Gaung AMAN Edisi 50

Page 1

1 April 2014 - - - - - - -


TAJUK

Sudah lima belas tahun berlalu (sejak 17 Maret 1999) saat tokohtokoh masyarakat adat se-Nusantara berkumpul mendeklarasikan berdirinya organisasi Aliansi Masyaratkat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan bersama untuk memulihan hakhak masyarakat adat termasuk hak-hak tenurialnya (hak atas wilayah hutan adat). Namun penundaan pengesahan RUU PPHMA serta tidak adanya upaya kesungguhan dari pemerintah untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 35/PUU-X/2012 sebagai wajud dari reformasi hukum kehutanan, menghambat secercah cahaya yang terpancar dalam Putusan MK dan hal tersebut melukai perasaan seluruh masyarakat adat di seantero Nusantara. Pemerintah seakan sengaja mengabaikan hak atas hutan adat sebagaimana semangat yang terkandung dalam putusan MK (dimaksud). Akibatnya warga masyarakat adat tidak memiliki pengakuan dan payung hukum, tidak dapat mengakses hutan adat di wilayahnya sendiri sebagai sumber kehidupan seharihari. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat, kembali marak. Pengusiran Suku Anak Dalam, penembakan terhadap empat orang warga masyarakat adat Picuan, pembakaran rumah dan penangkapan warga Semende Banding Agung dan banyak lagi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia menimpa masyarakat adat. Pengesahan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan (P3H) melengkapi pengingkaran hak-hak masyarakat adat, karena tidak sejiwa dengan semangat dalam Putusan MK 35 yang mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas wilayah hutan adat. Komunitas adat yang bernaung di bawah panji-panji Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) akan terus berjuang untuk meraih hak-hak dan mempertahankan kebudayaannya demi tercapainya masyarakat adat yang Mandiri, Berdaulat dan Bermartabat.

Cover Perempuan Adat Mollo Nusa Tenggara Barat Dokumen foto: Nanang Sujana

Gaung AMAN Edisi Ke-50 April 2014 Gaung AMAN terbit dua bulan sekali untuk membuat perkembangan dan kegiatan organisasi. Redaksi menerima sumbangan tulisan yang bertujuan memajukan gerakan masyarakat adat, dan berhak mengedit-nya tanpa mengubah substansi. SAMPUL DEPAN Segera Sahkan RUU Pengakuan Perlindungan HakHak Masyarakat Adat dan Implementasi Putusan MK 35 DITERBITKAN Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara PENANGGUNG JAWAB Mina Setra Deputi I PB AMAN; Bidang Kelembagaan, Komunikasi dan Penggalangan Sumberdaya PIMPINAN REDAKSI Firdaus Cahyadi Direktur Informasi dan Komunikasi PB AMAN REDAKTUR PELAKSANA Jeffar Lumban Gaol EDITOR Jeffar Lumban Gaol Erasmus Cahyadi LAYOUT Snik KONTRIBUTOR Abdon Nababan Eustobio Rero Renggi Farid Rukka Sombolinggi Patricia Wattimena Monica Andhis Dinastiar Rainny Situmorang Mahir Takaka Taryudi Caklid Annas Radin Sarif Yoga Saipul Rizal “Kipli� Surti Handayani Silvy Simon Pabaras PW AMAN PD AMAN DISTRIBUSI Endang Yohanes Senda Debi Lisa Sitanala Yusuf Andi Warnoto ALAMAT REDAKSI Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 11A Jakarta Selatan 12820 Telp/Fax: +62 21 8297954/8370 6282 E-mail: rumahaman@cbn.net.id Website: www.aman.or.id

2 April 2014 - - - - - - -


4 I BRWA BRWA & Inisiatif Membangun Sistem Registrasi Wilayah adat. Percepat Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat.

8 I INFO AMAN Konsolidasi Perutusan Politik Masyarakat Adat Untuk Parlemen. Kesempatan Bagi Pemerintah Indonesia Untuk Memperbaiki Diri. Pengukuhan Kawasan Hutan Harus Melibatkan Masyarakat Adat. Sumatera Utara Resmi Jadi Tuan Rumah Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN V) 2017.

13 I LAPORAN UTAMA Masyarakat Adat Pertanyakan RUU Perlindungan Masyarakat adat. Pemerintah dan DPR RI Tak Serius Memproses RUU Pengakuan Dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA). 68 Tahun Pengabaian Hak Konstitusional Masyarakat Adat Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Menunda Pembahasan dan Pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Sama Dengan Membiarkan Kekerasan Terus Terjadi.

20 I BUDAYA Sisialo Ritus Masyarakat Adat Tamambaloh. Gerai Nusantara. Membangkitkan Batang Terendam, Cikal Bakal, Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

26 I OPINI

Kedudukan Hutan Adat Pasca Putusan MK 35/2012

30 I KOMUNITAS

Empat orang ditembak Polisi, satu orang koma: Konflik antara Perusahaan Tambang Emas PT Sumber Energi Jaya dengan Masyarakat Adat Motoling Picuan . Kapitalisme Merongrong Masyarakat Adat Di Hutan Halamahera. Empat Warga Adat Semende Banding Agung Menanti Sidang Pengadilan Negeri. Ritual MAPAS. Muswil II AMAN Sumatera Selatan. PW Aman Nusa Bunga Selenggarakan Pelatihan Comunity Organizer. Nota Kesepahaman Perwakilan Komnas HAM dan PW AMAN Kalbar. Rehabilitasi Hutan Adat Muara Tae. Pengurus Daerah Maros Resmi Terbentuk. Tanah Dirampas, Masyarakat Adat Dituduh Mencuri Di Ladangnya Sendiri.

42 I RUBRIK KHUSUS Kerja sama AMAN Dengan DPRD Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara. In Memoriam Tokoh Adat Marga Benakat, Pak Badri .

44 I SAYAP ORGANISASI Barisan Pemuda Adat Nusantara Laksanakan Rapat Kerja Nasional Pertama. PEREMPUAN AMAN “Ikut Dalam Proses Pengambilan Keputusan Komunitas dan Publik�. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara

50 I GALERI Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke 15

3 April 2014 - - - - - - -


BRWA & Inisiatif Membangun Sistem Registrasi Wilayah Adat

W

ilayah adat yang merupakan tanahtanah komunal hingga kini tidak bisa didaftarkan ke badan-badan pemerintah. Kondisi ini memunculkan tidak adanya perlindungan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya serta sumber-sumber kekayaan alam yang ada di dalamnya. Tidak adanya sistem administrasi pendaftaran wilayah adat juga menyebabkan konflik tenurial dan ketidakjelasan status hak masyarakat adat. Diluncurkannya kelembagaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) tahun 2011 adalah inisiatif bersama untuk tujuan membangun sistem registrasi wilayahwilayah adat. Tujuan adanya tempat registrasi wilayah adat ini salah satunya untuk memperoleh informasi yang memadai dan dapat diverifikasi mengenai keberadaan wilayah adat yang diharapkan menjadi landasan pengakuan terhadap wilayah-wilayah adat. Informasi tersebut juga perlu disampaikan kepada publik termasuk pengambil kebijakan sehingga bisa dijadikan bahan referensi bagi pengambil kebijakan dalam mengarahkan pembangunan atau pemanfaatan ruang di wilayah adat. Badan yang dibentuk melalui Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) ini merupakan

4 April 2014 - - - - - - -

Pelatihan Pemetaan di wilayah adat @ Dokumen foto AMAN

lembaga yang memberikan layanan pendaftaran wilayahwilayah masyarakat adat di Indonesia. Badan ini memegang peran penting dalam upaya mengkomunikasikan keberadaan masyarakat adat, wilayah adat serta peta partisipatif wilayah adat kepada pemerintah untuk berbagai kebutuhan, baik pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Kerja-kerja BRWA didukung oleh NGO seperti Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), dan Sawit Watch. Berbagi Peran untuk Satu Tujuan Walaupun memegang peran penting, namun tidak mudah menjalankan mandat sebagai �leader� dalam percepatan proses registrasi,

verifikasi dan publikasi keberadaan wilayah adat. Ini hanya bisa dibuktikan sejalan

Tugas pokok & fungsi BRWA: 1. Menerima pendaftaran (registrasi) wilayah adat 2. Melakukan verifikasi data wilayah adat 3. Melakukan validasi metodologi pemetaan wilayah adat 4. Mempublikasikan (mengumumkan) peta wilayah dan profil masyarakat adat. 5. Menyediakan infrmasi untuk proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. 6. Menyediakan informasi untuk perencanaan dan tata ruang wilayah adat.


dengan waktu dan kerja keras yang sinergi berbagai pihak yang terlibat. Kesiapan BRWA juga lembaga pendukungnya dalam mengelola dan mengantisipasi persoalan yang dihadapi di lapangan, menjadi hal mendasar untuk penyiapan menuju pengakuan masyarakat adat. Oleh karenanya, diperlukan pemikiran yang mendalam mengenai masa depan, arahan dan beberapa alternatif kerjasama dengan para pihak yang menjadi pendukung gerakan masyarakat adat dan yang pernah terlibat dalam registrasi wilayah adat. Demi kepentingan inilah rapat kerja untuk menyusun arah, strategi, dan kebijakan perencanaan strategis (renstra) BRWA tahun 20142018 diselenggarakan. Rapat kerja yang dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada 2122 Januari 2014 lalu dihadiri oleh 24 orang peserta dari 10 organisasi pembentuk BRWA dan/atau terlibat dalam kerjakerja pemetaan partisipatif dan advokasi penataan ruang. Rapat kerja ini memiliki arti yang sangat penting bagi keberlanjutan dan arah kebijakan BRWA tahun-tahun mendatang. Agenda rapat dibagi dalam 4 sesi diskusi, yaitu sesi 1: Pengarahan Dewan Penyantun yang memuat arah kebijakan BRWA, isu-isu penting dan mendesak bagi BRWA. Sesi 2: laporan Kepala BRWA tentang pelaksanaan program tahun 2011-2013, sesi 3: diisi dengan analisa berbagai kekuatan, kendala, peluang dan tantangan internal, dan maupun kendala

dan tantangan eksternal (analisa SWOT). Pada sesi 4, diformulasikan isu strategis juga disusun prioritas program/ kegiatan ermasuk strategi pelaksanaan program/kegiatan tahun 2014-2018. Dalam kaitannya dengan penyusunan Dokumen Perencanaan Strategis itu sendiri, BRWA mengidentifikasi 7 (tujuh) isu strategis yaitu: 1) penyiapan landasan hukum dan operasional BRWA, 2) penyediaan dana yang memadai dan berkelanjutan; 3) penggalangan dukungan publik dan pemerintah terhadap BRWA, 4) percepatan registrasi verifikasi dan validasi melalui sumberdaya pemetaan yang ada, 5) pengelolaan data untuk menghasilkan produk (informasi) sebagai bentuk layanan kepada masyarakat dan pihak-pihak strategis 6) kampanye kepada masyarakat adat dan para pihak-pihak lain (pemerintah, sektor swasta, lembaga pendukung dan media), dan pendekatan ke lembaga-lembaga pemerintah yang strategis untuk mendukung BRWA

menjadi lembaga Negara. Masing-masing isu strategis tersebut kemudian diturunkan ke dalam program kerja/ kegiatan yang kemudian akan menjadi tugas prioritas di tahun 2014. BRWA mengakui bahwa saat ini masih banyak keterbatasan yang dimiliki, utamanya sumber daya manusia dan pendanaan. Namun selalu ada pilihan untuk mengatasinya. Memilih untuk apriori, tentu bukan pilihan yang bijak. Dengan berapriori sesungguhnya kita membatasi keberhasilan dan kesuksesan yang mungkin kita raih. BRWA harus tetap optimis. Bahwa melalui dukungan dari berbagai pihak, pembagian peran yang seimbang serta strategi pengelolaan kelembagaan dan program yang dikembangkan bersama, perlahan namun pasti akan mampu mengawal proses perubahan demi perubahan untuk penyiapan menuju pengakuan masyarakat adat. Lalu masih adakah yang ingin bersinergi menuju perlindungan wilayah-wilayah adat ini? Mari berbagi peran untuk satu tujuan! ***

Pemetaan di wilayah adat @ Dokumen foto AMAN

5 April 2014 - - - - - - -


Percepat Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

Komunitas Serahkan Peta Wilayah Adat kepada Sekjen AMAN @ Dokumen foto AMAN

P

eta merupakan gambaran suatu wilayah yang di dalamnya memuat berbagai informasi yang terdapat dalam wilayah tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa kegunaan dan kontrol peta digunakan oleh yang membuatnya, yang kadangkadang bisa merugikan pihak lain. Siapa yang menguasai metodologi serta pemanfaatan dan kontrol peta (ruang) maka dialah yang paling diuntungkan dalam memanfaatkan ruang di dunia ini. Sayangnya, peta dan metodologi pemetaan biasanya didominasi oleh Negara yang sangat berpihak kepada pemodal-pemodal besar. Atas nama kemajuan ekonomi dan kesejahteraan, peta dan informasi spasial lainnya menjadi bagian dari proses

6 April 2014 - - - - - - -

eksploitasi kekayaan alam oleh para pemodal besar di bawah restu pemerintah. Hal inilah yang menjadi pemicu banyaknya konflik terjadi di wilayah adat. Masyarakat adat dan wilayahnya tidak pernah ada dalam peta-peta yang dihasilkan pemerintah. Keberadaan masyarakat adat seolah-olah tidak pernah dilihat oleh pemerintah. Sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang masuk tanpa seijin dari masyarakat adat kemudian menghabiskan kekayaan alamnya. Masyarakat adat tidak bisa lagi mengelola wilayah adatnya, menjadi asing dan seperti tamu di rumahnya sendiri. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi masyarakat adat untuk segera menunjukan keberadaannya secara faktual

dengan sebuah peta. Hal tersebut tampak jelas dalam pidato Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan, pada peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat tanggal 17 Maret 2011 yang menyatakan “Petakan wilayah adat anda sebelum dipetakan orang lain�. Dengan peta, masyarakat adat bisa menegaskan identitas dirinya dengan segala hak asal-usulnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/ PUU-X/2012 juga menyatakan bahwa “hutan adat bukan lagi hutan negara� ini merupakan kemenangan yang perlu segera ditindaklanjuti oleh masyarakat adat. Masyarakat adat harus bisa membuktikan klaim atas hutan adatnya secepat mungkin dengan cara melakukan pemetaan partisipatif. Hal ini sesuai dengan


mandat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) IV tahun 2012 di Tobelo (Maluku Utara) yang mengamanatkan penguatan, perluasan dan percepatan “gerakan pemetaan dan registrasi wilayah-wilayah adat�. Untuk mendorong percepatan pemetaan partisipatif wilayah adat, AMAN sudah membentuk Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif (UKP3) di 18 wilayah kepengurusan AMAN. Wilayahwilayah tersebut diantaranya Sumatera Utara, Tano Batak, Jambi, Riau, Bengkulu, Jawa Bagian Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Tana Luwu, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Bunga, Maluku dan Maluku Utara. UKP3 ini bertugas untuk memberikan pelayanan pemetaan parsitipatif dan registrasi wilayah

adat kepada anggota dan calon anggota AMAN sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Saat ini, UKP3 wilayah sudah mulai bekerja dan mampu memberikan pelayanannya terhadap 100 komunitas anggota AMAN. Selain itu dalam mempercepat pemetaan partisipatif, AMAN juga mulai melakukan pemetaan dengan metode skala yang lebih luas. Pemetaan skala luas ini merupakan pemetaan yang dilakukan di beberapa komunitas adat yang masih dalam satu ikatan budaya (satu suku) secara bersamaan dengan bantuan photo citra satelit. Saat ini, Pemetaan skala luas sedang dilakukan di 15 komunitas adat Suku Talang Mamak yang berada di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.*** Yoga Kipli

Komunitas baca buku Tata Ruang @ Dokumen foto AMAN

Komunitas membersihkan Tapal Batas Wilayah Adat @ Dokumen foto AMAN

7 April 2014 - - - - - - -


INFO AMAN Konsolidasi Perutusan Politik Masyarakat Adat Untuk Parlemen

Para perutusan politik Masyarakat Adat berkumpul di Jakarta @ Dokumen foto AMAN

Jakarta 18 Desember 2013 – Acara pembekalan dan konsolidasi kader politik perutusan masyarakat adat berlangsung pada tanggal 16-17 Desember 2013 di Ballroom Hotel Orio Jalan K.H Wahid Hasyim, dihadiri 78 orang kader politik masyarakat adat dari seluruh pelosok Nusantara. Ada sekitar 180-an orang kader politik AMAN resmi terdaftar sebagai calon legislatif, delapan orang diantaranya untuk DPD RI lewat jalur independent (non-partai politik) sementara untuk caleg DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, tersebar lewat jalur partai-partai politik.

N

ama-nama kader politik AMAN tersebut antara lain; I Nengah Widya Antara (DPR RI), Ugis Suganda Amas Putra (DPR RI), Mukti Baba (DPR RI), Idham Arsyad (DPR RI), Swari Utami Dewi (DPR RI), Mahir Takaka (DPD RI), Bery N. Furqon (DPD RI), FX Trides Mecer (DPD RI), I Made Suarnatha (DPD RI), Maria Goreti (DPD RI) dan ada banyak lagi lainnya. Ada sekitar 180-an orang kader politik AMAN resmi terdaftar sebagai calon legislatif, delapan orang diantaranya untuk DPD RI lewat jalur independent (nonpartai politik) sementara untuk caleg DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, tersebar

8 April 2014 - - - - - - -

lewat jalur partai-partai politik. Dalam kesempatan konsolidasi ini Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan bahwa negara ini pondasinya adalah keberagaman masyarakat adat dan suku bangsa. “Sebagai bagian dari masyarakat adat kita adalah pemilik bangsa dan negara ini, kita tidak mau menjadi orang asing di negara sendiri. Kita akan merubah regulasi hukum yang tidak berpihak kepada masyarakat adat, lewat jalur hukum dan Pemilu,” kata Abdon Nababan membuka sambutannya “Saya sadar bahwa sampai hari ini kita belum punya satu strategi yang bisa disepakati bersama, untuk melangkah sampai April

2014 nanti. Hari ini kita akan mendiskusikan berbagai hal, seperti situasi politik dan sistem penyelenggaraan pemilu di Indonesia, bagaimana peluang utusan masyarakat adat memenangkan caleg dengan biaya murah dan banyak hal lainnya,” sambung Sekjen AMAN lebih lanjut “Saya tahu, ada caleg AMAN terbantu dengan adanya AMAN, karena basis yang besar dan pengurus daerahnya berjalan dengan baik. Tapi bagaimana dengan kader AMAN yang sekarang menjadi caleg tapi organisasinya tidak berjalan dengan baik? Ini juga harus dibekali, diberikan perpektif baru bagaimana menjadi politisi baik dan mengabdi kepada


INFO AMAN konstituennya,” jelas Abdon Ketika masyarakat adat bicara politik, maka itu dilematis, sebab sehari-harinya mereka bermusyawarah dan bermufakat. Sementara masuk ke gelanggang politik yang liberal ini menjadi tantangan terbesar kita. Pada dasarnya konstitusi adalah memerdekakan, ada satu pasal yaitu pasal 18 ayat 2, Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat, itu sudah ada. Sayangnya konstelasi politik masyarakat adat kecil sekali, pernah ada namun kecil sekali, masyarakat adat masih minoritas. Meski dari segi populasi besar, namun sisi politisnya kecil sekali. Gerakan mayarakat adat sekarang berbeda dengan masa Singamaraja dan Suku Baduy sebab sejak Kongres I tahun 1999, perjuangan masyarakat adat mulai terorganisir. Kemudian banyak undang-undang yang berubah substansinya dan paling spaktakuler, pencabutan UU Pemerintahan Desa (UU No.5

Tahun l979) yang mencerabut masyarakat adat. Lalu kita memenangkan uji materi terhadap UU no. 41 tetang kehutanan dengan Keputusan MK No.35 mensyaratkan pengakuan masyarakat adat secara hukum, tetap di daerah, pengawalan lewat Perda ada yang sudah bagus, namun selalu kalah kalau masuk ke anggaran. Mudah-mudahan ada caleg AMAN menang dan semoga dalam Pilpres ada perwakilan masyarakat adat yang duduk di parlemen. Sementara itu Teten Masduki yang menjadi salah satu pembicara mengatakan,” Kalau saya lihat 99 % anggota DPR RI adalah incumbent. Penghasilan mereka dari tahun 2009 sampai 2014, minimal di atas 3,5 milyar rupiah per-orang, belum lagi program dari APBN. Jadi saingan Anda sebagai masyarakat adat itu berat. Kemarin saya diminta Ibu Mega, saya diminta menjadi caleg menggantikan Pak Taufik Kiemas, saya memilih tidak, tapi akan membantu yang lain. Sebab

saya hitung-hitung untuk duduk di kursi DPR itu bisa habis 3 milyar. Garuda Abdul Hakim itu kurang apa populernya, habis 750 juta, juga keok, Ibu Nursyabahni juga kalah itu artinya indeksnya kurang bergerak. Tapi Anda semua adalah perwakilan masyarakat adat punya modal sosial selain sedikit uang. Inilah yang menjadi kekuatan Anda sekaligus tantangannya ketika politik uang agak rumit dibawa ke proses hukum,” papar Teten Masduki. Kader politik masyarakat adat diharapakan dapat mengawal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat pada tingkat legislatif, diantaranya Pelaksanakan TAP MPR No IX tahun 2001, Pelaksananaan Amandemen ke-2 UUD 45, Memperjuangkan penetapan dan pengesahan RUU (PPHMA) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta mendorong pelaksanaan Putusan MK No 35 tahun 2012. ****

Kesempatan Bagi Pemerintah Indonesia Untuk Memperbaiki Diri Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Terus Meningkat

J

akarta 27 Januari 2014. “Akan banyak sekali yang bisa kita benahi di republik ini kalau Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 dilaksanakan dengan konsisten. DPR RI juga telah membuat satu Inisiatif Rancangan UndangUndang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat adat. Satu kesempatan bagi pemerintah Indonesia

untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan di masa lalu. Mudah-mudahan tahun ini kita bisa melihat DPR dan pemerintah bersama-sama mengesahkan RUU PPHMHA ,”ujar Sekjen AMAN Abdon dalam sambutannya membuka acara Konferensi Pers, Catatan Awal Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), diselenggarakan oleh Inter Matrix tanggal 27 Januari

2014 di Bloeming Caffe, Jakarta. Pembicara dalam acara konferensi pers ini selain Abdon Nababan Sekjen AMAN juga menghadirkan Sandra Moniaga-Komnas HAM, Noer Fauzi Rachman-Sajogyo Institute, Danang WidoyokoIndonesia Corruption Watch (ICW), Achmad Sodiki-mantan Hakim Mahkamah Konstitusi dan Moderator, Wimar WitoelarYayasan Perspektif Baru.

