Waspada, Senin 20 Juni 2011

Page 14

Opini

B4 TAJUK RENCANA

Hukuman Mati Koruptor Sudah Saatnya Diterapkan

A

pa bedanya koruptor dengan teroris? Biasanya koruptor hidup senang (kaya-raya) sementara teroris hidupnya sederhana, idealis, memegang prinsip, malah cenderung miskin. Tapi, beda lebih mencolok ada pada dampak dan bahayanya. Meski keduanya sama-sama berbahaya, namun bahaya koruptor lebih besar ketimbang teroris karena menghambat pembangunan, dan memiskinan rakyat. Tak pelak lagi, bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah hidup rakyatnya banyak yang miskin. Data dari BLT atau bantuan langsung tunai dua tahun lalu menunjukkan ada 19 juta lebih keluarga miskin. Nah, kalau dikalikan tiga saja, karena rata-rata rumah tangga (suami-istri dengan dua anak), maka jumlah orang miskin mencapai 76 juta jiwa. Itu yang terdata, belum lagi mereka yang tak terdata. Masih untung pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Jika BBM naik maka semakin meluaslah kemiskinan di negeri ini. Sekalipun faktanya koruptor itu lebih berbahaya bagi masyarakat, bangsa, dan negara, namun hukuman buat pelaku korupsi demikian ringannya. Belakangan ini, terkait kasus suap Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom para pelaku tak sampai 2 tahun dihukum. Sangat ringan sehingga dipastikan tidak akan menakutkan! Beda dengan kasus teroris. Vonis Amir Jamaah Ansharut Tauhid KH Abu Bakar Ba’asyir dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Memprihatinkan memang melihat rendahnya hukuman bagi para koruptor di Indonesia, sehingga wajar-wajar saja kalau kasus korupsi semakin meningkat. Dan sebagai perbandingan lagi, Abdullah Sunata, terdakwa teroris pelatihan militer di Aceh divonis 10 tahun penjara. Mantan anggota Brimob Sofyan Tsauri divonis 10 tahun. Ia terbukti menjual senjata api kepada teroris jaringan Aceh. Sementara Syarifudin Zuhri yang menyembunyikan Noordin M Top diganjar 8 tahun penjara. Pelaku bom Bali lalu divonis mati dan sudah menjalani eksekusi. Sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan data tentang hukuman bagi koruptor selama 2010. Dari banyaknya koruptor yang divonis, mayoritas hanya divonis 1 hingga 2 tahun saja. Sebanyak 442 kasus korupsi sudah diputus. 90,27 Persen koruptor divonis bersalah, dan tercatat 269 perkara atau 60,68 persen yang terdakwanya divonis antara 1 hingga 2 tahun saja. Bahkan, MA juga memvonis Intisari kasus korupsi dengan vonis di bawah 1 tahun jumlahnya 28 perkara atau 6,33 persen. Tercatat ada 43 perkara atau 9,73 KPK harus diperkuat, persen perkara korupsi yang terdakwanya UUTipikor dilengkapi de- dibebaskan. Di daerah-daerah banyak korupsi tidak terjangkau hukum ngan pasal hukuman ma- pelaku karena dapat mengatur oknum aparat ti bagi pelaku korupsi ba- penegak hukum dengan kekuatan uangnya. Hemat kita, vonis rendah terhadap tu para koruptor tiarap pelaku korupsi menunjukkan tidak ada keseriusan dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk oleh KPK sendiri. KPK lebih senang menunjukkan keberhasilannya menangkap pelaku korupsi, tidak memberi tanggapan dengan hukuman rendah, apalagi melakukan upaya pencegahan. Upaya memasukkan pasal hukuman mati dalam UU Tipikor belum juga terwujud. Kalau Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq setuju koruptor diperlakukan sama dengan teroris, sebenarnya hal itu sudah banyak diterima di banyak negara sehingga penegak hukum di Indonesia bisa menerapkannya. Apalagi pengurus MUI bahkan Ketua MK dan Menkum HAM pun sependapat hukuman koruptor harus diperberat, boleh disamakan dengan teroris karena dampak negatifnya luar biasa besar. Dalam syariat Islam hukuman terhadap pencuri saja potong tangan, padahal nilai barang yang dicurinya mungkin kecil tak sampai Rp1 juta. Sehingga hukuman bagi para koruptor yang ‘’menilep’’ uang rakyat bermiliaran rupiah harusnya jauh lebih berat, di mana hukuman mati sangat pas dijatuhkan kepada para koruptor. Dan kalau hukuman mati diterapkan dengan tegas, pastilah para koruptor ketakutan, sehingga afek jeranya membuat para pejabat takut berkorupsi ria saat mendapatkan jabatan dan amanah sebagai pejabat pemerintahan di pusat, provinsi, maupun kabupaten-kota. Sepertinya hukuman bagi pelaku korupsi saat ini baru ‘’setengah hati’’. Hal itu bisa dilihat dari sulitnya menangkap basah pelaku, kecuali buktinya lengkap atau kecekal KPK dengan sadap rekamannya. Prosesnya berbelit, dan hukumannya sangat rendah. Dan yang membuat miris masyarakat. Saat ditangkap,diproses, maupun setelah vonis pengadilan mereka dapat perlakuan istimewa. Masih bisa ketawa-ketawa, berpakaian necis, dapat fasilitas, dapat remisi dll sehingga tidak terasa sudah bebas kembali ke masyarakat dengan tetap kaya-raya dari hasil korupsinya. Dengan hukuman demikian rendah pastilah menyulitkan dalam memberantas tikus-tikus korupsi, apalagi di lapangan terlihat jelas bagaimana para koruptor dan keluarga koruptor masih bisa menikmati kekayaannya. Sehingga bagaimana mungkin bisa membuat efek jera jika upaya memberantas korupsi baru sekadar ‘’show’’ dan ‘’main-main’’, sekadar ‘’lips service’’ atau ‘’setengah hati’’ saja. Pantas kalau bangsa ini gagal dan akan semakin parah di masa mendatang jika tidak dilakukan reformasi terkait hukumannya yang ringan bagi pelaku korupsi. Harusnya Indonesia mengikuti proses hukum di Cina atau nengara lain yang menerapkan hukuman berat, misalnya hukuman tembak mati, hukum gantung terhadap pelaku korupsi tanpa pilih kasih. Di Cina, komitmen itu datang dari pimpinan tertingginya sehingga sudah 3000 koruptor dihukum mati (berat) dilihat oleh para pejabat lain dan rakyatnya. Kalau Cina kini menjadi bangsa yang maju maka Indonesia pun bisa lebih maju dari Cina jika berani memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.+

