OWT_Nasionalisme Lingkungan_Edi_Purwanto

Page 1


Untuk Anakku... Kuncaraningrat Edi Yoga Istriku... Enggar Widyastuti

&


NASIONALISME LINGKUNGAN Pesan Konservasi dari Lambusango

EDI PURWANTO

Buku ini awalnya disiapkan untuk kampanye Pelestarian Hutan Lambusango (2005-2008), penerbitan ulang buku ini (dengan penambahan artikel baru) ditujukan untuk mendukung Program penyadaran lingkungan Green PNPM (salah satu pilot PNPM Mandiri Perdesaan)


FOREWORD

NASIONALISME LINGKUNGAN Pesan Konservasi dari Lambusango

Penulis Edi Purwanto Disain & Layout Yayasan Operation Wallacea Trust

Penerbit Yayasan Operation Wallacea Trust Taman Cimanggu Jl. Akasia 3 Blok P VI, No. 4, Bogor, Jawa Barat Telp/Fax +62-251-8343 184 E-mail: edi_owt@yahoo.co.id www.owt.org

Cetakan kedua 2012 Isbn: 979-2548-13-X

Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memfotocopi sebagian, atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis Penulis atau Penerbit

T

he conservation of wild nature is really hard work. To be successful it demands developing the heartfelt engagement of government, of local people, of business, and of a wider constituency which has the role of providing or at least supporting funding. It also needs champions. Edi Purwanto is such a champion. He is also one of the most thoughtful Indonesians in the field of conservation and one who knows just how hard the work is. Although he has been employed in a variety of capacities since he left university, it has been his tackling of the difficult task of being the Project Manager for the innovative and complex Lambusango conservation project that has caused him to reflect long and hard on many of the thorny, persistent, intriguing issues which face him on a daily basis. He contemplates the questions, looking between and among them to find appropriate, practical and sustainable ways forward for conserving the special Lambusango forests. The project is financed by the Global Environment Facility and executed by the Operation Wallacea Trust, and has the potential to influence the way conservation is done elsewhere in Indonesia. Edi thus has a great deal of responsibility weighing on his shoulders. There are, of cource, many books on conservation, most written from the viewpoint of biology or social sciences, or written for children or students. This book is original in that it looks at conservation through the lens of nationalism and pictures the general public as its target audience. The book assumes nothing about the knowledge or background of the reader, and is written in an engaging, unscientific, manner which draws the reader into the material. It thus has the potential to reach a wide and new audience for the messages within it. vÂŤ


Pak Edi is to be congratulated on conceptualizing this book and in seeing it through to completion. It deserves to be read--especially in SE Sulawesi--and my hope is that people who had not thought about the demands and excitement of conservation will be brought into community for whom this subject is their passion. Who knows what happen as a result !

PENGANTAR Dr. Antony Whitten Regional Director, Asia Pacific Fauna-Flora International Tony.Whitten@fauna-flora.org

Âťvi

K

onservasi hidupan liar sungguh merupakan pekerjaan berat. Untuk mencapai keberhasilan perlu dibangun dukungan sepenuh hati dari pemerintah, masyarakat, kalangan bisnis dan konstituen luas yang mampu memberi dukungan atau setidaknya menyumbang pendanaan. Pekerjaan berat ini memerlukan orang-orang yang memiliki pengabdian, kesungguhan dan keunggulan (champions). Edi Purwanto termasuk orang yang memiliki pengabdian, kesungguhan dan keunggulan (champions) seperti itu. Ia juga salah seorang Indonesia yang berwawasan luas (most thoughtful) dan menghayati betul beratnya pekerjaan ini. Walau sejak menyelesaikan pendidikan tinggi, ia telah terlibat di berbagai kapasitas pekerjaan, ia kini menangani tugas berat sebagai manajer proyek konservasi inovatif dan kompleks di Hutan lambusango. Kondisi ini telah membuatnya secara terus menerus melakukan refleksi terhadap berbagai onak-duri, isu-isu merisaukan yang harus ia hadapi setiap hari. Ia renungkan berbagai pertanyaan, kemudian ia cari alternatif penyelesaian yang tepat, praktis dan mampu mendukung upaya pelestarian Hutan Lambusango yang memiliki kekhususan ini. Proyek ini didanai oleh Gobal Environment Facility, dilaksanakan oleh Operation Wallacea Trust (OWT) dan berpotensi untuk mempengaruhi pelaksanaan konservasi pada wilayah lain di Indonesia. Di pundak Edi, karena itu, bergayut sebuah tanggung jawab yang amat berat. viiÂŤ


Sekapur Sirih

Telah begitu banyak buku konservasi, sebagian besar ditulis dari sudut pandang ilmu biologi atau sosial serta ditujukan untuk anak-anak dan pelajar. Buku ini begitu khusus, karena memandang konservasi dari kacamata nasionalisme dan ditujukan bagi masyarakat umum. Tidak diperlukan pengetahuan dan latarbelakang keilmuan khusus untuk mampu memahami buku ini, karena ditulis secara hangat/menarik (engaging), populer, sebuah upaya untuk membawa pembaca masuk ke dalam materi buku ini. Dengan demikian, buku ini memiliki kekuatan untuk mampu menyapa kalangan luas maupun pembaca baru sesuai dengan cakupan pesan yang disampaikan. Pak Edi patut diberi ucapan selamat dalam membangun konsep buku ini, juga wawasan konservasi yang disampaikan buku ini layak dibaca, khususnya bagi masyarakat Sulawesi Tenggara harapan saya buku ini dapat membawa pembaca yang selama ini belum memiliki kebutuhan atau terbangun keberpihakannya terhadap konservasi, untuk dapat terdorong masuk ke dalam komunitas konservasi. Siapa tahu, kita lihat saja nanti dampak yang ditimbulkan !

Dr. Antony Whitten Regional Director, Asia Pacific Fauna-Flora International Tony.Whitten@fauna-flora.org

»viii

Sekapur Sirih ”Padamu negeri kami berjanji Padamu negeri kami mengabdi Padamu negeri kami berbakti Bagimu negeri jiwa raga kami” Alunan syahdu Lagu ’Padamu Negeri’ ciptaan Kusbini, setidaknya hingga awal tahun 70-an masih begitu menyentuh hati, membangkitkan rasa haru dan semangat nasionalisme. Namun di era globalisasi ini, selain sudah jarang terdengar, lagu ini mungkin tidak lagi menyentuh nurani sebagian besar anak bangsa ini. Nasionalisme (nationalism) adalah semangat kepatuhan dan keikhlasan berkorban demi kepentingan (kecintaan terhadap) bangsa dan negara. Di jaman revolusi fisik, semangat nasionalisme bangsa ini telah terbukti mampu menggetarkan dunia. Dengan nasionalisme, nusantara, sebuah negeri yang memiliki 18.110 gugusan pulau besar dan kecil, seluas benua Eropa, luas daratan 192 juta hektar, memiliki tiga wilayah waktu, dengan garis pantai sepanjang 54.716 km serta kebinekaan yang luar biasa mampu berdiri menjadi sebuah negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat. Semangat nasionalisme bangsa yang begitu menggelora telah berhasil meyakinkan dunia, sehingga imperialis Belanda hengkang dari bumi pertiwi. Sebuah pencapaian yang sungguh menakjubkan. ix«


Sekapur Sirih

Resonansi nasionalisme dan patriotisme bangsa ini bahkan kemudian mampu membangkitkan semangat bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, untuk kemudian merdeka mengikuti jejak bangsa Indonesia, sebuah bangsa besar yang dulu amat disegani dan dihormati dunia. Sungguh disesalkan bahwa jiwa nasionalisme bangsa yang begitu perkasa itu ternyata begitu cepat luntur ditelan waktu. Di era pembangunan, dimana kemerdekaan sejatinya harus diisi oleh perjuangan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat, justru banyak anak bangsa yang hanyut oleh berbagai jalan pintas untuk menggapai pundi-pundi kekayaan dan kemegahan kekuasaan. Demi, mencapai kepentingan itu mereka begitu tega ’menggadaikan’ kekayaan negeri dalam skala yang jauh lebih masif dan fantastis, dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan kaum penjajah di masa tempo doeloe. Dampaknya adalah katastropi (mega-bencana) lingkungan yang membuat sebagian besar bangsa yang hidup di negeri ’zamrud katulistiwa’ ini, alih-alih menuai kejayaan dan kemakmuran, namun justru menjadi miskin dan semakin tidak berdaya. Perusakan lingkungan negeri bukan hanya mengeroposkan ketahanan nasional, tetapi juga telah merusak citra dan identitas bangsa. Sungguh disayangkan bahwa kemerdekaan yang telah direbut dengan darah dan airmata tidak diikuti oleh nation character building yang kuat dan berkelanjutan. Hampir semua lapisan elit negeri begitu asyik memikirkan diri dan golongannya. Kepentingan umum, urusan bangsa dan negara, khususnya kelestarian alam dan lingkungan sebuah negeri tidak dipedulikan. Implikasinya, sebagian besar upaya perbaikan yang dilakukan tidak mengakar, kehilangan roh, dan bahkan sering justru berdampak pada penyimpangan dan kerusakan yang lebih parah. Memahami kondisi ini, penulis memandang perlu adanya sebuah gerakan untuk menyemaikan kembali jiwa dan semangat nasionalisme. Nasionalisme yang relevan di tengah keterpurukan »x

Sekapur Sirih

mental, moral dan perilaku bangsa yang berdampak kepada kehancuran alam dan tingginya bencana lingkungan buatan manusia adalah nasionalisme lingkungan. Pembangunan nasionalisme lingkungan adalah sebuah gerakan cinta tanah air yang termanifestasi kepada upaya pemeliharaan kelestarian alam negeri. Hal ini berkaitan erat dengan upaya pembangunan mental, moral dan komitmen anak bangsa terhadap tanah tumpah darahnya. Semangat dan jiwa pemeliharaan alam dan lingkungan (konservasi) harus tumbuh dari setiap dada manusia Indonesia. Konservasi sebagai mindset pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan harus menjadi way of life yang mampu mewarnai seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang aparat negara yang nasionalis lingkungan, tidak akan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) untuk menghancurkan hutan lindung yang berfungsi sebagai perlindung tata air, pengendali banjir dan erosi. Tidak merusak kawasan konservasi yang berfungsi sebagai pendukung sistem kehidupan serta gudang sumberdaya genetika. Tidak membabat habis hutan produksi yang masih tersisa demi mempertebal kantong pribadi dan golongannya. Seorang penegak hukum yang nasionalis lingkungan tidak akan membiarkan para dalang illegal logging lolos dari jeratan hukum. Demikian pula seorang tokoh masyarakat desa yang nasionalis lingkungan akan menolak bekerjasama dengan pengusaha hutan nakal untuk menghancurkan lingkungan desanya sendiri. Semua itu mereka lakukan demi menjaga kelestarian lingkungan yang merupakan penopang utama kehidupan serta keberlangsungan negeri yang mereka cintai. Gerakan konservasi, karena itu, adalah sebuah upaya pembangunan jiwa nasionalisme lingkungan ! ***

xi«


Sekapur Sirih

Alam Indonesia kini sedang menuju kehancuran, berbagai bencana tak henti-hentinya menerpa negeri ini. Saat musim hujan, negeri ini didera luapan air bah, sedangkan di musim kemarau dihempas kekeringan dan kebakaran hutan. Bencana lingkungan yang mestinya merupakan force majeur, sesuatu yang tidak bisa diduga, ironisnya telah berubah menjadi keniscayaan. Yang sungguh memprihatinkan, di saat kondisi alam berada diambang kehancuran yang tak terpulihkan, upaya pelestarian alam dan lingkungan justru menghadapi tantangan yang semakin berat. Kohesifitas bangsa ini nampaknya telah begitu longgar, berbagai unsur pembentuk bangsa masing-masing begitu sibuk dan asyik memikirkan dirinya sendiri-sendiri. Dampaknya adalah tumburan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya mega kerusakan alam dan bencana lingkungan yang luar biasa. Gerakan perusakan nasional yang terjadi secara masif, sangat tidak seimbang dengan upaya perbaikan yang dilakukan dengan setengah hati. Buaian budaya materialisme dan kapitalime yang masuk keseluruh sel kehidupan bangsa telah menimbulkan ’bola-bola liar’ yang membuat bangsa ini kehilangan arah dalam menata alam dan lingkungannya. Menghadapi tantangan yang sedemikian berat, ada dua pertanyaan penting, yaitu ’Masih mungkinkah hutan Indonesia dilestarikan?’, ’Masih adakah ruang bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk membantu menyelamatkan sumberdaya hutan yang masih tersisa?’ Pertanyaan ini muncul karena minimnya success story program konservasi di negeri ini. Sudah begitu banyak program konservasi yang diinisiasi oleh pemerintah maupun LSM, investasi skala besar bahkan telah dilakukan di berbagai wilayah, berbagai pendekatan baru telah diuji-cobakan. Namun sebagian (besar) hasilnya kurang menggembirakan, partisipasi publik secara nyata dan berkelanjutan umumnya kurang berhasil untuk digalang. Sementara itu, kebijakan konservasi, praktik konservasi »xii

Sekapur Sirih

di tingkat lapangan menjadi semakin kehilangan orientasi dan fokusnya. Conservation deadlock menjadi ancaman yang paling besar di masa depan (Wiratno, 2006). LSM Operation Wallacea Trust (Opwall Trust) hadir dengan didasari oleh dua keyakinan utama, yaitu sebagian hutan Indonesia masih mungkin diselamatkan dari kehancuran, kemudian kehadiran LSM masih dibutuhkan untuk membangun gerakan nasionalisme lingkungan manusia Indonesia. Pendirian LSM Opwall Trust difasilitasi oleh Operation Wallacea Ltd, sebuah lembaga yang memfasilitasi kegiatan penelitian ilmiah para ilmuwan Inggris (UK) di Hutan Lambusango dan Taman Nasional Wakatobi. LSM Opwall Trust bergerak dalam pembangunan jiwa dan semangat konservasi sumberdaya hayati di Zona (Bioregion) Wallacea baik darat maupun lautan. Untuk tiga tahun pertama, tekanan diberikan pada upaya membangun gerakan konservasi Hutan Lambusango (± 65.000 ha) yang terletak di jantung Pulau Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Hutan Lambusango terletak di Kabupaten Buton (Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Wolowa, Siontapina dan Pasarwajo). Berdasarkan statusnya dapat dibedakan menjadi tiga; (1) Suaka Margasatwa (SM) Lambusango (± 28.510 ha); (2) Cagar Alam (CA) Kakenauwe (± 810 ha). Keduanya saat ini dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan (Balai Konservasi Sumberdaya Hutan, Sulawesi Tenggara/BKSDA); (3) Kawasan hutan lindung dan produksi yang berada di sekitar kawasan konservasi (± 35.000 ha) yang dikelola oleh Pemerintah daerah Kabupaten Buton (Dinas Kehutanan Kabupaten Buton/Dishut). Pulau Buton yang terletak di Zona Wallacea dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi. Berbeda dengan Pulau Sulawesi besar yang telah kehilangan sekitar 30 % dari hutanhutan alamnya, hingga saat ini Pulau Buton masih memiliki hutan yang masih utuh. Letak Pulau Buton yang relatif terisolasi dengan topografi yang bergelombang telah memberikan rahmat tersendiri bagi kelestarian hutannya. xiii«


Sekapur Sirih

Sekapur Sirih

Program Konservasi Hutan Lambusango (PKHL) yang difasilitasi oleh OWT dan mendapat sumber pendanaan dari Global Environment Facility telah mulai beroperasi sejak bulan Juni 2005. PKHL memiliki tujuh komponen utama, yaitu: (1) Perbaikan tata pengelolaan hutan, (2) Pengembangan bisnis pedesaan, (3) Kolaborasi Pengamanan Hutan, (4) Pendidikan dan Penyadaran, (5) Peningkatan Kapasitas, (6) Monitoring keragaman hayati dan sosial ekonomi, (7) Promosi. Uraian singkat dari setiap komponen dapat diperiksa di Lampiran 1. *** Buku ini merupakan bunga rampai opini yang dimuat di Buletin Bulanan Lambusango Lestari edisi November 2005 - Oktober 2006. Seluruh opini yang ditulis dalam buletin ini memeliki satu nafas, yaitu upaya penyadaran terhadap pentingnya mindset konservasi atau pembangunan nasionalisme lingkungan. Penerbitan bunga rampai ini dimaksudkan agar opini konservasi di buletin tersebut bisa dinikmati secara menyeluruh, serta dapat menjangkau kalangan pembaca yang lebih luas. Tulisan ini sebagian besar terinspirasi oleh pengalaman lapangan penulis dalam mengelola Program Konservasi Hutan Lambusango. Bunga rampai ini dikelompokan kedalam empat bagian. Bagian pertama menguraikan semangat dan jiwa nasionalisme lingkungan, serta berbagai bentuk penerapannya dalam geo-politik lokal-nasional. Bagian kedua menawarkan strategi penyemaian nilai-nilai konservasi pada masyarakat yang termarjinalisasi, baik secara sosial, ekonomi dan budaya. Masyarakat membutuhkan langkah nyata untuk memperbaiki keterpurukan ekonomi dan kegegaran sosial dan budaya. Gerakan konservasi, karena itu, harus mampu menciptakan enabling condition, yaitu kondisi pemungkin yang membuat masyarakat berdaya untuk melakukan konservasi. Bagian ketiga membahas perlunya melindungi satwa nusantara, sebagai sumber kekayaan hayati, kebanggaan nasional dan sekaligus merupakan bagian penting bagi upaya Âťxiv

pelestarian ekosistem hutan yang masih tersisa. Bagian terakhir menyuguhkan success story model bisnis ekowisata di Hutan Lambusango yang dirintis dan dikembangkan oleh Operation Wallacea Ltd. Ekowisata merupakan jenis bisnis yang paling kondusif bagi pelestarian hutan yang masih tersisa di negeri ini. Model ekowisata ala Operation Wallacea Ltd ini perlu untuk dikembangkan di wilayah lain di Indonesia. Bahkan Operation Wallacea Ltd, berdasarkan pengalaman pengusahaan ekowisata di Buton, telah berhasil membangun bisnis serupa di berbagai belahan dunia. Memperhatikan bahwa tulisan ini awalnya secara khusus ditujukan kepada masyarakat pemangku kepentingan Hutan Lambusango yang memiliki keragaman tingkat pendidikan dan latar belakang keilmuan, maka penulisannya dibuat populer, diharapkan cukup komunikatif dan mampu menyapa berbagai lapisan masyarakat. Sebagian artikel ini juga ditulis dalam konteks lokal, namun diharapkan berbagai pemikiran dan alternatif solusi yang diberikan, dengan berbagai penyesuaian, dapat diaplikasikan pada skala regional dan bahkan nasional. Akhirnya penulis berharap buku ini dapat memberikan inspirasi terhadap bangkitnya jiwa dan semangat nasionalisme lingkungan yang sangat dibutuhkan bagi kebangkitan bangsa dan negeri tercinta ini.

Bumi Anoa, awal Januari 2007 Penulis Edi Purwanto

xvÂŤ


Daftar Isi Pengantar oleh Dr. Antony Whitten Sekapur Sirih

1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

v ix

Nasionalisme Lingkungan 1 Nasionalisme Lingkungan 3 Mengarusutamakan Praktek Cerdas Green-PNPM 11 Saatnya Menjual Tanpa Merusak 20 Belajar dari Beringin 32 Mencegah Bencana Lingkungan Buatan Manusia 38 Gerakan Menabung Air Melalui Pembangunan Sejuta Resapan 47 Menyatu-hatikan Pertambangan dengan Pelestarian Alam 52 Mencermati Konversi Hutan Alam Menjadi Kebun Kelapa Sawit 58 Rehabilitasi Lahan 64

2

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat 71 1. Konservasi, Kemiskinan dan Transformasi Sosial 73 2. Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat 81 Memperkuat Kelembagaan Petani 4. Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pelestarian Hutan Pengalaman dari Lambusango, Buton 95 5. Perdagangan Mete, Kesejahteraan Petani dan Pelestarian Lingkungan 107 6. Wildlife Conservation Products 114

xviiÂŤ


3 1. 2. 3. 4. 5.

Melindungi Satwa Nusantara 119 Melindungi Satwa Nusantara 121 Perburuan, Desatwanisasi dan Kepunahan Hutan Alam 132 Ada Apa dengan Wallacea? 140 Meneladani Keutamaan Burung Halo 153 Menyayangi Burung di Alam Bebas 161

4

Membangun Ekowisata 169 1. Mengapa Banyak Bule Masuk Kampung Lambusango? 171 2. Operation Wallacea: Berawal dari Buton, kini telah berkembang ke berbagai penjuru dunia 185 3. Operation Wallacea: Membangun pasar wisata ilmiah demi kelestarian Hutan Lambusango 189 4. Membangun Pasar Ekowisata Buton 193 DAFTAR PUSTAKA 204 LAMPIRAN 207 • 13 Catatan Penting tentang Program Konservasi Hutan Lambusango 208 • Tentang penulis 217

»xviii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Eksploitasi Kayu sumber devisa sekaligus sumber petaka lingkungan 21 Gambar 2. Hutan hujan tropika Indonesia menyimpan potensi kayu yang luar biasa besar 23 Gambar 3. Beringin Pencekik, hidup dengan menghisap tanaman lain namun sepanjang hidupnya bermanfaat untuk kesejahteraan makhluk lain 35 Gambar 4. Gambaran sepotong DAS dengan beberapa anak sungainya. Di Indonesia rata-rata panjang sungainya (Hulu ke muara) < 250 Km 50 Gambar 5. Aktifitas penambangan Aspal di Lambusango 57 Gambar 6. Stratifikasi tajuk hutan tropika cukup efektif mengendalikan energi tetesan hujan (Erosivitas hujan) 61 Gambar 7. Hewan Tarsius dan Kuskus yang dapat ditemukan di Hutan Lambusango 106 Gambar 8. Beberapa jenis satwa yang ditemukan di Hutan Lambusango 123 Gambar 9. Kawasan yang gundul seperti ini berakibat langsung pada merosotnya bahkan punahnya keanekaragaman jenis satwa yang dahulu pernah hidup di dalamnya. 133 Gambar 10. Batas Kawasan Wallacea. 147 Gambar 11. Pesona air terjun yang bisa ditemui di dalam kawasan Hutan Lambusango. 149 Gambar 12. Kadalan Sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus), salah satu burung endemik Sulawesi Tenggara. 150 Gambar 13. Dua burung halo jantan sedang berusaha menyuapi anaknya lewat lubang kecil sarangnya yang terletak pada batang tinggi sebuah pohon. 154

xix«


Nasionalisme Lingkungan

Gambar 14. Buah Ara (ficus sp). Inzet, Burung Halo sebagai agen penyebaran biji pohon ara, sedang menggigit buahnya. 155 Gambar 15. Sepasang Burung Halo, jantan sebelah kiri. Burung Halo dikenal monogami sepanjang hidupnya. 156 Gambar 16. Dua alat pengamatan burung yang umum dipakai (a. Binokuler, b. Teleskop). 165 Gambar 17. Seorang mahasiswa asing sedang asyik mengamati burung. 166 Gambar 18. Hutan Lambusango berada di jantung Pulau Buton. 173 Gambar 19. Bentang lahan (lanskap) Lambusango dilihat dari Desa Wakangka, Kecamatan Kapontori. 175 Gambar 20. Beberapa species burung endemik Sulawesi. 177 Gambar 21. Anoa merupakan satwa kebanggaan (flagship species) Hutan Lambusango. Jumlah populasinya diduga tinggal 300 ekor, dimana setengahnya ada di Hutan Lambusango. 180 Gambar 22. Kegiatan pengamatan burung oleh para turis ilmiah. 181 Gambar 23. Jalur transek di Hutan Lambusango. 182 Gambar 24. Salah satu home-stay yang disediakan bagi para wisatawan. 183 Gambar 25. Para wisatawan asing sedang menjelajahi Padang Kuku. 186 Gambar 26. Peta Pulau Buton dan sekitarnya. 194 Gambar 27. Pemandangan Benteng Kraton Buton. 195 Gambar 28. Seorang mahasiswa asing sedang asyik meneliti satwa di Hutan Lambusango ditemani seorang pemandu. 200

Âťxx

1

NASIONALISME LINGKUNGAN

1ÂŤ


1 Nasionalisme Lingkungan

R

amayana sebuah epos (kisah kepahlawanan) dari India yang begitu populer di Indonesia, mengisahkan perang besar antara Rama (pewaris tahta kerajaan Ayodya) dengan Rahwana, maha raja Alengka. Rama yang dibantu oleh ribuan pasukan monyet (kera) pimpinan Hanoman menyerbu Alengka untuk mengambil kembali Sinta (istri Rama) yang diculik oleh Rahwana. Dalam perang ini Rama mewakili pihak kebenaran, sedangkan Rahwana adalah simbol keangkaramurkaan. Pada awalnya perang ini berjalan berimbang, namun setelah Prahasta (panglima perang Alengka) gugur, prajurit Alengka mulai terdesak. Saat itu, Rahwana yang sebelumnya sangat tegar dan begitu yakin akan menuai kemenangan mulai kalut. Dia kemudian membujuk adiknya Kumbakarna, yang sedang bertapa, agar bersedia menjadi panglima perang menggantikan Prahasta. Menyadari bahwa Rahwana di pihak yang salah, Kumbakarna menolak permintaan kakaknya. Berbeda dengan Rahwana yang keras kepala, kejam dan selalu mengumbar nafsu angkara, Kumbakarna adalah raksasa berhati brahmana, berjiwa anoraga (rendah-hati), berbudi halus dan welas asih. Alkisah, perang terus berkecamuk, kekuatan pasukan Alengka terus melemah, dan pasukan monyet-pun mulai soraksorai kegirangan. Tempik sorak pasukan monyet tak urung 3ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Nasionalisme Lingkungan

membangunkan Kumbakarna dari pertapaannya. Dan .. alangkah terkejut hati Kumbakarna menyaksikan negerinya yang berantakan oleh perang yang tidak seimbang. Perasaan Kumbakarna luluhlantak, hatinya geram, darahnya mendidih melihat negerinya menjadi puing-puing. Benteng Alengka roboh, hutan dan seluruh negeri hangus terbakar, bendungan Alengka bobol. Negeri Alengka-pun menjadi gelap gulita, berselimut asap dan hancur diterpa bencana air bah. Melihat kehancuran lingkungan yang begitu mengerikan, Kumbakarna kemudian menghadap Rahwana dan menyatakan sanggup menjadi panglima perang Alengka dan siap mengusir pasukan monyet perusak negeri. Rahwana begitu suka cita melihat perubahan sikap adiknya, dan Kumbakarna-pun segera berujar ihwal perubahan sikapnya. �Wahai kanda Prabu, ketahuilah kepergianku ke medan laga ini bukan sebuah dukungan terhadap keangkaramurkaanmu. Melainkan karena kecintaanku pada negeri Alengka yang saat ini sedang dijarah oleh musuh. Sebagai putra Alengka, aku berkewajiban melindungi kelestarian lingkungan negeriku. Aku sungguh tidak rela bumi Alengka hancur oleh siapapun dan oleh alasan apapun�. Kumbakarna akhirnya gugur di medan perang, jasadnya diusung oleh para bidadari, dan arwahnya memasuki nirwana keabadian. Kumbakarna telah mati syahid. *** Epos lain dari India yang juga telah mengakar di Indonesia, yaitu Mahabarata, diantaranya mengisahkan keluhuran budi Bisma dan kecintaanya terhadap negeri Hastina. Bisma adalah anak tunggal Prabu Sentanu (Raja Hastina) dengan Dewi Gangga. Setelah Gangga meninggal, Prabu Sentanu berniat menikahi Durgandini (seorang janda dari Negeri Wirata). Durgandini menerima lamaran Sentanu, apabila anak hasil perkawinannya kelak akan menjadi raja Hastina. Karena 4

kecintaan Bisma kepada ayahnya, Bisma dengan tulus melepaskan haknya sebagai putra mahkota Hastina, dan ia-pun bersumpah selama hidupnya tidak akan menyentuh tahta Hastina. Tragisnya kedua anak hasil perkawinan Sentanu dengan Durgandini mati muda, tahta Hastina kemudian kosong, sedangkan Bisma-pun tidak bersedia mencabut sumpahnya. Memperhatikan keteguhan hati Bisam, Durgandini kemudian memutuskan memanggil Abiyasa, anaknya dari suami terdahulu (Begawan Palasara), untuk menduduki tahta Hastina. Abiyasa inilah yang kemudian menurunkan Pandawa (ksatria berjumlah 5 orang) dan Kurawa (ksatria berjumlah 100 orang ). Waktu terus berlalu, kekuasaan negeri Hastina setelah surutnya Abiyasa dan anaknya (Prabu Pandu) jatuh ke tangan Kurawa, yaitu Duryudana dan adik-adiknya. Berbeda dengan Pandawa yang berbudi luhur, Kurawa sangat licik dan serakah. Duryudana begitu gila kekuasaan dan tidak ingin menyerahkan sebagian wilayah Hastina yang merupakan hak waris Pandawa. Perebutan kekuasaan inilah yang menimbulkan perang Baratayuda. Untuk menjaga kelestarian lingkungan negeri Hastina, lokus perang saudara (Pandawa-Kurawa) disepakati berada di Padang Kurusetra, sebuah padang luas di wilayah perbatasan Hastina. Bisma yang saat itu sudah uzur memilih bertapa dan tidak ingin ikut campur dalam perang Baratayuda. Alkisah, begitu genderang perang bertalu, tiga ksatria pembela Pandawa dari Wirata, yaitu Seta, Utara dan Wratsangka bersama bala tentaranya langsung menginvasi negeri Hastina. Tindakan ini jelas menyalahi aturan perang. Amukan prajurit Wirata yang membabi-buta tak urung menimbulkan kerusakan lingkungan negeri Hastina. Menyimak kerusakan yang terjadi, Bisma yang sudah gaek langsung memegang senjata untuk menahan amukan Seta. Alhasil, Bisma berhasil menghalau Seta dan wadyabalanya keluar dari negeri Hastina. Kerusakan lingkungan negeri Hastina dapat dicegah dan ketiga ksatria Wirata tersebut gugur di tangan Bisma. 5ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Nasionalisme Lingkungan

Kematian putra Wirata tersebut akhirnya menjadi martir kemarahan sekutu Pandawa, dan akhirnya Bisma-pun gugur oleh terjangan panah prajurit wanita bernama Srikandi. Sesaat sebelum Bisma mangkat, di tengah Padang Kurusetra, Bisma yang sudah renta dan bermandikan darah itu dikerumuni oleh seluruh Pandawa dan Kurawa. Bisma-pun berujar bahwa dia telah mencapai jalan kematian yang paling sempurna, yaitu mati demi mempertahankan kelestarian alam negeri yang dicintai. Bisma-pun mati syahid. *** Kelestarian alam sebuah negeri merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Sejarah mencatat, punahnya negara Mesopotamia, Maya dan Astek oleh bencana lingkungan buatan manusia. Negara akan rapuh dan masa depannya suram bila alam dan lingkungannya menuju kehancuran. Ketahanan nasional sebuah negeri melemah seiring dengan kehancuran sumberdayanya. Mindset ini begitu terpatri di dada Kumbakarna dan Bisma, sehingga mereka rela mempersembahkan seluruh jiwa dan raganya, bahkan pada saat negerinya berada dalam posisi yang salah dan tidak patut dibela. Bagi Kumbakarna dan Bisma, keselamatan lingkungan negerinya adalah berada di atas segala kepentingan, baginya right or wrong is my country ! Alam Indonesia kini sedang menuju kehancuran, bencana demi bencana secara menerus mendera, bahkan ketika di berbagai wilayah masih dilanda banjir dan tanah longsor, bencana lain, yaitu kebakaran hutan dan lahan sudah menyusul. Sungguh ironis, negara pemilik kekayaan alam luar biasa yang seharusnya dapat mensejahterakan rakyatnya, justru seakan menjadi kutukan yang menyengsarakan. Rakyat Indonesia tidak menjadi kaya dengan menebang hutan, mengeksploitasi bahan tambang, melainkan justru miskin dan semakin tergantung terhadap eksploitasi sumberdaya alam.

Âť6

Di lain pihak mega-degradasi lingkungan tidak terbendung yang membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Walau hutan tropis Indonesia kini sudah hampir habis, alih-alih laju dehutanisasi (deforestation) terkendali, justru malah meroket hingga 3,6 juta ha per tahun. Majalah New York Times (26 Desember 2005) menyebut operasi tambang PT Freeport di Papua sejak tahun 1967 telah memproduksi limbah sebesar 6 miliar ton, yang notabene lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan seluruh hasil galian dalam pembangunan Terusan Panama. Perusakan lingkungan negeri bukan hanya mengeroposkan ketahanan nasional tetapi juga telah merusak citra dan identitas bangsa. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa berwibawa, kini banyak diremehkan bangsa lain karena ketidakmampuannya mengelola lingkungan. Perilaku penuh percaya diri Malaysia dalam kasus Ambalat, Sipadan dan Ligitan merefleksikan penilaian negara itu terhadap Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan oleh Australia akhir-akhir ini. Ironisnya, sebagai bangsa yang lahir dari proses perjuangan yang merebut kemerdekaanya dari cengkeraman penjajah, secara rasional, kultural, dan emosional belum muncul sikap, semangat dan etos kerja untuk bangkit memperbaiki keadaan. Para ksatria bangsa justru masih terus asyik berbeda pendapat, tidak saling percaya dan saling menyalahkan. Lalu sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Mengapa kita tidak segera bangkit bersama menghadapi keterpurukan ini? Dimanakah Kumbakarna dan Bisma negeri ini? Sungguh kontras dengan karakter Kumbakarna dan Bisma yang tidak merelakan tanah airnya dirusak barang secuilpun oleh siapapun dan oleh alasan apapun. Manusia Indonesia kini justru asyik menghancurkan lingkungan negerinya, seakan sumberdaya alam yang ada hanya diciptakan untuk dirinya dan hanya untuk saat ini saja. Berbagai kegiatan illegal terjadi dimanamana, tetapi tidak ada satupun kekuatan di negeri ini yang bisa menghentikannya. Bahkan semakin banyak oknum pejabat, 7ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

politisi, penegak hukum yang seharusnya menjadi panglima perang keselamatan lingkungan, justru berbalik mendukung aksi penjarahan. Kita juga termasuk bangsa yang masih sulit belajar. Di tengah rusaknya alam Kalimantan, pemerintah masih saja berkeinginan membuat mega-proyek dengan risiko kerusakan lingkungan skala luas. Rencana pembukaan kebun kelapa sawit seluas 2 juta ha di wilayah perbatasan Kalimantan, jelas akan berdampak terhadap hancurnya hutan alam yang menjadi benteng terakhir flora-fauna Kalimantan, termasuk Orangután. Di Sumatera, kehancuran hutan telah membuat puluhan Gajah Sumatra mengamuk yang kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan pembunuhan gajah secara besar-besaran. Memperhatikan kondisi alam yang semakin rusak dan tingginya nafsu merusak, sudah saatnya paham nasionalisme ditelaah dan disesuaikan konteksnya. Nasionalisme tidak cukup dimaknai sebagai semangat membela negeri dari gangguan, ancaman dan serangan dari luar, atau reaksi emosional sesaat (turun ke jalan, pembakaran bendera, sweeping warga negara asing) sebagai reaksi terhadap cibiran negeri lain. Nasionalisme adalah rasa cinta terhadap kekayaan alam tanah-air dan kesediaan berkorban untuk melindungi lingkungan negeri dari nafsu perusakan dan penjarahan terorganisir yang dilakukan oleh siapapun dan demi alasan apapun. Untuk itu, bangsa ini memerlukan ‘nasionalisme lingkungan’, yaitu tampilnya karakter manusia Indonesia dan kebijakan pembangunan yang pro-perlindungan alam, pro-kelestarian lingkungan dan pro-keseimbangan ekologi (ecological equilibrium). Bangsa ini merindukan tampilnya menteri, gubernur dan bupati yang memiliki kemauan dan komitmen politik untuk melindungi keselamatan alamnya dan bukan sekedar semangat mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan kerusakan lingkungan. »8

Nasionalisme Lingkungan

Setiap warga negara Indonesia dapat memiliki nasionalisme lingkungan tanpa harus menjadi Kumbakarna atau Bisma. Nasionalisme lingkungan bisa dimulai dari hal sederhana, bahkan cukup dengan bekerja sesuai tugas dan kewajibannya secara profesional. Nasionalisme lingkungan adalah disiplin, kerja keras, menghargai prestasi, budaya bersih, hemat energi, tidak korupsi dan sebagainya. Setiap manusia Indonesia bisa berjiwa nasionalisme lingkungan tanpa harus menyandang sebutan aktifis lingkungan atau watch-dog pembangunan. Seorang polisi hutan yang menunaikan tugasnya dengan baik sehingga hutannya aman dari penjarahan, adalah polisi hutan berjiwa nasionalisme lingkungan. Demikian pula seorang jaksa yang memberikan tuntutan hukuman yang layak bagi cukong perusak lingkungan. Pengusaha sawit yang tidak melakukan pembakaran lahan. Penegak hukum di wilayah perbatasan yang bernyali mencegah penyelundupan kayu. Seorang hakim yang memberikan vonis sesuai perundangan yang berlaku. Pemegang konsesi hutan yang meminimalisasi dampak penebangan hutan. Industri pengolahan yang meminimalisasi limbah. Pejabat Pemda yang gigih memfasilitasi pengalokasian kawasan lindung. Bupati yang menolak ijin pertambangan di kawasan hutan lindung. Dan ... bahkan juga seorang ibu yang mendidik anaknya sejak dini untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat ….. daftar ini dapat diteruskan…dan jumlahnya mungkin bisa tak terhingga. Singkatnya nasionalisme lingkungan adalah Penggunaan mindset konservasi lingkungan pada seluruh aspek kehidupan, yaitu menjadikan etika konservasi lingkungan sebagai way of life, ideologi dan pandangan hidup penyelenggaraan kehidupan ! ***


2 Mengarusutamakan Praktek Cerdas Green-PNPM

S

uasana desa di sekitar hulu sungai yang doeloe berhias suara alam, gemercik air, desah angin dan kicauan burung, kini bising oleh raungan ‘chain-saw’ (gergaji mesin). Desadesa di sekitar muara sungai yang doeloe berselimut hutan mangrove kini hanya menyisakan beberapa gelintir bakau. Petani yang doeloe kemana-mana memanggul bibit, menebar benih kehidupan, kini lebih sering memanggul chainsaw, senjata pemusnah kehidupan. Keperkasaan hutan mangrove yang telah hadir selama ribuan tahun, kini harus dikorbankan demi perluasan kota. Keindahan pesisir banyak tergerus oleh penambangan pasir, pencemaran limbah industri dan sedimen pertambangan. Budaya pelestarian yang doeloe melekat di perdesaan kini dilindas oleh deru komersialisme yang membuat manusia seakan tidak puaspuasnya merusak semua yang masih bisa dirusak. Kelestarian alam adalah sebuah keniscayaan bagi keberlanjutan kehidupan. Pembangunan lestari adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mengutamakan 11ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

kelestarian lingkungan. Pembangunan lestari adalah pembangunan yang mampu mempertahankan dan memperbesar aset pembangunan, bukan merusak dan menghabiskannya. Pembangunan fisik dan ekonomi tidak ada artinya apabila tidak didukung oleh kelestarian alam. Alam yang rapuh akan mengundang bencana yang menghancurkan seluruh kemajuan dan investasi pembangunan. Berbagai bencana alam yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir seharusnya memberikan pelajaran terhadap pentingnya penguatan daya dukung lingkungan seiring dengan pelaksanaan pembangunan. Berdasarkan latar belakang di atas, pada tahun 2007, Direktorat Sumderdaya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri bekerjasama dengan Bank Dunia dan dukungan dana hibah dari Canadian International Development Agency (CIDA), menginisiasi Pilot Program yang menempel pada Program Pembangunan Kecamatan (PPK), sehingga Pilot ini awalnya bernama PPK-Hijau. Pada tahun 2008, PPK, program pengentasan kemiskinan perdesaan yang telah dimulai sejak tahun 1999 berganti nama menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) alias PNPM Mandiri Perdesaan (Rural PNPM), untuk membedakan dengan PNPM Mandiri Perkotaan. Sehingga, istilah PPK-Hijau ikut berganti menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP) alias Green-PNPM. Jika diibaratkan PNPM Mandiri Perdesaan adalah sebuah rumah, maka Green-PNPM adalah salah satu jendelanya, disamping jendela-jendela yang lain, yaitu pilot-pilot program dibawah PNPM Perdesaan, sehingga pilot program ini juga dikenal sebagai Green-Window PNPM Mandiri Perdesaan. Karena itu, seluruh tahapan fasilitasi masyarakat dan mekanisme

»12

Nasionalisme Lingkungan

pencairan dana Green Block-Grant atau Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sepenuhnya mengacu pada aturan PNPM Mandiri Perdesaan.

Pilot Green-PNPM Operation Wallacea Trust (OWT), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pelestarian lingkungan yang bermisi ‘Bersama Masyarakat Melestarikan Alam’, mulai akhir tahun 2007 hingga April 2011 mendapat kepercayaan dari Bank Dunia untuk memberikan pendampingan masyarakat dalam pelaksanaan Green-PNPM, khususnya dalam penyadaran dan pelatihan lingkungan. Kegiatan ini merupakan Komponen Tiga dari empat komponen Green-PNPM yang didanai oleh CIDA dan diadministrasi oleh Bank Dunia. Pilot Green-PNPM pertama dilaksanakan di Sulawesi dan kini telah diperluas di Sumatera. Di Sulawesi dilaksanakan di empat provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengara. OWT menjadi pendamping GreenPNPM di tiga provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Barat (Kabupaten Mamasa), Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu Utara dan Toraja Utara) dan Provinsi Sulawesi Tenggara/Sultra (Kabupaten Buton, Muna dan Kolaka). LSM pendamping Green PNPM di Provinsi Sulawesi Utara adalah Wildlife Conservation Society (WCS), sedangkan Pilot di Kabupaten Maros, Wajo dan Toraja (Provinsi Sulawesi Selatan) adalah Care International. Pilot Green-PNPM di Provinsi Sultra berada di Kabupaten Buton, Muna dan Kolaka. Dari setiap kabupaten, dipilih tiga kecamatan pilot, yaitu Mawasangka, Sampolawa dan Pasarwajo di Kabupaten Buton, Tongkuno, Lawa dan Napabalano di Kabupaten Muna, Ladongi, Baula dan Watubangga di Kabupaten Kolaka. Perbedaan Green-PNPM dengan PNPM Mandiri Perdesaan terletak pada jenis usulan masyarakat yang bisa didanai oleh BLM. Usulan PNPM Mandiri Perdesaan bersifat ‘open-menu’, 13«


Nasionalisme Lingkungan

terbuka berbagai pilihan, sedangkan Green-PNPM harus merupakan usulan hijau (green sub-project), yaitu usulan yang memberikan manfaat bagi: (a) pelestarian dan peningkatan daya dukung sumberdaya alam (SDA); (b) penggunaan energi terbarukan ramah lingkungan; (c) perbaikan lingkungan yang mampu meningkatkan pendapatan (income) masyarakat. Untuk merubah usulan open menu, yang didominasi oleh pembangunan fisik menjadi usulan hijau diperlukan penyadaran lingkungan secara intensif. Pada ranah inilah OWT bekerja. Peran lain, yaitu fasilitasi dan administrasi penyaluran BLM ditangani oleh konsultan (Fasilitator PNPM). Sedangkan pengelola dan penanggung jawab program berada di pundak Satuan Kerja (satker), Badan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (BPMD), baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.

Strategi Penyadaran Lingkungan Penyadaran lingkungan yang kami lakukan bukan sekedar memberikan penyuluhan, namun diperkuat dengan pembangunan percontohan (demonstration plot) perbaikan lingkungan yang bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Berbagai percontohan, termasuk Rumah Pembelajaran Lingkungan dimaksudkan sebagai kegiatan perintis (pioner) yang diharapkan akan dikembangkan (direplikasi) masyarakat baik oleh biaya sendiri maupun dengan dana BLM yang disalurkan oleh Satker ke Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) di tingkat kecamatan. Sesuai aturan PNPM Mandiri Perdesaan, penerimaan dana BLM di desa dilakukan dengan sistem kompetisi dan dibahas secara demokratis dalam Musyawarah Antar Desa (MAD) di tingkat kecamatan. Memulai sesuatu hal baru bagi masyarakat miskin perdesaan adalah sebuah keputusan besar. Untuk itu masyarakat tidak cukup hanya disadarkan, melainkan harus diberikan contoh nyata yang tidak saja bisa digambarkan dan dihitung di atas kertas, melainkan telah dibuktikan secara langsung. Masyarakat miskin, dengan segala keterbatasannya, berfikir beberapa kali Âť14

Nasionalisme Lingkungan

untuk memilih kegiatan baru yang belum jelas manfaatnya. Untuk itu percontohan yang kami tawarkan selain ramah lingkungan juga harus mampu meningkatkan pendapatan atau menghemat pengeluaran. Percontohan, betapa tinggi manfaatnya bagi pelestarian lingkungan, apabila tidak mendatangkan manfaat ekonomi langsung secara berarti dan cepat, akan sulit diterima masyarakat. Setelah bekerja keras sejak awal tahun 2008, berbagai percontohan (demplot) perbaikan lingkungan dan aplikasi teknologi tepat guna (TTG) dalam pemanfaatan energi terbarukan/ renewable energy (RE) telah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa usulan pembangunan yang mereka butuhkan adalah bukan semata pembangunan fisik. Kegiatan pembangunan nonfisik pro-pelestarian lingkungan terbukti tidak kalah manfaatnya. Kegiatan ramah lingkungan yang mampu meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat ini kami sebut sebagai Praktek Cerdas (smart-practices).

