Quo Vadis Televisi? Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan

Page 1

Editor Yohanes Widodo

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta


Editor Yohanes Widodo

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2010


Quo Vadis Televisi? Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan

Editor Yohanes Widodo Grafis Yugyas Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jalan Babarsari No 6 Yogyakarta http://fisip.uajy.ac.id

Š 2010


Daftar Isi 5

Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

11

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca Bonaventura S. Bharata

40

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV Ery Kurnia Putri

54

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan Desideria Cempaka Wijaya Murti dan Meredian Alam

70

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi Yahya Zakaria

82

Mana Acara Televisi untuk Anak? Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari

94

Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan Yohanes Widodo

107

Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik Agusly Irawan 3


Quo Vadis Televisi?

4

119

“Melihat Kembali� TVRI Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas Nurogo

125

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah? Salvatore Simarmata

147

Parodi di Balik Layar Kaca Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista

157

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi

168

IPTV: Televisi Impian di Masa Depan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana


Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali oleh kehadiran TVRI pada 1962 di Jakarta, disusul kehadiran televisi swasta sejak 1989 hingga sekarang. Sejak kelahirannya, terutama sejak kehadiran stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia, dunia televisi berkembang pesat. Televisi merupakan media yang paling mendapat perhatian khalayak, pengamat, dan pemerhati. Cukup banyak artikel, penelitian maupun buku yang mengkaji tentang televisi. Benci tapi rindu! Di satu sisi TV begitu dibenci. Ada gerakan “Matikan TV-mu”, “Jangan Nonton Sinetron Indonesia”, dan lain-lain. Gerakan seperti ini merupakan ‘perlawanan’ terhadap tayangan dan dampak buruk televisi yang makin sering disuarakan. Di sisi lain, banyak orang merindukan dan mencintai televisi. Televisi menjadi teman setia sejak bangun tidur hingga tidur. Televisi bahkan menjadi sosok yang bisa menggantikan tugas guru, agamawan maupun orang tua sebagai educator. Televisi menyediakan role-model bagi anakanak dan remaja, dan menjadi sumber acuan untuk mendefinisikan mana yang baik dan mana yang buruk dan menjadi semacam agama sipil kontemporer (Robert N. Bellah, 1967, Ratna Noviani, 2008) yang melibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menonton dan mengkonsumsi media. Perkembangan televisi di Indonesia telah memunculkan beragam isu dan persoalan, seperti kualitas tayangan, wacana televisi jaringan, televisi lokal, televisi digital, persoalan etika, sumber daya, persoalan kepemilikan, dan lain-lain. Berbagai isu dan permasalahan tersebut menantang kami, sebagai komunitas yang belajar dan melakukan studi tentang media dan televisi untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, dan gerundelan tentang televisi kita. Lewat buku berjudul “Quo Vadis Televisi? Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan” kami ingin mempertanyakan ke mana masa depan televisi dan bagaimana ‘wajah’ televisi di masa depan. Buku ini menyajikan 5


Quo Vadis Televisi?

tulisan-tulisan hasil kajian dan pembacaan kami, komunitas orang-orang yang belajar Ilmu Komunikasi tentang kemana arah atau masa depan televisi dan bagaimana televisi masa depan. Para penyumbang tulisan sebagian besar adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Prodi Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini merupakan hadiah ulang tahun ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini menyajikan sejumlah topik kajian yang beragam dan dikelompokkan menjadi tiga bagian: (1) Program/acara televisi (infotainment, reality show, sinetron, acara anak-anak) (2) Televisi publik, sistem stasiun jaringan dan TVRI (3) Televisi Masa Depan (TV Streaming dan IPTV). Dalam tulisan berjudul “Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca”, Bonaventura Satya Barata menemukan bahwa televisi mampu mengubah wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan memilukan, menjadi peristiwa yang menghibur. Semua dilakukan melalui proses pembingkaian yang melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun non verbal, dilakukan sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian tersebut. Insert Trans TV melakukannya dengan teknik produksi, baik melalui pemberian bumper in, perpindahan gambar yang cepat dan manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik. Persinggungan antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi media (melalui proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah peristiwa kematian menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Realitas kematian yang ditampilkan oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan duka, bahkan jauh dari menakutkan dan mengerikan. Dalam penelitiannya tentang “Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV”, Ery Kurnia Putri menemukan bahwa lima tayangan Realigi di TransTV sarat dengan kekerasan, meliputi: kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik. Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut, pengintaian, dan kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki nilai edukasi khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih ditayangkan pada prime time. Masih tentang program tayangan televisi, Desideria Cempaka Wijaya Murti dan Meredian Alam lewat “Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan” menunjukkan bahwa kekuatan televisi yang besar untuk menjadi subtitute teacher membuat sebagian masyarakat yang lemah dan mudah mengikuti arus televisi akan menjadi korban proses alienasi 6


Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan televisi yang kuat, membuat individu dan komunitas telalu berkaca pada media, sehingga individu kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya. Padahal keunikan individu dapat mendefinisikan potensi yang dimiliki oleh individu manusia yang sangat berharga. Sementara itu, Yahya Zakaria menyoroti “Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi”. Ia menegaskan, sudah saatnya sinetron remaja melakukan perubahan dan menjalankan fungsinya sebagai media pembelajaran remaja sekaligus menjadi media identifikasi yang luas, beragam dan demokratis, karena dengan kondisi seperti saat ini, remaja akan terus menjadi korban, terus kerdil dan seragam. Production house, stasiun televisi dan produser sinetron remaja seharusnya menjadikan moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi materi, karena jika hanya materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan selalu seperti ini, tragis. Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang, menjadi tanggung jawab. Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan sinetron remaja mampu berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi identitas, dan terdapat keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya. “Mana Acara Televisi untuk Anak?” Itu pertanyaan yang dilontarkan oleh Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari. Menurut mereka, perlu ada usaha untuk kembali memberikan ruang kepada anakanak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh mereka melalui media massa seperti televisi. Kepedulian untuk memberikan tayangan sehat dan mendidik pada anak menjadi harapan semua orang tua dan pemerhati anak. Banyak yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuat program acara televisi yang berorientasi anak-anak. Pemenuhan dan pemberian hak mendapatkan informasi untuk anak ini bisa dilakukan dengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan panjang untuk acara anak. Alternatif lain adalah mengajak semua pemilik stasiun televisi dan perusahaan yang memproduksi acara televisi untuk mulai memproduksi acara anak. Semakin banyak acara anak, maka pilihan anak akan tontonan yang cocok untuk mereka juga semakin banyak. Selama ini banyak anak yang menonton acara dewasa yang tidak sesuai umur karena mereka tidak memiliki pilihan tontonan. Sementara Yohanes Widodo mencoba menyoroti “Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan”. Ia menekankan, pihak televisi Jakarta harus bersedia bertransformasi menjadi stasiun berjaringan karena mereka 7


Quo Vadis Televisi?

menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik. Jika selama ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuk target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publik untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu dan ruang untuk menyampaikan pemikiran dan aspirasinya. TVRI juga mendapat sorotan para penulis. Agusly menekankan perlunya “Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik”. Menurutnya, perubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendaki perubahan TVRI. TVRI harus menjadi lembaga yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dengan menjadikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangan kondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNA TVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebih mapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik. Yang terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapi perubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlalu dekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnya pertarungan dengan stasiun televisi swasta. Penulis lainnya, Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas Nurogo mengajak kita untuk “’Melihat Kembali’ TVRI” dalam arti menata kembali manajeman sampai programnya dan menyaksikan kembali TVRI karena TVRI menyajikan acara-acara yang menarik, mengemban misi pendidikan dan patut dibanggakan. TVRI seharusnya dapat dijadikan rujukan mengenai tayangan yang memiliki idealisme nilai dan melayani masyarakat untuk dapat berpikir kritis, lepas dari semua orientasi mencari rating, keuntungan, dan kepentingan politis. Ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur tetapi juga memberikan nilai tambah dalam masyarakat. TVRI harus mewakili semua kalangan, sebagai wadah bersama, karena sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat. TVRI bukan hanya menjadi alat propaganda budaya Jawa seperti era Suharto, namun dapat diakses oleh semua golongan. TVRI harus membantu daerah-daerah yang tertinggal menjadi berubah dan tidak semata-mata berpatokan pada rating. “Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?” Itu pertanyaan Salvatore Simarmata. Ia menyimpulkan bahwa bahwa televisi secara struktural merupakan ruang publik yang ideal. Analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa televisi sebagai ruang 8


Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

publik di Indonesia seperti jauh panggang dari api. Realitas televisi kurang mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Untuk mewujudkan peran tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi di Indonesia sekarang ini. Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista megajak kita melihat “Parodi di Balik Layar Kaca”. Menurut mereka, di masa depan televisi bisa menjadi senjata perang di antara pemilik media atau penguasa untuk saling menjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat, melainkan akan dibuat bingung oleh media-media tersebut dan tidak tahu lagi mana media yang bisa dipercaya. Konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku di Jerman, Inggris, maupun Indonesia, konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, dapat menggerogoti kedaulatan Negara. Seperti apa televisi masa depan? Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi menawarkan konsep “TV Streaming sebagai Televisi Alternatif”. Menurut mereka, kemudahan akses teknologi komputer memungkinkan masyarakat dapat memaksimalkan TV Streaming. Penggunaan cybermedia yang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan, dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengakses TV streaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagi hanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Akses yang murah dan lebih efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan informasi dan hiburan di masa depan. Sedangkan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana menawarkan IPTV sebagai “Televisi Impian di Masa Depan”. Sebagai interaktif televisi berbasis internet, IPTV memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni ketajaman gambar yang sangat tinggi dan memberikan peluang komunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep komunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast yourself’ dimana semua pengguna bebas menentukan apa yang ingin dikonsumsi sesuai 9


Quo Vadis Televisi?

kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang menjamin keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut. Demikian sajian kami. Semoga kajian dan gerundelan kami, orang-orang Komunikasi bisa menjadi pelepas dahaga publik yang mengharapkan tayangan televisi yang pas dan mantap. Semoga!

Yohanes Widodo Editor

10


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca Bonaventura S. Bharata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Taufik Savalas, Asmuni, Basuki, Alda Risma, Chrisye, Gito Rollies: siapa yang tidak kenal mereka? Tiga nama pertama merupakan komedian papan atas Indonesia. Tiga nama berikutnya adalah artis/penyanyi yang cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semuanya telah meninggal dunia pada 2007-2008. Masyarakat Indonesia pun berduka. Semua informasi tentang meninggalnya tokoh terkenal seperti artis dan pejabat pemerintah ratarata diketahui masyarakat Indonesia dari media massa. Media massa menginformasikan seluk-beluk meninggalnya para artis tersebut, mulai dari penyebab meninggal, detik-detik terakhir, duka yang ditinggalkan, hingga prosesi pemakamannya. Semuanya dideskripsikan secara detil. Tak hanya itu, dia awal 2004, TV7 (sekarang Trans7), bahkan pernah menyiarkan secara langsung detik-detik terakhir kehidupan artis muda Sukma Ayu, yang koma hampir setahun penuh pasca operasi yang dilakukan oleh tim dokter rumah sakit MMC Jakarta. Perhatian media massa terhadap peristiwa kematian tidak hanya berhenti sampai di sini. Saat meninggalnya mantan Presiden Soeharto pada akhir Januari 2008, perhatian media pada peristiwa kematian menjadi lebih besar lagi. Semua media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan peristiwa langka ini. Dua hari berturut-turut headline media cetak memberitakan kematian mantan penguasa era Orde Baru ini. Semua saluran televisi juga memberitakan secara langsung hal yang sama. Semua media berfokus pada pemberitaan mengenai wafat dan prosesi pemakamannya. Hingga berita tentang naiknya harga minyak goreng dan kacang kedelai yang meresahkan para pengrajin tahu dan tempe pun sempat terpinggirkan. Hal ini memicu kontroversi. Beberapa elemen masyarakat memprotes siaran langsung ini dengan dalih bahwa para pengelola stasiun televisi swasta tersebut dituding melakukan blocking time siaran yang kemudian meniadakan siaran yang lain sebagai alternatif tontonan masyarakat. 11


Quo Vadis Televisi?

Khusus untuk kasus kematian Soeharto, sangat menarik jika mencermati perilaku media dalam menyorot kematian tokoh yang dijuluki Bapak Pembangunan tersebut. Wafat dan pemakaman sang jenderal berbintang lima ini tidak hanya muncul di acara-acara berita formal, namun muncul pula di beberapa segmen acara infotainment di televisi, seperti di acara Insert Investigasi (Trans TV), Cek dan Ricek (RCTI), KISS (Indosiar), dan Expresso (ANTV) yang nyata-nyata sebenarnya merupakan acara yang mengkhususkan diri pada para artisdan selebriti. Terbitan media cetak pun demikian. Berita tentang kematian Soeharto tak hanya muncul di suratkabar besar macam Kompas, Republika, Suara Pembaruan, dan Koran Tempo, namun muncul pula di beberapa terbitan tabloid hiburan seperti Bintang Indonesia, Cek dan Ricek dan di tabloid khusus perempuan, seperti Nova. Di sisi lain, perilaku media dalam memberitakan kematian juga bukan tanpa cela. Siaran langsung yang mendeskripsikan detik-detik terakhir kehidupan artis Sukma Ayu ataupun siaran langsung yang mengiringi prosesi pemakaman Soeharto ternyata juga terselip iklan komersial. Khusus untuk wafatnya mantan Presiden Soeharto, situs Indonesia TV Guide dalam laporan khususnya menunjukkan bahwa penayangan kematian Soeharto ternyata mendongkrak rating1. Artinya, proses pemakaman Soeharto ternyata sangat menarik minat penonton televisi sehingga mengundang minat pengiklan untuk mensponsori acara tersebut. Tak hanya di siaran langsungnya, ketika pemakaman Soeharto masuk dalam tayangan infotainment pun, iklan yang muncul pun tak kalah banyak. Saat peristiwa kematian artis-artis terkenal seperti Taufik Savalas, Chrisye, Basuki, Asmuni dan Gito Rollies, pun kondisinya tak jauh berbeda. Selipan iklan komersial pun tampak dalam tontonan tersebut. Namun bisa pula dipahami bahwa selipan iklan dalam tayangan langsung prosesi pemakaman mantan Presiden Soeharto tersebut ditayangkan oleh televisi swasta. Televisi swasta atau televisi komersial untuk Indonesia merupakan bentuk siaran televisi yang penyelenggaraannya berbasis pada industri sehingga pembiayaan operasionalnya sangat tergantung dari pendapatan iklan yang diperoleh. Artinya siaran televisi ini sangat mengandalkan perhitungan untung rugi. Bila diyakini sebuah tayangan bersifat laku jual, maka tayangan tersebut layak ditayangkan di televisi. Namun sebaliknya, jika sebuah tayangan diyakini tidak mendatangkan laba, maka tayangan tersebut pun tidak akan bisa disiarkan di televisi. Dengan demikian dalam industri televisi, 12


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

dituntut untuk sekreatif mungkin memformat suatu acara agar laku jual di mata pengiklan. Di sinilah bertemunya realitas ini dengan term komodifikasi yang diperkenalkan oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal. Secara ringkas komodifikasi merupakan cara kapitalisme dalam mencapai tujuannya untuk mengakumulasikan kapital atau merealisasikan nilai melalui transformasi dari penggunaan nilai-nilai ke dalam sistem pertukaran (Mosco, 1996). Artinya, jika ini terjadi dalam industri televisi adalah bagaimana cara yang dilakukan oleh para pekerja media untuk mengubah realitas sosial menjadi realitas media yang laku jual. Proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk dari yang nilainya ditentukan oleh kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan individu atau kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dibawa produk itu ke pasar. Dalam fenomena ini, peristiwa kematian mengalami proses komodifikasi ketika bersentuhan dengan industri media. Pengelola media melakukan upaya sedemikian rupa untuk mengemas sebuah peristiwa kematian untuk kemudian menjadi sebuah produk berita dan tontonan yang mampu menarik perhatian audiens. Semakin besar perhatian audiens, semakin besar pula kemungkinan produk ini meraih iklan. Dari sisi etis, inilah permasalahannya. Apakah pantas peristiwa kematian yang jelas merupakan peristiwa duka cita ini kemudian mengalami proses komodifikasi sedemikian rupa untuk meraih audiens dan dijual kepada para pengiklan untuk kemudian mendatangkan profit yang tinggi?2 Penelitian tentang komodifikasi sendiri pernah dilakukan oleh Diah Kurniati, dengan judul Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Analisis Wacana Kritis terhadap Acara Harap-Harap Cemas (H2C) di SCTV. Dalam penelitian skripsi tersebut dinyatakan bahwa proses produksi tayangan reality show oleh rumah produksi (REC Production) ini ternyata masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan untuk mendatangkan profit. Ini terwujud dalam bentuk adanya intervensi pada praktek produksi yang dilakukan oleh SCTV agar tayangan reality show ini lebih mampu menyesuaikan dengan selera pasar. Padahal tayangan ini jelas-jelas melanggar privasi para pelakunya. Artinya, ditinjau secara etis komunikasi, acara ini melanggar norma-norma etika (Kurniati dalam Jurnal Thesis, 2006; 151). Sedangkan penelitian tentang kematian, dalam hal ini iklan kematian di surat kabar, pernah dilakukan oleh Iwan Awalludin Yusuf dalam 13


Quo Vadis Televisi?

bukunya Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka Semarang. Penelitian ini dilakukan terhadap beragam iklan kematian yang diterbitkan atas inisiatif masyarakat Tionghoa di SKH Suara Merdeka pada rentang waktu 1997-1999. Kesimpulan akhir dari penelitian ini, bahwa etnik Tionghoa ternyata memaksimalkan peran iklan kematian yang diterbitkan di SKH Suara Merdeka untuk menunjukkan eksistensi komunitas Tionghoa di tengah tekanan sosial atas masyarakat Tionghoa akibat upaya represi pemerintah Orde Baru. Upaya ini menemukan jalannya di tengah kapitalisasi industri media cetak di era yang sama, dalam hal ini SKH Suara Merdeka Semarang. Temuan lain yang menarik adalah munculnya istilah necrocultura yang dipopulerkan oleh Fabio Giovannini. Necrocultura berarti pandangan positif terhadap peristiwa kematian. Berbeda dengan masa lalu yang memandang kematian sebagai sesuatu yang mengerikan dan ditakuti, pada masa sekarang kematian merupakan peristiwa yang logis atau bukan sesuatu yang ditakuti karena merupakan peristiwa wajar yang akan menimpa siapapun. Yang perlu dipersiapkan justru bagaimana menghadapi kematian tersebut (dalam Yusuf, 2005; 70). Dalam perkembangan berikutnya kematian pun bahkan menjadi komoditas3. Peluang ini bertemu dengan konsep komodifikasi di ranah media massa. Media pun ikut merayakan necrocultura. Penelitian lain yang menarik tentang kematian pernah ditulis oleh Ronny E. Turner dan Charles Edgley (dalam Mulyana dan Solatun, 2007; 185-186). Mereka menjelaskan bagaimana peristiwa kematian dapat dikonstruksi sedemikian rupa hingga mengesankan sebuah pertunjukan. Dikatakan bahwa pada dasarnya para pengatur pemakaman merupakan pebisnis yang unik. Dikatakan unik karena para pengatur pemakaman ini tidak dapat meningkatkan pendapatannya dengan meningkatkan jumlah kematian di lingkungannya. Karenanya bisnis ini harus dijalankan secara hati-hati. Iklan perusahaan pun dikemas sedemikian rupa sehingga tidak mengesankan adanya harapan akan jumlah kematian yang meningkat untuk mendongkrak pendapatan. Peningkatan penghasilan justru diperoleh seberapa ahli seorang pengatur pemakaman mengemas peristiwa kematian menjadi sebuah ’pertunjukan’. Keberhasilan ini akan berdampak pada reputasi mereka yang pada akhirnya mampu memperluas pasar sehingga secara tidak langsung mendongkrak pendapatan. 14


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan pemahaman bahwa ternyata peristiwa kematian pun dapat merupakan sebuah komoditas ketika bersentuhan dengan aspek kapital (uang). Ini tidak berbeda dengan peristiwa ulang tahun, pernikahan, ataupun kelahiran. Masalahnya, jika peristiwa-peristiwa ini merupakan peristiwa suka cita, peristiwa kematian sebenarnya lebih dekat dengan peristiwa duka cita. Namun ketika peristiwa ini dilihat sebagai peluang bisnis, peristiwa kematian pun berubah wujud menjadi sebuah pertunjukan yang tidak berbeda dengan peristiwa ulang tahun, pernikahan, dan kelahiran. Lalu bagaimana bila peristiwa kematian para tokoh terkenal bersentuhan dengan industri media? Apakah juga merupakan jalan untuk menjadi sebuah pertunjukan atau bahkan sebuah necrocultura? Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah lembaga media (dalam hal ini Trans TV) mengkonstruksi peristiwa kematian (Sophan Sophiaan)? Program Insert Investigasi Kematian Sophan Sophiaan Insert Investigasi ditayangkan setiap sore pukul 17.30 WIB. Menilik dari namanya yang menggunakan kata investigasi, Insert Investigasi idealnya merupakan tayangan dalam format laporan (mendalam) yang mendeskripsikan permasalahan tertentu. Biasanya tayangan Insert Investigasi berupaya mengupas seorang sosok artis tertentu atau mengangkat tema tertentu. Karena masuk dalam acara infotaiment (yang dalam pemahaman masyarakat Indonesia adalah informasi tentang dunia hiburan), format isinya pun diupayakan dalam bentuk yang sekiranya dapat menghibur. Walaupun dengan format menghibur, belum tentu isinya bersifat menghibur. Salah satu topik yang sering diangkat oleh Insert Investigasi adalah masalah perceraian artis. Perceraian tentu bukanlah realitas yang menghibur. Namun dalam tayangan Insert Investigasi, kabar perceraian artis ini mampu diformat dalam bentuk yang menghibur. Demikian pula pada realitas kematian (artis). Kematian bagi siapa saja, tentu saja bukan merupakan peristiwa menghibur. Termasuk bagi keluarga artis sekalipun. Realitas kematian selalu dekat dengan suasana sedih, duka, isak tangis, kelam, dan hitam. Namun ketika realitas ini dinaikkan ke layar kaca melalui acara Insert Investigasi, kematian memiliki nuansa yang berbeda. Kematian bukanlah persitiwa yang sedih dan duka. Justru sebaliknya: kematian menjadi peristiwa yang memberikan hiburan tersendiri. Seperti terjadi pada peristiwa kematian artis Sophan Sophiaan.

15


Quo Vadis Televisi?

Bagaimana Insert Investigasi mengkonstruksi peristiwa tersebut menjadi kematian yang menghibur? Dari Sisi Teknik Produksi: a. Dramatisasi Adegan Dramatisasi adalah bagaimana membuat sebuah peristiwa yang sebenarnya biasa, menjadi tayangan yang memiliki kesan luar biasa atau impresi yang mendalam. Dramatisasi dalam dunia produksi program televisi dapat dilakukan melalui proses pengambilan gambar dan proses editing (baik suara maupun gambar). Melalui proses pengambilan gambar, misalnya ketika ingin menampilkan profil seseorang dengan mengesankannya sebagai sosok yang kharismatis, kamerawan dapat saja mengambil gambar dari arah bawah. Pengambilan gambar dengan mengarahkan kamera dari arah bawah (low angle) akan mengesankan seseorang menjadi sosok yang berwibawa dan kharismatik. Jika menggunakan editing gambar, perubahan warna dari berwarna menjadi hitam putih pada sebuah peristiwa akan memunculkan kesan masa lalu bagi yang menyaksikannya. Dramatisasi dalam peristiwa kematian Sophan Sophiaan dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: b. Memformat bumper in Bumper ini merupakan gambar atau rentetan potongan gambar atau adegan yang disusun sedemikian rupa menjelang memasuki isi sebuah acara (Cremer, dkk, 1996: 419). Biasanya dilakukan untuk menggugah calon penonton agar tertarik untuk menyaksikan acara tersebut. Gambargambar yang dipilih untuk mengisi bumper in ini biasanya diambil dari bagian yang sekiranya paling menarik sehingga mampu memunculkan ketertarikan penonton. Dalam tayangan Insert Investigasi tentang peristiwa kematian Sophan Sophiaan, gambar yang dipilih untuk mengisi bumper in adalah gambar yang mengisahkan firasat yang dialami oleh Widyawati (istri Sophan Sophiaan) menjelang kematian Sophan Sophiaan. Dalam bumper in yang dimunculkan sebagai pembuka pada acara Insert Investigasi ini sebenarnya bukan hanya gambar yang mendeskripsikan firasat yang dirasakan oleh Widyawati selaku istri almarhum Sophan Sophiaan, namun juga berisi gambar yang lain. Gambar-gambar tersebut di antara lain pernyataan Paramitha Rusady, Winkey Wiryawan dan Kennes, serta kakak-beradik Chintami dan Minati Atmanegara, tentang kesan-pesan terhadap perkawinan Widyawati dan Sophan Sophiaan. Kemudian dilanjutkan dengan gambar nostalgia, yakni kenangan antara 16


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Sophan Sophiaan dan Widyawati yang membeberkan rahasia kelanggengan rumah tangga mereka. No

Time Code

1.

00:00-00.10

Narasi

Gambar

Bumper in Widyawati : Buat saya dia masih ada aja. Saya merasa kaya mimpi gitu lho, lain kalo dalam keadaan sakit. Tapi kalo seperti ini, anda-anda pasti akan seperti saya. Terakhir dia peluk saya, Saya ga jawab. Saya sedih bener itu.

2.

00:10-00:13

Paramitha Rusady: Seperti di kisah roman kalo saya bilang sih...

3.

00:13-00:15

Kennes : memang pasangan yang ideal banget ‌

4.

00:15-0018

Minati : gak ada ya yang punya hubungan sehebat mereka ‌

17


Quo Vadis Televisi? No

Time Code

Narasi

5.

00:18-00:22

Minati : gak ada ya yang punya hubungan sehebat mereka ‌

6.

00:22-00:38

Sophan : kuncinya kalo orang jawa itu ‌. Nrimo

Gambar

Dari beberapa gambar yang disajikan tersebut, gambar yang mendeskripsikan tentang firasat Widyawati mendapatkan porsi dominan. Selain mendapatkan posisi pertama (sebagai pembuka acara), durasinya pun memakan waktu sepuluh detik. Ini berbeda dengan gambar-gambar berikutnya yang hanya mendapatkan rata-rata durasi sekitar tiga detik saja. Penempatan gambar pada posisi pertama dan memiliki durasi yang relatif panjang dibandingkan dengan gambar yang lain dimaksudkan sebagai impresi khusus untuk menggugah rasa tertarik calon khalayak untuk bersedia menyaksikan acara tersebut. Sebagai sebuah bumper in tayangan infotainment peristiwa kematian, Insert Investigasi Trans TV bisa dikatakan cerdik. Mengapa cerdik? Dalam masyarakat Indonesia, salah satu pembicaraan menarik dalam peristiwa kematian adalah firasat apa yang sebenarnya muncul menjelang seseorang meninggal dunia. Menjadi semakin menarik apabila yang bercerita adalah orang-orang terdekat dari individu yang meninggal dunia, seperti istri dan anak-anak. Kisah yang dituturkan oleh Widyawati ketika mengalami firasat tersebut menjadi peristiwa unik yang dipilih dan diduga akan menarik perhatian penonton. Dalam tayangan Insert Siang Minggu (18 Mei 2008), peristiwa firasat kematian Sophan Sophiaan juga ditampilkan. Kali ini firasat tersebut dialami oleh putera Sophan Sophiaan (Romy Sophiaan). Romy 18


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

menceritakan bahwa Sophan Sophiaan pernah memiliki keinginan untuk menjual motor besarnya setelah selesai melakukan Touring Merah Putih. Ini akan dilakukan oleh Sophan Sophiaan karena ia sudah merasa yakin bila touring yang dijalaninya ini merupakan touring terakhirnya. Dalam Insert Investigasi Minggu sore (18 Mei 2008), sekali lagi firasat yang dialami oleh keluarga Sophan Sophiaan diceritakan kembali oleh puteranya Romy Sophiaan. Dikatakan bahwa dua hari sebelum kematian Sophan, Romy merasa ada suara langkah kaki di depan kamar tidurnya. Ia merasakan bahwa itulah langkah kaki ayahnya. Padahal Sophan pada saat yang sama masih melakukan touring dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Di samping itu firasat yang dirasakan oleh sesama rekan touring Sophan Sophiaan juga diceritakan dalam Insert Investigasi tersebut. Dinyatakan oleh Freddy Soemitro, bahwa Sophan Sophiaan pernah menyatakan keinginan untuk cepat-cepat kembali ke Jakarta. Penceritaan firasat atas kematian memang diakui sebagai bagian yang termasuk menarik yang menyertai peristiwa kematian itu sendiri. Tidak mengherankan setiap ada penayangan kematian artis di infotainment Insert Investigasi, penceritaan tentang firasat ini selalu muncul. Misalnya pada penayangan Insert Investigasi tentang kematian artis Gito Rollies beberapa minggu sebelum Sophan Sophiaan meninggal dunia. Istri Gito Rollies (Michelle) menceritakan bahwa suaminya sering meminta kepada sahabatsahabatnya untuk selalu mendoakan dirinya. c. Perpindahan gambar yang cepat Dalam tayangan Insert Investigasi, ada beberapa bagian cerita yang dideskripsikan secara cepat dan dinamis. Cepat di sini berarti perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan tempo yang singkat, dengan gambar yang beraneka ragam. Dinamis artinya perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan teknik tertentu, bisa dengan teknik cut to cut ataupun dissolve. Teknik perpindahan gambar ini memberikan impresi tertentu pula. Seperti teknik cut to cut biasanya ingin menunjukkan perpindahan tema cerita (Bordwell dan Thompson, 2008: 477). Sedangkan dissolve, merupakan teknik perpindahan gambar yang ingin memunculkan kesinambungan antar gambar (Bordwell dan Thompson, 2008: 478). Pada tayangan Insert Investigasi Sophan Sophiaan terdapat beberapa bagian alur cerita yang disampaikan dengan tempo cepat. Ini ditandai 19


Quo Vadis Televisi?

perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dalam waktu singkat. Teknik perpindahan gambarnya pun bervariasi, ada cut to cut dan ada pula yang dissolve. Perpindahan gambar yang cepat ini disertai dengan teknik perpindahan gambar yang bervariasi memberikan kesan dinamis pada peristiwa. Sesuatu yang dinamis biasanya berkait dengan hal yang menyenangkan dan menggembirakan. Tentu ini bertolak belakang dengan peristiwa kematian itu sendiri. Kematian tentu tidak No

20

Narasi

Time Code

1.

01.08

2.

01.10

3.

01.11

4.

01.13

(ilustrasi musik)

Jika...

Gambar dan Perpindahan Gambar


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

No

Time Code

Narasi

5.

01.14

hidup adalah sebuah film

6.

01.15

Sophan Sophian adalah

7.

01.16

lakon melodrama terbaik‌

8.

01.18

Selama ‌. (delapan windu perjalanannya ‌)

Gambar dan Perpindahan Gambar

ditandai dengan kedinamisan peristiwa. Kematian biasanya dikesankan sedih, duka, gelap, dan suram tentu jauh dari hal-hal yang bersifat dinamis. Namun dengan teknik editing tertentu, peristiwa kematian justriu mendapatkan kesan dinamis tersebut. Dari rentetan gambar dalam tayangan Insert Investigasi Trans TV, terkesan jelas bahwa perpindahan gambar atas peristiwa dilakukan 21


Quo Vadis Televisi?

dengan sangat cepat dan dinamis. Penampilan gambar hanya dilakukan rata-rata per satu detik. Bahkan proses perpindahan gambar dengan menggunakan teknik dissolve juga hanya memakan waktu satu detik saja. Perpindahan gambar yang sangat singkat ini tentu mempengaruhi narasi yang disampaikan. Narasi pun dibuat seringkas mungkin. Per satu detik diucapkan rata-rata tiga kata (diksi). Tentu ini juga mempengaruhi secara tidak langsung durasi pengucapan yang juga dituntut cepat. Demikian pula saat berganti antar sequences dari prolog menuju isi cerita. Tak jarang perpindahan gambar yang cepat ini turut mengiringi alur cerita yang disampaikan. Padahal peristiwa yang disampaikan adalah cuplikan-cuplikan gambar dari suasana pemakaman dari Sophan Sophiaan yang sudah dilakukan sehari sebelumnya dan tentu sudah ditayangkan pada sore dan pagi hari sebelum tayangan Insert Investigasi ini diudarakan. Selain itu juga cuplikan-cuplikan gambar yang menunjukkan suasana tahlilan yang digelar di rumah duka. Namun karena disampaikan dalam tempo yang cepat, susunan gambar tersebut malah berkesan tidak menunjukkan kedukaan. Di bagian tayangan yang lain, perpindahan gambar semuanya juga ada yang dilakukan per satu detik. Konsekuensinya pun berimbas pada narasi tayangan. Narasi yang dibacakan pun hanya sekitar tiga kata per satu detik. Sama dengan contoh sebelumnya. Perpindahan gambar pada suasana pemakaman dilakukan dengan teknik dissolve-flash. Ini tentu dimaksudkan untuk melakukan semacam flashback (kembali ke masa lalu) pada peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya, yakni peristiwa pemakaman Sophan Sophiaan di Pemakaman Tanah Kusir (Jakarta). Ketika masuk rentetan gambar yang menunjukkan suasana tahlilan di rumah duka Widyawati, teknik perpindahan gambar yang digunakan adalah dissolve. Diruntutkan gambar-gambar yang mengetengahkan acara tahlilan tersebut dilakukan. Teknik dissolve digunakan dalam sequences ini tentu dengan maksud menunjukkan kepada penonton tentang kesinambungan kronologis suasana tahlilan di rumah duka. Namun ketika rentetan peristiwa tersebut disajikan dengan tempo yang cepat dan teknik editing dengan perpindahan gambar tertentu (dissolve flash dan dissolve), justru yang muncul adalah kesan yang dinamis dan bergairah. Kesan dinamis dan bergairah ini jauh dari kesan duka, sedih, gelap, dan kelam yang menjadi ciri pada realitas kematian itu sendiri. Di sinilah keunikan terjadi. 22


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

d. Penumpukan gambar Selain mengemas bumper in dan melakukan teknik perindahan gambar yang cepat, dramatisasi adegan juga diberikan dengan cara melakukan penumpukan gambar. Penumpukan gambar yang dimaksud adalah menggabungkan dua buah gambar yang berbeda menjadi satu dengan teknik editing tertentu. Teknik editing tertentu yang dimaksud adalah dengan cara seolah-olah akan melakukan perpindahan gambar dengan teknik dissolve, namun hasilnya adalah dua gambar berbeda menumpuk menjadi satu. No

Time Code

Narasi

1.

03.26-03.28

Narator : Ada sebuah sapaan

2.

03.28-03.29

Narator : terakhir dari almarhum

3.

03.29-03.30

Narator : yang tidak ia sadari

4.

03.30-03.31

Sama sekali

Gambar

23


Quo Vadis Televisi? No

Time Code

Narasi

5.

03.31-03.33

Layaknya pesan perpisahan

6.

03.33-03.35

Widyawati : Terakhir dia peluk saya ‌ I love you, ma ‌

Gambar

Dari runtutan gambar di atas, terdapat dua kali gambar yang dengan sengaja ditumpuk. Keduanya adalah gambar Sophan Sophiaan dan Widyawati pada menit ke 03.28 dan 03.31. Entah kebetulan atau tidak, penggabungan atau penumpukan dua gambar tersebut terasa mulus. Dalam arti, gambar Sophan Sophiaan yang ditumpukkan ke gambar Widyawati terlihat proporsional. Tidak terlihat salah satu obyek lebih besar atau lebih kecil dari yang lain. Sehingga mengesankan antara Sophan Sophiaan dan Widyawati terasa berimbang. Penumpukan gambar yang proporsional ini tentu memunculkan impresi tertentu. Impresi ini dapat bermakna macam-macam. Pertama, pekerja media ingin mengesankan hubungan yang tidak saling mendominasi antara Sophan Sophiaan dan Widyawati. Kedua, impresi tersebut seakan ingin menyatakan bahwa antara Sophan Sophiaan dengan Widyawati itu ibarat dua sisi mata uang, dua sisi yang sebenarnya adalah satu jiwa. Impresi ini terasa pas dengan penguatan yang diperoleh dari penggabungan atau penumpuan dua gambar dari masing-masing individu yang berbeda tersebut. e. Penggunaan Diksi dan Majas Unsur dramatisasi lain yang diberikan oleh acara Insert Investigasi adalah dengan menggunakan diksi yang menarik untuk mengantarkan cerita. Harus diakui sebagai salah satu acara infotainment dari sekian 24


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

banyak acara serupa di televisi, Insert Investigasi memiliki tampilan yang berbeda untuk bahasa narasinya. Perbedaan yang menyolok dari sisi bahasa ini adalah dengan penggunaan diksi yang dipilih sedemikan rupa. Selain itu Insert Investigasi juga sering menggunakan gaya bahasa atau majas untuk memperindah pesan yang disampaikannya. Gaya bahasa atau majas merupakan bahasa yang indah yang digunakan untuk meningkatkan impresi tertentu, dengan jalan memperkenalkan atau membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Sumadiria, 2006: 145). Penggunaan gaya bahasa atau majas dalam tayangan ini masih ditambah lagi dengan intonasi suara yang dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian pemirsa. Sebenarnya penggunaan bahasa baik dari sisi pemilihan diksi dan gaya bahasa (serta intonasi pembawaan yang khusus karena ini adalah media televisi) merupakan hal yang wajar dalam acara sejenis Insert Investigasi. Walaupun banyak pihak menolak bahwa infotainment bukanlah karya jurnalistik, harus diakui bahwa prosesnya tidak jauh berbeda dengan karya jurnalistik yang lain. Tayangan Insert sebagai sebuah infotainment sebenarnya dapat dimasukkan sebagai berita ringan (soft news) ataupun berita kisah (feature). Berita ringan atau berita kisah merupakan formart berita yang mengandalkan nilai berita (news values) prominence atau keterkenalan, kedekatan (proximity) dan human interest (Itule dan Anderson, 2008: 12). Sebagai berita ringan atau berita kisah, tentu memiliki keluwesan yang lebih luas dibandingkan dengan jenis berita langsung (straight news atau hard news). Jika dalam berita langsung lebih mengandalkan pemilihan diksi yang bersifat lugas dan denotatif serta meminimalisir penggunaan majas (gaya bahasa), maka berita ringan atau berita kisah justru sebaliknya. Berita ringan dan berita kisah justru dapat mengandalkan pemilihan diksi yang lebih luas dan memaksimalkan penggunaan majas. Tentu ini dimaksudkan untuk mempercantik atau memperindah cerita yang disusun. Perhatikan penggunaan diksi dan majas dalam acara Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2009: “Selamat sore pemirsa. Makam itu memang masih basah. Untaian bunga masih segar di pusara. Dan air mata Widyawati pun terus mengalir membasahi hatinya yang masih luka karena kepergian sang belahan jiwa. Kini hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh. Bersama saya Deasy Noviani inilah Insert Investigasi.� (dinarasikan oleh Presenter Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008). 25


Quo Vadis Televisi?

“Jika hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama terbaik. Selama delapan windu perjalanan nafasnya, Sophan Sophiaan adalah aktor terbaik. Pria Makassar itu sempurna memerankan dua dunia terpisah yang musti dimainkannya. Dia merupakan seniman produktif dan politisi yang bersih anti korupsi dan feodalisme. Di sisi lain, Sophan juga seorang suami terbaik, setia dengan perkawinannya. Almarhum adalah potret sebuah totalitas. Di saat banyak artis beramai-ramai mencalonkan diri untuk duduk di Senayan, Sophan Sophiaan malah memilih hengkang. Dia tak tergiur jabatan gubernur, walikota, bahkan bupati. Sophan bahkan memutuskan mundur dari DPR-MPR setelah 10 tahun menghuni Senayan. Saat selebritis ramai-ramai bercerai, Sophan justru makin mesra bersama Widyawati. Sayang tragika berdarah di alas Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruh mimpinya yang ada. Namun semangatnya tak ikut terkubur bersama jasadnya di tanah kusir. Seperti apa sosok Sophan di mata istri dan para sahabatnya? Apa saja mimpi-mimpi besar sang aktor nasionalis yang belum terwujudkan? Pemirsa inilah Insert Investigasi!” (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008). Diksi basah dalam kalimat: “Makam itu memang masih basah…” yang diucapkan oleh presenter Deasy Novianti, tentu bermakna kiasan atau konotatif. Basah dalam arti denotatif mensyaratkan adanya kadar air yang tinggi pada suatu obyek. Tentu kata “basah” yang digunakan dalam kalimat tersebut bukanlah bermakna bahwa makam Sophan Sophiaan sedang tergenang air dalam volume yang besar. Namun lebih bermakna bahwa makam tersebut masih baru digali dan digunakan untuk memakamkan seseorang. Demikian pula dengan kata pusara dalam kalimat: “Untaian bunga masih segar di pusara” merupakan kata lain yang halus dan lembut untuk kata “makam”. Bisa jadi ini dimaksudkan untuk mencegah perulangan kata yang sama dalam narasi yang diucapkan, agar tidak membosankan telinga pendengar. Penggunaan majas juga tampak dari narasi yang dituturkan oleh presenter acara Insert Investigasi tersebut. Seperti dalam kalimat: “Kini hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh.” Perhatikan anak kalimat cinta yang telah terbang jauh. Anak kalimat ini tentu merupakan majas simbolik. Majas simbolik merupakan majas atau gaya bahasa yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu atau orang dengan simbol atau lambing tertentu. Tentu yang dimaksud cinta yang telah terbang 26


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

jauh di sini adalah sosok Sophan Sophiaan. Dengan meninggalnya Sophan Sophiaan, praktis Widyawati harus menjalani hidup seorang diri. Sosok Sophan Sophiaan yang sangat berarti bagi Widyawati ini disimbolkan sebagai cinta. Karena kebetulan Sophan Sophiaan sudah meninggal dunia, maka dinyatakan sebagai cinta yang telah terbang jauh. Demikian pula narasi yang dituturkan oleh narator acara Insert Investigasi, banyak menggunakan majas atau gaya bahasa untuk mempercantik pesan yang disampaikan. Seperti dalam kalimat: “Bila hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama terbaik.” Kalimat ini mengandung majas atau gaya bahasa alegori. Majas alegori merupakan majas yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara lain, bisa melalui kiasan atau penggambaran. Dinyatakan dalam kalimat tersebut, bahwa sosok kehidupan Sophan Sophiaan ibarat sebuah film. Dalam drama kehidupan ini, Sophan Sophiaan menjadi lakon atau tokoh pemain yang terbaik yang berhasil menjalani kehidupannya di dunia nyata. Majas ini pun bertujuan untuk mempercantik pesan yang disampaikan. Penggunaan diksi yang unik juga muncul dalam kalimat: “Sayang tragika berdarah di alas Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruh mimpinya yang ada”. Perhatikan pemilihan diksi tragika berdarah untuk menggantikan tragedi berdarah. Dalam Bahasa Indonesia memang dikenal kata tragika sebagai kata lain tragedi. Namun diksi ini relatif masih jarang digunakan. Sehingga ketika Insert Investigasi Trans TV menggunakan diksi ini, terasa ada sesuatu yang baru, yang ingin disampaikan pada pemirsa. Tidak sekali ini saja Insert Investigasi menggunakan kata-kata yang relatif masih jarang terdengar. Dalam acara Insert yang lain, seperti Insert Siang pada Minggu, 18 Mei 2008, narator Insert juga menggunakan kata berdedai-dedai untuk mendeskripsikan suasana beramai-ramai dari para politisi, seniman, dan artis yang turut menjemput jenazah Sophan Sophiaan di Bandara Soekarno Hatta setelah diterbangkan dari Solo. Tentu saja dinyatakan unik karena diksi tersbut terhitung masih sangat jarang digunakan dalam Bahasa Indonesia. Sebagai perbandingan, perhatikan pemilihan diksi dan penggunaan majas di acara Insert Investigasi Trans TV hari Minggu tanggal 18 Mei 2008: “Derai air mata seakan menetes dari ribuan pasang mata, mengiringi kepergian sang aktor legendaris Sophan Sophiaan. Kepergian untuk selamanya yang begitu cepat masih terasa lirih membekas dalam hati. 27


Quo Vadis Televisi?

