Waspada, Rabu 16 Juni 2010

Page 27

Opini

WASPADA Rabu 16 Juni 2010

C9

DanaAspirasi:WujudKepekaanParlemen? JaringanTelkomVs Pencurian Kabel Sehubungan dengan pemberitanaan Harian Waspada, Selasa 8 Juni 2010, hal B-4 Kolom 1-5, Judul Jaringan Telkom Berantakan, perlu kami jelaskan sbb : 1. Atas nama manajemen Telkom Sumatra kami menyampaikan permohonan maaf kepada pelanggan kami, bapak H. Tuah, Jln Sisingamangaraja 140 Medan, atas terputusnya hubungan telepon sejak tanggal 4 Juni 2010. Terputusnya telepon di kawasan itu disebabkan terjadinya Vandalisme (Pencurian Kabel) pada gorong-gorong ( bukan Siborong-borong seperti tertulis) di Jln Sisingamangaraja dekat Jln HM.Joni yang mengakibatkan sebanyak 200 sst pelanggan di kawasan tersebut terganggu. Terputus layanan fixedline itu juga berakhibat pada teputusnya layanan broadband (Speedy). 2. Kami telah melakukan recovery untuk 200 sst yang rusak. Dan, telepon Bapak H. Tuah ( 7353xxx ) sudah berfungsi kembali pada tanggal 7 Juni 2010. Kami sampaikan kepada seluruh pelanggan yang mengalami ketidaknyamanan akibat kasus ini, atas nama manajemen kami mohon maaf. 3. Untuk menjadi informasi kepada pelanggan kami di Kota Medan bahwa kasus Vandalisme (pencurian kabel) kini kembali kambuh. Setelah kasus vandalisme di Jln Sisingamangaraja yang terjadi tanggal 4 Juni 2010, kasus yang sama terjadi lagi pada tanggal 9 Juni 2010 di tiga lokasi berbeda masing-masing Jln Yossudarso dan Jln Jemadi. Akibat kejadian ini sebanyak 3.600 sst menjadi terputus. Telkom, telah melakukan perbaikan dan diharapkan tiga hari setelah peristiwa itu telepon pelanggan dapat kembali berfungsi. 4. Kepada warga kota Medan kami menghimbau untuk dapat membantu pengawasan asset milik negara dalam bentuk kabel telefon dari pencurian karena menyangkut kebutuhan publik . Perusakan dan pencurian kabel telefon menimbulkan kerugian terhadap kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Demikian kami sampaikan dan terima kasih atas pemuatan tanggapan kami. Syaiful Hadi Humas Telkom Sumatra