9 April 2014 - - - - - - -


INFO AMAN “Tahun berganti tahun, hutan tetap hutan, tidak tahu berapa lama hutan itu akan bertahan, apalagi kapan hutan itu akan kembali menemui sejarahnya yang jaya. Tapi kita tahu dengan adanya AMAN harapan itu tidak pernah punah. Tahun 2013 harapan itu makin kuat. Respons masyarakat, respons Mahkamah Konstitusi, respons dunia Internasional semua memberikan harapan. Tetapi hambatan-hambatan ada saja di sekitar kita,”kata Wimar Witoelar menghantar acara. “Tahun 2013 masih menjadi tahun kekerasan terhadap masyarakat adat berkaitan dengan adanya konflik dan sengketa di lapangan. Tahun 2013 juga menjadi tonggak sejarah, mestinya ke depan menjadi landasan bagi hubungan-relasi, antara masyarakat adat dengan negaranya sendiri”. “Berkait dengan Putusan MK No 35/ PUU-X/2012 dan keluarnya rancangan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai hak inisiatif DPR RI yang sudah diserahkan kepada presiden. Seharusnya sudah sejak tahun lalu dibahas, tapi sayang sampai berlangsungnya konferensi pers ini, pembahasan pemerintah dan DPR terkait dengan RUU Masyarakat Adat tidak terjadi,” papar Nababan lebih jauh. Abdon Nababan juga menyampaikan bagaimana masyarakat adat menyambut Putusan MK tersebut, antara lain masuknya usulan legislasi di beberapa kabupaten. Salah satu yang sudah selesai adalah Peraturan Daerah Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau, Provinsi Kal-Tara, tentang Kelembagaan

10 April 2014 - - - - - - -

Adat dan Perlindungan Lahan Pangan Pertanian Potensial Masyarakat adat. Masyarakat adat turun ke lapangan memberikan tanda mana saja batas-batas hutan adat dan hutan negara menurut sejarah mereka. Gerakan ini terkenal dengan Plangisasi, dimaksudkan untuk membantu pemerintah supaya cepat memprosesnya. Wilayah adat yang selama ini sudah rusak, itu juga direhabilitasi. Mempercepat pemetaan wilayah adat dalam rangka menyambut Putusan MK juga disambut baik oleh kawankawan lembaga non pemerintah. AMAN juga menggalang Petisi 35 juta tanda tangan untuk mendukung Putusan MK. Para pemuda-pemuda adat bergerak dari kampung ke kampung untuk mengumpulkan tanda tangan. “Kami mensosialisasikan dan sekaligus mendorong setiap pemerintah kabupaten, supaya menyambut Putusan MK No 35 ini dengan legislasi daerah. Putusan MK itu justru ditanggapi Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan surat edaran yang isinya bertentangan dengan Amar Putusan MK. Permenhut P 44 direvisi menjadi P 62 semangat dan substansinya juga berbeda dengan semangat dan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi,” pungkas Sekjen AMAN. Sementara itu Sandra Moniaga menyoroti hak-hak masyarakat adat yang sudah ada dalam UUPA tahun 1960. “Tapi mengapa mesti 39 tahun diabaikan,” ujar Sandra. “Hal ini menambah kekacauan ketika UU 41 tahun 1999 ditetapkan. Beberapa pasal dalam perundangundangan terkait masyarakat adat sebenarnya kurang mengakomodir sistem penguasaan wilayah”. Pada sisi lain, Noer Fauzi

Rachman mengatakan Presiden SBY telah menghilangkan kesempatannya untuk menyelesaikan masalah pemulihan hak-hak masyarakat adat. Masyarakat Adat sudah harus bersiap-siap dan bekerja lebih keras, karena untuk mendapakan pemulihan bahwa masyarakat adat itu pemilik wilayah adatnya, jalannya akan terjal dan mendaki, meski statusnya sebagai subyek hukum tersendiri dan penyandang hakhak lainnya,” kata Noer Fauzi Rachman. Danang Widoyoko dari ICW berpendapat ada satu hal penting ketika kita bicara tentang masyarakat adat, yaitu diskriminasi yang luar biasa. Dari sisi penegakan hukum, kalau kita lihat di berbagai kasus korupsi di kehutanan dan sumber daya alam. “Seringkali justru masyarakat yang dikriminalkan, korporasinya tidak bisa terjerat hukum oleh KPK. Kalau KPK bisa kreatif, perusahaan bisa dijerat atau diambil alih kepemilikannya,” papar Danang Widoyoko. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan,” dalam hal ini hukum harus berpihak, pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Tetapi dalam realisasinya ada kepentingan yang bertentangan di satu pihak dengan pihak yang lain. Dengan berpihak kepada mereka yang kurang beruntung, mereka yang tergusur, mereka yang sejak jaman sebelum merdeka sudah ada di situ nenek moyangnya. Belanda saja melindungi dia, mengapa pemerintah yang sudah merdeka justru tidak melindungi masyarakat adat? Demikianlah konsep dalam Putusan MK No 35,” papar Achmad Sodiki. *** Jeffar Lumban Gaol


INFO AMAN Pengukuhan Kawasan Hutan Harus Melibatkan Masyarakat Adat

D

Diskusi,”Catatan Awal tahun AMAN” Jakarta 28 Januari 2014. Diskusi berthema Catatan Awal Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diselenggarakan oleh Inter Matrix tanggal 27 Januari 2014 di Bloeming Caffe, Jln Jenderal Sudirman, Jakarta, menghadirkan lima pembicara. Mereka adalah Abdon Nababan sebagai Sekjen AMAN, Sandra Moniaga-Komnas HAM, Noer Fauzi Rachman-Sajogyo Institute, Danang WidoyokoIndonesia Corruption Watch (ICW), Achmad Sodiki-mantan Hakim Mahkamah Konstitusi dengan moderator, Wimar Witoelar-Yayasan Perspektif Baru. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Achmad Sodiki mengatakan,”hukum harus berpihak pada orangorang yang kurang diuntungkan dan pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Tetapi dalam realisasinya ada kepentingan yang bertentangan di satu pihak dengan pihak yang lain. Berpihak kepada mereka yang kurang beruntung, mereka yang tergusur, mereka yang sejak jaman sebelum merdeka sudah ada di situ nenek moyangnya. Belanda saja melindungi masyarakat adat, mengapa pemerintah yang sudah merdeka justru tidak melindungi mereka?” “Cita-cita yang menjadi konsep dari seluruh putusanputusan Mahkamah Konstitusi, yang menyangkut masyarakat demikian itu, tidak hanya masalah kehutanan saja, juga masalah hak-hak di pesisir pantai dan pertambangan. Semua itu

Rotan dan Masyarakat Adat @ Dokumen foto AMAN

kita batalkan, dengan dalih akan menyisihkan mereka yang kurang diuntungkan. Termasuk dalam Putusan MK no 35 dalam pasal 15 ayat 1 penunjukan kawasan hutan, penataan kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan itu harus melalui satu proses pertimbangan dari stake holder yang ada di situ, tidak lain adalah masyarakat hukum adat. Jadi tidak bisa begitu saja serta merta tanpa melibatkan masyarakat adat,” papar Achmad Sodiki. Mantan Hakim MK ini juga menyarankan agar AMAN memantau pelaksanaan putusan MK di lapangan dan menguji surat edaran menteri terkait ke Mahkamah Agung (MA). Sebab sebagian pesar peraturan pemerintah tidak sejiwa dengan UU-nya sendiri Dalam catatan AMAN yang disampaikan oleh Sekjen AMAN Abdon Nababan, tahun 2013 masih jadi tahun kekerasan terhadap masyarakat adat berkait dengan jumlah konflik

dan sengketa di lapangan. Ada 143 kasus konflik kekerasan terhadap masyarakat adat yang diusir serta rumahnya dibakar, seperti di Bengkulu, Jambi dan Kalimantan Selatan. Tahun 2013 juga menjadi tonggak sejarah, ke depan diharapkan menjadi landasan bagi hubunganrelasi, antara masyarakat adat dengan negaranya sendiri. Berkait dengan Putusan MK No 35/ PUU-X/2012 dan keluarnya rancangan undangundang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai hak inisiatif DPR RI yang sudah diserahkan kepada presiden. “Seharusnya sejak tahun lalu sudah dibahas, sayang sampai sekarang pembahasan pemerintah dan DPR terkait dengan RUU Masyarakat Adat tidak terjadi,” papar Nababan lebih jauh. “Mengapa putusan MK itu justru ditanggapi Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan surat edaran yang isinya bertentangan dengan

11 April 2014 - - - - - - -


INFO AMAN Amar Putusan MK. Permenhut P 44 direvisi menjadi P 62 semangat dan substansinya juga berbeda dengan semangat dan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi,” pungkas Sekjen AMAN. Sementara itu Sandra Moniaga menyoroti hak-hak masyarakat adat yang sudah ada dalam UUPA tahun 1960. Tapi mengapa mesti 39 tahun diabaikan,” ujar Sandra. “Hal ini menambah kekacauan ketika UU 41 tahun 1999 ditetapkan. Beberapa pasal dalam perundang-undangan terkait masyarakat adat sebenarnya kurang mengakomodir sistem penguasaan wilayah,” papar

Sandra Moniaga. Pada sisi lain Noer Fauzi Rachman mengatakan perlu dibentuk Satgas (satuan tugas) yang mengerti prinsipprinsip konstitusional. Presiden SBY juga telah menghilangkan kesempatannya untuk menyelesaikan masalah pemulihan hak-hak masyarakat adat. Oleh karenanya masyarakat Adat harus bersiapsiap dan bekerja lebih keras, karena untuk mendapakan pemulihan hak masyarakat adat itu jalannya akan terjal dan mendaki, meski statusnya sebagai subyek hukum tersendiri dan penyandang hakhak lainnya,” kata Noer Fauzi

Rachman. Danang Widoyoko dari ICW berpendapat ada satu hal penting ketika kita bicara tentang masyarakat adat, yaitu diskriminasi yang luar biasa. Dari sisi penegakan hukum, kalau kita lihat di berbagai kasus korupsi di kehutanan dan sumber daya alam. “Seringkali justru masyarakat yang dikriminalkan, korporasinya tidak bisa terjerat hukum oleh KPK. Kalau KPK bisa kreatif, perusahaan bisa dijerat atau diambil alih kepemilikannya,” papar Danang Widoyoko. *** Jeffar Lumban Gaol

Sumatera Utara Resmi Jadi Tuan Rumah Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN V) 2017

J

ambi, 3 February 2014 Pertemuan Badan Pengurus Harian AMAN se-Sumatera secara resmi memutuskan dan menyepakati Provinsi Sumatera Utara menjadi tuan rumah Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-V (KMAN V) pada tahun 2017 mendatang. Pengurus Wilayah AMAN Sumatera Utara akan menjadi tuan rumah dan menyelenggarakannya di Komunitas Secanggang, Kabupaten Langkat. Konsolidasi ini diselenggarakan di Pijoan, Kecamatan Jambi Luar Kota, Jambi pada 28 Januari 2013. Pesertanya adalah seluruh ketua BPH seluruh Pengurus Wilayah AMAN di Sumatera, termasuk Datuk Usman Gumanti (AMAN Jambi), Def Tri (AMAN Bengkulu), Rustandi Adriansyah (AMAN Sumatera Selatan), Roganda Simanjuntak (AMAN Tano Batak), dan Harun Nuh (AMAN Sumatera Utara). Ketua BPH AMAN Kalimantan Tengah Simpun Sampurna dan Ketua

12 April 2014 - - - - - - -

Peta lokasi Kongres AMAN ke 5

BPH AMAN Sulawesi Tengah Rizal Mahfud hadir sebagai saksi. “Sejauh ini kami memang menyiapkan beberapa hal terkait mimpi menjadi tuan rumah KMAN V. Kami sudah melakukan sosialisasi, kordinasi, dan konsolidasi dengan komunitas-komunitas guna persiapan bersama sebagai tuan rumah,” kata Harun Nuh sebagaimana dicatat dalam berita acara yang disampaikan ke Pengurus Besar AMAN pada Minggu (2/2/2014). PW Tano Batak, yang

berada di provinsi yang sama, menyampaikan dukungannya. “Kami siap untuk ikut berperan aktif mengondisikan serta mengawal proses, termasuk menjadi bagian pendukung kepanitiaan KMAN V,” ujar Roganda Simanjuntak. Pertemuan BPH AMAN se-Sumatera ini merupakan bagian tak terpisahkan dari mandat KMAN IV di Tobelo, Halmahera Utara pada 2012 dan Rapat Kerja Nasional AMAN ke-III di Tumbang Malahoi, Kalimantan Tengah.


LAPORAN UTAMA Masyarakat Adat Pertanyakan RUU Perlindungan Masyarakat adat Kerja Pansus DPR Dianggap Lambat

J

akarta 5 Februari 2014. Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak DPR segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan Pansus RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Rapat Panja, Gedung Nusantara II DPR RI tanggal 5 Februari 2014 lalu. Dalam rapat ini selain perwakilan AMAN juga hadir utusan Masyarakat adat Cigugur, Masyarakat Adat Cirenedeu dan Masyarakat Adat Kampung Naga. Sesepuh Masyarakat adat Cigurgur Rama Djatikusumah, menyampaikan sejarah singkat terbentuknya Komunitas Masyarakat Adat Cigugur yang dilatarbelakangi penolakan kerjasama terhadap pemerintah Belanda dan menentang pemberlakuan Culture Stelsel di Cirebon-Kuningan, sehingga pemimpin (Gebang) diturunkan oleh Belanda. Lalu pindah ke Cigugur, Kuningan membuka padepokan serta mengajarkan spiritualitas yang berlandaskan kebangsaan. Pada tahun 1900-an keberadaan Cigugur diketahui oleh Belanda, kemudian sesepuh Cigugur saat itu diasingkan ke Boven Digul. Utusan Masyarakat adat Cigugur lainnya, Dewi Kanti mempertanyakan apa urgensi legalitas formal yang diminta, sebab setiap wilayah memiliki ciri khasnya masing-masing. Jangan sampai RUU PPHMA ini dipolitisasi seperti dalam Undang-Undang Adminduk. “Yang kami butuhkan adalah

Aksi damai tuntut RUU Masyarakat Adat segera di sahkan @ Dokumen foto AMAN

menjaga keutuhan tradisi. Jangan seolah-olah kami ingin didaftarkan sebagai masyarakat adat. Adat adalah kodrati, bukan pemberian negara. Kami ingin jadi warga yang mencintai negaranya tanpa dipolitisasi,” kata Dewi Kanti. Dewi juga melihat RUU PPHMHA ini masih bias terhadap perempuan adat. Perwakilan masyarakat adat Cirendeu menyoroti urusan administrasi yang kerap mendiskriminasi masyarakat adat. “KTP kami, bagian agamanya kosong. Masih untung kami ditulis warga negara Indonesia,” katanya. “Masyarakat adat kami tidak pernah menyusahkan negara. Tidak pernah minta raskin kalau kurang beras. Jangan sampai kami asing di sini, jadi tamu di negara sendiri. Siapa yang menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia ini? Warganya, termasuk masyarakat adat,” tegas Asep. Ade Suherlin berbagi kisah

kehidupan harmonis Kampung Naga dan alamnya. “Cara hidup kami adalah hidup bersama alam, bukan sekadar hidup di alam. Kampung Naga diberi kompor gas. Untuk apa? Tradisi kami pakai tungku dan hutan kami tetap bagus.” Tetua adat Kampung Naga itu menyesalkan langkah-langkah pariwisata yang dilakukan pemerintah. “Pemerintah sekarang ini menjadikan budaya sebagai pariwisata. Kami menolak. Pariwisata itu tontonan. Budaya adalah tuntunan. Kami bukan tontonan,” Baginya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya. “Mana buktinya?” tanya Ade. Tak Bisa Cepat Nusrudin dari PPP tidak yakin bahwa RUU ini segera disahkan. “RUU ini memang inisiatif DPR, tetapi melibatkan banyak kementerian sehingga tidak mungkin selesai

13 April 2014 - - - - - - -


LAPORAN UTAMA secepatnya. Agar hasilnya maksimal dan tidak di-judicial review,” katanya. Menanggapi Nasrudin tersebut, Erasmus Cahyadi Direktur, Advokasi Hukum & HAM PB AMAN mengatakan,” Dari diskusi ini anggota Pansus ingin merancang undang-undang secara komperhensif, supaya tidak terjadi lagi persoalan-persoalan yang merugikan masyarakat adat di kemudian hari. Tetapi dengan menunda pengesahan undangundang ini, kita membiarkan kriminalisasi terus terjadi di lapangan. Karena saat ini lebih dari tiga undang-undang dipakai oleh pemerintah untuk mengambil tanah” “Kita ambil contoh, undangundang pengadaan tanah, undang-undang penanganan konflik sosial. Kemudian ada

Undang-Undang P3H. UndangUndang P3H ini disahkan persis setelah Putusan MK 35 keluar. Sebenarnya undang-undang ini tidak sesuai dengan reformasi hukum sektor kehutanan dan juga melanggar dua Putusan MK sekaligus yaitu Putusan MK 45 tahun 2011 tentang kawasan hutan dan Putusan MK 35 tahun 2012 tentang hutan adat, itu sama sekali tidak diperhatikan dalam UU P3H itu,” tegasnya “Kejadian di Bengkulu, pembakaran rumah masyarakat adat Semende Banding Agung itu implementasi dari UU P3H itu dan tidak hanya itu di Jambi juga terjadi. Saat ini banyak sekali kasus-kasus kriminalisasi atas nama undang-undang. “Seandainya bisa tidak menunda pengesahan rancangan undangundang ini dengan hasil yang komperhensif,” papar Erasmus.

