Waspada, Senin 17 September 2012

Page 21

Opini

WASPADA Senin 17 September 2012

Karyawan SPBU IDI Tak Jujur Beberapa hari yang lalu saya pergi ke Medan bersama teman saya dengan menggunakan kereta. Saya singgah di Idi. Dan mengisi bensin di SPBU yang ada di sana. Dalam pengisian itu terjadi ketimpangan dan penipuan yang sangat mencolok. Pembohongan terencana! Saya melihat di data yang tertera di mesin pengisian kalau karyawan SPBU tidak jujur dalam melakukan tugasnya. Untuk pengisian bensin ke dalam kereta kami dia menggantungkan meteran dan menambahan dari pengeluaran bensin yang sebelumnya ke kereta lain. Maka kami harus membayar lebih dari jumlah semestinya. Ketika itu saya curiga. Saya kira tak mungkin untuk satu tangki dapat muat bensin lebih dari kapasitasnya. Maka saya komplain. Ternyata dia memang merencanakannya. Terbukti dia langsung mengakuinya. Untung teman saya yang “mujahidin” itu tidak menggebuki dia. Tapi sebatas memperingati. Maka yang ingin saya peringatkan adalah, pimpinan SPBU Idi, tolong ajarkan dan peringati karyawan Anda. Dengan kebohongan tidak akan ada kemajuan. Apalagi kekayaan. Allah tak akan bisa dibohongi. Dusta itu haram. Haram itu dosa. Dosa itu neraka. Semoga bermanfaat. Terima kasih. Tengku Bukhari MK Pidie Jaya

Surat Terbuka Untuk Bupati Deliserdang Pembangunan sebuah gedung di pasar V Medan Estate atau tepatnya di dekat jembatan tol tak jauh dari kampus Unimed dan IAIN Sumut Pancing sungguh sangat ironis sekali. Karena pembangunan itu merusak yang lainnya, yaitu jalanan yang dilewati truk pengangkut material jalan penuh berlumpur dan licin saat hujan dan berdebu tebal saat panas datang. Bangunan itu sendiri cukup mengundang pertanyaan karena tidak ada plang merek yang mengabarkan tentang jati diri bangunan tersebut—seperti lazimnya pembangunan gedung pada plangnya mencantumkan IMB dan peruntukannya bangunan. Atau, jangan-jangan ini bangunan yang memang tak jelas perizinannya? Apalagi, setahu kami, lahan tempat bangunan itu didirikan adalah lahan perkebunan yang sejak lama tidak digunakan untuk pembangunan gedung. Entah-lah, negeri ini memang dipenuhi ketidakjelasan yang dilanggengkan. Bupati Deliserdang, Amri Tambunan, apalagi sekarang berminat jadi Gubernur Sumut, harus bisa membereskan masalah ini. Yang paling terasa langsung oleh masyarakat adalah menertibkan cara kerja si pemborong bangunan itu. Jangan seenak udelnya saja membiarkan tanah timbunan yang dibawa truk-truk besar merusaki jalan. Bapak bupati yang terhormat ini adalah perilaku yang bahkan penjajah sendiri tak melakukannya; membangun yang satu tapi merusak yang lain. Karena penjajah dulu, ketika membangun suatu pertambangan misalnya, mereka membangun ruas jalan yang sampai sekarang masih bisa kokoh dan kuat untuk dinikmati pengendara. Tapi kita sekarang, membangun satu gedung, bukannya membangun jalan baru malah merusak jalan yang sudah ada. Kenapa surat ini ditujukan kepada bupati? Karena bangunan tersebut berada dalam wilayah Deliserdang. Memang gak enak jadi bupati ya, orang yang bekerja tak becus, dia yang dimintai tanggung jawab. Itu baru bupati, apalagi gubernur. Nama Dan Alamat Ada Pada Redaksi. Dikirim dari iPad saya