Menemukenali Praktek Cerdas Perumusan berbagai pilihan praktek cerdas yang diperlukan masyarakat tidak bisa dilakukan dengan hanya mengkopi apa yang telah dilakukan di tempat lain. Kami perlu mengenali betul budaya masyarakat dan potensi alamnya sebelum menawarkan pilihan. Karena itu, kami melakukan survei PSP, survei pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat (knowledge, attitude and practices) sebelum memulai penyadaran lingkungan. Dari survei PSP kami mengetahui kebiasaan masyarakat dan latar belakangnya, kapan masyarakat memiliki waktu luang untuk memperhatikan lingkungan, bagaimana praktek beternak, bertani dan pengelolaan SDA, siapa yang lebih dominan dalam merumuskan pengelolaan SDA. Pada sisi mana, masyarakat perlu ditingkatkan kapasitasnya dan sebagainya. Pemahaman ini kami jadikan sebagai dasar untuk menyusun bahan penyadaran yang sesuai dengan kelompok sasaran. 15ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Tahapan berikutnya adalah membuat Rona Lingkungan, yaitu survei untuk menggali potensi dan permasalahan SDA desa. Survei ini kami lakukan bersama masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengenali potensi dan permasalahan lingkungan dan sekaligus bisa memetakannya. Melalui survei ini kami mengetahui potensi SDA penting desa, misalnya bahwa desa tertentu memiliki potensi tempurung kelapa, wilayah tertentu terjadi perusakan terumbu karang, pesisir desa tertentu sesuai untuk budidaya rumput laut, desa tertentu cocok untuk tanaman jeruk, wilayah tertentu berpotensi dikembangkan biogas dan sebagainya. Kedua survei di atas, selain bermanfaat untuk merumuskan program perbaikan lingkungan yang bersifat khas (local specific) di setiap desa sasaran, juga penting sebagai base-line data, yang bisa digunakan untuk menilai efektifitas kegiatan penyadaran, dengan membandingkan data sebelum dan setelah dilakukan penyadaran lingkungan. Berbekal hasil analisa data dari kedua survei tersebut kami memulai melakukan kegiatan penyadaran sesuai dengan siklus PNPM Mandiri Perdesaan, dimulai dari MAD Sosialisasi di tingkat kecamatan, penggalian gagasan, musyawarah desa perencanaan, penulisan usulan, verifikasi usulan, MAD penetapan usulan dan sebagainya. Selain mengikuti alur PNPM Perdesaan, kami juga melakukan fasilitasi pembangunan demplot, sedemikian rupa sehingga demplot tersebut dapat menginspirasi perumusan usulan dalam musyawarah desa perencanaan. Sebagai contoh, pada tahun 2009, memahami seluruh hutan magrove di wilayah pesisir Kecamatan Mawasangka (Kabupaten Buton) telah rusak, kami melakukan penyuluhan pentingnya rehabilitasi hutan mangrove sebagai pelindung pantai dan tempat budidaya kepiting bakau. Penyadaran intensif di setiap desa pesisir telah berhasil memotivasi terbangunnya Piagam Kesepakatan Kecamatan Mawasangka untuk merehabilitasi magrove. Kemudian kami memfasilitasi gerakan penanaman Âť16

Nasionalisme Lingkungan

mangrove di Desa Oengkolaki yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, kepala desa hingga Muspika. Event ini berhasil menginspirasi masyarakat Kecamatan Mawasangka, sehingga seluruh dana BLM tahun 2008 (500 juta) di kecamatan ini dimanfaatkan untuk rehabilitasi mangrove di lima desa, yaitu Desa Terapung, Banga, Tanailandu, Kanapa-napa dan Wakabangura. Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Napabalano (Kabupaten Muna), dimana BLM tahun 2008 dimanfaatkan untuk penanaman mangrove di Desa Tampo, Renda dan Bahari. Ribuan tanaman dan puluhan hektar hutan mangrove yang hancur mulai bersemi kembali dan usaha kepiting bakau yang dulu menghilang kini telah mulai menggeliat. Sebuah bukti bahwa penguatan daya dukung lingkungan dapat membangunkan sumber penghasilan.

Strategi Pengarusutamaan Praktek Cerdas Strategi kami dalam membangun praktek cerdas adalah berawal dari desa bukan dari belakang meja. Setelah berhasil membangun praktek cerdas di berbagai desa, baru kemudian melakukan sosialisai keatas secara bertahap, dimulai dengan tingkat kecamatan, kemudian kabupaten dan provinsi. Beberapa praktek cerdas yang telah berhasil kami fasilitasi adalah: (a) rehabilitasi lahan sekitar mata air, (b) rehabilitasi hutan magrove; (c) pembuatan persemaian pohon buah-buahan; (d) membuat hutan rakyat; (e) budidaya lebah madu; (f) pembuatan biogas; (g) pembuatan briket arang tempurung kelapa; (g) pembuatan tungku hemat energi; (h) penanaman rumput laut; (i) penggunaan kompor jarak; (j) penanaman jeruk; (k) penanaman jarak; (l) pembuatan pupuk organik; (m) pengolahan mete dsb. Upaya pengarusutamaan (mainstreaming) praktek cerdas Green-PNPM di desa dalam kecamatan pilot, selain melalui sosialisasi, juga kami lakukan melalui fasilitasi perumusan Peraturan Desa (Perdes) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa. Dimana seluruh praktek cerdas, sesuai rona lingkungan, telah masuk sebagai usulan desa yang 17ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

layak mendapat pembiayaan. Mulai tahun 2011, seluruh usulan pembiayaan pembangunan desa akan mengacu pada dokumen RPJM Desa. Upaya mengarusutamakan praktek cerdas di tingkat kabupaten dan provinsi kami lakukan melalui workshop dan pertemuan yang diorganisasi oleh pemerintah sebagai upaya influencing policy. Hasilnya, kini telah mulai nampak: (a) Kabupaten Kolaka pada tahun 2011 akan mengembangkan briket arang tempurung kelapa sebagai salah satu program unggulan kabupaten, (b) Kabupaten Muna akan mengembangkan biogas permanen untuk desa-desa yang memiliki banyak ternak sapi, (c) dana block-grant Provinsi Sultra (Bahteramas) akan diarahkan untuk mereplikasi praktek cerdas Green-PNPM. Influencing Policy, merupakan upaya penting dalam Exit Strategy penyadaran lingkungan. Dalam rangka Exit Strategy, kami juga melakukan pelatihan secara masif seluruh pelaku kunci PNPM. Pelatihan baru kita genjot setelah kami banyak memakan asam garam praktek cerdas, sehingga pelatihan kami bukan sekedar teori atau kami bukan sekedar event organizer pelatihan, namun benar-benar memegang kunci shared-learning dari lapangan. Keberhasilan Green-PNPM ditentukan oleh seberapa besar kegiatan penyadaran lingkungan mampu merubah mindset masyarakat, dari usulan pembangunan yang umumnya didominasi oleh pembangunan fisik, menjadi kegiatan perbaikan lingkungan. Untuk itu. setelah berhasil menginspirasi, memfasilitasi dan mereplikasi praktek cerdas di tingkat desa, kami berupaya untuk mengarusutamakan praktek cerdas ini keluar wilayah pilot Green-PNPM. Harapan kami, praktek cerdas bukan hanya diterapkan di desa-desa tertentu pada kecamatan pilot, melainkan disebagian besar desa di kecamatan pilot. Bukan hanya di sembilan kecamantan pilot, tetapi juga diseluruh kecamatan dari tiga Âť18

Nasionalisme Lingkungan

kabupaten pilot. Bukan hanya di tiga kabupaten pilot melainkan juga di seluruh kabupaten pada Provinsi pilot. Bukan hanya di provinsi pilot melainkan juga ke tingkat nasional. Impian kami, suatu saat nanti sebagian besar usulan pembangunan masyarakat perdesaan baik yang didukung oleh dana PNPM Mandiri maupun sumber lainnya (ADD, Bahteramas dsb.) akan didominasi oleh usulan hijau, yaitu usulan pembangunan ramah lingkungan yang mampu meningkatkan kesejahteraan sebagian besar masyarakat miskin perdesaan secara cepat ! ***

19ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Namun kenyataannya kini, berbagai jargon kelestarian itu, ternyata kosong belaka. Kata lestari ternyata hanya ditempatkan sebagai aksesoris (hiasan) dan tidak menjadi muara dari setiap kegiatan eksploitasi hutan.

3

D

i Indonesia, eksploitasi hutan hujan tropika secara gencar dimulai setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, serta Peraturan Pemerintah Nomer 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Penebangan hutan hujan tropika (HHT) secara masif dan serentak di berbagai wilayah tentu pada awalnya tidak ditujukan untuk menghancurkan sumberdaya hutan di bumi tercinta ini. Berbagai pihak, termasuk para teknokrat hutan (sering menyebut dirinya sebagai rimbawan) jebolan berbagai universitas kehutanan ternama negeri ini, awalnya begitu haqul yakin bahwa penebangan skala besar ini tidak berdampak pada kehancuran hutan Indonesia. Hal ini nampak jelas dari berbagai tema atau kesimpulan seminar-seminar kehutanan yang begitu marak di tahun 70-an, demikian pula pidato pejabat-pejabat kehutanan yang selalu menyebut kata ‘lestari’ (sustainable). Bahkan tingginya ke ‘pd’ (‘percaya-diri’)-an ini tercermin pula dari nama berbagai unit usaha kehutanan dan HPH yang juga banyak mengobral kata ‘lestari’.

»20

Foto: Warta fkkm

Saatnya Menjual Tanpa Merusak

Gambar 1. Eksploitasi Kayu sumber devisa sekaligus sumber petaka lingkungan

Sistem HPH yang diharapkan sebagai penjaga gawang kelestarian hutan Indonesia ternyata tidak lebih sebagai penjual hutan dalam arti yang sebenar-benarnya. Yang disayangkan, HPH yang telah terbukti merusak hutan, banyak yang hanya cukup ‘menebus’ kesalahannya dengan dicabutnya SK HPH. Ini jelas bukan sebuah petaka, bahkan mereka justru terbebas dari tanggung jawab memperbaiki kondisi hutan yang telah dihancurkan. Kemudian modal yang sudah dihisap dari hutan dapat diinvestasikan ke usaha lain. Sebagaimana namanya ‘Hak Pengusahaan Hutan’, mereka seakan memang hanya menerima ‘hak’ untuk menjual hutan, tanpa kewajiban untuk melestarikannya. 21«


Pertanyaannya, dalam kondisi hutan yang carut marut ini, apakah konsep menjual hutan lama ini masih layak dipertahankan? Apakah sektor kehutanan masih dituntut untuk mengisi pundipundi negara dengan cara menghancurkan hutan yang telah berada diambang kepunahan ini?

Konsep tebang pilih di hutan alam Dalam Ilmu Kehutanan, konsep tebang pilih (selective logging)--sebuah mahzab silvikultur (ilmu budidaya hutan) polisiklik--adalah menebang riap/laju pertumbuhan (growth, increment) ekosistem hutan, sehingga keberadaan hutan sebagai faktor produksi bersifat tetap. Ibarat ekosistem hutan adalah sebuah pabrik kayu, maka pepohonan hutan adalah pabriknya. Apabila sebuah HPH mendapat konsesi hutan seluas 100.000 ha, kemudian rata-rata riap (pertumbuhan) ekosistem hutan adalah sebesar 1 m3/ha, maka jatah rata-rata tebangan HPH per tahun (annual allowable cut) sebesar 100.000 m3. Ribuan m3 kayu karenanya dapat diambil, tanpa harus menghancurkan ekosistem hutan sebagai pabrik kayu. Apabila HPH mendapatkan konsesi pengusahaan hutan selama 20 tahun, maka pada akhir tahun ke 20 masa konsesi, HPH harus mengembalikan hutan tersebut kepada negara dalam kondisi baik. Prinsip inilah yang dalam ilmu kehutanan dikenal sebagai prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle). Sebutan Hutan Hujan Tropika (HHT) pertama diperkenalkan oleh A.F.W. Schimper (seorang ahli botani kebangsaan Jerman) pada tahun 1898 dalam bukunya yang pada tahun 1903 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul ‘Plant geography upon an ecological basis’. Schimper menggunakan istilah trophise Regenwalt yang kemudian dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai tropical rain forests, yang berarti hutan yang selalu basah, tidak pernah, jarang atau hanya secara musiman mengalami kekurangan air. Âť22

Nasionalisme Lingkungan

Di dunia ini ada tiga kelompok besar HHT, yaitu HHT blok Amerika (American/Neotropical rain forest), HHT Afrika (African rain forest) dan HHT Indo-Malaya (Indo Malayan/ Eastern/Malesia rain forest). HHT blok Amerika terletak di Amerika Latin (Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kepulauan Karibea) serta terpusat di lembah sungai Amazon dan Orinoko. Blok HHT terbesar yang luasnya sekitar tiga perlima HHT bumi ini sebagian besar berada di Brazil yang sekaligus merupakan negara pemilik hutan terluas di dunia. Blok Kedua adalah HHT Afrika yang proporsinya kurang dari seperlima HHT bumi dan berada di Afrika Tengah serta terkonsentrasi di lembah Kongo/ Zaire. Sedangkan HHT Indo-Malaya berada di kawasan Asia Pasifik, terpusat di Indonesia dan Malaysia.

Foto: Badan Litbang Kehutanan

Nasionalisme Lingkungan

Gambar 2. Hutan hujan tropika Indonesia menyimpan potensi kayu yang luar biasa besar

23ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Dominasi famili Dipterocarpaceae di HHT Indo-Malaya membuat HHT ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan HHT Amerika dan Afrika. HHT Indo-Malaya juga paling ideal untuk dikelola secara lestari. Sekitar lima hingga sepuluh tahun sekali, Famili Dipterocarpaceae mengalami pembungaan dan pembuahan besar-besaran, sehingga lantai hutan dipadati oleh hamparan anakan pohon yang menjamin kelestariannya. HHT Indo-Malaya juga memiliki kerapatan dan kekayaan jenis komersial tertinggi di dunia, sehingga membuat bisnis penebangan hutan (logging) lebih ekonomis dan menguntungkan dibandingkan di Amerika Selatan dan Afrika. Kondisi hutan seperti inilah yang mendukung Indonesia hingga pernah dijuluki sebagai ‘macan kayu’ Asia. Prinsip dasar silvikultur tebang pilih sebetulnya adalah menghindarkan ke-mubazir-an alam. Hutan alam betapapun bagusnya, dieksploitasi atau tidak, secara alami tetap mengalami ‘kerusakan’. Beberapa pohon akan tumbang, baik oleh bencana alam seperti sambaran petir, badai, tanah longsor atau mati secara alami karena umur yang terlalu tua (over-maturity). Tumbangnya beberapa pohon akan membuka tajuk hutan, sehingga cahaya matahari bisa menerobos lantai hutan yang kemudian merangsang pertumbuhan anakan pohon dan merangsang hadirnya tegakan muda. Dengan demikian hutan alam yang tidak terganggu sekalipun mengalami dinamika perubahan dan terdiri dari berbagai mosaik tingkat pertumbuhan, dimana tingkat kekasaran mosaiknya ditentukan oleh frekuensi dan intensitas gangguan alaminya. Walau tanpa perlakuan khusus, hutan tropis akan mampu menyembuhkan dirinya dari berbagai dampak pembalakan hutan, asalkan hutan bekas pembalakan (logged over area) ini harus dijaga dari berbagai kerusakan. Diantaranya adalah, tebang cuci mangkok (relogging), atau perambahan kawasan hutan oleh masyarakat yang datang setelah jalan-jalan hutan terbuka. Pengelolaan hutan tropis sebenarnya tidak memerlukan teknologi »24

Nasionalisme Lingkungan

canggih dan rumit, curah hujan yang tinggi dan tanah hutan yang masih subur, akan mendukung terjadinya suksesi alam dari hutan-hutan sekunder secara cepat, asalkan hutan tersebut tidak terganggu atau sengaja untuk dirusak. Konsep tebang pilih ditujukan untuk mengurangi ke-mubazir-an alam dengan mengurangi tegakan tua, kemudian pada saat yang sama merangsang tumbuhnya tegakan muda. Hutan tropis juga dikenal memiliki daya recovery (pemulihan) yang tinggi terhadap gangguan akibat pembalakan hutan. Jelaslah bahwa konsep tebang pilih sebetulnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk merusak, justru sebaliknya sebagai upaya meningkatkan produktifitas hutan.

Menjual dengan merusak Sejarah mencatat konsep silvikultur tebang pilih sebagaimana diuraikan diatas tidak diterapkan secara murni dan konsekuen di lapangan, dampaknya adalah kehancuran hutan. Dari sekitar 570 HPH yang pernah ada, tidak ada satupun yang terbukti mampu mengelola hutannya secara lestari dengan sistem tebang pilih. Bahkan bukan hanya HPH yang dimiliki oleh perusahaan swasta atau BUMN kehutanan, HPH yang dikelola oleh perguruan tinggi kehutanan-pun hancur juga, bahkan hutan latihan atau hutan penelitian yang dikelola pemerintah yang seharusnya menjadi contoh juga mengalami nasib serupa. Kenapa semuanya itu terjadi? Jawabnya sederhana, karena sebagian besar pihak yang terlibat dalam eksploitasi hutan, baik swasta, BUMN maupun pemerintah hanya berniat menjadikan hutan sebagai mesin uang. Niat ini sejak awal tersirat dari Peraturan Pemerintah/PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP ini menyebutkan bahwa negara memandang hutan sebagai suatu potensi kekayaan alam yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal. Kata ‘segera’ dan ‘maksimal’ yang tercantum dalam konsideran PP tersebut menunjukan bahwa negara lebih 25«


Nasionalisme Lingkungan

memandang hutan sebagai sesuatu yang perlu segera dijual, dibandingkan sebagai sumberdaya yang perlu dikelola secara cermat. Karena itu, di saat hutan masih melimpah, kesuksesan HPH umumnya hanya dilihat dari berapa besar volume kayu yang bisa ditambang dari hutan, dan bukan keberhasilannya mengamankan hutan untuk tebangan rotasi berikutnya. Karena itu, ‘logging’ yang dalam konsep pengelolaan hutan secara lestari adalah sebuah upaya untuk mengendalikan kemubazir-an alam tidak lebih hanya diartikan sebagai proses penambangan kayu tanpa kendali. Kegiatan silvikultur yang semula didisain menjadi ujung tombak pelaksanaan logging, dalam praktiknya hanya digunakan sebagai sekedar hiasan. Sarjana-sarjana kehutanan profesional yang harusnya menjadi panglima pengelolaan kelestarian hutan, banyak yang akhirnya cukup digantikan oleh operator chain-saw yang ukuran kinerjanya adalah besarnya volume kayu yang dapat ditambang dari hutan dan bukan kelestarian ekosistem sumberdaya hutan itu sendiri. Konsep menjual hutan macam inilah yang kemudian membawa negeri ini menjadi penghasil log terbesar di dunia, yang membuat sebagian besar rimbawan, politisi dan aparat negeri ini ketiban rejeki nomplok (windfall profit). Produksi log nasional menembus angka 100 juta m3 per tahun. Devisa kayu yang diperoleh pada tahun 1980-an pernah menduduki posisi kedua setelah minyak. Pada tahun 1990-an, perolehan devisa kayu adalah kedua setelah tekstil. Namun konsep menjual hutan macam ini jelas tak akan bertahan lama. Gilang-gemilang itu seakan hanya terjadi dalam sekejap. HPH dan industri kehutanan secara perlahan tetapi pasti berguguran. Pada tahun 1990 masih tercatat 567 HPH yang menguasai 60 juta hektar, sepuluh tahun kemudian hanya tersisa 270 HPH dengan luas 28 juta hektar. Kemudian pada tahun 2004, jumlahnya merosot lagi menjadi 225 HPH. Semakin rusaknya Âť26

Nasionalisme Lingkungan

hutan, dan tingginya ancaman kerusakan hutan dari berbagai pihak, telah membuat sejumlah besar HPH berguguran, sekitar 25 - 40 HPH gulung tikar setiap tahunnya. Semakin terakumulasinya konflik kepentingan atas sumberdaya hutan telah membuat laju dehutanisasi (deforestation, penggundulan hutan) meningkat tajam. Pada periode 1985-1997 sebesar 1,9 juta ha/tahun, atau hutan alam seluas enam lapangan sepak bola hancur setiap menitnya. Sementara pada periode 1997-2000 (menurut Badan Planologi, Departemen Kehutanan, 2003) justru meroket menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Sebuah laju kerusakan hutan alam terhebat di dunia ! Saat ini, 72 persen hutan alam Indonesia yang sering disebut oleh para pecinta lingkungan sebagai hutan surgawi (paradise forest) telah terdegradasi, sedangkan 40 persen hutan Indonesia telah hancur dan sebagian besar telah dikonversi untuk berbagai tata-guna lahan non-hutan. Hutan alam Indonesia yang masih tersisa diperkirakan hanya 20 persen saja (Greenpeace, 2006). Kini sebagian besar penebangan kayu dilakukan secara ilegal oleh para cukong kebal hukum. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar keuntungan tersebut justru dinikmati oleh China dan Malaysia. Para cukong itu begitu mahir menjual hutan Kalimantan dan Papua secara diam-diam ke China dan Malaysia, kemudian negara tersebut mengekspornya ke Jepang, Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kondisi macam ini ditengarai menimbulkan kerugian miliaran dollar AS setiap tahunnya. Namun apa mau dikata, gerakan penghancuran lingkungan yang begitu masif dan teroganisir ini tidak bisa dihentikan oleh negara.

Menjual tanpa merusak Mengambil pelajaran dari kerusakan hutan nasional yang terjadi, bersyukurlah bahwa masyarakat Buton dimana penulis bekerja saat ini, masih memiliki Hutan Lambusango (65.000 ha) yang sampai kini belum tersentuh oleh konsep menjual hutan dengan cara merusak. Tidak ada ceritanya menjual kayu hutan 27ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

alam itu menguntungkan. Apabila dilakukan audit sumberdaya, keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu pasti tidak seimbang dengan biaya ekologi dan sosial yang ditimbulkan akibat kerusakan ekosistem hutan. Setiap hutan alam yang masih utuh memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat disekitarnya. Dengan semakin langkanya hutan alam, maka jasa lingkungan hutan ini memiliki nilai kelangkaan yang semakin tinggi pula. Sebagai ilustrasi dari Buton, saat ini, seluruh jasa lingkungan Hutan Lambusango sudah mulai dikenal oleh pemangku kepentingannya dan telah mulai dijual dengan tanpa merusak. Masyarakat Lambusango kini begitu sadar apabila sumberdaya air Hutan Lambusango selain digunakan sebagai sumber air minum dan irigasi, selama ini juga telah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang dinikmati oleh penduduk di Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau serta sebagian wilayah Kabupaten Muna. Ada lebih dari 50.000 Kepala Keluarga (KK) yang kebutuhan energinya disokong oleh keberadaan Hutan Lambusango. Masyarakat juga sadar bahwa Hutan Lambusango yang terjaga dengan baik telah mampu memelihara kejernihan sungai, menjaga kualitas dan kuantitas air, serta memelihara kelestarian ekosistem perairan laut disekitar Pulau Buton. Ada sekitar 45.000 KK, yang terdiri dari nelayan, petani rumput laut dan peternak kerang mutiara (siput mabe) yang merasa disokong mata pencahariannya oleh keberadaan Hutan Lambusango. Masyarakat Lambusango juga menyadari apabila keindahan dan keragaman hayati Hutan Lambusango telah membuat hutan ini menjadi laboratorium konservasi biologi internasional. Setiap tahunnya sekitar 100 - 200 orang wisatawan asing datang dari berbagai penjuru dunia ke Hutan Lambusango untuk menikmati keindahan dan meneliti keragaman hayatinya. Kegiatan ekowisata (wisata ilmiah dan budaya) yang difasilitasi oleh Operation

Âť28

Nasionalisme Lingkungan

Wallacea Ltd ini mampu memberikan mata pencaharian berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi masyarakat setempat, sedikitnya ada 60 KK yang terlibat dalam kegiatan ini. Inilah konsep menjual tanpa merusak ala masyarakat Lambusango, Buton. Dengan konsep inilah Hutan Lambusango tidak pernah tersentuh perusak hutan ala HPH, sehingga masih bertahan sampai saat ini.

Menjual sekaligus membangun Belajar dari sejarah pengelolaan hutan jati di Jawa. Pada awalnya, jati yang tumbuh di Pulau Jawa adalah jati alam, bukan jati tanaman. Belanda, saat itu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kongsi dagang Belanda, sering disebut ‘Kompeni Belanda’), adalah entitas bisnis pertama yang menebang jati alam di Pulau Jawa. Namun konglomerat Belanda itu bukan sekedar menebang, melainkan sekaligus membangun pengelolaan hutan Jati alam di Jawa secara lestari. Sebelum menebang, mereka mendalami kultur jati dengan baik, mereka menyiapkan berbagai model permudaan jati, melakukan percobaan penjarangan jati, penterasan dan sebagainya. Kemudian sambil menebang, mereka juga secara perlahan membangun baik dari sisi tegakan maupun administrasi pengelolaannya. Administrasi itu penting dalam pengelolaan hutan, tanpa administrasi yang baik tidak mungkin hutan dapat dikelola dengan lestari. Pengukuran hutan harus dilakukan dengan cermat dengan tingkat ketelitian tinggi, bukan hanya sekedar ada data, apalagi data tersebut dihasilkan dari survei yang penuh rekayasa. Menyadari hal itu, Belanda secara terus menerus membangun administrasi pengelolaan tegakan jati, mulai dari penebangan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, penterasan, sedemikian rupa sehingga jati alam yang ditebang dapat tumbuh menjadi hutan jati tanaman dengan kualitas dan produktifitas yang lebih tinggi dari jati alam. 29ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Sambil mengeksploitasi hutan jati alam, secara perlahan Belanda juga menata kelembagaan pengelolaan hutan jati. Belanda membangun kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang batasnya mengikuti batas alam (daerah aliran sungai). Kemudian membagi menjadi bagian-bagian kesatuan hutan, demikian seterusnya hingga sampai ke petak dan anak petak. Setiap jengkal tanaman jati telah begitu jelas siapa yang bertanggung jawab atas penanaman, pemeliharaan dan penebangan, termasuk pengamanan hutannya, baik dari pencurian maupun kebakaran. Semua begitu rapi, teratur dan mudah dipahami, bahkan oleh seorang mandor yang hanya tamat sekolah rakyat. Dengan administrasi yang rapi, tidak ada satupun pohon jati yang tumbang tanpa perhitungan yang matang serta adanya jaminan kelestariannya. Di tangan Belanda prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle) benar-benar dapat ditegakan, dan produktifitas hutan jati-pun berhasil dipertahankan selama beberapa abad. Inilah konsep menjual dengan membangun ala Belanda. Kita perlu bercermin dengan Belanda, VOC sebagai konglomerat asing, representasi dari sebuah rejim kapitalis dan kolonialis --yang kita pandang sebagai penguasa licik dan serakah--saja, begitu cermat dan penuh tanggung jawab dalam memperlakukan hutan jati di Jawa. Mereka bukan sekedar meraup keuntungan, tetapi juga bekerja keras untuk membangun. Bahkan rejim kolonial Belanda selama beberapa abad mencengkeram bumi nusantara juga hampir tidak menyentuh hutan hujan tropika di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Sebaliknya di tangan Bangsa Indonesia, hanya dalam hitungan puluhan tahun semuanya ludes ! Begitu luar biasa kekayaan negeri ini yang telah terjual entah untuk kepentingan siapa. Inilah saatnya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Dengan alasan apapun, konsep menjual hutan dengan merusak harus segera dihentikan. Marilah kita membangun semangat Âť30

Nasionalisme Lingkungan

menjual sekaligus membangun, atau setidaknya menjual tanpa merusak. Berhentilah berebut untuk sekedar menghabiskan hutan yang masih tersisa ! ***

31ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

4 Belajar dari Beringin

B

eringin (Ficus spp) adalah pohon yang memiliki nilai khusus bagi orang Timur, dikenal sebagai pohon kehidupan, simbol kekuasaan yang melindungi. Sampai saat ini, masih bisa disaksikan keberadaan sepasang pohon beringin kembar yang selalu menghiasi alun-alun di depan kraton atau rumah jabatan Bupati di Jawa. Persepsi budaya dan spiritualitas ketimuran terhadap beringin berakar dari peran (niche) ekologis beringin di alam. Arsitektur pohonnya yang besar, rimbun dan melebar, merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dan sekaligus lahan mencari makan bagi berbagai jenis burung dan mamalia. Tuhan menciptakan beringin sebagai lumbung makanan bagi berbagai jenis burung pemakan buah di hutan alam. Beringin merupakan sedikit dari pohon hutan yang mampu memproduksi buah dalam jumlah besar (hingga jutaan), masak dalam waktu yang cepat dan biasanya terjadi secara serempak. Saat musim buah tiba, suasana pagi hari di seputar pohon beringin begitu riuh-rendah oleh suara burung, layaknya sebuah pasar, ramai oleh lalu lintas burung yang hilir-mudik mengambil buah. Uniknya, produksi buah beringin tidak mengikuti aturan musim, beringin terus berbuah, ketika pohon-pohon lain berhenti berbuah. Karena itu, buah beringin berperan sebagai ’jaring pengaman sosial’ bagi burung pemakan buah.

Âť32

Bukan hanya jumlahnya yang melimpah, kandungan gizinyapun tinggi. Buah beringin kaya akan gula, juga kalsium yang sangat dibutuhkan burung untuk pembentukan tulang dan cangkang telur. Buah beringin disukai burung karena mudah dicerna. Burung menggantungkan sekitar 70 - 85 % jenis pakannya dari beringin. Kelimpahan (jumlah) pohon beringin di dalam suatu blok ekosistem hutan tropika, karena itu, menentukan kelimpahan jenis burung pemakan buah di wilayah blok tersebut. Sedikitnya ada empat puluh jenis pohon beringin di hutanhutan alam Sulawesi. Keragaman jenis beringin di suatu hutan, berbanding lurus dengan keragaman jenis lebah penyerbuknya (wasps). Uniknya, setiap jenis lebah penyerbuk, hanya mampu membantu proses penyerbukan beringin jenis tertentu saja. Sehingga apabila suatu jenis lebah punah, akan diikuti oleh kepunahan suatu jenis beringin pula. Hal ini menunjukkan betapa tingginya keterkaitan dan ketergantungan antara tumbuhan dan satwa. Implikasinya, konservasi keragaman hayati di hutan tropika harus dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem. Sebuah hutan yang satwanya habis oleh kegiatan perburuan, secara perlahan akan diikuti oleh kehancuran hutannya, karena kelangkaan agen penyerbuk maupun penyebar biji. Demikian pula sebuah hutan yang telah gundul, akan diikuti oleh kelangkaan satwanya, karena lenyapnya tempat berteduh (shelter) dan lumbung makanan. Konservasi jenis, seperti konservasi anoa, tarsius, kuskus, rangkong, barung rangkong, kupu-kupu, kayu kuku dan sebagainya, karena itu tidak dapat dilakukan sendirisendiri, melainkan harus dilakukan dengan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan secara menyeluruh ! Kembali ke beringin. Dari pertumbuhannya dikenal dua jenis beringin. Beringin yang langsung tumbuh dari biji yang bersemai langsung di tanah dan besar sebagai pohon yang mandiri. Kedua

33ÂŤ


adalah beringin pencekik (strangling fig) yang mengawali hidup sebagai parasit (hidup menumpang dari) pohon lain, kemudian setelah besar mematikan pohon inangnya dengan cara mencekik. Kehidupan beringin pencekik ini berawal dari biji yang dibawa oleh monyet atau burung, biji tersebut kemudian terjatuh dan menyangkut di tajuk sebuah pohon. Setelah bersemai, kemudian menjadi parasit yang menempel di cabang pohon. Sebagai parasit, awalnya beringin kecil ini, memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dari mengisap zat hara dari pohon inangnya. Setelah akarnya tertancap kuat pada inangnya, beringin secara perlahan mulai membangun kekuatan, akar-akar sulurnya tumbuh kebawah dengan merambat dan membelit pohon inangnya, untuk mendapatkan asupan makanan secara langsung dari tanah hutan. Seiring dengan perjalanan waktu, ukuran akar beringinpun semakin besar dan daya cekiknya juga semakin kuat. Kematian pohon inang biasanya disebabkan oleh, (1) belitan akar-akar beringin; (2) terampasnya aliran sumber makanan oleh akar-akar beringin; (3) ternaunginya tajuk pohon inang oleh kerimbunan tajuk beringin. Kematian pohon inang oleh beringin pencekik, merupakan karikatur yang sempurna terhadap suksesi kekuasaan (dalam dunia manusia) yang dilakukan secara anarkis. Beringin merupakan personifikasi penguasa yang mbalelo terhadap sebuah rejim yang notabene telah berjasa menghidupi dan membesarkan dirinya. Apapun alasanya, penumbangan kekuasaan secara anarkis jelas tidak dapat dibenarkan. Menariknya disini, beringin tidak menggunakan kekuasan tersebut untuk kepentingan dirinya, melainkan demi misi kemanusiaan yang luhur, yaitu dengan berbuah sebanyakbanyaknya sepanjang musim untuk kemakmuran burung pemakan buah dan penghuni hutan lainnya. Proses perebutan ruang hidup yang begitu tragis, seakan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengganti sebuah rejim yang lemah, yang tidak Âť34

Nasionalisme Lingkungan

mampu mensejahterakan. Dan akhirnya beringin menunjukan kekuatannya sebagai penguasa yang mampu berbuat banyak bagi sebesar-besarnya kemaslahatan lingkungan hidupnya.

Foto: Opwall 2006Beringin

Nasionalisme Lingkungan

Gambar 3. Beringin Pencekik, hidup dengan menghisap tanaman lain namun sepanjang hidupnya bermanfaat untuk kesejahteraan makhluk lain

Suka atau tidak suka, model suksesi kekuasaan ala beringin sebagaimana tergambar di atas memang terjadi dalam realitas sejarah dan kehidupan keseharian. Yang penting untuk dicatat, bagaimana sang penakluk tersebut kemudian memanfaatkan kekuasaannya. Apabila ia memiliki komitmen yang tinggi memperbaiki keadaan, maka ia akan sampai di gerbang kejayaan. Sebaliknya, kalau kekuasaan itu hanya untuk memuaskan nafsunya, maka cepat atau lambat, kekuasaan tersebut akan jatuh secara tragis pula. Kedua cuplikan sejarah dibawah ini dapat dijadikan sebagai cermin.

35ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Ken Arok awalnya adalah seorang pemuda desa yang oleh Brahmana Loh Gawe dititipkan kepada Tunggul Ametung, seorang Akuwu (Bupati) dari Tumapel. Karena kecakapan dan kesaktiannya, Ken Arok kemudian dipercaya menjadi pengawal pribadi Tunggul Ametung. Setelah merasa dirinya kuat, Ken Arok kemudian membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris karya Empu Gandring. Setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes (janda Tunggul Ametung), serta mengambil alih kekuasaan Tumapel. Kekuasaan Ken Arok yang telah diraih dengan menghalalkan segala cara ini akhirnya menuai batunya, Ken Arok akhirnya dibunuh oleh Anusopati anak Tungul Ametung. Dalam penggalan sejarah lain, Sutawijaya adalah anak Ki Gede Pemanahan yang sejak kecil diasuh oleh Sultan Pajang yang bernama Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Hadiwijaya mendidik dan membesarkan Sutawijaya hingga tumbuh menjadi seorang kesyatria yang mumpuni. Karena jasa Sutawijaya dalam meredam pemberontakan Aryo Penangsang, Bupati Jipang, Hadiwijaya memberi anugerah sebuah lahan luas di Hutan Mentaok. Sutawijaya kemudian menebang Hutan Mentaok dan membangunnya menjadi sebuah kota yang hingga kini dikenal dengan nama Kota Gede. Di kota inilah, Sutawijaya mulai membangun kekuasaannya. Setelah dirasa cukup besar, Sutawijaya kemudian menantang Hadiwijaya yang notabene adalah ayah angkat yang telah membesarkannya. Alhasil, Sutawijaya berhasil menumbangkan kekuasaan Hadiwijaya, dan kemudian menjadi sultan pertama Kerajaaan Mataram, dengan sebutan Panembahan Senapati. Panembahan Senopati dalam catatan sejarah dikenal sebagai Sultan yang bijaksana. Dalam Kitab Wedhatama, yang ditulis oleh Sri Mangkunagara IV, yang memerintah Surakarta dari 1857 sampai 1881, Panembahan Senopati digambarkan sebagai sultan yang selalu berjuang demi kesejahteraan rakyatnya (amemangun karyanaktyasing sesama). Alhasil, berkat keutamaan dalam Âť36

Nasionalisme Lingkungan

mengelola kekuasaan, kerajaan Mataram dibawah Panembahan Senopati semakin besar dan kuat, hingga mencapai keemasan di jaman Sultan Agung, yang merupakan cucu dari Panembahan Senopati. Dalam kedua penggalan sejarah di atas, Ken Arok merupakan figur yang haus kekuasaan, dan besar kemungkinannya, Ken Arok memanfaatkan kekuasaan yang direbutnya hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaannya saja, karena itu kekuasan Ken Arok tumbang secara tragis dalam waktu yang relatif cepat. Berbeda dengan Panembahan Senopati yang mampu memanfaatkan kekuasaan demi kemakmuran rakyatnya, ia dikenang sebagai raja yang arif dan bijaksana dan kekuasaan yang diperoleh dapat dipertahankan dalam jangka lama oleh keturunannya. Dalam konteks kekinian, pemilihan kepala daerah (Bupati dan Gubernur) yang dilakukan secara langsung saat ini tak dipungkiri banyak menimbulkan masalah, karena berbagai dugaan kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan. Bisa jadi, memang ada, kepala daerah terpilih yang dulunya menggunakan segala cara demi menaklukan lawan politiknya. Bagi mereka yang berbuat demikian, pergunakanlah kesempatan emas yang anda miliki sekarang untuk bertaubat dengan bekerja keras demi kemakmuran rakyat. Saatnya masyarakat menikmati kemakmuran dalam arti yang sebenar-benarnya, sebagaimana komunitas burung pemakan buah yang menikmati melimpahnya buah pohon beringin, sepanjang musim ! ***

37ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

5 Mencegah Bencana Lingkungan Buatan Manusia

S

ifat dasar orangtua, apapun posisi sosialnya, adalah mencintai dan membangun masa depan anak-anaknya. Kesuksesan mereka tidak ditentukan oleh kekayaan materiil yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya, namun lebih ditentukan oleh keberhasilannya membangun kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Orangtua akan bahagia, apabila berhasil mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kehidupan yang lebih sejahtera. Sebaliknya, betapa nestapanya orangtua, apabila melihat anak-cucu mereka hidup sengsara, karena kondisi alam yang tidak lagi bersahabat. Tuhan telah memilih manusia sebagai khalifatullah (wakil Allah) yang ditugasi untuk mengurus bumi. Sebagai khalifatullah, manusia bertanggungjawab untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian lingkungan hidupnya, termasuk eksistensi dan keharmonisan mahluk lain di luar dirinya. Orangtua secara perlahan akan surut dan tugas hidupnya sebagai khalifatullah akan dilanjutkan oleh keturunannya. Sesuai dengan fitrahnya, seluruh makhluk hidup berkepentingan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas jenisnya, bahkan

»38

di dunia tumbuhan dan satwapun, Allah telah menciptakan berbagai perangkat dan mekanisme agar mereka mampu, bukan saja mempertahankan jenisnya, namun juga melahirkan generasi yang lebih baik. Setiap orangtua yang baik akan begitu tulus mengorbankan jiwa dan raganya demi kesejahteraan keturunannya. Bagi orangtua, anak adalah sebuah masa depan, darinya orangtua memperoleh oasis kehidupan, darinya orangtua memperoleh energi hidup dari sebuah sumur yang tanpa dasar. Mereka semua berjuang demi kesejahteraan keturunannya.

Mendefinisikan Kesejahteraan ‘Kesejahteraan’, atau ‘sejahtera’ adalah sebuah indikator (ukuran) kenikmatan hidup yang bersifat abstrak dan relatif. Indikator tersebut berbeda dari orang ke orang, karena sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi dan status sosial seseorang. Namun secara umum yang disebut ‘sejahtera’ adalah sebuah totalitas hidup yang berkualitas, didalamnya tidak saja terkandung dimensi ekonomi, namun juga religius, bukan saja jasmani melainkan juga rohani, bukan saja materiil melainkan juga immateriil. Dan yang paling penting dan tidak bisa diingkari dari suatu kondisi yang dapat dikatakan ‘sejahtera’ adalah terjaminnya kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan ! Sebagai ilustrasi, sebuah keluarga yang kaya harta, tidak mungkin merasa sejahtera bila lingkungannya setiap tahun dilanda banjir. Di musim kemarau, udara kering dan panas luar biasa, sedangkan listrik untuk menghidupkan Air Condition (AC) di rumahnya lebih banyak mati, karena sumber air pembangkit listrik debitnya mengecil oleh semakin gundulnya hutan. Hatinya tidak tenang karena takut dilanda bencana, tanah longsor, banjir, serangan hama dan sebagainya. Sebaliknya, keluarga petani yang miskin harta, mungkin dapat disebut lebih sejahtera, apabila dinaungi oleh hutan dan lingkungan yang indah-permai. Sawahnya subur dan hasil kebunnya melimpah. Mereka tidak 39«


Nasionalisme Lingkungan

perlu AC karena udara disekitar rumahnya masih segar dan nyaman. Sumber air selalu melimpah, bahkan dengan sedikit sentuhan teknologi, mereka bisa membuat listrik sendiri (energi mikro-hidro, sehingga tidak perlu kawatir terhadap kenaikan Tarif Dasar Listrik/TDL). Perasaan mereka tenang dan tenteram, karena alam masih sangat bersahabat.

