelompok manusia. Penyesuaian tentu memerlukan perjuangan. Tampak lapisan-lapisan pemahaman yang saling bertumpangtindih. Dalam tata olah pertumpangtindihan tentu ada pori-pori mental yang saling membocorkan aliran paham, menggambarkan tata olah penyatuan, perselisihan, dan bahkan persisihan selama bermukim. Hasil wujud budaya yang regu penjajak gambarkan merupakan sesuatu yang tampak, namun dapat kita anggap sebagai suatu bekas yang menyelubungi suatu keadaan. Jika jeli seorang pengamat akan mampu membaca dan menampilkan apa yang tak diungkapkan. Ungkapan demikian jelas tercuat Arsitektur Tradisional Flores


introduction.

melalui ritus, benda kramat, dan klasiďŹ kai simbolik. Ungkapan demi ungkapan yang menjalar dari satu segi kehidupan ke segi lain, termasuk dalam membangun. Membangun merupakan suatu hasrat manusia. Tradisi membangun menurunkan kecendekiaan para leluhur masyarakat Wolotopo dalam menghadapi kehidupan. Mulai dari penentuan lahan, yang dalam hal ini puncak sebuah bukit, para leluhur masyarakat Wolotopo menyucikan lahannya yang hingga kini menjadi pusat arah bangunan menghadap. Pengelompokan bangunan menunjukkan pembagian kelompok yang bermukim. Tata ruang mengisahkan bahwa di balik keseragaman wujud bangunan ada kerumitan pembentukan yang mencakup perembukan beberapa suku yang membagi ranah bermukim. Seorang pengamat tak mungkin tak takjub pada saat meninjau kehadiran bangunan-bangunan awal Wolotopo yang menempati lereng dan mencobakan teknik konstruksi yang penuh resiko. Seluruh pernyataan kehadiran bangunan mengundang pertanyaan: bagaimana cara menancapkan tiang di atas tumpukan batu yang memperkuat lereng itu menyangga bangunanbangunan yang membuktikan diri telah selamat dari beberapa kali serangan gempa bumi dahsyat yang melanda Flores? Dari dunia Lio regu penjajak melintasi ranah Bajawa; yaitu Kampung Bena, Kampung Nage, dan Kampung Wogo. Ketiga Kampung ini meski memiliki kesamaan konsep penempatan ranah sakral, memiliki perbedaan yang mencerminkan permasalahan yang dihadapi dan peneyelesaian yang berbeda pula. Ketiga kampung itu menampilkan sosok bangunan dan susunan ruang yang mirip. Dari penampilan ragawi tersebut tentu mudah bagi seorang pengamat menafsirkan pertalian antar kampung. Dari tuturan mengenai kisah permukiman jelas ada hubungan asal usul, dan

_006.

demikian pula dengan peristilahan yang dipakai untuk susunan masyarakat. Setiap kampung Bajawa yang dijajaki ini memiliki suatu lapangan dengan deretan bangunan yang mengapit atau mengelilinginya, secara berhadap-hadapan berujung terbuka (Bena), atau membentuk ketertutupan baik mengikuti kontur (Nage) maupun lapangan datar (Wogo). Pengamat dapat menelisik (scrutinize) pembentukan desa melalui laporan ini dan mendapatkan gambaran perkembangan ruang yang melalui negosiasi internal antar mereka yang datang untuk hidup berdampingan, meski dari cabang suku yang berbeda.

Penempatan bangunan berpasangan yang melambangkan wakil suku dan penghargaan terhadap nilai leluhur mengisi ruang umum dan memberi makna bagi pemukimnya. Di sini kita menyaksikan suatu arena yang sepintas senilai berkat tampilan bangunan yang mirip satu dengan lain, namun jika ditelisik maka akan menemukan aturan-aturan yang tak terucapkan, apalagi jika berdiam lebih lama untuk mengikuti upacara yang diselenggarakan. Arsitektur desa-desa Bajawa menampilkan keseragaman yang membungkus perbedaan. Hanya melalui upacara ruang tersebut akan berubah dan memberi arti lebih dalam bagi mereka yang menghuni maupun yang mampir menghadiri serta melibatkan diri ke dalam waktu-ruang tersbut. Lapangan tidak hanya berperan sebagai penyatu bangunan, tetapi juga tempat pembelajaran serta pelatihan teknik-teknik tertentu, termasuk membangun rumah. Rumah selalu dipasang duku di lapangan yang tata olahnya dapat diikuti oleh segenap warga. Dalam membangun, angkatan muda selalu mendampingi angkatan ahli bangunan yang lebih berpengalaman hingga yang paling Arsitektur Tradisional Flores


introduction.

_007.

tua. Jenjang tukang tertinggi dipegang oleh pengukir, lalu tukang kayu, dan kemudian pembantu-pembantu yang pada saatnya siap mengerjakan sendiri bangunannya. Setelah berhasil membangun sosok bangunan, setiap bagian konstruksi dinomori lalu dibongkar untuk ditempatkan di tempatnya. Lapangan dengan demikian juga suatu arena kehidupan yang mementaskan segala segi kehidupan. Dia membuka lembaran kehidupan yang selama ini terbungus di dalam sebuah rumah tinggal sehingga tembus pandang menjadi tontonan hidup.

menunjukan ada pertentangan suku dan pergantian pemukim majoritas membekasi kisah-kisah yang belum banyak terungkap dalam sejaran suku bangsa secara tertanggungjawabkan. Sosok bangunan yang kini tersisa mungkin merupakan peninggalan terakhir bagi pemenang mutakhir yang kemudian dibangun ulang dalam skala lebih besar belum lama ini. Apajua yang terjadi telah menjadi sejarah. Dengan catatan-catatan tertulis, turunan kisah lisan yang membuka tabir ingatan kolektif maka peta sejarah suku bangsa di Nusantara ini akan semakin lengkap.

Tata olah demikian memberi keyakinan pada pengamat bahwa pindah rumah bukan suatu tata olah berpindah dari suatu rumah lama ke rumah lain/baru yang sudah siap utnuk dihuni, tetapiadalah suatu tata olah memindahkan seluruh bagian konstruksi yang siap dan telah dibongkar, ke tempat yang semestinya dia berada. Keadaan demikian juga mencerminkan bahwa rumah itu hidup, mengikuti penghuninya, hingga saat dia musnah dan diganti. Itulah sebabnya Roxana Waterson menamakan bukunya The Living House, yang menggambarkan kehidupan berhuni orangorang Austronesia.

Buku ini hanya suatu upaya melengkapi peta-peta yang belum lengkap itu. Mungkin juga peta lengkap tak mungkin disusun lagi. Bangkitan ingatan juga sulit menjadi andalah penuh karena ingatan dapat saja tidak akurat. untuk itu pekerjaan rumah kita masih banyak. Keilmiahan buku ini juga perlu menjadi suatu subjek untuk ditelisik lebih jauh oleh mereka yang kemudian berminat. Dengan upaya senantiasa mengoreksi ini kita akan menjernihkan gambaran budaya membangun, meski tak pernah lengkap, dari masyarakat terpencil yang tradisinya menghadapi tantangan serbuan nilai-nilai global.

Dari ranah Bajawa regu penjajak bersinggah sebentar di Todo, pusat dunia orang Manggarai. Di desa yang lahan pertaniannya berpola bagaikan sarang laba-laba ini hanya tinggal satu bangunan utama (Niang besar) yang utuh, didampingi oleh delapan Niang kecil yang tak lagi hadir. Memang masih ada rekaman lisan yang mampu menuturkan sejarah desa ini. Namun kehilangan sosok yang paling mampu memberi pelajaran tentu merupakan suatu kehilangan besar warisan budaya bangsa.

Buku ini terdiri atas bagian-bagian yang tak sama banyak isinya, sesuai dengan bahan yang dapat dikumpulkan, dirapikan, dan disajikan. Kelelahan selama perjalanan jauh tampak tak terhindarkan dan dalam serba kekurangan ini pula saya sebagai salah satu pengarah penjajakan ini perlu menyampaikan ke pembaca.

Ir.Gunawan Tjahjono, Ph.D,M.Arch Depok, Februari 2006

Kisah pertalian suku ini dengan Minangkabau tentu menyisahkan teka-teki yang akan banyak faedahnya jika ditelusuri. Kisah yang Arsitektur Tradisional Flores


kampung wolotopo.

_008.

LOKASI • Kampung Wolotopo: Kecamatan Kabupaten

: Ndona : Ende

• Batas-batas Utara Selatan Barat Timur

: Desa Putunggu dan Kurulimbu : Teluk Ipi : Desa Onelako : Desa Wolotopo Timur

Desa ini terletak pada ketinggian antara 5-40 m di atas permukaan laut. Karena terletak di daerah pantai, maka angin yang terjadi adalah angin darat dan laut. Area permukimannya berada di daerah paling landai jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Kecuali bagian selatan yang berbatasan langsung dengan laut, desa ini dikelilingi bukit-bukit.

Sketsa Potongan TopograďŹ Desa Wolotopo.

Arsitektur Tradisional Flores


kampung wolotopo.

_009.

PETA WILAYAH DESA WOLOTOPO & DESA WOLOTOPO TIMUR KEC. NDONA, KAB, ENDE, NTT.

Arsitektur Tradisional Flores


SEJARAH

_010.

Nenek moyang penduduk Wolotopo berasal dari India kemudian mendarat di pulau Jawa. Suku yang dinamakan Suku Atarobo ini pertama kali masuk Flores melalui Ende dan terus berpindah tempati hingga Dusun Wolosambi. Pindah dari Ende karena mewabahnya penyakit yang menyebabkan pindahnya sebagian besar penduduk. Selama perjalanan, mereka membawa perlengkapan seperti suwe (gading), meko ( wadah besar), wudu ndala ( jala) , mata kail, serta kumba (gentong air). Beberapa dari perlengkapan ini diyakini sebagai benda keramat dan dilestarikan oleh penduduk Wolotopo kini. Pada akhirnya mereka menetap di Wawo Sumba yang terletak di daerah pantai setelah menetap sementara di Biri Wolotopo. Setelah tiba di sini, mereka membangun Kedakanga ii sebelum membangun ketiga Sao ( rumah adat) yakni Sao Suwe, Sao Atalaki, dan Sao Atarobo. Tentang nama Wolotopo itu sendiri berasal dari kata welu ( meletakan) dan topo ( parang). Yang apabila diartikan secara umum adalah tempat ditaruhnya parangiii sebagai tanda telah selesainya perjalanan mereka. Setelah itu berdatangan suku Dikarabu, Rabulaki, dan Fongi.

suwe/gading.

Arsitektur Tradisional Flores


_011.

Arsitektur Tradisional Flores


_012.

SISTEM PEMERINTAHAN A. Sistem Pemerintahan struktur pemerintahan adativ Mosalaki / Ria Bewav / Laki Pu’u Atalaki Rabu Laki Laki Laki Atarobo Dika

Laki Laki Laki Laki Laki Fongi Anatola Songgo Woka Mebuboge

Piniwiwi Lapilema( juru bicara)

Pesuruh Atalaki

Ine Tana

Vaivalu Anakalo ( masyarakat biasa) Sistem pemerintahan administratif Raja Kapitan Kepala Kampung Masyarakat umum

B. Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial yang pernah berlaku di Wolotopo adalah sebagai berikut:

Mosalaki, atalaki, dan ria bewa Orang yang perekonomiannya baik Orang biasa

Stratifikasi semacam ini memang pernah ada, tetapi sekarang tidak lagi digunakan. Dan penghilangan stratifikasi sosial ini tidak diketahui sejak kapan. Arsitektur Tradisional Flores


_013.

C. Pendidikan Di desa ini sudah terdapat sekolah TK, SD, hingga SLTP. Sedangkan untuk melanjutkan ke tingkatan SMU, anak-anak Wolotopo harus melanjutkan ke Ende. Sehingga harus menetap sementara di asrama yang ada di sana. Minat dan kesadaran untuk bersekolah masih kurang. Sebagian besar lulusan SLTP lebih berminat untuk merantau ke Malaysia, Kalimantan, dan tempat-tempat lain sebagai tenaga kerja buruh. Masalah drop out juga masih sering terjadi. Terutama di tingkatan SMU. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya perhatian orang tua yang kurang mendukung, serta faktor ekonomi. Jika tidak melanjutkan sekolah ke SLTP atau SMU, maka kegiatan yang dilakukan anak perempuan biasanya melanjutkan tradisi tenun ikat keluarga. Sedangkan bagi anak laki-laki akan merantau ke luar daerah, atau berkebun dan meladang bersama ayah mereka. Sedangkan bagi lulusan SMU, selain melakukan pekerjaan yang sama seperti di atas, biasanya mereka akan mengikuti ujian penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun ajaran 2001/2002, Bahasa Inggris mulai dijadikan sebagai mata ajaran sejak SD. D. Kebudayaan dan Kesenian Desa Wolotopo memiliki beragam kesenian daerah, termasuk tarian nyanyian, serta upacara adat. Tarian Desa Wolotopo antara lain adalah: 1. Napa Nuwa : Tarian untuk menyambut para lelaki yang baru pulang dari peperangan. Ditarikan oleh sekelompok perempuan. 2. Ata Nuwa : Tarian untuk menghantar para pemuda ke medan perang. Ditarikan oleh sekelompok pria. 3. Pala Tubumusu : Dilaksanakan di Keda Kanga untuk memberikan sesajian kepada arwah leluhur. 4. Jemu Jaja : Ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu. 5. Tandak (Gawi) : Dilakukan secara beramai-ramai oleh masyarakat setelah upacara pelantikan Mosalaki dan Atalaki. 6. Woge Tunggal : Ditarikan orang perorang oleh para Atalaki dan Mosalaki saat upacara pelantikan Mosalaki. 7. Wanda Pau : Merupakan tari selendang yang ditarikan oleh laki-laki dan perempuan, sebagai tanda seserahan mempelai perempuan ke mempelai laki-laki. Lagu daerah yang cukup dikenal antara lain adalah Jeku Jana Jolevi dan Menge Jonge vii dan lagu Ende Deku Demu. Alat-alat musik yang digunakan untuk untuk mengiringi tarian adat misalnya Gendang, Suling, Carigong, Babuat Lamba viii. Gong dan Lamba adalah 2 alat musik yang digunakan untuk mengiringi Upacara Kematian Atalaki. Upacara-upacara adat yang biasa dilakukan di Wolotopo adalah: 1. Upacara pengusiran wabah penyakit 2. Upacara program kerja 3. Penguburan Mosalaki dan Atalaki 4. Upacara pernikahan 5. Upacara membuka ladang ix

Arsitektur Tradisional Flores


_014.

Arsitektur Tradisional Flores


_012.

Arsitektur Tradisional Flores


_016.

E. Kehidupan Sehari – hari Kedudukan anak laki-laki pertama merupakan kedudukan utama dan memiliki hak serta kewajiban istimewa. Yaitu berhak menempati rumah adat, memimpin rapat di rumah adat.x Ia juga berhak atas warisan dari kepala keluarga, termasuk rumah. Anak laki-laki Mosalaki mewarisi rumah adat. Jika pada saatnya telah tiba dan ia sedang merantau di luar daerah, dia harus pulang. Sedangkan anak perempuan yang merantau, juga harus pulang dulu apabila hendak menikah untuk diadakan upacara adatnya.

F. Bahasa Bahasa asli penduduk Wolotopo adalah bahasa Lio. Mereka mengenal tulisan pertama kali atas bantuan para misionaris, yaitu pastur dari barat. Bahasa Lio sendiri tidak memiliki aksara khusus. Aksara yang dikenal merupakan aksara hasil pengajaran pastur tersebut, yaitu a-z dan angka 0-9. Namun logat dalam pemakaian bahasa Lio beraneka ragam. Selain karena memang terdapat perbedaan bahasa Lio Utara dan Lio Timur, perbedaan logat tersebut juga dipengaruhi oleh bahasa asing. Seperti bahasa Belanda, Portugis, Spanyol, dan bahasa lain yang sering digunakan oleh para misionaris tersebut.

Arsitektur Tradisional Flores


RELIGI

_017.

A. Kepercayaan Zaman Dahulu Sejak dahulu, suku Lio di Desa Wolotopo dan Wolotopo Timur menganut kepercayaan terhadap nenek moyang. Ibadah yang dilakukan pada zaman dahulu hanya dilakukan pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat mereka mendapatkan mimpi khusus. Mimpi khusus itu mereka percaya sebagai pesan dari nenek moyang. Biasanya menunjukkan tempat tertentu untuk diletakkan sesajian/sesembahanxi. Dahulu banyak terdapat tubu ( tugu) di segala penjuru desa untuk meletakkan sesembahan tersebut. Tetapi kini hanya tersisa satu saja untuk memberikan penghormatan kepada Da. Berkenaan dengan kelahiran, dahulu wanita tidak diperkenankan bersalin di dalam rumah. Kecuali setelah diadakan upacara sesembahanxii. Wanita yang melahirkan dibantu oleh dukun bersalin yang disebut atalisa. Berkenaan dengan kematian, suku Lio dahulu percaya bahwa roh manusia yang telah mati akan pergi ke Danau Kelimutu untuk mempertanggungjawabkan kesalahan di dunia. Kemudian roh-roh tersebut akan ditempatkan di tempat yang berbeda di danau tersebut. Sesuai dengan perbuatan semasa hidupnya. Zaman dahulu, setiap suku Lio yang mati akan dikuburkan dalam posisi berbaringxiii. Posisi kepala mengarah ke Danau Kelimutuxiv dan kaki mengarah ke kaki Gunung Iyaxv setelah disemayamkan di Kojendawa xvi . Letak kubur itu sendiri berada pada pekarangan rumah masing-masing. Karena lahan sempit, kuburxvii yang ada sering dibuka kembali untuk memasukkan jenazah baru. Penguburan Musolaki berbeda dengan rakyat biasa. Saat seorang musolaki meninggal, lamba yang terdapat di Sao Atalaki akan segera dibunyikan sebagai pemberitahuan kepada masyarakat. Kemudian masyarakat akan menyiapkan upacara penguburan Musolaki. Musolaki akan dikuburkan dengan posisi dudukxviii pada kanga, mengelilingi tubu kanga dan mengenakan pakaian adat kebesaran. Upacara penguburan disertai dengan iringan tarianxix yang dilakukan oleh seorang atalaki dari suku Rabulaki dengan diiringi alat musik gong dan lamba. Di desa ini terdapat satu-satunya makam dari peti kayu yang diletakkan di dalam bangunan panggung dari kayu. Itu adalah makam Da xxi. Di panggung makam itu terdapat ukiran bergambar Jara (kuda, sebagai binatang yang ditungganginya) dan Kowa/Sapa ( perahu untuk menyebrangi lautan).

tugu

Arsitektur Tradisional Flores


_015.

Kubur Batu

Makam Da

Ukiran Jara Arsitektur Tradisional Flores


_019.

Masyarakat suku Lio juga memiliki beberapa benda keramat, antara lain sebuah suwe ( gading gajah), meko ( cawan dari perunggu), sebilah pisau, wudu ndala (jala), tali pancing, sawu ( pedang) serta dua buah Kumba ( wadah air dari tanah liat) . Benda-benda keramat tersebut hingga kini dipercaya disemayami oleh roh nenek moyang mereka. Jika akan terjadi bencana (misalnya orang meninggal), benda ini akan memberi pertanda dengan bergetar/ bergoyang. Benda-benda inipun terlarang untuk disentuh. Keyakinan/ religi suku Lio ini antara lain terwujudkan ke dalam bentuk bangunan/ arsitekturnya. Keda kanga dapat dijadikan sebagai salah satu contohnya. Bangunan ini digunakan sebagai tempat untuk meletakkan benda-benda keramat ini. Selain itu, upacara memberikan sesaji kepada nenek moyang juga dilakukan di depan Keda Kanga. Di dalamnya terdapat ukiran-ukiran sebagai simbol yang dianggap sebagai penjagaxxii . Dahulu juga terdapat Patung Anadeo yang berjumlah tiga buah, diletakkan di ketiga sudut Keda Kanga. Melambangkan roh nenek moyang, berwujud manusia wanita dan laki-laki yang berpakaian serba merah dan menghadap ke timur. Patung ini sekarang sudah hilang. Namun tidak diukir yang baru, karena dianggap sangat sakral dan tidak layak begitu saja dibuat gantinya.

Keda Kanga Arsitektur Tradisional Flores


_017.

Ukiran pada keda kanga

Arsitektur Tradisional Flores


_021.

Denah Kanga

B. Kepercayaan Zaman Sekarang Saat ini, 100% masyarakat Wolotopo menganut Katolik. Konsep religinya adalah menjunjung tinggi Tuhan yang ada di langit, dan nenek moyang yang berada di tanah. Katolik ini pertama kali dibawa oleh Frater de Lange dari Belanda pada tahun 1918. Pada tahun ini terjadi peristiwa baptis pertama pada tanggal 24 Januari 1918. Di Wolotopo sendiri saat itu belum terdapat Gereja, jadi masyarakat saat itu harus pergi ke Gereja di Ndona, yang saat ini telah menjadi keuskupan. Penyebaran Katolik oleh misionaris bermula dari Timur Flores ( sekitar daerah Larantuka) kemudian dilanjutkan ke arah barat, yaitu Wolotopo. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masyarakat Wolotopo juga menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang selain menganut Katolik. Katolik menurut mereka juga mengakui konsep bahwa arwah nenek moyang adalah perantara manusia dengan Tuhan. Namun, kepercayaan animisme dan dinamisme, seperti menyembah pohon dengan sesaji, sudah ditinggalkan sebagian warga. Inkulturasi adat dengan Katolik masih diusahakan hingga kini. Pada misa sendiri nampak pada penggunaan lagu bergaya Flores. Terdapat perbedaan pada beberapa bagian ritual ibadat Katolik di Flores dengan di Eropaxxiii. Upacara adat dan agama terlihat berjalan beriringan. Didahului dengan adat, kemudian direstui dengan agama. Masyarakat masih mengharapkan pemberkatan dari Allah. Arsitektur Tradisional Flores


_022.