Lebih jauh lagi Erasmus memaparkan bahwa, ada dua pendekatan terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. ”Pertama pendekatan bersifat fungsional, dengan maksud kelompok masyarakat yang disebut masyarakat adat itu masuk dalam struktur pemerintahan nasional. Ke-dua, meletakkan hak masyarakat adat ini sebagai suatu hak yang sifatnya universal dan harus diakui seturut dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia,” ujar Erasmus. Hingga acara RDPU berakhir hanya empat orang anggota Pansus yang hadir yaitu Himmatul Alyah Setiawaty (Ketua), Popong Otje Djundjunan, Nasrudin, dan Syaiful Anwar. *** Jeffar Lumban Gaol

DPR RI dan Pemerintah Tak Serius Memproses RUU Pengakuan Dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA)

P

ada bulan Juni 2013 Baleg menyelesaikan

penyusunan RUU PPHMA, kemudian dibawa ke Rapat Paripurna DPR-RI lalu draf RUU tersebut ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI sebagai RUU inisiatif DPR pada tanggal 03 April 2013. Dengan demikian RUU tersebut resmi menjadi RUU yang seharusnya segera dibahas oleh DPR bersamasama dengan Pemerintah. Perlu diketahui bahwa RUU PPHMA ini pada awalnya diusulkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) lalu pada akhir tahun 2011 Fraksi PDI Perjuangan mengusulkan ke Badan Legislasi DPR untuk dimasukkan ke dalam Program

14 April 2014 - - - - - - -

Aksi damai Masyarakat Adat tuntut segera sahkan RUU PPHMA @ Dokumen foto AMAN

Legislasi Nasional tahun 2012. Setelah ditetapkan sebagai salah satu RUU inisiatif DPR, pimpinan DPR kemudian mengirimkan draf RUU

tersebut kepada Presiden. Juni 2013 Presiden menunjuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)


LAPORAN UTAMA dan Kementerian Dalam Negeri sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan Panitia Khusus (Pansus) yang juga telah dibentuk oleh DPR, untuk membahas materi RUU PPHMA. Penunjukan Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM oleh Presiden memperkuat kembali dugaan masyarakat adat dan masyarakat sipil lainnya bahwa ada nuansa perebutan sumber daya alam dalam menyusun legislasi terkait masyarakat adat. Dari segi proses, RUU PPHMA ini terbilang cukup lambat. Pansus masih berkutat dengan kegiatan-kegiatan “menjaring masukan” dari berbagai universitas dan pemangku kepentingan lain. Sementara empat kementerian yang ditunjuk presiden dengan koordinasi Kementerian Kehutanan, bergerak cepat menyelesaikan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dan tinggal menunggu jadwal pembahasan dari Pansus. Pada tanggal 5 Februari 2013, di Gedung Nusantara II DPR RI, AMAN bersama tiga komunitas masyarakat adat menghadiri RDPU dengan Pansus RUU PPHMA. RDPU ini dipimpin langsung oleh Ketua Pansus Ibu Himmatul Alyah Setiawaty. Menurut daftar hadir, seharusnya ada 30 orang anggota Pansus RUU PPHMHA di RDPU tersebut. Namun hingga RDPU selesai, hanya ada lima orang, yaitu Himmatul Alyah Setiawaty (Ketua), Popong Otje Djundjunan, Nasrudin dan Syaiful Anwar. Dua Anggota Pansus dari Fraksi Demokrat meninggalkan ruangan ditengah-tengah berlangsungnya RDPU. Dalam RDPU tersebut, Pansus RUUPPHMA mengatakan bahwa masih perlu

waktu untuk mendiskusikan lebih mendalam mengenai hal-hal yang akan diatur dalam UUPPHMA nantinya. Pansus perlu mengadakan rapat kerja dengan empat kementrian. Alasan lain karena DPR akan reses tanggal 7 Maret – 11 Mei 2014 dan banyak anggota Pansus yang besiap-siap menyambut Pemilu 2014 sehingga lebih banyak melewatkan waktu di dapilnya masing-masing. Ini menunjukan bahwa DPR tidak serius untuk memastikan adanya payung hukum untuk melindungi masyarakat adat. UU masyarakat Adat adalah mandat UUD 1945 dan sudah tertunda selama hampir 70 tahun. Selama itu pula berbagai UU sektoral terbukti tidak mampu memenuhi hak-hak masyarakat adat, sebab hampir semua UU sektoral justru membuat masyarakat adat hidup dalam ketidakpastian dan setiap hari berhadapan dengan konflik khususnya terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam. Masyarakat Adat belum sepenuhnya merdeka di negara ini, artinya mendunda pengesahan UU Masyarakat Adat adalah upaya untuk melanggengkan penindasan terhadap masyarakat adat. Pasca Putusan MK 35 peluang memperjuangkan RUUPPHMA agar segera diproses menjadi UU. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/ PUU-X/2012 pada dasarnya memutuskan dua persoalan utama terkait dengan masyarakat adat. Pertama, mengenai hak masyarakat adat atas wilayah adat, dalam hal ini hutan adat. MK menerima dalil-dalil yang disampaikan oleh pemohon (AMAN, Kasepuhan Cisitu

dan Kenegerian Kuntu) yang menyatakan bahwa pasal 1 angka (6) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi “hutan adat adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat” bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya termasuk hak atas wilayah hutan adat. Dengan dalil-dalil tersebut MK berkesimpulan bahwa kata “negara” dalam pasal 1 angka (6) UUK bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dua mandat penting dari Putusan MK adalah adanya UUPPHMA dan Revisi UndangUndang Kehutanan. Putusan MK ini menyatakan bahwa ketidakadaan payung hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat adat merupakan penyebab terjadinya berbagai masalah yang dihadapai oleh masyarakat adat. Putusan MK35 ini menjadi bukti kuat bahwa perlu adanya undang-undang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat untuk melaksanakan mandat UUD 1945, disamping perlu meninjau kembali semua undang-undang terkait masyarakat adat yang bertentangan dengan UUD 45 – termasuk UU Kehutanan no 41 tahun 1999. Point Perbedaan Mendasar Antara RUUPPHMA versi PDIP dan RUUPPMHA vs Balegnas Dari segi substansi, beberapa usulan awal AMAN tercermin dalam rancangan yang diajukan oleh PDIP, namun ada tiga materi penting yang tidak terakomodir dalam draf akhir Badan Legislasi : Pertama mengenai istilah dan definisi. Draf ini masih

15 April 2014 - - - - - - -


LAPORAN UTAMA menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat supaya sesuai dengan istilah yang dipakai dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Padahal pasal 18B ayat (2) UUD 1945 lebih banyak mengarahkan pengakuan terhadap masyarakat adat terbatas pada aspek pengakuan terhadap sistem pemerintahan adat, peradilan adat, dan hak atas wilayah dan sumber daya alam. Artinya draf tersebut hanya menggunakan pendekatan fungsional semata. Padahal legislasi terkait masyarakat adat saat ini harusnya dikerjakan dengan menggabungkan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan fungsional dan pendekatan HAM. AMAN mengusulkan penggunaan istilah Masyarakat Adat, karena berpandangan bahwa realitas sosial masyarakat adat tidak terbatas pada urusan pemerintahan adat, peradilan adat dan hak atas tanah dan sumber daya alam. tetapi juga menyangkut aspek kepercayaan, kebudayaan dan aspek-aspek lain yang tidak bersifat materiil. Dalam konteks itu AMAN merasa bahwa landasan konstitusional yang dipakai seharusnya tidak hanya Pasal 18 B ayat (2) yang merupakan basis pendekatan fungsional, tetapi juga Pasal 28 I ayat (3) yang merupakan basis dari pendekatan HAM sekaligus memberi dasar konstitusional pada pengakuan terhadap hakhak atas kepercayaan, kebudayaan dan ekpresi yang ditimbulkannya. Kedua, kelembagaan yang mengurusi masyarakat adat. RUU saat ini hanya mengatur satu lembaga yang memiliki kewenangan sangat terbatas dan bersifat ad hoc disebut dengan Panitia Masyarakat Hukum Adat, berada pada level Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Kewenangannya hanya melakukan verifikasi atas hasil identifikasi keberadaan masyarakat adat dan hakhaknya. Padahal lembaga yang dikehendaki adalah lembaga

16 April 2014 - - - - - - -

yang memiliki kewenangan luas dan bersifat tetap. Dalam draf AMAN disebut dengan Komisi Masyarakat Adat yang berkedudukan di Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Sementara kewenangan yang harus dimiliki oleh lembaga seperti yang diusulkan oleh AMAN itu antara lain bertugas: memverifikasi keberadaan masyarakat adat, menyelesaikan konflik terutama antara masyarakat adat dengan pihak ketiga di luar masyarakat adat, koordinasi program pembangunan, sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait masyarakat adat, dan kewenangan untuk melakukan penelitian dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat. Ketiga, draf yang ada saat ini tidak berkontribusi pada usaha nyata dalam penyelesaian konflik berdimensi struktural. Masyarakat adat dengan hukum adatnya hanya diberi kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di internal satu kelompok masyarakat adat itu sendiri. UU Tentang Desa Nomor 6 tahun 2014, konon memberi ruang bagi pengakuan wilayah adat. Bagaimana melihat tantangan & peluangnya UU tentang Desa disahkan pada tanggal 18 Desember 2013. UU ini menghadirkan peluang dan tantangan bagi masyarakat adat. Salah satu peluangnya adalah karena UU ini menghadirkan pilihan bagi masyarakat adat untuk menentukan model desa yang mereka kehendaki. Dalam UU ini, Desa Adat merupakan salah satu model desa tersebut. Sementara itu, UU Desa ini juga menghadirkan tantangan yang berat bagi perjuangan jangka panjang masyarakat adat. UU ini mensimplifikasi realitas masyarakat adat sehingga

UU ini pada sisi tertentu mengundang polemik mengenai masyarakat adat itu sendiri. UU ini berada pada alur pikir yang sangat sederhana sehingga Desa Adat dapat dipersamakan dengan masyarakat adat. Padahal realitas masyarakat adat jauh lebih luas daripada itu. Karenanya, pandangan sederhana yang umum diterima adalah Desa Adat pastilah masyarakat adat tetapi tidak semua masyarakat adat dapat dikategorikan sebagai desa adat. Lebih jauh, UU Desa disusun dengan menggunakan pendekatan fungsional semata, yang berusaha melekatkan urusan pemerintahan pada berbagai model desa yang dipilih termasuk desa adat itu. Padahal seyogyanya legislasi masyarakat adat haruslah disusun dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan fungsional dan pendekatan HAM. Dengan penggunaan dua pendekatan ini secara bersama-sama maka nuansa pengakuan, perlindungan dan pemajuan masyarakat adat akan terlihat. Dan hakhak yang akan mendapatkan pengakuan, perlindungan dan pemajuan dari negara tidak saja hak-hak yang terkait dengan pemerintahan dan sumber daya sebagaimana banyak dielaborasi di dalam UU Desa dalam term hak desa adat, tetapi juga hakhak yang berdimensi spiritual seperti kepercayaan, hak atas kebudayaan dan sebagainya. Beberapa ahli hukum sudah menyatakan masyarakat adat harus mencermati pasalpasal menjebak dalam UU Desa ini. Untuk itu implikasi jebakan-jebakan hukum khususnya terkait persyaratan pembentukan desa adat dan kewenagannya dalam UU Desa terlebih dahulu harus ditelisik secara mendalam.*** Rukka Sombolinggi


LAPORAN UTAMA 68 Tahun Pengabaian Hak Konstitusional Masyarakat Adat Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

K

onsultasi Nasional ke-2 RUU PPHMHA Jakarta 27 November 2013. Meskipun masyarakat adat dan organisasi pendukungnya sudah meminta agar DPR segera mengesahkan RUU PPHMHA sebagai undang-undang dan payung hukum bagi masyarakat adat, namun hingga penyelenggaraan Konsultasi Nasional RUU PPHMA (AMAN) berakhir (27 November 2013 lalu ) belum ada tanda-tanda undang-undang tersebut segera disahkan. Dalam acara Konsultasi Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan dalam sambutannya mengatakan,” Sudah 68 tahun hak konstitusional masyarakat adat dibiarkan mengambang. Sebagian dari hak masyarakat adat itu sudah pernah diatur ketentuannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960, mengenai hak ulayat atau hak atas wilayat adat, hak atas petuanan atau hak atas petak adat di Kalimantan,” papar Abdon Nababan. “Artinya sudah 53 tahun tidak ada satupun sistem administrasi tanah-tanah yang berada di dalam wilyah adat atau di dalam lingkup hak ulayat. Sementara perjalanan konstitusi kita sudah selama 68 tahun,” terang Nababan lebih lanjut . “Ini pengabaian yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Hak kontitusional yang sedemikian penting, dicatat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalai diurus pemerintah dan negara ini. Karena itulah kita mengajukan draf awal Rancangan Undang-Undang

Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat kepada DPR RI melalui Baleg,” terang Nababan. “Saat ini RUU yang kita usulkan sebagai masukan itu, sebagian sudah digunakan. Usulan kita sudah diterima dan oleh Baleg dan diserahkan ke Sidang Paripurna DPR RI, lalu diterima sebagai RUU Inisiatif DPR RI.” “Kalau yang kita usulkan itu tadinya adalah RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, namun dalam dokumen yang kita terima dari DPR RI sebagai RUU yang saat ini dalam proses pembahasan itu berjudul RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Kenapa perobahan ini bisa terjadi?, belum menjadi perdebatkan kita, nanti ada sesi khusus,” tegas Abdon “Ke-dua, RUU Inisiatif DPR RI ini mengadopsi berbagai usulan kita, tapi masih ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Misalnya terkait dengan kelembagaan negara atau kelembagaan di dalam pemerintahan nanti yang mengurus masyarakat adat itu kelembagaan yang mana, atau Institusi yang mana,” papar Nababan lebih detail. Tantangan yang Ke-tiga adalah bagaimana memastikan RUU ini setelah disahkan baik masyarakat adat maupun pemerintah, siap melaksanakan. Sehingga tidak banyak lagi perdebatan-perdebatan atau multi interpretasi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bersama elemen pendukung masyarakat adat sudah menyelenggarakan rangkaian konsultasi, dialog, diskusi di wilayah dan daerah-daerah. AMAN bersama organisasiorganisasi pendukung yang selama ini bekerja melakukan perumusan-perumusan substansi, akan bertemu dengan Pansus

DPR yang sudah dibentuk untuk membahas rancangan undangundang ini bersama pemerintah dan sudah disetujui oleh presiden dengan menunjuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam sebagai wakil pemerintah. Mengawal perjalanan dan kerja advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sangat penting. Kami menemukan antara RUU PPHMHA belum singkron dengan RUU Desa dan RUU Pertanahan. Kedua rancangan udang-undang itu juga menyangkut sebagian dari hakhak masyarakat adat,” ujar Sekjen AMAN. Diskusi singkronisasi dan harmonisasi terhadap RUU Desa, RUU Pertanahan dan RUU tentang Masyarakat adat ini dilakukan pada akhir Oktober 2013 bersama Fakultas Hukum UGM, dan Epistema Institute, “Merekomendasikan untuk segera dilakukan harmonisasi terhadap ketiga RUU tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan yang berakibat buruk pada penegakan hukum saat ketiga RUU tersebut sah menjadi undangundang,” kata Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi. Erasmus mengakui, rekomendasi tersebut mungkin sulit untuk dilakukan oleh DPR berhubung laju percepatan pembahasan ketiga RUU tersebut berbeda. “Ruang untuk melakukan harmonisasi lebih mudah dilakukan untuk RUU Pertanahan dengan RUU Desa daripada dengan RUU PPHMHA,” tambahnya. Tenaga ahli Panitia Khusus (Pansus) RUU PPHMHA Pramaartha Pode sepakat agar pembahasan RUU PPHMHA dipercepat. ***

Jeffar Lumban Gaol

17 April 2014 - - - - - - -


LAPORAN UTAMA Menunda Pembahasan dan Pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Sama Dengan Membiarkan Kekerasan Terus Terjadi “Jangan jadikan hiruk pikuk politik di tahun 2014 sebagai alasan untuk memperlambat pembahasan dan pengesahan Rancangan UndangUndang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat�

J

uni 2013 yang lalu, Rancangan UndangUndang tentang Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) diadopsi oleh sidang Paripurna DPR untuk kemudian menjadi RUU inisiatif DPR. Beberapa saat setelah itu, DPR mengirimkan Rancangan itu kepada Presiden yang oleh Presiden ditanggapi dengan mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk 4 (empat) Kementerian (Kementerian Kehutanan/ Kemenhut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ Kemen ESDM, Kementerian Dalam Negeri/Kemendagri, dan Kementerian Hukum dan HAM/ Kemenkumham). Di sisi DPR sendiri kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang beranggotakan 30 orang anggota

18 April 2014 - - - - - - -

Masyarakat Adat berdiskusi dengan Polisi di lokasi konflik @ Dokumen foto AMAN

DPR dari berbagai komisi dan fraksi di DPR. Pansus ini diketuai oleh Ibu Himatul Aliya Setyawati dari Fraksi Partai Demokrat. AMAN menilai bahwa penunjukan Presiden kepada Kemenkumham dan Kemendagri, dua dari 4 wakil Pemerintah dalam Pembahasan Rancangan ini, terasa tepat karena masyarakat adat memproyeksikan Rancangan ini sebagai produk hukum yang meletakan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah dan juga sebagai bagian dari penghormatan, pemenuhan dan pemajuan hak-hak asasi masyarakat adat di nusantara. Namun demikian, penunjukkan 2 kementerian lainnya, yaitu Kemenhut dan ESDM dinilai oleh AMAN sebagai suatu bukti yang menunjukkan sikap dasar Pemerintah atas investasi dan

hak-hak masyarakat adat. Rancangan ini berpotensi pada pengakuan atas tanah, wilayah dan sumber daya alam milik masyarakat adat yang selama ini dan di masa depan selalu menjadi materi jualan pemerintah. Karena itu maka kehadiran Kemenhut dan ESDM menjadi mutlak dalam pembahasan RUU ini. Hadirnya dua kementerian sektoral yang berwatak eksploitatif tersebut dalam pembahasan RUU ini justeru memperkuat pandangan masyarakat adat akan keengganan pemerintah dalam melakukan pengakuan dan perlindungan atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat. Dalam suatu diskusi informal, Ketua Pansus untuk RUU PPHMA ini pun mengakui bahwa Rancangan ini harus dibahas dengan tingkat kehati-hatian


LAPORAN UTAMA tinggi. Diakui bahwa kebanyakan anggota Pansus pada awalnya menilai Rancangan ini sebagai suatu hal yang dapat dibahas dan disetujui dengan mudah. Tetapi setelah melakukan serangkian dialog dan konsultasi dengan berbagai pihak seperti akademisi dan kelompok-kelompok masyarakat adat, ternyata Rancangan ini menyentuh persoalan politik ekonomi sehingga membuat Pansus sangat berhati-hati dalam membahas. Proses Pembahasan yang Lamban Cara kerja Pansus yang sangat lamban menghadirkan pertanyaan mengenai keseriusan negara dalam mensegerakan lahirnya satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang masyarakat adat. Prinsip “kehati-hatian� dalam membahas satu Rancangan adalah hal yang patut. Tapi menjadikan itu sebagai alasan lambannya suatu pembahasan tidaklah dapat diterima begitu saja. Jika dirunut ke belakang, kelambanan ini sudah dimulai ketika Rancangan ini dibahas di Badan Legislasi (Baleg). Rancangan ini sudah masuk Program Legislasi Nasional sejak tahun 2012. Dan April 2013 baru dibawa ke Sidang Paripurna dan akhirnya disetujui sebagai Rancangan inisiatif DPR. Artinya Baleg memerlukan waktu 1 tahun 3 bulan untuk membahas Rancangan ini. Di awal-awal pembahasan di Baleg, sangat terlihat bahwa Baleg pada dasarnya bingung mengenai arah dari Rancangan ini. Hal itu terbukti dari pergerakan Baleg yang mengkonsultasikan Rancangan ini kepada kelompok yang bukan masyarakat adat, seperti kesultanan. Pada Februari 2014, Pansus meminta AMAN hadir dan menyampaikan materi RUU

yang diusulkan oleh masyarakat adat. Di samping AMAN, hadir pula beberapa kelompok masyarakat adat yang diundang secara langsung oleh Pansus, antara lain adalah perwakilan masyarakat kampung Naga, perwakilan masyarakat Cigugur dari Kabupaten Kuningan, dan perwakilan masyarakat Cirende, Jawa Barat. Sangat jelas terlihat bahwa hiruk pikuk politik sudah mempengaruhi para anggota Pansus. Dari 30 orang anggota Pansus, hanya 4 (empat) orang anggota Pansus yang hadir dalam RDPU termasuk Ketua Pansus. Dalam RDPU juga terbaca bahwa pemahaman anggota Pansus tentang RUU yang sedang mereka hadapi berbedabeda. Ada yang melihat RUU ini dari sudut pandang ekspresi kebudayaan, seperti tari-tarian, nyanyian, dan sebagainya. Ada pula anggota yang merasa bahwa RUU ini harus dibahas dengan hati-hati karena tidak saja menyentuh persoalan tanah, wilayah dan sumber daya alam, tetapi juga menyangkut konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menunda = Membiarkan kekerasan terus terjadi Saat ini, ada beberapa Undang-Undang yang dipakai Pemerintah dan Penegak Hukum yang dalam banyak hal ditujukkan untuk mengamankan investasi di lapangan. UU P3H, UU Pengadaan Tanah, UU Kehutanan, dan UU Penanganan Konflik Sosial menjadi alat bagi aparat penegak hukum dan pemerintah beberapa waktu terakhir untuk menangkap dan menjebloskan masyarakat yang melawan investasi. Beberapa contoh yang patut dicatat adalah: Penangkapan dan pembakaran

rumah masyarakat adat Semende Banding Agung di Bengkulu, penangkapan masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi, penangkapan dan peradilan atas Datu Pekasa (Edy Kuswanto) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang pada akhirnya menjatuhkan penjara kepada Datuk Pekasa tersebut, dan kasus-kasus kekerasan lainnya. Kasus-kasus tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak ada konsistensi dalam kebijakan dan rencana kebijakan negara. Di satu sisi, pemerintah hendak memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat, tetapi di sisi lain pemerintah juga secara gencar membuat berbagai peraturan yang mengkriminalisasi masyarakat adat terutama ketika berhubungan dengan “investasi�. Kasus-kasus tersebut di atas tentu bukanlah satusatunya alasan mengapa RUU PPHMA ini penting segera dibahas dan disahkan. Sederet alasan bisa disebut, mulai dari pentingnya pengadministrasian hak masyarakat adat, identifikasi dan verifikasi masyarakat adat, pentingnya penyelesaian konflik secara komprehensif, sampai pada pentingnya perencanaan pembangunan adalah sedikit dari sekian banyaknya alasan untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPHMA menjadi UU. Namun demikian, melihat gelagat Pansus yang bekerja dengan lambat, masyarakat adat perlu mengambil langkah besar yang untuk mendesak Pansus dan Pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU PPHMA. *** Erasmus Cahyadi

19 April 2014 - - - - - - -


BUDAYA Sisialo Ritus Masyarakat Adat Tamambaloh

K

apuas Hulu. Sisialo adalah ritual adat sambut tamu di sub suku Dayak Tamambaloh. Secara geografis suku Dayak Tamambaloh tersebar di Kecamatan Embaloh Hulu dan Kecamatan Putussibau Utara Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dimana terdapat beberapa komunitas sudah bergabung menjadi anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Satu diantaranya adalah Komunitas Tamambaloh Kerangkan di Desa Tamao. Sisialo dalam bahasa Embaloh (Embaloh adalah sebutan untuk orang Dayak Tamambaloh) artinya adalah diterima. Ritual adat ini biasa digelar pada acara-acara besar, seperti pesta pernikahan, pesta ucapan syukur atas hasil panen padi (Gawai) dan pesta-pesta besar yang mengundang tamu dari kampung atau daerah yang lainnya. Secara umum ritual adat Sisialo ini hampir sama dengan ritual adat penyambutan tamu di beberapa tempat lainnya pada suku dayak di Kalimantan Barat. Sebelum memasuki perkampungan, para tamu ditaburi beras kuning dan didoakan oleh Temanggung atau tetua adat dari kampung yang berperan sebagai tuan rumah. Orang Embaloh menyebut doa pada ritual Sisialo adalah Mangalongan. Mangalongan berasal dari