Memperjuangkan Kesejahteraan Orang Buton dikenal sebagai suku perantau, pelaut-pelaut Buton telah menyebar keseluruh persada nusantara sejak berabad-abad lalu. Namun, sebagaimana umumnya orang Buton, setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya juga kembali ke tanah. Orangtua Buton berprinsip, anak-anaknya boleh merantau, tetapi jangan lupa dengan tanah tumpah darahnya. Ikatan tanah leluhur ini biasanya diwujudkan dengan membangun sebuah rumah di bumi moyangnya. ”Merantaulah kemana saja nak, … tetapi jangan lupa, bangunlah rumahmu di tanah Buton, kau boleh punya beberapa rumah ditanah seberang, tetapi bangunlah barang satu rumah dibumimu sendiri” begitu kira-kira petuah orangtua Buton kepada anak-anaknya yang ada di rantau. Sebagaimana umumnya orangtua, seluruh orangtua menginginkan anak-anak mereka dapat hidup sejahtera di Pulau Buton. Katakanlah, walau anak-anak mereka tidak akan hidup di Buton, tetapi pada saat pulang kampung, mereka masih dapat menikmati kenyamanan dan keindahan Buton seperti yang dulu. Apalagi kalau hari tua anak-anaknya akan tinggal di Buton, maka orangtua berharap bahwa kenyamanan hidup yang mereka rasakan selama ini akan masih dinikmati oleh anak-anak, bahkan sampai cucu, dan cicit mereka kelak. Dengan semakin tingginya tekanan penduduk, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi lingkungan hidup di Pulau Buton secara perlahan terus berubah. Contoh yang paling kasat mata adalah rusaknya Taman Wisata Alam (TWA) Tirta Rimba (488 Ha). Taman wisata ini adalah satu-satunya tempat wisata berbasis hutan alam »40

Nasionalisme Lingkungan

yang ada di Kota Bau-Bau. Kerimbunan pohon di wilayah ini memberikan kesejukan yang luar biasa ditengah panasnya Kota Bau-Bau. Sampai tahun 1999, TWA yang sebagian lahannya berbukit dan berlereng terjal ini merupakan tempat yang ramai dikunjungi. Pengunjung bisa menikmati keindahan air jatuh (air terjun) selama ber-jam-jam, sambil makan jagung rebus. Namun seiring dengan kerusakan hutan oleh kegiatan pertanian intensif, kelimpahan air secara perlahan terus berkurang, hingga kini hampir tidak berbekas, selain bongkahan batu yang terkadang dialiri air. Keperkasaan hutan yang dulu pernah hadir melindungi lahan-lahan berbatu dengan kelerengan terjal selama ratusan, bahkan ribuhan tahun dan menyajikan keindahan yang dapat dinikmati oleh puluhan bahkan mungkin ratusan generasi sebelumnya kini telah sirna, menyisakan bongkahan batu-batu kapur yang gersang dan panas ! Kerusakan TWA Tirta Rimba harus menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang merasa menjadi pemangku kepentingan Hutan Lambusango. Kerusakan dengan intensitas yang sama tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Hutan Lambusango, apabila para pemangku kepentingan Hutan Lambusango tidak segera mengantisipasi semakin tingginya kerusakan hutan. Seorang kakek yang tinggal di suatu desa disekitar Hutan Lambusango dengan berurai air mata menceritakan bagaimana tingkat kesejahteraan hidup mereka di masa tempo doeloe dibandingkan dengan jaman anak-anak dan cucu-cicitnya kini. ”Dulu pada waktu hutan di wilayah kami masih rimbun, sumber-sumber air disekitar sini sangat berlimpah. Di musim kemarau air sungai ini tingginya sepaha saya, namun kini tinggal semata kaki. Di musim hujanpun air sungai tetap jernih dan tidak pernah terjadi banjir. Kini setelah hutan di hulu sungai banyak ditebang, kami sering kekurangan air, bahkan kami pernah dilanda banjir pada tahun 2002”. 41«


Nasionalisme Lingkungan

Si Kakek-pun, kemudian melanjutkan ceritanya, ”Hutan disini ditebang oleh pengusaha dari seberang, katanya mau dijadikan perkebunan kakao, tetapi setelah kayu-kayu yang besar-besar ditebang, pengusaha itupun raib, dan tidak sebatang kakaopun pernah ditanam didaerah ini’. Bisa dipahami apabila para pemodal perusak hutan menutup mata terhadap kerusakan hutan, mengingat mereka umumnya adalah manusia-manusia berdaya yang secara ekonomi memiliki alternatif. Misalnya, apabila lingkungan hidup di Buton tidak lagi nyaman, mereka dengan mudah dapat pindah, apalagi kalau perusak hutan itu berasal dari seberang (luar Buton). Tidak demikian halnya bagi masyarakat yang kurang berdaya yang berada di sekitar hutan, mereka harus merasakan kepahitan lingkungan dan kemurkaan alam, walau mereka bisa jadi sama sekali tidak ikut ambil bagian dalam perusakan hutan. Jaman keemasan Hutan Lambusango mungkin telah lewat, kerimbunan pepohonan yang menjadi sumber kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan bisa jadi sudah dan akan menjadi semakin mahal seiring dengan kesadaran para pemodal yang melihat bahwa kerimbunan hutan merupakan mesin penghasil uang. Hutan Lambusango kini bukan lagi monopoli milik masyarakat yang hidup disekitarnya, yang pengaturannya diatur oleh lembaga adat macam ‘Kaombo’ atau ‘Sasi’ di masa tempo doeloe, melainkan Hutan Lambusango sudah menjadi milik kepentingan yang bisa jadi tidak terkait sama sekali dengan kebutuhan masyarakat setempat. Sungguh, kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan lingkungan bagi masyarakat sekitar hutan kini, lebih-lebih di masa depan jelas tidak akan lagi diperoleh lagi secara melimpah ruah dan cuma-cuma sebagaimana tempo doeloe. Untuk memperolehnya masyarakat tidak bisa lagi hanya tinggal diam dan pasrah, mereka harus sadar bahwa hutan merupakan harta yang »42

Nasionalisme Lingkungan

tidak ternilai bagi kesejahteraan anak-anak dan cucu-cicitnya di kemudian hari. Nilai harta itu tidak akan terbayar dengan hanya mendapatkan pekerjaan sesaat sebagai operator chain-saw atau kuli pengangkut kayu. Kesejahteraan anak-cucu dan cicitnya harus menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar, bahkan harus diperjuangkan ! Hutan Lambusango, sebagai satu-satunya hutan alam dataran rendah yang berada di jantung Pulau Buton, kini sedang dan mungkin terus akan menjadi ajang perebutan mereka yang lebih mementingkan kepentingan saat ini daripada saat nanti, lebih mengutamakan kepentingan generasi sekarang daripada generasi mendatang, lebih melihat kebutuhan orangtua dan keluarga saat ini, daripada kebutuhan anak, cucu dan cicitnya nanti.

Mencegah ‘Bencana Lingkungan Buatan Manusia’ Bisa dibayangkan betapa kering dan gersangnya Pulau Buton tanpa kehadiran Hutan Lambusango. Kerimbunan Hutan Lambusango yang menutupi pungung-pungung bukit dan lembah-lembah sungai yang umumnya terjal ini berperan sebagai pengendali erosi, sedimentasi dan banjir. Kerusakan hutan akan berdampak pada kehancuran fungsi resapan air yang bukan saja berdampak pada ekosistem daratan melainkan juga berakibat pada rusaknya ekosistem perairan laut sekitar Pulau Buton. Kerusakan hutan akan berdampak pada tingginya sedimentasi perairan. Tingginya sedimentasi perairan laut akan merusak karang dan seluruh ekosistem laut yang ada disekitarnya. Akibatnya bukan hanya hasil bumi yang merosot, melainkan kelimpahan sumberdaya baharipun (terumbu karang, ikan, rumput laut, kerang mabe dsb.) akan hancur seiring dengan kerusakan hutan. Sayangnya mereka yang sedang terbuai rejeki emas hijau (kayu) dari Hutan Lambusango mungkin belum tahu bahwa nilai kayu sebenarnya hanya memiliki persentase yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan kekayaan Hutan Lambusango secara keseluruhan. Berdasarkan berbagai penelitian tentang nilai 43«


Nasionalisme Lingkungan

ekonomis sumberdaya hutan, diketahui bahwa nilai kayu hanya sebesar 2 persen dari keseluruhan nilai intrinsik sumberdaya hutan. Sungguh sayang, apabila demi mengambil nilai manfaat yang kecil harus merusak keseluruhan tatanan ekosistem. Walaupun kayu hanya bernilai kecil dibandingkan keseluruhan nilai hutan, namun kayu adalah penopang utama ekosistem hutan. Ekosistem hutan akan hancur, dan seluruh kekayaan yang luar biasa tersebut akan sirna seiring dengan lenyapnya kerimbunan pohon. Ibarat hutan adalah sebuah pabrik rokok, maka tumbuhan berkayu adalah pabriknya. ‘Rokok’ ibaratnya adalah sumberdaya, manfaat atau fungsi hutan yang bisa diambil atau dinikmati. Agar sang pabrik dapat secara menerus memproduksi rokok berkualitas prima, masyarakat pemangku kepentingan Hutan Lambusango harus mengambil rokoknya saja, tanpa merusak pabriknya. Mereka yang sedang asyik merusak hutan (destructive logging), banyak juga yang mungkin belum tahu (atau bisa jadi pura-pura tidak tahu), bahwa kerimbunan hutan alam di Pulau Buton ini tercipta melalui proses suksesi (pertumbuhan hutan) yang sangat panjang dan memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Tidak benar bahwa hutan alam merupakan sumberdaya yang terbarui (renewable resources), sekali hutan alam rusak hampir dapat dipastikan tidak akan pulih dan terbarukan ! Mungkin merekapun belum banyak tahu, bahwa ekosistem Hutan Lambusango memiliki nilai keragaman hayati endemik yang tinggi dan merupakan salah satu pewakil terbaik dari Zona Wallacea. Mereka bahkan lupa, bahwa Hutan Lambusango menjadi sumber air utama yang mereka minum setiap hari. Mereka mungkin lupa bahwa Hutan Lambusango menjadi sumber pembangkit listrik yang mendukung kenyamanan hidupnya setiap hari. Mereka lupa bahwa Hutan Lambusango memasok udara segar yang mereka hirup setiap detik. Sungguh mereka lupa bahwa merusak Hutan Lambusango berarti menggali lubang bagi masa depan anak-cucunya nanti. Mereka Âť44

Nasionalisme Lingkungan

lupa bahwa hutan adalah habitat dari ratusan bahkan mungkin ribuan jenis tumbuhan dan satwa yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka lupa bahwa sebagai khalifatullah manusia berkewajiban untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian mahluk lain di luar dirinya ! Sebagai orangtua yang mencintai masa depan kehidupan anaknya, sudah saatnya untuk tidak menjemput rejeki dengan cara merusak hutan. Bagi mereka yang sadar akan pentingnya kelestarian hutan sudah saatnya untuk bergandeng tangan untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan Hutan Lambusango. Hutan memang diciptakan untuk manusia, hutan memang boleh diambil kayunya, dibawah hutan memang ada bahan tambang yang bisa diambil, namun mengingat fungsi hutan bagi kehidupan sebagaimana tergambar di atas, semuanya harus dilakukan dengan penuh perhitungan, secara terukur, terkontrol dan bijaksana. Merusak Hutan Lambusango berarti merusak habitat Anoa, Andoke dan kawan-kawanya. Merusak hutan berarti menghancurkan ekosistem kehidupan yang terbangun melalui proses yang sangat panjang. Merusak hutan berarti menghancurkan kenyamanan dan menistakan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Merusak hutan adalah menghancurkan kehidupan. Maraknya bencana banjir, tanah longsor akhir-akhir ini sebagian disebabkan oleh lemahnya perhatian kita semua dalam menjaga kelestarian hutan. Kita sungguh prihatin dengan penderitaan saudara-saudara kita yang sedang ditimpa bencana lingkungan. Namun bencana lingkungan yang selalu terjadi di musim hujan ini sekaligus harus kita manfaatkan untuk berinstropeksi (mawas diri) untuk menghindarkan bencana yang sama menimpa diri kita dan anak-cucu kita. Kita harus menyelamatkan lingkungan yang masih nyaman dan aman ini dari peluang timbulnya bencana yang sama di kemudian hari.

45ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Sebagai manusia bijak, sebagai khalifatullah, manusia harus menghindar dari bencana yang pencegahannya masih dapat dikelola. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna harus dapat menghindar dari bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri, manusia harus dapat belajar dan tidak ingin terantuk batu yang sama untuk kesekian kalinya. Manusia harus dapat mencegah ‘Bencana Lingkungan Buatan Manusia !

6

***

Gerakan Menabung Air Melalui Pembangunan Sejuta Resapan �Dengan intensitas hujan ekstrem yang sering terjadi di Indonesia, penutupan apapun (termasuk hutan) sering tidak mampu menahan terjadinya banjir dan tanah longsor. Diperlukan gerakan masal menabung air melalui pembangunan sejuta resapan yang memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat� Ada tiga hal yang mempengaruhi tingginya laju kerusakan lahan di Indonesia, pertama adalah energi, kedua adalah resistensi dan ketiga adalah proteksi. Dari segi energi, kerusakan begitu cepat oleh tingginya intensitas hujan, dengan intensitas hujan yang tinggi, maka sebagian besar air hujan yang jatuh hampir tidak dapat diselamatkan, karena sebagian besar akan secara cepat mengalir ke sungai dan kemudian terbuang ke laut. Kondisi ini juga diperparah oleh pendeknya sungai-sungai di Indonesia yang rata-rata hanya sepanjang 250 km, pendeknya sungai juga membatasi penggunaan sumberdaya air untuk berbagai keperluan. Selanjutnya, tanah yang memiliki resistensi yang rendah (erodibilitas tingi), sehingga laju erosi umumnya sangat tinggi, demikian pula laju sedimentasi. 46

47ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Kondisi ini semakin lengkap bila dilihat oleh lemahnya proteksi, tingginya kepadatan penduduk, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan yang begitu cepat, yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan resiliensi (daya lenting) ekosistem alam untuk mencapai keseimbangan baru.

Tingginya Intensitas Hujan Curah hujan harian tertinggi di Indonesia yang pernah tercatat selama ini adalah setebal 702 mm (terjadi di Ambon), curah hujan yang terjadi di Bogor pada tanggal 29, 30 dan 31 Januari 2002, pada saat banjir di Jakarta tercatat setebal 380 mm, sedangkan di Jakarta pada waktu itu curah hujan hingga setebal 420 mm. Curah hujan bulanan rata-rata tahunan (musim hujan dan kemarau) setebal 350 mm. Sedangkan curah hujan bulanan rata-rata di musim hujan adalah setebal 450 mm. Dengan demikian hujan yang terjadi selama tiga hari itu hampir setara dengan hujan yang turun selama satu bulan di musim hujan biasa. Bisa dibayangkan curahan air yang harusnya terdistribusi dalam waktu 30 hari, tercurah sontak selama 3 hari ! Menghadapi kondisi ekstrem semacam ini, apapun penutupan lahannya tidak akan mampu membendung luapan aliran permukaan, karena curahan air benar-benar telah melampaui kapasitas maksimum tanah memegang air (water holding capacity). Dalam kondisi tersebut, penutupan lahan sebaik apapun tidak akan berdaya mengusir datangnya banjir !

Hutan dan Banjir Berdasarkan berbagai penelitian pada Daerah Aliran Sungai (watershed/catchment area) berukuran kecil (kurang dari 25 km2) menunjukkan bahwa hutan hanya mampu mengendalikan banjir yang ditimbulkan oleh hujan berintensitas rendah sampai sedang (< 100 mm/hari). Perbandingan respon aliran permukaan terhadap hujan, antara wilayah non-hutan (pertanian semusim) dan wilayah yang hutannya masih utuh adalah sebagai berikut: Âť48

Nasionalisme Lingkungan

Untuk curah hujan dengan intensitas rendah (Sekitar 15 mm/jam), peningkatan aliran langsung (Qf) dan debit puncak banjir (Qp) dari kawasan non-hutan (dibandingkan hutan, yang masih utuh) adalah sebesar satu setengah hingga dua kali lipat. Untuk intensitas hujan sedang (15-30 mm/jam), Qf dan Qp meningkat sekitar setengahnya, sedangkan untuk intensitas hujan besar (sekitar 75 mm) Qf dan Qp meningkat antara sepersepuluh hingga seperempatnya, sedangkan pada hujan ekstrim Qf dan Qp hanya meningkat kurang dari sepersepuluh debit puncak banjir semula. Mengingat semakin besar intensitas curah hujan, semakin melampaui keterbatasan hutan untuk menahan laju air, sehingga pada saat terjadi hujan yang sangat ekstrim dimungkinkan besarnya banjir adalah sama antara wilayah berhutan dan tidak berhutan. Dengan demikian dapat dipahami, mengapa suatu DAS yang penutupan hutannya masih baik juga tidak 1uput dari kunjungan banjir. Contohnya DAS Batanghari, pada tahun 1950-an terjadi banjir besar yang diduga sama atau mungkin lebih besar daripada banjir bandang yang terjadi pada tahun 1991. Padahal pada tahun tersebut penutupan hutannya tentu masih cukup baik. Kemudian banjir bandang di Banyumas pada tahnn 1861, sebagaimana yang dilaporkan oleh majalah dua mingguan berbahasa Belanda Java Bode (Overstrooming te Banyumas den 21 tot 23 February, 1861). Di majalah tersebut, antara lain dilaporkan bahwa banjir yang terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1861 dipicu oleh hujan besar yang terjadi secara terus-menerus selama tiga hari. Dari Yogyakarta dilaporkan bahwa antara jam empat pagi hingga malam hari pada tanggal tersebut, terjadi hujan sangat ekstrim hingga mencapai ketebalan sekitar 600 mm, kemudian di sekitar dataran tinggi Dieng antara tanggal 19 hingga 23 Pebruari juga tercatat hujan tidak kurang dari 1.000 mm. Pada saat kejadian banjir, tinggi muka sungai Serayu pada jam lima sore mulai

49ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

meningkat dengan cepat, kemudian banjir mulai meluap sekitar jam sepuluh malam yang menyebakan penggenangan air hingga 10 meter di wilayah Banyumas. Wilayah Jawa selatan (termasuk Banjarnegara yang baru mengalami musibah tanah longsor) memang sering dilanda banjir sejak jaman tempo doeloe, hal ini antara lain dapat ditelusuri dari salah satu tembang yang melukiskan adanya ikan kecil (Uceng) yang menempel di bunga pohon kelapa (Manggar) [Wartono Kadri, Kom Prib, 2002].

Gambar 4. Gambaran sepotong DAS dengan beberapa anak sungainya. Di Indonesia rata-rata panjang sungainya (Hulu ke muara) < 250 Km

Apabila proses dehutanisasi meliputi wilayah yang luas (lebih besar 30 persen luas hutan dari DAS) sebagaimana yang terjadi pada peristiwa banjir di wilayah Riau dan Sumatra Barat, Jambi, Riau pada 1991/1992, juga Jember, Manado, Jakarta, Pantai Utara Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat sebagaimana akhirakhir ini, terbatasnya kapasitas peresapan tanah mengakibatkan kenaikan debit puncak banjir dari sebagian besar Sub DAS yang bermuara pada sungai besar di wilayah hilir, dalam kasus ini Âť50

Nasionalisme Lingkungan

deforestasi atau kerusakan penutupan lahan memang menjadi penyebab yang sama dominannya dengan faktor-faktor penyebab banjir lainnya (intensitas hujan dan sebagainya).

Pembangunan Sejuta Resapan Perlu. diingat, kegiatan restorasi penutupan lahan seperti reboisasi dan penghijauan juga. tidak mampu secara cepat mengendalikan penurunan laju banjir dan sedimentasi di wilayah hilir. Lihat saja kasus di China, untuk mengurangi 30 persen debit puncak banjir dan hasil sedimen dari DAS seluas 100.000 km2, diperlukan waktu selama 20 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya beban sedimen yang mempersempit volume sungai, yang berasal dan proses erosi dari kurun waktu sebelumnya. Karena itu bisa dipahami, kalau besarnya laju sedimen yang terukur di outlet suatu DAS sering tidak berkorelasi dengan berbagai perbaikan ataupun perusakan di wilayah hulu, mengingat besarnya temporary storage sediment yang berada di sekitar pengaliran. Timbunan sedimen ini, bisa terangkut ke hilir dalam waktu beberapa jam, maupun beberapa puluh tahun kemudian, bergantung proses pengendapan yang terjadi maupun aliran pengangkutnya. Keberhasilan hutanisasi dan penghijauan di wilayah hulu, jelas tidak memberikan dampak secara cepat terhadap penurunan laju sedimentasi di wilayah hilir, sebagaimana anggapan banyak pihak selama ini. Diperlukan jangka waktu setidaknya sepuluh tahun untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan kegiatan tersebut, terhadap penurunan banjir dan sedimentasi, serta pengendalian kekeringan. Dengan demikian diperlukan gerakan masal menabung air melalui pembangunan sejuta resapan yang memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat, misalnya pembangunan dan atau revitalisasi danaudanau besar, danau-danau kecil (embung), dam penahan, dam pengendali, sumur resapan dan sebagainya selain kegiatan restorasi hutan itu sendiri ! ***

51ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

7 Menyatu-hatikan Pertambangan dengan Pelestarian Alam

D

i tengah derasnya semangat pengarusutamaan (mainstreaming) isu pembangunan berkelanjutan, sesuai kesepakatan global dalam konferensi di Rio de Janeiro, Brasil dan Johannesburg, Afrika Selatan. Hingga saat ini, konservasi sebagai mindset pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, masih belum menjadi ‘way of life’ pembangunan. Di tataran nasional, bahkan ditengarai bahwa isu pembangunan berkelanjutan dalam pengambilan kebijakan semakin kabur. Memahami kondisi seperti ini, tidaklah aneh apabila di berbagai penjuru wilayah negeri ini, masih banyak dijumpai konflik kepentingan antara pembangunan dengan pelestarian alam. Pembangunan dan pelestarian alam selayaknya dapat diibaratkan sebagai permukaan bagian atas dan bawah daun, walau warnanya kadang berbeda, namun apabila digigit sama rasanya. Di tataran teoritis, dan ini sudah menjadi hafalan banyak orang, selalu ditekankan bahwa ‘pembangunan harus berwawasan lingkungan’ yang berarti bahwa pembangunan dan pelestarian alam harus berjalan seiring. Namun di tataran praktis, karakter pembangunan yang terlalu mengutamakan efek ‘kekinian’, telah membuat ‘wawasan lingkungan’ sering tersingkir jauh kebelakang. Implikasinya, kebijakan pembangunan dan pelaksanaanya justru sering menimbulkan tekanan maupun ancaman terhadap kerusakan sumberdaya alam.

»52

Eksplorasi dan eksploitasi pertambangan banyak diwarnai oleh paradigma yang menilai sumberdaya alam sebagai sumber pendapatan ketimbang modal. Eksploitasi pertambangan yang hanya ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pelestarian alam dan lingkungan hidup akan menjadi sumber petaka lingkungan dan prahara sosial. Sebaliknya, usaha pertambangan merupakan industri dasar yang menopang peradaban modern. Tanpa produk pertambangan berupa logam dan mineral, peradaban manusia akan mundur ke beberapa abad yang lalu. Peradaban modern dengan gedung– gedung tinggi, energi listrik, kendaraan, pesawat terbang, handphone dan ribuan peralatan yang dibutuhkan manusia modern tidak akan mungkin ada tanpa didukung oleh industri pertambangan. Walaupun pertambangan dan pelestarian alam bersifat kontradiftif tidak berarti bahwa pengusahaan pertambangan harus berhenti demi pelestarian alam, sebaliknya pelestarian alam tidak bisa berhenti pula karena adanya pertambangan. Keduanya justru harus dipertemukan, disatuhatikan, dicarikan peluang agar keduanya bisa berjalan seiring, karena keduanya dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan kehidupan.

Pertambangan dan Pelestarian Alam di Buton Sumberdaya alam di Buton cukup unik dan sekaligus memiliki kekayaan yang luar biasa. Pulau Buton dapat diibaratkan sebagaimana ’kue lapis’ yang berlapis-lapis dengan warna yang bervariasi. Lapisan paling atas ditumbuhi oleh hutan alam yang lebat dan menjadi benteng terakhir bagi sejuta kehidupan liar khas Sulawesi, juga merupakan ’menara air’, sekaligus ’karet busa raksasa’ bagi pemenuhan sumberdaya air bagi kawasan disekitarnya. Lapisan tengahnya mengandung deposit tambang Asphalt, Mangan dan Nikel yang merupakan sumber devisa penting bagi negara, dan di lapisan yang paling dalam tersimpan deposit minyak bumi yang merupakan sumber kekayaan yang tak 53«


Nasionalisme Lingkungan

Nasionalisme Lingkungan

1. Mengendalikan sedimentasi di kawasan pesisir

ternilai bagi masyarakat Buton dan sekitarnya. Permasalahannya kini bagaimana mencari titik imbang (trade-off) sehingga Pulau Buton tetap memiliki kondisi alam yang terpelihara, sedangkan kekayaan tambangnya, dalam batas tertentu dapat dieksploitasi demi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Disadari bahwa pemerintah menghadapi dilema yang pelik, jumlah penduduk terus meningkat, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan harus ditopang dengan suntikan investasi. Dengan semakin menipisnya pilihan sumberdaya alam oleh pemekaran wilayah, maka pertambangan, sebagaimana daerah lain, merupakan salah satu sumber PAD yang paling menarik bagi Kabupaten Buton. Di lain pihak, kegitan pertambangan memerlukan jaminan keamanan lingkungan dan hal ini hanya bisa ditopang oleh kelestarian alam. Memperhatikan kondisi sebagaimana terurai di atas, penataan ruang memegang kunci strategis untuk mengakomodasi berbagai kepentingan secara bijak. Kegiatan penataan ruang bukan hanya sekedar formalitas, namun harus menjadi bagian terpenting yang mendasari pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Buton. Pembangunan harus memperhatikan kelestarian alam, di lain pihak pelestarian alam harus mengakomodasi kepentingan pembangunan. Untuk mencapai win-win solution, keduanya harus saling membuka diri, duduk dalam satu meja untuk memetakan kepentingan masing-masing, dengan harapan dapat dicapai sebuah kesepakatan, yaitu bagaimana mereka bisa saling berjalan tanpa harus saling menganggu.

Memperhatikan bahwa sebagian besar masyarakat Pulau Buton bermukim di wilayah pesisir dan menggantungkan sumber kehidupannya dari hasil dan sumberdaya laut, maka kegiatan pertambangan harus diupayakan untuk tidak menimbulkan mega-erosi dan degradasi lahan yang pada gilirannya akan menimbulkan mega sedimentasi di kawasan pesisir yang berdampak pada kerusakan karang, lamun, usaha rumput laut, kerang mutiara dan usaha dan sumberdaya pesisir lainnya. Telah begitu banyak contoh kasus di Provinsi Sulawesi Tenggara bahwa usaha pertambangan berdampak pada kerusakan kawasan pesisir, karena tingginya laju pengaliran sedimen ke laut. Sungai-sungai yang mengalir dari kawasan pertambangan berwarna coklat kemerahan dan mencemari ekosistem pesisir. Hal ini dapat dihindarkan apabila kegiatan pertambangan yang bersifat merubah bentang lahan diikuti dengan upaya cermat untuk meminimasi nisbah pengaliran sediment (sediment delivery ratio). Hal ini dapat dilakukan dengan menstabilkan galian tanah dan batuan agar tidak terangkut oleh air hujan dan pengaliran sungai. Upaya penstabilan galian tanah dan batuan antara lain dapat dilakukan dengan cara menimbun galian tersebut pada cekungan-cekungan lahan baik yang terbentuk secara alami maupun oleh kegiatan pertambangan itu sendiri. Dengan menimbun galian tanah, maka laju sedimentasi ke hilir dapat ditekan pada tingkat minimum, sedemikian rupa sehingga tidak menggangu kelestarian ekosistem pesisir.

Menyatu-hatikan pertambangan dan pelestarian alam

2. Mencegah degradasi hutan alam

Dari pembahasan yang bersifat umum dan filosofis, mari beralih ke uraian yang bersifat teknis. Yaitu masih adakah ruang untuk menyatu-hatikan usaha pertambangan dengan pelestarian alam. Berikut diberikan beberapa ilustrasi yang menujukan bahwa peluang itu nampaknya masih ada dan bahkan sebetulnya terbuka lebar.

Hutan alam di Pulau Buton merupakan hutan purba yang telah tumbuh di Pulau ini selama jutaan tahun. Kondisi geologi Pulau Buton yang didominasi oleh batuan kapur (dengan lapisan tanah yang tipis) telah membuat proses suksesi (tahapan pertumbuhan) alami hutan-hutan alam di pulau ini memakan

Âť54

55ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Âť56

di Kalimantan, timah di Bangka atau tembaga di Timika misalnya. Selama ini Buton telah terbukti sebagai salah satu sumber asphalt alam dunia, namun pada saat yang sama terbukti mampu mempertahankan kelestarian alamnya. Sebuah bukti yang tidak terbantahkan, bahwa masih terbuka peluang untuk menyatuhatikan pertambangan dan pelestarian alam !

Foto: PKHL, Opwall Trust 2005

skala waktu geologi yang relatif panjang. Implikasinya, apabila hutan alam tersebut rusak, maka tidak akan mampu pulih secara cepat. Contoh kasus di depan mata adalah Bukit Teletubis, yaitu sebuah kawasan perbukitan gundul berbatu kapur yang berada di sekitar Desa Waangu-angu dan Warinta, Kecamatan Pasarwajo. Disebut Bukit Teletubis, karena bentuk bukit-bukitnya menyerupai bukit dalam film Teletubis yang telah begitu dikenal oleh masyarakat Buton. Bukit ini sebetulnya menyebar hingga Kecamatan Sampolawa, namun begitu mudah dilihat saat kita melakukan perjalanan dari Bau-Bau menuju Pasawajo. Bukit ini dulunya berselimutkan hutan alam yang begitu lebat, namun karena hutannya telah terdegradasi, suksesi alami tidak terjadi, hal tersebut disebabkan oleh begitu tipisnya lapisan tanah, kerasnya batuan dan tingginya tekanan penduduk. Diperlukan waktu yang lama dan usaha yang sangat mahal untuk mengembalikan Bukit Teletubis kembali berhutan sebagaimana tempo doeloe. Dengan demikian, Bukit Teletubis merupakan sebuah monumen yang menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Buton. Bukit Teletubis yang dulunya berselimutkan hutan alam yang begitu indah, kini menjadi bukit yang kering kerontang. Implikasinya, eksploitasi pertambangan dan kegiatan apapun yang merubah penutupan lahan dan bentang alam seharusnya tidak dilakukan di kawasan yang kini masih ditutupi oleh hutan alam. Karena kegiatan tersebut akan menimbulkan eksternalitas negatif yang sangat tinggi dan itu tidak sebanding dengan keuntungan (benefit) yang diperoleh. Di lain pihak ada pelajaran penting dan sangat baik dari kasus pertambangan asphalt di Pulau Buton. Sejak jaman kolonial, Buton telah dikenal sebagai satu-satunya pulau penghasil asphalt, namun buktinya sampai kini Pulau Buton masih tetap cantik dan memiliki hutan alam yang luas dan masih terpelihara dengan baik. Pulau Buton terbukti bukan Pulau yang penuh kubangan sebagaimana wilayah pertambangan batubara

Nasionalisme Lingkungan

Gambar 5. Aktifitas penambangan Aspal di Lambusango

Kunci keserasian antara pertambangan dan pelestarian alam terletak pada komitmen dari pelaku usaha pertambangan itu sendiri dan pemerintah yang memiliki kebijakan jelas dan tegas dalam perlindungan alam serta kontrol masyarakat sebagai pewaris sumberdaya alam. Kita semua berharap semoga komitmen dari berbagai pihak itu kini masih ada ! ***

57ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

8 Mencermati Konversi Hutan Alam Menjadi Kebun Kelapa Sawit

K

onversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan terus berlanjut dengan laju yang sangat cepat. Setiap menitnya hutan alam seluas enam kali lapangan sepak bola rusak atau berubah menjadi peruntukan lain. Bank Dunia menaksir bahwa hutan alam dataran rendah Sumatera habis pada tahun 2005 dan menyusul Kalimantan pada tahun 2010. Data terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia sudah mencapai 2,83 juta ha per tahun (Dephut, 2005). Tingginya konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan lahan tersebut diyakini menjadi penyebab utama tingginya intensitas dan frekuensi bencana banjir dan tanah longsor sebagaimana kini banyak terjadi di berbagai wilayah di bumi pertiwi. Disadari bahwa konversi hutan alam tidak selalu berdampak buruk, bahkan tidak sedikit kisah sukses konversi hutan menjadi tata guna lahan yang lebih produktif dan lestari. Konversi hutan alam menjadi lahan sawah, perkebunan teh, karet dan berbagai bentuk wana-tani, termasuk pekebunan kelapa sawit di Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah membuktikan bahwa konversi hutan alam tidak selalu menunjukkan wajah yang kurang ramah lingkungan. Namun juga tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak kasus kerusakan lingkungan yang begitu dasyat sebagai dampak konversi hutan alam. Kegagalan konversi 1 juta ha hutan alam gambut menjadi lahan sawah di Propinsi Kalimantan Tengah menjadi pelajaran penting bagaimana konversi hutan alam tidak dapat dilakukan secara gegabah.

Âť58

Indonesia kini dikenal sebagai penghasil dan pengekspor minyak sawit (Eleais quinensis Jack) kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Untuk mendukung pengembangan industri sawit, Departemen Pertanian tahun 2006 telah menyiapkan anggaran Rp380 miliar. Pengembangan itu berkaitan juga dengan pencetakan energy farming, khususnya biodisel dari minyak sawit. Bahkan, pemerintah baru-baru ini berencana untuk mencetak kebun kelapa sawit seluas dua juta hektar di wilayah perbatasan Kalimantan. Memperhatikan tingginya target perluasan perkebunan sawit, tidak menutup kemungkinan bahwa hutan-hutan alam yang masih tersisa saat ini menjadi sasaran konversi. Di wilayah lain, termasuk di Propinsi Sulawesi Tenggara, konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit juga sedang marak terjadi, sebagaimana di Kabupaten Konawe dan Kolaka dan kemungkinan akan pula terjadi di Kabupaten Buton. Dengan semakin tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah yang disebabkan oleh kerusakan hutan alam, maka konversi hutan alam skala besar menjadi perkebunan kelapa sawit sudah saatnya untuk dicermati. Tulisan ini mencoba untuk mengulas dampak tata air (banjir, erosi, sedimentasi, tanah longsor dan ketersediaan air tanah) konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit.

Dampak konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit Indonesia yang beriklim tropika basah memiliki intensitas hujan yang sangat tinggi. Kondisi curah hujan seperti ini, apabila tidak diimbangi dengan penata-kelolaan lahan yang baik terbukti berdampak pada kerusakan lahan dan berbagai bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Sebenarnya alam telah diciptakan dengan penuh harmoni dan keseimbangan, tingginya intensitas hujan di wilayah tropis, telah diimbangi dengan penutupan hutan alam yang begitu luas, kondisi ini telah membuat bumi nusantara dikenal sebagai bumi yang subur, ijo-royo-royo, 59ÂŤ


gemah-ripah loh jinawi. Sayangnya, hutan alam yang berperan sebagai gudang sumberdaya genetik dan pendukung ekosistem kehidupan ini sering menjadi korban kepentingan pragmatis jangka pendek, termasuk diantaranya adalah konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, di lain pihak masih banyak tersedia lahan lain selain hutan alam, termasuk diantaranya adalah lahan kritis yang kini telah mencapai 30 juta ha. Hutan alam, dibandingkan dengan penutupan lahan apapun, memiliki berbagai kelebihan dalam meredam tingginya intensitas hujan dan mengendalikan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Hutan alam, khususnya yang berada di pegunungan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur tata air (regulate water), namun juga penghasil air (produce water). Hutan alam memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah, khususnya dalam menyimpan air, hutan alam memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. Hal ini disebabkan: (1) Pepohonan pada hutan alam menghasilkan serasah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan bahan organik lantai hutan, sedemikian rupa sehingga lantai hutan memiliki kapasitas peresapan air (infiltrasi) yang jauh lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan non-hutan. Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktifitas biologi tanah, sedangkan siklus hidup/ pergantian perakaran pohon (tree root turnover) yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama, membuat tanah hutan memiliki banyak pori-pori berukuran besar (macroporosity), sehingga tanah hutan memiliki laju penyerapan air/pengisian air tanah (perkolasi) yang jauh lebih tinggi; (2) Stratifikasi hutan alam (bervariasinya umur dan ketinggian tajuk hutan), tingginya serasah dan tumbuhan bawah pada hutan alam memberikan penutupan lahan secara ganda, sehingga berfungsi efektif untuk mengendalikan erosivitas hujan (daya rusak hujan), laju aliran permukaan dan erosi; (3) Dari sisi bentang lahan (landscape), Âť60

Nasionalisme Lingkungan

hutan memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis, dalam hutan alam sangat sedikit sekali ditemukan jalan-jalan setapak, tidak ada saluran irigasi, apalagi jalan berukuran besar yang diperkeras sehingga pada saat hujan besar berperan sebagai saluran drainase. Biomasa hutan yang tidak beraturan juga berperan sebagal filter pergerakan air dan sedimen. Di dalam hutan alam juga tidak dilakukan pengolahan tanah yang membuat lahan lebih peka terhadap erosi. Hutan dalam kondisi yang tidak terganggu juga lebih tahan terhadap kekeringan sehingga tidak mudah terbakar.

Sumber: Misteri kekayaan hayati Lambusango

Nasionalisme Lingkungan

Gambar 6. Stratifikasi tajuk hutan tropika cukup efektif mengendalikan energi tetesan hujan (Erosivitas hujan)

Pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi hutan alam, selain merusak habitat hutan alam yang berarti menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harga dan manfaatnya, juga akan merubah landscape hutan alam secara total. Proses ini apabila tidak dilakukan dengan baik (dan biasanya memang demikian) akan berdampak pada kerusakan seluruh ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada dibawahnya. Dampaknya, antara lain adalah meningkatnya aliran permukaan (surface runoff), 61ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Kondisi ini semakin parah, apabila pembersihan lahan (setelah kayunya ditebang) dilakukan dengan cara pembakaran. Dalam setiap perkebunan yang dikelola secara intensif, rumput dan tumbuhan bawah secara menerus akan dibersihkan, karena akan berperan sebagai gulma tanaman pokok. Dilain pihak, rumput dan tumbuhan bawah ini justru berperan sangat penting untuk mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan. Keberadaan pepohonan yang tanpa diimbangi oleh pembentukan serasah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan. Mengingat energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari enerji kinetik semula, disamping itu butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leaf-drip) yang lebih besar, sebingga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan. Pembangunan perkebunan memerlukan pembangunan jalan, dari jalan utama hingga jalan inspeksi, serta pembangunan infrastruktur (perkantoran, perumahan), termasuk saluran drainase. Kondisi ini apabila tidak dilakukan dengan baik (lagilagi biasanya memang demikian) akan berdampak pada semakin cepatnya air hujan mengalir menuju ke hilir. Implikasinya, peresapan air menjadi terbatas dan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor akan meningkat. Di lain pihak, pohon kelapa sawit sebagai pohon yang cepat tumbuh (fast growing species) dikenal sebagai pohon yang rakus air, artinya pohon ini memiliki laju evapotranspirasi (penguapkeringatan) yang tinggi. Setiap pohon sawit memerlukan 20 - 30 liter air setiap harinya. Dengan demikian konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi

Âť62

Nasionalisme Lingkungan

ketersediaan air khususnya di musim kemarau. Sumber-sumber air di sekitar kebun kelapa sawit terancam lenyap, seiring dengan pertambahan luas dan bertambahnya umur pohon kelapa sawit.

Penutup Memperhatikan dampak lingkungan konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit sebagaimana tergambar di atas, kemudian memperhatikan banyaknya kasus penebangan hutan alam dengan kedok pembukaan kebun kelapa sawit sebagaimana dilaporkan terjadi di Kabupaten Konawe (Kendari Pos, 21 Februari 2006), sudah saatnya pemerintah daerah perlu ekstra hati-hati dalam menerbitkan ijin konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.599/Menhut-VII/2005 tertanggal 12 Oktober 2005 tentang Penghentian/Penangguhan Pelepasan Kawasan harus menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan. Memperhatikan melimpahnya sumberdaya lahan dan semakin menyusut dan langkanya hutan alam, pembangunan perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak lagi dilakukan dengan cara mengkonversi hutan alam. Masih tersedia sumberdaya lahan yang maha luas dan tidak produktif menunggu sentuhan investasi. Sudah saatnya pembangunan tidak sekedar mengejar pertumbuhan, namun harus menjunjung tinggi kelestarian lingkungan. Investasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sudah banyak terbukti merusak lingkungan, bahkan merusak kehidupan. Jangan biarkan darah dan airmata serta dana terbuang percuma karena kesalahan pengambilan keputusan ! ***

63ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

9 Rehabilitasi Lahan Rehabilitasi lahan merupakan upaya untuk merestorasi kerusakan lahan. Kegiatan ini biasa dilakukan dengan penghijauan (penanaman pohon di luar kawasan hutan) dan konservasi tanah dalam bentuk penterasan lahan kering (tegalan), pengendalian erosi jurang, pembuatan dam penahan dan pengendali. Kegiatan ini menjadi program pemerintah sejak akhir tahun enam-puluhan, dipicu oleh banjir Bengawan Solo yang disebabkan oleh kerusakan lahan diwilayah hulu DAS. Pada awal tahun tujuh-puluh diluncurkan ‘Inpres Penghijauan dan Reboisasi’, program ini berlangsung hingga akhir tahun 1990-an, kemudian disusul dengan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) hingga tahun 2007. Kegiatan rehabilitasi lahan juga dilakukan dalam Green-PNPM di Sulawesi dan Sumatera, dimana sebagian besar pilihan masyarakat, dari sekian banyak Green-menu, adalah penanaman pohon. Berikut disampaikan refleksi efektifitas kegiatan rehabilitasi lahan sipil teknis, khususnya penterasan lahan dan bangunan pengendali jurang dalam perbaikan lingkungan, kemudian fenomena disintensifikasi lahan kering yang menjadi momentum penting keberhasilan rehabilitasi lahan vegetatif.

Mitos Penterasan Lahan Kegiatan penterasan lahan telah menjadi maskot rehabilitasi lahan selama beberapa abad. Pada tahun 1874, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordinance of Alienation of Âť64

Domain Forest Land, yaitu ijin pembukaan hutan pada lahan berlereng diberikan dengan syarat petani bersedia melakukan penterasan lahan. Pada tahun 1930, Belanda melakukan penterasan lahan skala besar di Keresidenan Priangan dan Cheribon (Cirebon). Sejak masa itu teras bangku telah menjadi mitos kegiatan rehabilitasi lahan. Teras bangku yang dibangun pada lokasi yang tepat, terpenuhi persyaratan teknisnya dan terpelihara dengan baik memang mampu meningkatkan produktifitas lahan sekaligus mengendalikan laju erosi pada pertanian lahan kering. Permasalahannya, berbeda dengan teras bangku pada lahan sawah. penterasan lahan kering, karena tidak ditujukan untuk menampung air irigasi, kualitas teras biasanya asal-asalan, sekedar dibuat untuk menciptakan budidaya tanaman semusim pada lahan berlereng yang jauh dari tujuan pengendalian erosi. Karena itu, banyak teras bangku lahan kering yang tidak terpenuhi persyaratan teknisnya, memperhatikan mahalnya biaya pembangunan dan pemeliharaan teras serta rendahnya nilai ekonomi yang dihasilkan. Pengukuran erosi yang dilakukan oleh penulis menggunakan plot erosi batas alam (natural boundary erosion plot) pada tanah Latosol dengan bidang olah miring ke dalam (goler kampak), tampingan teras (terrace riser) tidak diproteksi di Malangbong, Garut, Jawa Barat menunjukan bahwa laju erosi selama musim hujan pada lahan dengan kemiringan landai berkisar antara 95135 ton/ha, sedangkan pada lahan terjal mencapai 240 ton/ha. Laju erosi ini cukup besar dan beberapa kali lipat melampaui tolerable erosion. Sumber erosi utama berasal dari tampingan teras yang tidak diproteksi, karena miskinnya pemeliharaan teras. Kesimpulannya teras bangku yang tidak terpenuhi persyaratan teknisnya dan tidak dipelihara dengan baik justru berpeluang sebagai sumber degradasi lahan daripada upaya rehabilitasi lahan, cure is worse than the desease ! 65ÂŤ


Nasionalisme Lingkungan

Mitos Pengendali Jurang Masih langkanya penelitian efektifitas teknologi rehabilitasi lahan menyebabkan kegiatan ini masih banyak mengadopsi high cost technologies yang dikembangkan oleh Proyek Solo pada tahun 70-an. Di masa lalu banyak proyek rehabilitasi lahan untuk mengendalikan erosi jurang dengan membangun gully plug, gully structure. Berhasilkah? sebagian memang cukup berhasil, namun tidak sedikit gabion yang hancur atau menggantung di tengah jurang pada musim kemarau. Stocking (1996) menjelaskan bahwa erosi jurang sering merupakan symtom dari unstable landscape sehingga tidak bernilai ekonomi untuk direhabilitasi. Sama halnya dengan pembangunan dam pengendali, beberapa memang memiliki multi-guna, namun banyak yang waste of precious resources, mengingat bangunan bernilai puluhan juta rupiah tersebut banyak yang penuh lumpur kurang dari tiga tahun, bahkan dalam satu tahun. Tidakkah lebih efisien bila dana tersebut digunakan untuk merehabilitasi daerah tangkapan airnya? Konservasi tanah berarti mengendalikan kehilangan tanah secara on-site dan bukan penampungan sedimen ! Hasil analisa ekonomi yang dilakukan oleh Proyek Kali Konto membuktikan bahwa bangunan pengendali sedimen memiliki Internal Rate Return (IRR) yang rendah yaitu hanya sebesar 9 – 11 %, jauh dibawah konservasi tanah vegetatif (16 – 18 %). Semakin menipisnya ketersediaan dana pemerintah dan pentingnya upaya konservasi secara mandiri membuat strategi rehabilitasi lahan harus bergeser dari high cost ke low cost dan dari teknik sipil ke vegetatif.

Mitos Keproyekan Hingga kini kegiatan rehabilitasi lahan sebagian besar dipicu dengan pendekatan keproyekan. ‘Proyek’ sebagaimana na¬manya, dilaksanakan pada suatu wi¬layah dan jangka waktu tertentu, dengan penekanan pada aktifitas tertentu, »66

Nasionalisme Lingkungan

semuanya dilakukan dengan extra input dan personnel. Karena bersifat keproyekan maka teknologi rehabilitasi lahan yang dikembangkan biasanya padat modal agar bersifat monomental dan cepat terlihat hasilnya. Hal ini berlawanan dengan proses adopsi dan dampak rehabilitasi lahan yang lebih bersifat proses sosial sehingga me¬makan waktu yang lama. Di lain pihak subsidi langsung yang diberikan untuk mernompa kerja petani sering menjadi faktor penghambat penerapan rehabilitasi lahan berbiaya murah yang perlu dilakukan petani dengan kekuatan dan kesadarannya sendiri. Bahkan subsidi langsung sering justru merusak kelembagaan lokal yang pada gilirannya mengurangi semangat pe¬tani untuk mengelola lahannya dengan kekuatannya sendiri. Melihat kenyataan ini bisa dipahami, be¬gitu proyek selesai, semua kegiatan selama proyek selesai pula. Diperlukan kiat rehabiliasi lahan yang lebih inovatif untuk membuat kegiatan ini benar-benar melembaga, bukan sekedar menghabiskan dana besar untuk sesuatu yang bersifat sesaat.