MATA PENCAHARIAN Mata pencaharian penduduk di Desa Wolotopo sebagian besar adalah bercocok tanam dan tenun ikat. Mata pencaharian lainnya adalah peternakan pribadi, pertukangan, kerajinan tangan (alat-alat rumah tangga, alat musik dan senjata). Selain itu, penduduk Wolotopo juga ada yang bekerja sebagai pegawai sipil dan buruh. A. Bercocok Tanam Pada tahun penduduk menanam ubi kayu, pisang, dan bengkuang untuk dijual dan dikonsumsi sehari– hari. B. Ternak Jenis ternak : babi, ayam, kambing. Binatang-binatang ternak di Wolotopo kebanyakan untuk konsumsi pribadi, baru jika ada sisa dijual. Pada zaman dahulu, babi dewasa dikandangkan di belakang kampung, sedangkan babi-babi yang masih kecil dibiarkan bebas begitu saja. Dengan adanya imbauan dari pemerintah, kandang babi-babi dewasa dipindahkan ke dekat pantai. Dahulu kolong rumah adat digunakan untuk kandang sapi, tetapi sekarang kolong tersebut digunakan untuk tempat menenun. C. Kerajinan 1. Tenun Ikat Desa Wolotopo terkenal sebagai desa tenun. Hampir semua wanita di Wolotopo bisa menenun. Pekerjaan ini sudah dianggap sebagai pekerjaan pokok wanita di Wolotopo. Keterampilan menenun ini diajarkan turun temurun dari nenek moyang. Pada umumnya anak perempuan yang berumur 14 tahun ke atas sudah bisa menenun. Arsitektur Tradisional Flores


_020.

Mangga dan kelimara warnanya hitam dan motifnya turunan dari nenek moyang. Motif-motif yang digunakan untuk kain pada tarian adat adalah pea, jara dan kelimara. Dari ketiga motif ini yang paling mahal adalah kelimara, karena proses pembuatannya paling sulit. Kain untuk laki-laki menggunakan woi lelu ( benang bordar hitam), sedangkan untuk sarung perempuan menggunakan sutra dua urat. 2. Alat rumah tangga dan senjata tradisional Kerajinan yang dibuat antara lain seperti patung, sendok kayu, mangkuk kayu, alat tenun, alat musikxxiv, senjata tradisionalxv, dan alat-alat rumah tangga lainnyaxxvi. Penduduk membuat kerajinan sebagai sampingan sambil menunggu ladang. Kebanyakan dari hasil kerajinan tidak dijual. Patung dari kayu nangka hanya dibuat kalau dipesan orang luar dan untuk upacara adat. D. Lain Lain Karena dibukanya jalan antara Wolotopo dengan Ende, Wolotopo mulai terkena pengaruh modern. Anak muda banyak yang merantau ke Malaysia dan Kalimantan sebagai buruh . Ada juga yang bekerja di Ende sebagai buruh kayu dan menjual batu untuk bangunan. Anak-anak muda ini mulai bekerja di luar Wolotopo sekitar 20 tahun yang lalu. Biasanya mereka meluangkan 1 hari absen untuk mengurus ladang. Di Wolotopo tidak ada yang bekerja sebagai nelayan, karena pantainya terlalu berbatu-batu dan cadas untuk digunakan sebagai tempat mencari ikan.

Arsitektur Tradisional Flores


_021.

Motif Mangga

Motif Kuda

Motif Kelimara

POLA PERKAMPUNGAN Sebelum para nenek moyang Wolotopo ini sampai di Desa Wolotopo, mereka sempat hidup berpindah-pindah (nomaden) dari kampung satu ke kampung lainnya. Ada 6 kampung yang mereka tinggali sebelum akhirnya menetap di Wolotopo, yaitu : 1) Kampung Gedo, di daerah Wawaria/Woloria. 2) Nua (kampong) Roi 3) Kampung Wolowege. 4) Nua Biri Wolotopo. 5) Nua Susu Deba. 6) Nua Ruti, di daerah Wolosambi. Terdapat beberapa alasan mengapa mereka akhirnya menetap. Wolotopo berada di daerah perbukitan/ dataran tinggi, sehingga baik untuk pertahanan terhadap serangan dari suku-suku lain yang dulu sering diperangixxvii. Selain itu, Wolotopo dekat dengan tempat mereka berladang di bukit. Perlu diketahui, dalam setiap perpindahan dari kampung ke kampung itu, tidak semua warga kampung ikut melakukan perjalanan dan pindah. Melainkan, sebagian tinggal di kampung yang lama, dan yang lainnya melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat yang lebih baik. Selain itu, pada tiap kampung mereka juga membangun Keda xxviii. Kedua hal diatas dilakukan agar terdapat bukti-bukti tentang keberadaan dan perjalanan mereka sebelumnya. A. Pola Perkampungan Awal Pada awal pemukiman Desa Wolotopo ini, terdapat sebuah tugu batu yang ditancapkan ke tanahxxix. Lalu dibangun rumah-rumah adat yang orientasinya menghadap ke arah tugu batu tsb, yaitu Sao Atarobo xxx , Sao Atalaki xxxi dan Sao Sue xxxii. Sebelumnya, Sao Sue bernama Sao Ria. Tetapi dengan datangnya gading pemberian yang diletakkan di Sao Ria, rumah adat tersebut berganti Arsitektur Tradisional Flores


_025.

nama menjadi Sao Sue ( rumah gading) . Setelah masyarakat mulai memikirkan perlu adanya struktur adat dan struktur pemerintahan, dibangunlah Keda (altar) dan Kanga (pelataran) di tempat beradanya tugu pertama. Tempat tersebut digunakan untuk melakukan upacara-upacara adat, yang lalu dipenuhi oleh kuburan-kuburan batu para pemimpin terdahulu. Untuk mengurusi struktur pemerintahan, dibangun Bhego (rumah pengadilan) oleh suku Da’, yang juga difungsikan sebagai tempat kepala kampung (kantor adat). B. Perkembangan Pola Perkampungan Pola awal pemukiman Desa Wolotopo ini tadinya memusat. Rumah-rumah adat yang ada, semua berorientasi menghadap ke tugu batu dan Keda Kanga. Seiring dengan berjalannya waktu, tiap suku menghasilkan keturunan. Sehingga selain 3 rumah adat utama, dibangun juga rumah-rumah adat lainnya. Yaitu: 1) Sao Ata Ringi 2) Sao Bhisukoja 3) Sao Ata Tugalero 4) Sao Ata Wolo 5) Sao Lakebewa 6) Sao Ata Toba 7) Sao Anandalu Ketujuh rumah adatxxxiii tambahan diatas juga berorientasi menghadap ke Keda Kanga dan tugu batu. Namun ada satu rumah adat yang tidak berorientasi seperti demikian, yaitu rumah adat Ata Tugalero. Yang justru menghadap ke Sao Ria di depannya. C. Pola Perkampungan Akhir Dahulu, satu rumah adat bisa didiami oleh 8 kepala keluarga. Tapi seiring dengan perkembangan pola pikir manusia, sepertinya sangat tidak etis dan tidak sehat jika satu rumah didiami oleh 8 keluarga. Karena itu, keturunan-keturunannya tinggal di rumah-rumah baru yang bentuknya lebih modern dan bahannya pun terbuat dari batu (rumah sehat). Arah perkembangan rumah-rumah baru tersebut mengikuti arah jalan yang menuju ke sungai, jalan-jalan ke desa lain, ataupun ke arah bawahxxxiv. Hal ini membuktikan bahwa alam juga mempengaruhi pola pemukiman kampung. Contohnya, mereka memilih daerah berbukit untuk berladang dan untuk pertahanan, serta perkembangan pemukiman ke arah sungai sebagai sumber air utama. Terdapat hubungan antara pemukiman dengan tempat ibadah. Dahulu orientasi rumah-rumah adat yang ada harus ke arah Keda Kanga. Namun, setelah dibangun gereja pada tahun 1963 oleh bantuan pemerintah Jerman, persebaran pola perkampungan justru banyak ke arah gereja. Gereja ini ditempatkan di daerah bawah atau di bagian depan desa, agar dekat dengan jalan raya dan karena diatas bukit (sekitar rumah-rumah adat) sudah tidak ada lahan lagi. Juga agar dekat dengan sumber air di sungai. Perkembangan selanjutnya adalah lingkungan gereja menjadi pusat kegiatan. Gereja digunakan sebagai tempat belajar atau sekolah sejak tahun 1923. Setelah itu juga dibangun pusat pemerintahan desa yang baruxxxv. Hal-hal tersebut menyebabkan dibuatnya sebuah tempat berkumpul berupa lapangan (plaza). Daerah pemukiman yang baru kemudian tumbuh di sekitar plaza tersebut atau di bagian depan desa, dekat entrance desa. Setelah Katolik masuk, pengaruh-pengaruh modern semakin kuat. Rumah-rumah baru tidak lagi berorientasi ke tugu dan Keda Kanga, melainkan mengikuti kaidah-kaidah rumah sehat. Seperti yang dianjurkan oleh pemerintah daerah setempatxxxvi .

Arsitektur Tradisional Flores


_026.

Arsitektur Tradisional Flores


_027.

Arsitektur Tradisional Flores


_028.

Arsitektur Tradisional Flores


_029.

Arsitektur Tradisional Flores


HUNIAN

_030.

A. Sao Suexxxvii Sao Sue ditinggali oleh keluarga yang berasal dari dua suku, yaitu Daa dan Fongi. Jumlah keluarga yang tinggal di rumah ini adalah 8 kepala keluargaxxxviii. Menurut kebudayaan di sana, yang berhak tinggal di Sao Sue ini adalah anak laki- laki pertama yang sudah menikah atau anak laki-laki lainnya yang sudah disetujui oleh rapat keluarga besar. Sao Sue yang ada saat ini adalah hasil pemugaran pada tahun 1981, sehingga terjadi beberapa perubahan terhadap bentuk awal. Namun, setiap perubahan yang dilakukan harus melalui rapat keluarga besar dan disepakati bersama.

Sket (wolo_atawolo) entrance sao sue Arsitektur Tradisional Flores


_031.

Sao Sue Tampak Depan Arsitektur Tradisional Flores


_032.

Sket (wolo_tampak sao sue) Arsitektur Tradisional Flores


_033.

Sao sue tampak belakang

Bagian Rumah Arsitektur Tradisional Flores


_034.

Perubahan yang dilakukan antara lain adalah: 1) Atap yang meliputi perubahan secara bentuk dan pemakaian bahan penutupnyaxxxix 2) Perubahan tinggi lantai rumah dari permukaan tanahxI , pondasi rumahxIi 3) Jendela-jendelaxIii 4) Bagian dalam rumahxIiii

Terjadinya penambahan penghuni di dalam rumah menyebabkan terjadinya perluasan rumah ke arah belakang. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran letak olateo (jantung rumah). Padahal pada awalnya letak jantung rumah ini berada di tengah rumah yaitu di tengah kajundawaxIiv, tergantung di tengah nok atap rumah. Di bawah pintu masuk terdapat kayu berukir yang disebut katambawaxIv yang ukirannya berupa hewan sindexIvi yang berguna untuk melindungi dari hal-hal yang memiliki niat jahat. Kemudian di ujung-ujung atap rumah bagian depan tergantung ketupat yang disebut ta’u yang diisi doa-doa yang berguna untuk kesejahteraan orang-orang di dalamnya. Rumah ini diumpamakan sebagai tubuh wanita dengan adanya olateo (jantung), kendawari (mata) yang berada di bagian atas pintu, jongkoko (rusuk) berupa kayu berukir yang terpasang horisontal di dinding bagian depan rumah. Selain itu terdapat tiga buah dada wanita di dinding bagian depan rumah yang menandakan muda, sedang dan tua karena mereka menganggap susu mama sebagai sumber kehidupan dan lambang kesuburan. Kemudian katambawa adalah perumpamaan telinga wanita dan perlambang belis, sedangkan ta’u adalah anting-anting wanita dan penolak bala.

Menenun di Sao Sue Arsitektur Tradisional Flores


_032.

Sambungan Balok Pada Sao Sue

Pondasi Sao Sue

Arsitektur Tradisional Flores


_033.

Belis

Susu Mama Arsitektur Tradisional Flores


_037.

Kajundawa Arsitektur Tradisional Flores


_035.

Katambawa

Tau

Olateo Arsitektur Tradisional Flores


_039.

B. Sao Atalaki Sao Atalaki adalah rumah adat yang letaknya tepat di samping Sao Sue. Rumah adat ini diberi nama Sao Atalaki karena di sana tempat para musolaki dan atalaki membahas segala permasalahan mengenai Desa Wolotopo.

Sao Atalaki dihuni oleh keluarga-keluarga yang berasal dari dua macam suku, yaitu Dikarabu dan Rabulaki. Dikarabu menempati sisi kiri bagian rumah, sedangkan Rabulaki menempati sisi kanan bagian rumah. Secara garis besar, keadaan Sao Atalaki saat ini masih sama dengan keadaan awalnya. Hanya terjadi sedikit perubahan, yaitu ketinggian lantaixIvii dari permukaan tanah dan keberadaan kamarxIviii. Untuk atap dan bentuk rumah secara keseluruhan masih tetap sama seperti awalnya karena seluruh anggota keluarga tetap ingin mempertahankan adat yang ada. Di dalam Sao Atalaki terdapat benda-benda yang cukup tua seperti gendang, peti kecil, batu-batuxIix, enam buah gong I. Dahulu di kajundawa juga ada belis (mas kawin) seberat 10 gram, namun sudah hilang. Selain itu ada batok kelapa yang diisi dengan doa-doa supaya rumah tahan gempa dan dapat menolak orang jahat. Pada olateo (jantung) Sao Atalaki terdapat 2 buah benda, yaitu: kena Ii dan kobo Iii. Ukiran yang berada di katambawa rumah ini berupa pohon emas yang merupakan perlambang rezeki. Di dinding bagian depan terdapat ukiran tiga pasang buah dada yang melambangkan remaja, dewasa, dan tua sebagai perlambang kesuburan. Di lantai kajundawa akan terjadi kegaduhan seperti ada hewan merayap apabila ada penghuni yang akan meninggal. Setiap menantu perempuan tetap tidak boleh menginjak kajundawa.

Tampak Depan Sao Atalaki Arsitektur Tradisional Flores


_040.

Sket Wolo Sao Laki 2 Arsitektur Tradisional Flores


_041.

Sket Wolo Sao Laki 3 Arsitektur Tradisional Flores


_042.

Sket Kolom Arsitektur Tradisional Flores


_040.

Gong

Interior

Gendang Arsitektur Tradisional Flores


_044.

Sao Atalaki dan Sao Sue

Jantung Sao Atalaki Arsitektur Tradisional Flores


_045.

C. Sao Atarobo Sao Atarobo adalah rumah adat yang dihuni oleh satu keluarga keturunan rumah tersebut. Ada banyak perubahan yang terjadi di Sao Atarobo ini terutama dalam hal konstruksinya, yaitu : 1) Pondasi Dahulu seluruh pondasi menggunakan batu, tetapi sekarang sebagian menggunakan kayu karena batu yang ada sulit untuk didirikan lagi dan keadaan sekarang sulit untuk mencari batu. 2) Dinding Dahulu dinding Sao Atarobo menggunakan kayu/papan (sama seperti Sao Atarobo dan Sao Sue) tetapi sekarang menggunakan bambu. 3) Penutup atap Penutup atap saat ini menggunakan alang-alang, namun sempat diganti dengan bambu (seperti di Sao Sue). 4) Ukuran rumah Jumlah ruangan berkurang. Di sebelah kiri depan yang dahulu terdapat ruangan, menjadi tidak ada karena sulit mencari kayu yang cocok. Padahal masih ada batu (pondasi) yang berdiri di sudut itu. Uku ran rumah pada zaman dulu sebelum hancur dan dipugar lebih besar daripada ukuran rumah seka rang. Namun karena kesulitan mencari kayu dan batu sebagai bahan bangunan, menyebabkan ukuran rumah menjadi lebih kecil. Arsitektur Tradisional Flores


_046. Program ruang Sao Atarobo adalah sebagai berikut: 1) Teras (tenda) Digunakan untuk menjamu tamu, tempat berkumpulnya bapak-bapak, ibu-ibu atau anak-anak muda dan juga dijadikan tempat untuk tidur anak laki-laki yang sudah besar namun belum menikah. 2) Ruang tidur Ruang tidur berada di sisi muka, kanan, kiri dan belakang yang digunakan untuk tidur masing-masing keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang masih kecil. 3) Dapur Digunakan untuk memasak tiap keluarga. 4) Bauria (dapur umum) Dapur yang digunakan untuk memasak pada saat ada upacara-upacara adat. 5) Kajundawa Ruang yang digunakan untuk tempat berkumpul pada saat berlangsungnya upacara-upacara adat, seperti upacara lempar pisang. 6) Teras samping Teras ini biasa digunakan untuk menenun. 7) Teras belakang Teras ini digunakan untuk tempat menyimpan kayu-kayu bakar yang digunakan untuk memasak. 8) Kolong rumah Kolong ini biasa digunakan untuk tempat menenun.Jalur sirkulasi semula tidak ada, dan batas ruang hanya berupa sekat-sekat sehingga dilewati dengan cara melangkahi batas tersebut. D. Cara Membangun Untuk membangun rumah adat di Wolotopo harus mengikuti tata cara dan tahapan yang menjadi aturan adat di desa ini. 1. Lea Lako Iiii Kegiatan yang pertama kali dilakukan adalah lea lako (masuk hutan) untuk mencari kayu. 2.Senda Sao Iiv Kegiatan selanjutnya yaitu senda sa’o yaitu kegiatan pembersihan, penggalian dan pemasangan pondasi yang diukur dengan menggunakan jengkal atau lidi. 3. Wake Mangu Iv Selanjutnya yaitu kegiatan wake mangu (menaikkan nok). 4. Sewa Pisang Setelah pintu terpasang maka rumah itu dianggap telah resmi dan pada sore harinya akan diadakan upacara. Sehabis makan malam mulailah acara sewa pisang untuk menandakan bahwa pisang boleh masuk ke dalam rumah. Lalu dilanjutkan dengan acara kamuku (makan pisang).

Arsitektur Tradisional Flores


_044.

Arsitektur Tradisional Flores


_047.

Dapur Sao Atarobo

Denah Arsitektur Tradisional Flores


Sambungan Pada Sao Atarobo

Jantung Pada Sao Atarobo

Sambungan Pada Sao Atarobo

Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


footnotes.

_052.

