PEMBEBASAN EDISI KEDUA

Page 1

Komite Politik Rakyat Miskin

Partai Rakyat Demokratik

(KPRM - PRD)

P o l i t i k P R D - PA P E R N A S Te r b a r u :

“Di Bawah, Radikal; Di Atas, Bersekutu Dengan REFORMIS GADUNGAN”

No. 2, Tahun 1, Mei, 2008


REDAKSI Ganjar Krisdian SE Gregorius Budi Wardoyo Istikomah Manik Widjil Sadmoko Paulus Suryanta Ginting Vivi Widyawati Xaveria Zely Ariane

Kebangkitan demokratik kini adalah suatu kenyataan yang tak terbantahkan. Ia sedang maju dengan kesulitan yang lebih besar, dengan langkah yang lebih lambat dan melewati jalur yang lebih ruwet ketimbang yang kita bayangkan, akan tetapi, walaupun demikian , ia sedang maju. Sudah barang tentu, mempersatukan jutaan rakyat (terhisap dan tertindas) dalam kepemimpinan persatuan adalah suatu tugas strategi - taktik yang amat sangat sukar; ia menuntut ke tekadan; keuletan dan keberanian.

www.kprm-prd.blogspot.com pembebasan.kprm@gmail.com

1 PEMBEBASAN Mei 2008

SIKAP “….saya sungguh berharap, generasi muda sekarang akan menghancurkan orde baru, hingga ke akar-akarnya, hingga ke begundal-begundalnya yang paling rendah sekalipun..”—Pramoedya Ananta Toer.

C

engkraman/dominasi/ eksploitasi/penjajahan yang dilakukan oleh modal asing terus saja berlanjut di negeri kita. Dengan cepat modal asing menjarah kekayaan alam kita—tambang, hutan, kekayaan laut bahkan menjarah sumber-sumber mata air kita. Modal asing dengan cepat pula menjarah aset-aset vital lainnya— telekomunikasi, listrik, farmasi hingga pendidikan. Dan demi keuntungan yang lebih besar, rakyat Indonesia—pun kaum pekerjanya dihisap—dijadikan buruh kontrak, outsourching dengan upah murah, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan pensiun, tanpa jaminan apa-apa. Sekadar bekerja keras untuk kepentingan modal, yang sewaktu-waktu bisa di-PHK, itupun tanpa pesangon. Labour Market Fleksibility (LMF)(pasar tenaga kerja yang fleksibel), begitu istilah mereka. Itupun belum cukup bagi Modal Asing, Indonesia, dengan 220 juta penduduknya, juga menjadi sasaran utama bagi produkproduk modal Asing—dari kebutuhan teknologi yang maju hingga kebutuhan pokok sehari-hari rakyat kita—hingga semakin hari semakin tergantung pada asing. Termasuk hancurnya martabat bangsa kita, dari bangsa yang pernah mandiri, menjadi bangsa kuli. Namun rakyat tidak pasif, tidak diam saja, sekalipun pemerintah sekarang— pemerintahan SBY-JK yang utamanya di dukung oleh partai-partai sisa Orde Baru (Partai Golkar, PPP) dan partai reformis gadungan (Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, PAN, PBR, PBB, PDS)—beserta partai reformis gadungan lainnya (PKB, PDI-P) tidak punya keberanian melawan modal Asing, bahkan secara suka rela menjadi antek-

anteknya. Rakyat juga tidak menitipkan kemarahannya (terhadap modal asing) pada PDI-P, yang berlagak menjadi oposisi, yang berlagak membela rakyat semenjak kekalahannya di Pemilu 2004, agar di pemilu 2009 nanti bisa kembali menjadi pemenang (dan bisa membohongi rakyat lagi). Rakyat juga tidak memberikan enerji perlawanannya pada tentara, karena tentara pun betekuklutut dihadapan modal asing. Rakyat melawan dengan kekuatannya sendiri, dengan mobilisasinya sendiri, dengan organisasinya sendiri, dengan selebarannya, dengan aksi-aksinya, dengan pemogokan-pemogokannya, prinsipnya rakyat sedang mencari saluran perlawanannya, yang lebih kuat, yang bisa memberikan arah pembebasan dirinya.


Di sisi lain, kaum pergerakan, yang lebih berpengetahuan, yang lebih cakap, masih belum mampu mewadahi enerji rakyat yang sedemikian besar—bahkan, belakangan ini, banyak di antara kaum pergerakan yang tak lagi percaya pada enerji rakyat untuk melakukan perubahan, sehingga beramai-ramai menyandarkan harapan perubahan pada tentara, sisa Orde Baru maupun reformis gadungan. Tugas mendesak kaum pergerakan saat ini adalah bagaimana menyatukan seluruh enerji rakyat yang sedang berlawanan, sekaligus membangkitkan enerji jutaan rakyat lainnya yang masih belum berlawan, dengan programprogram yang sanggup menghancurkan dominasi modal asing, menghancurkan sisa orde baru, tentara dan reformis gadungan, yang sejatinya adalah bonekaboneka modal asing. Dengan demikian, pilihan-pilihan politik yang membuka peluang intervensi (kooptasi) oleh sisa kekuatan orde baru, tentara maupun reformis gadungan harus ditinggalkan, demikian pula dengan pilihan politik bekerja sama (kooperasi) dengan mereka juga harus ditinggalkan. Karena hanya dengan bersandar pada kekuatan rakyat sendirilah, kekuatan rakyat miskin, maka politik rakyat miskin bisa berkembang, meluas dan sanggup menandingi (bahkan menghancurkan) kekuatan politik kelas penindas. Saatnya mengobarkan perjuangan rakyat miskin, karena semua kelas elit, kelas borjuis, TELAH GAGAL! *** Kebijakan neoliberalisme yang selama ini diterapkan oleh pemerintah SBYJK—dan juga rezim sebelumnya— mengakibatkan terjadinya kemerosotan

hendak mempertahankan kelangsungan hidup. Sebab dominasi Imperialisme telah merenggut syarat kelangsungan hidup kaum miskin. Perlawanan terhadap Imperialisme dan agen-agennya—pemerintah SBY-JK, sisa Orde Baru, reformis gadungan, militer, milisi sipil reaksioner—demi demokrasi dan kesejahteraan memerlukan syaratsyarat pokok, yakni: prinsip, program dan metode politik rakyat miskin (konsep politik rakyat miskin)—yang ditunjang oleh organisasi politik rakyat miskin.

kesejahteraan rakyat. Di berbagai sektor, kebijakan pencabutan subsidi pendidikan, kesehatan, BBM, listrik, penjualan aset nasional, perdagangan bebas telah menciptakan “liang kubur” bagi penduduk di negeri ini. Tingkat pengangguran yang tinggi; kebangkrutan perusahaan; kenaikan harga kebutuhan pokok; mahalnya biaya pendidikan; penggusuran PKL dan tanah rakyat; trafficking (penjualan perempuan dan anak); busung lapar; tingginya kematian anak dan ibu; merupakan kenyataan atas sesat pikirnya konsep (berikut penerapannya) ekonomipolitik yang digunakan. Imperialisme (penjajahan) telah menyeret seluruh tenaga produktif (force of production) berada dalam monopoli ekonominya. Hasilnya, imperialisme telah menciptakan dunia yang tidak adil, dunia bagi sebagian besar rakyat yang dimiskinkan namun, di sisi lain, segelintir kapitalis meraup keuntungan atas jerih payah kaum miskin. Sehingga, melawan Imperialisme dan agen-agennya merupakan keharusan jika

Penjelasan gambar halaman depan:

Program-program politik rakyat miskin adalah program yang memberikan jalan keluar atas persoalan-persoalan (darurat/mendesak) hari ini dan persoalan-persoalan jangka panjang (strategis) terhadap seluruh rakyat Indonesia. Misalnya, program-program darurat antara lain: pendidikan dan kesehatan gratis; perumahan murah dan layak; upah layak nasional; pembukaan lapangan kerja; dan sebagainya; Kemudian, program Strategis antara lain: hapuskan utang luar negeri; tarik surat utang negara; nasionalisasi industri pertambangan asing; bangun Industrialisasi (pabrik) nasional; dan bentuk pemerintahan rakyat miskin. Program-program politik rakyat miskin tersebut harus dijalankan dengan prinsip dan metode politik rakyat miskin. Prinsip dan metode politik rakyat miskin adalah panduan/arah perjuangan bagi gerakan politik rakyat miskin agar dapat terus berjalan pada arah yang semestinya. Prinsip politik rakyat miskin yang utama adalah: Non Kooperasi dan Non Kooptasi. Perjuangan rakyat miskin harus terbebaskan dari pengaruhpengaruh agen-agen Imperialisme, yang setiap saat mencoba untuk membelokkan arah perjuangan rakyat miskin dengan ...bersambung ke halaman 3

Gambar di halaman depan adalah aksi yang dilaksanakan oleh para petani Alas Tlogo, Pasuruan, bersama struktur DPDII PAPERNAS Kabupaten Pasuruan. Keterlibatan PAPERNAS dalam aksi bersama para petani tersebut dianggap oleh Sekretearis Jenderal PAPERNAS, Agus Priyono (Mayoritas), sebagai tindakan yang salah karena dari informasi yang dihimpun dari kolega-kolega jendralnya—yang disampaikan kembali dalam forum pertemuan Presidium Nasional (Presnas) PAPERNAS di Lampung—bentrok antara petani dan Marinir yang terjadi di Alas Tlogo, Pasuruan, memang sengaja diciptakan untuk mendeskreditkan PAPERNAS. Menurutnya, PAPERNAS harus segera menarik dukungannya dalam aksi bersama para petani karena respon PAPERNAS seperti itulah yang memang diharapkan oleh faksi tentara—kemunculan PAPERNAS dalam aksi tersebut akan semakin membenarkan negara untuk menghancurkan PAPERNAS. Arahan tersebut diberikan langsung Agus Priyono lewat SMS kepada struktur DPD I PAPERNAS-Jatim tanpa dibicarakan dahulu dalam kolektif pimpinan PAPERNAS dan tanpa sepengetahuan Ganjar (Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Organisasi PAPERNAS), yang seharusnya bertanggung jawab terhadap urusan daerah; sedangkan, pada saat yang sama, untuk membela para petani yang dibunuhi Marinir, Ganjar juga memberikan arahan kepada struktur DPD I PAPERNAS-Jatim agar PAPERNAS harus menunjukan pembelaannya kepada petani, aksi advokasi harus dilakukan bahkan tidak hanya oleh struktur DPD II PAPERNAS Kabupaten Pasuruan saja, tetapi juga harus dilaksanakan serentak di Jatim.

Mei 2008 PEMBEBASAN 2


cara-cara yang halus serta terselubung. Non Kooperasi dan Non Kooptasi tersebut menunjukkan bagaimana rakyat belajar dan berlatih untuk menyandarkan kemampuan kolektifnya (kemandiriannya) agar dapat bertahan dan melawan seluruh kebijakan dan praktek neoliberalisme. Sedangkan metode perjuangan politik rakyat miskin adalah cara agar gerakan rakyat dan rakyat dapat mewujudkan cita-cita perjuangannya: Demokrasi dan Kesejahteraan. Metode perjuangan politik rakyat miskin yang utama adalah Persatuan Mobilisasi. Dengan persatuan mobilisasi maka rakyat dapat melipatgandakan kekuatannya; melipatgandakan tuntutannya; melipatgandakan keberanian perlawanannya; melipatgandakan kualitas perjuangannya sehingga tuntutan mendesak dan strategis dapat terwujud. Mobilisasi perlawanan dengan persatuan tersebut harus dirancang dengan terorganisir dan sistematis agar setiap orang yang terlibat dalam persatuan mobilisasi menyadari landasan dan konsekuensi dari

3 PEMBEBASAN Mei 2008

mobilisasi (aksi) perlawanan tersebut. Semakin banyak yang sadar maka akan semakin sedikit peluang bagi agen-agen Imperialisme/penjajah untuk memecah belah perlawanan rakyat. Sudah cukup terpecah-pecah. Saatnya bersatu. Perjuangan terpecah-pecah tidak akan merubah kita dari bangsa kuli menjadi bangsa merdeka dan mandiri. Program, Prinsip dan Metode Politik Rakyat Miskin tersebut harus dijalankan oleh organisasi politik rakyat miskin (sebagai organisasi alternatif, organisasi tandingan terhadap musuh-musuh rakyat). Organisasi politik rakyat miskin adalah organisasi yang karakteristik perjuangan, prinsip, mekanisme, dan unsur-unsur didalamnya mendukung terwujudnya konsep politik rakyat miskin tersebut. Organisasi politik rakyat miskin tersebut juga harus dapat menjangkau seluruh sektor, teritorial, ras, suku, agama dari seluruh masyarakat Indonesia yang sama-sama ditindas oleh penjajahan modal asing (Imperialisme). Oleh karena itu, organisasi politik rakyat

miskin tersebut haruslah didukung oleh seluruh rakyat yang sadar akan penindasan kapitalisme internasional saat ini. Agar cita-cita merebut demokrasi dan kesejahteraan (yang saat ini dimanipulasi oleh imperialisme dan agen-agennya) dapat menjadi kenyataan sejarah. ***


Neoliberalisme Dan Perang,

Musuh Perempuan Sedunia Oleh Zely Ariane Persoalan mendesak kaum perempuan di seluruh dunia saat ini adalah kemiskinan (akibat neoliberalisme) dan perang terhadap terorisme (militerisme)—yang jalin-menjalin dengan bertahannya sisa-sisa feodalisme demi keberlangsungan kapitalisme. Capaian positif gerakan perempuan gelombang kedua—yang seharusnya semakin sulit ditarik mundur oleh pemerintah neoliberal—seperti hak formal untuk upah, kesempatan kerja yang sama, dan kebebasan dari diskriminasi, seakan mati langkah dihadapan neoliberalisme. Sejak Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP) diterapkan, hakhak kaum perempuan, yang sebelumnya sudah dimenangkan, kemudian dipreteli. Pemotongan besarbesaran jaminan sosial—pendidikan dan tunjangan kesehatan—di negeri-negeri maju, menyengsarakan kaum perempuan. Ketiadaan akses terhadap kesehatan (khususnya reproduksi) membuat setiap tahun tingkat produktivitas kaum perempuan di seluruh dunia berkurang 20%. Neoliberalisme Menghancurkan Tenaga Produktif Kaum Muda dan Perempuan Seharusnya, hampir 3 milyar jiwa tenaga produktif kaum muda yang berusia di bawah 25 tahun—jumlah yang terbesar dalam sejarah—dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan kaum perempuan pada khususnya. Namun, 85% kaum muda tersebut, hidup di negeri-negeri miskin—bahkan negeri termiskin memiliki persentase kaum muda paling tinggi. Dari jumlah itu, 100 juta kaum muda perempuannya, dalam 10 tahun ke depan, akan menikah sebelum usia 18 tahun. Sehingga, setiap tahun, 14 juta remaja perempuan yang akan melahirkan berkonsekuensi meninggal terkait komplikasi kehamilan yang meningkat 2 hingga 5 kali dibanding perempuan berusia duapuluhan. Inilah kenyataan jahat yang dihadapi tenaga produktif perempuan di masa depan bila kita tak bias mengatasi masalah neoliberalisme. Ada 3 milyar orang, 500 juta di antaranya kaum muda, yang hidup kurang dari $2 perhari dan menerima hanya 5% saja Data-data diambil dari UNFPA, on Women Condition September 2005.

yang mati melahirkan setiap tahunnya, dan 8 juta lebih kaum perempuan yang menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan, maka salah satu butir ‘kehendak’ Milenium Development Goals (MDG’s)—yang ‘menjamin’ kesetaraan dan pemberdayaan kaum perempuan oleh Bank Dunia dan IMF— adalah omong kosong. Setiap tahun, 76 juta kehamilan yang tak dikehendaki terjadi di negeri berkembang saja. 19 juta di antaranya melakukan aborsi illegal. Bahkan, penyebab utama sakit dan kematian pada perempuan yang berusia 15-44 tahun adalah kondisi kesehatan reproduksinya. Kejamnya lagi, meski hampir pasti dapat dicegah, 99% dari kematian (ibu) tersebut terjadi di negeri berkembang dan miskin.

dari total pendapatan dunia. Ada 600 juta kaum perempuan di seluruh dunia saat ini dalam keadaan buta huruf. Setiap tahun tak kurang dari 800.000 orang diperdagangkan (secara seksual) ke luar negeri untuk dieksploitasi, dan 80%-nya adalah kaum muda perempuan.

Negeri-negeri miskin adalah negerinegeri di mana ketidakadilan terhadap perempuan terjadi paling tinggi, dan akses terhadap kesehatan serta hak reproduksi paling rendah. Kehancuran tenaga produktif negeri-negeri miskin akibat neoliberalisme berdampak lebih besar terhadap 1,7 milyar kaum perempuan berusia antara 15-49 tahun, yang merupakan mayoritas tenaga kerja produktif di negeri miskin.

Di hadapan kenyataan-kenyataan di atas, beserta 500.000 kaum perempuan

Neoliberalisme Mempreteli Hak-hak

Mei 2008 PEMBEBASAN 4


Perempuan Meskipun semakin banyak kaum perempuan masuk dunia kerja, berbagai bentuk diskriminsi serta keterbatasan pilihan pekerjaan dan upah yang lebih rendah masih menjadi persoalan hingga kini. Dalam beberapa kasus, memang, buruh perempuan memperoleh kemajuan dengan mendapatkan akses pekerjaan yang berupah tinggi, namun itu tak sebanding dengan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh semakin mendalamnya jurang antar-kelas. Di Amerika Serikat (AS), kemuduran gerakan perempuan juga terkait dengan penguatan politik kanan (konservatif), dan semakin kentara ketika Bush terpilih kembali—mungkin secara umum bisa disamakan dengan terpilih kembalinya Blair (Inggris) dan Howard (Australia). Dalam Konvensi Southern Baptist bulan Juni tahun lalu, Bush menegaskan bahwa ia akan berjuang sekuat tenaga tenaga untuk melarang perkawinan gay dan aborsi. Menurut Bank Dunia, di negeri-negeri maju, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap dollar yang diperoleh laki-laki, dan di negeri berkembang 73 sen saja. Laki-laki di dalam pemerintahan Bush menerima $76,624 setahun, sedangkan perempuannya rata-rata hanya $59,917. Kesenjangan upah tersebut terus terjadi di seluruh AS hingga kini. 1.3 juta pekerjaan musnah sejak resesi ekonomi Maret 2001. Kaum buruh perempuan kehilangan lebih dari 300.000 pekerjaan antara awal Maret, 2001, dan Maret, 2004. Di Mexico, migrasi kaum laki-laki akibat tekanan ekonomi membuat kaum perempuan harus bekerja di ladang sekaligus menjaga anak. Dalam satu abad terakhir, kepala rumah tangga perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, bertambah dua kali lipat jumlahnya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dialami oleh 14 perempuan setiap hari, namun hukum di 8 negara bagian tidak menganggap KDRT sebagai kejahatan. Pembunuhan dan pemerkosaan terhadap perempuan muda yang bekerja hanya dianggap sebagai ‘resiko’ demi investasi asing dalam pabrik-pabrik lepas pantai (perbatasan negeri) yang, katanya, Data-data diambil dari www.thetruthaboutgeorge.com/ dan 20th National Women’s Encounter, Mar del Plata Olga Cristóbal, serta Womens Rights Eroding in Latin America oleh Laura Carlsen.

5 PEMBEBASAN Mei 2008

menyangga perekonomian lokal. Di Argentina, setiap lima menit seorang remaja perempuan menjadi ibu, sementara pemerintah melarang aborsi yang memarakkan aborsi illegal sebagai penyebab utama kematian ibu. Pertumbuhan ekonomi 8,8% dan surplus fiskal sebesar $20 milyar di tahun 2005 tidak menguntungkan kaum perempuan. Setengah penduduk mendapatkan kurang dari 400 peso ($130,5) sebulan. Dari 18 juta rakyat miskin di Argentina, kaum perempuan adalah yang termiskin—6 dari 10 perempuan, dengan total 16,6%, hidup miskin dengan rata-rata pendapatan 221 peso per bulan, yang hanya memenuhi 58% dari total kebutuhan keluarga. Di bidang akademik, kesenjangan upah antara lelaki dan perempuan mencapai 34% hingga 45,9%. Ditambah dengan inflasi, sebetulnya, upah kaum perempuan hilang sebesar 32,4%. Memang, sebagian besar program-program sosial ditujukan pada kaum perempuan, namun pada kenyataannya, 63%-nya dikuasi kaum lelaki. Agar dapat menerima program keluarga, yang dirancang untuk 230.000 ibu yang memiliki lebih dari 3 anak kekurangan gizi, kaum ibu terpaksa tinggal di rumah dan selalu bersiaga bila tiba-tiba ada pemantauan dari pengawas pemerintah. Mayoritas organisasi perempuan setuju bahwa hal tersebut merupakan bentuk penghancuran militansi kaum perempuan sebagai pejuang di jalan-jalan, dan dapur-dapur umum warga menjadi berada di bawah kontrol pemerintah. Perang Melawan Teror,

Meneror Perempuan Perang terhadap terorisme oleh AS menambah kesengsaraan kaum perempuan di Iraq dan Afganistan. Sejak pendudukan Amerika dan pergantian rejim, lebih dari 50% kaum perempuan di Irak kehilangan lebih banyak kebebasan ketimbang yang sebelumnya sudah mereka peroleh; pemerkosaan dan kekerasan adalah ancaman sehari-hari. Serupa dengan kondisi di Afganishtan, perdagangan perempuan meningkat tajam, seperti halnya juga pemerkosaan, perkawinan paksa, penggunaan obat bius, dan kekerasan. Tetap saja, sepertiga kaum perempuan yang tinggal di Kabul tidak diperbolehkan keluar dari rumah, tak punya hak waris, hampir tak mungkin melakukan perceraian, dan sedang berjuang untuk memperoleh kembali hak kesehatan dan mata pencaharian. Penghancuran infrastruktur dan peningkatan kekerasan oleh tentara pendudukan AS, kebangkitan ekstrimis relijius menjadi ancaman baru bagi kaum perempuan. Jaringan Women Living Under Muslim Laws (WLUML) (kaum perempuan yang hidup di bawah Undang-Undang Islam) menunjukkan ada pola yang sedang terjadi di Irak dan, dalam konteks yang sama, mungkin terjadi di Afganistan: kekerasan terhadap kaum perempuan, sebagai sebuah bentuk imtimidasi politik, adalah salah satu strategi kekuatan ekstrim kanan yang Data-data dari Green Left Weekly; Monthly Review; Kompas.


sistematis untuk menerapkan hukum dan negara Islam. Perang terhadap teror tidak pernah terbukti menghancurkan fundamentalisme—yang menjadi salah satu penghambat pembebasan kaum perempuan—yang selama ini oleh AS dijadikan sebagai pembenaran. Yang terjadi sebenarnya hanyalah pergantian rejim fundamentalis anti AS dengan rejim fundamentalis yang pro-AS. Kebangkitan fundamentalisme selain oleh karena perang melawan terorisme juga merupakan suatu bentuk ketidakmampuan gerakan memunculkan alternatif terhadap tatanan neoliberalisme saat ini. Hal yang disebutkan oleh Nawal El Saadawi sebagai “...dalam situasi kebingungan, tidak menentu dan tidak aman, banyak orang mencari pemecahan dan kenyamanan di dalam agama. Muncullah apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Padahal, agama hampir selalu digunakan untuk tujuan-tujuan politik. Situasi tersebut dapat menjelaskan tumbuhnya kekuatan fundamentalisme. Yang berkuasa di India saat ini adalah kelompok fundamentalis Hindu; di AS, kelompok neokonservatif, kapitalis neoliberal dan fundamentalis; di negeri-negeri Asia dan Arab, gerakan Islam fundamentalis tumbuh; di Israel, kelompok fundamentalis berkoalisi dengan pemerintah.” Perempuan di Negerinegeri Imperialis Kemapanan yang menjadi ciri khas organisasi-organisasi perempuan internasional saat ini adalah kelanjutan dari mandegnya feminisme gelombang kedua. Gelombang pertama dan kedua sama-sama bermuara pada eksistensi feminis kaum perempuan kelas menengah. Bahkan, di era ‘80an, pimpinan-pimpinan gerakan perempuan di negeri maju kerap disuap kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah, dunia akademik atau parlementer. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kemerosotan gerakan perempuan di negeri-negeri maju, selain erat pula kaitannya dengan kemunduran gerakan (kiri) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan melahirkan alternatif bagi kapitalisme. Barbara Epstein dalam Apa yang Telah Terjadi dalam Gerakan Perempuan? Lihat pamflet Setara yang diterbitkan Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan Kalyanamitra, 2004. Ibid.

menggambarkan banyak capaian gerakan perempuan di negeri-negeri induk imperialis. Namun, keberhasilan tersebut belum membawa kesetaraan jender yang sesungguhnya. Mayoritas organisasi perempuan di negeri imperialis masih percaya pada penyelesaian persoalan kaum perempuan di bawah syarat-syarat kapitalisme. Padahal persolan yang dihadapi saat ini terus berputar-putar di sekitar: bekerja diluar rumah dengan upah lebih rendah—sehingga menjadi lebih miskin ketimbang lelaki; tanggung jawab memelihara anak tetap lebih banyak pada kaum perempuan; dan yang paling gawat, tak ada lagi gerakan massa perempuan. Padahal, tak terhitung jumlah proyekproyek kaum feminis yang terorganisir, yang memfokuskan diri pada persoalanpersoalan KDRT, hak-hak reproduksi dan kesehatan kaum perempuan. Terdapat jaringan (internasional) kaum perempuan yang melanjutkan usaha-usaha yang telah dimulai pada pertemuan kaum perempuan internasional di Beijing pada tahun 1995. Para penulis feminis muda mempublikasikan buku-bukunya, yang dipersembahkan bagi, atau berbicara pada, generasi mereka. Namun, feminisme lebih menjadi suatu gagasan ketimbang mejadi sebuah gerakan, dan itulah yang menyebabkannya sering kekuarangan kualitas visi yang penah dimilikinya. Memang, secara umum keterlibatan kaum perempuan didalam aksi-aksi anti perang dan isu-isu anti kapitalisme serta

anti imperialisme meningkat, seperti bentuk-bentuk aksi yang dilakukan oleh jaringan World Women March (derap kaum perempuan dunia) dalam melawan kekerasan dan kemiskinan. Tapi, belum terlihat signifikansinya terhadap kemunculan dan pembesaran gerakan perempuan. Keterlibatan kaum perempuan dalam isu-isu tersebut bersifat empirik, artinya dukungan/ keterlibatannya meningkat setelah mereka merasakan serangan imperialisme dan perang yang berdampak langsung pada penurunan hak-hak kesejahteraan mereka. Kondisi tersebut juga terkait dengan bertahannya program-program sosial-demokrasi yang mengkanalisasi perlawanan rakyat dan kaum perempuan terhadap instrumen-instrumen negara borjuis. Di luar kehebohan yang ditampilkan organisasi-organisasi perempuan di Barat, sedikit sekali dari mereka yang menjadi pompinan partaipartai politik progressif. Perempuan di Negerinegeri Miskin Dampak neoliberalisme memupuk perlawanan kaum perempuan di negerinegeri Dunia Ketiga bersama-sama dengan sektor masyarakat lainnya. Dalam sejarahnya, radikalisme gerakan perempuan menyatu dengan gerakan pembebasan nasional dan penggulingan kediktatoran, seperti di negeri-negeri Amerika Latin—Nicaragua dan El Savador—Nepal, Filipina (dengan Gabriella-nya), dan Palestina. Di Amerika Latin, setelah kemenangan hak pilih di awal 1930-an hingga akhir 1950-an, radikalisme dan militansi kaum perempuan berlanjut untuk perjuangan demokrasi di era 70-an hingga 80an. Setelah liberalisasi politik, tampak gerakan perempuan yang berperan sangat besar dalam perubahan politik Amerika Latin hampir-hampir berhenti pada parlementarianisme, kecuali gerakan massa perempuan yang menjadi bagian dari perjuangan yang bertujuan mencapai masyarakat sosialisme. Namun, tak seperti di negeri-negeri induk kapitalis, situasi tersebut tidak kemudian mematikan gerakan massa perempuan. Perubahan politik yang meluaskan semangat anti imperialisme di Amerika Latin (di bawah pimpinan Chavez, Castro dan Morales) memberi Data-data dari Green Left Weekly; tulisan Women Right to Employment and Fair Wages, Miriam Nobre; Bolivia, Indigenous Leaders, Women Head New Cabinet, Franz Chávez.