Keluhan Nasabah Pegadaian Cabang Utama Medan Saya adalah nasabah lama di kantor Pegadaian Cabang Utama Medan yang mengalami pelayanan yang tidak manusiawi. Ketika kantor Pegadaian Cabang Utama masih didominasi oleh pegawai lama, komunikasi antara pegawai dan nasabah terjalin sangat baik. Mereka (pegawai lama) selalu memberikan solusi jika nasabah terlambat membayar dan ada pemberitahuan apakah barang yang sudah jatuh lelang mau ditebus atau diperpanjang masa gadainya. Perlakuan ini selalu diberikan mereka terlebih-lebih kepada nasabah lama yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan. Hal ini sangat tepat dengan motto Pegadaian yang selalu menyelesaikanmasalah tanpa masalah. Akan halnya yang terjadi dengan saya ketika berhadapan dengan pegawai di bagian pelayanan (ada tiga orang), seorang pria (mengaku pimpinan yang bersikap sangat arogan), kemudian pegawai perempuan yang sama arogannya, dalam memberikan pelayanan sangat tidak manusiawi. Tidak ada tenggang waktu, terlambat sedikit barang langsung dilelang meski tidak disetujui oleh pemiliknya. Saya dihubungi via telephone oleh pegawai kantor Pegadaian Cabang Utama pada Jumat (11/6) bahwa barang saya sudah jatuh tempo dengan tengggat waktu 1 bulan dan hari Sabtu (12/6) akan dilelang apabila tidak ditebus. Karena saya masih di luar kota, di sisi lain juga kantor bank pada Sabtu tidak ada yang buka, sedangkan saya dihubungi Jumat pada saat kantor bank telah tutup transaksi, saya katakan hari Senin saya akan datang dan menebusnya. Tidak ada jawaban bisa atau tidak, tetapi hubungan telefon ditutup dengan kata lain saya harus tetap datang pada Sabtu yang jelas-jelas saya tidak mungkin bisa hadir. Saya tidak ada menerima pemberitahuan melalui surat bahwa barang saya yang telah jatuh tempo untuk ditebus akan dilelang. Jelas hal ini juga merugikan saya karena tidak ada pemberitahuan resmi dan hal ini di luar kebiasaan kantor Pegadaian Cabang Utama Medan yang selalu memberitahu lewat surat jika barang sudah jatuh tempo dan akan digadai. Senin (14/6) saya datang ke kantor Pegadaian Cabang Utama Medan, alangkah kecewanya barang saya telah dilelang tanpa persetujuan saya dan saya hanya diberi nilai yang sangat kecil dari hasil barang gadai saya yang telah dilelang. Saya sangat keberatan dengan praktik semacam ini jelas-jelas telah merugikan nasabah. Seharusnya Pegadaian memilahmilah perlakuan terhadap nasabah lama yang memang jelas-jelas tidak memiliki itikad mau membayar atau nasabah lama yang punya itikad membayar tetapi hanya meminta tempo sehari saja karena kondisi hari terjepit dimana kantor bank tidak ada yang buka pada hari Sabtu. Tidak ada tenggang rasa, arogan dan cara tidak simpatik demikianlah gambaran saya dengan pegawai kantor Pegadaian Cabang Utama Medan sehingga motto Pegadaian yang menyelesaikan masalah tanpa masalah justru menjadi bermasalah dan menjadi bumerang bagi nasabah karena nasabah berada di pihak yang dirugikan. Atas kerugian yang saya alami, saya meminta masyarakat khususnya nasabah lama maupun nasabah baru agar berhati-hati melakukan jasa gadai dimana pihak nasabah tetap berada di pihak yang dirugikan dimulai dari adanya permainan harga taksir, harga lelang, suku bunga yang jauh lebih tinggi dan pegawai yang bersikap arogan serta pelayanan yang tidak manusiawi. Mungkin lebih baik kita memilih jasa gadai yang dikelola pihak lain dengan pelayanan lebih baik terlebih-lebih sekarang ini masyarakat memiliki banyak alternatif jasa gadai yang dikelola oleh unit-unit syariah jauh lebih baik dan pelayanan lebih manusiawi. Nama dan alamat ada pada redaksi

Guru Dan Pegawai MIN Tak Habis Pikir Guru dan pegawai MIN Jalan Pancing Medan, mengaku habis pikir melihat sikap atasannya. Hal itu disebabkan setiap kebijakannya dikritik orang tua murid melalui Surat Pembaca di koran Waspada, dia penasaran lantas berburuk sangka sambil mengatakan, “Ini pasti pekerjaan orang dalam”, tanpa menyebut orang dalam yang dimaksudnya itu guru atau pegawai. Lebih parah lagi, ketika belum lama ini kebijakannya bersama Ketua Komite madrasahj tersebut, membangun gedung serba guna dikritik juga oleh wali murid dalam Surat Pembaca koran Waspada, dia mencakmencak. Dalam forum rapat dewan guru awal Juni 2010 lalu, bahkan dengan nada tinggi dia mengatakan, “Ini pekerjaan orang dalam. Saya sudah tahu orangnya. Dalam satu minggu ini dia akan minta maaf. Kalau tidak, akan dizolimi”. Tentu saja ucapannya itu membuat guru-guru dan pegawai sontak terperangah. Tak pelak lagi, mereka pun jadi resah. Satu sama lain jadi saling curiga, siapa gerangan orang dalam yang katanya sudah diketahuinya itu. Ditambah lagi adanya gunjingan yang tiba-tiba berkembang di kalangan internal. Sejak kejadian itu, suasana di MIN Medan itupun jadi tidak harmonis. Orang yang katanya akan minta maaf itupun, ternyata hingga Surat Pembaca ini dikirimkan ke redaksi surat kabar ini (Waspada), belum juga terlihat datang menghadap dan minta maaf kepada Kepala MIN Medan tersebut. Sebaliknya yang timbul justru celotehan sumbang bernada negatif. Kalau ada guru maupun pegawai yang kebetulan tidak hadir tugas karena sakit, celotehan itupun terdengar lewat bisik-bisik sesama guru. “Jangan-jangan Bapak/Ibu Polan itu sudah dizolimi (disantet) dukunnya Ibu Kepala”. Wah, merupakan sebuah ironi yang memalukan, bahkan memprihatinkan bila kondisi semacam itu berkepanjangan. Makanya, wajarlah Bapak=Bapak atasan Kepala MIN Medan itu diharapkan segera turun tangan memberikan solusi terbaik untuk mengembalikan kondisi MIN Medan yang harmonis. Nama dan alamat ada pada redaksi