Di tiap tempat yang disinggahi, nenek moyang Suku Atarobo selalu mendirikan kampung lengkap dengan tubu (tugu) dan kanga (pelataran) untuk melakukan upacara adat, yang letaknya di tengah-tengah kampung. Di samping itu, mereka juga membuat pekuburan batu dan potu (tempat berlindung dari serangan musuh). ii Bangunan untuk meletakkan benda keramat. iii Selama perjalanan, mereka selalu menggunakan parang untuk membuka hutan. iv Nara sumber : Bpk. Miguel Meja , Kepala Urusan Umum Desa Wolotopo v Bertugas sebagai penasehat. vi Ciptaan Kobus Ari, biasanya dinyanyikan di saat melakukan tarian Ule Lela Nggewa . vii mengiringi Tari Tandak viii seharunya keempat alat musik ini diletakkan di Keda. Namun sekarang diletakkan di Sao Atalaki agar tidak hilang. ix Proses Buka ladang : 1) Waktu untuk buka ladang ditentukan oleh Musolaki, pada saat berkumpul di rumah adat. Upacara ini sendiri adalah dengan menan capkan parang di sebuah tempat di atas bukit. Lamanya proses buka ladang sekitar 1 – 2 bulan. Tarian yang digunakan di upacara ini adalah Tari Gawi. 2) Tanah di Wolotopo dianggap tidak berharga secara uang. Ladang milik tuan tanah harus ditebus dengan kepala babi. 3) Pada saat panen bengkuang, seluruh warga bangun di waktu dini hari di rumah masing-masing untuk membersihkan bengkuang sampai putih. Pagi harinya langsung dijual ke pasar. 4) Sekarang, pada saat panen maka akan diadakan pemberkatan di gereja. Persembahan akan diberikan ke gereja untuk dimakan pastur. Begitu juga pada saat pencarian bibit baru, akan diadakan upacara pemberkatan di gereja. 5) Pada saat musim memetik kelapa, harus ada salah satu anggota musolaki (laki kena) untuk memetik kelapa terlebih dahulu, yang akan diikuti warga yang lainnya. Jangka waktu memetik kelapa adalah 3 bulan. Setelah itu batang diikat dengan janur sebagai tanda kelapa tersebut tidak boleh dipetik lagi sebelum diijinkan oleh Musolaki . x Jika ia berhalangan hadir, maka dapat digantikan oleh anak laki-laki kedua. xi Disebut paaloka, berupa makanan (nasi, daging, dan buah). Sesembahan ini juga dilakukan untuk kesembuhan penyakit. xii berupa pemotongan babi atau ayam. Pemotongan dan proses masak-memasak harus dilakukan di luar rumah. Setelah itu dibawa ke dalam rumah, untuk diletakkan di pusat rumah sebagai sesembahan kepada nenek moyang. xiii Posisi ini untuk rakyat biasa. Berbeda dengan Musolaki. xiv Sebelah timur xv sebelah barat. xvi Bagian inti rumah adat yang berisikan benda-benda pusaka. xvii Bentuk dari kuburan adalah berupa tumpukan batu yang diambil dari hutan dengan cara dipikul , diikat tali, dan kayu. Menyerupai bentuk meja. Saat ini, bentuk kuburan sudah seperti bentuk kuburan secara universal. Selain karena repotnya membawa batu dari hutan, juga karena ajaran Agama Katolik. xviii Tubuhnya diikat dengan benang tenun agar tidak jatuh. xix Tarian ini menggambarkan kegembiraan. xx Dilakukan selama 1 hari. Tata cara penguburan seperti ini dilakukan terakhir kali pada tahun 2000, untuk Musolaki Kenai, namun tanpa diiringi tarian. Hal ini disebabkan karena telah menurunnya keyakinan terhadap nenek moyang. xxi Seseorang yang dianggap berjasa bagi suku Lio. Karena telah memenangkan perjuangan melawan Kilasega dan Delaroga. Ia merupakan pemimpin pertama sebelum adanya struktur Musolaki. xxii Ukiran kepala kerbau. Ukiran 3 dimensi ular dan biawak yang terletak pada 6 kolom struktur Keda Kanga. Ukiran tersebut dipercayai disemayami oleh jin yang menjaga. xxiii Pada upacara pernikahan, mempelai menuggu di depan pintu untuk dipanggil masuk Gereja oleh Pastur. Berbeda dengan tata cara Eropa dimana mempelai sudah berada di dalam sebelum Pastur masuk. Contoh lainnya adalah adanya upacara pemberkatan benih di Gereja sebelum upacara adat penanaman benih. Bertujuan untuk meminta restu dari Tuhan agar mendapatkan hasil panen yang baik. Pada saat panen, diadakan upacara syukur panen yang berbentuk pemberian hasil panen pada Gereja. xxiv Antara lain adalah rupi veko (suling), gendang dari kulit sapi, rotan , ubi kayu. xxv Antara lain adalah bambu, panah dan busur bambu (wo’o le’e) xxvi Antara lain adalah berwaja (tungku), ngesu (ulekan) xxvii Suku Ndona, Ngalupolo, dan Delaroga. xxviii Altar untuk pemujaan. xxix Sebagai tanda kepemilikan tanah atau bukti daerah kekuasaan. xxx Didiami oleh Suku Lena. xxxi Didiami oleh Suku Dikarabu dan Rabulaki. xxxii Didiami oleh Suku Fongi dan Da. xxxiii Rumah-rumah adat tambahan tersebut merupakan rumah tinggal untuk para keturunan dari 3 rumah adat pertama tadi. Juga untuk para pendatang baru yang diberi lahan karena telah membantu perang melawan suku Tugalero. Pada perkembangannya, rumah-rumah adat baru tersebut akhirnya berganti menjadi rumah biasa, karena pertimbangan materi-materi bangunan yang tidak tahan lama, seperti atap asli yang terbuat dari rumbia, dirubah menjadi atap seng. xxxiv Bagian depan desa/sekitar pintu masuk desa. Dimana terdapat gereja, kantor desa, balai desa, dan sekolah-sekolah. xxxv Seperti kantor kepala desa dan balai desa. xxxvi Seperti orientasi kepada jalan didepan rumahnya, ke arah matahari terbit, atau ke arah sumber air. Bahkan pemerintah juga menghimbau agar rumah-rumah menghadap ke jalan serta harus memiliki pintu depan dan belakang. Yang masih dan akan selalu berorientasi ke arah Keda Kanga dan tugu batu adalah ketiga rumah adat utama tadi. Dahulu tidak boleh membangun rumah di dekat Keda Kanga. Namun karena tidak ada lahan lagi dan perkampungan semakin padat, akhirnya rumah-rumah dibangun di sekitar Keda Kanga. Selain itu, dahulu sebenarnya rumah juga tidak boleh berada di dataran yang lebih tinggi dari Keda Kanga. i

Arsitektur Tradisional Flores


footnotes.

_053.

xxxvii Sao Sue yang berarti rumah gading adalah salah satu dari tiga rumah adat utama. Rumah ini dikatakan sebagai Sao Sue karena di dalamnya terdapat benda pusaka yang berupa sue (gading gajah) yang merupakan peninggalan nenek moyang. Selain gading gajah, di rumah itu juga terdapat benda pusaka berupa meko yang terbuat dari perunggu dan sawu (tali pancing). Benda-benda pusaka itu diletakkan di kajundawa yang merupakan ruang inti dari rumah itu. xxxviii Mereka masing-masing memiliki satu kamar dan satu dapur dengan satu tungku untuk memasak. Hal itu bertujuan agar mereka bertanggung jawab terhadap urusan keluarganya masing-masing. xxxix Perubahan bentuk dan bahan yang terjadi dimaksudkan untuk alasan fungsi. Bentuk atap perisai tunggal menyebabkan asap yang dihasilkan tungku tidak dapat keluar dengan cepat. Sehingga dimodiďŹ kasi dengan bentukan atap perisai dua tingkat dengan lubang udara. Sedangkan perubahan bahan penutup atap, disebabkan oleh karena alang-alang tidak dapat tahan lama dan sulit didapat. Bahan penggantinya, yaitu bambu belah, tidak dianggap menyalahi adat karena masih merupakan bahan alami. xI Tinggi lantai rumah terhadap permukaan tanah awalnya adalah 1,5 m. Sedangkan saat ini tingginya hanya 1 m. Sehingga kolong rumah hanya dapat digunakan untuk menenun kain dalam posisi duduk. xIi Mengalami perubahan dalam hal penggunaan bahannya. Pada awalnya seluruh pondasi rumah menggunakan batu namun sekarang ada beberapa tiang pondasi yang menggunakan kayu. Hal tersebut terjadi karena saat ini sudah sulit untuk mencari batu besar yang ukurannya pas dan sesuai untuk dijadikan tiang pondasi. xIii Pada awalnya menggunakan pen sekarang sudah menggunakan engsel. Sedangkan untuk pintu utama tetap menggunakan pen, bahkan pada pintu utama tidak boleh terjadi perubahan karena dipercaya akan membawa akibat buruk bagi penghuni rumah jika hal itu dilakukan. xIiii Terjadi perubahan berupa penambahan kamar, dengan menggunakan bilik-bilik beserta pintu. Hal ini disebabkan oleh kesadaran mereka untuk lebih berprivasi per keluarga. Pintu-pintu kamar ini memiliki daun pintu yang berada 35-40 cm di atas permukaan lantai. Keadaan seperti itu bertujuan untuk memberi kenyamanan pada saat mereka tidur di lantai kamar. Sehingga dengan adanya batas tersebut, orang yang sedang duduk di ruang tengah tidak dapat melihat langsung walaupun pintu kamar sedang terbuka. xIiv Kajundawa adalah bagian ruang rumah yang paling sakral. Oleh sebab itu di sanalah diletakkan benda-benda pusaka dan juga digunakan sebagai tempat berkumpul bapak-bapak untuk membicarakan hal-hal penting yang menyangkut keluarga besar dari rumah. Di kajundawa ini terdapat pantangan yaitu bagi menantu perempuan yang tinggal di Sao Sue tidak boleh menginjak kajundawa karena dia tidak mempunyai garis keturunan suku di rumah itu. Sedangkan boleh saja bagi orang yang tidak tinggal di rumah itu. Oleh sebab itu setiap kamar memiliki akses keluar langsung melalui teras samping, sehingga mereka dapat dengan mudah keluar masuk. xIv Tujuan dari katambawa adalah agar rezeki dapat masuk dan apabila terdapat ukiran hewan maka harus ada umpan karena mereka percaya bahwa hewan mencari makan dan butuh umpan. Secara umum katambawa terdiri dari tiga macam yaitu katambawa inde yang berbentuk ular/sinde, katambawa inde koba yang berbentuk pohon uang, dan katambawa one. xIvi Sinde ini adalah sejenis hewan laut yang besar seperti naga xIvii Tinggi lantai dari permukaan tanah saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan awal sehingga kolong rumah tidak dapat digunakan untuk menenun bahkan tidak dapat dilalui manusia. Ketinggian lantai ini diperendah dengan tujuan untuk mempermudah orang naik ke atas rumah atau turun dari rumah xlviii Keberadaan kamar-kamar saat ini juga merupakan tambahan karena pada awalnya Sao Atalaki tidak memiliki kamar-kamar. Munculnya kamar-kamar ini disebabkan karena kesadaran mereka akan privasi. xIix yang dibawa oleh anak laki-laki yang ingin keluar dari rumah itu dan diletakkan di kajundawa (sama seperti di Sao Sue), I yang menurut informasi berasal dari Bali dan Sumba Ii mangkok dari batok kelapa untuk mengambil lauk-pauk Iii mangkok dari buah labu untuk mengambil beras Iiii Berlangsung sekitar satu minggu dan dilakukan hanya sepengetahuan musolaki. Awal kepergian masuk hutan ditandai dengan bunyi ngolamba yang dibunyikan oleh orang yang tinggal di desa (tidak ikut ke hutan). Kegiatan di dalam hutan ini merupakan kegiatan mencari kayu dari menebang pohon sampai memotong-motong kayu itu menjadi taendolu (papan). Kayu yang digunakan untuk membangun rumah adalah kayu fa’i. Selanjutnya adalah memotong-motong balok dari kayu pohon kelapa yang sudah tua. Setelah kayu tersedia maka kegiatan di hutan selesai dan kepulangan ditandai pula dengan bunyi ngolamba. Setelah kembali, seluruh keluarga keturunan dari rumah diberi kabar untuk berkumpul sesuai waktu yang telah disepakati bersama. Pada saat berkumpul, masing-masing keluarga diharuskan membawa bahan makanan berupa beras atau hewan (babi atau ayam). Iiv Kata senda sendiri memiliki arti kasih rata tempat untuk berdirinya tiang. Pondasi terdiri dari batu dengan bantal di atasnya yang pada saat pemasangan dilakukan doa pengikatan dua benda tersebut oleh dukun yang berfungsi untuk penahanan bencana. Bantal itu merupakan balok kelapa yang diberi daun dan biji beras sebagai pengikat yang berfungsi untuk menahan gempa. Senda sao berlangsung selama empat hari kerja dan kemudian berhenti karena ada larangan (piresutu) dan juga pada saat ini daun-daun tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Sebenarnya senda sao ini terdiri dari delapan hari, namun ada aturan dari dukun untuk libur selama empat hari sehingga pada saat libur tukang dan tuan rumah tidak boleh bekerja tapi hanya melakukan kegiatan makan dan tidur. Piresutu ini bertujuan agar jin dari hutan tidak dekat ke rumah. Di setiap bawah rumah adat ada onegere yaitu ass yang dikubur di dalam tanah berupa minyak kelapa yang dianggap sebagai rahasia kekuatan rumah dan juga dapat digunakan sebagai obat jika luka terkena parang. Iv Cara kerjanya yaitu empat hari bekerja dan empat hari libur dan seterusnya sampai selesai. Setelah itu ada acara pemasangan pusi pene (pintu besar) dan pada acara tersebut ada satu telur yang dipecahkan. Setelah pintu besar terpasang maka selanjutnya dipasang katambawa yang harus disertai dengan dukun yang memberikan doa.

Arsitektur Tradisional Flores


kampung bena.

_054. _051.

LOKASI Elevasi : + 500m Desa Kecamatan Kabupaten

sampai + 1500m : Tiworiwu, : Aimere, : Ngada.

Batas – batas geografis Utara : Desa Beja, Kecamatan Bajawa dan Desa Rakateda, Kecamatan Golewa Selatan : Desa Watumanu Barat : Gunung Inerie Timur : Desa Dariwali

Sketsa Potongan Memanjang dan Melintang Topografi Kampung Bena Arsitektur Tradisional Flores


kampung bena.

_055. _052.

PETA LOKASI KAMPUNG BENA DAN DAERAH SEKITAR

Arsitektur Tradisional Flores


_056.

SEJARAH

Masyarakat Kampung Bena percaya bahwa pendiri awal kampung mereka adalah suku Bena dengan Nagoluna sebagai pemuka suku. Pemuka suku selanjutnya adalah Bako dan Lolo. Mereka membangun rumah pertama yang dinamakan Wijone’ewajo. Menurut cerita turun temurun, dahulu ketika nenek moyang mereka menanam padi, mereka mengadakan pesta makan daging kerbau dan minum minuman keras. Akibat dari pesta tersebut banyak warga yang tewas, kecuali dua orang wanita yang bernama Kengi dan Kezo. Suatu hari datang dua orang pemuda dari Langa bernama Pati dan Leki berburu babi di hutan sekitar Bena. Buruannya terperangkap masuk dalam lubang. Mereka mencoba mengeluarkan babi tersebut. Setelah babi berhasil diangkat, keluar air dari lubang tersebut. Lubang tersebut menjadi menjadi mata air hingga saat ini. Pada saat mereka akan memasak babi tersebut, mereka melihat dua orang wanita yang tak lain adalah Kengi dan Kezo. Setelah mereka saling mengenal lebih jauh mereka menikah. Dan akhirnya menjadi orang pertama yang mendirikan kampung Bena.

SISTEM KEMASYARAKATAN A. Sistem Pemerintahan Pada masa sekarang tidak banyak terjadi perubahan pada struktur pemerintahan Kampung Bena, namun struktur pemerintahan adat berhubungan dengan struktur pemerintahan formalnya. Misalnya dalam pembangunan rumah adat. Setelah dimusyawarahkan secara adat kemudian dilaporkan kepada kepala desa. Struktur pemerintahan adat

Ka. S Bena

Ka. S.Deru Kae

Ka. Adat

Ka. S.Deru Aji

Ka. S.Dizi Kae

Ka. S.Dizi Aji

Ka. S.Kopa

Ka. S.Ngadha

Ka. S.Hago

Ka. S.Watho

Warga Dahulu Kampung Bena ada di bawah kekuasaan Kerajaan Bajawa. Warga yang tinggal secara turun temurun di Kampung Bena masih termasuk dalam satu suku bangsa Ngadha. Masa pemerintahan kerajaan sudah ada diperkirakan sebelum Katholik masuk ke Bajawai. Struktur pemerintahan kerajaan Raja Bajawa / Bupati (Kerajaan Bajawa)/ Kabupaten Bajawa Mosa Mente/ Kaa Noa / Camat (Hamente : Inerie Satu / Kecamatan Kepala Kampung (Kampung : Bena)/ RT/RW Kepala Adat (Suku-suku, ada 9 suku) Arsitektur Tradisional Flores


_055.

Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


_060.

Baju Adat Arsitektur Tradisional Flores


B. StratiďŹ kasi Sosial StratiďŹ kasi sosial di Kampung Bena

_061.

Gae (merupakan golongan bangsawan; yaitu dari suku Hago, Ngadha, Watho, Deru, Dizi) Gae Kisa (merupakan golongan orang biasa; yaitu dari suku Bena, Kopa) So’o Neomori (merupakan golongan budak atau orang yang terbuang) Dari zaman dahulu sampai sekarang tetap ada lapisan sosial tersebut, tetapi sudah tidak ada perbedaan hak dan kewajiban. Lapisan So’o Neomori sudah tidak ada lagi sekitar 70 sampai dengan 80 tahun yang lalu. Masyarakat Bena menganut perkawinan matrilineal sehingga terjadi kawin masuk ke dalam keluarga perempuan. Hukum waris yang berlaku yaitu pihak perempuan yang mendapat warisan, laki-laki yang keluar untuk menikah tidak mendapat warisan, hanya mendapat biaya untuk membayar belis (mas kawin). C. Pendidikan Masyarakat Kampung Bena tidak membeda-bedakan kesempatan belajar untuk perempuan atau laki-laki. Masyarakat sudah menyadari perlunya pendidikan dengan melihat jumlah anak-anak yang mengikuti program pemerintah wajib belajar sembilan tahun. D. Kebudayaan dan Kesenian Upacara - upacara yang berkaitan dengan daur kehidupan warga bena adalah : 1. Upacara kelahiran (Tau Azi ) 2. Upacara potong rambut 3. Upacara potong gigi saat anak berusia 20 tahun (Ripa Ngii ), sekarang sudah tidak dilakukan lagi. 4. Upacara kematian (Khuwata ) Tarian adat yang sering ditarikan adalah tarian Jai ii. Biasanya menggunakan pakaian adatiii. Upacara adat yang sering dilaksanakan antara lain : 1. Upacara Reba iv Reba merupakan upacara tahunan adat yang berlangsung satu tahun sekali setiap tanggal 27 sampai dengan 29 Desember. Pelaksanaannya dilakukan pertama-tama di rumah adat masing-masing suku kemudian dilakukan di pekarangan rumah, bersama dengan suku-suku yang lain. Kegiatan yang dilakukan selama acara antara lain adalah menarikan tarian Jai kemudian memotong babi sesuai dengan kemampuan. Alkulturasi agama dan adat terlihat jelas saat Pesta Reba Bena. Awalnya Upacara Reba diadakan setiap tanggal 15 Desember namun karena sebelum natal tidak diperbolehkan ada perayaan maka tanggal pelaksanaannya dipindahkan. Pesta Reba Bena itu sendiri diawali dengan pesta di paroki dahulu baru Arsitektur Tradisional Flores


kemudian di masing-masing kampung selama tiga hari tiga malam.

_062.

Rangkaian Upacara Reba diperingati secara bergiliran oleh beberapa kampung secara berurutan. Urutannya adalah Kampung Bena, Kampung Nage, Kampung Loba, Kampung Lana. Upacara Reba yang diadakan di kampung-kampung lain memiliki prosesi yang sama. 2. Upacara Bangun Rumah Semua persiapan bangun rumah dimusyawarahkan oleh semua anggota suku yang akan membangun dipimpin oleh tua adat dari suku tersebut lalu melapor ke warga suku-suku lain dengan membuat musyawarah adat yang dipimpin oleh ketua adat. Dalam musyawarah ini juga ditentukan dimana rumah adat tersebut dapat dibangun. Setelah melakukan musyawarah, hasilnya kemudian dilaporkan ke kepala desa setempat. Orang yang menentukan nama rumah tersebut disebut woe (bapak tua). Setiap suku mempunyai orang–orang tertentu yang dapat memberikan nama rumah, apabila tidak ada woe maka harus membayar orang dari tempat lain. Pemberian namav dilakukan setelah bangunan selesai didirikan. Setelah itu dilakukan upacara pembukaan rumahvi. 3. Upacara Kematian Upacara kematianvii di Kampung Bena dilakukan secara adat kemudian secara agama. Yang mengurus pelaksanaan upacaranya adalah anggota keluarga dan keluarga besar dari orang yang telah meninggal dan dibantu oleh warga tersebut. Upacaranya dipimpin oleh ketua adat atau tua-tua adat dari suku orang yang telah meninggal tersebut. 4. Upacara Pernikahan Dimasa lalu ada sistem kasta maka perkawinan antar golongan tidak diperbolehkan, sebagai contoh yaitu perempuan dari golongan Gae tidak boleh mengambil suami dari golongan Gae Kisa atau So’o. Apabila laki-laki dari golongan Gae kawin dengan perempuan dari golongan Gae Kisa maka nama keluarganya ikut dengan nama keluarga perempuan dan tidak lagi menjadi golongan Gae. Apabila tetap dilanggar maka dikenai hukuman yang berat bagi kedua pihak dan bagi keluarga dianggap membawa aibix. (5). Upacara Kelahiran (Tau Azi ) Kelahiran anak pertamax diadakan perayaan dengan potong babi, makan nasi dan pisang yang dibagikan kepada tiap rumah di Kampung Bena. Pada hari ke-7 juga diadakan perayaan yang serupa, tetapi hanya khusus anak yang pertama. Dukun di Kampung Bena sekarang telah mendapat pelatihan dari pemerintah (Departemen Kesehatan) dan proses persalinannya pun tidak lagi di rumah tetapi di Posyandu atau Rumah Sakit Bajawa. E. Kehidupan sehari-hari penduduk Walaupun matrilineal tetapi laki laki didalam keluarga tetap menjadi kepala keluarga, mencari nafkah dengan bekerja di ladang atau kebun. Wanita didalam keluarga bertugas mengurus rumah dan mengasuh anak-anak. Pekerjaan seharihari mereka adalah mencari air memasak dan ketika suami pergi ke ladang mereka menenun di teras rumahnya. Pagi hari anak-anak pergi ke sekolah. Anak-anak disekolahkan dari sekolah dasar sampai tingkat yang semampunya keluarga tersebut. Anak-anak perempuan sejak kelas 2 SD sudah mulai diajarkan menenun dan perempuan yang sudah dewasa sudah boleh menenun apabila ia sudah tidak melanjutkan sekolahnya. Anak-laki-laki sejak kecil juga sudah diajarkan berladang dan membantu mengurus ladang. Akan tetapi Arsitektur Tradisional Flores


_063.

adakalanya perempuan harus bisa bekerja seperti laki-laki seperti berladang, karena sudah ada persamaan hak dan kewajiban di dalam keluarga.