APA KOMENTAR ANDA SMS 08974718101

Faks 061 4510025

Facebook smswaspada

082160876636 Masih adakah yang bisa diharapkan, sehingga negeri ini dapat melangkah lebih maju. Yang terpampang di hadapan kita hanyalah perilaku korupsi yang sungguhsungguh sangat memalukan. Perilaku korup sudah merambah ke segala sendi kehidupan. Uang negara terus digerogoti. SBY yang katanya menghunus pedang untuk memberantas korupsi, seperti tak berdaya. Ada lagikah yang bisa diharap? 06176582233 Tolonglah traffic light di Kota Medan benar-benar difungsikan. Kalau listrik padam, seharusnya ada genset khususnya di kawasan rawan macet. Soalnya, kalau lampu pengatur lalulintas tidak berfungsi, hampir bisa dipastikan jalanan akan macet. Sangat menderita lho Pak terjebak di tengah kemacetan dalam cuaca yang sangat panas begini. 02160821339 Kabarnya masuk sekolah bertaraf internasional harus membayar puluhan juta rupiah. Kasihan dong anak-anak kurang mampu yang sebenarnya memiliki kecerdasan, tapi tak bisa masuk ke sekolah berkualitas seperti itu karena dilahirkan dari keluarga miskin. Nasib, nasib. 081369029219 Hayo, Ketua DPRD Langkat didemo ratusan kepala desa. Tentu saja Kepala Desa tersinggung disebut kepala dosa. Makanya, tidak saja kita harus menjaga hati, juga harus menjaga mulut. Ingat, mulutmu harimau kamu. 06175420468 Aku sedih Ustadz Abu Bakar Ba’asyir divonis 15 tahun. Kuasa hukum memang banding, karena hakim dinilai tidak mempertimbangkan keterangan saksi kunci, Khairul Ghazali. +6285658074220 Pilkada ulang 28 Juni mendatang, mudahan berlaku adil, semoga janji para calon KDH, ditepati, kami para pendidik, tolong jangan dipersulit adm, agar mutu mengajar dapat meningkat, jangan sikit2 uang. Ingat janji.