Foliopini

Dedi Sahputra dedisahputra@yahoo.com

Lagi-lagi Zionis Cindy Lee Garcia mengaku trauma. “Ini membuatku gila,” katanya. Dia adalah artis Amerika pemeran film provokatif berjudul Innocence of Muslims. Film menghina Nabi Muhammad SAW yang memicu kerusuhan dan menewaskan beberapa orang. Libya bergolak, Kedutaan Besar Amerika diroket menewaskan sang duta besar dan beberapa lainnya. Mesir, Pakistan juga dilanda gelombang aksi unjukrasa besarbesaran disebabkan potongan film yang disebar di Youtube itu. Iniah yang membuat Cindy trauma. Dia merasa dikibuli sang sutradara. Katanya ini film berlatar belakang Mesir 2.000 tahun silam—yang akan diberi judul Desert Warriors. Dan sosok Nabi Muhammad SAW dalam film itu yang diketahuinya adalah Master George. Nama itu kemudian dialihsuarakan oleh sang sutradara dalam proses editing. Ini film jelas-jelas bermaksud menghina, bahkan biadab. Tapi benarkan pernyataan Cindy itu? Dari tempat persembunyiannya, Sam Bacile, sang sutradara berbicara dengan koran The Guardian melalui sambungan telephone. Pernyataannya kemudian memperjelas apa yang diutarakan Cindy, bahkan semakin memperjelas beberapa hal yang selama ini dianggap tak jelas. Pria 56 tahun itu dengan tegas menyebut jati dirinya sebagai seorang Yahudi Israel. Dia mengatakan, sengaja membuat film itu dengan tujuan provokasi politik untuk mengutuk agama. Dia juga menyinggung tentang perang di Irak dan Afghanistan yang menghabiskan banyak anggaran dan banyak pasukan Amerika yang mati sia-sia. “Islam itu ibarat kanker. Kami sedang bertempur melawan idiologi (Islam),” katanya. Dalam film berdurasi dua jam seharga Rp48 miliar ini—berasal dari tanggungan 100 donatur Yahudi. Kata Bacile, film ini akan membantu tanah airnya untuk mengekspos kelemahan Islam. “Islam adalah sebuah kanker,” katanya mengulangi lagi. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan si Bacile ini? Bahwa serangan terhadap Islam adalah serangan secara sistematis, terpola, dan meliputi semua sektor, budaya, ekonomi, politik, dan militer. *** Dalam setiap kemelut, akan selalu ada pihak yang mencuri keuntungan di sana. Kemelut apakah itu bernama debat, konflik, ataupun perang. Ini seperti cerita lawaklawak seorang pedagang musiman yang menjuali batu-batuan, sepatu bekas, dan

segala barang rongsokan lainnya kepada para pendemo yang geram. Gunanya tidak lain untuk menimpuki objek kemarahan. Maka sudah pasti, si pedagang ini tidak saja orang yang cerdik, tapi dia juga licin dan kejam. Peran inilah yang ingin diambil Israel di tahun 1948 ketika melancarkan taktik “nuansa perang”. Ini taktik untuk terus menerus mengabarkan berita perang antara Israel dengan negara-negara Arab. Ini adalah upaya mereka untuk mengeskspor masalah domestiknya ke dunia luar. Kabar yang terdengar, secara berkala Israel terdengar terlibat perang. Tahun 1948, tahun 1956, tahun 1967, tahun 1973, tahun 1982, terakhir tahun 2006 lalu. Jadi perang bagi mereka sudah seperti makan obat, setiap 5-15 tahun sekali. Kalau gak ada yang nyerang, ya mereka yang nyerang duluan. Kalau gak ada yang nggara-garai, ya mereka sendiri yang cari gara-gara. Pesan yang ingin disampaikan adalah: kelangsungan negara mereka senantiasa berada dalam ancaman (kalaupun ya, pantas saja wong kalian mencaplok tanah orang) karena itu mereka butuh bantuan internasional. Hasilnya ternyata jitu. Lihatlah, Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya— seperti kerbau dicucuk hidung—mati-matian membela negeri Zionis itu. Tidak cuma itu, mereka juga mendidik orangorang untuk “mencintai” Israel. Lihatlah tabiat tokoh JIL Luthfi Assyaukanie yang terkagumkagum pada Israel. *** Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika itu pernah mengatakan bahwa Israel mela-kukan politik aparthaeid terhadap orang Palestina di Gaza, seperti halnya terjadi dulu di Afrika Selatan. DalamcatatanCarter,ketikadidirikantahun1948, Israelhanyamenguasai56persenkawasanantara JordaniadanLautTengah.TapisekarangPalestina sebagai pemilik sah tanah itu hanya menempati 23 persen dan terus berkurang dari tahun ke tahun. Ekspansi penjajahan Israel ini ditopang oleh kerajaan bisnis Zionis di seluruh dunia. Mereka memiliki jejaring bisnis makanan, minuman, pakaian, elektronik dan berbagai kebutuhan manusia lainnya. Ironisnya, mereka yang menyantap produk Zionis ini adalah umat Islam yang menentang aksi-aksi biadab Israel. Mereka menganggap sepi ajakan memboikot produkprodukYahudi. Padahal setiap membeli produk mereka, itu artinya engkau sedang menanam saham menambah energi mereka untuk menghina agamamu, membunuhi anak-anak danperempuantakberdayadanmelanggengkan penjajahan mereka.(Vol.346, 9/2012)