Dari hasil menenun dan berladang belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehingga hasil yang mereka tanam sebagian besar dimakan sendiri. Orang-orang Bena masih sedikit yang merantau untuk berdagang ke tempat lain. F. Bahasa Bahasa di Kampung Bena sama seperti bahasa Bajawa. Karena Kampung Bena merupakan kampung yang cukup terpencil maka orang-orangnya jarang keluar sehingga jarang menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sendiri diajarkan melalui sekolah-sekolah dan mereka dapat berbicara lancar dalam bahasa Indonesia walau dengan logat Bajawa yang kental.

Arsitektur Tradisional Flores


_062.

RELIGI

Pada zaman dahulu masyarakat Bena menganut kepercayaan menyembah nenek moyang. Katolik masuk pada tahun 1930. Kemudian pada tahun 1950 dibangunlah sebuah kapela di Kampung Bena. Bagan Perkembangan Katolik di Kampung Bena Dahulu

Kepercayaan terhadap nenek moyang

Thn 1930-an

Katolik masuk ke Kampung Bena

Thn 1950-an

Dibangun kapela oleh Bapak RoďŹ nus Ria (ketua lingkungan I)

Thn 1970-an

Dibangun Goa Maria di bagian atas dari kampung

Thn 1980-an

Pemugaran I kapela saat masa jabatan Bapak Bernardus dengan tukangnya Bapak Emanuel

Thn 1994-an

Pemugaran II kapela saat masa jabatan Bapak Dominikus Dua Arsitektur Tradisional Flores


_065.

Kapel

Goa Maria di Atas Bukit Arsitektur Tradisional Flores


MATA PENCAHARIAN

_066.

Mata pencaharian umum di Kampung Bena adalah bercocok tanam dan tenun ikat. Hasil ladangnya berupa ubi kayu, talas, vanili, kelapa, bambu , jagung, coklat, dan kopi. Mereka mulai menanam pada bulan Desember. Masyarakat juga mengasilkan tenun dan barang-barang kerajinan. Musim berburu di Bena disebut duzu api bani xi, yakni bulan September. 1. Tenun ikat 2. Senjata tradisional berupa Topo (parang), Sua (sejenis golok untuk menari), Sua uwi (tombak kecil), Gala (tombak dari kayu kuku).

POLA PERKAMPUNGAN

A. Pola Awal Perkampungan Pola awal perkampungan ini linier dimana terdapat dua barisan rumah yang memanjang dari arah Utara ke Selatan dan saling berhadapanxii. Rumah-rumah adat utama ini dibangun dengan menghadap bhagaxiii dan nga’duxiv masingmasing. Bila ukuran dari nga’du dan bhaga telah ditetapkan, maka ukuran dari rumah-rumah adat itu sendiri tergantung dari kebutuhan si pemilik rumah. Karena yang datang pertama ke kampung ini adalah suku Bena, maka rumah adat utamanya adalah yang merupakan rumah pertama yang dibangun dan memiliki nama Kopo Riwo, yang ditempati oleh Wijo Enewajo ketika itu. Baru kemudian 8 suku lainnya menyusul, sehingga jumlah suku di Bena ada 9 suku.

Arsitektur Tradisional Flores


_065.

Tenun Ikat Bena

Arsitektur Tradisional Flores


_068.

Bhaga Arsitektur Tradisional Flores


_067.

Nga’du Arsitektur Tradisional Flores


_068.

Saka Lobo

Saka puu Arsitektur Tradisional Flores


_071.

Barulah setelah jumlah keluarga berkembang mereka membangun rumah adat yang cukup besar yang dapat kita lihat sampai saat ini. Rumah adat pertama dinamakan Saka Pu’u dan Saka Lobo. Masing-masing suku memiliki satu Saka Pu’u xv dan satu Saka Lobo xvi.

B. Perkembangan Pola Perkampungan Pemukiman makin berkembang dengan sejalannya perkembangan keturunan dari masingmasing suku. Rumah adat utama mereka tidak mampu lagi untuk menampung keseluruhan anggota keluarganya sehingga dibangunlah rumah-rumah adat biasa yang ukurannya tidak boleh sama dan melebihi rumah adat utama. Pola pemukimannya masih linier berhadapan yang berkembang kesamping/memanjang kesamping. Rumah adat utama dan rumah adat biasa dapat dibedakan dari atap dan ukuran rumahnya. C. Pola Perkampungan Akhir Seiring dengan berjalannya waktu, pemukiman di kampung ini pun mulai berkembang. Pengaruh pemerintah telah masuk seperti pembangunan jalan beraspal yang dapat menghubungkan kota dengan kampung Bena yang mengakibatkan terjadinya pemekaran. Rumah-rumah adat utamanya pun dipindahkan ke kampung Sarabawa dikarenakan pembangunan jalanxvii. Selain ke Kampung Sarabawa pemekaran Kampung Bena berlanjut ke Kampung Batakengo, namun perbedaannya di Kampung Batakengo ini kita tidak akan melihat satupun rumah adat yang merupakan ciri khas dari Kampung Bena, semua rumah di kampung ini sudah merupakan rumah biasa walaupun penduduk yang tinggal disini merupakan keturunan langsung dari suku-suku Kampung Bena. Berbeda dengan rumah-rumah di Kampung Sarabawa yang masih dijaga keasliannya. Dahulu pembagian tempat tinggal antar suku terdapat suatu penzonaan tetapi sekarang tidak lagi akibat banyaknya perkawinan antar suku. Di dalam satu rumah tidak boleh terdapat lebih dari satu keluarga maka sebagian keluarga yang lain harus pindah ke Sarabawa dan Batakengoxviii. Dahulu di kampung ini masih terdapat pembagian kasta-kasta tetapi sekarang tidak lagi namun pembagian kasta-kasta ini tidak berpengaruh pada pola pemukiman kampung. D. Kesimpulan • Pola awal

: Linier berhadapan dengan dua ujung sebagai penjaga. Ruang tengah sebagai daerah penting dan orientasi karena ada bhaga dan nga`dhu. • Pola akhir : Karena ada pemekaran, muncul Sarabawa dan Batakengo dengan pola pemukiman yang agak berbeda tetapi tetap berorientasi ke bhaga dan nga`dhu. • Hubungan ke fasilitas umum umumnya jauh, tapi tetap tidak mau mendirikan fasilitas umum karena tidak ingin ada bangunan baru di sini sehingga pola pemukiman di Kampung Bena ini tidak dipengaruhi oleh fasiliitas-fasilitas umum .

Arsitektur Tradisional Flores


_070.

Tangga Menuju Pelataran Arsitektur Tradisional Flores


_073.

Pola Perkampungan Kampung Sarabawa

Pola Perkampungan Kampung Bena Arsitektur Tradisional Flores


_074.

Arsitektur Tradisional Flores


_075.

Arsitektur Tradisional Flores


_076.

Ture Arsitektur Tradisional Flores


_077.

Sketsa Bena Ture dan Bhaga

HUNIAN Di Kampung Bena terdapat sembilan suku dan masing-masing suku memiliki dua rumah pokok dan dua tugu. Rumah pokok tersebut adalah Saka Pu’u xx dan Saka Lobo xxi. Sedangkan tugu disebut Bagha xxii dan Ngadhu xxiii. Masing-masing rumah di Kampung Bena ini memiliki nama tersendiri sesuai nama nenek moyangnya dan bagi rumah yang telah memiliki nama disebut sebagai rumah adat. Rumah adat pokok memiliki miniatur ditengah atas atap sebagai perlambang yaitu Ata xxiv pada Saka Lobo dan Ana Iye xxv pada Saka Pu’u. Para penghuni rumah adat pokok, baik Saka Pu’u atau Saka Lobo tidak disesuaikan dengan perlambangan rumah perempuan ataupun laki-laki. A. Program Ruang 1. One xxvi Merupakan ruangan utama dan sakral yang digunakan untuk upacara adat, memasak, makan, kumpul keluarga, dan tidur. Di dalam One terdapat tungku api dan di atasnya terdapat ka’I (tempat menyimpan kayu bakar). 2. Ruang tambahan Digunakan untuk tidur, gudang, dan dapur. Pada dapur terdapat tempat untuk menyimpan barang yang diberi nama tolo (seperti plafon). 3. Teda One Merupakan ruang transisi yang digunakan untuk kamar tamu, kumpul keluarga, tempat makan, dan tidur. Arsitektur Tradisional Flores


_078.

4. Kadawari Ruang ini digunakan untuk menerima tamu, menenun, juga untuk melakukan kegiatan di siang hari. 5. Ture Ruang ini merupakan teras yang biasa digunakan untuk bapak-bapak mengobrol di pagi hari.

Pada waktu pertama kali dibangun rumah adat hanya terdiri dari One. Semua kegiatan seperti makan, tidur, masak, dan upacara dilakukan di dalam One. Pintu masuk ke dalam One dibuat kecil dan pendek karena One dianggap sebagai ruang sakral sehingga orang yang akan masuk ke dalamnya harus menunduk sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang. Setelah masuknya pendidikan ke kampung ini pada masa orde baru, termasuk pendidikan seksual, mulai terjadi pemisahan tidur antara suami-istri dengan anak-anaknya. Dengan adanya pemisahan tersebut menyebabkan adanya penambahan ruang yaitu Teda One xxvii, Kadawari xxviii dan Ture (teras). Sekarang rumah adat juga memiliki ruang tambahan di samping kanan-kiri One. Biasanya ruang tersebut digunakan sebagai dapur/tempat mencuci piring atau gudang dan kamar tidur. Dahulu tidak ada jendela seperti sekarang tetapi berupa ngarabibi xxix dan sekarang hanya ada satu yaitu di sisi belakang One. Pintu berada di depan antara Ture dan Kadawari dan tidak ada sekat. Namun, sekarang pintu dan jendela mengikuti perkembangan zaman sesuai kebutuhan.

Ana Iye

Ana Ata

Tanduk Pada Saka Puu Arsitektur Tradisional Flores


_077.

Arsitektur Tradisional Flores


_078.

Pembuatan Bhaga dan Detail

Arsitektur Tradisional Flores


_081.

Di dalam One setiap rumah pendukung itu terdapat mataraga xxx yang berasal dari rumah pokok setiap sukunya masing-masing. Mataraga ini diletakkan di pete xxxi tepat di atas kedu xxxii. Mataraga ini tidak boleh dikeluarkan dari One kecuali ada upacara besar. Setiap suku mempunyai beberapa rumah pendukung yang juga merupakan rumah adat dan luas One rumah pendukung tidak boleh lebih besar daripada One rumah pokoknya. Sebelum ada pembangunan jalan aspal di kampung ini, ketinggian lantai rumah terhadap permukaan tanah lebih tinggi, sejajar dengan permukaan tanah di depannya. Kemudian dibuat lebih pendek untuk menghindari roboh dan perambatan getaran dari jalan aspal di belakang rumah yang sering dilewati oleh kendaraan besar, truk. B. Cara Membangun Proses membangun rumah adat di Kampung Bena terdiri dari lima tahap, yaitu : 1. Dei muku tewu Dei Muku Tewu ini merupakan upacara pembangunan rumah. Pada upacara ini semua keluarga keturunan rumah harus menghadirinya dan di dalam upacara ini dibicarakan perencanaan kerja dan biaya. Dalam upacara ini dilakukan acara potong babi yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Bila ingin membangun rumah semua keluarga harus berkumpul. Semua pekerjaan bangunan yang mengerjakan adalah keluarga dari pemilik rumah dan yang membuat ukiran adalah salah satu keturunan dari suku itu. 2. Torengani Upacara yang kedua adalah upacara mengambil papan di hutan dan pembuatan papan-papanxxxiii. Selama proses ini setiap hari diadakan acara potong babi dan dilanjutkan dengan makan babi bagi Arsitektur Tradisional Flores


_082.

keluarga dan para pekerja. Upacara potong babi disebut Mate Ngana (sumpah babi) dan dilakukan dari kegiatan membuat One sampai konstruksi atap

3. Terepudha Upacara ini adalah upacara pembongkaran rumah yang lama maupun baru sampai pemasangan rumah baru di tempatnya. Untuk sementara pada kegiatan ini penghuni tinggal di rumah tetangga atau beva (gubuk). Warga seluruh kampung ikut berperan serta dalam upacara ini. Pada upacara ini yang dilakukan pertama kali adalah memotong babi yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Setelah selesai makan dilakukan pembongkaran rumah lama maupun baru dan kemudian dilakukan pemasangan rumah baru di tempat rumah lama yang sudah dibongkar tadi. Sebelum pemasangan dan penyusunan kayu-kayu, musolaki (tetua) dari keluarga tersebut menari-nari mengelilingi Ngadhu dan Bagha sukunya sambil membawa kayu wisu. Lalu diadakan acara potong babi lagi yang juga dilanjutkan dengan makan bersama. 4. Wae Pada tahap ini dilakukan pemasangan sebagian alang-alang untuk atap yang jumlahnya harus ganjil dan sama antara bagian kanan dan kiri. Atap berbentuk perisai dan atap tambahan berupa atap datar di bagian depan. Bahan konstruksi atap perisai dari kayu koja dan bahan bambu pada atap bagian depan.

Sketsa One Arsitektur Tradisional Flores


_081.

One

Kadawari Arsitektur Tradisional Flores


_082.

Menenun di Kadawari

Entrance Menuju One

Sambungan Kayu Pada One Arsitektur Tradisional Flores


_085.

Sketsa Rumah Bena

Sedangkan bahan penutup atap perisai adalah alang-alang. Sehari sebelumnya warga kampung menyumbang alang-alang sesuai kebutuhan. Urutan upacara Wae yaitu memotong babi, makan bersama, pemasangan alang-alang, memotong babi kembali dan diakhiri dengan makan bersama. 5. Kasao Kasao adalah upacara terakhir yang dirayakan secara besar-besaran. Pada Kasao ini dilakukan pemasangan ata dan ana iye, sa’u (tombak) dan uja (parang) yang sebelumnya dilumuri darah babi. Sisa maule dipasang hingga selesai. Untuk rumah adat pokok dipasang bokho xxxiv kemudian dipasang ata atau ana iye. Ngadhu dan Bagha merupakan bentuk besar dari Ata dan Iye yang terdapat pada atap sakalobo dan sakapu’u. Tingkatan urutan di rumah adat : 1. Dawu ngongo 2. Weti segere 3. Weti masa 4.

Tebhe

: polos tanpa ukiran : ada ukiran : seluruh ukiran sudah lengkap, pete depan diukir di bagian luar, contoh: pelangi : penghabisan, ada ukiran di luar/teras Arsitektur Tradisional Flores


_086.

Arsitektur Tradisional Flores


_087.

Axonometri Rumah

Arsitektur Tradisional Flores


_088.

Konstruksi Rumah Adat Arsitektur Tradisional Flores


_087.

Mataraga

Pondasi

Bagian Belakang Rumah Arsitektur Tradisional Flores


_090.

Konstruksi Rumah Adat Arsitektur Tradisional Flores


_091.

Saka Puu

Arsitektur Tradisional Flores


footnotes.

_092.

Pada saat Belanda masih berkuasa, terdapat 3 kerajaan di Flores Tengah yaitu Kerajaan Bajawa, Kerajaan Nagekeo, dan Kerajaan Riu. Tarian ini ditarikan sepanjang malam sampai pagi pada saat upacara Reba. Tarian ini ditarikan bersama-sama dengan warga di pekarangan rumah atau lapangan. Tarian ini hanya diiringi nyanyian suara manusia. Pakaian yang dikenakan pada saat menari sama seperti pada saat upacara yaitu pakaian adat. iii Pakaian adat terdiri dari : a. Siwe : sarung pada pria berwarna hitam (mite) b. Legakebituki : sarung dengan ikat tali bagian atas untuk perempuan c. Poku : alas kepala d. Keru : ikat pinggang e. Lua manu : hiasan bulu f. Dengau : gelang g. Lawo atau Kakasese : selendang kuning dengan panjang 2 meter dan lebar 7 cm h. Margia : ikat kepala rambut menggunakan Mote, atau Bela (anting emas) iv Reba merupakan upacara tahunan adat yang berlangsung setiap satu tahun sekali tiap tanggal 27 - 29 Desember. Tahapan kegiatannya adalah : (a). Pojo Reba (tanggal 27) Mengucap syukur kepada roh nenek moyang. Acara dilakukan di dalam rumah adat masing-masing suku, setelah itu memulai prosesi memotong hewan seperti babi,kuda atau kerbau. Setelah makan acara dilanjutkan dengan menari Jai sampai pagi. (b). Su’I (tanggal 28) Hari kedua, masing-masing suku membicarakan masalah warisan kepada ahli-ahli warisnya serta membacakan siapa-siapa saja anggota keluarga yang tidak datang pada acara tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan makan dan menari Jai. (c). Pojo Tebu (tanggal 29) Pojo Tebu merupakan melepas malam terakhir disimbolkan dengan mengupas kulit ubi pada malam Su’I dan dibuang pada hari Pojo Tebu. Setelah itu isinya dimakan dengan beras. v Pemimpin upacara menggunakan tempurung kelapa yang diisikan moke (minuman beralkohol masyarakat setempat) untuk memilih nama-nama yang sudah ada sejak zaman nenek moyang pada zaman dahulu. Apabila buih moke berhenti pada saat nama tersebut diajukan, maka nama tersebut yang dipakai untuk rumah tersebut. vi Upacara adat sebelum mereka membuka rumah adat disebut Nainema Yaitu upacara pembukaan rumah untuk pertama kali. Dalam upacara ini tiap keluarga memotong 1 ekor babi dan 1 ekor ayam di ladang, lama perayaan ini 1 hari. Setelah itu mereka berdiam diri di rumah selama 3 malam. vii Prosesi upacara kematian sebagai berikut : a. Jenazah setelah beberapa jam meninggal dimandikan oleh anggota keluarga kemudian dipakaikan pakaian adat (siwe) dan dimasukkan ke dalam peti kayu. Tutup peti juga diberi penutup lain (luwe). Pihak keluarga memberikan makan yang terakhir bagi jenazah dengan cara memotong babi lalu hati babi dicampur dengan sedikit nasi dimasukkan ke dalam mulut jenazah sebanyak seujung jari. b. Pembacaan doa sambil menunggu kerabat datang, peti mati diletakkan di bagian tengah rumah. c. Pemotongan 1 ekor babi kemudian diambil hatinya sebagai ramalan masa depan. Pemotongan dilakukan didepan teras rumah. d. Pemotongan babi untuk santapan, diawali oleh pembacaan mantera-mantera oleh pemimpin upacara. e. Penguburan dilakukan lalu pembacaan doa dan nyanyian dilakukan secara Katholik oleh pastur. f. Makan-makan selama 3 hari berturut-turut. g. Setelah itu dilakukan prosesi yang mengikuti agama. Pembacaan misa setelah 40 hari di kapela. viii Pernikahan di Kampung Bena menganut kawin masuk, yaitu pihak laki-laki yang masuk ke dalam keluarga pihak perempuan. Nama suku dan keluarga setelah menikah ikut seperti nama suku dan keluarga pihak perempuan (matrileneal). ix Pada saat ini, lamaran dilakukan dengan persetujuan antara 2 pasangan. Lamaran pun ada 2 jenis yaitu lamaran biasa (barete loka pale) dan lamaran yang dilakukan pada saat Reba (didi tua manu). Pihak pria juga membawa sirih pinang dan tembakau yang direncanakan kepada pihak perempuan melalui juru bicara. Terdapat juga perjanjian antara pasangan yang akan menikah untuk saling setia, sebab telah ada yang mengikat pasangan tersebut diantara mereka yang ditandai dengan adanya kain yang mengikat pasangan tersebut dalam acara tersebut. Pria harus membawa kayu ke rumah perempuan sebagai tanda telah diterima secara sah di rumah perempuan, tetapi belum sah menurut gereja. Pria boleh tinggal di rumah perempuan akan tetapi harus kerja di kebun dan tidur di ruang makan. x Jika yang lahir anak perempuan ari-ari bayi yang baru dipotong diletakkan dalam berek. Ibu yang baru melahiran dan anaknya yang baru lahir tidak boleh keluar rumah.Tali pusar bayi yang baru lahir dimasukkan ke dalam tempurung kelapa yang dibagi dua, lalu ditutup kembali dan digantung di pohon yang tinggi kemudian dibiarkan saja. xi kalau kerja harus berhati-hati agar tidak terbakar. xii Ketika nenek moyang para suku baru datang, mereka tidak langsung membuat rumah adat yang dapat kita lihat sekarang, tetapi masing masing suku membuat gubuk kecil yang mengapit suatu daerah keramat pada bagian tengahnya. sebelum katolik datang mereka menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme sehingga Di daerah keramat tersebut dibangun bhaga dan nga’du untuk meletakan sesajian mereka. xiii bangunan yang menjadi simbol wanita dan merupakan tempat menaruh sesajian xiv bangunan yang menjadi simbol pria dan juga tempat menaruh sesajian xv rumah adat utama simbol wanita yang dilambangkan oleh bentuk rumah xvi rumah adat utama simbol pria yang dilambangkan oleh bentuk orang xvii Rumah-rumah adat utama yang pindah ke kampung Sarabawa adalah rumah adat utama suku Ago dan suku Deru(6). sehingga terjadilah pemekaran kampung Bena ke kampung Sarabawa yang kemudian dilanjutkan dengan pembangunan rumah adat baru bagi keturunan suku suku kampung Bena (Ago, Deru, dan Nga’da). xviii Banyaknya suku dan rumah yang pindah dari Kampung Bena ke Sarabawa sebanyak 4 rumah dan ke Batakengo sebanyak 5 rumah. xix Fasilitas-fasilitas umum yang sudah terdapat di kampung Bena antara lain Gereja di daerah Jerebu’u, kapel Kebun yang terletak 2 km ke Utara, Kuburan yang terletak di depan rumah karena kekurangan lahan serta sekolah. i

ii

Arsitektur Tradisional Flores


footnotes.