WASPADA Senin 20 Juni 2011

Sisi Buruk Otda: Robohnya Sekolah Dasar Oleh Effan Zulfiqar Harahap Buruknya nasib pendidikan dasar di daerah adalah cerminan ketidakperdulian pemda terhadap pembangunan pendidikan dasar

H

arian Waspada dua kali menurunkan berita menyangkut buruknya nasib Sekolah Dasar Negeri di Padanglawas Utara (Waspada 19 dan 23 Mei 2011). Sedih membaca berita tersebut bagaimana mungkin Sekolah Dasar (SD) yang dibangun sejak zaman orde baru (orba) belum pernah tersentuh oleh nikmatnya zaman otonomi daerah (otda). Bagaimana mungkin sekolah yang mestinya memberikan suasana nyaman dan gembira bagi anak-anak untuk belajar, justru sebaliknya berada dalam suasana ketidak nyamanan. Dengan kondisi SD yang hampir roboh, atap yang bocor, dinding lapuk dan berlobang di sana sini. Kalau hari panas murid-murid yang belajar sudah pasti akan merasa gerah luar biasa. Bila hujan turun ruangan kelas akan kebanjiran karena atap yang bocor. Loteng dan asbes yang sudah lapuk berpotensi menimpa murid-murid pada saat belajar dan lantai yang bolong-bolong suatu saat akan menyebabkan mereka terjatuh. Cat dinding yang sudah kusam dan berlumut jelas sangat tidak higienis bagi mereka. Kursi yang kakinya hampir patah dan meja yang lebih jelek lagi dari meja penjual daging di pasar bukan tempat yang baik untuk menulis dan membaca. Seperti itulah gambaran kondisi SD di negeri ini setelah otda. Bukannya lebih baik, justru lebih buruk kondisinya bila dibadingkan masa orde baru. Dengan otda sejatinya kondisi bangunan SD akan lebih baik karena sepenuhnya kewenangan bidang pendidikan telah diberikan kepada daerah untuk mengelolanya lebih baik lagi dibandingkan zaman orba. Kenyataannya sangat bertolak belakang. Pemerintah daerah (pemda) sepertinya tidak begitu menganggap terlalu penting untuk memperbaiki kondisi SD

yang sudah hampir roboh. 10 tahun otda berjalan, ternyata nasib SD makin terpuruk apalagi SD yang dikelola swasta mungkin sebagian akan jauh lebih buruk lagi nasibnya. Kalau boleh dikatakan kondisi sekolah yang ada jauh lebih bagus dari kandang ayam atau kambing. Belum lagi permasalahan jumlah guru kelas yang tidak sebanding dengan jumlah kelas dan ditambah lagi dengan kepala sekolah yang jarang hadir. Sangat-sangat tidak layak rasanya kondisi sekolah seperti itu diharapkan dapat melahirkan orang-orang yang berkualitas. Padahal SD merupakan investasi jang-ka panjang yang akan menentukan kualitas SDM yang ada di daerah dan di negeri ini. Di negeri ini memang aneh, seharusnya lebih diprioritaskan bagaimana membangun SD yang lebih baik bukan PTnya. Karena bagaimanapun bila dasarnya tidak bagus, otomatis ke atasnya juga akan tetap buruk. Kalau dikatakan tidak ada anggaran untuk memperbaiki gedung SD yang sudah tidak layak tersebut tidak benar. Anggaran untuk pendidikan, terutama pendidikan dasar sangat besar dikucurkan pemerintah pusat tiap tahunnya melalui DAK/DAU. Masalahnya begitu sampai di daerah lebih banyak yang dikorup. Demikian juga yang berasal dari APBD yang menurut UUD 45 perubahan Pasal 31 negara harus memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Pertanyaan nya kemana anggaran pendidikan yang 20% digunakan pemda? Faktanya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat pemda banyak terkait dengan penyalahgunaan anggaran pendidikan dengan cara melakukan mark up atau anggaran-anggaran fiktif yang terkait dengan penggunaan dana BOS atau DAK/DAU yang dianggarkan untuk pendidikan, ter-

