Waspada, Kamis 15 April 2010

Page 27

Opini

WASPADA Kamis 15 April 2010

Melindungi The Whistleblower

Gempa-Gempa Sadar Tobat Di kala itu penduduk Indonesia berjumlah 90 Juta Jiwa, penduduk kota Medan baru 600 Ribu Jiwa. Anak-anak dimasa kini tentu tidak akan mengetahui tentang hal-hal yang seperti itu dan bertanya-tanya “Tahun berapa ya?” Atok katakan : “Itu di Tahun 60-an, sekarang Tahun 2010 berarti baru 50 Thn saja. Penduduk Indonesia meledak menjadi ± 300 Juta Jiwa, penduduk kota Medan ± 3 Juta Jiwa, dari faktor-faktor Tranmigrasi, Urbanisasi, di tambah dengan penduduk lokal”. Bandingkan berapa tahun sudah usia Bumi Nusantara, supaya jangan repot sampai dengan kita Memproklamirkan Kemerdekaan NKRI di Thn 1945 di kenang. 350 Thn di jajah Bangsa Belanda, 3 + Tahun di Jajah Bangsa Jepang. Ledakan penduduk yang sangat menyolok, bandingkan dengan Negara-negara lain di Dunia. Di masa itu boleh di katakan jarang terjadi gempa-gempa (Getaran Bumi) tidak seperti di masa kini, selalu. Kalau terjadi getaran-getaran dimasa itu hampir tidak ketahuan, ketahuannya terdengar Adzan di manamana. “Umpama seekor lembu di ketap nyamuk di tepis dengan ekornya.” Kata Mak yang meng-umpamakan derita Bumi seperti itu kepada anak-anak. Sekarang ini terjadinya goncangan bukan sebentar lagi, dua bentar, tiga bentar, hitungan sudah modern Slaka Richter metode orang Barat. Kita haqqul yakin kiamat-kiamat kecil yang telah terjadi, yang akan terjadi di muka Bumi di sebabkan oleh perangai manusia yang sudah lari dari jalur-jalur. Tidak salah bila di katakan “Dunia bergolak, manusia bertingkah. Manusia bergolak, dunia bertingkah.” Kiamat besar? Allah Swt menentukan, dunia tidak perlu lagi, Tamat, tunggu di sana akhirat. Kalau dikaji-kaji, benar jugakan di tahun 60-an itu belum terasa lama. Di masa itu masyarakat kita Indonesia masih kental dengan suasana Adatistiasat tradisi, masing-masing kaum mencerminkan budaya leluhur, salah satunya adalah menyadari diri dan tau malu. Sekarang ini hal-hal yang seperti itusudah calus (lepas) karena mengikuti gaya-gaya yang sekarang, modern dan modern. Faktor pertama kita membenci Bangsa penjajah adalah menjajah memperkosa hak azazi, selain dari pada itu adalah faktor-faktor akidah (Islam) sehingga terjadi perlawanan-perlawanan Dimana-mana. Perpaduan itulah Bangsa Imprialis, kita benci bangsa Imprialis. Sekarang ini sudah tidak ada lagi bangsa Imprialis (menduduki langsung) seperti di masa-masa yang lewat. Yang tinggal adalah Bangsa-bangsa lain di Dunia se Aqidah maupun lain Aqidah. Terbalik pula kita sudah bangga (merasa modern) bila sudah berkunjung ke Negara-negara yang berlainan Aqidah, apalagi kalau sudah dapat menjadi warga Negaranya, apa lagi kalau dapat menggaet warganya menjadi suami atau istri, yang sakitnya walau bagai mana dan status bagai mana. Tidaklah salah kita bersahabat, berkawan dengan siapa saja, bagai manapun Aqidahnya asal jangan terpengaruh dan mengikutinya, disisni, sisana, dimana saja. Kalau sudah begini, bukan alam yang bosan bersahabat dengan kita, tapi, Allah Swt, karena sudah berani mengkali-kalikan ketentuannya. Tobatlah.