Kolom foliopini dapat juga diakses melalui http://epaper.waspadamedan.com

B7

Sertifikasi Pemuka Agama, Perlukah? Oleh Dr Suhrawardi K.Lubis, SH, SpN, MH Ketidak-berhasilan deradikalisasi perlu dijadikan bahan instrospeksi bagi semua pihak,baik institusi pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Misalnya intelijen dipandang oleh berbagai pihak belum berfungsi...

S

anter diberitakan di media cetak dan elektronik, Sabtu, 8 Agustus 2012 lalu, bertempat di Warung Daun, Jalan C ikini Raya, Jakarta Pusat, berlangsung diskusi hangat. Diskusi itu merupakan hajatan Sindoradio, bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai”. Dalam salah satu sesi diskusi, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melalui Direktur Deradikalisasi, Irfan Idris mengusulkan dilakukannya sertifikasi da’i dan ustadz. Sang direktur mengemukakan “Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauhmana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi”. Ide ini terinspirasi dari perlakuan yang diterapkan Singapura dan Arab Saudi kepada pemuka agamanya. Beliau menilai kedua-dua negara itu telah melaksanakan deradikalisasi secara efektif. Usulan BNPT tersebut, menimbulkan kegalauan, kegelisahan dan protes dari kalangan pemuka agama. Kenapa? Sebab usulan tersebut dinilai kebablasan, terlalu berlebihan dan sangat memojokkan pemuka agama, terutama pemuka agama Islam. Padahal dengan tinta emas ditorehkan dalam sejarah, bahwa ulama berperan besar dalam menumbuhkan Hubbul Wathan (rasa cinta tanah air), baik untuk merebut dan memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Usulan yang memojokkan pemuka agama ini tentu perlu disikapi dan dikritisi. Umat jangan lengah dan harus mengawal jangan sampai usulan yang kebablasan ini menjadi kenyataan. Kalau itu terjadi, keadaan akan menjadi mundur dan bahkan patut diduga akan lebih buruk daripada kungkungan yang dilaksana-

kan oleh rezim Orde Baru. Sebab pada masa rezim Orde Baru, kalaupun dilakukan pengawasan, namun tidak pernah dilakukan sertifikasi terhadap pemuka agama. Pemuka Agama Bukan Profesi Sertifikasi lazimnya dilakukan terhadap mereka yang akan mengemban suatu tugas profesi tertentu. Misalnya profesi bidang hukum seperti hakim, jaksa, advokad, notaris. Profesi bidang kesehatan seperti dokter, profesi guru dan dosen, profesi pendeta. Pendidikan dan sertifikasi profesi lazimnya dilaksanakan oleh asosiasi profesi berkenaan. Sebelum mengikuti sertifikasi untuk menekuni profesi tertentu, terlebih dahulu mengikuti pendidikan profesi. Setelah lulus pendidikan profesi, berikutnya diadakan ujian sertifikasi profesi. Setelah lulus sertifikasi dikukuhkan, baru kemudian boleh melaksanakan tugas profesinya di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, apabila seseorang telah memperoleh sertifikasi profesi dan telah dikukuhkan oleh pihak terkait, keberadaannya sebagai penyandang profesi tidak memerlukan legitimasi dari masyarakat. Dengan sertifikasi secara otomatis yang bersangkutan sudah dapat menjalankan profesinya. Penyandang profesi yang mendapat tunjangan dari negara, apabila memperoleh sertifikasi akan mendapat tunjangan dalam bentuk rupiah dari negara. Besarnya tunjangan sertifikasi sesuai dengan ketentuan yang ada. Misalnya guru dan dosen (baik pegawai negeri maupun swasta). Persoalan selanjutnya, apakah pemuka agama, kiai dan ulama dapat dikategorikan sebagai profesi? Dari kriteria-kriteria profesi yang ada, pemuka agama, kiai dan ulama tidak