masuk dana-dana pendidikan yang bersumber dari APBD. Bahwa UU 32 Tahun 2004 secara jelas dan tegas menyebutkan pelayanan dasar minimal yakni bidang pendidikan menjadi urusan wajib dan tanggung jawab pemda untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya dan menganggarkan pembiayaannya di APBD. Demikian juga dalam Pasal 30 UU No 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional tegas disebutkan bagaimana tanggungjawab pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan pengelolaan pendidikan. Sesungguhnya tidaklah benar bila disebutkan bahwa anggaran untuk pendidikan di daerah sangat kurang yang menyebabkan tidak bisa dilakukan perbaikan terhadap bangunan SD yang sudah hampir roboh. Alasan tersebut sangat klasik rasanya yang menyebabkan lambatnya kemajuan pendididkan di negeri ini yang sebenarnya semuanya bermuara dari tidak bermutunya pendidikan dasar kita. Pendidikan dasar sebagaimana disebut dalam UU No. 20Tahun 2003 adalah merupakan jenjang pendidikan yang melandasijenjangpendidikanmenengah, yang terdiri dari SD dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajad serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs). Buruknya nasib pendidikan dasar di daerah adalah cerminan ketidakperdulian pemda terhadap pembangunan pendidikan dasar. Keperdulian hanya ditujukan pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional. Lihat bagaimana hebatnya semangat memperingatinya, termasuk slogan dan wacana-wacana yang disampaikan oleh pejabat di daerah menyangkut komitmen untuk membangun pendidikan di daerah. Termasuk pada saat mencalon jadi kepala daerah. Selesai terpilih yang lebih dipentingkan adalah membeli mobil dinas yang harganya setara dengan biaya untuk merehap dua bangunan SDN yang hampir roboh. Kini yang diharapkan adalah adanya ketegasan dan kemauan kuat dari aparat pemerintah di daerah (baca kepala daerah

dan DPRD) untuk melaksanakan semua keputusanpolitikmenyangkutpendidikan dan pembiyaaannya sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang. Tanpa adanya ketegasan dan kemauan kuat akan selamanyanasibpendidikandasarmenjadi prioritas terakhir di daerah. Bahasa sederhananya selama pemda masih tidak fokus dan punya perencanaan yang baik dalam pelaksanaan pembangunanpendidikantingkatdasar,terutama dalam penyedian sarana dan prasarana yang minimal saja. Maka selama itulah nasib pendidikan dasar di daerah akan menderita di tengah-tengah euforio otda dan semangat rame-rame untuk korupsi berjamaah pejabat daerah. Benar apa yang pernah ditulis tokoh pendidikan kita Winarno Surakhmad di Harian Kompas edisi 15 Maret 2004, katanya: “Dengan anggaran terbatas saja korupsi di sektor pendidikan sulit dicegah, apalagi kalau anggaran melimpah”. Artinya dengan anggaran yang melimpah seperti sekarang ini bukannya nasib pendidikan makin baik, justru makin buruk karena habis dikorup di daerah. Sedangkan anggaran yang sedikit saja tidak lepas dari sasaran untuk dikorupsi. Sudah seharusnya semua pihak yang perduli terhadap masa depan bangsa ini di daerah berpaling untuk secepatnya memperbaiki bangunan SD yang hampir roboh sebelum anak-anak masa depan bangsa tersebut mati tertimpa oleh bangunan yang sudah lapuk. Bahwa kita sepakat dan mengakui pendidikan dasar (terutama SD) merupakan investasi jangka panjang yang harus dijaga kualitas dan keberlanjutannya. Sejatinya tujuan dari pendidikan dasar adalah mengajarkan kecakapan dasar, seperti membaca, menulis dan berhitung yangmerupakanpenunjangutamapengajaranpadajenjangpendidikanselanjutnya. Pertanyaannya apakah anak-anak bisa fokus belajar membaca, menulis dan berhitung dengan baik di tengah-tengah bangunan SD mereka yang minim sarana dan prasana dan hampir roboh? Penulis adalah Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan.Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga

Mengapa Kita Tidak Pernah Siap Berdemokrasi? Oleh Ir. B. Ricson Simarmata, MS. EE Dalam alam demokrasi, yang paling utama dibentuk adalah mau menerima kekalahan dengan tulus, menghargai orang lain, taat pada aturan yang sudah baku...