Mei 2008 PEMBEBASAN 6


‘angin segar’ gerakan perempuan di Amerika Latin. Salah satu yang berhasil mempertahankan ciri gerakan massa perempuan yang politis, anti globalisme neoliberal dan tidak sektarian adalah organisasi payung perempuan Gabriella di Filipina. Perwakilan Gabriella di parlemen Filipina tetap melanjutkan tradisi politik revolusioner Gabriella dengan terus terlibat aktif dalam gerakan anti imperialisme dan aksi-aksi anti Arroyo baru-baru ini. Lain dengan Brazil, semasa kediktatoran, politisasi perempuan di Brazil begitu cepat. Organisasi perempuan yang pada awalnya hanya membagikan susu pada ibuibu miskin berkembang menjadi gerakan anti kediktatoran yang meluas. Namun, angka-angka yang mencerminkan kemajuan (politisasi) perempuan— seperti peningkatan 5 kali lipat kaum perempuan yang masuk Universitas, hingga setara dengan jumlah kaum lelakinya di akhir 80-an; peningkatan 18, 5% populasi perempuan yang aktif secara ekonomi antara tahun 1970-1980—masih didominasi oleh perempuan kelas menengah dan berkulit putih. Pada pertengahan 2003, National Confederation of Agricultural Workers (CONTAG) (konfederasi nasional pekerja pertanian) dan organisasiorganisasi lainnya mengorganisir 30.000 kaum perempuan Brazil untuk menuntut akses terhadap tanah dan air, pelayanan kesehatan, kenaikan upah, dan peraturan untuk mencegah kekerasan seksual. Di Chile, Presiden kiri-tengah, Michelle Bachelet, menunjuk 10 perempuan dan 10 lelaki dalam kabinetnya, termasuk Menteri Pertahanan dan stafnya serta Menteri Ekonominya. Namun semua itu belum tentu lebih bermakna bagi perjuangan pembebasan perempuan, karena Bachelet sejak awal tak tegas menolak neolibealisme. Di Bolivia, Presiden Evo Morales membentuk kabinet yang sebagian besar berasal dari masyarakat adat, serikat buruh dan kaum perempuan—sektorsektor yang paling parah menjadi sasaran neoliberalisme. Nila Heredia, seorang Professor Universitas dan juga pejuang pembela hak sipil dipilih sebagai Menteri Kesehatan, dan Casimira Rodriguez seorang antropologis dan aktivis perempuan menjadi Menteri Kehakiman/Peradilan Setelah Kuba, Venezuela adalah negeri

7 PEMBEBASAN Mei 2008

berikutnya yang sedang berjuang memberikan basis bagi pembebasan kaum perempuan melalui Revolusi Bolivarian yang demokratik dan anti imperialisme. Konsitusi Republik Kelima Venezuela yang terkenal sebagai konstitusi paling baik melebihi Magna Charta, menjamin hak-hak perempuan secara khusus. Bahkan konstitusi diputuskan melalui referendum, setelah sebelumnya kaum perempuan, melalui Front Perempuan Konstitusional Pergerakan Republik Kelima (FCMMVR), mengorganisir aktivis-aktivis feminis, mantan-mantan pejuang gerilya (kiri) perempuan, ibuibu rumah tangga, para profesional, dan anggota-anggota organisasi perempuan seperti Women for Venezuela (kaum perempuan demi Venezuela) serta United Women Leaders (pimpinanpimpinan kaum perempuan bersatu), untuk mendata persoalan perempuan yang harus dijawab oleh Konstitusi. Hasilnya, konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa perempuan berhak atas kewarganegaraan penuh, berhak bersuara atas diskriminasi, pelecehan seksual dan KDRT. Tak cukup sampai disitu, Konstitusi Venezuela adalah satusatunya konstitusi di Amerika Latin yang menyatakan pekerjaan rumah tangga sebagai sebuah aktivitas produktif secara ekonomi, dan menjamin ibu rumah tangga memperoleh jaminan sosial (pasal 88). Konstitusi juga menghindari penggunaan bahasa yang seksis. Contohnya, terkait dengan sebutan orang, konsititusi menggunakan baik kata president (mengacu pada presiden laki-laki) maupun presidenta (presiden perempuan). Untuk mengatasi 50% kaum perempuan yang bekerja di sektor informal dan berupah rendah, pemerintah Chavez membentuk Bank Pembangunan Perempuan (BANMUJER) pada tanggal 8 Maret, 2001. Bank memberikan pinjaman berbunga rendah kepada kelompok perempuan untuk berproduksi. Seringkali pinjaman-pinjaman tersebut tak mampu dikembalikan, namun landasan pembentukan BANMUJER bukanlah laba, melainkan kemajuan tenaga produktif perempuan. Hasilnya, partisipan program-program (mission) politik dan komunitas sosial, serta pertemuan-pertemuan politik lainnya, paling banyak dihadiri kaum perempuan. Hasil-hasil terebut dipertahankan dengan membentuk INAMUJER (Lembaga Perempuan Nasional) yang dikoordinir Maria Leon [bekas pejuang gerilya (kiri) dan aktivis perempuan]. Tujuan

utamanya adalah mempertahankan hakhak politik yang saat ini sudah diperoleh dan meluaskannya hingga masyarakat yang demokratik secara politik, sosial dan budaya menjamin pembebasan perempuan. Perang Rakyat yang dimulai sejak Februari, 1996, sampai saat ini di Nepal, meluas di 73 distrik dari 75 distrik yang ada. Mobilisasi kaum perempuan adalah yang terbanyak dalam perang tersebut. Di antara semua organisasi massa lainnya, organisasi perempuan ANWA(R) (Perhimpunan Permpuan Seluruh Nepal) adalah yang paling aktif dan paling militan di barisan depan pergerakan—bahkan kaum perempuan lebih dulu menyerahkan perhiasanperhiasan warisan keluarganya untuk kepentingan perjuangan. Setelah diberlakukannya keadaan Darurat di bulan November, 2001, semakin banyak kaum perempuan yang diperkosa, dibunuh, dan hilang. Namun situasi tersebut tidak menyurutkan peningkatan partisipasi perempuan dalam perang rakyat di Nepal. Terkait erat dengan kepemimpinan Partai Komunis Nepal (CPN-Maois), lapangan perjuangan kaum perempuan adalah di dalam partai, ketentaraan, dan front persatuan. Saat ini semakin banyak kaum perempuan memiliki keberanian memberontak melawan perkawinan yang menindas dan secara politik tidak tepat. Juga meningkat kecenderungan perempuan yang menjanda untuk menikah lagi (yang dikutuk oleh tradisi Hindu ortodok). Di Palestina, kaum perempuan juga terlibat dalam bermacam bentuk perlawanan, termasuk perjuangan bersenjata. Bahkan, perjuangan kaum perempuan Palestina adalah inti dari sejarah keseluruhan perjuangan rakyat Palestina. Pada intifada pertama (1987), kaum perempuan berperan penting dalam memimpin demonstrasi, membangun komite-komite pelayanan rakyat, dan mempelopori kampanye boikot produk-produk Israel di Gaza dan Tepi Barat. Mayoritas LSM perempuan yang bergantung pada pendanaan LSM perempuan negerinegeri imperialis sering tak mengaitkan feminisme dengan kehendak pembebasan nasional perempuan Palestina. Kaum perempuan yang bergerak di jalan-jalan berkeyakinan bahwa akar penyebab penindasan mereka juga terkait dengan penjajahan/pendudukan negerinya. Kaum perempuan seperti itulah yang bertahan dalam pergerakan pada


intifada kedua pasca Oslo. Ratusan kaum perempuan Hamas berperan besar di dalam berbagai Universitas, termasuk Universitas terbesar di Palestina AlNajah, dimana pergerakan memperoleh kemenangan gemilang pada pemilihan dewan mahasiswa/i. Kaum perempuan Hamas menghendaki kesempatan yang sama untuk menyebarluaskan ideologi pergerakan ke sebanyak mungkin rumah rakyat Palestina—mereka melakukan kunjungan rutin ke distrik-distrik tempat rumahrumah ratusan keluarga Palestina. Peran besar mereka, rekor pelayanan sipil, kesehatan dan bakti-bakti sosial untuk masyarakat tak bisa dikalahkan oleh kaum lelaki. Hasilnya, dalam kemenangan Hamas pada pemilu di Palestina, juga di tingkat kabupaten, jumlah pendukung Hamas dari kalangan kaum perempuan jauh lebih besar dibandingkan dari kalangan kaum lelaki, dan Hamas menempatkan enam orang perempuan di parlemen. Rakyat mengakui bahwa �Sebelum Hamas (menjalankan programnya), perempuan tidak melek situasi politik. Hamas lah yang menunjukkan dan menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Perempuan sekarang jauh lebih sadar.� Kesimpulan 1.krisis neoliberalisme yang menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan mempreteli hak-hak ekonomi dan politik yang sempat dimenangkan sebelumnya. Solusi ala MDGs adalah retorika imperialis untuk sekadar membuat negeri-negeri berkembang dan miskin, yang bergantung pada hutang, berdaya sebatas bisa membayar cicilan hutangnya kembali. Sehingga pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk kampanye melawan kekerasan dan pemberdayaan perempuan dalam kerangka neoliberalisme (MDGs), tidak akan pernah menyelesaikan persoalan mendasar perempuan. 2. Perjuangan melawan neoliberalisme dan perang melawan teror, sebagai penyebab kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif, adalah persoalan mendesak kaum perempuan seluruh dunia saat ini. Terpecah-pecahnya (fragmentative) kelompok-kelompok perempuan kedalam isu-isu seperti HAM, aborsi dan lingkungan adalah akibat dari krisis dan hasil dari perbedaan pendapat

berbasis kelas dalam pergerakan perempuan yang, sedikit demi sedikit, mulai terkikis oleh kenyataan bahwa semakin fragmentatifnya tuntutan perempuan maka semakin jauh ia dari kemenangan sejatinya. Fragmentasi isu dapat digunakan sebagai taktik untuk kemenangan kecil namun tidak strategis. Kemandegan kelompokkelompok perempuan di negeri imperialis membuktikan bahwa isu yang fragmentatif tersebut pun tak bisa lagi dipenuhi oleh pemerintah imperialis. 3. Di tengah kemunduran gerakan perempuan internasional secara umum, terdapat sebuah celah bagi konsolidasi gerakan perempuan yang memang (seharusnya) menemukan momentumya. Kebutuhan alternatif terhadap model ekonomi neoliberalisme yang sudah bangkrut merupakan momentum bagi kebangkitan gerakan perempuan. Bangkitnya perlawanan hingga terwujudnya sebuah pemerintahan dan sistem alternatif di luar neoliberalisme semakin nyata di Amerika Latin, dan kaum perempuan mampu berada di barisan terdepan. ***

Mei 2008 PEMBEBASAN 8


Gerakan untuk Partisipasi Kerakyatan Oleh Martha Harnecker 1. Model globalisasi yang dipaksakan di benua kita terbukti gagal/tak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang paling menekan di negeri-negeri kita ini, dan sebagai konsekuensinya mengintensifkan penolakannya sendiri. 2. Penolakan tersebut diekspresikan melalui berbagai macam praktek perlawanan dan perjuangan. 3. Front kiri atau proses politik kaum kiri melawan neoliberalisme sedang berkonsolidasi di sebagian negeri Amerika Latin. Sebagian lainnya adalah gerakan sosial yang kuat dan telah menjadi aktor politik utama, yang kini berada di garis depan perjuangan melawan globalisasi neoliberal. 409. Setelah mempelajari delapan pengalaman perlawanan (terhadap neoliberalisme) yang paling relevan di Amerika Latin: EZLN di México; FMLN di El Salvador; Revolusi Bolivarian Venezuela; gerilya di Colombia; gerakan pribumi dan ekspresi politiknya di Ecuador; PT dan MST di Brazil, Frente Amplio di Uruguay, maka harus kusimpulkan bahwa poros strategis perlawanan terhadap neoliberalisme adalah, pertama-tama (paling utama), melalui pengartikulasian sektor-sektor kaum kiri yang berbeda-beda. 410. Aku memaknai Kiri sebagai seluruh lingkaran kekuatan yang bangkit melawan sistem kapitalis (dengan logika labanya), yang berjuang untuk sebuah masyarakat alternatif berdasarkan kemanusiaan dan solidaritas dalam memperjuangkan kepentingan kelas pekerja, membebaskannya dari kemiskinan material dan penderitaan spiritual yang diternakkan oleh kapitalisme. 411. Kiri, oleh karenanya, tak sekadar dalam pengertian unsur-unsur yang melawan baik dalam partai kiri maupun dalam organisasi politik; namun juga termasuk aktor-aktor dan gerakan sosial. Mereka seringkali dinamis dan bermental juang, mereka mengakui gagasan/cita-cita yang disebutkan di atas, walaupun tidak melawan dalam partai politik atau organisasi manapun. Di kalangan yang pertama (dalam partai atau organisasi politik) terdapat mereka yang lebih cenderung mengakumulasi kekuatan dengan mentransformasi institusi-institusi, dan yang lainnya memilih perang gerilya revolusioner; sedangkan di kalangan yang terakhir (aktor-aktor dan gerakan sosial), beberapanya mencoba menciptakan gerakan sosial yang otonom dan berbagai tipe jaringan. 412. Bila disederhanakan, aku menyebut grup pertama sebagai “Kiri-Partai”; dan grup kedua sebagai “Kiri-Sosial.” Aku yakin bahwa hanya dengan menyatukan upaya-upaya militan berbagai ekpresi Kiri yang berbeda-beda itulah yang akan mampu menjalankan dengan tepat tugas kedua: membangun persatuan yang lebih luas dari seluruh kepentingan yang menderita akibat kapitalisme yang kejam saat ini, dan menciptakan suatu blok sosial yang signifikan dalam melawan neoliberalisme. 421. Kita hidup pada masa ketika partisipasi politik (yang tepat) telah menyempit—sebuah fenomena yang mendunia—dan telah mengorientasikan dirinya ke arah lain serta menuju bentuk-bentuk tindakan yang lain. 422. Pada saat yang sama, secara umum, terjadi ketidakpercayaan rakyat (yang terus meningkat) terhadap politik dan politisi. 423. Hal tersebut ada hubungannya dengan hambatan luar biasa yang ‘harus dihadapi’ rejim demokratik saat ini. 424. Franz Hinkelammert menjelaskannya sebagai demokrasi agresif, minim konsensus, memiliki kontrol ekstrim terhadap media dalam hal mengkonsentrasikan kepentingan ekonomi; kedaulatan tidak berada pada pemerintahan sipil melainkan pada lembaga-lembaga pertahanan dan, terlebih lagi, pada organisasi keuangan internasional yang mewakili pemerintahan negeri-negeri yang lebih maju. Demokrasi yang terkontrol adalah demokrasi yang para pengontrolnya malah mereka yang tidak tunduk pada mekanisme demokratik manapun juga. 425. Kontrol berintensitas rendah ini, menghambat, membatasi, atau mengawal rejim demokratik—yang tipenya digambarkan berbedabeda (oleh berbagai penulis)—yang mengkonsentrasikan kekuasaan ke dalam institusi berkarakter permanen, yang bukan elektoral dan, oleh karena itu, tidak tunduk pada proses pemungutan suara, seperti: Dewan Keamanan Nasional, Bank Sentral, Institusi Penasehat Ekonomi, Cuplikan poin-poin tulisan Martha Harnecker, Mengupayakan sebuah Persatuan Partai Kiri dan Gerakan Sosial Kiri, 2003. Carlos Ruiz, Un proyecto político para los nuevos tiempos, majalah Rebelión Internet. Karya tersebut dipresentasikan pada seminar yang diorganisir oleh Paulo Freire Institute, Santiago de Chile, January 13, 2001. Op.cit., hal.8. Franz Hinkelammert, Nuestro proyecto de nueva sociedad en América Latina: el papel regulador del estado y los problemas de autorregulación del mercado, dalam Cultura de la esperanza y sociedad sin exclusión, Ed. DEI, Costa Rica, 1995, hal.114.

9 PEMBEBASAN Mei 2008


Mahkamah Agung, dan institusi serupa lainnya, yang secara drastis membatasi kapasitas efektif para pejabat yang terpilih secara demokratik. 428. Hal lain yang dapat menjelaskan peningkatan ketidakpercayaan rakyat terhadap politik dan politisi termasuk, di satu sisi, suatu belas kasihan Kaum Kanan (yang tidak tepat) masuk ke pembahasaan dan diskursus Kiri, misalnya saja katakata semacam: reformasi, perubahan struktural, perhatian terhadap kemiskinan, transisi, yang saat ini telah menjadi bagian dari perdebatan seharihari; dan, di sisi lain, semakin seringnya sebagian praktisi politik Kiri mengadopsi praktek-praktek yang hampir-hampir tidak berbeda dari yang biasa dilakukan partai tradisional. 431. Rakyat biasa sudah muak dengan sistem politik tradisional dan menginginkan pembaruan; suatu pendekatan baru atas proses politik dan menghendaki pembaruan; mereka menginginkan politik yang sehat; trasparan dan partisipatif; mereka ingin merengkuh kembali harapannya. 433. Ketidakpercayaan pada politik dan politisi tumbuh setiap hari dan juga merembes ke dalam gerakan Kiri-Sosial. Dalam arena politik, tempat partai politik bekerja, hal tersebut tak memberikan bahaya bagi politik Kanan, namun membahayakan bagi Kiri. Kanan bisa bekerja dengan sempurna tanpa partai politik, seperti yang sudah sering ditunjukkan selama periode kediktatoran, namun Kiri [...] tak bisa melakukannya tanpa alat politik, baik itu partai politik, front politik, atau instrumen lainnya. Pengkerdilan aktivitas politik menjadi semata-mata institusional 442. Kaum kanan telah menunjukkan inisiatif politik yang luar biasa dengan mengontrol dan memanfaatkan institusi negara serta keuletan pengaruh ekonominya dalam memaksakan model neoliberal. Mereka menjabarkan dan mempraktekkan strategi fragmentasi (pemecah-mecahan) yang simultan dan pintar yang, secara tak setara, memajukan gerakan sosial tertentu dan membangun sentimen anti-partai. Biasanya, mereka menggunakan hampir seluruh institusiinstitusi yang ada untuk pekerjaan politiknya tersebut. Ia berkecenderungan Mario Unda, El arco iris muestra el país que los poderosos no quieren ver, dalam Por el camino del arco iris..., op.cit., hal. 71-72. Marta Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI. ... Op.cit.hal.304-305. paragraf 1072.

mengadaptasi dirinya pada aturan main yang dipaksakan musuh, dan hampirhampir tak pernah mengejutkan musuh. Tingkat absurditas semacam itulah yang diatur Kaum kanan terhadap agenda Kaum kiri. 443. Setelah mereka mengetahui hasil elektoral tak seperti yang mereka harapkan, kapan kita tidak mendengar kaum kiri yang mengeluh mengenai kondisi merugikan yang, sebenarnya, harus dilawan selama pemilu? Sejauh ini, kaum kiri semacam itu sangat jarang mengritik aturan main yang diterapkan tersebut, termasuk tak pernah memberikan suatu proposal reformasi elektoral selama kampanye elektoral. Sebaliknya, biasanya, karena haus akan suara, ketimbang melakukan kampanyependidikan dalam rangka mempromosikan kandidatnya (sehingga rakyat dapat memperbaiki organisasi dan kesadarannya), mereka malah menggunakan teknik yang sama dengan kelas penguasa. 444. Di sisi lain, aturan main yang diterapkan oleh kelas yang dominan menghambat persatuan Kiri dan menstimulasi kultus individu. 445. Sebagai akibatnya, pasti, ketika terjadi kekalahan elektoral, pada puncak keputusasaan, keletihan dan keraguan yang membebaninya selama kampanye, upaya elektoral tidak diterjemahkan sebagai pertumbuhan suara politik pemilih, dan mereka sekadar menyisakan organiser yang berada dalam perasaan kesia-siaan. Situasi tersebut akan menjadi sangat berbeda jika kampanye disusun dari sudut pandang penyadaran/pendidikan, menggunakan pemilu untuk memperdalam kesadaran tentang organisasi kerakyatan yang, bahkan, sekalipun hasil pemilu tidak menyenangkan, namun waktu dan usaha yang sudah diinvestasikan dalam kampanye tidak akan dianggap sia-sia . 446. Pernah disebutkan, setidak-tidaknya oleh beberapa orang, bahwa sistem yang dominan menciptakan kultus institusi sebagai kuda Trojan yang mengantarkan Kiri ke dalam benteng transformasinya; yang kemudian menyerang Kiri dari dalam. M. Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI..., op. cit., hal. 308-309, paragraf 1087-1089. Marta Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI..., op.cit., hal. 379‑380, paragraf 1367-1370. David Hernández Castro, La revolución democrática (Otro mundo es posible), Preparatory Document for the VI Asamblea Federal de Izquierda Unida, Molina de Segura (Murcia), 6 sep., 2000.

447. Kerja-kerja militan semakin lama semakin didelegasikan kepada orang yang memegang jabatan publik dan administratif. Kerja keras yang paling pokok adalah menghentikan dan mengubah aksi kolektif menjadi aksi parlementer10 atau menjadi mediator. 448. Aksi militan dikurangi cakupan/ jangkauannya menjadi sekadar: di hari pemilu, memasang poster-poster propaganda dan tindakan-tindakan umum tak penting lainnya.11 449. Bahkan ada yang lebih buruk, mengorbankan partai sekadar menjadi institusi yang mendorong partisipasi kader partai dalam institusi negara, parlemen, pemerintahan lokal, komisi pemilu, dan sebagainya, yang semuanya berbuntut pada ketergantungan dan tekanan yang luar biasa. 450. Di sisi lain, ‘penyatuan’ Kiri-Partai dan gerakan Kiri-Sosial akan difasilitasi jika konseptualisasi politik tradisional— yang cenderung melemahkan perjuangan gerakan Kiri-Sosial dalam mengontrol institusi-institusi politis-yuridis dan melebih-lebihkan peran negara—akan disingkirkan.12 Konsepsi tersebut menyebar baik ke sektor yang paling radikal maupun ke sektor yang paling reformis. Yang radikal ‘membatasi’ tindakan politiknya pada perebutan kekuasaan politik dan penghancuran negara; yang reformis menata (manajemen) kekuasaan politik atau praktek pemerintahannya. Sedangkan sektor-sektor rakyat dan perjuangannya benar-benar (telah) diabaikan.13 451. Sebenarnya, bagi Kaum Kiri, politik harus lebih dari sekadar kontrol terhadap institusi; ia harus bermakna membuka peluang merubah institusi-institusi tersebut sehingga bisa menstransformasi realitas. Ia harus bermakna membuka peluang untuk menciptakan hubungan kekuasaan yang baru demi perubahan yang dibutuhkan. Harus dimengerti bahwa: tak mungkin membangun kekuatan politik tanpa membangun sebuah 10.Ibid. 11 Situasi tersebut digambarkan oleh David Hernández saat ia mengacu pada Izquierda Unida of Spain (Persatuan kiri di Spayol) dalam teks yang dikutipnya, seperti juga saat menjabarkan apa yang umum terjadi pada Kiri Amerika Latin yang institusional (Ibid). 12 Carlos Ruiz, La centralidad de la política en la acción revolucionaria, Santiago, Chile, 1998, hal.13 (I dokumen). 13 Marta Harnecker, La izquierda en el umbral del Siglo XXI..., op,cit. paragraf 1059.

Mei 2008 PEMBEBASAN 10


kekuatan sosial terlebih dahulu. 452. Kiri-Partai cenderung mau mem’partaikan’ semua inisiatif dan gerakan yang berjuang untuk emansipasi, atau bukannya malah mengupayakan sebuah penyatuan praktek mereka menjadi sebuah proyek politik tunggal.14 495. Aku percaya, bahwa suatu ruang yang sangat menarik bisa diciptakan melalui konsultasi kerakyatan, referendum atau plebisit. Bila berhasil, selain berkontribusi untuk mengakhiri pelaksanaan kebijakan neoliberal, menciptakan ruang bagi sebuah kontra-propaganda ideologis namun, lebih spesifik lagi, juga bisa memobilisasi begitu banyak orang dan kaum muda—dalam kerja kongkrit dari rumah ke rumah (untuk mendekati dan menyadarkan rakyat)—yang saat ini baru saja sadar/bangkit terhadap politik, ingin berkontribusi bagi terciptanya sebuah dunia baru, yang kerap kali tak tahu bagaimana melakukannya, dan yang juga tak mau melawan dengan cara tradisional. 496. Partai Causa-R di Venezuela, contohnya, mengorganisir sebuah referendum rakyat beberapa bulan setelah kudeta militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Hugo Chavez dan gerakan Bolivariannya (di bulan Februari, 1992). Selama konsultasi kerakyatan (referendum) tersebut, kotakkotak suara ditempatkan di tengah-tengah jalanjalan raya kota, dan para pemilih diminta memilih ‘apakah mereka setuju Carlos Andres Perez, presiden pada waktu itu, tetap memerintah negeri mereka. Lima ratus ribu orang memilih, khususnya di areal-areal metropolitan, dan 90%-nya memilih menentang presidennya sendiri. Referendum tersebut berkontribusi dalam menciptakan situasi (atmosfer) politik yang menguntungkan untuk menjatuhkan presiden: merupakan suatu peristiwa politik yang benar-benar baru di negeri tersebut, itulah pertama kalinya seorang presiden kehilangan mandatnya karena hasil dari sebuah petisi parlementer, dan dipecat sebelum masa jabatannya berakhir. Tak ada hukum yang menjamin/menjaga/mengamankan konsultasi semacam itu, namun tak ada juga yang melarangnya. Partisipasi rakyat yang massif adalah sebuah pernyataan politik, meskipun hasilnya masih kurang (banyak). 497. Ada juga contoh lain, di Uruguay, apa yang disebut dengan Frente Amplio, yakni: menunjukan kertas suara kosong untuk mengekspresikan penolakan/pembatalan terhadap pemilu yang diorganisir (selama masa kediktatoran) oleh partaipartai yang dilarang, di antaranya termasuk Frente sendiri (1982); plebisit/referendum melawan “UU Impunitas”—yang menggugurkan peluang untuk menghukum orang-orang yang telah melanggar HAM atau yang dicurigai menjadi pembunuh di masa kediktatoran (1989)15; dan referendum terhadap 14.Enrique Rubio and Marcelo Pereira, Utopía y estrategia, democracia y socialismo, Ed. Trilce, Montevideo, Uruguay, 1994, p.151. 15 Meskipun secara nasional plebisit tersebut kalah dengan 46% melawan 54%, ia menang di Montevideo dan

11 PEMBEBASAN Mei 2008


privatisasi perusahaan-perusahaan publik (1992). Di Mexico, tentara Zapatista mengorganisir konsultasi dengan rakyat di tahun 1995 mengenai berbagai hal. Di antaranya apakah tentara pembebasan nasional Zapatista harus tetap sebagai gerakan atau menjadi partai politik dan, di tahun 1999, tentang pengakuan terhadap masyarakat pribumi.16 Di Brazil, konsultasi mengenai utang luar negeri (2000). 498. Untuk menghindari pelemahan terhadap alat perjuangan tersebut, konsultasi tersebut harus terjadi pada waktu yang menguntungkan, harus diorganisir dengan sangat baik, dan memilih serta kemudian memformulasikan isiannya dengan tepat. 499. Mayoritas konsultasi tersebut tidak memiliki hasil hukum (formal), namun ia telah mencapai hasil yang politis. Metode tersebut mengajarkan pada kita bahwa kaum kiri haruslah sekreatif mungkin untuk menghindari ketertutupan atau terjebak di dalam dikotomi apa yang legal dan apa yang ilegal. Harus dipertimbangkan sejumlah ruang-ruang lain—yang akan kusebut “alegal“ karena ia tidak berada pada dua dikotomi tersebut—dan dapat dimanfaatkan untuk meyadarkan, memobilisasi, dan membangkitkan partisipasi, agar mulai membangun blok sosial alternatif yang sebelumnya aku sebutkan.