_093.

Rumah pokok yang melambangkan perempuan Rumah pokok yang melambangkan laki-laki Bagha adalah lambang perempuan yang berbentuk miniatur dari rumah adat. Pada bagha terdapat ukiran kuda, ayam tanduk kerbau. Di dalamnya terdapat ruang untuk meletakkan sesaji. xxiii Ngadhu adalah lambang laki-laki berupa sebatang tiang dari bahan kayu yang diukir dan ditutupi atap alang-alang (keri) dan ijuk di atasnya. Bagian bawah disangga oleh batu-batu yang disusun vertikal dan horizontal secara teratur. Pada atapnya terdapat sepasang tangan yang memegang parang (kanan) dan tombak (kiri). Di ujung atap terdapat perpanjangan yang melambangkan kepala orang. Bagian dari batang Ngadhu yang menancap di tanah bercabang tiga. xxiv Boneka laki-laki yang memegang tombak dan parang xxv Miniatur rumah bagha xxvi Di dalam One terdapat papan-papan ukiran yang berada di atas dan bawah dinding One. Papan-papan ukiran tersebut menandakan usia rumah, semakin banyak ukirannya berarti semakin tinggi nilai, kedudukan, keberadaan dan usia rumah tersebut. Apabila ingin menambah ukiran harus membongkar dan mengganti semua bagian rumah termasuk atap dan tentunya dengan ukiran yang akan bertambah banyak xxvii Ruang tengah di depan one xxviii Ruang tamu di depan teda one xxix Celah antara papan pembentuk dinding one xxx Benda pusaka berupa tombak dan parang xxxi Papan belakang atas one xxxii Papan paling besar dan berada di tengah dinding one xx

xxi

xxii

Saka Puu Arsitektur Tradisional Flores


kampung nage.

_094. _051.

LOKASI LOKASI Desa Kecamatan Kabupaten

: Dariwali, : Aimere, : Ngada.

Lokasi perkampungan merupakan daerah bukit yang tepi-tepinya terjal membentuk jurang. Kampung ini berundak-undak mangikuti kontur tanah dan letaknya yang lebih tinggi dari sekitarnya, pemilihan lokasi seperti ini bertujuan agar memudahkan penduduk untuk melihat musuh.

Arsitektur Tradisional Flores


kampung nage.

_095. _052.

PETA LOKASI KAMPUNG NAGE DAN DAERAH SEKITAR

Arsitektur Tradisional Flores


_096.

SEJARAH

Saat ini di Kampung Nage terdapat dua suku yaitu suku Metu (semut) dan suku Tegu (guntur/kilat). Suku Tegu sudah mendiami lokasi Kampung Nage sejak dulu. Dahulu di dekat sumber air panas yang sekarang ada, disebut Kampung Wabana, terdapat beberapa suku. Semenjak terjadi musibah air panasi suku-suku tersebut berpencar, suku Metu lari dan pindah ke Kampung Nage yang sebelumnya sudah didiami suku Tegu. Pada saat itu suku Metu meminta tanah dari suku Tegu. Setelah bermusyawarah, musolaki-musolaki suku Tegu sepakat memberikan tanah mereka di bagian bawah kepada suku Metu.

SISTEM KEMASYARAKATAN A. Sistem Pemerintahan ii 1. Sebelum masa penjajahan Kampung Nage berada dibawah Kerajaan Bajawa yang terdiri atas delapan hamite.

struktur pembagian wilayah Kerajaan Bajawa

Kelitei

Golewa

Soa

Wogo

Jerebuu

Nage

Bena

Bajawa

Niau

Langa

Deru

Mangulewa

Watumanu

Aimere

Waibana

struktur pemerintahan kerajaan Raja Kepala Hamite

Musolaki Adat Ketua Suku Kepala Soma

2. Setelah masa penjajahan Sistem kerajaan mulai menghilang. Musolaki Adat dipilih oleh masyarakat dengan cara musyawarah. Jabatan-jabatan pemerintahan memiliki nama yang berbeda, begitu pula dengan pembagian wilayah administratifnya. Arsitektur Tradisional Flores


_097.

struktur wilayah administratif dan jabatan pemerintahan

Kabupaten Ngada / Bupati Kecamatan Aimere / Camat Desa Dariwali / Kepala desa Dusun Nagemala / Kepala dusun Rt / Ketua Rt Rumah/keluarga / Kepala Soma

B. Pendidikan Pendidikan masuk setelah penjajahan Belanda. Saat ini terdapat fasilitas pendidikan di Jerebuu (kurang lebih 3 km dari Kampung Nage), yaitu dua SDK Jerebuu, SDN Nage, dan SMP Sudarso yang biasa dicapai dengan berjalan kaki. Sedangkan untuk tingkat SMA terdapat di Bajawa, Ende, atau Ruteng. Sejak dahulu tidak ada pembedaan gender untuk pendidikan. Arsitektur Tradisional Flores


_098.

D. Kebudayaan dan Kesenian Upacara-upacara yang berkaitan dengan daur kehidupan warga Kampung Nage antara lain : 1. Upacara pernikahan, yang terdiri atas upacara adat dan keagamaan : a) Upacara adat Kikiripa : Upacara potong gigi pihak wanita. Pada upacara ini ada pengorbanan hewan. Bereteriokepale : Upacara tanda serah dan pembicaraan waktu pernikahan. Pada upacara ini pihak lelaki membawa sirih, pinang, dan kapur ditambah dengan ayam, kelapa, moke, serta beras. Tun Manu : Upacara laki-laki masuk ke rumah wanita. Pada upacara ini pihak laki-laki biasanya menyerahkan kuda dan ayam. Maka : Upacara pemberian nama keluarga.

b) Upacara keagamaan Dilangsungkan setelah rangkaian upacara adat dengan peresmian pasangan pengantin secara agama di gereja. Dalam pernikahan pengantin pria kelak berhak menerima harta dari keluarga pengantin wanita, namun ia tidak berhak mendapatkan warisan harta dari keluarganya sendiri. 2. Upacara pembangunan rumah adat Pembangunan rumah adat melalui beberapa tahapan dan upacara adat. Rencana pembangunan rumah dibicarakan secara musyawarah di dalam keluarga, kemudian kepala soma menyampaikan kepada kepala suku, kepala suku kepada kepala dusun, kepala dusun kepada kepala suku lainnya, setelah itu kepala dusun mengadakan rapat dengan para kepala suku di kampung, apabila rencana pembangunan rumah disetujui, maka pelaksanaan pembangunan selanjutnya dipegang oleh kepala dusun. 3. Upacara pembukaan kebun atau ladang Sejak akhir tahun 70-an kegiatan berburu mulai ditinggalkan dan diganti dengan berkebun dan berladang. Setelah membeli tanah, diadakan musyawarah dan upacara di rumah pemilik kebuniii. 4. Upacara Reba Upacara ini sebenarnya adalah upacara panen yang dahulu dilaksanakan setiap bulan muncul (tanggal 15-20 tiap bulan) namun sekarang dilaksanakan setiap tanggal 1-3 Januari. Pada upacara ini 30 laki-laki dari suku Deru menari di atas susunan batu besar yang disebut Nabe Tegu sebagai pemimpin upacaraiv. Warga lainnya menari mengelilingi batu sambil bernyanyi dan memegang senjata yang disebut Klewang. Semua yang ikut menari diwajibkan memakai pakaian adat v dan dilarang memakai alas kaki. Menjelang matahari terbenam (tiga meter dari permukaan tanah) dilakukan Tedo Telo vi. Setelah itu dilakukan penusukkan tombak ke anyaman bambu yang ada di pintu rumah adat diiringi pembacaan mantera-mantera adat. 5. Upacara kematian (Upacara Kenduri ) Pada upacara ini dilakukan upacara potong kerbau yang disediakan oleh keluarga almarhum. Kerbau yang dibunuh harus dua ekor, betina dan jantan. Sebelum itu harus bunuh ayam di Bhaga yang dilakukan oleh ketua-ketua adat vii. Kerbau yang akan dibunuh diikat di batu dekat Ma’dhu. Tanduk dan hidungnya diikat tali lain yang ditarik dan disangga dengan bambu yang didirikan hingga kerbaunya berdiri. Setelah itu lehernya ditebas Arsitektur Tradisional Flores


_099.

Upacara Kematian

Arsitektur Tradisional Flores


_0100.

dengan parangviii , kemudian darah kerbau tersebut ditampung di bambu dan dioleskan ke tiang Ma’dhu dan batu-batu. Daging kerbau dipotong-potong, direbus dan dibagikan ke penduduk. Setiap rumah diwajibkan menyediakan nasi yang dikumpulkan oleh keluarga almarhum menjadi satu, setelah itu dibagibagikan.

RELIGI Sama seperti pendidikan, Katolik masuk setelah penjajahan Belanda. Kampung Nage memiliki sebuah kapela yang dibangun pada tahun 1996 dan sebuah gereja yang terletak di Jerebuu dan ibadah di gereja dilaksanakan setiap Hari Minggu.

MATA PENCAHARIAN Mata pencaharian utama adalah berladang. Hasil ladangnya antara lain : padi, kakao, cengkeh, talas, ubi kayu, vanili, merica, kelapa, dan jagung. Mereka juga menanam pohon pinang untuk mengambil buah dan untuk menghasilkan sejenis minuman keras, moke. Mata pencaharian lainnya adalah beternak babi dan kerbau. Untuk berburu babi hutan dan kera mereka menggunakan senjata tombak yang disebut pujakawa, parang, dan kapak. Kaum wanitanya menenun kain adat. Ada juga kerajinan anyaman, antara lain bere (tempat sirih untuk wanita), lega (tempat sirih untuk pria), dan wadah nasi.

POLA PERKAMPUNGAN A. Pola Awal Perkampungan Bangunan yang pertama didirikan adalah rumah pokok, Pekapu’u ix, selain itu ada rumah cabang, Pekalobo x. Keduanya berfungsi sebagai rumah tinggal. Rumah harus dibangun menghadap lapangan di mana terdapat Bhaga xi dan Ma’dhu xii, kalau tidak menghadap lapangan dianggap menghina nenek moyang. Begitu juga dengan peletakan kuburan yang berada di sekitar Bhaga dan Ma’dhu, biasanya membujur dari timur (kepala) ke barat (kaki). Di kampung ini tidak terdapat sistem kasta. Tanah sudah dibagi-bagi sejak zaman nenek moyang, dan kepemilikannya dilanjutkan turun-temurun oleh anak laki-laki. Ladang atau kebun terletak tersendiri, agak jauh dari kampung. Ladang mereka berselang-seling dengan ladang milik suku atau kampung lain. Terkadang letaknya sangat jauh sehingga mereka harus menginap di dekat ladang saat musim garap. Sementara perbedaan ketinggian di kampung ini hanya mengikuti keadaan alam yang ada. B. Perkembangan Pola Perkampungan Tiap-tiap rumah bisa didiami hingga empat keluarga, namun biasanya hanya terdapat satu keluarga dalam setiap rumah, karena anak yang telah berkeluarga akan membuat rumah sendiri. Rumah yang dibangun kemudian tidak boleh melebihi tinggi Pekapu’u. Umumnya tinggi rumah adat tidak sampai 4 m. Sejak tahun 1960-an mulai terjadi modernisasi, antara lain; penggunaan seng untuk atap, dan batako untuk dinding rumah, selain itu Pemerintah Orde Baru melarang adanya kuburan di tengah lapangan, kuArsitektur Tradisional Flores


_0101.

buran yang sudah ada dibongkar dan dipindahkan ke lahan kosong dekat jalan masuk Kampung Nagexiii yang asli . Pemerintah juga mengganti atap alang-alang dengan seng sebagai bentuk modernisasi.

C. Pola Akhir Perkampungan Saat ini pemerintah justru mengarahkan warga Kampung Nage untuk merombak rumah yang memakai genteng, dan menggantinya menjadi rumah adat. Pemerintah mengizinkan pembangunan rumah yang modern, asalkan letaknya di luar Kampung Nage yang asli. Rumah-rumah modern dibangun berjejer linier dan sudah menghadap ke jalan, tidak lagi ke Ma’dhu dan Bhaga. Di belakang rumah biasanya terdapat area kandang hewan dan MCK. Kampung Nage terdiri dari 42 KK. Suku Tegu memiliki 16 rumah besar sedangkan suku Metu 8 rumah besar. Jumlah ini tidak akan bertambah karena tidak ada lagi lahan yang tersedia, selain itu lahan di belakang rumah mereka sudah semakin sempit akibat bencana longsor yang terjadi tahun lalu. Saat ini tanah sudah tidak menjadi milik adat. Pemerintah telah mengukur luas tanah dan mensensusnya sehingga penduduk memiliki surat tanah, dan berkewajiban membayar pajak atas tanah tersebut. Jalan raya dibuka pada tahun 1974 dan diaspal pada tahun 1984. Listrik (PLN) belum masuk, seluruh

Arsitektur Tradisional Flores


_102.

kampung memakai generator swadaya warga untuk menyalakan lampu pada pukul 18.30 sampai dengan 23.00 setiap harinya. Saluran air, sejak tahun 1998 telah menggunakan pipa atas swadaya masyarakat dan bantuan dari Pemerintah Australia. Air yang ada berasal dari Mata Air Waemerengoxiv. Untuk pembagian daerah, suku Metu mendiami bagian timur/tenggara kampung asli sedangkan suku Tegu di bagian barat/barat laut (ujung kampung). Bagian tengah kampung adalah lapangan tempat upacara adat, rumah-rumah terdapat di pinggirnya, sementara kandang-kandang terletak di belakang rumah. Ada beberapa macam bangunan di Kampung Nage, yaitu : 1. Pekapu’u, yaitu rumah pokok wanita. Ditandai dengan rumah-rumahan kecil di puncak atapnya, 2. Pekalobo, yaitu rumah pokok pria yang ditandai dengan orang-orangan di puncak atapnya. Merupakan tempat tinggal kepala suku, 3. Rumah dempet, yaitu rumah yang atapnya berdempetan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan lahan yang ada. Penghuninya adalah kakak beradik, 4. Ma’dhu, yaitu simbol nenek moyang pria. Setiap suku memiliki satu buah. Dipergunakan sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dibunuh sewaktu upacara adat, sebagai tempat awal untuk upacara adat, dan tempat berkumpul semua suku, 5. Bhaga, yaitu simbol nenek moyang wanita. Berbentuk rumah melambangkan bahwa wanita tidak bisa masuk rumah pria, justru sebaliknya. Setiap suku memiliki satu. Sebagai tempat untuk memotong ayam untuk upacara adat dan menaruh sesajen, 6. Batu Nabe Tegu, yaitu susunan batu megalit tempat menari adat, 7. Batu Tura, yaitu batu besar yang dipergunakan sebagai tempat bermusyawarahxv, 8. Kapela atau rumah doa, 9. Makulata, yaitu lahan pemakaman. Arah penguburan jenazah yaitu kepala di sisi Timur, kaki di sisi Baratxvi.

Rumah Dempet

Nabe Tegu

Arsitektur Tradisional Flores


_103.

Sketsa Nabe Tegu Arsitektur Tradisional Flores


_104.

Sketsa Nabe Madhu Arsitektur Tradisional Flores


_103.

Bermusyawarah dalam Bhaga

HUNIAN Yang diperbolehkan membangun di Kampung Nage hanyalah anggota suku, tidak boleh orang luar. Setiap rumah adat memiliki nama yang berupa syair atau biasa disebut sawe. Setiap rumah hanya dihuni oleh satu keluarga saja. Pengukuran dalam proses pembuatan rumah adat masih menggunakan ruas bambu. Rumah adat menggunakan atap bambu yang diganti setiap lima tahun. A. Cara Membangun Proses pembangunan rumah adat saat ini secara garis besar : 1. Penggalian tanah, 2. Pembuatan pondasi dari batu dasar, semen, dan pasir, dahulu dengan batu-batu susun atau teru, 3. Meratakan dengan tanah, 4. Pemasangan tiang-tiang di atas pondasi, 5. Pembuatan lantai teras dalam dan luar, 6. Pembuatan lantai dan dinding rumah adat, 7. Pembuatan dinding-dinding teras dalam, 8. Pemasangan kuda-kuda atap, 9. Pemasangan bambu untuk atap teras, 10. Pemasangan alang-alang untuk atapxvii. Setelah proses pembangunan selesai diadakan upacara adat rumah baru dengan tahapan : Nuka Katabawaxviii, Weti xix, Terelengi xx. Penutupannya dilakukan dengan membunuh kerbau yang disediakan pemilik rumah sedangkan penduduk lainnya menyumbangkan nasi, dan melakukan tarian Labago. Selama proses pembangunan rumah yang memakan waktu kurang lebih dua bulan ini pemilik rumah berkewajiban menyediakan makanan berupa daging babi atau kerbau. Rahang babi dan tanduk kerbau yang dibunuh harus disimpan dan digantung di depan rumahxxi. Arsitektur Tradisional Flores


_106. Hal lain yang perlu diperhatikan pada pembangunan rumah adalah penebangan pohon bambu untuk bahan rumah diwajibkan untuk meminta surat izin terlebih dahulu kepada Pemda desa. Pemotongan bambu biasanya dilakukan pada waktu bulan gelap untuk mencegah adanya fufuxxii yang keluar pada bulan terang. Tidak diperbolehkan memakai paku pada dinding rumah adat karena itu menggunakan pasak bambu. Ketebalan papan kurang lebih 3 cm. Rangka dan lapisan penutup atap diikat memakai tali dari daun lontar dan saat ini sudah menggunakan paku. Dinding dan tiang hanya menempel di atas pondasi tetapi kokoh dan kuat karena antara dindingnya diikat oleh balok-balok yang melintang di atasnya. Rumah adat tidak boleh berjendela dan hanya memiliki satu buah pintu, namun ada lubang kecil untuk ventilasi udaraxxii. Tinggi rumah tidak boleh melebihi 4 m. Apabila rumah pokok setinggi 3,98 m maka tinggi rumah lainnya harus di bawah 3,98 m. Atap alang-alang menahan panas sehingga suhu di dalam rumah menjadi lebih sejuk. Asap yang ditimbulkan saat memasak akan memperkuat alang-alang sehingga tidak cepat rusak dan juga membunuh binatang-binatang di atap tersebut. Atap alang-alang ini sangat awet, bisa mencapai 50 tahun. Motif ukiran pada dinding depan rumah adat antara lain kapak, tanduk kerbau, ayam jago, kuda, dan gajah. Tiang-tiang di dalam rumah adat disebut dalu. Kayu yang biasa dipakai untuk membangun rumah adalah kayu fai dan oja, namun suku Metu hanya mempergunakan kayu oja karena selain kayu tersebut akan membawa sial.

Pekalobo

Pekapu’u Arsitektur Tradisional Flores


_105.

Konstruksi Rumah

Arsitektur Tradisional Flores


_106.

Tungku pada One

B. Program ruang 1. Pada Merupakan teras depan, yang berfungsi untuk menerima tamu. 2. Teda Merupakan teras tengah, yang berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat 3. One Merupakan ruangan utama, berfungsi sebagai tempat bermusyawarah, acara adat di dalam rumah, dan tidurxxiv. Di dalam One terdapat tungku yang berfungsi sebagai tempat memasak makanan untuk upacara adatxxv yang di atasnya terdapat Kae. 4. Iru Merupakan plafond paling atas, dahulu berfungsi sebagai tempat persembunyian gadis sewaktu masa perang. 5.Tolo Merupakan semacam plafond tempat untuk menyimpan makanan. 6. Mataraga Merupakan tempat menaruh benda-benda pusaka seperti parang atau tombak. Apabila ada musyawarah maka pemimpin musyawarah duduk di bawah Mataraga.

Arsitektur Tradisional Flores


_109.

Ukiran pada Pintu Masuk

Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


_110.

Arsitektur Tradisional Flores


_111.

