Gaung AMAN Edisi PEMILU 2019

Page 1


TAJUK UTAMA

PANDUAN MENGGUNAKAN HAK SUARA Warga negara Indonesia yang sudah dan yang baru berumur 17 tahun pada 17 April 2019 mendatang, memiliki hak suara dalam pemilu. Berikut panduan menggunakan hak suara Anda berdasarkan tiga kategori pemilih, yakni DPT, DPTb dan DPK.

Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Kriteria

Daftar pemilih disusun KPU

Membawa KTP elektronik atau identitas lain

Data berdasarkan data pemilu terakhir dan data kependudukan Kemendagri

PPDP mencocokkan dan meneliti identitas

Waktu Pengurusan

17 Desember 2018-17 Maret 2019 Daftar Pemilih Tambahan (DPTb)

Syarat dan Tata Cara Mendaftar sebagai Pemilih

Kriteria

Pemilih sudah terdaftar sebagai DPT Ingin pindah TPS

Penetapan sebagai DPT Waktu Penggunaan Hak Suara

07.00-13.00 Syarat dan Tata Cara Mendaftar sebagai Pemilih

Membawa KTP elektronik ke PPS kelurahan awal Pemilih meminta form A5

Waktu Pengurusan

17 Desember 2018-17 Maret 2019 Waktu Penggunaan Hak Suara

07.00-13.00 Daftar Pemilih Khusus (DPK)

Kriteria

Pemilih tidak terdaftar di DPT Memiliki hak pilih Waktu Pengurusan

2

17 April 2019

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Petugas PPS mencoret nama pemilih Petugas PPS menyerahkan form A5 Pemilih menyerahkan form A5 ke KPU kelurahan tujuan Syarat dan Tata Cara Mendaftar sebagai Pemilih

Membawa KTP elektronik dan atau Surat Keterangan (Suket) di TPS terdekat sesuai alamat domisili Waktu Penggunaan Hak Suara

12.00-13.00


DAFTAR ISI

Susunan Redaksi Penanggung Jawab Sekretaris Jendral AMAN Rukka Sombolinggi

Pemimpin Redaksi Direktur Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat (P3MA) Abdi Akbar

EDITORIAL

4 I Melampaui Pilpres, Menegaskan Perjuangan, Menangkan Caleg AMAN

TAJUK UTAMA

6 I Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat: Menentukan Nasib dan Merajut Masa Depan di Ruang-ruang Pengambilan Keputusan

Redaktur

Yayan Hidayat Andre Barahamin

SOSOK PARLEMEN

26 I Arifin ‘Monang’ Saleh: Ke Senayan demi RUU Masyarakat Adat dan Tanah Ulayat 30 I Negeri Tanpa Konflik Agraria 34 I Rukmini Paata Toheke: Perempuan Perjuangan Hak Masyarakat Adat 36 I Troyanus Kalami: Orang Moi Menuntut Pengakuan Hingga Mengutus Perwakilan 40 I Muchtar Luthfi Mutty: Melanjutkan Perjuangan yang Belum Tuntas

KABAR GARIS DEPAN

50 I Orang Baduy Tolak Dana Desa 52 I Riungan Gede Kasepuhan Banten Kidul: Menagih Janji, Memperluas Partisipasi 54 I Mereka Terus Melawan: Orang Kajang Menentang Lonsum

Kontributor

Rukka Sombolinggi Abdi Akbar Yayan Hidayat Andre Barahamin Eko Rusdianto Mina Setra

Editor & Pemeriksa Aksara Andre Barahamin Abdi Akbar

Desain Sampul

PIDATO SEKJEN AMAN

10 I Pidato Sekretaris Jenderal AMAN: Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN), 17 Maret 2019

INFOGRAFIS

14 I Daftar Utusan Politik AMAN di PEMILU 2019

Andi Lekto

KRITIK PEMILU

42 I Tuna Aksara Dilarang Memilih 44 I Larangan Kampanye dan Diskriminasi Agama Tradisi 48 I KTP Elektronik dan Belenggu Administratif”

Grafis

Firman Nurikhwan

Layout

Dahlan “Snik”

Alamat Redaksi

Jalan Tebet Timur Dalam Raya, No.11A Tebet, Jakarta Selatan, 12820 Telp/Fax: (62)21-8297954/837706282

Media Sosial

Facebook: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Twitter: @RumahAMAN Instagram: @rumah.aman Email: rumahaman@cbn.net.id Website: www.aman.or.id

OPINI POLITIK

22 I Dua Dekade Pengabaian Hak Politik Masyarakat Adat 24 I Berselancar di Parlemen

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

3


EDITORIAL

Melampaui Pilpres, Menegaskan Perjuangan,

MENANGKAN

C A L E G AMAN Abdi Akbar Tabe’

P

emilu 2019 sudah di depan mata. Ini adalah pemilu ke lima (1999, 2004, 2009, 2014 dan kini 2019) sejak rezim militer yang dikomandoi Soeharto tumbang oleh gerakan sosial. Gerakan yang di dalamnya tentu saja, ada peran dan kontribusi nyata dari Masyarakat Adat di seluruh Indonesia – dari pulau Sumatera hingga ke Papua. Gerakan yang telah menegaskan dan menyatukan diri dalam organisasi bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang di deklarasikan pada Maret 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) Pertama di Jakarta. Dalam menghadapi momentum Pemilu 2019 yang kurang dari sebulan pelaksanannya, kita semua - seluruh Masyarakat Adat di Nusantara menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah perjuangan ideologis jangka panjang yang tidak berdiri sendiri. Satu rangkaian yang telah dirintis sejak AMAN lahir dan akan terus berlanjut, siapapun 4

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

presiden yang akan berkuasa nanti. Perjuangan untuk ikut terlibat secara aktif di dalam negara dalam perumusan dan penerapan kebijakan yang akan berpengaruh dan membawa dampak langsung ke komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Sebanyak 163 orang diutus maju dalam Pemilu 2019. Mereka maju dari berbagai partai politik, yang tersebar di 17 provinsi dan 55 kabupaten/Kota. Dipundak mereka kita menitipkan adanya UndangUndang Masyarakat Adat dan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Kerja-kerja memenangkan utusan politik Masyarakat Adat adalah perjuangan yang melampaui Pemilihan Presiden (Pilpres). Perjuangan yang tidak dapat dan tidak boleh dibatasi oleh perbedaan partai politik, perbedaan Agama dan Keyakinan atau perbedaan-perbedaan lain yang disebabkan oleh sistem Pemilu.

Sistem yang terbukti tidak ramah dan abai pada Masyarakat Adat. Ini alasan yang mendasari penerbitan GAUNG AMAN Edisi Khusus Pemilu 2019. Sebagai bahan bacaan politik, panduan kerja-kerja pemenangan, kritik terhadap sistem pemilu dan sebagai catatan atas perjuangan yang telah, sedang dan akan dilakukan AMAN bersama komunitas-komunitas Masyarakat Adat di seluruh Nusantara. Di Gaung AMAN Edisi Khusus Pemilu 2019 ini, kita menegaskan posisi dan arah juang AMAN. Bahwa Pengakuan, Penghormatan dan Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat adalah tujuan gerakan kita semua. Petunjuk arah gelombang gerakan Masyarakat Adat yang belum akan berhenti dan masih akan terus berlanjut. Untuk mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi dan Bermartabat secara Budaya. ***


EDITORIAL

#MenangkanCalegAMAN

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

5


TAJUK UTAMA

PERLUASAN PARTISIPASI POLITIK

MASYARAKAT ADAT: Menentukan Nasib dan Merajut Masa Depan di Ruang-ruang Pengambilan Keputusan

J

auh sebelum Indonesia merdeka, Masyarakat Adat sudah berhadaphadapan dengan penjajahan, baik oleh kerajaan-kerajaan maupun oleh bangsa Eropa. UUD 1945 secara tegas mengakui keberadaan Masyarakat Adat sebelum Indonesia lahir. Dalam rapat perumusan UUD 1945, Muhammad Yamin mengemukakan bahwa persekutuan-persekutuan rakyat telah membuktikan diri mampu mengurus tata negara dan Hak-Hak atas tanah. Persekutuan rakyat itu dapat ditemukan dengan nama desa, nagari, marga, dusun, kampong, lembang, wanua dan lain-lain. Mereka telah menyelenggarakan pemerintahan, berdasar pada tertib hukum sendiri dan dipengaruhi kuat oleh pandangan hidup dan nilai-nilai sosial. Persekutuan rakyat inilah yang dimaknai sebagai suatu entitas Masyarakat Adat. Namun demikian, hingga hari ini belum ada sebuah Undang-Undang yang secara khusus memandu pemerintah untuk memenuhi dan melindungi Hak-Hak konstitusional Masyarakat Adat. Sementara

6

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Rukka Sombolinggi

itu berbagai undang-undang yang lahir justru menjadi alat dan alasan untuk merampas HakHak Masyarakat Adat. Puncaknya adalah berbagai undangundang yang lahir pada masa Orde baru termasuk Undang-undang Pokok Kehutanan, Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Pokok Pertambangan yang ketiganya disahkan pada tahun 1967. Lahirnya Undang-undang Desa di masa setelah Soeharto lengser kemudian melengkapi penderitaan masyarakat adat. UU Desa yang berlaku seragam berhasil menghancurkan sistem pemerintahan dan kelembagaan Masyarakat Adat. Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru adalah periode paling kelam bagi Masyarakat Adat. Perampasan Hak, diskriminasi dan penghancuran identitas Masyarakat Adat dilakukan oleh negara atas nama pembangunan. Di bawah rejim otoriter yang sangat militeristik. Ruang untuk melawan hampir tertutup kecuali menggunakan isu lingkungan hidup.


TAJUK UTAMA

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu Tumbangnya Orde Baru jadi momentum kebangkitan Masyarakat Adat. Pada 17 Maret 1999, lebih dari 400 pemimpin dan pejuang Masyarakat Adat berkumpul di Hotel Indonesia Jakarta. Pertemuan ini dikenal sebagai Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I). Konsolidasi nasional ini mendeklarasikan sikap: “Jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan mengakui negara�. Semboyan ini adalah gugatan posisi negara terhadap Masyarakat Adat. KMAN I pada Maret 1999 menjadi awal lahirnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Lahir sebagai wadah perjuangan, tali solidaritas dan alat politik Masyarakat Adat di Indonesia. Dalam sejarah perjalanannya, AMAN menyadari bahwa negara belum hadir di tengah-tengah Masyarakat Adat. Perampasan hak dan penghancuran identitas membuat Masyarakat Adat seperti tikus yang

mati di lumbung padi. Eksploitasi kekayaan di wilayah adat jadi sumber bencana seperti kekeringan, longsor, banjir dan lainlain yang menimpa Masyarakat Adat. Hal itu menyebabkan Masyarakat Adat terpaksa memilih bentuk perlawanan konfrontatif seperti memalang jalan, membakar kampkamp milik perusahaan, atau menyandera dan menghancurkan alat-alat berat yang merusak hutan dan menggusur wilayah adat.

Mewujudkan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Sejak awal, Masyarakat Adat menyadari bahwa salah satu sumber penindasan adalah tiadanya Undangundang Masyarakat Adat. Sementara, ada banyak undang-undang yang menjadi landasan hukum untuk perampasan wilayah adat dan penghancuran indentitas Masyarakat Adat. Kenapa? Karena selama ini Masyarakat Adat tidak ikut dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan. Tidak hadir dalam dalam bentuk aspirasi dan utusan. Pertanyaan kedua soal cara memperbaiki situasi? Jawaban yang tidak mudah. Ada proses panjang yang sudah dimulai sejak tahun 1999. Misal, tawaran untuk mendirikan sebuah

partai politik. Gagasan yang tidak pernah menemukan kata sepakat sejak KMAN I di Jakarta hingga penyelenggaraan KMAN V di Tanjung Gusta, Medan 2017. Beberapa pendapat khawatir jika pembentukan partai politik akan menjebak Masyarakat Adat untuk terlibat dalam praktek-praktek kotor di tengah sistem politik elektoral Indonesia saat ini. Argumen lain menyoal tentu sistem musyawarah mufakat yang dipraktekkan Masyarakat Adat belum mendapat ruang di dalam sistem demokrasi liberal di Indonesia. Saat penyelenggaraan KMAN III 2007 di Pontianak, tantangan bagi Masyarakat Adat untuk bisa berdaulat, mandiri dan bermartabat dihadapkan pada kenyataan untuk masuk di ruang-ruang pengambilan kebijakan. Kongres ini merumuskan sikap politik untuk terjun ke dalam arena politik. Tapi bukan dengan membentuk partai politik baru atau bergabung dengan partai politik tertentu. Masyarakat Adat memutuskan untuk mengutus dan memperjuangkan kader-kader terbaik dan para sahabat Masyarakat Adat. Utusan politik ini didorong untuk menjadi pemimpin di berbagai institusi negara. KMAN III juga mengubah sikap AMAN yang konfrontatif menjadi dialogis, sebagai upaya memperbaiki hubungan antara Masyarakat Adat dengan negara. Inilah dasar agenda perluasan partisipasi politik Masyarakat Adat. Partisipasi politik AMAN adalah jawaban lain dari buruknya praktik Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

7


TAJUK UTAMA politik di Indonesia. Politik AMAN adalah politik partisipatif yang dimulai di kampung, di nagari, di wale, atau di wanua. Politik AMAN adalah musyawarah adat sebagai praktek demokrasi. Politik yang mengharuskan utusan politik menjadi wakil komunitas dengan ikatan mandat sebagai wujud kedaulatan Masyarakat Adat. Pemilu 2009, AMAN pertama kali mengutus kader-kadernya. Tercatat 67 wakil terbaik utusan Masyarakat Adat turut berpartisipasi. Empat orang bertarung menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dua orang kader bertarung sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Di level provinsi, 14 orang diutus sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Untuk tingkat kabupaten, 50 kader ikut bertarung menjadi calon anggota legislatif. Semangat berpolitik ini sampai ke kampung-kampung. Musyawarahmusyawarah adat dilakukan untuk memilih kader-kader terbaik yang diutus dalam pemilu. Mereka yang terpilih, menerima mandat untuk memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di dalam jalur politik. Syaratnya, kader utusan politik AMAN adalah mereka yang tumbuh dan berjuang bersama Masyarakat Adat. Inilah bentuk kedaulatan dalam demokrasi. Pelajaran mengenai proses demokrasi yang dimulai dari kampung adalah capaian utama di Pemilu 2009. Meski usai penghitungan, belum ada kader utusan Masyarakat Adat yang sukses merebut posisi. Pada Pemilu 2014, sebanyak 186 utusan Masyarakat Adat ikut bersaing di berbagai tingkatan. Hasilnya, ada 36 utusan politik Masyarakat Adat terpilih menjadi anggota legislatif di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPD RI. Kerjakerja elektoral AMAN juga berhasil memobilisasi 28.828 suara untuk DPRD Kabupaten/Kota, 12.459 suara untuk DPRD Provinsi, 34.893 suara untuk DPR RI dan 590.577 suara untuk DPD RI. Meski sukses 15% dari total 186 utusan politik, kerja-kerja elektoral 8

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

AMAN baru saja dimulai. Utusan Masyarakat Adat di parlemen sedikit banyak telah menghadirkan ragam perubahan kebijakan bagi Masyarakat Adat. Sebanyak 70 produk hukum daerah tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dihasilkan oleh utusan politik Masyarakat Adat. Peraturan Daerah (Perda) yang telah ditetapkan, memberi dampak positif bagi perjuangan Masyarakat Adat. Pemilu 2014 adalah kali pertama, AMAN memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Pilihan Masyarakat Adat jatuh kepada pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). AMAN mendukung Jokowi-JK bukan tanpa alasan. Jokowi dianggap tidak memiliki jejak konflik dengan Masyarakat Adat. Juga dimasukkannya enam (6) poin tentang hak Masyarakat Adat dalam Nawacita. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk komitmen Jokowi kepada Masyarakat Adat. Sempat ada harapan bahwa negara akhirnya akan hadir seutuhnya di tengah Masyarakat Adat. Keputusan mendukung JokowiJK adalah bentuk partisipasi politik Masyarakat Adat dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun hingga menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi-JK, Nawacita masih di langit. Berbagai kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan masalah baru bagi Masyarakat Adat. Untuk itu, di Pemilu 2019, AMAN memutuskan untuk tidak mendukung salah satu Capres dan Cawapres. Namun tetap fokus mendukung dan memenangkan calon legislatif yang diutus maju di Pemilu 2019

AMAN dan Pemilu 2019 Pemilu 2019, AMAN kembali mengutus kader utusan politik terbaiknya. Ada 163 utusan politik Masyarakat Adat sedang berjuang. Terdiri dari 134 Calon Anggota Legislatif (Caleg) laki-laki dan 29 perempuan. Sebanyak 33 caleg berumur 35 tahun ke bawah. Caleg-

caleg AMAN maju melalui 16 partai politik yang tersebar di 17 Provinsi dan 55 Kabupaten/Kota. Berbeda dengan caleg lainnya, kader AMAN yang diutus dalam Pemilu 2019 adalah orang yang tumbuh dan berjuang bersama Masyarakat Adat selama bertahuntahun. Mereka lahir dari musyawarah adat di kampung-kampung dan membawa mandat untuk mewujudkan Hak konstitusional Masyarakat Adat dalam bentuk Perda dan Undang-undang. Terdiri dari latar belakang berbeda, namun memiliki misi bersama untuk memperjuangkan Masyarakat Adat. AMAN menyadari bahwa kualitas Pemilu 2019 tidak jauh berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Sarat politik uang dan rentan kecurangan. Partai Politik hanya mesin peraup suara. Peraturan Pemilu juga masih diskriminatif dan abai pada kondisi keterbatasan Masyarakat Adat. Itu sebabnya, AMAN memiliki dua misi besar dalam Pemilu 2019. Pertama, memerangi praktek politik curang (politik uang) dan mendekatkan Masyarakat Adat dengan negara. AMAN akan membuktikan bahwa Pemilu seharusnya tidak mahal jika Caleg yang maju adalah mereka yang lahir dan mewakili masyarakat atau komunitas tertentu. Caleg wakil komunitas ini tidak perlu alat peraga yang banyak, menghamburkan uang untuk meraup suara atau untuk membangun citra tertentu. AMAN bertujuan agar pemilih pun sekedar menjadi pemandu sorak, tapi didengarkan suaranya oleh Caleg yang mewakili mereka. Misi kedua adalah memastikan negara mengakui hak konstitusional Masyarakat Adat sebagai warga negara. Termasuk di dalamnya hak kolektif yang melekat secara turuntemurun. Sebab hingga kini, hak Masyarakat Adat sering diabaikan dalam pembuatan kebijakan dan regulasi. Hadirnya kader utusan politik AMAN di parlemen akan memudahkan Masyarakat Adat dalam memperjuangkan Hak-Haknya. Salah satu langkah memastikan dua misi itu dapat terwujud, pada September 2018, AMAN secara kelembagaan telah terdaftar sebagai


TAJUK UTAMA Pemantau Pemilu Independen dan diakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sehingga kaderkader AMAN di berbagai komunitas dapat ikut memantau pemilu. Pemantauan menjadi penting agar proses pemilu sesuai aturan dan punya legitimasi kuat dengan partisipasi masyarakat masyarakat adat.