Man at crossroads looking with hope and high vision to the choosing of a new and better future

500. Konsultasi kerakyatan AFTA—diorganisir secara simultan di semua negeri Amerika Latin sebelum pertemuan para presiden berikutnya—dapat menstimulus kampanye ideologis pencerahan yang besar, termasuk mobilisasi akbar untuk melawan Pakta neo-kolonial di seluruh benua itu.*** secara psikologis memperkuat para pejuang militan yang berada di pihak Kiri. Gerakan tersebut dikenal sebagai “suara hijau (green vote)” karena itulah warna dari kertas suara yang menolak UU tersebut. 16 Lihat analisis sebelumnya.

Mei 2008 PEMBEBASAN 12


SANG PANDAI API (MEMIMPIN KEBANGKITAN KESADARAN MASSA) Oleh Danial Indrakusuma Landasan Yang harus terus menerus didapatkan dan dipasokkan oleh partai yang menyandang kata pelopor (vanguard) adalah kesimpulan tentang kesadaran sejati massa—yang sesuai dengan hukum gerak/dinamika/tahap obyektif sejarah masyarakatnya. Pengertian kesadaran sejati massa tersebut adalah merupakan kesadaran YANG SEHARUSNYA yang akan melandasi tindakan politik massa untuk menapak ke tahap obyektif sejarahnya, karena memang kesadaran sejati itu lah yang dikehendaki sejarahnya. Suatu tahap sejarah tak bisa dipenjarakan oleh idealisasi kesadaran palsu, ia akan terus menerus menuntut amnesti kesadaran sejati untuk pembebasan manusia dan alamnya. Di atas landasan sejati itu lah partai (pelopor) seharusnya memimpin kemenangan sejati, bukan kemenangan oportunis/Machiavelis (baca: memanipulasi kesadaran palsu) yang mencelakakan. Sejarah Menyimpulkan, Gerakan Merevolusionerkannya Konsep partai pelopor didasari asumsi keberanian—secara psikologis sering dituduh sebagai kecongkakan— untuk menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara kesadaran partai dengan kesadaran massa, sehingga tugas utama partai adalah menghilangkan kesenjangan tersebut. Tuduhan congkak segera bisa kita abaikan karena adalah hak absyah suatu partai untuk menyimpulkan adanya kesenjangan tersebut dan menghilangkannya. (Kesenjangan itu sendiri merupakan hasil historis penindasan yang menyebabkan adanya strata masyarakat yang berpengetahuan dan yang tak berpengetahuan.) Tuduhan tersebut sebenarnya hanya lah merupakan kasih sayang yang dibalut idealisme (celaka!) kesejajaran manusia, sama sekali tak ada gunanya. Memang, konsep tersebut bisa menjadi landasan bagi pemaksaan yang fasistis; namun, konsep partai pelopor yang kita maksudkan tak akan menjadi landasan seperti itu bila kenyataan kesenjangan tersebut diterima—sebagai kerendahan hati (bila psikologis ukurannya)—dan dihilangkan secara sukarela, sekali lagi secara sukarela. (Keanggotaan partai pelopor itu sendiri harus merupakan keanggotaan sukarela atas dasar

13 PEMBEBASAN Mei 2008

penerimaan intelektual (cerdik) atas program dan metode perjuangan partai.) Upaya menghilangkan kesenjangan kesadaran tersebut merupakan upaya menolak Blanquisme—karena tak mungkin suatu revolusi akan berhasil tanpa massa sadar; dan, sebenarnya, tak mungkin pergi ke sorga sendirian. Itu lah mengapa partai pelopor hariharinya ditelikung oleh obsesi untuk berjuang bersama massa sadar. Memang, kesadaran sejati merupakan hasil historis lingkungan material dan sosial. Namun, bila tak ingin jatuh pada materialisme vulgar, upaya partai (seterbatas apa pun) untuk mentransfer kesadaran sejati dimungkinkan. Buntutisme terhadap kesadaran palsu massa memungkinkan dua hal: manipulasi bagi kepentingan kelas penindas; atau penyerahan kepemimpinan politik kepada kelas di luar dirinya, kelas yang asing, yang akan mengkhianatinya. Kesadaran sejati yang harus terus menerus disebarluaskan (seluas-luasnya) kepada rakyat adalah: REVOLUSI DEMOKRATIK SEPENUH-PENUHNYA, YANG HANYA BISA DILAKSANAKAN OLEH MASSA TERTINDAS YANG SADAR DAN TERORGANISIR.

yang memagarinya (kondisi obyektif), bisa berhenti hanya di tepi pagarpagarnya—dan, bila tak maksimal, bisa jauh dari tepi pagar-pagarnya, bahkan mungkin memandangnya pun tak sanggup. Membebankan kesalahan secara berlebihan pada kondisi subyektif, tanpa melihat keniscayaan kondisi obyektif, akan menimbulkan ketidakpercayaan pada kemampuan partai, ketidakpercayaan pada kemampuan perjuangan. HABIS SUDAH. Tapi hal tersebut bukanlah apologi untuk memaklumi (understand) ketidakmampuan subyektif yang tidak sepatutnya—ketidakpatutan tersebut yang harus disimpulkan dan dicari jalan keluarnya. Pengertian (understanding) terhadap kondisi subyektif tersebut hanya lah merupakan toleransi bahwa kondisi subyektif itu sendiri merupakan hasil historis. Setiap tahap sejarah partai harus dilihat sebagai upaya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut—dalam makna merebut alat-alat untuk memassalkan kesadaran sejati yang dibutuhkan suatu tahap sejarah. Semakin kukuh dan meluas kesadaran sejati di kalangan massa, maka semakin melenyap makna partai; dan hal tersebut akan sejalan dengan semakin hilangnya penindasan/penghisapan.

Upaya meraih dan memassalkan kesadaran sejati menuntut syarat-syarat, menuntut alat-alatnya. Upaya maksimal partai (kondisi subyektif) untuk memenuhi syarat-syarat tersebut tentu saja tetap tak bisa keluar dari batas-batas

Karena itu, pertanyaannya adalah: Saat menjatuhkan Soeharto, mengapa massa tak sanggup mendirikan Dewan Rakyat atau Komite Rakyat? ; atau Lihat Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai, Reform Institute, 2007.


mengapa massa setuju Pemilu, tidak memboikotnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan: analisa historis apakah terdapat kondisi obyektif bagi perluasan kesadaran sejati massa; bila tak ada, maka pertanyaannya: dari mana massa massa memperoleh kesadaran palsunya; dan bagaimana kondisi subyektif meresponnya. 1965. Bukan saja merupakan tahun terbukanya pintu gerbang bagi akselerasi modal yang lebih tinggi, bagi perluasan geografi modal, namun juga adalah pintu gerbang bagi penataan formasi modal yang baru (baca: penghancuran modal lama)—anarkisme terhadap tenaga produktif lama, guna menetapkan karakter pemilikan modal baru (dengan watak politik yang lebih loyal terhadap kekuasaan baru yang sedang mengakomodir masuknya modal asing). Takdir akhir bagi modal priyayipriyayi patron Partai Nasional Indonesia (PNI), yang masih berkutat dalam modal perdagangan (merchant capital); takdir

akhir bagi industri negara pasokkan negeri-negeri sosialis, yang masih dalam taraf pelatihan untuk ditangani oleh priyayi-priyayi yang tak memiliki basis historis lahir dari kandungan ibu masyarakat borjuis nasional (indigeneous); takdir akhir bagi industri kecil swasta, yang kuno—terutama tak massal— dan tak menarik, tak relevan, seketika dibandingkan dengan pencerahan barang-barang baru, barang-barang Barat. Semuanya, industri negara—yang sektarian terhadap modal Barat—merchant capital dan industri kampungan borjuis kelontongan memang pantas dihancurkan dihadapan rasionalisasi rencana trilyunan dollar modal baru dari Barat—tenaga produktif kelontongan justru memang pantas dilumatkan (anarkisme) karena tokh tak bisa menjadi basis bagi rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal baru dari Barat tersebut. Tenaga produktif manusia Indonesia (human experiencenya) pun dianggap kelontongan yang tak relevan di hadapan rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal Barat tersebut, apalagi jutaan borjuis kecil sekolahan

sudah dalam atau sedang dalam recana cengkraman hantu komunis. Jadi, anarkisme (baca: pembantaian) terhadap mereka pun memang bisa masuk ke dalam pembukuan (harian) Barat. Oleholeh pencerahan trilyunan modal Barat, dengan imbalan kado 3 juta bangkai manusia dan pemenjaraan (sampai mati potensi) ribuan manusia sampah/ parasit bagi modal Barat tersebut adalah pertukaran yang pantas bagi Orde Baru pembangunan—bila ingin membangun harus dengan basis tenaga produktif dan hubungan sosial yang benar-benar baru, bila tak ingin ada kemungkinan perlawanan dari 3 juta anggota dan 10 juta simpatisan komunis, yang mungkin akan “tak rasional”, MENOLAK oleholeh dari Barat, atau Go to Hell with Your Aid!. Bravo! Pintu gerbang memang Anarkisme seperti itu akan sulit diulangi setelah Soeharto jatuh karena akan menggangu basis akumulasi dan jalinan modal dunia yang oleh Barat dianggap sudah “mapan” pada kontruksinya, tinggal dievolusikan surplus value-nya. Apa yang dilakukan setelah kejatuhan Soeharto semata-mata merupakan momentum bagi penataan kembali dan penetapan formasi baru tenaga

Mei 2008 PEMBEBASAN 14


sudah didobrak kesatria borjuis, yang datang dari Barat untuk melumat sisa-sisa priyayi pra-borjuis; disambut sorak-sorai pertanyaan suku anak dalam mayarakat pra-borjuis: “Cermin ajaib, cermin ajaib, siapakah kami?” Dijawab oleh sang penabur modal (dari Barat): “Engkau lah yang ramah tamah, masyarakat praborjuis; engkau lah yang akan menjadi tercantik, menjadi masyarakat borjuis, seperti kami, dari Barat.” produktif dan pemilikan modal—yang tentu saja dihendaki dengan bergairah oleh Barat karena memang super profitnya sudah menggangu kontinuitas sosial, atau akan mengganggu kenyamanan sistim—apakah itu melalui utak-utik kebijaksanaan moneter/fiskal, atau melalui pukulan politik moderat (pemilu), atau juga melalui ideologi reformasi (pemerintahan bersih dan supremasi hukum). Tindakan radikal dalam menangani rencana tersebut akan menggangu produktivitas (baca: penghisapan surplus value) modal-modal lama dan akan menggangu jalinan sistim modal global, paling tidak Amerika, Jepang, Jerman, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura. Jadi, mereka harus berpikir bagaimana membuat jedah (interval) agar penataan kembali formasi modal tidak menggangu produksi dan distribusi lama— atau tak boleh dibangkrutkan dan tak boleh ada diversivikasi produksi terlebih dahulu. Bagi mereka tak ada jalan lain: rekapitalisasi pusat-pusat modal lama—salah satu yang terpentingnya adalah rekapitalisasi bankbank lama. Nampaknya tak ada keberanian untuk mengambilalih saja sisa-sisa kebangkrutan modal keuangan, jaringan tenaga produktif dan distribusi borjuis lama untuk diserahkan pada borjuis baru (siapa? Adi Sasono—yang terbukti gagal—Abu Rizal Bakri/Yusuf Kalla atau borjuis kelontongan yang selama ini mengeruk-ngeruk tong-tong sampah sisa-sisa/ceceran kroni Soeharto?). Namun: rekapitalisasi bukan lah penyuntikan modal dalam rangka membentuk formasi kepemilikan modal yang baru, terlalu riskan bagi pemerintahan baru (setelah Soeharto), juga bagi Barat—itulah mengapa negara borjuis (setelah Soeharto) selalu berkonsultasi atau meminta rekomendasi Bank Dunia; menaikan suku bunga bank untuk mengurangi peredaran dan perluasan uang agar tak menurunkan harga barangbarang over produksi; yang lainnya, Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dan ekstensifikasi tenaga kerja di sektor-sektor publik yang, pada intinya, merupakan pamungkas “Roselvelt Deal” guna menghadapi over produksi; yang lainnya lagi, subsidi—yang kemudian dihentikan Barat karena uang bantuan Barat harus digunakan sedapat mungkin untuk urusan ekonomi dan uang negara (dari pajak) hanya boleh digunakan untuk biaya manajemen (Negara), tak boleh menggangu/mendistorsi harga barang-barang over produksi. (Kita akan kembali pada permasalahan ini nanti.)

15 PEMBEBASAN Mei 2008

Di tahun 1965, di dalam masyarakat pra-borjuis yang kurus kering, siapa sebenarnya yang menyambut kesatria modal dari Barat itu? Mereka itu adalah gabungan (yang berinteraksi) dari: 1 TENTARA, yang mau berlagak sebagai kesatria modal dalam negeri. Berumur sekitar 40-50-an. Hasil dari pendidikan penjajahan Belanda (KNIL), hasil dari pendidikan penjajahan Jepang (PETA), dan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional. Mereka yang dominan adalah hasil dari dua yang belakangan; dan yang pertama, bila pun masuk ke dalam struktur kekuasaan bersama dua yang belakangan, kehilangan elan gagasan-gagasannya— dengan demikian hilang pula elan kekuasaannya—terbuang atau adaptatif. Tentara-tentara didikan KNIL—yang sedikit-banyak memboyong konsep tentara profesional masyarakat borjuis (dengan begitu maklum akan keinginan tata-tertib masyarakat borjuis)—dalam proses revolusi nasional, terbukti benar-benar tipis keimanan borjuisnya, hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan bersenjata versus perjuangan diplomatik. Dan konsekwensinya, protes dan tuntutannya, adalah: tentara pun harus berpolitik; tentara bukan alat politisi (sipil); tentara harus ada di jalan tengah (baca: dwifungsi ABRI); politisi tak bisa mengurus kemenangan revolusi nasional, kerjanya cuma bertengkar—demokrasi mereka pahami sebagai bertengkar; pertahanan rakyat semesta memerlukan struktur tentara yang bergandengan dengan struktur administrasi pemerintahan sipil; dan lain-lain, dan lain-lain, yang intinya: “Kami priyayi (kebanyakan priyayi jadijadian), yang karena itu dididik di sekolah perwira KNIL, harus punya kesempatan menjadi elit kekuasaan—namun, tak mungkin terpikir oleh kami menjadi borjuis. Itulah juga alasan mengapa kami mendaftarkan diri untuk dididik di sekolah perwira KNIL, menjadi elit di tengah bangsaku yang melarat, kuno dan menjijikan, walau hanya menjadi perwira KNIL recehan (baca: kaki tangan kolonial) yang, sebenarnya (menurut doktrin tentara professional), diajarkan untuk tidak boleh menjarah kehidupan sipil di luar tangsi, hidupku seharusnya hanya di sekeliling tangsi dan ke luar tangsi bila ada perlawanan bangsaku yang tak bisa diatasi secara politik. Patut juga kau maklumi mengapa iman borjuisku lemah. Apa yang kau harapkan dari pendidikan kolonial. Masih kah kau harapkan aku

diajarkan menghargai, takzim akan, tata tertib masyrakat borjuis seperti di Eropa—menghargai hak-hak manusia, sebagai individu sekalipun, yang menjadi landasan bagi demokrasi. Percaya kah kau tak ada manipulasi kolonialisme terhadap demokrasi (di bumi jajahan)? Breidel, Schoolverbood, Digul adalah penghianatan terhadap ibu (demokrasi) Eropa. Dan tak pernah terbayang bawa kami, bangsa yang menjijikan, bisa melawan kolonial dan memindahkan Eropa ke Indonesia. Tidak, kami tak pernah diajarkan punya keyakinan seperti itu; Islam-Islam itu, komunis-komunis itu, juga Soekarno, yang punya keyakinan seperti itu, melawan—walaupun, sebenarnya, mereka tak mengerti apa itu Eropa, dan tak punya kepercayaan bahwa, sebenarnya, demokrasi Eropa juga merupakan basis bagi populismenya (baca: kerakyatannya), Eropa juga yang mengajarkannya. Tidak, kami, KNIL, tak pernah diajarkan untuk punya keimanan seperti itu. Dan, bagi kami, rasionalisasi Hatta tak boleh memasukkan penghapusan dwifungsi ABRI. Kami setuju pada rasionalisasi Hatta (yang tak menghapuskan dwifungsi ABRI) karena dengannya kami bisa menyingkirkan tentara-tentara gembel, yang sudah dan bisa condong ke komunis. Kami harus mendukung Hatta agar kami lah, yang berpendidikan tinggi, yang menjadi pimpinan tentara dan tak ditangsikan. Kami memang tak ditangsikan, namun kami tak berdaya di hadapan gembelgembel PETA, yang jenderalnya jadi Panglima TNI. Namun, lebih baik daripada tak berdaya di hadapan gembel-gembel tentara komunis. Kami kira adalah baik bekerjasama dengan gembel-gembel PETA.” Yang (sedikit) lulusan Breda, apalagi, bahkan sudah tak bermakna sejak masa revolusi nasional, punah dilibas radikalisme/militansi kerakyatan borjuis kecil pra-borjuasi. Kekalahan Rusia oleh Jepang tahun 1905 dan kemenangan-kemenangan Jepang di Asia dalam Perang Dunia kedua serta, terakhir, kemenangan Jepang dari Belanda di Indonesia dianggap sebagai kemenagan Timur (Rakyat) atas Barat (penguasa/ elit)—semuanya memang terdengar sampai ke kabupaten-kabupaten. Sorak-sorai jamuan kedatangan bagi “Sang Pembebas”, sejak dari pantai hingga ke pedesaan. Kaum miskin kota, pengangguran, gembel-gembel, ramerame daftar jadi PETA dan Heiho. Yang mereka dapat di PETA dan Heiho: “Ayo, disiplin baja, disiplin baja—pelanggaran terhadap disiplin adalah aib yang harus


dibayar siksaan fisik—jadi tentara, jadi tentara, karena tentara adalah penguasa negara sesungguhnya, bahkan penguasa negara Asia Timur Raya. Kita adalah saudara, dan kami, Nipon, sudah menjadi saudara tua kalian, pengusir penjajah dari tanah air kalian. Marilah menjadi tentara, tentara bersama Asia Timur Raya. Jangan jadi tentara untuk rakyatmu seperti Supriyadi—Supriyadi menganggap saudara tuamu penipu. Disiplin, kekerasan, adalah ilmu untuk bangsamu. Masukkan rakyatmu dalam rumah kaca cacah jiwa, wadah-wadah sektoral perempuan, pemuda dan lainlainnya, agar bisa dipekerjakan dengan keras, diawasi dengan disiplin baja dan kekerasan, demi bangsamu—yang akan kami berikan kemerdekaannya—dan demi kejayaan Asia Timur Raya. Apalagi calon-calon pemimpin bangsamu yang merdeka merestuinya—ya, pasti mereka merestuinya karena, menurut mereka sendiri, menerima Jepang bukan lah kolaborasi tapi taktik sambil menyelam minum air, karena Nipon tetap mengajarkan nasionalisme (baca: anti Barat) dan, dengan taktik tersebut, pimpinan perjuangan kalian tidak akan dibasmi Jepang. Ya, patuhi lah pimpinan perjuangan kalian, yang akan menerima kemerdekaan dari kami, yang merakyat (dengan memberi contoh bagaimana Romusha mencangkul), yang tabah menghadapi kematian ribuan Romusha demi taktik, dan yang rela menyerahkan perempuan-perempuan bangsanya untuk menghibur kami, “Sang Pembebas”. Disiplin dan kekerasan di tangan tentaratentara PETA dan Heiho hanya berlaku di dalam tangsi namun, di luar tangsi, ketika mengangkangi kehidupan sipil, hanya tinggal kekerasannya—bedakan antara disiplin (industri) borjuis dengan disiplin tentara PETA—sedangkan disiplinnya lekang oleh kenikmatan gelimang kekuasaan dan uang tanpa keringat, saat menjadi penguasa dan pemilik alat produksi dadakan, penerima oleh-oleh modal dari Barat dengan imbalan kado 3 juta kaum kiri yang dijadikan bangkai, dan ribuannya dijadikan buangan atau penghuni penjara. Gerombolan bandit didikan PETA yang berseragam dan bersenjata inilah yang terus menerus sukses mengangkangi negara, dan terus menerus juga sukses mewariskan watak banditnya ke generasi AMN dan AKABRI—serta menempatkannya di (daerah-daerah garongan) rumah-rumah sipilnya dwifungsi ABRI, yang semakin meluas semakin meluas saja. Buah tak jauh dari pohonnya—gerombolan bandit ini memang dikepalai oleh tentara didikan

PETA yang sudah terbiasa menjadi koruptor, penyelundup dan rentenir/ KKN bagi pengusaha-pengusaha Tionghoa—sudah menjadi kebiasaan tentara menjadi rentenir atau penjual izin usaha, penjamin kemenangan tender, dan tukang pukul pedagang/pengusaha Tionghoa. Bisa kah kita berharap mereka berpikiran untuk bertransformasi menjadi borjuis? Ketika mereka mencoba pun, ternyata hampir seluruh perusahaannya mengalami kebangkrutan. Bisakah kita berharap pada borjuis tentara dadakan tersebut? Menitip dendeng pada anjing. Sukses perwiraperwira KNIL mengkonseptualisasikan dan menggelar permadani merah dwifungsi ABRI di tahun kembalinya kita ke UUD-45, di tahun kediktatoran demokrasi terpimpin, merupakan hadiah terbaik bagi gerombolan bandit didikan PETA tersebut. Perwira-perwira KNIL, ibu pewaris kediktatoran tersebut, akhirnya dibunuh oleh Malin Kundang gerombolan bandit didikan PETA, bukan karena mereka lebih pro-Barat— Barat tidak pernah mewarisi dwifungsi ABRI—namun semata-mata karena perebutan kekuasaan di tentara demi, justru, rebutan oleh-oleh dari Barat, kemudian rebutan jarahan peristiwa ‘65, lain tidak. Memang benar, bahwa untuk menghancurkan masyarakat pra-borjuis yang tenggelam dalam kediktaktoran pabrik retorik nasionalis-populis selumat-lumatnya, setandas-tandasnya, Barat harus tergantung pada tentara. Namun, untuk membangun masyarakat borjuis maju—dalam muka kasih sosialdemokrat seperti di Eropa—sejarah Barat tak pernah mengajarkan bahwa hal tersebut bisa dikelola oleh dwifungsi ABRI. Tak juga bisa dipararelkan dengan sejarah fasisme. Senang atau tak senang, sudah diakui, oleh Barat sekalipun, bahwa hal tersebut harus dikelola borjuasi Tionghoa—yang diperas oleh senjata, seragam birokrat, dan sentimen SARA/ diskriminasi. Kekalahan demokrasi Tirto Adisuryo (oleh manipulasi kolonial Belanda, oleh pedagangpedagang kelontongan muslim, dan oleh politisi-politisi begundal kolaborator Belanda), kekalahan demokrasi liberal tahun 50-an (oleh Soekarno-TentaraPKI), dituntaskan oleh dwifungsi ABRI/Orde Baru dalam kondisi yang berbeda—demokrasi Tirtoadisuryo cenderung menggapai nasionalisme dan dalam lingkup modal kolonial di sektor agrikultur; demokrasi liberal tahun 50an ada dalam lingkup borjuasi kere, kurus kering-kerontang, relatif kosong dari agen-agen modal asing, terutama setelah

nasionalisasi; dan dwifungsi ABRI/Orde Baru mencoba beriringan dengan modal yang skalanya lebih luas, baik dalam jumlah maupun dalam geografisnya, dan batas-batas rasionalisasi diversifikasi produknya lebih ke manufaktur, ekstratif, infrastruktur penunjangnya, finansial dan jasa-jasa lainnya , bukan langsung ke agrikultur. Bisakah? Dalam logika historis, agen perluasan modal Barat seperti itu hanya bisa ditangani oleh borjuasi Tionghoa—Barat sadar itu, tak akan ia menghancurkannya, tak akan ia terseret oleh arus sentimen SARA. Karena itu wajar bila ada kesimpulan bahwa rencana kerusuhan SARA Mei, 1998, adalah bargain (baca: pemerasan) Soeharto pada Barat, yang sudah lama— sejak mengirim Carter—meminta Soeharto turun secara terhormat. Barat sadar, sesadar-sadarnya, tak mungkin masyarakat borjuasi dalam skala modal yang besar dan jalinannya dengan sistim kapitalisme global yang luas dapat digardai dwifungsi ABRI. Namun Barat pun sadar-sadarnya bahwa gradualisme penghapusan dwifungsi ABRI adalah siasat untuk mengatasi ABRI yang akan seperti anak-anak yang suka melempari rumahnya sendiri bila mainannya (yang membahayakan) dirampas, Barat sadar akan siasat untuk menekan resiko terhadap modal. Yang merupakan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional, terutama mulai tahun 1949-an, adalah borjuis kecil kota— terutama dari kaum miskin kota—dari lapisan masyarakat di sekeliling kotakota pusat propinsi (istilah sekarang), sedikit sekali dari pedesaan (ingat, istilah “pergi ke front” kongkritnya adalah pergi ke desa), dan biasa disebut laskarlaskar rakyat, baik dari Islam, komunis, maupun nasionalis. Setelah komandankomandan Naga Bonar dilikuidasi dan diintegrasikan kepada TNI, mereka kemudian hanya menjadi komandankomandan kecil, tentara-tentara kroco berpangkat prajurit, sersan, paling tinggi rata-rata letnan. Sedangkan pangkat kapten sampai jenderal (kebanyakan) dikangkangi oleh tentara-tentara didikan PETA dan tentara-tentara didikan KNIL. Proses integrasi tersebut, juga adalah proses kemenangan kepemimpinan Nanti kita akan bicarakan bagaimana ideologi industri dalam jasa parawisata— terutama hiburan (entertainment)—jasa pendidikan dan jasa komunikasi akan mendobrak garda-garda ideologi tentara, terutama bagi kalangan kaum muda.