Oleh Arfanda Siregar UU di AS bukan saja melindungi whistleblower tapi dia juga berhak atas 30% dari ganti rugi yang dijatuhkan oleh pengadilan untuk si pelaku

P

eniup peluit (whistleblower) bukan lagi profesi para wasit yang mengawal pertandingan olah raga agar fair,juga bukan senjata para polisi lalu lintas (polantas) yang sering menjadikan peluitnya sebagai senjata mempercepat detak jantung pengendara kendaraan bermotor . Peniup peluit sudah menjadi istilah baru di khazanah pemerintahan kita, dilekatkan kepada orang yang berani ”bernyanyi” membongkar tindak kecurangan seseorang atas kekayaan negara. Peniup peluit membuat para koruptor dan pelaku kriminal atas harta rakyat merana karena dapat membawanya tersuruk ke dalam terali besi yang pengap. Karena keberaniannya, nasib peniup peluit terancam lahir dan batin di negeri ini. Dari Khairiansyah hingga Susno Adalah Komjen Susno Duadji yang belakangan ini memopulerkan kembali istilah peniup peluit. Mantan Kabreskim yang sempat dituduh sebagai dalang lakon Cicak melawan Buaya itu bernyanyi tentang makelar kasus di Ditjen Pajak. Susno membeber tentang kekayaan luar biasa seorang pegawai pajak bernama Gayus Tambunan. Konon kekayaan pegawai golongan III A itu didapat secara tidak wajar dan melibatkan banyak pihak . Sempritan peluit Susno tidak saja mampu mengonjang-ganjingkan praktik mafia pajak yang selama ini dijadikan sarana memerkaya para pegawai pajak, namun juga membongkar keterlibatan petinggi kepolisian dan kejaksaan. Paling tidak beberapa perwira polisi berpangkat jenderal telah diperiksa dan jadi tersangka. Selain itu, sepuluh atasan Gayus dinonatifkan dan 121 rekannya di Direktorat Ke-

Dedi Sahputra dedisahputra@yahoo.com

Tembus Pandang Kita sudah memahami bahwa persepsi atas kebenaran atau citra tertentu selalu berwajah banyak (baca foliopini; multy faced). Apa yang Anda anggap benar, belum tentu orang lain juga menganggapnya sama. Ada keterbatasan yang alamiah dalam diri manusia dalam mendekati kebenaran. Anda boleh membenarkan kalau ada yang bilang lontong sayur itu nikmat. Apalagi kalau dimakan pagi hari ditemani segelas kopi atau teh manis panas. Tapi jangan paksakan ini sama orang Jerman yang biasa sarapan roti bakar dan jus jeruk. Mereka bakal pulang-pergi (PP) kamar mandi karena kena tauco pedas. Tetapi pada titik tertentu orang bakal meyakini juga bahwa makanan yang baik itu harus sesuai dengan perut seseorang dan pada kebiasaannya. Bukan pada lontong-nya, pada roti bakarnya, pada jusnya atau pada tauco-nya apalagi pada kamar mandinya. Maka Michael Foucault merumuskan bahwa pengetahuan juga punya konsekuensi terhadap konsepsi tentang kebenaran. Katanya, tidak mungkin mendapatkan akses ke kebe-naran universal karena mustahil membicara-kannya dari posisi di luar wacana. Karena dalam wacana akan tercipta efek kebenaran. Dalam analisis wacananya Foucault, adalah sia-sia mempertanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah. Tapi fokusnya adalah bagaimana efek-efek kebenaran itu diciptakan dalam wacana. Kira-kira dia bilang begini, kebenaran itu adalah hasil dari sebuah proses wa-cana dari kebenaran-kebenaran yang banyak yang kemudian menghasilkan efek kebenaran. Dan efek ini hanya satu. Maka terang sudah, bahwa kebenaran itu akan selalu berwajah banyak pada prosesnya, tetapi pada akhirnya dia akan menyempit pada satu kesimpulan. *** Lelaki separuh baya itu adalah saudara saya, walaupun dia tidak benar-benar mengenal saya. Wajahnya begitu sangat khawatir. Anak gadis kecilnya datang berlari sambil menangis kepadanya. ’’Kenapa sayang..?” ’’Dipukul sama Wani,’’ seru si anak dengan suara isakan yang imut-imut. Sang bapak diam sejenak. Dia perhatikan wajah anaknya sambil mengusapusap tubuhnya dan memeluk dalam dekapannya. ’’Tapi kakak gak membalas kan,’’ tanyanya. Sambil sesungukkan anaknya itu menggelengkan kepala. Seketika wajah sang ayah berurai senyum, kemudian berujar,’’Itu baru anak ayah. Kamu harus tetap sabar ya sayang,’’