Kendala Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pemilu 2019 Perubahan syarat untuk bisa ikut memilih di Pemilu 2019 memunculkan banyak persoalan pada Masyarakat Adat. Berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KTP elektronik (KTP-el) menjadi syarat mutlak untuk terdaftar sebagai pemilih. Faktanya, penggunaan KTP-el sebagai syarat mutlak justru tidak membuka ruang bagi pemilih potensial yang tak memiliki KTP-el. Syarat administratif ini jelas menyulitkan Masyarakat Adat untuk menggunakan hak politiknya. Korban kebijakan ini misalnya adalah para penganut agama leluhur, mereka yang hidup di dalam kawasan hutan dan yang jauh dari layanan negara. Contohnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan tidak akan memberikan KTP-el kepada Masyarakat Adat yang ada di dalam kawasan hutan negara. KPT-el akan diberikan kecuali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan. AMAN mencatat ada 777 komunitas dengan populasi mencapai 3.2 juta orang Masyarakat Adat yang berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, ada 1,6 juta Masyarakat Adat yang belum memiliki KTP-el dan tidak terdaftar sebagai pemilih. Hambatan kedua adalah konflik tenurial yang diakibatkan tidak adanya pengakuan terhadap wilayah adat. Masyarakat Adat kerap berkonflik dengan perusahaan akibat izin-izin konsesi yang menyerobot wilayah adat. Masyarakat Adat terusir dari wilayahnya, sementara pemerintah enggan mengakui status

domisilinya. Di lapangann AMAN menemukan oknum-oknum yang mempersulit pelayanan administrasi komunitas Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya dari gerusan perusahaan. Misalnya yang dihadapi oleh Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, di Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 250 pemilih potensial yang berada di Desa Amplas, Desa Karang Gading, Tumpatan Nibung, Bandar Klippa, Bandar Khalifah, dan Marindal II tidak dapat menggunakan hak pilih di Pemilu 2019 karena status domisilinya bermasalah akibat konflik. Hal ini menunjukkan bahwa konflik tenurial berakibat langsung atas hilangnya hak politik Masyarakat Adat. Hambatan ketiga, model surat suara dalam Pemilu 2019 masih abai dengan Masyarakat Adat yang tidak bisa baca tulis. Persoalan ini sudah berlangsung sejak Pemilu 2009 dan selalu dibiarkan. Sebagai contoh, ada 1.400 pemilih tuna aksara di Dayak Meratus di Kalimantan Selatan yang kesulitan menggunakan hak pilihnya. Hingga kini, peraturan yang menjamin mereka yang tidak bisa baca tulis dalam memilih belum ada. Untuk itu, AMAN aktif mengadvokasi tiga hambatan itu bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu. Untuk memastikan Masyarakat Adat dapat menggunakan hak politiknya tanpa hambatan. Meski disadari, belum adanya regulasi yang mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat membuat diskriminasi terus terjadi.

Menangkan Caleg AMAN pada Pemilu 2019 ! Sikap politik AMAN dalam Pilpres 2019 adalah tidak mendukung siapapun pasangan Capres dan Cawapres. Sikap ini bukan tanpa alasan. Pertama, Jokowi terbukti belum memenuhi satu pun komitmen kepada Masyarakat Adat yang dijanjikan dalam Nawacita. Dalam visi-misi pasangan Joko WidodoMa’aruf Amin, komitmen tentang Masyarakat Adat semakin tidak

jelas. Sementara Prabowo SubiantoSandiaga Uno juga tidak memiliki komitmen dan agenda apa pun tentang Masyarakat Adat. Analisa ini didukung oleh hasil penelitian Yayasan Madani Berkelanjutan. Mereka menemukan bahwa di dalam visi-misi Joko Widodo-Ma’aruf Amin, isu lingkungan mendapat porsi 21%. Namun hanya 1% mengenai isu perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat serta ketimpangan penguasaan lahan. Catatan AMAN, di tahun 2018 terdapat 152 komunitas Masyarakat Adat yang menjadi korban konflik perampasan wilayah adat yang diikuti dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi. Sebanyak 262 warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi. Beberapa harus dipenjara dan sebagian lain mesti menjadi pelarian karena berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO). Itulah mengapa, AMAN menyadari bahwa perjuangan Masyarakat Adat melampaui rezim, melintasi batas waktu. Jauh sebelum negara hadir, Masyarakat Adat telah berjuang melawan perampasan wilayah adat. Pilpres 2019 nanti hanya satu dari banyak instrumen gerakan Masyarakat Adat.. Kemenangan Masyarakat Adat sesungguhnya adalah dengan masuk ke arena pengambilan kebijakan dan memperbaiki situasi. Awal kemenangan Masyarakat Adat adalah lahirnya Perda-perda dan UU yang berpihak bagi Masyarakat Adat. Aturan hukum yang akan jadi jembatan menghadirkan negara di tengah Masyarakat Adat dan menjadikan Masyarakat Adat sebagai bagian dari Negara. Perda dan UU adalah pintu rekonsiliasi demi mewujudkan Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Semua itu hanya bisa dicapai jika kita bersatu memenangkan Caleg AMAN ! ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

9


TAJUK UTAMA

PIDATO SEKRETARIS JENDERAL

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN), 17 Maret 2019 “Meneguhkan Tekad, Memperkuat Akar, Mengedepankan Solusi”

10 | Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


TAJUK UTAMA Hidup Masyarakat Adat! Masyarakat Adat Bangkit Bersatu! Berdaulat! Bangkit Bersatu! Mandiri! Bangkit Bersatu! Bermartabat! Pertama-tama, ijinkan saya menyampaikan hormat kepada semesta, para leluhur masyarakat adat, dan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta untuk kebahagiaan kita pada hari yang sangat bersejarah ini. Bapak, Ibu, saudara-saudaraku, pimpinan dan anggota Dewan AMAN Nasional dari 7 region yang saya hormati, seluruh Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, Organisasi Sayap, Badan Otonom dan Lembaga Ekonomi AMAN yang saya banggakan, seluruh Komunitas Anggota AMAN di penjuru Nusantara yang saya muliakan, serta para sahabat yang telah setia berjuang bersama Masyarakat Adat selama ini. 20 tahun lalu, utusan Masyarakat Adat dari seluruh pelosok Nusantara, bersama para pejuang hak-hak Masyarakat Adat berkumpul di Hotel Indonesia, Jakarta, merajut asa menyusun barisan melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara. Kongres pertama ini mendeklarasikan Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan bersepakat membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan bersama untuk meraih pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan hak adatnya yang azasi. Bangkit bersatu bergerak bersama merebut kembali kedaulatan Masyarakat Adat sebagai bagian dari rakyat Indonesia, sebagai warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, juga sebagai penyandang hak-hak konstitusional di dalam Negara Republik Indonesia sesuai amanat UUD 1945. Mengapa Masyarakat Adat harus bangkit bersatu dan bergerak bersama? Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya muliakan, Selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, Masyarakat Adat masih terus mengalami berbagai bentuk penindasan, pengabaian dan perampasan atas hak-hak asal-usulnya. Kemerdekaan Indonesia sebagai NegaraBangsa di tahun 1945 tidak otomatis membebaskan Masyarakat Adat dari beragam bentuk penjajahan. Bahkan di masa Rejim Orde Baru bentuk-bentuk penjajahan bagi Masyarakat Adat itu terasakan lebih meluas dan jauh lebih berat dari masa-masa sebelumnya. Dimana-mana terjadi perusakan dan perampasan wilayah-wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap warga adat, serta diskriminasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya. Oleh sebab itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, perlawanan Masyarakat Adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Situasi ini, kemudian mendorong terbentuknya sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial pada tahun 1993, di Toraja-Sulawesi Selatan. Pembentukan jaringan ini telah menanam benih persatuan perjuangan bersama di kalangan pemimpin gerakan Masyarakat Adat yang terus bertumbuh di seluruh pelosok Nusantara. Pertumbuhan semangat dan kepemimpinan persatuan gerakan inilah yang kemudian memungkinkan terselenggaranya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama. Lewat Kongres ini, para pemimpin perjuangan Masyarakat Adat menyatukan semangat dan komitmen bersama untuk mengingatkan kembali para penyelenggara Negara dan seluruh elemen bangsa tentang tujuan mulia berdirinya Negara Republik Indonesia, melakukan koreksi atas perjalanan bangsa yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur Pendiri Bangsa sebagaimana dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dan menegaskan kembali posisi Masyarakat Adat terhadap Negara. Lewat Kongres pertama ini Masyarakat Adat kembali menegaskan posisinya terhadap Negara dalam Pandangan Dasar Kongres yang menyatakan bahwa “Kami sudah sejak dulu ada sebelum Negara Republik Indonesia.� dan oleh sebab itu “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kami Tidak Mengakui Negara.� Bapak, Ibu, Saudara, Saudari sekalian, Untuk memastikan komitmen perjuangan bersama yang sudah digariskan oleh Kongres inilah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dibentuk 20 tahun lalu. 20 tahun merupakan waktu yang cukup untuk kita merefleksikan secara mendalam perjalanan perjuangan Masyarakat Adat Nusantara. Geliat AMAN sebagai wadah berjuang bagi Masyarakat Adat Nusantara tentunya mengalami pasang dan surut. Dinamika politik nasional dan global kadang bersahabat,

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |11


TAJUK UTAMA kadang tak jarang menghadirkan badai. Pada tingkat internasional, AMAN telah terlibat sejak penyusunan Draf United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) hingga isu Hak Asasi Manusia, perubahan iklim, dan isu-isu lainnya. Sementara di tingkat nasional, AMAN telah berjuang untuk mengubah hukum-hukum yang represif antara lain dengan menguji materi UU Kehutanan yang kemudian melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012. Juga terlibat aktif dalam Inkuiri Nasional yang dilakukan oleh Komnas HAM tentang Pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan, mendorong masuknya peta wilayah adat dalam One Map Policy, hingga memperjuangkan masuknya 6 tuntutan masyarakat adat dalam Visi dan Misi Presiden Republik Indonesia yang dikenal dengan NAWACITA. Tidak hanya itu, AMAN juga berjuang hingga daerah dengan mendorong pembentukan produk hukum daerah yang mengakui Masyarakat Adat dan hak-haknya. Meski tak mudah, AMAN terbukti mampu melalui masa-masa penuh tantangan, mengambil pilihan-pilihan strategis dalam rangka merespon dinamika politik nasional dan global. Sejak berdiri tahun 1999 hingga tahun 2007, AMAN pernah tampil konfrontatif dengan Negara untuk menegaskan posisinya terhadap Negara, menunjukkan kehadirannya sebagai gerakan sosial yang tumbuh dari realitas sosial di kampong-kampung adat dan sekaligus memperkuat pondasi solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan di antara sesama Masyarakat Adat. Perjuangan konfrontatif ini mendapatkan beragam respon dari penyelenggara Negara dan berbagai pihak. Dengan perjuangan yang konsisten, respon positif terhadap kehadiran AMAN terus bertambah. Respon positif inilah yang membantu AMAN mengubah tampilan perjuangan dari konfrontasi ke dialog, full engagement, sejak tahun 2007. Strategi ini kita ambil karena pemerintah mulai menunjukkan keterbukaan pada tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat. Pilihan strategi tersebut mengharuskan AMAN masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan politik dan teknokratik yang berpengaruh pada kehidupan Masyarakat Adat. Organisasi yang bertumbuh cukup stabil di tingkat wilayah dan daerah juga mendukung perubahan strategi ini dengan rasa percaya diri yang lebih kuat. Banyak tantangan yang kita hadapi dalam melaksanakan strategi ini. Tuntutan Masyarakat Adat tak selalu disambut sebagaimana mestinya. Masyarakat adat yang memperjuangkan haknya termasuk hak atas wilayah adat (tanah, hutan, dan air) sebagian besar menemui jalan buntu. Pemerintah masih saja mempertahankan sikap abai dan memaksakan kehendaknya sendiri untuk menunda, mempersulit atau bahkan dengan sengaja membiarkan pelanggaranpelanggaran terhadap Masyarakat Adat terjadi di lapangan. Beberapa bukti dari mengakar kuatnya sikap tersebut adalah dengan tidak adanya keberanian untuk mengubah UU Kehutanan yang terbukti menghambat pelaksanaan putusan MK 35/2012. Begitu pula dengan ketidakjelasan sikap pemerintah dalam mempercepat pembahasan RUU Masyarakat Adat yang sudah dijanjikan Presiden dan Wakil Presiden dalam NAWACITA. AMAN menyadari bahwa berbagai pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat bersumber dari politik hukum yang memang dirancang untuk abai pada kepentingan Masyarakat Adat. Pendekatan dialog dan kemitraan dengan Pemerintah tidak cukup! AMAN harus masuk ke politik elektoral secara bermartabat. Untuk itu, sejak tahun 2009 AMAN mendorong kader Masyarakat Adat untuk ikut bertanding di dalam gelanggang Pemilu dan Pemilukada sehingga mereka dapat masuk di badan-badan legislatif maupun eksekutif sebagai perancang, pembuat dan pelaksana kebijakan publik. Sejak tahun 2009, puluhan kader Masyarakat Adat telah berhasil masuk ke badan legislatif maupun eksekutif terutama di daerah. Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor penggerak lahirnya Peraturan-Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di berbagai daerah. Partisipasi politik Masyarakat Adat tersebut kembali ditingkatkan pada tahun 2019 ini dengan mendorong ratusan kader-kader terbaiknya untuk terlibat di dalam pemilu legislatif. Langkah perjuangan ini didasari pada fakta bahwa berbagai pelanggaran hak Masyarakat Adat disebabkan oleh karena hukum dan kebijakan disusun oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan Masyarakat Adat atau orang-orang yang memiliki kepentingan berbeda dengan Masyarakat Adat. Untuk itu, Masyarakat Adat harus masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan. Bukan sebagai partisipan, tetapi sebagai aktor pembentukan hukum dan kebijakan. Karena itu, mengutus kader Masyarakat Adat untuk bertanding di Pemilu Legislatif tahun 2019 bagi AMAN adalah pilihan yang tepat. AMAN percaya, bahwa semakin banyak kader Masyarakat Adat di lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif akan membuat tuntutan

12 | Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


TAJUK UTAMA pengakuan hukum, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat semakin terbuka untuk tercapai. Apakah PEMILU 2019 tanggal 17 April 2019 nanti akan memandu perubahan pendekatan dan strategi lebih lanjut bagi AMAN? Ini pertanyaan buat kita semua para pemimpin dan penggerak AMAN! Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya banggakan, Sebagai organisasi yang dibentuk oleh Masyarakat Adat untuk mengorganisir diri sendiri, selama 20 tahun ini, AMAN semakin percaya diri, bahwa perjuangan yang dilakukan secara kolektif mampu meraih perubahan demi perubahan. Meskipun demikian, harus diakui pula, bahwa kekuatan Masyarakat Adat di seluruh nusantara belum secara optimal bergerak bersama. AMAN dihadapkan pada tantangan untuk berani memimpin usaha sistematik dalam melakukan pembaruan hukum dan lembaga adat sehingga prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, emansipasi, dapat dinikmati oleh seluruh warga Masyarakat Adat terutama kelompok perempuan, anak-anak, lanjut usia, orang-orang yang miskin karena perbedaan kelas, budaya, dan penyandang disabilitas. Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya kasihi, Di depan, tantangan tidaklah ringan. Negara belum sungguh-sungguh berubah. Sikap abai, mempersulit, bertele-tele, membuat lebih rumit, adalah sikap-sikap yang telah berakibat pada mandegnya berbagai agenda perubahan: Putusan MK 35/2012 sejauh ini hanya menghasilkan 30.000 hektar hutan adat, sementara RUU Masyarakat Adat jalan di tempat. Sementara di sisi lain, negara aktif merampas wilayah-wilayah adat. Kasus-kasus yang dialami Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah, Masyarakat adat Rendu di Nagekeo Nusa Tenggara Timur, Masyarakat adat Seko di Sulawesi Selatan, dan kasus-kasus lainnya menunjukkan hal itu. Bapak, Ibu, saudara-saudara yang berbahagia, Di tengah situasi itulah AMAN membentangkan cita-cita bersama Masyarakat Adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Sebuah cita-cita yang hanya akan tercapai jika AMAN mampu menggalang kebersamaan yang kokoh untuk selalu bergerak bersama. Sementara, AMAN dituntut untuk masuk, melebur dan memperkuat gerakan perubahan bersama dengan berbagai elemen masyarakat sipil dan pihak-pihak lain termasuk pemerintah. Perjuangan Masyarakat Adat melampaui rezim, melintasi batas waktu. Kita masih jauh dari cita-cita kita bersama. Namun kita tidak menyerah. Semangat kita berasal dari 2.366 komunitas adat anggota kita yang setia dalam perjuangan, komitmen dari 21 Pengurus Wilayah, 119 Pengurus Daerah, semangat dari Organisasi Sayap AMAN, yakni semua Perempuan Adat yang menyatukan diri dalam Persekutuan Perempuan Adat AMAN, para pemuda dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara, pembelaan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, serta inspirasi dari 2 Badan Otonom dan 3 Badan Usaha yang terus memberikan motivasi bahwa kita bisa! Hari ini, Minggu, 17 Maret 2019, kita telah 20 tahun bangkit bersatu dan bergerak. Setiap tahun kita merayakannya dan tahun inipun kita merayakannya dengan khidmat, di kampung-kampung adat, di rumah-rumah adat, di lahan-lahan dan wilayah adat kita, di Rumah-Rumah AMAN yang tersebar di seluruh pelosok. Kita merayakan hari besar ini dengan penuh suka cita dan rasa syukur atas perjalanan gerakan ini. Dengan penuh harapan kita menyerahkan langkah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa dan bermohon restu para leluhur, agar kehidupan kita terus membaik, sampai suatu saatnya nanti Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang besar ini dapat kembali Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat di Tanah-Airnya sendiri. Akhirnya, kepada semua Masyarakat Adat di Nusantara, selamat merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara! Selamat Ulang Tahun yang ke-20 AMAN! Teruslah tanggap membela, aktif melindungi dan cepat melayani Masyarakat Adat di mana pun! Jakarta, 17 Maret 2019 Rukka Sombolinggi Sekretaris Jendral AMAN

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |13


TAJUK UTAMA

14 | Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


TAJUK UTAMA

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |15


TAJUK UTAMA

16 | Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


TAJUK UTAMA

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |17


TAJUK UTAMA

18 | Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


TAJUK UTAMA

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |19


TAJUK UTAMA

20 | Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


TAJUK UTAMA

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |21


OPINI POLITIK

DUA DEKADE Pengabaian Hak Politik Masyarakat Adat Yayan Hidayat

PEMILU ADALAH instrumen politik paling sahih dari negara yang bersepakat dengan demokrasi. Sebuah mekanisme yang menjamin rotasi kekuasaan dapat berjalan dengan adil dan legitimate, serta bertumpu pada kedaulatan demos (rakyat). Pertanyaannya, seberapa penting menjamin pemilu yang adil? Dalam hampir semua kasus, pilihan atas sistem pemilu tertentu memiliki pengaruh mendalam bagi masa depan kehidupan politik di negara bersangkutan. Dalam realitanya, sistem pemilu seringkali abai terhadap hak asasi, hanya bertumpu pada kepentingan politis jangka pendek. Terjebak pada perspektif universal dan prosedural namun menegasikan substansi. Selama dua dekade terakhir, Masyarakat Adat menjadi korban dari sistem pemilu yang abai terhadap hak asasi. Pilihan atas desain pemilu gagal beradaptasi dengan realitas sosio-kultural yang tumbuh dan berkembang. Ibarat jatuh tertimpa tangga, Masyarakat Adat menjadi korban dua kali. Korban dari ganasnya agresi pembangunan, dan kini mereka harus merelakan hak politiknya diretas oleh sistem yang diskriminatif.

22

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Dekade Pengabaian Studi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyimpulkan tiga hal yang menjadi persoalan hilangnya hak politik Masyarakat Adat dalam pemilu. Pertama, alasan kultural. Pranata hukum adat yang melekat pada kehidupan Masyarakat Adat secara turun-temurun seringkali tak selaras dan justru kontradiktif dengan ketentuan administratif untuk terlibat dalam pemilu. Kedua, konflik tenurial dan ketidakpastian wilayah administratif. Salah satu syarat untuk terlibat dalam Pemilu adalah kepastian wilayah administratif atau domisili. Sementara, Masyarakat Adat sangat rentan kehilangan wilayahnya akibat tak kunjung hadir perlindungan hukum dan pengakuan dari negara. Hal tersebut seringkali memunculkan konflik berkepanjangan dan membuat mereka terusir dari wilayahnya. Konflik tenurial ternyata berimplikasi terhadap hilangnya hak politik Masyarakat Adat. Ketiga, sebaran geografis yang sulit dijangkau. Dalih yang dipakai oleh negara dan penyelenggara pemilu adalah kesulitan menjangkau Masyarakat Adat yang tinggal di

pelosok dan pulau-pulau kecil – jauh dari pusat administratif. Tiga simpulan ini jika diuji realitanya dengan pelaksanaan pemilu dua dekade kebelakang. Kita mulai dengan Pemilu 1999, pesta demokrasi pertama pasca runtuhnya otoritarianisme orde baru. Sebagian kalangan percaya, bahwa pemilu masa reformasi adalah mekanisme pengambilan keputusan paling demokratis. Tingkat partisipasi mencapai 92,7 persen, tertinggi kedua setelah Pemilu 1955. Pemilu 1999 menganut sistem periodic list yakni sistem pendaftaran pemilih hanya dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilu masa ini juga menganut prinsip voluntary registration, bahwa memilih adalah hak setiap warga negara, pemilih dapat memilih untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih. Wajib menunjukkan kartu tanda kependudukan atau bukti diri lainnya yang sah sebagai syarat administratif dalam menggunakan hak pilih. Realitasnya, prosedural administrasi tersebut justru menegasikan hak. Masyarakat Adat diretas hak politiknya dalam memilih karena kepercayaan yang mereka anut.