Oleh Freddy Nababan Kenapa wakil rakyat tersebut tidak memaksimalkan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran jika menilai program pemerintah belum maksimal ataupun efektif

K

ehebohan kembali bergulir dari gedung parlemen kita. Setelah sebelumnya digemparkan dengan rencana pembangunan gedung baru yang bernilai triliunan rupiah, kini para wakil rakyat yang mulia yang bermarkas di Senayan tersebut kembali menelurkan gagasan nyeleneh sekaligus membuat dahi kita berkerutkerut menanggapinya. Para wakil rakyat yang dimotori Partai Golkar, atas nama rakyat, menggulirkan ide penggelontoran dana aspirasi rakyat yang nilainya mencapai Rp 15 miliar per dapil untuk tiap-tiap anggota dewan. Jika ditotal, maka dana keseluruhan yang harus dikeluarkan oleh negara adalah Rp 8,4 triliun, dengan perhitungan Rp 15 miliar x 560 anggota DPR RI. Kabarnya dana ini nantinya akan disalurkan oleh para anggota dewan sesuai daerah pemilihannya masing-masing. Dasar peneluran ide ini adalah karena menurut para anggota dewan ”kue” pembangunan di daerah-daerah tidak merata, bahkan katanya ada daerah yang sama sekali belum menikmati apapun dari pusat. Sesungguhnya jika dikaji dari semangat penggagasan usulan tersebut, maka hal itu adalah mulia adanya sekaligus menunjukkan kepekaan para anggota dewan terhadap para konstituennya. Namun yang menjadi tidak masuk akal dan terkesan mencari ”muka rakyat” adalah dana aspirasi itu diusulkan, dialamatkan dan diatasnamakan pada para wakil rakyat, yang merupakan representasi dari partai politik yang ada walaupun tetap mengklaim dirinya adalah wakil rakyat. Kenapa para elit wakil rakyat tersebut tidak memaksimalkan fungsi legislasi, pengawasan dan anggarannya jika me-

mang mereka menilai program pemerintah belum maksimal ataupun efektif? Bukan sebaliknya malah ikut-ikutan mengusulkan pengajuan anggaran yang sejatinya merupakan domain eksekutif. Lalu, bagaimana dengan fungsi check and balances DPR itu sendiri. Bukankah itu namanya jeruk makan jeruk, seperti kata Josua dalam salah satu iklannya? Dan kabarnya Partai Golkar sebagai pengusung ide ini begitu ngotot menggolkan usulan ini. Pengalihan isu? Negeri ini memang ramai. Ramai dengan kasus-kasus yang datang silih berganti dan kadang-kadang sepertinya sudah diatur skenario pemunculannya, sehingga muncullah kesan atau anggapan isu A adalah pengalihan isu B dan seterusnya. Sebutlah semisal kasus Bank Century yang hingga artikel ini diturunkan belum juga kelar dan kita belum tahu bagaimana akhirnya. Kemudian, kasus Susno Duadji dengan mafia hukumnya, kasus terorisme, kasus pengemplangan pajak unit usaha Bakrie melalui perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi Resources, Arutmin dan kini yang tengah heboh adalah dana aspirasi rakyat dan kasus video mesum para artis papan atas. Munculnya kasus-kasus tersebut begitu saja seolah-olah memang sudah dipersiapkan. Dipersiapkan untuk dihembuskan ke khalayak publik apabila ada satu kasus besar yang tengah diusut tidak jelas atau tertunda-tunda penyelesaiannya, yang tentu saja terkait kepentingan pihak-pihak tertentu. Pun bila disebut munculnya ide dana aspirasi ini adalah pengalihan isu yang lain, maka hal itu bisa saja diterima. Se-