20 April 2014 - - - - - - -

Masyarakat Adat Kapuas Kalimantan Barat menyambut tamu @ Dokumen foto Cony AMAN Kalbar

kata Mangalong yang artinya memanggil. Mangalongang adalah pemanggilan para leluhur yang sudah tidak berada di dunia untuk menyaksikan Sisialo dan para tamu yang akan memasuki kampung mereka. Mangalongang bertujuan meminta para leluhur untuk melindungi mereka selama berada di kampung atau wilayah mereka, menjauhkan dari bahaya dan penyakit hingga kembali ke tempat tinggal masing-masing. Setelah Mangalongang, para tamu dipersilahkan memasuki perkampungan melewati pintu gerbang yang telah disiapkan. Di pintu gerbang tersebut sudah menunggu para penyambut tamu sambil memegang minuman dan makanan tradisional yang wajib dicicipi oleh para tamu. Sambil

bernyanyi mereka menjamu tamu dengan iringan musik tradisional ditingkahi hentakan kaki para penyambut tamu, ke tanah atau papan. Lagu yang mereka nyanyikan lagu asli berbahasa Dayak Tamambaloh. Hentakan kaki sambil menarinari menambah meriahnya pelaksanaan Sisialo. Lalokintasangke Isialokinikam Iruangsaladangaduduki Kokombong Mainyumkindanum papa’ Nana danumbaka’ Sidai’ sipainyum Ada’ kin sijaien Isi lagu tersebut menceritakan suka cita mereka saat menerima tamu yang datang dan mempersilahkan para


BUDAYA tamu mencicipi makanan dan minuman yang sudah disiapkan. Arak-arakan juga ada di Sisialo. Itu dilaksanakan di sungai sebelum Mangalangok. Pada zaman dahulu jalur transportasi yang paling sering digunakan orang dayak adalah sungai. Tamu yang datang dari kampung atau daerah lain selalu lewat sungai menggunakan perahu, orang Tamambaloh menyebutnya Paru Tambe. Perahu yang dihias dengan umbul-umbul dan bendera dengan berbagai warna khas orang Tamambaloh. Sudah menjadi tradisi, sebelum para tamu akan naik kedaratan akan disiram dengan air sungai, sebagai simbol kegembiraan dan rasa hormat atas kedatangan tamu mereka. Bisa dibayangkan betapa ramai dan riuhnya kerumunan orang-orang di bibir Sungai Embaloh tersebut. Setelah itu tamu dipersilahkan menuju gerbang Sisialo. Makanan dan Minuman Tradisional Tamambaloh Ada beberapa macam makanan dan minuman yang biasanya disajikan pada acara Sisialo. Kalame’ berbahan dasar beras ketan yang ditumbuk kasar diberi campuran gula aren dan air kemudian dimasukkan kedalam bambu dan dipanggang. Sama seperti Kalame’, pulut juga berbahan dasar beras ketan dengan cara memasak yang sama. Perbedaannya pulut tidak ditumbuk dan tidak dikasih campuran gula aren. Baram adalah air dari tamai atau tape ketan dan Tuak dari air aren yang telah diberi campuran kulit kayu Raru’. Ada lagi minuman tradisional khas

Tamambaloh yang namanya Papa’ dari air tebu, tapi sudah mulai jarang sekali disuguhkan. Masyarakat Adat Tamambaloh masih menjunjung tinggi adat istiadatnya. Hingga saat ini ritus Sisialo masih selalu terus diselenggarakan. Alam dan hutan juga menjadi tempat mereka mencari ramuan. Terbukti bahwa bahan-bahan yang mekera butuhkan untuk membuat berbagai macam sajian tersebut adalah dari hasil hutan yang sebagian adalah tumbuh liar dan subur di hutan. (Narasi & Foto Cony Margareth) I. Menjamu. Tuan Rumah menjamu tamu Uskup Agung Sintang, Mgr. Agustinus Agus dan Rombongan pada Perayaan Misa I Abad Gereja Santo. Martinus di Benua Martinus, Kapuas Hulu Agustus 2013 lalu.

Martinus, Kapuas Hulu Agustus 2013 lalu.*** Cony Margareth

Perahu Tamambaloh @ Dokumen foto Cony AMAN Kalbar

II. Para tuan rumah sedang menunggu kedatangan tamu undangan Perayaan Misa I Abad Gereja Santo. Martinus di Benua Martinus, Kapuas Hulu Agustus 2013 lalu di Gerbang Sisialo. Paru Tambe. Perahu yang menjemput para tamu undangan di Sungai Embaloh pada Perayaan Misa I Abad Gereja Santo. Martinus di Benua Martinus, Kapuas Hulu Agustus 2013 lalu. Tambahan IV. Tarian penyambutan Tamu. Asisten II Sekda Kalbar, Lensus Kandri beserta rombongan disambut dengan tarian adat Dayak Tamambaloh pada perayaan Perayaan Misa I Abad Gereja Santo. Martinus di Benua

Tarian Dayak Tamambaloh @ Dokumen foto Cony AMAN

21 April 2014 - - - - - - -


BUDAYA

GERAI NUSANTARA “Home

of the

G

erai Nusantara merupakan inisiatif usaha ekonomi yang dibangun oleh PB AMAN berbasis pada produk-produk unggulan hasil karya warga komunitas adat anggota AMAN. Gerai Nusantara akan menjadi rumah bagi produk-produk masyarakat adat melalui proses pengemasan, promosi dan pemasaran. Produk-produk pilihan yang diproduksi oleh masyarakat adat fokus pada hasil anyaman, tenun, kopi, madu dan ramuan obatobatan(dari tanaman terutama yang berada di kawasan hutan adat). Selain melestarikan budaya leluhur dan kearifan tradisional, produk-produk unggulan ini dapat menambah pendapatan masyarakat adat dan organisasi AMAN yang mandiri secara ekonomi dengan prinsip pengelolaan kolektif , menjaga standar kwalitas, professional dan berkelanjutan. Gerai Nusantara memiliki visi menjadi rumah bagi produk unggulan Masyarakat Adat bernilai ekonomi tinggi�. Sedangkan misi Gerai Nusantara fokus pada lima hal, yaitu : 1. Memperkuat hubungan antara komunitas adat (anggota) dengan organisasi (AMAN) melalui pendekatan produk-produk pilihan yang diproduksi oleh masyarakat adat.

22 April 2014 - - - - - - -

Indigenous Product�

2. Mengembangkan produk unggulan masyarakat adat dengan kreativitas dan inovasi, teknologi tepat guna, serta kebijaksanaan mencintai alam dan tradisi. 3. Mempromosikan dan memasarkan produk unggulan masyarakat adat dengan harga yang bernilai ekonomi tinggi dan segmentasi pasar/ konsumen tertentu. 4. Berkontribusi sebagai sumber pendapatan ekonomi komunitas adat dan keuangan organisasi yang mandiri 5. Memberikan rasa nyaman dan bahagia bagi pengurus Gerai Nusantara Upaya membangun dan mengembangkan Gerai Nusantara ke depan memerlukan strategi dan langkah yang tepat agar ke depannya berhasil sesuai dengan visi dan misi yang diharapkan. Langkah awal adalah assesment dan pengadaan dilakukan dengan cara membangun kordinasi baik memakai jalur organisasi (Pengurus Wilayah dan Daerah AMAN melalui biro/ divisi ekonomi) atau langsung ke komunitas adat untuk melakukan pendataan produkproduk pilihan yang dihasilkan oleh masyarakat adat. Satu jenis produk akan dibuatkan profile dan cerita mulai dari sejarah, nilai-nilai atau makna

Tenun @ Dokumen foto AMAN

dari proses pembuatan serta manfaat dari produk yang dihasilkan. Juga melakukan proses asistensi sebagai quality control dan pengemasan terhadap produk yang telah disesuaikan dengan target pasar/ konsumen. Setelah melalui proses tersebut akan dilakukan transaksi awal dengan pembelian produk dari komunitas adat oleh badan usaha milik organisasi (Koperasi). Produk yang dibeli oleh koperasi adalah produkproduk siap di pasarkan. Gerai Nusantara bertugas


mengemas, mempromosikan dan memasarkan produk ini. Pengemasan dan promosi yang kuat oleh Gerai Nusantara untuk memastikan terjadinya penambahan nilai produk dan memenuhi target pasar/ konsumen yang ditentukan. Pengemasan tetap mencirikan nuansa khas tradisional masyarakat adat ,unikdan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Proses pengemasan akan melibatkan para desainer untuk memastikan nilai tambah dan jual produk yang siap di promosikan dan pasarkan.Oleh karena itu Produk yang dikemas, dipromosikan dan di pasarkan melalui gerain usantara bersifat premium dan tidak diproduksi secara massif oleh komunitas adat. Sistem promosi dan pemasaran produk unggulan ini dilakukan secara offline dan online. Konsep offline akan menyiapkan satu unit toko dengan disain suasana lux, berseni tradisional, letaknya strategis sehingga mudah

BUDAYA

Produk Masyarakat Adat @ Dokumen foto AMAN

di temukan/ dikunjungi konsumen peminat dan pelanggan. Selain pengadaan toko, sistem offline juga akan melakukan kegiatan pameran dan pembuatan brosur sebagai upaya memperbesar promosi. Konsep promosi dan pemasaran lain adalah secara online dengan membuat website untuk display produk dan e-comers (bisa dilakukan sendiri atau bekerjasama dengan system e-comers yang sudah ada). Akan menampilkan produk-produk pilihan masyarakat adat yang telah dilengkapi dengan informasi profile dan harga. Peminat dan pelanggan dapat melakukan penjelajahan mimilih-milih jenis produk tertentu dan kemudian langsung melakukan transaksi secara online dengan melakukan proses transfer melalui bank atau menghubungi dan melakukan transaksi langsung di toko Gerai Nusantara. Toko Gerai Nusantara dengan sistem offline dan online dipromosikan dengan mengunakan media promosi Internal (Media AMAN) dan Ekternal (kerjasama dengan media lain). Model promosi lainnya melalui media Cetak (pasang iklan, brosur, spanduk), media sosial (facebook, twitter, website, youtube) dan media elektronik (Radio dan TV).

Target segmentasi pasar utama adalah lembaga atau individual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap produk masyarakat adat. Gerai Nusantara akan dikelola tim khusus dan professional untuk memastikan bahwa unit usaha ini menguntungkan dan keberlanjutan. Unit usaha ini merupakan kerja-kerja AMAN yang secara khusus untuk memperkuat ekonomi komunitas adat secara mandiri lewat produk unggulan. Target Gerai Nusantara mampu memberikan dukungan ekonomi bagi komunitas adat dan organisasi AMAN yang mandiri dengan target jangka waktu minimal setelah 2 tahun berjalan telah mendatangkan nilai profit/ keuntungan. Gerai Nusantara akan membangun kerjasama dengan siapa saja untuk mendukung dan mengembangkan inisiatif usaha dikomunitas dan memperkuat operasional Gerai Nusantara menjadi sebuah unit usaha yang mandiri. Pihak yang di libatkan atau ingin kerjasama harus memenuhi syarat bahwa partner/ mitra tersebut tidak pernah atau tidak sedang melakukan kegiatan yang melanggar atau merugikan hak-hak Masyarakat Adat dan tidak melakukan tindakan merusak lingkungan.*** Arifin�Monang� Saleh.

Hasil Tenun @ Dokumen foto AMAN

23 April 2014 - - - - - - -


BUDAYA

Membangkitkan Batang Terendam, Cikal Bakal, Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Belajar saat yang lain tidur, Bekerja saat yang lain bermalas-malasan, Bersiap saat yang lain bermain, Bermimpi saat yang lain berharap, Bersyukur dan berdo’a padaNya saat yang lain lupa... Tim Fasilitator BUMMA Masyarakat Adat merupakan independen, tidak terjebak dalam elemen terbesar dalam struktur sub-koordinasi dari kemitraan yang negara–bangsa (nation-state) tak jelas kedudukannya. Pusat-pusat Indonesia, namun dalam keputusan kekuasaan pun jauh dari kehidupan politik nasional eksistensi sehari-hari komunitas adat, sehingga komunitas-komunitas adat belum dalam proses memperjuangkan terakomodasikan, secara sistematis mandat, mobilisasinya rendah. terpinggirkan dari agenda politik Melalui organisasi AMAN, nasional. warga komunitas Masyarakat Adat Kebijakan ekonomi yang mulai bangkit dari keterpurukan. berpihak pada pertumbuhan Baik dari segi sosial, ekonomi, dan kepentingan pemodal besar politik, Masyarakat Adat harus semata, telah menghancurkan memperjuangkan apa yang lingkungan hidup. Korban seharusnya menjadi haknya. pertama adalah Masyarakat Adat Membangun visi-misi dan garis yang hidup di sekitar hutan, perjuangannya. Sudah cukup pertambangan dan wilayah pesisir. banyak penderitaan yang dialami Ini akibat penerapan metode oleh Masyarakat Adat sebagai pemanfaatan sumberdaya alam pengalaman pahit dan saatnya bersifat destruktif, mengeksploitasi bangkit dari keterpurukan. Perempuan sedang menenun @ Dokumen foto AMAN sumberdaya alam secara cepat, murah demi pertumbuhan ekonomi Seperti Tikus Mati Di Lumbung asih terngiang di yang setinggi-tingginya. Padi telinga semasa kecil Kebijakan sektoral yang ekstraktif tersebut tidak memberi Pada acara pembukaan dulu, para tetua di kampung selalu kesempatan bagi kearifan adat Lokakarya Perencanaan Bisnis mengatakan “Mambangkik Batang mengelola sumberdaya alam secara dalam Pencarian Celah Usaha Tarandam”. Pepatah singkat yang berkelanjutan, sebagaimana yang Komunitas Masyarakat Adat, merupakan suatu pengharapan telah dipraktekkan selama ratusan, Sekretaris Jenderal PB AMAN, besar dari orang tua terhadap bahkan ribuan tahun. Pengetahuan Abdon Nababan dalam sambutannya anak, khususnya bagi mereka yang dan kearifan lokal dalam mengelola menyampaikan bahwa lokakarya hendak merantau. Tanpa banyak alam tidak mendapat tempat perencanaan bisnis ini sangat berharap atas jerih payahnya, yang layak dalam usaha produksi, penting, sebagai upaya kongkrit orang tua rela berkorban agar sang maupun dalam kurikulum pemberdayaan masyarakat adat di anak kelak bisa menjadi orang pendidikan formal. pelosok Nusantara. “Kalau melihat terpandang, menjadi harapan Seiring berjalannya waktu, kondisi masyarakat adat sekarang keluarga, harapan negeri dan melalui berbagai rintangan dalam ini, pepatah mengatakan ‘Seperti pemimpin yang menjadi panutan proses pendewasaannya, gerakan Tikus yang Mati di Lumbung Padi’. masyarakat. Mambangkik Batang Masyarakat Adat kini menemukan Semakin kaya wilayah adat, semakin Tarandam (Membangkit Batang bentuknya yang solid dan cepat proses pemiskinan terhadap Terendam) boleh juga dimaknai terpimpin. Masyarakat Adat terus masyarakat adatnya. Mereka datang sebagai suatu upaya untuk memperlebar dan memperkuat mengeruk sumberdaya alam demi meningkatkan harkat martabat struktur organisasinya dari pusat, kemewahan dan kepentingan diri, meningkatkan kesejahteraan wilayah, daerah sampai ke lapisan sendiri, alias serakah,” ujar Abdon atas kondisi yang serba tidak komunitas. Muncul kesadaran Nababan. berkecukupan, dipandang sebelah dan semangat baru bahwa untuk Leluhur telah menjaga mata atau diremehkan oleh memperkuat gerakan hanya dapat kekayaan sumberdaya alam itu masyarakat di sekitarnya. dilakukan dengan membangun sebagai warisan bagi kita dengan Hal ini tidak jauh berbeda struktur organisasi sehingga dapat segala potensi sumberdaya alamnya. dengan apa yang dialami oleh menjalankan mandat komunitas Sumberdaya alam sekarang seperti mayoritas komunitas masyarakat secara efektif. Dalam hubungannya kutukan, musibah sering kali terjadi adat di seluruh Nusantara. dengan negara, tantangan dimana-mana. Banjir, longsor, Masyarakat Adat menjadi pihak masyarakat yang bernaung dalam kekeringan bisa kita sebut sebagai yang dirugikan lewat politik organisasi Aliansi Masyarakat kutukan. pembangunan selama tiga Adat Nusantara (AMAN) adalah Protes masyarakat adat selalu dasawarsa. Baik pada bidang bagaimana mempertahankan berhadapan dengan aparat penegak ekonomi, politik, hukum, maupun diri sebagai suatu identitas bidang sosial budaya. Walaupun

M

24 April 2014 - - - - - - -


BUDAYA hukum. Izin usaha itu mendatangkan banyak masalah, karena investor bekerja secara massif dan membuat masyarakat adat terasing di tanahnya sendiri. Bagaimana kita mengubah kondisi ini menjadi berkah? tentu ada maksud leluhur menitipkan wilayah adat, agar keturunannya bisa hidup makmur. Tantangan kita adalah mengembangkan potensi ekonomi di kampung kita sendiri. Sudah 14 tahun AMAN berjuang bersama masyarakat adat, menyatukan langkah untuk menghentikan penjajahan di wilayah adat. Ada beberapa catatan perjuangan yang berhasil kita capai, pertama pada bulan Mei 2013, Mahkamah Konstitusi memenuhi permohonan kita. Keputusan MK 35, mengatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan Negara. Muncul pertanyaan, setelah itu kita mau bikin apa? Kita akan mengelola sumberdaya alam tersebut agar berdaulat. Kemenangan ke-dua, akhir tahun yang lalu, atas perjuangan kita bersama kawan-kawan, DPR telah mengesahkan UU Desa. Salah satu bab yang mendominasi yaitu kembali kepada desa adat. Apakah pemerintahan dan lembaga adat, bisa melaksanakan UU Desa termasuk mengelola kekayaan di desa adat?. Ke tiga, saat ini kita sedang menunggu proses pengesahan RUUPPMA, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kemungkinan RUU ini disahkan sebelum Pemilu Legislatif April 2014. Pertanyaannya, apakah dengan disahkannya undang-undang tersebut, lantas kita bisa mengelola sumber daya alam secara baik dan membuat masyarakat adat sejahtera? Oleh karena itulah perlu menyiapkan masyarakat adat menjadi pemenang, karena menang di awal hanya pada teks saja, di lapangan akan dijual lagi. Karena kelembagaan ekonominya belum siap, banyak yang ikut-ikutan berbinis tanah dan tambang. Bagaimana mengurus wilayah adat agar menjadi sumber kesejahteraan? Dulu pendiri negara membuat BUMN, sekarang kita buat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). Kalau negara mengelola

hajat hidup orang banyak, maka melalui BUMMA, masyarakat adat bisa berdaulat dengan perangkat adat dan kelembagaannya yang kuat membumi, harus bisa menyejahterakan seluruh komunitas masyarakat adat. BUMMA menjadi milik masyarakat adat, supaya titipan leluhur menjadi berkah dan bukan menjadi kutukan. Perlu diketahui, bahwa tugas kita ini tidak ringan, meski yang dibicarakan dalam lokakarya ini lebih banyak tentang teknis berbisnis. Namun di balik yang teknis itu, mulai dari business plan, marketing plan dan sebagainya, ternyata masa depan masyarakat adat ada di tangan saudara-saudari semua. Kalau teman-teman memimpin JFUKMA, bagaimana kalau gagal?, bisa kita pastikan leluhur dan 17 juta anggota komunitas masyarakat adat seNusantara marah. Kalau para pebisnis membuat business plan, tidak dilengkapi visi dan misi. Kita berbeda, karena membangun resources business plan sesuai dengan visi-misi. Inilah tantangan bagi para fasilitator business plan BUMMA. Perlu saya ingatkan jangan serakah, BUMMA jangan seperti supermarket, artinya harus mulai dari sesuatu yang paling memungkinkan dan ada di sekitar wilayah masyarakat adat. Sebagai tahap awal, belajar dulu mengenali sumberdaya. Masyarakat adat telah melakukan pemetaan wilayah secara partisipatif, sudah ada tata ruang wilayah komunitas masyarakat adat, sudah diketahui di mana ruang wilayah kelola, ruang yang perlu dilindungi, lokasi pemukiman dan sebagainya. Bagi yang belum melakukan pemetaan partisipatif, segera melaksanakannya agar tahu tata ruang dan apa potensi di wilayah masyarakat adat tersebut, baru mengembangkannya. Masyarakat adat telah memiliki sistem budaya yang sesuai dengan sumberdaya alam. Jangan hanya kekayaan saja, tetapi budaya juga perlu dipertahankan untuk menopang bisnis secara terencana. Syukursyukur hal ini bisa menyambung dengan prinsip keberlanjutan. Hasil pemetaan partisipasif harus digunakan sebagai dasar

perencanaan. Dari segi bussiness plan, lembaga ekonomi ini penting, karena sumberdaya yang dikelola adalah milik komunitas, bukan individu. Lembaga ekonomi yang lebih mengedepankan hak-hak kolektif dalam usaha bisnis, itu tantangannya. Untuk pembiayaan kita mulai lewat dukungan pendanaan, karena masuk cost center. Tapi ke depan dalam periode dua tahun, harus ada perputaran pendanaan, kalau disusui terus nanti nggak berkembang. Dalam bayangan kita setelah berjalan dua tahun, dukungannya bukan finansial lagi. Para calon direktur business plan biasanya sudah bisa membayangkan marketing plan-nya. Ada yang bicara keberlanjutan masyarakat adat, tapi lupa keberlanjutan bisnis. Maka business plan kita ini berbicara keduanya. Menurut saya BUMMA harus dikelola secara profesional, perlu saya tekankan kembali, lokakarya ini adalah pelatihan awal untuk calon-calon Direktur Utama BUMMA di 18 Pengurus Wilayah AMAN. Kita menyiapkan para pelaku ekonomi masa depan masyarakat adat dan sumberdaya alamnya, semua ada ditangan teman-teman sekalian. Coba kita bayangkan jika Indonesia, dibangun oleh ekonomi berbasis adat. Roda perekonomian dimulai dari kampung, di sana ada koperasi berfungsi dengan baik, ada pulau yang kampungnya punya produk sendiri. Tugas kita, mengembalikan ekonomi Nusantara kepada masyarakat adat Nusantara. Sumberdaya kita saat ini banyak dikuasai asing, kita tahu dan paham, kita kerjakan kalau ada contoh yang baik. “Mumpung negara sedang krisis dan gamang, maka upaya ini seperti minum air es ketika matahari sedang terikteriknya. Mari kita segarkan dengan seteguk minuman, beri jalan baru lewat BUMMA, melalui penguatan bisnis masyarakat adat dimulai dari lokakarya Perencanaan Bisnis ini,� seru Abdon Nababan menutup sambutannya . *** Ir H. Mirza Indra – Program Manager SICoLIFe