dapat dikategorikan sebagai profesi. Karena untuk memperoleh gelar tersebut tidak ada pendidikan dan sertifikasi tertentu yang harus diikuti. Selain itu, mereka juga tidak memperoleh tunjangan finansial dengan gelar tersebut. Seseorang memperoleh gelar sebagai pemuka agama, kiai dan ulama merupakan gelar penghargaan dan pengakuan yang diberikan oleh masyarakat. Artinya merupakan apresiasi masyarakat terhadap ketokohan, integritas, moralitas dan loyalitas seseorang dalam aktivitas keagamaan yang dilakukannya di tengah-tengah masyarakat. Gelar tersebut bukan merupakan pemberian atau anugerah yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan, andainya seseorang memperoleh sertifikasi dari pemerintah dan diberikan gelar sebagai tokoh agama, kiai atau ulama tidak akan berarti apa-apa apabila tidak mendapat pengakuan dari masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, apakah gelar pemuka agama, kiai dan ulama perlu dilakukan sertifikasi oleh pemerinah? Apakah dengan sertifikasi, deradikalisasi akan berjalan seperti yang diharapkan oleh BNPT? Tidak Perlu Sertifikasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), seperti diberitakan di berbagai media (10/9) menentang keras usulan BNPT untuk melakukan sertifikasi pemuka agama sebagai salah satu langkah menekan aksi teror. Ketua Umum PBNU, KH Said Agil Siroj mengatakan bahwa panggilan kiai atau ustadz itu yang menyebutkan masyarakat, bukan pemberian dari pemerintah. Lebih lanjut KH Said Agil Siroj, mengemukakan bahwa “Pemerintah terlalu jauh kalau mengurusi halhal seperti ini”. Bahkan beliau menganalogikan pernyataannya pada perintah menjalankan shalat yang tidak perlu diatur dan diawasi secara langsung oleh pemerintah. Ada elemen masyarakat yang memiliki kewajiban menjalankan tugas tersebut. Pemerintah berada pada posisi memberikan dukungan.

Tentang gagalnya deradikalisasi di Indonesia, tidak tepat kalau dibebankan kepada pemuka agama, kiai dan ustadz. Sebab, sebagaimana dikemukakan Said Agil bahwa terorisme tidak mengakar dalam budaya Islam. Oleh karena itu, wajar apabila Said Agil meminta BNPT tidak usah meragukan peran ulama dalam menjalankan deradikalisasi, terutama sekali kelompok Ormas Islam yang berdiri sebelum Indonesia merdeka (seperti Muhammadiyah dan NU). Permintaan tersebut tentunya pantas, sebab Muhammadiyah dan NU memiliki andil besar berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Ini terbukti dengan dinobatkannya tokoh pendiri kedua-dua organisasi tersebut menjadi Pahlawan Nasional. Bahkan kedua-dua organisasi ini memiliki andil besar untuk mengisi kemerdekaan. Seperti ditegaskan Said Agil, organisasi yang keberadaannya merongrong Pancasila (tentunya harus terbukti secara hukum, bukan hanya sekedar dituduh), tidak perlu disertifikasi, tapi langsung bubarkan saja. Statement ini tentu tepat sekali, jangan gara-gara ulah seseorang atau sekelompok radikal tertentu lantas pemuka agama digeneralaisir harus disertifikasi. Pepatah “gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga” tidak tepat diberlakukan untuk persoalan ini. Ketidak-berhasilan deradikalisasi perlu dijadikan sebagai bahan instrospeksi bagi semua pihak, baik institusi pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Misalnya pihak intelijen dipandang oleh berbagai pihak belum berfungsi dengan baik dan masih lemah, terutama sekali dalam hal koordinasi antar lembagalembaga intelijen yang ada. Beranjak dari uraian yang dikemukakan di atas dapat dikemukakan bahwa usulan BNPT untuk melakukan sertifikasi terhadap pemuka agama, seperti yang dilaksanakan di Arab Saudi dan Singapura, tidak perlu dilakukan di Indonesia.Wallahu A’lam. Penulis adalah Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sum. Utara & Dosen UMSU Medan.

Ulama, Umat, Dan Realitas Kontemporer Oleh Faisal Riza Sesungguhnya gejala kemunduran kepemimpinan otoritas Islam (ulama, ustadz, muballigh dan organisasi Islam) ini bukanlah terjadi hanya di Medan saja,tetapi di banyak belahan dunia Muslim.