Arsitektur Tradisional Flores


footnotes. Musibah air panas berawal dari adanya mitos bahwa menertawakan kejadian aneh merupakan sumber malapetaka. Pada zaman dahulu terdapat dua orang ibu yang baru melahirkan di kampung tersebut. Menurut adat, ibu yang baru melahirkan tidak boleh keluar dari rumah selama tiga hari. Ketika salah satu ibu itu membutuhkan api untuk memasak air sedangkan seisi desa sedang bekerja di ladang, dia mengirimkan seekor anjing dengan tempurung kelapa terikat di ekornya untuk meminta api kepada ibu yang lainnya. Melihat anjing berlari dengan tempurung kelapa terbakar di ekornya sebagian besar orang tertawa sehingga muncullah air panas tersebut. Menurut dukun, saat itu mereka harus lari dan tidak boleh menengok ke belakang karena siapapun yang menengok ke belakang akan berubah menjadi batu. Namun terdapat beberapa nenek dan hewan peliharaan yang menengok ke belakang dan akhirnya berubah menjadi batu. Sehingga sekarang, sesuai dengan kepercayaan yang ada, terdapat sebuah batu yang menyerupai sosok nenek di lokasi tersebut. ii Sistem pemilihan serta kriteria : Raja : Diteruskan secara turun temurun. Kepala Hamite : Sama seperti raja, diteruskan secara turun temurun. Musolaki Adat : Dahulu berdasarkan kriteria ďŹ sik yaitu tinggi besar, sedangkan sekarang lebih diutamakan kriteria sifat seperti lihai, bertanggung jawab, dan mampu mengatur anggota masyarakat. Ketua Suku : Berdasarkan keturunan dari rumah pokok. Kepala Soma : Harus berasal dari turunan asli keluarga tidak boleh pendatang atau menantu. iii Tahapan dalam upacara pembukaan kebun atau ladang : a) Pertama-tama dilakukan penebangan namun tidak boleh ditebang habis dalam satu hari, harus disisakan dua atau tiga batang pohon, b) Esok harinya ditebang kembali dan disiangi sambil diadakan Upacara Pogoduda, tempatnya di kebun dan tidak mewah, hanya pemotongan babi, c) Dilanjutkan dengan Ropirami, yaitu pembakaran lahan dan Toza Keme, yaitu pembangunan balai-balai dan terasering, d) Penanaman benih dimulai dan diadakan upacara penyiraman benih dengan air beras sebagai tanda peresmian pemilikkan kebun. Sedangkan upacara untuk panen disebut Ketikua, e) Penentuan batas kebun dilakukan secara jelas. Batas ditandai dengan batu di empat sudut kebun, sekarang dipakai pilar sebagai pengganti batu, disaksikan oleh Musolaki, pemilik kebun di sekitarnya dan penduduk setempat. iv Atau biasa disebut Palawaja Paebani karena suku Deru membantu suku-suku di Nage dalam berperang. i

Pakaian adat untuk pria terdiri dari : Biri : Sarung, Lue : Selendang, Boku : Ikat kepal, Wuli : Kalung biji rumah siput yang dianyam dengan rotan, Kamalo : Pita kuning untuk pinggang, Sau : Parang, Tego : Gelang gading. Pakaian adat untuk wanita terdiri dari : Lawu : Kain, Subu : Rumbai-rumbai pengganti kancing, Maringia : Kain kecil untuk ikat kepala, Tego : Gelang gading, Rabekobo : Hiasan rambut dengan untaian manik-manik / putu yang menjuntai. v

Tiga orang bediri diatas pondasi semen disamping Nabe Tegu, mengucap sumpah adat dan melemparkan telur bersamaan ke atas melewati Nabe Tegu. Apabila telur pecah sebelum jatuh ke tanah berarti akan ada bencana angin topan. vii Darah ayam ini kemudian dicampurkan dengan nasi dan dijadikan sesajen untuk nenek moyang. viii Orang tersebut hanya boleh menebas satu kali, apabila gagal mengenai nadinya maka harus diulangi oleh orang yang berbeda. Orang yang menebas tidak boleh terkena semburan darah kerbau. ix Rumah berjenis kelamin wanita dengan lambang rumah mini di atapnya. x Rumah berjenis kelamin laki-laki dengan lambang orang-orangan di atapnya. xi Lambang rumah perempuan. xii Lambang rumah laki-laki. xiii Lahan tersebut disebut Makulata. xv Saat ini sudah tidak ada karena dibongkar oleh pemerintah orde baru. xvi Pada umumnya dikuburkan dalam posisi tidur namun orang-orang tertentu yang dianggap berjasa dikuburkan dalam posisi duduk, dan upacara yang diadakan untuknya adalah membunuh kerbau dua kali, pada hari kematian dan tiga hari setelah dikuburkan. xvii Pada saat pemasangan alang-alang untuk atap, pemilik rumah duduk di puncak atap dan melempar beras ke segala arah. Alang-alang diletakkan di dalam pagar yang disebut Kopo Keri. xviii Pada upacara ini pena, semacam tandu, dibawa dari luar rumah oleh empat orang, memilkul pemilik rumah dan diiringi tarian Kataba oleh pria dan wanita yang akan tinggal di rumah baru tersebut. Sesampainya di depan rumah baru, pemilik rumah turun dari pena, lalu pena dibawa masuk dan diletakkan di depan pintu rumah adat. xix Upacara yang dilakukan sebelum ukiran-ukiran di atas dinding tujuh lapis rumah adat dibuat. Dalam acara ini pemilik rumah harus menyediakan buah kelapa dan ayam. Darah ayam diteteskan pada pahat yang akan digunakan kemudian pemahatan dilakukan oleh orang tertentu, tidak sembarang orang. xx Upacara peletakkan batu pertama yang dipimpin oleh ketua adat. xxi Sebagai tanda banyaknya biaya yang dihabiskan untuk membangun rumah tersebut. Apabila babi atau kerbau itu merupakan pinjaman maka diberi tanda dan harus dibayar, apabila pemilik rumah sudah meninggal sebelum melunasi hutangnya maka beban hutang tersebut jatuh kepada vi

Arsitektur Tradisional Flores


_115. keturunannya. xxii Roh jahat dalam kepercayaan setempat. xxiii Menurut kepercayaan, pada saat hanya ada satu pintu saja yaitu pintu masuk ke One, kumbang atau serangga terbang kecil lain haram masuk rumah karena akan membawa malapetaka. Hal ini dipercaya karena pintu yang ada hanya diperuntukkan bagi manusia. xxiv Dahulu sebelum ada puskesmas atau bidan, proses melahirkan berlangsung di dalam rumah, yaitu di dalam One, tepatnya di pojok seberang depan tungku. Merupakan tradisi untuk seorang ibu yang baru melahirkan tidak boleh keluar rumah selama tiga hari. xxv Karena pada saat ini banyak rumah adat yang telah memiliki dapur tambahan. Bagian-bagian tungku : lapisan pertama adalah daun pisang, tanah, baru kemudian batu sebagai tungkunya.

Arsitektur Tradisional Flores


kampung wogo.

_116.

LOKASI Kampung yang letaknya 700 m diatas permukaan laut ini, terletak pada daerah dengan topograďŹ datar. Hampir seluruh masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dengan membuka lahan di luar kampung. Hasil bumi berupa beras, kemiri, vanili, pisang, aren dan lain-lain. Kampung wogo sangat jarang mendapat sinar matahari dalam waktu yang panjang, setiap harinya matahari hanya muncul sekitar pukul 10.00-14.00, selebihnya dipenuhi kabut. Hal ini menyebabkan pada sore hari gugusan bangunan dihadapannya sering tak terlihat dan sangat dingin di malam hari.

Arsitektur Tradisional Flores


kampung wogo.

_117.

PETA LOKASI KAMPUNG WOGO DAN DAERAH SEKITAR

Arsitektur Tradisional Flores


_118.

SEJARAH

Awalnya masyarakat Wogo tinggal di gua-gua dan hidup secara nomaden, dan berkembang hidup di kebun-kebun mereka masing-masing dalam sebuah kekai (pondok), sehingga masyarakat tinggal secara terpisah. Timbulnya pemikiran daripada mereka hidup sendiri-sendiri, lebih baik berkelompok berdampak pada berdirinya sebuah kampung, dimana mereka membangun sao (rumah adat) dan tinggal di dalamnya dengan keluarga masing-masing. Kampung tersebut diberi nama Wogoi, yang dalam sejarahnya terjadi beberapa kali perpindahan lokasi yang dibagi menjadi 2 perpindahan besar, Wogo Lamaii dan Wogo Baru.

SISTEM KEMASYARAKATAN A. StratiďŹ kasi Sosial StratiďŹ kasi sosial di Kampung Wogo Gae Meze / golongan orang-orang kaya, motif kain gajah Gae Kisa / golongan orang-orang menengah, motif kain kuda Ho’o / golongan budak, motif kain kaki ayam Dalam perjualbelian budak, kasta Gae Meze membeli kasta Ho’o, sedangkan kasta Gae Kisa bersifat netral. Di dalam suatu perkawinan, kasta laki-laki tidak boleh lebih rendah daripada kasta wanita. B. Kebudayaan dan Kesenian Tarian yang sering dibawakan ialah : 1. Tari jai : tarian khusus pada saat pembuatan rumah adat, ditarikan oleh sekitar 40 orang. Alat musik yang digunakan adalah gong. 2. Tari sangaja : tarian penyambutan keluarga dekat yang datang pada saat upacara pembuatan rumah adat. Keluarga dekat ini disambut di pintu masuk (ulupoto). 3. Tari labarudu : tarian perang, biasa ditarikan oleh suku Ngate dan Mariiii dengan jumlah penari laki-laki dan perempuan sama. Alat musiknya terdiri dari 3 gendang. Pakaian dan perlengkapan yang digunakan ketika tari perang adalah gili (perisai), sau (parang), sapulue (pakaian), boku (topi), legajara (tas), bere (bulu yang dipakai) serta dero (gelang dari tanduk). 4. Tari owi : ditarikan pada saat Reba oleh penari laki-laki dan perempuan dengan memakai pakaian adat. Upacara yang sering dilakukan ialah Acara Reba (tahun baru adat). Reba diadakan setiap tanggal 6 Januari. Acaranya berupa pertemuan seluruh anggota keluarga. Jika ada anggota keluarga yang tidak datang, dikenakan sanksi berupa 1 ekor kuda. Pada tanggal 6 - 9 Januari dilakukan acara menari dengan iringan suara manusia.

Arsitektur Tradisional Flores


POLA PERKAMPUNGAN

_119.

A. Pola Awal Perkampungan Wogo Lama Bentuk pola perkampungan di Kampung Wogo lama adalah melengkung dari kanan ke kiri iv, sehingga setiap warga menganggap warga yang lainnya sebagai keluarga. Sao terletak di kanan-kiri dan atasbawah, sehingga posisi sao-sao tersebut menciptakan lahan kosong di tengah tempat terdapatnya madhuv, bhagavi, ture lengivii dan tereviii. Setiap sao menghadap ke lahan kosong tersebut, dan menjadikannya sebagai orientasi dari semua sao yang saling bersambung satu sama lain. Ulu poto (pintu masuk) terletak pada bagian atas dari kampung, sedangkan eko rara (pintu keluar) terletak di bagian bawah. Kepemilikan lahan di kampung ini dibagi 3, yaitu lahan milik: suku Koene’ekebe, suku Lehkodoenahlengiso, dan suku Fikuneemajo. Ketiga suku ini yang pada awalnya sudah ada di tanah tersebut. Bagi warga yang ingin membangun rumah harus minta izin terlebih dahulu kepada pemilik lahan, dan biasanya langsung diberi izin bila ada lahan kosong. Dalam perkembangannya, masyarakat Wogo bertambah menjadi 11 suku, yaitu: Koene’ekebe, Fikeineemajo, Lehkodoenahlengiso, Gisi, Deru, Dumi, Lolo, Mari, Ngahte, Kumi, dan Tikosawa. Masyarakat di Kampung Wogo Lama semakin banyak, sehingga terjadi perkembangan kampung.

Ture di Wogo Lama Arsitektur Tradisional Flores


_118.

Perkembangan kampung menyebar berkeliling ke arah luar, menjauhi bagian tengah dari kampung, karena bagian tengah dari kampung dianggap sakral sehingga tidak boleh diganggu dan dibangun bo’oix, lokasi kampung yang terletak di tengah-tengah hutan bambu membantu keamanan Kampung Wogo Lama dari serangan musuh. B. Perpindahan kampung 1.Tahun 1927 : Para Orang tua bermusyawarah untuk merencanakan proses perpindahannya. Karena mereka menganggap bahwa peristiwa baku bunuh yang pernah terjadi sebelumnya membuat kampung menjadi tidak aman lagi dan diputuskan untuk segera pindah dari kampung. 2.Tahun 1934 : Musyawarah berhasil dan mulai proses pindahx. Pertama adalah pengaturan rumah oleh tuan tanah. Tempat pertama kali pindah adalah Marabelu, berada di sebelah Tenggara Wogo Baru, kira-kira berjarak 550 meter. Di tempat tersebut, adik tuan tanah meninggal dan tanah tersebut pun juga dianggap kurang baik. Kemudian pindah lagi ke Wogo Baru hingga kini. Suku-suku yang pertama kali pindah adalah Saka Dolo (Suku Ngat’he) dan Lopi Jawa (Suku Dumi). Kondisi rumah-rumah penduduk Arsitektur Tradisional Flores


_121.

Ture Bhaga di Wogo Lama

saat itu masih darurat, belum berupa kampung. 3.Tahun 1935 : Orang-orang mulai pindah, kemudian tuan rumah mengatur rumah-rumah yang telah ada. Saat itu telah didirikan 58 rumah dan rumah-rumah penduduk masih saling menyambung. Dalam satu hari bisa didirikan 8-10 rumah, bisa secepat itu dikarenakan cara mendirikan rumahnya hanya dengan membongkar badan rumah lama kemudian memindahkan ketempat yang telah disediakan dan memasangnya kembali. Sedangkan untuk atap yang baru dilakukan secara bergotong royong. Satu atap rumah terdiri dari 10-25 ikat alang-alang. 4.Tahun 1936 : Kampung baru resmi berdiri. Bulan Juli-Agustus diadakan Kanua atau pesta kampung. “Ka” berarti makan dan “Nua” berarti kampung. Pada saat upacara tersebut juga dilakukan pemotongan kerbau berjumlah 99 ekor. Dan yang meresmikannya adalah Raja Nagekeo yaitu Yosep Juangole dan Raja Bajawa Peamole. Jadi proses perpindahan memakan waktu 9 tahun mulai dari gagasan untuk pindah sampai dengan selesai. C. Perkembangan Pola Perkampungan Wogo Baru Pola perkampungan Wogo baru tidak lagi melengkung, melainkan persegi panjangxi, namun tetap dengan analogi yang sama. Falsafah mengenai pola kampung berkembang menjadi Logo Beiwolo Wai Derimesi xii yang melambangkan kekuatan posisi. Orientasi dari tiap-tiap sao masih tetap; tanah kosong di bagian tengah kampung. Luas kampung disesuaikan dengan jumlah penduduk dan kesepakatan bersama. Setelah disetujui, barulah diberi batas berupa pohon beringin dan pohon bambu. Dalam masa transisi, pemerintah menganjurkan agar masyarakat Wogo mendirikan rumah sehat. Namun setelah Kampung Wogo ditetapkan sebagai daerah pariwisata, rumah sehat yang ada dipindahkan ke Bo’o ( di dusun bena), di luar kampung sehingga di dalam hanya ada sao. Dalam perkembangannya, sao yang semula menyambung menjadi terpisah, dengan alasan kesehatan, kebersihan, dan ketertiban. Selain itu, apabila terjadi kebakaran, api bisa menjalar kemana-mana. Arsitektur Tradisional Flores


_122.

Arsitektur Tradisional Flores


_123.

Apabila ada warga yang ingin membangun rumah, mereka harus meminta izin dahulu kepada pemilik lahan. Seperti di Wogo Lama, bila ada lahan kosong akan langsung diberikan kepada yang membutuhkan. Setelah mendapat izin, warga tersebut harus merencanakan pembangunan sao di Lokaxiii, bersama ketua sukunya. Setelah rencana pembangunan selesai, ketua suku tadi menyampaikan ke musolaki (pemimpin kampong), untuk selanjutnya diberitahukan seluruh warga kampung.

Pola Umum Perkampungan Wogo

D. Pola Umum Perkampungan Wogo Di bagian atas : Bhaga terletak di sebelah atas, kemudian Madhu dan Peoxiv. Di bagian bawah : Bhaga terletak di sebelah bawah, kemudian Madhu dan Peo. Keadaan ini sebagai simbol saling menghormati karena letak yang berhadap-hadapan. Posisi Peo selalu berada di atas Madhu.

HUNIAN Hunian pada Kampung Wogo beberapa kali berkembang, disesuaikan dengan lahan dan perkembangan pemikiran yang lebih maju. Pada dasarnya masyarakat Wogo merupakan masyarakat yang mau menerima pemikiran-pemikiran baru untuk kemajuan bersama dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah dijaga bersama. A. Program ruang Program ruang ini disusun berdasarkan urutan ketika masuk Sao 1. Nabe, Merupakan tempat bertumpu pertama kali ketika akan masuk, berupa sebongkah batu kali belah. 2. Pa’da Jawa, Pintu Keluar Desa Merupakan bagian yang diibaratkan jembatan, dan melambangkan masa bayi. Arsitektur Tradisional Flores


_124.

Arsitektur Tradisional Flores


_125.

Arsitektur Tradisional Flores


_126.

3. Tedau, Merupakan bagian yang diibaratkan masa kanak-kanak, sebagai tempat untuk anak-anak makan ketika pesta, kemudian melalui Pene xv. 4. Teda Wawo, Merupakan bagian yang melambangkan muda-mudi kemudian melalui Tolopena xvi. 5. One xvii. Merupakan bagian yang melambangkan manusia dewasa. Didalamnya terdapat Duke xviii, Tiang xix dan Mahtaraga/ ulurongo xx. Didepan mahtaraga inilah singgasana seorang kepala suku.

Pada dinding batas Teda Wawo dan One, terdapat ukiran sepasang Gae Sao xxi yang kepalanya menghadap kedalam, dan kaki sebagai alat bela diri yang dapat menendang kebelakang sebagai bentuk perlawanan terhadap segala gangguan yang ditangkis ke luar rumah. Selain itu juga ada ukiran sepasang ayam yang menggambarkan sifat ayam yang membangunkan di pagi hari, hidupnya mengais, dan pekerja keras harus ada pada pemilik rumah, sesuai istilah �Kako Moe Manu Jago� artinya pemilik rumah harus berkokok seperti ayam jantan, lantang dan terbuka. Celah-celah pada dinding ini, dibuat sebagai simbol yang menggambarkan jika kita ingin masuk dalam suatu keluarga, maka harus melalui jalur yang benar, yaitu pintu depanxxii. Celah tersebut menggambarkan agar jangan sampai terjadi hamil diluar nikah. Adapun untuk masuk menuju one, ketika melalui Tolopena maka kita harus menunduk karena ukuran tinggi lubang yang hanya kurang dari 1 m. Hal ini melambangkan penghormatan pada pemilik rumah dan sebelumnya kita akan secara spontan akan memegang tuku tange xxiii yang menandakan bahwa kita tunduk pada semua aturang pemilik rumah. Dihadapan pintu masuk ini terdapat Mahtaraga/ Uluwanggo yang pada perkembangan selanjutnya, setelah masuknya Katolik, ditengah Mahtaraga selalu terdapat gambar Tuhan sedangkan benda-benda pusaka lainnya disimpan pada sebuah Yehru (loteng), diatas One. Metode Membangun Pembangunan Madhu dan Bhaga Kayu untuk pembanguan Madhu merupakan kayu Kebu dimana untuk menentukan apakah kayu tersebut bagus atau tidak, maka digunakan tibo (bambu kecil). Kemudian diadakan upacara pembakaran tibo tersebut. Jika pecahnya menunjuk ke arah yang sesuai, maka dianggap cocok. Pada saat penebangan kayu, maka diadakan upacara lagi, hal ini dikarenakan kayu tesebut terletak di tanah orang. Setelah itu, kayu tesebut diarak keliling kampung dengan peka puu dan peka lobo diatasnya. Syarat Peka lobo sebelum naik keatas adalah dijatuhkannya talak untuk menganggap dirinya bujang, dan istrinya sementara dianggap saudara. Ukiran pada kayu Kebu merupakan ukiran pria-wanita yang merupakan penggambaran nenek moyang, setelah tiang ditanam kemudian disiram darah babi. Sebenarnya kata madhu tersebut adalah untuk tiang ini, sedangkan atapnya merupakan tambahan saja.

Madhu merupakan perlambang leluhur pria dan Bhaga bagi wanita, yang merupakan perlambangan dari rahim. Sama seperti pembangunan Madhu, Bhaga yang menggunakan kayu Koli disiram darah babi (pada bagian bawah Bhaga), dan upacara pencarian koli ini disebut upacara Duamau. Arsitektur Tradisional Flores


_127.

Rumah Adat

Arsitektur Tradisional Flores


_128.

Pintu masuk Desa

Bhaga Arsitektur Tradisional Flores


_129.

Madhu Arsitektur Tradisional Flores


_128.

Nabe Arsitektur Tradisional Flores


_129.

Nabe, Pa’da Jawa dan Tedau Arsitektur Tradisional Flores


_130.

Tedau

Arsitektur Tradisional Flores


_131.

Tedau Wawo

One

One Arsitektur Tradisional Flores


_132.

Kawa Pene dan Pintu Masuk One

Pembangunan Rumah Rumah dibuat diluar kampung, dipasang kemudian dibongkar untuk dipasang kembali didalam kampung Wogo setelah itu dibuat Kawapere. Anakodaxxiv menaiki Kawapere tersebut, namun bila tidak ada dapat digantikan oleh Eja (menantu). Selama pembuatan rumah, hanya moko bapa woku xxv yang dibolehkan masuk dan harus memasak. Kegiatan ini dilakukan di Lahpu. Setelah rumah jadi, diadakan upacara, moku wulu kui (kaum laki-laki) ditugaskan untuk masak daging dan diletakkan di Teda Wawo, sedang beras yang dimasak oleh wanita diletakkan di Tedau. Jika seseorang akan membangun rumah, maka ia harus menyediakan 1 ekor ayam dan 1 buah kelapa, serta beras yang dikelilingi. Setelah itu diikat dan diletakkan didekat orang yang bekerja. Arsitektur Tradisional Flores


_133.