25 April 2014 - - - - - - -


Opini Kedudukan Hutan Adat pasca Putusan MK 35/2012 Oleh: Yesua YDK Pellokila

T

anggapan dari berbagai pihak dan

cara tafsir terhadap Putusan MK 35/2012 sah-sah saja, namun belum tentu benar dan efektif karena Keputusan MK 35 tersebut harus dilihat dan ditempatkan dalam konstruksi normatif UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kedua undangundang ini berhubungan erat antara satu dan lainnya terkait pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat sebagai suatu subyek hukum, pengaturan atas hutan, tanah dan air sebagai obyek hukumnya dan pengaturan tentang hubungan hukum antara subyek hukum dan obyek hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab. Pelaksanaan Putusan tersebut juga harus dilihat dan ditafsir dalam konstruksi normatif UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan – antara lain mengatur tentang tindaklanjut terhadap keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi. Noer Fauzi Rachman dalam opini Restitusi Hak Wilayah Adat di Kompas 19 Februari 2014 menulis “Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 35/ PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 mei 2013 meralat Pasal 6 Ayat 1 dan beberapa pasal lainnya terkait UU No 41/1999 tentang Kehutanan�. Rachman juga menulis adanya dua pihak yang menanggapi

26 April 2014 - - - - - - -

Putusan MK 35/2012. SE Menhut No. 1/2013 dan Permenhut No.62/2013. Menindaklanjut Putusan MK 35/2012, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE.1/ Menhut-II/2013 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P62/PERMENHUT-II/2013. Dalam Surat Edaran tersebut, Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari a. hutan Negara; b. hutan Yesua YDK Pellokila adat; dan c. hutan hak. Walau secara sekilas aturan tersebut nampaknya lebih progresif Putusan MK 35/2012 tersebut daripada Putusan MK 35/2012, dengan cara masing-masing, namun aturan yang dituangkan yakni masyarakat hukum adat dalam huruf II angka 1c Surat melalui perluasan gerakan Edaran tersebut salah tempat pemasangan plang (plangisasi) secara yuridis. wilayah-wilayah adat, dan pihak Norma status hutan pemerintah melalui pernyataan dalam Surat Edaran tersebut Presiden dan Kepala Badan telah menyimpang dari norma Pertanahan Nasional serta sejenis yang diatur dalam Kementerian Dalam Negeri dan UU Kehutanan maupun Kementerian Kehutanan melalui Putusan MK 35, yakni hutan Surat Edaran. Sebenarnya ada berdasarkan statusnya hanya pihak lain yang juga bereaksi ada 2, yakni hutan Negara dan terhadap Putusan tersebut yakni hutan hak. Di dalam hutan hak gerakan masyarakat sipil, yang itulah Mahkamah Konstitusi diwakili Aliansi Masyarakat Adat menempatkan hutan adat. Nusantara/AMAN (Kompas. Penyimpangan lebih lanjut com 25 Desember 2013) dan terhadap Putusan MK 35/2012 KPA (Kompas 27 Desember yang dilakukan Kementerian 2013). Pada intinya kedua Kehutanan adalah melalui pihak ini menyatakan bahwa PERMENHUT 62/2013, karena Putusan MK 35/2012 yakni mengeluarkan wilayah telah mengeluarkan hutan masyarakat hukum adat adat dari hutan Negara, maka (termasuk hutan adat) dari tindakan mengusiran dan/ atau kawasan hutan sebagaimana penggusuran terhadap kesatuandiatur dalam Pasal 24A ayat 3. kesatuan masyarakat hukum Pengaturan ini menimbulkan adat yang hidup di dalam dan/ masalah hukum oleh karena atau sekitar hutan merupakan 1) bertentangan dengan asas pelanggaran terhadap hukum peraturan yang lebih


Opini rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, kedudukan Permenhut tersebut lebih rendah dari kedudukan UU Kehutanan dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK 35/2012 adalah mengubah status hutan adat menjadi hutan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 1b UU Kehutanan, bukan mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan. Jika Kementerian Kehutanan rela mengeluarkan semua hutan adat dari kawasan hutan, maka pengaturannya harus melalui undangundang, bukan Permenhut; 2) menciptakan kekosongan hukum pengaturan hutan-hutan adat. Selama ini, pengaturan dan pengurusan hutan adat tunduk pada dua hukum berbeda, yakni hukum Negara dan hukum Adat. Namun, pengaturan hukum adat atas hutan belum diakui oleh Negara. Karena itu mengeluarkan hutan adat dari yurisdiksi UU Kehutanan dengan sendirinya menciptakan kekosongan hukum; 3) melepaskan tanggungjawab Kementerian Kehutanan. Sejak pemberlakuan UU 5/1967 yang kemudian diganti dengan UU 41/1999, Kementerian Kehutanan telah memberikan sejumlah izin kepada pihak ketiga yang menguasai dan mengelola hutan, termasuk hutan-hutan adat. Penguasaan hutan adat dengan hak-hak tertentu oleh pihakpihak tersebut telah mengubah relasi sosial, hubungan hukum, bentang alam yang berdampak kerusakan ekologis serta juga kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat. Mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan tidak saja telah menelikung Putusan

MK 35/2012, tetapi juga telah melepaskan tanggungjawab Kementerian Kehutanan untuk 1) mengaku bersalah dan meminta maaf kepada masyarakat hukum adat karena selama 46 tahun (sejak berlakunya UU 5/1967 yang diganti dengan UU 41/1999) telah melanggar Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945; 2) melakukan pemulihan sosial dan ekologis terhadap wilayah-wilayah masyarakat hukum adat yang rusak karena berbagai izin konsensi yang diberikan Kementerian Kehutanan; 3) memberikan ganti rugi yang layak melalui suatu perhitungan bersama antara wakil-wakil pemerintah, para aktivis gerakan masyarakat sipil dan para wakil masyarakat hukum adat itu sendiri. Hutan hak dalam UU Kehutanan dan hak atas tanah dalam UUPA

hukum adat. Karena itu perubahan status hutan adat menjadi hutan hak hanya dapat berfungsi jika Negara juga mengakui hak milik komunal masyarakat hukum adat atas tanah. Jika tidak, maka sesuai konstruksi normatif UUPA, hutan-hutan adat tersebut sebenarnya tumbuh dan berkembang diatas “tanah Negara�, oleh karena adanya Hak Menguasai dari Negara (HMN) atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagaiama diatur dalam Pasal 2 Ayat 1,2 dan 3 UUPA. Perubahan status hutan adat juga tidak dengan serta merta mengubah wewenang pengaturan hutan adat. Walaupun Putusan MK 35/2012 terhadap

Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi menempatkan hutan adat sebagai hutan hak, maka pelaksanaan Putusan tersebut harus sesuai dengan pengaturan Pasal 5 Ayat 1b UU Kehutanan yang mengatur hutan hak. Penjelasan Pasal 5 Ayat 1b menyatakan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak milik. Dengan demikian, penafsiran terhadap perubahan status hutan adat menjadi hutan hak harus dibaca, dipahami dalam konstruksi norma hukum UUPA tentang hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 20. Hak milik atas tanah yang diatur dalam UUPA adalah hak milik individu / perorangan sebagai suatu subyek hukum, bukan hak milik komunal yang dapat diberikan kepada masyarakat Rehabilitasi Hutan Adat @ Dokumen foto AMAN

27 April 2014 - - - - - - -


Opini Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan telah mengubah bunyi pasal tersebut menjadi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat�. Namun, kewenangan penguasaan dan pengaturan atas hutan adat yang berada dalam suatu kawasan hutan masih berada pada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 2 UU Kehutanan. Putusan MK 35/2012 hanya mengubah status hutan adat, tidak mengubah kewenangan Kementerian Kehutanan atas hutan adat. Meluruskan salah tafsir, menindaklanjuti Putusan MK 35/2012 Dengan mengacu pada aturan Pasal 10 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka pilihan-pilihanmenindaklanjuti Putusan MK 35/2012 antara lain terdiri dari: Pertama, revisi berbagai perundang-undangan agraria dan sumber daya alam, seperti UUPA, UU Kehutanan dan UU Pertambangan. Revisi tersebut memberikan norma hukum baru yang selaras dengan Putusan MK 35/2012, yakni norma masyarakat hukum adat sebagai suatu subyek hukum penyandang hak yang memiliki hak konstitusional atas tanah dan hutan. Sebagai suatu hak konstitusional yang telah diakui dalam Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945, maka hak dan akses masyarakat hukum adat atas sumber-sumber agraria

28 April 2014 - - - - - - -

Rehabilitasi Hutan Adat @ Dokumen foto AMAN

dan alam itu harus bersifat penuh-tidak hanya dalam bentuk hak pengelolaan atau hak pakai atau hak memungut hasil hutan sebagaimana yang telah diatur dalam UUPA, UU Kehutanan dan undang-undang lainnya. Revisi berbagai undangundang tersebut, terutama UU Kehutanan dengan sendirinya dapat juga memindahkan dan menempatkan norma-norma hukum baru dalam SE Menhut dan Permenhut tersebut diatas ke tempatnya di undang-undang; Kedua, membuat suatu Peraturan Pemerintah yang menyerahkan kewenangan pengaturan dan pengurusan sumber-sumber agraria dan alam dalam wilayah-wilayah

adat kepada masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 4 UUPA bahwa Hak Menguasai Negara dapat dikuasakan kepada masyarakatmasyarakat hukum adat; Ketiga, menggunakan BAB III Pasal 96-111 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai rujukan normatif bagi pengaturan wewenang masyarakat hukum adat atas tanah dan hutan adat yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Kelahiran desa adat yang sesuai dengan normanorma dalam UU Desa dengan sendirinya memberikan tempat kepada pelaksanaan Putusan Makamah Konstitusi atas Pasal 1 Angka 6 bahwa “hutan adat


Opini adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat�. Dengan asumsi desadesa adat memiliki suatu wilayah teritorial sendiri sebagaimana lazimnya suatu desa – yang ditataguna sesuai aturan-aturan adat atau aturan perundang-undangan bagi desa non adat, termasuk hutan dan semua sumberdaya yang terkandung didalamnya – maka UU Desa dapat menjadi solusi antara bagi pelaksanaan Keputusan MK 35/2012; Keempat, mendorong percepatan proses legislasi RUU PPMHA menjadi UU. Melalui UU

PPMHA sebagai undangundang organik terhadap Putusan MK 35/2012, maka Putusan tersebut dengan sendirinya akan dapat dilaksanakan secara yuridis dan empiris. Norma-norma yang diatur dalam undang-undang tersebut akan diturunkan kedalam berbagai peraturan pelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah serta juga keputusankeputusan pemerintah dalam bentuk peraturan menteri, keputusan menteri, keputusan gubernur sampai dengan keputusan bupati. Oleh karena

sifatnya yang khusus, maka UU PPMHA dengan sendirinya memenuhi asas hukumlex specialis derogat legi generali– yang dapat meniadakan berbagai undang-undang sektoral sebagai peraturan yang bersifat umum saat diberlakukan bersama-sama dalam suatu wilayah adat. *** Yesua YDK Pellokila Manajer Pengembangan Lembaga Sajogyo Institute Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia

Apai Janggut Pelestari Hutan Adat @ Dokumen foto AMAN

29 April 2014 - - - - - - -


BERITA KOMUNITAS Empat orang ditembak, satu orang koma Konflik Tambang Emas PT Sumber Energi Jaya dengan Masyarakat Adat Motoling Picuan

M

inahasa Selatan, 9 Januari 2014. Konflik antara Masyarakat Adat Motoling Picuan dengan perusahaan tambang emas PT Sumber Energi Jaya memanas lagi. Pasalnya pada tanggal 6 Januari 2014 pukul 13:00 Wita empat orang warga Masyarakat Adat Picuan yang memperjuangkan wilayah adatnya dari caplokan PT Sumber Energi Jaya ditembak polisi. Keempat orang korban yang ditembak Polisi itu adalah Hardi Sumangkut ditembak di lengan kiri, 36, Asni Runtunuwu tertembak tangan kiri hingga tulangnya hancur, 40, Sernike Merentek tertembak di bagian belakang tembus ke perut, hingga sekarang kritis dan koma, 45, Jefri Terok 48 terkena panah wayer di lengan kanan yang ditembakkan oleh premanpreman bayaran perusahaan. Sernike saat ini masih dirawat di rumah sakit, sedangkan tiga korban lainnya rawat jalan. Korban Penganiayaan ada 3 orang, yaitu: Jan Tendean menderita luka di kepala, dirawat di Rumah Sakit sebentar lalu masuk sel di Polres hingga sekarang, umur 60 tahun; Lorens Flendo ditendang di kepala, hingga sekarang ditahan di polisi, umur 63 tahun. Ari Rumondor 60 tahun ikut ditendang di mata kanan yang membengkak, namun tidak ditahan. Penangkapan ini terjadi tanggal 8 Januari pukul 15.00 Wita dan belum ada informasi lengkap siapa saja nama-nama yang ditangkap dan di mana ketiga orang itu ditahan.

30 April 2014 - - - - - - -

4 tahun belakangan ini Mayarakat Adat Motoling menolak keberadaan PT Sumber Energi Jaya

Peristiwa yang sama pernah terjadi pada 20 April-5 Juni 2012 lalu dimana Denny Lumapow tertembak di bagian perut saat polisi hendak menjemput paksa Yance Kesek saat itu. Sementara itu izin PT Sumber Energi Jaya dikeluarkan oleh Luntungan, Bupati Minahasa Selatan sebelumnya dengan nomor 87. SK Dirjen untuk wilayah pertambangan masyarakat dikeluarkan pada tahun 1998 Ibu Joice Winowoda mewakili Komunitas Motoling Picuan di Minahasa Selatan tempat kejadian perkara mengatakan,� Sudah 4 tahun belakangan ini Mayarakat Adat Motoling menolak keberadaan PT Sumber Energi Jaya. Perusahaan tersebut pernah melakukan negosiasi bagi hasil namun warga masyarakat adat tetap menolak karena lebih menginginkan tanah adat mereka kembali secara utuh. Sampai berita ini diturunkan

Perusahaan terus melakukan teror dan provokasi agar terjadi perpecahan warga masyarakat adat di Picuan,�ujar ibu Joice menambahkan. Polisi masih melakukan pengejaran terhadap tokohtokoh masyarakat dan telah menangkap 3 orang. Warga masyarakat adat Motoling Picuan tidak bisa kemanamana karena jalan keluar dan masuk mereka ditutup polisi dan perusahaan, sehingga mereka bertahan di kampung dan rumah masing-masing untuk menghindari penganiayaan dan penangkapan. PT Sumber Energi Jaya beroperasi di wilayah adat Komunitas Motoling Picuan sejak tahun 2012 dan sejak saat itu mendapat penolakan dari masyarakat adat. Kasus ini pernah ditangani oleh Komnas HAM dan pada tahun 2012 Anggota Komnas HAM Bpk Joni Nelson Simanjuntak bersama Kontras melakukan peninjau ke lokasi konflik. Pada tanggal 28/02/14 sekitar pukul 23-an, Ibu Joice ditangkap di Bandara Sam Ratulangi sepulang dari Jakarta, dengan tuduhan sebagai dalang kerusuhan di PT SEJ Kecamatan Motoling Timur, Minahasa Selatan. *** Monica Kristiani Ndoen. SH


BERITA KOMUNITAS KAPITALISME Merongrong Masyarakat Adat Di Hutan Halmahera (Catatan Dari Walaino, Suku Tobelo Dalam)

M

engawali malam dengan perbincangan menarik persoalan kekinian Maluku Utara yang begitu kompleks. Salah satu yang menjadi perhatian publik, adalah pengelolaan sumberdaya alam. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan aspek penting seperti hak masyarakat dan lingkungan, menjadi penyebab utama munculnya berbagai persoalan. Semangat dalam Pasal 33 UUD 1945 belum terwujudkan secara nyata. Hak – hak masyarakat adat di rampas begitu saja, kerusakan lingkungan terjadi dimana – mana, krisis identitas membuat masyarakat menjadi manusia yang individualistik. Kemiskinan melanda karena sektor produktif tidak bisa lagi dikelola masyarakat. Kriminalisasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan yang diharapkan bisa memberikan harapan hidup bagi masyarakat adat, justru terbalik menjadi malapetaka. Begitulah gambaran Maluku Utara yang saya simpulkan dari satu kesempatan diskusi sebelum melanjutkan perjalanan ke pemukiman masyarakat adat yang saat ini dihadapkan dengan arus kapitalisme global. Malam itu, 12 Desember 2013, sekitar pukul 22.00 Wit, saya menempuh perjalanan dengan kapal laut KM. Nur Abadi. Perjalanan dengan rute Tobelo – Patlean

Rumah Masyarakat Adat sementara di Tobelo Dalam@ Dokumen foto AMAN Malut

ditempuh sekitar 6 jam. Sedikit bergelombang menyambut kami yang sedang berlayar di laut Halmahera, ditemani rembulan dan musik “Kereta Malam”. Suasana dalam kapal ramai penumpang. Saya istirahat lebih cepat, agar bisa menyiapkan energi sebelum masuk ke perkampungan Suku Tobelo Dalam yang bermukim di Walaino. Menjelang pagi kami tiba di Desa Patlean, pelabuhan tempat saya harus turun dan berpisah dengan penumpang yang akan melanjutkan perjalanannya. Perkampungan Walaino adalah dusun kecil dari Desa Pumlanga. Jarak dari Patlean ke dusun ini sekitar 20-an kilometer. Alat transportasi yang tersedia hanya motor laut dan jasa angkutan motor darat atau naik ojek. Sekali perjalanan biaya yang dikeluarkan sekitar Rp. 200.000. Infrastruktur jalan yang saya lintasi belum beraspal, bertaburan kerikil – kerikil tajam yang membahayakan

setiap pengendara motor. Warga disini akrab dengan kondisi jalan seperti itu. Belum terlihat usaha pemerintah untuk memperbaiki jalan tersebut. Mereka hanya menggaruk habis sumberdaya alam di sekitar wilayah ini, baik tambang dan kayu. Dusun Walaino tempat tinggal Suku Tobelo Dalam berada di tengah hutan Halmahera. Dusun ini adalah salah satu dari 19 titik penyebaran Suku Tobelo Dalam (O hongana manyawa) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan (Data Survey Burung Indonesia). Dalam berbagai catatan dan tulisan, suku ini sedang berhadapan dengan ganasnya kebijakan pembangunan sektor tambang, Taman Nasional, HPH dan transmigrasi mengancam identitas mereka. Di Wasile, suku ini terusir dari tanah adatnya. Tanah dan hutan mereka di konversikan oleh pemerintah untuk kegiatan-

31 April 2014 - - - - - - -


BERITA KOMUNITAS kegiatan di atas. Mereka yang hidup dan menetap di Dusun Walaino ini sebanyak 66 kepala keluarga (KK) dan sekitar 300-an jiwa. Dalam sejarah asal – usul dan turunan, awalnya mereka terdiri dari 7 orang saudara sekandung yakni Hidotu Kaibi, Mukurino Kaibi, Mely Kaibi, Buayang Kaibi, Dunia Kaibi, Puko Henggo Kaibi dan Duguyang Kaibi yang kemudian melahirkan anak – cucu sampai berjumlah seperti saat ini. Kelompok ini dipimpin oleh seorang kepala suku yang bernama Duguyang Kaibi. Hampir sebagian besar dari mereka belum bisa menggunakan bahasa Indonesia. Komunikasi sehari – hari dengan bahasa Tobelo. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam. Alam menjamin keberlanjutan hidup mereka turun – temurun sampai saat ini. “Sejak masuknya transmigrasi Patlean mempersempit wilayah adat Suku Tobelo Dalam, akibatnya warga Tobelo Dalam tidak bisa bebas lagi berkebun dan berburu ke hutan. Hewan – hewan buruan seperti rusa dan babi juga semakin sulit didapat. Selain itu semakin banyak orang masuk ke hutan adat melakukan pembalakan liar,” ungkap Kepala Duguyang Kaibi Duguyang melanjutkan cerita bahwa pemerintah melalui Kemensos (2013) melaksanakan program resetlemen dengan membangun rumah beratap seng, berdinding kayu. Sayang sejak awal pembangunan sudah diprotes warga, karena tidak sesuai dengan konsep sebagaimana rumah mereka yang bertingkat sehingga kolong rumah bisa dijadikan kandang hewan

32 April 2014 - - - - - - -

piaraan, seperti anjing dan sirkulasi udara berjalan lancar. Menurut mereka yang sudah menempati rumah dari Kemensos tersebut sangat panas baik siang maupun malam hari, karenanya memilih tidur di kebun. Sebagian lagi memilih tidak menempati rumah tersebut dan memilih tinggal di rumah yang mereka bangun sendiri. Pada satu pertemuan anatar warga adat Walaino dengan pemerintah tanggal 16 Desember 2013 lalu, warga menolak rencana pemerintah membangun bendungan transmigrasi. Warga menolak karena bendungan itu akan menggusur kebun kelapa, pala dan tanaman lain. Bahkan bisa menyebabkan terjadinya krisis air bersih dikemudian hari. Dalam pertemuan tersebut, petugas dari pemerintah dikawal beberapa anggota polisi. Rupanya ada intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam proses negosiasi tersebut. Selesai pertemuan petugas dari pemerintah membagibagikan uang Rp 50.000-an pada setiap orang. Entah apa maksud dari pemberian uang tersebut, mungkin sebagai upaya penyogokan langsung. Apapun bentuknya, meski atas nama pembangunan, jika masuk dalam lingkup wilayah komunitas masyarakat adat, haruslah melaksanakan mekanisme FPIC. Mekanisme ini melarang salah satu pihak untuk melakukan intimidasi dalam bentuk apapun, termasuk menghadirkan polisi dalam pertemuan dengan warga Tobelo Dalam di Walaino. Apapun keputusan masyarakat adat Walaino, harus dihormati oleh pemerintah, bukan dengan cara menyogok dan intimidasi.