OPINI POLITIK Masa ini, negara tak mengakui agama kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Adat. Implikasinya, mereka tak dapat mengurus identitas kependudukan sebagai syarat dalam menggunakan hak pilih dalam pemilu. Hal ini merupakan manifestasi dari nilai adat yang kontradiktif dengan logika administrasi pemilu. Polemik ini mengkristal menjadi status quo hingga pelaksanaan Pemilu 2004, tanpa ada solusi untuk menjamin Masyarakat Adat penganut agama kepercayaan dapat menggunakan hak pilihnya. Akibat persoalan privat, mereka harus merelakan hilangnya hak politik mereka sebagai warga negara. Pemilu 2009, persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat masih sama. Parahnya, desain pemilu kali ini tak ramah terhadap penyandang tuna aksara. Sementara, dominan Masyarakat Adat yang jauh dari akses pendidikan rentan menyandang tuna aksara. Secara teknis, desain surat suara dalam Pemilu 2009 tak menampilkan foto kandidat, hanya nomor dan nama. Tentu hal ini memunculkan kegamangan bagi pemilih penyandang tuna aksara, seiring itu tidak ada regulasi yang menjamin aksesibilitas dan kemudahan tuna aksara dalam memilih. Persoalan ini juga tak kunjung menemukan solusi hingga Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Bahkan, penyelenggaraan pemilu kali ini berlangsung dengan syarat administrasi yang begitu ketat, hingga menegasikan hak politik banyak orang. Pemilu 2019, wajib menunjukkan KTP elektronik (e-KTP) sebagai syarat mutlak menggunakan hak pilih dalam pemilu, benar-benar tidak membuka ruang bagi pemilih yang tak memiliki e-KTP. Syarat ini memunculkan ragam persoalan baru bagi Masyarakat Adat. Pertama, hilangnya hak politik Masyarakat Adat dalam kawasan hutan. Kemendagri menegaskan tidak akan memberikan kartu identitas kependudukan kepada Masyarakat Adat dalam kawasan

hutan negara, kecuali jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan. Kebijakan sektoral ini juga turut mengebiri hak politik Masyarakat Adat. Sementara, AMAN menemukan ada 777 komunitas Masyarakat Adat yang berada dalam kawasan hutan, dengan populasi mencapai 3,2 juta jiwa. Di antaranya, sebanyak 1,6 juta Masyarakat Adat belum memiliki KTP-el dan tidak terdaftar sebagai pemilih. Mereka dibatasi oleh kebijakan sektoral untuk turut memilih pemimpin dan anggota parlemen yang mereka inginkan dalam Pemilu 2019. Kedua, masih adanya diskriminatif terhadap para penganut Agama/Kepercayaan di Masyarakat Adat untuk dicatatkan dalam administrasi kependudukan. Padahal Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor : 97/ PUU-XIV/2016 tentang yudicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah membolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP elktronik). Perlakuan diskriminatif tersebut membuat Masyarakat Adat penganut Agama/Kepercayaan terhambat dalam mendapatkan layanan dasar, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, yang juga berdampak pada hilangnya hak politik mereka dalam Pemilu. Ketiga, desain surat suara dalam Pemilu 2019 masih tidak aksesibel terhadap Masyarakat Adat penyandang tuna aksara. Persoalan yang sebetulnya berlangsung sejak Pemilu 2009, tanpa ada solusi. Temuan sementara ini ada 1.400 pemilih Masyarakat Adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan yang menyandang tuna aksara gamang dalam menggunakan hak pilihnya. Apalagi, hingga kini regulasi yang menjamin aksesibilitas tuna aksara dalam memilih tak kunjung dihadirkan. Mereka yang ingin berpartisipasi, akhirnya kembali terhambat karena persoalan administrasi.

Memaknai Ulang Demokrasi Kakunya defenisi terhadap demokrasi berimplikasi terhadap pemaknaan yang keliru terhadap penyelenggaraannya. Demokrasi kerap dijalankan sebagai sistem yang ‘tunggal’ dan administratif, karena dibayang-bayangi oleh aspek legal-formal dan standar-standar yang wajib dipatuhi. Sehingga, yang terjadi justru demokrasi mengalami dekontekstualisasi. Ia jauh dari konteks yang berkembang dalam masyarakat. Dalam bayangan negara, yang diperlukan untuk berdemokrasi adalah adanya kepatuhan pada serangkaian standar formal, entah seperti apa operasionalnya. Dari cara berpikir ini, maka kita berdemokrasi demi mematuhi standar formal, bukan demi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Simplifikasi demokrasi sekadar sebagai persoalan prosedur kepemiluan telah memelesetkan demokrasi menjadi proses pemberian legitimasi kekuasaan elit dominan. Demokrasi dibajak elite, jauh dari demos (rakyat). Demokrasi harus tumbuh secara bottom-up dengan menyesuaikan kebutuhan demos, bukan justru sebaliknya, bersifat top-down dan menegasikan realitas sosiokultural yang berkembang. Reduksi demokrasi pada sekedar sebuah standar formal adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Redefenisi patut dilakukan untuk mengembalikan makna demokrasi kepada khitah-nya. Dari apa yang terjadi pada Masyarakat Adat sepanjang dua dekade, memberikan kesimpulan bahwa negara abai terhadap hak politik Masyarakat Adat. Polemik berlangsung tanpa ada itikad baik negara untuk mengakomodir. Tak salah jika kita menganggap bahwa justru negara lah yang melanggar hak asasi manusia. ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

23


OPINI POLITIK

BERSELANCAR

DI PARLEMEN Andre Barahamin

K

ebijakan pada dasarnya merupakan transaksi politik. Dapat diartikan sebagai tawar menawar antar kelompok kekuasaan. Kebijakan adalah titik kompromi antar berbagai kelompok kepentingan yang akan terkena dampak. Namun kenyataannya, tidak semua kelompok memiliki wakil dalam penentuan sebuah kebijakan. Di Indonesia, Masyarakat Adat adalah salah satu kelompok yang selama bertahun-tahun diacuhkan suaranya dan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Terutama soal kebijakan pembangunan yang dalam banyak kasus dinilai Masyarakat Adat sebagai ancaman dan serangan terhadap eksistensinya. Hadir dalam bentuk perampasan tanah, ekstraksi sumber 24

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

daya alam secara sepihak (tanpa Free, Prior and Informed Consent), dan kriminalisasi. Banyak proyek pembangunan negara bagi Masyarakat Adat dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Jadi awal diskriminasi ekonomi, sosial dan budaya. Desain kebijakan yang timpang dan eksploitatif diakibatkan oleh hilangnya narasi pembelaan dan pengabdian pada kepentingan Masyarakat Adat. Parlemen di Indonesia masih didominasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan yang berseberangan dengan Masyarakat Adat. Orangorang yang lebih condong pada bisnis dengan biaya murah walau harus mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat. Kelompok-kelompok Masyarakat

Adat yang berada di lokasi investasi kemudian dihadapkan pada kemungkinan buruk; kerusakan lingkungan dan ambruknya tatanan sosio-kultural. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berdiri di tahun 1999, menyadari bahwa terlibat di level pembuat kebijakan adalah langkah yang harus diambil. Dalam Kongres Masyarakat Adat ke III (KMAN III) di tahun 2007 yang berlangsung di Pontianak, Kalimantan Barat, sikap itu kembali dipertegas. AMAN memutuskan ikut terjun dalam arena politik namun tidak dalam pengertian membangun partai sebagai sayap perjuangan politik. Keterlibatan dipahami sebagai cara mengkampanyekan aspirasi dan tuntutan-tuntutan akar rumput yang selama ini tidak mendapatkan


OPINI POLITIK ruang. Menjadikan parlemen sebagai ruang tanding dan ruang ujian untuk mendorong isu dan tuntutan mengenai tanah dan hak-hak Masyarakat Adat yang selama ini diabaikan. Abdon Nababan, Sekretaris Jendral AMAN dua periode (20072012, 2012-2017), menyatakan bahwa AMAN secara sadar ingin mendorong, memfasilitasi dan memenangkan kader-kader mereka yang sebelumnya telah bersepakat dengan pokok-pokok perjuangan. Sekaligus upaya untuk memerangi politik uang dan berbagai model kecurangan lain. Untuk mendukung hal tersebut, Pengurus Besar (PB) AMAN menstrukturkan sumber daya ke dalam Formasi 17.3.1999. Ini adalah kelompok yang akan menjadi tulang punggung sekaligus mesin politik yang bertugas memenangkan kader yang diusung. Angka 17 merujuk pada jumlah anggota sterring comittee. Sementara 3 mengacu pada pembagian gugus tugas: kampanye, mobilisasi dan pengorganisiran, dan logistik. 1999 sendiri diasosiasikan dengan jumlah relawan pendukung. AMAN mengupayakan ratusan kader perorangan yang mewakili komunitas-komunitas anggotanya untuk terlibat. Mereka didorong maju sebagai calon anggota legislatif di berbagai tingkatan saat Pemilu berlangsung. Pada pemilu legislatif 2009, AMAN mendorong 67 orang kadernya untuk duduk di parlemen di berbagai tingkatan yang ada di Indonesia. Empat orang kader lain maju bertarung untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dan dua orang lain menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang nantinya akan berkantor di Senayan. Di tingkat provinsi, empat belas orang didorong untuk mampu memenangkan kursi. Sementara di level kabupaten, hampir lima puluh orang didorong maju sebagai anggota parlemen. Upaya ini tak melaju mulus. Tidak ada satupun calon yang sukses. Tapi sebagai pengalaman politik, AMAN berhasil menerabas tabu dan membuka persepsi baru soal keterlibatan representasi Masyarakat Adat dalam politik formal. Percobaan kembali dilakukan di tahun 2014. Kali ini, hampir dua ratus

orang kader yang disiapkan untuk menjadi wakil dan corong Masyarakat Adat di parlemen. Hasilnya, grafik mencatat kenaikan penting dan bersejarah. Pasca-rekapitulasi nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Mei 2014, 36 orang dipastikan memperoleh dukungan signifikan dan berhasil mendapatkan kursi di parlemen. AMAN berhasil mengintervensi politik formal di sebelas provinsi. Dua orang kader bahkan sukses dikirim ke Senayan melalui jalur DPD. Berbagai kemenangan ini jadi strategis karena ia adalah anak tangga baru dalam perjuangan AMAN dan komunitaskomunitas Masyarakat Adatnya.

Namun sebagai upaya politik, ada 36 kursi di berbagai kamar parlemen pada pemilu 2014 belum cukup. Sukses 15% dari 187 kader yang bertarung di kontestasi parlemen, bukan angka yang memuaskan. Di bawah rezim yang mendasarkan diri pada kuantitas, AMAN masih menjadi pemain minor. Sebagai organisasi yang membawahi lebih dari 20 juta orang, dua orang wakil DPD tentu perbandingan yang terasa tidak adil. Dua kali percobaan dengan menggunakan partai-partai lain sebagai kendaraan untuk menggaungkan tuntutan dan isu-isu mendasar mengenai hakhak masyakat adat, terbukti tidak maksimal. Kini, di perhelatan pemilu 2019, AMAN kembali mencoba strategi serupa yang pernah dicoba pada lima tahun sebelumya. Di saat yang bersamaan, kondisi dunia kepartaian di Indonesia masih didominasi oleh watak konservatif dan kolegial yang nepotis. Itu

artinya kembali menggunakan taktik yang sama di pemilu kali ini justru memiliki peluang untuk mengulang rute kegagalan yang sudah ditempuh di tahun 2014. Amerika Latin sudah menjadi contoh. Termasuk yang paling kontemporer adalah pembentukan sayap politik oleh gerakan Zapatista di rimba Lancandon, Mexico. Setelah Bolivia, para pengikut Zapata di Meksiko juga melakukan langkah serupa. Enggan direpresentasikan oleh kartel politik lama, Zapatista memilih mengusung calon presiden mereka sendiri dalam pemilu 2018. Mereka menyusuri jalan yang telah dirintis Bolivia ketika berhasil mengusung Evo Morales menjadi orang asli penghisap koka yang menjabat sebagai presiden. Membuktikan bahwa perubahan hanya bisa dilakukan melalui program politik yang terstruktur, terukur dan terencana. Bagaimanapun, Masyarakat Adat harus cerdas berselancar, terutama di parlemen. Untuk itu, pilihan yang paling logis secara politik dan organisasional adalah partai politik. AMAN mau tidak mau harus mendorong dirinya untuk menjadi lebih inklusif. Menjadi ruang terbuka yang secara politik dan organisasional menjadi kanal aspirasi mengenai marginalisasi dan pengingkaran hakhak warga oleh aparatus negara. Rukka Sombolinggi yang kini dipercaya sebagai Sekretaris Jendral AMAN, sudah harus menjadikan pertimbangan sayap politik sebagai kebutuhan mendesak gerakan Masyarakat Adat di Indonesia di masa depan. Agar ketika pemilu dihelat, AMAN tidak sekedar menjadi sasaran rayu para kandidat lalu dikhianati. AMAN dituntut oleh situasi hari ini untuk memiliki sayap politik yang menjadikan taktik elektoral sebagai bagian dari strategi panjang perjuangan Masyarakat Adat. Sebuah badan politik yang berdiri di atas prinsip-prinsip ideal yang melandasi AMAN. Lengan politik gerakan Masyarakat Adat sebagai langkah maju dari gerakan sipil menjadi gerakan politik. ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

25


SOSOK PARLEMEN

ARIFIN “MONANG” SALEH: KE SENAYAN

DEMI UU MASYARAKAT ADAT DAN TANAH ULAYAT Andre Barahamin

Hadirnya perkebunan negara dengan HGU bagi Rakyat Penunggu lebih buruk dibanding masa kolonialisme. “Baginya, sekolah dan ilmu bukan hanya pendidikan formal tapi juga dari pengetahuan yang didapat dari teman-teman seperjuangannya,” ujar Arifin Saleh. Itu hal pertama yang paling membekas di ingatan Monang -sapaan akrab Arifin Saleh, saat ditanya tentang sosok ayahnya, almarhum Afnawi Noeh. Afnawi Noeh, laki-laki jangkung berbadan kurus. Ia lebih dikenal dengan sebutan “Abah”, sebutan yang datang karena ia juga menjadi seorang guru mengaji. Semasa hidup, Abah dikenal sebagai figur vokal. Ia merupakan pemimpin Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) generasi ke dua. Organisasi ini, bersama dengan puluhan perwakilan berbagai komunitas adat lain, ikut mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 26

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

dalam sebuah pertemuan di Jakarta, pada 17 Maret 1999.

Akses Atas Tanah di Masa Konsesi Belanda BPRPI adalah organisasi masyarakat adat Rakyat Penunggu yang mendiami wilayah Serdang, Deli, Medan, Binjai dan Langkat. Wilayah ini merupakan daerah subur karena diapit oleh dua sungai besar; Sungai Ular dan Sungai Wampu. Kedua sungai ini merupakan asal muasal sebaran Rakyat Penunggu saat merintis kampung, berladang dengan sistem pertanian gilir balik dan menjaga hutan reba yang kemudian menjadi satu kesatuan sebagai tanah adat. Terdapat sekitar 67 kampung, hutan reba dan wilayah perladangan yang Foto: Laman Kinipan / Mongabay


SOSOK PARLEMEN luasnya mencapai 350.000 hektar. Seperti masyarakat adat pada umumnya, Rakyat Penunggu juga memiliki sistem nilai, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan adat yang berlaku dan diwariskan secara turun-temurun. Wilayah ulayat Rakyat Penunggu utamanya merupakan daerah penghasil tembakau, kopi, teh dan coklat. Tembakau dari wilayah ini di masa lalu diekspor hingga ke Jerman dan Amerika. Hal ini yang membuat Belanda tergiur untuk melakukan investasi perkebunan dengan meminjam tanah ulayat dari Rakyat Penunggu. Edy Ikhsan dalam bukunya Konflik Tanah Adat dan Pluralisme Hukum: Hilangnya Ruang Hidup Orang Melayu Deli (2015) menulis bahwa Belanda kemudian mengeluarkan sejenis akta konsesi yang mengatur hubungan peminjaman tanah tersebut. Aktaakta konsesi tersebut utamanya mengatur soal penebangan kayu di wilayah-wilayah yang telah disepakati. Aturan normatif paling awal menurut Ikhsan salah satunya tercantum dalam Pasal 9 akta tahun 1877 yang berbunyi: “Het zan aal del bevoking ten allen tijde vrij staan in heg not nien ontgonnen gedeelte der aan del contracten ter andere zijde afgestane gronden rotting en andere boschproducten te verzamelen.”(Di bagian tanah yang belum dibuka oleh pihak perkebunan, rakyat senantiasa dapat berhak mengambil rotan dan hasil-hasil hutan lainnya.) Pasal ini kemudian direvisi di tahun 1884. Terutama frasa “rotting en andere boschproducten”yang diubah menjadi “ natuurlijke producten in te verzamelen, ook brand en timmerhout, doch in het laatste alleen vor haar eigen

gebruik”(hasil-hasil alam juga kayu api dan kayu untuk pertukangan, sepanjang hanya untuk kebutuhan sendiri). Frasa di atas membuktikan bahwa sejak awal, bagi Rakyat Penunggu, hadirnya konsesi asing tidak berarti pelepasan hak pemanfaatan hutan sepenuhnya. Bahwa kehadiran investasi tidak berarti pembatasan dan peniadaan akses mereka atas hasil-hasil hutan yang berguna bagi kebutuhan hidup harian Rakyat Penunggu. Selain itu, lahan konsesi yang diserahkan kepada Belanda untuk dijadikan perkebunan tembakau juga masih dapat dikelola masyarakat adat untuk menanam padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran. Hasil-hasilnya sepenuhnya juga dinikmati oleh Rakyat Penunggu. Masa tanam terutama dilangsungkan usai panen tembakau dilakukan. Periode inilah yang turut mempengaruhi perubahan penyebutan tanah adat Rakyat Penunggu di kemudian hari yang dikenal sebagai Tanah Jaluran. Penyebutan ini datang dari model penanaman tembakau yang menggunakan lajur-lajur.

Penderitaan Masa Jepang, Lanjut Berjuang Masa Kemerdekaan Periode Tanah Jaluran berubah drastis ketika Jepang berkuasa. Model penguasaan dan pengelolaan tanah adat yang tadinya perkebunan dikelola oleh investor Hindia Belanda di rubah penguasaannya menjadi sepenuhnya di bawah penguasaan pemerintah kolonial Jepang. Sistem yang diterapkan berbeda seratus delapan puluh derajat. Pemerintah Jepang lalu memperkenalkan Sistem Tanam Paksa. Tujuannya adalah agar tanah-tanah adat menjadi sumber

persediaan cadangan makanan ketika perang berlangsung. Di masa inilah masyarakat adat Rakyat Penunggu dipaksa menjadi buruh perkebunan palawija seperti padi, jagung dan kacangkacangan. Hasil panen juga sebagian besar dikuasai kolonial Jepang dan hanya menyediakan sisa untuk warga anggota komunitas Rakyat Penunggu yang bekerja. Periode ini dikenang sebagai salah satu periode paling buruk dalam sejarah eksistensi Rakyat Penunggu. Banyak anggota komunitas mereka yang menjadi tewas karena kerja paksa. Arifin Saleh mewarisi cerita kelam ini dari ayahnya. Seperti anak-anak Rakyat Penunggu yang lain, Monang diajarkan bahwa periode kerja paksa adalah bentangan waktu yang tidak ingin diulang kembali. Rakyat Penunggu menolak untuk menjadi tumbal lagi bagi kolonialisme yang hanya mengeksploitasi tanah mereka dan menjadikan anggota komunitas sebagai tenaga kerja semata. “Kami tumbuh besar dan belajar bahwa masa kerja paksa di masa kolonialisme Jepang tidak bisa dibiarkan terjadi lagi. Sudah cukup kami menjadi korban dan tanah kami dieksploitasi. Generasi saya adalah generasi yang menjalani masa kanakkanak hingga remaja dengan menyaksikan para orang kami berjuang dengan segenap daya untuk mempertahankan hak atas tanah dan hak kami sebagai Rakyat Penunggu,” jelas Monang. Masa setelah Jepang pergi dan Indonesia dideklarasikan sebagai bangsa tidak berarti akhir perjuangan bagi Rakyat Penunggu. Aset-aset pemerintah dan investor Hindia Belanda dan Jepang lalu oleh pemerintah Republik Indonesia diambil alih penguasaannya. Oleh banyak

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

27


SOSOK PARLEMEN catatan sejarah, proses sentralisasi kepemilikan tanah ke dalam tangan negara ini disebut nasionalisasi. Seluruh kontrak atau konsesi yang pernah dilakukan oleh Rakyat Penunggu dengan investor dan pemerintah Hindia Belanda dianggap lagi tidak berlaku. Salah satu akibat langsungnya adalah hilangnya hak-hak Rakyat Penunggu atas tanah dan hutan adat mereka. Terutama, tanahtanah ulayat yang di masa lalu pernah dijadikan perkebunan tembakau oleh kolonial Hindia Belanda. Menurut Monang, situasi ketidakadilan yang diakibatan oleh peralihan hak atas tanahtanah adat Rakyat Penunggu dari pemerintah kolonial (Belanda dan Jepang) kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi titik awal lahirnya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) di tahun 1953. Puncak perjuangan BPRPI terjadi ketika lahirnya UndangUndang Pokok Agraria di tahun 1960 yang memperkenalkan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dalam menjalankan usaha perkebunan. Di berbagai wilayah Indonesia, tanahtanah masyarakat adat secara otomatis dikuasai oleh negara dan diserahkan kepada berbagai PT. Perkebunan Negara melalui pemberian HGU sebagai izin kuasa untuk mengolah wilayah yang dirampas tersebut.