katanya sambil mencium pipi anaknya itu. Saudara saya ini memang sangat sabar. Pernah ketika sepedamotornya ditabrak orang di jalanan, tapi kemudian yang menabrak itu yang terkapar. Sau-dara saya ini bukan saja menghabiskan gaji yang baru diambilnya itu untuk mengobati si penabrak, tetapi juga dengan sukarela, tanpa paksaan mengganti keru-sakan sepedamotor orang itu. Dia tak pernah berpikir dua kali untuk membantu orang yang datang kepadanya. Walaupun kondisinya gak jauh beda memprihatinkannya dengan orang yang ditolong itu. Waktu ditanya mengapa dia bisa begitu sabar, dia bilang begini, ’’Saya ini orang yang tidak punya kebanggaan. Ibadah saya tidak pernah sempurna, sementara dosa saya banyak, bertam-bah terus setiap hari. Saya tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan ketika menghadap Tuhan nanti.’’ *** Betapa nikmatnya bila kita punya kemampuan tembus pandang. Kalau ada seorang gadis atau perjaka rupawan yang dibalut pakaian indah melenggang di hadapan Anda. Pandangan mata Anda bisa menembus sampai ke balik pakaian itu. Tentu nikmat. Tapi Anda jangan ngeres dulu. Bukan itu maksud saya. Bayangkan kalau ada sebuah peristiwa yang menarik perhatian orang. Banyak yang kemudian mereka-reka sesuai dengan kemampuan, akses dan pengetahuan yang dimilikinya. Mereka semua menduga, tapi kalau Anda tentang-tenang saja karena tahu persis apa yang sedang terjadi. Dan ini sebuah kenikmatan. Ketika melihat bulan, Anda tahu bagaimana sejatinya bulan itu dan bagaimana kesamaannya dengan para Rasul yang bertugas memantulkan sinar ke semua mahluk. Ketika menginjak bumi, Anda tahu persis bagaimana bentuknya dan tahu persis suatu saat dia akan meledak. Hancur. Ketika terlibat konflik, Anda tahu persis apa yang sedang terjadi, bahwa Tuhanlah yang sedang mengatur konflik dan melibatkan Anda di dalamnya. Jadi, ya harus tahu diri. Bahwa sebenarnya Tuhan mau melihat bagaimana reaksi kita menghadapi masalah. Maka betapa nikmatnya memiliki kemampuan tembus pandang itu. Seperti saudara saya ini, sejatinya dia sudah tembus pandang. Mengetahui secara persis bahwa hidayah dari Tuhan melalui usaha yang dilakukannya, jauh lebih berharga dari dunia beserta isinya.

beratan dan Banding segera dimutasi. Namun, mengutip pernyataan Susno, hingga saat ini mereka itu baru para “aktor” lapangan. Sang sutradaranya belum terungkap. Seberapa kuatkah energi Susno terus meniupkan peluit? Banyak yang pesimis Susno akan konsisten menuntaskan tiupan peluitnya membongkar gurita mafia di negeri ini. Bukan saja karena Susno sendiri. Tapi juga lembaga resmi yang telah disyahkan presiden membongkar mafia di seluruh lini birokrasi Indonesia, yaitu Satgas pun seakan tidak bergigi membongkar praktik mafia di negeri ini. Banyak orang berceletuk, sesungguhnya yang Satgas itu Susno. Pengalaman pun bercerita miring tentang nasib para peniup peluit di negeri ini, apes. Bukannya mendapatkan penghargaan, malah karir mereka tamat, dan nasib mereka di ujung tanduk. Kita teringat kepada Khairiansyah Salman, auditor BPK yang mampu membongkar mega skandal