Masyarakat Adat Tobelo Dalam @ Dokumen foto AMAN

Uang dan Produk Modernisasi di Walaino Sejak kapan komunitas Tobelo Dalam di Walaino ini mengenal uang sebagai alat transaksi belum diketahui pasti. Namun fakta kekinian menunjukan ada perubahan paradigma dalam kehidupan mereka. Uang menjadi alat transaksi setiap saat, baik untuk kebutuhan sehari – hari maupun pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang mereka lakukan harus dibayar tenaganya dengan uang. Mereka juga menawarkan jasa angkutan bagi setiap orang yang melintasi Sungai Akelamo, Rp 10.000 per orang, sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok perempuan. Masyarakat adat Tobelo Dalam di Walaino, harus berhadapan dengan gelombang modernisasi yang begitu kencang masuk dalam ranah kehidupan. Derasnya informasi dan teknologi, membentuk perilaku mereka. Produk makanan siap saji, misalnya beras, super mie, aqua, biskuit dan obat – obatan (pil), merupakan barang yang gemar dikonsumsi. Kendaraan bermotor, tv dan jenis pakaian sudah dipergunakan setiap saat. O Doro, salah satu dari warga adat Walaino, walaupun tinggal di rumah yang sangat sederhana (bevak), tapi menjadi pedagang barang – barang tersebut. Sering juga yang bersangkutan membersihkan gigi dengan pepsodent. Dalam satu acara nonton bareng dengan mereka film Wiro Sableng di rumah


BERITA KOMUNITAS salah satu warga pada malam hari. Raut wajah mereka begitu berbeda melihat adegan demi adegan yang ditampilkan oleh aktor utama dalam cerita film tersebut. Besoknya anak – anak bermain sambil meniru gaya Wiro Sableng, film itu dengan gampang merubah perilaku mereka. Ada pergeseran perilaku yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mereka sehari-hari, produk – produk modernisasi tadi ikut berkontribusi menciptakan

ketergantungan mereka terhadap berbagai macam produk. Salah satunya terkait soal makanan dan obat – obatan. Dua hal ini sebenarnya tersedia di wilayah adat mereka dan tidak perlu bergantung pada produk dari luar. Menurut keterangan mereka, produk seperti ini mulai dikenal ketika perusahan masuk berinvestasi di wilayah mereka, lalu masuknya trasmigrasi serta proses interaksi dengan penduduk di luar mereka. Ketahanan diri dan budaya yang mereka miliki,

harus bangun. Kapasitas pengetahuan mereka harus diperkuat agar bisa membedakan mana yang membahayakan dari aspek kebudayaan dan mana yang bisa diterima. Pandangan mereka tentang alam yang sebagai kearifan lokal (local wisdom) harus terus terpelihara karena menjadi kunci dari kemampuan mereka untuk bisa bertahan hidup.*** Ubaidi Abdul Halim Kepala Biro OKK AMAN Malut

Empat Warga Adat Semende Banding Agung Menanti Sidang Pengadilan Negeri

B

engkulu 23 Desember 2013 Empat orang Masyarakat Adat Semende Banding Agung, Bengkulu ditangkap oleh polisi kehutanan, Senin 23 Desember 2013. Menurut Ketua BPH PW AMAN Bengkulu Def Tri Hamri, keempat orang itu adalah Hamidi, Heri, H. Rahmat, dan Suraji. Setelah menangkap keempat orang tersebut mereka membakar rumah masyarakat adat. Pengurus Wilayah AMAN Bengkulu mendata lima rumah di wilayah Banding Agung dibakar oleh polisi kehutanan secara diam-diam pada (22/12/2013). Kelima rumah ini diperkirakan dibakar saat Masyarakat Adat Semende Banding Agung meninggalkan rumah mereka menghadiri undangan Polres Kaur untuk berdialog. Polisi kehutanan mengancam warga adat dengan menodongkan senjata. Tindakan ini merupakan bagian dari operasi gabungan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan instansi

Aksi Masyarakat Adat Semende @ Dokumen foto AMAN

terkait Kabupaten Kaur untuk mengusir Masyarakat Adat Semende Banding Agung yang dianggap sebagai perambah. Padahal Masyarakat Adat Semende Banding Agung menempati wilayah adat yang telah mereka warisi dari generasi ke generasi. Penangkapan terhadap empat orang warga komunitas adat Semende Dusun Lamo

Banding Agung, berujung pada sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Klas II Bintuhan, melalui kuasa hukumnya (Tim Pembela Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) para pemohon mengajukan praperadilan atas sah tidaknya penangkapan dan penahanan. Meskipun Tim Pembela

33 April 2014 - - - - - - -


BERITA KOMUNITAS menguraikan fakta-fakta hukum tentang keberadaan masyarakat adat Semende Dusun Lamo Banding Agung agar dipertimbangkan sebagai unit sosial yang sah bertempat dan hidup di wilayah adat mereka dalam ruang lingkup pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun perkara praperadilan dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan praperadilan dan menyatakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Para Termohon adalah sah menurut hukum. Hanya berbekal pertimbangan bahwa syarat formil penangkapan telah terpenuhi lewat Surat Perintah Penangkapan yang dikeluarkan oleh Termohon II Polres Kaur, sedangkan mengenai keberadaan komunitas adat Dusun Lamo Banding Agung yang hidup di wilayah adatnya tidak dipertimbangkan, karena dianggap sudah masuk dalam pokok perkara pidana yang dipersangkakan. Putusan ini dirasakan telah menambah penderitaan bagi para pemohon, karena dianggap sebagai perambah hutan, ditangkap lalu ditahan. Hakim telah abai terhadap keberadaan mereka sebagai satuan komunitas adat yang hidup di wilayah adat yang mereka warisi secara turun temurun. Sementara Tim Pembela para Pemohon menilai putusan ini telah menambah catatan buruk penegakan hukum yang sewenang-wenang, diluar ketentuan hukum (undue to law), dan jauh dari pemenuhan rasa keadilan. Menurut Mualimin

34 April 2014 - - - - - - -

Pardi Dahlan, SH selaku Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengatakan,� putusan tersebut sungguh tidak bisa kami terima, tapi karena putusan praperadilan ini bersifat final, tentu kami tetap akan memperjuangkan hak-hak warga masyarakat adat ini di sidang pengadilan selanjutnya,� papar Mualimin. “Mereka adalah warga komunitas masyarakat adat yang telah hidup secara turun temurun, sehingga tidak dapat dituduhkan sebagai sekelompok orang yang melakukan tindak pidana melanggar UU P3H. Untuk memperjuangkan hak komunitas

masyarakat adat se-Nusantara, dan agar tidak lagi ada korbankorban berikutnya kami akan mengambil langkah-langkah hukum terhadap semua pihakpihak yang secara nyata tidak menghormati hak dan martabat masyarakat adat, termasuk melakukan uji materi atas UU P3H ke Mahkamah Konstitusi RI,� pungkas Mualimin. Demi mempertahankan hak-hak turun - temurun masyarakat adat Semende Banding Agung, keempat warga adat rela mendekam di penjara LP Bengkulu Selatan, sedang menjalani persidangan dan menunggu putusan Pengadilan Negeri. ***

Warga Adat Semende Diusir dan Rumahnya Dibakar @ Dokumen foto AMAN


BERITA KOMUNITAS para fasilitator pelatihan, sambil mengucapkan doa. Para fasilitator dipersilahkan menghadap ke arah barat atau yang sering disebut dengan Pombolup Ondou (matahari terbenam), untuk melepas semua hal yang tidak baik unung Mas 9 November bersama dengan terbenamnya 2013. Bagi warga matahari, setelah itu menghadap adat Komunitas ke timur, sering disebut dengan Dayak Uut Karetau Serinau, Pombulum Ondou (matahari Kabupaten Gunung Mas Provinsi terbit), agar kehidupan kita Kalimantan Tengah, mapas selalu bercahaya seperti adalah bentuk ritual adat yang layaknya matahari yang bersinar sering dilaksanakan sebelum sepanjang hari. memulai sebuah kegiatan Ayam kampung itu penting. Jika diterjemahkan kemudian disembelih dan ke dalam bahasa Indonesia, darahnya dikucurkan ke mapas artinya menyapu. Dengan wadah piring kosong. Darah melaksanakan ritual mapas ini, itu akan menjelma menjadi air diyakini bahwa semua hal-hal Kaharingan bolum berfungsi yang jahat serta kesialan akan menolak hal-hal tidak baik yang dibersihkan. dibawa dari luar komunitas. Nyaki kuh tatap pai’ mu, Air Kaharingan bolum dari akam icak muh panyakit kare darah ayam itu kemudian bereng Nyaki kuh baun atoi ditempelkan ke rambut, muh, angat atoimu sarongin, dahi, dada, dan kaki, melalui tau malaksana dengan atoi perantaraan sekeping uang barasih Nyaki kuh liko muh, logam yang diartikan sebagai nonga kakuatan utok sesuatu yang keras untuk Nyaki kuh balo muh, akam menguatkan jiwa. Tiap bagian nagkalau pikiran je panik tubuh diberikan wejangan yang (Doa ini dibacakan berbeda-beda. Mantir Adat (tetua adat) sambil Ketika ditempelkan ke menempelkan uang logam yang rambut, harapannya agar semua dilumuri darah ayam ke bagian buruk berlalu seperti angin yang tubuh mereka) lewat di atas kepala. Di dahi, Begitulah ucapan selamat agar diberi kekuatan pikiran dan datang Komunitas Dayak tidak mudah menyerah dalam Uut Danum Karetau Sarian melakukan pekerjaan. Pada menyambut para fasilitator dada, untuk menguatkan hati pelatihan pemetaan partisipatif pada tujuan semula, walaupun wilayah adat pada awal bulan dihadang berbagai rintangan. November lalu. Untuk kaki, agar kita bisa ”Kalian telah memasuki menginjak penyakit yang ada wilayah adat kami, maka disekitar kita. kami akan melakukan mapas Lalu segelas air putih agar kalian dilindungi oleh yang telah diberi minyak leluhur kami,” ujar Samudin dicipratkan ke seluruh bagian Saad, seorang Mantir Adat tubuh dengan perantara menjelaskan maksud dari ritual dedaunan yang telah dicelupkan tersebut. pada air itu. Ini sering disebut Secara bergantian, tiga dengan Tampung Tawar, orang mantir adat mengangkat gunanya untuk menenangkan ayam kampung ke atas kepala diri atau sering disebut dengan

Ritual MAPAS

G

Manyarongin (Mendinginkan), sambil mengucapkan wejangan-wejangan. Prosesi ritual yang terakhir ditutup dengan mengikatkan Manas bersama Bajakah Tengan di tangan kanan para fasilitator. Manas terbuat dari batu dan melambangkan sesuatu yang kuat, sulit untuk dihancurkan, Bajakah Tengan adalah akar merambat yang sulit sekali dipotong. “Kami ikatkan kekuatan niat kita bersama perlindungan leluhur agar tidak mudah dikalahkan oleh sesuatu yang bertentangan” tambah Saniun Surai seorang tokoh Masyarakat. “Ritual adat ini membawa kita ke dalam sebuah kesadaran, kita menjadi sadar bahwa selain manusia, ada alam dan kuasa yang lebih tinggi dari pada kita, yaitu roh para leluhur dan Sang Pencipta,” Ungkap Rinting, salah satu fasilitator, saat ditanyakan apa kesannya terhadap ritual adat mapas ini. Dengan kesadaran itu masyarakat adat yang tinggal turun temurun dalam hutan adatnya, tidak akan sembarangan memanfaatkan hasil hutan. Hasil hutan harus dinikmati secara bersamasama tanpa saling berebutan. Perlu mempertimbangkan keseimbangan hutan karena selain untuk kehidupan di masa mendatang, hutan juga mempunyai tempat-tempat sakral untuk menghubungkan masyarakat adat dengan para leluhurnya. Ini salah satu wujud relasi spiritual antara manusia, alam, dan sang pencipta. Relasi yang membuat masyarakat adat mempunyai kepekaan yang lebih pada diri sendiri, sesama, alam dan para leluhurnya.*** Pebri

35 April 2014 - - - - - - -


BERITA KOMUNITAS Muswil II AMAN Sumatera Selatan

M

uswil II AMAN Sumatera Selatan Wakil Bupati Musi Banyuasin Berkomitmen Untuk Memberikan Keadilan Bagi Masyarakat Adat Musi Banyuasin 11 Desember 2013. Tabuhan rebana dan lantunan nyanyian penyambutan berkumandang ketika Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan dan Wakil Bupati Musi Banyuasin, Beni Hernedi turun dari mobil memasuki lokasi Muswil II AMAN Sumsel yang dilaksanakan tanggal 11 Desember 2013 di Marga Tunggal Ulu, Kecamatan Tungkal Jaya, Kabupaten Musi Banyuasin. Para tetua adat yang juga adalah pendiri AMAN meyambut rombongan dan mempersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan, diiringi senjang (puisi dalam bentuk pantun),� dari sekayu ke simpang tungkal, lewati supat dan peninggalan, selamat datang kami ucapkan pada pak Beni dan Abdon Nababan�. Setelah sekjen dan wakil bupati duduk di tempat, para penari stabek mengambil posisi dan membawa tanjak (semacam topi hiasan kepala

yang terbuat dari kain songket) untuk dikenakan kepada Sekjen AMAN dan wakil bupati. Tanjak dipasangkan oleh tetua adat utusan dari marga Dawas. Alur acara disampaikan oleh pembawa acara antara lain menyajikan lagu Indonesia Raya, penyampaian laporan Ketua Panitia Pelaksana Muswil AMAN Sumsel II , sambutan tetua adat Tungkal Ulu , sambutan Ketua BPH AMAN Wilayah Sumsel, sambutan dari sekjen AMAN dan terakhir adalah sambutan wakil bupati sekaligus membuka Muswil AMAN SUMSELke-II. Sekjen AMAN menyampaikan sambutannya di hadapan lebih dari 300-an orang utusan warga adat dan tamu undangan, bahwa Masyarakat Adat telah diakui dalam konstitusi. Penegasan yang berpihak terhadap masyarakat adat ini pelan-pelan mulai diwujudkan. Salah satunya adalah keluarnya Putusan MK 35 yang telah mengeluarkan antara hutan negara dengan hutan adat. Sekarang ada Wakil Bupati Musi Banyuasin hadir pada muswil ini dan kita minta agar beliau berkomitmen untuk menindaklanjuti Putusan MK 35. Setelah tarian maremare, mengisahkan tentang seseorang yang sudah lama

pacaran namun tak kunjung juga berjodoh. Tarian ini sebagai penghantar wakil bupati meyampaikan sambutannya sekaligus membuka Muswil II AMAN Sumsel. Inti dari sambutan wakil bupati, sudah ada tandatanda bahwa zaman ini untuk masyarakat adat. Masyarakat adat harus diakui dan dilindungi hak-haknya karena sudah jelas dengan adanyanya Putusan MK nomor 35. Masyarakat adat harus mendapatkan keadilan, saya dan Bupati Musi Banyuasin sudah berkomitmen untuk menurunkan angka kemiskinan di kabupaten yang kami pimpin selama lima tahun. Pada akhir acara pembukaan Muswil II AMAN Sumsel, Wakil Bupati Musi Banyuasin mendukung Petisi 35 yang digalang oleh AMAN untuk menindak lanjuti pelaksanaan Putusan MK 35 serta percepatan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.*** Monang Arifin Saleh.

Nota Kesepahaman Perwakilan Komnas HAM dan PW AMAN Kalbar

N

ota Kesepahaman Perwakilan Komnas HAM dan PW AMAN Kalbar Pontianak, 4 Februari 2014 - Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat

36 April 2014 - - - - - - -

menandatangani nota kesepahaman bersama Komnas HAM Perwakilan Kalimantan Barat terkait pengarusutamaan pendekatan berbasis HAM masyarakat adat di provinsi

tersebut, Selasa (4/2). Yang menandatangani adalah Gloria Sanen, PJS Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kalimantan Barat, dan Kasful Anwar, SH,


BERITA KOMUNITAS M.Si, Kepala Komnas HAM Perwakilan Kalimantan Barat. Penandatanganan berlangsung di Kantor Perwakilan Komnas HAM Kalimantan Barat di Pontianak. Nota kesepahaman ini melingkupi: • Melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan

Kalimantan Barat dan Barat. Aliansi Masyarakat Adat • Mengembangkan Nusantara Wilayah mekanisme penyelesaian Kalimantan Barat dalam kasus-kasus pelanggaran rangka meningkatkan peran Hak Asasi Manusia dan tugas masing-masing Masyarakat Adat di pihak. Kalimantan Barat. • Melakukan kajian, • Mensosialisasikan peraturan identifikasi dan inventarisasi perundang-undangan tentang keberadaan tentang Hak Asasi Manusia masyarakat adat dan hakpada Masyarakat Adat di hak asasinya di Kalimantan Kalimantan Barat.

PW Aman Nusa Bunga Selenggarakan Pelatihan Community Organizer

E

nde, 3 Januari 2014. Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Nusa Bunga selenggarakan Pelatihan Kommunity Organizer atau pelatihan Kader Penggerak yang nantinya diharapkan menjadi organiser komunitas handal. Pelatihan ini diselenggarakan tanggal 3 s/d 5 Januari 2014 di Aula Pondok Bina PSE, Ende. Ada 25 orang peserta yang ikut mereka dari daerah dan komunitaskomunitas. Ketua panitia Penyelenggara Daud P Tambo dalam sambutannya mengatakan bahwa masyarakat adat hidup di bumi Nusantara jauh sebelum Negara Indonesaia berdiri. Masyarakat adat Nusantara ikut berjuang membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu negara wajib hukumnya untuk melindungi dan mengakui keberadaan masyarakat adat. “Penyelenggara negara mestinya mempelajari kembali proses keberadaan dan berdirinya Negara Kesatuan RI, sebab kondisi yang terjadi

justru masyarakat adat ditindas, serta dikorbankan jadi obyek demi kepentingan penguasa dan pemodal. Di wilayah Nusa Bunga konflik yang terjadi sudah begitu banyak, mulai dari konflik tapal batas hingga konflik pembangunan seiring dengan kehadiran investor dan mencaplok tanah milik masyarakat adat,” papar Daud. Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga, Philipus Kami dalam sambutannya menyampaikan harapannya atas terselenggaranya pelatihan ini dan berharap peserta bisa memahami perjuangan AMAN membangun persatuan dengan cita-cita berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat dalam budaya. “Kita sebagai masyarakat adat harus tetap mengawal keberagaman dan menunjukan eksistensi masyarakat adat sesuai dengan kebhinekaan yang telah dicetuskan oleh pendiri bangsa ini. Kita berharap lahir kader inofatif yang mampu mendorong kemandirian ekonomi. Masyarakat adat mempunyai modal tanah, mengapa sampai saat ini tetap

miskin?,” tanya Philipus. “Oleh karenanya pelatihan dilaksanakan agar penggerak komunitas adat bisa mengerti dan berani membangun pemahaman bersama untuk memperjuangkan keberagaman sesuai dengan semangat pendiri bangsa, “papar Philipus lebih jauh. Terbentuknya sebuah negara adalah upaya untuk mengatur masyarakat adat agar hak-haknya diakui dengan demikian hak-hak masyarakat adat harus dilindungi dari acaman luar yang sifatnya ekpolitatif. Karena masyarakat adat itu bicara tentang kebenaran, dan kebenaran itu adalah hak-hak masyarakat adat, generasi si kecil hari ini berhak mendapatkan hak terkait dengan apa yang kita perjuangkan,” ujar Philipus menyemangati peserta.*** Yulius Fanus Mari

37 April 2014 - - - - - - -


BERITA KOMUNITAS Rehabilitasi Hutan Adat Muara Tae

Rehabilitasi Hutan Adat di Muara Tae @ Dokumen foto AMAN

M

uaratae, 18 September 2013 – Masyarakat adat Muara Tae dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mulai melaksanakan Rehabilitasi Hutan Adat Muara Tae. Selain untuk mengembalikan kelestarian hutan, rehabilitasi wilayah adat juga dimaksudkan untuk menyemangati seluruh Masyarakat Adat di Nusantara agar mulai merehabilitasi hutan adat masing-masing. Pencanangan Rehabiliasi Hutan Adat Muara Tae dilakukan di Kutai Barat, Kalimantan Timur pada Kamis (19/9). Pencanangan ini terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 35-PUU-X/2012 atas uji materi UU No.41/1999 tentang Kehutanan yang

38 April 2014 - - - - - - -

menegakkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. “Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Undang-Undang Kehutanan tersebut adalah pegangan legal bagi Masyarakat Adat untuk melakukan gerakan rehabilitasi wilayah adat masing-masing yang telah mengalami penghancuran,� kata Sekretaris-Jenderal AMAN Abdon Nababan. Abdon menegaskan, jika menunggu inisiatif pemerintah untuk merehabilitasi wilayah adat, maka masyarakat adat tidak akan pernah mengetahui kapan wilayah-wilayah adat ini akan direhabilitasi. Sedangkan proses penghancuran terus berlangsung. Data analisis terbaru AMAN menunjukkan Indonesia memiliki minimal 55,5 juta

kawasan adat dalam hutan. Diluar luas areal penggunaan lain (APL), diperkirakan ada sekitar 24.5 juta hektar kawasan hutan yang perlu direhabilitasi. Luas itu mencakup kawasan hutan tanpa tutupan, kawasan hutan terdeforestasi, dan kawasan hutan terdegradasi. Penyebab utama adalah alih fungsi lahan hutan melalui pemberian konsesi kepada perusahaan seperti yang terjadi pada Hutan Adat Muara Tae. Komunitas Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Barat telah bertahun-tahun memperjuangkan wilayah adatnya, namun kini tercantum sebagai wilayah konsesi. Pada 1971, Masyarakat Adat Muara Tae berkonflik