HGU, Perkebunan Negara dan Merebut Kembali Hak atas Tanah Hadirnya perusahaan perkebunan negara dengan ijin HGU bagi Rakyat Penunggu dianggap lebih buruk penerapannya dibandingkan dengan masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Indikatornya 28

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

adalah pencopotan terhadap hak-hak komunitas adat Rakyat Penunggu atas tanah adat (tanah jaluran) sebagai alat produksi keberlanjutan hidup. Pengambilalihan yang dilakukan tanpa perundingan, diskusi dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas tanah-tanah tersebut. Bahkan, masyarakat adat Rakyat Penunggu tidak diijinkan masuk ke dalam areal ulayat yang telah diubah statusnya secara sepihak melalui HGU. Tanahtanah ulayat Rakyat Penunggu yang sudah berada di bawah skema perizinan HGU tersebut lalu diserahkan pengelolaannya kepada PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Monang menjadi saksi bagaimana ayahnya, Arifin Noeh yang menjadi Ketua Umum BPRPI melanjutkan kepemimpinan Abdul Kadir Harun yang berlangsung selama 26 tahun. Seperti pendahulunya yang juga merupakan kakaknya, Arifin Noeh, tidak dipilih melalui pemungutan suara, melainkan ditunjuk dalam sebuah musyawarah dari anggotaanggota BPRPI. “Ayah saya hidup sederhana. Tapi saya ingat betul bahwa ia memiliki tatapan mata yang selalu memancarkan semangat. Ayah seperti tidak pernah kehabisan semangat, tidak mengenal lelah dan rasa takut,” kata Monang mengenang sosok almarhum ayahnya. Monang menceritakan bahwa ayahnya lahir pada 7 Juli 1937 dan sempat menamatkan pendidikan formal di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Kepulangan Arifin Noeh ke wilayah Deli tidak dapat dilepaskan dari keterlibatannya dalam dunia politik, terutama setelah bergabung dengan Partai Nasional

Indonesia (PNI). “Ayah diangkat sebagai Ketua Ranting PNI Ismaliyah, Medan. Lalu diangkat menjadi Ketua Gerakan Pemuda Marhaen. Seharihari, almarhum bekerja sebagai reporter harian Waspada dan Glora Maritim, selain juga menjadi kontributor di beberapa koran mingguan di Medan di dekade 70an dan 80-an,” kenang Monang. Keterlibatan Arifin Noeh dalam PNI awalnya tidak terlalu mendapatkan sambutan hangat di internal BPRPI. Salah satu penyebabnya adalah keterlibatan Persatuan Petani Indonesia (Petani), yang merupakan salah satu organisasi sayap PNI, dalam berbagai aksi pengambialihan tanah masyarakat adat Rakyat Penunggu di masa seruan nasionalisasi oleh Soekarno. “Salah satu hal pertama yang dilakukan ayah saat baru dipercaya menjadi Ketua BPRPI adalah dengan menuntut negara untuk mengembalikan tanah adat kami yang dikenal sebagai Tanah Jaluran, yang membentang dari Sungai Ular hingga ke Sungai Wampu,” kata Monang. Di tahun 1979, Arifin Noeh memimpin demonstrasi sekaligus pendudukan tanah adat Rakyat Penunggu yang dirampas negara melalui PTPN II. Gerakan okupasi ini dimulai di Kampung Mabar dan meluas ke kampung-kampung lainnya seperti Klambir Lima, Rusip, Denai, Tanjung Gusta, dan Tanjung Mulia. Pendudukan kembali tanah ini melibatkan banyak pemuda dan dianggap sebagai salah satu periode penting dalam sejarah gerakan BPRPI. “Ayah juga membangun jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” kata Monang. Masa kepemimpinan Arifin Noeh mencatat beberapa capaian signifikan. Antara lain adalah


SOSOK PARLEMEN terbitnya surat dari Gubernur Sumatera Utara, yang saat itu dijabat EWP Tambunan. Surat dengan nomor 14233/3/7/1980 tersebut membicarakan persoalan perihal penyelesaian keluhan dan sengketa atas tanah yang diajukan oleh BPRPI. Gubernur lalu menyerahkan penyerahan penyelesaian sengketa tersebut kepada Bupati Langkat dan Bupati Deli Serdang. Inilah dasar terbitnya surat Bupati Deli Serdang, nomor 10675/3 pada tanggal 4 Agustus 1980 . Saat itu, Teteng Ginting adalah pejabat Bupati Deli Serdang. Surat ini menjadi awal pendaftaran komunitaskomunitas yang dikategorikan sebagai Rakyat Penunggu di sepuluh kecamatan di antaranya Kecamatan Deli Serdang. Namun, pencapaian itu tak menemukan bentuk prakteknya di lapangan. Monang mengenang bagaimana almarhum ayahnya lalu menuju Jakarta untuk menghadap Menteri Dalam Negeri. Hasil dari pertemuan tersebut adalah terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (SK Mendagri) yang diteruskan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Agraria agar ditindaklanjuti Gubernur Sumatera Utara. SK Mendagri tersebut mengatur soal perihal tanah seluas 10.000 hektar yang harus dikeluarkan dari areal HGU PTPIX yang didistribusikan kepada Rakyat Penunggu yang berhak di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang.

Ayah Memberi Teladan, Anak Melanjutkan Perjuangan

Aktivitas sebagai Ketua BPRPI ikut berdampak langsung kepada keluarga Arifin Noeh. Monang, anak bungsunya, mengenang bagaimana keluarganya kemudian selalu berada di bawah pengawasan Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan. Arifin Noeh juga pernah mendekam di dalam penjara akibat perjuangan teguhnya merebut kembali tanah adat Rakyat Penunggu. “Saat Ayah ditahan, Ibu lalu menjadi tulang punggung keluarga. Ayah juga lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, tapi Ibu selalu tetap setia mendukung,” kenang Arifin Saleh. Dukungan tanpa pamrih Rodiah Ginting, istri almarhum Arifin Noeh terhadap perjuangan suaminya, ikut menjadi salah

satu faktor yang melandasi keterlibatan Monang dan kakaknya Harun Noeh di dalam gerakan masyarakat adat Rakyat Penunggu. Harun Noeh bahkan sempat menjadi Ketua BPRPI. Monang sendiri sempat menjabat sebagai Sekretaris Wilayah Medan BPRPI di periode 1998-2003. Empat tahun kemudian, Monang lalu ditunjuk sebagai salah satu bagian dari Pengurus Besar (PB) AMAN, jabatan yang masih diembannya hingga saat ini. Ia adalah salah satu figur kunci di balik suksesnya penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di tahun 2017. Kini Arifin Saleh memutuskan maju sebagai salah satu kandidat calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) wilayah pemilihan Sumatera Utara, daerah pemilih (dapil) 1. “Saya memutuskan untuk bertarung memperebutkan kursi di Senayan karena mengemban dua misi utama. Pertama, untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga kini masih terkatungkatung. Kedua, sebagai juru bicara dan pembawa aspirasi kelompok masyarakat adat dan petani yang selama ini menjadi korban perampasan tanah dan konflik agraria,” jelas Monang. Ia sadar, ia memanggul beban ganda; sebagai anggota komunitas adat Rakyat Penunggu yang masih terus memperjuangkan hak atas tanah ulayat mereka, juga karena teladan yang diwariskan oleh almarhum bapaknya, Arifin Noeh. *** Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

29


SOSOK PARLEMEN

NEGERI TANPA KONFLIK

AGRARIA Andre Barahamin

“SELAMA 4,5 TAHUN, tidak ada konflik agraria.�

Kita bisa hidup tanpa PLTA, tapi tidak bisa hidup tanpa air.

30

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

D

emikian kira-kira pernyataan Joko Widodo (Jokowi) saat meladeni Prabowo Subianto di debat calon presiden, Minggu, 17 Februari 2019. Muhammad Arman tampak terkejut mendengar hal tersebut. Ia lalu tersenyum sinis. Bersama

beberapa kawannya yang lain, Arman sedang menonton debat tersebut dari Rumah AMAN yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Ini adalah sekretariat pusat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi payung masyarakat adat terbesar di dunia. Diperkirakan, sekitar 17 juta orang menjadi anggota melalui 2.332 komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini, Arman menjabat


SOSOK PARLEMEN

sebagai Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) AMAN. Jadi ia paham benar bahwa pernyataan Jokowi bohong besar. Sepanjang tahun 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya telah terjadi 410 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 Kepala Keluarga (KK) di berbagai provinsi di Indonesia. Secara akumulatif sepanjang empat tahun pemerintahan Jokowi (2015 – 2018) telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria. “Ambil contoh kasus pembangunan PLTA di Seko,” kata Arman. Ia merujuk pada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Seko Power Prima di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Ini adalah mega-proyek yang mulai berlangsung sejak 2012. Proyek ini digarap oleh PT. Seko Power Prima, investor asal Tiongkok yang berkolaborasi dengan investor

Indonesia. Proyek ini berencana membangun PLTA berkapasitas 480 megawatt di dataran Seko yang terletak di ketinggian 1800 mdpl (meter di atas permukaan laut). Kasus ini diadvokasi bersama oleh AMAN dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan. Seko merupakan kecamatan terluas dan terjauh di Luwu Utara. Luas wilayahnya mencapai 2.109,19 km2, berada di ketinggian antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan topografi sebagian besar berbukit-bukit. Di sebelah barat, Seko berbatasan langsung dengan Kecamatan Rampi, berbatasan dengan Kabupaten Toraja di bagian timur, dan bagian selatannya berbatasan dengan Kecamatan Sabbang, Masamba serta Limbong. Di bagian utara, Seko berbagi batas darat dengan Kabupaten Mamuju. Seko berada di dataran tinggi pegunungan Tokalekaju yang diapit oleh pegunungan Quarles dan Verbeek. Sarana transportasi untuk mencapai Seko dari kecamatan

terdekat, Masamba, dapat dilakukan melalui jalur udara dengan pesawat perintis, atau jalur darat menggunakan ojek. Jalur darat yang dilalui masih berupa jalan tanah yang memiliki banyak rintangan seperti lebar jalan yang sempit dan kondisi tanah basah sehigga cenderung sulit dilalui kendaraan biasa. Perjalanan menggunakan ojek dapat menghabiskan waktu 2-3 hari. Kesulitan untuk menuju Seko menyebabkan ongkos transportasi menggunakan ojek mencapai Rp 1 juta per orang. Agaknya pemerintah sengaja membuat Seko sulit untuk diakses banyak orang, agar kawasan ini dapat dengan gampang dijadikan kawasan industri dengan ragam investasi yang mencoba masuk dan mengokupasi wilayah Seko. Kecamatan Seko terdiri dari 12 desa, yang semuanya sudah berstatus definitif sejak tahun 2000. Terdapat 9 wilayah adat di Seko yang tersebar di tiga wilayah besar. Seko Padang terdiri dari empat wilayah adat, yakni Hono’, Turong, Lodang, dan Singkalong. Seko Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

31


SOSOK PARLEMEN Tengah terdiri dari tiga wilayah adat, yaitu Pohoneang, Amballong, dan Hoyyane. Sementara Seko Lemo terdiri dari dua wilayah adat yakni Kariango dan Beroppa. “Seko itu seperti negeri di atas awan,” kata Asmar, mantan Direktur Eksekutif WALHI, Sulawesi Selatan. Asmar juga adalah salah satu orang yang sejak awal terlibat dalam advokasi bersama masyarakat Seko yang menolak pembangunan PLTA. Kini, atas persetujuan dan rekomendasi komunitas masyarakat adat dan gerakan lingkungan, Asmar maju sebagai kandidat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari wilayah Sulsel. Seko secara etimologis dalam bahasa setempat berarti ”saudara” atau ”sahabat” atau bisa juga diartikan ”teman”. Sembilan wilayah hukum adat tersebut masing-masing memiliki struktur kelembagaan adat, pembagian batas geografis yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama, dan menerapkan hukumhukum adatnya secara otonom. Dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup bersama (Sang Sekoan) maka ditempuh dengan jalan musyawarah. Ini adalah mekanisme pengambilan keputusan tertinggi yang disebut Mukobo, atau juga sering disebut Silaha-laha. Selain subur dan kaya akan sumber daya alam, Seko juga dikenal sebagai wilayah penghasil beras tarone,kopi dan coklat. Beras tarone adalah salah satu jenis varietas padi unggul khas Seko. Penolakan masyarakat adat Seko terhadap pembangunan PLTA sudah berlangsung sejak tahun sebelumnya. Di akhir tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Luwu Utara menggelar dialog terkait hal ini. Dialog ini mengundang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Utara dan PT. Seko Power Prima. Sosialisasi diadakan di Eno yang merupakan ibukota kecamatan Seko. Bupati Luwu Utara saat itu, Arifin Junaedi juga ikut hadir. Pertemuan tersebut dihadiri oleh semua Kepala Desa, namun tidak melibatkan masyarakat adat Pohoneang dan Hoyane yang lokasi pemukimannya 32

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

berada di dalam kawasan yang akan menjadi lokasi pembangunan PLTA. Hal tersebut menjadi salah satu alasan makin menguatnya penolakan masyarakat adat Seko. “Alasan utama yang disampaikan masyarakat. Pertama, masyarakat adat Seko menilai Pemkab sejak awal tidak transparan dalam rencana pembangunan PLTA ini. Alasan berikutnya adalah mengenai kekhawatiran bahwa keberadaan proyek ini akan mengancam keberlangsungnya struktur sosial dan budaya masyarakat adat Seko yang dibuktikan dengan absennya partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam segala proses terkait proyek ini,” jelas Asmar. Mantan Direktur WALHI Sulsel ini juga menyoroti pengabaian prinsip “persetujuan pembangunan bebas tanpa paksaan” (Free, Prior, and Informed Consent) terkait rencana pembangunan PLTA tersebut. Namun pihak PT. Seko Power Prima bersikeras melanjutkan proyek. Alasannya, mereka telah mendapat Izin Prinsip dari Pemkab Luwu Utara bernomor 02080/00008/IP/BPPTSPM/ IV/2014. Dalam dokumen tersebut tertera beberapa ketentuan yang harus dipatuhi oleh pihak perusahaan. Misalnya, disebutkan bahwa pihak perusahaan harus menghargai hak-hak atas budaya dan adat istiadat yang berlaku di sekitar lokasi kegiatan, melakukan pemberdayaan masyarakat, menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, serta ketentuanketentuan lain. Namun praktik di lapangan, PT. Seko Power Prima justru melakukan pengrusakan terhadap tanaman cokelat milik masyarakat adat. Bersama komunitas adat Pohoneang dan Hoyane, Asmar menemukan bahwa PT. Seko Power Prima telah mengakibatkan hilangnya beberapa situs adat bersejarah masyarakat, hilangnya lahan-lahan pertanian, sumber mata air dan beberapa anak sungai yang menjadi penyangga utama kehidupan masyarakat adat. Menyikapi kesewenangan perusahaan dan dampak buruk yang akan terjadi akibat pembangunan PLTA ini, masyarakat adat Seko lalu

melakukan berbagai aksi penolakan terhadap kehadiran PT. Seko Power Prima di wilayah adat mereka. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melayangkan pengaduan resmi kepada perusahaan. Protes juga dialamatkan ke pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Demonstrasi juga telah beberapa kali digelar. Namun pihak perusahaan dan pemerintah daerah justru merespon balik protes masyarakat dengan melakukan tindakan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi. Pada Oktober 2015, masyarakat Seko yang menolak pembangunan PLTA mendapatkan teror dari Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel. “Banyak masyarakat yang saat itu harus mengungsi ke luar kampung karena ketakutan,” kenang Asmar. Kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan dan aparat terhadap masyarakat adat yang menolak rencana pembangunan PLTA berdampak buruk secara psikologis dan sosial. Selain mengalami ketakutan karena sewaktu-waktu dapat menjadi target kriminalisasi, banyak lelaki yang kemudian terpaksa mengungsi ke dalam hutan karena khawatir akan menjadi korban penyiksaan yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan. Dari data yang dikumpulkan WALHI Sulsel, ada 14 anggota komunitas adat yang menjadi korban kriminalisasi. Beberapa di antaranya bahkan harus dipenjara. Sekitar dua lusin menjadi korban perburuan manusia oleh pihak kepolisian karena ditetapkan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Menurut Asmar, hal tersebut menyebabkan banyak kehidupan keluarga yang terganggu. Kriminalisasi dan intimidasi oleh PT. Seko Power Prima juga memaksa anak-anak untuk menjalani kehidupan yang tidak normal. Perempuan menjadi korban utama karena terpaksa menanggung beban ganda sebagai tulang punggung ekonomi sekaligus korban teror mental yang dilakukan oleh perusahaan. Perempuan dan anak dianggap ikut mendorong membesarnya sentimen anti PLTA di antara masyarakat adat Seko. Muhammad Arman mengatakan


SOSOK PARLEMEN bahwa penolakan masyarakat adat Seko memiliki dasar yang jelas. Mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan sehingga memperbesar potensi pengabaian dan pelanggaran hak masyarakat adat. Sejak awal, rencana pembangunan PLTA tidak memenuhi ketentuan adat yang dikehendaki. “Rencana pembangunan PLTA secara sepihak oleh Pemkab Luwu Utara dan PT. Seko Power Prima ini justru melanggar Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2004 (Perda No.12/2004) tentang Pelestarian Lembaga Adat di Luwu Utara. Selain itu juga, proyek ini mengabaikan Surat Keputusan Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 (SK Bup. No.300/2004) tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko,” jelas Arman. Januari 2015, sosialisasi AMDAL kemudian dilakukan. Dalam sosialisasi tersebut terungkap bahwa ada dua perusahaan yang akan mengerjakan PLTA ini. Nama perusahaan baru muncul selain PT. Seko Power Prima, yaitu PT. Seko Power Prada. Jika PT. Seko Power Prima akan membangun bendungan di desa Embonatana dan Tanamakaleang, maka PT. Seko Power Prada akan melangsungkan proyeknya di Mallimongan. PLTA ini rencananya akan

membendung sungai dengan ketinggian 15 sampai 17 meter. Juga membangun terowongan berdiameter 8×8 meter sepanjang 12 kilometer dengan kedalaman mencapai 40 meter. Masyarakat adat Seko menilai rencana pembangunan PLTA ini terkesan dipaksakan mesti terus mendapat penolakan. Salah satu indikasinya adalah upaya pengusutan oleh Kejaksaan Negeri Luwu Utara di tahun 2015 karena dugaan gratifikasi oleh PT. Seko Power Prima yang diterima oleh Pemkab Luwu Utara. Gratifikasi itu berupa biaya perjalanan studi banding sejumlah pejabat terkait di Pemkab Luwu Utara ke Tiongkok, yang dibiayai PT. Seko Power Prima. Namun rencana pengusutan tersebut berakhir tanpa kejelasan. Penolakan masyarakat Seko terhadap pembangunan PLTA bukan tanpa alasan. Menurut Asmar, pembangunan PLTA berpotensi mendegradasi kearifan dan pengetahuan lokal, nilai-nilai sosial dan sumber penghidupan turun-temurun di kawasan dataran tinggi Tokalekaju. Ia juga mensinyalir bahwa pembangunan PLTA sebagai pintu masuk untuk mengeruk sumber daya alam di wilayah Seko. “Sudah banyak pengalaman

yang dapat menjadi contoh. PLTA kemudian akan menjadi karpet merah bagi usaha pertambangan dan pembabatan hutan yang merusak daya dukung ekologis. Jika itu terjadi, kerusakan lingkungan dan sosial sudah tinggal menunggu waktu,” kata Asmar. Penolakan terhadap pembangunan PLTA di Seko juga berarti upaya menyelamatkan lingkungan yang lebih luas. Semasa menakhodai WALHI Sulsel, Asmar menyadari posisi vital Seko secara ekologis. Dataran tinggi Seko yang merupakan bagian dari kawasan tinggi Tokalekaju, berfungsi sebagai ”menara air” bagi masyarakat di tiga provinsi di Sulawesi, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan tentu saja Sulawesi Selatan. “Air itu sumber masa depan. Tanpa air, kita tidak bisa hidup. Kita bisa hidup tanpa PLTA, tapi tidak tidak bisa hidup tanpa air,” pungkas Asmar. ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

33


SOSOK PARLEMEN

Wakil masyarakat adat Ngata Toro maju untuk berebut kursi parlemen demi memastikan UU Masyarakat Adat segera disahkan.