Mei 2008 PEMBEBASAN 16


tentara (yang kebanyakan) didikan PETA dan (sebagian) tentara didikan KNIL. Watak populis (laskar-laskar) menjadi basis bagi kebencian terhadap perwira-perwira bekas KNIL apalagi, dalam perjalanannya, mereka lebih dekat kepada politisi sipil—itu artinya perjuangan diplomasi ketimbang (ke lapangan) angkat senjata. Legitimasi kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA sebenarnya hanya berdiri di atas dua basis—berhasil mengurung dan mengusir tentara Inggris di Ambarawa dan menolak meletakkan sejata, lebih baik ke gunung (ketika ibukota Yogyakarta diduduki)—plus tambahan serangan umum (lebih tepat sebagai serangan Jogja) 11 Maret. Sedangkan pertempuran 10 November, 1945, di Surabaya, yang sebenarnya merupakan perang internasional modern—dilihat dari persejataan sekutu pada saat itu— yang lebih heroik, yang lebih bermakna “insureksi”, dan berhasil dimenangkan, tidak pernah dijadikan titik tolak potensi penekan yang dapat membantu perjuangan diplomasi, dan juga tidak dijadikan basis bagi pengangkatan kepemimpinan tentara yang lebih bersih dari tentara-tentara didikan KNIL dan PETA. Perjuangan bersenjata dalam kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA dan KNIL kemudian hanyalah jadi kelompok-kelompok penggangu Belanda (tidak efektif) dan parasitparasit pedesaan—mereka sudah terbiasa menjadi golongan istimewa yang tidak produktif, tidak ada doktrin produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (seperti dalam Tentara Pembebasan Mao). Metode perjuangan bersenjata yang menyatu dengan pergolakan massa seperti di Surabaya tidak pernah menjadi doktrin dalam apa yang mereka namakan “TNI-Rakyat.” Tentara-tentara kaum miskin kota kemudian mulai diakomodir dalam apa yang tidak bedanya dengan dwifungsi ABRI—menjadi tentara pembantu wedana/camat, tentara pembantu lurah dan sebagainya di landasan pengabsahan untuk membantu sipil menunjukkan bahwa administrasi Republik masih ada, masih jalan. Dalam euphoria revolusi nasional, tentara-tentara kaum miskin kota ini makin menjadi-jadi pragmatismenya, sektarianismenya, kekakuannya (hitamputihnya), dan kekerasannya. Perselisihan berlatarbelakang ideologis selalu diakhiri dengan culik-culikan, kudetakudetaan, bunuh-bunuhan, dari mulai skala yang kecil sampai pembantaian Madiun, berlanjut terus sampai tahun ‘60-an dan tahun ’65. Bacaan-bacaannya

17 PEMBEBASAN Mei 2008

pun banjir darah, tak ada yang namanya toleransi demokrasi, terlebih-lebih lagi, setelah integrasi ke TNI, tak ada bacaan TNI yang bisa berbicara tentang kaitan tentara dan demokrasi—bukan alasan untuk mengatakan tak ada bacaan dalam masa perang, bila kita lihat menjamurnya bacaan di kalangan pejuang sipil di masa perang. Problemnya adalah tak adanya integrasi (baca: kepatuhan) tentara ke dalam kehendak-kehendak sipil, mereka sudah terbiasa berkubang dalam anggapan sipil adalah kompromis, sipil lambat, sipil bertengkar terus, sipil lemah, tentara unggul dan tegas—sebenarnya sektarian, pragmatis dan keras/berdarah. Hasilnya: dalam perang tersebut, berapa tentara Belanda yang mati dibanding TNI yang mati? Jauh lebih banyak TNI yang mati; dalam revolusi nasional tersebut, berapa orang-orang Indonesia yang mati oleh Belanda dibanding yang mati oleh orang-orang Indonesia sendiri? Lebih banyak yang oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan lebih baik dikatakan bahwa romusha-romusha ini mati karena ulah pemimpin-pemimpin bangsanya sendiri ketimbang oleh Jepang, karena hal tersebut tidak terjadi di negerinegeri lain yang pimpinan-pimpinannya bukan kolaborator Jepang. Kasus Westerling pun membuktikan bahwa tentara-tentara tersebut kebanyakan sedang bersembunyi di pedesaan atau pinggiran kota. Kasus Bandung Lautan Api dan hijrah ke Jogja membuktikan tentara sedang meninggalkan rakyatnya. Kemunculan politisi-politisi didikan Eropa tak pernah sampai berhasil mapan menanamkan aturan main toleransi demokrasi kepada tentara-tentara borjuis kecil ini maupun kepada politisi-politisi buatan dalam negeri, selalu dikalahkan, diganggu, disabot, dikudeta—misalnya, terlepas benar-tidaknya program front perjuangan, mereka tak punya aturan main toleransi demokrasi, main culik, main tahan. Apalagi mereka yang terlibat di front perjuangan bukan lah atas komitemen (baca: pengabdian) atas program tapi atas (persisnya) oportunisme borjuis kecil—menjatuhkan prinsipnya setelah disogok jabatan dan melepas tanggung jawab (baca: memfitnah) agar tidak disidangkan. Dalam vakum proses peralihan kekuasaan dari penjajahan, mereka inilah yang merampoki, menjarah, memperkosa, dan membunuhi orang-orang Belanda atau yang mereka tuduh pro-Belanda. Tentaratentara borjuis kecil yang berlumuran darah, koruptor dan penjarah tersebut menghadapkan pertanyaan kepada kita makna kata “revolusi” dalam kalimat

revolusi nasional; kemenangan tentaratentara borjuis kecil ini (baca: banditbandit yang secara legal dipersenjatai), yang menjarah lorong-lorong kehidupan sipil, menghadapkan kembali pertanyaan kepada kita: sudah tuntas kah revolusi demokratik? Nasionalisme tentaratentara borjuis kecil di tanah jajahan, yang dibalut populisme—“kami bebaskan kalian, rakyat, dari kekejian penjajahan Belanda dan Jepang”—terbukti tak cukup untuk membuat mereka takzim pada demokrasi. Barat sadar itu semua akan menggangu modal—tahap awalnya memang masih protes melingkar terhadap pelanggaran hak-hak azasi manusia (protes terhadap pembantaian, pembuangan, dan pembuian tahun ’65 datang belakangan,)—karena itu generasi AMN dan AKABRI yang berhasil lulus “saringan” (yang sarat dengan KKN dan kreteria kepatuhan) diikutkan dalam program pelatihan di Amerika, yang diberi isian kurikulum hak azasi manusia. Disenangkannya Amerika sekadar sebagai basa-basi diplomatik dan etalase demokrasi, namun bukan atas kesadaran untuk mengamankan pengembangan masyarakat borjuis, menyelamatkan modal. Karena, menurut tentara-tentara pra-borjuis tersebut, keberhasilan kerja mereka bukan diukur dari bagaimana mereka membantu mengembangkan masyarakat modal yang modern, tapi diukur dari kejagoannya menindas lahan-lahan perlawanan yang makin lama makin banyak—perlawanan kaum intelektual, perlawanan mahasiswa, perlawanan kaum tani, perlawanan kelas buruh, perlawanan rakyat Maubere, perlawanan rakyat Papua, perlawanan rakyat Aceh ; atau, dalam bahasa Marxis, bukan atas tolak ukur sogokan Bonapartis, bukan dari tolak ukur sogokan sosialdemokrat. 2 Kaum teknokrat pro-Barat. Di tahun 1965, masih tersisa teknokrat pro-Barat peninggalan masa revolusi nasional. Pengertian pro-Barat bermakna lebih Perlu diberi perhatian tak adanya perlawanan dari kelas borjuis, walaupun sebenarnya sudah bisa dihitung adanya ekonomi biaya tinggi dari cara-cara dwifungsi ABRI tersebut, cara-cara yang membuat super profit-nya tidak riil karena sarat dengan biaya-biaya yang tidak menambah value added. Sungguh, persis dengan ketidakberdayaan kelas borjuis dalam revolusi demokratik Jerman melawan monarki (1848), juga dalam revolusi demokratik Rusia melawan monarki (Februari, 1917).


condong ke sosial-demokrat Eropa. Mereka tak pernah terpakai lama pada masa revolusi nasional, dilibas populisme anti-Barat. Apa yang diperbuat ibu Eropanya? Tak ada. Mereka dikhianati ibu Eropanya sendiri—di Indonesia, modal Eropa memang lebih pengecut. Mereka berpaling pada demokrasi-liberal Amerika, ibu yang lebih mengasihinya. Itulah mengapa, bagi teknokrat yang lebih berani, mereka rela diuji dalam gerakan separatis, sebagai ujian dengan imbalan diadopsi oleh Ibunya yang baru, Amerika. Ditinggalkannya rumah akedemiknya di tanah tercinta untuk menyongsong ibu adopsi barunya, tanpa sedu sedan, apalagi karena ia telah menitipkan bayi-bayinya—yang ternyata lebih moderat—di rumah akedemiknya, yang masih sayup-sayup (karena sembunyisembunyi) mendengarkan lagu-lagu teknokrasi Amerika. Sebenarnya, tak perlu kita bersyakwasangka bahwa kehati-hatian mereka itu adalah cermin kepengecutan mereka; mereka sedang menguji militansinya dalam menumpuk gandum-gandum keyakinan akan kebenaran teknokrasi Amerika. Di tahun ’65, bapak tentaranya lah yang memberi pekerjaan di perusahaan bangsa. Herankah: dalam perjalanan perusahaan bangsa, tak bisa lagi ia mengadu pada ibu Amerikanya, tak pernah digubris? Satu-satunya tempat ia mengadu adalah ibu spiritual akedemiknya: “Ya ibu akedemikku, teganya engkau melepasku dengan bekal rumus yang tak cukup. Ternyata aku hanya lah kanak-kanak dalam memecahkan rumus modernisasi liberal plus dwifungsi ABRI.” Keluhan lirih, bila saja mereka memiliki (sedikit saja) kejujuran intelektual. 3 Borjuasi Tionghoa. Bukan main. Tak pernah lekang kekagumanku atas isi sejarah hidup mereka: perjuangan hidup di segala zaman, di tengah-tengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA. Basis hidup sentimen SARA justru diskriminasi—dan argumen diskriminasi adalah pemerasan dan kecemburuan. Pada masa kuno, argumen rasialis adalah perbudakan dan penaklukan daearah lain; argumen rasialisme Hitler adalah kecemburuan dan impian (baca: subyektivitas) keunggulan ras; argument rasialisme Amerika Utara adalah perbudakan legal—yang sebelumnya juga diterapkan pada kulit putih namun, kemudian, agar tidak ada budak yang kabur (karena warna kulitnya mencolok, hitam) maka secara legal disyhkanlah Undang-Undang perbudakan hanya bagi kulit hitam. Sangat tidak masuk akal juga bila argumen ras/diskriminasinya itu didasarkan pada

Rasialisme tersebut lah yang menyulitkan mereka ditransformasikan menjadi aset revolusi. Para pejuang anti-diskriminasi yang hanya berkesimpulan bahwa akar dari diskrininasi tersebut semata-mata adalah ratusan kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif, tanpa melihat kata”minoritas.” Minoritas dalam kosep apa? Konsep jumlah populasi? Tidak. Mereka adalah penduduk ketiga terbanyak, setelah suku Jawa dan suku Sunda. Konsep pribumi dan non-pribumi? Tidak. Mereka adalah bagian dari migrasi orang-orang Indocina, Asia Tenggara lainnya dan Cina Selatan, yang sudah bercampur baur, atau bagian dari orang-orang (bersama-sama orang-orang “Keling” dan Melayu) yang dibawa oleh merkantilisme dan kolonialisme Portugis, Spanyol Inggris dan Belanda. Tidak ada bukti antropologis/arkeologi bahwa orangorang Indonesia asli adalah kelanjutan survival apa yang dinamakan “manusia Jawa” homo sapiens—nampaknya mereka punah (ada juga yang mengatakan mereka beremigrasi ke Nusa Tenggara dan Australia Utara justru karena didesak/dibantai oleh pendatang-pendatang utara Asia Tenggara dan Tionghoa Selatan tersebut). Atau atas dasar bahwa klaim terhadap pemilikan republik merdeka tidak berlaku bagi mereka karena tidak banyak dari mereka yang turut berjuang dalam revolusi nasional? Padahal sumbangan mereka terhadap kemenangan republik sebenarnya juga dalam taraf krusial (akan kujelaskan nanti). Nasionalisme menjijikan. Dan mengapa argumen tersebut tidak diberlakukan pada orang-orang arab atau orang-orang Papua? Argumen keunggulan ras memang tidak mungkin rasional, anti-historis, menjijikkan.

kesejarahan tentara—berujung dalam dwifungsi ABRI—yang memblokade toleransi demokrasi, dan tanpa mempertimbangkan sentimen agama yang di-SARA-kan, adalah kurang benar. Jalan keluar affirmative policy seperti di Malaysia—yang landasannya tetap saja rasis dan anarkis terhadap tenaga produktif (manusia Tionghoa)—adalah kesalahan lainnya: menghentikan laju para pelomba (orang Tionghoa) yang sudah menang, menariknya kembali agar bisa melakukan start kembali bersama orang Melayu. Menarik untuk mendengarkan kekesalan borjuis pribumi—lebih keras disuarakan oleh borjuis kecilnya—“Tidak akan ada persamaan dengan Cina-Cina itu, tetap saja mereka akan menguasai ekonomi, karena mereka lah yang sudah dan akan terus menguasai jaringan distribusi (pemasaran) dan jalur-jalur teknologi. Tak akan rela mereka menyerahkan jaringan dan jalur-jalur dalam negeri atau dari/ke Singapur, Malaysia, Hong Kong, Taiwannya (kenapa tak ditambahkan Jepang dan Barat) kepada kita, Mereka malah akan semakin menggila dalam persamaan.” Latar belakang historis Tionghoa tersebut lebih ke condong ke mereka yang dibawa oleh merkantilisme dan kolonialisme Inggris serta Belanda; Inggris membawanya ke Sumatera (terutama Kata Cina dalam konsep masa Orde Baru adalah rasis.

Mei 2008 PEMBEBASAN 18


bagian timur) dan Kalimantan (Borneonya Malaysia dan Brunei), serta Belanda membawanya ke pesisir Jawa. Selain itu Portugis membawanya ke Timor Timur. Sedangkan yang di Cirebon dan Demak lebih cepat terintegrasi karena kemudian bernaung pada yang telah menjadi salah satu penguasa feodal Islam. Ada juga mereka yang langsung dibawa oleh bangsawanbangsawan Tionghoa seperti yang di Semarang. Namun, sebagian besar (terutama yang di pesisir, dan yang kemudian bergerak ke bagian dalam, yakni pedagang keliling dan pelarian) adalah mereka yang bisa digolongkan budak-budak merkantilis, kuli-kuli perusahaan-perusahaan merkantilis, dan para pedagang kelontongan perantara merkantilis (atau kemudian penguasa kolonial). Kerajaan-kerajaan Jawa ditaklukan merkantilisme, dan kolonialisme mendesak raja-rajanya menjadi raja-raja pedalaman, menjadi raja-raja kampung, yang sudah tidak menguasai laut lagi, menjadi agraris sampai ke sumsum tulang belakang budayanya. Sedangkan ekonomi pesisir adalah perdagangan besar merkantilis Eropa, perdagangan dan industri kelontongan orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab, dan orang-orang Jawa Islam. Keuletan, kerajinam, disiplin baja, dan keluwesan mereka—misalnya ketika memperkenalkan barter, kredit, renten dan ijon saat masuk ke daerah dalam dan pedalaman—yang membuat mereka setahap demi setahap menguasai ekonomi perdagangan eceran, terutama setelah mereka melakukan persatuanpersatuan modal di atas basis klan, saudara, kampung asal, dan pertemanan. Kemajuan mencolok, terutama di daerah pesisir utara Batavia (Jakarta), mengkhawatirkan penguasa Belanda (baca: VOC, perusahaan merkantilis Belanda). Kekhawatiran tersebut diselesaikan oleh pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Batavia Utara. Musnah kah mereka? Tidak. Pada Akhir abad 19 sampai awal abad ke 20 saja mereka adalah penulis-penulis novel dalam bahasa lingua franca pertama (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan bank sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan sekolah sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa memiliki koran Makna historis lingua franca (sebagai bahasa pasar) sarat dengan petualangan, exposure, jalur dan jaringan perdagangan dengan segala tenaga produktifnya, sarat progesivitas.

19 PEMBEBASAN Mei 2008

sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa bersatu dan menggunakan alat boykot (sebelum “pribumi” mengenalnya) terhadap monopoli Belanda—ternyata Belanda pun memang tergantung pada kaki tangan perantaranya tersebut. Mereka juga memberikan contoh nasionalisme dan modernisme bagi “pribumi” ketika mereka menyebarkan atmosfir nasionalisme Boxer Rebellion di kalangan orang-orang Tionghoa konservatif. Mereka juga yang mulai masuk ke pedalaman memberikan basis bagi masuknya desa dalam jalur distribusi dan pemasaran kota, dan memberikan basis bagi perkawinan campuran, serta memberikan basis bagi keterlibatan mereka dalam revolusi nasional—mereka adalah para pemasok, penyelunduppenyelundup logistik dan persenjataan revolusi nasional melalui tongkangtongkang dan kapten-kapten Tionghoa yang bekerja di kapal-kapal dagang Belanda. Perkembangan positif tersebut dihancurkan kembali oleh rasialisme PP 10 —adakah perlawanan resmi dari kaum demokrat atau PKI terhadap PP 10 tersebut? TIDAK ADA. Kecuali pribadi Pram, yang membuat ia dijebloskan ke Mengeluarkan orang-orang Tionghoa dari desa. Perlawanan mereka diselesaikan dengan kekerasan tentara—dipaksa, diseret, dipukuli, dibunuh, dan di-kamp-konsentrasikan di markas-markas tentara. Takdir sejarahnya pada masa republik menunjukkan kemampuan/survival (leading) orang-orang Tionghoa dalam kapitalisme kering kerontang.

penjara. Setelah PP 10 itulah keluar berbagai macam kebijaksanaan diskriminatif, yang diteruskan dan diperbanyak oleh Orde Baru. Pedagangpedagang “pribumi” dan Arab, yang kalah saingan, mulai saling menghasutkan kecemburuan mereka yang dibalut sentimen SARA—pembentukan ronda anti-cina pedagang-pedagang batik JawaMuslim dan pembantaian massal (banyak dengan cara penyembelihan) yang dipimpin/dihasut oleh pedagangpedagang Jawa Muslim di Kudus. Cara tersebut kemudian menjadi solusi orangorang “pribumi” dalam melampias kemarahannya terhadap kekalahan dan kemiskinan, berkali-kali terjadi baik dalam masa Soekarno maupun pada masa Orde Baru. Bagi penguasa Belanda dan Orde Baru cara tersebut adalah upaya mencari kambing hitam dalam mengalihkan perhatian orang-orang “pribumi” terhadap problem riilnya— apalagi bila saat kesadaran massa (dalam memahami penyebab kekalahan dan kemiskinannya) mulai cenderung mengarah ke penguasa. Sekarang ini, Yahudi bukan lagi pemilik tunggal kreativitas progrom. Tumpul kah kemampuan ekonomi orang-orang Tionghoa oleh PP 10? Tidak. Pengusiran mereka ke kota menyebabkan ekonomi Kota seperti mendapat tambahan enerji, tambahan tenaga produktif dalam mengelola jalur pemasaran dan jalur teknologi. Matikah sentimen SARA? Tidak. Cuma dipindahkan ke kota-kota. Karena tidak semua orang-orang Tionghoa itu kaya dan pedagang, dan juga karena agitasi-propaganda PKI,


maka mereka mulai terlibat dalam aktivitas politik—diakomodir sebagai anggota PKI atau dalam ormas yang dipengaruhi PKI, BAPERKI. Bahkan mereka bisa masuk dalam jajaran pimpinan partai dan kabinet Soekarno. Tahun ’65, adalah penjara dan pembunuhan bagi orang-orang Tionghoa PKI dan BAPERKI, serta tawaran untuk kembali (secara sukarela) ke RRT (Sekarang RRC). Barat khawatir pemaksaaan/pengusiran orang-orang Tionghoa; Barat khawatir tidak punya agen-agen bagi modalnya. Soeharto pun tentu akan khawatir bila kaki tangan pengelola modalnya, Liem dan Bob Hasan, terusir. Babak baru tahun ’65 adalah takdir historis bagi rezeki nomplok mereka, senang atau tidak senang. Kepercayaan Barat/Jepang dan pemerintah, bahkan individu-individu tentara dan birokrat, terhadap orangorang Tionghoa untuk menjadi agenagen dan pengelola modalnya tak terelakkan. Apalagi ketika bisa diintegrasikan dalam jalur-jalur dan jaringan Singapura, Hong Kong, Taiwan dan Jepang, mula-mula di perdagangan dan jasa, kemudian di industri manufaktur dan perbankan. Sektor ekstratif yang diisi oleh modal Barat (kemudian Jepang) setahap demi setahap dimasuki melalui jalur sebagai supplier dan sub-kontraktor, apalagi pada sektor ekstratif yang dikuasai negara, akselerasi masuknya lebih cepat (karena KKN). Dalam duapuluh tahun kekuasaan Orde Baru, selain oleh orang-orang asing dan (sedikit pribumi) praktis seluruh sektor industri, jasa, perdagangan, dan keuangan, dari yang ringan sampai yang berat, dari yang berteknologi rendah sampai yang tinggi, dari yang asli sampai yang palsu, semuanya dikuasai orangorang Tionghoa. Bahkan kriminalitas tingkat tinggi dalam perbankan, keuangan dan narkotika pun dikuasai mereka (bekerjasama dengan kaki tangannya, tentara-tentara, birokratbirokrat dan preman-premannya). Solusi terhadap peningkatan, perluasan akselerasi dan volume modal di tengahtengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA adalah: kenaikan harga dan penyelundupan. 4

Seperti juga setelah kejatuhan Soeharto, Barat khawatir bila konglomerat-konglomerat Tionghoa dilikuidasi secara radikal, mereka malah dibantu dengan proyek rekapitalisasinya IMF dan Bank Dunia.

Borjuasi “pribumi.” Kenapa harus dibedakan dengan borjuasi Tionghoa, sehingga harus ada penjelasan? Perbedaannya paling-paling dalam hal bahwa borjuasi kelontongan “pribumi” akan lebih cepat selesai sekaratnya, lebih cepat matinya, karena mereka bukan lah bagian dari jaringan formal—berdasarkan persetujuan, bukan melalui mekanisme pasar—yang mendapatkan bantuan dari borjuasi besarnya (baik dari yang “pribumi” maupun dari yang Tionghoa). Borjuasi kelontongan “pribumi” hidup dalam belantara hutan survival of the fites: “Kita sih tinggal tunggu mati saja. Semua ujung-ujungnya di Cina, yang punya modal. Pemerintah juga ng’ga bantu kita.” Sedangkan borjuasi kecil Tionghoa merupakan jaringan formal borjuasi besarnya, dibantu pengadaan barang dan permodalannya, merupakan kaki tangan borjuasi besarnya. Sedangkan perbedaan non-ekonomis antara borjuasi “pribumi” dengan borjuasi Tionghoa adalah: borjuasi “pribumi” sarat dengan sentimen rasialis. Kebencian terhadap kroni lebih condong pada kebencian karena Soeharto lebih dekat kepada borjuasi Tionghoa. (Dalam perkembangan formasi borjuasi, ada hal yang penting juga untuk dicatat: meningkatnya para borjuasi muda, terutama anak-anak keluarga Soeharto, kerabatnya, teman-temannya dan anakanak pejabat, yang lebih bisa bekerjasama dengan borjuasi Tionghoa.) 5 Angkatan ’66 dan kelanjutan yang berbeda. Pram tidak mau memberikan komentar mengenai angkatan ’66, karena tak bernilai, katanya. Patut dimaklumi, (langsung tidak langsung) mereka juga bertanggung jawab atas pembantaian 3 juta manusia dan pemenjaraan serta pembuangan ribuan anggota PKI, simpatisannya, bahkan orang-orang yang tak tahu menahu. Namun ada sisi lain yang perlu dikomentari: bagaimana “calon demokrat” tersebut tak berdaya di hadapan tentara. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kanan di bawah naungan bekas Partai Sosialis, PNIkanan, partai-partai Islam dan partai kiri (Murba). Dalam demokrasi terpimpin, dengan derajat yang berbeda-beda, mereka mendengar sayup-sayup, membaca tanggung-tanggung bocoranbocoran tentang harapan-harapan Barat, modernisasi, demokrasi liberal dan sosial-demokrasi. Termasuk juga di dalamnya adalah bocoran tentang kediktatoran Stalinisme, yang mereka persiskan dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi sayup-sayup, demokrasi

tanggung-tanggung tersebut adalah: Barat “bebas dan modern,”—dalam pengertian mereka, bukan dalam pengertian Barat. Sejak awal “demokrasi” (baca: “bebas dan modern”)-nya Orde Baru, mereka sudah diuji di hadapan bangkai (banyak yang tanpa kepala) 3 juta manusia dan pemenjaraan/ pembuangan manusia (tanpa pengadilan). Apakah benar bahwa bocoran “demokrasi” tersebut berasal dari Barat? Tidak masuk akal, karena “kebebasan dan kemodernan” mereka menyetujui pelanggaran terhadap kemanusian—padahal Eropa telah sanggup menyelesaikan Eropa barbar dan Eropa fasis; Amerika telah sangup menyelesaikan Amerika perbudakan. Atau memang ada teori universal yang mengatakan bahwa demokrasi Barat akan dimanipulasi begitu sampai di tanah negeri-negeri Dunia Ketiga, manipulasi kolonialisme atau imperialisme terhadap demokrasi? Mereka adalah mahasiswamahasiswa kesatria “kebebasan dan kemodernan” yang sedang sekarat, kalah secara politik dan ideologi, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa suci, bersih dari pekerjaan agitasi-propaganda, bersih dari pengorganisiran massa, bersih dari pekerjaan mobilisasi massa. Suci dan bersihnya borjuis kecil. Mereka mahasiswa-mahasiswa cengeng ketika menghadapi gempuran dari ideologi dan politik lain: mencari gantungan kepada unsur kelompok penggempur (baca: penindas) yang lebih kuat, tentara. Memang, suci, bersih dan cengengnya borjuis kecil. Sebenarnya, sejak sebelum tahun ’65, demokrasi mereka sudah sayup-sayup dan tanggung-tanggung karena, sebagai orang kalah malah mengadu, membudak pada tentara. Piala “kebebasan dan kemodernan,”—yang seharusnya dipersembahkan atas jerih payahnya mendalami dan membumikan demokrasi—tak pernah ada dalam kalkulasi mereka; bagi mereka, makna “kebebasan dan kemodernan” adalah yang dihaturkan tentara: kemenangan pembasmian brutal komunisme. Kemesraan sejoli (mahasiswa-tentara) yang gembira, bahagia, dan menggila: sorak-sorai mahasiswa saat membawa tukang pukul tentara yang pandai/keji; sorak-sorai tentara saat memboyong legitimator mahasiswa yang bodoh/keji. Pada saat itu tentara akan mendapat kesulitan bila tidak mendapat legitimasi rakyat atas tindakannya, itulah sebabnya, dengan perlindungannya, ia turunkan budak-budak mahasiswanya untuk memprovokasi rakyat turun ke jalan— rakyat yang sedang miskin, yang sedang

Mei 2008 PEMBEBASAN 20


pragmatis. Setelah itu, tentara, bersama mahasiswa dan pemuda yang paling kanan membantai saudara-saudaranya sendiri, sampai 3 juta bangkai—sekali lagi, banyak yang tanpa kepala. Selain itu, makna mahasiswa yang paling kanan adalah segera, setelah lulus, mereka mengemis, mengetuk-ngetuk pintu-pintu kabinet, pintu-pintu birokrasi-birokrasi tinggi, pintu-pintu tender pemerintah, agar diperbolehkan masuk ke dalamnya. Mereka bodoh dan keji. Ada juga yang naif: itulah mereka yang sadar akan mudahnya upaya pengembangan demokrasi digagalkan tentara; itulah mereka eksponen ‘66 yang pada tahun ’74 berada di belakang layar mendukung MALARI—mereka pikir MALARI akan menang. Mendukung demokrasi karena harapan akan menang (tanpa berkeringat dan tanpa resiko), atau bukan mendukung demokrasinya itu sendiri, oportunis tulen—sejak itu mereka tak mendukung lagi demokrasi (walaupun pemaknaan demokrasi sudah semakin maju), karena mereka tak memiliki harapan menang. Segelintir dari mereka, bersama-sama dengan segelintir pelaku-pelaku MALARI dan gerakan mahasiswa ’78, masuk dunia akedemik dan LSM, selebihnya menjadi birokrat, teknokrat dan kapitalis kelontongan.10 Seperti habis 10 Memang terdapat perbedaan yang cukup penting antara gerakan mahasiswa MALARI, 1974, dengan gerakan mahasiswa tahun 1978; 9 tahun kekuasaan Orde Baru—kekuasaan baru (yang menjanjikan demokrasi dan pembangunan), yang masih mencari legitimasi atas apa yang diperbuatnya—masih memberikan ruang/kesempatan pada pers untuk mengungkapkan secara samar-samar problem korupsi, apalagi didahului sejumput gerakan moral anti-korupsi pada tahun 1972, yang melibatkan angkatan ’66 kategori naif tersebut. Selain korupsi, kolusi, nepotisme, keistimewaan modal asing (terutama Jepang), bergugurannya borjuis kelontongan dalam negeri, kecenderungan jurang kaya-miskin yang mulai nampak lebih tegas, pengerukan sumber daya alam tanpa batas dan sebaginya dan sebagainya, sudah menjadi keresahan yang mulai mau meluap. Itulah mengapa agitasi gerakan tersebut bisa didengar dan bahkan dihadiri oleh massa yang semakin hari semakin meluas—itulah pula jebakan yang membuat angkatan ‘66 yang naif mulai terdorong untuk mendukungnya secara sembunyisembunyi, ada harapan menang di benak mereka. Oportunis tulen. Perluasan itu pula yang mendorong sebagian kecil (saja) unsur tentara (yang secara sembunyi-sembunyi juga) mencari kesempatan di air keruh dengan memberikan toleransi bagi perluasan agitasi gerakan. Keterlibatan unsur tentara tersebut lah yang membangkitkan penyakit lama angkatan ’66 untuk mendorong gerakan mahasiswa—yang memang lemah iman (pengetahuan) sejarahnya