Disintensifikasi dan Rehabilitasi Lahan Vegetatif Dalam kondisi keterbatasan sumberdaya dan pilihan teknologi, cara termudah untuk mengelola ke¬suburan tanah pada awal perkem¬bangan lahan kering adalah melalui peladangan berpindah. Meningkatnya kepadatan penduduk berpengaruh terhadap semakin pendeknya masa bera, kondisi ini kemudian me¬rangsang upaya pengelolaan lahan secara lebih intensif. Pada titik inilah kegiatan intensifikasi mulai ber¬peran, dimulai dengan penterasan lahan secara sederhana yaitu dengan pembuatan parit mengelilingi bukit (teras gunung), kemudian berkembang menjadi teras gulud, teras kre¬dit hingga menjadi teras bangku se¬bagaimana banyak dikenal kini. Tanpa pemupukan, produktifitas la¬han kering secara cepat merosot, se¬hingga kemudian pupuk kandang mulai memegang peranan dalarn proses intensifikasi. Puncak intensi¬fikasi lahan kering terjadi pada akhir tahun 70-an. Waktu itu pupuk 67«


Nasionalisme Lingkungan

mineral, pestisida, insektisida, herbisida dan varietas unggul mulai ba¬nyak tersedia di pasaran. Sayangnya, pertanian semusim berproduktifitas tinggi di wilayah tro¬pis yang mampu dipertahankan dalam jangka panjang hanyalah pertanian lahan basah (sawah). Intensifikasi lahan kering merupakan upaya pengendalian dan peningkatan produktifitas, sebagai kompensasi terhadap degradasi yang disebab¬kan oleh pemanfaatan lahan secara in¬tensif. Proses pergulatan antara intensifikasi dan degradasi terus berlang¬sung hingga mencapai suatu titik, dimana intensifikasi secara ekonomis menjadi ti¬dak menarik. Setiap bentuk intensifikasi selalu diikuti dengan lost of efficiency, degradasi (eksploitasi) lahan yang berlangsung, amat inten¬sif dalam setiap tahap intensifikasi. berdampak pada ke’aus’an kesubur¬an tanah, sehingga dicapailah kon¬disi law of diminishing returns, ya¬itu penambahan input biaya (incre¬mental cost) menjadi semakin tidak seimbang dengan tambahan per¬olehan hasil (incremental benefit). Kondisi tersebut di berbagai wi¬layah telah lama disadari, namun keterbatasan pilihan, keterdesakan ke¬butuhan dan kentalnya daerah ag¬raris membuat petani masih menco¬ba berlahan, walaupun dengan cara mengeksploitasi diri. Sebagian petani yang tidak tahan mulai berkelit dari himpitan tersebut dengan cara ban¬ting setir ke off farm. Kegiatan terakhir ini bisa masih berkaitan de¬ngan pertanian, misalnya menjadi buruh tani di lahan sawah atau se-penuhnya di luar pertanian. Desa¬desa lahan kering yang didominasi oleh petani tipe ini memiliki karak¬teristik sebagai berikut: tingginya la¬ju urbanisasi baik musiman maupun permanen, semakin rendahnya mi¬nat pemuda memegang cangkul dan semakin menipisnya kontribusi lahan kering dalam struktur penda¬patan perdesaan. Dampaknya terhadap lahan ke¬ring sangat ditentukan oleh status la¬hannya, apabila lahan di wilayah tersebut merupakan lahan guntai (ab¬sentee land, lahan yang dimiliki oleh orang luar desa, petani tempatan hanya sebagai penggarap), biasanya hanya »68

Nasionalisme Lingkungan

ditanami singkong. Apabila status lahannya adalah lahan milik, biasanya terjadi perubahan kualitas lahan secara signifikan dengan beralihnya petani pada hutan rakyat berdaur pendek, kondisi ini didukung oleh mening¬katnya harga kayu dan melonjaknya harga pupuk. Fenomena ini menjelaskan berkembang pesatnya hutan rakyat di Jawa saat ini. Kesimpulannya di tengah keme¬rosotan produktifitas lahan kering, gerakan penanaman pohon, pembangunan hutan rakyat dan agroforestry, berkepentingan memanfaat¬kan momentum disintensifikasi untuk tujuan rehabilitasi lahan secara vegetatif, yaitu kembali ke penutupan lahan tradisional yang bersifat self sustaining yang notabene selama beberapa dasawar¬sa yang lalu telah tergeser oleh laju intensifikasi lahan ! ***

69«


Sumber: BLL Edisi Maret 2006

Sumber: BLL Edisi April 2006

2 KONSERVASI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


1 Konservasi, Kemiskinan dan Transformasi Sosial

G

erakan konservasi di Indonesia, setidaknya telah berlangsung sejak empat dasa warsa yang lalu. Kegiatan rehabilitasi hutan (reboisasi) dan lahan (penghijauan) telah dimulai sejak akhir tahun 60-an. Berawal dari sebuah proyek, kemudian menjadi sebuah gerakan nasional yang dikukuhkan melalui Instruksi Presiden No. 8/1976. Dalam jangka waktu tiga puluh tahun, gerakan tersebut tidak pernah terhenti, komitmen pemerintah dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan bahkan semakin tinggi dengan digulirkannya Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) pada tahun 2004. Pemerintah juga memiliki komitmen dalam konservasi keragaman hayati, Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) telah ada sejak urusan kehutanan masih dibawah Departemen Pertanian. Pada saat Departemen Kehutanan terbentuk pada tahun 1983, Direktorat PPA ditingkatkan menjadi Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Luas kawasan konservasi baik daratan maupun lautan terus ditingkatkan. Gerakan konservasi yang telah dirintis oleh pemerintah, mulai tahun 1990-an, diperkuat oleh kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik yang berskala lokal, nasional maupun internasional. LSM yang merupakan representasi dari civil society ini mulai bermunculan bak jamur di musim hujan, menjelang dan setelah masa reformasi. 73ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Jelaslah, bahwa konservasi bukanlah barang baru di Indonesia. Pertanyaannya, mampukah kerusakan hutan dikendalikan dan konservasi ditegakan? Secara jujur, success story Indonesia dalam gerakan konservasi masih sangat minim. Deforestasi melaju kencang hampir tanpa kendali, sedangkan perbaikan, kalaupun ada, sangat tidak seimbang dengan mega kerusakan yang terjadi. Ironisnya, gerakan reformasi, demokratisasi dan otonomi daerah selama ini tidak mampu menegakan konservasi, sebaliknya konservasi justru semakin surut kebelakang. Laju deforestasi justru semakin meningkat dalam era reformasi. Pertanyaannya kemudian, apakah yang melatar belakangi kegagalan gerakan konservasi di Indonesia? Selama ini sebagian besar upaya konservasi baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga konservasi (LSM) dilaksanakan dalam bentuk keproyekan. Karakter utama proyek adalah kesementaraan (temporer), aturan administrasi yang kaku dan indikator ketercapaian yang monumental dan (sering) tidak realistis untuk dicapai dalam waktu yang terbatas. Implikasinya, pelaksana proyek sering hanya berorientasi pada hasil yang bersifat instant, tanpa memperhatikan proses. Dampaknya, berbagai gerakan konservasi hutan kalau toh ada, biasanya hanya berlangsung sesaat. Proyek konservasi (atau proyek apapun di negeri ini) sering justru mendidik masyarakat dan birokrat bermental keproyekan. Jiwa kemandirian masyarakat dan perbaikan kinerja pemerintah yang harusnya terbangun oleh keberadaan proyek, sering tidak tercapai, sebaliknya justru tergantung oleh proyek. Padahal ‘proyek’ hanya dimaksudkan sebagai triger (pemicu) sebuah perbaikan, kemudian perbaikan tersebut mesti dipelihara dan dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam periode pasca proyek. Proyek yang dimaksudkan untuk membangun budaya kerja, sering justru hanya memperkuat budaya materialisme. Masyarakat yang sejak jaman dulu kala memiliki tradisi menanam Âť74

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

pohon misalnya, kini untuk menanam di kebunnya sendiri yang notabene untuk kepentingannya sendiripun, mesti didorong oleh kucuran dana Gerhan. Pemerintah yang bertugas mengelola kelestarian hutan sering tidak mampu mengendalikan kerusakan hutan yang ada didepan mata, karena untuk bertindak harus menunggu kucuran dana proyek. Singkatnya, berbagai proyek yang ada selama ini tidak berhasil membangun kemandirian masyarakat yang merupakan kunci utama dalam gerakan pemberdayaan masyarakat di bidang konservasi sumberdaya alam. Sedangkan semangat pengabdian dan kesetiakawanan (jiwa korsa) aparat pemerintah di bidang konservasi justru terkikis oleh budaya materialisme yang dipicu oleh sistem keproyekan.

Konservasi dan kemiskinan Menjelang musim kemarau, bulan Juli dan Agustus tahun 2006, melalui iklan layanan masyarakat di layar kaca, Presiden bersama Menteri Kehutanan begitu gencar melakukan kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan, ‘Ini harus kita hentikan! Ironisnya, di lapangan, kebakaran hutan dan pembakaran lahan terus terjadi hampir tidak terkendali. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah tidak berwibawa lagi? Atau masyarakat sudah begitu bebal (ignorant)? Tepatnya, kenyamanan lingkungan belum dirasakan sebagai kebutuhan hidup oleh masyarakat yang masih berjuang melawan belitan kemiskinan. Kenyamanan lingkungan (baca: konservasi) hanya menjadi kebutuhan masyarakat yang sejahtera, sebagaimana masyarakat di Singapura dan Malaysia dan negara maju lainnya yang memiliki tingkat kemakmuran yang tinggi. Kebutuhan utama masyarakat Indonesia adalah menyiasati kebutuhan hidup ditengah semakin terbatasnya pilihan pemenuhan hidup. Perusakan lingkungan dilakukan, bukan semata karena miskinnya pemahaman, melainkan karena keterbatasan pilihan. 75ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Masyarakat tidak melakukan konservasi bukan karena mereka kurang memahaminya, melainkan mereka tidak berdaya untuk melakukannya ! Memahami kondisi ini, gerakan konservasi di Indonesia jelas tidak cukup dilakukan melalui kegiatan penyadaran. Gerakan konservasi harus mampu menciptakan kondisi pemungkin (enabling condition ) untuk membuat masyarakat berdaya. Yang dimaksud sebagai masyarakat berdaya adalah masyarakat yang memiliki kemandirian, memiliki kemampuan mencari nafkah secara manusiawi, masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, masyarakat yang mampu mengaktualisasikan diri, masyarakat yang memiliki bargaining power. Ketidak berdayaan masyarakat berakar pada faktor kemiskinan, baik kemiskinan alamiah maupun kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang rendah sehingga mereka tidak mampu berproduksi.

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan oleh kurang tepatnya tatanan kelembagaan. Dalam hal ini, tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi atau kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak memihak pada masyarakat miskin. Kemiskinan adalah buah dari buruknya iklim hidup yang terwujud pada sulitnya kelompok masyarakat mengakses pelayanan publik. Kemiskinan dan ketidak berdayaan bak ayam dan telur, tidak jelas mana yang lebih dulu ada. Karena kemiskinan, maka masyarakat tidak berdaya. Hal ini membuat mereka selalu menjadi obyek pemerasan masyarakat yang lebih berdaya, dan karenanya mereka semakin miskin dan tidak berdaya. Kondisi ini membuat masyarakat semakin tidak peduli terhadap konservasi. Ketidak pedulian tersebut berdampak pada semakin merosotnya kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dan karena itu mereka semakin miskin dan tidak berdaya. Gerakan konservasi dengan demikian harus mampu memutus lingkaran setan (vicious circle) kemiskinan dan ketidakberdayaan. Tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya, sebagaimana berbagai proyek konservasi di negeri ini, konservasi di Indonesia hanya akan menjadi sebuah wacana, sumber inspirasi penciptaan proyek-proyek baru, namun tidak pernah hadir dan dibutuhkan oleh masyarakat akar rumput. Gerakan konservasi adalah gerakan membangun kehidupan, karenanya harus bersifat total, menyentuh seluruh aspek hidup dan kehidupan masyarakat.

Konservasi dan Transformasi Sosial Sumberdaya hutan memiliki kandungan kekayaan yang luar biasa, baik yang bersifat tangible (kayu maupun non-kayu), maupun yang intangible (keindahan alam, hasil air, keragaman hayati). Ironisnya sebagian besar masyarakat yang berada di sekitar hutan adalah masyarakat miskin. Tidak ada penebang kayu atau pengumpul rotan yang hidup berkecukupan. Hal ini terjadi karena masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat Âť76

77ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

yang tidak berdaya. Sayangnya, pencaharian sebagai pengumpul sumberdaya justru membuat mereka semakin tidak berdaya, karena mereka hanya terbiasa menggantungkan kemurahan alam. Kondisi ini yang membuat hidup mereka terus dan semakin terbelakang. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dicapai dengan sekedar membuka akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan, melainkan harus memperkuat budaya berproduksi dengan mengolah kekayaan alam yang berada di sekitar hutan. Kegiatan bisnis yang sesuai untuk konservasi, karena itu, bukanlah bisnis mengolah hutan yang (sering) berujung pada eksploitasi hutan besar-besaran oleh pihak luar, melainkan bisnis pertanian dalam arti luas. Upaya pengalihan ini tentunya bukan hal yang sederhana, mengingat menebang kayu atau memungut rotan selain telah menjadi kebiasaan, barang yang dihasilkan juga bersifat liquid, artinya mudah diuangkan dalam waktu cepat. Sedangkan bisnis pedesaan berbasis pertanian, apapun bentuknya dan betapapun prospektifnya, tetap memerlukan proses dan waktu yang relatif lama hingga keuntungan siap dipetik. Oleh karena itu, masyarakat biasanya tidak mudah tergiur dengan alternatif baru, mereka perlu bukti-bukti yang kongkrit, mengingat kondisi ekonomi mereka yang sudah cukup berat, tidak ingin ditambah dengan peluang resiko kegagalan. Kegiatan pengembangan bisnis dengan demikian bukanlah pekerjaan yang gampang, mengingat tidak ada ‘obat mujarab’ yang mampu merubah masyarakat secara cepat. Fasilitator pengembang bisnis harus mampu meyakinkan masyarakat terhadap berbagai keuntungan dan perbaikan ekonomi masyarakat dari model bisnis yang ditawarkan. Bisnis yang ditawarkanpun harus menjanjikan keuntungan dalam jangka waktu yang relatif pendek, karena masyarakat umumnya tidak memiliki ‘nafas yang panjang’ untuk menunggu terlalu lama. »78

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat juga tidak dapat dijalankan dengan pola ‘Sinterklas’ sebagaimana yang banyak terjadi di berbagai proyek konservasi. Masyarakat harus dididik untuk tidak bermental proyek dan hanya mengharapkan bantuan cuma-cuma (there is no free lunch). Masyarakat harus dididik untuk disiplin dan bertanggung jawab. Komitmen masyarakat terhadap konservasi harus dibangun melalui kontrak sosial, untuk memastikan bahwa bisnis yang dikembangkan benar-benar menjadi alternatif penghasilan baru dan bukan sekedar sebagai tambahan penghasilan dari kegiatan eksploitasi hutan yang masih terus dilakukan. Masyarakat harus memiliki kelembagaan ekonomi yang kuat dan mandiri, yang dikembangkan oleh, dari dan untuk masyarakat. Lembaga ini harus mampu berperan untuk mengatur kebutuhan ekonomi masyarakat, yaitu dari mulai proses produksi, pengolahan, pemasaran hasil, termasuk membangun akses masyarakat terhadap lembaga perbankan. Lembaga semacam ini harus disiapkan oleh pemerintah dan LSM sebagai exit strategy. Perubahan dari masyarakat ’tidak berdaya’ menjadi ’berdaya’ adalah sebuah proses sosial yang tidak mungkin dicapai secara instant, karena hal tersebut menyangkut perubahan perilaku, perubahan sosial dan budaya masyarakat. Konservasi karena itu hanya dapat diwujudkan melalui gerakan transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Sesuatu yang mungkin dapat dijadikan bahan renungan bagi para penggiat konservasi di negeri ini ! ***

79«


2 Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat “Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs 1 of the people” (Westoby, 1987 ) “Kehutanan bukan sekedar berhubungan dengan pohon, melainkan masyarakat. Pohon menjadi penting selama keberadaannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat” Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya harmoni (hidup selaras) dengan alam, yaitu yang memposisikan diri sebagai bagian dari alam, bangsa yang meng-kami-kan alam, dan bukan meng-engkau-kan alam. Hal ini berbeda dengan akar budaya barat yang memandang alam sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, sehingga mainstream yang berkembang adalah menaklukan alam. Kentalnya budaya harmoni dengan alam inilah yang membuat hutan alam purba di negeri ini bisa dipertahankan selama berabad-abad, bahkan masih dalam kondisi utuh hingga akhir tahun 60-an. Hal tersebut terjadi, karena masyarakat memandang 1 Westoby, 1987 dalam Sardjono, 2003

81«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

hutan sebagai rumah, menjadi bagian dari budaya dan kehidupan mereka. Merusak hutan berarti menghancurkan kehidupan. Tanpa dukungan budaya seperti ini, bisa dipastikan seluruh hutan alam purba telah hancur jauh sebelum pemerintahan orde baru dan era reformasi saat ini. Tanpa budaya harmoni dengan alam, hutan-hutan alam purba telah lama punah, sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat. Memandang alam sebagai rumah yang perlu dijaga inilah yang kemudian dikenal dengan prinsip‘ekologi’, dari kata oikos yang berarti rumah, dan logos yang berarti ilmu. Ilmu ekologi yang tumbuh di Barat inilah yang kemudian mendasari gerakan konservasi. Berbeda dengan Bangsa Indonesia yang memiliki akar budaya harmoni dengan alam, di Barat kesadaran tersebut baru tumbuh setelah hutan-hutan alam mereka hancur, keragaman hayatinya merosot, baik oleh kerusakan hutan maupun penggunaan bahan kimia secara berlebihan. Terganggunya keseimbangan ekologi oleh kehancuran hutan dan penggunaan teknologi inilah yang menginspirasi Rachel Carson untuk menulis ‘The Silent Spring’ (musim semi yang sepi) pada tahun 1962. Buku setebal 400 halaman ini berhasil menggugah kesadaran orang terhadap pentingnya hidup harmoni dengan alam. Sejak itulah gerakan ekologi dan konservasi di Barat berkembang pesat. Ironisnya, saat gerakan konservasi di Barat sedang mekar, manusia Indonesia yang sedang demam growth-mania (pertumbuhan ekonomi) justru gencar-gencarnya mengeksploitasi hutan alamnya. Pemerintah mensimplifikasi hutan hanya sebagai ladang emas hijau, padahal hutan juga menjadi habitat beraneka jenis kekayaan hayati, selain menjadi tempat hidup masyarakat asli, yang di masa lalu sering disebut sebagai ‘masyarakat terasing’. Penetapan kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sama sekali tidak mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat asli. Dampaknya ‘kerajaan’ suku-suku asli

»82

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

yang selama ratusan tahun hidup harmoni dengan alam hancur, seiring dengan kerusakan habitatnya. Mereka kemudian hanya berperan sebagai penonton yang miskin dan tidak berdaya. Base-camp, base-camp HPH yang didirikan di jantungjantung kehidupan masyarakat asli selain menjadi pusat gerakan penghancuran hutan, juga menjadi penyebar virus gaya hidup konsumerisme. Dari sana para ‘penonton’ itu mengenal berbagai jenis makanan dan minuman serta barang-barang ‘aneh’ yang sebelumnya tidak pernah mereka butuhkan. Gaya hidup materialisme ini dengan cepat merasuki seluruh sel kehidupan masyarakat asli yang sebelumnya hidup harmoni dengan alam. Sementara sistem berbasis adat dalam pengeloaan sumberdaya alam juga terdegradasi oleh sistem pemerintahan desa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Peran tokoh adat yang sebelumnya sangat berwibawa tereduksi, sehingga berbagai aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti Ongko di Sulawesi Selatan, Kaombo di Buton dan Sasi di Maluku secara perlahan punah. Kini kelembagaan adat dan hukum adat yang ditaati, serta wilayah hukum adat yang jelas pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Kekayaan adat yang sering kita banggakan saat ini tidak lebih hanya sebuah romantika masa lalu. Yang tersisa hanyalah bangunan adat, pakaian adat, makanan adat dan cerita kejayaan adat di masa lalu. Sedangkan sistem adat yang telah berhasil mengatur pengelolaan kekayaan sumberdaya secara adil dan lestari selama beribu tahun, sebagian (besar) telah sirna untuk selamanya. Kondisi inilah yang membuat illegal logging di berbagai kawasan hutan negara begitu marak, karena hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu pilihan pekerjaan yang syah-syah saja. Kearifan lokal (local wisdom) yang pernah mereka miliki telah hancur diterjang ekonomi kayu.

83«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Sosial forestri Dengan latar belakang kerusakan hutan dan kehancuran budaya seperti ini, bagaimana masa depan kehutanan Indonesia dibangun? Beberapa pihak menaruh harapan yang begitu besar terhadap Social Forestry (kehutanan masyarakat, sosial forestri), yang intinya adalah melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan. Konsep sosial forestri lahir sebagai tanggapan kegagalan pengelolaan hutan oleh pemerintah, semangat ini setidaknya telah lahir jauh sebelum hutan Indonesia porak poranda, yaitu sejak Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta pada tahun 1978, yang mengambil tema Forest for People (hutan untuk rakyat). Namun, ide tersebut tidak mendapat respon yang memadai dari kalangan rimbawan dan pengambil kebijakan saat itu. Kini setelah nyaris semuanya hancur, baru tumbuh kesadaran untuk menggiatkan sosial forestri. Pertanyaannya masih adakah harapan dan layakkah kita berharap dari sosial forestri? Bercermin dari luar, berbagai negara memang talah melakukan gerakan sosial forestri dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negaranegara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia. »84

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Di Indonesia pengakuan secara hukum pengelolaan hutan oleh masyarakat baru terjadi di Krui (29.000 Ha, hutan damar mata kucing) di Lampung dengan menetapkan sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), dimana masyarakat memperoleh hak pakai. Di Indonesia kebijakan sosial forestri selama ini ‘mentabukan’ disangkut-pautkan dengan masalah ‘land tenure’ (kepemilikan lahan hutan). Artinya, sosial forestri hanya memberi hak kelola masyarakat terhadap lahan hutan, bukan hak kepemilikan kawasan hutan. Hutan, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara (Pasal 4, ayat 1 UU 41.1999). Kondisi seperti ini sering dikritisi oleh pengamat dan penggiat sosial forestri, pemerintah yang terbukti telah gagal mengelola hutan, sudah saatnya mengkuasakan sebagian dari kawasan hutan negara kepada masyarakat. Dilain pihak, keengganan pemerintah dapat pula dipahami, selain hal tersebut bertentangan dengan UU 41/1999, semakin rapuhnya kelembagaan dan kearifan masyarakat lokal, maka penguasaan hutan kepada masyarakat dikawatirkan hanya memindahkan nasib hutan dari mulut singa ke mulut harimau. Namun benarkah masalah kepemilikan ini merupakan hal mendasar dalam penyelenggaraan sosial forestri?

Sosial forestri: Bukan sekedar persoalan kepemilikan Ada yang menarik dari salah satu hasil penelitian Bulungan Research Forest (Levang, P dkk., 2003), yaitu meskipun hutan berperan besar dalam memenuhi hajat hidup bagi masyarakat Dayak Punan, hilangnya hutan pada kasus tertentu ternyata tidak selalu berdampak pada semakin miskinnya masyarakat Punan. Hal ini dapat terlihat oleh kontrasnya perbandingan taraf hidup (bukan kesejahteraan/well-being) masyarakat yang hidup di wilayah terpencil di hulu sungai (hutan belum terganggu) dengan masyarakat yang berada di dekat Ibukota Kabupaten Malinau (hutan telah terbabat habis). Di wilayah hulu, dimana sumberdaya hutan masih melimpah ruah, taraf hidup masyarakat 85«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

adalah sangat rendah. Akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan sangat terbatas dengan kematian anak yang berumur dibawah lima tahun yang sangat tinggi (35 %). Sedangkan di wilayah hilir, dimana sumberdaya hutan telah habis, justru tarap hidup masyarakat Punan lebih baik, karena lebih tingginya akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan, dan kematian balita-pun terhitung sangat rendah (6%). Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurang berdayaan (miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga yang mereka miliki kedalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesibilitas ekonomi mereka di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi. Dari kasus di atas, begitu jelas, bahwa persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat, tanpa masyarakat menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak.

Sosial Forestri: Membuat masyarakat sekitar hutan berdaya Disadari bahwa masalah sosial-ekonomi masyarakat kini merupakan conditio sine qua non (prasyarat mendasar) tercapainya kelestarian pengelolaan hutan, bagaimanapun baiknya penerapan aspek teknis pengelolaan hutan, apabila masalah sosial tidak dikelola dengan baik, maka semuanya tidak akan ada artinya, mengingat seluruh hasil kerja pengaturan »86

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

kelestarian hutan berdasarkan teori silvikultur sebaik apapun, kualitasnya akan ditentukan oleh besarnya tingkat gangguan dan jaminan pengamanan hutan yang diberikan oleh masyarakat. Disadari, sebagian besar masyarakat di sekitar hutan memiliki alternatif terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan illegal yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan saat ini dilakukan karena terpaksa, karena tidak tersedia alternatif sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hari ini! Mereka menyadari bahwa kegiatan tersebut ilegal, mereka juga menyadari bahwa tenaga yang dicurahkan dan resiko kecelakaan (karena jarak dari desa ke sumber-sumber kayu dan rotan yang semakin jauh dari jalan dan umumnya sulit dijangkau) dalam proses penebangan dan pengangkutan kayu dan rotan tidak sebanding dengan upah yang diterima, mereka juga menyadari bahwa penikmat utamanya adalah para cukong. Mereka melakukan itu semua karena tidak mampu mencari alternatif sumber kehidupan lain yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Mereka terbelenggu oleh ketidakberdayaan struktural. Kata ‘kehutanan’ (forestry) dalam ‘sosial forestri’, sebagaimana kutipan dari Westoby (1967) di awal tulisan ini, bukan semata berhubungan dengan pohon (forest), melainkan masyarakat yang berada disekitar hutan. Sosial forestri dengan demikian adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya ! Kegiatan sosial forestri dengan demikian tidak terbatas di dalam hutan, melainkan seluruh upaya untuk membuat masyarakat sekitar hutan berdaya, sehingga mampu menjaga kelestarian 87«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

hutannya. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan memfasilitasi terbangunnya unit-unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat digunakan sebagai alternative income sources (alternatif pencaharian) atau sustainable livelihood (mata pencaharian yang tidak merusak) bagi masyarakat yang selama ini hidupnya hanya tergantung dari sumberdaya hutan. Dalam konteks ini, setidaknya ada lima prinsip yang perlu ditekankan dalam pengembangan sosial forestri, yaitu membangun kapasitas masyarakat untuk berproduksi, memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat, membangun jaringan pemasaran baik untuk produk hutan atau non-hutan, meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembangunan home-industri, dan peningkatan akses kredit perbankan. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Sosial forestri adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat ! ***

3 Memperkuat Kelembagaan Petani

1

Sebagai negara agraris, selayaknya penduduk Indonesia didominasi oleh petani maju. Berbagai jenis lembaga pemerintah yang ditujukan untuk membantu petani, seperti balai perbenihan, balai penyuluhan pertanian, seharusnya ramai dikunjungi petani. Namun kenyataannya, sebagian besar petani negeri ini adalah petani miskin. Lembaga pemerintah yang memiliki tugas membantu petani, seperti balai perbenĂ­han, penyuluhan pertanian terkesan senyap, kantornya kusam, kebun percobaannya banyak terbengkalai dan jarang dikunjungi petani. Kelesuan sektor pertanian merupakan konsekuensi dari ketidak konsistenan kebijakan pemerintah. Awalnya pemerintah begitu menggebu-gebu memperkuat sektor pertanian, sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Namun sebelum sektor pertanian kuat, pemerintah berganti haluan mengejar sektor industri, selanjutnya sektor pertanian justru dikorbankan untuk kepentingan industri. Kondisi inferior ini membuat sektor pertanian tidak memiliki daya tarik. Akibatnya terjadi fenomena gerontokrasi pertanian, artinya kaum tua yang tak lagi termasuk kategori usia produktif mendominasi komposisi tenaga kerja sektor pertanian. Generasi mudanya lebih suka berburu kayu atau rotan di hutan, atau pergi ke kota. 1 Artikel ini ditulis bersama Abdul Rahman

Âť88

89ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Dalam kondisi seperti ini, bagaimana pertanian dapat menjadi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar hutan yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan menebang kayu atau mengambil rotan? Dengan semakin tipisnya pilihan mata pencaharian di sekitar hutan, jenis pertanian apa yang layak dikembangkan di Sulawesi Tenggara, bagaimana strategi memperkuat sektor pertanian di desa? Mampukah pertanian sebagai sumber mata pencaharian yang lestari (sustainable livelihoods)?

Paradoks produktifitas Harga produk pertanian langsung anjlok saat produksi melimpah, celakanya pada saat harga mulai naik, produk pertanian sudah tidak berada di tangan petani, melainkan sudah di gudang-gudang pedagang perantara. Kerja keras petani untuk menggenjot kenaikan produksi, karena itu, sering tidak berdampak pada peningkatan pendapatan, bahkan pada banyak kasus harga justru jeblok saat produksi melimpah. Fenoma ini sering disebut sebagai paradoks produktifitas (productivity paradoc). Berbeda dengan sektor industri, harga sepeda motor Honda misalnya tidak pernah turun, walau terus membanjiri pasaran. Pertanyaannya, mengapa petani yang merupakan inti dari proses produksi justru tidak mampu menjadi penikmat utama? Salah satu sebabnya, pembangunan pertanian selama ini hanya menekankan pada proses berproduksi. Pemerintah seakan sudah puas saat petani dapat menanam dan memanen, tanpa mempedulikan bagaimana petani memasarkan. Padahal, berapun besarnya produksi pertanian per satuan luas, apabila tidak dapat dijual dengan harga pasar yang layak, adalah sebuah bencana. Dengan demikian, pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani, tidak cukup hanya memperhatikan proses produksi, namun juga harus mencakup pengolahan dan pemasaran hasil. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada satupun Âť90

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

lembaga pemerintah yang memberikan fasilitasi petani dibidang pengolahan dan pemasaran hasil. Memperhatikan karakter tata niaga pertanian sebagaimana tergambar, sudah saatnya pemerintah memperhatikan penguatan kelembagaan petani di tataran grass-root.

Peran Asosiasi Petani Memperhatikan lesunya sektor pertanian, khususnya komoditas tanaman pangan, pengembangan pertanian di Sulawesi Tenggara (khususnya Pulau Buton) perlu memberikan tekanan pada jenis tanaman industri seperti mete, coklat, kopi, vanila, kemiri, dan jahe. Produk-produk ini apabila dikembangkan dengan serius diyakini mampu menjadi sumber mata pencaharian yang lestari. Untuk menjamin bahwa kegiatan produksi menguntungkan petani, dibutuhkan lembaga petani yang secara khusus berperan untuk membantu kegiatan pemasaran dan penciptaan nilai tambah produk pertanian, lembaga tersebut dapat berbentuk asosiasi petani sejenis, misalnya asosiasi petani jahe, asosiasi petani kacang mete dan sebagainya. Gambaran terhadap peran asosiasi dijelaskan dalam uraian di bawah ini.

• Memperkuat posisi tawar petani Asosiasi dengan atas nama petani memiliki posisi yang sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Kekuatan yang dimiliki asosisi petani akan merubah sudut pandang pengusaha, petani dianggap sebagai mitra usaha yang memiliki peran penting sebagai pemasok bahan baku ke perusahaan, sehingga pengusaha akan menjaga hubungan baik ini demi kontinyuitas pasokan bahan baku perusahaannya.

91ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

• Meningkatkan Nilai Tambah Petani cenderung menjual hasilnya dalam bentuk bahan mentah. Hal ini dilakukan karena kurangnya keterampilan, kurangnya modal usaha dan lemahnya jaringan pemasaran. Asosiasi berperan sebagai pelopor pengembangan usaha dibidang pertaniaan, dengan mengadakan diversifikasi usaha yang menghasilkan produk lanjutan, yaitu dari produk pertanian menjadi produk olahan (makanan, minuman atau perhiasan). Hal ini dilakukan melalui pembentukan industri rumahan (Home Industri). Pada saat panen petani tidak akan menjual keseluruhan hasilnya, tetapi menyisakan sebagaian untuk digunakan sebagai bahan baku industri rumahan.

• Membuka akses terhadap kredit perbankan Selama ini petani cenderung enggan berhubungan dengan bank, baik karena ketidak tahuan maupun ketidak mampuan memenuhi persyaratan administrasi. Asosiasi sebagai lembaga yang berbadan hukum diharapkan mampu membangun akses kredit bank. Dunia perbankan memegang prinsip kehati-hatian (prudencial banking), sehingga dalam mengucurkan suatu kredit selalu diperhatiakan 5 C (Colateral, Capital, Capacity, Capability dan Character) yang sepertinya syarat tersebut seakan-akan dibuat bukan untuk dijangkau oleh petani kecil (smallholder farmers), namun melalui suatu asosiasi maka syarat tersebut memungkinkan untuk dipenuhi.

• Sebagai ”pintu masuk” bagi skema bantuan pemerintah Proyek pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah sering tidak sesuai dengan tujuan awal, misalnya pemberian modal usaha secara individual, karena didistribusikan kepada banyak orang maka masing-masing orang menerima dalam jumlah kecil sehingga tidak cukup untuk dijadikan modal kerja atau modal usaha, sebaliknya justru digunakan untuk keperluan konsumtif, »92

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

sehingga penerima bantuan tidak mampu mengembalikan perguliran dana. Bila dana bantuan tunai diserahkan kepada asosiasi, dana yang diterima tentunya akan lebih besar (akumulasi dari bantuan dana secara individual) sehingga kelompok penerima bantuan ini akan lebih leluasa menginvestasikan ke dalam bisnis tertentu sebagai usaha bersama. Asosiasi diharapkan mampu berperan sebagai (sub) kontraktor proyek pemerintah di pedesaan, misalnya proyek bantuan rakit apung untuk nelayan kerang mutiara di teluk Kapontori (Buton), pembuatan rakit apung dapat dikontrakan kepada asosiasi nelayan yang notabene sebelumnya dikontrakan ke pengusaha. Dengan demikian dana bantuan pemerintah dapat diserap secara keseluruhan oleh masyarakat dan yang paling penting adalah menimbulkan rasa percaya diri bahwa sebenarnya masyarakat mampu berbuat, menghilangkan mitos masyarakat kecil tidak berdaya.

• Katalisator pemicu perbaikan tata niaga produk pertanian Dalam perdagangan produk pertanian tidak pernah memperhatikan kepentingan petani sebagai produsen, hal ini terjadi karena panjangnya rantai distribusi pemasaran produk pertanian. Pemasaran dikuasai oleh agen distributor, pengusaha dan pedagang. Asosiasi dapat berperan sebagai katalisator untuk mencuatkan kepentingan petani dalam perdagangan produk pertanian, bahkan tidak menutup kemungkinan asosiasi berperan sebagai kepanjangan tangan dari kelompok petani untuk memasarkan produk pertanian langsung kepada konsumen akhir (end user) yang dapat berupa industri (pabrik) dalam partai besar atau pemasaran retail kepada masyarakat.

93«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Penutup Memperhatikan pentingnya peran asosiasi petani, saatnya pemerintah bersama LSM dapat mengambil peran untuk melakukan fasilitasi pembentukan asosiasi di desa-desa sekitar hutan. Kehadiran lembaga pertanian yang kuat, semacam asosiasi ini, diharapkan mampu membuat masyarakat sekitar hutan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan ekstraktif, berubah menjadi produktif, sedemikian rupa sehingga selain ekonomi petani dapat dibangkitkan, pada gilirannya kelestarian hutanpun dapat dipertahankan, masyarakat berdaya, hutan terjaga !

4

***

Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pelestarian Hutan Pengalaman dari Lambusango, Buton

H

utan Lambusango adalah hutan alam dataran rendah yang terletak di tengah Pulau Buton. Selain memiliki kekayaan keragaman hayati endemik kawasan Wallacea, hutan ini juga merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) bagi sungaisungai yang mengalir ke Pulau Buton bagian selatan. Hutan Lambusango (± 65,000 Ha) terdiri atas dua kawasan konservasi (±29,320 ha), yaitu Cagar Alam Kakenauwe (± 810 ha) dan Suaka Margasatwa Lambusango (± 28,510 ha) yang dikelola oleh BKSDA Sultra (Departemen Kehutanan), dan ± 35,000 ha sisanya merupakan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang dikelola oleh Pemda Kabupaten Buton. Secara administratif hutan Lambusango masuk di wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siotapina, Wolowa dan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

»94

95«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Operation Wallacea Trust (OWT), sebuah LSM pelestarian alam dan lingkungan yang berdiri di Bau-Bau pada tahun 2004, mendapatkan pendanaan dari Global Environment Facility (GEF) untuk memfasilitasi Program Konservasi Hutan Lambusango (PKHL) dengan berkolaborasi dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra dan Pemda Kabupaten Buton. Program ini secara efektif berjalan dari Juni 2005 – Desember 2008. Makalah ini menguraikan secara singkat strategi dan pengalaman penting dalam melaksanakan progran selama tiga tahun setengah. Hanya tiga kata yang bisa menggambarkan terhadap apa yang kami peroleh selama melaksanakan PKHL, yaitu ‘kami banyak belajar’. Banyak pencapaian penting dalam program ini, yang bersumber dari ide yang muncul di tengah jalan, juga banyak ide-ide bagus dan inovatif yang kemudian kami laksanakan dan hasilnya sangat memuaskan, awalnya berasal dari sebuah obrolan santai di luar jam kerja. Hal ini pertama menunjukkan bahwa melaksanakan program pemberdayaan masyarakat untuk konservasi sumberdaya alam diperlukan ‘inovasi tiada henti’, rencana tahunan jelas diperlukan, namun dinamika masyarakat yang begitu cepat, memerlukan kepekaan adaptasi yang begitu cepat pula. Sesuatu yang dalam masa perencanaan dianggap cocok, belum tentu kemudian layak dilaksanakan. Karena itu diperlukan adaptasi dan modifikasi secara menerus, bahkan sering strategi yang jitu dalam pemberdayaan masyarakat baru disadari dan ditemukan pada saat pelaksanaan program. Hal ini bisa difahami memperhatikan kegiatan perencanaan lebih banyak dilakukan di atas meja, sedangkan permasalahan lapangan baru sepenuhnya difahami saat terjun langsung dan bersentuhan dengan masyarakat di lapangan. Kedua, sebuah pencapaian yang memuaskan (lebih dari biasa), memang tidak bisa dihasilkan dari sebuah kerja biasa, misal cukup bekerja selama jam kantor saja, melainkan diperlukan lompatan-lompatan di luar jalur, diperlukan pemikiran ‘out-of the box’, diperlukan upaya »96

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

yang tidak cukup hanya ‘biasa’, melainkan harus ‘luuaar biasa’. Semangat inilah yang pernah kami bangun selama memfasilitasi PKHL.

Tahapan Pelaksanaan Program Phase Sosialisasi: 2004/2005 Berbeda dengan kawasan konservasi yang umumnya telah memiliki nama dan luasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah serta telah dipublikasi secara nasional. Hutan Lambusango yang merupakan kawasan hutan negara yang memiliki beberapa status ini, dulunya tidak dikenal dan belum semuanya memiliki nama. Nama Lambusango sebelumnya hanya disandang oleh Suaka Margasatwa Lambusango (± 28.000 Ha), sedang hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan lindung (± 35,000 Ha) yang berada disekitar kawasan Suaka Margasatwa belum memiliki nama. Memperhatikan pentingnya sebuah nama sebagai identitas kawasan pelestarian, maka seluruh kawasan hutan alam yang berada di tengah Pulau Buton tersebut kemudian kami perkenalkan sebagai Hutan Lambusango. Seluruh hutan inilah yang menjadi target upaya pelestarian hutan bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Buton. Nama, cakupan wilayah, kekayaan hayati, fungsi ekologi dan sanksi hukum bagi perusak inilah yang kemudian kami sosialisasikan secara intensif selama tahun pertama pelaksanaan program. Strategi yang kami nilai paling efektif dalam mensosialisasikan sebaran dan tata batas kawasan Hutan Lambusango adalah melalui pemasangan poster. Poster hanya akan berfungsi sebagai alat penyadaran yang jitu apabila didisain dengan baik. Poster harus berisi pesan yang singkat, menarik dan mudah diingat. Sering melihat poster penyadaran yang terlalu banyak pesan, dengan tulisan kecil, sebagaimana yang biasa dipajang dalam pertemuan

97«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

ilmiah, poster macam itu jelas tidak akan banyak dibaca dan diingat oleh masyarakat yang minat bacanya umumnya masih rendah. Poster pertama kami berjudul ‘Hutan Lambusango Paru-Paru Dunia di Jantung Pulau Buton’. Dalam poster ini digambarkan cakupan kawasan Hutan Lambusango di Pulau Buton, lengkap dengan jalan utama di sekitar hutan dan namanama desa disekitarnya. Poster ini awalnya kami sebarkan tanpa figura (bingkai) kepada masyarakat di sekitar hutan, beberapa bulan kemudian kami perhatikan bahwa poster tersebut kelihatan merana, tidak berharga serta banyak yang terbuang percuma. Belajar dari sini, poster tersebut kemudian kami bingkai secara rapi, kemudian kami pasang sendiri di berbagai tempat strategis, seperti rumah-rumah makan, kantor pemerintah, sekolah, praktik dokter, pasar, bank, kapal laut, pelabuhan laut dan udara dan sebagainya. Nah ... hasilnya disini baru luar biasa, kami sering melihat orang-orang yang sedang makan di restauran, berkerumun memperhatikan dan mendiskusikan informasi yang ada dalam poster, mereka sering menggunakan poster ini sebagai peta wilayah untuk melihat dimana posisi desanya atau tempat yang hendak mereka tuju. Hasilnya, ... kini masyarakat telah begitu hafal dengan ‘jargon’ dari setiap poster dan sering menyebut dalam berbagai diskusi tentang Hutan Lambusango. Setelah masyarakat mengenal nama, penyebaran dan fungsi Hutan Lambusango, kemudian kami terbitkan poster kedua yang menjelaskan keragaman fauna Hutan Lambusango. Poster kedua berjudul: ‘Hutan Lambusango: Rumah Sejuta Kehidupan’. Poster ini berisi foto satwa kebanggaan (flagship species) Hutan Lambusango, yaitu: Anoa, Kuskus, Tarsius, Andoke (MonyetButon) dan Burung Halo (Rangkong). Poster ini selain penting untuk mempromosikan keragaman fauna Lambusango, ternyata juga memberikan pesan bahwa satwa di Sulawesi itu berbeda dengan satwa dari Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Selama ini masyarakat Sulawesi masih banyak yang lebih mengenal »98

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Harimau, Gajah, Banteng daripada Anoa, Kuskus dan Tarsius. Mereka banyak yang baru tahu bahwa satwa Tarsius (monyet berukuran kecil sekitar segenggam tangan orang dewasa) misalnya itu ada di Buton. Selain menjadi rumah bagi sejuta kehidupan, Hutan Lambusango juga menjadi satu-satunya menara air bagi masyarakat di Buton bagian selatan. Ketersedian air merupakan isu penting di Buton, mengingat sebagian besar pulau ini terbentuk dari batuan kapur. Dengan membangun kesadaran masyarakat terhadap peran penting hutan terhadap air diharapkan muncul perhatian dan kerisauan masyarakat terhadap setiap jengkal kerusakan hutan. Untuk itu kami mempublikasikan poster ketiga berjudul Hutan Lambusango: Karet Busa Raksasa di Jantung Pulau Buton. Karet busa raksasa adalah terjemahan dari ‘sponge effect’, efek karet busa, fungsi penting hutan yang belum banyak diekspose. Sengaja kami memilih ‘jargon’ yang tidak biasa untuk membangkitkan penasaran orang untuk bertanya dan mencari tahu. Ketiga poster tersebut sebetulnya telah selesai kami disain sejak awal tahun 2005, namun kami publikasi secara bertahap, agar setiap pesan dalam poster tersebut dapat cukup dicerna, sebelum kami sampaikan pesan berikutnya. Untuk memperkaya pemahaman masyarakat tentang Hutan Lambusango, kami menerbitkan Buletin ‘Lambusango Lestari’. Buletin setebal 30 halaman ini terbit rutin setiap awal bulan dan ditulis oleh staf Operation Wallacea Trust sendiri. Buletin ini awalnya hanya kami sebarkan ke sekolah-sekolah, tokoh masyarakat, pemerintah. Namun kemudian disadari bahwa buletin ini hanya dibaca oleh kalangan terbatas, karena penerima buletin umumnya hanya untuk dirinya sendiri. Menyadari hal tersebut, kemudian kami memfasilitasi pembuatan majalah dinding di setiap sekolah menengah, kantor desa dan kantor kecamatan di sekitar Hutan Lambusango untuk memasang setiap halaman dari buletin tersebut. 99«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Untuk mensosialisasikan nilai penting potensi kehati Hutan Lambusango, kami menyusun buku ‘Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango’. Ini merupakan buku pertama yang membahas kehati Lambusango secara ilmiah. Buku ini disarikan dari hasil-hasil penelitian ahli-ahli biologi Operation Walacea Ltd yang melakukan penelitian di Hutan Lambusango selama sepuluh tahun terakhir (1996-2006). Kemudian, Buku ‘Nasionalisme Lingkungan’ yang merupakan kumpulan dari editorial Buletin Lambusango Lestari, buku ini membahas berbagai nilai penting gerakan pelestarian hutan, ditujukan sebagai upaya penyadaran bagi kalangan terdidik, sekaligus untuk mempromosikan PKHL di tingkat nasional. Untuk membangun kesadaran masyarakat secara menerus, kami membuat baleho yang berisi pesan tentang jenis, manfaat dan karakter dari setiap satwa dilindungi, serta ancaman pidana bagi perusak hutan sesuai UU 41/1999. Baleho ini dibuat dari plat besi, sehingga diharapkan akan awet dan bisa bermanfaat hingga jauh melampaui usia program. Kegiatan sosialisasi juga kami lakukan melalui berbagai pertemuan dari desa ke desa, dan juga melalui berbagai workshop yang diselengarakan oleh pemerintah kabupaten dan provinsi. Dalam periode ini, kami banyak menghabiskan waktu untuk menyusun bahan-bahan publikasi, saat itu benar-benar tiada hari tanpa menulis. Sejak awal kami menyadari bahwa gerakan pelestarian, khususnya disuatu wilayah dimana obyek pelestarian belum banyak dikenal, memerlukan materi penyadaran yang kuat. Ibarat akan maju ke medan laga, dalam periode ini kami menyiapkan senjatanya. Hasilnya, sebagaimana kini bisa dilihat, masyarakat Buton dan Sultra yang tiga tahun sebelumnya tidak mengenal ‘Hutan Lambusango’ kini bukan saja mengenal, melainkan telah terbangun rasa memiliki (ownership), kemudian rasa bangga (pride). Hutan Lambusango telah menjadi aset dan kebanggaan masyarakat Kabupaten Buton. »100

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Phase kerjasama multipihak: 2006/2008 Setelah masyarakat kami anggap telah mulai mengenal dan menyadari berbagai fungsi Hutan Lambusango, kami kemudian beranjak pada tahapan selanjutnya, yaitu melakukan berbagai langkah pelestarian hutan secara nyata di lapangan. Langkah pertama adalah memfasilitasi pembentukan Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango (FHKL), pembentukan Forest Crime Unit Lambusango, melakukan pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG) bagi aparat pemerintah yang kemudian kami tindak-lanjuti dengan pembentukan Forum Sistem Informasi Geografis (SIG), fasilitasi penyusunan Perdes Pelestrarian Hutan, fasilitasi pengembangan Lembaga Ekonomi Desa (LED) dan penciptaan berbagai model bisnis pedesaan dan pengembangan pemasaran.