BERITA KOMUNITAS dengan perusahaan kayu PT Sumber Mas. Pada 1995 dengan perkebunan kelapa sawit PT London Sumatra, dan pada 1996 dengan pertambangan batu bara PT Gunung Bayan Pratama. Kemudian pada 2010 dengan perkebunan kelapa sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa, dan pada 2011 dengan perkebunan kelapa sawit PT Borneo Surya Mining Jaya. Rehabilitasi wilayah adat Muara Tae adalah kelanjutan pemetaan partisipatif wilayah adat di sana. Dari pemetaan partisipatif yang telah diselesaikan di sana, Masyarakat Adat Muara Tae memiliki wilayah adat seluas 11.471,85 hektare.***

Rehabilitasi Hutan Adat di Muara Tae @ Dokumen foto AMAN

Pengurus Daerah Maros Resmi Terbentuk

M

aros 14 Desember 2013 - Bertempat di Kec. Tompobulu, Desa Bonto Somba MUSDA I AMAN Kab. Maros berlangsung tanggal 13-14 Desember 2013. Di Kabupaten Maros terdapat 4 Komunitas yang telah menjadi anggota AMAN dan telah memenuhi syarat untuk membentuk 1 pengurus daerah AMAN. Pembentukan Pengurus Daerah ini dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan organisasi terhadap anggotanya di komunitas-komunitas. Dalam Musda ini hadir Wakil Ketua DPRD Kab. Maros, Polres Maros, Dewan AMAN Wilayah dan unsur-unsur lainnya. Acara Musda dimulai dengan dialog para pihak

tentang Rancangan Undangundang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Dialog tersebut dipandu oleh Sardi Razak dengan pembicara kunci Bapak Mahir Takaka, Staf Khusus Sekjen AMAN Mahir Takaka menjelaskan dasar-dasar dari RUU-PPHMA baik landasan filosofis, historis dan yuridis. Penjelasan Deputi III PB AMAN ini disimak sepenuhnya oleh para peserta. “Ini rancangan undangundang yang sangat baik karena betul-betul berpihak kepada masyarakat jadi tidak ada alasan untuk menunda pengesahannya” ujar H. Rani utusan Komunitas Adat Pattontongan (calon

anggota AMAN). Hal senada juga diucapkan oleh H. Muh. Yakub, Dewan AMAN Wilayah Sulawesi Selatan, “RUU-PPHMA ini kita harapkan menjadi undangundang payung nantinya, tidak seperti undang-undang masyarakat adat sekarang, bersifat sektoral”. Lebih jauh Mahir Takaka menjelaskan tentang subtansi RUU-PPHMA yang saat ini masih didiskusikan oleh Balegnas karena terdapat perbedaan pandangan. “Ada beberapa poin masih menjadi bahan pendiskusian hangat dengan teman-teman Balegnas ,karena itu kita harus memastikan bahwa undang-undang ini nantinya

39 April 2014 - - - - - - -


BERITA KOMUNITAS mampu memberi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat� ujarnya. Dialog para pihak ini melahirkan beberapa rekomendasi antara lain mendesak disahkannya RUUPPHMA tersebut. Setelah istirahat siang acara Musda dilanjutkan dengan penjelasan seputar Musda yang disampaikan oleh Armansyah Dore selaku Kepala Biro I AMAN Sul-Sel. “Yang terpenting dan akan kita lakukan bersama adalah pemahaman kita soal

tugas-tugas dari Musda yang akan kita jalankan ke depan dan memastikan bahwa kita berjalan sesuai koridor dalam aturan-aturan organisasi, termasuk mekanisme dalam bermusyawarah�. Kemudian acara pemilihan Dewan AMAN Daerah Maros dilaksanakan. Peserta Musda sepakat menunjuk 7 orang sebagai Dewan AMAN Maros dengan komposisi: 1. H. Kr. Ngawing : Ketua 2. Edi Hamzah : Wakil Ketua I

3. Amirullah Ketua II 4. Kaharuddin 5. Rusdi 6. Sumarni 7. St. Aminah

: Wakil : Anggota : Anggota : Anggota : Anggota

Sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian terpilih Bapak Amirullah Rull. Acara ditutup dengan pelantikan pengurus AMAN yang dipimpin oleh Bapak Mahir Takaka. ***Armansyah Dore

Tanah Dirampas, Masyarakat Adat Dituduh Mencuri Di Ladangnya Sendiri

C

atatan perjalanan ke Simarigung, Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan. Nama kampung yang akan aku kunjungi kali ini adalah Simarigung. Sebenarnya nama yang sudah tidak asing lagi di telingaku, karena ada seorang teman warga kampung sini pernah ikut aksi bersama menolak perampasan wilayah adat oleh PT. TPL di Humbang Hasundutan. Ini adalah kunjungan pertama kali (Minggu, 13 Oktober 2013). Aku dan Lambok Lumban Gaol yang turut menemani mengendarai sepeda motor, sekalipun cuaca sedang buruk dan hujanpun turun pula. Angkutan umum ke Simarigung hanya ada pada saat hari onan (pasar) yaitu setiap hari Jumat. Dalam perjalanan ada panggilan telepon dari kampung yang mengabarkan warga sudah menunggu, kecepatan sepeda motor kami pacu melaju. Walaupun jalan ke kampung ini tidak mulus, namun masih lebih baik dibanding dengan jalan ke kampung lainnya

40 April 2014 - - - - - - -

Pohon Eucaliptus @ Dokumen foto AMAN

yang pernah saya kunjungi. Ternyata sesuai dengan penjelasan dari warga bahwa di sini akses jalan dibangun oleh perusahaan PT. TPL (Toba Pulp Lestari), jalan dibangun untuk memudahkan pengangkutan kayu dari Simarigung. Hamparan eucaliptus yang kami lewati menjadi petunjuk bahwa arah ke kampung tersebut tidak salah. Sebelumnya ada informasi bahwa perkampungan Simarigung sudah ditanami eucaliptus. Rumah warga yang pertama terlihat tepat berada di tengah-tengah

hamparan pohon eucaliptus. Masyarakat Simarigung Bertani. Untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari warga Simarigung menggantungkan hidup dari hasil pertanian. Ada sekitar 200-an/ KK warga yang menetap di sini bertani dari pagi hingga sore. Menurut pengakuan warga setempat, sudah sekitar 300-an tahun leluhur mereka bermukim di wilayah tersebut dan mengandalkan hasil pertanian


BERITA KOMUNITAS kemenyan, kopi, ubi, padi, jagung dan berbagai macam tanaman lainnya. Mida Manalu bersama suaminya Bukti Manullang, biasa dipanggil Oppu Reinaldi adalah salah satu keluarga petani di Simarigung. Untuk memenuhi kebutuhan bersama ke 5 (lima) anaknya dan 8 (delapan) cucunya, mereka sehari-hari mengandalkan hasil pertanian. Kesulitan mendapatkan pupuk, bibit serta terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pertanian yang diperlukan menjadi masalah utama yang dihadapi oleh keluarga Oppu Reinaldi. Masalah yang dirasakan oleh keluarga Oppu Rinaldi menjadi gambaran umum situasi warga lainnya. Namun persoalan yang paling mereka khawatirkan saat ini tidak ada lagi lahan tanah untuk dikelola. Ketakutan mulai muncul tahun 1990 an, pada saat PT. Indorayon (PT. TPL sekarang) memasuki wilayah adat Simarigung. Sejak kehadiran perusahaan bubur kertas tersebut, tanaman lokal warga mulai terancam. Perusahaan melakukan penebangan di wilayah Simarigung secara menyeluruh tidak terkecuali tanaman kopi dan kemenyan yang sudah diolah warga hingga puluhan atau bahkan ratusan tahun lamanya. Kemenyan milik keluarga Oppu Reinaldi sendiri sudah ditanam dan dirawat puluhan tahun, bahkan ada pohon berusia ratusan tahun ditebang lalu diganti dengan tanaman baru eucaliptus. Penghancuran berlangsung dengan cepat dan itu membuat warga marah. Tetapi kemarahan warga tersebut bukan menjadi masalah besar perusahaan TPL. Dengan berbagai cara pihak perusahaan berusaha untuk meredam

kemarahan warga. Warga Ditipu Pihak Perusahaan Pada mulanya perusahaan mengajak warga untuk menanam eucaliptus di lahannya masingmasing, dengan catatan hasil panen kayu tersebut dijual kepada perusahaan. Perusahaan juga memberikan bibit dan pupuk, sehingga banyak warga ikut menanam eucaliptus di lahan mereka. Tetapi pada saat panen tiba, perusahaan justru tidak lagi melibatkan petani. Perusahaan melakukan penebangan dan mengangkut panen kayu sendiri. Sisa-sisa penebangan yang ditinggalkan oleh perusahaan juga tidak boleh diambil oleh warga, apalagi untuk mendirikan gubuk di ladang mereka. Inilah yang dialami oleh Mida Manalu dan suaminya, mereka mengambil enam batang eucaliptus sisa panen perusahaan yang berada di ladangnya. Akibatnya kedua orang tua tersebut harus berurusan dengan pihak Polres Humbang Hasundutan. Mereka dipanggil untuk dimintai keterangan terkait pengaduan yang disampaikan pihak PT. TPL dengan tuduhan mencuri tanaman eucaliptus. Kepolisian memanggil mereka juga lewat security PT. TPL. Persoalan yang dihadapi oleh Mida bersama suami dan warga lainnya bukan hanya diadukan sebagai pencuri, tetapi gubuk yang mereka dirikan di ladang juga tidak luput dari pembakaran yang dilakukan pihak perusahaan. Tidak jarang juga mereka diintimidasi saat berhadapan dengan security perusahaan dan polisi yang selalu hadir di lahan mereka mengawal pekerja melakukan penanaman dan pembukaan lahan. Hal ini

sering memicu persoalan baru antara petani dan pekerja perusahaan bahkan dengan polisi . Arogansi pihak perusahan dan polisi terkadang memancing emosi warga, sehingga terjadi perdebatan dan adu mulut. Menurut pengakuan warga, jika hal ini terus berlangsung maka kemungkinan meletusnya konflik lahan. Bagi Mida, tanah adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena tanahlah yang dapat menjamin kehidupan mereka. Mida dan warga akan tetap mempertahankan tanah adat dari perampasan PT. TPL, sekalipun nyawanya menjadi taruhan. Untuk menghadang kegiatan perusahaan tersebut Mida membaringkan tubuhnya sendiri di jalan pada saat truk hendak mengantar bibit ke lahan sudah pernah dilakukannya. Tindakan beresiko itu dilakukannya sebagai bukti bahwa dia akan berjuang mempertaruhkan dirinya sendiri demi tanah dan generasinya mendatang. Batang kemenyan yang dirusak oleh PT. TPL sudah dia serahkan ke kantor Camat, Bupati, DPRD Humbang Hasundutan dan Polisi namun sayang pengaduannya tidak pernah ditanggapi. Meskipun umurnya sudah tua, Mida masih tetap gigih berjuang bersama dengan petani lainnya di Simarigung. Baginya perjuangan sendiri-sendiri akan mudah dikalahkan oleh PT. TPL. Oleh karenanya perjuangan harus dilakukan warga secara bersama dan perlu berdiskusi untuk belajar bersama. Selamat Berjuang Ibu.*** Jhon Toni Tarihoran

41 April 2014 - - - - - - -


RUBRIK KHUSUS Kerja sama AMAN Dengan DPRD Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara Penyerahan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Tentang Kelembagaan Adat dan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Lahan Pertaniaan Pangan Masyarakat

J

akarta 14 Desember 2013 – “Pada awalnya saya agak khawatir, walaupun thema pokok Perda ini sangat kita butuhkan, tetapi bagaimana menyusunnya menjadi dua produk hukum yang mengikat semua pihak, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan adat bukanlah persoalan yang mudah. Menyelesaikan persoalan masyarakat adat merupakan tantangan baru, sehingga referensi kawankawan untuk mengerjakannya sangat terbatas,” ucap Ketua DPRD Kabupaten Malinau, Pdt Martin Labo dalam sambutannya pada penyerahan dua Draf Rancangan Perda Kabupaten Malinau, tentang Perlindungan Kelembangaan Adat dan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Masyarakat Adat, tanggal 13 Desember di Hotel Red Top Jakarta. “Secara pribadi maupun sebagai Ketua Forum Masyarakat Adat dan Ketua DPRD saya menyambut gembira, akhirnya dapat kita selesaikan tepat waktu. Saya juga mendengar komentar teman-teman, terutama eksekutif, mereka merasa bangga dengan apa yang kita

42 April 2014 - - - - - - -

hasilkan. Mudah mudahan memberi sinyal Perda ini bisa kita tetapkan pada tanggal 18 Desember nanti,” lanjut Martin Labo. “Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada teman-teman AMAN yang sejak awal tanpa banyak basa-basi bersedia menerima tugas, menurut saya ini juga bukan tugas yang mudah. Karena merasa tertantang oleh panggilan, maka teman-teman menerima tugas ini dengan segala kesulitannya. Saya menghargai kerja keras kawankawan AMAN dengan hasil yang kita persembahkan sebagai hasil karya bersama,” ujar Martin Labo. Martin Libo mengharapkan agar nantinya rancangan peraturan daerah ini bisa menjadi sumbangan yang khas sebagai upaya untuk mengakui, menghargai keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sebagai sebuah komunitas yang menjadi fundamen berdirinya NKRI. Dengan memberikan pengakuan dan perlindungan kita sebetulnya memperkokoh pilar berdirinya Negara Indonesia ini. “Kita berusaha melakukan perubahanperubahan kecil dari halaman rumah kita sendiri mudahmudahan itu menjalar ke halaman rumah tetangga dan pada akhirnya melebar ke seluruh Nusantara,” ujar Martin Libo menutup sambutannya Sekertaris Jenderal AMAN Abdon Nababan yang juga adalah Ketua Tim konsultan Hukum penyusunan Perda Malinau dalam sambutannya

menyampaikan keyakinannya bahwa hal-hal yang disampaikan itu akan berguna dalam pembahasan lebih lanjut, meski belum disahkan. “Jika berbicara mengenai rasa khawatir saya juga sering mengalami itu khususnya saat membicarakan masyarakat adat,” ujarnya “Ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid-Gus Dur, penugasan pertama kepada saya bersama beberapa temanteman membentuk Kementerian Eksplorasi Laut dan Perikanan yang di dalammnya ada hakhak masyarakat adat yang harus menjadi pilar. Pada saat itu saya juga khawatir, saya tahu tidak mau bikin apa, karena itu menyangkut sesuatu yang luar biasa,” jelasnya “Pak Sarwono yang kemudian jadi menteri pertamanya, meminta saya membuat panitia pengarah penyusunan RUU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian disahkan menjadi UU No 27 tahun 2007. Sama halnya ketika kami mendorong RUU Masyarakat Adat di DPR, tiba-tiba Badan Legislasi dalam kesimpulan akhirnya mempersilahkan AMAN saja menyiapkan rancangan undangundang, saya lebih khawatir lagi,” papar Abdon Nababan. Tapi, lanjut Abdon kami berusaha untuk mencoba memahami, merancang, mempelajari dan mendalami masalah itu dengan para ahli. Dalam membuat RUU Masyarakat Adat bukan hanya kami saja yang terlibat, dibalik ini semua itu ada banyak kawan-kawan para ahli dan


RUBRIK KHUSUS LSM lainnya terus datang lagi penugasan dari Pak Martin, kekhawatir itu berkelanjutan namun menambah semangat kami untuk terus belajar mendalami masalah ini. Dalam program legislasi nasional saya sudah belajar banyak, tapi begitu masuk legislasi daerah panik

juga dan ternyata berbeda. “Kekhawatiran kami itu kemudian terjawab oleh antusisme pihak-pihak lain mendiskusikan isi RanPerda yang kami kerjakan. Mudahmudahan hasil kerjasama ini bisa menginspirasi daerahdaerah lain,� ujar Sekjen AMAN

menutup sambutannya. Acara ditutup dengan penyerahan cendiramata AMAN kepada Ketua DPRD dan anggota DPRD Kabupaten Malinau. *** Yuli Fransiska.

In Memoriam Tokoh Adat Marga Benakat, Pak Badri dan wilayah-wilayah adat menjadi kawasan HPH, HTI, perkebunan, pertambangan, dan industri skala besar lainnya. Upaya beliau untuk menjadi bagian dari perjuangan mendapatkan pengakuan atas hak dan keberadaan masyarakat adat di Sumatera Selatan terus berlanjut dengan keikutsertaannya dalam pertemuan-pertemuan antar Pak Badri @ Dokumen foto AMAN komunitas masyarakat adat termasuk ikut hadir dalam ada hari Minggu 2 deklarasi berdirinya Aliansi Feb 2014 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tanggal 17 kembali kehilangan seorang Maret 1999 di Hotel Indonesia pejuang masyarakat adat dan Jakarta. Beliau terus aktif salah satu pendiri AMAN yaitu mengikuti perjalanan organisasi Pak Badri dari Komunitas adat ditingkat lokal, menghadiri Marga Benakat Kab. Muara kongres pertama masyarakat Enim Prov. Sumatera Selatan, telah berpulang keharibaan yang adat Sumatera Selatan di Kota Maha Kuasa. Semoga almarhum Palembang tahun 1999 dengan peserta lebih kurang 200 orang diterima di sisi-Nya utusan komunitas masyarakat adat di Sumsel termasuk Bangka Sejarah singkat perjalanan Belitung (sebelum menjadi hidup Pak Badri : Propinsi). Melahirkan Ikatan Masyarakat Adat Sriwijaya Pada zaman Orde Baru (IMASS). Pertemuan simpul era tahun 90-an, beliau terlibat adat selanjutnya dilakukan dalam perjuangan gerakan pada tahun 2003, dan terjadi petani di Sumatera Selatan perubahan nama menjadi bernama Kesatuan Solidaritas Perhimpunan Masyarakat Adat Kesejahteraan Petani (KSKP) Sumatera Selatan (PERMASS). melawan berbagai kebijakan Pada tahun 2003 ini sektoral yang lebih berpihak pula perutusan komunitas kepada kepentingan investasi masyarakat adat Sumatera besar, para tuan modal yang Selatan yang tergabung dalam mendapat izin/ kuasa untuk PERMASS, salah satunya mengusahakan kawasan hutan, adalah Alm. Badri ikut hadir

P

Dokumen Pak Badri @ Dokumen foto AMAN

dalam Kongres AMAN II di Lombok, dan sejak itu komunitas masyarakat adat di Sumatera Selatan melebur dan mendaftarkan keanggotaannya kepada organisasi gerakan Alinasi Masyarakat Adat Nusantara sebagai organisasi kemasyarakatan independent yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara. Nama : Badri TTL : Benakat, 11 Februari 1937 Istri : Armi anak : 5 (lima), terdiri dari 3 laki-laki, dan 2 perempuan Alamat : Ds. Pandang Bindu Kec. Benakat Kab. Muara Enim, Prov. Sumatera Selatan.*** Mualimin Pardi Dahlan

43 April 2014 - - - - - - -


RUBRIK KHUSUS SAYAP ORGANISASI Barisan Pemuda Adat Nusantara Laksanakan Rapat Kerja Nasional Pertama

RAKERNAS BPAN I di Bali @ Dokumen foto BPAN

S

anur, 1 Desember 2013 - Duapuluh pengurus wilayah dan daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menghadiri Rapat Kerja Nasional I BPAN, Sabtu 30/Nov 2013 di Bali. Ini adalah Rakernas pertama sejak organisasi sayap Alinasi Masyarakat Adat Nusantara tersebut dibentuk dalam Jambore BPAN di Bogor pada 29 Januari 2012. Rakernas dibuka secara resmi oleh Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan. Sebagai organisasi yang dirancang untuk mengembangkan generasi penerus pemimpin adat, Abdon bertanya kepada para pemuda adat apa kontribusi yang dapat diberikan oleh BPAN dan Rakernas ini terhadap gerakan

44 April 2014 - - - - - - -

masyarakat adat. Dalam sambutannya, Abdon meminta BPAN untuk meningkatkan jumlah anggotanya dan mengembangkan jaringan secara luas, serta merancang program-program yang dapat menarik dan dinikmati seluruh pemuda adat. Abdon juga mengingatkan para pemuda adat mengenai sumber daya yang tersedia bagi mereka, termasuk pengetahuan, komunikasi, dan jaringan yang terbentuk dari komunitas mereka hingga ke tingkat nasional dan internasional yang dapat diandalkan demi pergerakan masyarakat adat di Indonesia. “Semoga pertemuan ini sukses membangun BPAN yang lebih besar dan kuat,�

tutur Abdon. Rakenas ini, fokus untuk menata dan memperkuat organisasi untuk pembelaan, perlindungan, dan pelayanan terhadap masyarakat adat dan anggota BPAN, dimulai dengan laporan perkembangan organisasi dan implementasi program oleh Ketua Umum BPAN Simon Pabaras. Para Ketua Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Daerah (PD) BPAN juga menyampaikan laporan perkembangan aktivitasaktivitas yang telah dilaksanakan. Sejak dibentuk pada Januari 2012, BPAN telah melakukan banyak aktivitas, termasuk memobilisasi sejumlah aksi kolektif dan memfasilitasi penyebaran tentang informasi Putusan