Rukmini Paata Toheke, nama lengkapnya, dikenal sebagai tokoh pejuang perempuan adat dari Ngata Toro.

S

RUKMINI PAATA TOHEKE: Perjuangan Parlemen demi Perlindungan Masyarakat Adat Mina Susana Setra & Andre Barahamin 34

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

ejak pengujung 1990-an, ia berjuang memasukkan perempuan dalam lembaga adat. Berkat perjuangannya, kini perempuan sudah bisa duduk dalam lembaga adat. Ia adalah pendiri Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT) dan pernah menjabat sebagai Direktur organisasi ini selama satu dekade. Perjuangan Rukmini dimulai ketika lembaga adat mengalami degradasi hebat di dekade terakhir menjelang reformasi. Kondisi saat itu mengakibatkan perempuan di Ngata Toro, tidak memperoleh kesempatan dalam berbagai proses pengambil kebijakan desa. Termasuk di dalamnya menentukan kebijakan soal lahan dan tata gunanya. Kegelisahan Rukmini disebabkan oleh terdomestikasinya peran perempuan adat. Akibatnya, kaum lelaki di Toro, tidak lagi mengindahkan bagaimana pembagian warisan lahan dan mengambil keputusan secara sepihak tanpa melibatkan perempuan. Di tahun 1993, Rukmini dan perempuan adat Ngata Toro mulai menggagas pertemuan-pertemuan informal antar desa. Ini menjadi ruang bagi mereka mendiskusikan berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi. Diskusi informal ini terus meluas dengan pelibatan organisasi lain di luar komunitas adat Ngata Toro. Saat itu, Rukmini belum lama lulus sekolah menengah atas. Pertemuan tersebut dimulai dengan membangun rumah adat (lobo). Fungsinya, sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah. Pembangunan rumah


SOSOK PARLEMEN

adat adalah capaian penting dalam perjuangan perempuan adat di komunitas Ngata Toro. Rumah adat merupakan simbol sentral identitas masyarakat Toro, yang menjadi langkah awal untuk OPANT memulai pendokumentasian kembali aturanaturan adat, lembaga kepemimpinan lokal serta berbagai praktik-praktik ekologis tradisional. Kegiatan ini dilakukan guna membangun basis, sekaligus menjadi landasan dan ruang Orang Toro melakukan proses negosiasi dengan berbagai pihak. Di kampungnya di Ngata Toro, Sulawesi Tengah, Rukmini merupakan seorang Tina Ngata, yakni gelar yang disematkan kepada perempuan yang dinilai bijaksana untuk berperan sebagai pengayom dalam kehidupan sosial di kampung. Rukmini menyadari, ada ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan adat dalam sistem yang berlaku di komunitas, terutama terakit pengambilan keputusan. Hal itu mendorongnya untuk menyuarakan hak-hak perempuan adat, mulai dari kampungnya sendiri. Bersama perempuan adat di Ngata Toro, ia mendirikan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT). Ia berkhidmat sejak tahun 1984, dan baru mendapat pengakuan pada tahun 2001. “Pada awalnya, sedikit ada pertentangan dari tokoh adat, setelah kami meyakinkan, mereka akhirnya menghormati, dan mengakui hak

perempuan adat� ungkapnya. Perjuangan berbuah hasil baik. Kini pengakuan itu telah diraih. Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat Sulteng telah mengakui dan menghormati fungsi perempuan adat dalam lembaga adat. Rukmini adalah inisiator dibalik peraturan itu. Kemerdekaan perempuan adat adalah harga mati, demikian semangatnya. Tak hanya itu, Rukmini juga aktif menyuarakan hak-hak Masyarakat Adat di level nasional dan internasional. Ia pernah berbicara di Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Masyarakat Adat atau UNPFII; di Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC); juga di Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD). Berbagai forum di tingkat regional Asia juga menjadi ajang bagi Rukmini menyuarakan hak-hak dan kearifan lokal Masyarakat adat. Pada tahun 2012, ia terpilih sebagai Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk periode 2012-2017. Atas berbagai prestasinya, Ibu Rukmini masuk dalam 100 Most Influental Youth, Women, dan Netizen 2011, dari Masketeers. Kemudian meraih Indonesia Berprestasi Award 2011 dari PT XL Axiata Tbk (XL) untuk kategori Seni dan Budaya. Ia juga mendapat Indihome Women Awards 2014 untuk kategori Pelestari Alam

dan Adat. Rukmini hampir menjadi korban ketika bencana tsunami dan likuifaksi menghantam Sulawesi Tengah, Oktober 2018. Berjuang melawan arus yang menyeretnya, Rukmini berhasil menyelamatkan diri dan langsung bergabung dengan Posko Tanggap Darurat AMAN di Palu. Dalam waktu singkat, ia bangkit dari traumanya dan menjadi Koordinator Juru Lobby Tanggap Darurat AMAN dan ikut mendistribusikan bantuan sosial di 27 Komunitas Adat dan 95 Desa. Ia juga tergabung dalam Gugus Tugas Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk memastikan proses pemulihan terhadap perempuan dan anak pasca bencana. Meski hampir menjadi korban, langkahnya tak surut menolong sesama. Kini, Rukmini memilih jalur politik untuk memperkokoh perjuangan Masyarakat Adat. Ia maju sebagai Calon Anggota DPR RI Partai Kebangkitan Bangsa Nomor Urut 6 dari Dapil Sulawesi Tengah. Baginya, politik itu soal optimis. Yakin untuk sukses. Tak ada yang terwujud tanpa harapan dan kepercayaan. Mari berjuang bersama, pilih Rukmini! ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

35


SOSOK PARLEMEN

TROYANUS KALAMI: Orang Moi Menuntut Pengakuan Hingga Mengutus Perwakilan Yayan Hidayat Landasan hukum adalah cara untuk memastikan eksistensi kearifan lokal Masyarakat Adat Moi.

“Perusahaan mau tambah areal eksploitasi. Dia ambil saya punya wilayah adat, sedangkan sudah bikin saya sebagai budak, baru mau tambah lagi? Saya mau makan di mana dan terus anak saya mau makan apa?� ungkap Lukas Gilikgeram.

W

ajar saja, ekspansi perkebunan sawit PT. Henrison Inti Persada pada 2014 turut menggerus wilayah adatnya. Tak ada pengakuan dan perlindungan hukum Masyarakat Adat Moi kala itu. Lukas Gilikyang terus ditekan hingga terpaksa menyerahkan hutan adatnya. Henrison Inti Persada adalah anak perusahaan dari China National 36

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Cereals, Oils, and Foodstuffs Corporation (COFCO) yang merupakan Badan Usaha Milikk Negara (BUMN) China terbesar di bidangnya. COFCO adalah satu dari empat raksasa perusahaan yang langsung dikendalikan oleh negara. Didirikan pada tahun 1952, di tahun 2007 saja COFCO sudah memiliki 60.000 pegawai dan beroperasi di 14 negara, termasuk Tanzania, Indonesia, UK, US, Jepang, Australia, Kanada, Malaysia, Sri Lanka dan Republik Demokratik Kongo. COFCO yang terdaftar dan berkantor pusat di Hongkong beroperasi melalui empat gurita utamanya: China Foods, China AgriIndustries Holdings, Mengniu Dairy dan COFCO Packaging Holdings. Untuk kasus Mimika, konsesi PT.

Pusaka Agro Lestari yang merentang dari hulu sungai Komoro di bagian timur hingga sungai Mimika bagian barat, tidak jauh dari jalan trans Paniai-Timika. Dampak langsung dari adanya konversi hutan menjadi perkebunan sawit pada akhirnya menyebabkan aliran sungai menjadi dangkal, sehingga menjadi muasal terjadinya air pasang dan banjir bandang. Di tahun 2015, kampung Miyoko dan Aikwapuka, distrik Mimika Tengah menjadi contoh korban akibat investasi yang tidak ramah lingkungan ini. Pada April 2014, Henrison Inti Persada telah membabat hutan lebih dari 100 hektar untuk pengembangan lahan kelapa sawit baru di Tulungwares, Kampung Malalilis. Salah


SOSOK PARLEMEN

satu ruang hidup Masyarakat Adat Moi, Sorong, Papua Barat. Sejak tahun 31 Oktober 2007 Henrison Inti Persada secara bertahap telah menguasai lebih dari 20.000 hektar melalui izin Hak Guna Usaha (HGU), dengan luas mencapai 13.955 hektar (ha). Untuk HGU tertanggal 30 Agustus 2010, luas konsesi mereka mencapai 3.177 ha. Masih disusul dengan HGU yang rilis 25 Januari 2011, mencaplok 199 ha. Masih dilanjutkan seluas 5.416 ha yang dirilis 12 November 2013. Di Kampung Malalilis, Henrison Inti Persada tidak pernah mengakui atau memberi ganti rugi kepada Marga Do dan Marga Gilik. Dua marga yang merupakan bagian dari Masyarakat Adat Moi yang hutannya telah digerus untuk lahan perkebunan baru di Tulugunwes. Di Klamono, Kepolisian Sektor (Polsek) bahkan pernah memanggil dan memeriksa salah satu Masyarakat Adat Moi sebagai tersangka pelaku tindak pidana pengancaman. Ia dilaporkan oleh salah seorang manager perusahaan Henrison Inti

Persada pada awal April 2014. Aksi tersebut dipicu oleh upaya Orang Moi untuk menuntut hak mereka atas tanah yang dirampas perusahaan. Sejak awal, Masyarakat Adat Moi di Kampung Malalilis mengeluhkan aktivitas eksploitasi yang dilakukan Henrison Inti Persada. Selain tindakan kriminalisasi dan perampasan yang kerap mereka terima, ekspansi PT HIP hingga ke pinggiran Sungai Klasavit, telah mencemari sumber air bersih warga. Kebun sagu sebagai sumber pangan utama pun rusak parah. Kampung Malalis adalah salah satu dari sekian wajah agresi pembangunan yang terjadi di atas wilayah adat Suku Moi. Dalih pembangunan telah merampas ruang hidup Masyarakat Adat Moi. Ekspansi dan eksploitasi pun dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik hak ulayat. Ketiadaan pengakuan dan perlindungan hukum betul-betul membuat Masyarakat Adat Moi menderita. Kaya akan sumber daya alam peninggalan leluhur, namun tak dapat dinikmati. Selama berpuluh

tahun, kebijakan yang lahir justru merampas hak Masyarakat Adat Moi.

Menuntut Pengakuan “Kami mempertanyakan mengapa setelah begitu lama, Peraturan Daerah (Perda) masih belum disahkan? Ada apa ini?” tukas Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami. Sejak lama memang Masyarakat Adat Moi menantikan kehadiran Perda yang mengakui dan melindungi hak mereka dalam berbagai aspek kehidupan, seperti perlindungan terhadap tanah, hutan, sumber daya alam, kebudayaan, dan sekaligus sebagai solusi untuk menghindari perampasan yang akan terjadi di masa mendatang. Namun, sampai Oktober 2016 belum ada titik terang pengesahannya. Hal ini yang membuat Silas Kalami resah. “Tidak ada itikad baik pemerintah, padahal kami sudah sangat menderita” ungkap Silas. Keresahan tersebut disebabkan Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

37


SOSOK PARLEMEN oleh fakta bahwa sejak dekade terakhir hak-hak Orang Moi telah diretas oleh korporasi tanpa tedeng aling-aling. Silas Kalami betul-betul jengah, hingga ia mendatangi Kantor Bupati Sorong bersama Masyarakat Adat Moi lainnya. “Kami menuntut agar DPRD Kabupaten Sorong segera mensahkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, tanpa ditunda-tunda lagi” tambahnya. Itu sebabnya, konsolidasi dilakukan agar supaya suara masyarakat adat dapat didengar. Hasil positifnya adalah, adanya keterwakilan Orang Moi sejak 2014 di dalam Parlemen. Troyanus Kalami, sukses dikirim untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Kabupaten Sorong. Ia diutus dan dimandatkan untuk memperjuangkan kepentingan Masyarakat Adat Moi melalui jalur politik. Tori -sapaan akrabnya- menjadi penyambung lidah Masyarakat Adat Moi di dalam Parlemen. Ia termasuk salah satu utusan yang aktif menyuarakan kepentingan Masyarakat Adat Moi, termasuk soal Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Sebagai utusan politik Masyarakat Adat, Tori sadar betul bahwa ia harus mengedepankan kepentingan Masyarakat Adat yang mengutusnya. . Melalui parlemen, Tori adalah salah satu utusan yang paling depan memastikan Perda pengakuan dapat dibahas dan disahkan.

Jika pembahasan “macet”, kerap Tori bersama Masyarakat Adat Moi melakukan demonstrasi menuntut Perda segera disahkan ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten Sorong. Tori paham betul, ia adalah perantara yang membuka jalan Masyarakat Adat Moi untuk turut berpartisipasi menyuarakan kepentingannya di Parlemen. “Sebagai utusan politik Masyarakat Adat, agenda paling inti adalah bagaimana kita hadir dan mengintervensi sistem birokrasi yang selama ini cenderung memperlebar jurang kemiskinan, kita harus menjadi pelayan Masyarakat Adat yang baik” kelakar Tori. Sejak tahun 2000, Tori memang sudah tumbuh dan berjuang bersama Masyarakat Adat Moi. Ia aktif menggeluti isu hak asasi manusia dan reforma agraria. Berbekal pengalaman ini, menjadi panduan Tori dalam berjuang di jalur legislatif. Hal ini sekaligus yang mendasari perjuangannya mendorong pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi. Jalan panjang, berliku dan terjal mewarnai perjuangan Masyarakat Adat Moi menuntut pengakuan hak dan perlindungan hukum. Tori bersama Masyarakat Adat Moi berhasil mengesahkan Perda No. 10 tahun 2017 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Suku Moi. Sebuah pengharapan panjang, hingga menemukan titik terang. Setidaknya, Perda ini dapat menjadi instrumen untuk meretas agresi pembangunan yang kerap menggerus wilayah adat. “Secercah harapan untuk generasi Suku Moi mendatang, mudah-mudahan kami tak lagi melihat buldoser menggerus hutan dan wilayah adat kami. Kami pun dapat berdaulat di atas wilayah adat peninggalan leluhur kami” tutup Tori.

Kembali Bangkit Pasca-pengesahan Perda, Tori bersama Masyarakat Adat Moi melanjutkan perjuangannya. Ia mencoba mendorong Pemerintah Kabupaten Sorong untuk menghadirkan Peraturan Bupati 38

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


SOSOK PARLEMEN (Perbup) tentang hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan dan perlindungan hutan, setelah sebelumnya menetapkannya untuk sumber daya laut di Kampung Malaumkarta. Perbup tersebut penting untuk dirancang sebagai tindaklanjut Perda Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi. Alhasil, kini Bupati Sorong Johny Kamuru berkomitmen untuk segera mempersiapkan Perbup tersebut. “Setelah Perda memang harus ditindaklanjuti dengan Perbup, dan saat ini sedang berproses. Memang harus ada nantinya peraturan yang sama untuk menjaga hutannya” pungkas Kamuru. Setelah pengesahan Perda, bukan berarti perjuangan selesai. Tori bersama Masyarakat Adat Moi bahumembahu untuk mengembalikan ruang hidup mereka yang sebelumnya digerus korporasi. Saat ini, Tori sedang getol mengusulkan perluasan nilai Egek dalam menjaga dan melindungi sumber daya alam. Egek adalah kearifan lokal Masyarakat Adat Moi di Kampung Malaumkarta dalam menjaga laut. Egek bahkan mampu menghasilkan sampai dengan Rp 200 juta per “panen”. Tori mengusulkan untuk kearifan lokal ini dapat diakui oleh Pemerintah Kabupaten Sorong. Egek membatasi penggunaan alat tangkap yang membahayakan bagi keberlanjutan sumber daya alam seperti jaring, potasium. Masyarakat Adat hanya diperbolehkan menangkap ikan dengan cara Yikmen (mengail), Yafan (memanah) dan Yakalak (menombak) Tori mengusulkan pengakuan penerapan Egek di kawasan hutan Masyarakat Adat Moi. “Egek ini juga kita coba bawa ke ranah lebih luas. Dengan mempromokan dana yang bisa terkumpul bisa untuk pembangunan gereja, selain ada nilai kearifan lokal yang diangkat” ujar Tori. Bagi Tori, memastikan Egek diakui dan memiliki landasan hukum

adalah salah satu cara untuk terus memastikan eksistensi kearifan lokal Masyarakat Adat Moi. Sedikit demi sedikit, Masyarakat Adat Moi kembali bangkit. Perda membuka jalan baru untuk kembali mereklaim hak yang digerus oleh korporasi. Hidup dengan kekayaan sumber daya alam peninggalan leluhur tentu patut dijaga dan dikelola sendiri secara mandiri oleh Masyarakat Adat Moi.

Melanjutkan Perjuangan Apa yang sudah dilakukan oleh Tori bersama Masyarakat Adat Moi adalah langkah awal menapaki perjuangan yang lebih panjang. Kini, Troyanus Kalami kembali

diutus oleh AMAN dan komunitas Masyarakat Adatnya untuk melanjutkan perjuangan. Ia memutuskan maju sebagai Calon DPRD Kabupaten Sorong dari Partai Hanura nomor urut 4 Dapil 2 Kabupaten Sorong. Perjuangan panjang Tori bersama Masyarakat Adat Moi adalah perjuangan untuk merebut kembali hak-hak mereka yang terampas dekade ke belakang. Maka dari itu, dengan memastikan Tori terpilih adalah langkah untuk kembali melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat. ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

39


SOSOK PARLEMEN

MUCHTAR LUTHFI MUTTY: Melanjutkan Perjuangan yang Belum Tuntas Abdi Akbar & Andre Barahamin

Sistem kerja parlemen yang tidak berkelanjutan menyadarkan Opu Luthfi bahwa perjuangan mendorong RUU Masyarakat Adat akan kembali ke garis awal. “Segala macam paparan yang disampaikan aparat pemerintah terkait persoalan Masyarakat Adat merupakan angin surga,” kata Muchtar Luthfi Mutty. Pendapat ini kemudian disambut tepuk tangan peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V.