Phase transformasi agenda: 2007-2008 Setelah bersama melakukan ‘exercise’ perlindungan hutan selama tiga tahun (2006-2008), saatnya kemudian untuk melakukan transformasi agenda, yaitu ‘konservasi’ yang semula menjadi agenda PKHL, secara perlahan dialihkan menjadi agenda Pemda dan masyarakat Buton. Sejak awal kami menyadari bahwa program konservasi hutan tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan Pemda. Selain itu di era otonomi ini, bukan saja masyarakat yang perlu penguatan di bidang konservasi, tetapi tidak terkecuali adalah aparat pemerintah. Mereka perlu penguatan teknis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam bermitra dengan Pemda, kami berupaya menunjukkan bahwa LSM kami beda, kami berorientasi pada produk dan hasil yang nyata, bukan sekedar wacana, kami bukan oposan pemerintah, melainkan mitra yang siap bekerjasama dengan siapapun dalam pelestarian hutan. Simpati Pemda perlahan muncul setelah mereka melihat produkproduk yang kami hasilkan, seperti peta-peta tematik digital yang 101«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

sebelumnya tidak mereka miliki, dan terbukti itu penting bagi mereka, kolaborasi pengamanan hutan, kolaborasi pembuatan kurikulum dan buku-buku muatan lokal pendidikan lingkungan. Sejak awal tahun 2007, berbagai upaya kami lakukan untuk membuat Pemda Buton tergugah untuk menindaklanjuti inisiasi kami. Dan ... ternyata hal tersebut bukanlah sesuatu yang impossible, terbukti; (a) Kebijakan Bupati Buton yang memberikan tugas khusus kepada camat dalam pengamanan hutan, bahkan Bupati mengancam akan mengganti camat yang dianggap tidak becus mengamankan hutan; (b) Pemda Buton mulai tahun anggaran 2008 mengalokasikan anggaran FHKL sebesar Rp. 40 juta, pada saat yang sama juga mengalokasikan anggaran Forum SIG sebesar Rp. 20 juta; (c) Dinas Pariwisata Buton memilih Hutan Lambusango sebagai icon wisata Kabupaten Buton; (d) Peningkatan biaya pengamanan hutan, sebelumnya hanya dianggarkan 17 kali patroli per tahun, menjadi 45 kali patroli hutan per tahun; (e) Bupati Buton sampai saat ini tidak mengeluarkan ijin pemungutan kayu bagi masyarakat. Sumber kebutuhan kayu selama ini hanya dipenuhi dari kayu rakyat.

Menemukan peran yang tepat bagi Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango Desain awal PKHL mengacu kepada prinsip pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PSDHBM) dengan Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango (FHKL) sebagai lembaga masyarakat tempatan yang akan mendapat akses mengelola sumberdaya hutan (SDH) dan sekaligus bertanggungjawab dalam menjamin kelestaraiannya. Dengan demikian salah satu peran PKHL adalah memfasilitasi terbentuknya Forum multi fihak, kemudian menyiapkan Forum sebagai lembaga yang siap untuk mengelola sebagian hutan produksi berbasiskan masyarakat.

Âť102

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Konsep PSDHBMl tersebut, dalam pelaksanaan program, kami nilai tidak sesuai diterapkan di Hutan Lambusango, memperhatikan; (a) Kerentanan ekosistem hutannya, Hutan Lambusango adalah hutan yang tumbuh diwilayah berkapur dengan tanah tipis dan kurang subur; (b) Peraturan tentang PSDHBM yang masih terus berubah dan mencari bentuk, sehingga kalau hal ini dilaksanakan, dikawatirkan hingga akhir program output tersebut tidak dicapai; (c) Berpeluang menimbulkan konflik pemanfatan SDA antar kelompok masyarakat, karena beragamanya etnis dan tipologi masyarakat di sekitar hutan; (d) Adanya resistensi dari pihak Pemda Buton (Dinas Kehutanan). Upaya mensejahterakan masyarakat dengan meningkatkan akses masyarakat dalam memanfaatan SDH ala PSDHBM, kemudian kami ganti dengan pengembangan bisnis pedesaan diluar kawasan hutan, kemudian masyarakat penerima manfaat bisnis pedesaan berkewajiban melindungi SDH. Perubahan konsep di atas, memberikan implikasi terhadap perubahan peran FHKL, yaitu dari sebuah organisasi yang didisain sebagai pemanfaat SDH, menjadi mitra strategis pemerintah dalam: (a) Mengontrol kebijakan penatakelolaan hutan; (b) Menjadi agen perubahan sikap dan perilaku masyarakat terhadap sumberdaya hutan; (c) Memfasilitasi pengamanan hutan berbasiskan masyarakat. Ternyata peran semacam inilah yang memang kami anggap paling sesuai dan layak diemban oleh sebuah Forum hutan, tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Beberapa langkah Forum yang berdampak positif dalam pelestarian Hutan Lambusango antara lain; (a) Menolak rencana pembangunan kebun kelapa sawit di Kecamatan Lasalimu dan Lasalimu Selatan seluas 5.000 ha yang berpotensi mengancam kelestarian hutan (rencana tersebut akhirnya tidak jadi dilaksanakan); (b) Menemukan dan kemudian mengekspose di media masa, perusahaan asphalt yang beroperasi di kawasan Suaka Margasatwa Lambusango, dekat Desa Winning, Kecamatan Pasarwajo (kini perusahan tersebut telah berhenti beroperasi); 103ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

(c) Melakukan pendekatan kepada perusahaan pengolahan asphalt untuk mempekerjakan masyarakat sekitar hutan (kini PT. Buton Asphalt Indonesia dan PT. Putindo telah mempekejakan 700 orang dari masyarakat sekitar Desa Wining, Kecamatan Pasarwajo).

Membangun Model Pengembangan Bisnis Pedesaan Kecuali pertanian jahe yang merupakan introduksi baru, seluruh pengembangan bisnis pedesaan menekankan pada upaya memperbesar skala usaha dari bisnis yang telah diinisiasi oleh masyarakat sendiri. Hal tersebut kami lakukan dengan memfasilitasi pembentukan Lembaga Ekonomi Desa (LED) yang dikelola dengan prinsip demokrasi, transparasi dan partisipasi, memberikan suntikan permodalan awal kepada LED yang telah terbentuk, membuat badan pemasaran dalam LED dan membantu melakukan pemasaran. Belajar dari pengalaman pahit inisiasi pertanian jahe (dimana harga jatuh saat panen raya), kegiatan fasilitasi sebuah bisnis pedesaan baru kami lakukan, setelah peta pemasarannya benar-benar telah kami ketahui. Beberapa contoh bisnis yang telah kami kembangkan adalah: (a) Pertanian jeruk di Desa Lasembangi (Kecamatan Lasalimu), dari 2 ha kebun jeruk yang dimiliki Pak Sukarno, menjadi 14 ha dan kini mulai dikembangkan ke desa tetangga (Wolowa Baru dan Sukamaju, Kec. Wolowa); (b) Pertanian rumput Laut di Desa Wagari (Kec. Lasalimu), dari 1 orang petani (Pak La Peo), menjadi 30 petani, dan kini telah diperluas ke desa tetangga (Kakenauwe, Lawele, Waleona); (c) Pertanian rumput laut di Desa Wolowa Baru, dari 2 petani menjadi 15 petani dan kini diperluas ke desa Matawia (10 petani); (d) Pengolahan dan pemasaran mete di Desa Barangka (Kec. Kapontori) dan Desa Matanauwe (Kec. Siotafina), telah berhasil memfasilitasi ekspor mete olahan ke Enggris (1.5 ton) pada awal tahun 2008. Desa Matanauwe telah mendapat Producer Certification dari Fairtrade Labeling Organization (FLO) pada Bulan Januari Âť104

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

2008, dimana merupakan asosiasi petani mete pertama di dunia yang mendapatkan sertifikasi dari FLO; (e) Pemasaran kopi di Desa Wakaokili (Kec. Pasarwajo), telah berhasil memfasilitasi ekspor perdana kopi 1.6 ton ke Enggris; (f) Pengolahan minyak kelapa di Desa Kancinaa (Kec. Pasarwajo) yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga (15 orang) pengolah minyak kelapa; (g) Pengembangan pertanian dan pemasaran jahe di 6 desa (Kakenauwe dan Lawele/Kec. Lasalimu, Wining/Kec. Pasarwajo, Wajah Jaya dan Harapan Jaya/Kec. Lasalimu Selatan, Sumbersari/ Kec. Siotafina), telah berhasil mengembangkan produk unggulan yang bebas dari serangan hama babi (tanaman jahe) dan petani mampu melakukan pemasaran produknya ke Jawa Timur dan Jawa Barat.

Kolaborasi Pengamanan Hutan Pihak yang terlibat dalam kolaborasi pengamanan hutan adalah Dinas Kehutanan, Balai Konservasi Sumberdaya Hutan (BKSDA) Sultra, Polisi dan wartawan. Kolaborasi menekankan pada kegiatan patroli hutan untuk mencegah terjadinya penebangan kayu ilegal dan perambahan hutan. FCUL dibagi menjadi dua unit, yaitu Unit Investigasi dan Unit Penanggap. Unit pertama melakukan penyelidikan terhadap pelaku pelanggaran, dengan bantuan jaringan FHKL di tingkat desa. Sedangkan yang kedua bertugas melakukan patroli penangkapan, pengumpulan barang bukti dan menyusun laporan kejadian untuk disampaikan ke polisi. Kolaborasi ini telah berhasil memulihkan kewibawaan hukum kehutanan, menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap tata batas hutan dan peraturan perundangan.

Memfasilitasi Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Masih sedikit buku pelajaran konservasi yang menguraikan keragaman hayati setempat. Selama ini siswa di Buton lebih mengenal Gajah, Harimau atau Orangutan, daripada Tarsius dan 105ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Foto : www. opwall.com

Kuskus. Memperhatikan hal tersebut, kami bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal pendidikan lingkungan dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah, menyiapkan berbagai bahan ajar yang disesuaikan dengan kekayaan hayati dan kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat. Kami juga melihat dakwah lingkungan sebagai wahana efektif untuk membangun kesadaran pelestarian hutan, untuk itu kami bekerjasama dengan Departemen Agama Kabupaten Buton untuk menyusun dakwah lingkungan. Kini, Departemen Agama mewajibkan setiap masjid untuk membacakan Kotbah lingkungan minimal sekali sebulan.

Gambar 7. Hewan Tarsius dan Kuskus yang dapat ditemukan di Hutan Lambusango

Sebagai penutup dapat digaris bawahi bahwa program ini telah mencoba melakukan pelestarian hutan dengan memberikan perhatian yang seimbang antara penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan, pembangunan mutual trust dan respect dari berbagai pemangku kepentingan hutan, membangun alternatif mata pencaharian ekonomi baru diluar ekstraksi sumberdaya hutan, serta mambangun rasa kepemilikan dan kebanggaan bersama terhadap Hutan Lambusango. *** Âť106

5 Perdagangan Mete, Kesejahteraan Petani dan Pelestarian Lingkungan1

K

acang mete merupakan jenis bahan makanan yang diperdagangkan secara internasional dan memiliki harga per satuan berat termahal kedua setelah vanila. Indonesia merupakan penghasil mete terbesar di dunia setelah India, Vietnam, Afrika Barat, Afrika Timur dan Brasil. Penghasil mete gelondongan (mete yang belum dibuka cangkangnya/belum dikacip, cashews in-shell) adalah Afrika Barat (25 % dari produksi dunia), disusul oleh India (22 %), Vietnam (21 %), Brazil (16 %), Afrika Timur (9 %) dan kemudian Indonesia (5 %). Hampir seluruh produksi mete di dunia (90 %) dihasilkan oleh petani kecil di pedesaan. Walaupun ada sekitar 25 negara penghasil mete, namun sebagian besar (99 %) pangsa pasar kacang mete (biji mete olahan, cashews kernels) dikuasai oleh tiga negara saja, yaitu India, Vietnam dan Brasil. India merupakan negara pengekspor kacang mete terbesar di dunia, menggantikan kedudukan Afrika Barat yang idustri kacang metenya rontok sejak era 1980-an, disusul oleh Vietnam, yang industri metenya baru berkembang sekitar 15 tahun lalu, namun karena pesatnya pertumbuhan berpeluang menjadi pengekspor kacang mete terbesar di dunia. Untuk memenuhi 1 Makalah disampaikan pada acara Workshop bertema: “Nasionalisme Konservasi dan Investasi yang Mensejahterakan Rakyat� di Balikpapan 21 - 22 Agustus 2008.

107ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

industri kacang metenya, India mengimpor mete gelondongan dari Afrika Barat, Afrika Timur dan Indonesia. Sedangkan Vietnam mengimpor mete dari Afrika Barat dan Indonesia. Sekitar 600 ton mete gelondongan dunia diekspor ke India dan Vietnam setiap tahunnya. Brasil sebagai pengekspor kacang mete terbesar ketiga, selama ini masih dapat memenuhi kebutuhan metenya sendiri. Konsumen kacang mete dunia adalah negara-negara di Amerika Utara, Uni Eropa, China, Timur Tengah, India dan Australia. Yang menarik, India merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen mete terbesar di dunia. Jumlah penduduk India sekitar 5 kali lipat Indonesia, namun konsumsi metenya 45 kali lipat. Kebutuhan kacang mete Amerika Utara dan Uni Eropa selama ini dipenuhi oleh India dan Brasil, India juga mengekspor kacang mete ke Timur Tengah, sedangkan Vietnam mengekspor kacang mete ke Amerika Utara, China dan Australia. Mete Indonesia sebagian besar diekspor dalam bentuk gelondongan ke India dan Vietnam dan kemudian dilabel sebagai produk India dan Vietnam, hanya sebagian kecil (kurang dari 1 % dari pangsa kacang mete dunia), yang bisa berhasil menembus pasar kacang mete internasional. Tulisan ini membahas pasar internasional mete Indonesia dan upaya yang telah dilakukan oleh LSM Operation Wallacea Trust (OWT) untuk mengangkat kesejahteraan petani sekitar Hutan Lambusango (hutan alam dataran rendah yang terletak di tengah Pulau Buton bagian selatan, secara administratif masuk di wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siotapina, Wolowa dan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sultra), untuk menembus pasar internasional melalui Sertifikasi Fairtrade.

Peta Perdagangan Global Mete Indonesia Produksi mete gelondongan dalam skala nasional berada di kisaran 95.000 ton per tahun, jumlah ini tidak mengalami peningkatan berarti selama 10 tahun terakhir. Penghasil mete Âť108

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

utama adalah Sultra (35 % produksi nasional), Sulsel (25 %), Lombok, Flores dan Sumbawa (30 %) serta Jawa-Madura (10 %). Produksi mete Sultra cenderung menurun selama 10 tahun terakhir, karena sebagian besar kebun metenya telah berumur 30 tahun dan belum pernah diremajakan (produksi optimal umur 10-20 tahun). Sedangkan produksi mete di Flores terus meningkat, karena ada peremajaan. Musim panen mete antara Bulan September sampai Januari. Produksi mete dari tahun ke tahun bervariasi dan ditentukan oleh kondisi cuaca saat proses pembungaan, khususnya intensitas hujan (semakin rendah semakin baik), frekuensi hujan (semakin sering hujan dengan intensitas rendah semakin baik) dan kecepatan angin (semakin rendah semakin baik). Ekspor mete gelondongan terus meningkat selama 10 tahun terakhir, yaitu dari sekitar 3000 metrik ton per tahun pada tahun 1990-an, kemudian meningkat hingga mencapai dua kali lipat sejak tahun 2006. Sebagian besar tujuan ekspor pada tahun 1990-an hanya India, namun sejak 1998, ekspor ke Vietnam terus meningkat dan kini proporsinya menyamai India. Dari segi bisnis, ekspor mete gelondongan memang cukup menggiurkan. Pertama: kualitas mete gelondongan Indonesia lebih baik dibandingkan dari Afrika, karena itu harganya berada di kisaran tertinggi (sekitar 775 USD per metrik ton). Kedua: Musim panen mete di Indonesia tidak bersamaan dengan musim panen negara penghasil mete utama dunia (musim panen mete Vietnam, India dan Afrika berlangsung dari Februari hingga April), sehingga memiliki daya saing yang tinggi. Ketiga: Indonesia, secara geografis relatif dekat dengan Vietnam dan India, sehingga proporsi biaya transportasi terhadap total harga penjualan akhir relatif rendah, yaitu hanya sekitar 7 %. Bandingkan dengan mete dari Afrika Barat yang biaya transportasinya bisa mencapai 40 %.

109ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Pertanyaannya: Apakah keunggulan komparatif mete Indonesia telah dinikmati oleh petani mete di pedesaan Sulawesi? Jawabannya belum ! Ibaratnya masih jauh panggang dari api. Keunggulan komparatif mete Indonesia selama ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan eksportir mete, bahkan sebagian adalah warga negara India yang langsung terjun dalam perdagangan mete di Indonesia. Lalu upaya apa yang perlu dilakukan untuk membuat keunggulan komparatif mete Indonesia bisa dinikmati oleh petani mete yang merupakan masyarakat termiskin yang berada di sekitar hutan?

Sertifikasi Fairtrade Pulau Buton dan Muna telah lama dikenal sebagai penghasil mete. Adalah Gubernur Alala yang pada tahun 1980-an mempelopori gerakan rehabilitasi lahan (Gerakan Desa Makmur Merata/Gersamata) dengan menanam kakao, cengkeh, kopi, rambutan, mete dan komoditas lainnya. Gerakan tersebut begitu berari bagi masyarakat Sultra saat ini, berawal dari gerakan tersebut kini Kolaka dikenal sebagai penghasil kakao, demikian pula Buton dan Muna sebagai penghasil mete dan sebagainya. Sayangnya petani mete di Buton dan Muna hingga saat ini masih tetap dibelit permasalahan, yaitu rendahnya kesejahteraan, karena produk mete andalan mereka selain produksinya berfluktuasi, miskin nilai tambah, juga rendahnya tingkat harga saat panen raya. Sebagian besar petani mete menjual mete dalam bentuk gelondongan dan bukan dalam bentuk olahan (kacang mete), kondisi ini telah mengurangi nilai tambah yang bisa dinikmati oleh petani mete. Di Pulau Buton, dari ratusan desa penghasil mete, hanya ada satu desa (yaitu Barangka) yang telah memiliki budaya mengolah mete. Sedangkan di Muna, hanya petani di sekitar Lombe yang telah begitu kental dengan pengolahan dan bisnis mete. Akar masalahnya adalah, pertama: petani belum Âť110

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

mengenal teknologi pengkacipan (pengolahan) mete; kedua: keterbatasan modal dan tenaga kerja. Saat musim panen tiba, petani selain telah terdesak berbagai kebutuhan (sehingga perlu segera menjual mete), juga kekurangan tenaga kerja, karena seluruh tenaga kerja terserap dalam kegiatan pemungutan dan pengeringan mete. Implikasinya, petani terpaksa melepas mete gelondongan dengan harga murah. Beberapa bulan kemudian, saat harga mete meningkat tajam (seiring dengan kelangkaan mete), petani mete hanya bisa gigit jari, karena seluruh mete telah berada di tangan pedagang besar. Idealnya petani mete mampu menyisihkan minimal setengah dari hasil panennya untuk disimpan, sehingga mereka bisa dapat menjual gelondongan saat harga baik atau mengkacip mete selama menunggu musim panen berikutnya. Menghadapi masalah tersebut, OWT dalam upaya pelestarian Hutan Lambusango, diantaranya telah memfasilitasi masyarakat sekitar hutan, yaitu petani mete Desa Matanauwe, Asosiasi Petani Mete Matanauwe (APJMM), Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton untuk memperoleh Sertifikasi Fairtrade. Alhasil, karena usaha keras petani dalam memenuhi persyaratan Sertifikasi Fairtrade, Sertifikasi tersebut telah berhasil digapai pada bulan Januari 2008. Ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa! Perlu dicatat bahwa APJMM merupakan kelompok petani mete pertama di dunia yang mendapat Sertifikasi Fairtrade dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), Bonn, Jerman. Di Indonesia, sementara ini hanya ada dua asosiasi petani yang telah mendapat sertifikasi fairtrade, yaitu petani kopi di Tapanuli, Sumatra Utara dan APJMM di Buton. Sertifikasi Fairtrade diberikan kepada kelompok tani yang memiliki organisasi (asosiasi, koperasi) dengan prinsip demokrasi, partisipasi dan transparansi sesuai standar yang diberikan oleh FLO. Hal ini dimaksudkan agar setiap rupiah keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan internasional dapat terdistribusi secara adil dan merata ke seluruh anggota. Selain persyaratan 111ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

tersebut, organisasi petani juga harus memenuhi standar kepekaan sosial dan lingkungan, termasuk tidak mengunakan pestisida yang mencemari lingkungan, pengelolaan sampah yang baik dan tidak merusak ekosistem hutan dan laut. Dengan memperoleh sertifikasi fairtrade, maka APJMM telah mendapat tiket masuk jaringan perdagangan mete internasional serta berhak mendapatkan fasilitasi perdagangan dari FLO untuk melakukan ekspor mete baik dalam bentuk gelondongan maupun olahan dengan harga premium (istimewa). Harga premium dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi petani untuk dapat mensejahterakan dirinya, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Harga premium FOB (freight on board, di pelabuhan ekspontuk kacang mete adalah USD 7.27 per kg, atau sekitar Rp. 70.000, sedangkan harga lokal tertinggi untuk kacang mete kualitas satu adalah sekitar Rp. 45.000. Dengan sistem faitrade petani juga akan mendapat pembayaran awal sebesar 50 % dari nilai transaksi, sisa pembayaran 50 % diberikan setelah barang sampai di pelabuhan tujuan. Hal ini memungkinkan petani miskin, dengan modal pas-pasan, mampu memenuhi order pasar ekspor. Kini APJMM telah melakukan ekspor mete perdana ke UK melalui perusahaan eksportir tersertifikasi dari Surabaya (PT. Supa Surya Niaga). Selanjutnya FLO berperan untuk menjadi lembaga pengawas kinerja organisasi petani yang telah tersertifikasi. Apabila asosiasi tersebut terbukti melanggar prinsip demokrasi, partisipasi dan transparansi, atau terbukti merusak hutan, mencemari tanah, sungai dan laut, maka sertifikasi akan dicabut. Sertifikasi Fairtrade merupakan sebuat perangkat (sistem) yang diciptakan oleh negara maju untuk membantu petani miskin di negara berkembang. Melalui sertifikasi, petani miskin berkesempatan masuk dan mengambil keuntungan dalam perdagangan internasional yang berkeadilan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Namun sekaligus negara maju juga menuntut kepedulian petani untuk Âť112

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

memelihara dan melestarikan lingkungannya demi kelestarian sumber-sumber kehidupannya maupun kelestarian bumi yang hanya satu ini ! ***

113ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

6 Wildlife Conservation Products1

K

onservasi hutan tidak dapat berjalan secara efektif tanpa keterlibatan masyarakat di sekitar hutan, dengan demikian selain masyarakat sekitar hutan harus sadar terhadap pentingnya pelestarian hutan, mereka juga harus berdaya untuk melestarikan hutan. Pada banyak kasus, masyarakat sebetulnya telah sadar, masalahnya mereka tidak berdaya melestarikan hutan. Banyak pihak telah berhasil melakukan penyadaran pentingnya pelestarian hutan, namun masih sedikit yang mampu membuat masyarakat sekitar hutan berdaya melestarikan hutannya. Salah satu upaya penting untuk membuat masyarakat berdaya adalah dengan menciptakan alternatif mata pencaharian yang tidak berdampak terhadap perusakan sumberdaya hutan. Untuk yang terakhir ini, sudah banyak pula yang melakukan, namun hasilnya sering kurang memuaskan, karena ujungujungnya menthok di pemasaran hasil. Yang perlu dicatat, apabila alternatif pencaharian yang mensejahterakan berhasil diciptakan, hal itu tetap belum sepenuhnya menjamin kelestarian hutan. Karena bisa jadi mata pencaharian baru tersebut hanya dimanfaatkan untuk menambah pendapatan dan bukan menggantikan pekerjaan yang merusak hutan. Setelah mendapatkan penghasilan alternatif, sangat mungkin masyarakat tidak berhenti merusak hutan, bahkan 1 Makalah disampaikan pada acara Workshop bertema: “Nasionalisme Konservasi dan Investasi yang Mensejahterakan Rakyat� di Balikpapan 21 - 22 Agustus 2008.

Âť114

bisa jadi modal yang diperoleh dari mata pencaharian baru (yang dimaksudkan sebagai alternatif tersebut) digunakan untuk memperbesar usaha penjarahan hutan. Untuk mengurai benang kusut ini, Operation Wallacea Trust (OWT) mengembangkan skema baru fasilitasi bisnis untuk konservasi yang disebut sebagai Wildlife Conservation Products (WCP). Tulisan ini membahas seluk beluk WCP dan upaya yang telah dilakukan OWT untuk memfasilitasi pelaksanaan WCP dalam pelestarian Hutan Lambusango di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, serta peluang pengembangan WCP sebagai sebuah sertifikasi bisnis konservasi yang diterapkan secara luas diluar Buton.

Wildlife Conservation Products WCP adalah upaya penjaminan pemasaran produk petani yang berada di sekitar hutan yang memiliki keragaman hayati tinggi atau memiliki nilai ekologis penting dengan syarat petani telah membuat kesepakatan yang melibatkan seluruh penduduk desa untuk melestarikan hutan, yaitu untuk tidak melakukan pembalakan liar (illegal logging), tidak merambah hutan dan tidak berburu satwa dilindungi. Kesepakatan konservasi desa ini tidak terbatas pada pemilik jenis produk yang dijamin pemasarannya oleh OWT, melainkan mengikat kepada seluruh warga desa. Untuk menilai tingkat kepatuhan seluruh masyarakat desa terhadap kesepakatan konservasi desa yang telah dibuat, OWT melakukan monitoring kondisi kerusakan hutan secara berkala. Apabila ditemukan indikasi kuat bahwa masyarakat desa melanggar kesepakatan, maka seluruh kegiatan fasilitasi penguatan produksi dan pemasaran hasil akan dihentikan, hingga ada kesepakatan penjaminan baru dari masyarakat desa. Di Hutan Lambusango, OWT telah menerapkan skema WCP untuk petani penghasil mete di Desa Barangka (Kecamatan Kapontori) dan petani penghasil kopi di Desa Wakaokili (Kecamatan Pasarwajo) yang secara geografis keberadaan desanya 115ÂŤ


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

sangat strategis dalam upaya pelestarian Hutan Lambusango. Produk mete dan kopi dipasarkan dengan harga premium (harga istimewa, minimal setara dengan harga fairtrade) ke Enggris (UK). OWT memfasilitasi kegiatan pemasaran dengan melibatkan jaringan pembeli (buyers) di UK yang peduli dengan kegiatan konservasi hutan hujan tropika di Indonesia. Untuk produk kopi, memperhatikan bahwa kopi Buton adalah kopi Robusta yang notabene kualitasnya kurang baik, maka buyer di UK (Wicked Coffee dan Nairobi Coffee) menggunakan kopi Buton (bersama kopi Honduras) sebagai bahan campuran kopi Arabica dari Kolombia dengan komposisi 25 % kopi Buton, 25 % kopi Honduras dan 50 % kopi Kolombia. Dalam kemasan kopi seberat 227 gram yang bermerek ‘Jungle’ tertulis pesan sebagai berikut: “One of the most urgent problems in wildlife conservation is to stop the clear felling of tropical rain forest, in conjunction with Operation Wallacea Trust the Wicked Coffee company has formed contract with villages in Indonesia and Honduras that commit the whole community to no logging and hunting in exchange this communities are paid higher prices for the coffee beans. Our Jungle coffee is created using these coffees, blended with Rain Forest Alliance Certified Coffee from Colombia”. (Salah satu masalah terpenting dalam pelestarian keragaman hayati adalah menghentikan penebangan hutan hujan tropika, bekerja sama dengan Operation Wallacea Trust, Wicked Coffee telah membuat kontrak dengan desa-desa di Indonesia dan Honduras yang seluruh warga desanya sepakat tidak membalak hutan dan melakukan perburuan satwa liar sebagai kompensasi pembelian harga tinggi dari produk biji kopi. Kopi jungle kami berasal dari kopi seperti ini, dicampur dengan kopi yang disertifikasi oleh Rainforest Alliance dari Kolombia). »116

Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Dengan pesan semacam ini, pembeli kopi di UK yang sebagian besar adalah mahasiswa bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga kopi biasa. Hal yang sama juga dilakukan untuk produk mete dari Desa Barangka yang dipasarkan oleh Tesco, salah satu supermarket terbesar di UK. Bedanya mete Buton yang kualitasnya cukup baik dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Kemudian fasilitasi perdagangan yang dilakukan OWT telah berhasil memotong rantai pemasaran di Indonesia, sehingga tanpa pemasaran ala WCP-pun, mete Buton di UK memiliki harga yang sangat bersaing dibandingkan dengan mete dari India.

WCP Vs Fairtrade Baik WCP maupun sertifikasi fairtrade (periksa makalah pertama) mensyaratkan bahwa produk yang disertifikasi dihasilkan oleh petani yang tidak merusak lingkungan. Yang perlu dicatat, kesepakatan yang dibuat oleh fairtrade hanya mengikat kepada petani produser (petani pemilik produk yang dijamin pemasarannya). Implikasinya petani nonproduser tidak terikat dengan kesepakatan pelestarian hutan. Sedangkan skema WCP, sebagaimana diuraikan di atas, kesepakatan konservasi desa bersifat mengikat keseluruh warga desa, baik petani produser maupun non-produser. Berbeda pula dengan fairtrade yang unit sertifikasinya adalah asosiasi (koperasi) petani, unit sertifikasi WCP adalah usaha milik desa. Melalui fasilitasi dan monitoring secara menerus, OWT berperan untuk memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh unit usaha milik desa dengan pembelian harga premium dapat dikelola secara partisipatif, demokratis dan transparan sebagaimana prinsip fairtrade, sedemikian rupa sehingga keuntungan yang diperoleh dapat didistribusikan ke seluruh warganya.

117«


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Memperhatikan kelemahan fairtrade tersebut, OWT merasa perlu untuk menginisiasi WCP yang ditujukan untuk menyempurnakan sertifikasi fairtrade yang tidak didisain secara khusus untuk kepentingan pelestarian hutan. Tentunya sertifikasi fairtrade juga memiliki berbagai kelebihan, diantaranya bahwa sertifikasi ini selain sistemnya telah berkembang, juga telah memiliki jaringan pemasaran luas di seluruh dunia, sedangkan skema WCP selain sistemnya masih dalam tahap pembangunan, jaringan perdagangannya hanya bertumpu pada OWT. Dengan demikian, untuk sementara OWT menggunakan dua skema ini untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di Hutan Lambusango dan sekitarnya. Kedepan OWT atau lembaga konsevasi lain, dapat bertindak sebagai lembaga sertifikasi WCP yang berperan memfasilitasi terbangun dan memantau berjalannya kesepakatan konservasi desa yang memiliki posisi strategis dalam pelestarian sumberdaya alam penting (baik hutan maupun laut) dan sekaligus memiliki produk unggulan yang layak dipasarkan secara nasional maupun internasional. Sebuah peluang, tantangan, sekaligus harapan baru bagi konservasi alam di Indonesia ! ***

Âť118

3

MELINDUNGI SATWA NUSANTARA


1 Melindungi Satwa Nusantara

S

atwa (’marga satwa’) merupakan kosa kata yang relatif baru dalam Bahasa Indonesia. Kata ini merupakan padanan dari ‘fauna’ yang diambil dari kata Inggris. ’Satwa’ berarti binatang liar, untuk membedakan dengan binatang piaraan atau ternak. Indonesia merupakan negara adi-daya (super-power) dalam keragaman hayati, baik pada tingkat genetik, spesies maupun ekosistem. Hal ini disebabkan oleh posisi negeri ini yang berada di katulistiwa, kondisi geografis yang beragam telah membuat tingginya variasi genetik. Sebagaimana namanya ’Nusantara’, yang berakar dari kata ’nusa’ yang berarti gugusan pulau dan ’antara’. Negeri kepulauan ini berada diantara dua benua besar yang merupakan sumber keragaman hayati dunia, yaitu Benua Asia dan Australia. Posisi strategis seperti ini membuat satwa nusantara memiliki keragaman dan sekaligus endemisme yang tinggi, karena selain merupakan wilayah transisi, satwa nusantara juga dipengaruhi oleh keragaman hayati dari dua benua. Alhasil, sebagian satwa nusantara menyerupai satwa dari Benua Asia dan sebagian lagi mirip dengan satwa Benua Australia. Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali memiliki jenis yang serupa dengan satwa Asia. Satwa Papua dan Kepulauan Aru serupa dengan Australia. Sedangkan satwa Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara memiliki jenis satwa tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di bagian barat maupun timur. Kepulauan nusantara, berdasarkan dari penyebaran satwanya (khususnya mamalia) dapat dibagi menjadi tiga wilayah: 121«


Melindungi Satwa Nusantara

1. Wilayah Indonesia Barat (Zona Indo-Malaya) Meliputi pulau-pulau yang di masa lalu (skala waktu geologi) pernah bersatu dengan Benua Asia, karena adanya paparan (dangkalan) Sunda yang meliputi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali dan pulau-pulau yang ada disekitarnya. Wilayah ini memiliki keyaaan karnívora tertinggi di dunia, baik yang hidup di pohon seperti Beruang Madu, Musang Pohon, Macan Dahan. Maupun karnívora yang hidup di tanah seperti Macan Tutul dan Harimau. Ada tiga jenis mamalia berukuran besar, yaitu: Gajah (Sumatera, Kalimantan), Badak (Jawa, Sumatera, Kalimantan), Banteng (Jawa, Bali, Kalimantan).

Melindungi Satwa Nusantara

keragaman hayati, khususnya keragaman satwa setempat. Berbagai kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh banyak suku di nusantara, tidak terlepas dari pemanfaatan keragaman hayati.

2. Wilayah Indonesia Tengah (Zona Wallacea) Daerah dimana terjadi percampuran antara mamalia IndoMalaya dengan Australia, mencakup pulau mulai dari Lombok sampai Timor, Sulawesi, Maluku hingga Kepulauan Kai. Wilayah ini memiliki kekayan reptil endemis, seperti Biawak Togian, Biawak Timor, Biawak Ambon, Biawak Komodo. Beberapa mamalia dari Asia masih ditemukan di wilayah ini seperti musang, kera, babi hutan (Indo-Malaya), juga Kuskus dari Australia. Namun ada satwa khas wilayah ini, seperti Anoa, Babi Rusa dan Burung Maleo.

3. Wilayah Indonesia Timur (Zona Australo-Papua) Daerah ini meliputi Kepulauan Aru dan Papua. Wilayah ini dicirikan oleh adanya mamalia berkantong dari jenis kecil (Tikus, Kuskus) sampai besar (Walabi dan Kanguru). Wilayah ini juga memiliki burung berukuran besar yang tidak dapat terbang (Kasuari, Mahkota), dan kaya burung paruh bengkok. Keragaman satwa nusantara, merupakan salah satu modal dasar bagi berkembangnya beragam budaya dan suku bangsa di negeri ini. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa dinamika budaya berbagai suku bangsa tidak terlepas dari kondisi »122

Gambar 8. Beberapa jenis satwa yang ditemukan di Hutan Lambusango

123«


Melindungi Satwa Nusantara

Keragaman satwa nusantara harus diabdikan demi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Permasalahannya adalah bagaimana memanfaatkan keragaman hayati sekaligus melindunginya dari kepunahan. Secara alami, kepunahan jenis dapat terjadi oleh proses evolusi. Namun realitas sosial saat ini menunjukan, manusia merupakan penyebab utama terjadinya kepunahan. Diperkirakan satu spesies satwa nusantara punah setiap harinya. Padahal banyak yang belum dimanfaatkan, bahkan banyak diantaranya belum pernah diketahui keberadaannya. Kepunahan satwa nusantara terjadi karena kerusakan dan hilangnya habitat, kegiatan perburuan dan perdagangan.

Melindungi Satwa Nusantara

Memperhatikan hal ini, sejak paruh pertama abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda, telah mengeluarkan peraturan perlindungan satwa (Dierenbes Chermings Ordonantie, Dierenbes Chermings Verardening, 1931). Peraturan ini, dari waktu ke waktu, terus direvisi dan jumlah satwa dilindungi terus bertambah, terakhir pemerintah mengeluarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Tujuan perlindungan satwa bukan semata melestarikan genetik dan spesies satwa, melainkan juga untuk memelihara ekosistemnya. Mengingat setiap satwa memiliki niche (peran) dalam ekosistem. Hilangnya suatu jenis satwa akan mengganggu keseimbangan ekosistemnya.

Perdagangan Satwa Nusantara Indonesia menjadi salah satu pemasok terbesar perdagangan satwa dunia. Hal ini tentunya merupakan peluang ekonomi yang sangat besar, namun pemanfaatannya harus memperhatikan kondisi populasi agar diperoleh manfaat yang berkelanjutan. Perdagangan internasional satwa, tumbuhan dan produknya diperkirakan berkisar 159 milyar dolar setiap tahunnya (Saleh, 2004). Satwa nusantara banyak dicari karena kelangkaannya, keindahan dan potensinya untuk ditangkarkan. Status perlindungan dan tingkat kelangkaan suatu jenis satwa dijadikan sebagai dasar untuk menentukan besarnya harga. Berdasarkan tingkat kelangkaannya, World Conservation Union (IUCN 1) mengelompokan kedalam 6 kategori; (1) Endangered, satwa yang telah mendekati kepunahan, (2) Vulnerable, satwa yang populasinya mengalami penurunan tajam, (3) Rare, satwa yang populasinya jarang dan mempunyai resiko kepunahan, (4) Indeterminated, satwa yang masuk dalam salah satu kategori di atas, namun tidak ada informasi yang mendukungnya, (5) Insufficiently known, satwa yang masuk 1

Âť124

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, United Nations Environment Programme.

125ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

dalam salah satu kategori di atas namun tidak tersedia informasi yang meyakinkan; (6) Commercially threatened, satwa yang saat ini jumlahnya masih banyak, namun terancam oleh kegiatan perdagangan. Berdasarkan keinginan untuk memanfaatkan flora dan fauna secara berkelanjutan. Indonesia telah turut meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wildlife Flora and Fauna) melalui Keppres No. 43/1978. CITES merupakan konvensi internasional yang mengatur mekanisme perlindungan terhadap perdagangan flora dan fauna dilindungi. Berdasarkan jenis-jenis flora dan fauna dilindungi (Red Data List) yang dikeluarkan oleh World Conservation Union/IUCN, CITES membagi status perdagangan satwa langka kedalam tiga kelompok, pertama jenis-jenis yang tidak boleh diperdagangkan, karena hampir punah. Jenis ini hanya bisa diperdagangkan apabila telah ditangkarkan dengan kriteria tertentu. Jenis flora dan fauna yang masuk kategori ini dimasukan dalam daftar Lampiran I (Appendix I). Kedua, jenis-jenis, karena populasinya di alam terus menurun, hanya boleh diperdagangkan dalam jumlah tertentu (sistem kuota). Jenis flora dan fauna yang masuk kategori ini dimasukan dalam daftar Lampiran II (Appendix II). Ketiga adalah jenis-jenis yang ditentukan oleh masing-masing negara anggota CITES untuk diatur dalam batas kewenangannya. Jenis flora dan fauna yang masuk kategori ini dimasukan dalam daftar Lampiran III (Appendix III). Untuk melaksanakan konvensi ini, diperlukan perangkat perundangan yang bersesuaian dengan aturan dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh CITES. Berdasarkan PP No. 8/1999, ditetapkan dua instansi pelaksana CITES, pertama adalah Departemen Kehutanan sebagai otoritas manajemen (management autority), kedua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas ilmiah (scientific autority). Untuk mengetahui status perdagangan internasional jenis-jenis dilindungi, Sekretariat CITES membentuk TRAFFIC (Trade Record Analysis of Flora »126

Melindungi Satwa Nusantara

and Fauna in Commerce) yang merupakan lembaga pemantau perdagangan hidupan liar internasional. Sampai saat ini ada 10 lokasi di dunia yang menjadi target pemantatauan TRAFFIC. Walaupun Indonesia telah meratifikasi CITES hampir tiga puluh tahun yang lalu, namun peraturan CITES masih belum dapat diimplementasikan secara optimal untuk mendukung perdagangan satwa secara berkelanjutan. CITES bahkan pernah memberikan ancaman untuk mencabut ijin perdagangan satwa internasional (‘total trade ban’), karena Indonesia dianggap kurang serius melaksanakan mekanisme CITES. Berbagai permasalahan dalam penerapan CITES diuraikan dalam uraian berikut ini.

1. Kurangnya data untuk menentukan kuota perdagangan Kemampuan LIPI untuk menyediakan data tentang status populasi masih kurang memadai. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya penelitian jenis flora dan fauna maupun langkanya kegiatan monitoring keragaman hayati secara menerus. Penelitian keragaman hayati memerlukan biaya tinggi, sedangkan jaringan pengumpulan data belum berkembang. Di lain pihak jenis flora dan fauna yang diperdagangkan terus meningkat. Penentuan kuota perdagangan jenis hidupan liar, akhirnya ditentukan berdasarkan berbagai metode pendugaan yang sangat lemah.

2. Lemahnya komitmen pedagang hidupan liar Komitmen pedagang hidupan liar untuk melakukan pelestarian hidupan liar, baik secara ’ in situ’ (di habitatnya) maupun ’ex situ’ (di luar habitat, penangkaran) masih lemah. Sebagian besar dari mereka hanya mengandalkan dari pengambilan di alam, tanpa upaya untuk melindungi habitat dimana flora dan fauna tersebut diambil. Biasanya setelah suatu jenis telah sulit didapat, mereka mengalihkan ke jenis lain. Kondisi ini mengancam keberlangsungan perdagangan satwa nusantara.