bab, menurut kabar yang beredar, pemerintah melalui Dirjen Pajak Depkeu tengah mempersiapkan langkah-langkah pengajuan memori baru terkait kalahnya pemerintah dalam kasasi kasus pajak KPC di Mahkamah Agung. Bukan bermaksud menuduh, tapi harus kita akui bahwa KPC itu adalah salah satu unit usaha Bakrie Group miliki Aburizal Bakrie, sang juragan sekaligus nakhoda kapal kuning bernama Partai Golkar. Pemerintah berkeyakinan ada potensi pajak bernilai ratusan bahkan disinyalir triliunan rupiah yang seharusnya milik negara belum terlunaskan oleh KPC. Itu salah satu asumsinya. Atau skenario yang lain adalah dana aspirasi rakyat ini adalah pengalihan isu dari kasus megaskandal Bank Century yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 triliun. Tak elok rasanya jika itu yang memang terjadi. Namun entahlah mana yang benar di antaranya, tapi setidaknya itulah yang terjadi di lapangan. Bak Sinterklas Sebagai seorang wakil rakyat adalah tugas dan kewajibannya untuk selalu mendengarkan segala aspirasi para konstituennya di daerah pemilihannya masing-masing, sebab mereka dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan aspirasi mereka di daerah. Memperjuangkan apa yang menjadi hak rakyat yang memilihnya untuk kemudian menyampaikannya pada pemerintah melalui mekanisme yang ada agar kiranya aspirasi yang mereka bawakan dapat diwujudnyatakan oleh eksekutif (pemerintah) sehingga terpenuhilah fungsinya sebagai wakil rakyat. Sebaliknya adalah hal yang tidak lazim dan terkesan menimbulkan peluang terjadinya praktik KKN apabila anggota DPR menerima jatah Rp 15 miliar per Dapil tiap tahunnya. Sebab tidak ada jaminan nantinya bahwa dana itu memang tersalurkan secara utuh ke daerahnya masing-masing walaupun disebutkan akan dibagikan dalam bentuk proyek yang ditenderkan. Tidak ada jaminan nantinya

tidak akan ada yang namanya success fee ataupun fee yang lainnya—sebagaimana lazimnya berlaku—apabila memang nantinya rencana itu dipaksakan untuk disetujui, yang tentu saja sangat melukai hati rakyat kecil di republik ini. Kecenderungannya adalah hal ini merupakan money politics for early campaign 2014 yang dilegalkan, di mana politik uang telah mulai berjalan untuk kampanye dini Pemilu 2014 dengan menggunakan uang rakyat. Seharusnya DPR kembali ke fitrahnya saja sebagai wakil rakyat yang mengakomodir kepentingan rakyat melalui caracara yang tepat. Bekerja memastikan mereka bekerja maksimal melakukan fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi. Memastikan pemerintah telah bekerja efektif dan efisien mensejahterahkan rakyatnya. Tidak berlagak seperti Sinterklas yang membagi-bagikan hadiah (baca: uang ataupun proyek) atau benda-benda lainnya untuk kaum papa dan dhuafa—yang dalam hal ini direpresentasikan anakanak kecil—demi menarik simpati rakyat. Sinterklas adalah tokoh yang dicirikan dengan baik hati, pemurah, dermawan dan penolong, yang menolong orang tanpa pamrih dan terlepas dari unsurunsur popularitas, politis, ketenaran ataupun kepentingan-kepentingan lain. Jikalau memang anggota dewan memang bermaksud baik hendak membantu rakyat kecil tanpa harus dicurigai punya motif-motif tertentu yang kurang baik, mengapa tidak anggota dewan menyisihkan sepersekian gajinya—yang kabar-kabarnya 10 kali lipat besarnya dari gaji seorang profesor peneliti LIPI—untuk membantu rakyat kecil tersebut. Itu lebih elegan dan penulis yakin rakyat tanpa dikomando pun akan mengingat prestasi ini dan pasti akan dibayar setimpal. Barangkali inilah yang disebut wujug kepekaan anggota dewan terhadap rakyat pemilihnya. Jadi bagaimana. Anda berani melakukannya anggota dewan? Penulis adalah tenaga edukatif di CK School Deliserdang