Tolopena

Arsitektur Tradisional Flores


_134.

Matharaga dan Pedang Peninggalan Nenek Moyang

Arsitektur Tradisional Flores


_137.

Warga Sedang Membuat Madhu Arsitektur Tradisional Flores


_138.

Arsitektur Tradisional Flores


_139.

Arsitektur Tradisional Flores


_138.

Arsitektur Tradisional Flores


footnotes.

_141.

Sesuai nama orang pertama yang mempunyai ide untuk hidup berkelompok. Dalam perkembangannya Wogo lama dipindahkan dengan beberapa alasan: • Terjadi pembunuhan di dalam rumah dan tidak ada yang melerai; tanah dianggap sudah tidak aman lagi sebagai alasan utama, • Lokasi Gereja yang jauh (berhubungan dengan pengaruh masuknya Katolik), • Jauh dari sekolah ( pendidikan seminari yang berada di Mataloko), • Jauh dari sumber air yang berada di Mataloko, • Keadaan Bo’o yang tidak teratur dan berantakan, serta bentuk kampung yang melengkung yang tidak memungkinkan adanya interaksi antar warga secara maksimal. iii kedua suku inilah yang suka berperang dibandingkan dengan suku lainnya iv Analogi yang memiliki nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat setempat, yaitu hadirnya ‘rangkulan kekeluargaan’ dan kepercayaan masyarakat bahwa segala sesuatu harus berawal dari kanan dan berakhir di kiri, dilambangkan dengan pohon beringin sebagai gerbang. v Rumah pokok sebagai tempat roh nenek moyang laki-laki. vi Rumah pokok sebagai tempat roh nenek moyang perempuan. vii Kuburan nenek moyang sebagai tempat berkumpul, bermusyawarah dan terutama sebagai tempat pemberian sesajen, satu untuk setiap suku. viii Tumpukan batu yang melambangkan jumlah suku, terdiri dari dolmen dan menhir. ix sao yang fungsinya sebagai pertahanan kampung, dimana musuh yang datang menyerang harus melalau bo’o dulu sebelum masuk kampung wogo x Cara Pemilihan Lahan 1. Upacara Ture Wae : Yaitu Meletakan air di tempurung kelapa, kemudian didiamkan selama satu malam. Kemudian besok paginya dilihat, apabila airnya tetap penuh atau tumpah semua maka tempat tersebut dianggap tidak cocok. Tempat tersebut dianggap cocok apabila air didalam tempurung berkurang kira-kira seruas jari. 2. Upacara Ture Lengi : Yaitu upacara meletakan batu sebagai tanda dimulainya pendirian kampung baru. Upacara ini merupakan kelanjutan upacara Ture Wae. - Alasan pemilihan lahan 1. Berdasarkan upacara Tere Wae 2. Dekat dengan Mataloko 3. Dekat dengan mata air 4. Lokasi tersebut milik suku yang berada di Wogo (Ngat’he dan Gisi) xi Dengan pertimbangan agar interaksi antar warga maksimal, sehingga jika terjadi sesuatu pada salah satu sao dapat diketahui seluruh kampung. xii Kaki berpijak pada laut dan punggung bersandar pada gunung. xiii Tempat bermusyawarah yang dimiliki tiap suku, letaknya diluar kampung. xiv lambang garis keturunan xv pintu, sebagai lambang peralihan masa anak-anak ke muda-mudi. xvi tangga, sebagi lambang peralihan dari masa muda-mudi ke dewasa , memakai perbedaan elevasi sebagai lambang penghormatan xvii Masyarakat Ngadha percaya bahwa angka 7 merupakan angka yang dipercaya baik dimana terdapatnya istilah-istilah seperti berlayar ke 7 samudra, terbang ke langit ke–7,dan lain sebagainya. Karena itu, pada One setiap sisinya terdiri dari tujuh papan. xviii tiang dari kayu kebu untuk mengikat ayam sebelum dipotong, sebagai simbolisasi potong kerbau, waktu potong ayam ini disebut Tongkatuanu. xix dari kayu Kebu xx tempat untuk meletakkan benda-benda pusaka xxi kuda sebagai pelindung rumah xxii pada awalnya hanya ada 1 pintu masuk, pintu depan xxiii tiang-tiang pengapit Tolopena xxiv Anak sulung yang dipercaya oleh sukunya. xxv Wanita yang mempunyai hubungan kerabat langsung dengan pemilik. i

ii

Arsitektur Tradisional Flores


kampung todo.

_142.

LOKASI Batas-batas geograďŹ snya adalah Waemole, Selat Sabe, dan Laut Flores.

Arsitektur Tradisional Flores


kampung todo.

_143.

PETA LOKASI KAMPUNG TODO DAN DAERAH SEKITAR

Arsitektur Tradisional Flores


_144.

SEJARAH

Masyarakat Desa Todo percaya nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau melewati Sulawesi, lalu menuju Manggarai, selanjutnya ke Lalelombangi untuk kemudian menuju Todo. Bukti bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau adalah nenek jangkar kapal dan genderang Mota Rua yang mereka bawa dari Minangkabau. Wilayah Todo pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa, kemudian beralih di bawah kekuasaan Kerajaan Bima kemudian menjadi Kerajaan Todo. Wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Manggarai dahulu bernama Nuca Lale, yang terdiri dari 4 buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Todo, Kerajaan Bajo, Kerajaan Cibal, Kerajaan Reo.

SISTEM KEMASYARAKATAN A. Sistem Pemerintahan Struktur pemerintahan adat

Tua Adat ii Tua Golo iii Tua Tembong

iv

Masyarakat Kampung

Tua Teno v

Sistem Pemerintahan Kerajaan Todo

Raja vi (Kerajaan) Dalu (13 Kedaluan) Gelarang (11 Gelarang) Komong Kabha Atako’e (rakyat biasa)

B. StratiďŹ kasi Sosial Dewa Morii / bangsawan Kraeng / masyarakat

Mendi / budak / pesuruh Arsitektur Tradisional Flores


_143.

Meriam Peninggalan

C. Pendidikan Pendidikan bahasa Indonesia didapat dari jenjang sekolah, khotbah di gereja, dan di pasar. Di Todo terdapat dua buah SD dan sebuah SLTP yang baru dibangun tahun 1997. Beberapa diantara masyarakat Todo dapat mencapai jenjang perguruan tinggi, biasanya mereka kuliah di Kupang dan di Ujung Pandang. D. Bahasa Bahasa yang terdapat di Manggarai yaitu : 1. Bahasa Manggaraivii. 2. Bahasa Manggarai Timur 3. Bahasa Kepo E. Kebudayaan dan Kesenian Upacara adat yang biasanya dilaksanakan antara lain : (1). Upacara Penthi Upacara ini dilaksanakan saat memperingati tahun baru dan 3 hari setelah Natal. Tujuannya untuk memberi sesajian pada para leluhur. Sebelum upacara dilakukan, tiap Niang terlebih dulu mengadakan upacara penghormatan arwah leluhur masing-masing dengan memberikan sesajianviii yang diletakkan di Langkar (piring tempat sesaji) dan digantung di dalam rumah induk. Susunan acara upacara ini terdiri dari: (a). Knitp Pemanggilan arwah leluhur selama 3 hari berturut-turut sebelum hari H. Dilaksanakan menjelang pagi, sekitar pukul 01.00-03.00 dengan memberi sesajian berupa ayam berbulu merah muda dan sebutir telur. Pemanggilan dibuka dengan tarian adat Sanda Lima ix . Arsitektur Tradisional Flores


_144.

Sekolah

Gereja Arsitektur Tradisional Flores


_147.

(b). Barong Wae Iringan berjalan mulai di mata air sebagai penghargaan terhadap roh-roh air sebagai sumber kehidupan. Seekor ayam putih atau kambing dikorbankan oleh tiap Niang, untuk kemudian diletakkan di depan Niang Induk oleh wakil dari tiap Niang sebagai penghargaan pada Ting Cepa (leluhur). Iringan menuju Niang Induk dengan membawa sesajian Teng Lo Derapu (ayam merah) dengan dipimpin Tua Adat dan para wakil Niang. Hal ini merupakan simbol penerimaan arwah-arwah secar resmi di dalam Niang Induk. Benda-benda pusaka (kulit manusia, parang, keris) harus diletakkan dekat sesajian. (c). Makan Malam Bersama (d). Memberi sesajian yang lebih kecil berupa babi kecil atau kambing yang diletakan depan pintu Niang Induk sekitar pukul 02.00-05.00.

(2). Upacara Pernikahan Dahulu wanita selalu dipingit di rumah. Akibatnya berlaku sistem perjodohan Kawin Tungku x . Pernikahan yang terjadi menganut patrilineal. Warisan keluarga kelak akan jatuh pada anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan yang sudah menikah, tidak berhak mendapat warisan orang tuanya. Dalam proses peminangan, pihak pria membawa Tongka Tongka xi. Acara kemudian dilanjutkan dengan Po’doxii. Jika sampai tidak jadi menikah maka dikenakan denda sebagai berikut, untuk pria dendanya kuda dan uang sedangkan untuk wanita kerbau dan uang. (3). Upacara Kelahiran Bayi Bayi yang baru lahir di Todo harus melewati Upacara Poroputesxiii . Seminggu kemudian diadakan Upacara Pemberian Nama disertai potong ayam putih sebagai tanda syukur pada Tuhan dan potong babi. Kulit ari bayi kemudian ditanam di depan rumah sebagai malaikat pelindung. Kedewasaan seseorang ditandai dengan Upacara Potong Gigi yang sudah tidak dilakukan lagi saat ini. (4). Upacara Pemakaman Masyarakat Manggarai percaya bahwa roh manusia yang telah mati akan kembali pada Sang Pencipta. Oleh karena itu, saat dikuburkan posisi jenazah menghadap ke utara yang dipercaya sebagai arah Sang Pencipta. Jika kematian tersebut karena hal-hal yang tidak lazim, maka posisi jenazah menghadap ke selatan. Setelah seseorang dinyatakan meninggal, mayatnya dibaringkan di tengah ruangan rumah kemudian diadakan Upacara Manuk Hanai xiv. Toko Mbako adalah malam sebelum dikubur sebagai pengakuan keberadaannya di dalam rumahxv. Setelah Manuk Hanai, upacara dilanjutkan dengan Manuk Teti dan Ancem Peti. Upacara ini dipimpin oleh Ata Renge. Selanjutnya dilakukan Upacara Tekan Tana dengan memotong ayam, babi atau kambing. Malam ketiga merupakan malam terakhir berkabung dan dinamakan Wie Kinda. Selanjutnya, sebagai pengungkapan rasa terima kasih maka diadakan Upacara Paka Dia xvi. Upacara terakhir adalah Lulung Luci sebagai pembersihan yang dilakukan pada hari ke lima. Selama lima hari ini penduduk setempat tidak boleh bekerja dan menganyam tikar sebagai tanda perkabungan. Arwah mayat tersebut dipercaya masih berada di sekitar rumah. Arsitektur Tradisional Flores


Yang harus diperhatikan dalam memakamkan jenazah adalah: (a). Posisi kepala berlawanan dengan arah aliran air dari mata air. (b). Biasanya kepala menghadap arah utara. (c). Keadaan tanah untuk kuburnya.

_148.

(5). Upacara yang berkaitan dengan Pertanian a). Wauwini Upacara tanam pertama. Upacara ini diadakan khusus hanya untuk menanam padi dan jagung. Tiap pemilik ladang menyembelih seekor ayam. (b). Pancoraci Upacara yang diadakan pada saat padi dan jagung berumur 1 bulanxvii . (c). Panen 2 minggu sebelum panen, pemilik ladang menyembelih seekor ayam lagi untuk berterimakasih kepada Tuhan. (d). Wesang Upacara pelepasan ladang. Setelah upacara ini pemilik ladang sudah berhenti bekerja di ladang namun masih diperbolehkan untuk menanam tanaman jenis lain seperti kopi, vanili, atau lainnya di bagian masing-masing. Sedangkan tarian adat yang sering ditarikan antara lain : (1). Tari Ndundundake Ditarikan oleh wanita untuk menyambut tamu-tamu besar ataupun dalam rangka pernikahan. (2). Tari Caci xviii Ditarikan oleh pria yang membawa pecut dari kulit kerbau yang dipukul-pukulkan.

RELIGI Suku Manggarai mempercayai adanya roh baik dan roh jahat. Roh baik biasanya berwujud bidadari, bersemayam di pohon-pohon seperti pohon beringin. Sementara roh jahat harus diusir dengan upacara adat dengan pemotongan ayam. Sebelum mengenal Katolik, masyarakat suku Manggarai di Todo menyembah Tuhan lewat perantara poti (roh hutan) dan nenek moyang. Mereka percaya bahwa roh-roh tersebut merupakan perantara antara mereka dengan Sang Pencipta. Sebagian besar masyarakat Todo beragama Katolik. Hanya satu keluarga saja yang menganut agama Islam yaitu keluarga pendatang dari Jawa. Hubungan antar pemeluk agama berjalan baik. Katolik datang seiring dengan kehadiran misionaris dari Belanda. Penyebaran misionaris berawal dari Rekas di Barat, Ruteng di Tengah dan Lengkoajang di Timur. Paroki Todo berusia sudah cukup lama, mulai sekitar tahun 1920-an. Paroki ini dibangun oleh seorang Pater dari Polandia. Jauh sebelumnya sudah ada agama Katolik namun bergabung dengan Paroki Rekas bila beribadah. Paroki di Todo bernama Paroki Ratu Para Rasul dan St. Hendrikus dan membawahi 14 stasi. Arsitektur Tradisional Flores


_147.

Arsitektur Tradisional Flores


_148.

Arsitektur Tradisional Flores


_149.

Langkar Arsitektur Tradisional Flores


_150.

Inkulturasi antara Katolik dengan upacara-upacara adat telah terjadi. Tarian adat sudah ditarikan dalam misa, alat musik yang dimainkan adalah gong dan gendang, umat mengenakan pakaian adat ataupun modern. Acara adat yang diberkati oleh gereja antara lain permohonan silih atau pengampunan dosa disebut Penti, dan upacara Congko Longkap xix.

MATA PENCAHARIAN Dahulu terdapat 2 hari yang merupakan hari pantang untuk bekerja , yaitu hari Jumat dan Minggu. Namun saat ini, hari libur bekerja mereka hanya hari Minggu. Sedangkan untuk hari Jumat hanya orangorang tua saja yang masih tidak bekerja. Waktu kerja dimulai dari pukul 8 pagi sampai dengan pukul 5 atau 6 sore. Makanan pokok masyarakat Todo adalah beras. Hasil ladang daerah ini ialah dalam bahasa lokal Latung (jagung), Woja (padi), Welu (kemiri), Cengke (cengkeh), Wu’e (kacang hijau), Nio (kelapa), Vanili, Kopi, Raci (pinang) Beberapa jenis ladang yang adaxx: 1. Lodok Sistem ladang yang menyerupai jaring laba-laba. Pusat dari ladang adalah sebuah kayu yang dinamakan kayu teno yang ditanam oleh Tua Teno. Setelah kayu teno ditancapkan, ladang dibagi dengan cara meletakkan moso ( ibu jari ) pada sudut kayu teno, kemudian ditarik garis lurus ke arah luar. Tua Teno akan memerintahkan untuk menebas hutan yang akan dijadikan ladang, kemudian dibakar dan dibersihkan. Setelah itu barulah ladang ditanami jagung dan padi. Batas antar bagian adalah batu-batu yang disusun menjadi garis. Arsitektur Tradisional Flores


_151.

Pakaian Adat Arsitektur Tradisional Flores


_154.

Besar ladang dimusyawarahkan di rumah adat. Satu buah jaring laba-laba ini disebut lingko. Satu lingko luasnya bisa mencapai belasan hektar. Jumlah lingko yang akan dibuka pada saat yang bersamaan dimusyawarahkan dahulu di rumah adatxxi. 2. Tobok Ladang yang terdapat di pinggir kali. Untuk membuka ladang ini tidak perlu dirundingkan terlebih dahulu. Satu ladang dipunyai oleh satu orang. 3. Lingko Sonsue Ladang yang mirip dengan lodok, tapi tidak penuh satu lingkaran. 4. Sawah Tadah Hujan Di Todo juga terdapat sawah tadah hujan, sedangkan sawah dengan irigasi hanya sedikit sekali.

Dahulu, Desa Todo memakai sistem ladang berpindah. Hak atas tanah dalam bahasa Manggarai disebut polidara monu xxii. Setelah menggunakan sistem ladang tetap, ladang tersebut harus ada yang menjaga. Jika letak ladang jauh dengan desa, ada penduduk yang tinggal di ladang untuk menjagai selama Âą1 minggu, bahkan sampai masa panen. Mereka tinggal di seka xxiii. Hasil panen disimpan di seka atau di loteng rumah masing-masing. Sejak tahun 1988 di Todo dibuat sebuah pasar yang buka setiap hari Rabu yang terletak di belakang gereja. Binatang yang diternakkan oleh masyarakat Todo adalah kerbau, sapi, babi, kuda, anjing, kambing, dan ayam. Binatang-binatang ini tidak dikandangkan. Binatang-binatang ini dapat dibeli orang yang sengaja datang ke Todo atau dibawa penduduk dengan truk ke Ruteng untuk dijual. Jual beli ternak diatur dalam Julu xxiv. Kerajinan yang terdapat di daerah Todo: 1. Tenun Ikat Tenunxxv ikat ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang. Anak-anak perempuan di Todo sudah bisa menenun sejak kelas 6 SD. Motif khas Todo adalah lipa kemumu. 2. Alat rumah tanggaxxvi, senjata tradisionalxxvii dan alat musik.

POLA PERKAMPUNGAN A. Pola Awal Perkampungan Setelah berhasil mendapatkan kekuasaan, mereka membangun sebuah rumah adat baru yang berbentuk kerucut yang melambangkan kesatuan Manggarai setelah kemenangan Todo dalam berperang. Letak rumah adat baru ini sama dengan letak rumah adat yang lama dan menghadap ke utara. Niang Wowang adalah rumah adat yang digunakan sebagai tempat tinggal raja. Di sebelah rumah induk ini, terdapat 8 rumah adat yang lebih kecil sebagai instansi kerajaan. Rumah-rumah ini masing-masing 4 rumah terletak di sebelah kiri dan kanan rumah induk. Setiap rumah ini menghadap ke rumah induk. Di depan rumah induk terdapat Compang xxviii. Dalam Compang terdapat kuburan dan juga berfungsi untuk mengadakan upacara adat. Kesembilan rumah tersebut merupakan kompleks kerajaan sedangkan letak rumah rakyat berada di sekitarnya, di bukit gunung, tanpa pola yang teratur. Arsitektur Tradisional Flores


_153.

Sawah dengan Sistem Lodok

Tenun Ikat Arsitektur Tradisional Flores


_154.

Arsitektur Tradisional Flores


_157.

Senjata Tradisional

Kuburan Pada Compang Arsitektur Tradisional Flores


_156.

Compang

Kuburan Umum Arsitektur Tradisional Flores


_159.

B. Perkembangan Pola Perkampungan Belanda masuk pada tahun 1906 dan menyebarkan Katolik. Sekolah pertama dibangun pada tahun 1923, yang juga berfungsi sebagai gereja. Gereja permanen baru didirikan pada tahun 1972. Karena mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh angin kencang tiap tahunnya, kedelapan rumah instansi kerajaan diganti dengan rumah yang lebih modern, dinding dari kayu/batu dan beratap seng. Rumah-rumah ini sekarang seluruhnya menghadap ke Compang. Rumah adat induk pernah terbakar dan dibangun lagi, lalu roboh pada tahun 1960-an dan dibangun kembali pada tahun 1991-1992. C. Pola Perkampungan Akhir Jalan raya beraspal dibuat pada tahun 1980-an atas bantuan misionaris dari Polandia. Sebelumnya jalan tersebut merupakan jalan kecil yang dapat dilewati oleh kuda. Setelah ada jalan, mulai dibangun rumahrumah yang menghadap ke jalan itu. Letak sungai cukup jauh dari tempat pemukiman, begitu juga letak ladangnya. Namun ada beberapa rumah yang memiliki kebun di sekitar halaman rumahnya. Mata air sangat berhubungan dengan rumah adat sebab ada upacara adat tertentu yang memerlukan penghormatan terhadap dewa air. Air bersih baru masuk pada tahun 1994 dan MCK pada tahun 1996. Di Desa Todo ini terdapat kuburan umum yang terletak di depan kompleks kerajaan. Orientasi kuburan adalah letak kepala ke utara dan kaki ke selatan atau kepala ke timur dan kaki ke barat. Pada tanggal 16 Juni 2002, Menteri Pariwisata I Gede Ardhika meresmikan desa Todo sebagai desa wisata dan direncanakan bahwa 8 rumah instansi yang sudah roboh akan dibangun kembali.