H

al tersebut disampaikan Mutty saat ia didaulat sebagai salah satu pembicara di Simposium Tata Negara dan Reorganisasi Kelembagaan Negara yang merupakan salah satu tema pembahasan dalam KMAN V yang dihelat di Tanjung Gusta, Kampung Rakyat Penunggu, Medan, Sumatera Utara pada Maret 2017. Ia sedang menjabat sebagai Anggota Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Opu Luthfi, begitu pria kelahiran Masamba, 1 September 1956 ini disapa. Terlahir sebagai sosok sederhana, visioner dan berintegritas. Ia sempat menjabat sebagai Pejabat 40

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Bupati Luwu Utara di tahun 1999, sebelum kemudian menduduki posisi tersebut selama 10 tahun, hingga tahun 2009. Selama rentang masa kepemimpinan tersebut, Opu Luthfi kemudian secara alamiah menjadi simpatisan hingga kemudian menjadi salah satu aktor penting di balik dinamika perjuangan Masyarakat Adat di Luwu Utara dalam memperjuangkan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hakhaknya. Penanda penting keberpihakannya dengan gerakan Masyarakat Adat adalah terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Luwu Utara No.300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Usai menjabat sebagai Bupati, Opu Luthfi lalu diminta untuk menjadi menjadi Staf Khusus Wakil Presiden (Wapres) Boediono, hingga tahun 2014. “Selama menjadi Staf Khusus Wapres, saya belajar lebih banyak soal kepentingan masyarakat di daerah. Terutama seputar tanggung jawab saya soal penanggulangan kemiskinan dan otonomi daerah. Lima tahun itu, saya menemukan bahwa otonomi daerah dan pengentasan kemiskinan akan sulit diwujudkan bagi Masyarakat Adat tanpa adanya Undang-Undang khusus yang mengaturnya,” kata Opu Luthfi. Pada saat menjabat sebagai Staf Khusus Wapres Boediono, Opu Luthfi juga ikut berperan dalam lahirnya Deklarasi 9 Kementrian dan Lembaga tentang “Pengukuhan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat”. Deklarasi ini ditandatangani di Istana Wakil Presiden pada tanggal 1 September 2014, dan hingga kini masih dinilai sebagai salah satu capaian penting dalam jatuh bangun gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Ia lalu memutuskan untuk ikut bertarung dalam perebutan kursi

sebagai Anggota DPR-RI di Pemilihan Umum Anggota Legislatif (Pileg) 2014. Maju melalui Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan III. Perjuangan ini tidak sia-sia karena dengan dukungan 39.828 suara, Mutty terpilih sebagai salah satu wakil rakyat Sulawesi Selatan di Senayan. Mantan Camat Wotu di tahun 1987 ini menyadari bahwa perjuangannya setelah menjadi Anggota DPR-RI menjadi lebih berat. “Saya tidak hanya menjadi perwakilan Masyarakat Adat di Dapil dari mana saya terpilih, atau hanya di Sulawesi Selatan saja. Saya kini adalah wakil rakyat, terlebih khusus wakil Masyarakat Adat. Tidak hanya yang berada di Sulawesi Selatan, tapi juga di Indonesia,” ungkapnya. Sebagai Anggota DPR RI periode 2014-2019, melalui Fraksi Partai Nasdem, Opu Luthfi merupakan salah satu sosok penting pengusul Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat. Meski dia menyadari bahwa perjuangannya untuk mendorong RUU Masyarakat Adat agar dapat disahkan menjadi Undangundang bukan perkara gampang, namun tiada jalan mundur. Juli 2018, secercah kabar gembira muncul. RUU Masyarakat Adat yang lama dinanti, secara resmi mulai dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR-RI bersama Pemerintah. Di tahun 2019, terbit Surat Perintah Presiden (Supres) terkait pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama enam kementerian. Lembaga-lembaga yang dimaksud yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi


SOSOK PARLEMEN (Kemendes-PDTT). Walau hingga kini nasib RUU Masyarakat Adat tak kunjung jelas. Hal diakibatkan oleh sikap abai Pemerintah yang tak kunjung mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kepada DPR-RI. Bagi Opu Luthfi, RUU Masyarakat Adat adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang dinilainya akan menjadi salah satu alat kontrol sekaligus alat ukur hadirnya negara di tengah-tengah Masyarakat Adat. “Melalui UU Masyarakat Adat ini kami ingin memastikan bahwa negara hadir. Selain fakta bahwa, janji menetapkan RUU Masyarakat Adat sebagai UU juga merupakan janji Presiden Jokowi dalam Nawacita,” jelasnya. Pria asal Tana Luwu ini meyakini bahwa hadirnya UU Masyarakat Adat akan mempermudah upaya dan perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia - yang tersebar dari Sumatera hingga Papua - untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan. UU Masyarakat Adat diyakini Opu Luthfi adalah jaminan hukum terhadap hakhak Masyarakat Adat sebagai pewaris budaya leluhur dan pemilik tanah ulayat yang sah dan warga negara yang telah mendiami wilayah republik jauh sebelum negara bernama Indonesia hadir di tahun 1945.

Perjuangan yang Belum Tuntas Januari 2019, saat membacakan Catatan Akhir Tahun (Catahu) AMAN 2018, Sekretaris Jendral (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa mengambangnya pembahasan dan penetapan RUU Masyarakat Adat menjadi UU adalah bukti jelas pengingkaran Joko Widodo terhadap enam poin komitmennya dalam Nawacita terkait Masyarakat Adat. Ketidakjelasan komitmen tersebut dianggap Rukka sulit dipenuhi jika melihat waktu tersisa yang dapat digunakan Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan agenda-agenda Masyarakat Adat yang dicantumkan dalam Nawacita seperti pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral

yang merugikan dan melanggar hakhak Masyarakat Adat, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa di wilayah ulayat, melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, Tahun 2012 (MK 35/2012) dan melakukan pemulihan terhadap Masyarakat Adat yang menjadi korban kriminalisasi. Dalam Seminar dan Lokakarya Advokasi: Wajah Pemerintahan JokowiJK dan Masa Depan Masyarakat Adat, Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa beberapa kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan beban baru bagi Masyarakat Adat. “Banyak kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat sangat jauh dari esensi. Salah satu contohnya adalah RUU Masyarakat Adat. Justru, pemerintahlah yang kini berupaya menghambat pengesahan RUU Masyarakat Adat. DIM (Daftar Inventaris Masalah) kini tak kunjung diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR-RI. Ibaratnya, sekarang justru Pemerintah yang melempar bola (RUU Masyarakat Adat) keluar lapangan,” tegas Rukka. Sekjen AMAN menilai, Jokowi justru tampak pasif dan tidak mau mengambil inisiatif untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Salah satu bukti yang disodorkan AMAN adalah fakta bahwa produk hukum pengakuan Masyarakat Adat justru lahir dari inisiatif utusan politik AMAN di legislatif. Sosok yang dirujuk Rukka tidak lain adalah Luthfi Mutty, yang menjadi juru bicara tunggal isu dan kepentingan Masyarakat Adat di DPR-RI. Bagi AMAN yang beranggotakan lebih dari 2.366 komunitas adat dengan populasi mencapai lebih dari 20 juta jiwa, ditetapkannya RUU Masyarakat Adat sebagai UU adalah harga mati yang tidak dapat dinegosiasikan. Pemilu bukan hanya soal perebutan kekuasaan semata, tapi proses yang akan menentukan nasib Masyarakat Adat dan bangsa ini kedepannya. “Kita sudah tahu, tanpa berpolitik tidak mungkin mempengaruhi kebijakan publik. Sebabnya adalah tidak akan ada perubahan kebijakan bagi Masyarakat Adat kalau Masyarakat Adat tidak ikut berpartisipasi di dalam proses politik,” kata Rukka Sombolinggi. Keputusan politik tersebut lalu

dibahas secara mendalam dan disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN yang berlangsung di Koha, Minahasa, Sulawesi Utara pada bulan Maret 2018. Para utusan politik diputuskan untuk mewakili gerakan Masyarakat Adat melalui beragam partai politik. Salah satu yang direkomendasikan adalah Muchtar Luthfi Mutty, yang kembali mencalonkan diri melalui Partai Nasdem, dari Dapil Sulawesi Selatan III, Nomor Urut 2. Opu Luthfi menyadari pentingnya mandat yang dibebankan ke pundaknya. Sebagai orang yang sudah hampir lima tahun berjuang di Senayan menggaungkan tuntutan Masyarakat Adat, ia sadar bahwa perjuangan mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi UU adalah jalan ideologis sekaligus harapan bersama jutaan Masyarakat Adat di Indonesia. “RUU tentang Masyarakat Adat ini sudah dibahas oleh DPR-RI periode lalu (2009-2014). Tapi ini tidak berhasil digolkan menjadi UU. Hal ini tentunya disebabkan oleh adanya persoalan besar. Salah satunya adalah sistem kerja DPR-RI yang tidak menganut sistem Carry over (tidak bisa berlanjut ke periode berikutnya). Jadi apa yang sudah dibahas oleh DPR periode saat ini meskipun telah mencapai 99% tapi jika belum disahkan, tetap tidak bisa dilanjutkan oleh DPR periode nanti. Semuanya harus dimulai dari nol lagi,” tegasnya. Sistem kerja parlemen yang tidak berkelanjutan menyadarkan Opu Luthfi bahwa jika ia terpilih, perjuangan untuk mendorong RUU Masyarakat Adat akan kembali ke garis start. “Saya memutuskan menerima mandat Masyarakat Adat karena sadar betul, perjuangan belum selesai. Masih ada yang belum tuntas, dan tidak ada pilihan selain kembali ke Senayan dan menggolkan UndangUndang Masyarakat Adat,” tutup Opu Luthfi. Memberi Bukti Bukan Janji – merupakan slogan yang ia usung dalam kampanyenya. Slogan tersebut tentu sangat mewakili konsistensinya sejak sebagai birokrat hingga menjadi politisi. Mari temani Opu berjuang, jangan biarkan orang baik berjuang sendirian *** Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

41


KRITIK PEMILU

TUNA AKSARA

DILARANG MEMILIH Andre Barahamin

Potensi kecurangan membayangi karena pemilu tak ramah kepada mereka yang tuna aksara. “Saya tidak bisa baca dan tulis. Jadi susah untuk memilih. Karena nanti sudah tidak lagi pakai foto kata mereka,” ujar Uri, warga Komunitas Balay Juhu. Perempuan ini adalah satu di antara ratusan orang Dayak Meratus yang tersebar di 28 Balay di Kecamatan Alai Batang Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, yang memiliki hak pilih. Balay adalah penyebutan untuk rumah adat Dayak Meratus. Ini adalah ruang hunian kolektif yang sekaligus menjadi tempat berlangsungnya ritual bagi Dayak Meratus, sebutan lain bagi orang-orang Bukit. Hartatik dalam Jejak Budaya Meratus dalam Perspektif Etnoreligi (2017) menulis, sebelum disebut sebagai Dayak Meratus, orangorang ini dulu dikenal sebagai Dayak Bukit. Penyebutan ini dikarenakan lokasi tinggal mereka yang berada di bukit di sepanjang perbukitan Meratus.

M

ereka dikenal nomaden. Tetapi sejak tahun 2004, sebagian di antara mereka telah hidup menetap di Kampung PMT (Permukiman Masyarakat Terasing) Muara Malungai. Dalam “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus, Kalimantan Selatan” -terbit sebagai salah satu bab dalam Hutan untuk Masa Depan: Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia, Andy Syahruji menjelaskan bahwa asal-usul nenek moyang Dayak Meratus berasal dari daerah dataran rendah sampai pesisir. Setelah banyak pendatang, yang umumnya pedagang orang Banjar 42

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Salah satu warga Dayak Adat Meratus yang tidak bisa baca tulis @DokumenAMAN

atau lainnya, masyarakat adat Dayak Meratus berangsur-angsur pindah ke arah hulu-hulu sungai dan pegunungan Meratus. Proses ini lebih disebabkan karena perbedaan budaya dan upaya mempertahankan diri. Konflik sosial yang berkepanjangan yang berlatar belakang isu keyakinan dan ekonomi, terutama penyebaran agama dan penguasaan lahan-lahan pertanian yang subur membuat masyarakat Dayak Meratus bertahan di pegunungan Meratus hingga kini. Dayak Meratus memang tak pernah sepi dari konflik. Tanah adat mereka yang kaya sering menjadi incaran investasi. Di bulan Oktober 2014, Mongabay Indonesia melaporkan terjadinya penembakan oleh Kepolisian Resor (Polres) Tanah Bumbu, Ulu Sungai Selatan yang mengakibatkan satu orang anggota komunitas Dayak Meratus tewas. Tiga orang lainnya mengalami luka serius. Peristiwa ini dipicu oleh tuduhan tentang praktek illegal logging oleh anggota komunitas Dayak Meratus di wilayah konsesi PT. Kodeko Timber, pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Tuduhan ini dianggap tidak masuk akal oleh Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kalimantan Selatan (Kalsel), Yasir Al Fatah. “Kawasan konsesi perusahaan tersebut berada di dalam wilayah adat Batu Lasung. Masyarakat melawan karena merasa tidak bersalah mengambil kayu di atas tanah adat mereka.” Kriminalisasi seperti itu tak berhenti. Di tahun 2017, dua tokoh adat Dayak Meratus menjadi korban kriminalisasi oleh Polres Tanah Bumbu dan Kota Baru, Kalsel. Trisno Susilo, Sekretaris AMAN Tanah Bumbu di tangkap dan di tahan di LP Kota Baru. Trisno dituduh menduduki dan mengolah kawasan hutan yang bukan hak miliknya. Ini tuduhan lama, yang pertama kali disangkakan pada tahun 2011. Penahanan sempat kemudian ditangguhkan pada waktu itu. Setelah 6 tahun berstatus tersangka

tanpa proses pengadilan, Kepolisian Tanah Bumbu kembali membuka kasus tersebut. Pemicunya adalah menguatnya perjuangan Masyarakat Adat Dayak Meratus terhadap PT. Kodeko Timber. Pada 10 Februari 2017, Apai Trisno ditangkap dan ditahan. Empat hari kemudian, ia disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Batulicin, Tanah Bumbu, Kalsel. Selain Trisno, pimpinan Masyarakat Adat Dayak Meratus lain bernama Manase Boekit juga ditetapkan sebagai tersangka kemarin pada 10 Februari tahun itu. Manase dituduh sengaja menyuruh, mengorganisir, menggerakan, melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Tidak hanya dengan melakukan penangkapan, anggota kepolisian bersenjata lengkap secara aktif meneror perkampungan warga di Kampung Napu, Kamboyan, Kambulang, Batulasung, Tuyan dan Alut yang bermukim di kawasan hutan adat Dayak Meratus. Targetnya adalah figur-figur kunci yang aktif menolak keberadaan PT. Kodeco Timber yang merusak kawasan hutan adat Dayak Meratus. Selain HPH, cadangan batu bara juga menjadi sebab terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat Dayak Meratus. Berdasarkan riset Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi – Badan Geologi (PSDG) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), potensi tambang di wilayah adat Dayak Meratus terdapat di dua kecamatan; Batang Alai Timur dan Haruyan. Di Batang Alai Timur, terdapat 15 juta ton dengan nilai panas 5.000-6.000 Kilo Kalori (kkal) per kilogram sedangkan di Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton, dengan nilai kalori mencapai 6.0007.000 kkal per kilogram. Potensi tersebut tentu menggiurkan bagi para pecinta energi fosil. Tahun 1995, di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, pernah terbit izin Kuasa Pertambangan (KP) batubara yang akhirnya dicabut pada tahun 2002 karena disalahgunakan. Namun saat ini, dilaporkan Kantor Berita ANTARA,


KRITIK PEMILU ada dua perusahaan besar yang mengantongi izin dari pemerintah pusat sebagai pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Dua perusahaan tersebut yaitu PT. Antang Gunung Meratus dengan luas arealnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah mencapai hingga 3.242 hektar, dan PT. Mantimin Coal Mining yang memgantongi ijin dengan bahan galian seluas 1.964 hektar. Meskipun rencana pertambangan batu bara ini mendapatkan penolakan dari masyarakat, namun dua perusahaan tersebut dan Pemerintah Pusat tampak tak peduli. Di tahun 2017, Antang Gunung Meratus justru memasang patok di tanah milik warga secara diam-diam di zona wilayah yang termasuk di dalam PKP2B di tiga kecamatan; Haruyan, Hantakan dan Alai Batang Selatan. Tindakan ini direspon oleh Bupati Hulu Sungai Selatan dengan mengeluarkan surat penolakan tambang batu bara yang dialamatkan kepada Menteri ESDM pada bulan September. Namun di awal 2018, Menteri ESDM justru menerbitkan keputusan tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan PKP2B menjadi tahap Kegiatan Operasi Produksi di wilayah seluas 5.908 hektar. Keputusan tersebut diprotes luas oleh berbagai kalangan, terutama dari perwakilan komunitas masyarakat adat. Salah satu bahan protes adalah terkait overlay peta kawasan hutan dan lokasi konsesi pertambangan batubara justru tumpang tindih berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.435/2009. Rentetan berbagai konflik tersebutlah yang ikut membentuk kesadaran politik orang-orang Dayak Meratus. Di Pemilu 2009 dan 2014, bersama AMAN, mereka secara sadar mengutus kader-kader terbaik mereka untuk maju sebagai calon anggota legislatif melalui berbagai partai politik yang ada. Praktek ini dibasiskan pada analisis bahwa tuntutan dan geliat perjuangan masyarakat adat hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang berasal dan terlibat aktif di dalam gerakan itu sendiri. Meski gagal, harapan untuk terus memperluas dan melakukan konsolidasi tidak pernah pupus. Mereka sadar bahwa perubahan nasib masyarakat adat tidak bisa didelegasikan kepada orang-orang yang datang dari luar. Calon-calon anggota parlemen yang hanya datang ketika musim pemilihan tiba dan menawarkan berbagai janji perubahan yang sudah pasti dilupakan ketika nanti terpilih. Kandidat yang tidak pernah terintegrasi

dalam dinamika perjuangan orang Dayak Meratus menegakkan hak mereka atas tanah ulayat serta seluruh sumber daya yang terkandung di dalamnya. Tapi kini, ancaman manipulasi suara membayangi harapan warga komunitas Dayak Meratus. Sebabnya adalah model surat suara di pemilu nanti yang tidak ramah bagi mereka. Menurut Abdi Akbar, Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat (P3MA) AMAN, kerentanan tersebut datang dari ketidakpekaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap masyarakat adat. “Surat suara di Pemilu 2019 tak jauh berbeda dengan dua Pemilu sebelumnya. Di perhelatan Pemilu 2009 dan 2014, surat suara pemilihan calon anggota legislatif juga tidak dilengkapi dengan gambar foto. Ini pengabaian secara terus menerus. Melengkapi surat suara dengan gambar diri calon anggota legislatif bagi kami dapat mempermudah warga negara yang memiliki hak pilih, termasuk di dalamnya anggota komunitas kami yang tidak bisa baca tulis. Mereka hanya perlu menghafal wajah kandidat yang akan mereka pilih. Di Pemilu tahun ini (2019 -red), hal tersebut kembali dihilangkan oleh KPU,” ungkap Akbar. Peniadaan penggunaan foto gambar diri calon anggota legislatif di kertas suara dipandang oleh AMAN sebagai bentuk pengabaian institusi negara secara sengaja. Akbar menilai bahwa keputusan tersebut diambil dengan menegasikan fakta di lapangan bahwa masih banyak warga negara dengan hak pilih di berbagai komunitas masyarakat adat yang buta huruf. Para penyandang tuna aksara sebagian besar berasal dari komunitas-komunitas yang tinggal di kawasan hutan dan tidak dijangkau oleh kemeriahan pembangunan infrastruktur negara. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2018, masih terdapat sekitar 3,4 juta warga yang berumur lebih dari 15 tahun tidak bisa baca tulis. Sebagian besar tersebar di 11 provinsi di mana Papua, NTB dan NTT adalah tiga daerah yang memiliki angka buta aksara tertinggi. Secara tidak kebetulan, tiga provinsi ini juga memiliki jumlah angka komunitas masyarakat adat dengan jumlah yang signifikan. Menurut AMAN, saat ini terdapat 1.6 juta orang yang hidup di dalam kawasan hutan. “Tingginya angka buta huruf di berbagai komunitas masyarakat adat adalah refleksi kegagalan negara dalam menyediakan akses atas pendidikan bagi warga negaranya,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral AMAN.

Ia menyoroti soal pembangunan infrastruktur yang sering dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah rezim pemerintahan, tapi abai pada aspek pembangunan manusia. Sombolinggi “Kini, setelah gagal memenuhi hak atas pendidikan bagi warganya, negara melanjutkan tren negatif itu dengan menciptakan sistem pemilu tidak ramah bagi masyarakat adat yang memiliki jumlah penyandang tuna aksara cukup besar,” kritik Sombolinggi. Kritik keras AMAN terhadap peniadaan gambar diri calon anggota legislatif di Pemilu 2019 juga didasarkan pada kekhawatiran bahwa akan terjadi manipulasi suara di saat pencoblosan. Para pemilih tuna aksara menjadi kelompok rentan yang terancam diarahkan untuk memilih calon yang tidak sesuai dengan pilihan mereka. “Tidak ada yang bisa menjamin bahwa para pemilih tuna aksara tidak akan ditipu. Bukankah selama ini, kecurangan Pemilu sudah jadi rahasia umum?” kata Abdi Akbar. Di 28 Balay yang tersebar di 11 desa di Alai Batang Timur, Hulu Sungai Tengah, Kalsel misalnya. Minimal terdapat 100 orang yang memiliki hak pilih di tiap Balay. Setengah dari jumlah tersebut adalah penyandang tuna aksara. Artinya, di satu kecamatan saja, hampir 1.500 orang yang hak suaranya memiliki potensi untuk dimanipulasi dan menjadi korban kecurangan. Kenyataan tersebut tentu adalah ancaman serius bagi komunitas masyarakat adat dan AMAN sebagai organisasi payung, yang kini tengah jatuh bangun memperjuangkan pengesahan Rancangan Undangundang (RUU) Masyarakat Adat di tingkat nasional dan berbagai Peraturan Daerah (Perda) pengakuan hak masyarakat adat di tingkat daerah. Salah satu faktor penentu dalam pertarungan tersebut adalah signifikansi keterwakilan masyarakat adat di berbagai kamar parlemen. Kini, dengan potensi kecurangan yang membayang di depan mata karena sistem pemilu yang abai, jalan perjuangan masyarakat adat yang membentur tembok di lima tahun terakhir akibat pengingkaran Jokowi, menjadi semakin terjal. Apalagi jika ternyata KPU kemudian memilih tutup mata dan tidak tanggap terhadap kritik yang dilayangkan AMAN. “Mungkin Pemilu hanya untuk orang yang bisa baca tulis saja,” kata Uri sembari menghembus lepas asap rokoknya. *** Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

43


KRITIK PEMILU

LARANGAN KAMPANYE DAN DISKRIMINASI

AGAMA TRADISI Andre Barahamin

Sejak Pemilu 2009, salah satu tujuan AMAN merebut kursi di parlemen adalah menggolkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang.