Bahasa Dalam Pengembangan Jati Diri Bangsa (II) Oleh Prof Amrin Saragih, PhD, MA Bahasa Indonesia mampu membentuk karakter bangsa Indonesia yang toleran dan variatif

T

ata bahasa bahasa Indonesia menguatkan bahwa bagi orang Indonesia nama merupakan sesuatu yang sakral karena nama saja sudah dianggap manusia. Identitas ini berbeda dengan pemahaman orang Inggris, yang bagi mereka nama adalah benda dan sebagai benda, nama dapat dibuat sesuka hati dengan ’apalah sebuah nama’. Anak kecil dapat saja memanggil nama seorang kakek. Itulah sebanya dalam bahasa Indonesia kita katakan siapa namamu? bukan apa namamu? sementara dalam bahasa Inggris dikatakan what is your name? Bangsa Indonesia secara ideologis tidak menyamakan hewan dengan manusia yang berbeda dengan pemakai bahasa Inggris yang menyamakan hewan dengan manusia. Dengan kata lain, dalam ideologi bangsa Indonesia hewan tidak pernah setaraf dengan manusia sementara penutur Inggris menyamakannya dengan manusia. Di dalam bahasa Inggris dikatakan my uncle has (got) two cats, they are fed on fish and milk sementara teks bahasa Indonesia berbunyi pamamku mempunyai dua kucing; kedua kucing itu diberi makan ikan dan susu. Bangsa Indonesia belum dapat memerekakan kucing, kecuali dalam sastra karena dalam bidang ini kucing berlaku simbolis sebagai manusia. Walaupun Indonesia dan Malaysia merupakan bangsa serumpun dengan ras dan bahasa Melayu yang menyatukan, sebagai bangsa kedua negara memiliki jati diri berbeda. Perbedaan itu disebabkan konteks situasi, budaya, dan ideologi yang dihadapi berbeda. Dengan kata lain, kemelayuan di Indonesia menimbulkan keindonesiaan dan kemelayuan di Malaysia melahirkan kemalaysiaan, yang direalisasikan dalam bahasa yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia pengalaman dikodekan sebagai Anda tinggal di mana?, sedangkan dalam bahasa Malaysia direalisasikan sebagai Tuan duduk kad mana? Perbedaan dalam ekspresi berikut dua keluarga tinggal di desa itu—dua kelamin duduk di kampung itu, saya meminta nasihat pengacara untuk perkara itu—saya perlukan pengacara dalam perhelatan itu, dia datang ke sini pada tanggal 15 Agustus— dia tiba pada 15 hari bulan Ogos, isilah kolom jenis kelamin pada borang itu— isikan ruang jantina pada borang itu, dan lain sejenisnya adalah perbedaan pengodean pengalaman yang pada dasarnya adalah perbedaan identitas atau jati diri. Satu realitas atau benda yang diidentifikasi dua komunitas atau bangsa potensial memberikan pemahaman atau persepsi yang berbeda. Hal ini terjadi karena bahasa kedua komunitas itu berbeda. Bahasa yang berbeda dari kedua komunitas itu membingkai atau mengungkung mereka dalam memahami realitas atau benda itu. Dengan kata lain ilustrasi yang dikemukan itu menunjukkan bahwa bahasa berperan penting dalam pembentukan jati diri suatu bangsa. Peran bahasa dalam pemertahanan jati diri Bahasa, seperti diuraikan terdahulu,