A

lex Ferguson mengatakan dengan tulus bahwa dia tidak malu kalah dengan team terbaik dunia sekelas Barcelona, mereka unggul dalam segala hal dari MU, mereka memang pantas untuk menang. Ungkapan itu sangat jujur, natural, dan menerima kenyataan dengan tidak terpaksa. Saat bersamaan, pemilihan ketua umum PSSI penuh dengan kekacauan dan berakhir rusuh, semua memaksakan kehendaknya dan merasa paling benar dan tidak ada yang mau mengalah. Dua hal bertolak belakang kalau kita menggunakan ukuran kacamata demokrasi. Alex Ferguson sangat siap menerima ajarandemokrasidengantulusdannatural. Tidak mempersoalkanmengapateamnya kalahdanmaumenerimakenyataandemi menyelamtkan sepkabola universal yang menjujung tinggi arti sportivitas. Sementara para peserta PSSI yang selalu ngotot memaksakan kehendaknya tidak pernah berpikirjangkapanjangtentangartisebuah masa depan yang lebih baik. Inilah sikap mental yang tidak siap berdemokrasi. Ketika kehendak dipaksakan berarti sudah mengeliminir nilai demokrasi itu sendiri. Sekali lagi, mengapa kita tidak siap berdemokrasi ketika dunia memuji kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia? Akankah pujian Obama mengatakan Indonesia punya masa depan yang begitu cerah kalau kita masih mempertahankankarakterkitasepertiini?Demokrasi pada sisi lain yang saya pahami adalah persoalan aturan dan bagaimana menghargai orang lain. Sistem politik sebuah negarayangmenerapkandemokrasibiasa punya pengharapan yang lebih baik daripada negara otoriter. Dalam alam demokrasi, yang paling utama dibentuk adalah mau menerima kekalahan dengan tulus, menghargai orang lain, taat pada aturan yang sudah baku dan ditetapkan bersama. Berangkat dari prinsip seperti inilah, wajar bangsa Amerika Serikat sampai pada finish demokrasi yang substansial. Para politisi di Amerika Serikat sangat menghargai konstituen pemilihnya. Mereka menyadari sepenuhnya, mereka duduk menjadi senator, pejabat publik karena rakyat menginginkan perubahan yang lebih baik. Pada fase ini senator dan politisi di negara Amerika sudah menghargai konstituen masing-masing. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa mereka tidak akan pernah duduk tanpa dukungan dari masyarakat. Untuk itu berbuat yang terbaik kepada rakyat tentu menjadi pilihan yang paling utama. Beda dengan politisi di negara kita yang selalu mengatakan siap berdemokrasi,tetapitidakpernahmenghargai konstituen pemilihnya. Aspirasi masyarakat hanya menajdi wacana tanpa ada upaya konkrit bagaimana menjawab persoalan masyarakat. Sangat menarik memang mencermati apa yang dikatakan oleh Boni Hargens yang sedang S3 di Jerman. Dulu