Masyarakat Adat di Sumba Timur melakukan ritual adat di tempat yang telah dirusak oleh perusahaan. @DokumenAMAN

“Panwascam bilang bahwa Balay tidak bisa digunakan sebagai TPS,� kata Rubi Juhu. Rubi adalah salah satu dari sekian ratus pemegang hak suara dari komunitas adat Dayak Meratus di Alai Batang Tengah, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Rubi juga terlibat aktif sebagai pengurus di tingkat komunitas untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

K

omunitas adat Dayak Meratus mendiami daerah ekosistem pegunungan Meratus, kawasan pegunungan yang membelah Kalimantan Selatan menjadi dua. Daerah ini membentang sepanjang kurang lebih enam ratus kilometer persegi, dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur. Pegunungan Meratus secara administratif lalu dibagi ke dalam delapan kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan: Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Tapin. 44

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Pegunungan Meratus adalah kawasan hutan yang termasuk dalam kategori hutan pegunungan rendah. Kawasan ini memiliki keragaman hayati yang tinggi dengan variasi vegetasi yang unik. Kawasan hutan ini sebagian besar merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai, yang membuatnya memiliki peran strategis sebagai zona resapan air. Hutan adalah satu bagian penting dalam lingkaran kehidupan komunitas Dayak Meratus. Membicarakan hutan bagi orangorang Dayak Meratus tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang tanah. Dalam kosmologi orang-orang Dayak Meratus, tanah adalah asal mula manusia. Itu mengapa tanah mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dan merupakan harta kekayaan yang tidak bisa diperlakukan secara sembarangan. Hartatik dalam Jejak Budaya Meratus dalam Perspektif Etnoreligi (2017) menjelaskan bahwa narasi kosmologi ini menciptakan tatacara tertentu untuk mencapai


KRITIK PEMILU keseimbangan hidup dalam interaksi antara manusia Dayak Meratus dengan alamnya, yang disebut sebagai Aruh. Memiliki tanah yang luas merupakan anugerah bagi masyarakat Meratus. Mereka mengandalkan sumberdaya alam setempat (resource based activity) dan mengambil secukupnya yang mereka butuhkan. Di dalam “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus, Kalimantan Selatanâ€? -terbit sebagai salah satu bab dalam Hutan untuk Masa Depan: Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia, Andy Syahruji menjelaskan bagaimana setiap Umbun (unit keluarga) memiliki jatah tanah masing-masing enam payah (Âą3 hektar) tanah. Satu Umbun dapat memiliki tanah lebih dari enam payah jika dianggap perlu dan memiliki kemampuan untuk mengelola. Sistem kepemilikan tanah masyarakat Dayak Meratus didasarkan pada kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat. Kesepakatan ini dilakukan dan diikat secara oral dan tanpa menggunakan bukti tertulis. Jadi, meskipun tanah tersebut secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat Dayak Meratus, namun tidak satu pun dari mereka yang memiliki surat kepemilikan tanah. Batas-batas tambit (kepemilikan) yang digunakan adalah penanaman tanaman keras seperti karet atau kayu manis, rumpun bambu atau kayu lurus, batang pinang dan sungai. Penentuan batas ini merupakan kesepakatan antar pemilik-pemilik lahan yang berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari. Secara garis besar menurut Hartatik, sistem kepemilikan tanah digolongkan berdasarkan pewarisan, perkawinan, jual beli dan sistem sewa. Berdasarkan pewarisan pembagian tanah yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya lebih melihat pada seberapa besar kemampuan masing-masing anak mampu mengelola lahan, tanpa membedakan jenis kelamin. Melalui perkawinan, kepemilikan tanah dapat juga diberikan apabila salah satu anggota komunitas menikah dengan orang luar dan memilih untuk tetap tinggal di

dalam wilayah Dayak Meratus. Maka kepadanya, diberikan izin untuk mengelola tanah di sekitar wilayah Balay. Jual beli juga menjadi salah satu mekanisme yang dikenal oleh warga Dayak Meratus. Namun praktek jual beli dibatasi secara tegas sehingga transaksi pemindahkuasaan tanah hanya dapat dilakukan di antar anggota komunitas. Sementara sewa menyewa lahan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Kepala Padang. Tanah yang menjadi obyek sewa hanya boleh ditanami palawija atau tanaman jangka pendek lainnya. Syarat pembayaran sewa bukan dalam bentuk uang, namun dalam bentuk bagi hasil atas panen antara pemilik lahan dan penyewa. Pemilik lahan yang tidak mengolah lahan akan mendapatkan bayaran sewa dalam bentuk sepertiga hasil panen yang dihasilkan oleh penyewa. Kepemilkan tanah bisa hilang apabila pemilik tanah meninggal dunia atau menelantarkan lahannya dan keluar Balay. Beberapa bagian dalam hutan diperuntukkan sebagai Katuan (hutan) larangan yang tidak boleh digunakan untuk bahuma (bercocok tanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur. Katuanlarangan merupakan kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh ditebang. Meskipun hasil hutan lain (selain kayu) masih bisa diambil oleh masyarakat. Biasanya Katuan larangan berada di daerah pegunungan di ketinggian 700 mdpl (meter di atas permukaan laut). Daerah ini biasanya merupakan wilayah penyangga ekologi, terutama resapan air. Sementara bagian lain yang diolah kemudian ditanami beberapa tanaman keras seperti karet. Ini adalah areal yang disebut kebun gatah. Sedangkan ladang biasanya dibuka di daerah taniti (perbukitan) atau datar (lembah). Sementara kampung dibangun di daerah yang lebih rata dan berlokasi tidak jauh dari taniti. Bagi masyarakat Dayak Meratus, setiap anggota komunitas harus mengetahui ada wilayah-wilayah yang tidak boleh dikelola untuk menghindari kutukan leluhur. Aturanaturan tersebut dipertegas dan

disebarluaskan dalam pertemuanpertemuan bersama yang dilakukan di balai adat. Inilah ruang kolektif yang disebut Balay, yaitu ruang adat yang dipergunakan untuk keperluan yang menyangkut kebutuhan bersama. Signifikasi Balay terutama terlihat saat dilangsungkannya ritual keagamaan. Setiap Balay dipimpin oleh Tamanggung yang memiliki kewenangan sebagai pemimpin komunitas. Tamanggung memiliki kewajiban untuk memimpin sekaligus menjadi pencatat musyawarah yang dilaksanakan di dalam komunitas. Untuk mendampingi Tamanggung, terdapat sesepuh adat yang disebut dengan Tetuha, dengan kapasitas pengetahuannya memiliki kewenangan sebagai penilai atau juri dalam sengketa yang terjadi di lingkungan balai. Terkait dengan penyelenggaraan upacara adat keagamaan seperti Aruh Adat, akan ditunjuk seseorang yang disebut sebagai Kepala Balian. Sementara untuk mengurusi soal-soal menyangkut pernikahan anggota komunitas, seorang bernama Pangulu (penghulu) akan ditunjuk. Ini adalah persona yang diberi mandat oleh warga untuk mengurusi segala persiapan hingga berlangsungnya pesta pernikahan yang dilangsungkan secara adat. Ruang inilah yang kemudian oleh Panitia Pengawas Pemilu Tingkat Kecamatan (Panwascam) dilarang digunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan terkait Pemilu. Terutama kampanye. Menurut Ketua Panwascam Batang Alai Timur, Rustam Effendi, Balay dikategorikan sebagai tempat ibadah karena sejak dulu merupakan tempat yang dianggap suci dan digunakan sebagai tempat kegiatan keagamaan. Beberapa Balay juga digunakan menjadi sanggar seni dan budaya dan mendapatkan dukungan pendanaan dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Dukungan pembiayaan terkait kegiatan seni budaya tersebut membuat Balay dikategorikan sebagai fasilitas milik Pemerintah. Pandangan ini dinilai sebagai sikap anomali dari institusi negara. Abdi Akbar, Direktur Direktorat Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

45


KRITIK PEMILU Perluasan Partisipasi Perluasan Politik Masyarakat Adat (P3MA) AMAN, mengatakan bahwa penilaian infrastruktur adat sebagai bagian integral keyakinan religius masyarakat adat tidak dibarengi dengan pengakuan terhadap agama-agama tradisi. Dengan sengaja mengabaikan fakta bahwa di luar enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, masih banyak komunitaskomunitas masyarakat adat yang menjalankan kepercayaan leluhur dan tidak mendapatkan jaminan serta perlindungan atasnya. “Kalau Balay dianggap sebagai tempat ibadah, apakah kita dapat menyebutkan bahwa negara sudah secara otomatis mengakui keberadaan agama-agama tradisi?” tanya Akbar. Diskriminasi dan ketidakpastian sikap negara menyangkut agamaagama tradisi bukan hal baru di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi mereka yang masih memeluk agama tradisi. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 (UU No.24/2013). Namun pada faktanya, UU tersebut membuka jalan terhadap diskriminasi berlapis bagi masyarakat adat yang memeluk keyakinan tradisi. Aparatus negara pada prakteknya mempersulit anggota masyarakat adat penganut agama tradisional saat hendak melakukan perkawinan, mengurus akta kelahiran, mengakses pekerjaan dan akhirnya tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial. Dalam buku Jalan Sunyi Pewaris Tradisi terbitan TIFA Foundation, menyebutkan perjalanan penuh diskriminasi para penghayat kepercayaan di Indonesia. Sejak masa Orde Lama, masyarakat adat terpaksa harus menjalani hidup di tengah benturan dalam percaturan politik antara kelompok agama yang menginginkan intervensi penuh negara atas urusan beragama tiap warga negaranya dan kelompok komunis yang menginginkan negara netral dan tidak mengurusi persoalan tersebut. Kondisi masyarakat adat yang memeluk agama tradisi semakin

46

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

dipersulit saat pemerintah Peraturan No. 1/PNPS TAHUN 1965 Tentang pencegahan penyalahgunaan, dan/ atau penodaan agama. Peraturan ini secara langsung menyudutkan penghayat kepercayaan. Permasalahan tentang diskriminasi ini berlanjut pasca-tragedi 1965. Keteguhan sikap anggota-anggota komunitas masyarakat adat untuk terus melestarikan keyakinan religius mereka membuat mereka dituduh sebagai anti-agama dan dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Peralihan rezim setelah Soeharto tumbang juga tak kunjung memberikan harapan positif. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. IV/ MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan tegas menyebutkan bahwa agama-agama tradisi sebagai Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat dikategorikan sebagai agama. Meskipun faktanya, TAP MPR tersebut lahir sebagai kompromi karena Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengancam akan melakukan walk-out dari MPR jika penghayat diakomodir dalam GBHN dan mendapatkan posisi setara dengan agama. “Aliran kepercayaan dipercaya akan mengurangi jumlah pemeluk Islam. Masalah ini yang kemudian direspons oleh umat Islam di berbagai daerah seperti Bandung dan Yogyakarta, dengan turun ke jalan, menentang perbincangan mengenai aliran kepercayaan itu,” demikian tertulis dalam Jalan Sunyi Pewaris Tradisi. Hal ini juga yang menimpa masyarakat adat Dayak Meratus. Banyak dari anggota komunitas mereka yang pada akhirnya tidak terdaftar sebagai pemilih karena tidak memiliki KTP. Akibat langsungnya adalah ancaman eksklusi dalam upaya mereka berpartisipasi di dalam pemilihan umum. Hal tersebut mendapatkan sorotan tajam dari Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral (Sekjen) AMAN. Bagi Sombolinggi, hal tersebut makin mempertegas kebutuhan mendesak bagi masyarakat adat di Indonesia untuk diakui hak-haknya. Salah

satunya adalah dengan sesegera mungkin mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga kini masih menggantung. “Ini mengapa perjuangan untuk meloloskan RUU Masyarakat Adat menjadi sangat penting. RUU ini tidak saja menjamin hak masyarakat adat atas wilayah adatnya, tapi juga hak-hak normatif lain seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan dan keterlibatan di dalam iven-iven politik semisal pemilihan legislatif,” kata Sombolinggi. Upaya memperjuangkan lolosnya RUU Masyarakat Adat yang mesti dilakukan dari dalam parlemen adalah salah satu alasan mengapa AMAN sejak pemilihan umum (Pemilu) 2009 melakukan konsolidasi politik. Cara yang ditempuh adalah dengan mengirim utusan-utusan terbaik dari komunitas-komunitas masyarakat adat untuk menjadi juru bicara mengenai aspirasi di tingkat akar rumput. Hal ini kembali dilakukan di Pemilu 2019 dengan terlibatnya 157 orang calon di sembilan provinsi dari berbagai partai politik untuk bertarung memperebutkan berbagai kursi di berbagai level parlemen. Termasuk di dalamnya ada 20 orang yang maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan empat orang lain yang maju sebagai utusan Dewan Perwakilan Daerah. ***


KRITIK PEMILU

Ritual Masyarakat Adat Fritu, Maluku Utara menolak masuknya tambang di wilayah Adat mereka @DokumenAMAN Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

47


KRITIK PEMILU

KTP ELEKTRONIK

DAN BELENGGU ADMINISTRASI MASYAR AK AT ADAT Yayan Hidayat

Ditetapkannya KTP-Elektronik sebagai syarat utama di Pemilu 2019, membuat banyak masyarakat adat terancam tidak bisa memilih.

Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (P3MAAMAN) Abdi Akbar mengatakan, ada ribuan warga negara yang tinggal di kawasan hutan di Indonesia, yang hingga saat ini tak mengantongi KTP elektronik atau e-KTP. Menurut Abdi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan pencatatan administrasi kependudukan bagi masyarakat yang bermukim di kawasan hutan tersebut.

O

leh karenanya, penduduk tersebut tidak akan mendapatkan e-KTP meski usianya di atas 17 tahun ataupun sudah menikah. Masih banyaknya masyarakat adat 48

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

yang sulit memperoleh e-KTP atau KTP elektronik membuat hak pilih mereka dalam Pemilu 2019 pun terancam tidak terpenuhi. “Kita ketahui mereka sudah tinggal di kawasan itu sebelum negara ini didirikan. Belum lagi yang berkawasan di pulau-pulau kecil yang terisolasi,� kata Abdi usai sebuah diskusi publik di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/9/2018). Ribuan warga negara tersebut terancam tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Itu lantaran Pasal 348 ayat 1 UndangUndang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan pemilih memiliki e-KTP untuk bisa mencoblos. Di sisi lain, negara menjamin seluruh warga negara yang sudah


KRITIK PEMILU berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah, punya hak untuk memilih dalam pesta demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 102 tahun 2009 juga menyebut, tidak boleh ada prosedur adminitrasi yang menghalangi warga negara untuk menyalurkan haknya untuk dipilih dan memilih. Abdi Akbar mengungkapkan, ada tiga persolan yang dialami oleh masyarakat adat terkait hak pilihnya. Hal itu didapatkan berdasarkan hasil studi lapangan yang dilakukan AMAN dan Perludem di beberapa kelompok masyarakat adat. Permasalahan pertama, terkait adanya konflik di wilayah seperti Sumatera Utara dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Di wilayah konflik tersebut banyak masyarakat yang tidak bisa didata kependudukannya. “Mereka harus pergi ke Kota Medan untuk mendapatkan e-KTP,” kata Abdi dalam diskusi bertajuk #DPTbersih, Selamatkan Hak Pilih, di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/9/2018). Permasalahan kedua, masih banyak masyarakat adat yang berada di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi negara tidak terdaftar sebagai pemilih. Setidaknya dari peta kehutanan tercatat ada sekitar 25.863 desa. Sedangkan dari daftar anggota AMAN sendiri, ada 777 komunitas masyarakat adat yang berada di dalam kawasan hutan. Dari data yang dirangkum oleh AMAN, terdapat 700 kepala keluarga di komunitas adat Galang Mamak Indragiri Hulu, Riau, tidak memiliki KTP elektronik akibat kepercayaan mereka. 200 kepala keluarga di Ammatoa Kajang, Kabupaten Sulawesi Selatan tidak mendapatkan KTP elektronik karena menolak membuka penutup kepala mereka yang menjadi simbol adat saat proses perekaman E-KTP. Sementara permasalahan yang ketiga, yakni ada banyak komunitas masyarakat adat berada di kawasan pulau terpencil yang terisolir. Mereka tidak terjangkau oleh layanan pembangunan, termasuk penyelenggara pemilu. “Misalkan, Suku Anak Dalam di

wilayah Jambi ada sebanyak 5.238 KK. Namun hanya 248 individu yang teerdaftar di DPT,” sebutnya. Terkait hal itu, kata Abdi, seharusnya ada terobosan baru untuk dapat memenuhi hak pemilih bagi masyarakat adat. Sehingga tidak hanya menggantungkan pada e-KTP semata. “Kenapa e-KTP jadi syarat mutlak untuk memilih, padahal e-KTP bermasalah, ada korupsi. Harus ada terobosan untuk tidak sepenuhnya menggantungan e-KTP jadi mutlak, kami meminta ada pengecualian,” imbuh dia. Untuk itu, AMAN mendukung KPU untuk menyelesaikan persoalan tersebut, baik melalui opsi penerbitan kartu pemilih sebagai pengganti e-KTP, maupun penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu). Menurut Abdi, baik kartu pemilih maupun Perppu sama-sama bisa menjadi solusi supaya masyarakat adat tidak kehilangan hak pilihnya. “Kartu pemilih ini kami pikir bisa menjadi solusi,” ujar Abdi. “Selain kartu pemilih, juga bisa ada opsi untuk mengeluarkan PP khusus untuk merevisi Undang-Undang pemilu, juga soal e-KTP ada banyak solusi untuk sementara kalau memang opsi-opsi lain itu tidak bisa dilakukan,” sambungnya. Sebelumnya, KPU menyebut ada 3 juta penduduk yang sudah punya hak pilih tetapi belum mendapatkan e-KTP. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa tercatat dalam administrasi kependudukan, seperti masyarakat miskin kota yang tinggal di atas tanah negara, atau kelompok suku tertentu yang tinggal di hutanhutan yang tak dimungkinkan dibuatkan dokumen kependudukan. Untuk itu, KPU mempertimbangkan opsi penggunaan kartu pemilih sebagai pengganti KTP elektronik atau e-KTP dalam Pemilu 2019. Tak hanya itu, KPU juga menimbang opsi terobosan hukum atau perubahan UndangUndang Pemilu. Sementara permasalahan yang ketiga, yakni ada banyak komunitas Masyarakat Adat berada di kawasan yang terisolir. Mereka tidak terjangkau oleh layanan pembangunan,

termasuk penyelenggara pemilu. “Misalkan, Suku Anak Dalam di wilayah Jambi ada sebanyak 5.238 KK. Namun hanya 248 individu yang teerdaftar di DPT,” sebutnya. Terkait hal itu, kata Abdi, seharusnya ada terobosan baru untuk dapat memenuhi hak pemilih bagi Masyarakat Adat. Sehingga tidak hanya menggantungkan pada e-KTP semata. “Kenapa e-KTP jadi syarat mutlak untuk memilih, padahal e-KTP bermasalah, ada korupsi dalam proyek pengadaannya. Harus ada terobosan untuk tidak sepenuhnya menggantungan e-KTP jadi mutlak, kami meminta ada pengecualian,” imbuh dia. Untuk itu, AMAN mendukung KPU untuk menyelesaikan persoalan tersebut, baik melalui opsi penerbitan kartu pemilih sebagai pengganti e-KTP, maupun penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu). Menurut Abdi, baik kartu pemilih maupun Perpu sama-sama bisa menjadi solusi supaya Masyarakat Adat tidak kehilangan hak pilihnya. “Kartu pemilih ini kami pikir bisa menjadi solusi,” ujar Abdi. “Selain kartu pemilih, juga bisa ada opsi untuk mengeluarkan PP khusus untuk merevisi Undang-Undang pemilu, juga soal e-KTP ada banyak solusi untuk sementara kalau memang opsi-opsi lain itu tidak bisa dilakukan,” sambungnya. Sebelumnya, KPU menyebut ada 3 juta penduduk yang sudah punya hak pilih tetapi belum mendapatkan e-KTP. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa tercatat dalam administrasi kependudukan, seperti masyarakat miskin kota yang tinggal di atas tanah negara, atau kelompok suku tertentu yang tinggal di hutanhutan yang tak dimungkinkan dibuatkan dokumen kependudukan. Untuk itu, KPU mempertimbangkan opsi penggunaan kartu pemilih sebagai pengganti KTP elektronik atau e-KTP dalam Pemilu 2019. Tak hanya itu, KPU juga menimbang opsi terobosan hukum atau perubahan UndangUndang Pemilu. *** Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

49


KABAR GARIS DEPAN

Orang Baduy

TOLAK DANA DESA Andre Barahamin

W

arga Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, menolak bantuan desa dari pemerintah pusat sebesar Rp 2,5 miliar. Pengalokasian bantuan dana desa tahun 2019 untuk masyarakat Baduy sebesar Rp 2,5 miliar ditolak berdasarkan keputusan adat mereka. Jaro Saija selaku kepala desa masyarakat Baduy Desa Kanekes menjelaskan penolakan dana desa berdasarkan kesepakatan para pemangku adat. Para tetua di tiga kampung Baduy Dalam menolak, termasuk di Baduy Luar. Ada lima pertemuan para pemangku yang sepakat menolak karena kekhawatiran atas pembangunan infrastruktur dari dana desa. “Iya, alasan ditolak hasil kesepakatan. Para kolot (pemangku adat) khawatir jika diterima (dana desa), nanti akan merusak alam. Kan di sini tanah ulayat, jika masuk itu (dana desa) maka mau ada jalan permanen. Sementara jalan paving block tidak boleh dilakukan,” kata Saija. Masyarakat adat Baduy mengkhawatirkan jika menerima dana desa untuk pembangunan infrastuktur tergusur nilai-nilai budaya dan adat mereka hilang. Sebab, permukiman adat Baduy seperti di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar menolak kehidupan modern, termasuk pembangunan jalan, penerangan 50

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

listrik dan alat-alat elektronik. Masyarakat Baduy harus patuh dan taat terhadap adat leluhurnya, sehingga keberatan jika permukiman adat itu mendapat bantuan dana desa. Pembangunan infrastuktur yang dikhawatirkan masyarakat Baduy ke depan terhubung jalan-jalan batu dan aspal di kawasan permukiman mereka. Apabila, kondisi jalan itu baik dipastikan masuk kendaraan roda dua hingga roda empat. Karena itu, masyarakat Baduy menolak untuk menerima bantuan dana desa sebesar Rp 2,5 miliar. Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Pemkab Lebak, Rusito, dana desa yang ditolak warga Baduy tergolong cukup besar.