merupakan realisasi dan ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu komunitas atau bangsa. Satu aspek atau unit tata bahasa (bunyi, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan teks) berevolusi bertahun-tahun (puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun) untuk membawa makna konteks sosial tersebut. Jati diri atau identitas suatu komunitas dibentuk oleh bahasanya dalam proses interaksi antara bahasa dan konteks sosial, yang berlangsung dalam evolusi. Dengan pengertian ini, bahasa adalah jati diri suatu bangsa. Jika satu bahasa lenyap atau musnah, sejalan dengan pendapat Thorn-borrow (2007: 171), musnahlah kahazanah ideologi, budaya dan situasi dalam bahasa itu dan sekaligus musnahlah identitas atau jati diri penutur bahasa itu. Hal ini berarti jika bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah 746 (Pusat Bahasa 2008) punah, musnahlah jati diri suku bangsa penutur bahasa daerah itu. Fakta ini menyatakan bahwa bahasa berperan penting dalam pemertahanan jati diri suatu komunitas atau bangsa. Dengan demikian, bahasa sebagai jati diri suatu bangsa harus dipertahankan. Dan hal ini berimplikasi bahwa mempertahankan (pemakaian) bahasa Indonesia berarti mempertahankan jati diri bangsa Indonesia. Dalam konteks atau konstelasi sosial Indonesia, jati diri seseorang dalam perjalanan hidupnya potensial dibentuk oleh bahasa ibunya, bahasa nasional, dan bahasa asing. Bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing sebagai mediasi interaksi dengan orang asing. Jika bahasa ibu seorang warga negara Indonesia sama dengan bahasa Indonesia, khususnya untuk penduduk di kota besar dan mendapat pendidikan formal sekolah menengah, dia dihadapkan ke dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa ibu atau bahasa daerah umunya membentuk jati diri seseorang sekurang-kurangnya sampai usia dewasa bahasa. Peran bahasa ibu sangat penting dalam kehidupan seseorang dalam hal bahasa ibu atau bahasa daerah itu membentuk kepribadian dasar dalam emosi, kognisi, sikap, dan spritual. Bahasa Indonesia umumnya meluaskan jati diri terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Selanjutnya, bahasa asing menambah wawasan dalam kaitan ilmu pengetahun, teknologi, dan pergaulan antarbangsa. Dapat dipastikan bahwa bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dengan sistem arti, tata bahasa, ekspresi, konteks sosial yang berbeda membentuk jati diri yang berbeda pula terhadap seorang individu. Setiap bahasa (daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing) berperan berbeda dalam membentuk kepribadian

seseorang. Dewasa ini sebagian orang Indonesia mengalami krisis bahasa. Karena bahasa adalah identitas, krisis bahasa juga bermakna krisis identitas atau krisis jati diri. Kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia ‘demam’ atau ‘gila’ bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Hal ini terjadi karena ketakutan terhadap ‘berhala’ globalisasi. Ada anggapan dalam masyarakat bahwa satu-satunya jalan untuk selamat dari lindasan globalisasi adalah penguasaan bahasa Inggris. Bahasa Inggris juga dianggap memiliki daya jual dan daya pengangkat marwah atau wibawa sosial dan ekonomi. Itulah sebabnya merek dagang, spanduk, nama perusahaan, nama hotel, nama tempat, atau iklan layanan umum yang nampak jelas di ruang publik dinyatakan dalam atau sebagian besar bercampur dengan bahasa asing, khusunya bahasa Inggris. Beberapa sekolah, khususnya di kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, dan Medan menyatakan diri sebagai sekolah internasional dengan bahasa pengantar dalam pembelajaran dikatakan bahasa Inggris. Di samping krisis identitas sebagai bangsa, sebagian orang Indonesia juga mengalami krisis identitas sebagai suku bangsa. Sejumlah bahasa daerah telah, sedang, dan akan musnah. Kepunahan bahasa daerah akibat berbagai hal, tetapi sebagian besar akibat penuturnya meninggalkan atau tidak mau menggunakan bahasa itu. Bahasa daerah dianggap ketinggalan zaman atau tidak bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Jika satu bahasa daerah musnah, itu berarti bahwa ideologi, budaya, situasi atau kebijakan terhadap alam dan sosial semesta dalam bahasa itu yang telah dibangun melalui evolusi bertahun-tahun akan musnah. Kenyataan penggunaan bahasa asing secara tidak proporsional, musnahnya bahasa daerah, dan berleluasanya pengambilan aset budaya Indonesia oleh negara tetangga merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia sedang meng-hadapi atau mengalami krisis jati diri yang dahsyat sebagai bangsa dan sebagai suku bangsa. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan terhadap peran bahasa dalam kehidupan dan kualitas hidup yang rendah. Satu upaya yang tepat untuk mengatasi krisis jati diri, khususnya krisis pemakaian bahasa Indonesia adalah melalui upaya pendidikan berkualitas. Bangsa Indonesia, khususnya pelajar dan mahasiswa harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia secara berkualitas. Di samping itu, (maha)siswa, pejabat, wartawan, politisi, ilmuwan, para pemikir, tokoh masyarakat, dan kaum intelektual sebaiknya diberi pemahaman tentang kebijakan kebahasaan yang dibuat oleh pemerintah. Pengembangan jati diri menjadi karakter bangsa melalui bahasa Bahasa suatu komunitas, etnik, atau bangsa pada awalnya mengatur cara berbahasa (lisan, tulisan, dan isyarat). Aturan berbahasa atau tata bahasa bahasa itu terbentuk sesuai dengan situasi,