pada masa Yunani kuno, politik adalah tempat para manusia yang berilmu dan bermoral. Yang duduk di politik adalah harus punya ilmu pengetahuan dan moral yang tinggi. Karena yang dibicarakan di sana adalah kepentingan umum (public good) yang sangat besar. Maka segala perangkat aturan yang dibuat sangat ditaati bersama. Tidak ada ruang untuk melanggar aturan. Kalau kita lihat demokrasi yang kita terapkan, memang sangat wajar kita tidak siap berdemokrasi. Janganlah dulu saling menyalahkan. Ketika demokrasi bicara masalah aturan dan saling menghargai orang lain, tidak terlalu sulit menemukan fakta di lapangan tentang kurangnya kita taat pada aturan dan menghargai orang lain. Di setiap lampu merah Kota Medan, sekalipun sudah ada tulisan sangat besar berhenti di belakang garis, hampir semua kendaraan,baikelitedanbiasa-biasaselalu melewati garis tersebut. Bahkan sang penerobos lampu merah sangat mudah kita temukan. Inilah potret sebuah bangsa yang tidak siap berdemokrasi. Sampel lampu merah dan lalu lintas ini masih satu sampel. Padahal taat kepada rambu lalu lintas adalah persoalan aturan dan bagaimana menghargai orang lain. Di sini saja kita sudah tidak siap berdemokrasi, padahal masih sangat sederhana. Konon lagi dalam praktik berbangsa dan bernegara yang baik. Di negara secara formal banyak sumber daya yang dikelola. Salah satunya adalah uang dan bentuk fasilitas yang lain. Inilah yang menajdi sumber persoalan. Padahal dalam mengelola sumber daya negara butuh aturan dan regulasi yang baik. Jika kita tidak sanggup menghargai hak orang lain dengan melihat bahwa uang dan sumber daya negara adalah untuk kebaikan bersama, inilah yang menjadi akar persoalan makanya muncul perilaku korupsi. Korupsi adalah bentuk ketidakmampuan kita menghormati apa yang menjadi hak-hak rakyat. Korupsi adalah bentuk ketidaktaatan kita pada aturan yang baik. Mengingat dalam kultur masyarakat kita selalu mencari jalan pintas dan di luar aturan, maka seringkali terjadi pelanggaran terhadap berbagai aturan main. Bangsa yang tidak taat pada aturan main selalu jatuh dalam konflik bersaudara. Bagaimana supaya siap berdemokrasi? Tentu tidak ada rumusan baku seperti dalam rumus Matematika atau Fisika. Tetapi jawabnya memang sangat sederhana. Dua prasyarat mutlak dalam berdemokrasi, taat pada aturan dan menghargai orang lain. Ketika saya menjadi seorang pejabat publik, program pembangunan tidak saya jalankan untuk rakyat, maka saya sudah tidak menghargai apa yang menjadi hak orang lain dan saya sudah melanggar aturan. Munculnya berbagai konflik politik di tingkat lokal dan nasional adalah buah dari ketidaksiapan kita mengahrgai orang

laindantidaktaatpadaaturanmain.Budaya mundur di negeri Jepang oleh pejabatnya adalah bentuk menghargai orang lain. Dia secara tidak langsung mempersilakan orang lain yang lebih mampu untuk memimpin. Dari sini dapat kita lihat bersama, bahwa demokrasi membutuhkan rumusan yang sangat sederhana, menghargai orang lain. Wajarlah demokrasi di negara –negara maju menjadiinstrumenutamamencapai tujuan negara. Jika mereka tidak mampu menghargai orang lain dan taat kepada aturan, maka ke depan mereka tidak akan dipilih lagi menajdi politisi atau pejabat publik. Sangat kontras di negara kita, dari masyarakat yang secara kualifikasi pendidikannya sudah tinggi pun sangat sulit mengahrgai hak orang lain dan taat pada aturan. Bukan pemandangan yang asing bagi kita, bahwa mobil pejabat selalu didahulukan jika lewat. Sekalipun ada aturan semua sama di depan hukum dan pemerintahan. Ternyata itu tidak jalan, hanya sebatas lips service semata. Ketikademokrasimenjadipilihanbagi sebuah bangsa, dibutuhkan sikap menghargai orang lain dan taat pada aturan. Selanjutnya dalam lakon politiknya, segala perilaku politiknya perlu diarahkan untuk membangunrakyatdanmemberikannilai yang baik kepada masyarakat. Inilah sebuah contoh yang sangat sederhana, bahwa demokrasi itu sebenarnya tidak rumit, hanyamasalahmenghargaioranglaindan taat pada aturan yang sudah keputusna bersama pula. Kapankah kita siap berdemokrasi? Penulis adalah Mantan Rektor UHN Medan/ Saat Ini Ketua STMIK IBBI Medan

Pengumuman Redaksi menerima kiriman karya tulis berupa artikel/opini, surat pembaca. Kirim ke alamat redaksi dengan tujuan ‘Redaktur Opini Waspada’ dengan disertai CD atau melalui email: opiniwaspada@yahoo. com. Panjang artikel 5.000-10.000 karakter dengan dilengkapi biodata penulis dan kartu pengenal (KTP dll). Naskah yang dikirim adalah karya orisinil, belum/tidak diterbitkan di Media manapun.Tulisan menjadi milik Waspada dan isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis.

SUDUT BATUAH * Izin reklame tumpang tindih - Inilah enaknya di Medan, he...he...he * PLN targetkan 105 ribu sambungan baru - Tak padam saja sudah syukur! * Bupati Sergai: Aspek moralitas penting - Ya iyalah pak!

oel

D Wak


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.