Akankah kekuatan itu masih tersisa meski ragamu sudah tak terlintas nyata lagi ? Bersama saya Deasy Novianty, inilah Insert Investigasi ‌â€? (Presenter dalam Insert Investigasi Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008) “Pemakaman Sophan Sophiaan berlangsung hikmat. Siang hari tadi, akhirnya jenazah aktor sekaligus sutradara kawakan Sophan Sophiaan dikebumikan. Almarhum dibaringkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan berdampingan dengan pusara ayahanda, Manai Sophiaan. Ribuan pelayat membanjir dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat, politisi, sampai semua kolega di dunia seni Memang paruh terakhir dalam kehidupan almarhum banyak dihabiskan di kancah politik nasional. Tetapi ternyata Khalam berkehendak lain. Seluruh reputasi kebesaran Sophan Sophiaan rupanya dicukupkan Sang Pencipta di usia 64 tahun. Sekali lagi bangsa ini berduka. Seperti apa suasana detik-detik terakhir pemakaman jenazah Sophan Sophaan. Apa firasat dan pesan kematian almarhum? Pemirsa inilah Insert Investigasi.â€? (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008) Perhatikan penggunaan kata kepergian sang aktor legendaris pada kalimat yang diucapkan oleh presenter Insert Investigasi, Deasy Novianti untuk edisi Minggu, 18 Mei 2008. Kata kepergian tentu untuk menggantikan kata meninggal dunia. Kemudian sosok Sophan Sophiaan yang diwakili kata aktor legendaris masih diimbuhi kata sang. Kata sang biasanya diberikan untuk orang-orang yang dipandang ahli. Karena dipandang sebagai orang yang ahli, kedudukan orang ini biasanya akan mendapatkan posisi istimewa di tengah masyarakat. Dengan demikian kata sang menunjukan pula pengakuan masyarakat kepada si tokoh yang diberikan mbuhan kata tersebut. Demikian pula dengan kata membanjir yang digunakan oleh narator untuk menarasikan peristiwa pada acara yang sama. Kata membanjir yang merupakan majas atau gaya bahasa ini, tentu ingin mengaskan demikian banyaknya pelayat yang menghadiri upacara pemakaman Sophan Sophiaan. f. Ilustrasi musik dan lagu Ilustrasi musik dan lagu juga merupakan salah satu cara melakukan dramatisasi dalam acara Insert Investigasi di Trans TV. Dalam sebuah tayangan program televisi ataupun film, alunan ilustrasi musik dan selipan lagu tentu dimaksudkan untuk memperkuat impresi pesan yang disampaikan oleh acara tersebut (Bordwell dan Thompson, 2008: 273). Dalam teknik produksi, bagaimana suatu suasana hendak dibangun dalam 28


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

alunan cerita, salah satunya dilakukan dengan memberikan ilustrasi musik ataupun selingan lagu. Dalam dunia penyiaran baik di radio maupun di televisi, ini sudah menjadi semacam pakem atau aturan main. Apabila ingin membangun suasana ceria, tentu diberikan ilustrasi musik atau selipan lagu dengan tempo cepat. Untuk membangun suasana bersemangat, tinggal diberikan ilustrasi musik atau selipan lagu dengan tempo cepat dan bersifat menghentak. Bila ingin membangun suasana untuk mengesankan peristiwa yang rutin terjadi, diberikan ilustrasi musik ataupun selipan lagu dengan tempo sedang. Sebaliknya bila ingin menonjolkan suasana sedih, tinggal diberikan ilustrasi musik atapun selingan lagu dengan tempo lambat. Dalam mengiringi peristiwa kematian, biasanya akan diberikan iringan lagu atau selingan lagu dengan tempo yang lambat. Dalam tradisi kematian orang Kristiani, biasanya diperdengarkan lagu-lagu gregorian untuk kematian. Lagu ini memiliki tempo yang lambat. Tentu ini menyesuaikan dengan suasana kematian yang tidak jauh dari dari kesan sedih dan duka. Namun dalam acara Insert Investigasi Trans TV yang mendeskripsikan Sophan Sophiaan, ilustrasi musik yang menyertai narasi tidaklah selalu didominasi oleh musik yang memiliki tempo lambat. Di beberapa bagian cerita, ilustrasi musik justru diisi dengan iringan lagu dalam tempo sedang, bahkan cepat. Untuk tempo cepat ini bahkan tampak nyata ketika mendeskripsikan secara ringkas pemakaman Sophan Sophiaan sebagai pembuka cerita sebelum memasuki adegan tahlilan di rumah duka. Tidak hanya itu ilustrasi musik yang mengiringi perpindahan gambar bahkan dipilih dengan teknik smash. Dari runtutan gambar di atas, dapat diperhatikan bagaimana Insert Investigasi Trans TV memberikan ilustrasi musik pada peristiwa pemakaman Sophan Sophiaan. Pemberian ilustrasi musik dengan tempo cepat tentu merupakan konsekuensi dari perpindahan gambar yang juga cepat. Seperti yang diamati pada tabel transkrip di atas, perpindahan antargambar hanya berlangsung per satu detik dari gambar yang satu ke gambar berikutnya. Belum lagi dalam perpindahan gambar, diberikan efek flash (kilat atau petir) berwarna putih terang. Ilustrasi musik pun mengikuti dengan efek smash (dentuman). Dengan tempo cepat dan efek flash yang menyertai runtutan gambar tersebut, justru memberikan kesan dinamis pada peristiwa yang disampaikan. Padahal sekali lagi, peristiwa yang ditayangkan adalah peristiwa kematian, bukan peristiwa gembira atau ceria. 29


Quo Vadis Televisi?

Dari Sisi Substansi: a. Tayangan Gambar yang Berulang-Ulang Dalam tayangan Insert Investigasi (Senin, 19 Mei 2008) yang mengisahkan kematian Sophan Sophiaan seringkali ditemui pengulangan gambar. Ada beberapa gambar yang digunakan secara berulang. Namun pengulangan tersebut pada frekuensi tidak lebih dari dua kali. Sedangkan tiga gambar di atas muncul dalam frekuensi yang sangat sering (sekitar tiga sampai lima kali penayangan). Bahkan di gambar terakhir (gambar nomor 3), gambar Sophan Sophiaan bersama motor besarnya muncul dua kali dalam waktu yang sangat berdekatan, yakni di menit 11:10 dan 11:34. Pengulangan gambar tidak hanya terjadi di dalam satu acara ini. Ada beberapa gambar yang digunakan secara berulang di dalam acara Insert. Jadi sudah digunakan pada Insert Siang dan Insert Investigasi di jam atau hari sebelumnya, kemudian digunakan di acara ini. Seperti misalnya gambar suasana pemakaman Sophan Sophiaan di Tanah Kusir, sudah digunakan di Insert Siang edisi Minggu 18 Mei 2008 dan Senin 19 Mei 2008, kemudian digunakan kembali untuk Insert Investigasi edisi Senin 19 Mei 2008. Sebagai sebuah acara hiburan, Insert Investigasi terikat pada teknikteknik produksi tertentu. Seperti perpindahan gambar yang cepat agar terkesan dinamis dan durasi waktu yang sudah ditentukan. Perpindahan gambar yang cepat dan tuntutan durasi waktu tertentu, tentu menuntut stok gambar yang cukup. Namun bisa jadi Trans TV tidak memiliki stok gambar yang cukup untuk memenuhi tuntutan produksi, hingga yang akhirnya yang dilakukan adalah pengulangan gambar. Pengulangan gambar tentu menjadi solusi di tengah kurangnya stok gambar, walaupun solusi ini sebenarnya dari sisi estetika tidak dibenarkan dalam produksi audio visual karena dapat menyebabkan kebosanan di mata penonton. Padahal dalam sebuah produksi audio visual sebaiknya jangan sampai terjadi penonton bosan dalam melihat sebuah karya produksi. Sehingga perencanaan produksi harus dilakukan secara matang agar kekurangan stok gambar dapat dihindari. b. Tema yang bervariasi Sisi substansi lain yang dilakukan oleh Trans TV dalam tayangan Insert Investigasi mengenai peristiwa kematian aktor Sophan Sophiaan adalah dengan melakukan variasi tema pada tayangan Insert Investigasi. Tema yang diangkat untuk beberapa tayangan Insert Investigasi : 30


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca 

 

Insert Investigasi Minggu 18 Mei 2008 : Pemakaman Sophan Sophiaan Insert Investigasi Senin 19 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan (dikaitkan dengan hobi motor besar dan kelanggengan keluarga) Insert Investigasi Selasa, 20 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan (dikaitkan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional) Insert Investigasi Rabu, 21 Mei 2008 : Pemakaman Ali Sadikin Insert Investigasi Kamis, 22 Mei 2008 : In Memoriam Ali Sadikin dan Sophan Sophiaan (sebagai tokoh politik yang berani berseberangan dengan penguasa)

Bila dikaitkan dengan jurnalisme, maka variasi tema biasanya akan dilakukan oleh jurnalis untuk mengaktualkan peristiwa sehingga tetap layak diberitakan. Variasi tema dalam tayangan Insert Investigasi mengenai kematian Sophan Sophiaan ini tentu dilakukan dengan maksud tersebut, yakni untuk mengaktualkan peristiwa agar tetap layak untuk disiarkan. Walaupun pelebaran tema ini juga memicu konsekuensi lain, yakni ketersediaan gambar untuk membangun program acara tersebut. Tidak jarang ditemui pengulangan gambar yang dilakukan oleh Insert Investigasi Trans TV untuk tema-tema yang berbeda tersebut. Namun karena tema yang saling berbeda, penonton seakan diajak pula untuk selalu memperbaharui wawasan tentang Sophan Sophiaan meski harus melihat gambar yang sama. Apalagi beberapa hari setelah Sophan Sophiaan meninggal dunia, disusul oleh meninggalnya Ali Sadikin. Ali Sadikin dan Sophan Sophiaan kebetulan memiliki kedekatan karakter, yakni sama-sama merupakan orang-orang yang berani berseberangan dengan penguasa (Orde Baru). Ali Sadikin yang merupakan mantan gubernur Jakarta (1966-1977) merupakan tokoh Petisi 50 di era Presiden Soeharto berkuasa. Petisi 50 merupakan sekelompok masyarakat yang menolak dicalonkannya kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya pasca Pemilu 1977. Kebetulan pula salah satu penanda tangan Petisi tersebut selain Ali Sadikin adalah Manai Sophiaan yang merupakan ayah kandung Sophan Sophiaan. Kebetulan yang tidak dirancang ini, akhirnya malah memperpanjang episode penceritaan Sophan Sophiaan di layar kaca. Jika dihitung sejak meninggalnya, artinya tayangan Sophan Sophiaan hampir memakan waktu seminggu lamanya. 31


Quo Vadis Televisi?

Dan Kematian pun Menjadi Hibuaran Dari data yang diperoleh melalui analisis isi kualitatif, diperoleh temuan bagaimana melalui sebuah proses kerja produksi media, peristiwa kematian tidak lagi hadir dalam suasana yang sedih dan duka. Sebaliknya, peristiwa kematian dikonstruksi sedemikian rupa, melalui teknik produksi tertentu, sehingga ketika dipertontonkan kembali justru memunculkan hiburan tersendiri. Di sini sebenarnya terlihat bagaimana kelihaian media melakukan konstruksi terhadap sebuah peristiwa, sehingga peristiwa berubah wajah ketika sampai di mata audiens. Termasuk dalam hal ini adalah peristiwa kematian. Peristiwa kematian yang sebenarnya merupakan peristiwa sedih dan duka, namun di tangan media (pekerja media) mampu membalik semua itu menjadi peristiwa yang justru memberian hiburan. Masalah bagaimana media mampu melakukan konstruksi sedemikian rupa, tentu mengingatkan pada beberapa konsep dalam komunikasi massa. Pertama, konsep framing. Konsep framing sebenarnya lebih banyak dimunculkan dalam kasus-kasus produksi berita (jurnalisme). Dalam jurnalisme, framing memiliki arti bagaimana media membingkai sebuah peristiwa. Artinya framing merupakan proses bagaimana media memberikan definisi, penjelasan, evaluasi, bahkan rekomendasi terhadap sebuah peristiwa. Muara dari framing adalah bagaimana media memberikan pemaknaan tehadap sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa dapat dimaknai dengan cara yang berbeda-beda. Bahkan dengan pemaknaan yang berbeda ini, sebuah peristiwa dapat tampil demikian berubah dibandingkan dengan realitas sosialnya ketika sudah menjadi teks media. (Nugroho, dkk, 1999). Dalam penelitian ini, peristiwa kematian Sophan Sophiaan yang merupakan peristiwa sedih dan duka, dapat sangat berubah wajah melalui proses framing ini, untuk kemudian menjadi sebuah tontonan ataupun bacaan yang menghibur ketika tampil di media massa. Lalu bagaiamana proses framing berlangsung di sebuah lembaga media? Proses framing berlangsung dengan menggunakan bahasa. Dalam berita, seperti teks surat kabar misalnya, tentu bisa dipahami, bagaimana pekerja media, dalam hal ini jurnalis, banyak bermain dengan bahasa ketika menuliskan realitas atau peristiwa yang diliputnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal tentu digunakan jurnalis untuk mengurai substansi peristiwa. Di sini pun, jurnalis perlu untuk memilih diksi dan menyusun kalimat yang sekiranya tepat untuk menggambarkan peristiwa. 32


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Selain bahasa verbal, jurnalis juga menggunakan bahasa non verbal. Bahasa non verbal digunakan untuk memberikan impresi khusus bagi pembaca. Ini bisa dilakukan dengan penentuan placement berita di lembar suratkabar, penulisan headline yang khusus (misalnya dengan huruf tebal dan tinta merah), kemudian memberikan tambahan foto (dengan angle, komposisi, warna, dan manipulasi tertentu) dan ilustrasi grafis tertentu (ilustrasi gambar, diagram, dan grafik misalnya) untuk memberikan kesan tersendiri bagi pembaca. Demikian pula dengan peristiwa kematian Sophan Sophiaan, di layar Insert Investigasi Trans TV. Terlihat jelas bagaimana pekerja media di lembaga media tersebut memanfaatkan semua potensi bahasa, baik verbal maupun non verbal untuk mengkonstruksi peristiwa kematian Sophan Sophiaan. Misalnya, bagaimana mereka melakukan editing gambar untuk membangun kesan kelanggengan hubungan antara Sophan Sophiaan dan Widyawati, memberikan ilustrasi musik tertentu untuk membangun suasana tahlilan yang dilakukan di rumah duka, bahkan menyusun secara khusus narasi cerita yang dilantunkan baik oleh presenter Insert Investigasi atau narator yang mendeskripsikan gambar-gambar tentang peristiwa kematian Sophan Sophiaan. Dalam konsep framing juga diutarakan, bahwa proses framing yang dilakukan oleh jurnalis dan lembaga media bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Artinya konstruksi yang dilakukan oleh jurnalis dan pekerja media terhadap sebuah peristiwa bukanlah tanpa kepentingan. Terdapat sejumlah kepentingan mengapa jurnalis dan lembaga media secara khusus melakuan konstruksi tertentu terhadap sebuah peristiwa. Jika bersinggungan dengan tradisi pemikiran kritis yang dipopulerkan oleh Marx, salah satu kepentingan tersebut adalah mendapatkan keuntungan. Di sinilah titik temu dengan konsep yang kedua, yakni kepentingan ekonomi atau bisnis media. Dalam pemikiran kritis Marx yang menyangkut media massa, diyakini bahwa media bukan merupakan saluran yang netral. Media massa pada dasarnya merupakan alat dari kelompok penguasa dominan untuk melakukan dominasi pada kelompok yang lain. Dengan menjadi alat dari kelompok dominan, isi media pun mencerminkan kepentingan dari kelompok dominan tersebut. Dalam kasus media, salah satu kepentingannya adalah kapital, dalam arti keuntungan yang sebesar-besarnya (Rogers, 1994: 102-125). Dari deretan iklan yang muncul di Insert Investigasi, dapat dibayangkan berapa banyak pendapatan yang diterima oleh Trans TV. Satu kali tayang 33


Quo Vadis Televisi?

saja Insert Investigasi mampu menayangkan hampir 50 iklan. Padahal iklan yang ditampilkan sering pula tidak hanya sekali. Sebuah produk iklan dapat ditayangkan dua hingga tiga kali dalam satu kali break iklan. Bila dihitung kasar saja, harga iklan tersebut adalah 10 juta rupiah per sekali tayang, artinya ketika ada 50 iklan, berarti pendapatan kotor Insert Investigasi Trans TV adalah 500 juta rupiah atau setengah milyar rupiah per tayangan. Padahal tayangan tentang kematian Sophan Sophiaan di Insert Investigasi tidak hanya sekali. Hampir satu pekan lamanya pasca kematian Sophan Sophiaan, tayangan Insert Investigasi menyiarkan tema tentang Sophan Sophiaan walau dengan angle yang berbeda-beda. Seperti dipaparkan pada data di atas, peristiwa kematian Sophan Sophiaan masih bisa diaktualkan ketika Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) juga meninggal dunia. Katakanlah bila tayangan tentang kematian Sophan Sophiaan muncul dalam lima kali acara Insert Investigasi, maka penghasilan kotor Insert Investigasi Trans TV mencapai 2,5 milyar rupiah. Ini tentu jumlah yang tidak kecil. Jumlah ini juga belum termasuk ketika peristiwa kematian Sophan Sophiaan ini ditayangkan dalam program Insert yang lain, seperti Insert Pagi dan Insert Siang. Dari sisi etis, yang kemudian bisa diperdebatkan adalah: apakah etis menayangkan peristiwa kematian, yang merupakan peristiwa sedih dan duka untuk kemudian mendapatkan keuntungan sedemikian rupa? Padahal bila belajar dari kasus penyiaran di negara-negara maju, penayangan kematian sangat kecil untuk melibatkan pengiklan. Yang paling diingat adalah siaran langsung dari peristiwa kematian dan pemakaman Putri Diana dari Inggris. Kematian dan pemakaman Putri Diana disiarkan langsung oleh BBC Inggris dan direlai oleh hampir semua stasiun televisi di dunia. Namun BBC pun memberikan syarat, bahwa siaran relai boleh dilakukan, namun tidak untuk kemudian dijual kepada pengiklan. Dari analisis inilah, ditemukan relevansi dengan konsep yang ketiga yakni komodifikasi. Seperti telah dinyatakan dalam kerangka teori, komodifikasi atau commodification adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Artinya bagaimana mengubah komoditi dari nilai gunanya menjadi nilai yang dapat dipertukarkan di pasar. Tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada 34


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya profit bagi pengusaha (dalam Mosco, 1996). Demikian pula dalam peristiwa kematian Sophan Sophiaan. Pemberitaan Sophan Sophiaan tentu dilakukan untuk memberitahukan bahwa ada sosok tokoh masyarakat yang meninggal dunia akibat kecelakaan. Ini sebenarnya peristiwa lumrah dan biasa. Sama halnya peristiwa kelahiran dan perkawinan yang juga selalu diikuti oleh pemberitahuan kabar akan peristiwa tersebut kepada orang-orang terdekat, demikian pula dengan peristiwa kematian. Peristiwa kematian pun selalu akan dikabarkan kepada orang-orang terdekat. Bila yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat, maka pengabaran atau pemberitahuan kematian pun biasanya akan bersifat massal dengan menggunakan fasilitas media massa. Namun karena yang mengabarkan adalah media massa yang berbasis industri (media massa komersial), maka pesan kematian pun harus melalui proses modifikasi. Proses inilah yang kemudian mengubah pesan kematian, tidak hanya untuk mengabarkan kematian semata, namun berubah wajah menjadi pesan kematian yang sifatnya komersial karena persentuhannya dengan industri (kapital). Di sinilah proses komodifikasi berlangsung. Dalam logika industri media massa, pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana mengkonstruksi teks media, yang tidak hanya memiliki nilai informatif namun juga laku jual. Laku jual di sini dalam arti diminati oleh audiens, baik penonton televisi maupun pembaca surat kabar (dalam hal ini adalah tabloid). Eksistensi audiens tentu memiliki arti penting bagi media massa yang berbasis industri. Audiens atau khalayak inilah yang akan dijual oleh pihak pengelola lembaga media kepada para pengiklan. Untuk media televisi, penjualan audiens ini biasa ditandai dengan rating yang biasanya dilakukan oleh lembaga rating di luar kuasa media. Sedangkan untuk media cetak, seperti surat kabar, majalah, ataupun tabloid tentu terlihat dari jumlah eksemplar media yang mampu dijual. Di sisi lain, pengiklan juga akan mempertimbangkan besar kecilnya audiens guna memperhitungkan pemasangan iklannya. Pertemuan kepentingan antara mendapatkan keuntungan bagi lembaga media massa dengan kepentingan dalam mendapatkan jumlah audiens yang memadai dari lembaga pengiklan inilah yang kemudian memaksa pihak pengelola 35


Quo Vadis Televisi?

media untuk dapat merancang sedemikian rupa pesan teks media agar dapat diminati audiens. Inilah yang terjadi pada Insert Investigasi Trans TV: bagaima para pekerja media berusaha mengemas sedemikian rupa teks media, dalam hal ini kematian aktor dan mantan politisi senior Sophan Sophiaan. Bahkan harus pula melakukan strategi tersendiri untuk mengaktualkan peristiwa tersebut, misalnya dengan memberikan angle atau sudut pandang berbeda. Ketika tema atau sudut pandang ini terasa sudah mulai tidak aktual setelah beberapa hari, Insert Trans TV mendapatkan ’berkah’ dengan kematian Ali Sadikin (tiga hari sesudah kematian Sophan Sophiaan). Proses komodifikasi pun terus berlangsung, karena memang secara tidak sengaja kedua tokoh yang meninggal juga memiliki relasi satu dengan yang lainnya. Keuntungan usaha yang diperoleh pun terus mengalir. Untuk menarik minat audiens, Trans TV dipaksa berpikir keras mengenai format tampilan pesan teks media. Peristiwa kematian harus dikemas sedemikian rupa hingga jauh dari kesan sedih dan duka. Ini dilakukan tentunya untuk menarik perhatian perhatian audiens. Kemasan yang ditampilkan kemudian adalah kemasan menghibur melalui teknikteknik produksi tertentu. Dalam kasus Insert Investigasi Trans TV, ini dilakukan melalui teknik pengambilan gambar, teknik editing gambar dan suara, serta ilustrasi musik. Selain itu juga dengan memberi tema atau sudut pandang atau angle yang bervariasi. Dari sinilah kemudian bisa dipahami bagaimana masalah etis dikesampingkan dalam peristiwa kematian. Dalam arti peristiwa kematian yang seharusnya bukan merupakan komoditi yang diperjualbelikan. Namun karena formatnya sudah berubah dalam proses produksi media, justru menjadi hiburan bagi audiens, yang kemudian menjadi sah apabila menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Dari pemaparan analisis data di atas, membawa pada konsep terakhir dalam penelitian ini, yakni necrocultura. Seperti dipaparkan di kerangka teori, Necrocultura merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Fabio Giovanni, memiliki pemahaman suatu kebudayaan di mana kematian menjadi kecintaan. Kematian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mengerikan atau kesedihan yang teramat sangat. Namun dikemas sedemikian rupa sehingga lebih merupakan perayaan daripada peristiwa duka cita (Giovanni dalam Sudiardja, 2002; 193). Bila dilihat dari pemaparan di atas, terlihat bagaimana persinggungan antara kepentingan kapitalistik media mengubah wajah realitas kematian Sophan Sophiaan. 36


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Kematian Sophan Sophiaan jelas melahirkan perasaan duka yang mendalam bagi pihak yang ditinggalkannya, khususnya Widyawati selaku istri dan Romi-Roma Sophiaan selaku putera almarhum. Sebagai sosok terkenal, kematian Sophan Sophiaan pun diberitakan di media massa, termasuk di Insert Investigasi Trans TV. Namun karena Trans TV berada dalam satu latar sebagai media komersial, Insert Investigasi Trans TV perlu pula mengkonstruksi realitas tersebut secara khusus karena adanya kepentingan media tersebut untuk mencari keuntungan. Di sinilah sebenarnya persinggungan antara realitas kematian Sophan Sophiaan dengan kepentingan media yang kapitalistik bertemu. Perubahan wujud realitas kematian pun terjadi. Realitas kematian yang semula bernuansa kesedihan dan duka, berubah wajah menjadi tontonan yang memberikan penghiburan tersendiri bagi para audiensnya. Jadilah akhirnya sebuah perayaan kematian yang menghibur .... Penutup Merayakan realitas kematian bukan hanya milik adat istiadat dan budaya tertentu dari sebagian keyakinan umat manusia. Merayakan kematian ternyata juga merupakan milik media massa. Trans TV mampu mengubah wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan memilukan, menjadi peristiwa dengan karakter yang menghibur. Semua dilakukan melalui proses pembingkaian. Proses pembingkaian yang melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun non verbal, dilakukan sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian tersebut. Insert Trans TV melakukannya dengan teknik produksi, baik melalui pemberian bumper in (penceritaan firasat dari si nara sumber), perpindahan gambar yang cepat dan manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik. Persinggungan antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi media (melalui proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah peristiwa kematian menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Pekerja media perlu mengemas sedemikian rupa realitas kematian Sophan Sophiaan tersebut, menjadi sebuah pertunjukan yang menghibur. Semua ini dilakukan dalam rangka mendapatkan iklan sebsar-besarnya. Insert Investigasi Trans TV dalam tafsiran penulis, mampu meraih sekitar 2,5 milyar rupiah dari pendapatan iklannya. Realitas kematian yang ditampilkan oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan duka, bahkan jauh dari menakutkan dan mengerikan. Konstruksi sedemikian rupa pada peristiwa kematian Sophan Sophiaan mampu 37


Quo Vadis Televisi?

memunculkan hiburan tersendiri bagi audiens media yang bersangkutan. Teks media pun menjadi bagian dari perayaan necrocultura itu sendiri. Daftar Pustaka Bharata, Bonaventura S. dan Dina Listiorini, 2007, Ekonomi Politik Bahasa Siaran dan Pekerja Media di Jaringan Radio Anak Muda – Studi Deskriptif Kualitatif di Radio Prambors, Yogyakarta, Riset Dosen Muda DIKTI Bordwell, David and Kristin Thompson, 2008, Film Art, An Introduction, Eight Edition, McGraw-Hill International, Cremer, Charles F, Phillip O. Kirstead, Richard D. Yoakam, 1996, ENG Television News, Third Edition, McGraw-Hill Companies Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, London, Routledge Itule, Bruce D. and Douglas A. Anderson, 2008, News Writing and Reporting for Today’s Media, McGraw Hill International, New York. Kurniati, Diah, 2006, Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis V/1 Januari-April, Depok, Departemen Komunikasi FISIPUI Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. California: Sage Publication Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis, Bandung, Penerbit Rosda Nugroho, Bimo, dkk, 1999, Politik Media Mengemas Berita, Jakarta, ISAI Rogers, Everett M., 1994, A History of Communication Study: A Biographical Approach, New York, The Free Press Suara Pembaruan, 06/02/2008, “Pak Harto Dongkrak Rating” diakses dari http:// indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html Sudiardja, A, 2002, Dan Kematian pun Semakin Akrab, Jurnal Ilmu Humaniora Baru Retorik I/3, November, Yogyakarta, Ilmu Religi dan Budaya USD Sumadiria, AS Haris, 2006, Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, Simbiosa Rekatama Media, Bandung Yusuf, Iwan Awaluddin, 2005, Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka – Semarang, Yogyakarta, UII Press

Catatan: 1

38

Berdasarkan data harian hasil survei elektronik kepemirsaan televisi AGB Nielsen Media Research yang diterima SP, baru-baru ini, jumlah pemirsa di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, yang menonton tayangan berita wafatnya Soeharto pada hari Minggu mencapai 5.504.000 pemirsa. Jumlah tersebut meningkat 1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya (Sabtu, 26/1) yang mencapai 5.005.000 orang, atau mencapai 15,3 persen dari total populasi


Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

2

3

individu yang memiliki televisi di empat kota tersebut dan berusia di atas 5 tahun yang berjumlah 36.008.962 orang. Sementara tayangan pemakaman Soeharto pada hari Senin ditonton oleh 5.935.000 pemirsa atau meningkat hingga 16,5 persen dari total populasi di keempat kota tersebut. (dalam http:/ /indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html) Sejenak mungkin perlu pula kita bercermin pada peristiwa serupa yang dialami oleh Putri Diana (Lady Diana) dari Inggris pada saat kematiannya di akhir Juli 1997 lalu akibat kecelakaan di sebuah terowongan terkenal (Pont d’Alma) di kota Paris - Perancis. Televisi BBC memperkenankan stasiun televisi lain di seantero dunia untuk ikut menyiarkan siaran langsung prosesi pemakamannya, namun BBC melarang keras stasiun-stasiun TV tersebut menyelipkan iklan dalam tayangan tersebut. Alasan etis merupakan landasan argumentasi BBC untuk pelarangan penyelipan iklan pada tayangan tersebut. Padahal acara tersebut diyakini ditonton tidak kurang dari satu milyar penduduk dunia. Sebuah angka fantastis yang pasti menggiurkan untuk para pemasang iklan di industri televisi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila tanah pemakaman kemudian mampu berfungsi pula sebagai taman bermain dan belajar anak-anak. Menjadi jamak pada masa sekarang, anggota masyarakat justru mengikuti program asuransi kematian sebagai sebuah persiapan. Dan tidak menjadi aneh apabila upacara kematian yang digelar oleh beberapa suku tertentu justru memakan biaya yang lebih besar daripada menyelenggarakan upacara pernikahan. Peluang-peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa orang sebagai sebuah bisnis yang menjanjikan.

39


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV Ery Kurnia Putri Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Beberapa acara yang ditayangkan di televisi kini makin mencemaskan. Banyak program acara televisi yang ditujukan untuk hiburan memunculkan adegan kekerasan, pengintaian, kecemburuan, pengejaran, kemiskinan, sensualitas, hingga mistis. Acara tersebut bahkan mengekspos hal yang semestinya dalam ranah privasi menjadi konsumsi publik. Lihat saja reality show yang menjamur di berbagai stasiun televisi. Acara semacam ini menyajikan berbagai kemasan serta realitas yang ingin disuguhkan kepada pemirsa. Dengan mengusung embel-embel ‘reality’ (kisah nyata), seolah menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya bosan dengan kisah-kisah sinetron yang ditayangkan di televisi yang selama ini dianggap ‘meninabobokan’ pemirsanya. Peristiwa atau hal yang sungguh-sungguh terjadi tentunya akan lebih bisa diterima oleh masyarakat. Respon pemirsa terhadap reality show pun cukup tinggi, dan bila dilihat dari segi biaya produksi, acara seperti ini lebih murah daripada membuat sinetron. Maka tak heran jika beberapa televisi swasta dan production house berlomba-lomba membuat acara serupa, seperti: Bedah Rumah (RCTI), Tolong (RCTI), Mata-mata (RCTI), Bukan Sinetron (Global TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Be a Man (Global TV), Pacar Pertama (SCTV), Maafin Gue Dong (ANTV), Curhat bareng Anjasmara (TPI), Termehek-mehek, Orang Ketiga, Realigi, Make Over (Trans TV), dan lain-lain. Drama Reality Realigi “Insyaflah wahai manusia jika dirimu bernoda. Dunia hanya naungan ‘tuk makhluk ciptaan Tuhan”. Lirik lagu ini merupakan pembuka pada bumper opening drama reality Realigi di Trans TV. Lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan dengan syahdu oleh Rita Effendi, seolah mewakili pesan dari acara itu, yakni meminta manusia untuk bertobat. Realigi ditayangkan setiap Senin dan 40


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Rabu, pukul 20.00-21.00. Tayangan ini dinamakan Realigi, sesuai kepanjangannya Realiti Religi, karena mengemas dan mengangkat unsur religi. Inilah yang membedakan acara ini dengan acara-acara reality lain. Acara ini seolah ingin menampilkan pesan serta nilai-nilai positif dari peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya, kisah tentang adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang menjadi pelacur; adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang berebut warisan; adik yang ingin menyadarkan kakak yang ingin menjual dirinya; ibu yang ingin menyadarkan anaknya dari jeratan narkoba; anak yang ingin menyadarkan ayahnya dari main perempuan; anak yang ingin menyadarkan ayahnya yang seorang banci; dan banyak kisah-kisah lainnya. Konflik-konflik yang terjadi pada tayangan tersebut sering mempertontonkan adegan kekerasan, seperti berantem dan adu mulut. Pada akhir cerita ditampilkan pertobatan seseorang yang insyaf (tobat) dari kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Bisa juga ending dari ceritanya adalah ganjaran atau akibat yang diterima oleh seseorang yang melakukan kesalahan. Pemahaman Mengenai Kekerasan Kebanyakan orang menganggap kekerasan dalam arti sempit, yakni sesuatu yang sifatnya brutal seperti: perang, pembunuhan, dan penganiayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 550), kekerasan dapat diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras: perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; paksaan. Sedangkan menurut James Potter (1999: 217) kekerasan adalah segala tindakan yang membahayakan seseorang atau suatu nilai seseorang, seperti fisik, harta benda, reputasi, atau pemikiran. Tindakan bisa dalam bentuk fisik maupun verbal; dampaknya bisa jadi fisik, emosi, atau psikologis. Sementara itu, Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari kekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique� atau kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus terjadi (Kristiawan, 2007). 41


Quo Vadis Televisi?

Rainy Hutabarat (2008) mengatakan bahwa kekerasan simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang dan hegemoni di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan dan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak. Unit konteks dalam penelitian ini adalah acara Realigi, sedangkan unit rekamannya adalah narasi dan visualisasi dari acara tersebut. Unit analisis dan kategorinya, yaitu: No Unit Analisis 1. Kekerasan 2. Jenis kekerasan

Kategori Durasi kekerasan (Jumlah detik) Fisik

Verbal Simbolik

Jenis Akibat Kekerasan

Fisik dan verbal. Fisik dan Simbolik. Verbal dan Simbolik Fisik, Verbal, dan Simbolik. Fisik Psikologis Fisik dan Psikologis

42

Dimensi (Indikator) Adegan Kekerasan Menendang, memukul, menampar, membanting, menusuk, menyiram, melempar barang, mendorong, membenturkan, menginjak, mencekik, menarik paksa, menceburkan, dihimpit, menabrak, mencakar, dan menjambak rambut. Memaki, membentak, menghina, memfitnah, mengancam, mencemooh, menakut-nakuti, memprovokasi, dan meremehkan. Kekerasan agama: label “dosa”, pengejaran. Kekerasan terhadap perempuan: kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan fungsional. Kombinasi fisik dan verbal. Kombinasi fisik dan simbolik. Kombinasi verbal dan simbolik. Kombinasi fisik, verbal, dan simbolik. Memar, luka-luka, dan rasa sakit yang dapat dilihat dari ekspresi wajah, bahasa tubuh dan suara (berteriak: “Aduh”, “Sakit”). Menangis, tertekan, marah, depresi, sedih, dan muram. Kombinasi fisik dan psikologis.


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Lima episode yang dianalisis dalam penelitian mengenai kekerasan dalam tayangan drama reality Realigi ini, yaitu: (1) Mantan narapidana yang meninggalkan keluarga (Senin, 31/08/2009); (2) Seorang kakak terkena kasus menghamili seorang perempuan (Rabu, 02/09/2009); (3) Suami yang suka selingkuh (Senin, 07/09/2009); (4) Anak yang salah pergaulan hingga terjerumus narkotika (Senin, 14/09/2009); (5) Kakak yang melupakan Ibunya (Rabu, 16/09/2009). Berikut ini pembagian durasi acara pada ke lima tayangan Realigi: No. 1.

Hari dan Tanggal Episode Senin, 31/08/2009

2.

Rabu, 02/09/ 2009

3.

Senin, 07/09/2009

4.

Senin, 14/09/2009

5.

Rabu, 16/09/2009 Total Durasi

Durasi Tayangan 40:27 (2.427 detik) 40:23 (2.423 detik) 40:00 (2.400 detik) 36:51 (2.211 detik) 38:58 (2.338 detik) 03:16:39 (11.799 detik)

Durasi Iklan 24:27 (1.467 detik) 17:50 (1.070 detik) 23:47 (1.427 detik) 18:46 (1.126 detik) 14:09 (849 detik) 01:38:59 (5.939 detik)

Total Durasi Acara 01:04:54 (3.894 detik) 58: 13 (3.493 detik) 01:03:47 (3.827 detik) 55:37 (3.337 detik) 53:07 (3.187 detik) 04:55:38 (17.738 detik)

Dalam tayangan Realigi tersebut terdapat porsi iklan yang cukup tinggi, terutama pada episode 31/08/2009, dengan durasi 1.467 detik (24 menit, 27 detik). Sementara total durasi acara yang paling tinggi juga pada episode 31/08/2009, yakni 3.894 detik (1 jam, 4 menit, 54 detik). Rata-rata durasi tayangan (tanpa iklan) pada tiap episode yaitu 2.360 detik (39 menit, 20 detik). Jumlah durasi iklan yang paling rendah pada episode 16/09/2009, yakni hanya 849 detik (14 menit, 9 detik), dengan total durasi acara terendah yakni 3.187 detik (53 menit, 7 detik). Durasi kekerasan pada tayangan Realigi: No. 1. 2. 3. 4. 5.

Episode 31/08/2009 02/09/2009 07/09/2009 14/09/2009 16/09/2009

Durasi Kekerasan 432 detik (7 menit 12 detik) 447 detik (7 menit 27 detik) 446 detik (7 menit 46 detik) 766 detik (12 menit 46 detik) 479 detik (7 menit 59 detik)

% 17,80 18,44 19,42 34,64 20,49

43


Quo Vadis Televisi?

Berdasarkan total durasi tayangan Realigi (tanpa iklan) sebesar 11.722 detik (1 jam, 40 menit, 16 detik), maka dapat dilihat prosentase durasi adegan kekerasan dari tiap episode Realigi sebagai berikut: aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa4% aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa 4% aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa 4% aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaa 6% aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaa 78% aaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaa 4% aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaa aaa 31 Agustus 2009 aaa aaaa aaaa 2 September 2009

7 September 2009

aa14 September 2009 aa aa aa 16 September 2009 aa aa Durasi Lainnya

Gambar 1: Diagram Prosentase Durasi Kekerasan pada Kelima Episode Realigi

Total durasi kekerasan pada kelima episode sebesar 23 persen, dimana prosentase durasi kekerasan pada episode 14/09/2009 lebih besar dari prosentase durasi kekerasan episode lainnya, yakni sebesar tujuh persen dari total durasi tayangan. Sebanyak 77 persen merupakan durasi lain yang tidak menunjukkan adanya adegan kekerasan. Meski demikian, adegan-adegan yang menampilkan akibat kekerasan seperti menangis, tertekan, dan murung dapat dilihat dari awal hingga akhir acara. Hanya saja penelitian ini mencoba mengukur bagaimana kekerasan yang muncul serta apa akibatnya, bukan mengukur seberapa besar akibat tindakan kekerasan itu sendiri. Adanya adegan-adegan yang menampilkan akibat kekerasan, menunjukkan indikator adanya adegan kekerasan yang terjadi. Jenis Kekerasan pada Tayangan Realigi Rata-rata prosentase durasi berdasarkan jenis kekerasan dari kelima tayangan Realigi tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Dari kelima tayangan Realigi tersebut, kita bisa menemukan rata-rata durasi tiap jenis kekerasan yang ada pada tayangan itu. Kekerasan fisik sebesar lima persen, kekerasan verbal sebanyak 26 persen, kekerasan simbolik sebanyak empat persen, kombinasi kekerasan fisik dan verbal (F&V) sebanyak enam persen, kombinasi kekerasan verbal dan simbolik 44


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV 5%

aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa 23% aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa26% aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa 2% aaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaa aaaaaa aaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaa6% 34% aaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaa

4%

aaa aaa Kekerasan Fisik aaa aaaa aaaa Kekerasan Verbal

Kekerasan Simbolik

aaKekerasan Fisik & Verbal aa

aa aa Kekerasan Verbal & Simbolik aa aa Kekerasan Fisik & Simbolik aaa aaa Kekerasan Fisiko, Verbal aaa

& Simbolik

Gambar 2: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Jenis Kekerasan dari Kelima Tayangan Realigi (31/08/2009–16/09/2009)

(V&S) sebanyak 34 persen, kombinasi kekerasan fisik dan simbolik (F&S) sebanyak dua persen, dan kombinasi kekerasan fisik, verbal dan simbolik (F,V&S) sebanyak 23 persen. Dapat dilihat disini durasi adegan kombinasi kekerasan verbal dan simbolik (V&S) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan lainnya, yakni sebesar 34 persen. Kekerasan Simbolik dalam Realigi Ada beberapa kekerasan dalam tayangan Realigi yang menunjukkan adanya bentuk-bentuk kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan agama dan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan Agama Tayangan drama reality Realigi yang dikemas secara religius dan Islami, menampilkan kisah reality dimana seorang klien meminta bantuan tim Realigi untuk menyadarkan seseorang yang dianggap telah melakukan kesalahan (dosa) atau dianggap telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Klien atau si pelapor ini meminta bantuan dengan harapan masalahnya dapat terselesaikan. Tim Realigi pun beraksi menemani klien melakukan pengintaian, pengejaran, dan memberi pengertian pada target dari klien. Ada semacam ajakan pada seseorang untuk bertobat. Berbagai adegan pun terjadi mulai dari adu mulut hingga kontak fisik. Di akhir acara, seseorang yang dianggap melakukan perbuatan yang menyimpang akhirnya bertobat, kembali pada jalan yang benar (agama). 45


Quo Vadis Televisi?

Acara ditutup dengan tampilan orang bertobat yang melakukan shalat diiringi backsound musik Islami, seolah ingin memberikan pesan moral bahwa kebaikan selalu berhasil mengalahkan yang jahat (konsep religius). Layaknya sebuah sinetron, kisah pun seolah berakhir happy ending. Waktu pertobatan cukup instant. Hanya beberapa hari syuting, tim Realigi dan klien berhasil menyadarkan seseorang (yang dianggap berdosa) untuk bertobat atau kembali pada ajaran agama. Kekerasan simbolik terjadi, salah satunya dalam bentuk kekerasan agama, yakni pemaksaan terhadap seseorang untuk bertobat sesuai ajaran agama. Justifikasi bahwa seseorang bersalah dan harus kembali pada sesuatu yang dianggap benar (agama)—dikarenakan perbuatan menyimpang—dianggap merugikan atau menyakiti pihak lain. Kekerasan agama dapat ditemukan pada tiap episode yang sebagian besar berupa adegan pengejaran pada target yang dilakukan oleh klien dan tim Realigi. Hal tersebut merupakan simbol adanya pemaksaan terhadap seseorang, terlepas apakah orang tersebut bersalah atau tidak. Target lari dan selalu menghindar karena dirinya merasa tidak nyaman dan terancam. Terlebih lagi, target justru merasa takut dengan banyaknya orang dengan membawa kamera menghampirinya seolah hendak menghakiminya. Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan simbolik terhadap perempuan meliputi segala bentuk kekerasan berbasis jender dimana pihak yang dominan (dalam hal ini laki-laki) merasa berhak menentukan makna dari suatu hal sebagai satusatunya pandangan yang paling benar. Sementara pihak yang terdominasi (dalam hal ini perempuan) menerima proses ini sebagai sesuatu yang memang seharusnya berlaku. Di sini terjadi semacam proses ‘naturalisasi’ ketika perempuan menerima bentuk kekerasan simbolik dari laki-laki sebagai suatu hal yang wajar. Lima episode Realigi (31/08/2009-16/09/2009), ternyata menampilkan bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Kekerasan simbolik tersebut meliputi: kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan fungsional. Kekerasan simbolik terhadap perempuan pada tayangan Realigi dapat dilihat dari simbol-simbol baik teks maupun visual yang ditampilkan. Sebagian besar klien atau pelapor yang meminta bantuan tim Realigi adalah perempuan. Mengapa? Secara tidak langsung hal tersebut 46


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Gambar 3: Cuplikan Adegan Dalam Tayangan Realigi. Klien atau pelapor yang kebanyakan perempuan sedang curhat pada Erwin

menunjukkan bahwa perempuan adalah kaum lemah yang tidak mampu menyelesaikan persoalannya. Perempuan, dalam hal ini si pelapor harus meminta bantuan pada Erwin (host Realigi) beserta timnya untuk membantu menyadarkan orang lain yang dianggap telah melakukan suatu kesalahan (dosa). Kita lihat saja, bagaimana Erwin yang adalah laki-laki seolah berperan melindungi klien (perempuan) terutama saat klien harus bersinggungan atau bersitegang dengan laki-laki. Sosok laki-laki dalam Realigi dianggap lebih memiliki power atau kekuatan untuk menyelesaikan persoalan. Kekerasan ekonomi terhadap perempuan juga ada dalam tayangan Realigi ini. Misalnya, pada episode 31/08/2009, kita melihat bagaimana Pak Joko justru menelantarkan anak dan istrinya setelah ia keluar dari penjara. Sang istri menderita gangguan jiwa akibat perbuatan suami sehingga ia harus dirawat di rumah sakit jiwa. Pada episode 02/09/2009, kita lihat saat Bella diperas oleh Hadi kakaknya.

Gambar 4: Cuplikan adegan dalam tayangan Realigi (07/09/2009) Mario memakai uang Nadia hanya untuk bersenang-senang dan main perempuan (gambar kiri). Wulan mengaku dihamili oleh Mario (gambar tengah). Nadia sedih memergoki Mario telah menikah lagi (gambar kanan).

47


Quo Vadis Televisi?

Pada episode 07/09/2009, kita melihat Mario sebagai suami yang tidak bertanggung jawab. Sejak menikah ia tidak pernah memberi nafkah pada Nadya. Sebaliknya justru Nadya yang membiayai kehidupan Mario yang hanya digunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Selain kekerasan ekonomi, ada lagi kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seperti: pemerkosaan, dicium paksa, digerayangi paksa, namun segala bentuk pelecehan yang berkaitan dengan seksual merupakan kekerasan seksual. Pemakaian kata ‘pakai’ pada episode Suami Selingkuh (07/09/2009), teks tersebut menyamakan perempuan dengan barang yang bisa dipakai. ‘Dipakai’, memiliki arti tidur bersama (hubungan suami-istri). Kata-kata ‘pakai’ biasa digunakan pada barang yakni menggunakan suatu barang. Perempuan dengan kata ‘pakai’ seolah dianggap barang atau makhluk yang rendah yang bisa ‘dipakai’ siapa saja, kapan saja, dan bisa dibuang apabila sudah tidak dapat dipakai lagi, layaknya barang yang sudah usang. Pada episode ini juga ditampilkan adegan mesra dan ciuman (di-blur) yang dilakukan Mario dengan beberapa wanita, mengesankan bahwa lakilaki seolah dibenarkan untuk berselingkuh dengan perempuan lain. Kekerasan seksual di sini, perempuan seolah bebas dan gampang untuk dicium, dirangkul sekalipun oleh laki-laki yang telah bersuami.

Gambar 5: Cuplikan adegan pada tayangan Realigi episode 02/09/2009 Seorang perempuan keluar dari kamar Hadi.

Pada episode 02/09/2009, Hadi dipergoki neneknya tengah tidur bersama seorang perempuan di kamar. Perempuan tersebut lalu keluar kamar (di-blur) dan dimarahi oleh Bella adik Hadi. Di sini perempuan digambarkan bisa ‘tidur’ dengan laki-laki. Hadi yang terkena kasus menghamili seorang perempuan, menunjukkan bahwa perempuan memiliki resiko lebih besar ketika melakukan hubungan seks tanpa status pernikahan. Ketika hamil, perempuan harus repot meminta pertanggung 48


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

jawaban laki-laki yang menghamilinya, walaupun si laki-laki belum tentu mau bertanggung jawab. Dilihat dari kasus ini, perempuan lebih diberatkan sebagai pihak yang menanggung malu (aib) atas perbuatan yang melanggar susila. Perempuan menjadi pihak yang dipersalahkan dan dicemooh oleh orang lain. Dalam konteks kekerasan simbolik, dapat kita lihat bahwa apa yang dialami oleh perempuan pada lima episode di atas merupakan suatu hal yang dianggap lumrah atau sewajarnya perempuan menerima perlakuan yang demikian. Perempuan tidak punya pilihan lain selain menuruti apa aturan laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan inilah yang mungkin tidak disadari oleh si perempuan bahkan oleh pemirsa yang menonton acara tersebut. Perempuan dikonstruksi sebagai kaum yang lemah. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum pria dipandang pantas berbuat semena-mena, seperti meninggalkan istri, selingkuh, berperilaku dan berkata kasar. Pria sebagai kepala rumah tangga dianggap memiliki kekuasaan lebih atas istri. Konstruksi di atas juga tak terlepas dari kesepakatan yang dibentuk oleh kaum mayoritas (pria). Mayoritas disini bukanlah jumlah, melainkan kekuasaan atau kemampuan dalam mengendalikan pihak lain (yang tertindas). Akibat Tindakan Kekerasan dalam Realigi Akibat psikologis yang tampak bisa berupa guncangan jiwa (sakit), emosi dan perasaan tertekan. Akibat dari tindakan kekerasan pada tayangan Realigi ini sebagian besar berakibat pada aspek psikologis si aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa 65% aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa 35% aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaa aaa aaa Psikologis

aa aa Fisik & Psikologis

Gambar 6: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Akibat Kekerasan dari KelimaTayangan Realigi (Episode: 31/08/2009 – 16/09/2009)

49


Quo Vadis Televisi?

penderita dibandingkan dengan akibat fisik yang diderita, karena lebih banyak mengandung kekerasan verbal. Pada tiap episode tayangan Realigi ini dapat kita lihat bagaimana tekanan psikologis begitu ditampilkan sejak awal tayangannya, yaitu pada saat klien menceritakan permasalahannya pada tim Realigi. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi dan juga gesture (gerak tubuh) yang mencerminkan seseorang yang tengah menghadapi masalah dan beban berat.