21 PEMBEBASAN Mei 2008

tentang tentara—bergabung dengan salah satu seksi pimpinan intelejen tentara. Angkatan ’66 sekali lagi membuat dosa sejarah—menganggap sejarah telah banyak merubah watak tentara. Selain itu, sebab mengapa generasi gerakan tahun ’74 masih bayi buta terhadap watak tentara, adalah karena pers memang tidak bisa menembus batas blokade toleransi—yang memang diberikannya juga oleh tentara—yang dapat membongkar isi perut tentara, walaupun berita-berita tentang isi perut tentara masih ada di tangan para pelaku sejarah yang masih segar bugar. Ribuan massa tumpah, menyeret 1 juta lebih massa lainnya, mengelilingi luar pagar-pagar kampus mengemis kepemimpinan mahasiswa, namun ditolak mentah-mentah oleh mahasiswa—bayi buta yang tak nyaman, masih tak biasa, oleh kebisingan massa. Massa dan mahasiswa bergerak sendiri-sendiri, massa dengan keliarannya, mahasiswa dengan ketololannya, tidak bisa bersatu besar-besaran di jalan (protokol) Thamrin—juga di jalan-jalan lainnya—dan gerakan diselesaikan di pasar transaksi jual-beli dengan tentara, massa dijual murah pada tentara. Bahkan beberapa dari mereka menjadikan gerakan ’74 ini menjadi tiket untuk karir mereka (belajar ke luar negeri, menjadi pengusaha, atau masuk dalam birokrasi). Adalah mengagumkan juga bahwa, walaupun gerakan mahasiswa ’78 berada pada situasi yang lebih sulit, ruang demokrasi lebih sempit, namun agitasi-agitasinya bisa membongkar kejahatan KKN (Soeharto) dan keterlibatan tentara dalam kehidupan sipil—dan saat itu mahasiswa mulai lebih mengenal kegunaan banyak selebaran dan pamflet. Itulah mengapa programnya sudah cenderung menjatuhkan kekuasaan Soeharto dan menuntut penghapusan trilogi pembangunan—tuntuan samar-samar pencabutan dwifungsi ABRI. Itulah pula sebabnya mengapa gerakan mahasiswa tahun ’78 sangat hati-hati terhadap keterlibatan tentara. Selain itu, mereka juga sangat hati-hati terhadap keterlibatan angkatan ’66, hanya seksi mahasiswa moderat saja dari gerakan tersebut yang membuka diri terhadap keterlibatan segelintir angkatan ’66—penangkapan pada tahun ’74 nampaknya membuat jera banyak angkatan ‘66. Mereka juga mulai menghargai keterlibatan massa, baik dalam bentuk bantuan makanan dan dana dari penduduk sekeliling kampus, maupun advokasi terhadap kaum tani (terutama di Jawa Barat). Namun keterlibatan massa tersebut masih dianggap sebagai penambah kekuatan pukulan saja, bukan dianggap sebagai unsur pemilik sah kekuasaan—nampaknya sejarah belum menyuapi pemahaman seperti ini pada bayi-bayi yang baru melek. Pengkhianatan waktu untuk mengabortus gerakan—oleh unsur-unsur yang dipengaruhi penghasut (di balik layar) angkatan ’66 (yang memiliki ikatan dengan para mantan PSI)—menyebabkan gerakan mahasiswa ’78 tak memiliki resistensi terhadap serangan tentara ke dalam kampus. Setelah selesainya gerakan mahasiswa ’78, sekali lagi, segelintir mahasiswa yang masih punya sedikit idealisme diserap oleh “gerakan” LSM atau meneruskan pelajaran ke

gelap terbit lah terang saat menyaksikan menjamurnya LSM dan sedikit propagandis-propagandis akedemik— yang baru menggondol gelar ilmu-ilmu kemanusiaan yang “demokratik dan prorakyat”. Digantungkannya harapan kaum muda pada mereka; berduyun-duyun kaum muda diserap LSM-LSM, berduyun-duyun kaum muda sowan pada akedemisi-akedemisi tersebut. Namun, ternyata, habis terang redup lah terang; karena “demokrasi” mereka masih terbatas, masih “demokrasi” tanpa kiri/ komunisme, masih “demokrasi” di sisi tentara, masih “demokrasi” tanpa massa, masih “demokrasi” tanpa perebutan kekuasaan oleh rakyat, masih “demokrasi” tanpa radikalisme, masih “demokrasi” tanpa militansi, masih “demokrasi” tanpa politik, redup, hening.11 Namun, keredupan tersebut patut dimaklumi: keberhasilan menghancurkan gerakan MALARI ’74 dan gerakan mahasiswa ’78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai momentum konsolidasi untuk lebih dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideologi—pembangunan, P4, “demokrasi” Pancasila, “demokrasi” Timur, “demokrasi” terbatas, “demokrasi” bertanggungjawab, “demokrasi” bukan liberal bukan komunis, musyawarah mufakat bukan voting, kekeluargaan, gradualisme, kesederhanaan, tepo seliro, dan lain-lain dan lain-lain (yang makin mempertajam pencarian dialektika “Apa yang sebaliknya dari semua itu)— maupun dalam bentuk struktur politik penindasan—perluasan struktur intelejen, perluasan struktur dwifungsi ABRI, korporatisme terhadap seluruh sektor masyarakat, cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis, serta syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa12. Selain itu, juga redup oleh sogokan beberapa tahun bom luar negeri, sedangkan yang lainnya menjadi kaum oportunis seperti pendahulu-pendahulunya, masuk birokrasi dan jadi borjuis kelontongan yang selalu menadahi tender-tender pemerintah. Dalam kadar yang berbeda, kedua gerakan tersebut memiliki persamaannya: tuntutan clean government, modernisme dan “demokrasi” terbatas (masih gamang memahami kata Rakyat—dengan R besar). 11 Di tahun 80-an, hanya ada dian (api kecil) kritik populisme LSM (yang sedang menjamur) dan pijar protes (yang cepat sekali matinya) dari kaum demokrat-liberal, yang sangat hati-hati sekali. 12 Kita tahu, Gerakan Malari ’74 ditutup oleh breidel terhadqap 14 surat kabar.


minyak. Keredupan tersebut menggelisahkan kaum muda, terutama mahasiswa-mahasiswa yang tidak terserap oleh LSM dan kasak-kusuk oposisi elit. Kegelisahan tersebut sebenarnya cerminan dari tertampungnya tetes-tetes bocoran dari Barat juga (baca: alternatif Barat bagi Dunia Ketiga) dalam bentuk populisme, sosialdemokrasi, dan skenario low intensity conflict-nya LSM.13 Tetes-tetes bocoran Barat yang lebih sulit lagi ditampung— dan ini hanya bisa ditampung melalui orang-orang yang selesai belajar di luar negeri dan/atau oleh anak-anak muda yang mengoreki sisa-sisa literatur lama yang dijuali pegawai-pegawai kejaksaan ke loakan—adalah bacaan-bacaan progresif/revolusioner. Bocoran Barat yang patut diperhitungkan sebagai basis radikalisme/militansi adalah liberalisme (baca: kebebasan) yang—walaupun masih bercampur dengan warisan kekerasan populisme Indonesia—sanggup menyebabkan borjuis kecil (terutama yang lapisan bawahnya) bertambah muak pada kemunafikan tata-tertib sisasisa feodal kaum birokrat dan tentara. (Itulah liberalisme yang dimaktub dalam entertainment barat, yang sarat violence, vulgar dan profane. Kaum muda ‘80-an, yang menerima bocoran iman progresif/ revolusioner—di atas warisan populisme dan radikalisme/militansi borjuis kecil (dari ibu liberalisme entertainment)— setahap demi setahap bisa membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA (tentu saja setelah melambaikan salam perpisahan pada metode-metode LSM dan kaum kiri moderat). AKSI MASSA mulai diterima dan meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangan—apalagi elit-elit politik dan PDI-Megawati belum turun ke 13 Kita juga tahu, dengan jatuhnya Soeharto, terbukti bahwa jalan keluar Barat (neoliberalisme) terpaksa harus mengadakan tawarmenawar dengan saudara tuanya sendiri, populisme dan sosial-demokrasi. Dalam rejim dwifungsi ABRI, rejim totaliter, ketiga anak kandung Barat tersebut—neoliberalisme; populisme; dan sosial-demokrasi—harus saling bertengkar. Bila kehendak populisme dan sosial-demokrasi yang dituruti, biaya sogokannya tak bisa ditanggung; bila kehendak neoliberalisme yang dituruti, maka harus ada peredam yang sanggup menghentikan (secara sukarela) rengekan-rengekan populisme dan sosial-demokrasi tersebut. Bila tidak, untuk kasus Indonesia, penindasan macam apalagi yang bisa meredam kecenderungan kerusuhan kecemburuan sosial—lazimnya amarah rakyat yang tidak (boleh) dipimpin oposisi—yang, memang, lebih mahal lagi biayanya.

gelanggang politik (ekstra-parlementer) untuk memanipulasi massa, kebanyakan masih menjadi kaum kolaborator atau gradualis. Dan kaum muda tersebut memang masih sangat muda untuk sanggup menerima represi rejim Orde Baru (yang menghalangi kaum muda memiliki alat-alat politiknya sendiri— wadahnya, figurnya, korannya dan sebagainya). Pembentukan PRD belum bisa dilihat sebagai jalan keluar oleh kaum pragmatis14 atau oleh kesadaran 14 Pragmatisme adalah akibat dari kesadaran palsu atau tak adanya kontrol dari kesadaran sejati. Pragmatisme adalah refleksi kelelahan massa akan penghisapan dan penindasan, yang ingin segera mencari jalan keluarnya, ingin segera mendapatkan wadah perjuangannya, ingin segera mendapatkan figurnya, pendeknya ingin segera mendapatkan alatalat politiknya; kasus manipulasi konsep “arus bawah”—yang sebenarnya hanyalah tuntutan demokratisasi internal dalam partai PDI—yang di kepala massa menjadi “suara wong cilik”, adalah pragmatisme massa; pemilihan Megawati—walau semakin terbukti moderat, anti-demokrasi dan pro-Barat—sebagai simbol/figur perlawanan, adalah pragmatisme massa; dengan demikian sudah jelas mengapa pragmatisme massa kemudian memilih mensukseskan Pemilu, dan mencoblos PDIP, PKB dan PAN—dan pragmatisme massa juga yang menyebabkan massa tak sanggup melawan money politic dan intimidasi GOLKAR sehingga GOLKAR menjadi pemenang kedua dalam pemilu. Namun perlawanan massa pada 27 Juli, 1996, dan kesanggupan massa dalam wadah PPP (tak peduli mereka anggota PPP atau PDIP) berperang dengan tentara dalam pemilu 1997, bisakah disebut sebagai pragmatisme yang tidak menguntungkan pembukaan ruang demokrasi, peningkatan militansi/radikalisme massa, dan latihan (great rehearsal) bagi perlawanan

palsu massa. Namun demikian, gerakan kaum muda itulah yang sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, sedangkan elit-elit politik dan partai-partai politik mainstream hanyalah menjadi benalu, parasit (tak tahu malu) terhadap konsep reformasi, reformis gadungan (yang, setelah berkuasa, jangankan mengajak kaum muda dalam perspektif pemerintahan mendatang, berterima kasih pun tidak—dalam kalimat Pram: secangkir teh manis pun tak disuguhkannya). Setelah kejatuhan Soeharto, terbuka lah ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik mainstream untuk memanipulasi kesadaran palsu massa—namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulatormanipulator lainnya—misalnya, dukungan suara bukan saja diberikan pada PDI-P tapi juga pada PKB dan PAN—dan, sebenarnya, bersamaan dengan itu, propaganda kesadaran sejati dari mahasiswa dan kaum kiri mendapatkan momentum, potensi, bagi perluasannya. 6 Partai-partai politik. Partai-partai politik sisa-sisa (yang tersaring) pemilu pertama (setelah kemerdekaan) makin tak bisa belajar demokrasi setelah dekrit kediktatoran demokrasi umum massa? Wadah alternatif apa yang dapat dibesarkan/dipopularkan oleh momentum tersebut? (Lihat Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai, Reform Institute, 2007.)

Mei 2008 PEMBEBASAN 22


terpimpin; suatu pertarungan (wajar) partai-partai politik diselesaikan oleh kediktatoran; serangan nasionalisme dan populisme15 dimenangkan dengan bersandar pada tentara dan PKI. Serangan nasionalisme dan populisme sebenarnya syah-syah saja selama ia bersandar pada aturan main demokrasi, aturan main TANPA TENTARA— terlebih-lebih, tentara sendiri bukan mendasarkan keterlibatannya guna membantu serangan nasionalisme dan populisme dengan setulusnya, tapi serangannya bertujuan sekadar untuk menggelar permadani merah dwifungsi ABRI, lain tidak. (Dan mengapa PKI mendukungnya?) Sepanjang sejarah revolusi nasional (dengan “perang kemerdekaan”), jalan tengah, dwifungsi ABRI, selalu mengendap-ngendap di gang-gang gelap terorisme, bukan di boulevard demokrasi—yang tak akan mengizinkannya hidup. Serangan populisme pra-borjuis dan nasionalisme begitu gencar dan uletnya, sejak awal abad 20 tak pernah padam—segala macam cara yang kontadiktif digunakan (dengan teror dan, rencananya, akan ditutup dengan demokrasi liberal)— namun dijegal oleh kediktatoran demokrasi terpimpin.16 Kekalahan dan kemenangan dalam cengkraman demokrasi terpimpin keduanya tak syah. Serangan-serangan nasionalis-kiri dan komunis dalam demokrasi terpimpin— yang mendorong partai-partai Islam dan partai sosial-demokrat ke sudut potensi kekalahan politik dan ideologinya— 15 Setelah penyerahan kedaulatan tahun ’49, nasionalisme sebenarnya mulai menurun pamornya sebagai barang dagangan politik borjuis kecil gradualis, sehingga kaum nasionalis radikal merasa harus meningkatkan serangannya dengan alat “Merdeka 100%.” Kaum populis membumbuinya menjadi “Demi Rakyat.”

16 Aturan main serangan yang disepakati oleh kaum nasionalis dan kaum populis yang salah kaprah: mencampakkan demokrasi— karena ada embel-embel “liberal”. (Rejim Orde Baru pun sebenarnya menggigil ketakutan pada embel-embel “liberal” tersebut). Kaum nasionalis dan kaum populis seperti kacang lupa kulit: bahwa legitimasi dan kebangkitannya kembali setelah tahun 1948 (layaknya divonis tak bersalah) sebenarnya tolak ukurnya ditentukan secara syah oleh pemilu demokrasi liberal—demikian juga kelangsungan partai-partai Islam dan kematian partai sosial-demokrat. Upaya mencari kemenangan secara Machiavelis dan anarkis— menindas landasan revolusi demokratik—benar-benar bermakna: menginzinkan tentara keluar dari gang-gang gelap terorismenya untuk mengangkangi kehidupan sipil.

23 PEMBEBASAN Mei 2008

dihadapkan pada serangan balik yang absyah: “Kami sedang berhadapan dengan kediktatoran.” Perlawanan ideologi (membocorkan “Kebebasan dan modernisme”) dan perlawanan politik( provokasi tentara) memperkeras kediktatoran versus pemberontakan Islam dan gerakan separatis yang, tentu saja, mengundang keterlibatan Barat dengan legitimasi: melawan kediktatoran. Pra-borjuasi kurus kering yang sekarat ini sedang mencari picu lonceng kematiannya dan tentara, tentu saja, adalah malaikat pencabut nyawanya. Tentara mengerti itu: “Harus sekarang juga, sebelum komunis berubah pikiran, sebelum komunis merubah jalan parlementernya dan mempersenjatai diri—dapat dibayangkan apa jadinya bila 3 juta anggota dan 10 juta sipatisan berkomitmen pada perjuangan ekstraparlementer/bersenjata. (Apakah benar mereka bisa mengambil jalan ekstra parlementer, adakah latihan untuk itu?) Ideologi, politik, ekonomi, dan sekaligus oknum-oknum pra-borjuis kurus kering ini dilumat habis, demi rasionalisasi akselerasi dan peluasan modal yang lebih gigantik, karena masa lalu pra-borjuis kurus kering tersebut sama sekali tak berguna. Benarkah yang demikian itu adalah jalan keluar Barat/kapitalisme terhadap Indonesia? Ada yang luput dari pelumatan: dwifungsi ABRI yang bergandengan tangan dengan sisa-sisa feudal yang, sebenarnya, menggerogoti modal. Nampaknya, sebagai toleransi terhadap Dunia Ketiga, modal acuh tak acuh saja terhadap status liberalisme yang didepak ke luar sistim. “Liberalisme” (yang berada di luar sistim tersebut), sampai sejauh ini, memang tak bisa menyentuh hati politik kaum “demokrat” sekalipun. (Namun, tidak demikian bagi hati, tangan dan kaki politik kaum muda—bersamaan dengan over production, excess supply, hati, tangan dan kaki kaum muda meracik liberalisme dengan polulisme dan sosialisme sebagai karcis politik untuk: MENGGULINGKAN SOEHARTO.) Itulah mengapa, terutama setelah fusi partai-partai pada tahun ’73, tak bisa lagi diharapkan ada alternatif yang berlawan. Fusi partai-partai itu sendiri merupakan upaya rejim Orde Baru untuk meniadakan kemandirian partaipartai dan menyulitkan kehesivitas politiknya. Maka, di kepala orang-orang partai, makin menjadi-jadilah anggapan bahwa strategi gradualis adalah jalan terbaik—suatu formulasi strategi politik yang selalu diganggu variabel-variabel: “Marahkah tentara? Tertutupkah arena politik legal kami jika tentara tak

mengizinkan?” Itulah yang membuat mereka sulit keluar dari kubangan lumpur-hisap moderasi. Karena itu, pada momentum 27 Juli, pimpinan-pimpinan PDI-Megawati selalu berusaha memukul mundur tindakan anggotanya yang bisa mengancam arena politik legal mereka, yang bisa menutup arena politik legal mereka (dan, ternyata, walaupun mereka bertindak moderat, tetap saja Orde Baru menutup arena politik legal mereka, tak diizinkannya PDI-Megawatu ikut pemilu). Namun logika massa bergerak ke arah lain, menuntut serangan langsung pada kediktatoran, karena kesadaran anti-kediktatorannya benar-benar tersinggung dan telah merasa sanggup untuk: BERLAWAN. Itulah mengapa hapusnya dwifungsi ABRI akan membuka perspektif formula politik sesejatisejatinya, karena hilang sudah variabel tentara dalam kalkulasi politik politisi. Walaupun “oposisi” (PDI-Megawati) berhasil berkuasa, namun kalkulasi politik tersebut akan tetap menjadi ayat-ayat suci mereka—apalagi GOLKAR masih No.2 dan dwifungsi ABRI belum tuntas; dan dilihat dari basis historis watak mereka, serta gradualnya dwifungsi ABRI dihapuskan, maka kekuasaan yang mereka pegang tetap tak akan memberanikan mereka bersandar pada dekrit formal penghapusan dwifungsi ABRI—lagipula, bisakah dwifungsi ABRI ditutup oleh dekrit formal. Dan bisa kah mereka bersandar pada cara lain: KEKUATAN MASSA? Makna kemenangan dalam benak mereka adalah, pertama, tetap diizinkan bermain dalam arena politik legal—yang, sebenarnya, harus direstui tentara terlebih dahulu dalam kasak-kusuk di hotel-hotel; kedua, dianugrahi cap sebagai kaum reformis sehingga memudahkannya memenangkan pemilu—itu artinya (faktanya) adalah semata-mata membenalui penjatuhan Soeharto (hasil keringat dan darah mahasiswa serta kaum miskin perkotaan). Pertanyaannya: bisakah rakyat, yang sedang menderita dan berlawan sekarang ini, menyimpulkan mereka sebagai REFORMIS GADUNGAN? Tentu saja bisa, dan harus dipercepat oleh kaum pelopor, SANG PANDAI API—yang bermimpi tentang negeri yang baik pada rakyatnya. ***


Tantangan Politik untuk Pergerakan di Zaman Tidak Ber visi Oleh Candra J N (1) Politik anti-nasional dan anti buruh-tani Orde Baru menghancurkan berbagai capaian revolusi nasional demokratik selama tahun 1900-1965. YANG DIHANCURKAN 1. Partisipasi rakyat banyak (proletar, semi-proletar, burjuis kecil melarat dan petani)—dalam kehidupan politik serta perjuangan untuk menentukan arah perkembangan masyarakat melalui politik mobilisasi massa—dihancurkan. 2. Ingatan-ingatan (pengetahuan) tentang riwayat perjuangan kemerdekaan dan perjuangan menentukan arah perkembangan masyarakat—yang terjadi sesudah kemerdekaan berhasil dimenangkan—dibasmi dan hilang sebagai sumber nilai, inspirasi dan pelajaran. 3. Pencapaian budaya—yang terdiri dari pengetahuan tentang ilmu politik, yang tercernin dalam semua tulisan dan pidato pempimpin-pemimpin gerakan pembebasan nasional (tahun 1900-1965) dan di dalam sastra serta perfilman Indonesia— dilarang, dibasmi, dihilangkan atau dikucilkan. 4. Perjuangan untuk membangun sebuah ekonomi nasional yang berdiri di atas industrialisasi di segala bidang, membangun sebuah masyarakat yang berilmu pengetahuan, dan dengan sebuah angkatan kerja yang semakin produktif, ditindas sebelum bisa dimulai dan dilapangkan lah jalan untuk meneruskan kehidupan ekonomi yang kapitalis tetapi tidak berindustri, tidak berilmu pengetahuan, dan dengan produktivats angkatan kerja yang serendah-rendahnya. Industri yag ada hanya yang diperlukan oleh imperialisme. Pendidikan yang berkualitas tinggi tetap harus dicari ke negeri imperialis. Penghancuran tersebut dilakukan oleh kelas kapitalis dalam negeri Indonesia, baik ketika dipimpin oleh segelintir kapitalis bersenjata, kemudian ketika dipimpin oleh konglomerat dan antek politiknya, maupun sekarang ketika “dipimpin” oleh kombinasi antara konglomerat, unsur-unsur yang ingin jadi konglomerat, dan konglomerat-konglomerat daerah. Jika kaum kapitalis dalam negeri Indonesia mengeluh tentang penindasan ekonomi “asing”, itu karena merasa kurang dapat porsinya saja. Orde Baru bukan hasil penjajahan asing tetapi hasil sebuah tindakan pendahuluan kontra-revolusioner oleh kelas kapitalis dalam negeri Indonesia. Pihak imperialis diundang masuk; bukan memaksa masuk. (2) Hasil penghancuran tersebut adalah terpecah-belahnya (fragmentasi) setiap aspek kehidupan negeri, masyarakat dan juga kelas-kelas rakyat. Dalam kebudayaan dan politik: Dengan diberangusnya politik mobilisasi massa—yang berkembang selama tahun 1900-1965—hancurlah semuah organisasi rakyat yang bergerak dengan wawasan nasional. Padahal, buat rakyat kebanyakan, organisasi massa tersebut merupakan sekolah utama yang mengurus segala hal tentang bernegeri dan bernegara. Sekolah tersebut hancur. Ini berlangsung selama 33 tahun (dari 53 tahun setelah proklamasi kemerdekaan). Selama 33 tahun rakyat tak bersekolah. Dan selama 33 tahun tersebut (sampai sekarang), sejarah yang diajarkan di sekolah adalah sejarah yang bohong, yang diajarkan sebagai takhyul (menghafal kebohongan tanpa ada bukti). Sementara itu, selama 33 tahun, sastera Indonesia kemerdekaan, dari Kartini sampai Rendra, sampai Bumi Manusia, sampai Wiji Thukul, tidak diajarkan. Tanpa pendidikan keduanya, rakyat Indonesia menjadi bukan rakyat Indonesia tetapi sekadar rakyat yang hidup dalam geografis negeri Indonesia. Mereka jatuh menjadi rakyat yang hidup di dikungkung, dipenjara oleh (setingkat) kelas kapital dalam negeri Indonesia yang terdiri dari federasi elit-elit lokal dengan elit pusat di Jakarta.

Mei 2008 PEMBEBASAN 24


Dalam situasi tersebut, kesadaran kelas pun kalah oleh kesadaran-kesadaran sektarian (baik secara isyu, etnis maupun wilayah). Bila tidak berwawasan nasional—yakni, bila tidak mengerti bahwa semua jalan keluar masalahmasalah rakyat harus diselesaikan oleh seluruh nasion, oleh seluruh bangsa— maka kesadaran kelas tidak akan bisa ada atau tidak akan bisa berkembang. Dalam ekonomi: Strategi ekonomi yang dijalankan sejak tahun 1966 adalah menyatukan ekonomi Indonesia dengan ekonomi internasional berdasarkan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan modal imperialis serta fraksi kelas kapitalis klik militer Suharto. Akibatnya, sektor-sektor ekonomi yang tumbuh sangat terbatas. Industri berat dan menengah tetap menjadi haknya negeri imperialis. Manufaktur ringan pun hanya di sektorsektor yang terpilih pula dan, sejak tahun 1997, merekapun mulai ditarik kembali. Produktivitas hanya meningkat riil dan luas di pertanian sawah (hasil revolusi hijau), tetapi itu pun berhenti setelah peningkan produktivas melalui bibit baru, pupuk dan pestisida sudah mencapai jalan buntu. Modernisasi selanjutanya tak bisa diwujudkan (karena membutuh kooperasi atau kolektivasi yang luas dan sukarela.) Masyarakat tetap terbagi menjadi dua secara dahsyat: yang kaya dan yang miskin semakin jauh terpisah; kota besar dan kota kecil semakin jauh budaya dan cara hidupnya; apalagi kota dan desa; Jakarta dan kebupaten. Yang kaya semakin menjadi bangsa tersendiri, menyekolahkan anaknya dalam bahasa Inggeris; berselera kosmopolitan; berapartemen di Singapura atau Melbourne, dan (mereka) dipersatukan karena merasa terganggu oleh kaum miskin yang harus ditertibkan itu. Sebagian besar yang miskin atau tinggal di kota kecil dan desa, yang serba kecil itu, produktivitasnya rendah dan disatukan secara budaya hanya oleh sinetron. (3) Gerakan anti-kediktatoran sebagai pemersatu fragmentasi dan kegagalannya. Gerakan anti-kediktatoran yang militan, yang berkembang tahun 1989-1998, mulai

25 PEMBEBASAN Mei 2008

mempersatukan rakyat yang terpecahbelah tersebut. Gerakan tersebut, dengan tuntutan-tuntutannya—cabut Dwifungsi ABRI, cabut Paket 5 Undang-Undang politik, hapusakan KKN, naikkan gaji dan lain sebagainya termasuk, kemudian, turunkan Suharto—betul-betul menyatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Metode perjuangan aksi massa menyebar ke semua pelosok—sampai sekarang. Tetapi, sesudah tahun 1998, persatuan tersebut tidak bertahan lama. Sebabnya ada beberapa hal. Pertama, periode perkembangan tersebut masih terlalu pendek, secara intensif hanya berlangsung antara tahun 1992-1998 dan, secara sangat intensif, hanya sejak tahun 1996 hingga tahun 1998. Periode tersebut tak cukup lama untuk mengembangkan bentukbentuk pengorganisiran massa yang dapat bertransisi dari bentuk temporer (sementara) menjadi tetap (permanen). Kedua, gerakan tersebut hanya bersifat taktis, tidak strategis, bila dipandang dari kebutuhan mendasar rakyat kebanyakan. Gerakan tersebut, sebagai gerakan antidiktator, adalah gerakan yang maknanya hanyalah membuka ruang untuk perjuangan selanjutnya. Ingatlah bahwa (a) semua kemunduran yang dialami selama 33 tahun sebelumnya, dan (b) bahwa gerakan taktis tersebut hanya sempat berkembang intensif selama 2-6 tahun, mulai dari nol, atau tak memiliki kesempatan bertransformasi dari gerakan taktis menjadi gerakan strategis, apalagi di dalam bidang ideologi—yaitu teori, termasuk pendidikan teori pada massa. Bahkan, karena sesudah Mei, 1997, semakin pesat, luas dan intensif perkembangan unsur spontan, maka ideologi gerakan yang luas tersebut semakin dibanjiri oleh sentimen-sentimen taktis (yakni terbatas pada anti-kediktatoran). Perkataan reformasi total sempat beredar tapi tak sempat berkembang. Pada saat pimpinan “opposisi elit” di Ciganjur menyatakan akan mematuhi jalur pemilihan umum dalam mengurus transisi pasca kedikatoran, kesadaran politik gerakan masih dalam tahapan “taktis”, belum bisa berwawasan strategis; belum bisa membayangkan harus kemana: bubar. (4)