HUNIAN Di Desa Todo terdapat satu Niang besar dan delapan Niang kecil yang bersusun dan mempunyai tugas masing-masing. Niang Bawang adalah rumah adat yang paling besar di kampung itu. Kedelapan Niang yang lain berfungsi sebagai: 1. Niang Dopo : menangani masalah semua Niang dan berfungsi sama seperti Niang Bicara tetapi hanya untuk satu keluarga. 2. Niang Lodok : memegang perintah untuk membuat lodok. Tetapi penghuni Niang ini dikucilkan karena dulu orang Cibal ( suku penghianat) pernah masuk melewati rumah ini. 3. Niang Mongko : tempat tinggal saudara perempuan. 4. Niang Rato/Daka : tempat menampung segala fasilitas, misalnya tempat untuk memasak bagi Niang Bawang karena di Niang Bawang tidak boleh memasak. 5. Niang Wa : sebagai penghubung dengan luar dan juga sebagai tempat istirahat para Kraeng. 6. Niang Tenek : sebagai penimbang bicara segala masalah dan bila ada pembesar dialah yang akan memberikan seserahan. 7. Niang Supe : berfungsi sebagai lumbung. Bila ada yang meminta langsung, dapat mengambilnya dengan menggunakan leke. xxix 8. Niang Wesa/Bicara : tempat penyambutan pertama para tamu sebelum ke Niang Bawang dan juga berfungsi memberikan informasi. A. Sejarah Rumah Dahulu, rumah yang besar maupun yang kecil masih berbentuk rumah minang. Namun, orang Cibal yang masuk melalui Niang Lodok membakar rumah-rumah yang ada di kampung itu kecuali Niang Bawang yang tidak bisa terbakar. Ternyata di dalam Niang Bawang ada seorang nenek moyang yang Arsitektur Tradisional Flores


_160.

memberi tahu bahwa ada satu jimat yang harus dibawa keluar kemudian Niang itu baru bisa dibakar. Setelah jimat itu dibawa keluar maka Niang Bawang dan nenek moyang itu dibakar bersama. Perbaikan Niang Bawang yang terakhir dilaksanakan tahun 1992-1993. ukurannya lebih besar (dahulu diameternya 18 m tetapi sekarang 20 m). Niang Bawang kemudian dikosongkan sementara selama satu tahun untuk menunggu peresmian dari keluarga dan mencari tahu siapa yang berhak tinggal di rumah itu. Liam Gelarang (papan ukir) di depan pintu yang menjelaskan lima gelar pendamping terdekat raja, yaitu: 1. Popok Gelarang Panggapa’ang : tutup bagian muka kampung (pintu) 2. Nggalu Ngaung Gelarang Rendok : tutup bagian belakang Arsitektur Tradisional Flores


3. Gelarang Nao 4. Gelarang Papang 5. Gelarang Kolek

_161.

: pegang kunci pintu : mengurus bahan-bahan yang dibutuhkan kerajaan, seperti makanan dan perlengkapan : tenaga kerja dari bangsawan sebagai penghubung

B. Program Ruang 1. Ngawu Digunakan sebagai sirkulasi untuk membawa barang dan makanan karena di Niang Bawang tidak boleh memasak jadi makanan hanya boleh dikirim. Selain itu digunakan juga sebagai sirkulasi bagi orang yang tak mampu memberikan seluruh belis (mas kawin). Apabila orang itu mampu maka diperbolehkan masuk lewat pintu depan. Tetapi kenyataannya, banyak orang yang tidak mampu tersebut masuk lewat pintu depan. 2. Sapo/ dapur Baru pada masa ini digunakan untuk memasak. Di atasnya diletakkan alat-alat masak yang dapat digunakan sewaktu-waktu Terdapatnya 3 batu sebagai tungku memiliki arti bahwa tiga tungku harus sependapat dalam menerima sesuatu. 3. Kain penutup Baru ada sejak diperbolehkan memasak di Niang Bawang. Berfungsi untuk menutupi bagian dapur sehingga bila memasak asap tidak keluar. 4. Tempat jantung Rangga ( jantung) yang terbuat dari tanduk rusa digunakan untuk menggantung gendang dan semacam gong, juga untuk menggantung lokeng gera xxx Selain itu di sini juga untuk menggantung robo xxxi, 5. Watu Lekek Batu yang digunakan untuk menaruh dan memotong hewan yang diikat di tiang di dekatnya. Bagi penganut Kristen tempat ini dikenal dengan istilah altar. Sewaktu lekek ayam orang-orang duduk di belakangnya. Untuk babi hanya darahnya yang ditaruh di Watu Lekek 6. Peti/ lapuk Peti yang diumpamakan sebagai orang meninggal. Peti ini disebut Peti Latar Atamata. 7. Kopengkor Merupakan tempat peralihan antara luar dengan dalam, dan juga sebagai penentu lebar pintu. 8. Siri Bongkok Tiang utama yang polos tidak terukir dan dianggap suci/bersih. Di depannya adalah tempat duduk raja. 9. Bilik kamar 10. Lutur letelao (tempat tamu) Biasanya digunakan untuk menyambut tamu, makan bersama,tempat tidur tamu dan ruang sidang. Urutan memasuki rumah ialah melalui pintu yang rendah dan lebar, melewati Batu Kopengkor dengan menunduk dan turun. Menunduk bermaksud untuk memberi hormat kepada tuan rumah dan memberi tabeote (salam). Ketika masuk ke dalam akan bertemu sayap dorot yang bermakna apabila dosanya ringan akan diampuni, sedangkan kalau dosanya berat akan dibuang ke jurang (di belakang rumah). Turun ke kolam berďŹ losoďŹ s bahwa turun kemudian terapung berarti dosa diampuni, turun kemudian Arsitektur Tradisional Flores


_160.

Arsitektur Tradisional Flores


_161.

Niang Bawang dan Kedelapan Niang yang Lain Arsitektur Tradisional Flores


_164.

Bagian Ujung Atap Niang Bawang Arsitektur Tradisional Flores


_163.

Ngawu Arsitektur Tradisional Flores


_166.

Dapur

Jantung Arsitektur Tradisional Flores


_165.

Lokang Gera

Watu Lekek Arsitektur Tradisional Flores


_166.

Kopengkor

Siri Bongkok

Ukiran Arsitektur Tradisional Flores


tenggelam dan mati berarti dibuang ke jurang.

_169.

Ada 9 tiang yang menopang sebagai perlambang ada 9 Niang yang ada di kampung itu dengan tiang utama terletak di tengah mewakili Niang Bawang yang disebut Siri Bongkok. Di tiang ini tidak boleh ada ukiran karena tiang ini dianggap suci. Sedangkan 8 tiang lain diberi ukiran yang berbeda sesuai tugas masing-masing Niang. Khusus untuk Siri Bongkok sambungan-sambungan dililit dengan tali ijuk. Tidak digunakannya pasak / paku karena paku dianggap sebagai campur tangan pihak luar yang keras. Lantai menggunakan kayu Worok (kayu besi) berupa papan yang tersusun. Semua pintu utama setiap niang harus menghadap ruang terbuka dengan maksud agar rezeki mudah masuk ke dalam rumah. Pintu-pintu berorientasi ke tengah. C. Cara Membangun 1. Upacara Manuk Bejang - membuat pondok - membuat kemah - memotong kayu Hambor. Kayu yang dipotong tidak boleh ditumbuhi pohon 2. Upacara Bejang dan Hambor Haju Upacara ini memerlukan 2 ayam. Ayam yang dipilih tergantung mimpi, ayam putih atau ayam merah. Pengerjaan pembangunan rumah harus menggunakan lagu untuk menyuruh orang-orang mengangkat kayu. Jika diperintah langsung orang-orang tidak akan mau mengerjakannya. Lagu tersebut dinyanyikan oleh para pekerja dari awal hingga akhir pembangunan.

Pintu Masuk Niang Bawang Arsitektur Tradisional Flores


_170.

Sayap Dorot

Detail Sambungan Arsitektur Tradisional Flores


_169.

Lulur Latelao

Ukiran Pada Pintu Masuk Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


Arsitektur Tradisional Flores


footnotes.

_174.

Tempat mereka beternak babi ,lalu babi-babi tersebut berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya menetap di suatu daerah yang selanjutnya dinamakan Todo. ii Ia bertugas memimpin dan mengatur segala masalah yang berhubungan dengan adat. Iajuga menjadi penguasa seluruh wilayah. Pemilihan Tua Adat juga dilakukan dalam sebuah musyawarah. Calon Tua Adat diutamakan bagi mereka keturunan tertua dari 9 Niang yang ada. Calon Tua Adat juga harus mengenal adat, bijaksana serta pekerja keras. iii Jabatannya kurang lebih sama dengan kepala kampung atau ketua lingkungan. Ia bertanggung jawab atas masalah keamanan lingkungan. iv Ia membantu Tua Adat terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan Niang (rumah adat). Ia juga berkuasa atas tanah-tanah ulayat. v Ia membantu Tua Tembong dalam masalah tanah, misalnya pembagian tanah-tanah baru. vi Kerajaan Todo memiliki beberapa raja : 1. Raja I : Tambi Ame Nandu Saat pemerintahannya, Todo masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Gowa. Pada masa ini pula dikeluarkan Hukum Pidana berupa Undang Undang Kerajaan yang disebut Watangbowo Becilacang. 2. Raja II : Cera Ame Cero Pada masa ini Todo masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Gowa. Cera Ame Cero pun mengeluarkan UU Pidana baru yang disebut Langke Ame Pawaju Wa’u. 3. Raja III : Jama Dalam pemerintahan Raja Jama, Kerajaan Todo beralih dalam kekuasaan Kerajan Bima. UU kerajaan baru juga dibuat yang kemudian disebut Mangkeng Cake Salangweang. Hukum lain yang dihasilkan adalah Waetehutedeng 4. Raja IV : Marung Pada masa ini perjuangan untuk menyatukan Manggarai dimulai. Dalam penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Bajo dan Cibal, Niang Todo yang saat itu masih berbentuk rumah Minang dibakar. Kemudian Kerajaan Todo balas menyerang. Dengan dipimpin oleh putra-putra Raja Marung sendiri, Todo menyerang dan akhirnya menguasai Wilayah Bajo dan Cibal. Kerajaan Todo kemudian meguasai seluruh Wilayah Manggarai dan nama kerajaan secara resmi diganti menjadi Kerajaan Manggarai, dengan Raja I adalah Raja Marung dan Todo sebagai pusat pemerintahan. 5. Raja V : Talas Ame Nambur (Raja II Manggarai) Ia adalah putra Raja Marung. Saat pemerintahannya, Belanda mulai masuk ke Manggarai (± tahun 1906). 6. Raja VI: Tamur (Raja III Manggarai) Saat pemerintahan Raja Tamur, Belanda memindahkan ibukota Kerajaan Manggarai ke Ruteng (± tahun 1907). Di Manggarai muncul perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang dipimpin oleh Motang Rua yang berasal dari Sumatra. Raja Tamur tidak bisa melanjutkan pemerintahan karena anaknya masih bersekolah sehingga kedudukannya digantikan oleh Pejabat Sementara, Raju Bagung. 7. Raja VII : Baruk (Raja IV Manggarai) 8. Raja VIII : Nambut (Raja V Manggarai) Saat pemerintahannya, sekitar tahun 1958, propinsi NTT resmi berdiri dan Manggarai resmi menjadi kabupaten. Bupati I adalah turunan Raja Nambut yaitu Carolus Nambur. vii dipakai oleh masyarakat desa Todo, tapi saat ini 60 % dari masyarakat Todo sudah dapat berbahasa Indonesia viii Sesajian yang diberikan hendaklah sesuai dengan sesajian terakhir yang pernah diberikan oleh nenek moyang tiap Niang. Hal tersebut bertujuan untuk menghormati dan tidak mendahului apa yang pernah dilakukan nenek moyang. Misalnya sesajian nenek moyang yang terakhir adalah mengurbankan kambing, maka keturunannya juga harus mengurbankan kambing. Jika tidak demikian akan tertimpa musibah, misalnya jatuh sakit. ix Secara harafiah berarti keliling sebanyak lima kali. x Perjodohan antara 2 keluarga yang masih memiliki hubungan saudara, jika ditolak maka akan dibunuh. xi Mas kawin yang telah ditentukan oleh pihak wanita melalui perantara dari kedua pihak, misalnya kerbau atau emas. xii Mempelai wanita diantar ke rumah mempelai pria dengan kuda atau dipikul oleh keluarga pria. xiii Upacara potong tali pusar xiv Pemotongan ayam untuk menandakan pelepasan nafas. xv Mayat dibungkus dengan baju adat, kain putih atau tikar sebanyak tujuh sampai sembilan lapis. Sanak keluarga yang datang melayat datang membawa kain kafan tapi tidak semuanya dipakai. Hanya tujuh atau sembilan lapis. Setelah itu mayat ditaruh dalam peti atau memakai bambu. xvi Upacara ini dilakukan pada hari ganjil setelah mayat meninggal, biasanya pada hari ke-3 atau ke-5. xvii Upacara ini berlangsung selama satu hari dan dilakukan sekali setahun. Tiap pemilik ladang menyediakan dan menyembelih seekor ayam untuk meminta rezeki kepada arwah nenek moyang di kayu teno. Mereka juga mengundang tamu sebagai saksi untuk melihat pembagian ladang mereka. xviii Secara harafiah berarti menghukum satu-satu atau saling memukul. xix Upacara syukur atas panen, biasa dilakukan pada bulan September, Desember - Januari xx Tiap penduduk desa mendapatkan ladang dengan cara dimusyawarahkan dengan Tua Adat. xxi Tiap kepala keluarga hanya boleh mendapat 1 bagian di 1 lingko. Bagian ini akan dibagi untuk masing-masing keturunannya. xxii Dahulu perebutan ladang atau wanita dapat menyebabkan Perang Tanding yang pada akhirnya diselesaikan dengan musyawarah oleh para tetua. xxiii Pondok yang terdapat di kebun xxiv Sebuah sistem penjualan ternak. Orang yang memiliki ternak menghadapi kebutuhan yang sangat penting sehingga ternaknya harus segera dijual Penjual mencari orang yang ingin membeli ternak yang kemudian dimusyawarahkan dulu harga ternak tersebut. Setelah ada kesepakatan harga, masing-masing orang membayar harga yang telah disepakati. Setelah itu hewan disembelih dan dibagi rata. xxv Istilah-istilah tenun dalam bahasa Manggarai: • Pesa : alat untuk menggulung kain yang sudah ditenun. • Wintu : alat untuk menjaga supaya kain tetap tegang • Putekong : penahan benang • Haju medang : alat yang ditendang oleh kaki agar benang tegang • Bangong lonto : tempat duduk menenun • Kropong : tempat untuk memasukkan benang • Klirik : lilitan benang • Truwae : tempat air, agar benang tetap lembab i

Arsitektur Tradisional Flores


footnotes. • Jangka • Kukung humang • Krempak • Mbira • Ngolong • Papan/bangang beran • Sikak

_175.

: memasukkan benang di tiap helai tenunan : memisahkan benang dan menaikturunkan benang : berbalasan antara menaikturunkan benang dengan menekan benang : mengetuk/merapatkan tenunan : membuat jalan untuk mbira : menggulung benang yang sudah disusun : membubuhi benang dengan tepung ubi kayu yang telah dimasak agar benang menjadi halus

xxvi Alat rumah tangga dalam bahasa Manggarai • Senduk/tose : sendok • Mangko/cewak : piring • Mok : gelas • Robo : gelas untuk minum tuak • Longkok : tempat menyimpan padi • Lewing tana : periuk dari tanah liat • Kembokan : kobokan • Kepar : dulang • Doku : tampah xxvi Senjata tradisional • Pedang • Korung : tombak • Kope : parang • Kiris : keris • Surik : tombak kecil untuk perang tanding. xxviii Susunan bebatuan yang merupakan proyeksi dari rumah induk yang ditidurkan. xxix Alat pengukur beras berupa tempurung xxx Gendang dari kulit wanita yang hanya diturunkan pada saat upacara besar. xxxi Semacam labi yang tidak bisa dimakan manusia yang diisi tuak sebagai lambang perdamaian, dibawa oleh orang yang mempunyai masalah/ sengketa.

Arsitektur Tradisional Flores


Acknowledgements

_176.

Ekskursi Arsitektur Tradisional merupakan program tahunan yang diadakan oleh Departemen Arsitektur UI bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Arsitektur UI. Latar Belakang Kegiatan ini ialah keinginan untuk mengenal, mempelajari dan mendokumentasikan arsitektur tradisional Indonesia. Pendokumentasian ini dilakukan sebagai upaya memperkaya perbendaharaan arsitektur Indonesia serta menambah kepustakaan ilmiah mengenai arsitektur daerah di Indonesia. Dalam sejarahnya ekskursi ini telah mengunjungi berbagai daerah seperti Sumba, Sumbawa, Bali, Kalimantan, Nias, Lombok, Toraja dan daerah – daerah lain. Hasil Penelitian juga telah dibukukan yang saat ini menjadi koleksi Departemen Arsitektur UI. Hasil dari penelitian ini diharapkan tidak hanya menjadi milik para peserta saja tetapi juga milik umum. Oleh karena itulah buku ini dengan sekuat kemampuan kami susun dan kami hadirkan. Ekskursi Arsitektur Traditional yang telah menjadi tradisi ini tampaknya akan menemui kendala dalam tahun – tahun kedepan. Kendala Tersebut ialah masalah pendanaan. Pendanaan Ekskursi Selama ini sebagian besar dibiayai oleh dana QUE project yakni dana program peningkatan kualitas pendidikan dari bank dunia. Sayangnya program tersebut telah usai, yang berarti pembiayaan ekskursi selanjutnya merupakan tantangan berat bagi pihak penyelenggara. Besar harapan kami agar penyelenggara selanjutnya tetap memiliki semangat yang tinggi untuk tetap mengadakan program ini. Saya selaku ketua panitia ingin mengucapkan terima kasih kepada para donator, para pembimbing dan yang paling utama kepada rekan – rekan peserta dan penyusun buku ini. Segala lelah dan beban telah lepas ketika melihat buku ini telah selesai. Perjalanan ekskursi ini juga merupakan rekaman memori bagi kami para mahasiswa yang saat ini telah selesai melaksanakan studinya tentang, kerja keras, persahabatan dan semangat.

Adi Fajar Utama

Arsitektur Tradisional Flores


Acknowledgements 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

_177.

Departemen Arsitektur Universitas Indonesia Rektorat Universitas Indonesia Dekanat Fakultas Universitas Indonesia Ikatan Mahasiswa Arsitektur UI Kantor Perwakilan NTT, Jakarta Dinas Pariwisata Kabupaten Ende Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten Ngada Kepala Desa Wolotopo Timur beserta warga Kepala Desa Bena beserta warga Kepala Desa Nage beserta warga Kepala Desa Wogo beserta Warga Kepala Desa Todo beserta Warga Komandan Lantal II Kupang beserta staff Sponsor dan Donatur Para Dosen dan Pembimbing Ekskursi Flores Tim Ekskursi Flores Tim penyusun Buku Arsitektur Flores Semua pihak yang telah membantu mewujudkan ekskursi ores dan buku arsitektur ores ini

Arsitektur Tradisional Flores


_178.

Participants (in alphabetical order) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Adi Fajar Utama Andi Indra Andreas Novendi Ary Dananjaya Cahyono Arthur Widjaja Satrio Anindito Barkah Raharjo Bevani Catleya Bela Voliandi Bono Cindilia Susanty Dewi Maya Maryam Dinda Alissa Ellisa Yunita Era Nusantari Febianca Hery Kuntarto Ikhsan Khairil Sube Indah Irvan. H Ivan timona Kamala . H Keri Margunawan

25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47

Arisanti Anggraeni Meilanie.I. Michael Brohet Mira Kusumayanti M. Ardie Natalia Niken Luh Ayu Fauzia Nugroho Triputranto Ova Pradipta Ratna Ria Risty Roni Gani Sigit kusumawijaya Sasha Media Sinta Novita Tobok Sidjabat Wara Triwardhani Wilopo Rusmaraji Windry Ramadhina Yoso

Arsitektur Tradisional Flores


_179.

Colophon

ARSITEKTUR FLORES /DOKUMENTASI DEPARTEMEN ARSITEKTUR UI Ekskursi Flores diadakan pada 22 juni 2002 – 13 juli 2002 • Diselengarakan Oleh

: Departemen Arsitektur Universitas Indonesia

• Project Officer dan Editor

: Adi Fajar Utama

• Tim editorial

: Windry Ramadhina, Melianie Indriyana, Cindilia Susanty, Ardes Perdana, Wara Triwardhani, Herlambang, Dewi Maya

• Dokumentasi dan Foto

: Andreas Novendi, Andi Indra, Ivan Timona

• Grafis dan Lay out

: Lynda Irawaty, Aditya Satria

• Pembimbing

: Ir.Gunawan Tjahjono, Ph.D,M.Arch Ir. Evawani Ellisa M.Eng.Ph.D Ir. Abumanyu T.Alamsyah, MSi Ir. Toga H. Pandjaitan Grad.AA Ir. Herlily MUD

• Copyright : 2006

Ekskursi ini didukung oleh : Jurusan Arsitektur UI Ikatan mahasiswa Universitas Indonesia QUE Project

Arsitektur Tradisional Flores


_180.

Arsitektur Tradisional Flores


_181.

Arsitektur Tradisional Flores


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.