1

2

3

4

5

6

7

8

Gambar 7: Cuplikan adegan-adegan yang menunjukkan adanya akibat psikologis dari tindakan kekerasan dalam tayangan Realigi

Dari kelima tayangan Realigi tersebut diatas, maka didapati rata-rata durasi tiap akibat kekerasan yang ada pada tayangan itu. Terdapat akibat psikologis sebesar 65 persen dan kombinasi akibat fisik dan psikologis sebanyak 35 persen. Dapat dilihat disini rata-rata durasi akibat psikologis jauh lebih tinggi yakni sebesar 65 persen, dibandingkan dengan akibat fisik maupun kombinasi akibat fisik dan psikologis. Pada cuplikan gambar diatas dapat kita lihat: (1) Bulan sedih mengingat Ayahnya. (2) Bella sedih mendapat kabar neneknya sakit karena tertekan. (3) Nenek Bella shock, jatuh pingsan setelah bertengkar dengan Hadi, cucunya. (4) dan (5) Nadia sedih karena suaminya selingkuh. (6) Ibu Ina stres akibat Naya putrinya yang salah pergaulan. (7) Naya yang begitu tertekan karena tidak bisa menerima kedekatan 50


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Ibunya dengan sahabat almarhum ayahnya. (8) Ibu Nia sedih akibat perlakuan menantunya yang tidak menghargainya. Proporsi akibat tindakan kekerasan pada kelima episode tayangan Realigi tersebut didominasi akibat psikologis. Akibat psikologis lebih banyak terjadi dibandingkan akibat fisik yang diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari ekspresi wajah seseorang yang mengalami kekerasan, yakni adanya perasaan tertekan dan sedih. Realigi: Antara Kenyataan dan Rekayasa Seperti hal-nya Termehek-Mehek, Realigi pun pada akhirnya menyebut ‘dirinya’ sebagai drama reality, karena adanya unsur dramatisasi dan rekayasa. Peneliti menemukan temuan yang cukup menarik selama mengamati beberapa program drama reality di Trans TV. Misal saja ada salah satu peran dalam Termehek-Mehek yang pernah muncul di acara reality show ‘Ahmad Dhani Mencari Istri’ di SCTV. Kemudian peneliti secara tidak sengaja menemukan pemain Realigi, yakni Ibu Ina (Realigi episode 14/09/2009) juga muncul di reality show Orang Ketiga di Trans TV. Jika dalam Realigi Ibu Ina berperan sebagai orang tua tunggal yang mengalami kesulitan ekonomi sejak suaminya meninggal dan hanya memiliki seorang anak yaitu Naya, dalam Orang Ketiga Ibu Ina berperan sebagai seorang ibu yang kaya dan hendak mengikuti putrinya yang bermasalah. Putri Ibu Ina dalam Orang Ketiga bukanlah Naya. Dari temuan tersebut dapat kita lihat bahwa acara Realigi sebagai salah satu program drama reality unggulan Trans TV sama hal-nya dengan Termehek-mehek memang tidak murni kenyataan. Pihak Trans TV di harian Surya (12/06/2009) menyatakan, drama reality Termehek-Mehek yang direkayasa. Acara semacam ini bisa diangkat berdasarkan pada kisah nyata namun dihadirkan kembali dengan unsur dramatisasi agar menarik. Hal yang perlu disikapi, ketika tayangan semacam itu hadir dan disaksikan oleh orang awam, maka tayangan tersebut akan dianggap sebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Kasus-kasus yang dibumbui kekerasan ditampilkan cukup sering dan ditayangkan cukup intensif (dua kali dalam seminggu) seolah menggambarkan bahwa hal itu banyak terjadi di masyarakat kita dan dapat diterima sebagai suatu kewajaran, padahal bisa saja kasus itu hanya terjadi di sebagian kecil masyarakat kita.

51


Quo Vadis Televisi?

Kesimpulan Kekerasan sangat terasa ada pada kelima episode Realigi (episode 31/ 08/2009 hingga 16/09/2009). Kekerasan yang ditampilkan meliputi: kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik (kekerasan agama dan kekerasan terhadap perempuan). Secara keseluruhan, terdapat rata-rata tampilan adegan kekerasan sebesar 23 persen dari total durasi acara (tanpa iklan). Jika dilihat dari durasi adegan kekerasan pada kelima tayangan Realigi tersebut secara keseluruhan, rata-rata kombinasi kekerasan verbal dan simbolik menempati urutan paling tinggi yakni sebesar 34 persen. Konflik adu mulut memang lebih sering terjadi daripada kekerasan fisik seperti penyerangan dan pemukulan. Tayangan drama reality ini bukan film perang yang penuh dengan adegan action. Meski demikian, tayangan ini tetaplah mengandung unsur kekerasan yang seolah nyata dan sungguh-sungguh terjadi, terlebih lagi dengan adanya bentuk kekerasan simbolik. Lain hal dengan pemirsa yang menonton film kekerasan secara sadar dan paham bahwa itu hanyalah merupakan akting serta cerita fiksi semata. Dengan embel-embel: “Tayangan drama reality ini telah mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak yang terlibat�, justru mengesankan bahwa acara tersebut memang nyata, padahal mungkin saja tidak. Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut, pengintaian, dan kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki nilai edukasi khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih ditayangkan pada prime time. Daftar Pustaka Bourdieu, Pierre. 1995. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press, Cambridge. Jamil, Salmi. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3. 2001. Balai Pustaka, Jakarta. Krippendorff, Klauss. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Rajawali Press, Bandung. Moi, Toril, 2000. Apropriating Bourdieu: Feminist Theory and Pierre Bourdieu’s Sociology of Culture, dalam Pierre Bourdieu, vol. IV. Sage Publications Ltd, London. Muhadjir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin, Yogyakarta. Mulyana, Deddy. 1997. Bercinta dengan Televisi. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Potter, W. James. 1999. On Media Violence. Sage Publications, Inc, USA.

52


Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV Putranto, Agus. 2004. Analisis Isi Suatu Pengantar dalam Praktek, dalam Metode Penelitian Komunikasi. Ed, Birowo, Antonius. Gitanyali, Yogyakarta. Santoso, Thomas. 2002. Teori – teori Kekerasan. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Subono, Nur Iman. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation. Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta. Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Kanisius, Yogyakarta. Putranti, Basilica Dyah. 2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Budaya Jawa: Studi di Kampung Urban Yogyakarta. http:// www.ppk.lipi.go.id/file/buletin/Artikel%204%20Basilica%20Dyah%20 Putranti.doc. Diakses pada 11 Januari 2010. Jahroni, Jajang. 2006. Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama. http:// islamlib.com/id/artikel/tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama. Diakses peneliti pada 26 April 2010. Atmojo, Juwono Tri. Modul Analisis Isi (Content Analysis), Universitas Mercubuana Jakarta. http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/940108296719548286.pdf. Diakses peneliti pada 3 Maret 2010. Harun, Kristiawan. 2007. Kekerasan Simbolik di Sekolah. http:// kristiawanharun.multiply.com/journal/item/2. Diakses peneliti pada 11 Januari 2010. Hutabarat, Rainy MP. 2008. Tentang Kekerasan Simbolik. http:// yakomapgi.wordpress.com/2008/01/07/tentang-kekerasan-simbolik/. Diakses 11 Januari 2010. Termehek-mehek Bohongi Pemirsa. Jumat, 12 Juni 2009. http://www.surya.co.id/2009/ 06/12/termehek-mehek-bohongi-pemirsa.html

53


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan Desideria Cempaka Wijaya Murti, Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Meredian Alam, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Oslo, Norwegia

Wayang kulit dari Jawa khususnya, mengisyaratkan ketampanan Arjuna dengan perut yang tipis, muka yang halus, dada bidang, dan badan kerempeng. Ksatria Pandawa seperti Yudistira, Nakula dan Sadewa pun digambarkan memiliki tubuh yang kecil dan langsing dengan perut kecil, bentuk badan yang lincah dan kurus. Adapun Bima atau Wrekudara meskipun berbadan besar seperti raksasa, dalam penggambaran melalui media wayang dibentuk dengan perut belikat ramping dan badan yang tinggi. Lain halnya dengan gambaran para Kurawa atau Buto Cakil yang bermain antagonis dalam pewayangan Jawa, digambarkan dengan perut buncit, badan yang menggelambir, dan postur yang lambat serta membungkuk. Wajah pun digambarkan bertaring, bermuka lebar dan berbadan besar. Sebagai sebuah media hiburan pada masa 50 tahun yang lalu, wayang menjadi media promosi bagi ajaran agama, kebijakan, dan kearifan lokal. Selain itu juga menjadi sebuah media yang mengkonstruksikan dan membentuk pemikiran masyarakat kala itu mengenai arti sebuah ketampanan (Utami, 2008). Wayang sebagai media tontonan saat itu sudah mengklasifikasikan definisi ketampanan atau kesatria dengan gambaran atau wujud wayang Pandawa yang langsing, kurus, berperut tipis, berbadan tegap, lincah, serta berbahu bidang. Sedangkan klasifikasi untuk pria jelek, antagonis, tidak kesatria, dan jahat cenderung digambarkan buncit, badan menggelambir dengan lemak, prostur yang bungkuk dan terlihat lambat. Semar juga digambarkan buncit, pendek, terlihat lambat tetapi berperan protagonis dan bijak, tetapi tidak termasuk kategori wayang yang tampan. Setelah periode dominasi TVRI usai (1962-1971) dan munculnya Surat Keputusan Menteri Penerangan No.190A/KEP/MENPEN/1987 yang berisi perluasan konsepsi mengenai pertelevisian dengan mengadakan apa 54


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

yang disebut sebagai siaran saluran umum, mulailah media televisi swasta yang masuk dalam industri televisi (Budi, 2004). Variasi program yang dihadirkan oleh televisi telah membuat masyarakat selangkah dua langkah melupakan wayang dan kategorisasi wayang dalam gambaran ketampanannya. Tetapi masyarakat, dalam hal ini obyek positioning dari penggambaran ketampanan itu tetap ada. Media televisi yang berperan sebagai media massa juga menyuguhkan gambaran mengenai apa dan bagaimana sebenarnya tampan itu. Ajang di televisi swasta yang menayangkan mengenai kompetisi priapria tampan dan berotot yang diprakarsai dan disponsori oleh merek susu pembentuk tubuh terkenal L-Men, memberikan visualisasi mengenai kategori ketampanan ini. Berbeda dengan wayang, kontes ajang pria ini, dalam hal ini disebut Handsome Pageant or Muscle Pageant menggambarkan proses perlombaan yang sudah memasuki babak final. Para penonton divisualisasikan proses seleksi yang cukup ketat dalam pemilihan Pria LMen. Dari 2.500 peserta di 10 kota yang diaudisi, pada akhirnya hanya ada 12 grand finalist pria L-Men. Finalis ini akan dipilih satu yang menjadi L-Men of The Year, dan bertanding di Mr. International yang akan diselenggarakan di Indonesia tahun 2010 ini. Tidak ada satu pun pria yang masuk ke babak final ini bertubuh kurus, kerempeng, atau sebaliknya bertubuh gemuk dan berperut buncit. Pemirsa televisi disuguhi pria-pria yang masuk final sebagai pria tampan, berkulit mulus agak kecoklatan, maupun jenis kulit putih yang mendominasi finalis L-Men. Pria-pria ini memiliki postur tubuh tegap, berperut six-packs atau berkotak-kotak berjumlah enam, dan badannya mengeluarkan otot-otot yang membentuk badannya sedemikian rupa, dalam bahasa Jawa digunakan istilah pothok, atau muscle man dalam istilah Bahasa Inggris. Jenis postur tubuh ini mengisyaratkan ketampanan seorang pria yang dilihat dari kegagahannya dan kekesatriaannya. Tubuh berotot yang berasal dari latihan keras di fitnes center atau gym diharapkan nantinya dapat menghasilkan pria yang tampak kuat dan mampu melindungi wanita. Jika melihat postur tubuh ini, penonton mungkin akan cenderung membayangkan Superman (Super Hero dari Amerika) dari pada Arjuna. Agaknya jika dibayangkan lebih jauh, mungkin Janaka atau Arjuna akan sulit untuk masuk babak final di ajang ini mengingat tubuhnya yang kerempeng dan perutnya yang tipis dan one pack, meskipun pada era keemasannya Arjuna disebut-sebut mampu memikat banyak wanita, 55


Quo Vadis Televisi?

seperti Woro Srikandhi, Woro Sembodro, Larasati dan lain-lain. Atau akan sulit jika kini ada gubahan bentuk wayang Pandawa menjadi bentuk wayang yang berotot dan berbentuk six packs untuk mengikuti tren ketampanan masa kini, mungkin justru masyarakat akan merasa aneh jika postur tubuh six packs dimasukkan dalam wayang. Apakah Arjuna, jika mengikuti seleksi Man Peageant ini dapat lolos sampai tahap final dan menang atau tidak bukan hal yang penting. Tetapi yang perlu diperhatikan dengan jeli adalah bahwa media massa baik itu wayang maupun media televisi dalam tayangan L-Men misalnya, memiliki pedoman dan kategorisasi dalam arti ketampanan itu sendiri. Mitos Ketampanan Jaman memang berubah, jenis ketampanan pun berubah. Hanya keberadaan ukuran ketampanan itu yang tetap ada. Ketampanan yang berubah dari jaman ke jaman, dari bangsa ke bangsa menjadikan ketampanan menjadi sebuah wacana sosial. Ketampanan ini adalah sebuah konstruksi sosial yang nantinya mengarah pada sebuah mitos yang oleh kelompok tertentu berkuasa untuk memaknai dan menyebarkan pemaknaan itu kepada masyarakat luas Pengertian mitos di sini tidak hanya menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tentang dewa-dewi atau cerita Nyi Roro Kidul misalnya– melainkan sebuah cara pemaknaan. Roland Barthes (dalam Hermawan, 2008) menyebutnya sebagai tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos muncul dalam kurun waktu tertentu, kemudian hilang atau tenggelam oleh mitosmitos yang lain. Oleh sebab itu, Barthes melihat bahwa mitos bukanlah tanda yang tak berdosa, netral atau bebas nilai; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang bisa jadi sangat berbeda dengan makna asalnya. Mitos juga tidak dapat disebut salah atau dinilai salah sehingga dipertentangkan dengan kebenaran. Tetapi mitos merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi saat sebuah praktik penandaan dilakukan sehingga memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks menggambarkan situasi sosial budaya, mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melalui naturalsasi sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan atau ketampanan, pembagian peran dalam 56


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

gender dan lain-lain. Charles Darwin (Danandjaja, 1986 dalam Sumaryono, 2009) menyebutkan bahwa dalam mitologi terjadi evolusi (evolusi kebudayaan sama halnya dengan evolusi biologi), dan Andrew Lang juga menyatakan bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan berevolusi. Sehingga dapat dikatakan disini bahwa mitos ketampanan itu ada dan mengalami evolusi dari jaman ke jaman. Perubahan evolusi mitos ketampanan yang dulu mirip seperti wayang dengan tubuh yang kurus lincah dan berperut tipis yang menggambarkan pria-pria Jawa masa lampau telah terganti menjadi pria bertubuh besar berperut six packs yang menggambarkan pria-pria superhero seperti Batman dan Superman. Jenis ketampanan yang berevolusi ini terjadi dalam tataran kognitif pada paradigma masyarakat. Teori sosial konstruktivisme dalam buku An Introduction to Social Constructionism oleh Vivien Burr (1995) menyebutkan: “Social constructionis a concept or practice that is the construct (or artifact) of a particular group. When we say that something is socially constructed, we are focusing on its dependence on contingent variables of our social selves.� Dalam wacana ini, teori tersebut menguatkan pendapat bahwa konstruksi social mengenai ketampanan itu dibentuk oleh kelompok tertentu. Suatu kelompok yang melihat bahwa konstruksi ketampanan tersebut pada akhirnya akan membawa mereka pada tujuantujuan tertentu misalnya sales atau penjualan dan acceptance atau penerimaan masyarakat. Rekonstruksi Ketampanan Mengkaji masalah tampan dan tidak tampan, sebenarnya merupakan salah satu kajian tentang substansi dalam fenomena kebudayaan manusia, yakni berkaitan dengan sistem komunikasi dan persepsi yang mengikutinya. Hanya dengan komunikasi yang efektif dan intensif maka kebudayaan manusia dapat dibentuk, diubah, atau dipertahankan. Umberto Eco menyebutkan dalam The Theory of Semiotics (1976): “Culture is signification and communication and that humanity and society exist only when communicative and significantive relationship are established� (dalam Kasiyan, 2008: 78). Sehingga ketika suatu fenomena social akan diangkat menjadi bagian dari budaya itu sendiri, maka ada proses komunikasi dan proses signifikansi dari substansi dan signifansi hubungan yang dibangun. Budaya sendiri mewujud dalam bentuk symbol-simbol, AL Kroeber dan C. Kluckhon dalam A Critical Review of Concepts and Definition yang 57


Quo Vadis Televisi?

menyebutkan bahwa substansi budaya adalah berupa bentuk-bentuk, baik secara implicit maupun eksplisit yang ditransmisikan melalui symbol-simbol, secara konstruktif oleh sekelompok manusia. Seperti berikut ini: “Culture consist of patterns, explicit and implicit, of and for behaviour acquired and transmitted by symbol, constituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments in artefacts.� (Liang Gie,1977: 127) Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol ketampanan itu masuk dalam bentuk-bentuk yang secara eksplisit maupun implisit disampaikan melalui simbol baik dalam wayang maupun dalam kontes Man Peageant seperti L-Men. Simbol tersebut ditransmisikan secara signifikan oleh interpretasi sekelompok orang sehingga simbol tersebut pada akhirnya melahirkan arti yang ditangkap oleh banyak orang. Seperti dalam istilah Ernest Cassier dalam bukunya An Essay on Man, An Introduction to a Philosophy of Human Culture, yang menyebutkan bahwa “human is anima symbolicum� atau hewan yang suka menyimbolkan sesuatu (Herusatoto, 2001: 9). Lebih tegas lagi Wieman dan Walter (1957) menyebutkan bahwa daya simbol ini yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup manusia, bahwa manusia menangkap data melalui inderanya dan membuat simbol pada data tersebut. Manusia kemudian membuat arti dari simbol tersebut dan secara turun temurun mentransfer pengetahuan tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam konstruksi mengenai ketampanan ini, jaman dulu wayang mengalami proses simbol dari manusia, yakni manusia menangkap data melalui indera yakni cerita pewayangan itu sendiri dan bentuk tubuh manusia dinilai yang ideal saat itu menjadi bentuk wayang lalu kemudia ditransfer turun-temurun melalui budaya cerita wayang dan pertunjukkan wayang. Dalam kasus ini budaya pertunjukan wayang menjadi media komunikasi untuk mentransfer ilmu dan perspektif mengenai ketampanan itu. Sejalan dengan pudarnya budaya pertunjukkan wayang dan diganti dengan kotak ajaib bernama televisi yang menampilkan berbagai macam cerita dan pertunjukkan, maka ada perubahan media yang signifikan dan perubahan pesan pula. Konstruksi mengenai ketampanan ini tetap ada tetapi mengalami pergeseran atau perubahan. Sekelompok orang dalam industri pertelevisian dan produsen yang masuk dalam industri bina raga (seperti susu pembentuk otot tubuh ini) menangkap data melalui indera 58


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

misalnya film-film barat seperti Superman atau Batman yang memiliki tubuh six packs kemudian membuat simbol atas data yang mereka tangkap, lalu membuat arti dalam simbol itu yakni ketampanan dan kegagahan lalu diturunkan dan ditransfer dari generasi ke generasi melalui televisi. Hal ini dapat dilihat perbedaan persepsi mengenai bentuk pemikiran mengenai ketampanan dulu dan sekarang. Perubahan itu sejalan dengan wacana Goldmann mengenai vision du monde atau visi duniawi, yakni kesadaran kolektif terhadap totalitas pikiran yang ekspresinya bisa berupa aspirasi atau perasaan, yang sama sekali bukan kenyataan empiris (Wibowo, 2003). Visi duniawi ini muncul seiring dengan krisis sosial dan menurut Goldmann pula visi duniawi ini selalu mencerminkan pandangan kelas sosial karena tumbuh dan berkembang dari situasi social ekonomi tertentu yang dihadapi suatu komunitas. Visi duniawi ini misalnya tentang simbolisasi ketampanan tersebut bagaimana terdapat pembentukan kesadaran kolektif terhadap pemikiran mengenai ketampanan yang berupa aspirasi pembentukan tubuh pria dan pembentukan pandangan ini diikuti dengan kenyataan yang bukan empiris. Sehingga ketampanan yang dikonstruksikan oleh sekelompok orang yang terlibat dalam industri pembentuk ketampanan seperti produsen yang mengklaim memiliki produk yang mampu menunjang ketampanan seseorang, semakin kuat. Dengan demikian tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembentukan konstruksi ketampanan ini dianggap identik dengan tokoh model heroisme kapitalis industri ketampanan. Jika kini dapat dilihat mengenai rekonstruksi ketampanan yang berbeda dengan ketampanan pada jaman keemasan wayang maka dapat kita lihat arah kiblat ketampanan itu sendiri. Jika industri produk-produk pria dikuasai oleh hegemoni perusahaan dari barat, maka tidak heran bahwa konstruksi ketampanan itu sendiri akan berkiblat ke barat, sebagai standard acuan industri tersebut. Komunikasi Pemasaran dalam Konstruksi Ideal Iklan didefinisikan oleh Coutland Bouvee dan William Arens dalam Contemporer Advertising sebagai “non-personal communication of information that paid for and naturaly persuasive about product, service or idea that identified the sponsor through various media� (Bouvee and Arens, 1986: 5) maka tayangan man paegeant dapat digolongkan dalam usaha untuk memperkuat iklan yang selama ini ada. Iklan dari produk susu pembentuk 59


Quo Vadis Televisi?

tubuh ini selalu menampilkan pria dengan bentuk tubuh six packs dan selalu diperlihatkan bagaimana para wanita menatap dengan terpukau pada badan si pria. Sebagai bentuk aktivitas yang mendukung iklan tersebut dilaksanakanlah suatu kompetisi ketampanan pria yang standarnya sesuai dengan keinginan produk tersebut. Philip Kotler dan Gary Armstrong (1984: 635) menyebutkan bahwa dalam aktivitas Marketing Communication, aktivitas yang mendukung antara lain advertising atau iklan, personal selling, sales promotion, publisitas dan public relations. Tayangan kontes ketampanan dan kegagahan ini masuk dalam aktivitas marketing communication. Industri yang menginginkan pembentukan konstruksi ketampanan ini menjadi semakin mengakar dibenak prospek, salah satunya adalah dengan proses komunikasi dan signifikansi sehingga harapannya adalah konstruksi ketampanan ini akan menjadi (bahkan) budaya dalam masyarakat Indonesia, yang dulunya konstruksi ketampanan itu seperti Arjuna yang kerempeng dan berperut tipis. Wahyu Wibowo (2003: 125) menyebutkan bahwa selain strategi 4P yang disebutkan oleh Phillip Kotler yakni Product (Produk), Price (Harga), Place (Kiat mengenai penenmpatan dan distribusi produk), dan Promotion (atau kiat bagaimana produk itu dipasarkan pada masyarakat luas, ada lagi satu strategi yakni Power atau kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan produsen untuk “memaksakan� penayangan iklannya, semua ini amat berkaitan dengan money atau seberapa besar modal yang dimiliki produsen untuk membentuk konstruksi masyarakat mengenai standar ketampanan sehingga akhirnya membeli produknya agar dapat sesuai dengan idealisme ketampanan yang dimaksud oleh produsen. Power dan 4P lainnya pada akhirnya ingin membentuk persepsi sesuai keinginan produsen. Persepsi berasal dari kata percipere yang berarti menerima, perseption, pengumpulan, penerimaan, pandangan (Komarudin, 2000:91). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 863) kata persepsi memiliki dua pengertian yaitu tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara menurut Rahmat (1998: 51) persepsi adalah pengamatan tentang objek peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi juga memberikan makna pada stimuli inderawi. Melalui beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional (Rahmat, 2004: 51 ). Sedangkan Krch dan Crutchfield (1977: 235) menyebutkan perpsepsi sangat dipengaruhi oleh faktor 60


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

fungsional dan faktor struktural. Persepsi mengenai ketampanan ini dibentuk dalam proses seperti yang disebut oleh Wahyu Wibowo dalam bukunya Sihir Iklan yakni: (a) Nilai, atau sikap kita terhadap faktualitas-juga aktualitas-berita atau informasi yang berkembang. Nilai seseorang dipengaruhi oleh apa yang dirasakan seseorang pula. Berdasarkan nilai, persepsi masyarakat luas terbentuk bahwa penyaji iklan memiliki kuasa untuk mengisi iklannya sekehendaknya dengan substansi yang bebas. (b) Unsur Budaya, dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah budaya konsemerisme yang mengalami proses pencampuran fakta dan imajinasi, sehingga gaya hidup yang ada dalam media diadopsi menjadi gaya hidup budaya masyarakat luas. Termasuk mengenai gaya hidup urban mengenai tubuh pria dan ketampanan. (c) Unsur Kepercayaan, yakni kepercayaan pada pengalaman masa lalu seseorang yang erat dipengaruhi oleh konsep atau prinsip kebutuhannya. Persepsi seseorang pada suatu produk terutama dalam hal ini tayangan di televisi mengenai kontes ketampanan dan iklan-iklan yang mendukungnya membawa pengalaman masa lalu pria-pria yang masuk dalam kategori finalis kontes yakni pengalaman masa lalu mereka saat mengkonsumsi produk sehingga menghasilkan tubuh seperti standar ketampanan yang dibentuk oleh produsen. Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan yakni tidak hanya produk yang terlibat dalam proses komunikasi pemasaran tetapi juga bisa konstruksi ideal, budaya, dan lain-lain. Bedanya wayang memiliki produk agama atau budaya lokal L-Men yang tujuan akhirnya adalah sales produk susu L-Men yang diharapkan meningkat. Konstruksi ideal atau figur sebenarnya hanyalah sebagai sebuah alat untuk memvisualisasikan output suatu produk sebagai brand ambassador, tetapi tujuan sebenarnya adalah sales. Wayang dan Televisi sebagai Media Persuasif Pertunjukan wayang pada masa keemasannya dulu, sangat digandrungi oleh banyak pemuda-pemudi pada zamannya, yang rela leklekan atau tidak tidur semalam suntuk untuk melihat pertunjukkan wayang yang menampilakn cerita-cerita Baratayudha atau Ramayana. Wayang yang pada saat itu juga sebagai media untuk mempromosikan kearifan dan ajaran agama memiliki perspektif sendiri terhadap ketampanan yang diwujudkan dalam bentuk wayangnya. Tetapi dalam hal ini kbentuk wayang tersebut merupakan pesan sekunder yang disampaikan, dan 61


Quo Vadis Televisi?

bukan merupakan pesan utama karena wayang sendiri tidak mewujudkan diri dalam bentuk manusia sesungguhnya, hanya dalam bentuk pupet atau boneka wayang. Sehingga konstruksi ketampanan itu sendiri tidak terlihat sebegitu signifikan seperti dalam tayangan televisi mengenai kontes pria tampan saat ini. Wayang hanya menunjukkan postur tubuh sebagai penunjang pesan utamanya yakni cerita wayang itu sendiri. Tayangan televisi mengenai Kontes bina raga yang salah satunya adalah Pemilihan Pria L-Men, memiliki pesan utama yakni mengenai standar postur tubuh pria sesuai dengan standar L-Men dan pembelian atau sales dari produk L-Men itu sendiri, didukung dengan iklan-iklannya di televisi. Dalam kekuatan media ini televisi menjadi media yang sangat dominan untuk membentuk persepsi audience mengenai ketampanan itu. Hadad (1993) menyebutkan bagaimana media audio visual sebenarnya banyak menghabiskan tenaga pemirsa, karena media tersebut memaksa pemirsa duduk berjam-jam untuk mengikuti acara yang ditayangkan, sementara jiwa pirsawan menerima semua yang disuguhkan kepadanya tanpa membantah (Budi, 2004). Ditambahkan pula bahwa televisi hadir di tengah budaya membaca yang belum mapan. Karena itu bukan kehadiran televisinya yang memberikan dampak pada masyarakat tetapi program televisinya yang berdampak pada masyarakat. Deddy Mulyana juga menyebutkan bahwa bangsa kita adalah bangsa lisan yang kurang tertarik pada tulis menulis. Sehingga televisi menjadi media yang memiliki kekuatan yang besar sebab merupakan media lisan yang masuk dalam konteks budaya masyarakat yang lisan. Dalam wacana kekuatan televisi sebagai media persuasif, Siregar (2001) menyebutkkan bahwa televisi telah mengganti peran sumber pendidikan konvensional dan tradisional bahkan menjadi surrogate parents atau subtitute teacher dimana kekuatan televisi sebagai media persuasif dalam konteks pendidikan sangat kuat. Menurut Nugroho (1995) televisi juga merupakan instrumen untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus mengajari kita cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri. Sehingga televisi tidak hanya berfungsi untuk menyebarkan pesan tetapi nilai-nilai pesan itu sendiri. Televisi tidak hanya menyebarkan mengenai siapa yang tampan saja, tetapi apa makna dan standar tampan itu sendiri. Salah satu teori yang mengungkapkan mengenai kekuatan media itu adalah teori Agenda Setting. Teori yang diangkat oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (Griffin, 2003) ini mengemukakan beberapa pemikiran 62


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

mendasar mengenai bagaimana media mempengaruhi khalayak. Media massa memiliki kemampuan untuk mentransfer items dalam agenda berita mereka kepada agenda public sehingga membuat publik bukan lagi berfikir apa yang berfikir tetapi berfikir tentang apa. Dengan kata lain, media telah menyediakan segala hal yang perlu dipikirkan oleh audience, audience akan menyerap apa saja yang diperlukan olehnya. Untuk itu bisa dikatakan bahwa media disini menjadi seperti peluru yang menembakkan isinya kearah audiens. Sama halnya dengan tayangan kontes man peageant ini yang sebenarnya sangat mengandalkan teori ini, dimana diharapkan bahwa dengan dipublikasikannya tayangan dan iklaniklannya di televisi ini maka audiens akan memikirkan hal-hal yang disuguhkan oleh media dan mempengaruhi konsumen untuk: (1) tertarik memikirkannya (2) tertarik membicarakannya (3) tertarik mencobanya (4) tertarik mencobanya. Agenda media dan agenda publik adalah pasangan yang dekat. Dalam premis ini media adalah puhak yang berkuasa untuk mendikte mengenai apa yang perlu dipikirkan oleh publik. Demikian pula halnya dengan tayangan kontes ketampanan di televisi ini yang mendikte apa yang sebenarnya dikehendaki oleh si tokoh yang akan memperoleh bentuk tubuh “ideal� sesuai dengan standar yang dikehendaki producen dengan meminum susu pembentuk otot . Oleh karena itu, posisi tayangan kontes ketampanan ini merupakan media yang digunakan untuk memberikan exposure kepada target audience. Identitas ketampanan yang melekat dalam diri seorang lelaki dibentuk melalui proses kontruksi tentang ‘self’ yang dipertajam dalam media iklan yang tersirkulasi melalui televisi, surat kabar, dan online advertisement. Kesemua ini tidak terlepas dari technological packaging yang mempermudah setiap individu mengakses produk-produk dari media iklan tersebut. Dalam konteks ini, Zukin dan Macguire (2004) dengan asertif mencoba mengingatkan tentang bagiaman identitas tentang ‘self’ ini dibentuk dengan cair dalam konteks posmodernisme dimana dominasi media dan kolaborasi apik dalam iklan telah melahirkan destruksi kreatif tentang ‘self’. Disini kita dapat memahami bahwa definisi individu tentang dirinya sendiri sudah tidak lagi secara otonomi, independen, dan bebas nilai dibentuk dan dikonstruksi melalui rasionalitasnya sendiri, tetapi lebih dari itu telah terdistorsi oleh nilai-nilai kolektif dalam iklan. Tidak ada yang salah dalam iklan dan by nature memang ditampilkan dan diproduksi untuk pemenuhan profit pembuatnya. Diskusi menjadi 63


Quo Vadis Televisi?

menarik ketika iklan tersebut dikontekstualisasikan dalam image building of identity yang dialami oleh individu. Tentu saja ini bukan suatu proses yang ‘socially’ ahistoris. Leonore Davidoff dan Catherine Hall (dalam Segal 1993:626) mengafirmasi argumentasi ini: “Masculinity and femininity are constructs specifics to historical time and place. They are catagories and re-affirmed in social institution and practices as well as a range of ideologies.” Dari kajian ini, dapat dipahami bahwa pembentukan identitas tidak terlepas dari praktek-praktek ideologi dimana seorang atau sekelompok individu menjadi bagian dari penikmat produk dan institusi sebagai sphere untuk berinteraksi lebih lanjut memperkuat proses ini. Kontes ketampanan dan kegagahan seperti L-Men yang secara luas diikuti oleh remaja dan lelaki dewasa laki-laki (dibawah 30 tahun) dalam kontekstualisasi ini mempercepat pendefinisian tentang self yang mencitrakan framework lelaki sehat dan bugar dengan perut ‘kotak-kotak’, tampan, atletis, dan otot bisep dan trisep menonjol. Praktek-praktek pembentukan identitas dalam memang tidak serta-merta diarahkan ke individu, tetapi secara simultan terjadi negosiasi antara teknologi dengan individu yang bersangkutan (Cerulo, 1997). Kebutuhan Aktualisasi Diri Kebutuhan manusia yang beragam, menjadi titik tolak industri untuk membidik kebutuhan individu. Dalam bagan kebutuhan manusia, Maslow memberi gambaran bahwa kebutuhan manusia dibentuk seperti piramida yang harus dipenuhi tingkat-pertingkat, tetapi sekarang ada banyak pandangan mengenai piramida Maslow tersebut dan memodifikasinya. Seperti Executive Values in Strategy Consultant dalam values frameworknya mencoba menginterpretasikan kembali piramida Maslow dan memodifikasinya menjadi Integrated Human Needs of Maslow Pyramids dimodifikasi sebagai analisis kebutuhan manusia dan bagaimana industri berusaha memenuhi kebutuhan tersebut (lihat http:// www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm). Adaptasi Kebutuhan Maslow ini memberi gambaran kepada kita bahwa: (a) Manusia pada dasarnya ingin memenuhi kebutuhan dalam waktu yang bersamaan. (b) Kebutuhan manusia dalam hirarki Maslow sebelumnya yang menyebut bahwa self esteem yang paling atas dan paling sedikit kini berubah menjadi semakin besar, kebutuhan manusia untuk dihargai pada dasarnya merupakan kebutuhan terbesar manusia, dan integrasi seluruh kebutuhan adalah yang terbesar. (c) Gambar ini 64


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

Se lf

gn

Co

ds ee ln al ty of au be ce en ore, nd pl ce ex ns d, t tra tan l en d s va er an em ro p n ev nd Ap io hi ,u n, at ce Ac ow gr itio tan n te ep gn In To k co acc Re ve, Lo

Ac tu al iti iza ve Se ,a t Es es ion lf es tee te tic te m em fro m Be Ot lon he gin rs g

Inner directed Cognitive, Aestetic Outer directed Esteem, Achievement Sustenance driven Security, belonging

Air Food Water Sex

Source: Adopted from Maslow, 1970; Cultural Dinamics Ltd.

Bagan Piramida Maslow yang sudah dimodifikasi

membedakan tiga kebutuhan: Warna Merah yaitu kebutuhan yang berlangsung terus-menerus dan harus dipenuhi dengan kadar kontinuitas yang tinggi, tetapi belum itu kebutuhan ini yang terbesar, justru termasuk yang kecil. Warna Kuning merupakan kebutuhan yang berdaasrkan pada orang lain, kondisi sekitar, dan pandangan sekitar terhadap manusia. Warna Biru sebagai kebutuhan dari dalam kognisi manusia yaitu kebutuhan akan kecantikan atau keindahan, kebutuhan untuk tahu, menggali, dan mengerti serta integrasi dari kebutuhan seluruhnya. (d) Kebutuhan ini menjelaskan pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya, tetapi yang juga penting, bagaimana sekarang ini manusia disediakan suatu pilihan untuk memenuhinya secara bersamaan dan mendapatkan semuanya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa memang kebutuhan manusia bukan merupakan sebuah bentuk yang pakem atau baku, tetapi juga dinamis dan fleksibel, tergantung pada kondisi jaman yang ada, dan tentu kondisi seseorang. Ini yang dibidik bahwa kebutuhan aktualisasi diri itu kebutuhan yang penting yakni bagaimana dihargai orang lain. Caranya dengan menyesuaikan dengan tokoh ideal atau orang yang dianggap ideal, jika mendekati ideal maka akan dihargai. Kebutuhan manusia untuk diterima oleh orang lain ini disesuaikan dengan persepsi dari masyarakat yang sudah dibentuk mengenai ketampanan itu yakni berbadan six packs, sehingga jika seseorang mendekati proporsi tubuh yang ideal seperti 65


Quo Vadis Televisi?

persepsi masyarakat, maka diharapkan orang tersebut dapat semakin diterima oleh masyarakat dan disukai oleh masyarakat. Kontes pria di televisi yang menawarkan secara audio dan vidual kegagahan dan ketampanan tubuh sesuai standar yang baru juga membidik kebutuhan masyarakat secara integratif dan bersamaan. Kebutuhan yang dibidik secara integratif itu antara lain kebutuhan dicintai dan diterima (warna merah muda) yaitu menampilkan bagaimana priapria finalis kontes tersebut diterima dan disanjung oleh masyarakat, disukai oleh para wanita cantik, esteem from other atau penghargaan dari orang lain (warna kuning) yakni penghargaan sebagai pria tertampan dan tergagah se-Indonesia, achievement (warna krem) yakni perasaan memperoleh penghargaan, pujian seperti yang testimoni yang diberikan oleh para juri dan penonton kepada pemenang atau finalis kontes pria, dan secara kognitif (warna biru) kebutuhan bahwa dirinya sesuai dan masuk dalam standar ketampanan di televisi membuat kebutuhan ini terintegrasi dan terpenuhi secara bersamaan (harapannya). Penonton televisi yang melihat kontes tersebut diharapkan merasa bahwa melalui produk yang ditawarkan kebutuhan-kebutuhan mereka dapat dipenuhi. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh media televisi yang mempunyai kekuatan untuk secara visual dan audio menampilkan pemenuhan kebutuhan ini. Alienasi Ketampanan Meminjam dari Marx Teori alienisasi atau ‘proses menuju keterasingan’ dikeluarkan oleh Karl Marx saat terjadi disparitas yang sangat tinggi antara rakyat biasa yang menderita dengan kaum kapitalis yang menggambarkan keadaan para buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya. Karl Marx percaya bahwa alienisasi adalah hasil dari eksploitasi kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai modal (Magnis-Suseno, 2000). Dalam kasus ini keterasingan dialami bukan dalam persepektif proletariat tetapi dalam perspektif nonsixpactariat atau pria maupun remaja laki-laki yang tidak memperoleh standar bentuk kegagahan dan ketampanan yang dikonstruksi oleh media massa saat ini. Kaum non-sixpactariat ini memperoleh keadaan terasing sebab tidak sesuai dengan bentuk ideal seorang pria yang dibentuk media. Keterasingan atau alienasi dalam benak pria ini menjadi sebuah bentuk keterasingan terhadap diri sendiri sebab mereka tidak dapat menikmati 66


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

potensi dan ketampanan mereka yang beragam. Refleksi dari alienasi ini dapat berbentuk dalam berbagai macam kekecewaan terhadap diri sendiri, keterasingan pada bentuk tubuh sendiri karena terlalu kurus atau gemuk dan tidak sesuai dengan ketampanan ideal. Kesamaan feeling of being the other atau alien dari planet diluar planet pria ini dengan kesamaan dengan kaum proletariat pada jaman Karl Marx antara lain: Pertama, Karl Marx menyebut bahwa kaum proletariat terasing dengan pekerjaanya sendiri, di mana tugas kerja tidak memberi kepuasan hati yang hakiki karena buruh tidak diberi kesempatan mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternalnya. Sementara kaum non-sixpactariat terasing dari dirinya sendiri, dimana bentuk tubuh dan rupa sendiri tidak memberi kepuasan hati yang hakiki dan adanya ketidakpuasan terhadap diri sen-diri, tidak nyaman pada diri sendiri sebab kekuatan eksternal yaitu mitos ketampanan status quo ingin membentuk setiap pria untuk menjadi ideal. Kedua, pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing. Hubungan masyarakat cenderung disederhanakan menjadi kegiatankegiatan pasar. Pola hubungan sosial juga membawa kaum non-sixpactariat menjadi terasing karena tidak sesuai dengan kondisi ideal yang di blowup media. Kemampuan dan kekuatan media mampu menghadirkan persepsi ketampanan yang begitu kuat sehingga hubungan-hubungan sosial pun dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ideal dan standar industri kapitalis. Hubungan-hubungan sosial yang dalam, valuable, dan dinamis menjadi beralih pada hubungan-hubungan sosial yang memandang secara peripheral atau sekedar rupa dan perut. Ketiga, manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang merupakan ekspresi dan hasil hubungannya dan menjadi pembeda antara manusia dengan hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkan kegiatan produktif manusia ke tingkat adaptasi pada alam, layaknya hewan. Disini kaum non-sixpactariat juga dibentuk untuk berpikir, bekerja, dan berolah raga demi sekedar tubuh six pacts seperti yang dibentuk oleh media, produktivitas yang dipengaruhi motivasi untuk sehat dan menjadi manusia seutuhnya dikebiri menjadi aktivitas demi rupa dan tubuh semata yang sifatnya berevolusi, berubah, dan sementara. Muna Hada (1993) menyebutkan bahwa media audio visual sebenarnya memaksa pemirsanya untuk duduk dan menerima tayangan yang disuguhkan tanpa adanya perlawanan. Dalam hal ini para pria maupun wanita disuguhkan tayangan yang memberikan standar ketampanan dan kegagahan tanpa bisa 67


Quo Vadis Televisi?

melawan sehingga menimbulkan refleksi pada diri sendiri apakah dirinya sudah sesuai dengan standar di televisi. Tentu saja asumsi yang meminjam dari Karl Marx adalah asumsi yang bergantung pada individu dan karakter market, sehingga tidak bisa dipukiul rata pada semua orang, tetapi kekuatan exposure media mampu membentuk individu-individu untuk merasa terasing terhadap dirinya dan bentuk dirinya sendiri. Individu yang menderita karena melihat kenyataan bahwa tubuhnya tidak sesempurna idealisme industri dan apa yang telah disediakan oleh televisi. Individu yang sangat berharga, dimana keterasingan sedang menanti dengan kekuatan televisi sebagai media audio visual yang begitu kuat. Meminjam salah satu status facebook seorang teman yang non-sixpactariat, yang kecewa terhadap konstruksi media televisi terhadap mitos ketampanan dan sebagai bentuk pengusiran keterasingan dirinya terhadap tubuhnya sendiri. “Transform your body into six pacts, to be “healthy outside, brainless inside�, trust me it works� (Facebook Status: Meredian Alam, 11/07/2010). Penutup Masyarakat, mau tidak mau, akan memperoleh media exposure mengenai konstruksi ketampanan yang akan menunjang industri dan kapitalisme. Kekuasaan kelompok tertentu untuk membentuk konstruksi masyarakat mengenai suatu simbol misalnya nilai dan standar ketampanan terkadang tidak dapat dihindari. Ketampanan menjadi mitos yang akan selalu ada, meskipun mengalami perubahan dalam dinamika masyarakat. Proses revamping media dalam merekonstruksi mitos ketampanan ini merupakan bentuk power dari sekelompok masyarakat yang memiliki interest dari pembentukan konstruksi kognitif masyarakat. Power ini dimiliki oleh industri kapitalis yang memiliki money untuk melakukan serangkaian strategi marketing communication demi peningkatan sales produknya melalui pencarian brand ambassador yakni kontes ketampanan dimana brand ambassador harus sesuai dengan standar ketampanan yang ditetapkan oleh industri tersebut. Kekuatan televisi yang besar untuk menjadi subtitute teacher membuat sebagian masyarakat yang lemah dan mudah mengikuti arus televisi akan menjadi korban proses alienasi terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan televisi yang kuat, membuat individu dan komunitas telalu berkaca pada media, sehingga individu kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya. 68


Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

Padahal keunikan individu dapat mendefinisikan potensi yang dimiliki oleh individu manusia yang sangat berharga. Semoga individu Indonesia menjadi lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi media televisi, baik dalam mitos ketampanan maupun mitos-mitos yang lain. Daftar Pustaka Budi, Setio. 2004. Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Persepektif Ekonomi PolitikJurnal Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Prodi Komunikasi UAJY Cerulo, Karen A. 1997. “Identity Construction: New Issues, New Direction”. Annual Review of Sociology, Vol. 23, pp. 385-409. Segal, Lynne. 1993. “Changing Men: Masculinities in Context”. Theory and Society, ol. 22, No. 5, Special Issues: Masculinities (Oct., 1993), pp. 625-641. Zukin, Sharon & Maguire, Jennifer S. 2004. “Consumer and Consumption”. Annual Review of Sociology, Vol. 30 (2004), pp. 173-197. LOTY 2010, http://www.l-men.com/category/loty/gran-finalis-loty/loty-2010-granfinalis-loty-loty, 31 Juli 2010 Hermawan, Anang. 2008. Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes, http://www.averroes.or.id/thought/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotikaroland-barthes.html, diakses pada tanggal 31 Juli 2010 Sumaryono. 2009. Teori Mitologi, http://gampingnews-support.socialgo.com/ magazine/read/teori-mitos_14.html diakses pada tanggal 31 juli 2010 Values Framework, http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm diakses pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 15.20.30 Bouvee, Coutland dan Arens, William. 1986. Comtemporary Advertising. New York: Irwin Mc Graw-Hill Burr, Vivien (1995). An Introduction to Social Constructionism. London: Routledge Griffin. 2003. First Look at Communication Theory. New York: Mc Graw Hill Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta, Ombak Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1984. Principles of Marketing. New Jersey: Prentice-Hall Inc Liang Gie. 1977. Suatu Konsepsi ke Arah Pengertian Bidang Filsafat. Yogyakarta: Karya Kencana Magnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Nugorho, Garin. 1995. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

69


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi Yahya Zakaria Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman

Sinetron remaja tumbuh subur seiring perkembangan stasiun televisi di Indonesia pada akhir 1990-an, saat Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) didirikan dan diikuti oleh kemunculan beberapa stasiun swasta lainnya, seperti SCTV dan TPI. Dalam kemunculannya, televisi swasta memiliki jam tayang yang sangat terbatas dengan acara yang tentunya tidak beragam (Panjaitan dan Iqbal, 2006: 9-17). Kemunculan awal sinetron remaja di televisi swasta, menurut Sunardian Wirodono (2005: 35) ditandai oleh munculnya sinetron berjudul Pernikahan Dini pada 2001 yang memicu kemunculan sinetron remaja lainnya. Sinetron remaja yang hingga kini masih terus ditayangkan oleh stasiun televisi swasta di Indonesia merupakan produk dari production house dengan target audiens golongan umur 14-21 tahun. Melalui tema cerita yang mengangkat persoalan keseharian layaknya cinta, persahabatan, konflik keluarga, bahkan hingga ke seksualitas, sinetron remaja kian diminati masyarakat dari hari ke hari. Tercatat, terdapat lebih dari 247 judul sinetron remaja yang terdiri dari 14.762 episode atau 1.791 jam tayang sepanjang tahun 2007 menurut penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA-Kidia) (Suara Merdeka, 20/06/2008). Hal ini mengindikasikan, sinetron remaja tidak pernah sepi dari peminat bahkan hingga hari ini. Kecenderungan terus tingginya peminat terhadap sinetron remaja pada akhirnya menjadi alasan kuat bagi berbagai production house untuk melakukan produksi massal. Produksi massal sinetron remaja baik yang berbentuk serial maupun yang berbentuk film televisi (FTV), justru semakin menurunkan kualitas sinetron remaja, baik dari segi tema cerita, maupun dari teknis sinematografinya. Dari sisi tema cerita, kerap ditemui banyaknya kesamaan antara satu sinetron remaja dengan sinetron remaja lainnya, orisinalitas menguap, duplikasi terjadi, bahkan seolah menjadi hal lumrah. 70


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Tema cerita yang seharusnya mengandung pembelajaran bagi remaja bukan lagi menjadi hal pokok dalam proses produksi. Selain itu, dari sisi sinematografi, hampir setiap sinetron remaja memiliki standar yang sama, keunikan jarang ditemui di dalamnya. ‘Kejar tayang’, mungkin inilah istilah yang tepat menggambarkan bagaimana sinetron remaja diproduksi massal dalam jumlah besar-besaran, sehingga kualitas tidak lagi menjadi orientasi. Sunardian Wirodono (2005: 80) mengungkapkan, “...tidak pernah muncul kegalauan para mahluk sinetron itu, jika karya mereka sesungguhnya tidak memiliki kedalaman. Ukuran-ukuran kesenian akan mereka patahkan dengan jumawa bahwa yang penting mereka ‘kaya raya’...” Remaja sebagai audiens, mau tidak mau akan terkena dampak dari buruknya kualitas sinetron remaja hari ini, karena sebagai salah satu produk televisi, sinetron remaja—sebagaimana produk televisi lainnya— memiliki fungsi untuk menyampaikan nilai-nilai, berupa, gagasan, pola pikir, sikap, hingga ke gaya hidup pada masyarakat luas. Lantas, nilainilai seperti apakah yang disampaikan oleh sinetron remaja pada audiensnya? Karena nilai dalam pandangan Althusser merupakan sebuah kekuasaan, nilai menyimpan kepentingan dari kelas dominan di masyarakat. Lebih jauh, dengan kondisi sinetron remaja yang tidak berkualitas, dangkal, serta berorientasi pada kepentingan materi, maka nilai yang disampaikan akan berorientasi pada kepentingan para pemilik modal sebagai kelas dominan dalam struktur sosial masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mekanisme kelas dominan dalam menjadikan nilai-nilai yang disampaikan sinetron remaja berpihak pada kepentingan mereka? Nilai dalam Sinetron Remaja Sebagai Ideologi Untuk menjawab pertaanyaan di atas, pembahasan akan bermula dari pemikiran Althusser mengenai ideologi. Dalam konsepsinya mengenai ideologi, Althusser menyebutkan bahwa ideologi merupakan sebuah praktik, sebuah mekanisme yang berjalan di wilayah deep structure masyakat dan secara tidak sadar mengkonstruksi perilaku, sikap serta pandangan masyarakat, sehingga ideologi dalam konsepsi Althusser sangat berbeda dengan ideologi yang dipahami oleh masyarakat saat ini. Lantas, ideologi bukanlah sesuatu yang terlepas dari kekuasaan, tetapi merupakan kekuasaan yang bersemayam di dalam struktur, sehingga ideologi menjadi mekanisme dalam struktur yang tak disadari telah mengkonstruksi pandangan dan pola pikir masyarakat agar sesuai dengan 71


Quo Vadis Televisi?

kepentingan kelas dominan. Eriyanto (2009: 99) menyebutkan: “Manusia sebagai subjek bagi struktur dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk dan identik dengan kepentingan kelompok penciptanya.� Sebagai pemikir yang terpengaruh gerakan strukturalisme pada tahun 1960 di Prancis1, Althusser—layaknya Karl Marx—membagi masyarakat kedalam dua kelas, yakni kelas dominan dan kelas yang didominasi, kelas dominan adalah mereka yang memiliki alat produksi, seperti produser, pemegang saham stasiun TV, dsb. sementara kelas yang didominasi adalah mereka yang tidak memiliki alat produksi, sehingga harus menjual tenaganya demi mendapatkan imbalan. Relasi yang terjadi pada kedua kelas tersebut merupakan relasi antagonistik, saling bersitegang, saling berebut kekuasaan, dari relasi yang antagonistik tersebut lahirlah ideologi. Pada titik ini, karakteristik dari struktralisme sangat kental terlihat, karena keberadaan sesuatu dipandang sebagai akibat dari adanya hal yang berlawanan—oposisi. Jadi, tanpa adanya dua hal yang bertentangan, ideologi tidak akan pernah lahir. Terdapat tiga landasan pokok ideologi menurut Althusser (2006: 39, 42-44 dan 47-48). Pertama, ideologi merupakan representasi hubungan imajiner antarindividu dalam berbagai kondisi eksistensi riilnya. Dalam hal ini, sinetron remaja merepresentasikan relitas imajiner karena telah menjadikan remaja kehilangan sejarahnya, seolah yang disebut sebagai remaja saat ini adalah sebagaimana direpresentasikan dalam sinetron remaja, sehingga wajar diikuti semua hal yang direpresentasikannya. Kedua, ideologi merupakan sebuah kekuatan material di dalam masyarakat. Kekuatan material ideologi tidaklah berbentuk konkret layaknya benda-benda di sekitar kita, tetapi ideologi memiliki kekuatan untuk membuat individu di dalam masyarakat patuh secara suka rela mengikuti mekanisme ideologi yang tak kasat mata, kepatuhan tersebut pada akhirnya akan termanifestasikan dalam bentuk atau wujud nyata yang kasat mata. Dalam konteks sinetron remaja, kekuatan material dari mekanisme ideologi sinetron remaja tidak pernah terlihat wujudnya oleh kita semua, tetapi kepatuhan secara suka rela akan terlihat secara nyata, misal, remaja mengadopsi cara berbicara dari sinetron remaja atau remaja mengikuti cara berpakaian sebagaimana direpresentasikan oleh sinetron remaja. Jadi, dampak dari mekanisme ideologi yang akan mewujud secara kasat mata, sementara kekuatan material ideologi tak kasat mata. Ketiga, ideologi meminta individu menjadi subjek di dalam ideologi72


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

ideologi tertentu. Dalam proses meminta individu menjadi subjek atau dalam bahasa Althusser menginterpelasi subjek, ideologi melakukan subjeksi pada individu-individu. Subjeksi merupakan sebuah keadaan dimana individu akan berpikir mengenai keberadaanya dengan proses membandingkan pada keberadaan orang lain. Identitas merupakan akhir dari subjeksi, dimana seorang individu akan mendefinisikan identitasnya melalui perbandingan dengan identitas lain yang sedang menginterpelasinya. Dalam kegiatan remaja mengkonsumsi sinetron remaja, hal tersebut merupakan sebuah subjeksi, melalui mekanisme pemberian identitas, dimana remaja yang sedang menonton sinetron akan selalu mendefinisikan identitasnya dengan melakukan perbandingan terhadap identitas yang terdapat di dalam sinetron tersebut, maka secara tidak sadar, remaja yang sedang menonton tersebut diinterpelasi oleh ideologi untuk menjadi subjek secara suka rela. Proses negosiasi yang terjadi ketika seorang remaja menonton sinetron, merupakan sebuah medan bagi dua identitas saling bertemu dan berkontradiksi, saling memberikan penafsiran, di titik inilah ideologi meminta individu menjadi subjek. Dari ketiga landasan pokok yang tersebut, maka seluruh individu dalam masyarakat tidak akan mampu mengelak dari ideologi. Diane MacDonell (2005: 39) menjelaskan: “Kita tidak dapat keluar dari ideologi. Kesadaran kita dikonstruksi dalam bentuk subjek imajiner... dalam praktik sehari-harinya, kita menjadi individu tertentu yang bertindak di dalam keyakinan yang memberikan kita untuk berpikir.” Althusser (2006: 45) menyatakan formula Pascal dimana, ‘berlutut, gerakan bibirmu di dalam doa dan Anda akan percaya...” Masyarakat secara umum dan khususnya remaja, akan selalu hidup di dalam realitas imajiner selama sistem sosial masih dikuasai oleh kelas dominan, karena dengan terus terjaganya sistem sosial saat ini melalui reproduksi, maka struktur akan terus mengkonstruksi pikiran hingga sikap masyarakat. Ideologi dalam hal ini, terus melakukan reproduksi atas sistem sosial yang mapan, dengan tujuan “unified around the essential interest of the dominant class...” (Matheron and Corpet, ed., 2006: 286). Dengan fungsi ideologi sebagai ‘wadah’ yang menyatukan kepentingan mendasar dari kelas dominan dalam masyarakat, maka sinetron remaja yang saat ini menjadi salah satu media dari ideologi untuk melakukan mekanisme dominasinya, akan terus merepresentasikan nilai dari kelas dominan untuk menciptakan realitas yang imajiner. 73


Quo Vadis Televisi?

Sebagai contoh, dalam sinetron remaja, perempuan kerap direpresentasikan sebagai makhluk yang gemar menangis dan tergantung pada laki-laki. Sementara laki-laki direpresentasikan sebagai mahluk kuat yang mandiri dan tidak gemar menangis. Sungguh lumrah ketika seorang perempuan dalam sinetron remaja menyerah saat menghadapi mobil mogok dan perempuan tersebut menunggu pertolongan dari seorang lakilaki atau saat seorang perempuan berlari menangis karena memergoki pacarnya selingkuh dengan perempuan lain. Sebaliknya, hal tersebut tidak akan menjadi lumrah ketika laki-laki dalam sinetron remaja menyerah ketika menghadapi mobil yang mogok, ataupun ketika seseorang lakilaki menangis saat memergoki pacarnya berselingkuh dengan laki-laki lain. Bayangkan saja, bagaimana ketika kita menonton sebuah sinetron remaja yang menceritakan seorang laki-laki mendapatkan bantuan dari seorang perempuan untuk memperbaiki mobilnya yang sedang mogok? Atau seorang laki-laki menangis karena diselingkuhi, hingga ia mengunci diri di kamar dan seharian menangisi hal tersebut? Mungkin kita akan merasa janggal dan tidak terbiasa melihat hal-hal tersebut. Inilah bukti berjalannya mekanisme ideologi yang menciptakan relasi imajiner berupa kelumrahan-kelumrahan atau nilai “kewajaran� dalam memandang relasi laki-laki dan perempuan dalam dunia sosial remaja, hingga seolah-olah relasi perempuan dan laki-laki sebagaimana yang dicontohkan tadi merupakan sebuah kewajaran, dan remaja sebagai audiens patut untuk melakukannya. Relasi imajiner sebagai hasil dari mekanisme ideologi memang menjadikan sesuatu terlepas dari konteks sejarahnya, seolah-olah relasi perempuan dan laki-laki seperti apa yang direpresentasikan oleh sinteron remaja hari ini, tidak lebih, padahal relasi perempuan dan laki-laki yang direpresentasikan oleh sinetron remaja memiliki sejarah, memiliki sebab, tidak serta merta relasi tersebut muncul dan mapan di tengah masyarakat. Maka, dengan terlepasnya konteks kesejarahan, sesuatu akan menjadi sebuah kewajaran, atau masyarakat kerap menyebutnya: lumrah. Pada akhirnya kelumrahan tersebut akan melanggengkan kekuasaan kelas dominan, karena sistem sosial patriarkis merupakan sistem sosial yang selalu direproduksi, dijaga keberadaannya oleh kelas dominan demi keuntungannya. Contoh lain adalah representasi gaya hidup kekinian remaja, yang sering direpresentasikan melalui cara berpakaian, cara berinteraksi, cara 74


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

bergaul, hingga cara menyelasaikan masalah. Perempuan dengan hot pants, berambut lurus, langsing, blackberry, gemar berbelanja, dan sebagainya. Laki-laki dengan pakaian bergaya casual atau sporty, turun naik mobil, cool, rambut tersisir dengan rapi, dan sebagainya, merupakan kelumrahan atau kewajaran bagi remaja yang patut untuk ditiru. Mekanisme ideologi yang akhirnya menciptakan relasi imajiner pun terjadi. Seolah-olah gaya hidup seperti itulah yang menjadi kewajaran di kalangan remaja: remaja masa kini adalah remaja yang memiliki kriteria sebagaimana disebutkan di atas. Pada titik ini, sejarah menguap, remaja menjadi kehilangan masa lalunya, sehingga remaja tanpa sejarah adalah remaja masa kini, berikut segala kriterianya. Representasi gaya hidup remaja dan relasi perempuan dan laki-laki, keduanya merupakan nilai yang disampaikan melalui sinetron remaja. Nilai-nilai tersebut bersemayam di dalam struktur dan lambat laun mengkonstruksi pandangan dan sikap remaja, hingga remaja berkubang dalam realitas imajiner, terasing dari sejarahnya dan menganggap wajar nilai-nilai tersebut. Setelah kewajaran muncul, remaja akan melayani kepentingan kelas dominan dan mempertahankan kekuasaannya yang telah mapan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, ideologi telah menjalankan praktiknya dalam struktur, menjadi mekanisme bagi status quo. Pandangan, sikap, cara berpakaian, hingga gaya hidup sehari-hari yang telah dikonstruksi oleh ideologi merupakan sebuah identitas bagi individu. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, individu memiliki identitas yang berbeda dengan individu lain, atau dalam terminologi Althusser adalah subjek-subjek ideologi yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam konstruksi identitas, seseorang akan melewati fase bernama identifikasi, yang merupakan sebuah proses pembentukan identitas melalui perbandingan dengan identitas lain, maupun penerimaan dari identitas lain. Remaja dan Identifikasi Identitas adalah perbedaan cara kita memandang diri sendiri (Widiastuti, 2005: 13) atau dalam bahasa Amin Maalouf (2004: 10) identitas saya adalah apa yang mencegah saya jadi identik dengan orang lain. Identitas memang berfungsi untuk membedakan satu individu dengan individu lain berdasarkan keunikan masing-masing. Melalui perbedaan cara pandang terhadap diri sendiri maupun cara pandang terhadap orang lain, seorang individu akan melakukan penafsiran hingga terjadi peniruan, penolakan maupun penggabungan identitas, karena identitas bukanlah 75


Quo Vadis Televisi?

hal yang tetap dan kekal, melainkan selalu berubah seiring bertumbuhnya usia dan berubahnya lingkungan sekitar. Struktur akan selalu mengkonstruksi identitas tiap individu dan hal ini berlaku pula dalam proses penerimaan identitas dari nilai-nilai yang direpresentasikan oleh sinetron remaja. Amin Maalouf (2004: 23) menambahkan, identitas tidaklah terberi sekali untuk selamanya: ia dibangun. Sebagai sebuah bangunan, identitas mampu dihancurkan atau dikuatkan, hal yang sama juga berlaku dalam konteks remaja, dimana identitas remaja merupakan sebuah bangunan yang mampu hancur dan dibentuk. Proses pembangunan identitas tersebut berjalan melalui proses yang disebut sebagai identifikasi. Identifikasi merupakan proses seorang individu ketika melakukan pendefinisian identitas dengan cara membandingkan dengan identitas lainnya. Dalam proses pendefinisian tersebut, seseorang akan melakukan proses peniruan, penolakan dan penggabungan identitas, hingga seseorang puas akan identitasnya. Dalam kegiatan seorang remaja menonton sinetron remaja, representasi nilai-nilai akan ditangkap dan diinternalisasi oleh si remaja, lantas, proses identifikasi berjalan, yakni si remaja akan membandingkan identitasnya hari ini dengan identitas yang direpresentasikan di dalam sinetron remaja. Proses tersebut terus berjalan, dan tanpa disadari secara perlahan, identitasnya akan bergeser menuju identitas sebagaimana yang telah direpresentasikan oleh sinetron remaja. Secara psikologis, remaja merupakan fase dimana identitas diri sedang mengalami pencarian bentuknya. Proses pencarian tersebut berlangsung hingga fase remaja telah terlewati. Institusi sekolah, keluarga, media massa, lingkungan bermain, hingga kebijakan pemerintah turut andil memengaruhi pembentukan identitas remaja. Kecenderungan untuk meninggalkan ikatan emosional dengan orang tua sangat kuat. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua akan ditinggalkan dan mulai membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru, sebagai referensi baru dan pembanding identitas. Pembentukan identitas pada fase remaja akan menentukan kehidupan dalam fase berikutnya. Sehingga wajar jika remaja merupakan fase yang labil sekaligus rentan dalam pembentukan identitas. Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa (2008, 210) menambahkan, remaja pada fase ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orang tuanya. Mereka sedang membongkar landasan hidup yang sudah diletakkan orang tuanya sepanjang masa anak... pada masa ini remaja harus menemukan identitas diri. 76


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Identitas diri bagi remaja merupakan kebutuhan yang tak terbendung. Fase pencarian dan krisis bagi remaja pada akhirnya membuat remaja membutuhkan banyak referensi identitas untuk melakukan identifikasi dan memapankan identitasnya yang khas. Sinetron remaja menjadi salah satu pilihan bagi remaja dalam proses identifikasi, karena menyediakan referensi identitas. Pada titik inilah peliknya permasalahan, dimana sinetron remaja justru tidak mampu menyediakan referensi identitas yang luas, beragam dan demokratis bagi remaja, identitas yang direpresentasikan merupakan identitas yang didalamnya telah bersemayam mekanisme ideologis yang penuh kepentingan kelas dominan. Dengan situasi ini, remaja menjadi miskin referensi, remaja mengidap krisis identitas. Singgih D. Gunarsa (2008, 211) menambahkan, remaja melihat tokoh yang dikagumi, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut. Sejuh mana persamaan bisa dicapai, tergantung dari kemampuan dan kesempatan baginya. Masalah yang sering timbul dalam menunaikan tugas perkembangan ini, terletak pada ‘langkanya’ tokoh identifikasi. Sinetron remaja memang belum mampu menyediakan ‘tokoh’ identifikasi yang beragam bagi remaja. Tokoh identifikasi yang sering kita lihat di layar kaca selalu seragam, dengan gaya hidup yang tidak jauh berbeda. Tengok saja, Film Televisi atau FTV yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta dengan segmen remaja, tokoh-tokoh identifikasi di dalamnya adalah mereka yang bergaya hidup mapan, keluar-masuk kendaraan pribadi, selalu ikut arus teknologi, makan di restoran, shopping di mall, pacaran, nongkrong di kafe, setting di Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta—semuanya adalah kota-kota besar. Identitas tersebut seolah menjadi kewajaran, hal yang patut untuk dijadikan identitas bagi remaja saat ini. Identitas yang saling berinteraksi dan berkontradiksi dalam kegiatan seseorang menonton sinetron remaja bukanlah sebuah interaksi yang setara, melainkan terdapat identitas yang superior. Identitas superior adalah identitas yang direpresentasikan dalam sinetron remaja, karena dengan kondisi psikologis remaja yang rentan dan labil, menyebabkan tidak adanya sebuah mekanisme untuk mempertahankan diri secara kuat dalam menolak dominasi identitas sinetron remaja. Sementara itu, di lain pihak, identitas di dalam sinetron remaja memiliki kekuatan besar untuk mengajak audiensnya secara tidak sadar menerima identitas yang telah menjadi kewajaran. Ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan banyaknya remaja pada akhirnya mengadopsi identitas sebagaimana 77


Quo Vadis Televisi?

direpresentasikan sinetron remaja. Lebih lanjut, Sunardian Wirodono (140) menyebutkan: “Anak-anak, remaja dan kaum ibu, ketiganya memiliki hubungan yang rentan dan sensitif terhadap televisi. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan daya perlawanan, ketiga kelompok ini relatif lebih rendah. Bukan berarti bahwa kelompok umur di luar itu tidak terpengaruh. Namun dalam konteks struktur masyarakat mayoritas Indonesia, penetrasi media televisi pada kelompok umur ini tidak sekeras untuk ketiganya.” Sinetron Remaja: Representasi Kepentingan Kelas Dominan Sempitnya ruang identifikasi di dalam sinetron remaja pada akhirnya membuat sebuah keseragaman identitas yang secara kasat mata terlihat beragam, unik dan demokratis, tetapi secara substansi memiliki satu kesamaan prinsip: mendukung kepentingan kelas dominan. Itulah mengapa saat ini, sinetron remaja dinilai memiliki ruang sempit indentifikasi dan keseragaman identitas karena memiliki satu kesamaan prinsip. Dengan kepentingan kelas dominan, identitas remaja secara tidak sadar diarahkan pada konsumerisme serta liberalisasi gaya hidup: kemewahan, kebahagiaan material, kebanggaan atas hal-hal artifisial. Remaja menjadi sempit layaknya lembaran uang, menjadi obsesif pada hal-hal material. Dengan sistem sosial yang cenderung kapitalistik saat ini, maka orientasi kelas dominan adalah untuk semakin mengukuhkannya. Menjadikan remaja sebagai makhluk konsumtif merupakan salah satu jalan untuk mengukuhkan sistem sosial yang telah mapan di Indonesia. Marcel Danesi, seorang pakar komunikasi dari University of Toronto memiliki keresahan yang tidak jauh berbeda pada praktek televisi hari ini, yang produk-produknya kerap merepresentasikan kepentingan kelas dominan di dalam masyarakat. Ia menulis: “Pada kenyataannya, teks televisi nyaris tidak bersifat inovatif atau memberikan ilham. Televisi hanya membuat acara-acara yang memperkuat kecenderungan gaya hidup yang sudah mapan” (Danesi, 2010: 165). Sinetron remaja sebagai salah satu teks televisi memiliki kecenderungan untuk memapankan gaya hidup kelas dominan di dalam sistem sosial saat ini. Lebih lanjut, kelas dominan juga menerapkan mekanisme kontrol dalam proses identifikasi, sehingga remaja akan sulit mengelak dan melawan arus, karena kontrol yang diciptakan berupa nilai-nilai yang wajar atau dengan kata lain, nilai yang “baik”. Dalam terminologi Pecheux, 78


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

seorang pemikir yang meneruskan tradisi Althusser: identifikasi adalah model ‘subjek yang baik’, bagi yang perhatian pada citra yang diberikan pada mereka (Macdonnel, … 40). Pada titik ini, dengan berlandaskan argumen Pecheux, kelas dominan telah membuat kontrol degan mengatasnamakan nilai yang ‘baik’, atau sering disebut, wajar, lumrah. Secara struktural, dengan adanya nilai ‘baik’, maka akan beroposisi dengan nilai ‘buruk’, yakni segala sesuatu yang tak wajar dan tak lumrah. Oposisi biner antara nilai ‘baik’ dan nilai ‘buruk’, akan memaksa remaja mengejar nilai ‘baik’ agar identitasnya sesuai dengan kewajaran. Nilai ‘baik’ merupakan kepentingan kelas dominan untuk melakukan kontrol dan melakukan penghakiman secara tidak langsung pada nilai ‘buruk’. Sebagai contoh, dalam sinetron remaja kerap direpresentasikan remaja yang ‘baik’ adalah remaja yang sukses secara material, bekerja di sebuah perusahaan swasta, berikut segala pernak-pernik kehidupannya yang kekinian. Di luar itu merupakan sebuah nilai ‘buruk’, identitas yang tidak kekinian. Remaja secara tidak sadar dikonstruksi pola pikirnya hingga mengikuti standar nilai ‘baik’, agar identitasnya di tengah masyarakat diakui. Konstruksi pikiran merupakan hasil dari mekanisme ideologi sebagaimana telah diuraikan di awal. Nilai-nilai ‘baik’ terus direproduksi hingga saat ini, dan struktur masyarakat menjadikannya sebagai ‘hidup remaja yang wajar’. Bayangkan ketika seorang remaja bercita-cita menjadi pekerja kasar, buruh tani atau kuli harian, maka struktur sosial akan memberikan penghakiman sebagai nilai ‘buruk’ dan bukan identitas remaja keknian yang layak atau wajar untuk ditiru, karena memang sinetron remaja tidak pernah memberikan representasi identitas remaja yang kekinian sebagai petani, buruh, atau pekerja kasar. Itulah contoh dari oposisi antara nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam wilayah identitas profesi bagi remaja. Mekanisme ideologi dalam struktur masyarakat yang mewujud dalam nilai ‘baik’ memang menjebak remaja pada lingkaran yang sulit ditemukan celah untuk mengelak atau melawan arus, karena ketika seseorang akan melawan arus, berarti harus berhadapan dengan masyarakat, berikut ‘norma’ dan ‘batas kewajarannya’. Struktur pada akhrirnya menjepit, menghakimi dan memaksa secara halus remaja yang sedang berada dalam fase pencarian identitas. Dalam konteks ini, Althusser mencatat: “The individual/subject demands that he be recognized as an individuality and a unity, as ‘a someone’. But ‘the one’ (the subject) must be recognized by the other. It 79


Quo Vadis Televisi?

seems that one has a psychosocial need to identify with ‘the other’ in order to recognize one self as existing.� (Matheron and Corpet,ed., 2006: 284). Dalam pandangan Althusser, kontrol yang dilakukan oleh kelas dominan akan berjalan di alam bawah sadar remaja, karena setiap remaja membutuhkan identitas dan identitas tidak akan ada tanpa identitas pembanding maupun tanpa pengakuan dari remaja-remaja lain. Dengan kebutuhan akan pengakuan secara sosial maka kontrol pasti akan berjalan, karena kontrol lahir dari penilaian satu identitas terhadap identitas lain. Lebih jauh, kontrol mampu mewujud dalam beragam bentuk; rasa malu, minder, dijauhi, dimusuhi, dan sebagainya. Remaja pada akhirnya akan takluk dihadapan kontrol yang berjalan dalam struktur sosial, karena diteror oleh rasa malu atau minder jika tidak memiliki identitas sesuai dengan nilai ‘baik’. Sinetron remaja memang memberikan ruang sempit bagi para remaja untuk melakukan identifikasi sebagai proses pembentukan identitasnya, tidak ada keberagaman identitas dalam sinetron remaja, semua menjadi seragam, menjadi pendukung struktur sosial yang menguntungkan kelas dominan saat ini. Tak hanya itu, reproduksi sebuah identitas yang dilakukan oleh sinetron remaja pada akhirya menciptakaan nilai “baik� dan menjadi kontrol, agar remaja patuh, seragam, tidak melawan arus. Masa Depan Sinetron Remaja Sudah saatnya sinetron remaja melakukan perubahan dan menjalankan fungsinya sebagai media pembelajaran remaja sekaligus menjadi media identifikasi yang luas, beragam dan demokratis, karena dengan kondisi seperti saat ini, remaja akan terus menjadi korban, terus kerdil dan seragam. Remaja seharusnya memiliki banyak referensi identitas agar mampu berkembang dan menjadi identitas yang dinamis serta kritis. Dalam sistem sosial Indonesia, remaja menempati posisi startegis karena perannya sebagai penerus tongkat kepemimpinan negeri ini, maka jika keadaan seperti ini terus dibiarkan, remaja hanya akan terjebak menjadi agen-agen kelas dominan untuk terus melakukan reproduksi kemapanan. Production house, stasiun televisi dan produser sinetron remaja seharusnya menjadikan moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi materi, karena jika hanya materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan selalu seperti ini, tragis. Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang, menjadi tanggung jawab. Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan sinetron remaja mampu berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi 80


Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

identitas, dan terdapat keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya. Memang tidak sedikit waktu yang dibutuhkan untuk berbenah diri, tetapi jika tidak dimulai dengan langkah kecil saat ini, maka keadaan tidak akan sedikitpun berubah, remaja akan selalu mengidap krisis identitas, akan menjadi individu yang tidak pernah kenyang mengkonsumsi.*** Daftar Pustaka Althusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Jalasutra, Yogyakarta. Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra, Yogyakarta. Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengatar Analisis Teks Media. LKIS, Yogyakarta. Gunarsa, Singgih D.. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung Mulia, Jakarta. Harian Suara Merdeka, edisi 20 Juni 2008. Maalouf, Amin. 2004. In The Name Of Identity. Resist Book, Yogyakarta. MacDonnel, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus. Penerbut Teraju, Jakarta. Matheron, Francois and Oliver Corpet (ed.). 2006. Philosophy of the Encounter Later Writing 1978-1987 Louis Althusser. Verso, New York. Panjaitan, Erica L. dan TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan Posmodernisme; Sebuah Pengantar Kritis. Penerbit Jendela, Yogyakarta. Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Peerbit Buku Kompas, Jakarta. Widiastuti, Tuti. Menggagas Komunikasi Antra Budaya Dalam Keragaman. Jurnal Komunika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol.8 No.2, 2005. Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu. Resist Book, Yogyakarta.

Catatan 1

Strukturalisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang muncul sebagai reaksi dan kritik terhadap perkembangan Marxisme—Leninisme, serta humanisme—Sartre kala itu. Strukturalisme memiliki pandangan bahwa dalam setiap aspek kehidupan, pikiran dan tindakan kita sebenarnya diatur oleh struktur dalam (deep structure) yang biasanya tidak kita sadari. Struktur-struktur dalam yang tidak kita sadari itu dapat digunakan untuk mempelajari aspekaspek kehidupan manusia. Strukturalisme menjelaskan dari segi eksistensi dan interaksi struktur yang mendasarinya, yakni sebagai ganti dari agensi, cara berfikir dan memutuskan manusia. Paham strukturalisme memandang makna suatu unsur/elemen, tidak ditentukan oleh substansinya tetapi oleh relasi dengan beberapa unsur dalam struktur, sehingga strukturalisme lebih mengutamakan struktur dari pada subyek. (Lihat: MacDonnel. 2005: 1-7. Pembahasan lebih lanjut, lihat: Sarup. 2007: xvii-xxiii).

81


Mana Acara Televisi untuk Anak? Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian masyarakat. Hal ini disebabkan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Sajian dalam bahasa audiovisual lebih mudah diingat daripada apa yang ditulis dan dibaca. Penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan (Wibowo, 1997). Televisi merupakan media multidimensi karena televisi dibangun dari adanya konsolidasi kepemilikan, perpaduan teknologi, dari visual dan audio, serta programnya merupakan penysusunan bersama (King dan Russel, 2009: 323). Televisi memercikkan rasa ingin tahu pada anak-anak dan membuka mata mereka terhadap dunia-dunia yang jauh. Dengan melihat tayangan di televisi, anak-anak dapat berimajinasi tentang apa yang mereka lihat seperti istana, pangeran berkuda, bahkan sampai superhero yang menyelamatkan dunia dengan tenaga supernya, yang tangannya mengelurkan api dan mempunyai kekuatan ajaib untuk menumpas musuh. Dengan menonton secara selektif, televisi bisa memberikan sumbangan besar bagi kesiapan untuk sekolah. Tidak mengherankan televisi memiliki daya tarik yang luar biasa apabila sajian program dapat menyesuaikan dengan karakter televisi dan manusia yang terpengaruh oleh televisi (Wibowo, 1997). Apalagi bagi anak-anak, televisi sangat mereka gemari. Setiap ada waktu, anak-anak menghabiskan waktu untuk menonton televisi, apalagi progran acara yang sangat mereka senangi, mereka akan menyempatkan diri untuk menontonnya, terkadang sampai menunda jam belajar karena hanya ingin menonton acara kesukaan dan tokoh idolanya. Daya tarik yang kuat dari televisi ini dikarenakan televisi merupakan gabungan dari gambar, warna, 82


Mana Acara Televisi untuk Anak?

suara, dan gerak, sehingga mampu menyihir penggunanya. Televisi siap sedia selama 24 jam, sehingga orang-orang tidak perlu khawatir ketika mereka belum bisa tidur di tengah malam (King dan Russel, 2009: 327). Pentingnya Peran Orang Tua Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Anakanak senang sekali menonton televisi, bahkan untuk belajar pun ditunda hanya untuk menonton acara kegemarannya. Tak banyak hal lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan televisi yang luar biasa menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka. Selama anak-anak menonton televisi pasti ada tokoh yang mereka idolakan dan itu menjadi salah satu ‘patokan’ dalam berperilaku seperti gaya bicara dan penampilan. Lebih dari 25 tahun, hampir tiap orang dalam bisnis televisi komersial masih saja memikirkan cara mengeruk keuntungan dari anak-anak (Chen, 1996). Televisi bisa membantu anak-anak mendapatkan pengetahuan atau wawasan yang luas, karena di sekolah tidak cukup untuk mendapatkan pengetahuan. Jam belajar di sekolah terbatas. Pengetahuan bisa didapat dari bimbingan belajar. Namun, anak-anak tidak terlalu tertarik mengikuti bimbingan belajar. Mereka lebih memilih bermain atau menonton televisi. Televisi bisa membantu anak-anak memahami hak-hak dan kewajiban, tetapi televisi tidak akan berhasil melayani anak-anak tanpa keterlibatan orang tua. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting untuk mendampingi anak-anak saat menonton. Banyak program televisi yang ditayangkan untuk anak-anak, tetapi tidak semua program televisi pantas ditonton dan terdapat pengetahuan yang seharusnya ditujukan pada anakanak. Daya tangkap anak-anak begitu cepat dan anak-anak mudah untuk mengingat apa yang mereka lihat dan mereka akan menirukannya. Menonton televisi adalah kegiatan khusus. Program-program harus diseleksi. Setiap kegiatan menonton televisi harus ada akhirnya. Maksudnya adalah setiap anak-anak setelah menonton televisi, mereka mendapatkan pengetahuan yang mereka pantas terima dan terdapat pesan moral (Chen, 1996). Program Televisi untuk Anak-anak Masa Lalu Dahulu orang yang memiliki televisi masih jarang. Satu-satunya stasiun televisi adalah TVRI. TVRI sangat terkenal dan banyak menayangkan acara yang berbau anak-anak, seperti lagu anak-anak, lagu daerah, kuis untuk anak-anak. Saat itu sinetron sangat jarang bahkan tidak ada. Dahulu anak83


Quo Vadis Televisi?

anak tidak mengerti tentang pergaulan yang sangat luas seperti sekarang. Tayangannya banyak dikhususkan pada anak-anak agar mereka mendapat bekal yang cukup dan memiliki pengetahuan luas. Ada pilihan program yang cukup memadai, yang bisa digunakan orang tua untuk menunjang kegiatan belajar anak melalui saluran televisi terbuka maupun televisi kabel. Salah satu hambatan utama orang tua adalah usaha memperoleh informasi mengenai bahan-bahan apa saja yang tersedia, kapan bahan-bahan itu tersedia, dan bahan-bahan apa yang terkait dengan anak, sehingga anak-anak mendapatkan ilmu yang luas, karena televisi adalah salah satu media yang mendukung anak untuk mendapatkan pengetahuan yang layak. Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap dampak negatif siaran televisi. Pada 2002, jumlah jam menonton TV pada anak di Indonesia sekitar 30-35 jam/minggu atau 1.560-1.820 jam/tahun. Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1.000 jam/tahun. Tidak semua acara TV aman untuk anak. Bahkan, KIDIA mencatat, pada 2004 acara untuk anak yang aman hanya 15 persen. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi. Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80 judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangat berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang tidak aman. Acara TV bisa dikelompokkan dalam tiga kategori: aman, hati-hati, dan tidak aman untuk anak. Acara yang aman adalah acara yang tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anakanak boleh menonton tanpa didampingi. Acara yang hati-hati adalah acara yang isinya mengandung kekerasan, seks dan mistis, namun tidak berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton. Acara yang tidak aman adalah acara yang isinya banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak menonton acara ini, jika anak mau nenonton televisi setidaknya didampingi orang tua (www.suaramedia.com, 6/5/2010). Beberapa acara yang ditayangkan di TVRI dikhususkan pada tayangan untuk anak-anak, antara lain: Voyage from the Bottom of the Sea (film monster), Time Tunnel (lorong waktu), Land of the Giant (terdampar di 84


Mana Acara Televisi untuk Anak?

planet raksasa), Little House on the Prairi (Laura Ingals, Mary dan anjing gondrongnya), Highway to Heaven, Battle Star Galactica (film ruang angkasa yang popular pada jamannya), Bring ‘Em Back Alive (mirip Indiana Jones), Rintintin (untuk anak TK/SD) (9), The Iron Horse (Film cowboy tentang kereta api). Selain itu, ada program tentang budaya, seperti Taman Bhineka Tunggal Ika dan program pendidikan seperti Cerdas Cermat (pengetahuan untuk anak-anak dan ini terkait dengan pelajaran di sekolah) dan Hasta Karya Elektronika. Jadi ada beberapa program TVRI yang lebih diarahkan untuk anak-anak, membantu anak-anak untuk mendapatkan apa yang ingin mereka tahu dan penambah pengetahuan mereka. Jaman dahulu, TVRI adalah stasiun televisi banyak menyajikan acara untuk anak-anak. Beberapa acara kebanggaan lainnya yang ditayangkan di TVRI, seperti Aneka Ria Safari, Film Boneka Si Unyil, Film Cerita Akhir Pekan, Selekta Pop, dan Ria Jenaka. Acara-acara tersebut merupakan acara kesayangan yang selalu di tunggu-tunggu jaman TVRI dulu. Kehebatan Televisi Televisi adalah media yang paling lengkap bagi kebutuhan masyarakat. Televisi menyajikan audio, visual, bahkan televisi dapat menjangkau jarak yang jauh. Media massa, khususnya televisi, telah membawa manusia memasuki era globalisasi. Tidak ada lagi batasan-batasan atau sekat di antara manusia di seluruh dunia. Meskipun peran televisi hampir tergantikan oleh internet, namun pamornya tidak pernah turun. Kepemilikan televisi semakin luas. Orang-orang golongan rendah pun sekarang memiliki televisi. Apabila tidak ada televisi, orang merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Televisi seakan sudah menjadi kebutuhan pokok selain sandang dan papan. Pengaruh televisi sangat besar diterima oleh anak-anak. Faktor yang mempengaruhi, salah satunya, adalah pola pikir anak yang sederhana dan labil. Televisi memberi pengaruh pada emosi atau perasaan seseorang. Ketika orang menonton televisi, emosi mereka akan terlibat. Pembentukan kepribadian seseorang akan berjalan secara sistematis dan terpola. Dimulai dari lingkungan terdekat, hingga akhirnya anak siap untuk belajar di luar yang lebih luas. Karena itu bimbingan orang terdekat, keluarga, terutama orang tua adalah faktor penentu pembentukan kepribadian seseorang. Kenyataannya, pembelajaran yang didapat anak bisa diperoleh dari televisi. Mereka belajar banyak mengenai dunia di luar rumah mereka 85


Quo Vadis Televisi?

sendiri dan mudah didapatnya tanpa harus keluar rumah. Televisi menjadi ‘teman bermain’ anak di rumah. Mereka tahan berlama-lama di depan televisi hanya untuk menonton acara kesukaannya. Melalui cara itulah, televisi memasuki alam bawah sadar seseorang untuk setia menontonya. Ini yang harus menjadi perhatian orang tua. Mereka harus bisa memilah-milah apa tontonan yang tepat untuk perkembangan anak. Program televisi saat ini memang beragam. Bahkan kita bingung harus menonton yang mana ketika beberapa acara menarik ditampilkan pada jam tayang yang sama. Kita akan betah di depan televisi ketika kita merasa kebutuhan informasi dan hiburan telah terpenuhi. Masalah yang sedang dihadapi sekarang adalah bagaimana dampak program televisi terhadap perkembangan anak. Banyak orang tua mulai khawatir terhadap perkembangan psikologis dan intelektual anak mereka. Pelajaran sekolah soeralah kalah dengan televisi. Program acaranya semakin memprihatinkan banyak pihak. Menurut penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), persentase program televisi yang ditujukan untuk anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7-4,5 persen dari seluruh acara yang ada. Angka ini sungguh memprihatinkan karena kecukupan kebutuhan anak akan acara anak yang berkualitas sangat kurang (Anshori, 2006). Penelitian itu juga menemukan jumlah persentase acara anak tersebut memiliki materi acara yang mengkhawatirkan bagi perkembangan anak. Melihat fakta ini, bagaimana dengan hak asasi manusia untuk anak untuk bisa mendapatkan pengetahuan yang layak bagi perkembangan mereka? Jumlah anak Indonesia sangat besar, namun acara yang ditampilkan sangat sedikit. Kita tahu seperti apa acara televisi saat ini, mulai dari humor, berita, dan pengetahuan. Banyak orang mengatakan program televisi semakin tidak berkualitas. Niat ingin menghibur tidak selamanya memberi tontonan yang layak. Contohnya acara Opera Van Java. Acara ini memiliki rating tinggi karena dinilai lucu dan banyak yang terhibur dengan lawakan yang diberikan. Bahkan acara yang meniru konsep ini pun banyak. Namun tidak sedikit orang mengecam acara ini terutama karena humor yang disertai kekerasan. Meski menerima kritik banyak pihak, tidak membuat konsep acaranya berubah. Pihak pembuat acara hanya menambahkan tulisan pada tampilan televisi bahwa properti yang digunakan tidak berbahaya. Muncul pendapat bahwa unsur lucunya berada pada aksi wayang yang mengalami kekerasan. Ini hanya salah satu contoh program televisi yang masih harus ditinjau ulang. 86


Mana Acara Televisi untuk Anak?