Fragmentasi kepeloporan pasca tahun 1998 Selama periode tahun 1989-1998, dengan catatan bahwa banyak juga kelompok yang berjuang dan berkorban demi pembebasan dari kediktatoran, namun yang menjadi kekuatan pelopor adalah kubu Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD lah yang sadar dan secara sistematis memperjuangan dihidupkannya kembali metode perjuangan aksi massa. PRD lah yang menemukan slogan-slogan dan tuntutan-tuntutan anti-kediktatoran yang kemudian diterima oleh massa luas. (Yang tidak terima secara luas adalah seruan strategis: yakni seruan untuk mendirikan dewan-dewan rakyat. Kesadaran massa belum sempat berkembang sedemikian jauh, meskipun mendekati tahap tersebut.) Sejak tahun 1998, kepeloporan pun sudah mengalami fragmentasi—dalam dua bentuk. Pertama, PRD sendiri mengalami fragementasi. Kedua, berkembang elemen-elemen kepeloporan di luar PRD. Fragementasi PRD tercermin saat kehilangan banyak kader, yang masuk organisasi non-partai/LSM (baik yang progressif maupun yang tidak), menyeberangnya banyak pimpinan PRD ke partai borjus atau borjuis kecil, dan terjadi perpecahan (split). Dari kader PRD tahun 90-an, hanya segelintir saja yang tinggal, yang sekarang berada di Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD). Asal-usul dari fragmentsi tersebut sama dengan yang digambarkan di atas, dan tak sempat dilawan oleh peningkatan pendidikan ideologis. Selain itu, sesudah gagalnya Koalisi Nasional (yang berusaha melibatkan kubu PNBK dan Partai Pelopor), kurang ada pengambilan kesimpulan yang tegas, bahwa: dengan kegalan tersebut, kesempatan untuk mengambil momentum (peluang) alliansi dengan unsur borjuis kecil yang antiOrde Baru sudah selesai. Mental “taktis” (kontra “strategis”) sempat berkembang secara ekstrim. Sementara fragmentasi di dalam PRD terjadi, fragmen-fragmen kepeloporan lain mulai tumbuh, meskipun wataknya belum sepenuhnya jelas. Yang bisa dicatat sebagai cerminan proses tersebut— antara lain, mungkin—organisasi-


organisasi seperti Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)/Kongres Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)/Federasi Perjuangan Buruh Jabotabek (FPSBJ), Rumah Kiri, jaringan di sekitar toko buku Ultimus dan penerbit Resist. Juga ada individuindividu yang secara sporadis bisa memainkan peranan kepeloporan dalam waktu-waktu yang hanya sebentar. Tetapi semua itu berkembang secara fragmentatif, sehingga pasti banyak keparsial-an dalam proses pertumbuhan masing-masing fragmen. Semua itu harus lebih diselidiki sebelum bisa mengambil kesimpulan yang lebih teliti. (5) Perjuangan ideologis untuk gerakan ‘strategis. a. Tema-tema propaganda (pendidikan politik seluas yang dimungkinkan) Prioritas dalam mempersatukan fragmenfragmen kepeloporan adalah sama dengan prioritas dalam memperluas elemenelemen kepeloporan: yaitu mempertegas dan menyebarluaskan keyakinan terhadap basis ideologis yang mau diperjuangkan. Penjajagan dan perundingan dengan berbagai fragmen kepeloporan yang berkembang harus berdiri di atas basis ideologi yang jelas dan meluas. Yang dibutuhkan sekarang adalah meluaskan propaganda yang sistimatik melalui setiap lini pengorganisiran, baik dengan terbitan cetakn maupun lisan. Sistematika tersebut berarti: di mana pun, dan kapan pun, tema-tema permasalahan YANG SAMA harus dijelaskan—tentu saja dengan semakin lihai dan mendalam. (Itu berarti: kader sendiri harus semakin belajar dan membaca.) Dalam bangun sistematikanya, ada tiga bidang yang harus digarap: - Asal-usul krisis ekonomi, politik, dan budaya Indonesia; - Siapa yang berjuang mati-matian, siapa yang berjuang setengah hati, dan siapa musuh-musuhnya; - Jalan keluar, solusi. Asal-usul krisis ekonomi, politik, dan budaya Indonesia Dalam tahap sekarang, tekanan harus diletakan pada penjelasan historis (menjelaskan sejarah) sehingga dapat menghindari penjelasan yang abstrak. Dalam rangka itu, ada tiga poin utama yang harus dijelaskan (sebagai

dicantumkan di atas): - Kolonialisme selama 350 tahun: Warisan kolonialisme pada Indonesia Merdeka (massa harus hafal segala sejarah tersebut dan mampu membicarakannya); - Kekalahan kubu “sosialisme ala Indonesia” pada tahun 1965—yakni kubu mobilisasi massa buruh-tani. Atau kubu yang mencari jalan kerakyatan dalam membangun Indonesia yang tidak tergantung pada imperialis—sehingga memungkinkan (i) didirikannya rejim Orde Baru; dan (ii) ekonomi kapitalis yang tak berindustri; serta, terutama (iii) penghancuran capaiancapaian revolusi nasional demokratik Indonesia selama tahun 19001965, atau penghancuran di atas kekalahan kubu sosialis pada tahun 1965 (karena itu rakyat harus belajar sejarah Orde Baru). Dengan kata lain, merupakan kemenangan (a) kediktatoran politik elit terhadap demokrasi mobilisasi massa; dan (b) neo-kolonialisme. - N e o - l i b e r a l i s m e : ketidakmampuan rejim politik elit ataupun ekonomi neo-kolonial dalam membela rakyat dan negeri dari serangan globalisasi neoliberalisme—yang merupakan bentuk ganas yang paling baru dari neokolonialisme—dan krisis kapitalisme internasional—yang kepentingannya adalah memperbesar keuntungan dari investasi-investasinya, sehingga membutuhkan peningkatan pemerasan. ADALAH SYARAT MUTLAK bawha KETIGA poin tersebut dipelajari oleh semua kader dan, kemudian, oleh massa seluas-luasnya.

dan (b) sosialisme ala Indonesia dalam semua periode tersebut, yang juga harus menggambarkan figur dan ide-idenya, serta juga organisasi politik yang berkembang. (C) Situasi sekarang. Penjelasan sejarah harus menjadi landasan bagi kader maupun massa dalam menilai peta politik perjuangan sekarang. Ada tiga aspek yang harus bisa dijelaskan. - Kekuatan sosial (kelas) mana yang berkepentingan dan yang mampu melawan (proletar dan mahasiswa, dengan menjelaskan kedudukan khusus dari massa mayoritas, yakni massa semi-proletar dan burjuis kecil yang melarat dan tertindas—kaum miskin/Marhaen desa dan kota); - Siapa musuh rakyat dalam negeri dan mengapa dianggap musuh: sisasisa Orde Baru, militer, reformis gadungan, nasionalis gadungan, yang semuanya berdiri di atas kepentingan kelas kapitalis dalam negeri dengan semua konflik-konfliknya. Siapa musuh luar negeri: imperialis, pemerintah-pemerintah imperialis, lembaga-lembaga finansial internasional, perusahaan-perushaan MNC dan bank-bank internasional; - Siapa sekutu strategis dalam dan luar negeri, baik secara kelas maupun organisasi. Dalam menjelaskan aspek organisasi dalam negeri, harus disertai juga dengan penjelasan yang teliti, peka, rendah hati tapi ilmiah dalam menilai situasi fragementasi kepeloporan. Sekutu strategis adalah calon mitra persatuan. - Siapa sekutu taktis: ini berubah dari waktu ke waktu, bisa kekuatan sosial (kelas atau suatu bagian dari sebuah kelas), bisa individu, bisa organisasi.

Siapa yang berjuang mati-matian, siapa yang berjuang setengah hati dan siapa musuh-musuhnya.

Jalan keluar, solusi

Yang juga harus dijelaskan secara historis. (A) Kekuatan sosial (kekuatan kelas) yang bergerak dari masa ke masa. Peranan pemuda, intelektual muda, pedagang miskin, buruh dan tani dalam perlawanan terhadap kolonialisme sampai tahun 1949; dalam pembangunan gerakan “sosialisme ala Indonesia” periode tahun 1949-1965; juga dalam perlawanan terhadap Orde Baru beserta tahap-tahapnya. (B) Sejarah siapa yang mengorganisir dan memperjuangkan ide (a) aksi massa

Tema pokok: - Rakyat miskin harus berkuasa melalui organisasi-organisasi massanya sendiri (berarti harus berkembang massif)—pemerintahan rakyat miskin; - Kekuatan politik rakyat miskin terletak dalam jumahnya yang massif (200 juta), yang akan menjadi suatu kekuatan bila terorganisir dengan kuat—200 juta orang juga merupakan angkatan kerja Indonesia, sumber semua produktivitas: strategi gerakan harus membangun gerakan aksi massa demi mendirikan

Mei 2008 PEMBEBASAN 26


pemerintahan rakyat miskin; - Pemerintahan rakyat miskin harus memperjuangkan sebuah ekonomi dan masykarakat sosialis, yaitu ekonomi yang diatur melalui mobilisasi tenaga, pikiran dan semangat massa; rakyat berdaulat terhadap semua sumber daya alam maupun teknologi yang ada di dalam negeri; masyarakat dibangun berdasarkan solidaritas dan kerjasama di antara massa (gotongrojong); dan pendidikan, ilmu pengetahuan, pengetahuan umum serta kebudayaan menjadi hak dan alat untuk membangun masyarakat, yang harus dimiliki oleh semakin banyak orang dengan segera. b. Strategi bawah dan strategi atas Strategi bawah Yang dibutuhkan sekarang adalah meluaskan propaganda yang sistematik melalui setiap lini perorganisiran, baik dengan terbitan cetakan maupun lisan. Strategi atas Dalam perjuangan melawan kediktatoran Suharto (bahkan sampai sekarang), gerakan pernah menggunakan berbagai jenis strategi atas—yakni: strategi untuk menjangkau massa banyak dengan ide, slogan atau tuntutan kita, selain melalui proses pengorganisiran (dalam semua bentuknya). 1989-1996—aksi massa besar mahasiswa-petani, kemudian mahasiswa-buruh, yang meraih perhatian media massa; 1996—alliansi dengan sebagian kekuatan kelas burjuis (kecil), yaitu dengan PDI-Megawati dan kekuatan pro-demokrasi lainnya (berhasil); 1997—panggung pengadilan tahanan politik PRD; intervensi PEMILU dengan menyebarluaskan selebaran yang massif; 1998—aksi mahasiswa militan, yang semakin serentak secara nasional; 1999—maju dengan menjadi peserta Pemilu; 2000-2007—percobaanpercobaan alliansi dengan kekuatan burjuis kecil progressif sampai dengan pembentukan Koalisi Nasional (gagal). Selama periode tahun 1989-1998 watak gerakan (ternyata) terutama bersifat

27 PEMBEBASAN Mei 2008

agitatif: yang diutamakan adalah slogan dan tuntutan yang menyudutkan serta yang membongkar rejim diktator dan sekutunya (kroni serta yang lainnya). Dalam periode ke depan, selain agitasi (yang memnag, pada suatu saat, akan semakin mendesak kebutuhannya), propaganda (pendidikan politik yang mendalam) buat massa pun akan sama pentingnya, bahkan merupakan syarat mutlak bila gerakan berkehendak mendirikan sebuah pemerintahan rakyat miskin yang akan mampu memimpin perjuangan menciptakan sebuah ekonomi dan masyarakat yang semakin sosialis. Dalam rangka itu, pertama, semua metode—seperti yang sudah pernah dijalankan—pasti akan diperlukan lagi kalau kondisinya menunjang; dan, kedua, harus ada kepekaan khusus untuk mengakumulasi panggung ideologis. Akumulasi panggung ideologis Panggung-panggung tersebut bisa tersedia sebagai hasil semakin berwibawanya suara radikal, yakni karena mencapai tingkat-tingkat persatuan progressif yang mempesona, baik di medan organisasi politik maupun sektoral. Panggung-panggung tersebut juga bisa tersedia dengan merespon isu-isu yang memiliki makna ideologis tinggi. Contoh-contoh saat ini termasuk: - solidaritas terhadap revolusi Venezuela, yang mencetuskan “sosialisme abad 21” (yang bisa

dikaitkan dengan “sosialisme ala Indonesia”); - represi terhadap buku, kurikulum atau sejarah (yang berpotensi dapat beraliansi dengan intelektual, yang belum tergarap dengan baik); - repressi, kekerasan, diskriminasi terhadap kaum perempuan, karena unsur (ideologis) egalitarian dan anti keterbelakangan dalam budaya memiliki makna ideologis yang sangat tinggi dan memiliki potensi bagi revolusi kebudayaan yang dahsyat. Ada juga contoh-contoh lain—yakni merespon isu-isue yang mebutuhkan perdebatan dengan figur-figur burjuis yang sedang mencari hati massa: - Serangan-serangan nasionalis (kanan) terhadap asing, yang mengabaikan aspek kekuasaan rakyat—seperti tuntutan pembaruan kontrak/peninjauan kontrak karya ataupun nasionalisasi tanpa SEKALIGUS mempersoalkan SIAPA yang menguasi aset dalam negeri tersebut—dan agitasi para nasionalis gadungan lainnya; - Pembelaan borjuis terhadap sistem parlementer dan kepartain yang ada sebagai demokrasi yang ideal; harus dibalas dengan argumentasi bahwa demokrasi tersebut adalah demokrasi yang hanya diperuntukan bagi mereka yang mampu MEMBELInya dan, karena itu, dibutuhkan sistem demokrasi lain, demokrasi sejati yang berdasarkan pada partisipasi (mobilisasi) massa.


TA K T I K M e m i m p i n G e r a k a n R a k y a t d a n Perlawanan Spontan Rakyat Miskin Oleh Gregorius Budi Wardoyo Dalam pembacaan data perlawanan, telah terlihat bahwa kepemimpinan organisasi gerakan terhadap perlawanan spontan massa (yang terus muncul di banyak tempat) belum menunjukan signifikansinya, termasuk kepemimpinan kaum pelopor. Oleh karena itu, dibutuhkan taktik yang tepat untuk mengemban tugas memimpin dan memberikan arah bagi perjuangan rakyat miskin sesuai dengan hukum obyektifnya—terutama dalam hal membuka ruang demokrasi dan melawan penjajahan modal asing. Secara programatik, masihlah tepat tujuan menuntaskan revolusi demokratik di Indonesia—dengan melawan Imperialisme; mendelegitimasi pemerintahan boneka imperialis; dan menggantikannya dengan pemerintahan rakyat miskin. Demikian juga, masihlah tepat kesimpulan tentang musuh-musuh pokok rakyat miskin Indonesia: penjajahan modal asing (Imperialisme); pemerintahan boneka imperialis; tentara; Golkar; reformis gadungan; dan milisi Sipil. Taktik 1. Di tengah tekanan kekuatan borjuis, yang dengan segala upaya mencoba melemahkan kekuatan rakyat—baik secara prosedural (dalam makna peraturan-peraturan dan mekanisme yang sebenarnya tidak demokratik), maupun dengan tindakan-tindakan represif—maka kita harus berdiri paling depan untuk membuka ruang demokrasi, sepenuh-penuhnya, termasuk membongkar Undang-Undang Pemilu atau Pilkadal yang anti demokrasi; 2. Dan Tuntutan tersebut, harus diiringi dengan propaganda bahwa rakyat harus berkuasa, dengan TRIPANJI sebagai jalan keluar ekonominya; 3. Namun, kenyataan obyektif menunjukan bahwa sebagian besar rakyat masih bergerak dengan tuntutan yang reformis, sehingga kita harus terlibat dalam perjuangan reformis massa dan memimpinnya (jangan seperti taktik sebelumnya, demi pengerjaan memperluas struktur PAPERNAS, kita meninggalkan tugas memimpin perlawanan rakyat). Alat Koran yang reguler dan luas jangkauannya—sebagi taktik utama Tak bisa dipungkiri bahwa banyaknya perlawanan rakyat jelas membutuhkan alat propaganda dan pengorganisiran TRIPANJI: 1) Hapuskan utang luar negeri; 2) Nasionalisasi industry pertambangan; 3) Industrialisasi nasional.

yang sanggup menjangkau semuanya, yang mampu mengambil setiap hal maju dari peralawanan rakyat di satu tempat dan membagi pengalaman tersebut ke tempat lain. Alat tersebut terutama dimaksudkan agar bisa memberikan arah revolusi bagi rakyat miskin, yakni yang bisa memberikan bukan saja landasanlandasan teoritik progesif—agar massa rakyat tidak lagi jatuh pada empirisme, tidak lagi berjuang dalam persepektif perjuangan jangka pendek yang reformis, tidak lagi sekedar aktifisme yang tidak punya arah—melainkan juga memberikan kesimpulan-kesimpulan praktek perjuangan yang menjadi landasan gerak maju selanjutnya. Kebutuhan koran yang regular dan luas jangkauannya menjadi keharusan, di tengah tidak meratanya pengetahuan dan pengalaman perjuangan, baik di kalangan massa rakyat maupun di kalangan aktifis pergerakan dan, selain itu, karena jumlah aktifis gerakan masih sangat kecil dibandingkan dengan luasnya area perlawanan rakyat. Aku mengusulkan agar koran tersebut utamanya ditujukan bagi aktifis pergerakan, dengan isian materi mengenai strategi-taktik dan polemiknya (termasuk dengan kaum Mayoritas di PAPERNAS/ PRD). Kenapa isian strategi-taktik menjadi penting dalam koran tersebut? Itu karena salah satu hambatan kemajuan gerakan saat ini adalah kelemahan strategi-taktik, sehingga pemahaman strategi-taktik yang tepat benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan dan massa rakyat. Sementara

polemik strategi-taktik dengan kaum Mayoritas (PRD/PAPERNAS) menjadi penting karena sejarah PRD sebagai kaum pelopor telah banyak memberikan inspirasi bagi kaum gerakan dan massa rakyat —agar apa yang dilakukan oleh kaum Mayoritas sekarang tidak akan menjadi preseden (contoh buruk) bagi kaum pergerakan dan massa rakyat. Tentu saja terdapat kaum pergerakan maupun massa rakyat yang bisa menilai bahwa apa yang dilakukan kaum Mayoritas PRD/PAPERNAS [dengan taktik berupaya melebur (merger) dengan Partai Bintang Reformasi dan masuk secara tertutup ke dalam Partai Demokrasi Pembaruan] adalah SALAH namun, tetap saja, akan menghambat kemajuan gerakan secara keseluruhan karena walupun sebagian besar pimpinan massa yang selama ini dikenal sebagai tokoh pergerakan telah menyimpang namun tidak banyak dipersoalkan secara terbuka oleh kaum pergerakan, seolah-olah dibenarkan—bagaimana bila menjadi preseden bagi massa luas sehingga juga menganggapnya benar. Oleh karena itu, polemik terbuka terhadap strategi-taktik Mayoritas harus dilakukan dengan terus menerus agar kaum gerakan dan massa rakyat menjadi tahu kesalahan yang dilakukan kaum Mayoritas dan menerima strategi-taktik alternatif. Menurutku, soal regularitas koran tersebut sebaik-baiknya adalah harian namun, jika tidak memungkinkan, Lihat film dokumenter wawancara-wawancara tentang PRD dalam rangka 10 tahun PRD, 2004.

Mei 2008 PEMBEBASAN 28


maka paling tidak menjadi mingguan. Secara obyektif, perlawanan rakyat (yang bergerak setiap hari di berbagai tempat) adalah enerji yang sangat besar bagi koran kita tersebut, sehingga regularitasnya tidak boleh terlalu lama. Kendala utama yang selama ini dialami kita, yakni masalah pendanaan, penulisan dan distribusi haruslah dicari pemecahannya—yang sangat mungkin kita pecahkan, jika koran dijadikan sebagai taktik utama. Dan bentuk koran tersebut, menurutku, dibuat yang sederhana, dengan jumlah halaman yang tak terlalu banyak (agar lebih mudah digandakan). Dan, agar bisa terwujud, maka soal koran harus menjadi salah satu agenda rapat rutin di setiap tingkatan struktur perjuangan, bahkan hingga ke tingkat massa. Adalah benar pernyataan bahwa kesadaran kelas proletariat akan meningkat jika ada dialektika antara propaganda (yang terus menerus dari kaum revolusioner) dengan pengalaman perjuangan koletif massa. Dan sekarang coba kita lihat berapa banyak alat propganda kita dan berapa luas jangkauannya ke tengah massa rakyat yang sedang terus berlawan? Lalu bandingkan dengan media massa borjuis, yang terus menerus meninabobokan massa, memanipulasi kesadaran palsu massa, bahkan hingga melakukan black propaganda terhadap ide-ide sosialisme— pada tahun 2006 media massa yang dikuasai borjuis mencapai 6,026 juta eksemplar untuk jenis surat kabar harian; dan jika seluruh media cetak dijumlahkan maka totalnya mencapai mencapai 17,374 juta eksemplar; itu artinya 1 media massa borjuis di baca 38 orang Indonesia Coba bandingkan dengan Harian Rakjat , organ PKI yang pertama kali terbit tahun 1951, tirasnya mencapai 2.000 eks per hari, dan berkembang dalam waktu dua tahun menjadi 12.500 eks. Pada 1956, Harian Rakjat meningkat menjadi 55.000 eks, mengungguli penerbitan lain seperti Pedoman (koran Partai Sosialis Indonesia) dengan 40.000 eks; atau Abadi (koran Masjumi) dengan 34.000 eks. PKI juga menerbitkan bulanan dalam bahasa Inggris, Monthly Review, yang pada tahun 1954 diubah menjadi Review of Indonesia. Oplah tersebut jelas sangat http://www.spsindonesia.or.id/news-detail. php?id=50 Data ini di ambil dari tulisan Hilmar Farid dan kawan-kawan, http://www.xs4all. nl/~badjasur/kreasi/no3/pasangsurutno3.htm

29 PEMBEBASAN Mei 2008

besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat itu dan dengan tingkat buta huruf yang masih tinggi. Apakah kita masih berpikir, koran bukan sebagai taktik utama? Pembangunan gerakan

persatuan

(front)

Landasan obyektif kenapa persatuan Gerakan adalah keharusan (lagipula memungkinan untuk dibentuk) adalah: 1. Musuh-musuh rakyat terlalu kuat, baik musuh dalam negeri maupun musuh dari luar negeri. Musuh yang dimaksud adalah kekuatan politik yang menjadi kaki tangan imperialis maupun kekuatan politik yang anti demokrasi, atau keduanya. Kekuatan politik yang menjadi musuh rakyat cenderung mengambil posisi sebagai agen imperialis sekaligus anti demokrasi—dalam kadar tertentu bisa kelihatan pro demokrasi, namun sejatinya hingga sekarang tidak mampu melepaskan diri dari kekuatan politik tentara. 2. Mayoritas rakyat mengalami penindasan, dan sebagian di antaranya sedang berlawan (baik dengan platform tuntutan yang lebih programatik maupun yang spontan). 3. Semakin banyak organisasi rakyat yang bermunculan terutama di kalangan kaum buruh dan kaum tani, baik yang bersifat nasional maupun lokal. 4. Pengalaman persatuan gerakan (yang berhasil menjatuhkan Soeharto, atau yang ”berhasil” menolak berbagai kebijakan pemerintah, masih membekas di ingatan kolektif kaum gerakan dan massa rakyat. 5. Belum ada persatuan gerakan yang mampu memberikan harapan—dalam makna perspektif—dalam memimpin gerakan rakyat dan perlawanan massa rakyat. Sedangkan landasan subyektifnya adalah, kita, kaum pelopor—yang paling mengerti teori dan paling punya kecapakan berjuang—masih sangat sedikit. Dengan landasan obyektif dan subyektif seperti itu tidak boleh ada kata menyerah dalam kerja-kerja pembangunan persatuan gerakan, sekalipun sangat

banyak kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam kerja-kerja membangunnya. Menurutku, persatuan yang akan dibentuk sebaiknya adalah persatuan yang bisa menjadi magnet di hadapan gerakan dan massa rakyat, persatuan yang bisa memberikan harapan perubahan bagi massa rakyat, sehingga penentuan sekutu persatuan harus lebih berhati-hati, tidak boleh kontra-produktif (seperti yang dilakukan oleh kaum Mayoritas— menggalang persatuan bersama kekuatan politik anti-rakyat). Sedapat mungkin persatuan yang dibangun didorong untuk melakukan tindakan politik bersama, bahkan seandainyapun tindakan politiknya masih sangat moderat—asal tidak bertentangan secara programatik dengan program kita—karena persatuan hanya akan menjadi lebih bermanfaat jika semakin banyak aktifitas (ekspresi) politik yang dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu, sekalipun kita mempunyai program dan stategi-taktik yang maju, kita tidak boleh mencemooh persatuan gerakan yang paling moderat sekalipun karena di sanalah ajang bagi kaum pelopor untuk mempropagandakan program maju dan stategi-taktiknya, juga dalam memberikan contoh konsistensi (kesetiaan) perjuangan—bahkan, dalam program yang moderat sekalipun, kaum pelopor harus menunjukan bahwa merekalah yang paling setia, paling gigih dalam perjuangan. Untuk memperkuat pengaruh persatuan pada massa rakyat (sekaligus juga memperkuat pengaruh kita) maka, sebisa mungkin, persatuan mempunyai terbitan yang reguler—bahkan, jika hanya mampu mengeluarkan selebaran, maka selebarannya harus didorong terbit secara reguler; apalagi jika mampu mengeluarkan terbitan yang lebih baik seperti koran atau tabloid. Dan, sekali lagi, kita harus menunjukan kesetiaan serta keteguhan kita dalam menjalankan terbitan tersebut. Dan dalam hal penstrukturan: persatuan yang ada—apalagi yang mempunyai kesanggupan untuk meluaskan strukturnya—sebaiknya melakukan pembangunan persatuan serupa di setiap teritori yang memungkinkan. Agar secepatnya rakyat melihat bahwa persatuan tersebut sebagai alat perjuangan mereka, agar persatuan juga bisa dengan segera menjangkau setiap keresahan massa dan, seiring dengan kesanggupan


front—lewat uji kerja berbagai aktifitas bersama—maka struktur front harus segera dipermanenkan. Jika pun persatuan tersebut masih bersifat lokal atau sektoral, maka persatuan tersebut harus diupayakan untuk berhubungan dengan persatuan lainnya baik yang ada di wilayah lain maupun yang ada di sektor lain, intinya adalah: segala upaya pembangunan persatuan yang kita lakukan harus selalu dalam perspektif nasional dan multisektor. Dalam konsepsi pembangunan persatuan gerakan, unsur-unsur maju—dalam makna: yang dalam praktek perjuangannya selama ini telah mengusung program anti-penjajahan (dan demokratik)—disatukan terlebih dahulu, agar mempunyai daya juang yang lebih besar. Tentu saja arena dari persatuan yang lebih maju tersebut tetaplah perlawanan spontanitas rakyat dan juga massa rakyat yang belum berjuang, sehingga tugas dari persatuan yang maju tersebut adalah membuat ajang-ajang yang memungkinkan bersatunya persatuan yang lebih maju tersebut dengan perlawanan spontanitas rakyat maupun massa rakyat secara keseluruhan. Itulah sebabnya alat utama dari persatuan, agar berkesanggupan menjangkau/menyatukan perlawanan spontan rakyat dan massa rakyat secara keseluruhan, adalah koran, hanya koran yang bisa menjangkau dan sekaligus MEMUNGKINKAN UNTUK DIKERJAKAN OLEH PERSATUAN dalam kapasitas saat ini. Pengorganisiran dan mobilisasi/ radikalisasi terjadwal (lihat materi Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan, Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin—Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), PEMBEBASAN, No.1, Januari, 2008) Konferensi taktik Dalam berbagai kesempatan sudah dapat disimpulkan bahwa salah satu sebab utama kelemahan kaum pergerakan (yang pelopor maupun bukan) dalam memimpin perjuangan massa rakyat adalah: kelemahan merumuskan strategitaktik. Dan, hingga saat ini, solusi untuk mengatasi kelemahan tersebut belum juga berwujud secara kongkrit dan meluas. Cara lain yang juga bisa dilakukan untuk menemukan strategi-taktik yang tepat bagi perjuangan massa rakyat adalah

dengan mengagendakan konferensikonferensi strategi-taktik secara reguler, baik di kalangan serikat-serikat buruh, antar serikat-serikat tani, serikat-serikat mahasiswa, serikat-serikat perempuan, serikat-serikat kaum miskin perkotaan maupun yang sifatnya gabungan, termasuk gabungan antar kota/wilayah. Konferensi-konferensi tersebut sangat mungkin belum bisa langsung dipermanenkan—oleh karena itu, koran tidak boleh mati guna mengisi kekosongan strategi-taktik atau untuk memperkuat strategi-taktik kaum pergerakan— namun tetap harus diupayakan, sekalipun masih dalam batas-batas strategi-taktik jangka pendek. Lebih bagus jika strategitaktik hasil dari konferensi tersebut kemudian dikerjakan bersama untuk diuji dalam praktek perjuangan massa rakyat, sekaligus dinilai ketepatannya, sehingga semakin hari semakin memungkinkan diperoleh strategi-taktik perjuangan massa rakyat yang paling tepat dalam pembangunan sosialisme di Indonesia. Mendirikan pendidikan teori

struktur-struktur

Tidak ada yang bisa menolak, bahwa tanpa teori revolusioner tak akan mampu terjadi revolusi. Untuk itulah pendidikan yang memberikan landasan teoritik bagi rakyat miskin untuk mengelorakan revolusinya harus dilakukan, sehingga jurang pengetahuan yang selama ini terjadi semakin terkikis—apalagi selama ini masih aktivis-aktivis yang berasal dari kalangan mahasiswalah yang memiliki

pengetahuan teoritis yang cukup maju; sementara aktivis yang berasal dari buruh, tani, kaum miskin kota, termasuk perempuan, masih sangat terbelakang; padahal tugas kaum pelopor adalah mengangkat rakyat miskin agar mampu memimpin dirinya sendiri, memimpin revolusinya sendiri dan nantinya memimpin pemerintahannya sendiri. Untuk tujuan itu, dibutuhkan banyak aktivis-aktivis dari rakyat miskin yang cakap dalam pengetahuan revolusioner dan juga praktek revolusioner. Setiap struktur yang ada diwajibkan mendirikan struktur yang diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut tersebut secara reguler, sehingga nantinya bisa ditemukan pola penyelenggaraan pendidikan yang paling baik. Atau, jika saat ini ada daerah yang sudah memiliki pengalaman pendidikan yang paling bagus, maka pengalaman tersebut bisa dijadikan pola pendidikan di tempat lain, karena harus ada pola nasional yang bisa diukur efektifitasnnya di tingkatan nasional. Aku membayangkan: di hari-hari nanti, di kontrakan-kontrakan buruh, di desadesa, di kampung-kampung miskin perkotaan, di kalangan perempuan, bukubuku revolusioner dan progresif telah menjadi bacaan dan bahan perdebatan mereka—misalnya saja buku-buku dan perdebatan tentang Kuba, Venezuela, Bolivia, demikian juga perdebatan dan buku-buku buku-buku Pramoedya atau karya-karya lainnya—tidak lagi hanya berputar di kampus-kampus maupun kontrakan mahasiswa.