127«


Melindungi Satwa Nusantara

3. Lemahnya penegakan hukum Perdagangan ilegal satwa nusantara yang terus berlangsung merupakan ancaman serius bagi keberadaan satwa nusantara. Tingginya keuntungan, kecilnya resiko, termasuk sanksi hukum telah menjadikan perdagangan satwa menjadi daya tarik bagi pelaku tindak kriminal dalam bisnis ini. Di lain pihak, kemauan politik dan komitmen pemerintah untuk melindungi satwa nusantara masih belum memadai. Kemampuan petugas Departemen Kehutanan di lapangan masih rendah, baik oleh kecilnya rasio antara jumlah petugas dengan luas kawasan yang dilindungi, maupun oleh lemahnya kemampuan petugas dalam penegakan hukum. Perdagangan satwa dan bagian-bagianya dari habitat aslinya hingga ke pelabuhan udara/ laut secara ilegal berlangsung dengan leluasa, karena minimnya pengawasan, maupun kurangnya kemampuan petugas dalam mengidentifikasi jenis-jenis satwa dilindungi.

Bersama Melindungi Satwa Nusantara Perlindungan satwa nusantara hanya dapat dilakukan melalui kebersamaan dan upaya sinergis dari berbagai pihak. Pelaksanaan CITES maupun berbagai upaya perlindungan satwa nusantara tidak bisa hanya mengandalkan Departemen Kehutanan maupun LIPI. Partisipasi dan kontribusi dari Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, aparat penegak hukum, bea-cukai, PT Angkasa Pura, dan media masa sangat diperlukan. Peran setiap pihak disampaikan dalam uraian berikut ini.

• Mengoptimalkan Peran Perguruan Tinggi Data terbaru tentang distribusi dan kelimpahan populasi jenis satwa dilindungi sering tidak tersedia, karena proses pengumpulannya sulit, memakan waktu lama dan berbiaya tinggi. Sebaliknya ada ratusan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), jurusan biologi, Fakultas »128

Melindungi Satwa Nusantara

Kehutanan, jurusan Konservasi Sumberdaya Alam di berbagai wilayah yang setiap tahunnya melakukan penelitian keragaman hayati baik untuk menempuh pendidikan S1, S2 dan S3. Selama ini kegiatan penelitian keragaman hayati di perguruan tinggi sering tidak ’link and match’ dengan kebutuhan praktis pihak pengelola kawasan dimana penelitian tersebut dilakukan. Akibatnya, hubungan diantara mereka tidak bersifat mutualistik. Memperhatikan hal ini, Departemen Kehutanan (BKSDA, Taman Nasional terestrial dan laut, BUMN Kehutanan) bersama LIPI perlu menyusun jenis data dan informasi yang mereka butuhkan baik dalam upaya mengelola kawasan, maupun untuk menentukan besarnya ijin pengambilan satwa di alam. Kebutuhan ini selanjutnya dikomunikasikan dengan perguruan tinggi setempat untuk dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penelitian keragaman hayati yang memenuhi prinsip take and give diantara keduanya. Kolaborasi ini diharapkan dapat memperbaiki data dasar di tingkat lapangan, sebagai dasar untuk menentukan kegiatan pengelolaan jenis dan habitat, maupun sebagai dasar untuk menentukan kuota perdagangan satwa nusantara.

• Meningkatkan Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Saatnya LSM yang bergerak di bidang pelestarian satwa liar membantu tugas pemerintah dalam pengendalian perburuan dan perdagangan satwa secara ilegal. Dalam konteks ini, peran LSM Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) dalam menginisiasi dan memfasilitasi pembentukan Wildlife Crime Unit (WCU) di Sulawesi Utara dan Lampung, serta LSM Operation Wallacea Trust dalam membangun Forest Crime Unit (FCU) di Pulau Buton perlu dijadikan referensi. LSM tersebut bekerja bersama pemerintah (Departemen Kehutanan), penegak hukum (polisi, jaksa, hakim), LSM lokal dan media (wartawan) untuk mengendalikan perburuan satwa liar di habitatnya, melakukan monitoring populasi satwa dan perbaikan kondisi ekologinya, 129«


Melindungi Satwa Nusantara

patroli lalu lintas angkutan satwa di berbagai tempat strategis, penyadaran masyarakat dan penegakan hukum bagi para pelaku utama (financiers) perdagangan satwa ilegal.

• Pembangunan data base keragaman hayati Gagasan ini sebetulnya telah lama menjadi wacana, namun hingga saat ini belum terwujud. Disadari bahwa kini semakin banyak LSM dan Perguruan Tinggi yang melakukan kegiatan monitoring satwa. Sayangnya kegiatan tersebut masih dilakukan secara parsial dan sporadis, belum berkembang komunikasi dan sharing informasi diantara berbagai lembaga yang melakukan monitoring satwa nusantara. Perlu disadari pula bahwa sebagian besar penelitian ilmiah dipublikasikan 1–3 tahun setelah survei pengumpulan data dilakukan, sehingga informasi yang disajikan sering sudah tidak relevan dengan kondisi di lapangan. Dengan adanya pengelolaan basis data (clearing house) yang dikoordinasikan oleh sebuah instansi pemerintah atau LSM, diharapkan berbagai pihak dapat melakukan pengiriman data dan informasi secara real time. Artinya berbagai hasil monitoring dapat secara cepat diakses oleh stakeholders satwa nusantara yang membutuhkan.

Melindungi Satwa Nusantara

yang telah mendapat putusan berkekuatan tetap, sedemikian rupa sehingga pelaku perburuan dan perdagangan satwa diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya. Penegakan hukum harus dilakukan secara konsekuen dengan memprioritaskan pelaku utama dalam jaringan perdagangan ilegal yang memberikan efek berantai untuk memutus simpul jaringan. Untuk itu upaya penyidikan yang inovatif perlu dilakukan, misalnya menggunakan Undang-Undang Anti Pencucian Uang (anti money-laundring). Dengan didukung oleh publikasi di berbegai media secara intensif, diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku, serta memberikan penyadaran publik bahwa negeri ini memiliki komitmen tinggi dalam perlindungan satwa nusantara ! ***

• Peningkatan kapasitas penegakan hukum Kemampuan Polisi Kehutanan dalam mengidentifikasi satwa dan bagian-bagian satwa dilindungi perlu ditingkatkan. Kerjasama secara erat perlu dibangun dengan pihak bea dan cukai, maupun petugas pengelola bandar udara maupun laut. Berbagai pelatihan petugas perlu diintensifkan, buku panduan identifikasi satwa praktis perlu dibuat dan didistribusikan kepada aparat penegak hukum di lapangan. Pemahaman para polisi, jaksa dan hakim terhadap peraturan dan perundangan di bidang konservasi sumberdaya alam perlu ditingkatkan. Mereka perlu diberi panduan, termasuk contoh-contoh kasus peradilan perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar dari tempat lain 130

131ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Perburuan, Desatwanisasi dan Kepunahan Hutan Alam

S

etelah hutan negeri ini rusak parah, kemudian bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor semakin sering terjadi. Kini, masyarakat umumnya telah menyadari dampak penggundulan hutan (dehutanisasi) terhadap bencana lingkungan. Terbukti, setiap terjadi bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor, masyarakat selalu mengkaitkan dengan kerusakan hutan di wilayahnya. Di lain pihak, masyarakat umumnya masih belum memahami dampak desatwanisasi (kepunahan jenis satwa/binatang liar) terhadap kehancuran ekosistem hutan. Desatwanisasi bukan hanya berimplikasi terhadap erosi keragaman hayati---sebagaimana telah banyak disadari--- melainkan juga pada kepunahan ekosistem hutan alam. Sebagaimana diketahui bahwa hutan alam dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan dan pulau-pulau lainnya (kecuali Papua) telah hampir habis. Hutan yang masih tersisa kini umumnya adalah hutan pegunungan dengan topografi berat yang secara ekonomi tidak layak untuk dieksploitasi kayunya. Hutan pegunungan semacam ini selain berperan sebagai perlindungan terakhir bagi satwa nusantara juga memiliki fungsifungsi perlindungan tata air (watershed functions) yang sangat penting bagi kelestarian ekosistem daerah aliran sungai.

Âť132

Sumber: Warta fkkm

2

Gambar 9. Kawasan yang gundul seperti ini berakibat langsung pada merosotnya bahkan punahnya keanekaragaman jenis satwa yang dahulu pernah hidup di dalamnya.

Berdasarkan catatan World Conservation Union/IUCN (Sumardja, 2004), Pada tahun 1996, jumlah jenis mamalia yang dikategorikan terancam (threatened) sebanyak 128 jenis. Pada tahun 2000, jumlah ini bertambah menjadi 140 jenis. Tahun 2004, diperkirakan terdapat 15 jenis mamalia yang masuk kategori mendekati kepunahan (critically endangered). Walaupun belum didukung oleh data yang kuat, diperkirakan satu jenis satwa punah setiap harinya ! Krisis desatwanisasi telah menimbulkan sindrom kelengangan hutan (empty forest syndrome). Hutan tropika yang dulu di pagi hari selalu riuh oleh suara primata dan burung, kemudian di sore dan senja hari begitu ramai oleh burung dan aneka satwa yang aktif di malam hari, kini menjadi senyap. Sebuah kehidupan yang telah berusia ribuan bahkan jutaan tahun sedang menuju kepunahan. Yang sungguh memilukan, kepunahan tersebut tidak terjadi oleh proses evolusi, seleksi alam atau bencana alam, melainkan oleh ketidaktahuan, kemiskinan dan keserakahan. 133ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Sebuah katastropi (mega-bencana) telah dan sedang terjadi, suatu fenomena yang mungkin jauh lebih tragis dengan apa yang digambarkan oleh Rachel Carson dalam ‘The Silent Spring’. Hutan tanpa satwa persis seperti rumah yang tanpa penghuni. Rumah, betapapun bagus dan kuatnya, tanpa kehadiran manusia akan hancur, karena tidak terpelihara. Demikian pula fungsi kehadiran satwa dalam ekosistem hutan. Setiap jenis satwa didalam ekosistem hutan, memiliki peran (niche) yang saling mendukung untuk mencapai keseimbangan ekologi. Dalam ekosistem yang mapan, jumlah setiap jenis satwa akan bersesuaian dengan daya dukung (carrying capacity) ekosistemnya. Sebaliknya, dalam sebuah ekosistem hutan yang terganggu akan terjadi ledakan populasi, karena satwa yang menjadi pemangsa (predator) dalam suatu rantai makanan jumlahnya berkurang atau punah. Satwa berperan sebagai katalisator berbagai proses penyerbukan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembang-biakan berbagai vegetasi yang merupakan komponen penting ekosistem hutan tropika. Sebagian besar satwa juga aktif berperan sebagai media pemencaran biji, sehingga kerusakan dan fragmentasi hutan secara alami terpulihkan.

A. Masalah Perburuan Satwa Kepunahan satwa selain disebabkan oleh hilang dan rusaknya habitat, juga disebabkan oleh perburuan. Setidaknya sampai setengah abad yang lalu, kegiatan ini belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap proses desatwanisasi. Namun, sekitar tiga dasa warsa terakhir, kegiatan perburuan memberikan dampak yang sangat besar terhadap proses desatwanisasi. Beberapa faktor penyebabnya dibahas pada uraian berikut.

1. Ketidaksesuaian antara jumlah manusia dan luas hutan Jumlah penduduk disekitar hutan selama tiga dasa warsa terakhir rata-rata bertambah sekitar sepuluh kali lipat, sebaliknya kondisi hutan selain merosot kualitasnya, luasnya terus menyusut Âť134

Melindungi Satwa Nusantara

secara tajam. Kondisi ini telah menyebabkan kegiatan perburuan terkonsentrasi pada kawasan hutan yang semakin sempit. Pada saat rasio luas hutan terhadap manusia masih besar, sebagian besar masyarakat melakukan perladangan berpindah, sehingga alam memiliki waktu untuk menyembuhkan dirinya. Kini, sebagian besar telah menetap, sehingga berbagai kegiatan eksploitasi, termasuk perburuan terkonsentrasi pada suatu wilayah tertentu saja.

2. Aksesibilitas Pengusahaan hutan skala besar sejak akhir tahun 1960an, telah membuka akses hutan alam di luar Jawa. Jalanjalan logging yang masuk sampai kepedalaman hutan, telah merangsang tumbuhnya perkampungan. Masyarakat lokal yang dulunya banyak tinggal di sepanjang aliran sungai, kemudian berpindah di sepanjang jalan utama logging. Akses pasar dan akses terhadap senjata burupun kemudian meningkat, sehingga kegiatan perburuan bergeser dari subsisten menjadi komersial. Hal ini telah membuat jumlah dan kisaran jenis satwa yang diburu semakin banyak. Terbukanya jalan hutan juga menarik aktifitas pemburu profesional. Kasus di Sarawak menunjukkan bahwa seorang pemburu mampu membunuh 27 jenis mamalia, 12 jenis burung dan 5 reptil. Hal yang bersesuaian juga ditemukan di Sulawesi Utara, seorang pemburu mampu membunuh 27 jenis mamalia, 15 jenis burung dan 8 reptil (Lee, 2001).

3. Kehadiran camp-camp HPH Menjamurnya base-camp Hak Pengusahaan Hutan (HPH) selama puncak kejayaan pengusahaan hutan di negeri ini memberikan pengaruh besar terhadap desatwanisasi. Berbeda dengan perburuan tradisional, perburuan yang dilakukan oleh para pembalak hutan ini umumnya sangat eksploitatif. Sebuah penelitian di Sarawak (Lee, 2001), satu base-camp yang dihuni

135ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

oleh 500 orang, rata-rata melakukan perburuan 1.150 satwa per tahun, daging satwa (wild meat, bushmeat) yang dihasilkan dari perburuan tersebut mencapai 29 ton.

Melindungi Satwa Nusantara

taman buru (seluas 239.400 ha) yang tersebar di Bengkulu, Jawa Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

4. Rendahnya produktifitas satwa hutan tropika Kegiatan perburuan secara cepat berdampak terhadap desatwanisasi, mengingat produktifitas hutan tropika bertajuk tertutup (closed forest) di Indonesia dikenal memiliki produktifitas (daging) satwa yang rendah, bahkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan hutan bertajuk terbuka (open forest) dan padang rumput (grassland). Semakin tertutup suatu hutan, demikian pula semakin klimaks sebuah ekosistem hutan tropika, semakin rendah produktifitas daging satwanya. Setiap kilo meter persegi hutan tropika bertajuk tertutup memproduksi sekitar 97 kg daging satwa per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan seluruh protein dari daging satwa, seorang manusia dewasa memerlukan sekitar 102 kg setiap tahunnya. Dengan demikian hutan tropika hanya mampu memenuhi kebutuhan protein satu orang dewasa per kilometer persegi per tahun (Lee, 2001). Memperhatikan produktifitas bushmeat yang rendah, jelas bahwa closed forest di Indonesia tidak sesuai untuk dikembangkan sebagai daerah wisata buru sebagaimana di Afrika.

B. Desatwanisasi dan Kepunahan Hutan Alam Belum ada bukti yang kuat bahwa kegiatan perburuan satwa yang dilakukan di hutan tropika bertajuk tertutup di Indonesia dapat berlangsung secara lestari. Ketidak lestarian sistem perburuan dicirikan oleh pergeseran satwa buru menuju jenisjenis yang berukuran lebih kecil, mengingat satwa besar akan cenderung cepat habis (karena jumlahnya terbatas), sehingga satwa dengan ukuran semakin kecil menjadi sasaran perburuan berikutnya. Memperhatikan karakteristik ekologis hutan tropika di Indonesia, perlu dikaji ulang kelayakan ekologis penetapan 13 Âť136

Sebaliknya, kegiatan perburuan perlu dilakukan di hutan alam yang mengalami ledakan populasi, karena kerusakan hutan. Misalnya ledakan populasi babi hutan sebagaimana terjadi di berbagai wilayah di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Pertanian semusim di wilayah ini hanya mungkin dilakukan dengan cara pemagaran lahan, dimana bahannya berasal dari kayu yang diambil dari hutan alam. Kondisi ini membuat hutan semakin rusak, sehingga serangan babi hutan semakin merajalela. Upaya terbaik adalah dengan cara mengendalikan jumlah populasi yang disesuaikan dengan daya dukungnya. Dalam konteks ini, peran aktif organisasi olah raga perburuan (Perbakin) sangat diharapkan. 137ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Perburuan dan perdagangan satwa nusantara secara ilegal baik untuk keperluan domestik maupun internasional terus berlangsung, beberapa satwa karismatik seperti Harimau, Badak, Gajah terus diburu. Demikian pula berbagai jenis reptil (kurakura, penyu, ular, buaya), kelelawar, berbagai jenis burung paruh bengkok (parrots) dan sebagainya. Sanksi hukum sesuai dengan Undang-Undang Konservasi (UU No 5/1990, PP No 7/1999), aturan konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wildlife Fauna and Flora) perlu ditegakkan secara murni dan konsekuen. Dalam kondisi habitat (hutan alam) yang semakin rusak, perburuan satwa telah mempercepat laju desatwanisasi, kondisi ini pada gilirannya berdampak pada kepunahan ekosistem hutan alam yang masih tersisa di daerah pegunungan. Kepunahan hutan alam di wilayah tersebut akan berdampak terhadap meningkatnya Âť138

laju erosi dan sedimentasi, bencana tanah longsor, banjir dan kekeringan. Tingginya laju sedimentasi selain menyebabkan pendangkalan sungai juga akan merusak ekosistem terumbu karang dan rusaknya ekosistem perairan laut. Sebuah rangkaian mega-bencana alam buatan manusia, apabila tidak segera dan terus diantisipasi, nampaknya masih akan terus terjadi di negeri ini ! ***

Sumber: BLL Edisi Mei 2006

Di daerah, dimana perburuan satwa didorong oleh kebutuhan protein hewani, misalnya perburuan Anoa di beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara, diperlukan pengembangan usaha peternakan sebagai alternatif sumber protein hewani. Pendidikan dan penyadaran masyarakat perlu diintensifkan di wilayah dimana konsumsi daging satwa telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat, sebagaimana di Sulawesi Utara misalnya. Pemerintah bersama Lembaga Swadaya Masyarat, aparat keamanan yang didukung oleh liputan media perlu membangun kolaborasi untuk melakukan monitoring dan patroli perburuan satwa baik di habitatnya maupun di pasar-pasar yang menjajakan satwa baik dalam keadaan hidup (sebagai satwa piaraan) maupun untuk keperluan konsumsi. Monitoring dapat dilakukan di tempat-tempat strategis (terminal, stasiun kereta), misalnya jalur perdagangan satwa dari Sumatera (Sumatera Selatan dan Lampung) menuju Jakarta (Pasar Burung Pramuka), dari Sulawesi Selatan dan Tengah menuju Manado, dari Indonesia Timur menuju Jakarta, Malaysia, Filipina dan sebagainya.

Melindungi Satwa Nusantara

139ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

3 Ada Apa dengan Wallacea?

M

engapa Hutan Lambusango (di Pulau Buton) sering disebut sebagai pewakil ekosistem hutan di Kawasan Wallacea, serta mengapa keberadaannya perlu dilindungi? Pertanyaan seperti ini banyak disampaikan oleh kalayak di Pulau Buton. Hutan purba yang telah hadir selama ribuan tahun ini, bagi sebagian masyarakat Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau, seakan baru ada beberapa tahun belakangan, seiring dengan tumbuhnya pemahaman dan kesadaran terhadap nilai kehadirannya. Apakah hubungan hutan yang berada di jantung Pulau Buton ini dengan Kawasan Wallacea? Apakah yang dimaksud dengan Kawasan Wallacea?. Pertanyaan macam ini sering muncul di berbagai kegiatan penyadaran. Tulisan ini mencoba mengupas Kawasan Wallacea dan keterkaitannya dengan Hutan Lambusango, hutan alam dataran rendah (65.000 ha) yang berada di jantung Pulau Buton.

Sejarah Alam Sulawesi Proses terbentuknya permukaan bumi secara menerus dikaji oleh para ahli geologi. Kajian ini berkembang pesat setelah ditemukannya teori lempeng tektonik. Para ahli geologi menggunakan apa yang bisa diamati saat ini (misalnya; bentuk benua, jenis batuan, karakteristik flora-fauna) sebagai kunci pembuka tabir masa lalu, ‘the present is the key to the past’. Âť140

Berdasarkan teori lempeng tektonik ini, kira-kira 40 juta tahun yang lalu, lempeng kerak bumi Australia diduga bergerak ke arah utara, gerakan ini kemudian menabrak lempeng Asia dan terbentuklah Sulawesi bagian timur. Wilayah ini terus bergerak kearah utara kemudian menabrak Sulawesi bagian barat. Penyatuan antara keduanya terjadi di Zaman Pliocene, sekitar 10 juta tahun yang lalu. Benturan tektonik secara berulang ini menghasilkan bentuk pulau Sulawesi sebagaimana yang ada saat ini (seperti huruf K), dengan puncak-puncak gunung menjulang di segala penjuru, diselang-selingi oleh lembah dan cekungan yang dalam, dan kegiatan volkanik yang masih terus berlangsung (Sulawesi memiliki 11 gunung api yang masih aktif). Benturan berulang tersebut juga menyebabkan proses pengangkatan (uplifted) beberapa pulau satelit Sulawesi, seperti Pulau Buton, Muna, Kabaena dan Kepulauan Tukang Besi. Mengingat bahwa kedua bagian pembentuk Sulawesi ini berasal dari lempeng kerak bumi yang berbeda, konsekuensinya masing-masing bagian kerak bumi membawa flora-fauna yang berbeda. Sulawesi utara dan barat merupakan bagian dari benua Asia, sedangkan Sulawesi timur dan tenggara merupakan bagian dari Australia, kedua wilayah ini dibatasi oleh jalur pegunungan kapur yang memotong bagian tengah Pulau. Jalur pegunungan kapur tersebut dulunya merupakan batu karang yang berada dibawah air laut. Dari mulai awal bersatunya, kedua bagian potongan kerak bumi ini (sebagaimana Pulau Sulawesi yang ada kini) dikelilingi oleh palung-palung laut yang dalam, kondisi ini membuat Pulau Sulawesi terisolasi dari pengaruh flora-fauna pulau-pulau besar yang ada disekitarnya. Bahkan Pulau Sulawesi masih tetap terisolasi pada saat muka air laut menyurut di Zaman Es (dimana flora-fauna antar pulau besar dapat saling behubungan). Luasnya pulau serta lamanya waktu isolasi (jutaan tahun) menyebabkan terjadinya proses evolusi yang unik. Sehingga banyak jenis di wilayah lain tidak ditemukan di Sulawesi, 141ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

sebaliknya jenis-jenis yang ada di Sulawesi hanya ditemukan di Sulawesi saja (jenis endemik). Karena itu, pulau ini dikenal memiliki persentase jenis-jenis endemik (jumlah jenis endemik dibagi seluruh jenis yang ada) yang tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Alfred Russel Wallacea adalah orang pertama yang menyadari fenomena kekhasan geologi Sulawesi. Ironisnya, Wallacea bukanlah seorang ahli geologi, melainkan seorang naturalis (ahli biologi lapangan). Keunikan sejarah pembentukan Sulawesi beserta pulau-pulau satelitnya (termasuk Pulau Buton) mulai disadari berdasarkan hasil pengamatannya terhadap kekhasan flora-fauna Sulawesi yang berbeda dengan pulau-pulau besar disekitarnya. Penemuannya itu kemudian dituangkan dalam sebuah karya ilmiah yang fenomenal bertajuk ‘On the zoological geography of the Malay Archipelago’. Penemuan ini telah membuat Wallacea dianggap sebagai ilmuwan peletak dasar ilmu biogeografi, sebuah ilmu yang mempelajari penyebaran flora dan fauna. Walaupun keragaman hayati Sulawesi saat ini tentunya sudah berbeda dibandingkan dengan masa di zaman Wallacea pertama kali menginjakkan kakinya di Sulawesi. Namun hingga kini Sulawesi tetap memiliki posisi khusus dalam peta keragaman hayati dunia, yaitu sebagai kawasan peralihan dan percampuran antara flora-fauna Oriental (Asia) dan Australia (Australo-Papua).

Keragaman Hayati Sulawesi Posisi Sulawesi sebagai kawasan peralihan, serta terjadinya isolasi selama jutaan tahun, telah membuat kekayaan hayati Sulawesi tidak terlalu berlimpah sebagaimana pulau-pulau besar disekitarnya. Sulawesi hanya memiliki 7 genus tumbuhan endemik, jauh dibawah Sumatra yang memiliki 17 genus, Kalimantan memiliki 59 genus, dan Papua memiliki 124 genus. Perbedaan jumlah spesies tumbuhan ini disebabkan oleh miskinnya jenis pohon yang berasal dari Famili Dipterocarpaceae, yang »142

Melindungi Satwa Nusantara

merupakan jenis pohon dominan di Sumatera dan Kalimantan. Sulawesi hanya memiliki 6 spesies Dipterocarpaceae, jauh berbeda dengan Kalimantan yang memiliki 267 jenis, dan Sumatera yang memiliki 106 jenis. Demikian pula kondisi faunanya, sebagaimana dipahami, beberapa jenis mamalia besar karismatis (berukuran besar dan mudah diingat) yang ada di Sumatra, Kalimantan dan Bali tidak ditemukan di Sulawesi. Harimau yang berasal dari India, menyebar sampai ke China, hingga Sumatera, Jawa dan Bali, tidak ditemukan di Sulawesi. Gajah, yang penyebarannya mulai dari Afrika, daratan Asia hingga Sumatera dan konon pernah ada di Kalimantan, tidak ditemukan pula di Sulawesi (walaupun diduga pernah hidup gajah kerdil/stegodon pada jaman Pliocene). Badak yang wilayah penyebarannya di Afrika dan Asia hingga Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Badak Sumatera di Kalimantan telah punah) tidak ditemukan di Sulawesi. Kemudian Orangutan, mamalia terbesar yang hidup di pohon, hanya terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Sulawesi juga tidak memiliki karnivora (satwa pemakan daging) berukuran besar, karena satwa jenis ini diduga tidak mampu menyeberang palung laut dalam yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi. Karnivor terbesar endemik Sulawesi adalah Musang Sulawesi/Sulawesi palm civet (Macrogalidia musschenbroekii). Ada sebagian satwa Kalimantan/Asia yang dapat ditemukan di Sulawesi, misalnya Babi Alang-Alang (Sus scrofa) yang banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa dan sering menjadi hama tanaman. Tangkasi (Tarsius sp.), si primata terkecil di dunia yang juga ditemukan di Kalimantan dan Filipina. Kemudian berbagai spesies monyet khas Asia, seperti Yaki (Macaca nigra) si monyet hitam berjambul dari Sulawesi Utara, Andoke (Macaca ochreata brunnescens) si monyet hitam ber-‘kaus tangan dan kaus kaki putih’ dari Muna-Buton, Dihe (Macaca nigra nigrescens), si monyet Gorontalo. Setiap bagian wilayah Sulawesi memiliki jenisjenis monyet endemik. Uniknya, penyebaran jenis-jenis monyet 143«


Melindungi Satwa Nusantara

tersebut tidak saling tumpang tindih, artinya penyebaranya terpisah (alopatrik), tidak bercampur (simpatrik). Misalnya di Pulau Buton dan Muna tidak akan ditemukan Yaki, melainkan Andoke. Sebaliknya di Sulawesi Utara tidak ditemukan Andoke, melainkan Yaki. Selain satwa khas Asia, di Pulau ini ditemukan satwa khas Australia seperti Kuskus (Ailurops ursinus). Kukus termasuk binatang Marsupialia (Mamalia yang memiliki kantung di perutnya). Induk betinanya membesarkan bayinya dalam kantung tersebut. Satwa ini masuk satu ordo dengan Wallabi yang terdapat di Papua dan Kanguru di Australia. Kemudian Burung Maleo (Macrocephalon maleo), burung asli Australia yang berbulu hitam bercampur putih. Di Sulawesi juga ditemukan Burung Gosong Filipina (Megapodius cumingii.). Kedua burung tersebut memiliki ukuran dan bentuk tubuh seperti ayam, dan lebih banyak berjalan di tanah daripada terbang, keduanya juga memiliki kebiasaan bertelur dan penetasan telur yang unik. Di Sulawesi juga ditemukan berbagai satwa yang tidak ditemukan di wilayah lain baik di Benua Asia maupun Australia, ataupun pulau-pulau lain selain Sulawesi, contohnya adalah Anoa (Bubalus sp.), sapi hutan, atau kerbau kerdil (dwarf buffalos) yang merupakan mamalia terbesar dari hutan Sulawesi. Babi rusa (Babyroussa babyrussa) yang memiliki taring atas yang tumbuh menembus moncongnya kemudian melengkung kebelakang ke arah mata. Babi berkutil Sulawesi (Sus celebensis) yang memiliki tonjolan di dekat hidungnya. Walaupun tidak sekaya pulau-pulau besar disekitarnya, Sulawesi dikenal sebagai Pulau yang kaya satwa endemik. Dari 328 jenis burung di Sulawesi, 88 atau 27 % hanya ada di Sulawesi saja. Demikian pula dari 127 jenis mamalia yang ada di Sulawesi, 79 atau 62% diantaranya merupakan spesies endemik.

Âť144

Melindungi Satwa Nusantara

Kawasan Wallacea Istilah Kawasan Wallacea atau sering pula disebut sebagai Bioregion Wallacea pertama dipergunakan oleh Dickersen dkk (1928) untuk menunjuk kawasan yang terdiri dari Filipina, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara. Sejak itu istilah ‘Kawasan Wallacea’ dipakai oleh ahli biografi dan zoologi secara luas, walau kebanyakan ahli tidak memasukkan Filipina di kawasan ini. Bagi masyarakat awam, nama Wallacea mungkin baru dikenal luas setelah namanya diabadikan menjadi nama sebuah lembaga, yaitu Yayasan Pengembangan Wallacea yang didirikan oleh Pak Habibie bersama mendiang Pak Ibnu Sutowo pada tahun 1992. Setelah itu begitu banyak lembaga konservasi di Kawasan Timur Indonesia yang menggunakan nama Wallacea. Pada tahun 1995, Yayasan Pengembangan Wallacea memfasilitasi serangkaian survei potensi daratan dan lautan di Kabupaten Buton bersama beberapa lembaga dari Inggris. Proyek penelitian tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Operation Wallacea. Nama proyek tersebut kemudian diadopsi oleh sebuah lembaga yang berbasis di Inggris (Eco-Survey Ltd.), sehingga kini Operation Wallacea lebih dikenal sebagai nama sebuah lembaga yang memfasilitasi kegiatan ekspedisi ilmiah di Hutan Lambusango dan Kepulauan Wakatobi. Bagi masyarakat umum, nama Wallacea kebanyakan hanya dikenal dalam pelajaran geografi. Berbeda dengan koleganya, yaitu Charles Darwin yang begitu dikenal oleh masyarakat berkat teori evolusinya yang fenomenal dan sekaligus kontroversial tersebut. Saking terkenalnya, nama Darwin telah banyak diadopsi menjadi nama orang Indonesia. Darwin adalah sahabat Wallacea, ilmuwan Inggris yang hidup dalam kurun waktu yang sama. Keduanya menemukan teorinya setelah melakukan perjalanan menjelejahi dunia, Darwin antara lain ke kepulauan Galapagos (Amerika Selatan), sedangkan Wallacea ke kepulauan Nusantara. 145ÂŤ


Berbeda dengan Darwin yang berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga kaya, Wallacea telah putus sekolah pada usia belia (14 tahun, 1837). Wallacea adalah naturalis otodidak, pengalamannya keliling dunia--mengumpulkan spesimen florafauna untuk dijual sebagai koleksi museum--telah menempa dirinya menjadi seorang naturalis handal. Kesaksian Wallacea terhadap kondisi flora-fauna Sulawesi telah mendorong Darwin untuk menuliskan teori evolusinya. Berkat teori evolusi tersebut, nama Charles Darwin begitu dikenal dunia. Bahkan sebagai ilmuwan nama Darwin, kurang lebih sejajar dengan Albert Einstein. Pada tahun 1850-an, Wallacea menjelajahi Sarawak dan Indonesia. Dalam kurun waktu 8 tahun, ia melakukan perjalanan sepanjang 22.000 km (dari Sumatra hingga Papua) dan berhasil mendokumentasikan ribuan jenis flora dan fauna. Saat menginjakkan kakinya di Sulawesi, Wallacea begitu tercengang melihat jenis-jenis burung Sulawesi yang berbeda dengan Kalimantan, walau keduanya tidak dipisahkan oleh batas alam maupun perbedaan iklim yang berarti. Setelah tamat mengamati flora-fauna Sulawesi, pada tahun 1858, dari Ternate Wallacea melayangkan suratnya ke Darwin. Dalam suratnya ia menjelaskan bahwa kepulauan Nusantara dihuni oleh dua jenis fauna yang berbeda, satu berada di bagian barat dan lainnya di sebelah timur. Wallacea menentukan batas antara kedua wilayah tersebut dengan menarik garis antara Pulau Lombok dan Bali dan antara Kalimantan dan Sulawesi. Wallacea berpendapat bahwa Kalimantan, bersama dengan Jawa dan Sumatera dulunya merupakan bagian dari daratan Asia. Sedangkan Timor, Maluku, Papua dan Sulawesi berasal dari benua Australia, sebuah konsep yang akhirnya dibuktikan kebenarannya secara geologis. Memahami bahwa fauna Sulawesi begitu khas, kemudian Wallacea menyempurnakan teorinya, yaitu bahwa Sulawesi merupakan bagian benua Asia maupun Australia dan kemudian Âť146

Melindungi Satwa Nusantara

Sumber: Robin Sprigett

Melindungi Satwa Nusantara

Gambar 10. Batas Kawasan Wallacea.

terpisah dalam waktu jutaan tahun sehingga fauna Sulawesi memiliki keunikan yang tinggi. Hipotesa ini kemudian menjadi kajian geologi yang menarik, yang lagi-lagi kemudian terbukti bahwa Pulau Sulawesi memang terbentuk oleh proses geologi yang kompleks dan merupakan campuran dari dua bagian benua (Asia dan Australo-Papua). Wallacea kemudian menarik garis batas imajiner dari mulai Filipina Timur, melalui selat Makassar dan kemudian antara Bali dan Lombok, garis inilah yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallacea. Lydekker kemudian melengkapi Garis Wallacea yang berada di sebelah barat dengan garis batas imaginer di sebelah timur yang memisahkan florafauna Australo-Papua dengan flora-fauna Kawasan Wallacea. Garis Wallacea didefinisikan sebagai garis imajiner dari arah timur laut ke barat daya, mengikuti kontur Dangkalan Sunda di sepanjang bagian timur Pulau Kalimantan dan Bali. Garis ini menandai peralihan antara flora-fauna Asia (Oriental) yang kaya di sebelah barat dengan flora-fauna Kawasan Wallacea yang relatif miskin di sebelah timur. Batas timur Kawasan Wallacea mengikuti garis kontur sisi barat laut Dangkalan Sahul, sehingga memisahkan flora-fauna kawasan Australo-Papua yang relatif kaya di sebelah timur dengan Kawasan Wallacea di sebelah barat. Kawasan Wallacea di sebelah utara berbatasan dengan Filipina, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. 147ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Dengan demikian, Kawasan Wallacea meliputi ribuan pulau yang terletak di antara Kawasan Oriental dan Australia. Pulau-pulau ini dikelompokkan menjadi tiga sub-kawasan: (a) Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya, termasuk Pulau Buton, Muna, Kabaena, Kepulauan Tukangbesi, Banggai, Togean, Sulu, Talaud, Nemusa dan Sangihe; (b) Kepulauan Maluku dan (c) Kepulauan Nusa Tenggara.

Melindungi Satwa Nusantara

Sulawesi. Conservation International memasukan Pulau Buton sebagai wilayah potensial perlindungan Kawasan Wallacea (Wallacea Hotspot).

Pulau Buton, sebagai salah satu pulau satelit Sulawesi, memiliki kondisi keragaman hayati yang bersesuaian dengan Pulau Sulawesi besar. Berbeda dengan Pulau Sulawesi besar yang telah kehilangan sekitar 30 % dari hutan-hutan alamnya, hingga saat ini Pulau Buton masih memiliki hutan alam yang masih utuh. Letak pulau Buton yang relatif terisolasi, topografi Pulau Buton yang bergelombang dan kurang melimpahnya kayu komersial telah membuat hutan-hutan alam di wilayah ini masih terjaga dengan baik hingga saat ini. Kondisi ini telah menjadi rahmat tersendiri bagi Pulau Buton. Wilayah ini belum tersentuh oleh deru buldozer HPH yang menjadi ‘momok’ terganas kerusakan hutan alam. Kegiatan konversi hutan alam macam Hutan Tanaman Industri (HTI) ataupun perkebunan kelapa sawit juga belum (sempat) menyentuh hutan alam. Walau Pulau Buton dikenal sebagai Pulau Asphalt, kegiatan eksploitasi asphalt yang telah dimulai sejak tahun 1938, hingga saat ini belum (banyak) merambah kawasan hutan negara. Memperhatikan kondisi hutan alam Pulau Buton yang relatif masih baik, The Nature Conservancy dalam Sulawesi Ecoregion Conservation Assessment-nya (Desember, 2005), memetakan 80 % kawasan Pulau Buton menjadi kawasan perlindungan bentang lahan (landscape). Birdlife International memasukan Pulau Buton sebagai kawasan perlindungan burung-burung endemik

»148

Foto: Milsom

Hutan Lambusango sebagai pusaka dunia

Gambar 11. Pesona air terjun yang bisa ditemui di dalam kawasan Hutan Lambusango.

Hutan Lambusango (65.000 ha) merupakan ekosistem hutan terbaik di Pulau Buton. Selama 10 tahun terakhir, Operation Wallacea menemukan 21 spesies vertebrata baru, yaitu 4 ikan, 11 reptil dan amphibi, 2 mamalia kecil, 3 kelelawar dan 1 primata. Hutan Lambusango merupakan benteng terakhir perlindungan Anoa (Bubalus sp.). Anoa merupakan satwa kebanggaan (flagship species) Propinsi Sulawesi Tenggara. Lambang Propinsi ini berbentuk segilima yang ditengahnya terdapat kepala Anoa. Anoa memang layak dijadikan satwa kebangaan, karena carácter satwa ini karismatis (berukuran besar dan mudah diingat), langka dan endemik. Sejak dulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, khususnya Pulau Buton, juga sering disebut sebagai ‘Bumi Anoa’. Saat ini jumlah populasi Anoa di Pulau Sulawesi diperkirakan sebanyak 300 ekor, dimana sekitar 100 150 ekor berada di Hutan Lambusango. Secara internasional, Anoa oleh The World Conservation Union (IUCN) dimasukkan dalam 149«


Melindungi Satwa Nusantara

Red Data Book sebagai spesies terancam punah (endangered). Dalam aturan perdagangan flora-fauna internasional, Anoa telah dimasukan dalam Apendix 1 CITES, artinya Anoa termasuk satwa yang tidak boleh diperdagangkan.

Melindungi Satwa Nusantara

yang masih tersisa di negeri ini. Melestarikan Hutan Lambusango berarti menjaga kelestarian lingkungan alam Pulau Buton, sekaligus menjaga warisan alam Sulawesi dan Kawasan Wallacea yang telah menjadi milik dan kebanggaan dunia ! ***

Gambar 12. Kadalan Sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus), salah satu burung endemik Sulawesi Tenggara.

Selain itu Hutan Lambusango juga menjadi surga burung dilindungi Sulawesi, ada 12 jenis burung yang masuk kategori terancam (menurut IUCN) berumah di hutan ini. Hutan Lambusango juga menjadi perlindungan terakhir berbagai jenis katak dan amphibi Kawasan Wallacea yang terancam punah, selain tentunya juga Monyet Buton (Macaca brunnescens), primata endemik yang hanya ditemukan di Pulau Muna dan Pulau Buton saja. Dari uraian di atas, terjawab sudah, alasan mengapa Hutan Lambusango sering disebut sebagai pewakil ekosistem hutan di Kawasan Wallacea, dan mengapa hutan ini perlu kita jaga bersama kelestariannya. Berbanggalah masyarakat Buton yang masih memiliki hutan alam terbaik diantara sedikit hutan alam Âť150

151ÂŤ


4 Meneladani Keutamaan Burung Halo

M

asyarakat Sulawesi Tenggara (khususnya Buton) menyebut Burung Halo, orang Sulawesi Utara menyebut Burung Tahun/Taong, orang kebanyakan menyebut Burung Rangkong, peneliti burung menyebut Julang Sulawesi (Aceros cassidix), sedangkan pengamat burung asing menyebut red-knobbed hornbill yang artinya burung berparuh tanduk (hornbill) dan berjendul merah (red-knobbed). Di hutan-hutan Sulawesi, burung ini begitu mudah dilihat, karena tubuhnya besar (beratnya sekitar 2,5 kg), panjang tubuh dan bentangan kedua sayapnya lebih dari satu meter, bulunya indah, kepak sayapnya menimbulkan suara seperti helikopter. Burung Rangkong termasuk burung yang suka bersuara (vocal), suaranya begitu jelas dan mirip suara anjing (kwok-kwok, kwokkwok ‌). Burung jantan berjendul merah, dengan bulu leher berwarna kuning, sedangkan betinanya berjendul kuning (dengan ukuran yang lebih kecil) dengan bulu leher berwarna hitam. Baik jantan maupun betina memiliki gelambir warna biru yang berada dibawah paruhnya (periksa Gambar). Gelambir ini berfungsi sebagai kantong penyimpan buah. Ukuran tubuh jantan sedikit lebih besar daripada betina. Burung Julang Sulawesi termasuk keluarga Rangkong (Bucerotidae) yang memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar dibandingkan rata-rata rangkong di Asia dan Afrika. 153


Melindungi Satwa Nusantara

Melindungi Satwa Nusantara

Keberadaan burung ini sangat penting dalam membantu rehabilitasi hutan dan lahan. Sebagai burung pemakan buah, Burung Halo mampu membawa buah yang telah masak sampai 10 persen dari berat tubuhnya. Buah yang dikonsumsi berasal dari berbagai jenis pohon ara (beringin, Ficus spp). Ada lebih dari 30 jenis pohon ara yang menjadi sumber pakannya. Dalam perjalanan mengarungi rimbunnya tajuk hutan, buah yang tersimpan di paruhnya yang panjang terkadang jatuh. Buah yang telah diseleksi dengan baik ini kemudian secara mudah akan

Foto: www.opwall.com (inzet: Singer 2005)

Gambar 13. Dua burung halo jantan sedang berusaha menyuapi anaknya lewat lubang kecil sarangnya yang terletak pada batang tinggi sebuah pohon.

Âť154

bersemai menjadi tanaman baru, sehingga burung ini secara alami memiliki niche (peran) sebagai penyebar biji. Melalui mekanisme seperti ini, hutan-hutan tropis di Indonesia mampu ’menyembuhkan’ dirinya dari berbagai kerusakan. Karena peran ekologisnya serta penyebarannya yang terbatas, burung ini termasuk satwa yang dilindungi. Jumlahnya di hutan-hutan Sulawesi masih cukup banyak, karena burung ini tidak dianggap sebagai hama oleh petani.

Sumber: www.nationalgeographic.com

Foto: Kinnaird

Di dunia kini tercatat 57 spesies rangkong, burung ini juga tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Namun demikian, Burung Rangkong dengan ciri fisik (morfologi) sebagaimana disebutkan, merupakan jenis yang hanya ditemukan di Pulau Sulawesi dan sekitarnya. Karena itu Burung ini (selanjutnya disebut dengan Burung Halo) merupakan spesies endemik Sulawesi.

Gambar 14. Buah Ara (ficus sp). Inzet, Burung Halo sebagai agen penyebaran biji pohon ara, sedang menggigit buahnya.

Keutamaan Burung Halo Burung Halo merupakan satwa monogami, burung dewasa yang telah memiliki pasangan, kemanapun selalu berdua, semua kegiatan dilakukan dengan penuh kerja sama, gotong-royong dan kasih sayang. Kerjasama dan komitmen yang tinggi antara si jantan dan si betina, nampak begitu jelas saat si betina mengerami dan menetaskan telur serta membesarkan anaknya di dalam sarang. 155ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Melindungi Satwa Nusantara

Setelah kawin dan saatnya menetaskan telur, pasangan Burung Halo memilih lubang pohon yang sesuai untuk sarangnya. Setelah lubang yang sesuai ditemukan, kemudian si betina masuk, dan si jantan menutup sarang dari luar dengan lumpur. Si betina kemudian memperkuat sarangnya dari dalam dengan mengunakan kotorannya, sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan lubang kecil, tempat si jantan menyuapkan makanan kepada si betina dan anaknya. Burung Halo betina biasanya mulai bersarang sekitar bulan Juni, jumlah telurnya maksimum dua buah, namun yang menetas biasanya hanya satu. Selama tiga bulan, si betina mengurung diri di dalam sarang, selama itu pula, si jantan setia menunggui sarang dan memenuhi kebutuhan pasangannya. Setiap hari, si jantan mengumpulkan buah yang disimpan di dalam gelambir leher dan paruhnya yang panjang. Setelah sampai di sarang, melalui lubang kecil, satu demi satu biji tersebut dikeluarkan dari gelambirnya, kemudian dengan penuh kasih sayang disuapkan ke paruh betinanya.