F

enomena keislaman di Medan kontemporer menguak beberapa problematika yang kompleks—ketika Islam berhadapan dengan pembangunan baik ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Apa yang tampak nyata dipermukaan adalah ketidakberdayaan umat dalam menghadapi gelombang pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan yang membuat masjidmesjid harus dirubuhkan. Ironisnya pemimpin-pemimpin mereka baik apa yang biasa disebut sebagai umara dan ulama selain tidak mampu berbuat apa-apa malah menambah parah keadaan yang diderita umat. Apa yang salah? Peran apa yang harus diambil oleh ulama dan umara dalam konteks ini? Ulama: Untuk Umat Apa Dirinya? Kata ulama merupakan bentuk jamak dari ‘alim, yang tahu, atau yang mempunyai pengetahuan (q.s. Fatir/35:28), Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan agama (q.s. assyu’ara/26:196-197), mewarisi tugas nabi yaitu tabligh (q.s. Al-maidah/5: 67), Tabyin (q.s. An-nahl/ 16:44), Tahkim, memutuskan persoalan manusia (q.s.al-baqarah/ 2:213), Uswah dan teladan (qs. Alahzab/33:21). Singkatnya, ulama merupakan orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Dengan ilmu pengetahuannya, mereka memiliki rasa takwa, takut dan tunduk kepada Allah SWT. Ulama juga memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT baik yang kauniyyah maupun quraniyah. Karena begitu khasnya posisi ulama di dalam Islam, maka tidak sulit bagi kita memahami kenapa ulama begitu dihormati di kalangan umat Islam, memiliki pengaruh dan membuat umat loyal terhadapnya. Dalam konfigurasi sosial kebudayaan ulama juga diangggap sebagai cultural broker/broker kebudayaan, ulamalah yang mampu memberikan filterasi dari realitas sosial kebudayaan dan politik yang berkembang di masyarakat. Signifikansi peran

ulama dalam kehidupan masyarakat Islam, ditambah loyalitas umat terhadapnya membuat pengaruh ulama sedemikian rupa, menjadi figur strategis kerjasama baik itu kalangan penguasa maupun pengusaha. Ulama dibutuhkan dalam mendampingi dan mengarahkan umat dalam menghadapi dinamika kehidupan yang sedemikian kompleks. Namun, pengaruh dan kharisma membangun loyalitas tersebut perlahan redup, bahkan hilang. Kondisi ini disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, modernisasi, perkembangan teknologi informasi, pertumbuhan ekonomi, dan segala bentuk perubahan sosial yang terjadi telah menggeser fungsi dan kedudukan ulama di mata masyarakat. Kedua, gagapnya ulama mengantisipasi dan menyikapi perubahan, minimnya keteladanan, keberpihakan ulama kepada umat. Ulama lewat produk ijtihadnya, fatwanya sering tidak senafas dengan masyarakat, membuat kacau ketimbang membuat damai. Ini tidak berarti mengeneralisir, tetapi kecenderungan kuat menggejala di tengah kehidupan kita sekarang. Figur ulama, ustadz, muballigh terjebak dalam selebrasi ekonomi politik yang sarat dengan permainan keuntungan dunia, kemegahan dan kemewahan. Mereka tidak tahan berada di garis demarkasi perjuangan membela umat yang masih miskin, bodoh, terpinggirkan, tersingkirkan dalam pusaran kapitalisme ekonomi dan politik praktis. Banyak media yang telah memberikan kritik terhadap gejala ini. Sebut saja keterlibatan ulama dalam politik praktis, Pilkada yang banyak memicu kontroversi. Pertimbangkan juga tema-tema sinetron yang lagi trend belakangan ini; ustadz, photocopy, ustadz gadungan, ustadz seleb, dan sejenisnya yang mengumbar kenaifan perilaku ustadz. Begitu juga kecenderungan generasi muda yang lebih banyak mengambil informasi tentang Islam di internet, menitipkan doa di jejaring sosial. Gejala ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam tubuh apa