Mengapa Menolak? Banyak yang kaget dan bingung mengapa Urang Baduy menolak Dana Desa. Mereka lupa dan tidak sadar bahwa Dana Desa sebesar 2.5 milyar tersebut sebenarnya tidak akan digunakan untuk kepentingan langsung masyarakat Baduy, apalagi Baduy Dalam. Dana Desa tersebut digunakan sebenarnya akan digunakan untuk kepentingan pariwisata daerah. Infrastruktur yang rencananya dibiayai oleh Dana Desa ini semisal untuk membangun jalan dari

Terminal Ciboleger hingga ke depan pemukiman Orang Baduy Dalam. Meski alasannya untuk mempermudah Urang Baduy saat berjalan kaki, tujuan sebenarnya adalah untuk memudahkan akses bagi pendatang mengunjungi Baduy. Mereka yang “tertarik dengan gaya hidup primitif” Orang Baduy. Salah satu buktinya adalah rencana Pemda Kabupaten Lebak untuk membangun rumah singgah yang akan diprioritaskan untuk para pendatang atau wisatawan yang ingin bermalam/menginap saat “melakukan tur” ke pemukiman Orang Baduy. Pembangunan jalan dan rumah singgah, jelas bukan kebutuhan Orang Baduy. Jenis infrastruktur tersebut justru mengancam eksistensi Orang Baduy – terutama Baduy Dalam – yang secara sengaja menutup diri. Pembuatan jalan dengan paving block misalnya dilihat sebagai bentuk pengrusakan lingkungan oleh Urang Baduy, karena akan mengubah struktur tanah dan dapat menyebabkan rusaknya jalan-jalan tradisional yang sering dilewati dengan berjalan kaki. “Nanti kalau hujan, jalan bisa jadi berlumpur dan gampang rusak. Nanti kami lebih sulit (ber)jalan kaki,” kata Saija. ***


KABAR GARIS DEPAN

Komunitas Adat Baduy 51 @DokumenAMAN

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |


KABAR GARIS DEPAN

RIUNGAN GEDE KASEPUHAN BANTEN KIDUL: Menagih Janji, Memperluas Partisipasi Yayan Hidayat “Kasepuhan hadir jauh sebelum Indonesia merdeka, kita bahkan ikut mendirikan Republik ini” pungkas Mulyadi, utusan Kasepuhan Citorek Tengah. Mulyadi tampak geram. Perjuangan panjang menghadirkan negara ditengah Masyarakat Adat Kasepuhan cukup membuatnya jengah. Puluhan tahun mereka tak berdaulat atas wilayahnya. “Selama ini, masyarakat selalu was-was. Bahkan saat membawa hasil bumi harus sembunyi-sembunyi. Tak urung dimintai upeti oleh mantri hutan. Pernah pula dikriminalisasi oleh aparat” pungkasnya. Mulyadi adalah salah satu dari ribuan peserta yang hadir dalam kegiatan Riungan Gede Kasepuhan Adat Banten Kidul pada Jum’at (1/3) sampai Minggu (3/3) lalu. Sebuah forum musyawarah lima tahunan Masyarakat Adat Kasepuhan. Hadir perwakilan dari 754 Kasepuhan dengan membawa aspirasi masing-masing wewengkon (wilayah). Mereka tersebar di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Bogor, 52

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

Pandeglang dan Sukabumi. Riungan memang menjadi wadah untuk menampung aspirasi Masyarakat Adat Kasepuhan se-Banten Kidul. Isu utama yang disoroti adalah nasib Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. RUU ini jalan di tempat. Tak kunjung ada itikad baik pemerintah untuk memberikan daftar inventaris masalah (DIM) kepada DPR. Padahal, tahun 2014 lalu menjadi momentum AMAN pertama kali memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pilihan Masyarakat Adat Nusantara jatuh kepada pasangan Jokowi-JK kala itu. AMAN mendukung JokowiJK bukanlah tanpa alasan. Rekam jejak Jokowi dianggap tidak punya kontroversi dengan Masyarakat Adat. Enam poin tentang hak Masyarakat Adat kemudian masuk ke dalam Nawacita, termasuk pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai wujud komitmen Jokowi kepada Masyarakat Adat. Secercah harapan bahwa negara akhirnya akan hadir seutuhnya di tengah Masyarakat Adat.

Namun kini, menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi-JK, Nawacita masih di langit, bagai panggang jauh dari api. Masyarakat Adat kembali dibohongi. Berbagai kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan beban baru bagi Masyarakat Adat. Jokowi mengingkari komitmen yang ia buat sendiri. “Segera mewujudkan UndangUndang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat” demikian bunyi salah satu dari 13 Maklumat yang dihasilkan dari Riungan Gede Kasepuhan. Riungan memang sekaligus menjadi ajang untuk menagih janji Jokowi di akhir masa jabatannya.

Memperluas Partisipasi Sejak lama, Masyarakat Adat kian menderita. Agresi pembangunan hingga penyingkiran menghantui kehidupan mereka. Barbarnya watak rezim telah merampas ruang hidup Masyarakat Adat. “Kenapa kita (Masyarakat Adat) melulu jadi korban? Hingga detik ini, belum ada satupun undang-undang


KABAR GARIS DEPAN

yang bisa dipakai pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak Masyarakat Adat. Berbagai regulasi lahir justru bertujuan merampas hak Masyarakat Adat. Kita tidak hadir sebagai pembuat kebijakan. Itu masalahnya” pungkas Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, yang turut menghadiri Riungan Gede Kasepuhan Adat. Masyarakat Adat perlu mengutus keterwakilannya ke dalam ruang pengambilan keputusan. “Kita tidak dapat menyerahkan seluruhnya kepentingan kita kepada keterwakilan yang sebetulnya tidak paham kepentingan Masyarakat Adat, kita perlu mengutus sendiri keterwakilan kita” tambah Rukka. Sebagai contoh perjuangan panjang menghadirkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Ketua DPRD Kabupaten Lebak Junaedi Ibnu Jarta adalah salah satu utusan politik Masyarakat Adat Kasepuhan. Junaedi adalah aktor kunci dibalik perjuangan panjang pengesahan

Perda. Gerilya di parlemen hingga perda disahkan tahun 2015. Tak hanya itu, pasca pengesahan Junaedi tetap mendorong implementasi Perda Kasepuhan. Ada banyak hutan adat yang kini diakui oleh pemerintah berkat kerja kerasnya. “Kalau bukan kita yang ketua DPR, tidak mungkin ada Perda Kasepuhan. Saya ingat bagaimana perjuangan merebut perda kasepuhan, dukungan politik di DPR tidak terlalu besar. Tapi karena kita ada, kita berhasil menghasilkan Perda Kasepuhan” ungkap Rukka. Namun belum cukup. Perda ini hanya mengakui 520 Kasepuhan yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak. Masih ada 234 Kasepuhan yang berada di Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Pandeglang hingga saat ini masih terbelenggu rasa takut akan tindakan perampasan dan kriminalisasi. Tak ada produk hukum yang mengakui dan melindungi hak konstitusional mereka. “Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, bukan hanya sekedar mengutus DPR. Melainkan

kita sedang membuat keputusan atas nasib kita sendiri, kita sedang memastikan keputusan yang dibuat tidak menyengsarakan kita sebagai Masyarakat Adat” tutup Rukka. Kemenangan sesungguhnya adalah dengan masuk ke arena pengambilan kebijakan dan memperbaiki situasi. Mendorong regulasi undang-undang maupun peraturan daerah yang memastikan perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat. Riungan harus memastikan bahwa kedepan Kasepuhan yang berada di Kabupaten Bogor, Pandeglang dan Sukabumi harus memiliki Perda pengakuan dan perlindungan yang dilahirkan dan diperjuangkan oleh utusan politiknya. Inilah inti dari agenda perluasan partisipasi politik Masyarakat Adat. Meretas sejarah kelam pengabaian, dan menghadirkan negara ditengah Masyarakat Adat. ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

53


KABAR GARIS DEPAN

MEREKA TERUS MELAWAN: 0RANG KA JANG MENENTANG LONSUM Eko Rusdianto Warga Adat Kajang Memasang Plang di Wilayah Adat Mereka @DokumenAMAN

Kamis petang, 20 Februari 2019, seorang pria di sudut ruangan, menggunakan pingset silver mencabuti bulu-bulu janggut. Kepala terbebat kain hitam. Ada 24 orang duduk bersila di hadapannya. Asap rokok mengepul. Dia sendiri tak merokok. “Kalau kalian keluar, itu berarti kalah,” katanya, dalam bahasa Konjo Kajang, diartikan beberapa orang kepada saya.

S

emua takzim mendengar. Lalu suara lain terdengar, “bahh.”– ungkapan mendukung pernyataan itu. “Akkala. Politik ntu,” kata pria itu. (itu hanya akal-akalan – politik perusahaan) Namanya Puto Palasa. Dia Ketua Adat Kajang, bergelar Ammatoa. Orang-orang di hadapan dia adalah yang adakan pertemuan pada 18 Februari bersama Wakil Bupati Bulukumba. Mereka datang meminta pendapat, apa yang harus dilakukan warga di lokasi klaim kembali (pendudukan) tanah di Desa Tamatto, yang kini masih dalam izin Hak Guna Usaha (HGU) PT London Sumatera (Lonsum). Pertemuan itu menyepakati, 1 Maret 2019, warga yang menduduki lahan HGU perusahaan harus meninggalkan lokasi. 25 Februari adalah batas waktu, apakah usulan diterima atau tidak. Senin, 25 Februari, warga 54

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019

bersama aliansi Front Perjuangan Rakyat Bulukumba -di dalamnya ada beberapa lembaga swadaya masyarakat hingga lembaga kemahasiswaan- menemui Wakil Bupati Bulukumba, Tommy Satria. Mereka menegaskan, kesepakatan seminggu sebelumnya ditolak oleh Ammatoa. Artinya, bakal ada bentrok. Di tahun 2003, bentrok sebabkan dua orang petani meregang nyawa. Saat pertemuan, beberapa orang polisi mendatangi warga. Rekaman video tersebar. Polisi itu menggunakan baret. Sepatu boot biru. Papan nama tertulis Bur. Dia meminta, warga secepatnya bongkar rumah dan pondok yang dibangun sejak lima bulan pendudukan. Dia bicara tegas agar lahan bersih tepat 1 Maret. Dalam rekaman, seorang menengahi kalau kesepakatan itu masih sementara. Perundingan masih berlangsung. “Tidak ada itu sementara,” kata polisi itu.

100 tahun Lonsum “Kita hampir tak tahu bagaimana Lonsum selama ini. Kami (pemerintah daerah) hanya kebagiaan kisruh. Itulah faktanya,” kata Tommy. Lonsum hadir di Bulukumba sejak 1919. HGU perusahaan diperpanjang 1997 dari awal 1974, akan berakhir 2023. Lonsum kemudian di akusisi IndoAgri -grup perusahaan Salim Group- tahun 2006. Lonsum awalnya

perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), kini Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sepanjang operasional Lonsum di Bulukuumba, sering terjadi konflik dengan masyarakat sekitar. Tahun 1980-an, perusahaan menuai protes karena dinyatakan menyerobot lahan masyarakat. Tahun 1990-an, persoalan sama terjadi. Tahun 2003, bentrok. Pada 1974, sebagian wilayah perusahaan dikeluarkan, karena permintaan TNI untuk jadi markas Kodam, seluas 500 hektar. Beberapa wilayah juga keluar untuk jadi pemukiman pada 1980. “Jadi ketika perpanjangan HGU 1997, luasan awal 7.000 hektar, tersisa 5.784 hektar. Inilah yang kami kelola sekarang,” kata Rusli dari Lonsum. Pada 1982, sebanyak 25 penggugat melayangkan protes ke Lonsum. Gugatan ini diprakarsai sebagai perwakilan Haji Mappiase, Hamarong dan Bateng. Kelompok ini menggugat, tak berdasarkan kepemilikan sertifikat, melainkan wilayah garapan turun temurun. Dengan mengandalkan batasbatas alam, di Pengadilan Negeri Bulukumba, kelompok penggugat kalah. “Setelah penggugat banding, mereka menang. Putusan Pengadilan Negeri Bulukumba dibatalkan,” kata Aco Bahar, Kepala Bidang Pertanahan, Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan, Bulukumba. “Menjelang 1998, putusan itu ditemukan


KABAR GARIS DEPAN

lagi. Penggugat mengajukan lagi permohonan eksekusi di PN Bulukumba. Lalu turun sita eksekusi. Tahun 1999, eksekusi. Luasan sampai 540 hektar.” Lonsum protes. Luasan itu terlalu luas dari perkiraan awal hanya 200 hektar. Eksekusi waktu itu gunakan batas alam; Sungai Balang Loe, Sungai Galogo, kebun Kodam, dan batas Desa Bulo-bulo. “Ingat, masyarakat tak menggugat luasan, namun wilayah dengan berdasarkan batas-batas alam,” kata Aco. Permintaan penyempurnaan eksekusi dari perusahaan pun ditolak masyarakat. Tahun 2004, perusahaan mengambil paksa 273 hektar. Pada 2006, melalui Pemerintah Sulawesi Selatan, dilakukan mediasi dan penyerahan kembali. “Waktu penyerahaan itu ironisnya, yang menerima bukan masyarakat penggugat. Orang Lonsum sendiri dan beberapa karyawannya,” kata Aco. Apakah sengketa usai. Tidak. Klaim tanah masyarakat seluas 108 hektar, dengan dasar sertifikat (terbit 1980red) muncul. Para penggugat adalah purnawirawan TNI. Waktu itu, sebagai bentuk penghargaan dari pemerintah di Balihuku -sekarang menjadi Desa Swatani wilayah Bonto Mangiring-, setiap purnawirawan mendapatkan masing-masing dua hektar. “Nah lahan ini, semua dibabat habis kembali oleh Lonsum. Dikuasai lagi.” Bagi Lonsum, wilayah Bontobiraeng inilah yang seharusnya tak bersoal lagi karena pemerintah menyatakan selesai. “Kami sudah melepaskan tahun 2006 seluas 271 hektar–itu secara de jure. Itu artinya de facto – wilayah HGU kami hingga 2023 – sudah tak kami miliki. Kami masih membayar pajak. Tanah itu sudah dikuasai masyarakat,” kata Rusli.

Peringatan Hari Tani November 2018, menjadi titik penting masyarakat Kajang. Mereka mendatangi Desa Tamatto, dan memproklamirkan kalau lahan bagian milik masyarakat adat Kajang. “Kami datang dan duduk di tempat ini. Kami mengolah kembali tanah leluhur. Sampai sekarang, sudah lima bulan kami bertahan,” kata Kartini, perempuan 50 tahun yang ikut aksi pendudukan. Masyakat Kajang, mengklaim, wilayah adat yang tersedot masuk HGU Lonsum mencapai 2.800 hektar. Dasarnya adalah Perda No 9/2015, tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak hukum adat Ammatoa Kajang. Saya melihat lampiran peta perda yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan beberapa lembaga. Arsir biru dalam peta yang menjadi klaim tanah adat, hingga ke Kabupaten Sinjai.

Negosiasi gagal Kamis, 28 Februari, sehari sebelum tenggat waktu kesepakatan, para penggugat membersihkan tenda pendudukan dan meninggalkan lokasi sengketa, Wakil Bupati Bulukumba, Tommy Satria menjumpai warga. Pertemuan itu untuk meminta warga meninggalkan lokasi. Warga menolak. Beberapa warga bilang, untuk meninggalkan lokasi harus dengan persetujuan Ammatoa. Negosiasi diterima. Tommy menyanggupi dan akan mengatur waktu bertemu Ammatoa. Pertemuan usai. Perusahaan menyatakan, lahan pendudukan seluas 32 hektar itu, area yang sudah pembersihan dan siap ditanami. Pendudukan yang sudah berlangsung selama lima

bulan dianggap perusahaan sangat merugikan. Setiap hektar biaya pembersihan Rp20 juta. Muncul surat dari Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPP-SPSI) Lonsum, sebagai kepada Kapolres Bulukumba. Surat itu juga meminta pengawalan dan pendampingan guna penertiban lokasi pendudukan. Ditandatangani Abdul Wahab, Ketua FSPP-SPSI Lonsum. Alasan penertiban disebutkan dalam surat untuk, “demi kelancaran kehidupan pekerja dan keluarga, serta kelancaran kerja”. Pembersihan oleh FSPP-SPSI Lonsum dilakukan Sabtu, 2 Maret 2019. Pagi hari, truk-truk mengangkut pekerja dari Palangisang, menuju Desa Tamatto. Ratusan orang memasuki wilayah penduduk didampingi kepolisian. Warga berusaha mempertahankan lokasi. Perempuan dan laki-laki berdiri bersama. Tapi gagal. Rumah-rumah tenda dibongkar. Amiruddin, warga pengunjuk rasa, mempertahankan kawasan itu dengan bertahan di atas bangunan. Dia bilang, akan mati di tempat itu. Beberapa orang manapaki tangga rumah, memaksa dia turun. Amiruddin didorong dan ditarik beberapa orang, hingga jatuh ke tanah. Pekerja dari Lonsum mengerubuti. Ada yang menarik baju. Orang-orang Kajang yang menduduki lahan, akhirnya berakhir diusir. Lonsum dan FSPP-SPSI menang. Tapi, saya yakin konflik akan pecah lagi di kemudian hari. * Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di media online mongabay.co.id dengan judul : Sengkarut Lahan Warga Kajang dan Lonsum Berlarut ***

Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019 |

55


KABAR GARIS DEPAN

56

| Gaung AMAN - Edisi Pemilu 2019


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.