RUBRIK KHUSUS

SAYAP ORGANISASI Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara. Ada banyak Program kerja yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemuda adat, di antaranya pelatihan public speaking, investigasi, jurnalisme warga, respon darurat, dan advokasi hak-hak masyarakat adat. Pada hari ke dua Rakernas para pemimpin muda Nusantara ini merancang anggaran rumah tangga BPAN dan program kerja dua tahun ke depan. Terlihat keinginan nyata BPAN untuk mengembangkan

organisasi dan merekrut lebih banyak anggota, meningkatkan pengetahuan dan kapasitas para kader, serta memperbesar keterlibatan dengan media dan pendokumentasian sejarah komunitas adat mereka masingmasing. Aktivitas hari ke-dua ditutup dengan rancangan pernyataan para pemuda adat untuk menyikapi berbagai masalah dan isu yang mempengaruhi masyarakat adat, termasuk perubahan iklim dan program REDD+. “Perjuangan kita ini masih panjang, mari terus rapatkan

barisan. Semoga BPAN semakin kokoh dan solid ke depannya, untuk membela, melindungi dan melayani masyarakat adat di manapun berada,” papar Simon Pabaras Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara.****

PEREMPUAN AMAN “Ikut Dalam Proses Pengambilan Keputusan Komunitas dan Publik”

P

ersekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara atau disingkat dengan PEREMPUAN AMAN merupakan organisasi Perempuan Adat seluruh Nusantara di bawah naungan organisasi induknya yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Organisasi PEREMPUAN AMAN dideklarasikan pada tanggal 16 April 2012 di Tobelo Halmahera Utara. Deklarasi ini dihadiri oleh perwakilan perempuan adat seluruh Nusantara dalam sebuah pertemuan besar Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara. PEREMPUAN AMAN dibentuk dengan tujuan untuk menjadi wadah perjuangan perempuan adat Nusantara dalam upaya terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang berdaulat, adil, setara, sejahtera, berkelanjutan, bermartabat dan demokratis. Selain itu juga salah satu misi

PEREMPUAN AMAN adalah memperjuangkan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan adat. Jumlah anggota : 397 orang Dewan Nasional : Tujuh orang mewakili tujuh region yaitu; Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali Nusra, Kepulauan Maluku dan Papua. Jumlah Koordinator wilayah : 15 orang (Sumut, Tano Batak, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku Utara, NTB, dan Jawa Bagian Timur). Rencana kegiatan PEREMPUAN AMAN ke depan : - Penguatan kapasitas anggota

dan kader PEREMPUAN AMAN di Papua, bentuk kegiatannya adalah pelatihan perempuan adat dalam proses pengambilan keputusan region Papua yang direncanakan pada bulan April 2014, - Pembentukan pengurus simpul wilayah PEREMPUAN AMAN, Sorong dilanjutkan dengan Rapat Kerja wilayah - Mengawal penguatan Kelompok Ekonomi perempuan adat di masing-masing Pengurus Wilayah.*** Silvia Motoh

45 April 2014 - - - - - - -


RUBRIK KHUSUS SAYAP ORGANISASI

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara

PPMAN adalah organisasi kemasyarakatan yang merupakan sayap dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan masyarakat adat nusantara. Pembentukan PPMAN dilaksanakan melalui Konferensi Nasional (KONFERNAS) Pertama Para Advokat Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah AMAN Tana Luwu selaku tuan rumah pada tanggal 25 – 27 September 2013 di Luwu Utara Sulawesi Selatan. KONFERNAS PPMAN yang difasilitasi penuh oleh Pengurus Besar AMAN ini merupakan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab Sekjen AMAN untuk “membentuk (mendukung serta memfasilitasi secara penuh) Organisasi Sayap dan Badan-Badan Otonom, yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi”, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b Anggaran Dasar AMAN. Sekjen AMAN selaku pemegang kewenangan pembentukan organisasi sayap, menindaklanjuti hasil keputusan KONFERNAS PPMAN ini dengan mengeluarkan 2 (dua) keputusan tentang penetapan PPMAN sebagai organisasi sayap AMAN dan keputusan tentang pengesahan pengurus PPMAN yang ditetapkan pada tanggal 08 Januari 2014. Maksud dan Tujuan PPMAN adalah: (1) Melakukan pembelaan terhadap masyarakat adat di seluruh nusantara dari setiap tindakan yang melanggar hakhak mereka (2) Memajukan pengetahuan hukum masyarakat adat melalui tindakan-tindakan pendidikan dan pelatihan (3) Berperan aktif dalam penegakan hukum dan pembentukan hukum serta pembaharuan hukum dan perjuangan hak asasi manusia yang peduli pada masyarakat adat Anggota PPMAN adalah advokat dan atau ahli hukum yang peduli pada pembelaan dan pemajuan masyarakat adat nusantara, bersifat perseorangan, terbuka dan sukarela. Hingga saat ini anggota PPMAN yang telah ditetapkan secara sah berjumlah 28 orang yang tersebar di 13 Wilayah Provinsi di Indonesia. Pengurus Nasional PPMAN terdiri dari Dewan Pengawas berjumlah 7 (tujuh) orang dan Badan Pelaksana yang dipimpin oleh seorang Ketua. Struktur Pengurus Nasional PPMAN I. Dewan Pengawas Ketua : Muh. Arman AR, SH Wakil Ketua : Endang Kuswardani, SH Anggota : Prasetyo, SH Rasyid (Komunitas Adat Seko) Deputi I PB AMAN: Mina Susana Setra Deputi II PB AMAN: Rukka Sombolinggi Perempuan AMAN: Mardiana Deren II. Badan Pelaksana Ketua: Mualimin Pardi Dahlan, SH Untuk menggerakkan jalannya organisasi sehari-hari, Ketua BP PPMAN dibantu oleh 1 (satu) orang selaku Kepala Biro Sekretariat dan Informasi, 1 (satu) orang selaku Kepala Divisi Pembelaan Hukum, dan 1 (satu) orang staff umum. Logo PPMAN Arti logo: Secara utuh dilihat sebagai Perisai alat untuk BERTAHAN dan membela diri; 7 mata anak panah menggambarkan semangat perjuangan Anggota AMAN yang tersebar di 7 region; dan 1 tombak mengarah ke atas adalah pilihan MENYERANG untuk tegaknya keadilan sejati bagi masyarakat adat nusantara. Sekretariat Nasional: Jalan. Tebet Timur Dalam Raya No. 11A Kel. Tebet Timur Kec. Tebet, Jakarta Selatan INDONESIA. Telp/Fax. +6221-8297954 / 83706282. Email: ppmanpembela@gmail.com

46 April 2014 - - - - - - -


Laporan Keuangan PB AMAN

SURAT EDARAN

Penerimaan Dana terikat periode Ags-Dec 13 Jumlah AIPP - IPHRD 182,896,669.00 RFN - REDD 1,756,988,006.55 TamalPais 2,038,447,103.00 CRS 79,900,000.00 JSDF 8,056,944,638.00+ AIPP - Support Indigenous Voices in ASIA 368,382,549.00 Ford Foundation 2,420,604,755.00 RFN - IP 1,664,775,148.58 Pemda Maliau 899,269,150.00 Kemenkeraf 437,942,025.00 SGP-GEF 56,283,660.00 Saldo 17,962,433,704.13 Penerimaan Dana tidak terikat Jumlah IURAN Komunitas 4,920,000.00 IURAN Kader 264,000.00 IURAN Kader Pemimpin IURAN Bebas dari Kader & Anggota Donasi, sumbangan Staf dan lain-lain 35,352,661.51 Titipan Dana - Proyek UN BPAN 113,023,460.00 - Samdhana 22,387,250.00 Saldo 40,536,661.51 18,002,970,365.64

Pengeluaran Dana terikat Periode Ags-Dec 13 Jumlah AIPP - IPHRD 201,812,400.00 RFN - REDD 1,463,597,665.68 TamalPais 1,556,056,334.14 CRS 79,500,000.00 JSDF 4,461,753,963.00 AIPP - Support Indigenous Voices in ASIA 384,812,109.00 Ford Foundation 2,128,845,848.00 RFN - IP 1,667,368,263.00 Pemda Maliau 737,185,570.00 Kemenkeraf 327,945,000.00 SGP-GEF 50,273,660.00 Saldo 13,059,150,812.82 Sisa Dana per 31 Desember 2013 Jumlah Kas 3,675,400.00 Dana Proyek per 31 Desember 2013 3,510,663,903.58 Dana Organisasi per 31 Desember 2013 782,784,167.74 4,297,123,471.32 Saldo per 31 Desember 2013 Piutang Organisasi kepada Proyek 138,500,000.00 Saldo 4,435,623,471.32

Kontak Person Laporan Keuangan @ Rainny Situmorang Email: rainata@aman.or.id HP: 0812 1100 303 Rumah AMAN: Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 11A Jakarta Selatan Telpon: 021-8297954

47 April 2014 - - - - - - -


LAPORAN KEUANGAN IURAN ANGGOTA

No. Surat : 25/Edaran-SEKJEN/PB AMAN/IX/2012 Perihal : Penarikan Iuran Anggota AMAN Sifat : Perhatian Kepada Yth ; Komunitas Adat Anggota AMAN di seluruh Nusantara Dengan hormat, AMAN telah berdiri sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) tahun 1999 dan sudah melewati KMAN IV 2012 di Tobelo Kaputen Halmahera Utara propinsi Maluku Utara. Dari periode ke periode terus terjadi pertambahan jumlah anggota AMAN, Di KMAN I tahun 1999 anggota AMAN hanya berjumlah 360 komunitas ditambah dengan organisasi masyarakat adat yang telah terbentuk. Di tahun 2003 KMAN II jumlah anggota AMAN berjumlah 777, pada tahun 2007 KMAN III jumlah anggota AMAN berjumlah 1696 dan kemudian pada KMAN IV tahun 2012 jumlah anggota AMAN bertambah menjadi 1992 komunitas adat. Dalam rentang waktu hampir 14 tahun perjalanan organisasi ini, dengan penambahan jumlah anggota yang begitu cepat dan besar maka sudah seharusnya penggalangan dana organisasi secara bertahap dilakukan dengan cara mandiri. Ketergantungan dengan lembaga donor seperti saat ini, dalam jangka panjang akan membahayakan keberadaan dan kredibilitas AMAN sebagai ORMAS yang independen berbasis anggota. AMAN secara bertahap harus melakukan penganeka-ragaman sumber pendanaan, salah satunya dana dari iuran anggota dan sumbangan komunitas masyarakat adat yang sudah menjadi anggota AMAN. Iuran anggota adalah kewajiban yang sudah diatur di dalam Anggaran Dasar AMAN yang jumlahnya Rp.120.000; (seratus dua puluh ribu rupiah) per-tahun/komunitas Adat. AMAN harus memulai gerakan kemandirian ekonomi dengan memastikan pembayaran iuran tahunan sebagai bakti material keterikatan Masyarakat Adat (Anggota) dengan AMAN sebagai organisasi perjuangan bersama mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kemartabatan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, melalui surat edaran ini, saya sebagai Sekjen AMAN yang bertanggung-jawab atas PENARIKAN IURAN ANGGOTA AMAN menyampaikan hal penting tentang tata cara pembayaran iuran anggota AMAN sebagai berikut: Penarikan iuran dilakukan oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah atau Pengurus Daerah atau dikirimkan sendiri oleh Komunitas Adat melalui rekening khusus Iuran PB AMAN, terhitung sejak tahun diterima dan disahkan sebagai anggota. Besaran iuran komunitas masyarakat adat anggota AMAN jumlahnya sebesar Rp. 120.000 (Seratus Dua Puluh Ribu Rupiah) per tahun yang ditetapkan oleh Anggaran Dasar AMAN. Iuran disetorkan atau dikirimkan melalui Rekening Khusus Iuran atas Nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bank Mandiri cabang Pejaten, Jakarta No.Rekening: 127.00.0644161.0 Iuran juga dapat disetorkan melalui Wesel pos ke Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A Jakarta Selatan 12820. Semua pengiriman atau setoran harus mencantumkan nama komunitas dan Konfirmasi atau Pemberitahuan bahwa PW atau PD atau Komunitas telah mengirimkan iuran dapat di kirimkan SMS pemberitahuan ke Nomor 081218334211 atau email: rumahaman@cbn.net.id Persentase pembagian (alokasi) iuran yang ditetapkan oleh Anggaran Rumah Tangga dan Keputusan RPB X yaitu : 40 % untuk Pengurus Daerah, 30% untuk Pengurus Wilayah dan 30% untuk Pengurus Besar Setiap Komunitas adat anggota AMAN yang membayar iuran akan di publikasikan atau di umumkan melalui media AMAN antara lain website AMAN, Gaung AMAN dan SMS Adat. Setiap komunitas adat yang telah melakukan pelunasan iuran anggota akan menjadi bahan pertimbangan dalam penyelenggaraan upaya-upaya perlindungan, pembelaan, dan pelayanan AMAN sebagai Organisasi kepada anggota. Bergerak dan majunya organisasi ini kedepan, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan komunitas adat sebagai anggota AMAN. Demikian pemberitahuan penarikan iuran ini di sampaikan , atas perhatian dan kerjasama yang baik di ucapkan terimakasih. Hormat Kami, Iuran dan Sumbangan bisa dikirim ke: BANK Abdon Nababan Sekretaris Jenderal AMAN PEJATEN, JAKARTA. CABANG

MANDIRI

Tembusan: 1. Seluruh Ketua BPH AMAN Wilayah 2. Seluruh Ketua BPH AMAN Daerah 3. DAMANNAS (sebagai laporan) 4. ARSIP

DAFTAR NAMA PEMBAYAR IURAN ANGGOTA Tanggal Keterangan Jumlah Total Penerimaan Iuran dan sumbangan bulan Feb 2013 6,716,000 IURAN ANGGOTA KOMUNITAS 4/2/2013 Saldo Sebelumnya 5,080,000 1/2/2014 Iuran Komunitas Cek Bocek 5 tahun 600,000 11/12/2013 Iuran Komunitas Siriya Gowa 120,000 11/12/2013 Iuran Komunitas Tabuakang Buwang Tujua Gowa 120,000 11/12/2013 Iuran Komunitas Tanralili Maros Sulsel 120,000 14/11/2013 Iuran Komunitas KP. Tanjung Gusta 6 Tahun 720,000 14/11/2013 Iuran Komunitas KP. Sei Canggang 6 Tahun 720,000 14/11/2013 Iuran Komunitas Klambir 3 Tahun 360,000 25/08/2013 Iuran Komunitas 120,000 25/08/2013 Iuran Komunitas Bulutana 120,000 25/08/2013 Iuran Komunitas Baroko 120,000 25/08/2013 Iuran Komunitas Baringin 120,000 25/08/2013 Iuran Komunitas Pana 120,000 25/08/2013 Iuran Komunitas Tallu Bamba 120,000 1/8/2013 Iuran Komunitas Paperu , Maluku 240,000 1/8/2013 Iuran Komunitas Booi , Maluku 240,000 1/8/2013 Iuran Komunitas Haruku , Maluku 240,000 12/7/2013 Iuran Komunitas Rano, Toraja 2 tahun 240,000 12/7/2013 Iuran Komunitas Buakayu, Toraja 2 tahun 240,000 12/7/2013 Iuran Komunitas Banga, Toraja 2 tahun 240,000 12/7/2013 Iuran Komunitas Malimbong, Toraja 2 tahun 240,000 24/04/2013 Iuran Komunitas Talang dan Buroi 240,000 26/04/2013 Iuran Komunitas Colol 120,000

48 April 2014 - - - - - - -

IURAN KADER PEMIMPIN 25/2/13 Saldo Sebelumnya 822,000 27/11/2013 Iuran Anggota Kader a/n Amirullah Rull 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Rosmini 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Hakim 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n M.Hasir 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Lili Mustari 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Syamsumarlin 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Musmulyndi 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Ibu Masita 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Ola Nakka 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Rerung 24,000 25/8/2013 Iuran Anggota Kader a/n Irmawati 24,000 IURAN KADER PENGGERAK 4/2/13 Saldo sebelumnya 762,000 4/2/13 SUMBANGAN ORGANISASI 52,000 Total Penerimaan per 28 Februari 2014: 12,500,000 Iuran dan Sumbangan bisa dikirimkan ke: Bank Mandiri Cabang Pejaten, Jakarta Atas nama Aliansi Masyakarat Adat Nusantara Nomer Rekening: 127-00-0644161-0


KALENDER AMAN AMAN KALENDER Agenda Kegiatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maret Maret-April Penyaluran dukungan permodalan untuk usaha produktif komunitas (15 Komunitas) / Dukungan Small Grant dan Dukungan Penguataan Perempuan AMAN Maret-April Digitasi dan Launching Peta Skala Luas Talang Mamak Maret-April Technical Midterm Review Sicolife Maret-April Pelatihan Perencanaan Partisipatif Wilayah Adat di Kalimantan Selatan untuk UKP3 Wilayah Maret-April-Mei Pemetaan Partisipatif di Kepulauan Aru, Maluku Maret-April-Mei Persiapan sekolah lapang berbasis masyarakat adat, di Talang Mamak 17 Maret 2014 Aksi 17 Maret (Peringatan HKMAN) 20-Mar-14 Penggalangan Dukungan Petisi 35 di Hari Kehutanan Sedunia 22-Mar-14 Penggalangan Dukungan Petisi 35 di Hari Air Internasional 24 Maret 2014 Rapat Penyiapan Program Penggalangan Dana Publik 29-30 Maret Musyawarah Wilayah untuk Dedicated Grant Mechanism (DGM) Region Sumatera Minggu II & III Audit Keuangan RFN Minggu ke II-IV Penggalangan Dukungan Petisi 35 di Acara Kampanye Bersama (Car Free Day) Minggu IV Renstra BPH AMAN Sumsel Minggu ke III FGD Perda Bulukumba di Jakarta (AMAN, CIFOR dan Pemda Bulukumba Minggu ke III Workshop mengenal Masyarakat Adat adalah Mengenal Indonesia Minggu ke IV a) Konsolidasi Jaringan Nasional untuk Advokasi RUU PPHMA, b) Diskusi UU Desa dengan jaringan, c) Finalisasi Mekanisme Penanganan Kasus bersama dengan PPMAN Maret ToT Tim Pemetaan Skala Luas Toraja Maret Training Pendokumentasian ICCAs Maret Training Keuangan untuk PW (yang bermasalah) Maret Training PES Nasional Maret Kirim tulisan ke Equador Prize 2014 April Minggu I Renstra Nasional OKK (Organisasi, Keanggotaan & Kaderisasi) Minggu I Renstra BPH AMAN Sulawesi Utara Minggu I Diskusi Perencanaan Training Legislasi Daerah (Tentative) Minggu I Launching Program Indogenous Youth To School Minggu I-III Pendampingan Komunitas Urban (Sister City) Minggu I-IV Penggalangan Dukungan Petisi 35 di Acara Kampanye Bersama (Car Free Day) Minggu II Renstra dan Programming Radio GAUNG AMAN Minggu II Audit Lembaga Minggu II FGD Perencanaan Perda Luwu Utara (Tentative) Minggu II Pelatihan Pengelolaan Database untuk Relawan (Petisi 35) 7-12 April Training Advokasi Berbasis Jurnalistik (Advance, Tentative) 14-16 April Rapat Kerja Advokasi dan Politik (Tentative) 15-16 April Musyawarah Wilayah untuk Dedicated Grant Mechanism (DGM) Region Papua Minggu III Renstra Nasional INFOKOM AMAN Minggu III Workshop II Mengenal Masyarakat Adat adalah Mengenal Indonesia Minggu III FGD UU Desa (Finalisasi draft kertas posisi AMAN) Minggu III Pelatihan Pembuatan Proposal untuk Pengurus Wilayah Minggu IV Media Gathering Minggu IV FGD RUU PPHMA (update DIM dan RTL) 29-30 April Musyawarah Wilayah untuk Dedicated Grant Mechanism (DGM) Region Maluku April Training Keuangan untuk PD April Launching Website Gerai April – Mei Pendokumentasian ICCAs April – Mei Training PES Reginonal (4 training) April - Mei Review SOP dan DMPlan Bencana April - Mei Pengawalan proposal yang masuk ke GEF-SGP Mei Minggu I Rapat Redaksi Gaung AMAN 6-7 Mei 2014 Musyawarah Wilayah untuk Dedicated Grant Mechanism (DGM) Region Kalimantan 14-15 Mei 2014 Musyawarah Wilayah untuk Dedicated Grant Mechanism (DGM) Region Jawa 16 Mei 2014 Peringatan Setahun Putusan MK35 tentang Hutan Adat 19-20 Mei 2014 Musyawarah Wilayah untuk Dedicated Grant Mechanism (DGM) Region Sulawesi 12-23 Mei 2014 UNPFII (UN Headquarter, New York) Minggu ke IV Media Gathering Mei Studi Banding Adaptasi Perubahan Iklim di Malaysia

49 April 2014 - - - - - - -


KALENDER AMAN Aksi Damai - 17 Maret 2014 Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-15 Pada 17 Maret 2014, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kembali memperingati hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara #HKMAN ke-15 dan hari kelahiran AMAN. Momentum #HKMAN2014 dan Ulang Tahun AMAN ke-15 ini masyarakat adat, khususnya anggota AMAN, akan melakukan berbagai aksi kolektif baik di tingkat nasional, wilayah, daerah maupun di komunitas. Tujuan dari aksi mendesak agar agenda masyarakat adat menjadi

50 April 2014 - - - - - - -


Aksi Damai - 17 Maret 2014KALENDER AMAN Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-15 prioritas pemerintah dan pengambil kebijakan. Dua pesan utama yang akan disampaikan kepada publik melalui peringatan #HKMAN2014 dan HUT AMAN ke-15 adalah: 1. Pemerintah untuk segera melaksanakan Putusan MK No 35 tentang Hutan Adat 2. DPR untuk segera Pengesahan RUU PPHMA.

51 April 2014 - - - - - - -


KALENDER AMAN

17 Maret Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara

52 April 2014 - - - - - - -


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.