Mei 2008 PEMBEBASAN 30


T

ulisan di bawah ini merupakan ringkasan (resume) ceramah Dita Sari pada Pendidikan Strategi-taktik Elektoral Bagi Massa Maju, yang diselenggarakan oleh Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), 15 Agustus, 2007. Dan ringkasan (resume) tersebut dibuat oleh seorang kawan (Minoritas) . Namun, dalam laporan Pimpinan Harian PRD, tulisan tersebut dimanipulasi menjadi seperti berikut:

1. Ringkasan (resume) tersebut dilaporkan ditulis oleh minoritas dengan mengatasnamakan (memalsukan nama) Dita Sari; 2. Catatan kakinya—yang merupakan catatan/laporan/pandangan pribadi penulis ringkasan (resume) tersebut (yakni kawan Minoritas tersebut)—dipindah ke atas (diletakan di badan tulisan) sehingga catatan kaki tersebut digambarkan seolah-olah ucapan Dita Sari; 3. Tujuan laporan manipulatif adalah: Minoritas telah membuat tulisan (palsu) dengan mengatasnamakan Dita Sari agar terkesan bahwa Dita Sari telah memihak kaum Minoritas. Tulisan tersebut kami kembalikan seperti aslinya dan kami publikasikan di PEMBEBASAN nomor ini untuk menunjukan pandangan atau posisi teoritik/politik/strategi-taktik Dita Sari. Selain itu, sebagai tambahannya, kami muat juga terjemahan wawancara Dita Sari dengan Greenleft Weekly (International News, Green Left Weekly, No. 735, 12 Desember 2007). Ringkasan pendidikan stratak elektoral bagi massa maju SRMK oleh Dita Sari. Tanggal 15 Agustus, 2007 . 1. Gerakan spontan aksi-aksi rakyat merupakan instink perlawanan saat rakyat ditindas; tak perlu campur tangan aktivis, rakyat secara instinktif akan melawan; 2. Gerakan spontan aksi-aksi rakyat atau pun yang terpimpin tak memiliki orientasi untuk merebut kekuasaan (baca: tidak mau terlibat sebagai peserta pemilu; atau dipahami sebagai tidak mau intervensi terhadap pemilu); 3. Kita tidak boleh seperti gerakan aksi-aksi massa (yang tak mau ikut pemilu); 4. Kita harus mengajarkan pada rakyat bahwa mereka harus berkuasa (dengan ikut pemilu); 5. Karena itu kita harus mendirikan partai kita sendiri (PAPERNAS); 6. Tapi, ternyata, persyaratan untuk menjadi peserta pemilu sangat memberatkan (Baca: tidak sanggup kita penuhi); yakni syarat tahap pertama yang diwajibkan oleh Depkumham (sebagai partai politik); dan syarat tahap kedua yang diwajibkan oleh Komisi Pemilihan umum (KPU) (sebagai peserta pemilu); dan kita tidak punya uang untuk money politic seperti borjuis; 7. Adanya serangan reaksi dari Front Pembela Islam (FPI), yang berakibat demoralisasi anggota dan menurunnya jumlah struktur PAPERNAS; 8. Lalu, dengan adanya hambatan-hambatan tersebut, apakah kita harus menghentikan upaya kita menjadi peserta pemilu; menanggalkan impian kita (rakyat) untuk berkuasa? 9. Tidak. Karena ada jalan keluar KOALISI. Meminjam baju orang lain, daripada tak pakai baju; Apalagi PAPERNAS belum menjadi alternatif; koalisi untuk menghindari verifikasi atau bisa saling bantu dalam memenangkan pemilu; 10. Koalisi dengan siapa? (Baca: kita akan pinjam/pakai baju siapa?); rakyat sedang menurun kepercayaannya pada partai-partai yang ada (sebenarnya rakyat ingin partai yang baru/altenatif); partai yang mesin organisasinya jalan (PKS); Kami sengaja merahasiakan nama penulisnya atas permintaannya sendiri untuk melindungi dirinya dari intimidasi, pengucilan, isolasi dan pemecatan oleh kaum Mayoritas. Setelah keluar SK pembelahan, maka mayoritas segera mendatangi basis-basis struktur PAPERNAS dan ormas (bekerja sama dengan para pengikutnya, atau anggota mayoritas yang ada di struktur PAPERNAS dan ormas) yang ada di Cakung Kapuk (basis FNPBI) dan Kebon Jeruk (basis SRMK) untuk berpropaganda tentang strategi-taktik (stratak) elektoralnya. Kegiatan propaganda tersebut syah-syah saja asal jangan dilakukan dengan kecurangan dan cupet/parokial/sepihak—mereka mendatangi basis tanpa diketahui petugas yang berwenang bila petugas tersebut orangnya minoritas (misalnya, Admo, sebagai orang DPP yang mengurusi Jakarta, tidak diberitahu dan dilangkahi wewenangnya); lagipula propagandanya hanya sepihak, hanya dari pihak mayoritas. Sedangkan pihak minoritas tidak diberi kesempatan (struktural) untuk berpropaganda. Hal tersebut sangat membahayakan karena akan menyempitkan cara pandang massa (baca: menjatah pengetahuan massa; membodohi massa). Baru setelah diprotes, mereka mengizinkannya dalam diskusi dengan struktur PAPERNAS seluruh DKI-Jakarta. Yang lebih aneh dan menjijikkan: sekarang mereka ramai-ramai turun basis, padahal sebelumnya mereka susah sekali turun basis—walaupun sudah diingatkan agar ada penyatuan antara stategi atas dan strategi bawah; bahkan, mereka yang sekarang rajin turun ke basis, adalah orang-orang yang sebelumnya memang bertugas di basis atau mengawasi basis tapi tak pernah atau tak punya dedikasi untuk mengerjakannya.

31 PEMBEBASAN Mei 2008


11. GOLKAR tidak memenuhi syarat; PDIP tidak memenuhi syarat; PBR adalah partai yang sedang berubah, belum mapan (lebih gampang merubah dari dalam atau menguasai strukturnya bila partainya belum mapan); ada unsur muda versus ulama; bersatu dan bertarung di dalam; koalisi yang tidak membebani dan menguntungkan; yang menawari hanya PBR; 11. Sebagaimana koalisi, tentu harus ada kesepakatan-kesepakatan, antara lain UU mengharuskan PAPERNAS BUBAR; sekutu koalisi menuntut PAPERNAS BUBAR (menjadi ormas); TRIPANJI, karena terlalu memberi kesan PKI, harus diperhalus (serupa tapi tak mirip): Kemandirian nasional/ekonomi; Perlindungan kekayaan alam; Penyediaan kesempatan kerja dengan membangun industri nasional; 12. Manajemen: KONSENTRASI agar maksimal; didorong ke Daerah Pemilihan (DAPIL) yang diberikan kepada kita (dalam kesepakatan dengan sekutu); diarahkan untuk mensukseskan calon legislatif (caleg) di semua tingkatan; suatu kesatuan antara organisasi dan caleg (itulah kenapa mengirimkan individu untuk jadi caleg saja tidak cukup, harus didukung oleh organisasi agar menjadi suatu kesatuan/efektif); kesatuan antara metode parlementer dan ekstra parlementer dalam satu arena/ajang pemilu/ elektoral.

Indonesia: Perjuangan Melawan Ketertinggalan Oleh Jonathan Strauss Dita Sari, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) serta Anggota Majelis Pertimbangan Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), berbicara mengenai perjuangan kaum buruh Indonesia pada Green Left Weekly, disela-sela forum Latin America and Asia Pacific International Solidarity (LAAPIS) yang diselenggarakan di Melbourne dari tanggal 11-14 Oktober, 2007. Sari menjelaskan bahwa kampanye industrial yang pokok di Indonesia saat ini adalah melawan upaya pemerintah mengurangi pesangon kaum buruh yang menerima upah lebih tinggi, yang dinilai diskriminatif, serta memudahkan PHK terhadap buruh. Namun, menurutnya, Papernas juga mencoba mengajak kaum buruh melakukan pendekatan yang lebih politis dan mensukseskannya pada kampanye partai yang lebih luas. Sari mengatakan: “Salah satu kampanye utama Papernas adalah mengatasi keterbelakangan dan mendorong pembangunan ekonomi dan industri nasional, agar lebih mengandalkan pada sumber daya ekonomi nasional, ketimbang bergantung pada investasi asing. Kami ingin kaum buruh mendukung program ekonomi ini dan meletakkan tuntutan mendesaknya di dalam kerangka tersebut.� Pembangunan Nasional International News, Green Left Weekly, No. 735, 12 Desember 2007.

Mei 2008 PEMBEBASAN 32


“Menurut kami, jika ekonomi nasional begitu besar tergantung pada investor asing, kondisi buruh akan bertambah buruk. Investor-investor (tersebut) menginginkan liberalisasi dan ‘fleksibelitas tenaga kerja’. Kami ingin kaum buruh menyadari bahwa hal tersebut bukan saja sekadar tuntutan mendesak di dalam pabrik, namun juga menyangkut bagaimana cara agar kaum buruh berkontribusi dan memainkan peran yang signifikan dalam melindungi industri nasional kami.” Hal itu merupakan bagian dari program Papernas, lanjut Dita, yang menuntut agar mempertimbangkan peluang yang akan menguntungkan kerja partai, yakni untuk melakukan aliansi taktis terbatas dengan para pemilik bisnis skala kecil dan menengah. “Mereka juga diserang oleh investasi asing dan kebijakan pemerintah dengan kejam. Distribusi dan jaringan mereka dihancurkan untuk memberikan jalan bagi investasi asing.” Sari menjelaskan bahwa membangun ekonomi nasional berarti membangun kontrol berskala lebih luas terhadap perusahaan-perusahaan dan menata ulang orientasi ekonomi negeri. “Semua orang yang berada di dalam kekuasaan politik”, ia berpendapat, “harus memastikan seluruh kontrak dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, khususnya minyak dan gas, yang merupakan sumber energi utama kita, ditinjau ulang”. Pajak-pajak terhadap perusahaan-perusahaan tersebut harus dinaikkan. “termasuk apa yang harus dilakukan perusahan-perusahaan tersebut untuk melindungi lingkungan, demikian pula tanggung jawab sosial mereka—apa yang harus mereka keluarkan untuk sekolah-sekolah dan pembangunan infrastruktur di daerah tersebut. Tanggung jawab pemerintah terhadap cost recovery, khususnya bagi perusahaan minyak, harus dikurangi, karena perusahaan-perusahaan tersebut mengambil untung berlebihan tapi membayar royalti lebih sedikit. Juga, seharusnya tidak ada pelanggaran hak azasi manusia, khususnya terhadap masyarakat pribumi.” Sari mengatakan: “Salah satu hal terpenting adalah transfer teknologi. Perusahaan-perusaahan Barat beroperasi di negeri kami selama bertahun-tahun, namun mereka tidak mau mentransfer teknologi. Mereka mambuat kami bergantung pada teknologi mereka.

33 PEMBEBASAN Mei 2008

Dalam lima atau sepuluh tahun harus ada suatu transfer teknologi. Ini harus dimasukan ke dalam kontrak.”

program kami; serta mengorganisir dan berkampanye di antara massa dalam kerangka tersebut.

Sari juga mengemukakan mengenai konsentrasi untuk meningkatkan pertanian. “Anda harus memproduksi paling tidak makanan pokok yang anda makan. Anda tak bisa begitu saja melakukan impor. Dampak impor barang-barang adalah satu hal, karena bertambahnya ancaman kehancuran bagi seluruh sektor, termasuk beras. Kebijakan (produksi makanan pokok) tersebut juga akan mengatasi pengangguran, yang menjadi persoalan utama di pedesaan.”

“Sebelumnya kami memfokuskan kampanye di kalangan gerakan sosial. Namun kami lihat gerakan sosial sangat terfragmentasi dan kadang sangat sektarian serta apolitis. Apa yang hendak kami lakukan sekarang adalah mengkampanyekan program kami di kalangan basis massa dan strukturstruktur partai Islam yang hendak kami targetkan untuk koalisi tersebut.

Sari membandingkan pembangunan pertanian dengan produksi tekstil, pakaian, dan alas kaki. “Sudah terlalu banyak (produksi yang demikian). Perubahan orientasi ekonomi sangat penting.”

“Kami mencari taktik-taktik untuk menjangkau massa. Massa tak hanya di dalam gerakan sosial dan kelompokkelompoknya. Sebagian besar massa tidak tersentuh oleh gerakan sosial. Kami sedang memikirkan bagaimana menemukan suatu cara agar dapat menjangkau massa tersebut: dengan cara apa, apa alatnya, apa medianya, apa jembatan kepada massa? Lalu kami melihat peluang bersama dengan partai Islam yang menawarkan kami suatu koalisi.

Kedudukan pemerintahan yang sangat pro-neoliberal, lanjut Sari, merupakan halangan utama untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. “(Pemerintah ini) sangat mudah mengatakan ya terhadap banyak proposal dari berbagai institusi keuangan internasional, pemerintah-pemerintah serta perusahaan asing.” Papernas juga menghadapi lebih banyak persoalan mendesak dalam kampanyenya. Sari mengatakan: “Banyak aktivitas kampanye, konferensi dan bahkan pertemuan internal kami diserang, terkadang secara fisik, oleh kelompokkelompok yang menamakan diri Islam.” Fragmentasi sosial, khususnya dalam gerakan, juga merupakan hambatan untuk berkampanye. “Semua orang terpecah-pecah. Semua orang sibuk dengan isu, pertemuan, dan aktivitas harian mereka sendiri-sendiri, seperti urusannya sehari-hari.” Sari mengatakan bahwa memecahkan persoalan ini adalah suatu tantangan. “Kami terus mengetuk pintu-pintu tersebut. Kami terus mengajak Ayo, Ayo, Ayo, kepada gerakan sosial.” “Namun saat ini”, Sari melanjutkan, “kami juga memfokuskan pada pembangunan partai, dan membangun suatu koalisi dengan partai lain, yang tidak kiri, revolusioner, atau progressif, namun dalam tingkatan tertentu dapat menerima program kami, sehingga kami dapat berkampanye melalui struktur mereka; bersama basis massanya; memberikan mereka pengertian terhadap

Menjangkau Massa

“Mereka jauh lebih besar dari kami. Mereka memiliki 14 kursi di DPR, 190 kursi di DPRD, dan 2,8 juta orang yang memilih mereka. Bekerja di dalamnya akan memberi kami suatu cara untuk menjangkau massa dan membuat pesan kami didengar.” Berbicara (dalam forum) LAAPIS, Sari mengusulkan suatu gagasan mengenai transformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik. Ia menjelaskan bahwa hal ini bermakna dua hal: “Dalam gerakan sosial itu sendiri, harus ada suatu upaya yang kami lakukan sehingga mereka dapat mengubah cara pandang terhadap politik. Anda tak bisa hanya sebagai kelompok penekan yang melakukan mobilisasi setiap kali (Presiden Amerika Serikat) George Bush atau WTO datang. Anda tak bisa hanya melakukan itu, berdemonstrasi untuk setiap kebijakan pemerintahan baru. Anda harus maju menjadi gerakan yang lebih politis.” Yang dimaksud adalah Partai Bintang Reformasi (PBR)—penerjemah. Yang dimaksud adalah Partai Bintang Reformasi (PBR)—penerjemah. Yang dimaksud adalah Partai Bintang Reformasi (PBR)—penerjemah.


“Dan (hal lainnya) adalah bekerja untuk menemukan peluang lain dalam melakukan aliansi serta mendorongnya untuk lebih terpolitisasi. Kami ingin mengatakan bahwa gerakan sosial bukanlah satu-satunya peluang untuk melakukan aliansi dan berbicara pada massa.” Dalam konferensi, Sari menekankan “Dalam hal taktik-taktik baru yang sedang kami coba untuk membangun kiri dan membuat kiri didengar serta mendapatkan basis yang solid, kami (dapat) menjelaskan jalan dan taktik kami, serta dinamika politik dan sosial di Indonesia. Kami menerima masukan, kritisisme, dan gagasan-gagasan dari kawan-kawan di seluruh dunia mengenai taktik ‘kontroversial’ kami ini.” Sari menjelaskan bahwa taktik koalisi dengan partai Islam telah terbukti kontroversial. Sari mengatakan bahwa ia ingin “mengingatkan kawan-kawan bahwa (Partai Rakyat Demokratik—kelompok utama yang membentuk Papernas) melakukan aliansi semasa rejim borjuis Gusdur, yang memiliki karakter yang lebih demokratik. Terdapat banyak kritisisme terhadap kami di masa itu dan bahkan sekarang. “Kami memiliki jalan baru ini, yang menurut kami sesuai dengan perjuangan kami. Kami ingin kawan-kawan lainnya mendengar, memahami, dan memperdebatkan hal ini.” Sudah, kami—yang sebelumnya anggota-anggota Partai Rakyat demokratik (PRD) dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS)—sudah mendiskusikan dan mendebatkannya. Dan hasilnya: tai…

I. Dengan Nomer Surat Nomor : 14/KPP-PRD/Pemb/XII/200; Hal : Pemecatan Kader-Kader PRD dan Pembekuan Komite Par-

Maka KPP-PRD melakukan pemecatan, terhadap: 1. Vivi Widyawati Ketua II KPP-PRD 2. Manik Widjil Sadmoko Koord. Dept Perjuangan Rakyat KPP-PRD 3. Zely Ariane Koord. Dept. Relasi Internasional KPP-PRD 4. Ganjar Krisdian Staf KPP-PRD 5. Gregorius B. Wardoyo Staf KPP-PRD 6. Paulus Suryanta Ginting Staf KPP-PRD 7. Xaveria Staf KPP-PRD 8. Istiqomah Staf KPP-PRD 9. Donny Perdana Staf KPP-PRD KPP-PRD juga melakukan pembekuan terhadap Komite Pimpinan Wilayah (KPW) dan Komite Pimpinan Kota di propinsi: 1. Jogjakarta 2. Jawa Timur 3. Kalimantan Timur

II. Juga pembekuan/restrukturisasi struktur-struktur organisasi; pemecatan dan pe-non aktifan:

1. Pembekuan Struktur Wilayah Sulawesi Tengah Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK); 2. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Parimo SRMK; 3 Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Tojouno SRMK; 4. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Palu SRMK; 5. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Banggai Serikat Tani Nasional (STN); 6. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Bangkep STN; 7. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Parimo STN; 8. Pembekuan Struktur Wilayah Jawa Timur SRMK; 9. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Surabaya Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI); 10. Pembekuan Struktur Wilayah Jawa Timur Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS); 11. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Surabaya PAPERNAS; 12. Pembekuan Struktur Wilayah Jawa Timur Liga Mahasiwa Nasional untuk Demokrasi (LMND); 13. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Surabaya LMND; 14. Pembekuan Struktur Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta SRMK; 15. Pembekuan Struktur Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta LMND. 16. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Yogyakarta LMND; 17. Pembekuan Struktur Kota/Kabupaten Jember LMND; 18. Pembekuan Struktur Wilayah Sumatera Utara LMND; 19. Pembekuan Struktur Wilayah Kalimantan Timur LMND; 20. Pembekuan Struktur Kota Samarinda LMND; 21. Pembekuan Struktur Wilayah Kalimantan Timur SRMK; 22. Restrukturisasi PAPERNAS Jakarta Selatan; 23. Restrukturisasi PAPERNAS Jakarta Pusat; 22. Pemecatan 3 anggota LMND Jakarta: Syafrezi Fitrah (LMND IISIP), Elang Riki Yanuar (LMND IISIP), dan Reza Andika P. (ketua LMND Jaksel); 23. Penonaktifan Sekretaris Jendral Eksekutif Nasional LMND, Paulus Suryanta Ginting.

***

Mei 2008 PEMBEBASAN 34


Berdasarkan laporan pimpinan PAPERNAS yang berjudul Resume Perkembangan Kerja Koalisi, Januari 2008 , dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Pasca Rapimnas Partai Bintang Reformasi (PBR) (23 Desember, 2007) maka, pada tanggal 3-4 Januari, 2008, diselenggarakan pertemuan Dewan Pimpinan Pusat PBR dengan melibatkan utusan Dewan Pimpinan Wilayah PBR dalam rangka membentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat-Partai Persatuan Bintang Reformasi (PPBR) (partai baru yang mereka bentuk dalam Rapimnas tersebut). 2. Dalam pertemuan DPP-PBR dengan DPW-PBR tersebut, TIDAK DIPUTUSKAN UNTUK MEMBENTUK KEPEMIMPINAN BERSAMA antara PAPERNAS dengan PPBR, partai baru yang dibentuk PBR tersebut. 3. Utusan DPP-PBR yang menemui perwakilan PAPERNAS TIDAK memberitahukan apakah sudah ada keputusan tentang “koalisi” antara PBR dengan PAPERNAS. Atau dalam bahasa Resume tersebut: “…belum memberikan gambaran ataupun informasi yang jelas tentang hasil rapat tersebut, terutama terkait dengan rencana koalisi (kerjasama) P to P (Party to Party) antara PBR dengan Papernas”. 4. Resume tersebut MENGAKUI bahwa “…pihak DPP-Papernas cukup aktif mendorong terjadinya koalisi, termasuk dengan mengajukan proposal kerjasama secara resmi”. 5. Dalam Resume tersebut, penolakan (halus) DPP-PBR tersebut diartikan oleh pimpinan PAPERNAS sebagai “terkesan ‘jualmahal’ saat pihak DPP-Papernas melalui petugas politik berupaya meminta pertemuan untuk mengetahui sejauh mana proses ke arah koalisi berjalan”. 6. Selain berbicara tentang status koalisi dengan PBR tersebut, dilaporkan juga tentang upaya yang telah dilakukan PAPERNAS untuk berkoalisi dengan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), melalui Pimpinan Kolektif Nasionalnya, yakni: 1. Utusan PAPERNAS (Dita Sari, Harris Sitorus, Joko Purwanto, dan Yudi Wibowo) telah melakukan pembicaraan dengan pengurus Pimpinan Kolektif Nasional-Partai Demokrasi Pembaruan (PKN-PDP) (Sukowaluyo, Petrus S, Noor C), 7 Januari, 2008. Pertemuan tersebut merupakan kelanjutan dari pertemuan antara Dita Sari dengan Sukowaluyo. 2. Dua hal penting yang KEMUNGKINAN (karena belum diputuskan) disepakati adalah: 1) PDP “TIDAK MENOLAK” Dalam laporan terbaru, Resume Perkembangan Kerja Koalisi, Desember 2007-Maret 2008, terdapat perkembangan terbaru, yakni: 1. Pada Januari 2008, Ketua Umum PBR menyatakan bahwa PBR siap mengakomodir individu-individu Papernas untuk duduk menjadi calon legislatif (caleg) melalui Papernas, akan tetapi tidak masuk kedalam struktur kepengurusan harian PBR; (Menurut salah seorang anggota Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), yang tak mau disebut namanya, dalam sosialisasi laporan perkembangan koalisi tersebut dinyatakan bahwa individu-individu Papernas ditawari PBR untuk menjadi caleh daerah pemilihan (dapil) Tanggerang dan Bekasi, dan Dita Sari akan mengambil kesempatan menjadi caleg Tanggerang). 2. Menjajaki koalisi Papernas dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan alasan, antara lain: A. PRD pernah bekerja sama dengan Gus Dur, pra pendukungnya dan NU tahun 2001, saat Poros Tengah dan kekuatan Orde Baru plus militer mencoba menggergaji kekuasaannya. B. Dalam masa pemerintahan Gus Dur (saat ini ketua umum Dewan Syuro PKB), mazhab ekonomi kemandirian mendapat peluang untuk diterapkan, dengan ditunjuknya Rizal Ramli sebagai Menkeu dan kemudian Menk Ekuin. 3. Menjajaki koalisi dengan Partai Tanah Air (PITA) dengan alasan, antara lain:

A. Sudah lolos verifikasi…

B. Menyirat diri sebagai partai nasionalis.

C. Menampilkan kesan diri sebagai partai modern yang lebih demokratis… Menolak bentuk-bentuk feodalisme…

D. Dimyati Hartono cukup dikenal karena pernah menjadi anggota DPR dan beberapa kali menjadi kanwil kehakiman di era Suharto.

E. Sebagai partai baru yang sedang mencari format ekonomi politik dan organisasi, kehadiran papernas dapat mewarnai secara signifikan.

Dan dengan alasan: semakin beratnya aturan-aturan Pemili yang baru saja disyahkan oleh DPR, maka kemungkinan DPP PITA tak akan bisa lolos untuk bisa mengatasinya juga amat minim…; Kemugkinan DPP PITA bersedia untuk bekerja sama dengan sesama parpol peserta pemilulain juga diragukan, mengingat sikap Ketua Umumnya yang sangat percaya diri akan dukungan rakyat terhadap partainya… maka: DPP Papernas memutuskan PITA bukan menjadi target koalisi.

35 PEMBEBASAN Mei 2008


“BERKOALISI” dengan PAPERNAS; 2) MENGGUNAKAN nama PDP sebagai kendaraan bersama untuk Pemilu; 3) agar radikalisasi PAPERNAS bisa dijadikan UNTUK TAWAR MENAWAR (BARGAIN), maka “…PDP menganjurkan Papernas sebagai satu organisasi tetap dipertahankan, agar politiknya tetap eksis…”; 4) bahwa “KOALISI” “tersebut BERSIFAT TERTUTUP untuk menghindari kerumitan politik yang tidak perlu”. Tekanan huruf besar oleh penulis.