Saat telur yang dierami betina telah menetas, si jantan semakin getol mencari makan, ia mengumpulkan buah-buah pohon ara terbaik dengan ukuran yang sesuai dengan paruh sang anak yang masih kecil. Berdasarkan penelitian radiotelemetri, daya jelajah terbang Burung Halo jantan dalam pencarian buah bisa mencapai 37 km per hari (Kinnaird, 1995). Setelah mengumpulkan buah seharian, kemudian selama berjamjam si jantan mesti menyuapkan buah yang ada di paruhnya ke betinanya, kemudian si betina berganti menyuapkan ke paruh anaknya. Rata-rata si jantan mampu mengumpulkan 270 buah ara dalam satu hari. Setelah si anak berumur 50-60 hari, si betina dan anaknya keluar dari sarang, namun kondisinya masih lemah, sehingga belum mampu mencari makan. Dalam kondisi ini, si jantan dengan setia terus memenuhi kewajibannya sebagai seorang ’ayah’ yang baik dan bertanggung jawab. Setelah 20 hari keluar dari sarang, si betina biasanya telah kuat mencari makan, dan pasangan ini secara bersama mencari makan untuk anaknya.

Foto: Grimwood 2005

Kerusakan Alam

Gambar 15. Sepasang Burung Halo, jantan sebelah kiri. Burung Halo dikenal monogami sepanjang hidupnya.

»156

Kesetiaan dan komitmen Burung Halo dalam membangun ikatan ’rumah-tangga’ yang penuh tanggung jawab, kasih sayang, kesetiaan, dan keharmonisan begitu menakjubkan! Mereka begitu sadar akan hak dan kewajiban sebagai seorang ’istri’ dan ’suami’ yang baik, mereka memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi untuk membangun generasi penerus dengan penuh kasih. Sebuah contoh kehidupan keluarga yang begitu sempurna dan seharusnya menjadi cermin kita bersama. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna harus belajar membaca berbagai fenomena kehidupan alam, yang sebetulnya secara khusus diciptakan oleh Sang Khalik untuk dipelajari dan diamalkan dalam hidup keseharian. Alam merupakan perwujudan dari keagungan Sang Pencipta, sumber ilmu dan daya hidup yang harus senantiasa kita jaga. Karenanya, 157«


Melindungi Satwa Nusantara

manusia diperintahkan untuk melestarikan alam, bahkan manusia memiliki tugas khusus sebagai khalifatullah (wakil Allah) yang ditugasi untuk mengurus bumi. Sebagai khalifatullah, manusia bertanggung jawab untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian lingkungan hidupnya, termasuk eksistensi dan keharmonisan mahluk lain di luar dirinya. Sayangnya manusia selalu suka berbuat kerusakan. Hutan tropis Indonesia yang memiliki keragaman hayati yang sangat tinggi terus dihancurkan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, tanpa ada suatu kekuatanpun yang cukup berarti untuk mengendalikan kerusakan yang terjadi. Ironisnya, hal itu semua dilakukan hanya untuk mengambil kayu yang nilainya hanya sebesar 5 persen dari total nilai instrinsik kekayaan hayati ekosistem sumberdaya hutan. Keserakahan manusia Indonesia dalam menghancurkan hutan telah mampu merubah ranah kehidupan alam secara menyeluruh dalam waktu yang relatif sangat cepat. Hanya dalam hitungan puluhan tahun, Indonesia telah berubah dari sebuah negeri yang memiliki keindahan alam, keharmonisan lingkungan dan kekayaan bumi dan laut yang luar biasa, menjadi sebuah negeri yang alamnya amburadul. Hutannya hancur, tanahnya gersang, sungainya mendangkal, karang lautnya rusak dan perairannya tercemar. Dari negeri yang gemah, ripah loh jinawi, yang artinya subur, makmur dan penuh kedamaian, menjadi negeri yang penuh bencana dan kekacauan sosial. Kondisi alam di wilayah beriklim tropis, sebagaimana di Indonesia memang dikenal sangat perkasa namun sekaligus rapuh dan mudah rusak. Dalam kondisi tidak terganggu, alam tropika memang begitu kaya, perkasa, indah dan nyaman, namun begitu keseimbangan ekosistemnya terganggu, degradasi lingkungan berlangsung dengan laju yang amat cepat. Rupanya hal tersebut juga berlaku pada manusia yang hidup di dalamya, masyarakat tradisional di Indonesia yang kehidupannya masih ditunjang oleh sumberdaya alam yang Âť158

Melindungi Satwa Nusantara

melimpah dikenal sebagai masyarakat yang santun, ramah-tamah, memiliki kearifan lokal yang tinggi dan cinta kedamaian. Namun begitu alamnya rusak, sumberdaya alamnya hancur, kemudian secara gencar diserbu oleh budaya materialisme, maka manusia Indonesiapun dengan cepat berubah menjadi manusia yang tidak peduli, perusak, brutal, menyukai jalan pintas dan bergelimang kekerasan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perubahan kondisi alam (baca: kerusakan alam) akan diikuti oleh perubahan budaya masyarakat yang hidup di dalamnya. Karena pada dasarnya terjadi hubungan fungsional yang begitu erat antara manusia dan lingkungannya. Kita begitu mudah melihat bagaimana perbedaan perilaku antara masyarakat pesisir dan masyarakat pedalaman, antara masyarakat desa dan perkotaan dan sebagainya. Perilaku sosial sebuah masyarakat selalu dikontrol oleh kondisi alamnya. Yang paling menonjol dari perubahan perilaku manusia Indonesia saat ini adalah semakin tingginya kekerasan dalam keluarga. Masyarakat Indonesia yang religius umumnya menjunjung tinggi, bahkan mensakralkan lembaga perkawinan. Membangun keluarga merupakan fitrah manusia, setiap manusia tentu mendambakan kehidupan keluarga yang bahagia lahir dan batin. Ironisnya, kehidupan rumah tangga yang seharusnya menjadi sebuah oasis kehidupan, kini sering justru menjadi wahana kekerasan. Hampir setiap hari kita mendengar banyaknya suami yang tega menyiksa istrinya, bahkan membakar atau membunuhnya. Beberapa bulan yang lalu, berbagai media masa ramai memberitakan operasi bedah wajah (face-off) dari seorang ibu rumah tangga, yang konon wajahnya disiram air keras oleh suaminya sendiri. Semakin sering terdengar, adanya istri-istri yang tega membunuh suami, bahkan anak-anak kadungnya sendiri. Ayah yang tega membunuh atau meperkosa anak kandungnya 159ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

sendiri. Peribahasa yang menyebut bahwa ’segalak-galaknya harimau tak akan memakan anaknya sendiri’ rupanya sudah tidak berlaku lagi. Kekerasan terhadap anak-anak dibawah umur semakin meningkat. Orangtua yang seharusnya mencintai, menyayangi dan melindungi anaknya, sering justru menjadi monster bagi anak-anaknya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat anak-anak mendapatkan perlindungan, justru menjadi tempat terjadinya tindakan kekerasan. Orangtua sering menjadikan anak sebagai sumber penghidupan, mereka dipaksa untuk berkeliaran sebagai pengemis atau pekerja keras jalanan. Sungguh sangat kontras dengan perilaku Burung Halo yang penuh kasih dan tanggung jawab dalam membangun keluarganya. Saatnya bagi manusia untuk back to basics, kembali mencermati dan belajar dari kearifan alam. Saatnya untuk bercermin dari kehidupan Burung Halo, saatnya untuk malu terhadap perilaku satwa. Kalau Burung Halo saja mampu menunjukan rasa tanggung-jawab dan kasih sayang kepada pasangan hidup dan anak-anaknya, kenapa manusia justru semakin menyukai kekerasan pada pasangan hidup dan darah dagingnya sendiri? ***

Âť160

5 Menyayangi Burung di Alam Bebas

B

urung merupakan kelompok vertebrata (hewan bertulang belakang) yang paling sukses penyebarannya di muka bumi. Hampir tidak ada habitat di muka bumi ini yang tidak dihuni oleh burung, bahkan di kutub utara dan selatanpun dihuni oleh berbagai ragam burung. Burung juga merupakan satwa yang memiliki kemampuan survival (mempertahankan hidup) yang tinggi terhadap kondisi habitat yang mengalami kerusakan. Apabila kebanyakan satwa begitu terancam keberadaannya oleh semakin rusaknya hutan, beberapa burung masih mampu bertahan, bahkan ada beberapa jenis burung yang lebih menyukai kondisi hutan yang terbuka. Karena luasnya penyebaran dan mudahnya burung diamati oleh indra manusia, maka burung merupakan satu-satunya jenis satwa yang paling dekat dalam kehidupan manusia. Sejak dulu kala, manusia begitu mengagumi keindahan maupun keperkasaannya. Sejak dulu, manusia begitu terobsesi untuk dapat terbang seperti burung. Dalam mitologi Yunani, dikenal nama Ikarus yang memiliki obsesi untuk menjadi manusia terbang, keinginannya untuk bisa terbang kemudian terlaksana setelah merubah kedua belah tangannya menjadi sayap dengan merekatkan ribuan bulu burung. Ambisi Ikarus untuk terbang menggapai matahari, akhirnya gagal, karena perekat bulubulunya kemudian meleleh, dan bulu-bulunya rontok oleh panasnya matahari. 161ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Dalam Agama Hindu, kita mengenal Batara Wisnu yang menggunakan burung garuda sebagai tunggangannya. Dalam dunia pewayangan, kita mengenal Raden Gatotkaca, putra Bima, yang merupakan manusia super, ia dikenal memiliki otot kawat, balung (tulang) besi, bisa menjelajah dirgantara. Manusia super sejak dulu selalu digambarkan sebagai manusia yang bisa terbang, seperti Si Kera Sakti murid Biksu Tong San Chong dalam cerita klasik China, Perjalan Ke Barat. Berbagai cerita fiksi modern, hingga saat ini, tetap mempertahankan citra manusia terbang sebagai simbol manusia super, seperti cerita Batman atau Superman. Burung juga sering dipersonifikasikan sebagai lambang keberanian, kebenaran dan simbol perdamaian. Ungkapan Bahasa Inggris menyebut, ’Eagle flies alone’, burung elang selalu terbang sendiri. Kata bijak ini ditujukan kepada para cendekiawan atau kesatria yang wajib menegakkan kebenaran, walau mereka harus berjalan sendirian (tidak mendapat dukungan atau legitimasi politik) sebagaimana burung elang yang tidak gentar menghadapi segala masalah sendirian. Sebaliknya, manusia yang tidak berani mengambil sikap, suka mencari aman, dan tidak berani mengambil resiko, sering dianalogikan dengan bebek (itik), yang selalu mengekor. Dalam kisah Ramayana, kita mengenal Jathayu, burung berbadan besar yang bernyali menghalangi keangkara-murkaan Rahwana. Jathayu berusaha untuk merebut Sinta (istri Sri Rama) yang sedang diculik Rahwana dari Hutan Dandaka. Kisah pertempuran Jathayu dan Rahwana dalam memperebutkan Sinta begitu legendaris sehingga telah menginspirasi pelukis naturalis Indonesia, Basuki Abdullah, untuk menuangkan dalam kanvasnya. Dalam kisah Ramayana, kita juga mengenal Sempati, burung sakti yang terluka parah, karena dihajar oleh Rahwana, air mata kenestapaan yang menetes dari Sempati dikisahkan mampu menyembuhkan kebutaan Sang Hanoman (panglima perang Sri Rama) dan pasukannya yang telah dibuat buta oleh kaki tangan Rahwana. »162

Melindungi Satwa Nusantara

Kekaguman manusia terhadap burung nampaknya tidak pernah lekang sepanjang jaman. Beberapa negara, termasuk Indonesia menggunakan burung sebagai lambang negaranya. Singkatnya, burung merupakan satwa yang begitu dekat dan begitu banyak mewarnai hidup dan kehidupan manusia. *** Burung dalam kosa kata Jawa lama (kawi) disebut sebagai ’kukila’. Sampai pertengahan abad ke-20, seorang laki-laki Jawa baru dianggap menjadi ’orang’, apabila telah memiliki tiga hal, yaitu garwa (istri), turangga (kuda, kendaraan) dan kukila (burung). Orang Jawa memandang burung sebagai klangenan, artinya hiburan dan pengisi kegiatan dikala sedang bersantai di rumah. Mereka begitu terpesona dengan keindahan burung, kelincahan dan kicaunya yang ramai dan menyejukan hati. Suasana sebuah rumah Jawa belum lengkap apabila belum dihiasi oleh kicau dan suara burung. Suasana rumah nampak teduh, anggun dan penuh kedamaian, apabila keheningan yang tercipta kemudian dibelah oleh suara burung perkutut yang merdu. Kegemaran memelihara burung ternyata tidak surut seiring dengan perubahan jaman. Dengan semakin tingginya ragam hiburan elektronik yang sampai di kamar-kamar tidur macam televisi, video dan berbagai macam game. Dengan semakin tingginya kesibukan di rumah dan padatnya kegiatan di tempat kerja, ternyata juga tidak membuat orang malas memelihara burung yang sebetulnya cukup merepotkan, karena si empunya harus menyediakan pakan, membersihkan sangkar dan memandikan burung piaraanya secara rutin. Bahkan orang tidak segan-segan mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan burung yang diinginkan, atau sekedar mengikuti kontes kicau burung. Kegemaran memelihara burung dalam sangkar, tentunya bukan hanya monopoli masyarakat Jawa, namun hampir meliputi seluruh etnis di Indonesia. Memelihara burung di rumah kini 163«


Melindungi Satwa Nusantara

Melindungi Satwa Nusantara

*** Âť164

Foto: Opwall

Sebagaimana kita, orang Barat (’bule’) juga suka burung. Para penggemar burung dari Barat juga melihat burung sebagai satwa yang sangat indah, Birds are sexy animals. Namun bule penggemar burung umumnya tidak tertarik untuk mengamati burung di dalam sangkar (cagebird), mereka hanya menyukai kegiatan pengamatan burung di alam dimana burung tersebut hidup. Bagi orang Barat, memelihara burung dalam sangkar dianggap telah merampas kebebasan hak hidup burung. Sebagaimana sesama makhluk hidup, burung memiliki kebebasan yang sama dengan manusia. Di Barat burung dikenal sebagai satwa yang begitu akrab dengan manusia. Burung-burung dengan santainya termenung di kolam sekitar rumah, tanpa merasa terganggu oleh lalu-lalang manusia. Burung begitu biasa berdekatan dengan manusia tanpa takut terancam untuk ditangkap dan disakiti. Sebaliknya, di negeri ini, barung yang sedang asyik mencari pakan, langsung bubar begitu melihat kehadiran manusia. Menangkap, menyakiti atau membunuh burung merupakan kegiatan yang biadab. Bule pengamat burung (bird-watcher) apabila hendak menikmati keindahan burung tidak pergi ke kebun binatang atau membeli burung di pasar, melainkan langsung ke hutan. Setelah puas mengamati burung dengan menggunakan teropong

Foto: Opwall

bahkan bukan sekedar kegemaran, namun telah menjadi simbol status sosial masyarakat. Yang dipelihara bukan hanya burung ocehan, melainkan juga burung-burung langka. Semakin langka suatu burung, semakin tinggi status sosial pemiliknya. Burung langka yang telah dilindungi oleh hukum konservasi, bahkan bukan sekedar menjadi komoditas, melainkan juga banyak dijadikan cindera mata bagi para pejabat yang purna tugas dari wilayah Indonesia bagian Timur. Tingginya permintaan terhadap burung tercermin dari semakin maraknya pasar burung. Hampir setiap kota di Jawa memiliki pasar burung yang selalu ramai dikunjungi. Pasar Pramuka di Jakarta merupakan pasar burung terbesar di Asia Tenggara. Berbagai jenis burung dilindungi dari berbagai pelosok hutan di Indonesia, dengan mudah dapat dipesan di pasar ini. Bisnis perdagangan burung, telah menjadi bisnis dengan omset yang sangat besar. Burung-burung paruh bengkok macam nuri, kakatua, juga Cenderawasih dari Indonesia Timur biasanya dibawa ke Menado, kemudian dari Menado dikirim ke Jawa. Demikian pula burung dari Sumatera dikirim ke Lampung, kemudian dari Lampung dibawa ke Jawa. Sebagaian dari burung-burung itu juga diperdagangkan ke luar negeri. Yang memprihatinkan, seluruh permintaan burung tersebut langsung diambil dari alam. Dampaknya populasi burung di alam terus menyusut drastis selama 20 tahun terakhir. Di kepulauan Wakatobi misalnya, yang dulunya dikenal sebagai surga burung nuri dan kakatua, kini burung-burung tersebut sulit ditemukan. Kondisi yang sama juga terjadi di berbagai wilayah di Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya. Hutan-hutan yang dulunya ramai dihiasi oleh suara burung kini menjadi sunyi, kosong dan hampa. Dampaknya, kerusakan hutan semakin sulit dipulihkan secara alami, karena merosotnya jumlah burung yang merupakan agen penyebar biji.

Gambar 16. Dua alat pengamatan burung yang umum dipakai (a. Binokuler, b. Teleskop).

165ÂŤ


Melindungi Satwa Nusantara

Melindungi Satwa Nusantara

(binocular), mereka biasanya terus mencatat morfologi burung yang baru diamati, khususnya apabila burung tersebut merupakan jenis burung yang baru pertama kali diamati. Merupakan sebuah kebanggaan bagi bird watcher apabila mereka dapat mengamati semakin banyak jenis burung secara langsung di habitat aslinya. Di Indonesia, kegiatan mengamati burung di alam masih

tidak mengganggu populasi burung di alam yang sebagian besar kini sudah menjadi sangat langka dan telah dilindungi oleh undang-undang. Menjadi bird watcher juga merupakan life style yang sehat, karena kegiatan mengamati burung dilakukan dengan berjalan kaki, terkadang berlari kecil dan mengendap-endap. Kegiatan pengamatan burung juga harus dilakukan di pagi hari (saat burung memulai aktifitas) dimana udara masih bersih dan segar. Kitapun tidak perlu repot-repot merogoh kocek untuk membeli burung yang semakin mahal, membuatkan sangkar, memelihara dan memberi pakan. Dan yang lebih penting, adalah memelihara kelestarian alam dan memberi kebebasan burung untuk hidup di alam secara bebas merdeka !

Foto: Latif 2006

***

Gambar 17. Seorang mahasiswa asing sedang asyik mengamati burung.

sangat langka dibandingkan kegiatan kontes burung. Masyarakat Indonesia lebih mengenal perlombaan adu suara burung perkutut dan murai dibandingkan dengan lomba mengamati burung di alam. Sungguh patut disyukuri, bahwa saat ini, walau masih terbatas, kegiatan pengamatan burung di alam sudah mulai tumbuh. Beberapa klub pengamat burung mulai aktif. Setiap tahunnya para klub pengamat burung ini mengadakan acara bersama untuk mengadakan lomba mengamati burung (bird-race) di alam. Kegiatan semacam ini, tentu bisa menjadi sarana sosialisasi yang sangat efektif untuk merangsang minat masyarakat luas untuk menjadi pengamat burung langsung di habitatnya. Dengan mengamati burung secara langsung di alam, kita Âť166

167ÂŤ


Sumber: WWL edisi khusus 2006

4 MEMBANGUN EKOWISATA


1 Mengapa Banyak Bule Masuk Kampung Lambusango?

D

i salah satu stasiun layar kaca (Indosiar), sekitar awal hingga pertengahan tahun 2005 lalu, begitu nge-top-nya sinetron ‘Bule Masuk Kampung’. Begitu populernya di hati para pemirsa, setiap ada orang barat (kita sering menyebut bule, artinya orang kulit putih) lewat, kita secara spontan berbisik ‘eh itu ada bule masuk kampung’. Kehadiran bule biasanya begitu menyita perhatian kita, hal itu memang wajar, mengingat mereka secara fisik, budaya dan sosial berbeda dengan kita. Mereka sering kita anggap sebagai bangsa yang segalanya jauh lebih hebat dari kita, karena itu kita biasanya begitu senang dan ramah menerima kunjungan bule, bahkan anak kecilpun begitu tertarik dan kegirangan bila melihat bule melintas, dan selalu spontan berteriak memanggil ‘hei Mister, Mister’. Orang bule umumnya berasal dari negara yang lebih maju dari negeri kita, mereka selain memiliki standar pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, umumnya juga memiliki kocek yang jauh lebih tebal daripada kebanyakan kita, selain itu mereka memiliki kebiasaan berwisata secara rutin setiap tahunnya. Di Indonesia, Pulau Bali masih menjadi magnet utama yang menyedot kunjungan wisata para bule, walau selama satu dasa warsa terakhir, Pulau Buton dan Wakatobi telah menjadi magnet baru yang menarik kunjungan wisata bule. Ketenaran Pulau Buton di dunia internasional jelas tidak perlu diragukan, terpilihnya 171«


Kraton Buton sebagai penyelenggara seminar internasional pernaskahan kuno pada awal Agustus 2005 kemarin menunjukan bahwa budaya dan sejarah Kraton Buton begitu termasyur di dunia. Selain itu, (dan ini yang banyak kita lupakan), bahwa Buton juga memiliki warisan kekayaan dunia yang luar biasa (selain Kraton Buton), dan ini telah terbukti menarik kunjungan wisata bule dalam jumlah besar setiap tahunnya. Sayangnya hal ini belum banyak disadari (bahkan oleh kebanyakan warga Buton sendiri), yaitu bahwa kita dikaruniai Hutan Lambusango! Adalah Operation Wallacea Ltd, sebuah lembaga ekspedisi ilmiah dari Inggris yang didirikan dan dipimpin oleh Dr. Tim Coles, yang sejak tahun 1995 berhasil mengorganisasi kegiatan wisata ilmiah (mereka biasa menyebut dengan istilah ‘ekspedisi ilmiah’) di Hutan Lambusango dan Kepulauan Wakatobi. Dengan didukung oleh manajemen yang baik dan promosi gencar setiap tahunnya, bahkan hal ini dilakukan sendiri oleh Dr. Tim Coles secara door-to-door di hampir setiap Universitas di Inggris, Operation Wallacea Ltd telah mampu menarik ratusan mahasiswa dan peneliti bule setiap tahunnya untuk berwisata ilmiah sambil membuka berbagai ‘misteri’ keragaman hayati biologi Hutan Lambusango. Sebelum berbicara panjang lebar tentang Hutan Lambusango perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Lambusango (dalam tulisan ini sering disingkat HL), adalah bukan semata hutan yang berada di sekitar Desa Lambusango, melainkan merupakan ekosistem hutan alam tropis dataran rendah yang berada di Pulau Buton bagian selatan. Secara administratif wilayah ini berada di Kabupaten Buton (Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo). Berdasarkan statusnya dapat dibedakan menjadi tiga; (1) Suaka Margasatwa (SM) Lambusango (± 28.510 ha); (2) Cagar Alam (CA) Kakenauwe (± 810 ha). Keduanya saat ini berada dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan (Balai Konservasi Sumberdaya Hutan, Sulawesi Tenggara/BKSDA); (3) Kawasan »172

Membangun Ekowisata

hutan lindung dan produksi yang berada di sekitar kawasan konservasi (± 35.000 ha) yang dikelola oleh Pemerintah daerah Kabupaten Buton (Dinas Kehutanan Kabupaten Buton).

Sumber: PKHL 2005

Membangun Ekowisata

Gambar 18. Hutan Lambusango berada di jantung Pulau Buton.

Pertanyaannya, mengapa Operation Wallacea Ltd dan para bule itu begitu tertarik berwisata ilmiah di Hutan Lambusango? Mengapa mereka rela meluangkan waktu dan biaya yang tidak sedikit (ribuan dollar, pululan juta rupiah), serta melakukan perjalanan jauh (ribuhan kilometer) untuk berwisata ilmiah di HL? Perlu kita ketahui bahwa selama ini, kegiatan wisata ilmiah yang mampu menyedot bule dalam jumlah ratusan orang hanya semata dilakukan oleh Operation Wallacea Ltd, dan itu hanya terjadi di Hutan Lambusango dan Kepulauan Wakatobi. Padahal Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang begitu luas (sekitar 100 juta ha) dan kaya keragaman hayati. Lalu, mengapa para bule itu tidak memilih datang ke Sumatera, Kalimantan atau 173«


Papua, yang notabene hutannya tidak kalah bagus dan luas, tetapi mereka menentukan pilihannya di Hutan Lambusango. Nah ini dia .. 窶連da apa dengan Hutan Lambusango? Jawabannya antara lain diuraikan dibawah ini.

Hutan Lambusango memiliki keragaman hayati endemik yang tinggi Istilah keragaman hayati digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan; peran ekologis yang ditampilkan, dan keanekaragaman genetis yang dikandungnya. Keanekaragaman hayati membentuk dasar bagi kelangsungan semua kehidupan di bumi. Tumbuhan dan satwa yang berbeda menjalankan fungsi-fungsi ekologis yang sangat menentukan bagi kehidupan kita. Tumbuhan menyediakan makanan bagi kita, pepohonan menyediakan kayu untuk bangunan. Kemudian kulit kayu, daun, buah dan bunga dapat dimakan atau penting sebagai sumber bahan obat-obatan. Pohon yang tinggi memberikan naungan, makanan dan perlindungan bagi satwa, serta menopang rotan. Kelelawar buah (Ponisi) menyerbuki tanaman pangan seperti pisang, mangga dan pepaya yang menjadi sumber makanan. Kelelawar, ular dan katak memangsa nyamuk, dengan demikian mereka berperan mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Burung Halo dan Andoke memakan buah dan bijinya tersebar, sehingga dapat memperluas penyebaran pohonpohon yang bermanfaat bagi kehidupan. Hutan yang utuh mampu menyimpan air dan mengalirkannya secara menerus, sehingga diwaktu musim hujan tidak kebanjiran, sedangkan di musim kemarau tidak bingung kekurangan air. Hutan juga mencegah erosi dan tanah longsor, menyediakan habitat yang penting bagi hidupan liar, dan memberi kita udara yang bersih dan segar.

ツサ174

Membangun Ekowisata

Singkatnya, keragaman hayati menyediakan tumbuhan dan satwa yang beragam, dimana darinya kita dapat menuai berbagai manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Kondisi inilah yang selama ini menjamin lingkungan kehidupan kita terasa tetap aman, nyaman dan sejahtera.

Sumber: PKHL

Membangun Ekowisata

Gambar 19. Bentang lahan (lanskap) Lambusango dilihat dari Desa Wakangka, Kecamatan Kapontori.

Sedangkan yang dimaksud dengan keragaman hayati endemik adalah keragaman jenis tumbuhan dan satwa yang hanya dijumpai di wilayah tertentu saja. Misalnya, Gajah Sumatera hanya terdapat di Pulau Sumatera. Dengan demikian Gajah Sumatera (Elephas maximus) adalah satwa endemik hutan tropis di Sumatera, namun bukan satwa endemik hutan tropis di WayKambas (Lampung Timur), karena di hutan lain di Lampung Barat, Utara dan Selatan, bahkan di Provinsi Riau, dan Sumatera Utarapun dijumpai gajah dengan ciri biologis dan genetis yang sama. Dengan demikian dapat disebut bahwa Gajah Sumatera adalah satwa endemik Pulau Sumatera, namun bukan satwa endemik 175ツォ


Way-Kambas atau Riau. HL memiliki kekayaan satwa endemik Sulawesi, artinya sebagian besar satwa endemik (yang hanya dijumpai) Sulawesi dapat ditemukan di Hutan Lambusango. Lalu mengapa Pulau Sulawesi dikenal memiliki keragaman hayati endemik yang tinggi? Ceritanya menurut teori geologi, kira-kira 40 juta tahun silam, lempeng Benua Australia bergerak kearah utara kemudian menabrak lempeng Benua Asia dan menciptakan Sulawesi bagian timur. Sulawesi bagian timur ini kemudian bergerak kearah utara kemudian menabrak Sulawesi bagian barat dan mengawali penyatuan antara keduanya, konon hal ini terjadi sekitar 15 juta tahun yang lalu. Tabrakan tektonik ini menghasilkan bentuk Pulau Sulawesi sebagaimana kini, dengan puncak-puncak gunung disegala penjuru serta lembah-lembah yang dalam. Mengingat kedua bagian Sulawesi berasal dari benua yang berbeda, konsekuensinya, masing-masing bagian membawa campuran tumbuhan dan satwa yang berbeda. Dengan kata lain, tumbuhan dan satwa Pulau Sulawesi merupakan campuran dari dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia. Sebagaimana difahami bahwa Sulawesi merupakan pulau terbesar di Zona Wallacea. Yang dimaksud dengan Zona Wallacea adalah suatu wilayah peralihan (transisi) atara Benua Asia dan Australia. Disebut sebagai Wallaceae karena yang menemukan fenomena peralihan tersebut adalah seorang ilmuwan Inggris bernama Alfred Wallacea, dimana pada abad 19 melakukan penelitian biologi di Indonesia. Yang perlu dicatat bahwa Pulau Sulawesi selalu dalam kondisi terisolasi sejak terbentuknya, mengingat pulau ini dikelilingi oleh palung-palung laut yang dalam. Besarnya ukuran pulau dan lamanya terisolasi telah membuat jenis tumbuhan dan satwa Sulawesi tidak dipengaruhi oleh sumber genetik dari Asia maupun Australia dalam jangka lama. Singkatnya, kenapa Sulawesi memiliki keragaman hayati endemik tinggi, karena tumbuhan dan satwa Sulawesi berasal dari dua benua, kemudian berevolusi dalam kondisi terisolasi dalam jangka waktu yang lama (jutaan tahun!). Âť176

Membangun Ekowisata

Hutan Lambusango memiliki lima satwa kebanggaan (flagship species), yaitu Anoa (Bubalus sp.), Kuskus (Phalanger ursinus), Julang Sulawesi (Burung Halo, Aceros cassidix), Andoke (Macaca ochreata brunnescens) dan Tangkasi (Tarsius sp.). Kelima satwa tersebut merupakan satwa endemik Sulawesi yang dapat ditemukan di HL. Endemisitas yang tinggi ini telah terbukti mampu memacu rasa keingintahuan para ahli konservasi biologi, sehingga mereka tidak merasa rugi jauh-jauh, dan menghabiskan banyak uang untuk berwisata ilmiah di HL, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang telah datang berkali-kali. Alasan utamanya, karena HL memiliki keunikan dan eksotisitas yang tinggi ! Sumber: Gardner 1997

Membangun Ekowisata

Gambar 20. Beberapa species burung endemik Sulawesi.

177ÂŤ


Membangun Ekowisata

Dari jenis burung saja, HL memiliki kekayaan burung endemik lebih dari 30 jenis! Berbagai jenis burung yang berwarna-warni begitu sangat mudah dilihat dan diamati, karena HL memiliki tajuk pohon yang tidak begitu tinggi. Burung Halo yang begitu langka misalnya, begitu mudahnya dilihat terbang berpasangan pada saat kita melintas jalur jalan antara Desa Wakangka dan Kakenauwe (Labundo-Bundo) yang menembus Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka-Margasatwa Lambusango. Apabila kita melintas jalur jalan tersebut pada pagi hari (antara jam 5.30 sampai jam 7.00), selain bisa merasakan segar dan bersihnya udara hutan tropis, kita akan begitu terhibur oleh ocehan Pelanduk Sulawesi (Sulawesi Babler, Trichastoma celebese), jumlahnya cukup melimpah dan sering terlihat bertengger di lapisan bawah hutan. Dan tentunya masih banyak hal lain yang menarik dari hutan ini.

Hutan Lambusango ‘masih’ menjadi rumah Anoa Anoa merupakan sapi kerdil (keluarga Bovini/sapi-sapian) yang merupakan satwa endemik Sulawesi (dan pulau lepas Pantai, termasuk Pulau Buton) dan merupakan satwa yang dilindungi oleh hukum baik secara nasional1 maupun internasional2. Berburu Anoa dan memperdagangkan daging Anoa merupakan kegiatan melanggar hukum. Di dunia ini, jumlah populasi Anoa diperkirakan kurang dari 300 ekor3, dimana sekitar 100 ekor atau sepertiganya berada di Hutan Lambusango. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa HL merupakan benteng terakhir bagi keberadaan Anoa di dunia yang sekaligus menjadi maskot Propinsi

Membangun Ekowisata

Sulawesi Tenggara. Sayangnya, jumlah satwa kebanggaan bumi Anoa ini terus merosot karena kerusakan habitat dan perburuan liar. Sebagaimana diketahui bahwa Anoa adalah satwa yang sangat sensitif dan peka terhadap kehadiran manusia dan menyukai hutan-hutan primer yang tidak pernah didatangi manusia. Oleh kartena itu, ketika hutan-hutan mulai dirambah manusia untuk lahan pertanian, ditebang pohon dan rotannya, maka Anoa semakin terdesak dan semakin masuk ke hutan atau ke bukit-bukit yang jarang didatangi manusia. Akibatnya habitat mereka menjadi semakin sempit, makanan semakin terbatas. Semakin terisolirnya habitat Anoa berdampak pada merosotnya keragaman genetik dan meningkatnya resiko kepunahan populasi. Sungguh memilukan bahwa Anoa terus-menerus diburu dan dibantai tanpa ampun, demi sepenggal daging dan sekeping rupiah di bumi-nya sendiri. Tanpa kepedulian kita bersama, Anoa di HL akan segera lenyap dan hanya menjadi cerita pengantar tidur anak-anak. Dan …. apabila Hutan Lambusango tidak lagi menjadi rumah Anoa, Pulau Buton dan desa-desa disekitar HL mungkin akan segera terhapus dari peta wisata dunia para bule. Kita semuanya tentunya tidak ingin hal tersebut terjadi, karena itu sudah saatnya kita berusaha keras untuk mengendalikan dan kalau bisa menghentikan perburuan Anoa. Mari kita pertahankan keberadaan HL agar masih dan tetap menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi Anoa !

1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. 2 Anoa adalah satwa yang masuk kategori langka (red-list) menurut World Conservation Union (IUCN), Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), Appendix 1 (tidak boleh diperdagangkan). 3 Sebagian besar habitat Anoa berada di Taman Nasional (TN) Lore Lindu, TN Bogani Nani-Wartabone, TN Rawa Aopa-Watumhai, Cagar Alam (CA) Lambusango, CA Buton Utara.

»178

179«


Membangun Ekowisata

Foto: www.scouts-index.ch

Membangun Ekowisata

kawanan gajah yang bisa jadi tiba-tiba muncul dan menerjang tenda-tenda peneliti bule di tengah hutan. Absennya satwa yang membahayakan, telah membuat para bule itu dapat tenang dan nyaman tidur di hammock (tempat tidur gantung), sambil menikmati suasana malam di hutan tropis.

Foto: WWL Edisi Khusus 2006

Gambar 21. Anoa merupakan satwa kebanggaan (flagship species) Hutan Lambusango. Jumlah populasinya diduga tinggal 300 ekor, dimana setengahnya ada di Hutan Lambusango.

Hutan Lambusango aman dikunjungi Keamanan (safety) menjadi pertimbangan utama dan pertama bagi para pelancong bule. Masalah keamanan ini sering mengharu-biru kesehatan bisnis wisata di negeri ini yang sering disalah-fahami sebagai sarang teroris. Kita melihat, bagaimana surutnya jumlah turis asing begitu bom Bali satu meledak pada tahun 2002. Ironisnya, walau ledakan bom teroris ini bukan monopoli di Indonesia (bahkan di London-pun tak luput dari guncangan bom), tetapi turis asing itu begitu takut dan traumanya berkunjung ke bumi pertiwi, seakan seluruh persada nusantara ini berada dalam cengkeraman para teroris. Pada tahun 2002, bule yang berkunjung ke HL mencapai lebih dari 300 orang, setelah bom Bali satu meledak, jumlah kunjungan langsung merosot hingga kurang dari 100 orang. Untungnya, kondisi keamanan Pulau Buton selama ini sangat kondusif, sehingga masih banyak bule yang terus berdatangan. Dari sisi keamanan hutannya, HL juga tergolong sangat aman untuk dihuni. Di hutan ini tidak ada harimau yang berpeluang memangsa manusia jika mereka kelaparan. Disini tidak ada Âť180

Gambar 22. Kegiatan pengamatan burung oleh para turis ilmiah.

Hutan Lambusango mudah dikunjungi Hutan Lambusango sangat mudah dijangkau, selain telah dikelilingi secara temu-gelang oleh jalan propinsi/Kabupaten, berbagai jenis transportasi tersedia (bus, pick-up, truk, ojek) selama hampir 24 jam, tanpa mengenal musim, serta dapat mengantar hingga tepat di depan jalan akses masuk hutan. Sungguh tidak mudah mencari padanan hutan seperti ini di Indonesia. Hutan di tempat lain biasanya terletak pada wilayah yang remote (tepencil), sulit dijangkau dan memerlukan waktu berhari-hari untuk mencapainya. Banyak diantara hutan tropis yang hanya layak dijangkau pada musim kemarau, karena pada

181ÂŤ


Membangun Ekowisata

Membangun Ekowisata

Foto: PKHL 2005

musim hujan jalannya tidak saja becek, namun penuh dengan kubangan, sehingga tidak hanya tidak nyaman tetapi terkadang juga tidak mungkin dijangkau melalui transportasi darat.

Gambar 24. Salah satu home-stay yang disediakan bagi para wisatawan.

Gambar 23. Jalur transek di Hutan Lambusango.

Hutan Lambusango dipangku oleh masyarakat berbudaya Masyarakat Buton memiliki perangai yang ramah, terbuka dan suka membantu serta berbudaya bersih dan rapi. Karakter seperti ini sangat kondusif bagi bekembangnya kegiatan wisata berbasis alam (ekowisata) yang menarik pelancong bule. Sebagaimana budaya dari daerah asalnya, bule menyukai kebersihan dan kerapian. Sungguh beruntung bahwa masyarakat yang berada disekitar HL memiliki budaya bersih. Rumah, halaman, kebun dan tempattempat umum ditata begitu rapi dan bersih. Kondisi seperti ini antara lain dapat kita amati di Desa Kakenauwe (LabundoBundo), desa yang bersih dan permai ini dapat menyediakan sebagian rumah tinggalnya menjadi home-stay yang tertata apik dan rapi sehingga sangat layak dihuni oleh para tamu bule itu. Âť182

Dari uraian diatas jelaslah bahwa sedikitnya ada lima pesona utama yang menyebabkan para bule itu masuk kampung Lambusango. Singkatnya, selain aman, nyaman dan mudah untuk dikunjungi, Hutan Lambusango memiliki pesona keindahan dan menjadi benteng terakhir bagi berbagai jenis satwa endemik Sulawesi. Dengan demikian, adalah wajar bila para bule itu begitu tertarik untuk datang ke Lambusango. Lebih dari itu, dan ini sebetulnya yang terpenting, bahwa HL adalah benteng kehidupan masyarakat Buton itu sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana gersang dan sulitnya hidup, apabila pulau karang yang gersang ini tidak ditumbuhi oleh hutan tropis yang lebat sebagaimana kini. Berbagai permasalahan akan segera timbul, yaitu sulitnya mendapat air bersih di musim kemarau, terjadi banjir dan tanah longsor di musim hujan, turbin pembangkit listrik yang tidak lagi berputar (karena seretnya pasokan air), tingginya sedimentasi sungai dan lenyapnya kekayaaan dan keindahan ekosistem pantai, karena tertimbun oleh sedimen dari wilayah pegunungan yang telah telanjang tanpa kehijauan hutan. Berbagai hama dan penyakit akan merajalela karena hilangnya 183ÂŤ


Membangun Ekowisata

musuh-musuh alami (biologis) yang selama ini berada di hutan. Wajah dan kehidupan pulau ini akan semakin kusam dan sulit, sehingga mungkin tidak ada satupun bule yang tertarik lagi untuk berkunjung ke kampung Lambusango. Dengan demikian melestarikan Hutan Lambusango bukan hanya penting agar bule nyaman masuk kampung, tetapi yang terpenting adalah agar kita dan anak cucu kita bisa tetap hidup nyaman di kampung halaman kita sendiri !

2 Operation Wallacea: Berawal dari Buton, kini telah berkembang ke berbagai penjuru dunia

***

B

isa dipastikan bahwa nama Operation Wallacea (sering disingkat Opwall) sudah tidak begitu asing bagi mereka yang tinggal di sekitar Hutan Lambusango atau di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Mendengar kata ‘Opwall’ pikiran orang langsung berasosiasi dengan para bule yang datang dengan memanggul ransel untuk melakukan ekspedisi ilmiah. Opwall adalah nama perusahaan Inggris yang mengelola pelaksanaan kegiatan ekspedisi ilmiah baik di Hutan Lambusango maupun di Taman Nasional Laut Wakatobi. Mungkin belum banyak yang tahu bila ‘Operation Wallacea’ pada awalnya adalah nama sebuah proyek ekspedisi ilmiah di Buton dan Kepulauan Wakatobi. Kegiatan ini diinisiasi dan difasilitasi oleh Wallacea Development Institute (WDI). Lembaga konservasi alam yang berkantor di Wisma Nugra Santana Lantai 16, Jl. Jendral Sudirman, Jakarta ini sering disebut juga dengan nama Badan Pengembangan Wallacea (BPW). Lembaga yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1992 oleh Pak Ibnu Sutowo dan Pak Habibie (pada waktu itu menjabat sebagai Menristek) ini merupakan organisasi nir-laba yang bekerja untuk konservasi keragaman hayati di kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara). BPW kemudian menggandeng perusahaan ekspedisi ilmiah Inggris yang bernama ‘Ecosurveys’. Nama perusahaan inilah yang kemudian berubah menjadi ‘Operation Wallacea’.

»184

185«


Membangun Ekowisata

Foto: Opwall 2005

Membangun Ekowisata

Gambar 25. Para wisatawan asing sedang menjelajahi Padang Kuku.

Alkisah, ekspedisi ilmiah yang dilakukan oleh WDI dan Ecosurvey di Wakatobi pada pertengahan tahun 1990-an telah berjalan dengan sukses. Diantaranya, data dan informasi yang dikumpulkan telah digunakan sebagai dasar pertimbangan pemerintah untuk menetapkan perairan Kepulauan Tukangbesi sebagai Taman Nasional Laut. Sebagaimana diketahui bahwa kawasan ini akhirnya ditetapkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 (30 Juli 1996) menjadi Taman Nasional Wakatobi. Berbeda dengan di Wakatobi, kegiatan Ecosurvey di daratan Buton awalnya lebih menekankan pada survei burung. Seiring dengan perjalanan waktu, kegiatan ekspedisi ilmiah ini kemudian berkonsentrasi di Hutan Lambusango dan bermarkas di Desa Kakenauwe (Labundo-Bundo). Obyek penelitiannyapun kemudian berkembang, yaitu tidak terbatas dengan burung, melainkan meliputi berbagai jenis keragaman hayati hutan lainnya (seperti Anoa, Musang, Andoke, Tarsius dan sebagainya). »186

Kegiatan lapangan Opwall kemudian diperkaya oleh pengalaman ekspedisi ilmiah dari Operation Raliegh dan Trekforce yang lebih dulu melakukan kegiatan serupa di Indonesia. Alhasil, kegiatan lapangan Opwall-pun secara menerus mengalami perbaikan, misalnya Jungle Training (pelatihan bertahan hidup di tengah hutan) mulai diperkenalkan pada tahun 1999. Kegiatan ini wajib diikuti oleh seluruh peserta ekspedisi ilmiah, sebelum mereka melakukan kegiatan penelitian. Penyempurnaan terus dilakukan dan akhirnya terwujudlah model ekspedisi ilmiah ala Opwall sebagaimana kini. Sayangnya, ledakan Bom Bali 1 pada tahun 2002, telah membuat ciut nyali para calon peserta ekspedisi untuk datang bergabung dengan Opwall di Indonesia. Hal ini bisa difahami mengingat sebagaian besar peserta ekspedisi Opwall adalah mahasiswa/i belia yang masih bergantung kepada orang-tuanya. Tentunya orang-tua mereka sangat khawatir bila anak-anak mereka tidak terjamin keamanannya. Alhasil, Bom Bali telah berdampak terhadap kemerosotan jumlah peserta ekspedisi Opwall ke Buton. Data statistik Opwall menunjukkan, pada tahun 2002, ‘tamu’ Opwall berjumlah 300 orang, pasca Bom Bali, ‘tamu’ Opwall merosot hingga kurang dari 100 orang. Gonjang-ganjing ini rupanya justru memberikan blessing in disguise (hikmah dibalik petaka) yang luar biasa bagi Opwall. Ketakutan para peneliti muda untuk datang ke Indonesia (karena alasan keamanan) telah mendorong Opwall untuk mencari alternatif wilayah diluar Indonesia, dan terpilihlah hutan tropis di Honduras. Sungguh tidak terduga bahwa hutan tropis di Amerika Selatan ini ternyata banyak menyedot peneliti muda Inggris untuk bergabung dengan Opwall dan tentunya ini merupakan rejeki nomplok buat Opwall. Di Honduras Opwall bisa mendatangkan peneliti sampai 800 orang per tahun. Rupanya sukses di Honduras telah memotivasi Opwall untuk melebarkan sayap ke negara lain, dan terpilihlah Mesir sebagai lokasi ketiga Opwall. Kini Opwall sedang merintis untuk 187«


Membangun Ekowisata

membuka kegiatan yang sama di Afrika Selatan dan Kuba. Berawal dari Buton, kini Opwall telah mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru dunia, ruaaarr biasa !