Faktanya, program televisi baik hiburan, berita, atau program lainnya dibuat sesuai dengan kebutuhan orang dewasa. Para pengelola kurang memperhatikan kebutuhan anak. Orang dewasa telah memiliki pikiran yang matang. Ketika mereka disuguhi hiburan yang mengandung kekerasan, mereka bisa menerima dengan akal sehat. Namun, pikiran orang dewasa berbeda dengan anak. Anak melihat orang dewasa tertawa dan senang melihat adegan kekerasan jenaka itu, maka anak pun akan ikut berpikir bahwa itu memang sah dilakukan. Ini yang berbahaya. Karena itu, bimbingan orang tua sangat dibutuhkan untuk menemani anak ketika mereka menggunakan fasilitas televisi. Beberapa contoh dampak kekerasan televisi pada anak-anak adalah kekerasan terhadap teman-temannya menirukan adegan Smack Down yang diadopsi dari reality show Amerika. Acara kekerasan ini ditayangkan sebelum masuk jam malam sehingga anak-anak bisa menonton. Bahkan pakaian bergambar Smack Down laris terjual di pasaran. Memang, tindakan seperti itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada pengaruh televisi. Anak yang sering melakukan kekerasan biasanya memiliki tingkat emosi dan agresivitas yang tinggi. Contoh lainnya, adalah gaya atau penampilan anak-anak hingga remaja masa kini. Jakarta yang selalu ditampilkan sebagai kota surga Indonesia berhasil membius anak-anak dari berbagai pelosok mengikuti gaya para artis. Band musik orang-orang dewasa, seperti Wali Band, Hijau Daun, Kangen Band menjadi idola baru bagi anak-anak. Padahal isi lirik lagulagu mereka tidak sesuai bagi anak-anak. Hal-hal seperti ini yang harus menjadi perhatian semua pihak. Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan program televisi yang sesuai usia mereka. Penentu kualitas berpikir anak Indonesia adalah kita, orang dewasa yang memproduksi program-program televisi. Sesuaikan kebutuhan mereka dan beri ruang belajar yang besar untuk mereka. Semuanya membutuhkan informasi dan pengetahuan, namun alangkah lebih baiknya generasi penerus diberi ruang luas juga untuk mendapatkannya. Acara Televisi: Dulu dan Sekarang Pada masa kejayaan TVRI, tidak sembarang acara dapat tampil di sana. Pemerintah berwenang memilah program apa yang cocok untuk TV Indonesia. Alasan inilah yang membuat TVRI memberikan sajian yang cukup baik, terutama hak anak Indonesia dalam menikmati televisi. Semua 87


Quo Vadis Televisi?

tingkat usia mendapatkan haknya untuk memperoleh informasi dari televisi. Beberapa acara televisi yang pernah jaya di TVRI antara lain: Album Minggu Ini, Kethoprak, Flora Fauna, Belajar Menggambar, dan lain-lain. Bila dibandingkan dengan program televisi sekarang ini, sangat jauh perbandingannya. Berbagai acara luar negeri diadopsi dan isinya selalu berbicara tentang uang. Industri televisi hebat dalam mengeruk keuntungan dari penonton. Sayangnya masyarakat menikmati kapitalisme ini. Membuat reality show yang mengharuskan penonton mengeluarkan uang. Misalnya, agar penyanyi idolanya menang, mereka harus memberi suara melalui SMS dukungan. Bayangkan saja, apabila satu SMS seharga Rp. 2000,00, dan jumlah masyarakat Indonesia yang mengikuti kuis itu mencapai 800.000 jiwa, sudah bisa didapatkan 1,6 milyar rupiah dalam semalam. Sekarang ini hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkan sinetron, reality show, infotainment, berita kriminalitas, dan iklan. Bahkan untuk berita kriminalitas, setiap stasiun televisi punya. Stasiun televisi yang sangat gemar menampilkan sinetron adalah RCTI, SCTV, dan Indosiar. Sinetronnya pun tergolong sinetron yang tidak mendidik. Bahkan TPI pun mulai sering menampilkan sinetron dengan efek-efek visual yang tidak masuk akal. Pembuatan sinetron yang berlandaskan agama tertentu juga harus hati-hati. Niat awal untuk memberi ajaran yang baik, namun pengemasannya malah menjadi tidak masuk akal dan tidak dapat diterima sebagai pendidikan. Bila sudah seperti ini anak-anak yang menjadi korban. Anak-anak adalah sasaran empuk untuk dicekoki dengan sinetron dan reality show. Tidak hanya anak-anak, tetapi remaja juga menjadi konsumen sejati acara-acara seperti ini. Keahlian menampilkan reality show senatural mungkin yang membuat orang tertegun dan tidak sadar bahwa ceritanya belum tentu sesuai kisah nyatanya. Bukannya memberi tayangan yang dapat menjadi informasi pengetahuan, tetapi justru masyarakat Indonesia dibodohi oleh acara-acara televisi semacam itu. Salah satu keprihatinan yang dapat dirasakan adalah saat hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2010. Pagi hingga siang, hampir seluruh stasiun televisi menampilkan prosesi upacara bendera, namun salah satu stasiun swasta (Indosiar) menayangkan sinetron berjudul Hippo Si Kuda Air Raksasa, sebuah sinetron dengan efek visual dan jalan cerita yang tidak masuk akal dan kurang mendidik. Seharusnya anak-anak diajari dan disuguhi tontonan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, 88


Mana Acara Televisi untuk Anak?

tetapi justru disuguhi oleh sinetron seperti itu. Industri iklan pun semakin berkembang. Namun iklan di televisi pun banyak yang menyesatkan, mengumbar mimpi, membuat orang terpukau, dan menjadkan ornag konsumtif. Ketika televisi swasta belum bermunculan, belum ada yang menggunakan iklan di televisi. TVRI pun tidak menampilkan iklan. Namun sekarang jumlah iklan dalam sekali jeda bisa mencapai 30 iklan. Contohnya, sinetron Cinta Fitri. Jumlah iklan yang tayang ketika jeda mencapai 25 hingga 32 iklan. Angka yang cukup besar, ditambah lagi penayangannya tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Sinetron-sinetron menampilkan setting tempat mewah, pemeran yang cantik dan tampan, pakaian yang bagus, make up yang fotogenik, menggunakan kendaraan mewah, tempat makan mahal, peran jahat, iri, penentang, kekerasan, kecurangan, pornografi, dan lain-lain. Bahkan anakanak memerankan peran jahat di dalamnya. Tayangan seperti ini yang bisa menumbuhkan sikap konsumerisme dan agresivitas, terutama pada anak dan remaja. Iklan-iklan komersil juga menumbuhkan sikap keinginan yang tinggi dalam diri anak untuk bisa memiliki barang yang diiklankan. Infotainment yang sekarang sedang dalam pembicaraan pun punya pengaruh besar. Kehidupan selebritis dibongkar sehingga seluruh Indonesia tahu. Hingga cerita perselingkuhan selebriti, seperti Krisdayanti dan Raul Lemos yang kemarin mendapat protes keras dari masyarakat Indonesia karena adegan tak pantas mereka di depan kamera. Berita seperti ini tidak tepat apabila anak-anak menonton. Menggambarkan bagaimana kelakuan orang tuanya yang berselingkuh, bisa membentuk kepribadian anak menjadi takut ataupun was-was dengan orang tua mereka sendiri. Reality show semakin hari semakin kaya dengan mengeruk uang pemirsa yang mengikuti kuisnya, hingga kuis judi seperti Super Deal 2 Milyar yang menampilkan penghamburan uang untuk orang-orang yang sudah mampu, sedangkan rakyat miskin hanya bisa melongo dan terpukau dengan uang-uang itu. Pada akhirnya mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang banyak dengan mudah. Bagaimana dengan anak-anak yang masih labil dan memiliki kecenderungan meniru? Anak-anak menganggap apa yang dilakukan orang dewasa adalah tindakan yang benar. Akibatnya mereka akan mengikuti tindakan, sikap, hingga bahasa yang digunakan. Sinetron yang sering mengeluarkan kata hinaan kasar bisa memicu anak ikut 89


Quo Vadis Televisi?

mengucapkannya dalam pergaulan sehari-hari. Kalau sudah seperti ini yang repot lagi adalah orang tua. Mereka harus gencar menghentikan pengaruh-pengaruh seperti ini. Perkembangan dunia pertelevisian memungkinkan acara-acara luar negeri diadopsi di televisi nasional. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus ekstra ketat menyeleksi dan mengontrol tayangan televisi Indonesia. Sebenarnya televisi mampu menjangkau audiens tertentu. Televisi mengandung variasi komposisi bagi audiennya, mulai dari isi program, waktu siaran, dan cakupan geografis siarannya (Morissan, 2007:187). Maka, seharusnya televisi dapat memenuhi semua golongan audiennya, tidak menguasai beberapa golongan saja. Perkembangan anak, terutama pada usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, masih harus dibimbing. Mereka tergantung pada apa yang ada di sekitar mereka. Jangan jadikan televisi menjadi musuh besar tetapi jadikan televisi sebagai teman yang positif. Namun tidak seluruhnya acara televisi nasional Indonesia merugikan. Masih ada orang yang peduli pada tontonan yang layak dan berkualitas. Misalnya Trans7 menayangkan acara untuk anak-anak seperti Si Bolang, Koki Cilik, Laptop si Unyil, Ayo Menyanyi, atau acara pengetahuan yang dapat dikonsumsi oleh semua usia adalah Asal Usul. Di TVRI dulu ada acara belajar menggambar yang dibawakan oleh Pak Tino Sidin. Anak-anak diberi kesempatan mengirimkan hasil gambar mereka. Ada pula acara Home Stay yang isinya pengetahuan kata-kata bahasa Inggris untuk anak-anak dengan ditampilkan anak bule sebagai pengisi acaranya. Tayangan-tayangan seperti ini sebenarnya dapat menjadi konsumsi semua umur. Orang dewasa pun banyak yang menyukai acaraacara seperti ini. Sebenarnya acara anak-anak pun bisa dikonsumsi orang dewasa. Namun acara orang dewasa belum tentu layak dikonsumsi untuk anak-anak. Keadaan ini seharusnya menyadarkan orang dewasa yang memproduksi program acara televisi untuk memikirkan juga kebutuhan anak Indonesia akan pengetahuan, informasi, dan hiburan yang tepat usia. Ini salah satu harapan besar semua pemerhati anak. Program Televisi Anak: Sebuah Harapan Perkembangan komunikasi di zaman modern ini seharusnya lebih teliti dan cermat. Tidak ada batas dan sekat bukan berarti semua tayangan layak ditampilkan. Kebebasan berkreasi tidak dibatasi, namun tetap harus sesuai norma dan aturan yang berlaku. Semakin modern maka tantangan dunia 90


Mana Acara Televisi untuk Anak?

semakin berat. Terutama tantangan orang tua zaman sekarang untuk lebih berhati-hati mendidik anak. Mendidik tidak hanya diceramahi setiap hari, tetapi bisa melalui media-media pendukung seperti televisi, radio, ataupun koran. Namun, tetap ada batasan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh anak-anak mereka. Televisi anak bisa diartikan sebagai usaha untuk kembali memberikan ruang kepada anak-anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh mereka melalui media massa seperti televisi. Mereka berhak mendapatkan dukungan dari pihak yang lebih dewasa untuk membantu perkembangan pola pikir dan perilaku mereka. Pertelevisian yang modern, namun memberi keuntungan bagi semua pihak rasanya akan lebih berguna dan bermakna. Pembimbingan paling besar sekarang ini adalah pembimbingan bagi anak. Kalau tidak dibimbing sejak dini, akibat lanjutannya adalah saat mereka dewasa. Pengajaran untuk mereka tidak hanya didapat dari sekolah dan lingkungan hidup, namun apa yang mereka lihat, baca, dan dengar menjadi pelajaran juga. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh pemerhati pertelevisian, ditemukan adanya peningkatan jumlah anak yang menonton televisi. Ratarata anak yang menonton program televisi pada usia sekolah dasar mencapai 4-5 jam perhari pada hari biasa. Sedangkan untuk hari minggu atau hari libur mencapai 7-8 jam perhari. Bila dihitung keseluruhan anak menghabiskan waktu menonton televisi sekitar 30-35 jam perminggu atau 120-140 jam perbulan. Begitu baik apabila angka-angka itu digunakan untuk menonton program televisi yang sesuai dengan usia mereka. Namun, sayangnya acara anak di televisi tidak mencapai jam tayang seperti di atas. Apabila acara anak hanya 1 jam dari jumlah waktu anak menonton, maka 3-4 jam lainnya digunakan untuk menonton acara lain (acara dewasa, berita kriminalitas, infotainment, reality show, dan lain-lain. Kepedulian untuk memberikan tayangan sehat dan mendidik pada anak menjadi harapan semua orang tua dan pemerhati anak. Paling tidak mereka mendapatkan pengetahuan yang tidak mereka dapatkan di sekolah melalui media yang mereka konsumsi setiap hari karena belajar bisa didapat di mana saja selain di sekolah. Banyak yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuat program acara televisi yang berorientasi anak-anak. Berisi pengetahuan yang berguna untuk anak, namun juga dapat dinikmati oleh siapa pun. Jumlah anak-anak di Indonesia tidak kalah banyak dibandingkan orang dewasa. Seharusnya para pengusaha industri televisi dan pembuat acara 91


Quo Vadis Televisi?

tidak perlu khawatir kehilangan pamor dan rating tinggi. Apabila acaranya bisa berguna bagi semua orang terutama anak-anak, maka mereka tidak akan kehilangan penonton. Pemenuhan dan pemberian hak mendapatkan informasi untuk anak ini bisa dilakukan dengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan panjang untuk acara anak. Yang selama ini memiliki durasi hanya setengah jam, dapat ditambahkan menjadi satu jam. Alternatif lain adalah mengajak semua pemilik stasiun televisi dan perusahaan yang memproduksi acara televisi untuk mulai memproduksi acara anak. Semakin banyak acara anak, maka pilihan anak akan tontonan yang cocok untuk mereka juga semakin banyak. Selama ini banyak anak yang menonton acara dewasa yang tidak sesuai umur karena mereka tidak memiliki pilihan tontonan. Biarkan acara seperti Laptop Si Unyil, Si Bolang, Ayo Menyanyi, Asal Usul, dan lain-lain bisa tetap bertahan. Belajar Indonesia yang ditayangkan di TransTV seharusnya menyadarkan kita sebagai warga negara Indonesia untuk lebih peka dan bersedia belajar dan mengenal kebudayaan dalam negeri sendiri yang begitu banyak. Kalau orang luar negeri saja mau dan bangga belajar Indonesia, seharusnya orang Indonesia lebih antusias dari mereka. Acara ini memberi pengetahuan kepada penonton mengenai kesenian dan kebiasaan adat istiadat suatu daerah di Indonesia. Program kartun memang bagus untuk mengembangkan kemampuan imajinasi anak. Namun, kartun pun memiliki tingkatan sasarannya. Ada beberapa kartun dewasa seperti Crayon Sinchan dan Spongebob Square Pants, sayangnya kedua kartun ini sangat digemari oleh anak-anak. Asalkan ada pembimbingan dari orang tua, maka kedua acara ini dapat diterima sebagai hiburan. Contoh kartun mendidik adalah Upin dan Ipin, Dora the Explorer, Go Diego Go, Barnie, dan lain-lain cocok untuk ditayangkan di televisi. Namun, penghargaan besar akan diberikan dari anak-anak Indonesia apabila Indonesia sendiri dapat membuat film kartun mendidik bagi mereka. Stasiun televisi khusus anak sudah mulai dibuat oleh salah satu stasiun lokal Banten, yaitu Spacetoon. Stasiun televisi ini berisi semua acara anak, mulai dari kartun, lagu-lagu anak, pengetahuan-pengetahuan umum, kompetisi-kompetisi bakat, seperti lomba menyanyi, menggambar, dan pelajaran. Lagu anak-anak yang semakin terkikis perlu dihidupkan kembali. Penyanyi cilik seperti Umay dan Amel sudah mulai mengepakkan sayap mereka di dunia musik anak. Kita juga jangan lupa dengan para anak bangsa yang telah berkompetisi di ajang Idola Cilik yang telah 92


Mana Acara Televisi untuk Anak?

diadakan hingga empat musim. Mereka yang telah berhasil menjadi penyanyi cilik Indonesia harus tetap dikembangkan agar dapat membantu mengangkat popularitas lagu anak kembali. Diharapkan anak lebih senang dengan lagu anak, yang dulu pernah populer oleh penyanyi anak yang sekarang telah dewasa, seperti Bondan Prakoso, Eno Lerian, Agnes Monica, dan lain-lain. Acara kuis yang berkonsep kompetisi pelajaran sekolah juga baik dilakukan. Dengan melihat teman-teman yang berprestasi, maka anakanak yang menonton pun akan termotivasi untuk memiliki kemampuan yang sama dengan teman-teman yang berkompetisi di televisi. Juga, acara yang di dalamnya mengajarkan mata pelajaran, seperti acara BINAR (Bahasa Indonesia yang Benar) yang pernah ditayangkan oleh TVRI dan dibawakan oleh Susan Bachtiar. Di sana diajarkan ejaan yang disempurkan yang menjadi dasar memahami Bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam menulis maupun berbicara. Atau acara yang memberi pengajaran matematika. Acara ini membantu anak-anak sekolah yang kurang paham dengan matematika. Namun bukan berarti sekolah berpindah ke televisi. Acara-acara seperti itu membantu anak-anak untuk sadar bahwa mereka perlu belajar dengan baik. Acara seperti ini dapat membantu kesulitan anak-anak dengan tampilan yang lebih menarik. Mereka juga bisa berbincang langsung dengan pengajar dalam acara tersebut untuk bertanya kesulitan yang anak-anak hadapi. Kuis dapat dibuat secara bertingkat, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Isi kuisnya adalah pelajaranpelajaran yang telah mereka terima agar mereka dapat mengingat kembali yang telah dipelajari. Bahkan mereka bisa mendapatkan pengetahuan lain yang belum didapat. Sinetron dapat dibuat dengan konsep yang berbeda, lebih umum atau tidak memihak pada satu ajaran agama, mematuhi norma dan aturan yang ada, dan memiliki nilai moral yang mendidik. Sehingga kebaikan dapat diterima oleh anak, bukan kebohongan dan sajian kemewahan yang membuat mereka materialistis. Sinetron yang menceritakan perjuangan seorang anak untuk mencapai sesuatu, tentunya dengan cara yang benar dan halal, bisa diproduksi. TVRI pernah menayangkan sinetron Aku Cinta Indonesia, Jendela Rumah Kita, sinetron untuk anak yaitu Cerita untuk Anak, serta sinetron Sangaji tentang seorang anak cerdas berkacamata mirip tokoh Harry Potter. Sebenarnya masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat televisi anak yang mendidik sekaligus menghibur. Perkembangan anak93


Quo Vadis Televisi?

anak Indonesia harus menjadi yang utama juga. Apabila anak-anak Indonesia berkualitas, maka Indonesia pun akan berkualitas seperti putraputri bangsanya. Sebutan Televisi Anak berarti berikan hak anak untuk memperoleh tontonan yang baik dan berguna bagi anak. Daftar Pustaka Anshori, Bahron (13/12/2006). Pengaruh Buruk TV Terhadap Anak http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Pengaruh-Buruk-TVTerhadap-Anak&dn=20061124211425, tanggal akses 30 Agustus, 10.15. Berita SuaraMedia, (06/05/2010). Hati-Hati, Sering Nonton TV Bikin Anak Semakin Bodoh, http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/21488-hati-hati-seringnonton-tv-bikin-anak-semakin-bodoh.html, tanggal akses 27 Agustus, 13.30. Chen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. King, Whitehill dan J. Thomas Russell. 2009. Prosedur Periklanan. Kleppner’s Edition ke-17. Jilid 1. Indeks: Jakarta. Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Ramdina Prakarsa: Tangerang. Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta

94


Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan Yohanes Widodo Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Perubahan yang cepat dan perkembangan sosial politik di Indonesia berdampak pada perubahan landscape dan dinamika media di Indonesia. Pada masa Orde Baru (sebelum 1998), media didominasi oleh negara/ pemerintah. Pada masa itu terjadi sejumlah pembredelan media lewat pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pers dibayangi tangan penguasa dan Undang-Undang, pengusaha, masyarakat, dan penegak hukum yang sewaktu-waktu bisa memberhentikan pers dan memenjarakan pekerja jurnalistik (Astraatmaja, 2009). Di bidang penyiaran, negara lewat TVRI dan RRI mendominasi informasi dengan menyiarkan program-program yang isinya lebih bersifat propagandis. Media penyiaran menjadi instrumen pemerintahan yang otoriter. Demi mengamankan kepentingan Presiden Soeharto, lima stasiun televisi swasta pertama yang muncul di zaman Soeharto, dimiliki oleh orang-orang di lingkungan Cendana, seperti Bambang Triatmodjo, Siti Hardijanti Rukmana, Sudwikatmono, Sudono Salim, dan Peter Gontha (Widiyanto, 2006). Reformasi 1998 diharapkan memberi arah baru bagi demokratisasi dan desentralisasi media di Indonesia. Pada era ini lahir Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Undang Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Keduanya punya kontribusi penting bagi pemajuan proses demokratisasi di Indonesia. Pasca reformasi 1998, terjadi perpindahan dominasi negara dan pemerintah ke dalam sentralisasi dan dominasi sektor swasta dengan dominasi segelintir pemilik modal (Siregar, 2008). Fenomena perpindahan dari suatu sistem otoriter represif oleh negara ke dalam suatu sistem otoritarianisme dan monopoli baru oleh kelompok swasta ini sama berbahayanya dengan dominasi negara (Siregar, 2008). Sentralisasi dan dominasi media-media Jakarta sangat tampak pada media penyiaran yang melakukan siaran nasional. Implikasi dari sentralisasi itu antara lain: Pertama, Jakarta mendikte isi siaran sesuai 95


Quo Vadis Televisi?

dengan selera Jakarta sehingga rujukan nilai isi siaran televisi adalah standard budaya Jakarta. Kedua, masyarakat daerah tidak dapat memanfaatkan televisi sebagai sarana informasi mengenai daerahnya sendiri. Ketiga, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pertelevisian hanya bisa dinikmati oleh Jakarta dan bisnis pertelevisian tidak menumbuhkan industri pendukung maupun lapangan pekerjaan di daerah luar Jakarta. Keadaan inilah yang hendak dirombak oleh Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (Armando, 2007). Mengapa bisnis media, terutama televisi, begitu menggiurkan pemilik modal? Menurut Ishadi S.K, selain motif ekonomi, bisnis televisi juga memberikan keuntungan politis. “Tak ada bisnis lain yang memiliki kekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus politik. Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang. Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat.� (Harto et.al; 2006) Meski persaingannya ketat—bahkan pengusaha sekaliber Jakob Oetama yang terkenal visioner dan profesional di industri media akhirnya harus merelakan mayoritas sahamnya di TV7 jatuh ke tangan TransTV— namun kue yang dijanjikan bisnis televisi sungguh mengundang selera. Nielsen Media Research mencatat, dari total belanja iklan di Indonesia yang mencapai Rp 23 triliun, televisi melahap sekitar Rp 16 triliun, atau sekitar 70 persennya, dan sisanya yang 30 persen dibagi ke media lain. Diversity of Ownership Isu penting berkaitan dengan pluralitas kepemilikan (diversity of ownership) adalah merger antarkorporasi media. Di satu sisi, merger dipandang sebagai langkah ekonomi dengan pertimbangan-pertimbangan efisiensi dari pemilik modal. Di sisi lain, merger bisa dilihat sebagai langkah politik, terutama karena keterlibatan tokoh-tokoh politis dan sistem industri media dalam pengambilan keputusannya. Konglomerasi, akuisisi, dan merger antarkorporasi media membawa sejumlah dampak. Pertama, semakin sedikit jumlah industri media yang menjadi aktor dalam industri ini karena makin terkonsentrasi di tangan sekelompok pengusaha. Kedua, banyak dari konglomerat ini yang memiliki, mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam perusahaan media dan non media. Ini acapkali rentan menimbulkan 96


Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

konflik kepentingan: kepentingan jurnalistik dan kepentingan pemilik perusahaan. Ketiga, terjadinya homogenisasi karena pemilik hanya satu maka semua media memiliki konten yang serupa (Bagdikian 2000). Keempat, turunnya kualitas jurnalistik: berita, current affairs dan jurnalisme investigasi berubah ke arah hiburan, populisme dan infotainment yang biayanya kecil namun mendatangkan keuntungan besar. Kelima, terjadinya monopoli arus informasi yang disetir oleh segelintir orang atau pemilik modal untuk kepentingan ekonomomi maupun politik. Lebih berbahaya lagi bila segelintir orang tersebut juga menjadi elit politik di lingkaran kekuasaan yang bisa mendikte arus informasi seperti apa yang akan dikehendakinya, untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Pluralitas pemilikan media bertujuan untuk mengurangi bias kepentingan pemilik media. Semakin plural kepemilikan media, maka akan mendorong semakin beragam pula isi media. Karena itu perlu terjamin adanya pluralitas kepemilikan dan menjaga pluralitas dari kemungkinan konsentrasi, yakni terjadinya monopoli horisontal atau kepemilikan di satu tangan terhadap berbagai media sejenis) ataupun monopoli vertikal atau kepemilikan media dari hulu hingga hilir, misalnya menguasai pabrik kertas, media cetak, hingga perusahaan distributornya (Faisal, 2009). Keberagaman media dalam konteks kepemilikan, konten dan agenda punya arti penting untuk membangun media-sphere yang dinamis, sehat dan mencerminkan kompleksitas persoalan yang berkembang di tengah masyarakat (Farid, 2010). Diversity of Content Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam jurnalistik secara umum, terkait dengan monopoli kepemilikan dan pengaruhnya terhadap isi media. Pertama, pada tingkat tertentu mainstream media ini tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena keterbatasan space, kepentingan industri, dan bisnis. “Dalam menjalankan tugasnya, wartawan harus tunduk pada agenda perusahaan. Seorang wartawan tidak sepenuhnya leluasa mengangkat perspektif yang ingin ditekankannya karena ia harus tunduk pada aturan perusahaan dan harus berkompromi pada kepentingan bisnis media.� (Farid, 2006) Kedua, banyak persoalan masyarakat, persoalan publik, tidak terakomodasi dengan baik di media karena media telah mengalami kondisi krisis. “Ruang-ruang redaksi kian sulit menghindarkan rutin itu: mencoba tidak bias, obyektif, imparsial, terus-menerus, dari hari ke hari, 97


Quo Vadis Televisi?

ketika publik telah mempunyai akses masing-masing yang ternyata amat mudah dan murah ke sebuah peristiwa yang sama. Pada persilangan ini, orang dengan gampang kecewa, misalnya, setelah dengan mudah dan, sekali lagi amat murah, dapat mendeteksi ketidakakuratan media massa. Keserbacepatan dan keserbamudahan informasi telah melahirkan tantangan luar biasa pada elitisme media mainstream.” (Farid, 2006) Ketiga, kecenderungan media Indonesia untuk mempromosikan kapitalisme dan globalisasi dengan mencuci otak pikiran publik. Ada dua tantangan besar bagi pluralisme media di Indonesia dalam hal ini. “Pertama, arus globalized news terlalu besar untuk dilawan. Kedua, pengelolaan media yang sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan pengelolaan jenis bisnis lainnya. Hal ini membuat elemen idealisme dan perhatian terhadap berita yang benar-benar diinginkan audiens tidak mendapat tempat. Berita hari ini diproduksi dengan komando: Inilah informasi yang menurut kami (sebagai pemilik modal) dianggap penting bagi audiens.” (Farid, 2010) Keempat, masyarakat cenderung merasa bosan dengan mainstream media karena adanya self censorship dan tingginya ketergantungan media terhadap iklan. “Media mainstream mendidik wartawannya dengan serangkaian nilai ideal, sederet etika dan batasan norma dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sayangnya, dalam prakteknya, wartawan seringkali lebih banyak gagal memenuhi segenap harapan ideal ini. Penyebabnya antara lain, kuatnya pengaruh bisnis dalam industri pers sehingga terdapat kepentingan bisnis atau kelompok tertentu yang tidak dapat diganggu gugat atau diberitakan oleh media bersangkutan. Selain itu, semakin tingginya tingkat ketergantungan perusahaan media terhadap pemasukan iklan membuat kategori nilai berita juga lebih ditentukan pada “sejauh mana berita tertentu memancing pendapatan iklan”. Sebagai akibatnya, pendekatan sensasional pada liputan lebih diutamakan demi memancing banyaknya pembaca.” (Farid, 2006). Dengan kondisi pemilikan yang makin mengerucut, konsekuensi logis dari pengerucutan ini adalah efisiensi di ruang redaksi. Ini merupakan tren global yang membuat berita semakin seragam. “Yang paling parah kena dampak berita seragam adalah audiens di daerah. Meski punya media lokal, sebagian isi media itu baik cetak dan elektronika diasup dari sentra produksi di Jakarta. Media cetak masih agak mending, tapi tetap memprihatinkan, karena berita lokal juga telah mengalami pergeseran mendasar. Ramuannya, mengutip Dan Gillmor, “when it bleeds, it leads”: 98


Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

kalau berita itu heboh, akan jadi headlines. Heboh di sini tak jauh dari berita kriminal dan provokatif, bukan berita investigatif.� (Farid, 2010) Dengan kondisi demikian, maka dampak yang kelihatan adalah keseragaman dalam hal content. Dengan pertimbangan komersial, maka media, khususnya televisi menayangkan atau menyajikan content yang seragam. Ada semacam kelatahan dari pengelola acara-acara televisi untuk melihat keberhasilan suatu acara, kemudian diikuti dan ditiru. Saat tayangan kriminal naik daun, hampir semua televisi berlomba ‘berdarahdarah’. Ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat rating bagus, seluruh televisi ramai-ramai menayangkan acara bernuansa seksualitas. Ketika tren bergeser ke tayangan reality show dan religi, hampir semua televisi jualan reality show dan tayangan religi. Jadi apa yang ditawarkan adalah apa yang menonjol dan up to date. Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan besar kepada pengelola acara televisi. Keseragaman ini adalah bentuk konformitas, yakni kesamaan dalam mengunggulkan acara-acara yang diperkirakan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menonton acara tersebut. Hal ini sesuai dengan ide kapitalisme (Buwana, 2009). Efek dari keseragaman tayangan dan isi media adalah pembodohan dan membuat masyarakat tidak berkembang. Media dan Kepentingan Dari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan ini adalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media. Undang-Undang ini antara lain mengatur tentang kehadiran televise lokal yang bertujuan menjamin perkembangan media di daerah dan memberi ruang tumbuh bagi pluralisme media (Farid, 2010). Namun dalam praktiknya, raja-raja media bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan medianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka (Dhyatmika and Herawatmo, 2006). Gejala konglomerasi media perlu diwaspadai karena suksesnya persilangan antara kepentingan kekuasaan (kehendak untuk berkuasa dan mengontrol) kepentingan akumulasi modal serta pengejaran profit. Para pemilik modal menggunakan stasiun televisi—yang memperguna-kan publik domain—untuk kepentingan bisnis, politik, dan kekuasaan. Ada beberapa contoh yang bisa diangkat. Pertama, televisi sering menjadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosi99


Quo Vadis Televisi?

kan produk-produk yang kebetulan berada dalam genggamannya. Misalnya, di Trans TV, iklan Bank Mega muncul secara rutin. Iklan Esia kerap hadir di ANTV. RCTI-TPI-Global TV intens menayangkan iklan Radio Trijaya Network, majalah Trust, tabloid Genie, dan koran Seputar Indonesia. Indosiar punya program rutin malam mingguan Gebyar BCA merujuk pada bank milik Salim. Kedua, persaingan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie dalam memperebutkan posisi Ketua Umum Partai Golkar. Surya Paloh (Media Indonesia dan Metro TV) bersaing dengan Aburizal Bakrie (ANTV dan TVOne). Tegangan di antara dua tokoh terus berlanjut. Bahkan Abrurizal Bakrie menolak menjawab pertanyaan wartawan Metro TV yang bertanya soal sengketa pajak yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Ketika wartawan lain menanyakan, apakah kasus KPC ini sengaja digulirkan? “Tanya saja pihak-pihak yang merasa kalah dan mencari kesalahan orang lain. Kamu merasa kalah, nggak?” ujarnya seraya menunjuk ke wartawan Metro TV (Harahap, 2010). Berikut alasan Ical tidak mau menjawab pertanyaan wartawan Metro TV: “Kalau orang cari makan wartawan ‘kan dari berita. Beritanya dipakai untuk ‘makan’ saya. Nah, saya nggak mau ngasih makan karena itu,” jawab Ical (Yunanto, 2010). Kentalnya kepentingan bisnis dan pengaruh kelompok pemilik media, menjadikan fungsi kontrol media terhadap penyelenggaraan kekuasaan, menjadi tidak efektif. Misalnya, Media Indonesia dan Metro TV milik Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Surya Paloh, mustahil dijadikan rujukan untuk mencari berita-berita yang mengkritisi partai pimpinan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu (Farid, 2010). Ketiga, kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) ‘bodong’ senilai US$ 28 juta dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada yang menimpa Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Harry Tanoe). Di sini, manajemen RCTI menyiapkan program khusus untuk menghadang ‘propaganda hitam’ atas bos mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itu didesain membela Harry Tanoe. Pembicaranya yang dipilih semuanya memihak kepada Harry Tanoe (Dhyatmika and Herawatmo, 2006; Siregar, 2008; Windyaningrum et.al, 2007). Keempat, kasus ANTV dan TVOne milik kelompok Bakrie. Ketika meliput Lumpur Sidoarjo, televisi ini menggunakan framing sesuai kepentingan pemilik modal dengan penggunaan istilah “Lumpur Porong” atau “Lumpur Sidoarjo” sebagai pengganti “Lumpur Lapindo” (Yayat R. Cipasang, Indopos, 05/06/ 2008). Dari sini tampak bahwa monopoli dalam 100


Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

industry penyiaran tidak bisa dilihat hanya secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif (monopoli laten atau ideologis). Dalam hal ini, pemilik tidak hanya memiliki kepentingan ekonomi tetapi juga ideologi, yang ujungnya adalah juga kepentingan ekonomi. Beberapa kalangan, terutama dari media mainstream, tidak terlalu merisaukan tentang isu kepemilikan. Misalnya, Pepih Nugraha (2010) mengatakan, kepemilikan silang sangat penting, karena kepemilikan silang dimungkinkan terjadinya konvergensi media maupun konten. Sehingga hampir semua konglomerasi media berkeinginan memiliki jenis media yang beragam. Pepih juga tidak mengkhawatirkan dengan kepemilikan (monopoli) media selama media tersebut tetap menjaga independensinya. Hal ini senada dengan mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Bimo Nugroho, yang mengatakan bahwa kepemilikan satu pengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak ada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. Menurut Bimo Nugroho, kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalu pengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar (Windyaningrum, et al., 2007). Dalam kaitan ini, penulis berpendapat bahwa pembatasan perlu dilakukan demi terjaminnya landasan dasar bagi pluralisme media. Mengutip Ignatius Haryanto (2004): “Tanpa pluralitas suara dan pendapat, media tak bisa menunaikan tugasnya dalam kehidupan demokrasi. Pembatasan di sini dilakukan, berangkat dari suatu keprihatinan bahwa keterpusatan industri media kepada segelintir pemilik saja akan mengakibatkan kondisi yang tidak sehat dan tidak demokratis, karena cenderung mengabaikan pluralitas pendapat yang ada. Pembatasan ini sendiri adalah demi sehatnya industri media itu sendiri, wibawa pemerintah, dan sehatnya masyarakat.� Sistem Stasiun Jaringan Pemberlakukan sistem siaran nasional menjadi sistem siaran lokal berjaringan merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang No. 32/ 2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan ini adalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media sebagai salah satu kondisi mendasar bagi pembentukan public sphere dalam masyarakat demokratis (Klimkiewicz, 2005).

101


Quo Vadis Televisi?

Konsep stasiun berjaringan adalah satu upaya menghindari terjadinya pemusatan kepemilikan atau monopoli media. Konsep ini penting bagi demokratisasi penyiaran karena keterpusatan industri media kepada segelintir pemilik saja akan cenderung mengabaikan pluralitas pendapat dan gagasan. Diversity of ownership menjadi penting karena kepemilikan media akan mempengaruhi isi media, dan isi media selalu merefleksikan kepentingan mereka yang membiayainya (McQuail, 2000). Pluralitas pemilikan media bertujuan untuk mengurangi bias kepentingan pemilik media. Semakin plural kepemilikan media, maka akan mendorong semakin beragam pula isi media. Ada dua ketentuan penting dari Undang Undang Penyiaran tentang Sistem Stasiun Jaringan. Pertama, televisi nasional tidak dapat lagi menyelenggarakan siarannya secara nasional yang menjangkau seluruh wilayah negara namun tetap dapat melakukan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas (pasal 20 jo 31 ayat 3). Kedua, dalam sistem stasiun jaringan, televisi nasional dapat bertindak sebagai induk stasiun jaringan dan televisi lokal bertindak sebagai anggota stasiun jaringan dimana induk bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh anggota (pasal 34 ayat 1). Televisi nasional yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat 28 Desember 2009. Pemberlakuan sistem stasiun jaringan ini di atas kertas memang sangat ideal, namun di lapangan kita dihinggapi sejumlah pesimisme. Pertama, televisi nasional enggan untuk berubah. Meski telah disahkan sejak 2002, namun pelaksanaan ketentuan ini terus ditunda. Keterlambatan ini memperlihatkan keengganan berubah dari pemikiran yang bersifat sentralistis ke arah yang desentralistis (Siregar, 2008). Waktu tujuh tahun lebih tampaknya belum cukup bagi 10 televisi Jakarta yang terlanjur ‘nyaman’ menjadi televisi ‘nasional’. Ketidaksiapan itu terekam saat acara Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) pengajuan ijin operasional televisi berjaringan yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta, Januari 2010. Penulis menemukan bahwa perubahan yang diharapkan pasca pemberlakukan Sistem Siaran Jaringan di Yogyakarta—terwujudnya keragaman kepemilikan dan keragaman isi—tampaknya masih jauh. Evaluasi Dengar Pendapat seolah sekedar formalitas. Proposal yang diajukan terkesan ala kadarnya. Kalau boleh membandingkan, kualitasnya tak lebih baik dari proposal mahasiswa. 102


Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

Kedua, dari segi keragaman kepemilikan juga tidak ada perubahan signifikan. Hampir semua televisi ‘nasional’ Jakarta yang mengajukan ijin membentuk Perseroan Terbatas (PT) baru, dan orang yang dipasang adalah orang Jakarta. Kalau pun ada orang Yogyakarta, ia merupakan bagian dari manajemen televisi Jakarta. Televisi Jakarta belum mau menggandeng televisi lokal. Sehingga, harapan bahwa kehadiran televisi jaringan bisa menampung sumber daya manusia lokal, menggairahkan iklim bisnis di daerah dan tumbuhnya industri kreatif di daerah, belum terlihat gambaran riilnya. Padahal, menurut Agus Yuniarto (2007) jika televisi Jakarta itu mau bermitra atau menjalin kerjasama dengan televisi lokal, maka proses pendirian televsi swasta lokal yang selama ini terkendala karena rebutan kanal, akan jauh lebih ‘mudah’. Ketiga, kesiapan televisi Jakarta untuk mengusung konten lokal cenderung minimalis. Dari proses Evaluasi Dengar Pendapat terungkap, kebanyakan menawarkan program berita yang menurut mereka lebih gampang. Beberapa televisi menyediakan slot waktunya kurang dari satu jam (pada jam-jam non prime time). Bahkan ada televisi yang ‘menyempilkan’ program atau konten lokal pada jam 02.00 atau 04.00, saat dimana warga Yogyakarta masih tidur lelap. Dari sini tampak bahwa televisi ‘nasional’ Jakarta tidak siap atau kurang serius melaksanakan sistem stasiun jaringan dan mengubah stasiun daerah dari stasiun relai menjadi stasiun mandiri. Hambatan atau Peluang? Dari Evaluasi Dengar Pendapat juga terungkap sejumlah hambatan yang dihadapi oleh televisi ‘nasional’ Jakarta untuk bermigrasi menjadi televisi mandiri berjaringan. Pertama, persoalan infrastruktur—ini terkait dengan biaya investasi. Mereka mengatakan bahwa bisnis televisi membutuhkan investasi besar. Dengan sistem stasiun jaringan ini, mereka harus mengelola stasiun relai menjadi stasiun mandiri yang biaya investasinya mahal. Menurut Agus Yuniarso (2007), justru dengan sistem stasiun jaringan dan bermitra dengan televisi lokal, maka investasi teknis bisa relatif lebih rendah. Kedua, program dengan konten lokal. Selama ini stasiun Jakarta terbiasa mengelola program yang nasional. Ketika harus mengelola program lokal, mereka seperti kehilangan ide dan kreativitas. Sehingga program yang ditawarkan kebanyakan program berita. Lewat kerjasama dengan mitra lokal, televisi Jakarta tak perlu lagi pusing-pusing dengan program 103


Quo Vadis Televisi?

siarannya karena program lokal bisa disiapkan oleh mitra lokal. Untuk televisi jaringan yang mengudara 24 jam sehari, televisi lokal anggotanya hanya perlu me-manage program siaran kurang dari 7 setengah jam. Itupun jumlah maksimal karena pada tahap awal, regulasi mensyaratkan hanya 10persen dari total jam siaran (sekitar 2,5 jam). Bicar konten lokal untuk Yogyakarta seharusnya bukan masalah, karena Yogyakarta adalah gudangnya orang-orang kreatif. Ketiga, sumber daya manusia. Ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni dan siap pakai menurut mereka menjadi persoalan. Meski demikian, jika televisi Jakarta menjalin kerjasama dengan mitra lokal, maka sumber daya manusia telah tersedia dan disiapkan oleh mitra local. Kalau pun tidak menjalin kerjasama, sumber daya manusia seharusnya juga bukan masalah karena di Yogyakarta terdapat beberapa universitas yang membuka program studi Ilmu Komunikasi. Mereka adalah stakeholder yang menyiapkan sumber daya manusia untuk industri televisi dan bisa menjadi referensi dalam hal konten program. Semangat dari sistem stasiun jaringan ini adalah agar penjajahan Jakarta atas Indonesia harus dihentikan dan asas keberagaman dihormati setinggi-tingginya (Ade Armando, 2007). Stasiun televisi berjaringan ini diharapkan ikut membangun berkembangnya televisi lokal, merangsang dan membangun dinamika ekonomi lokal dan sosial budaya lokal. Bila semua stasiun ‘nasional’ Jakarta melakukan transformasi ke stasiun lokal berjaringan, maka akan tercipta sebuah sistem penyiaran yang sehat, yang menjamin adanya diversity of ownership dan diversity of content, yang akan memperkaya bangsa ini baik secara sosial, ekonomi, budaya dan politik. Penutup Sistem stasiun jaringan: quo vadis? Dalam hal ini, pihak televisi Jakarta yang harus menjawabnya. Panggilan untuk bertransformasi menjadi stasiun berjaringan ini berdasarkan pada fakta bahwa mereka menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik Yogyakarta. Jika selama ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuk target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publik Yogyakarta untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu dan mereka mendapatkan ruang untuk meyampaikan pemikiran dan aspirasinya. Untuk itu, televisi Jakarta yang ingin menjadi stasiun siaran jaringan di Yogyakarta diharapkan lebih serius karena publik Yogyakarta yang 104


Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

merupakan publik yang terdidik. Gerakan literasi media di Yogyakarta juga cukup masif. Jika program-program yang ditawarkan oleh televisi Jakarta sekadar ‘itu lagi, itu lagi!’, dan tidak ada sesuatu yang lebih baik dan kekhasan yang ditawarkan kepada public Yogyakarta, maka programprogram televisi Jakarta ini akan ditinggalkan pemirsanya. Untuk mewujudkan hal itu, perlu dukungan pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), serta masyarakat. Pemerintah harus tegas menegakkan hukum. Jangan sampai pemerintah justru diperdaya dan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan bisnis mereka. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) perlu memperjuangkan aspirasi publik Yogyakarta. Jika televisi-televisi ‘nasional’ Jakarta itu tidak serius mentransformasi stasiun relai menjadi stasiun televisi lokal berjaringan, ijin penyelenggaraan itu semestinya tidak diberikan. Publik perlu memonitor pelaksanaan ketentuaan Undang-Undang Penyiaran tentang sistem stasiun jaringan ini. Jika terjadi pelanggaran, kita wajib melaporkan sesuai ketentuan yang berlaku. Kita berharap dengan sistem stasiun jarngan ini, tayangan yang sehat dan membumi; tontonan yang bisa menjadi tuntunan, akan mewarnai televisi kita. Daftar Pustaka Armando, A. 2007. (Seharusnya) Tak Ada Lagi Stasiun Televisi Nasional, http:// adearmando.wordpress.com/2007/08/30/seharusnya-tak-ada-lagi-stasiuntelevisi-nasional/ Astraatmadja, A. 2009. “Tuntutan Zaman ; Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta: VHRBook Bagdikian, Ben H. 2000. The New Media Monopoly, Beacon Press Buwana, D.S.2009. “Ramadhan di Lazar Kaca”, Republika, 10/09/2009, http:// www.republika.co.id/koran/24/75368/Ramadhan_di_Layar_Kaca Cahya, N.W. 2007. “Mengerucutnya kepemilikan media televisi di Indonesia,” http://nurulwibawacahya.blogspot.com/2007/01/mengerucutnya-kepemilikanmedia.html Dhyatmika, W. and Herawatmo. 2006. “Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng,” http://reporter-jakarta.blogspot.com/2006/06/laporan-utama-jangan-sepertijualan.html Farid, Lily Y. 2006a. Merayakan Jurnalisme Orang Biasa di Panyingkul! (unpublished) Farid, Lily Y. 2006b. Citizen Journalism: sebuah pengantar (unpublished) Harto, PP., Ratnasari, E; Saragih, HP.,Mudjiono, 2010. “Raja-Raja TV: Raja TV, Raja Akuisisi”, Warta Ekonomi, 19 December 2006

105


Quo Vadis Televisi? Haryanto, I. 2004. Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/04/Bentara/ 1189006.htm) Klimkiewicz, Beata. 2005. 2005. Media Pluralis: European Regulatory Policies and the Case of Central Europe, European University Institute Luwarso, Lukas. 2000. Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan, http:// www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/31/0006.html McQuail, Denis, 2000. Mass Communication Theory. Sage Publication Meier, Werner A. 2002 “Media Ownership – Does It Matter?” In Networking Knowledge for Information Societies: Institutions & Intervention Edited by Robin Mansell, Rohan Samarajiva and Amy Mahan, Delft University Press Munandar, Satrio, Sen, Krishna and David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia, ISAI Siregar, A.E. 2008. Ekonomi Politik Televisi: Melawan PEmusatan Kepemilikan dan Penguasaan, paper presented in Forum Studi Komunikasi, UAJY. Widiyanto. 2006. Televisi Batavia, http://andreasharsono.blogspot.com/2006/02/ televisi-batavia.html) Windyaningrum, A; Ratnasari, E , dan SHP. 2007. “Sekali di Udara,Tetap di Udara, Warta Ekonomi, Jum’at, 25 Mei 2007 Yusuf, I.A. 2009. Pentingnya Regulasi Monopoli dan Konglomerasi Media, http:// bincangmedia.wordpress.com/?archives-list=1

Wawancara Farid, Lily Yulianti (email and chatting): 11/02/2007; 14/03/2008; 20/06/2010 Nugraha, Pepih (email): 07/06/2010

106


Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik Agusly Irawan Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan stasiun televisi yang memiliki sejarah panjang. Sebagai stasiun televisi tertua di Indonesia, sangat masuk akal bila TVRI menjadi stasiun televisi yang mapan dari segi organisasi maupun dalam hal menghasilkan output siaran yang berkualitas. TVRI sempat menjadi media yang sangat digemari dan menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Periode keemasan memang sempat dialami TVRI. TVRI menjadi satusatunya pilihan pemirsa televisi di Indonesia. Hal ini masuk akal karena sejak berdiri hingga akhir 1980-an, TVRI hanya menjadi satu-satunya pilihan pemirsa. Namun ketika keran keterbukaan dibuka dan beberapa stasiun televisi swasta mulai mengudara, perlahan-lahan TVRI mengalami penurunan hingga tidak lagi berdaya melawan kepungan stasiun televisi swasta. Persoalan TVRI semakin rumit ketika masa reformasi bergulir. Semangat reformasi mampu mengubah tatanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Hal ini juga berimbas pada TVRI. Selama 30 tahun, TVRI dicap sebagai stasiun televisi pemerintah dan corong pemerintah untuk menyampaikan pesan dan ideologi Orde Baru. Singkatnya, TVRI akhirnya dilemahkan perannya. Pemerintah tidak lagi boleh berkuasa penuh atas TVRI. Intinya, TVRI harus independen. Berbagai upaya membentuk kemandirian dan independensi TVRI dilakukan. Salah satunya, melalui Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 yang menghendaki TVRI tampil sebagai stasiun televisi publik. Harapannya, TVRI bisa menjadi media komunikasi yang mengutamakan kepentingan publik sekaligus menjaga independensi dari negara/ pemerintah dan tidak tunduk terhadap tuntutan pasar. Dilihat secara sekilas, tujuan ini tentu sangat mulia. Satu cita-cita yang ideal ketika TVRI bisa menjadi sarana publik untuk saling berinteraksi 107


Quo Vadis Televisi?

antarsesama warga dan warga dengan pemerintah. Tapi, cita-cita ini ternyata sulit untuk diwujudkan. Ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Bagaimana TVRI bisa menjadi sarana berinteraksi antarwarga jika TVRI tidak menjadi pilihan utama bagi pemirsa? Dari sisi ini, logika kapitalisme akan bermain. TVRI tidak menjadi pilihan pemirsa karena TVRI tidak mengikuti selera pasar atau konsumen. Jika TVRI harus mengikuti selera konsumen berarti TVRI akan berbentuk televisi komersial, bukan televisi publik seperti cita-cita awal. Bagaimana TVRI bisa memenuhi program-program siarannya jika tidak ada sumber dana? Jika memang televisi publik, harusnya publik ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup TVRI. Tapi apakah warga mau membayar (lagi) iuran TVRI? Memang rumit melihat persoalan TVRI. Itu baru dari sisi ekonomis, belum pertarungan kepentingan aktoraktor yang punya kepentingan di dalam tubuh TVRI. Penulis berharap, TVRI bisa menjadi televisi publik yang baik: tujuan idealnya, manajemen organisasinya, program siarannya, sehingga TVRI bisa berperan lebih besar dan lebih baik dibandikan stasiun televisi swasta, yang mendekati titik jenuh sehinga lebih sering melahirkan kritik daripada manfaat. Apalagi bila dibandingkan stasiun televisi publik yang sudah mapan seperti BBC (Inggris) atau NHK (Jepang). Tinjauan Historis Sejarah TVRI dimulai sejak Ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 ditetapkan. Pasal 18 Bab I menyatakan pentingnya membangun stasiun televisi untuk kepentingan pendidikan nasional. Pemerintah lalu mengeluarkan Surat Keputusan Mentri Penerangan No 20/SK/M/61 tanggal 21 Juli 1960 tentang Panitia Persiapan Televisi (P2TV). TVRI melakukan ujicoba siaran pada perayaan kemerdekaan, 17 Agustus 1962. Dengan siaran TVRI, Indonesia menjadi negara keempat yang memiliki media televisi setelah Jepang, Filipina, Thailand (Heryanto, 2003: 46). Tugas P2TV berakhir dengan berhasilnya ujicoba tersebut. TVRI lalu dimasukkan ke dalam Biro Radio dan Televisi Organizing Committe Asian Games IV. TVRI melakukan siaran live acara pembukaan dan penutupan acara Asian Games IV, 24 Agustus 1962. Tanggal 24 dikenal sebagai tanggal berdirinya TVRI. Setelah Asian Games selesai, TVRI dimasukkan ke dalam Yayasan Gelora Bung Karno melalui Keppres No 318/1962. Setahun kemudian, dibentuk Yayasan TVRI melalui Keppres no 215/1963 dengan pimpinan umum Presiden dan dibantu staf Presiden urusan TVRI. Secara 108


Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

operasional, ditunjuk seorang direktur dan tiga orang direktur muda urusan programma/perencanaan, urusan teknik dan administrasi, serta urusan komersil dan perbendaharaan. Perjalanan TVRI sejak 1962-1975 dikenal sebagai ‘Era Yayasan TVRI’ (Heryanto, 2003: 47). Pada era ini, TVRI membangun beberapa Stasiun Penyiaran Daerah yaitu Stasiun Yogyakarta, Stasiun Medan, Surabaya, Ujungpandang (Makassar), Manado, Denpasar dan Balikpapan (bantuan Pertamina). Era selanjutnya disebut ‘Era Status Ganda’, karena TVRI memliki dua status hukum: Yayasan TVRI dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Penerangan, lewat SK Mentri Penerangan No 55 B tahun 1975 yang diperbaharui lagi dalam SK Menpen No 230A tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Depertemen Penerangan dimana Direktorat Televisi berada dibawah Dirjen RTF. Status hukum ganda ini tentu menimbulkan masalah. Pertama, kebingungan siapa pemegang otoritas tertinggi terhadap TVRI. Jika TVRI sebagai yayasan maka presiden yang menjadi pemimpin umumnya. Dengan berbentuk UPT maka TVRI berada di bawah wewenang Mentri Penerangan. Kedua, status hukum TVRI berbentuk yayasan yang memegang monopoli penyiaran televisi di Indonesia dan modalnya merupakan kekayaan negara yang terpisah dirasa tidak tepat. Definisi yayasan lebih bermakna swasta daripada milik negara. Apalagi salah satu modal Yayasan TVRI adalah iuran pemilik stasiun televisi. Status TVRI sebagai UPT terus berlanjut sejak 1975-1997 dan dikuatkan lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 yang berlaku hingga 1999, sebelum Deppen dihilangkan dalam masa reformasi. Selama era status ganda ini, TVRI membangun Stasiun Produksi Keliling (SPK) di beberapa propinsi: SPK Jayapura, SPK Ambon, SPK Kupang, SPK Malang (Tahun 1982 diintegrasikan dengan TVRI Stasiun Surabaya), SPK Semarang, SPK Bandung, SPK Banjarmasin, SPK Pontianak, SPK Banda Aceh, SPK Jambi, SPK Padang, SPK Lampung. Pembangunan SPK ini dimulai sejak 1977 dan berfungsi sebagai perwakilan TVRI di daerah. Penetapan TVRI sebagai UPT dibawah Departemen Penerangan tentu memiliki dampak yang luas. Salah satu dampak tersebut yaitu semakin sentralnya TVRI sebagai humasnya pemerintah. Selain menjadi humas negara atau pemerintah, TVRI juga mempu menjadi sarana penekan negara trerhadap warganya hingga ke dalam bentuk yang lebih jauh yaitu 109


Quo Vadis Televisi?

kebebeasan berdemokrasi termasuk kebebasan pers. Singkatnya, TVRI menjadi media organik negara (Heryanto, 2003: 49). Era ketiga disebut era Reformasi (1998) dengan dihilangkannya Departemen Penerangan (Deppen) dan diganti Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN). Namun, TVRI tidak berada di bawah BIKN. Kondisi tersebut ternyata mendorong pimpinan TVRI dari pusat dan daerah untuk berkoordinasi tentang kondisi TVRI. Pertemuan maraton menghasilkan aspirasi bahwa TVRI haruslah berstatus televisi publik. Rapat antara Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Departermen Keuangan, dan Sekretaris Kabinet mengusulkan bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) TVRI, yang ditetapkan melalui PP No 36 tahun 2000. Beberapa alasan perubahan status TVRI menjadi Perjan yaitu: Pertama, untuk meningkatkan daya saing di bidang pelayanan jasa penyiaran kepada masyarakat pada era globalisasi sehingga perlu untuk mengalihkan bentuk satuan kerja instansi pemerintah menjadi badan usaha pelayanan yang secara mandiri dan otonom mengelola manajemen instansinya. Sehingga dirasa perlu landasan hukum bagi TVRI untuk meningkatkan kualitasnya. Kedua, adanya jeda waktu selama pembahasan RUU Penyiaran yang baru untuk mengganti UU Penyiaran nomor 24 tahun 1997. Padahal tuntutan agar TVRI menjadi televisi publik terus menguat. Untuk mengatasi hal tersebut maka Perjan diambil sebagai solusi sementara. Ketiga, dengan bentuk Perjan maka TVRI juga berhak atas APBN yang bisa digunakan untuk membiayai operasional karyawan (Heryanto, 2003: 54). Dengan status hukum Perjan, maka TVRI berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Maksud dan tujuan Perjan adalah menyelenggarakan kegiatan penyiaran televisi sesuai prinsip-prinsip televisi publik yang independen, netral, mandiri, dan program siarannya senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat serta tidak semata-mata mencari keuntungan (pasal 6 PP No.36/2000). Ketika TVRI berbentuk Perjan, wilayah cakupan kerja TVRI semakin luas. TVRI terbagi dalam beberapa bagian yaitu: (1) Kantor Pusat berkedudukan di Jakarta (2) Divisi I-Siaran Nasional, berkedudukan di Jakarta (3) Divisi II-Siaran Berita Nasional dan Informasi, berkedudukan di Jakarta.(4) Divisi III-Wilayah Sumatera, berkedudukan di Medan terdiri dari 4 TVRI daerah berkelas A yaitu Medan, Banda Aceh, Palembang dan Padang serta 4 TVRI daerah kelas B yaitu : Pekanbaru, Jambi, Lampung, 110


Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Bengkulu. (5) Divisi IV- Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, yang berkedudukan di Bandung. Terdiri dari 3 TVRI daerah Kelas A yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang serta 2 TVRI daerah kelas B yaitu Pontianak dan Palangkaraya. (6) Divisi V- wilayah Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, berkedudukan di Surabaya terdiri dari 3 TVRI daerah berkelas A yaitu Surabaya, Denpasar, dan Samarinda, serta 2 TVRI daerah berkelas B yaitu Banjarmasin dan Kupang. (7) Divisi VI-wilayah Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, berkedudukan di Makasar, tediri dari 3 TVRI daerah berkelas A yaitu Makasar, Ambon, Menado serta 1 TVRI daerah berkelas B yaitu Jayapura. (8) Sektor Transmisi, merupakan sektor untuk memfasilitasi daerah yang tidak memiliki TVRI daerah kelas A atau B,berkedudukan di ibukota Propinsi yaitu sektor Transmisi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTB. (9) Divisi VII-Pengembangan Organisasi dan Diklat (Heryanto, 2003: 60-66). TVRI kembali mengalami perubahan status hukum. Menurut PP Nomor 9 tahun 2002 tanggal 17 April 2002, TVRI seharusnya berbentuk Persero. Namun karena banyaknya permasalahan yang terjadi khsusnya konflik di tingkat manajemen maka perubahan TVRI sebagai persero baru bisa terlaksana pada 15 April 2003, sesuai surat kuasa Menteri Negara BUMN. Perubahan TVRI dari Perjan menjadi Persero tentu membawa konsekuensi pula. Sebagai Persero maka TVRI tidak lagi mendapatkan APBN seperti ketika berbentuk Perjan. Ini persoalan yang belum dipersiapkan TVRI ketika ia harus mandiri, selain terjadinya konflik antara Serikat Karyawan dengan manajemen di tingkat Direktur Utama. Tuntutan Sebagai Lembaga Penyiaran Publik Ketika TVRI resmi menjadi Persero, keluarlah Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang mengamanatkan agar TVRI menjadi lembga penyiaran Publik. Status TVRI sebagai persero merupakan status transisi selama tiga tahun sebelum menjadi lembaga penyiaran publik. Pengertian lembaga penyiaran publik tentu bermacam-macam. Menurut Effendi Ghazali (2002: 24) lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang mempunyai visi untuk memperbaiki kualitas kehidupan publik, kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitas hubungan antarbangsa pada umumnya; serta mempunyai misi untuk menjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik. Lembaga penyiaran ini memberikan pengakuan secara signifikan terhadap 111


Quo Vadis Televisi?

peran supervisi dan evaluasi oleh publik dalam posisinya sebagai khalayak dan partisipan yang aktif, karena itu lembaga penyiaran publik bukanlah lembaga penyiaran pemerintah, serta bukan pula lembaga penyiaran yang semata-mata mendasarkan dirinya pada hukum-hukum pasar. Menurut Effendi Ghazali, pengertian di atas setidaknya memiliki empat konsekuensi. Pertama, akses publik, yaitu adanya kesempatan seluasluasnya bagi publik untuk mengakses siaran stasiun televisi atau radio tersebut. Secara praktis, berarti bersedia untuk mendirikan stasiun hingga ke pelosok-pelosok terpencil di saat stasiun televisi komersial enggan untuk menjangkau daerah tersebut terutama karena hitung-hitungan nilai ekonomis. Kedua, penggunaan dana publik, yaitu dana operasional lembaga penyiaran publik utamanya berasal dari dana publik baik yang dikelola negara misalnya APBN/APBD maupun penghimpunan dana yang dilakukan lembaga penyiaran publik bersama publiknya misalnya melalui sponsor yang tentu saja semuanya disupervisi dan dievaluasi oleh publik. Ketiga, tuntutan akan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dalam hal ini ada dua yaitu lembaga penyiaran publik harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh program acaranya sesuai standar moral dan nilai publiknya serta akuntabilitas dalam hal operasional lembaga penyiaran tersebut misalnya dalam penggunaan dana, dan lainlain. Keempat, adanya keterlibatan publik. Publik diharapakan bisa berpartisipasi dalam lembaga penyiaran publik dan lembaga yang bersangkutan harus siap dan bersedia dengan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat salah satunya melalui lembaga yang bertugas men-supervisi lembaga siaran publik tersebut. Sementara itu, Harmens Tahir (2002: 154,159) menghendaki adanya sistem benevolent, artinya suatu organisasi nirlaba yang dibentuk oleh publik, dimiliki oleh publik, dan dikontrol oleh publik. Harmens juga menyebutkan salah satu ketentuan siaran televisi publik berdasarkan resolusi Eropa 1996: (1) TV publik mendukung terwujudnya masyarakat informasi, sebagai agen pemersatu pluralisme berbagai kelompok dalam kelompok dalam masyarakat untuk pembentukan opini publik. (2) TV publik menyiarakan program siaran yang bermutu untuk segala lapisan masyarakat. (3) TV publik mampu menciptakan standar kualitas program sebagai tuntutan bagi khalayak. (4) TV publik mampu melayani 112


Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

kepentingan kelompok penduduk minoritas. (5) TV publik menyiarkan informasi yang independen dan obyektif,sehingga menjadi referensi bagi publik dalam mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. (6) TV publik berperan penting untuk mendorong pelaksanaan debat publik dalam rangka mewujudkan demokrasi. (7) TV publik menjamin bahwa masyarakat memperoleh akses layanan yang menjadi kegemaran sebagian besar masyarakat. Tuntutan TVRI untuk menjadi sebuah lembaga penyiaran publik dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 14 ayat 1: “Lembaga penyiaran publik merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Yang tercakup dalam lembaga penyiaran publik dalam UU ini adalah TVRI dan RRI.” Pasal 15 menyebutkan: “Sumber pendanaan lembaga penyiaran publik adalah iuran penyiaran, APBN atau APBD, sumbangan masyarakat, siaran iklan, maupun usaha lain yang terkait penyelenggaran penyiaran.” Sepintas, UU ini memberikan power yang cukup kuat bagi TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang ideal. Ideal karena ada keinginan menjadikan TVRI netral, independen, tidak komersial dan memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Sepertinya, TVRI bisa menjadi stasiun televisi yang baik. Apalagi tuntutan reformasi menginginkan pemerintah tidak terlalu berperan besar dalam TVRI. Prinsip-prinsip dasar yang berkaitan lembaga penyiaran publik seperti penggunaan dana publik juga dimungkinkan misalnya melalui APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan sumber dana lain seperti yang disebutkan dalam pasal 15 UU No.32 ini. Apakah kenyataannya demikian? Ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Pertama, TVRI memang sudah tidak lagi “dekat” dengan pemerintah. Negara/pemerintah sudah mengurangi keterlibatannya. Namun, ketika TVRI akan diserahkan ke tangan publik, publik ternyata tidak siap merespon perubahan ini. Sebagian besar publik menganggap TVRI membosankan, kuno, identik dengan siaran orang tua. Entah karena sifat stasiun televisi publik yang harus berbeda dengan stasiun televisi komersial sehingga asing bagi publiknya atau memang publik yang sudah terbiasa dan dicekokin siaran-siaran stasiun komersial. Akhirnya, publik dan TVRI seolah-olah tidak nyambung. 113


Quo Vadis Televisi?

Ini berimbas pada operasional misalnya sulitnya untuk mendapatkan dana dari iklan atau sponsor. Padahal, meskipun lembaga penyiaran publik, TVRI bukan berarti tidak boleh untung. TVRI tetap harus untung agar ia bisa mandiri tetapi sekali lagi, iklan atau sponsor harus mendapatkan supervisi dari publik. Jika melihat keadaan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang menghendaki partisipasi publik, tentu ini merupakan hal sulit. Bagaimana mungkin publik bisa berpartisipasi bila menonton pun tidak. Akhirnya, ketika publik tidak antusias terhadap TVRI, pelan-pelan pemerintah akan kembali campur tangan terhadap TVRI. Kedua, TVRI masih identik sebagai humas pemerintah. Perubahan image TVRI dari humas pemerintah menjadi pelayan publik merupakan hal yang sulit. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sejak berdiri hingga era reformasi, TVRI dikenal dekat dengan pemerintah. Image tersebut tentu tidak mudah diubah dalam wktu sekejap karena harus mengubah budaya organisasi dan budaya kerja TVRI. Bagi sebagian masyarakat, TVRI masih indentik dengan corong pemerintah. Hal ini bisa datang dari pihak pemerintah maupun pihak TVRI. Pemerintah tentu tetap ingin mempertahankan supremasinya terhadap TVRI. Sedangkan dari pihak TVRI, rasanya masih sungkan untuk sedikit ‘memberontak’ pada pemerintah terutama karena TVRI masih tergantung dana APBN/APBD. Dalam kadar tertentu, pemerintah memang masih diperbolehkan untuk memanfaatkan TVRI karena sebagai televisi publik, TVRI diharapkan bisa menjadi jembatan/sarana komunikasi pemerintah dengan publik/ masyarakat. Namun alur komunikasi ini bukan lagi bersifat satu arah dari negara pada masyarakat melainkan dari dua arah. Sehingga TVRI bisa menjadi ruang publik yang bebas dari intervensi siapa pun baik negara ataupun pasar. Ketiga, harus diakui pemerintah masih enggan melepaskan pengaruhnya di tubuh TVRI. Bisa dikatakan, pemerintah masih setengah hati mereformasi TVRI. Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran tidak terlalu eksplisit menentukan apa bentuk stasiun televisi publik yang akan diberikan pada TVRI. Bentuk TVRI yang sangat operasional hanya diatur dalam aturan sekelas Peraturan Pemerintah (PP) yang sangat mungkin terdapat kompromi-kompromi. Pada tataran politis, pemerintah masih enggan melepaskan dominasinya terhadap TVRI. Sebisa mungkin TVRI menjadi ‘anak yang baik’ bagi pemerintah. Hal ini tentu wajar bila melihat sepak terjang stasiun televisi swasta yang lebih sering mengkritik 114


Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

negara/pemerintah. Apalagi TVRI masih tergantung pada dana APBN/ APBD. Tuntutan akan keseimbangan di aktor publik dan negara merupakan satu keharusan. Aktor pasar harus mengalah karena sifat penyiaran publik yang lebih menitik beratkan pelayanan pada publik daripada memperoleh keuntungan semata. Salah satu bentuk keinginan pemerintah untuk tetap mendominasi TVRI yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran Publik yang menghendaki peleburan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi Republik Indonesia. Dengan peleburan ini maka pemerintah memiliki kewenangan kembali sebagai pembina lembaga penyiaran publik sekaligus memiliki otoritas dalam intervensi kebijakan lembaga penyiaran publik misalnya pemilihan direksi, dewan pengawas, termasuk budgetting. Padahal jelas-jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 ini, lembaga penyiaran publik seperti TVRI dan RRI harus independen dan netral. Keempat, persoalan dana menjadi persoalan yang sangat besar di tubuh TVRI. TVRI masih kesulitan mencari dana. Hutang TVRI belum bisa diselesaikan. Sumber dana dari APBN/APBD minim. Pemasukan iklan juga terbatas minimnya jumlah pemirsa TVRI. Pemerintah menyiasatinya dengan iklan-iklan layanan masyarakat. Bahkan sempat ada aturan bahwa stasiun televisi swasta harus memberikan sebagian pendapatannya untuk TVRI. Namun tetap saja tidak cukup untuk menutupi biaya operasional yang sangat tinggi. Selain itu, pengelolaan dana TVRI juga tidak jelas. Ini ada kaitannya dengan akuntabilitas publik yang menjadi tuntutan sebuah lembaga penyiaran publik. Kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan laporan keuangan dari TVRI, apa saja biaya pengeluarannya, berapa pendapatannya, dan lain-lain. Harusnya, TVRI siap memberikan laporan keuangannya kepada publik yang mendanainya melalui APBN. Apa yang bisa ditawarkan untuk membuat TVRI menjadi lebih baik? Secara historis, kita sepakat bahwa TVRI sangat kuat dan mapan dalam menjalankan perannya pada era Orde Baru. Di era reformasi, TVRI dilemahkan perannya agar TVRI tidak menjadi corong pemerintah lagi. Keadaan TVRI semakin mengenaskan ketika ia harus bertarung dengan stasiun televisi swasta. TVRI berjalan tertatih-tatih bahkan untuk sekedar survive di tingkat pusat dan daerah. Bahkan ada beberapa stasiun daerah yang harus berhenti operasi sementara waktu. Sudah saatnya TVRI kembali bangkit bukan menjadi sebuah stasiun yang melayani pemerintah 115


Quo Vadis Televisi?

tetapi menjadi sebuah stasiun televisi yang melayani kepentingan publik. Ada beberapa tindakan yang bisa diupayakan untuk memperbaiki TVRI. Pertama, advokasi terhadap TVRI harus terus dilanjutkan. Advokasi terhadap TVRI harus dilaksanakan secara luas mulai dari segi kebijakan hingga persoalan yang sederhana, misalnya program, dana, partisipasi publik, dan lain-lain. Untuk level kebijakan misalnya, masyarakat yang diwakili oleh praktisi komunikasi, akademisi, dan LSM harus terus mendampingi TVRI agar tidak lagi menjadi alat pemerintah. Advokasi dilakukan untuk mendesak pemerintah menjalankan amanat UndangUndang Nomor 32 tahun 2002 agar segera menyiapkan Peratuaran Pemerintah (PP) atau aturan hukum lainnya agar TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bisa berjalan dengan baik sesuai cita-cita UndangUndang tersebut. Kelompok advokasi juga harus tetap mengkritisi setiap kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Salah satunya tentang rencana PP yang ingin menggabungkan TVRI dan RRI. Kedua, manajemen TVRI harus terus berbenah dan menyiapkan diri menjadi lembaga penyiaran publik yang baik dan sesuai amanat UndangUndang Nomor 32 tahun 2002 sebagai payung hukum TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Pihak manajemen harus mampu menerjemahkan amanat undang-undang tersebut ke dalam visi misi hingga unit terkecil, seperti program-program siaran. Ini tidak mudah karena audiens juga tidak mudah menerima sesuatu yang berbeda dari yang biasa ditonton di televisi swasta. TVRI mungkin bisa meniru beberapa program yang baik di televisi swasta. Namun, jangan sampai keseragaman sebagai sesuatu yang dikritisi dari stasiun televisi swasta berulang pada TVRI. Apalagi ada keleluasaan bagi stasiun daerah untuk lebih mengedepankan kekayaan lokal sehingga informasi dan isu-isu daerah akan lebih mengemuka dibandingkan isu-isu Jakarta. TVRI dimungkinkan untuk membuat acara lokal berdasarkan permintaan pemirsa melalui semacam dewan atau lembaga yang bisa memberikan masukan kepada TVRI daerah sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Selain kreativitas, pembenahan manajemen menjadi keharusan untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas publik. Manajemen profesional dan tata kelola keuangan yang bersih menjadi syarat utama. Mental birokratis perlu ditanggalkan diganti prinsip-prinsip profesionalisme layaknya swasta sehingga tata manajemen bisa berjalan lebih baik. Sehingga, kasus korupsi Sumita Tobing atau konflik manajemen dengan serikat pekerja tidak terulang di masa depan. 116


Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Kualitas TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bisa dilihat dari program-progam siarannya. Namun ada kekhawatiran para pekerja TVRI tidak mampu mengembangkan reativitasnya karena minimnya dana. Penulis yakin, kreativitas bukan datang dari kondisi yang mapan melainkan dari keterbatasan. Bukan berarti pula penulis ingin membenarkan bahwa keadaan TVRI sebaiknya berada pada kondisi yang serba minim. Ini tantangan bagi pekerja TVRI untuk bisa membuat program yang baik, bermutu, namun tidak harus seragam dengan stasiun televisi lain. Untuk masalah dana, TVRI mendapatkan anggaran dari APBN dan APBD. Selebihnya, tergantung dari kreativitas TVRI. Ketika TVRI mampu membuat program yang baik dan bermutu, maka TVRI bisa menjadi pilihan pemirsa. Ketika TVRI sudah menjadi pilihan pemirsa, ia bisa menjalin kerja sama dengan sponsor untuk menghidupi operasionalnya. Ketiga, upaya pendanaan untuk TVRI. Ini bisa dimulai dari kerjasama instansi pemerintah dengan menjadikan TVRI sebagai sarana sosialisasi program-program pemerintah melalui iklan layanan masyarakat. TVRI juga dimungkinkan untuk memaksimalkan peran serta masyarakat melalui penggalangan dana, misalnya pajak atau bentuk lain, dengan catatan mereka bisa menikmati kembali dalam bentuk tayangan berkualitas serta adanya akuntabilitas atau transparansi pengelolaan dana. Solusi-solusi tersebut harus berjalan beriringan. Upaya pembenahan TVRI tanpa kerelaan pemerintah untuk ikut membangun TVRI menjadi lebih baik, tidak akan maksimal. Sebaliknya jika pemerintah mengucurkan dana besar tanpa dibarengi upaya pembenahan manajemen, budaya organisasi, upgrade kemampuan dan kreativitas awak TVRI maka upaya ini akan sia-sia juga. Jika pemerintah sudah berusaha membangun TVRI, manajemen sudah berupaya memperbaiki diri, namun publik tidak peduli dengan TVRI maka tidak besar manfaat TVRI yang sudah berubah menjadi lembaga penyiaran publik. Kesimpulan Dari latar belakang historis, TVRI memang sangat dekat dengan pemerintah. Hal ini terlihat dari upaya Bung Karno yang berkeinginan kuat agar Indonesia memiliki satu lembaga penyiaran sendiri. Dalam perjalanannya, TVRI selalu dekat dengan pemerintah melalui relasi negara sebagai regulator dan TVRI sebagai pelaksana sekaligus memainkan perannya untuk menjadi salah satu alat negara dalam bidang penyampaian 117


Quo Vadis Televisi?

informasi. Peran ini dimainkan pada pemerintahan Orde Baru. Namun perubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendaki perubahan TVRI. Negara tidak boleh lagi terlalu dekat dan kuat pengaruhnya. TVRI harus menjadi lembaga yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Logika pun harus berubah dari pelayan negara menjadi pelayan publik. Salah satu bentuk yang bisa mengakomodasi adanya pelayanan kepada publik adalah dengan menjadikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangan kondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNA TVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebih mapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik. Yang terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapi perubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlalu dekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnya pertarungan dengan stasiun televisi swasta. Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian dan kesediaan berbagai pihak untuk mengembalikan kejayaan TVRI. Berjaya bukan sebagai pelayan negara melainkan pelayan publik. Upaya ini bisa dilakukan mulai dari level kebijakan hingga upaya sederhana melalui terus memantau TVRI dan memberikan masukan-masukan kepada TVRI untuk terus berbenah diri. Kritik dan masukan terasa aneh disampaikan kepada TVRI bila kita tidak pernah melihat dan menonton TVRI. Maka, mulailah untuk kembali menilik keadaan TVRI. Karena TVRI adalah media publik kita. Daftar Pustaka Ghazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi. Fisip UI. Heryanto, Gun Gun. 2003. Relasi Kekuasaan pada Kebijakan Perubahan Status Hukum TVRI: Studi Ekonomi Politik Media. Thesis untuk mencapai gelar MSI dalam Bidang Ilmu Komunikasi. FISIP UI. Tahir Harmens. TVRI sebagai TV Publik Sumbangan Pemikiran terhadap Keberadaan TVRI, dalam 40 tahun TVRI dari Pembebasan Menuju Pencerahan, Jakarta :FSP-TVRI. UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia.

118


“Melihat Kembali� TVRI Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas Nurogo Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemberitaan TVOne yang menayangkan penangkapan tersangka teroris, yang diduga Nurdin M. Top di Temanggung kemudian diklaim oleh TVOne sebagai penangkapan Nurdin M. Top—dan ternyata salah— merupakan salah satu bentuk ketergesa-gesaan stasiun TVOne memberitakan suatu peristiwa dan merugikan masyarakat. Ini ditambah mengenai berita soal makelar kasus palsu, yang semuanya adalah upaya untuk mencari berita-berita sensasional yang sedang hangat dan mengundang masyarakat untuk menontonnya. Selain itu, running text dari TVOne yang menyatakan Gesang, maestro keroncong telah meninggal dunia padahal kenyataan belum meninggal dunia, meskipun akhirnya meninggal dunia, namun di sini televisi bukan bertindak sebagai peramal dan berarti terjadi pembohongan publik, di mana televisi tidak mengabarkan realitas yang sesungguhnya dan beriburibu masyarakat yang meluangkan waktunya untuk dapat melihat beritanya secara langsung mendapatkan informasi yang keliru dari pemberitaan melaui tayangan berita TVOne. Dari gambaran di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan penonton pada saat tayangan penangkapan teroris di Temanggung pada bulan Agustus 2009. Di mana penonton 168 persen dari minggu sebelumnya 22.000 orang menjadi 59.000. Ini menandakan bahwa berita hangat dan disiarkan langsung merupakan komoditas yang menarik untuk diberitakan dan dijual. Namun yang menjadi masalah adalah berita tersebut ternyata bohong. Yang ditangkap bukanlah Nordin M. Top. Semuanya hanya mengejar rating dengan menampilkan berita yang sensasional. Contoh pada media lain, juru bicara Trans7 Hadiansyah Lubis, mengatakan, pihaknya masih mematok rating sebagai pertimbangan dalam program acara. Pihaknya tidak perlu lagi menunggu 13 episode. Jika tiga episode jika rating tidak bagus, bisa langsung dieksekusi. ujarnya. Dia menambahkan, rating tetap menjadi acuan dan performa tayangan 119


Quo Vadis Televisi?

juga dipantau setiap hari (www.kpi.go.id). Televisi memprioritaskan rating yang tinggi. Rating merupakan salah satu indikator tayangan televisi ditonton oleh masyarakat. Rating menjadi tolok ukur sejauh mana program tersebut diakses banyak masyarakat dan ini berarti mendatangkan pundipundi uang dalam bentuk iklan. Rating didapat dengan melakukan survei ke berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, Banjarmasin, menggunakan alat yang bernama panel TAM (Television Audience Measurement) atau GG TAM yang dikeluarin oleh AGB Nielsen. Alat inilah yang jadi pemacu industri media untuk menyajikan tayangan semenarik mungkin. Definisi menarik adalah rating tinggi. Meskipun alat ini dikatakan tidak valid oleh banyak orang, namun alat ini yang dirasakan cukup representatif. Tayangan televisi yang memperoleh rating pemirsa yang tinggi cenderung menjadi incaran bagi para pengelola stasiun siaran. Rating dalam penyiaran program televisi memberi jaminan income atau pemasukan dari iklan yang menyertai program. Pada umumnya tayangan hiburan yang menarik memperoleh rating tinggi sementara tayangan yang bersifat informasi dan pendidikan memperoleh rating rendah. Data BPS tahun 2006 (Kompas, 31/07/2010) menyebutkan, masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,95), dan atau mendengarkan radio (40,35), membaca koran (23,5 persen). Data ini menunjukan bahwa media televisi sekarang sebagai media yang paling banyak diakses masyarakat. Hampir 86 persen masyarakat mengakses media televisi, berarti media televisi memiki efek yang dapat mempengaruhi orang banyak. Dengan daya hipnotisnya, penetrasi yang hampir tanpa batas, dan efektivitas media audiovisual ini, menjadikan televisi pada posisi yang sangat strategis, konsekuensi logikanya adalah munculnya berbagai kepentingan yang saling berdesakan, baik politik, bisnis, pendidikan, hiburan, dan lainlain. Fungsi Televisi Yang Ideal Sebagai media, televisi berfungsi menyambaikan informasi yang benar kepada masyarakat. Informasi yang benar dapat memiliki fungsi sebagai pendidik bagi masyarakat, bukan berorientasi kepentingan komersial yang hanya diukur dengan rating. Menurut Haryatmoko (2007: 19) informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Ia membantu menjernihkan pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Informasi 120


“Melihat Kembali� TVRI

yang tepat menjadi sarana pendidikan yang efektif. Ia membuka peluang memperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar dapat mendidik masyarakat. Masyarakat memiliki tambahan pengetahuan dan mampu untuk menentukan pilihan yang tepat dan kritis berdasarkan informasi, bukan pencitraan. Sebagai industry dan organ kapitalisme, televisi dituntut mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk tetap bertahan hidup dan memenangkan persaingan. Hariatmoko (2007: 1) menambahkan deraplangkah realitas sangat diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan menghambat idealisme itu. Dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan. Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika pasar tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media berada di bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat. Bertahan hidup dengan mencari pemasukan. Pemasukan didapat jika media ditonton oleh banyak orang sehingga menarik pengiklan. Pengiklan datang karena mereka berpikir bahwa media ini efektif karena dapat ditonton oleh banyak orang. Di sini televisi mulai tergoda untuk berpikir praktis. Salah satunya, dengan membuat tayangan-tayangan yang ‘disukai masyarakat’. Dedy Iskandar Muda (2003: 7) mengatakan, stasiun televisi dapat memiih program yang menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasang iklan, sementara perusahaan produksi acara televisi dapat meraih keuntungan dari produksinya. Di Indonesia kecenderungan televisi swasta sudah mulai mengarah kepada sistem di Amerika. Ini dimulai dari garapan-garapan sinetron, kuis, dan beberapa acara hiburan lainnya. Cara seperti ini memang sangat menguntungkan bagi stasiun televisi tersebut karena semuanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbanganpertimbangan bisnis, yaitu untung dan rugi. Terjadi disorientasi dari sifat mendasar dari televisi, dari medium untuk mencerahkan kehidupan masyarakat menjadi medium yang meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini melupakan esensi dari sifat pencerahan tadi. Sifat memberikan tayangan yang mendidik dilupakan dan diganti dengan tayangan-tayangan yang bersifat mendatangkan keuntungan. Ini berarti tidak ada media televisi yang ‘merelakan dirinya’ sebagai media pendidikan bagi masyarakat. Seakan mereka lepas tangan dari tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan bangsa. Ini berarti, 121


Quo Vadis Televisi?

tidak ada media televisi yang menjadi tumpuan untuk memberikan pencerahan masyarakat karena semua telah berubah orientasi: mengejar rating. Mengembalikan Televisi Publik Dalam titik ini, harus ada televisi yang independen dalam pendanaan sehingga tidak berorientasi pada iklan dan rating. Televisi ini harus idealis, menjadi televisi pendidikan bagi public dan menjadi ‘ruang publik’ yang memfasilitasi berbagai kelompok masyarakat. Kami berpikir untuk ‘melihat kembali’ Televisi Republik Indonesia (TVRI). Melihat kembali berarti (1) menata kembali manajeman sampai programnya dan (2) menyaksikan kembali TVRI kaerna TVRI menyajikan acara-acara yang menarik, mengemban misi pendidikan dan patut dibanggakan. Apalagi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2005 menyatakan bahwa TVRI adalah Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani masyarakat. Dengan payung undang-undang ini, TVRI dapat digunakan sebagai media yang benar-benar melayani masyarakat. Media ini dapat dijadikan sebagai pedoman dan ruang bersama seluruh publik di Indonesia. Sejarah dan latar belakang TVRI memang memosisikan TVRI pada posisi dan fungsi yang tidak tepat. Plato melimpahkan kekuasaan pada Negara sehingga Negara berhak mengatur segala-galanya, termasuk pers. Sementara Lenin menempatkan pers dalam kerangka besar kepentingan partai (Lan, 2002; 52). Mungkin percampuran fungsi pers antara Plato dan Lenin sangat cocok disamakan dengan fungsi TVRI pada saat era Orde Lama dan Orde Baru. Di era Presiden Sukarno, TVRI menjadi alat propaganda nasionalisme dan demokrasi terpimpin. Di era Orde Baru, TVRI tak ubahnya alat politik untuk memuluskan konsensus nasional tentang pembangunan, persatuan bangsa dan stabilitas politik yang secara tidak langsung menguntungkan kelompok Golongan Karya. Di era reformasi, kondisinya tetap sama. Berbagai keputusan pemerintah terhadap TVRI dianggap mempunyai tujuan politik sehingga memunculkan kecurigaan berbagai pihak. Mulai dari perebutan jajaran komisaris antarpartai, dualisme TVRI hingga keputusan presiden yang bertolak belakang dengan fungsi TVRI. Keputusan yang dianggap paling netral dan tidak dianggap berbau politis adalah status TVRI sebagai televisi public yang mempunyai tugas dan fungsi: memberikan pelayanan 122


“Melihat Kembali” TVRI

informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. TVRI seharusnya dapat dijadikan rujukan mengenai tayangan yang memiliki idealisme nilai dan melayani masyarakat untuk dapat berpikir kritis, lepas dari semua orientasi mencari rating, keuntungan, dan kepentingan politis. Ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur tetapi juga memberikan nilai tambah dalam masyarakat. Keberadaan TVRI sebagai televisi publik mengharuskan segenap jajarannya untuk menampilkan tayangan atau program yang bermanfaat untuk kepentingan publik. Hal ini terkait dengan fungsi lembaga penyiaran yang merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, hiburan, serta kontrol sosial, dan sekaligus sebagai perekat bangsa. Program-program TVRI harus terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan, memancing emosi negatif, sadisme, tidak mendidik, melanggar etika, dan norma agama. Peralihan status TVRI menjadi televisi publik memiliki kewenangan otonom yang lebih mandiri. Diakui, TVRI memang memerlukan waktu yang lama untuk menghapus citra historisnya sebagai ‘corong pemerintah’. Hal itu terkait masa Orde Baru dulu. Namun sekarang TVRI sebagai televisi publik, harus tampil beda, baik dalam format tayangan maupun isi siarannya. Anggaran APBN untuk belanja TVRI yang hanya sekitar Rp 500 miliar pertahun—jauh di bawah dana televisi swasta yang rata-rata Rp 1,5 triliun per tahun—perlu dikoreksi. Dengan dana sejumlah itu, TVRI belum dapat bersaing dengan televisi-televisi swasta, terutama untuk pengadaan alat yang memungkinkan kualitas gambar yang bagus dan peningkatan standar gaji bagi para pegawainya sehingga dapat menjaga independensi terhadap sogokan-sogokan. TVRI harus mewakili semua kalangan, sebagai wadah bersama, karena sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat. TVRI bukan hanya menjadi alat propaganda budaya Jawa seperti era Suharto, namun dapat diakses oleh semua golongan. TVRI harus membantu daerah-daerah yang tertinggal menjadi berubah dan tidak semata-mata berpatokan pada rating. 123


Quo Vadis Televisi?

Tantangan utamanya bagaimana mengubah isi siaran TVRI sehingga menarik bagi penonton. Jika kita membandingkan isi siaran TVRI dan NHK (Jepang), dua stasiun televisi tersebut sama, namun yang membedakan adalah cara penyajiannya. Dalam membuat program, televisi publik perlu melibatkan masyarakat untuk merencanakan isi dan kemasan. Perdebatan untuk mengemas acara amat diperlukan agar nilai-nilai kepublikan mengkristal sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin kritisnya penonton televisi, semakin banyak tuntutan untuk meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas siaran TVRI (Wahyudi, 1984;13). TVRI harus menampilkan Indonesia secara menarik dalam pemberitaannya. Menarik belum tentu hal-hal yang bagus, namun bagaimana program itu dikemas secara lebih menarik dan berbeda. Bila itu semua berhasil, maka tak mustahil menyandingkan TVRI dengan NHK (Jepang) dan BBC (Inggris). Daftar Pustaka Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.Yogyakarta:Kanisius, 2007 Intani, Retno ZA. 2009. TVRI Yang Terlupakan. (http://nasional.kompas.com/read/ 2009/08/24/02543179/TVRI.yang.Terlupakan), 17 Agustus 2010 pukul 21.12 WIB Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010 Lan, May. Pers, Negara dan Perempuan.Yogyakarta:Kalika, Cetakan Pertama, 2002. Muda. Deddy Iskandar. Jurnalisme Televisi: menjadi Reporter Profesional.Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003 Pribadi, Benny A dan Bambang Sutjiatmo. 2009. Pemanfaatan Siaran Televisi Pendidikan. (http://lppm.ut.ac.id/publikasi/ptjj/9_A5-benny-edit.pdf), 17 Agustus 2010 pukul 20.58 WIB. Puspasari, Eka dan Mohammad Adam. 2010. Pemerintah Harus Tambah Anggaran TVRI dan RRI (http://nasional.vivanews.com/news/read/120851pemerintah_harus_tambah_anggaran_tvri_dan_rri), 17 Agustus 2010 pukul 21.41 WIB. Ulum, Akhmad Samsul. 2006. Televisi untuk Kepentingan Bisnis. (http:// www.suaramerdeka.com/harian/0608/22/opi04.htm), 17 Agustus 2010 pukul 21.01 WIB. Wahyudi, J.B. Jurnalistik Televisi: Tentang dan Sekitar Siaran Berita TVRI. Bandung:Penerbit Alumni, 1985. www. tvri.co.id, diakses pada 17 Agustus 2010. www.agbnielsen.co.id, diakses 17 Agustus 2010. www.kpi.go.id, diakses pada 17 Agustus 2010.

124


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah? Salvatore Simarmata Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

“At the heart of democracy is talk,� demikian Barber (1990: 174). Demokrasi pada hakekatnya adalah perbincangan politik yang didasarkan pada dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Bukan sekadar kesepakatan tanpa dasar, tetapi kesepakatan yang berlandaskan kepentingan bersama. Bagi para pengagas demokrasi deliberatif yang melihat partisipasi warga negara sebagai tulang punggung demokrasi, political talk merupakan sebuah keharusan (Barber, 1990; Bohman, 1996), agar tercapai kesepahaman (consensus) terkait model dan cara apa yang terbaik dalam mewujudkan kepentingan bersama (Habermas, 1974). Dalam demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, proses deliberasi diperankan langsung oleh tiap-tiap warga Athena di polis tanpa perlu mewakilkannya pada lembaga tertentu. Proses tersebut sangat berbeda dalam demokrasi modern. Pada demokrasi sekarang, proses kesepakatan politik bukan hanya diwakilkan, tetapi terjadi secara termediasi. Media massa, khususnya televisi adalah yang utama dalam memerankan proses mediasi tersebut. Televisi bahkan tampil sebagai aktor politik baru dalam demokrasi liberal dewasa ini. Masalah kemudian muncul ketika media pada hakekatnya tidak dibentuk atas dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Media terlebih televisi pada dasarnya didirikan untuk kepentingan privat individu, yaitu: mengejar profit. Televisi dengan sistem dual market-nya (McQuail, 2000), berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual produk media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk menjual para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan tertentu yang membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve rating menjadi ukuran bagi kesuksesan ‘pasar ganda’ televisi ini. Di sisi lain, televisi seperti juga radio berbeda secara struktural dengan media lain. Televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi gelombang 125


Quo Vadis Televisi?

radio yang merupakan sumber daya yang terbatas, sehingga penggunaannya perlu diatur. Berbeda dengan televisi, surat kabar dan majalah seperti sekarang ini di Indonesia, tidak perlu diatur secara ketat sebab siapa saja yang punya modal bisa mendirikan media tersebut. Artinya, televisi menjadi lebih rawan terhadap represi kekuasaan lewat intervensi kekuasaan baik dalam bentuk undang-undang, pencabutan izin, maupun tindakan kekesaran, khususnya pada rezim otoritarian. Tetapi, rezim otoritarian di Indonesia sudah lengser. Lalu, apakah media televisi telah memberi kontribusi yang substantif bagi konsolidasi demokrasi? Apakah dengan tumbangnya rezim otoritarian, media televisi bisa menjadi ruang publik di Indonesia? Dengan sistem demokrasi perwakilan, mungkinkah secara struktural televisi menfasilitasi demokrasi deliberatif di era pemilihan langsung sekarang ini? Menelisik peran televisi dalam konteks dinamika politik Indonesia merupakan bagian dari upaya konsolidasi demokrasi itu sendiri. Sebab, pertama, demokrasi tidak mungkin hidup tanpa media yang demokratis, otonom, dan plural. Kedua, munculnya gejala industrialisasi politik (Kompas, 15/06/2010). Dewasa ini politik bukan lagi persoalan politik semata. Politik telah menjadi sebuah korporat yang ditandai dengan munculnya kecenderungan industrialisasi politik. Proses pemilihan politik (nasional dan lokal) telah sepenuhnya melibatkan banyak pihak dan kepentingan, seperti konsultan politik, lembaga survei, dan sponsor, di mana citra menjadi yang utama daripada program dan ideologi kandidat. Sejak pemilu langsung tahun 2004, serangan imaji-imaji iklan lebih mendominasi layar kaca ketimbang diskusi hangat tentang rencana strategi implementasi agenda politik yang feasible. Gejala ini menempatkan televisi sebagai alat politik sempurna untuk membangun citra, dan hubungan simbiosis mutualistik antara keduanya pun terbentuk. Ketika citra menjadi tumpuan, rasionalitas menjadi tidak penting. Banalitas politik demokrasi tergerus oleh permainan citra-citra yang membentuk realitas palsu, sebuah simulakra, kata Jean Baudrillard (1992). Sebagai alasan ketiga, sebaliknya pada saat yang sama masyarakat membutuhkan informasi yang beragam dan relevan dengan kehidupan dan kepentingan sehari-hari mereka. Informasi diperlukan oleh masyarakat untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan sehingga mereka dapat mengambil sikap politik yang pada akhirnya menguatkan sistem demokrasi yang substantif, bukan sekedar demokrasi prosedural-makanistis. Alasan terakhir, mencuatnya kecenderungan elit 126


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

partai sebagai pemilik televisi tertentu, sebuah paralelisme politik yang bisa berbahaya bagi demokrasi. Sesungguhnya, bukan hanya rakyat biasa, para elit politik juga sangat tergantung pada informasi yang disediakan oleh media lewat pemberitaanya. Hanya dengan informasi yang cukup, deliberasi politik baik oleh para politisi, pengamat, akademisi, dan rakyat biasa dapat terwujud secara berkualitas. Sejalan dengan itu, televisi sebenarnya menggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang frekuensi yang dikelola oleh negara. Maka bentuk pertanggung-jawaban publik tersebut hendaknya dapat diwujudkan lewat pelayanan televisi dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk membangun komunitasnya, memperbaiki kehidupannya, serta terdorong untuk membela nilai-nilai demokrasi demi kemajuan bangsanya. Media dan Demokrasi Posisi media dalam demokrasi telah lama dikaji dalam konteks komunikasi politik, khususnya yang berkaitan dengan media effect (a.l. Lasswell, et al., 1980; McNair, 2003, Crigler, 1999). Di sisi lain teori-teori klasik telah dikembangkan untuk melihat bagaimana media menjadi variabel dependen atas sistem politik, khususnya di negara-negara otoriter (Siebert, et. al., 1963; Hachten, 1989; McQuil, 2000). Dalam negara otoriter misalnya, media ditempatkan sangat lemah dan menjadi bagian dari alat propaganda negara. Tidak ada tanda-tanda perbincangan politik secara terbuka di sana. Dari kedua tinjauan tersebut dapat ditarik benang merah hubungan antara media dan demokrasi merupakan sebuah hubungan timbal-balik. Resiprokalitas hubungan tersebut dikembangkan oleh Mughan dan Gunther (2000) untuk mengkaji media dalam demokrasi lewat pendekatan mikro dan makro. Setelah melihat kajian yang sudah disebutkan sebelumnya, pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi integratif. Sebuah pendekatan integratif tentu akan mampu membaca fenomena secara mendalam dan komprehensif. Di samping itu, diperlukan konsepkonsep kekinian untuk mengambarkan dinamika terbaru atas hubungan media dan politik dalam konteks demokrasi liberal dewasa ini. Pendekatan makro diterapkan dengan mengkaji struktur sistem media dan bagaimana sistem tersebut memengaruhi politik. Pada umumnya, karakter sistemik yang dibahas adalah pola peraturan pemerintah, pola kepemilikan media, pola program acara, struktur audiens, dan tingkat 127


Quo Vadis Televisi?

penonton (viewership). Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada investigasi efek komunikasi politik pada level individual, biasanya pada musim kampanye menjelang pemilu (Mughan dan Gunther, 2000). Tetapi dalam level makro, Gunther dan Mughan (2000) juga melihat munculnya faktor ekonomi yang mempengaruhi posisi media dalam demokrasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi media. Pendekatan filosofis dalam mengembangkan teori pers oleh Siebert, et al. (1963), teoritisasi dinamis dari Hachten (1989), dan kategorisasi model dari Hallin dan Mancini (2005) merupakan kajian level makro. Berikut digambarkan pemodelan teoritis tersebut: Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media1 (Diolah dari: Sibert et al, 1963; Hallin & Mancini, 2005; dan Hachten, 1989) No 1 2

3

Tokoh

Faktor Makro

Siebert, et al. (1963) Hachten (1989)

Social and political structures Philosophical rationales Political system and historical traditions

Hallin & Mancini (2005)

Media sirculation Political parallelism Professionalism State intervention

Model Sistem Media Demokratis Non-Demokratis Libertarian Authoritarian Social responsibility Soviet communist Western concept Authoritarian Communist Developmental Revolutionary Polarized pluralist Democratic corporatist Liberal model

Persamaan di antara model di atas adalah: politik merupakan variabel pengaruh bagi keberadaan media. Konsep Hachten (1989) tidak jauh berbeda dengan pemikiran klasik dari Siebert et al. (1963). Kebaruan pada Hachten adalah munculnya model baru yang dipengaruhi oleh pemanfaatan media sesuai dinamika masyarakatnya, seperti model pembangunan. Pada kesempatan kali ini, kita akan menfokuskan pembahasan pada model tipe demokratis. Tujuan dari internalisasi model ini adalah untuk melihat faktor-faktor makro yang masih relevan dalam melihat bagaimana media di Indonesia berperan/tidak berperan bagi pengembangan demokrasi sebagaimana mestinya. Dari model-model di atas, pemikiran Hallin dan Mancini (2005) akan dijadikan sebagai dasar teoritis. 128