***

Serial:

Tentang orang-orang Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, dan Mardiyo. Pansus Tanker Pertamina DPR menyebut Laksamana sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penjualan kapal tanker Pertamina. LAKSMANA SUKARDI ADALAH PENDIRI SEKALIGUS KOORDINATOR PIMPINAN KOLEKTIF NASIONAL (PKN) PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN (PDP) (PKN-PDP). Pada rapat dengan KPK, mereka menyebut Laksamana terlibat KKN dan menyebutnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab untuk dimintai keterangan. Direktur Penyidikan Tindak Pidana Kejaksaan Agung, Muhammad Salim, mengatakan ada empat kasus besar korupsi—salah satunya adalah kasus penjualan dua unit tanker very large crude carrier (VLCC) Pertamina yang melibatkan mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi. Kasus VLCC itu bermula dari penjualan kapal tanker milik Pertamina pada 2004. Pertamina membeli dua VLCC seharga US$ 65 juta pada 2002 dan, dua tahun kemudian, Pertamina menjual kedua

Mei 2008 PEMBEBASAN 36


VLCC tersebut dengan harga US$ 184 juta. Harga tersebut di bawah harga pasar sehingga negara mengalami kerugian. Kelompok BEM UI dan BEM SeJabotabek berunjukrasa mendatangi Kejagung dengan membawa barang bukti dokumen yang memberatkan Laksamana Sukardi. Bukti tersebut antara lain buku “Divestasi Indosat: Kebusukan Sebuah Rezim”. Selain itu, diungkapkan juga keterlibatan Laksamana selaku Komisaris Pertamina, di antaranya adalah penjualan dua kapal tanker milik pertamina yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 360 miliar. Serta beberapa kebijakan Laksamana yang menyebabkan kerugian negara mencapai 400 juta US$. Dihubungi terpisah, anggota Komisi VIII DPR, Cecep Rukmana, mengatakan sampai kini pihaknya belum pernah mendapatkan penjelasan terbuka dari direksi maupun komisaris Pertamina mengenai perhitungan untung ruginya jika memiliki tanker VLCC tersebut. ‘’Kami tidak pernah mengetahui apakah tanker ini sudah dimasukkan dalam neraca keuangan Pertamina sebagai aset aktiva atau belum?’’ jelas anggota Fraksi Reformasi itu. Sementara itu, Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki, mengatakan, tim penyelidik KPK bakal memanggil sejumlah mantan pejabat yang dianggap mengetahui kebijakan tanker tersebut, termasuk mantan Menteri BUMN, Laksamana Sukardi. Tim penyelidik Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus penjualan dua kapal tanker raksasa (VLCC) milik PT Pertamina. Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, memastikan negara dirugikan dalam penjualan tanker pada zaman Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi itu. Saya yakin 90 persen lebih (terjadi perbuatan melawan hukum), jawab Abdul Rahman Saleh ketika ditanya hasil ekspose di Gedung Kejagung. Tersangka penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC), Laksamana Sukardi, berlindung pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2003 untuk membenarkan tindakannya dalam mengizinkan penjualan dua tanker milik Pertamina tersebut. “Ini adalah wewenang yang diberikan oleh presiden, wewenang menteri keuangan yang dilimpahkan ke Meneg BUMN,” katanya.

37 PEMBEBASAN Mei 2008

Jadi, kata Laksamana, apabila ada yang mempermasalahkan kewenangan dirinya ketika menjabat, maka hal itu harus ditanyakan kepada mantan Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai pengalih kewenangan kala itu. Tapi, menurut penjelasan lain, penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu dilakukan tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Ketua Umum Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Sekretaris Jenderal KAHMI melaporkan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, ke penyidik Polri, Rabu (22/1), atas dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan negara minimal Rp 400 miliar dalam kasus divestasi saham PT Indosat. Laporan keduanya diwakili oleh kuasa hukumnya Effendi Saman dan kawan-kawan. Laporan polisi tersebut melengkapi pengaduan serupa yang dilakukan oleh Indonesia Communication Watch (ICW). Presiden ICW, Masgar Kartanegara, melaporkan Laksamana Sukardi dalam kasus yang sama ke Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu dengan tuduhan sama pula, yaitu Laksamana Sukardi diduga menyalahgunakan wewenang dan jabatan serta melakukan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan kekayaan mantan dan pejabat negara. Tercatat, kekayaan 11 mantan menteri Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati Soekarnoputri memperlihatkan peningkatan pada akhir masa jabatannya, Oktober 2004— Mantan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi tercatat kekayaannya pada 2004 meningkat hampir dua kali lipat dibanding 2001. Pada 2001, total harta kekayaan Laksamana Rp26,103 miliar dan, pada 2004, angka tersebut naik menjadi Rp42,473 miliar. Kenaikan terbanyak dari kekayaan jenis giro dan setara kas lainnya, pada 2001 jumlahnya Rp10,1 miliar, dan pada 2004 menjadi

Rp21,78 miliar. Laksamana Sukardi pernah getol menjadi penggerak demokratisasi di era pemerintahan Soeharto. Sikapnya itu membuat ia rela meninggalkan jabatan sebagai Direktur Pelaksana di Bank Lippo. Ia pernah pula mengutarakan bahwa utang-utang negara RI bisa diselesaikan secara cepat jika Indonesia mengatur kembali kontrak-kontrak migas. Kesempatan itu sebenarnya sempat bisa dilakukan dengan naiknya PDIP ke tampuk kekuasaan. Laksamana Sukardi pun pernah menjadi Menteri Negara Pembinaan BUMN. Diwujudkan kah itu? Bahkan yang kemudian terdengar miring: Laksamana bukan lagi Laksamana yang dulu. Roy BB Janis tak dapat menahan geram. Bekas petinggi PDI Perjuangan itu akan mengadukan pengamat politik George Junus Aditjondro ke Mabes Polri. Roy tak terima dirinya disebut menerima uang sogok dari Sutiyoso sebesar Rp 10 miliar. ROY BB JANIS, YANG KINI MENJADI KETUA PIMPINAN KOLEKTIF NASIONAL PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN (PKN PDP), mengatakan tu­dingan menerima sogok itu di­muat George Dalam bukunya yang berjudul Korupsi Kepre­si­denan, Reproduksi Oligarki Ber­kaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, cetakan edisi Mei, 2006. Dalam buku yang diterbitkan LKiS Yogyakarta itu, di halaman 396, disebutkan bahwa sebuah me­dia alternatif, Xpos, menyebut bahwa Sutiyoso menyuap Taufik Kiemas sebanyak Rp 15 miliar, disamping sogokan Rp 10 miliar kepada Roy BB Janis (yang, pada waktu itu, menjabat sebagai Ketua PDIP DKI Jakarta, dan merupakan sa­ habat karib Taufik Kiemas). Sementara di halaman 397 antara lain disebutkan, “Beker­ja­sa­ma dengan kroninya, Roy Ja­nis, Taufik mengepakkan sayap bis­ nisnya di Sulawesi Utara me­la­lui tangan kanan lainnya ber­na­ma Milton Kansil, seorang man­tan narapidana (Kori­dor.com, 13 Februari, 2001).” Upaya mencari kesempatan untuk memperkaya diri dilakukan juga oleh orang-orang di seputar Wakil Presiden, Megawati Soekarnoputri. Misalnya, “pemerasan” yang dilakukan Taufik Kiemas, suami Megawati dan Roy BB Janis, Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan DKI Jakarta, terhadap Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Soetiyoso. Mula-mula Soetiyoso ingin meminta tolong Taufik dan Janis agar diloloskan dari tuduhan terlibat dalam penyerbuan Kantor DPP PDI di


Jakarta, 27 Juli 1996. Ketika peristiwa itu terjadi, Soetiyoso adalah Pangdam Jaya. Taufik setuju akan membantu, namun sebagai imbalannya ia meminta imbalan uang dalam jumlah yang besar. Menurut sebuah sumber mencapai lebih dari Rp15 miliar. Janis pun mendapat imbalan besar, lebih dari Rp10 miliar. Masuk dalam jeratan Taufik, Sutiyoso pun memberi lahan basah kepada Taufik dan Janis, yakni izin pengelolaan tempat perjudian di Pulau Anyer, Kepulauan Seribu. Tempat ini sudah dikelola Roy Janis sejak Mei, 2000. Gus Dur pernah menuduh Tomy Winata, pengusaha Orde Baru yang dekat dengan Golkar dan TNI Angkatan Darat, yang mengelola tempat judi di Pulau Anyer tersebut. Namun, Tomy bukan satu-satunya, karena di tempat itu ada tempat judi milik Taufik yang dikelola Janis. Tempat perjudian yang dikelolanya maju pesat, hingga harus menyetor 200 juta rupiah sebulan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen (Pol) Nurfaizi, sebagai uang keamanan. Setoran macam itu memang hal yang biasa, praktek warisan Orde Baru yang terus berlangsung. Sehari-hari tempat perjudian itu dikelola oleh Onny Harjanto, orang kepercayaan Janis. Onny adalah pengusaha sukses yang mulai dekat dengan PDI-P setelah Soeharto jatuh. Ia memiliki rumah mentereng di Jl Tulodong, kawasan elit Kebayoran Baru. Nah, untuk mempersiapkan mengeruk “pendapatan” dari upetiupeti di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Taufik-Janis merekrut Fauzi Bowo, Sekwilda Pemda DKI Jaya, sebagai bagian dari kliknya. Fauzi Bowo kini diwajibkan mengumpulkan dan memasok informasi tentang sumber penerimaan keuangan non budgeter Pemda DKI kepada Janis. Dalam hal sumber non budgeter, Jakarta memang tambang emas. Bayangkan, hampir 70% uang yang dicetak beredar di Jakarta. Selama ini saja, dana (yang dikumpulkan dari sumber ini) yang bocor, artinya yang masuk ke kantong para pejabat Pemda DKI Jakarta, mencapai Rp1,6 trilyun sebulan. Sebuah angka yang fantastik di tengah kesulitan Pemerintah Pusat mencari sumber pendanaan APBN. Dana sebesar itu diperoleh dari pajak hiburan, para bandar judi, pungutan di tempat hiburan, parkir dan papan reklame. Sebenarnya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) telah mengalami perpecahan. Sejumlah tokoh muda dalam partai sempalan PDI Perjuangan itu mengambil alih tampuk pimpinan dari tangan Laksamana Sukardi dan Roy BB

menyuarakan dukungan pada kandidat di Pilkada karena kita seharusnya berkonsentrasi pada konsolidasi dan perjuangan agar PDP lolos verifikasi dan bisa ikut pemilu,” jelasnya. Namun, imbuh dia, PKN di bawah Roy Janis telah memutuskan sendiri mendukung Adang Daradjatun dan keputusan itu ternyata sangat berdampak pada simpatisan partai tersebut di berbagai daerah.” Janis. Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) di bawah kepengurusan Zulfan Lindan memecat Roy BB Janis dan Laksamana Sukardi dari jajaran kepengurusan pusat PDP. PKN PDP memandang perlu dilakukannya revitalisasi partai sebagai upaya pemurnian PDP kepada khittahnya semula menegakkan demokrasi dan pembaruan. Dalam kepengurusan PKN PDP yang baru tersebut, posisi Roy BB Janis, yang sebelumnya adalah Ketua Pelaksana Harian PKN PDP digantikan oleh Zulfan Lindan, dan Laksamana ,Sukardi yang sebelumnya adalah Koordinator PKN, digantikan Angelina Pattiasina, dan Didik Supriyanto digantikan oleh Pius Lustrilanang sebagai Sekretaris PKN. Ketua PKN PDP Zulfan Lindan mengatakan bahwa susunan baru kepengurusan partainya tersebut juga telah disampaikan ke Depkum dan HAM beberapa waktu lalu. Sebelumnya, pengurus PDP di bawah Roy BB Janis telah memecat sejumlah pengurus PDP yang juga termasuk para pendiri seperti Arifin Panigoro, Zulfan Lindan, Angelina Pattiasina dan Indira Damayanti Soegondo. Zulfan Lindan Cs kemudian ganti membekukan kepengurusan Roy BB Janis Cs yang didukung oleh Laksamana Sukardi, Sukowaluyo Mintoraharjo, Didik Supriyanto dan Noviantika Nasution. Menurut Zulfan, demokrasi di PDP sudah mati di bawah kepengurusan pimpinan PDP sebelumnya. “Setiap persoalan yang muncul dalam partai, PKN sebelumnya tidak pernah melakukan konfirmasi dan langsung mengambil keputusan, termasuk pemecatan kepada sejumlah pendiri PDP,” katanya. “Jadi”, kata dia lagi, “yang kami lakukan adalah penyelamatan partai karena sistem otoriter dan pecat memecat semacam itu seharusnya tidak ada tempat di PDP.” Sedangkan Angelina Pattiasina berpendapat, persoalan lain di PDP yang tidak pernah diputuskan secara kolektif, adalah dukungan PDP kepada pasangan cagub DKI Adang Daradjatun-Dani Anwar. “Sebenarnya belum saatnya kita

Adang Cari Dukungan ke Partai Pecahan PDIP, PDP. Permintaan Adang ini pun disambut dengan terbuka oleh partai yang terbilang masih bayi ini. “Beliau datang ingin ketemu. Ingin ada dukungan. Karena dalam pilkada ini ada 2 calon, maka kita berpihak kepada Pak Adang,” kata Roy BB Janis di sela pertemuan. Menurutnya, daripada golput, lebih baik memilih calon yang reformis. “Saat di polisi saja, Pak Adang yang melakukan reformasi di tubuh kepolisian,” imbuhnya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (22/12), menjatuhkan hukuman setahun penjara dengan dua tahun percobaan kepada Ketua DPRD Jawa Tengah periode 1999-2004, Mardijo. Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, tujuh tahun penjara. Mardiyo dinyatakan terbukti menggunakan dana sebesar Rp 643 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan bersama unsur pemimpin Dewan lainnya. Majelis hakim pimpinan Adib Saleh Mandova juga meminta deklarator Partai Demokrasi Pembaruan, partai sempalan PDI Perjuangan, itu membayar denda Rp 500 juta. “Jika dalam tiga bulan denda tersebut tidak dibayar, terdakwa harus menjalani kurungan selama tiga bulan,” kata Mendrova. Sumber: INDONESIA-VIEWS, SiaR, May 18, 2000-15:13:04 EDT; Xpos, No 17/III/2228 Mei, 2000; Detikcom, 24/09/2004, 15:59 WIB; Media Indonesia, 28 Juni, 2004; Media Indonesia, 25 Februari, 2005; Jawa Pos, 8 Maret, 2005; TEMPO Interaktif, Kamis, 22 Desember 2005 | 17:08 WIB; Rakyat Merdeka, Sabtu, 25 November, 2006, 01:48:33; Detikfinance, 16/01/2007, 13:33 WIB; Jawa Pos, 24 Januari, 2007; Jawa Pos, 1 Mei, 2007; Koran Tempo, 19 Mei, 2007; Detik Com, 16/07/2007, 14:32 WIB; ANTARA News, 08/11/07 ,09:46; Jakarta-RoL, 09 Nopember, 2007, 21:29:00; Kori­dor.com, 13 Februari, 2001;

Mei 2008 PEMBEBASAN 38


Pada tanggal 14 April, 2008, PENGURUS PUSAT FRONT NASIONAL PERJUANGAN BURUH INDONESIA ( PP FNPBI ), menyelenggarakan seminar seperti yang tertera dalam undangan di bawah ini: Nomor : 13/Und/PP-FNPBI/IV/08 Hal : Undangan Seminar Lamp : Term of Reference …hari buruh sedunia 1 Mei 2008, FNPBI akan menyelenggarakan sebuah seminar yang bertemakan “Ketahanan Energi, Situasi Industri Nasional, dan Respon Serikat Buruh”. Hari : Senin, 14 April 2008 Tempat : Wisma Antara, Jl. Medan Merdeka Selatan – Jakarta Pusat J a m : 12.30 – 16.00 wib (dimulai dengan makan siang bersama) Sedangkan Term of Reference (TOR)nya sebagaimana di bawah ini: Latar Belakang Seperti yang lazim terjadi, momentum May Day dimanfaatkan sedemikian rupa oleh kaum buruh/pekerja untuk menyuarakan aspirasinya secara terbuka, baik kepada pemerintah, pengusaha, maupun kepada khalayak umum. Sementara situasi yang berbarengan terjadi menunjukkan kondisi industri atau sektor riil belum mengalami perbaikan. Persoalan seperti harga energi, harga bahan baku yang terus meningkat, penyelundupan, pungutan liar, kredit bunga tinggi, penurunan daya beli, serbuan produk luar negeri, dll. Berhubung masalah-masalah tersebut mempengaruhi cost dan keuangan perusahaan, maka dampak terhadap buruh menjadi tidak terelakkan. Sebagai contoh, sejak harga BBM industri disesuaikan menurut harga minyak dunia, kalangan pengusaha berulangkali dipaksa melakukan efisiensi tenaga kerja (PHK) atau menekan labour cost sedemikian rupa. Selama ini perjuangan buruh seolah terdikotomi pada hal-hal normatif atau yang berhubungan secara langsung dengan kesejahteraan buruh. Hal ini sepenuhnya benar, dalam konteks bahwa tugas dari serikat buruh/pekerja adalah melindungi dan memperjuangan hak sosial ekonomi anggotanya. Namun pada saat yang sama serikat buruh dituntut oleh situasi obyektif untuk meneropong lebih jauh potensi ancaman terhadap tingkat kesejahteraan maupun jaminan kerja (job secuirity), sebagai dampak dari situasi ekonomi secara umum. Tujuan 1. Mengeksplorasi peluang adanya isu-isu atau program bersama di antara serikat buruh/serikat pekerja dalam perayaan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2008, yang berorientasi pada kepentingan nasional dan kesejahtraan buruh; 2. Menemukan titik temu antara kepentingan serikat buruh dan pengusaha nasional sebagai pijakan untuk perjuangan bersama menghadapi sisi arus globalisasi yang merugikan kepentingan ekonomi nasional; 3. Menciptakan sinergi antara buruh dan pengusaha nasional dalam rangka mendukung perekonomian nasional kuat, mandiri, dan menyejahterakan buruh/pekerja. Narasumber 1. Bapak Ir. Erman Suparno MBA, MSc (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi). 39 PEMBEBASAN Mei 2008


6. Sdr. Dominggus Oktavianus (Ketua Umum PP FNPBI ) Mengulas tentang kemungkinan antisipasi dan strategi serikat buruh menghadapi masalah ketahanan energi dan situasi ekonomi nasional.

Key Note Speaker 2. Ibu Henry Saparini (Pengamat Ekonomi – TIB) Mengulas tentang proyeksi ekonomi dalam situasi krisis dan ketidakpastian jaminan ketahanan energi. 3. Bapak Luluk Sumiarso (Dirjen Migas) Mengulas tentang situasi energi nasional dan program ketahanan energi yang direncanakan oleh pemerintah dan DPR RI. 4. Bapak Anton Supit (Pengusaha Nasional/anggota APINDO) Mengulas tentang strategi pengusaha nasional menghadapi masalah ketahanan energi. 5. Bapak Rekson Silaban (Ketua Umum KSBSI ) Mengulas tentang dampak langsung maupun tidak langsung dari situasi ekonomi dan masalah energi terhadap kaum buruh.

Juga Komisaris PT JAMSOSTEK.

Catatan dari PEMBEBASAN: 1. Cetak tebal dari kami, PEMBEBASAN; 2. Menurut pemahaman kami FNPBI menganggap: • globalisasi menyerang ekonomi/ kepentingan nasional—dalam makna: menyerang kepentingan buruh dan pengusaha; • oleh karena itu, kepentingan buruh dan pengusaha adalah sama: melawan globalisasi agar kepentingan pengusaha dan kesejahteraan buruh dapat terjamin; • buruh harus maklum terhadap situasi penghisapan dan penindasan yang dialami buruh selama ini—dalam bahasa halus FNPBI: Namun pada saat yang sama serikat buruh dituntut oleh situasi obyektif untuk meneropong lebih jauh potensi ancaman terhadap tingkat kesejahteraan maupun jaminan kerja (job secuirity), sebagai dampak dari situasi ekonomi secara umum; • Sebabnya: selama ini pengusaha dan negara menghisap serta menindas buruh karena terpaksa/dipaksa oleh globalisasi; • dengan demikian, slogannya adalah: Negara, Pengusaha dan Buruh, Mari bersatu MELAWAN Globalisasi DEMI KESEJAHTERAAN BURUH DAN PENGUSAHA. 3. Bila dilihat semua narasumbernya, maka WAJAR SAJA bila FNPBI beranggapan/berposisi seperti di atas terhadap buruh. Juga Ketua Bidang Politik dan Demokratisasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS). Mei 2008 PEMBEBASAN 40


KOMITE POLITIK RAKYAT MISKIN – PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK (KPRM-PRD)

pembebasan.kprm@gmail.com; www.kprm-prd.blogspot.com Kebangkitan demokratik kini adalah suatu kenyataan yang tak terbantahkan. Ia sedang maju dengan kesulitan yang lebih besar, dengan langkah yang lebih lambat dan mele­wati jalur yang lebih ruwet ketimbang yang kita bayang­kan, akan tetapi, walaupun demikian, ia sedang maju. Tanggung Jawab KPRM-PRD kepada Rakyat dan Gerakan Demokratik Menolak Politik Kooptasi/Kooperasi dengan Sisa-sisa Lama, Tentara dan Reformis Gadungan; Bersatu, Tegakkan Politik (Alternatif) Rakyat Miskin! • Politik (alternatif) Rakyat Miskin adalah posisi politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) sejak awal berdirinya. Politik yang meletakkan perubahan dan kemenangan rakyat dilandaskan pada kekuatan sendiri, berdasar kekuatan gerakan. Posisi politik tersebut juga lah yang ditanggalkan oleh sebagian Pimpinan PRD saat ini—yang menyebut diri sebagai kaum Mayoritas dalam PRD—seiring dengan kepentingan mereka untuk meleburkan PAPERNAS (secara ideologi, politik, organisasi) ke dalam persatuan pemilu bersama partai kaum reformis gadungan dan sekutu pemerintahan agen imperialis, demi mendapatkan kesem­patan masuk parlemen. Karenanya, kami, yang menamakan diri Komite Politik Rakyat Miskin (KPRM)–PRD, adalah sebagian PRD yang menolak menanggalkan politik rakyat miskin, menolak politik parlementaris—apalagi politik parlementaris-oportunis. • Politik parlementer, kami pahami, sebagai pilihan lain dalam metode Termasuk semua Ketua Umum PRD yang sudah dikooptasi oleh elit-elit, kelompok-kelompok, partai-partai kaum reformis gadungan. Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang didirikan oleh PRD bersama beberapa organisasi massa.

41 PEMBEBASAN Mei 2008

perjuangan, yang bisa dimanfaatkan untuk mempercepat keberhasilan perjuangan. Tapi bukan satu-satunya metode perjuangan. Kami MENOLAK politik parlementer (atas nama JALAN BARU—GERAKAN BANTING SETIR; MERUBAH DARI DALAM) yang mengkanalisasi potensi perjuangan rakyat hanya pada kotak-kotak suara; menumpulkan daya juang rakyat dengan ilusi ‘perubahan dari atas’—‘perubahan dari parlemen’; menghancurkan alat politik (alternatif) rakyat dengan menyubordinasikannya pada partai-partai reformis gadungan; menghina martabat rakyat dengan mendudukkannya semeja dengan kekuatan Sisa-sisa Lama, Tentara, dan Reformis Gadungan. Inilah yang kami sebut sebagai politik parlementer oportunis. • KPRM–PRD berdiri memang dimulai dari paksaan (yang, dengan kekuatan otoritas-mayoritas Pimpinan PRD, ke­mudian menjadi keputusan resmi internal PRD) mendesakan terjadinya perpecahan/pembelahan dalam partai atas posisi politik mendukung politik parlementaris-opurtunis atau sebaliknya: mendukung politik pembangunan gerakan rakyat. Sekarang, posisi tidak demokratik atas pembelahan tersebut oleh pimpinan (Mayoritas) PRD sudah kami mengerti sebagai kelaziman yang harus mereka lakukan (sebagai konsekwensi posisi politik oportunisnya); selanjutnya, yang lebih penting bagi KPRM-PRD, adalah berposisi nyata dalam pembangunan politik (alternatif) rakyat miskin bersama kekuatan gerakan rakyat lainnya: PERSATUAN. • Namun demikian, bukan berarti

KPRM-PRD berlepas tangan terhadap kehancuran politik kerakyatan PRD karena, seiring dengan dinamika pembangunan gerakan rakyat, sekaligus kami akan lanjutkan dan kuatkan perjuangan internal untuk mengembalikan PRD sebagai alat perjuangan politik rakyat miskin. Karena, lewat berbagai cara yang tidak demokratik, massa pendukung PRD dan Papernas tidak (lagi) sepenuhnya tahu akan kemana nasib mereka dipertaruhkan demi menjadi peserta pemilu 2009. Mereka tak (lagi) ditanya pendapatnya; dipersempit ruang perdebatannya, untuk turut menentukan arah politiknya di tahun 2009. Mereka tak (lagi) tahu, bahwa peluang ‘koalisi’ yang sebelumnya dikabarkan begitu besar, ternyata gagal di tengah jalan; bahkan kini bergerak pada ‘peluang koalisi’ lainnya tanpa ada kepentingan untuk mengkonsultasikan pada massa pendukungnya. Tentu, kami tidak boleh lepas tangan dari situasi ini. • Terhadap situasi ekonomi-politik sekarang, kaum gerakan dituntut untuk sanggup me­neliti, menyimpulkan dan mengambil tanggung jawab. Rakyat semakin hari bertambah gamblang mengerti atas bertumpuknya persoalan yang nyata mereka hadapi. Semakin terbuka pula bagi kaum gerakan untuk menjelaskan kaitan persoalan seharihari rakyat dengan jaring penindasan imperialisme, bahkan bisa melampui atau menembus beribu ilusi yang terus dipertebal demi menutupi ketertundukan penguasa terhadap kepentingan imperialisme. Sekaligus terdapat harapan perubahan sejati bagi rakyat, bila kekua­ tan rakyat sendiri (dengan kaum gerakan di dalamnya) sanggup mencipta jaring


perlawa­nan rakyat, yang luas dan semakin menyatu. • Politik rakyat miskin dalam wujud nyatanya adalah perluasan dan penyatuan perlawanan rakyat, penyatuan mobilisasimobilisasi rakyat dengan mengusung tuntutan dan jalan keluar persoalan ekonomi-politik rakyat. Mobilisasi ini harus terus meluas dan mengisi setiap ajang politik rakyat, dan pemilu hanya lah salah satunya. Namun apapun ekspresi politik dari gerak politik rakyat miskin, hal utama yang tidak boleh dikompromikan ada­lah posisi untuk TIDAK dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan. Ya, politik rakyat miskin adalah politik alternatif (tandingan) yang berbasiskan pada kekuatan perlawanan rakyat sendiri, dengan prinsip non-kooperasi dan non-kooptasi dalam berhadapan dengan musuh-musuh rakyat.

• Sesulit apapun, pembangun kekuatan perlawanan rakyat harus tetap dikerjakan, harus diatasi dan tidak boleh dihindari. Metode mobilisasi tiga bulanan adalah salah satu upaya yang kami sodorkan, dan terus bisa dikembangkan, untuk memperluas kekuatan perlawanan rakyat, membangun kesadaran politik, sekaligus mewujudkannya dalam metode perjuangan rakyat: menuntut dengan mobilisasi massa. Atas nama kemudahankemudahan untuk berkuasa (dengan alasan bisa melakuakan revolusi dari atas), termasuk menjadi parle­mentarisoportunis, sejatinya sudah menanggalkan arah sejati perjuangan rakyat, sudah melepaskan diri dari politik kerakyatan. KOMITE POLITIK RAKYAT MISKIN – PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK (KPRM-PRD)

Jakarta, 31 Januari, 2008 Zely Ariane Juru Bicara

Mei 2008 PEMBEBASAN 42


TUNTUTAN MENDESAK

MAY DAY 2008 : Hapus Kontrak dan Outsourcing, Naikkan Upah dan Turunkan harga, Pendidikan dan Kesehatan Gratis, Bangun Industrialisasi Nasional, Hapus Utang Luar Negri, Nasionalisasi Industri Tambang Asing.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.