budaya, dan ideologi komunitas dalam kurun waktu puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun yang merealisasikan interaksinya dengan alam dan sosial semesta. Aturan bahasa atau tata bahasa terealisasi dalam konsep dan menjadi jati diri atau identitas sesuatu komunitas atau bangsa. Akhirnya pada gilirannya, identitas atau jati diri itu didayagunakan dalam bentuk karakter suatu bangsa. Sebagai contoh, jati diri individualis, inovatif, eksploratoris (Inggris), imitatif atau membuat tiruan (Jepang), cita rasa pedas makanan (Thailand) telah direalisasikan bangsa itu dan menjadi karakter bangsa itu. Dengan karakter itu mereka telah maju dan berhasil dalam pergaulan antar-bangsa dalam konteks global. Kemajuan suatu bangsa bersumber pada perealisasian jati diri bangsa itu dan kemampuannya mendayagunakan karakter atau hikmah budaya bangsa itu yang terealisasi oleh dan menyatu dengan bahasanya. Dengan kata lain, bagi bangsa atau kaum yang cemerlang dan mau berpikir bahasanya adalah sumber daya untuk mengembangkan kreasi dan inovasi. Fakta menunjukkan semua bangsa yang berjaya adalah bangsa yang telah berhasil mengembangkan nilai dan hikmah budaya dalam bahasanya. Tidak ada bangsa yang cemerlang dengan meminjam atau meniru bahasa bangsa lain (lihat Othman 2008: 172—190; Hassan 2008: 338—364). Korea, Jepang, China, dan Thailand berhasil meneroka budaya mereka dengan menggunakan bahasa mereka untuk meraih kejayaan. Bukan dengan menggunakan bahasa lain, misalnya bahasa Inggris! Bahasa Indonesia mampu membentuk karakter bangsa Indonesia yang toleran dan variatif. Tata bahasa bahasa Indonesia telah potensial membuat bangsa Indonesia membuat berbagai versi dari satu standar atau fenomena. Bahasa Indonesia mampu membentuk karakter bangsa Indonesia berpikir objektif dengan merujuk alam. Pemakaian bahasa Indonesia mampu mengubah pemikiran subjektif menjadi objektif. Makna atau konsep yang subjektif adalah makna atau konsep yang deskripsinya bergantung kepada setiap orang yang memandang atau mema-haminya. Di Indonesia terdapat tiga bahasa yang berperan dalam membentuk jati diri bangsa Indonesia, yakni bahasa daerah, bahasa In-donesia, dan bahasa asing. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia paling dekat dengan bangsa Indonesia sehingga kedua kelompok bahasa itu paling berperan dalam memben-tuk jati diri seseorang sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bahasa asing diharapkan berfungsi mengembangkan jati diri bangsa yang sudah kukuh dibentuk oleh bahasa daerah dan atau bahasa Indonesia. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memberi keutamaan kepada bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Sikap pemberian keutamaan kepada bahasa asing merusak jati diri bangsa Indonesia dan harus diubah dengan meletakkan sikap yang seimbang atau proporsional kepada ketiga bahasa itu. Dalam konteks Indonesia dan konteks global hanya dengan sikap proporsional itu keseimbangan sosial antarbangsa dapat dicapai. Penulis adalah Kepala Balai Bahasa Medan


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.