3

***

Operation Wallacea: Membangun pasar wisata ilmiah demi kelestarian Hutan Lambusango ‌ Dari sisi wisata masal (mass tourism) jangan harap Buton mampu mengalahkan Bali, namun dari sisi wisata ilmiah Buton berpeluang besar mengalahkan Bali .. Masih banyak diantara kita yang masih belum faham benar tentang kegiatan Operation Wallacea (Opwall). Sebagian orang mengira bahwa Opwall adalah operator wisata (tour operator), sebagian orang lain menganggap bahwa Opwall adalah lembaga penelitian. Nah apakah Opwal itu? Lalu apa peran yang dimainkan bagi kelestarian Hutan Lambusango dan kesejahteraan masyarakat disekitarnya? Secara singkat, Opwall adalah lembaga pengembang wisata ilmiah (a research tourism organization). Organisasi ini menyediakan jasa bagi para ilmuwan muda (volunteer) untuk melakukan penelitian ilmiah pada daerah-daerah tropis yang masih asli dan memiliki kekayan keragaman hayati dan budaya yang tinggi. Untuk menyediakan jasa tersebut, Opwal melibatkan para pakar biologi dan sosial dari berbagai universitas ternama di Inggris, Eropa dan Amerika Utara, untuk secara bersama dengan para volunteer melakukan penelitian keragaman hayati dan sosial di berbagai penjuru dunia. 188

189ÂŤ


Membangun Ekowisata

Data dan informasi yang dikumpulkan digunakan sebagai dasar untuk menilai kepentingan kawasan secara biologi, sekaligus menelaah efektifitas manajemen kawasan. Seluruh kegiatan penelitian tersebut dibiayai oleh para mahasiswa/i relawan (volunteer) yang berasal dari hampir seluruh universitas di Inggris. Kemudian seiring dengan perkembangan Opwall ke seluruh penjuru dunia (baca: Operation Wallacea: Berawal dari Buton, kini telah berkembang ke berbagai penjuru dunia), kegiatan ini juga mulai dibiayai oleh mahasiswa/i dari Amerika dan Kanada. Opwall kini telah berkembang menjadi perusahaan pengembang wisata ilmiah terbesar di Eropa yang setiap tahunnya mampu merekrut lebih dari 1000 orang relawan untuk bertandang di lima negara (Indonesia, Honduras, Mesir, Kuba dan Afrika Selatan). Bahkan, Opwall baru-baru ini telah membuka kantor cabang di Amerika dan Kanada, dalam upaya mendongkrak jumlah relawan dari kawasan ini hingga dua kali lipat pada tahun 2007. Walaupun Opwall telah membuka cabang di berbagai belahan dunia, sampai saat ini, Opwall masih memandang Hutan Lambusango sebagai salah satu kegiatan unggulan (flagship) mereka. Kegiatan penelitian ilmiah di Propinsi Sulawesi Tenggara selama ini belum banyak dilakukan, sehingga kekayaan keragaman hayati wilayah ini belum banyak diketahui dan dimanfaatkan secara optimal, sedangkan di lain pihak, kerusakan terus terjadi dari waktu ke waktu. Memperhatikan hal ini, kehadiran Opwall sungguh sangat bermanfaat dari sisi ilmu pengetahuan. Menurut Dr. Tim Coles (Direktur Opwall), selama lima tahun terakhir bekerja di Hutan Lambusango, Opwal telah berhasil menyumbangkan penemuan 21 spesies vertebrata untuk kepentingan ilmiah. Selain kontribusi Opwall bagi dunia ilmu pengetahuan. Pengembangan pasar wisata-ilmiah di Hutan Lambusango yang telah dirintis oleh Opwall selama sepuluh tahun terakhir, juga memberi pelajaran penting bagi kita, yaitu bahwa pengembangan »190

Membangun Ekowisata

wisata tidak selalu identik dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas mewah demi menarik kunjungan wisatawan. Pengembangan wisata, melainkan, dapat dilakukan dengan modal seadanya, asalkan (dan ini yang paling penting) wilayah tersebut memiliki kekayaan alam dan budaya yang masih terjaga keasliannya. Dengan demikian, pengembangan pasar wisata ilmiah untuk wisatawan mancanegara (wisman) tidak menuntut suntikan investasi besar (sebagaimana yang banyak dibayangkan). Pasalnya, para wisman ini justru mencari kondisi yang sealami mungkin, mereka lebih nyaman tinggal di hutan daripada di hotel berbintang, mereka lebih suka menikmati makanan lokal, daripada mencari Mac Donald atau Kentucky Fried Chicken, mereka lebih suka berada di rumah-rumah masyarakat yang sederhana daripada di diskotik atau bar-bar yang mewah. Singkatnya, motivasi utama mereka adalah meneliti kekayaan alam yang masih asli dan membantu upaya untuk melestarikannya (baca juga artikel: “Mempelajari Hutan Lambusango bersama Turis Opwall’). Kegiatan wisata ilmiah kini sedang menjadi trend baru dengan pasar yang terus berkembang baik di Eropa maupun Amerika. Dari sisi wisata masal (mass tourism) jangan harap Buton mampu mengalahkan Bali, namun dari sisi wisata ilmiah Buton berpeluang besar mengalahkan Bali ! Hal lain, hasil kegiatan Opwall selama ini juga telah menciptakan kondisi pemungkin bagi para investor konservasi untuk mengarahkan bantuannya ke Hutan Lambusango. Data dan informasi yang dikumpulkan dan dipublikasi oleh Opwall di berbagai media internasional tentang keragaman hayati Hutan Lambusango telah membuat hutan ini dikenal dipercaturan konservasi biologi dunia. Kondisi ini mendorong Global Environment Facility (GEF) untuk turut berpartisipati dalam kegiatan penyelamatan Hutan Lambusango. Nah … memperhatikan besarnya jasa yang telah dirintis oleh Opwall demi kelestarian Hutan Lambusango selama ini, relakah kita sebagai generasi pewaris Hutan Lambusango membiarkan 191«


Membangun Ekowisata

hutan ini rusak oleh kepentingan jangka pendek? Sunguh sangat disayangkan bila para bule saja yang berada nun jauh disana begitu sayang dan mau berkoraban demi kelestarian Hutan Lambusango, sedangkan kita sendiri yang berada dipangkuan dan buaian Hutan Lambusango begitu tega mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, diatas kerusakan dan jeritan Hutan Lambusango. Ooooh … teganya.. teganya… teganya…. ***

4 Membangun Pasar Ekowisata Buton

B

Sumber: BLL Edisi Juni 2006

eberapa teman dari Selatan (maksudnya Sulawesi Selatan), dan juga teman-teman yang telah lama tinggal di Kendari tetapi belum pernah ke Buton, umumnya tidak menyangka apabila Buton memiliki kota ‘Semerbak’, ini sebuah akronim yang kepanjangannya adalah sejahtera, menawan, bersih, aman dan kenangan. Motto kota Bau-Bau itu ternyata bukan sebuah pemanis belaka. Terbukti, setelah teman-teman tadi berkeliling kota, mereka biasa berkomentar begini.

»192

“Luar biasa! tidak menyangka bila kota seindah ini ada di Buton. Nanti aku akan mengajak keluarga kesini. Selama ini kalau berlibur terpikirnya selalu ke Jawa, Bali atau ke Utara (maksudnya Sulawesi Utara.), sama sekali tak pernah terpikir untuk ke Buton” Ungkapan tadi juga tidak mengada-ada, Buton---dari sisi wisata---memang bak mutiara terpendam. Keindahan alam Pulau Buton, termasuk keindahan kotanya, seakan tertutup oleh sebutan ‘Pulau Asphalt’ yang telah lama disandang. Sebagai pulau penghasil tambang sejak jaman baheula (dulu), bagi yang belum pernah ke Buton, bisa jadi mengira bentang alam (landscape) Buton serupa dengan konsesi PT. Freeport yang penuh galian dan kubangan, atau setidaknya mirip areal pertambangan batubara. Seluruh gambaran itu sirna, setelah menginjakkan kaki di Bumi Anoa ini. 193«


Membangun Ekowisata

Membangun Ekowisata

Bentang alam Bau-Bau adalah perpaduan keindahan pantai dan pegunungan yang berselimut kehijauan. Di atas perbukitan yang masih hijau itu berdiri megah benteng dan kraton Buton yang seakan khusus diciptakan sebagai latar belakang kota. Benteng kraton yang telah berusia lebih dari 4 abad ini masih berdiri kokoh. Siapapun akan betah duduk ber-jam-jam menikmati keindahan pantai, dan pulau yang bertebaran di sekitar Buton dari atas benteng kraton ini. Obyek wisata alam lain juga bertebaran di dalam dan sekitar kota, sebut saja Pantai Kamali, Pantai Lakeba, wisata laut BasĂ­lika (Batu Atas, Siompu, Liwutongkidi, Kadatua), sebuah gugusan kepulauan yang memiliki keindahan alam laut yang tidak kalah dengan Taman Nasional Wakatobi dan tentunya juga Hutan Lambusango yang hanya berjarak 20 km dari Kota Bau-Bau.

Bau-Bau, sebagai pintu gerbang Buton, memang bukan sebuah kota besar, namun memiliki segala bentuk keindahan dan juga kemudahan untuk dijangkau. Kota berpenduduk 120.502 jiwa (tahun 2004) yang sejak tahun 2001 dimekarkan dari Kabupaten Buton (sebelumnya Bau-Bau adalah ibukota Kabupaten Buton) ini terletak di jalur transportasi laut yang telah hidup sejak jaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kongsi dagang Belanda) mencari rempah-rempah ke Maluku. Seluruh pelayaran Kapal Pelni dari dan menuju Ambon selalu singgah di Pelabuhan Bau-Bau. Perjalanan dari Makassar ke BauBau dengan Kapal Pelni hanya ditempuh dalam satu malam (12 jam). Perjalanan dari Kendari ke Bau-Bau melalui kapal cepat (super-jet) hanya sekitar 4 jam. Pesawat Dirgantara Air Service (DAS) terbang dari Makassar ke Bau-Bau tiga kali seminggu dengan waktu tempuh hanya 45 menit. Âť194

Foto: PKHL 2005

Gambar 26. Peta Pulau Buton dan sekitarnya.

Gambar 27. Pemandangan Benteng Kraton Buton.

195ÂŤ


Membangun Ekowisata

Selain keindahan alam (landscape beauty), Buton juga kaya sejarah dan budaya. Bau-Bau dan sekitarnya di masa tempo doeloe adalah pusat pemerintahan kesultanan besar yang wilayahnya meliputi pulau Buton, Muna, Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang). Karenanya Buton memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Di seantero pulau, dapat ditemukan peninggalan kuno yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Orang Buton yang dikenal sebagai pelaut dan perantau memiliki kepribadian menarik, ramah dan terbuka. Sungguh, potensi Buton sebagai daerah tujuan wisata tak diragukan lagi. Sayangnya potensi itu belum banyak dikenal, sehingga kegiatan wisata di Buton selama ini masih tertidur pulas.

Ekowisata Buton Selama ini, kegiatan wisata telah menjadi sebuah industri yang berkembang pesat. Namun sebagaimana industri pada umumnya, apabila tidak dicermati dengan baik akan memberikan dampak kerusakan lingkungan dan budaya serta peminggiran masyarakat setempat. Sebagaimana terjadi di berbagai daerah wisata umum (mass tourism), hotel-hotel mewah dibangun di pinggir pantai yang menutup akses masyarakat dan merubah pemandangan alam. Sedangkan hutan, pantai dan berbagai ekosistem alami mengalami degradasi oleh pemanfaatan secara berlebihan (overcrowding). Industri wisata masal (mass tourism) ini umumnya dimonopoli oleh pengusaha besar bahkan perusahaan multi nasional (transnational corporations). Wisata jenis ini menetapkan standar tinggi bagi pelayanan tamunya. Para turis asing itu dimanjakan dengan atmosfir dan budaya negerinya. Berbagai makanan, minuman yang disajikan di hotel-hotel papan atas menghendaki bahan baku, cara pengolahan dan penyajian tertentu. Untuk itu bahan bakunya-pun diimpor, berikut alat dan perlengkapan masak, bahkan kokinya-pun sering orang bule. Konsekuensinya, Âť196

Membangun Ekowisata

hasil bumi, tenaga kerja dan keahlian masyarakat setempat tidak mendapat tempat. Wisata semacam ini jelas hanya mengabdi pada kepentingan ekonomi semata. Kegiatan wisata berbasis keindahan alam dan kekayaan budaya idealnya dikembangkan berdasarkan prinsip konservasi dan tidak semata mengacu pada prinsip ekonomi. Konservasi tidak melarang pemanfaatan, justru konservasi mewajibkan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari. Bukan itu saja, konservasi bahkan mewajibkan pembagian keuntungan yang adil bagi seluruh pemangku kepentingan dan konstituen sumberdaya alam. Wisata jenis inilah yang kini dikenal dengan sebutan ekowisata (ecotourism). Ekowisata mensyaratkan pemanfaatan lingkungan alam secara berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya. Ekowisata juga menuntut adanya kegiatan interpretasi lingkungan---suatu komponen pendidikan---disamping harus memberikan manfaat kepada pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Mengingat kegiatan wisata yang melibatkan wisatawan dalam jumlah besar dapat merusak keaslian bahkan kerusakan habitat yang dikunjungi. Berbagai jenis ekowisata dapat dikembangkan di Buton, tanpa harus menunggu kesiapan infrastuktur. Wisatawan ekowisata (ecotourist) tidak mencari ‘leisure’, kemewahan, kesenangan dan kesukariaan, melainkan mereka ingin menikmati keaslian alam dan budaya. Mereka ingin merasakan sesuatu yang lain dari yang biasa mereka alami dalam kehidupan sehari-hari di negeri atau wilayah asalnya. Mereka ingin merasakan sebuah dunia dan atmosfer yang berbeda, mereka ingin belajar (dan sebagian juga ingin berpetualang) dari sebuah dunia yang lain. Karena motivasi utamanya adalah belajar atau mencari pengalaman, mereka tidak menolak tinggal di rumah kampung yang sederhana (yang penting bersih). Mereka juga lebih tertarik untuk tidur di hutan daripada di penginapan atau hotel berbintang, 197ÂŤ


Membangun Ekowisata

mereka juga tertantang untuk merasakan jenis-jenis makanan setempat daripada Mac Donald, Pizza Hut atau Kentucky Fried Chicken. Mereka juga ingin menikmati alunan musik tradisional daripada musik bernuansa global. Perpaduan antara keaslian alam dan kekentalan budaya lokal inilah yang mereka cari ! Dengan demikian, berbagai hal yang sering dianggap sebagai kekurangan dalam konteks pengembangan wisata konvensional, bisa jadi justru menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Yang penting tersedia jasa pemanduan alam dan budaya yang bisa membuat setiap jengkal fenomena alam dan budaya setempat menjadi begitu menarik dan berarti untuk dipelajari. Kemudian yang tidak kalah penting adalah kemudahan prosedur perijinan dan jaminan keamanan, termasuk jaminan kesehatan dan pertolongan pertama saat terjadi kecelakaan.

Belajar dari Operation Wallacea Ekowisata kini sedang menjadi trend baru dalam kegiatan wisata dengan pasar yang terus berkembang baik di Eropa maupun Amerika. Dari sisi wisata masal (mass tourism) jangan harap Buton mampu mengalahkan Bali, namun dari sisi ekowisata, Buton mungkin suatu saat dapat bersaing. Di Buton kegiatan pengembangan ekowisata (wisata ilmiah) telah dirintis oleh Operation Wallacea Ltd. (Opwall) di Hutan Lambusango. Sebagai lembaga pengembang sekaligus pengatur perjalanan ekowisata (tour-operator), organisasi ini menawarkan keindahan alam dan keragaman hayati. Untuk menyediakan jasa tersebut, Opwall melibatkan para peneliti biologi konservasi dan sosial dari berbagai universitas ternama di Inggris. Kegiatan Opwall berlangsung antara bulan Juni-September (10 minggu) setiap tahunnya. Bulan-bulan ini bertepatan dengan liburan musim panas di Eropa, dan kebetulan juga bersesuaian dengan musim kemarau di Buton (sehingga memudahkan perjalanan lapangan, tidak licin/becek). Selama 10 minggu, Opwall rata-rata mendatangkan 100 - 200 orang. Ekoturis Âť198

Membangun Ekowisata

tersebut datang bergantian setiap dua minggu sekali, sehingga rata-rata jumlah kunjungan ke hutan sekitar 20 – 40 orang per dua minggu, suatu jumlah yang masih bersesuaian dengan daya dukung lingkungan Hutan Lambusango. Selama hampir tiga bulan, seluruh masyarakat Desa Kakenauwe aktif terlibat dalam kegiatan ekowisata. Mereka ada yang menjadi porter (pengangkut barang), pemandu jalan, pengumpul data lapangan, penerjemah, pengelola base-camp dan sebagainya. Bagi mereka yang tidak memiliki keahlian lapangan atau mungkin memiliki pekerjaan lain, bisa menyewakan rumahnya sebagai pemondokan (home-stay). Setelah berjalan selama 6 tahun, dampak ekowisata yang dikembangkan Opwall kini mulai nyata. Rumah-rumah kampung mulai tertata rapi, seluruhnya permanen dan memiliki toilet yang bersih. Sebagian dari mereka yang berprofesi sebagai pemandu banyak yang fasih berbahasa Inggris, serta mulai terampil melakukan kegiatan monitoring distribusi dan kelimpahan satwa liar. Ada pemandu spesialis pengamatan Tarsius (Tarsius sp.), ada pemandu spesialis Andoke (Macaca ochreata brunnescens). Ada pula pemandu yang ahli mencari jejak dan kotoran Anoa (Bubalus sp.). Selain itu ada yang terampil menyiapkan logistik penelitian dan sebagainya. Mereka juga mulai sadar terhadap profesinya, serta telah mengorganisasikan diri menjadi sebuah LSM (Lawana Ecotone). Ekowisata juga berdampak positif terhadap keamanan hutan disekitar Desa Kakenauwe. Disini tidak dijumpai pemilik atau suara deruman chainsaw. Masyarakat desa begitu kompak untuk mengusir setiap oknum perusak hutan. Mereka sadar bahwa kelestarian Hutan Lambusango adalah jaminan utama bagi keberlangsungan kegiatan ekowisata di desanya. Di sepanjang kiri dan kanan jalan menuju Desa Kakenauwe kini masih tetap tertutup hutan lebat, suatu pemandangan yang tidak ditemukan lagi di desa-desa lain yang berada di sekitar Hutan Lambusango. 199


Membangun Ekowisata

Membangun Ekowisata

Ekowisata Opwall menujukan bahwa pengembangan wisata tidak selalu identik dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas mewah. Pengembangan wisata, melainkan, dapat dilakukan dengan modal seadanya, asalkan (dan ini yang paling penting) wilayah tersebut memiliki kekayaan alam dan budaya yang masih terjaga keasliannya. Dengan demikian, pengembangan pasar wisata ilmiah untuk wisatawan mancanegara (wisman) tidak menuntut suntikan investasi besar. Sayangnya wilayah kerja Opwall di Buton hanya terbatas di Hutan Lambusango dan itupun hanya terkonsentrasi di kawasan hutan sekitar Desa Kakenauwe. Sedangkan desa-desa lain di sekitar Hutan Lambusango (jumlahnya 50-an) yang notabene hutannya juga tak kalah bagus, selama ini belum tersentuh kegiatan ekowisata sama-sekali.

Pengembangan ekowisata memang tidak mudah. Kekayaan Hutan Lambusango selain dipublikasikan secara besar-besaran melalui web-site. Setiap tahun Direktur Opwall (Dr. Tim Coles) memberikan presentasi di universitas-universitas Eropa secara door-to-door untuk memasarkan Hutan Lambusango. Pasar utama Opwall adalah mahasiswa (undergraduate students). Sebagian dari mereka ada yang hanya ingin menikmati keindahan hutan tropika (general volunteer). Mereka ini biasanya hanya bergabung Opwall selama 2 minggu, satu minggu mengikuti jungle training (pelatihan bertahan hidup di hutan) dan satu minggu berikutnya melakukan pengamatan keragaman hayati. Sebagian mahasiswa melakukan kunjungan ke Hutan Lambusango untuk menyusun karya ilmiah (dissertation students). Selain strategi pemasaran yang handal, Opwall juga selalu menjaga kualitas pelayanan tamunya. Untuk itu Opwall mendatangkan puluhan scientist untuk memberikan jasa bimbingan lapangan. Selain itu Opwall juga memberikan standar keamanan yang tinggi. Setiap ekoturis diasuransikan keselamatannya. Setiap base-camp dilengkapi dengan alat komunikasi canggih serta tenaga medis lengkap yang mampu melakukan tindakan operasi dalam keadaan darurat.

Foto: Singer 2005

Semangat ‘in finem omnia’

Gambar 28. Seorang mahasiswa asing sedang asyik meneliti satwa di Hutan Lambusango ditemani seorang pemandu.

»200

Perjuangan Opwall dalam meraih sukses menjual produk ekowisata Hutan Lambusango harus memacu seluruh komponen masyarakat (pemerintah, pengusaha dan civil society) untuk membangkitkan bisnis ekowisata di Buton. Pengembangan pasar ekowisata Buton tentunya tidak mungkin dilakukan secara taken for granted, hanya dengan menunggu. Pengembangan pasar ekowisata melainkan harus dibangun dengan semangat ‘in finem omnia’, sebuah ungkapan bahasa latin yang berarti mengerahkan segala daya upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

201«


Membangun Ekowisata

Menggunakan analogi sepak bola, kesuksesan sebuah tim sepak bola tidak mungkin ditentukan oleh seorang pemain, tetapi sebelas pemain harus bahu-membahu meraih kemenangan. Demikian pula pengembangan ekowisata tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri. Sebuah jenis wisata yang menarik hanya akan dikunjungi, apabila disekitarnya ada jenis-jenis wisata lain yang juga tidak kalah menarik. Karena turis tidak akan datang jauh-jauh hanya untuk sebuah tujuan (single destination). Pengembangan ekowisata harus memperhatikan interkoneksi dengan wilayah tujuan wisata di sekitarnya. Setidaknya tiga pemerintah daerah, yaitu Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton dan Kabupaten Wakatobi harus bahu-membahu dengan semangat ‘in finem omnia’, untuk melakukan total football dalam pengembangan bisnis ekowisata di wilayahnya. Sebagaimana semangat sebuah tim kesebelasan sepak bola, mereka tidak perlu bersaing, namun justru saling mendukung untuk meraih tujuan bersama (common goal). Bisnis wisata adalah bisnis saling melengkapi. Pariwisata tidak akan pernah maju ketika para pesaing berusaha menciptakan produk yang sama, lalu membanting harga untuk mendapatkan turis (Hendrawan, 2006). Hutan Lambusango tidak akan menarik, apabila pemasaranya dilepaskan dari obyek-obyek wisata di sekitarnya. Pemasaran obyek ekowisata ini perlu dilakukan secara bersama, misalnya dengan Kraton Buton, Kota Bau-Bau, Basilika, Wakatobi serta obyek-obyek lain di Muna dan Kabaena. Calon konsumen perlu ditawari berbagai pilihan paket wisata yang bersifat interkonektif. Semangat ‘in finem omnia’ juga berarti bahwa pengembangan ekowisata tidak bisa dikembangkan dengan semangat sektoral. Tidak ada satupun lembaga yang bisa membangun pasar ekowisata, tanpa adanya partisipasi dari seluruh masyarakat di wilayah tersebut. Karena itu diperlukan sebuah gerakan sadar wisata (sadarwis) yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, dari mulai siswa, pendidik, tokoh masyarakat, pecinta alam, pengusaha, masyarakat hingga pejabat pemerintahan. Hal »202

Membangun Ekowisata

ini dapat dipacu dengan membuat berbagai kegiatan, misalnya lomba lintas alam Hutan Lambusango, lomba sepeda gunung, lomba panjat tebing dan sebagainya. Seluruh masyarakat harus bangga terhadap potensi wisata daerahnya, sehingga dapat dilibatkan dalam melakukan total football pemasaran ekowisata. Bisnis wisata pada dasarnya adalah bisnis kreatifitas. Dengan kreatifitas yang tinggi, sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Teluk Kapontori misalnya, yang kini sangat biasa, bisa dirubah menjadi sesuatu yang luar biasa. Misalnya bagaimana kalau di perairan tenang yang banyak digunakan masyarakat untuk budidaya kerang mabe (siput mutiara/oyster) ini dapat dibangun sebuah penginapan mengapung (floating home-stay). Disana para ekoturis itu selain dapat menikmati hawa yang nyaman serta suasana eksklusif mereka juga dapat mengamati para petani siput mutiara yang sedang bekerja, kemudian mereka juga dapat langsung memancing ikan dan membakarnya ! Hal serupa dapat dibangun di seputar Hutan Lambusango, sehingga suatu saat nanti kegiatan ekowisata dapat menjadi sustainable livelihood (pencaharian yang tidak merusak lingkungan) bagi masyarakat di sekitar hutan. Dalam kondisi seperti ini masyarakat bisa dijamin tidak akan lagi merusak hutan, sebaliknya mereka akan berjuang melastarikan hutan dengan semangat ‘in finem omnia’ !

203«


DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Lambusango Forest Conservation, Sulawesi, Indonesia. Project Proposal submitted by Operation Wallacea Trust to Global Environmental Facility. Bennet, E., H. Eves, J. Robinson & D. Wilkie, 2002. Why is Eating Bushmeat A Biodiversity Crisis? Conservation In Practice. Spring Vol 3/No.2. Coates, B.J. and K.D. Bishop. A Guide to the Birds of Wallacea. Sulawesi, The Mollucas and Lesser Sunda Islands, Indonesia. Dove Publications. Hendrawan, H., 2006. Bisnis Pariwisata adalah Bisnis Kreatifitas. Buletin Lambusango lestari. Edisi X/Juni 2006. Program Konservasi Hutan Lambusango. Operation Wallacea Trust. Bau-Bau, Buton. Jatmiko, A., 2005. Tafsir Serat Wedhatama. Pura Pustaka, Yogyakarta. Kinnaird, M.F., 1995. North Sulawesi: A Natural History Guide. Wallacea Development Institute, Jakarta. Lee, R., 2001. Hunting and Wildlife Trade in Indonesia. Bahan presentasi di Perbakin. Levang, P., E. Dounias, S. Sitorus, 2003. Out of Forest Out of Poverty? International Conference on Rural Livelihoods, Forests and Biodiversity. Bonn, Germany. Mackinnon, J. and K. Mackinnon, 1986. Managing Protected Areas in the Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. United Nations Environments Programme. Purwanto, E., 1997. Review of the Problems of Smallholder Upland Agriculture in West Java. Vrije Universiteit Amsterdam. The Netherlands. »204

Purwanto, E., 1998. Problems of Smallholder Upland Agriculture in West Java: A Case Study in the Cilampuyang Village. Vrije Universiteit Amsterdam. The Netherlands. Purwanto, E., 1999. Erosion, Sediment Delivery and Soil Conservation in an Upland Agriculture Catchment in West Java,, Indonesia. A hydrological approach in a socioeconomic contex. PhD Thesis, Vrije Universiteit –Amsterdam. Purwanto, E., E. Warsito, 2002. Deforestasi dan Perubahan Lingkungan Tata Air di Indonesia. Resiko, Implikasi dan Mitos. BIGRAF Publishing, Yogayakarta. Purwanto, E. and Suryanto, 2003. Mengurai Simpul Benang Kusut: Dinamika Masalah Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Alam produksi Lestari di Kalimantan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Uji-Lapang Kriteria-Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari di kalimantan. Balai Penelitian dan pengembangan Kehutanan-International tropical Timber Organization (ITTO), Hotel Mesra, Samarinda, 20 -21 Agustus 2003. Purwanto, E and J. Ruijter, 2004. Basic relationships between forests and watershed functions. In Fahmuddin Agus et. al. Hydrological Impacts of Forest, Agroforestry and Upland Cropping as a Basis for Rewarding Environmental Service Providers in Indonesia. Proceedings of a workshop in Padang Singkarak, West Sumatra, Indonesia 25-28 February 2004. World Agroforestry Centre/ICRAF, Bogor. Purwanto, E and Y. Hadiprakarsa, 2004. Managing Way Sekampung and Way Seputih Basins: Where the synergy between wildlife and watershed conservation co-exist. Way Sekampung and Way Seputih Irrigation Project, Europen Union. Lampung. Sardjono, M.A., 2003. Social Forestry in Indonesia. Breaking Up Serious Constraints. Presented in CIFOR’s 10th Anniversary Panel Discussion. Bogor, September 8th , 2003. 205«


Membangun Ekowisata

Saleh, C., 2004. Pelaksanaan CITES di Indonesia: Peluang dan Hambatan. Makalah dipublikasikan oleh WWF Indonesia. Saleh, C., 2004. Perdagangan Illegal Hidupan Liar: Dapatkah Dihentikan. Makalah dipublikasikan oleh WWF Indonesia. Singer, H.A., E. Purwanto, 2006. Misteri Keragaman Hayati Hutan Lambusango. Operation Wallacea Trust, Bau-Bau, Buton. Sumardja, E. A., 2004. Tindak Lanjut Dalam Menghadapi Era Globalisasi Terhadap Kelestarian Dan Pemanfaatan Fauna Nusantara. Sarasehan ‘Fauna Nusantara di Era Globalisasi’. Peringatan 110 Tahun Museum Zoologieum Bogoriense, Puslit Biologi LIPI, Cibinong 15 Juni 2004. Bogor. Suwelo, I.S., 1990. Flora dan Fauna. Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Kehutanan, Bogor. Whitten, T., M. Mustafa, G.S. Henderson, 2002. The Ecology of Sulawesi. Periplus. Jakarta. Wiratno, 2006. Conservation Deadlock. Musim Panen (AprilJuni) 2006. Vol 10 No2. Yamin, K., 2005. Matahari di antara rerantingan. PILI-NGO Movement. Bogor.

»206

LAMPIRAN

207«


Lampiran

Lampiran

2. SM Lambusango & CA Kakenauwe: Gudang keragaman hayati Zona Wallacea

13 Catatan Penting tentang Program Konservasi Hutan Lambusango

H

1. Hutan Lambusango: Apa dan dimanakah Engkau?

amparan emas hijau ini terbentang antara 5 ˚ 09’ - 5 ˚ 24’ LS dan 122˚ 43’ – 123˚ 07’ BT. Hutan Lambusango adalah sepenggal hutan alam tropika dataran rendah yang masih tersisa di negeri ini. Gurat-gurat keperkasaannya masih nampak menghiasi punggung, lembah dan puncakpuncak bukit Pulau Buton bagian selatan. Bisa dibayangkan betapa kering dan gersangnya Pulau karang ini tanpa kehadiran Hutan Lambusango. Lambusango adalah nama sebuah desa tua di pinggir hutan, Lambu berarti ‘rumah’ sango berarti ‘satu’. Konon rumah satu di pinggir hutan ini menjadi cikal-bakal pemukiman di Pulau Buton. Hutan Lambusango kini tidak hanya identik dengan hutan disekitar Desa Lambusango, melainkan sebuah mosaik hutan yang terhampar di wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa dan Pasarwajo. Seluruhnya masuk Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara Kawasan hutan ini berdasarkan status penetapannya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) Suaka Margasatwa (SM) Lambusango (± 28.510 ha); (2) Cagar Alam (CA) Kakenauwe (± 810 ha); (3) Kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) [± 35.000 ha].

M

emiliki keragaman flora dan fauna endemik yang tinggi dan menjadi pewakil kekayaan hayati Zona Wallacea yang berada di kawasan peralihan antara Benua Asia dan Australia. Sejak 1995, kawasan ini telah dipilih oleh Operation Wallacea menjadi Laboratorium Lapangan Biologi Konservasi Dunia. Beratus-ratus peneliti biologi konservasi dunia melakukan penelitian ekosistem Hutan Lambusango. Berbagai spesies baru telah dan terus ditemukan. Selain keragaman hayati yang tingi, hutan ini juga menjadi wilayah resapan air Pulau Buton. Sebagian besar sungai di kawasan Buton Selatan bersumber dari kerimbunan Hutan Lambusango. Kerusakan Hutan Konservasi berdampak pada hancurnya warisan keragaman hayati dunia, selain kehancuran fungsi resapan air dan perlindungan ekosistem Pulau Buton. Catatan:

Kawasan hutan konservasi (± 28.510 ha) dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam/BKSDA Sulawesi Tenggara (Departemen Kehutanan). ***

*** »208

209«


Lampiran

Lampiran

3. Hutan Lindung Lambusango: Benteng kelestarian ekosistem Pulau Buton

H

utan ini berfungsi utama sebagai ‘menara air’ Pulau Buton. Kerimbunan hutan yang menutupi pungung-pungung bukit dan lembah-lembah sungai membuat Hutan Lambusango berperan sebagai pengendali erosi, sedimentasi dan banjir. Kerusakan Hutan Lambusango berdampak pada kehancuran fungsi resapan air yang mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan ekosistem Pulau Buton, mengingat makluk hidup tidak dapat hidup tanpa air. Kerusakan Hutan Lindung berdampak pada meningkatnya laju erosi, sedimentasi dan banjir yang akan mengancam kelestarian ekosistem daratan dan perairan laut di sekitar Pulau Buton. Catatan: Kawasan Hutan Lindung (± 18.200 ha) dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. ***

4. Hutan Produksi Lambusango: Sumber kehidupan kita bersama

K

ehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hutan sebagai penghasil kayu dan nonkayu (selain jasa lingkungan). Hasil hutan begitu lekat dengan kebutuhan hidup manusia dari lahir sampai mati. Kebutuhan hasil hutan dapat diambil dari hutan produksi secara menerus apabila sistem pengambilannya dilakukan secara bijak. Nenek moyang kita telah begitu bijak mewariskan hutan bagi kehidupan kita, karena itu kita harus rela dan mampu mewariskan hutan bagi kehidupan anak-cucu kita.

»210

Penebangan kayu dan pengambilan rotan yang berlebihan telah membuat kerusakan hutan yang luar biasa. Kondisi ini akan mengancam kelestarian ekosistem hutan, yang pada gilirannya mengancam kelestarian kehidupan kita dan anak-cucu kita. Mari kita bersama membangun masa depan kehidupan yang lebih baik. Catatan: Kawasan Hutan Produksi (± 16.800 ha) dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. ***

K

5. Hutan Lambusango: Riwayatmu Kini

erusakan Hutan Lambusango secara tidak terkendali merupakan bencana lingkungan yang mengancam kelestarian kehidupan Pulau Buton. Sungguh sayang bahwa berbagai perusakan hutan masih dan terus berlangsung dari detik-ke-detik, dari menit-ke menit, dan dari-hari-ke-hari. Bunyi gergaji mesin tak henti-hentinya meraung menumbangkan pepohonan, deruman alat berat di kerimbunan rimba raya terus menguras isi perut bumi. Kawanan Anoa, Andoke, Tarsius dan Burung Rangkong kehilangan tempat bernaung karena hutan yang semakin menyempit dan terpecah belah. Merusak hutan berarti merusak masa depan kehidupan Pulau Buton. Wahai manusia penghuni Pulau Buton mari bersama menghentikan segala bentuk perusakan hutan demi kelangsungan kehidupan Pulau Buton! ***

211«


Lampiran

Lampiran

6. Anoa: Satwa Kebanggaan Bumi Anoa Yang Teraniaya

P

ulau Buton sering disebut sebagai Bumi Anoa. Mengingat wilayah ini menjadi benteng terakhir kehidupan Anoa. Di dunia ini, Anoa hanya terdapat di Sulawesi, jumlah populasinya diperkirakan kurang dari 300 ekor, dimana sepertiganya berada di Hutan Lambusango. Sungguh memilukan bahwa Anoa terus menerus diburu dan dibantai tanpa ampun, demi sepenggal daging dan sekeping rupiah di bumi nya sendiri. Tanpa kepedulian kita bersama, Anoa di Hutan Lambusango akan segera lenyap dan hanya menjadi cerita penghantar tidur anak-anak. Biarkan Anoa hidup di Hutan Lambusango. Biarkan Pulau Buton tetap menjadi Bumi Anoa. ***

7. Program Konservasi Hutan Lambusango (PKHL): Kami datang untuk membantu

P

ada dasarnya yang berkewajiban melestarikan Hutan Lambusango adalah seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan hutan Lambusango itu sendiri. PKHL hadir untuk membantu memfasilitasi upaya konservasi hutan di berbagai aspek, baik dari kebijakan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, penciptaan alternatif usaha yang mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, pengamanan kawasan secara kolaboratif, penyadaran masyarakat dan pendidikan lingkungan bagi siswa sekolah dasar dan menengah, serta peningkatan kapasitas kader konservasi Indonesia.

Âť212

Konservasi hutan saat ini tidak mungkin dilakukan secara sendirian oleh siapapun. Dengan demikian, kolaborasi yang didasari oleh niat yang tulus dan dilakukan dalam suasana saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan manfaat dari seluruh konstituen dan pemangku kepentingan Hutan Lambusango menjadi kunci terciptanya ’masyarakat berdaya hutan terjaga’. ***

P

8. Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango (FHKL): Memandang Searah Bekerja Selaras

KHL telah melakukan inisiasi dan fasilitasi pembentukan Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango (FHKL). FHKL merupakan forum para pihak yang memiliki pandangan dan keberpihakan yang sama terhadap pelestarian Hutan Lambusango. Forum berperan untuk (1) Memfasilitasi terbentuknya pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (2) Sebagai mitra pemerintah untuk merumuskan kebijakan pengelolaan Hutan Lambusango dan (3). Mempengaruhi kebijakan pemerintah (influencing policy) menuju pengelolaan Hutan Lambusango secara lestari. ***

213ÂŤ


Lampiran

H

Lampiran

9. Pengembangan Bisnis Pedesaan: Hutan bukan satu-satunya sumber penghidupan

utan akan habis bila secara menerus menjadi satusatunya tumpuan sumber penghidupan. Peluang ekonomi di luar hutan perlu dibuka untuk memberikan alternatif pencaharian masyarakat di luar hutan. PKHL memfasilitasi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan yang berbasis produk unggulan setempat, seperti jambu mete, coklat, madu alam, kelapa, rotan, jahe, kemiri, panili, rumput laut dsb. Pengembangan ekonomi dilakukan melalui peningkatan nilai tambah dan perbaikan sistem pemasaran hasil produk pertanian serta pengembangan ekowisata berbasis hutan. ***

T

11. Pendidikan Lingkungan:Bersama menyiapkan generasi cinta hutan

K

ecintaan Masyarakat terhadap hutan menjadi kunci lestarinya hutan. Gerakan cinta hutan harus dipupuk sejak usia dini. PKHL memfasilitasi pembangunan gerakan cinta lingkungan melalui upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran siswa sekolah dasar dan menengah serta masyarakat luas mengenai pentingnya memelihara lingkungan hidup dan pelestarian Hutan Lambusango sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman hayati dan perlindungan ekosistem Pulau Buton. Hutan Lambusango bukan milik kita melainkan titipan anak cucu. Mari kita didik anak cucu kita untuk mencintai hutan! ***

10. Penegakan Hukum: Mari bersama menjaga hutan

inggi dan meluasnya konflik kepentingan terhadap hutan, membuat tidak ada satupun instansi yang mampu melakukan pengamanan hutan secara sendirian. Kerjasama pengamanan hutan sungguh menjadi suatu keniscayaan. PKHL memfasilitasi terbangunnya kolaborasi pengamanan hutan bersama BKSDA Sultra, Dinas Kehutanan Kabupaten Buton, masyarakat sekitar hutan dan media (koran, radio, televisi). Hutan Lambusango adalah Lambu (rumah) kita bersama. Mari bersama menjaga rumah kita! ***

Âť214

215ÂŤ


Lampiran

12. Monitoring Keragaman Hayati Hutan Lambusango:

K

Belajar sambil Bekerja

eberhasilan PKHL diukur berdasarkan indikatorindikator perubahan yang terjadi secara nyata di lapangan. Pengukuran indikator harus dapat dipertangung jawabkan secara ilmiah. Dengan latar belakang ini, program memberikan dukungan pendanaan bagi tiga orang kandidat PhD (Doktor) untuk melakukan monitoring keragaman hayati (burung, kupu-kupu, Anoa dan monyet Buton), struktur dan kekompakan Hutan Lambusango. Program juga memberikan pendanaan kepada mahasiwa/i S1 dari berbagai perguruan tinggi untuk melakukan praktik monitoring keragaman hayati selama 10 minggu (29 Juni – 10 September 2005/2006) di Hutan Lambusango bersama pakar biologi dan sosial-ekonomi dari Operation Wallacea. Mereka, para calon konservasionis Indonesia masa depan, dapat belajar sambil bekerja, untuk menilai keberhasilan progam. ***

P

13. Promosi Program: Memetik pelajaran dari Lambusango

KHL mendokumentasikan seluruh proses dan hasil kegiatan dengan baik sebagai bahan pelajaran (lesson learned) bagi program konservasi di Indonesia. Keberhasilan pelaksanaan PKHL dapat dijadikan dasar untuk melakukan inisiasi dan replikasi program serupa di wilayah lain di Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara dan wilayah lain di Indonesia. ***

»216

Tentang Penulis Dr. Ir. Edi Purwanto, M.Sc. Lahir di Kediri, 27 Juni 1964. Pada tahun 80-an, mengawali karir sebagai instruktur Scool of Environtmental Conservation Management (SECM), sebuah pendidikan konservasi alam bantuan pemerintah Belanda (ATA-90B) di Balai Latihan Kehutanan Bogor. Pasca SECM (tahun 90an), bekerja sebagai widyaiswara dan peneliti bidang hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pernah bekerja sebagai staff ahli International Tropical Timber Organization (ITTO) bidang pengembangan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi secara lestari di Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Sejak tahun 2000, mulai berkiprah di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pernah menjabat Program Manager Wildlife Conservation Society Indonesia Program, dan kini sebagai Direktur Operation Wallacea Trust (OWT), dimana sejak tahun 2007, LSM yang dipimpinnya menjadi pendamping Pilot Green-PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) di Sulawesi dan Sumatera. Telah aktif menulis di media masa sejak tahun 1990. Tulisannya menghiasi Majalah Kehutanan Indonesia, Duta Rimba, Harian KOMPAS dan Pikiran Rakyat. Buku ini merupakan karya keempatnya. Buku pertama berjudul Deforestasi dan Perubahan Lingkungan Tata Air di Indonesia: Resiko, Implikasi dan Mitos (BIGRAF Publishing), buku kedua “Mengurai Simpul Benang Kusut: Dinamika Masalah Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari di Kalimantan” (Litbang Kehutanan Kalimantan), buku ketiga “Misteri Keragaman Hayati Hutan Lambusango” (OWT). Menyelesaikan pendidikan tinggi di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, melanjutkan pendidikan Master di International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Program Studi Watershed Management and Conservation, Enchede, Belanda. Pendidikan Doktoral (Ph.D) diselesaikan di Faculty of Earth and Life Sciences, Vrije Universiteit Amsterdam (VUA). Alamat kontak: edi_purwanto@yahoo.co.id HP: 0812-965 5233.


Tentang OWT:

O

peration Wallacea Trust (OWT) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan di Indonesia, dengan misi: ‘Bersama Masyarakat Melestarikan Alam’. Awalnya kegiatan kami terfokus di Kawasan Wallacea, khususnya pelestarian hutan dan kawasan pesisir di Kabupaten Buton dan Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak tahun 2007 dan tahun-tahun berikutnya, dalam rangka pendampingan Green-PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), wilayah pendampingan kami berkembang ke Sulawesi (Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat and Sulawesi Selatan) dan Sumatera (Provinsi Sumatra Barat dan Bengkulu). Kegiatan utama kami adalah pemberdayaan masyarakat perdesaan dan mendukung pemerintah daerah dalam: (a) melestarikan hutan alam, pesisir dan ekosistem laut; (b) merehabilitasi daerah tangkapan air yang rusak di wilayah DAS hulu; (c) mengembangkan usaha ekonomi perdesaan sebagai sumber penghidupan alternatif untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam; (d) memfasilitasi masyarakat perdesaan dalam penerapan teknologi tepat guna untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan energi baru terbarukan. Alamat kantor pusat kami: Taman Cimanggu, Jl. Akasia III, Blok P VI. No.4. Bogor; Indonesia. Phone/Fax: +62 251 8334143.www.owt.or.id.

About OWT:

O

peration Wallacea Trust (OWT) is an Indonesian Non-Government Organisation (NGO) or Civil Society Organization (CSO) with mission: ‘Empowering Community for Conservation’. At the beginning, our working areas were focussed in the Wallacea Region, especially forest, coastal and marine ecosystems conservation in Buton and Wakatobi Districts, Southeast Sulawesi Province. Since 2007 and the following years, to support the implementation of Green-PNPM (National Program for Community Empowerment), our facilitation areas have been expanded to cover Sulawesi (Southeast, West and South Sulawesi Provinces) and Sumatra (West Sumatra and Bengkulu Provinces). Our main activities is to empower rural community and support local government to: (a) conserve natural forest, coastal and marine ecosystems; (b) rehabilitate degraded catchment areas in the upstream; (c) develop community based enterprises in rural areas as alternative livelihoods for better natural resource management; (d) facilitate rural community on the application of appropriate technologies to support natural resource management and renewable energy. Our head office address: Taman Cimanggu, Jl. Akasia III, Blok P VI. No. 4 Bogor, Indonesia. Phone/Fax: +62 251 8334143. www.owt.or.id.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.