yang kita anggap sebagai otoritas Islam. Tak kurang dari itu, fenomena pembongkaran dan perubuhan masjid di kota Medan yang dilegitimasi oleh fatwa-fatwa dari ulama. Miris sekali ketika membaca artikel “Umat krisis Kepercayaan Terhadap Ulama”, (Waspada, 5 September 2012, h. A6) tak kurang dari itu koran ini juga, dalam kolom Tajuk rencana, mengkritik Majelis Ulama Indonesia kota Medan soal fatwa yang dianggap merugikan ummat Islam. Beberapa bulan lalu koran Waspada merilis tajuk rencana “Fatwa Haram Jangan Kacangan & Jauhi Pesanan”, Waspada, (9 April 2012. h. B4). Di kota-kota di dunia Muslim, ciri kemajuan kebudayaan Islam antara lain adalah menjulangnya bangunan seperti masjid yang megah sebagai wahana pertemuan umat dalam berbagai hal. Itulah simbol bagaimana Islam membangun peradabannya, itu pula yang dibuktikan oleh nenek moyang kita seperti kesultanan Islam di Sumatera Timur pra kemerdekaan. Sekedar menyebut beberapa contoh yang dekat ada Masjid Raya Medan Al Mahsun, Masjid Raya Sulaimaniyah di Perbaungan, Masjid Raya Azizi di Langkat. Namun, yang terjadi pada kota Medan belakangan ini adalah gejala memburuknya peradaban Islam dan takluknya moralitas di hadapan kedigdayaan kapitalisme yang menggusur dan menghancurkan masjid. Seolah ini menjelaskan kepada dunia bahwa kota yang maju itu adalah kota yang banyak rukonya, banyak malnya, dan banyak tempat-tempat hiburan. Modernitas, kapitalisme, dan developmentalisme telah menggeser paradigma pembangunan di bawah supremasi modal kapital. Setiap ruang publik jika mungkin direkayasa untuk kepentingan uang dan uang, hanya uang. Ironisnya, peruntuhan tersebut dilegitimasi oleh fatwa ulama. Geliat ekonomi kota diukur seberapa banyak orang berbelanja, seberapa penuh mal-mal setiap hari, bukan diukur seberapa banyak infak masyarakat untuk masjid, seberapa banyak bea siswa pendidikan dari sedekah umat yang dikeluarkan oleh Badan Kemakmuran Masjid. Sesungguhnya gejala kemunduran kepemimpinan otoritas Islam (ulama, ustadz, muballigh dan

organisasi Islam) ini bukanlah terjadi hanya di Medan saja, tetapi di banyak belahan dunia Muslim. Tesis ini saya temukan ketika mengikuti konferensi Internasional “Muslim Religious Authority in Contemporary Asia” di Asia Research Institute, NUS Singapura, November 2011 lalu. Penyebabnya antara lain; pertama, ketidakmampuan ulama dalam melakukan rekonfigurasi dalam perubahan sosial yang pesat. Kedua, relasi intim sebagian ulama kepada penguasa dan pengusaha. Ketiga, kecenderungan disorientasi, karena orientasi sebagian ulama tidak lagi berbasis pada pembangunan keumatan, tetapi kediriannya sendiri. Penutup Kita tidak hendak menyalahkan siapapun sebab ini merupakan masalah bersama sehingga harus direfleksikan bersama untuk kebaikan bersama. Baik ulama dan umat mesti saling membangun mutual trust, hubungan saling percaya yang menguntungkan. karena masalah keislaman kontemporer justru jauh lebih kompleks ketimbang saling menyesali keadaan satu sama lainnya. Kita harus melakukan rekonfigurasi, pembingkaian ulang peranperan Islam dalam perubahan sosial, menjadi pemain utama dalam pembangunan, bukan menjadi bagian yang tersingkirkan oleh kedigdayaan kapital. Pertimbangkan juga untuk tetap percaya kepada ulama. Karena sesungguhnya kita masih memiliki banyak ulama, ustadz, muballigh yang masih bisa jadi teladan. Tetapi, mereka luput dari publikasi media, mereka mungkin tidak popular, tingkat elektabiliti mereka rendah, mereka tidak berada disamping pejabat atau pengusaha konglomerat, tanpa serban dan jubah menjuluri badan, mereka berada di pesantren, di masjid dan madrasah kampong, di pelosok tetapi mereka tulus membangun untuk umat dan agamanya. Inilah kesempatan umat untuk mencari figur seperti itu.

Pengajar Jurusan Filsafat Politik Islam FU IAIN-SU& Pusat Bahasa dan Budaya, IAIN-SU. Pembicara pada Konferensi Internasional “Muslim Religious Authority in Contemporary Asia, Asia Research Institute, NUS, Singapura.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.