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

Hallin dan Mancini (2005) mengusulkan tiga model media dalam demokrasi dengan berpijak pada empat indikator empiris, yaitu: (1) Pertumbuhan pasar media dilihat dari tingkat sirkulasi media; (2) Political Parallelism dimana antara media dan partai politik memiliki kemiripan. secara ideologis; (3) Profesionalisme wartawan dan kinerja jurnalistiknya; dan (4) Tingkat intervensi negara terhadap media. Berdasarkan empat kriteria tersebut, Hallin dan Mancini menemukan tiga bentuk model media, seperti terlihat pada tabel di atas. Jika kita korelasikan antara keempat indikator ini dengan sistem media ideal, maka akan terbentuk empat hipotesis berikut: pertama, semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, maka makin independenlah media tersebut terhadap pengaruh dari luar khususnya negara. Media yang sukses secara ekonomi akan lebih bebas dari intervensi politik, ketimbang media yang kurang sehat secara bisnis. Media yang independen adalah pilar penting bagi demokrasi. Kedua, keragaman ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media. Walaupun indikator ini mengandung paradoks tersendiri yang nanti akan dijelaskan. Dalam konteks ini, sejauh keragaman tersebut masih dalam batas nilai-nilai demokrasi dan koridor hukum. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Profesionalisme ini biasanya ditandai oleh kode etik, organisasi jurnalis, perlindungan terhadap jurnalis, prinsip jurnalisme seperti objektivitas, dan lain-lain. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Keempat proposisi tersebut menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana peran media dalam demokrasi, termasuk di Indonesia. Politik demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat mengesankan. Banyak pujian datang dari negara lain dan lembaga internasional atas kesuksesan Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi (The Jakarta Post, 28/06/2010). Tetapi banyak ahli menilai bahwa demokrasi yang dinilai sebagai kesuksesan tersebut masih sebatas demokrasi minimalis, sekadar pelaksaan pemilu yang demokratis. Demokrasi secara substansial masih jauh dari kenyataan, atau oleh Boni Hargens disebut sebagai demokrasi permukaan (Kompas, 27/01/2009). Demokrasi substansial terwujud ketika kesejahteraan masyarakat menjadi fokus utama dalam usaha-usaha politik secara nyata, di mana hasil pembangunan dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk kemerdakaan yang hakiki. Terbebas tidak hanya dari aspek fisik, seperti makanan, 129


Quo Vadis Televisi?

pakaian, kesehatan, tetapi juga dari aspek kebebasan untuk berkarya, berkumpul, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya. Realitasnya, politik Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Krisis demokrasi perwakilan sebagaimana disinggung oleh Barber (1990) menguap di tengah disorientasi lembaga-lembaga politik di tanah air. Ketika realitas politik menunjukkan gambar yang buram, media menjadi bagian dari struktur yang tidak mencerdaskan tersebut. Apa yang kita saksikan di televisi akhir-akhir ini lebih banyak berita bersifat elitis. Mulai dari pergantian sekretaris jenderal partai, krisis koalisi, hingga konflik legislatif-eksekutif. Ketika hari berganti, muncul berita tentang kasus korupsi para pejabat negara yang makin melukai rasa keadilan. Di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, televisi menyajikan tontonan yang membuat masyarakat semakin merasa dipinggirkan. Krisis demokrasi perwakilan karena ulah para elit ini membuat masyarakat makin apatis terhadap politik. Konsekuensinya, warga negara semakin jauh dari keterlibatan politik. Di satu sisi karena ulah elit politik, di sisi lain media tidak memberikan informasi yang substantif berkaitan dengan kepentingan mereka. Pada akhirnya, rendahnya partisipasi politik berdampak buruk pada kualitas demokrasi. Dalam tataran inilah televisi semakin mendesak untuk direvitalisasi, demi menegakkan demokrasi. Media televisi mestinya dapat lebih berperan tidak hanya sebatas pengawas (watch dog), tetapi sebagai ruang publik ideal. Dengan kata lain televisi mestinya tidak hanya sebatas sarana, melainkan juga sebagai ruang untuk deliberasi demokratis. Dalam ruang publik perlu ditegakkan pluralitas pikiran dan partisipannya, sehingga media televisi tidak berubah menjadi alat propaganda elitis yang pervasif. Alih-alih mencerdaskan, televisi bisa terjerumus menjadi aktor hegemoni kultural. Paletz dan Etnman (1981: 194) menyatakan bahwa: By granting the elites substantial control over the content, emphases, and flow of public opinion, media practices diminish the public’s power. Eliminasi atas publik ini bisa disengaja oleh media, bisa juga tidak disadari. Di tengah proses deliberasi yang termediasi sekarang ini, kredibilitas media menjadi penentu keberhasilan deliberasi publik, sehingga dapat mewujudkan apa yang disebut Gamson (2001): collective action frames. Kerangka tindakan kolektif, menurut Gamson adalah: some sense of collective efficacy and deny the immutability of some undesirable situation. They empower people by defining them as potential agents of their own history (Gamson, 2001: 59). Peran media ini membutuhkan komunikator professional, orang130


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

orang yang tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi, tetapi juga mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, dan menyebarluaskan informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publik sehingga dapat ditangkap oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5). Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices. Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karena landasan pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikian masyarakat terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tinggi niscaya menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990) menyebutnya: strong democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy, Barber menegaskan: Strong democracy is defined by politics in the participatory mode: literally it is self-government by citizens rather than representative government in the name of citizens. Active citizens govern themselves directly here, not necessarily at every level and in every instance, but frequently enough and in particular when basic policies are being decided and when significant power is deployed. Self-government is carried on through institutions designed to facilitate ongoing civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation, and policy implementation (in the form of ‘common work’� (Barber, 1984: 151). Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untuk menfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik, deliberasi, legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan ini ditempatkan sebagai common work, sebagai dasar terbentuknya apa yang disebut Gamson sebagai collective action frames. Pusat dari demokrasi partisipatif adalah warga negara (the citizens). Maka demokrasi deliberatif yang menempatkan partisipasi warga negara sebagai pilar utama dalam sistem politik sangat relevan dengan kehadiran teknologi media baru. Demokrasi deliberatif, menurut Bohman (1996) secara teoritis memiliki empat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya deliberasi untuk mencapai keputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan pengambilan keputusan pada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat proseduralis; dan (4) menjungjung universalitas. Dalam demokrasi deliberatif terdapat kekuatan tindakan komunikatif dalam forum publik. Proses deliberasi dalam forum terbuka tersebut adalah: sebuah proses di mana warga negara berusaha untuk meyakinkan warga lainnya untuk menerima kebijakan yang diusulkan dengan berlandasan penggunaan reason di hadapan publik (public use of reason) lewat proses dialog deliberatif yang take and give (Bohman, 1996: 15). Demokrasi yang dibangun secara diskursif lewat ruang publik tersebut 131


Quo Vadis Televisi?

merupakan “rumah” bagi konstestasi berbagai wacana, di mana pada proses komunikasi tersebut harus dipenuhi tiga syarat, yaitu: mampu merangsang pemikiran reflektif, non-koersif, dan mampu menghubungkan pengalaman individual/kelompok dengan sebuah prinsip yang lebih umum (Dryzek, 2003: 9-10). Sejalan dengan itu, Bohman (1996) menyebutkan bahwa proses deliberasi dapat berhasil jika dipenuhi tiga syarat, yaitu: (1) tidak ada dominasi dalam proses deliberasi di mana ada seseorang atau kelompok yang memaksakan kekuasaannya untuk kepentingan tertentu; (2) adanya kesetaraan di mana setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap proses pengambilan keputusan; dan (3) deliberasi akan bersifat demokratis ketika dilakukan secara publik. Media televisi memiliki kualitas yang sangat tepat mengembangkan model demokrasi deliberaif ini. Dua bentuk genre berita televisi yang paling tepat untuk demokrasi delibertif adalah television debate dan current affairs, karena dimungkinkannya terjadi dialog. Sifat mediumnya yang mampu menghadirkan pesan audio-visual menjadi kekuatan tersendiri ketika ditayangkan secara live untuk sebuah acara dialog. Diskusi “interaktif” yang menghadirkan berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, warga masyarakat, akademisi, LSM, dan lain-lain, akan menciptakan kesepahaman (mutual understanding) yang lebih komprehensif. Secara struktural, pada Bagan 1 digambarkan proses interaksi tersebut Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang bebas dari tekanan kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negara melakukan pembicaraan politik atau deliberasi guna mewujudkan suatu kesepahaman bersama terkait dengan kepentingan umum yang lebih luas. Konsep dasar ruang publik ini umumnya didasarkan pada pemikiran Jurgen Habermas. Habermas mengungkapkan beberapa defenisi tentang ruang publik tersebut sebagai berikut: “The public sphere is a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed (Habermas 1974: 49); private persons making public use of their reason (Habermas 1989: 27); populated by private people gathered together as a public and articulating the needs of society with the state (hal.176).” Setidaknya ada empat “elemen” penting dalam ruang publik, yaitu: private persons, use of reason, needs articulation, dan public opinion. Jadi, debat politik dalam acara televisi (TV debates) maupun pada program dialog pada program current affairs merupakan upaya untuk merealisasikan elemen-elemen penting tersebut. 132


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia The State/Government/Political Establisement Trade Unions

Public opinion

Editorials

Pressure groups

News

Features

Business

Media

TV debates

Political Parties

Current Affair

Public organizations

Terrorist organizations

Citizens

Bagan 1. Televisi sebagai Ruang Publik (Dikutip dari: McNair, 2003, hal. 20).

3. Media Televisi: Kapital vs Publik Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa faktor makro politik lebih dominan dalam menentukan ruang gerak media. Faktor struktural tersebut terdiri dari peraturan pemerintah dan intervensi negara terhadap media. Pengekangan terhadap media akibat struktur politik ini umumnya terjadi di negara-negara otoriter, di mana kebebasan menjadi barang langka. Namun ketika kebebasan diraih, apakah media menjadi sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi? Sayangnya jawabannya: tidak! Mughan dan Gunther (2000) menengarai bahwa liberalisasi yang pada awalnya meruntuhkan rezim otoriter, kemudian menumbuhkan liberalisasi media, pada akhirnya media tidak serta-merta menunjukkan prinsip-prinsip 133


Quo Vadis Televisi?

demokrasi. Media dalam era kebebasan (demokrasi) disandera oleh kekuatan yang dulu membebaskannya, yaitu kekuatan liberalisasi ekonomi. Kapitalisme sebagai dasar liberalisasi mengeser media tidak lebih dari sekadar pelipatgandaan modal. Dalam prinsip pasar bebas, sebagai mesin penggerak kapitalisme, media tidak lagi berupaya untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh ‘publik’. Upaya-upaya yang dilakukan oleh media mulai dari komodifikasi, spasialisasi, hingga strukturasi, dimaksudkan untuk mengejar keuntungan belaka (Mosco, 1996). Media lebih terdorong untuk menyediakan informasi yang paling banyak dicari, lepas dari diperlukan atau tidak oleh masyarakat. Media lebih berorientasi mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga ekonomi. Profit menjadi prioritas utama dibandingkan fungsi normatif yang harusnya dipengang oleh media. Pada saat yang sama akses masyarakat terhadap media rendah terlebih untuk menyuarakan aspirasi mereka. Masyarakat juga kurang bisa memilih informasi yang lebih sesuai dengan kepentingannya, karena patokan utama yang dipegang oleh media adalah melayani kebutuhan mayoritas jenis informasi yang diinginkan dalam kebijakan free-market information. Jenis informasi yang tersedia (supplied) pada akhirnya adalah informasi yang paling banyak dicari (demanded), lepas dari bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Akibatnya, deliberasi demokratis lewat media lama niscaya terkikis oleh dorongan kepentingan ekonomi media. Dalam situasi ini, Jurgen Habermas (1989) pernah membongkar bahwa media yang mestinya berperan sebagai ruang publik, telah ‘mengidap penyakit’ refeodalisasi ruang publik.2 Ruang partisipasi politik lewat media akhirnya tertutup rapat. Penjajahan ruang publik membuat oleh kukuatan luar yang menjadi pengerak nafas ruang publik tersebut, membuat sesuatu yang publik (masalah politik misalnya) menjadi tunguk pada logika yang ‘privat’. Colonization in this sense thus means the almost unconditional surrender of politics … to the logic of the media system (Meyer & Hinchman, 2002: 57). Sebagian kalangan berpendapat, tidak salah jika media televisi menjadi lembaga bisnis, dan beroperasi demi kepentingan bisnis. Apakah ada yang salah dengan itu? Tentu tidak ada yang salah. Tetapi eksistensi media pada dasarnya ditopang oleh kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini yang melahirkan hubungan mutualisme yang baik. Kepercayaan tersebut perlu dipelihara lewat kinerja media yang dapat memberi kontribusi bagi kebaikan masyarakat. Maka sangat tepat McQuail (2000) menyebut media 134


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

sebagai “institusi sosial”, bukan media corporation misalnya. Institusi sosial mengindikasikan adanya dimensi sosiologis atas keberadaan media tersebut. Tanpa interaksi yang produktif antara media dan masyarakat, maka media tersebut tidak akan eksis. Di samping alasan sosiologis ini, ada alasan legal-politis yang lebih tegas untuk mendorong agar media televisi menjungjung kepentingan publik. Televisi di mana pun, termasuk di Indonesia menggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang siaran yang terbatas. Sumber daya tersebut diserahkan kepada negara untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat. Pada butir (b) bagian pertimbangan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dituliskan: bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 (penekanan oleh penulis). Sayangnya, kinerja media televisi di Indonesia terlebih 10 tahun terakhir sangat dikendalikan oleh keseragaman, eksploitasi sisi human interest, irrasionalistas, dan tubuh yang seksi. Semuanya demi meningkatkan tingkat viewership. Singkat kata, the economy reigns! Dalam situasi seperti itu, pemerintah sebenarnya harus turun tangan. Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjamin terwujudnya prinsip kepublikan tersebut.3 Bentuk yang paling lazim adalah penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturan pemakaian gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili kepentingan publik perlu mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsi pengawasan normatif saja. Kemudian, evaluasi penggunaan gelombang siaran pasti efektif untuk ‘meluruskan’ kepentingan publik dalam televisi. Pasal 34 ayat 1 butir b, UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyi demikian: “Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 tahun”; ayat 6, berbunyi: “Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali”. Apakah mekanisme kontrol ini sudah dijalankan, tampaknya kita masih harus menunggu political guts dari KPI. Persoalan terbesar muncul ketika di era neoliberal ini, kehadiran negara tidak hanya samar-samar, tetapi menjadi bagian dari kekuatan ekonomi yang menggerogoti eksistensi ruang publik televisi di Indonesia. Kedekatan antara penguasaha media televisi dengan pemerintah, bahkan 135


Quo Vadis Televisi?

menjadi bagian dari incumbent sangat berbahaya terhadap terwujudnya televisi sebagai ruang publik. Tanda-tanda buruk lainnya adalah ketika kekuatan politik dan kekuatan ekonomi, menyatu di dalam kepemilikan media televisi seperti sekarang ini. Sehingga acap kali televisi tidak lebih dari sekadar alat personal marketing kalau bukan corong propaganda pemiliknya. Politik dan Televisi di Indonesia Sebelumnya saya telah menegaskan ada empat pintu masuk untuk mengukur televisi sebagai ruang publik dalam demokrasi, yaitu: pertama, semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, makin independenlah media tersebut terhadap pengaruh dari luar. Kedua, keragaman, atau saya menyebut: pluralitas ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Indonesia sendiri tidak punya pengalaman yang ‘sehat’ tentang televisi dalam demokrasi. Artinya belum ada sebuah periode di mana politik dan media saling bekerja sama secara sinergis untuk memajukan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, walaupun awalnya televisi merupakan hasil pilihan politik dari pemerintah. Televisi pertama Indonesia, TVRI yang didirikan oleh Soekarno tahun 24 Agustus 1962 yang awalnya ditujukan untuk ‘mempromosikan’ kemampuan Indonesia di dunia internasional, ‘diubah’ menjadi alat politik negara selama kurang lebih 32 tahun. Bukan hanya tidak boleh memberitakan informasi yang berbeda dari penguasa, TVRI juga menjadi badan tersendiri untuk mengekang informasi yang diberitakan oleh televisi swasta yang muncul awalnya tahun 1987. Setelah mendominasi ruang keluarga selama 32 tahun lebih, TVRI akhirnya harus bersaing dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan Indosiar. State intervention pada masa itu juga tidak sekuat era sebelumnya. Tetapi, sepak terjang televisi swasta ini selain tidak pernah menikmati kebebasan yang sesungguhnya, pada dasarnya punya orientasi yang sama. D’Haenens, et al. (2000) menemukan bahwa: Generally, it can be said that the commercial stations are beginning to look like because the fierce competition between them. Although RCTI, for example, focuses a little more on the Indonesian society’s upper social and economic echelons and TPI more on the lower ones, actual differences are 136


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

minimal. All commercial stations share the same aim: maximizing profits (hal. 218). Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baik dari segi struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkan karena munculnya stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesi di antara mereka. Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi oleh menjamurnya produksi budaya yang mengubah pola perilaku masyarakat. Lengsernya Orde Baru, menempatkan media sebagai sumber informasi yang penting dan dipercaya oleh masyarakat. Media televisi tidak hanya banyak, tetapi mulai muncul perhatian serius pada aspek berita seperti SCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada era ini state intervention murni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud baru dari intervensi ini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjamin kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengan sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagai warranty body atas kepentingan pengelola media. Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika televisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi dipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik para aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik tersendiri bagi para aktor-aktor dan partai politik. Perubahan fungsi politik media televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategi komunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan para professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yang sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehingga televisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut. Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yang nota bene berbeda dengan the real politics. Media televisi di Indonesia menikmati kebebasan yang sangat besar, sejak dihapuskannya Departemen Penerangan pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Tekanan negara terhadap media televisi juga makin menurun termasuk dari pihak militer. Pada saat yang sama bermunculan stasiun-stasiun televisi baru. Dunia jurnalistik juga mulai dibenahi dengan membentuk berbagai lembaga organisasi keprofesian seperti Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi (JTV), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan berbagai organisasi media wacth. Di tengah itu semua, Indonesia memasuki era konsolidasi demokrasi sambil berusaha keluar dari keterpurukan 137


Quo Vadis Televisi?

ekonomi akibat krisis ekonomi. Pantaslah kita berharap bahwa media televisi akan semakin bergerak mendekati bentuk idealnya dalam demokrasi. Secara struktural media televisi di Indonesia telah memenuhi indikator-indikator dasar dengan mana dia dapat memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan publik. Banyaknya stasiun televisi nasional mestinya menjamin keragaman informasi politik yang disebarluaskan. Dengan alasan itu pula berarti bisnis televisi (media economy) mengalami kemajuan sehingga dia tidak tergantung pada sumbangan pemerintah seperti terjadi pada masa orde baru. Kemudian makin ada kesadaran tentang bagaimana para pekerja media televisi mestinya dapat menegakkan profesionalisme mereka. Selain dibuatnya kode etik jurnalis, lembaga-lembaga independen juga banyak dibentuk sebagai wujud kepedulian pada jurnalisme yang professional. Dengan jurnalisme professional, media televisi dapat terhindar dari pemberitaan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Tetapi pendekatan di atas bisa jadi masih politically one sided. Analisis tersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauh lebih dominan dalam media televisi. Media televisi sangat tergantung dengan iklan. Hal ini berbeda dengan media cetak seperti surat kabar dan majalah, atau film. Media televisi memiliki sumber revenue utamnya dari iklan, sementara surat kabar bisa dari iklan dan juga hasil penjualan oplah. Sehingga media televisi secara politik sangat tergantung pada kekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat publik dan partai politik secara lihai telah melihat kelemahan televisi ini. Bersedia tidaknya sebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik tertentu tidak ditentukan apakah isi iklan tersebut layak atau tidak dikonsumsi oleh publik, apakah iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapi lebih ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biaya tayang iklan tersebut. Ketika uang yang menjadi penentu kesediaan televisi untuk menayangkan iklan politik partai-partai dan aktor politik, maka hukum klasik pasar berlaku. Kandidat dan partai politik dalam pemilu yang tidak kaya misalnya sulit untuk punya akses terhadap media televisi. Dengan demikian ‘partai-partai besar’ saja yang akan menguasai jagat ruang publik tersebut. Kompetisi politik dalam kontes pesta demokrasi berubah menjadi persaingan bisnis. Masalahnya spirit bisnis, sangat jauh berbeda dengan 138


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti ini, semua indikator politik makro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak relevan. Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak pada corak pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar kekuasaan, di mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik yang ditampilkan di ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasi dengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’ atau ‘kepublikan’ sendiri hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, atau representation lewat kehadiran ‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’ (Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaan media televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakter buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik” mestinya hadir sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersamasama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatu kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan akan perbedaan informasi yang dipertukarkan. Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publik ideal, deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitas berikut: comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven Schneider (1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasi Habermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan (equality), keragaman (diversity), saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas (quality). Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan secara menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana di dalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibat harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akan memberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi deliberasi dalam televisi itu bukan merupakan alat politik untuk mempertahankan citra, melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersamasama dengan bertumpu pada reasoned arguments. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukan secara sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukuran kualitas keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaannya, tetapi alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikian ketidaksetujuan bukan merupakan hal yang janggal dalam proses deliberasi di ruang publik, tetapi sebagai proses pemurnian pemikiran secara dialektis ketahap yang paling sempurna. Televisi khususnya lewat 139


Quo Vadis Televisi?

dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs atau dialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini. Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (berita khususnya) yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi juga lebih dominan eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa, dan sensasionalisasi. Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadi hilang substansi. Gejala ini seolah menegaskan bahwa praktek komunikatif televisi tidak lebih dari sekadar kelatahan, sehingga cara menyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan dari apa yang disampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi di Indonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitas informasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang paling sensasional dan dramatis. Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi wacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di Indonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda setting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang masyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu akan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atau tidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas politik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politik sebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagi demokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjadi televisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman wacana, tentu sesuai dengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politik dalam masyarakat tidak diakomodir di sini. Informasi Politik dan Perilaku Pemilih Peran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, dan relevan dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai dan menentukan pilihan politiknya. Sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan perilaku politik di Indonesia sudah mulai bergeser ke arah politik rasional. Keyakinan ini didukung oleh beberapa faktor. Pertama, semakin besarnya kuantitas masyarakat kelas menengah ke atas dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kedua, semakin terbukanya sumber-sumber informasi yang beragam berkat

140


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

perkembagan teknologi informasi, sehingga mengubah cara pandang masyarakat tentang dirinya dan dunia luar, termasuk atas politik. Berikutnya yang ketiga, ditandai oleh tetap eksisnya partai-partai nasional, sementara pada saat yang sama banyak partai-partai berbasis agama yang menurun popularitasnya atau bubar. Keempat, seiring dengan itu mulai menarik dirinya para tokoh-tokoh agama dari panggung politik. Kelima, mekanisme pemilihan langsung mau tidak mau mendorong setiap orang untuk berusaha mengenali siapa tokoh yang akan dipilihnya. Pencarian informasi merupakan modal awal untuk menentukan pilihan politik yang lebih rasional. Keenam, pada saat yang sama terjadi migrasi pemilih dari satu partai ke partai lain yang tidak lagi didasarkan pada faktor identitas keagamaan tertentu. Saiful Mujani dan William Liddle (2010) menegaskan tren yang sama. Kedua ahli politik tersebut menyimpulkan bahwa: “As in 1999 and 2004, however, we found little evidence that voters were influenced by their religious, ethnic, regional, or social-class identities. […]. Indonesian voters have become increasingly rational—setting standards, identifying goals, and choosing leaders based on those standards and goals. Their preference for secular national parties reduces the likelihood of ethnic or religious conflict.” (hal. 48) Dinamika politik nasional sebenarnya memberi sinyal makin dibutuhkannya informasi politik yang substantif oleh pemilih. Setelah masyarakat sebagai pemilih (voters), terlepas dari kungkungan ikatanikatan tradisional dalam mengambil keputusan, maka diperlukan landasan yang lebih kokoh dan rasional untuk mengiring perubahan perilaku politik tersebut. Dalam situasi seperti ini media sangat diharapkan dapat mengisi posisi itu. Sayang sekali, yang terjadi adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa informasi di media televisi kita cenderung elitis. Oleh karena itu pula, menjadi sangat top down. Informasi politik yang menggambarkan hiruk-pikuk struktur politik tidaklah salah. Tetapi, pendekatan tersebut harus disandingkan dengan informasi dari bawah, dari masyarakat. Dengan pola top-down, maka: “Political opinions flow downward. They originate among elites, are picked up and propagated among attentive, then reach and shape the thinking of the mass citizenry. Apoliticals are uninvolved, attracted only bey a major controversy and dramatic event. The prestige and popular media are the prime conveyor belts.” (Paletz dan Etnman, 1981: 186).

141


Quo Vadis Televisi?

Akibat terparah dari informasi politik yang elitis adalah selain cenderung bias kepentingan, juga membuat masyarakat menjadi cenderung penerima pasif atas informasi. Bahkan bisa jadi apolitis. Padahal, dalam demokrasi, pilihan politik yang rasional mesti didorong oleh keinginan aktif. Bahkan bentuk partisipasi ini perlu mencapai ranah deliberasi secara diskursif di ruang publik. Dalam konteks ini, seperti ditegaskan juga oleh Hardiman (2010: 1) ruang publik mendorong partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Media televisi harus tampil sebagai ruang yang mendorong deliberasi publik. Salah satu upaya untuk mewujudkannya peran tersebut adalah pertama-tama menyelamatkan ruang publik itu sendiri. Herry-Priyono (2010) mengaskan bahwa ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ruang publik, yaitu: lewat rute kebijakan publik, rute reedukasi selera pasar, dan rute re-edukasi aktor. Ditegaskan bahwa ‘ruang publik’ selalu mengisyaratkan ‘kebijakan publik’. Oleh karena itu, kebijakan publik dapat diarahkan untuk menyelamatkan ruang publik walaupun lembaga yang menjalankannya tidak selalu yang namanya pemerintah. JIka kita kaitkan dengan media televisi di tanah air, maka ranah kebijakannya tampaknya berada di tangan pemegang kekuasaan. Kebijakan publik terkait dengan media televisi, mungkin bisa dimulai dari reorganisasi televisi pertama kita, TVRI. Citacita menjadikan TVRI sebagai TV publik tampaknya masih sebatas citacita, belum pada tingkat praktek. Persoalan di tubuh TVRI boleh jadi lebih dari sekadar ‘kebijakan publik’. Pelaksana ‘kebijakan publik’ dalam konteks ini bisa juga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi KPI juga mungkin membutuhkan ‘kebijakan’ sendiri yang lebih memihak kepada public. Atau terkait dengan lembaga tersebut, perlu disusun ulang sebuah ‘kebijakan publik’ (lihat: Sudibyo, 2009). Rute berikutnya adalah reedukasi selera pasar, baik dalam ranah produsen maupun konsumen. Kasus televisi di Indonesia merupakan contoh yang sangat tepat untuk ini. Selain perubahan mindset dan paradigma para produser dan pekerja media lainnya, masyarakat juga perlu disadarkan dari mimpi-mimpi semu yang mengelabui ketika mereka mengkonsumsi media televisi. Literasi media yang mendorong, bermedia secara cerdas merupakan salah satu pilihan praktis. Serta, re-edukasi aktor sosial yang menjadi pelaku-pelaku utama dalam ruang publik. Contoh yang sangat sederhana adalah bagaimana 142


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

membudayakan nilai-nilai civility dalam hidup keseharian, mulai dari budaya antri yang tertib hingga bertoleransi secara menghargai. Upaya penyelamatan ini memang sudah melebar. Tidak hanya dari segi struktur televisi sebagai ruang publik, tetapi masyarakat atau agency juga ikut mempengaruhi perubahan struktur media televisi. Dari segi struktur, pemberitaan media televisi perlu memegang teguh prinsip impartiality khususnya atas pendapat dan informasi yang saling bertentangan (competing views). Dua hal penting yang harus ditegakkan untuk mencapainya adalah media pluralism dan nonpartisan news coverage of politics (Gunther dan Mughan, 2000: 422). Penutup Televisi sebagai ruang publik di Indonesia tampaknya masih menggambarkan panggang jauh dari api. Realitas televisi kurang mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Sejalan dengan itu, struktur kekuasaan yang hadir dalam bentuk birokrasi negara (pembuat kebijakan) telah dimanfaatkan oleh media sebagai penjamin kepentingan media sendiri. Artinya, represi kekuasaan atas ruang publik yang dihadirkan televisi tidak termanifestasi secara langsung dan eksplisit. Tren ini seolah menggambarkan merajainya semangat neoliberalisme yang ingin mengangkangi negara demi kepentingan pasar. Para elit politik juga lebih melihat televisi sebagai alat untuk pembentukan citra. Bibit industrialisasi politik khususnya menjelang pemilu makin menggeser fungsi deliberatif televisi sebagai ruang publik. Di tengah semua fenomena itu televisi di Indonesia masih sulit untuk hadir sebagai ruang publik. Hal paling pokok adalah krisis ruang publik adalah krisis demokrasi. Sebab, mustahil lahir demokrasi yang benar-benar demokrasi secara substantif, bukan sekadar prosedur-mekanistis, tanpa hadirnya ruang publik. Saya sangat sepakat dengan pemikiran Thomas Meyer berikut: In a democracy a public sphere is and will always remain the sine qua non of politics, for even when high levels of participation are not expected or encouraged, elections still have to be held. Legitimacy, the lifeblood of democratic politics, can be acquired only through citizen’s consent to what they perceive as the decisions made by political elites. (Meyer & Hinchman, 2002: 52).

143


Quo Vadis Televisi?

Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi. Televisi secara struktural merupakan ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan peran tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi di Indonesia sekarang ini. Daftar Pustaka Barber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press. Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark Poster). Cambridge: Polity Press. Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy. Cambridge, MA: MIT Press. Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann Arbor: The University of Michigan Press. d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures for Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards (Eds), Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-232. Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives to Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science, Australian National University. Diakses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-files/ Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010. Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance Bennett & Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the Future of Democracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-74. Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the Media: A Reassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 402-448. Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press. Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” New German Critique 3, Autum, hal. 49-55. Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies, 2nd edition. United State of America: Iowa State University Press. Hallin and Mancini. 2005. Comparing Media System, Three Models of Media and Politics. Cambridge: Cambridge University Press.

144


Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia Hardiman, F. B. 2010. Pendahuluan. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 1-20. Herry-Priyono, B. 2010. Menyelamatkan Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 369-398. Lasswell, Harold, Lerner D., & Speir Hans. 1980. Propaganda and Communication in World History. Honolulu: University of Hawaii Press. McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third edition. London & New York: Routledge. McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Meyer, Thomas & Hinchman, Lew. Media Democracy, How the Media Colonize Politics. Great Britain: Polity Press. Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Renewal and Rethinking. London: Sage Publication. Mughan, Anthony & Gunther, Richard. 2000. The Media in Democratic and Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27. Mujani, S & Liddle, W. 2010. Personalities, Parties, and Voters. Journal of Democracy Volume 21, Number 2 April 2010, hal. 35-49. Page, Benjamin I. 1996. Who Deliberates? Mass Media in Modern Democracy. USA: The University of Chicago Press. Paletz, David L., & Entman, Robert M. 1981. Media, Power, Politics. New York: The Free Press. Schneider, Steve M. 1997. Expanding the Public Sphere through ComputerMediated Communication: Political Discussion about Abortion in a Usenet Newsgroup. Ph.D dissertation, Massachusetts Institute of Technology. Diakses dari: http://www.sunyit.edu/!steve/, pada tanggal: 25 Juni 2010. Siebert, Peterson, & Schramm. 1963. Four Theories of the Press. Urbana and Chicago: University of Illinois Press. Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kompas, 15/06/2010. Kompas, 27/01/2009 The Jakarta Post, 28/06/2010.

Catatan 1

Penyusunan model ini didasarkan pada perspektif makro dengan meletakkan sistem politik dalam dua tipe secara berlawanan (demokrasi dan nondemokrasi). Model sistem media yang terbentuk akibat faktor makro tersebut diletakkan sesuai dengan karakter sistem politik demokratis dan nondemokratis.

145


Quo Vadis Televisi? 2

3

Feodalisasi ruang publik, menurut Habermas (1989) terjadi di awal pembentukannya lewat kooptasi politik dari negara (hirarki kekuasaan) pada abad ke-16. Refeodalisasi ruang publik (abad ke-19) ini disebabkan karena makin absolutnya kekuatan kapitalisme dalam ruang publik (media massa khususnya), di mana bombardir tayangan iklan dan hiburan massa menyatu sebagai alat untuk menundukkan sikap kritis warga negara. Keterlibatan negara dalam hal ini bukan dimaksudkan untuk mengontrol media televisi, tetapi untuk memastikan terpenuhinya hak-hak publik. Bentuknya tentu tidak bersifat represif, tetapi sebagai bagian dari wujud law enforcement. Regulasi di satu sisi memang sering berkonotasi buruk, tetapi di sisi lain dia juga diperlukan sesuai konteks. Deregulasi terhadap media televisi, tidak otomatis menjamin terpenuhinya hak-hak publik. Justru ketika pasar menjadi “penguasa�, kepentingan publik harus dibela lewat penjaminan oleh negara.

146


Parodi di Balik Layar Kaca Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang terus-menerus ‘menjadi’, selalu berevolusi seiring dengan perkembangan jaman. Kehidupan manusia tak lepas dari unsur kebudayaan. Kebudayaan dapat menjadi pembeda antara generasi manusia yang satu dengan generasi yang lain. Kebudayaan terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu kebudayaan lisan, tulisan, dan audiovisual. Kebudayaan lisan atau tutur adalah kebudayaan tertua manusia, dimana komunikasi, pembelajaran, penyebaran nilai-nilai kehidupan dan moral disebarkan dengan cara lisan atau tutur. Biasanya dengan media dongeng, nyanyian (tembang), upacara adat, dan ritual adat. Meski hanya dari mulut ke mulut, namun nilai-nilai moral tetap terjaga teguh dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok manusia dalam kebudayaan ini mempunyai ingatan (memori) yang kuat dan lebih senang bersosialisasi. Kebudayaan tulisan (literasi) masuk ketika masyarakat mengenal dunia menulis dan membaca. Sehingga peraturan pemerintahan, adat-istiadat dan nilai-nilai kehidupan dan moral, tidak hanya disebarkan dengan cara lisan, namun juga tertuang dalam bentuk tulisan dan terdokumentasi. Bahkan tata letak dekorasi rumah juga berubah. Ruang keluarga yang biasanya cukup dengan sofa dan hiasan foto keluarga, dilengkapi rak-rak buku dan perpustakan kecil. Kelompok manusia dalam kebudayaan ini lebih tertutup dan lebih suka menghabiskan banyak waktu untuk menekuni koleksi buku-bukunya daripada bersosialisasi. Kebudayaan audiovisual berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi. Kebudayaan jenis ini merupakan perpaduan antara teknologi audio (suara) dan visual (gambar/gerak). Contoh benda hasil budaya audiovisual adalah internet dan televisi. Kelompok masyarakat dalam budaya ini berciri: aktif, kreatif, modern, dan menyukai hal-hal yang bersifat instan. 147


Quo Vadis Televisi?

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian baru masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil (Wibowo, 1997 : 1). Kultur baru ini pada dasarnya sudah dikenal sejak lama, sebelum kebudayaan tulis atau cetak menggesernya. Sebelum kebudayaan cetak dan tulis berkembang, orang sudah menggunakan bahasa verbal dan visual, misalnya dalam pagelaran wayang kulit, gamelan, ketoprak. Masa ini disebut kebudayaan audiovisual lama atau kebudayaan lisan pertama. Karena kemiripan tersebut, maka kebudayaan audiovisual baru juga sering disebut sebagai kebudayaan lisan kedua. Keunggulan kebudayaan lisan (baik pertama maupun kedua) dibandingkan kebudayaan tulis adalah, kebudayaan lisan mengembangkan memori manusia. Sajian dalam bahasa audiovisual lebih gampang diingat daripada apa yang ditulis atau dibaca (Wibowo, 1997 :1). Kebudayaan lisan masih tertanam pada sebagian besar masyarakat Indonesia, yang notabene budaya literasinya masih rendah. Sehingga, ketika budaya audiovisual (kebudayaan lisan kedua) masuk di saat mayoritas masyarakat masih menjadi kelompok masyarakat tutur (kebudayaan lisan pertama), maka perkembangan teknologipun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya, telpon atau handphone lebih sering digunakan untuk menggosip bagi ibu-ibu rumah tangga, fasilitas internet kebanyakan digunakan untuk chating bagi anak-anak muda, sedangkan televisi yang seharusnya netral, demokratis dan bersifat edukatif, oleh para politisi justru digunakan sebagai ajang debat dan saling mempengaruhi. Banyak orang ingin berbicara dan didengarkan daripada mendengarkan. Dari situ, terlihat begitu kentalnya budaya tutur yang masih tertanam bagi masyarakat Indonesia. Manfaat Televisi Pada dasarnya, televisi dibuat oleh sebuah lembaga penyiaran. Penyiaran adalah kegiatan pembuatan dan proses menyiarkan acara siaran radio maupun televisi, serta pengelolaan operasional perangkat lunak dan keras, yang meliputi segi idiil, kelembagaan dan sumber daya manusia, untuk memungkinkan terselenggaranya siaran radio atau televisi (Wahyudi, 1994 : 6). 148


Parodi di Balik Layar Kaca

Siaran televisi memiliki daya penetrasi sangat kuat terhadap individu/ kelompok, akibatnya siaran televisi dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Karena memiliki pengaruh yang besar bagi khalayak, maka dalam hal ini terdapat patokan-patokan bagi penyiaran televisi, agar menimbulkan efek yang positif bagi khalayak. Patokanpatokan tersebut menurut Wahyudi (1994: 5) adalah dihasilkannya siaran yang berkualitas, baik, dan benar. Siaran yang berkualitas adalah siaran yang kualitas suara atau gambar prima. Siaran yang baik adalah siaran yang isi pesannya, baik audio dan visualnya bersifat normatif, edukatif, persuasif, akumulatif, komunikatif, dan stimulatif, serta sejalan dengan ideologi, norma, etika, estetika dan nilai-nilai yang berlaku. Siaran yang benar adalah siaran yang isi pesannya baik audio dan atau visualnya diproduksi sesuai dengan sifat fisik medium radio dan atau televisi. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa penyiran televisi dapat dikatakan bermutu tinggi apabila dapat memenuhi standar atau patokan yang telah disebutkan diatas. Apabila salah satu dari aspek tersebut tidak ada, maka penyiaran televisi dapat dikatakan kurang bermutu. Sedangkan, menurut Wibowo (1997 : 1), unsur esensial dari kebudayaan televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan. Televisi ada untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Manfaat yang diberikan hendaknya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan bukan hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Oleh karena itu, harus ada keberimbangan pada setiap acara-acara dalam televisi tersebut. Penyiaran acara televisi harus mencakup ketiga manfaat televisi: sarana hiburan, edukasi/pengajaran dan menyampaikan informasi sehingga dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat. Program acara televisi yang bersifat hiburan misalnya sinetron, sitkom, acara komedi dan kuis interaktif. Sedangkan acara yang bersifat edukasi adalah talkshow, penyuluhan, dan program acara layanan sosial masyarakat. Program acara yang bersifat menyampaikan informasi adalah berita, liputan langsung dan infotaiment. Apabila hanya salah satu aspek saja yang ditekankan, misalnya acara-acara hiburan yang lebih banyak ditayangkan dalam televisi, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa televisi memberikan manfaat yang tidak berimbang. 149


Quo Vadis Televisi?

Acara-acara yang hiburan jauh memberikan keuntungan/profit bagi stasiun televisi karena akan mendapatkan banyak sponsor (iklan). Akibatnya, stasiun televisi lebih banyak memberikan program acara yang bersifat hiburan daripada edukasi ataupun informasi. Tentu hal tersebut sangat disayangkan, karena masyarakat tidak dapat mendapatkan haknya untuk memperoleh siaran yang mendidik atau mendapatkan informasi yang mencukupi. Televisi Saat Ini Acara-acara televisi yang ditampilkan saat ini menggambarkan apa manfaat yang ingin dicapai. Apakah ada ketimpangan dari segi manfaat, dapat dilihat dari frekuensi tayangan-tayangan yang ditampilkan di televisi. Setiap tayangan yang akan disajikan, terlebih dahulu isinya disaring oleh pihak media tentang apa saja yang akan ditampilkan dan bagaimana cara menampilkannya. Tujuannya, apa yang ditayangkan dianggap sesuai untuk ditampilkan ke hadapan masyarakat. Meski pekerja media antara satu dengan yang lainnya berbeda ideologi, namun tujuan utama nya untuk memenuhi kebutuhan masayarakat sehingga semua yang mereka tampilkan akan bermanfaat bagi masyarakat secara menyeluruh dan berdampak baik bagi kepentingan bersama. Bermanfaat bagi masyarakat berarti tidak hanya bermanfaat bagi segelintir pihak. Menampilkan informasi secara objektif dan faktual merupakan salah satu manfaat yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Namun jika ditilik lebih mendalam, hal itu tidak cukup. Sudut pandang pemberitaan yang berbeda-beda juga akan memberikan dampak yang berbeda pula bagi para penonton televisi. Karena televisi juga bisa digunakan untuk membangun opini pemirsa. Sudut pandang pemberitaan merupakan kebijakan masing-masing televisi dalam menyiarkan sesuatu. Isi media dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti ideologi para pekerja, pasar, pemilik media, ideologi negera dan lain sebagainya. Namun setiap pekerja tentunya akan mengikuti ideologi yang lebih besar (ideologi perusahaan media). Ideologi perusahaan tentunya dibangun oleh para pendiri atau pemilik saham. Tujuan mendirikan media, selain memenuhi kebutuhan masyarakat/bermanfaat bagi masayarakat, ada tujuan-tujuan lain, salah satunya tujuan bisnis. Hal itu tentu saja sangat tidak salah karena pemasukan negara dari perusahaan media juga merupakan suatu hal yang penting. Namun, perusahaan harus memenuhi 150


Parodi di Balik Layar Kaca

kebutuhan orang banyak karena mereka telah membuat keputusan untuk membuat media yang akan berhubungan dengan orang banyak. Apa yang mereka persembahkan seharusnya bermanfaat bagi orang banyak, bukan malah menyesatkan atau mengacaukan. Mengutamakan kepentingan orang dalam atau kepentingan kelompok bisa mengacaukan manfaat bagi masyarakat. Pemilik media memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan isi media. Persoalannya, apakah kebijakan yang diambil memberikan manfaat bagi masyarakat atau justru memberikan manfaat hanya bagi pihak tertentu? Kita memang tidak pernah bisa tahu, namun melalui pola-pola tertentu kita bisa melihat apa tujuan media dalam setiap kebijakannya. Karena itu, kebijakan perusahaan media merupakan cerminan bagaimana media televisi memahami manfaat yang ditujukan kepada masyarakat. Salah satu faktor ketimpangan manfaat bisa jadi berasal dari kepemilikan media. Apa jadinya jika stasiun-stasiun televisi dikuasai oleh segelintir orang? Apakan segelintir orang tadi bisa bertindak objektif dengan media-media yang dia miliki atau sebaliknya mereka menggunakan media sebagai alat untuk menguntungkan diri mereka ataupun melindungi mereka dari sesuatu? Jika demikian, televisi tidak lagi akan bermanfaat bagi masyarakat tapi hanya bermanfaat bagi pemilik serta kelompok-kelompok yang dimenangkan oleh media tersebut. Jika ini berlangsung terus-menerus maka makna dari manfaat televisi di masa depan akan semakin bergeser. Media televisi bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi dan tidak ada lagi fakta yang disebarkan oleh televisi. Maka nilai jurnalisme pun akan hancur karena media tidak lagi dapat dipercaya akibat penyalahgunaannya. Jika demikian untuk apa ada televisi? Sebuah sarana yang digunakan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan orang banyak malah menjadi sesuatu yang diagendakan oleh segelintir orang atupun para penguasa. Televisi Masa Depan Di masa depan televisi bisa menjadi senjata perang di antara pemilik media atau penguasa untuk saling menjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat, melainkan akan dibuat bingung oleh media-media tersebut dan tidak tahu lagi mana media yang bisa dipercaya.

151


Quo Vadis Televisi?

Konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku di Jerman, Inggris, maupun Indonesia, Konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, dapat menggerogoti kedaulatan negara (Vogt, 2001 : 30). Jika ini terjadi, tidak akan ada lagi manfaat untuk masyarakat. Televisi akan menjadi sumber kekacauan karena mengaburkan fakta objektif demi menutupi kepentingan segelintir orang. Fakta bukan lagi sesuatu yang murni karena campur tangan sesuatu. Tak heran apabila nanti, media bisa membuat agenda setting untuk suatu peristiwa untuk menutupi sesuatu. Jadi mereka bisa merencanakan kejadian apa yang harus terjadi di keesokan harinya sehingga mereka bisa menjadikan hal tersebut sebagai berita. Melihat ilustrasi fiksi dari film Ian Flaming, Tommorow Never Dies, salah satu sekuel dari agen rahasia 007, kita bisa melihat betapa besar pengaruh penguasa media dalam menjalankan media miliknya. Film tersebut dibuat sebagai sindiran bagi Rupert Murdoch, yang merupakan seorang penguasa media hingga saat ini. Menguasai saham media baik cetak terutama televisi bisa membuat para penguasa media seakan-akan menjadi dewa di dunia ini. Media bisa menjadi alat pengendali keadaan. Jadi selama memiliki media televisi, para penguasa dapat mengendalikan peristiwa sehingga peristiwa yang akan terjadi akan selalu menguntungkan mereka. Melihat kepemilikan media yang dimiliki oleh Rupert Murdoch, kita bisa mengandaikan apa yang akan terjadi di masa depan. Dia adalah pemilik News Corporation yang memiliki jaringan ratusan media cetak, radio dan televisi di seluruh dunia. Yang paling menonjol adalah jaringan televisi. Ia memiliki mayoritas saham di Fox Channel yang menjadi channel keempat setelah ABC, NBC dan CBS. Ia memiliki 30 saluran kabel dan satelit di negeri itu. Separuh dari kepemilikan saham National Geography dan sebagian saham GE yang menjadi induk dari televisi saingannya NBC. Di luar Amerika, Murdoch memiliki dua puluh delapan saluran televisi di Inggris, delapan diantaranya share kepemilikan dengan Paramount dan Nickelodeon, cartoon channel yang paling kuat di dunia. Murdoch memiliki dua televisi di Jerman, 16 televisi lokal di Australia, satu di Canada enam di India. Murdoch lewat perusahaannya Star TV menguasai enam saluran televisi yang secara total menguasai 60 persen dari audience share negara itu. Tak ketinggalan, penguasa media ini juga memiliki saham minoritas sebuah stasiun TV Italia, dua di Jepang, delapan di Amerika Latin. Lewat 152


Parodi di Balik Layar Kaca

Star TV Murdoch mengakuisisi mayoritas saham ANTV dan sedang berancangancang mengambil stasiun televisi kedua di Indonesa, Lativi kala itu (Kompasiana, 16/01/2010/01). Masih banyak kepemilikan media yang dia miliki. Belum lagi radio, media internet, serta media cetaknya. Hal ini sangat memungkinkan bahwa dia masih akan tetap berjaya di kehidupan televisi masa mendatang. Semua opini masyarakat bisa saja digiring oleh idealismenya. Hal ni tentunya akan membawa manfaat bagi dirinya seorang. Dia menguasai hampir semua televisi di dunia karena dia selalu menaruh saham di tiap-tiap televisi dia anggap dapat bermanfaat entah bagi siapa. Pada akhirnya televisi di masa depan bukanlah lagi milik masyarakat tapi benar-benar hanya dimiliki oleh para penguasa dan para pemilik medianya. Masyarakat hanya akan menjadi penonton persaingan mereka dan tidak lagi dapat berperan aktif di dalam televisi di masa depan. Hal ini bukan hanya sebagai dugaan, apabila kebiasaan memanfaatkan media demi kepentingan pribadi tidak dihilangkan mulai dari sekarang. Jika kita menilik kasus-kasus kecil yang sedang terjadi di Indonesia, mungkin kita bisa melihat kasus peristiwa lumpur di daerah Sidoharjo yang menyebabkan banyak kerugian bagi para penduduk di sekitarnya. Lumpur tersebut diselidiki merupakan hasil dari human error oleh salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia, Lapindo. Maka dari itu berita tersebut seringkali memakai kata Lumpur Lapindo untuk menegaskan bahwa peristiwa itu merupakan human error dari perusahaan tersebut. Di sisi lain, ada pula media yang menyebutkan dalam pemberitaannya dengan memakai nama Lumpur Sidoarjo serta menekankan bahwa peristiwa tersebut merupakan bencana alam. Kita mengetahui, human error dari sebuah perusahaan yang menyebabkan malapetaka, merupakan tanggung jawab dari perusahaan tersebut. Namun apabila lumpur itu ditekankan sebagai bencana alam, maka yang berkewajiban bertanggung jawab adalah pemerintah. Dari sini kita bisa menduga mengapa ada sudut pandang pemberitaan yang begitu berbeda antara satu dengan yang lain. Apakah memang hal ini merupakan pertarungan para penguasa yang ingin saling menjatuhkan? Apakah yang sebenarnya terjadi ataukah ada sesuatu yang harus ditutupi sehingga pada akhirnya kasus ini sampai sekarang masih saja menggantung. Bahkan di bulan ramadhan lalu, salah satu media sempat-sempatnya meliput sang pemilik saham saat berbuka puasa bersama dengan korban lumpur yang ada di daerah Sidoarjo tersebut. 153


Quo Vadis Televisi?

Dengan menjadi pemilik media, begitu mudahnya bisa membeli siaran untuk meliput acara buka bersama yang sebenarnya hal tersebut merupakan acara pribadi. Kami rasa masyarakat tidak membutuhkan berita di televisi tentang keluarga yang sedang berbuka bersama. Hal itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan masyarakat, apalagi sampai memberikan manfaat bagi orang banyak. Berita semacam itu tentunya merupakan sarana promosi atau mengiklankan diri bahwa “Saya adalah orang yang baik hati.� Tapi sekali lagi perlu ditekankan, media televisi tidak hanya berbicara tentang hal pribadi. Jika semakin lama televisi terpuruk di dalam keegoisan para penguasa, maka prediksi akan bergesernya makna dan manfaat televisi akan terjadi. Selamat tinggal kepentingan masyarakat dan selamat datang persaingan para penguasa. Jika melihat keadaan yang demikian, alangkah tragisnya nasib televisi di masa depan. Televisi yang pada awalnya memiliki tujuan suci demi kepentingan masyarakat banyak akan menjadi mainan bagi penguasa untuk mencari keuntungan pribadi. Imbasnya tidak hanya dalam media televisi. Ilmu jurnalisme bisa menjadi hal yang tidak lagi bermakna. Jurnalisme akan kehilangan ideologinya karena termakan oleh penguasa yang lebih besar. Segala hal yang dipelajari oleh para jurnalis akan menjadi hal yang sia-sia. Yang perlu dipelajari pada nantinya mungkin adalah bahwa para jurnalis harus bekerja sesuai dengan keinginan para penguasa yang menaunginya. Tidak ada lagi kebebasan bagi para jurnalis untuk membuat sudut pandang namun semuanya akan ditentukan oleh hal-hal yang berkuasa diatasnya. Apakah hal ini bermanfaat bagi jurnalis? Tentu saja tidak karena hal tersebut akan merebut kemerdekaan para jurnalis. Kita bisa melihat kasus yang lain. Kasus Gaza pernah menenggelamkan kasus kecelakaan sebuah kapal laut di dalam negeri. Masyarakat mendapat informasi tentang luar negeri tetapi informasi penting yang terjadi di dalam negeri seolah menguap begitu saja tanpa mendapat perhatian. Apakah yang membuat media memilih kebijaksanaan seperti ini? Apakah masalah dalam negeri menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan masalah Gaza? Apa bangsa kita memiliki kepentingan di Gaza? Sangat benar apabila media memberikan informasi tentang hal yang sedang berlangsung di sana. Namun bukan berarti masalah dalam negeri yang lebih penting menjadi terlupakan. Pasti di balik pemberitaan ini ada suatu kepentingan yang ingin diwujudkan. 154


Parodi di Balik Layar Kaca

Hanya dengan melempar isu tanpa mendapatkan penyelesaiannya tidak sama dengan memberikan manfaat kepada masyarakat. Sama seperti melempar kasus Century atau Gayus, namun tidak pernah ada penyelesaiannya. Bahkan ketika kasus itu semakin terpuruk muncul kasus lain yang menenggelamkan kasus negara yang lebih penting, yaitu kasus video mesum artis. Kasus video tersebut sampai mengalahkan berita serta peristiwa lainya sehingga seolah-olah tidak ada yang lebih penting dari kasus ini. Dengan hati yang bertanya-tanya kita pasti berpikir apa maksud dari media televisi menampilkan hal ini. Media televisi yang dikenal sebagai alat penyampai pesan yang lebih mengekalkan ingatan serta cepat digunakan untuk memberitakan hal-hal macam seperti ini. Sekali lagi tidaklah salah. Namun kemanakah kasus-kasus yang dilempar sebelumnya? Mengapa sepertinya kasus sebelumnya seperti sudah menemukan penyelesaiannya dan ditutup? Apakah kasus video mesum ini digunakan media untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus-kasus yang lebih penting sebelumnya? Atau mungkin bisa saja kasus video ini digunakan untuk menutup kasus ngara yang lebih penting. Namun siapakah yang yang memiliki kebijakan bahwa media televisi sekarang tugasnya adalah memberitakan kasus video mesum? Tentu saja penguasalah yang menetukan. Jika sudah sampai seperti ini, bisa dilihatlah bahwa televisi digunakan sebagai pelindung serta pengalihperhatian akan kasus negara yang lebih penting. Masyarakat senang menonton hal tersebut. Tapi apakah masyarakat memperoleh manfaatnya? Tentu saja tidak. Demikianlah gambaran bagaimana media televisi digunakan pada saat ini dan imbasnya nanti. Kami merasa tidak akan jauh berbeda dengan yang terjadi sekarang: siapa yang paling berkuasa, dia yang paling bisa menentukan apakah yang harus ditampilkan di televisi. Dengan demikian, kepentingan penguasalah yang selalu terpenuhi. Dengan kata lain manfaat hanya akan didapat penguasa. Di masa depan, manfaat televisi lambat laun akan semakin bergeser dari manfaat untuk masyarakat menjadi manfaat untuk para penguasa.

155


Quo Vadis Televisi?

Daftar Pustaka Vogt, Erich. 2001. Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran. Jakarta : Friedrich-Ebert-Stiftung . Wahyudi, JB. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.

156


TV Streaming sebagai Televisi Alternatif Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Billy adalah warga negara Indonesia yang sedang menimba ilmu di negeri kangguru, Australia. Informasi mengenai negara kelahirannya mulai berkurang sejak ia tinggal di Australia. Seakan terkekang rutinitas serta kurangnya informasi yang beredar di Australia, ia hampir tidak mengenal lagi apa yang sudah, sedang dan akan terjadi di negaranya, Indonesia. Sejak ada penyediaan TV Streaming yang dikelola langsung oleh televisi nasional yang bersangkutan, Billy merasa sangat diuntungkan. Pertukaran informasi mengenai perkembangan masyarakat Indonesia di dalam maupun luar negeri berjalan lebih lancar. Ia juga dapat mengetahui kondisi terkini di Indonesia termasuk kota asalnya. Hal ini membuat ia nyaman karena merasa dekat dengan Indonesia. *** Teknologi adalah elemen penting yang tidak pernah lepas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam setiap aktivitas manusia. Mulai dari bangun pagi hingga tidur lagi manusia modern hampir selalu berhubungan dan memanfaatkan alat-alat hasil teknologi. Misalnya, kita bangun karena bunyi alarm handphone, mandi dengan shower, minum kopi dari mesin pembuat kopi, sarapan roti dari alat pemanggang roti. Selesai sarapan, berangkat beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor. dalam aktivitas belajar atau bekerja kita dibantu komputer. Pulang dari aktivitas, kita istirahat sejenak memberikan hiburan pada otak melalui acara yang disuguhkan televisi sembari melakukan relaksasi di kursi pijat. Setelah itu, kita kembali beraktivitas menggunakan laptop yang terkoneksi internet. Begitu seterusnya. Ilustrasi di atas menggambarkan tanpa disadari, individu sangat tergantung dengan teknologi. Teknologi pun mengalami perkembangan pesat. Bandingkan misalnya, lampu bohlam saat ditemukan pada 1900 dan bohlam era sekarang. Ada beberapa jenis teknologi yang berkembang secara perlahan maupun secara pesat dalam waktu singkat. Misalnya, 157


Quo Vadis Televisi?

komputer dengan fasilitas Pentium I, disempurnakan pada Pentium II, Pentium III, Pentium IV, Core Duo dan seterusnya. Perkembangan teknologi tidak dapat dihentikan, seiring perputaran hidup yang tiada henti. Teknologi terus maju dan menghasilkan kepraktisan dalam beraktivitas. Tak hanya itu, perkembangan teknologi ini pada gilirannya berdampak pada bidang komunikasi. Dampak perkembangan teknologi pada bidang komunikasi sangatlah luas. Seperti umumnya diketahui, komunikasi merupakan transfer pesan baik secara verbal maupun nonverbal dari individu atau kelompok yang satu kepada individu atau kelompok yang lainnya. Perkembangan Teknologi dan Media Perkembangan teknologi bagi komunikasi berupa alat komunikasi seperti telepon seluler, televisi hingga cybermedia. Dengan kata lain, perkembangan teknologi komunikasi meliputi teknologi untuk komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh individu dengan individu. Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan oleh satu atau lebih individu dengan sejumlah individu lainnya dengan menggunakan media perantara. Komunikasi massa dibagi menjadi dua yaitu media cetak dan media penyiaran. Perkembangan teknologi media cetak dapat dilihat melalui mesin cetak oleh Guttenberg maupun mesin copy xerografik. Perkembangan teknologi media penyiaran dapat dilihat dari lahirnya media informasi dan hiburan seperti radio, televisi, dan komputer yang memberikan kemudahan dalam bekerja dan menyajikan informasi serta hiburan. Media penyiaran juga mengalami perkembangan setiap dekadenya. Diawali dengan eksperimen-eksperimen pertama dengan arus listrik (1800), diikuti penemuan induksi elektromagnetik oleh Faraday dan layanan telegraf listrik (1825), kemudian sistem gambar hidup dan kamera gambar hidup hingga perubahan gambar menjadi sinyal-sinyal listrik (1875). Tahun 1900, tabung vakum ditemukan dan siaran audio pertama dimulai. Tahun 1925, sistem televisi pertama ditemukan dan disusul penemuan radio FM. Pada tahun yang sama dimulai pula siaran televisi komersial di Amerika. Kemudian disusul lahirnya sistem TV kabel, film layar lebar dan film 3D (1950). Tidak hanya itu saja, layanan pesawat televisi warna pun mulai ditemukan. Perkembangan media penyiaran tidak berhenti disitu saja. Menurut Roger (2003: 303) dalam buku 158


TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Mediamorfosis, perkembangan media penyiaran di California dan sekitarnya terus berjalan hingga tahun 2000. Perkembangan ini ditandai dengan adanya teater-teater rumah, layar datar besar, film-film RV (realitas virtual) komersial, film-film holografik dan sebagainya. Meski terkesan lahir secara beruntun dan saling mendukung, pada dasarnya, radio dan televisi saling bersaing menarik perhatian masyarakat. Media penyiaran ini saling mendahului dan berusaha memberikan fasilitas-fasilitas yang memanjakan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan hiburan. Namun demikian, menurut data dari Nielsen Media Research, media yang paling banyak dikonsumsi dan digemari oleh hampir semua orang di Indonesia adalah televisi (Majalah Cakram dalam Adwika, 2009: 2) karena adanya keunggulan dari segi audio dan visual yang ditawarkan sehingga memudahkan masyarakat dalam menangkap dan menafsirkan pesan. Kehadiran televisi di Indonesia ditandai dengan siaran perdana TVRI pada tahun 1962 yang mendukung penyelanggaraan Asian Games IV di Jakarta. Setelah berdiri dan melakukan siaran perdana, TVRI sempat mengalami masa hidup-mati dalam siaran. Kurangnya persiapan saat pendirian membuat TVRI tidak bisa melakukan siaran secara rutin. Setahun kemudian, Keppres No.215 Tahun 1963 hadir untuk mengatur keberadaan lembaga penyiaran pertama di tanah air ini (Zulkarnaen dalam Mulyana, 1997: 12). Perkembangan pertelevisian di Indonesia mulai saat RCTI hadir sebagai stasiun televisi swasta pertama (1987-1988). Setahun kemudian SCTV mulai mengudara. Disusul TPI (1991), AN-TV (1993), dan Indosiar (1994). Lahirnya stasiun-stasiun ini didukung oleh Surat Keputusan Menteri Penerangan (SK Menpen) Nomor 111 tahun 1990 (Zulkarnaen dalam Mulyana, 1997: 12) yang menjadi pemicu pesatnya perkembangan pertelevisian di Indonesia. Setelah kemunculan lima stasiun televisi swasta tersebut, lahir SK Menpen No.286/SK/Menpen/1999 yang memberikan ijin pendirian stasiun televisi swasta baru (Setyobudi, 2006:12). Metro TV kemudian lahir memulai siaran pada 1999-2000, diikuti oleh tiga stasiun televisi swasta lainnya: Trans TV, TV 7 (Trans7) dan Lativi (TV One). Televisi swasta nasional terakhir adalah Global TV (2002). Kemudian diikuti kelahiran stasiun televisi lokal di berbagai kota di Indonesia, seperti Jogja TV, JTV, RBTV, dan lain-lain pada kurun 2000-2005 (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2006: 33). 159


Quo Vadis Televisi?

Perkembangan Cybermedia dan TV Streaming Perkembangan pertelevisian di Indonesia ini diikuti pula dengan perkembangan internet (cyber media). Menurut Fidler, cybermedia merupakan bentuk komunikasi berperantara komputer (2003: 421). Komunikasi ini dapat dilakukan oleh siapapun selama memiliki perangkat komputer. Perkembangan cybermedia di Indonesia diawali dengan kegiatan radio amatir, yaitu Amateur Radio Club (ARC) ITB (1986) disusul dengan perkembangan jaringan paket radio di Indonesia. Kegiatan radio amatir ini kemudian melahirkan PaguyubanNet (1992). Perkembangan jaringan paket radio ini berupa usaha mengaitkan jaringan amatir Bulletin Board System (BBS)—jaringan e-mail store and forward—dengan banyak “server� BBS amatir radio di seluruh dunia; dengan tujuan agar e-mail dapat berjalan dengan lancar. Perkembangan internet terus diusahakan hingga tahun 1995-an, sambungan leased line 14.4Kbps ke RISTI Telkom sebagai bagian dari IPTEKNET akses internet diberikan secara cuma-cuma (Mujahidin, 2008). Secara mendasar, cybermedia memiliki sifat yang khas yang menjadi ciri utamanya sebagai media maya. Seperti disebutkan Fidler (2003: 251) dalam bukunya Mediamorfosis, ciri-cirinya adalah tanpa perantara, dua arah-partisipatori, dan tak berjadwal. Tidak adanya perantara menunjukkan sistem di dalamnya yang berperan untuk menghubungkan antara penyedia layanan dan penggunanya. Selain itu, ciri komunikasi dua arah juga semakin mempertegas bahwa ketiadaan perantara membuat komunikasi dua arah yang akan terjadi dengan pemanfaatan teknologi dan sistem tersebut. Begitu pula dengan ciri tak terjadwal, dimana akses cybermedia dengan perangkat komputer dapat dilakukan kapan saja tanpa jadwal tertentu. Dengan demikian, ciri-ciri tersebut menegaskan kembali peran teknologi di dalam cybermedia. Pada awal kemunculannya, cybermedia digembar-gemborkan merupakan wilayah baru yang akan banyak memberikan keuntungan. Peluang-peluang baru dan kesempatan tersedia dalam dunia yang dibentuk oleh sekumpulan sistem hasil pengembangan teknologi. Peluang tersebut ada karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan. Keunggulan tersebut adalah akses secara murah yang mampu menyediakan informasi dalam waktu yang relatif singkat. Tidak hanya itu saja, cybermedia juga semakin menghilangkan jarak antara satu tempat dengan tempat yang lain, wilayah yang satu dengan yang lain hingga mempersempit jarak antar negara bahkan benua. Cybermedia ini semakin 160


TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

berkembang seiring lahirnya World Wide Web (disingkat www). Web sendiri merupakan global dan praktis yang dapat diakses oleh siapa pun yang memiliki komputer (Fidler, 2003: 361). Perkembangan cybermedia di tengah zaman modern ini disambut dengan cepat oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan perkembangan pengguna cybermedia di dunia yang hampir mencapai angka dua milyar user internet pada 2010, seperti dirilis Internet World Stats yang memuat statistik pengguna internet di seluruh dunia dalam situsnya http:// www.internetworldstats.com/stats3.htm. Di Indonesia, pengguna internet mencapai 45 juta pada pertengahan 2010 seperti diungkapkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam acara Rakernas APJII 2010 dan IPv6 Summit yang berlangsung di Padma Resort Bali, 8-9 Juni 2010 (www.detikinet.com). Sambutan yang luar biasa ini kemudian dimanfaatkan oleh media penyiaran dengan lahirnya sistem streaming. Streaming merupakan teknologi untuk memainkan file video atau audio secara langsung ataupun dengan pre-recorder dari sebuah mesin server (web server). Pemutaran file video atau audio ini dapat dilakukan setelah adanya permintaan dari user (www.ittelkom.ac.id, diakses 01/08/2010). Secara sederhana, sistem streaming merupakan sistem yang memberikan informasi melalui layanan cyber media baik secara langsung maupun tidak. Sistem ini pada mulanya digunakan untuk penyiaran audio (radio streaming). Namun seiring percobaan-percobaan pengembangan, sistem ini kemudian mulai diterapkan untuk penyiaran audio-visual (TV streaming). TV Streamingmerupakan salah satu terobosan dalam penyiaran televisi. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan cybermedia membuat TV Streamingmemiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan TV analog. Salah satunya, TV Streaming tidak memerlukan perangkat khusus atau tambahan. Komputer dan jaringan internet dengan kemampuan akses yang cukup cepat adalah modal utama untuk bisa menikmati TV streaming. Ditambah lagi, adanya laptop memudahkan akses TV Streamingdimana saja. Mobilitas yang tinggi dan semakin tersedianya fasilitas hot spot di berbagai tempat memungkinkan seseorang tetap dapat memperoleh informasi dan hiburan dari televisi. Selain itu, disaat yang bersamaan, user dapat mengakses TV Streaming serta situs-situs lain untuk efisiensi waktu. Adanya TV Streaming ini juga mampu memberikan fasilitas interaktif tanpa perantara di waktu yang singkat. Ketika user mengakes TV Streaming dan merasa acara tersebut 161


Quo Vadis Televisi?

kurang menarik, maka pada waktu yang bersamaan user dapat langsung memberikan tanggapan. Tanggapan ini merupakan fasilitas komunikasi dua arah yang dimiliki oleh TV Streaming. Tidak hanya itu, sesuai dengan pengertiannya, TV Streaming dapat menyimpan dokumentasi acara siaran langsung yang telah diputar sebelumnya. Dokumentasi acara ini dapat diputar sewaktu-waktu saat ada permintaan user. Dengan demikian, user tidak perlu lagi takut kehilangan informasi maupun hiburan sebelumnya. Keunggulan lain yang ditawarkan sistem streaming ini adalah user tidak perlu mengunduh dahulu ketika akan menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Efisiensi waktu karena user hanya menunggu sekian detik untuk menghubungkan koneksi dan selanjutnya tayangan dapat langsung dinikmati. Prinsip TV Streaming sendiri sebenarnya tidak berbeda jauh dengan radio streaming yang sekarang sudah cukup banyak dimanfaatkan. Perbedaan hanya terletak pada kemampuan TV Streaming untuk bisa menyimpan dan memutar ulang tayangan yang sudah berlalu. Tidak hanya itu, dengan TV Streaming juga memungkinkan user untuk menikmati siaran televisi nasional ketika sedang berada di luar negeri. Keunggulan-keunggulan yang diberikan TV Streaming itulah yang menjadi kekuatan TV Streaming sebagai televisi masa depan. Selain dapat dimanfaatkan sebagai alternatif televisi bagi masyarakat, TV Streaming merupakan peluang bagi perusahaan-perusahaan televisi nasional karena ternyata tidak semua stasiun televisi di Indonesia menyediakan fasilitas TV Streaming di web mereka. Walaupun sekarang sudah mulai dirintis, TV Streaming saat ini masih dalam bentuk siaran-siaran berita saja. Hal ini sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang umum, yaitu penyiaran berita streaming. Seperti juga yang ditulis Dominick, Messere, dan Sherman (2004: 146) dalam buku Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond sebagai berikut: “News streaming is common on many websites and the standards for encoding Internet video such as MPEG-4 are evolving rapidly.� Pernyataan tersebut menegaskan bahwa streaming berita merupakan hal yang sudah lazim di web. Sama pula yang terjadi di Indonesia, beberapa stasiun televisi menyediakan streaming untuk acara beritanya, seperti Metro TV, Liputan6 SCTV serta TV One. Selain sebagai penyiaran berita streaming, TV Streaming di Indonesia masih sebatas web yang menyuguhkan jadwal acara, program-program unggulan, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, akses ke klub fans atau klip-klip video tertentu saja. Apabila ada penayangan 162


TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

live streaming biasanya difasilitasi oleh web lainnya. Seperti MivoTV, Masronny TV Streaming, dan lain sebagainya. MivoTV hadir sebagai salah satu penyedia layanan TV Streaming. MivoTV menyediakan layanan siaran dari beberapa televisi swasta, seperti RCTI, SCTV, Trans TV, Global TV, dan TV One. Dalam layanan MivoTV ini juga tersedia layanan komunikasi interaktif (chat). MivoTV selain dimanfaatkan oleh mereka yang sedang menggunakan fasilitas internet di dalam negeri juga dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri. Hanya saja, masih banyak yang belum mengetahui keberadaan adanya MivoTV, penyedia fasilitas TV Streaming. Terbukti dalam salah satu kelas kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, banyak mahasiswa yang tidak mengetahui MivoTV sebagai TV Streaming yang menyiarkan tayangan dari televisi nasional. Begitu juga dengan keberadaan Masronny TV Streaming, masih banyak yang belum mengetahui dan memanfaatkannya. Masronny TV Streaming merupakan penyedia fasilitas TV Streaming yang lebih lengkap dari pada MivoTV. TV Streaming ini menyediakan layanan siaran dari televisi swasta dan beberapa televisi lokal hingga televisi luar negeri, yaitu RCTI, SCTV, TV One, Trans TV, Spacetoon, Kompas TV, FAJAR, ANTV, Metro TV, Indosiar, Global TV, Bali TV, CNN, dan sebagainya. Tidak hanya itu saja, TV Streaming ini menyediakan pula layanan komunikasi interaktif (chat). Kurang diketahuinya keberadaan situs ini tentunya mengurangi pula pemanfaatannya. Ditambah lagi, masih sering terjadinya trouble yang membuat user tidak dapat menerima layanan siaran televisi-televisi tersebut. Dilihat dari fasilitas chat yang tertera pada situs-situs TV Streaming yang sudah ada, banyak masyarakat yang mulai tertarik untuk mencoba fasilitas ini. Hal ini tentunya dapat menjadi peluang tersendiri untuk televisi nasional dalam penyediaan TV Streaming baik secara live maupun on demand. Memaksimalkan TV Streaming di Indonesia Sejauh ini, televisi nasional yang sudah melakukan pemanfaatan teknologi streaming secara live hanya Metro TV saja. Peluang bagi televisi nasional untuk membuat layanan TV Streaming didukung Fidler (2003: 324) yang menyatakan bahwa web memiliki kemampuan untuk menyajikan data yang kompleks, termasuk di dalamnya audio, video serta grafik. Hal ini menjadi salah satu peluang untuk bisa menyampaikan informasi dan mendapatkan tanggapan dari masyarakat yang lebih luas 163


Quo Vadis Televisi?

melalui web, karena TV Streaming dapat menjangkau masyarakat hingga lintas negara sejauh dapat mengakses cybermedia. Tidak hanya televisi swasta nasional yang diharapkan bisa memaksimalkan teknologi streaming dalam perluasan penyiaran, tetapi juga televisi-televisi lokal yang juga sudah tumbuh hampir di setiap provinsi di Indonesia. Televisi lokal diharapkan pula dapat mengikuti perkembangan teknologi yang ada, salah satunya dengan TV Streaming ini. Pemanfaatan TV Streamingbagi televisi lokal dapat juga sebagai media informasi bagi masyarakat daerah yang sedang merantau ke luar daerahnya. Tanggapan dari audience televisi ini tentu saja akan memberikan keuntungan tersendiri bagi produser-produser acara dan tentu saja yang berada di belakang layar setiap tayangan televisi, termasuk anchor (pembawa berita), reporter, pengisi acara, dan kru acara. Masyarakat akan secara langsung menilai dan memberikan komentarnya terhadap acara yang sedang ditontonnya. Respon yang masuk juga akan langsung dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka yang berada dalam tayangan. Sistem yang ada mampu menampung setiap saran yang masuk. Suatu saat dimungkinkan pula penggunaan video call dengan memanfaatkan salah satu layanan online, contohnya Skype yang dapat dimanfaatkan untuk berinteraksi secara langsung antara audience dan pengisi acara. Hal ini dapat kita lihat dalam tayangan Oprah Winfrey Show yang sudah menerapkan interaksi langsung dalam program acaranya. Penerapan TV Streaming sebagai televisi alternatif di masa depan di Indonesia berlum berjalan mulus. Namun, adanya target dan optimisme pemerintah seperti disampaikan Menkominfo melalui Dirjen Potsel bahwa sesuai misi World Summit on the Information Society (WSIS), Indonesia menargetkan 120 juta masyarakat sudah mengakses internet pada tahun 2015 (www.detikinet.com). Hal ini akan menjadi tantangan yang sejalan dengan target yang sudah ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, Indonesia diharapkan tidak lagi menjadi negara yang jauh tertinggal dalam teknologi dan informasi. Penyediaan TV Streaming oleh stasiun-stasiun televisi merupakan salah satu bentuk pengaplikasian teknologi bagi dunia penyiaran. Selain faktor teknis dan audience, ruang iklan yang baru di web juga terbuka lebar dan tentu saja akan memberikan keuntungan berlipat bagi perusahaan televisi swasta. Keuntungan lain bagi stasiun televisi juga dapat berupa tanggapan yang berisi kritik dan saran dalam waktu yang relatif singkat, serta 164


TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

kedekatan dan kepemilikan audience terhadap televisi yang akan lebih terbangun hingga masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri. Selain itu, menjadi penyedia TV Streaming dalam web masing-masing stasiun televisi akan menguatkan tujuan utama keberadaan televisi yaitu selain sebagai pemberi informasi dan hiburan, juga sebagai perantara (media) pemerintah terhadap masyarakatnya. TV Streaming juga memungkinkan pengembangan acara dan keluasan informasi yang bisa diperoleh. Misalnya saja, televisi dapat langsung menerima kabar dari mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri mengenai up date berita terakhir di negara tersebut. Selain itu juga, dapat menjadi peluang acara interaktif yang baru dengan membuat programprogram acara yang bisa melibatkan audience langsung dari berbagai belahan dunia. Selain memberikan banyak manfaat bagi perusahaan televisi, TV Streaming juga sangat menguntungkan audience. Sebagai masyarakat yang memperoleh informasi dan hiburan dari televisi sekarang, audience dituntut untuk aktif dan kritis. Dengan memanfaatkan TV Streaming maka kemungkinan audience untuk bisa aktif dan kritis akan sangat terbuka lebar. Fasilitas interaktif yang memang tersedia dalam TV Streaming tentu saja akan semakin menyemarakkan komunikasi dua arah antara penyiar dan audience. Selain itu juga, akses TV Streaming dan murahnya biaya untuk berinteraksi tentu akan semakin menyemarakkan komunikasi yang dilakukan. Jika sebelumnya audience perlu menelepon atau mengirimkan SMS (short message service) untuk menyampaikan opini ke televisi, dengan adanya TV Streaming cukup dengan mengetik pesan dan klik “kirim�. Penutup Kemudahan akses tanpa perlu membeli perangkat baru atau tambahan bagi komputer, juga semakin memungkinkan masyarakat dapat memaksimalkan TV Streaming ini di masa depan. Penggunaan cybermedia yang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan, dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengakses TV Sstreaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagi hanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Hal ini tentu saja sesuai dengan prinsip yang diungkapkan Fidler (2003: 324) bahwa ada peningkatan kemampuan para pengguna komputer rumah tangga untuk secara ekonomis mengakses isi multimedia melalui jaringan-jaringan telekomunikasi kecepatan tinggi yang murah. Akses yang murah dan lebih 165


Quo Vadis Televisi?

efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan informasi dan hiburan di masa depan. Media informasi di masa depan ini, tidak menutup kemungkinan akan terus berkembang dan dikembangkan oleh perusahaan televisi seiring dengan meningkatnya audience yang memanfaatkannya. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan dan mengakses TV Streaming maka memungkinkan produsen akan memproduksi progam-program acara yang baru dan memenuhi kebutuhan khalayaknya. Kebutuhan akan informasi tentang daerah atau negara asal serta dapat melihat kondisi dengan perantaraan audio-video tentu akan lebih memberikan kepuasan tersendiri bagi audience. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip nilai berita yaitu proximity (kedekatan). Juga sebaliknya, akan memberikan informasi yang memadai pula bagi masyarakat lokal atau negara untuk mengetahui kondisi masyarakat yang sama asalnya. Program acara yang dikembangkan oleh stasiun-stasiun televisi memberikan kesempatan bagi audience untuk berinteraksi dengan audience yang lain secara live. Perkembangan teknologi dan kemampuan akses yang meningkat di masa depan akan semakin memberikan kemudahan untuk komunikasi interkatif dengan audio-video. Dengan demikian, TV Streaming merupakan televisi alternatif yang memanfaatkan teknologi televisi di masa depan. Daftar Pustaka Andwika, Eskarina, “Pengaruh Posisi Penempatan Iklan Spot di Televisi Terhadap Tingkat Brand Awareness Khalayak�, Skripsi FISIP UAJY. Dominick, Joseph R, Fritz Messere, dan Barry L.Sherman. 2004. Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond. New York: McGrawHill. Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya. Institut Teknologi Telkom. 2009. Konsep Dasar Video Streaming, http:// www.ittelkom.ac.id/library/index.php?view=article&catid=6:internet&id=645: konsep-dasar-video-streaming&option=com_content&Itemid=15 diakses pada 1 Agustus 2010 pukul 02.04 WIB. Internet World Stats. 2009. Internet Usage in Asia, http:// www.internetworldstats.com/stats3.htm), diakses pada 31 Juli 2010 pukul 14.11 WIB Mujahidin, Andi. 2008. Sejarah dan Perkembangan Internet, http:// www.andimujahidin.com/2008/01/sejarah-dan-perkembangan-internet/ diakses pada 1 Agustus 2010 pukul 14.45 WIB Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

166


TV Streaming sebagai Televisi Alternatif Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2006. Indonesia Media Guide 2005. Jakarta: Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Setyobudi, Ciptono.2006. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suryadhi, Adhi. 2010. Pengguna Internet Indonesia Capai 45 Juta, (http:// www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internetindonesia-capai-45-juta) diakses 31 Juli 2010 pukul 14.05 WIB.

167


IPTV: Televisi Impian di Masa Depan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Perkembangan peradaban berjalan seiring dengan perkembangan teknologi. Tuntutan kemudahan berkomunikasi mendorong munculnya teknologi informasi yang dapat menyebarkan informasi dengan cepat. Para peneliti dan penemu melakukan terobosan teknologi yang luar biasa dalam bidang komunikasi, khususnya komunikasi massa, berupa transmisi tanpa kabel yang mampu mengirimkan bukan hanya suara melainkan suara dan gambar (televisi). Dengan kemudahan dalam penerimaan pesan kepada khalayak luas, pengaruh televisi menjadi begitu besar. Teknologi televisi yang maju turut menjadi salah satu pengaruh dalam perubahan sosial dalam masyarakat. ‘Kotak ajaib’ ini banyak memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat, negatif maupun positif. Televisi dengan kekuatannya membuat dunia seakan tidak berjarak. Televisi menjadi ‘tutor’ yang paling handal dalam menciptakan watak dan karakter manusia. Contohnya, anak kecil yang tidak mengetahui cara bergulat, ia mahir berkelahi dengan temannya setelah melihat tayangan di sebuah acara televisi. Televisi merupakan kebudayaan baru di dalam masyarakat yang dinamakan ‘kebudayaan audiovisual’. Produksi budaya televisi merupakan simbol lahirnya budaya baru tersebut. Perkembangannya di masyarakat menjadikan ‘kebudayaan visual’ membawa pengaruh yang kuat dalam membentuk sikap dan kepribadian baru. Pesatnya perkembangan jaringan televisi hingga ke wilayah yang terpencil, juga menjadi penyebab munculnya kultur baru tersebut. Keunggulan televisi yang menjadikannya sebuah kultur baru yang berbeda dari kultur-kultur sebelumnya Kemampuan mampu memberi penekanan secara efektif terhadap pesan atau maksud yang dituju dengan meng-close up objeknya atau memberi pemusatan pandangan. Berbagai faktor di atas menjadikan ‘kebudayaan visual’ semakin maju dan berkembang. Tak mengherankan apabila hingga kini televisi memiliki daya tarik yang luar biasa apabila program yang disajikan dalam televisi 168


IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

tersebut sesuai dengan karakter manusia yang terpengaruh oleh televisi tersebut. Maka dari itu, program televisi yang disajikan disesuaikan dengan karakteristik penonton. Televisi menyajikan berbagai macam program tayangan berdasar realitas, rekaan dan ciptaan yang sama sekali baru. Televisi lebih cenderung sebagai medium domestik dengan audiensnya keluarga. Ketergantungan terhadap televisi di dalam keluarga dapat mempengaruhi hubungan interpersonal di antara anggota-anggota keluarga. Menonton televisi dapat dijadikan sarana mengakrabkan diri antara ayah, ibu, maupun anak. Maka dari itu kadang menonton televisi juga menjadi rutinitas penting yang dijadwalkan dalam sebuah keluarga. Terkadang juga menonton televisi dapat dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kebutuhan mengkonsumsi ‘kultur’ baru ini semakin meningkat. Televisi menjadi media hiburan yang paling dicari oleh masyarakat saat ini. Hampir semua acara televisi dikemas dan diformat sebagai hiburan, karena hiburanlah yang dimaui penonton dan pengiklan. Selain media hiburan, televisi menjadi alat kontrol sosial. Kenyataannya, televisi sebagai alat kontrol sosial belum sepenuhnya terwujud. Yang terjadi di lapangan, televisi malah membuat masyarakat memiliki gaya hidup hedonis. Dalam sebuah konsepsi Fiske (1987), televisi berfungsi sebagai a bearer/ provoker of meaning and pleasures, artinya televisi berfungsi sebagai bagian dari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu proses melalui makna. Televisi yang membudaya di tengah masyarakat kita membuat masyarakat percaya bahwa realitas televisi adalah suatu realitas yang empirik. Maksudnya, dalam televisi ada sebuah kepercayaan. Kemampuannya menyebarkan pesan ke banyak orang menjadi sumber kekuatan informasi atas apa yang disebarkannya. Terlepas dari kebaikan dan ‘kultur’ yang diciptakannya di tengah masyarakat, tidak sedikit dampak negatif dari televisi. Tujuan awal diciptakannya televisi adalah memberikan manfaat-manfaat positif. Televisi menjadi sumber informasi masyarakat sebagai alat komunikasi massa. Televisi merupakan alat komunikasi yang paling banyak dikonsumsi public. Namun, manfaatnya sebagai alat komunikasi justru menyimpan masalah karena banyak acara televisi saat ini menampilkan gosip dan mengeksploitasi orang miskin, lewat program pengumpulan uang, perbaikan rumah dan sebagainya. 169


Quo Vadis Televisi?

Dampak negatif dari ‘kotak ajaib’ semakin sering dirasakan di tengah masyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi masyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai oleh sebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Efek sosial yang muncul bisa memuat unsur-unsur perubahan sosial dan kebudayaan baru yang tak lazim di kalangan masyarakat. Televisi seakan menjadi ‘anutan baru’ di kalangan masyarakat. Apa pun ditawarkan oleh televisi diterima begitu saja tanpa disaring terlebih dahulu. Hal tersebut dapat berimbas pada interaksi sosial di masyarakat dengan segala dampak negatifnya. Perkembangan Teknologi Televisi Perkembangan kebutuhan dan ketergantungan masyarakat terhadap televisi, memunculkan banyak keinginan tentang hadirnya teknologi televisi yang makin cerdas dan canggih. Para ilmuwan mengembangkan teknologi televisi menjadi semakin ringan, tipis, dan moderen. Televisi masa depan bahkan mampu untuk membaca ‘mood’ penontonnya. Remote control akan menjadi usang dan ditinggalkan karena teknologi yang semakin canggih untuk melahirkan televisi cerdas yang memudahkan masyarakat untuk menonton televisi. Ashley Highfield, Managing Director of Microsoft mengatakan, televisi cerdas akan semakin intuitif dan mampu mengenali ekspresi wajah pemilik maupun gerak tubuh. Dengan demikian, televisi akan mampu mengukur mood dan memberikan bantuan untuk mengikuti kemauan anda sesuai keinginan anda (Okezone.com, 17/07/ 2010). Ron Tepper dalam bukunya How to Get into the Intertainment Business mengatakan, di masa depan sebuah berita akan dapat direkam dan dihentikan sesuai kehendak penontonnya. Hal ini akan berakibat bagi kehidupan masyarakat yaitu tidak digunakan lagi seorang pembaca dan redaktur yang bergaji tinggi. Dikatakan bahwa kita akan memasuki dunia baru yaitu dunia interaktif. Tidak diketahui secara pasti apa yang akan menjadi dampak dari permainan era interaktif tersebut. Yang dapat diprediksikan dari dampaknya akan sangat signifikan dan dapat menciptakan peluang yang benar-benar baru dalam dunia bisnis hiburan. Konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah lahirnya konvergensi berbagai jenis media baru. Jenis-jenis media ini tidak lantas secara sederhana dapat langsung dikelompokkan ke dalam bagian dari penyiaran, telekomunikasi ataupun internet. Jenis teknologi tersebut semuanya saling terhubung secara sifat dari fungsi dan 170


IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

kegunaannya. Teknologi awal televisi menjadikan penonton pasif. Mereka hanya menikmati apa yang disajikan di layar televisi tanpa dapat mengubah atau memberikan tanggapan. Dengan berkembangnya media baru, penonton punya kesempatan untuk aktif memberi interaksi mengenai apa yang disukainya dan mana yang tidak sesuai pilihannya (relying on choice). Dengan begitu televisi akan mampu memberikan kepuasan yang maksimal kepada konsumennya. Media yang menggunakana teknologi baru yang sedang berkembang dan mulai digandrungi di seluruh dunia saat ini, yaitu IPTV (Internet Protocol Television). IPTV adalah siaran televisi, video, teks atau data berbasis internet dengan kecepatan minimal dua megabyte perdetik yang dapat diakses oleh para pelanggannya. Teknologi ini menggunakan jaringan internet, kabel telepon dan televisi kabel atau satelit. Dengan jaringan internet, teknologi ini dapat memberi pesan yang dapat dikonsumsi secara langsung, memiliki kemampuan untuk merekam, bahkan menghentikan gambar saat penayangan pesan sedang berlangsung. Dengan kemampuan yang ditawarkan teknologi ini maka pengendalian atas IPTV sepenuhnya dikuasai oleh konsumen (personal). Bahkan IPTV dapat menayangan pesan tersebut langsung secara mobile tanpa harus berada di suatu tempat yang tetap atau tidak bergerak. Tentu saja bila hendak menikmati secara mobile, dibutuhkan alat-alat lain seperti decoder yang dapat terhubung dengan internet sehingga tayangan dapat dinikmati dari jarak jauh. Hal-hal tersebut merupakan sebagian keunggulan yang mampu diberikan oleh IPTV daripada televisi biasa. Jika ingin mengakses IPTV di rumah, diperlukan sebuah Personal Computer (PC) serta set top box yang terhubung dengan televisi. Set top box harus dilengkapi Internet Protocol Multimedia System (IMS) untuk mengkombinasikan antara mobile internet dan content broadcast. Penonton dapat menggunakan remote untuk mengontrol sistem yang ada dalam set top box misalnya untuk merekam, browsing, chatting, dan sebagainya. IPTV memiliki delapan jenis layanan yang tersedia. Pertama, Live Television, yakni siaran televisi yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun televisi biasa. Kedua, Video and Music On Demand, yakni layanan siaran musik dan video sesuai permintaan penonton. Ketiga, News On Demand, yakni layanan siaran berita sesuai permintaan penonton. Keempat, Voice Over Internet Protocol (VoIP), yakni teknologi yang memungkinkan komunikasi suara dan fax dengan menggunakan jaringan berbasis Internet 171


Quo Vadis Televisi?

Protocol (IP). Teknologi ini juga dapat mengubah suara atau fax menjadi sebuah format data digital yang dapat dikirim melalui jaringan IP. Keelima, Network-based Private Video Recorder (NPVR), yakni fitur untuk merekam siaran langsung (real time broadcast) dalam jaringan server yang dapat diakses kapanpun saat dikehendaki. Keenam, Online games, yakni layanan aneka games. Ketujuh, Parental guide atau layanan untuk melindungi anak dan remaja dari siaran yang yang tidak diperuntukkan bagi usia mereka. Terakhir, Shopping online, yaitu layanan bagi para penonton untuk memesan dan membeli barang yang diminati saat menyaksikan sebuah tayangan. Dalam sistem layanan IPTV terdapat empat pihak yang berperan. Pertama, content provider yaitu penyedia program-program televisi dan konten multimedia. Kedua, service provider yang befungsi untuk mengatur dan mengendalikan layanan IPTV. Ketiga, network provider yang merupakan pihak yang menjalankan fungsi pengiriman dan distribusi. Terakhir, customer yaitu pelanggan yang menikmati layanan IPTV. Sampai saat ini, perkembangan penggunaan IPTV di banyak negara semakin meningkat seiring bertambahnya pengguna internet. Tahun 2010 pengguna IPTV diperkirakan bertambah sekitar 70 persen yang didorong oleh negara-negra berpopulasi padat seperti Cina, India dan Indonesia. Peluang ini tampaknya dimanfaatkan oleh beberapa lembaga penyiaran berlangganan di Indonesia untuk menjajaki kemungkinan menerapkan layanan IPTV sambil menunggu regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah mengenai teknis penyiaran melalui IPTV. Sebagian besar IPTV provider di dunia berasal dari provider telekomunikasi dan internet. Hal ini karena layanan IPTV merupakan gabungan layanan penyiaran, telekomunikasi dan internet (triple play). Inilah yang dikatakan bahwa teknologi masa depan sulit untuk dikelompokkan ke bagian penyiaran, komunikasi, atau informasi karena semuanya berhubungan fungsinya. Beberapa provider IPTV besar di dunia antara lain: AT&T-U Verse; Verizon Fios TV (Amerika), T-Home (Jerman), MaLigne TV (Prancis), Telefonica Imagenio (Spanyol), Swiss Com-Blue Win TV (Swiss), British Telecom (Inggris), PCCW (Hongkong), Hanaro (Korea), Chunghwa (Taiwan), Sing Tel Mio TV (Singapore). Televisi masa depan akan menjadi layanan yang sangat dinanti-nanti oleh para pengguna karena manfaat yang besar dan sifatnya yang sangat personal dan interaktif. Sebagai interaktif televisi berbasis internet, IPTV memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni ketajaman gambar yang 172


IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

sangat tinggi dan memberikan peluang komunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep komunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast yourself’ dimana semua pengguna bebas menentukan apa yang ingin dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang menjamin keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut. Bagaimana pengaturan televisi interaktif ini, akan menjadi pekerjaan rumah regulator. Selamat datang televisi masa depan! Daftar Pustaka Fiske, John. 1987. “Television culture”, London: Routledge. Budiman, Kris, “Di depan Kotak Ajaib : Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi”, Galang Press, Yogyakarta, 2002. Wahyudi, J.B. 1992, “Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Morrisan, M.A. 2008, “Manajemen Media Penyiaran : Strategi Mengelola Radio&Televisi”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Severin, Werner J, James W.Tankard, Jr. 2005, “Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa”, Indonesia : Kencana Prenada Media Group. Parker, Steve. 2000, “Jendela Iptek Seri 1: Listrik”, Jakarta: PT. balai pustaka. Taryadi, Alfons. 1999, “Buku dalam Indonesia Baru”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tepper, Ron. 2006. “How To Get Into The Entertainment Business”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. S. Wijaya, Benny. 2008. “Produk-produk Edan di Masa Depan”, Jakarta: Ufuk Publishing House. http://www.kpi.go.id, diakses Sabtu, 17 Juli 2010. http://techno.okezone.com, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.

173


Lewat buku ini kami ingin mempertanyakan ke mana masa depan televisi dan bagaimana ‘wajah’ televisi di masa depan. Buku ini menyajikan tulisantulisan hasil kajian dan pembacaan kami, komunitas orang-orang yang belajar Ilmu Komunikasi tentang kemana arah atau masa depan televisi dan bagaimana televisi masa depan. Para penyumbang tulisan sebagian besar adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Prodi Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini merupakan hadiah ulang tahun ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jalan Babarsari No. 6 Yogyakarta http://fisip.uajy.ac.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.