korupsi di KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dia menjebak Mulyana W.Kusumah (anggota KPU) melakukan penyuapan agar temuan BPK tidak dimasukkan dalam laporan. Bukannya penghargaan yang didapat, justru beliau ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus lain. JugaVincentius Amin Sutanto, seorang mantan controller keuangan di Raja Garuda Mas milik mantan orang terkaya di Indonesia, Sukanto Tanoto. Tuduhan melakukan penggelapan, membuat Vincent melarikan diri dan melaporkan kondisi tersebut kepada KPK. Karena kasus tersebut terkait dengan tindak pidana perpajakan, KPK segera bekerjasama dengan Dirjen Pajak untuk membongkar akrobat pajak di perusahaan milik SukantoTanoto tersebut. Keberaniannya membongkar penggelapan pajak di perusahaannya yang bernilai triliunan rupiah juga membuatnya harus mendekam di penjara dengan tuduhan melakukan money laundering dan penggelapan. Peran pemerintah Efek balik yang menampar muka peniup peluit sendiri membuat pemberantasan mafia dan korupsi di negeri ini tidak akan pernah tuntas. Orang takut “bernyanyi” karena tidak ada jaminan perlindungan dari pemerintah. Pemberantasan korupsi terhambat karena negara tidak serius melindungi orang-orang yang mau pasang badan memberantas korupsi. Di negara yang peringkat korupsinya termasuk tertinggi di dunia seharusnya banyak melahirkan peniup peluit, bukan hanya beberapa orang.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang tingkat korupsinya sangat rendah. Pemerintahnya benar-benar melindungi para peniup peluit. Di bawah UU False Claim Act, warga negara AS memang diberi hak untuk mewakili negara mengajukan tuntutan hukum pada kejahatan fraud yang merugikan negara. Yang lebih hebat dari UU itu adalah jaminan hukum bahwa si whistleblower itu bukan saja dilindungi tapi juga berhak atas 30% dari ganti rugi yang dijatuhkan oleh pengadilan untuk si pelaku fraud. Satu lagi (yang ini lebih hebat) jika fraud itu terbukti, nilai ganti rugi yang dapat dijatuhkan pengadilan adalah tiga kali lipat nilai kerugian pemerintah. Dengan perlindungan dan komisi yang demikian mewah bagi para peniup peluit di Amerika Serikat bukan berarti menjadi lahan subur lahirnya para peniup peluit. Tetap saja yang berani membongkar skandal hanya segelintir orang. Jika di negara demokratis seperti Amerika Serikat saja orang masih takut mengungkap skandal, apalagi di negara seperti Indonesia, keberanian untuk menjadi peniup peluit merupakan sesuatu yang amat langka dan amat berharga bagi upaya percepatan pelembagaan politik yang sedang berlangsung. Kita tidak bisa memaksa munculnya para peniup peluit. Tetapi, kita harus selalu siap memberi respons positif dan protektif setiap kali lahir para peniup peluit. Para peniup peluit harus dilindungi dan skandal yang dibongkarnya harus ditindaklanjuti dengan tuntas guna mereformasi seluruh lini birokrasi yang tidak kunjung bersih dari mental korupsi dan kolusi. Pemerintah, dalam hal ini presiden seharusnya bertindak aktif dan reaktif melindungi para peniup peluit dari sergapan atasan, komandan dan teman sejawat yang terlibat. Kita tidak ingin nasib peniup peluit di negeri ini akhirnya seperti wasit sepak bola yang kadang remuk redam dikeroyok pemain karena tiupan peluitnya merugikan kesebelasan yang bertarung. Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan

Cost of Politic Suksesi Walikota

Syahruddin Mantan Atlet Tri Lomba Nasional

Foliopini

C7

Oleh Mahruzar Efendi,SE Dalam hitungan kasar,setiap calon harus menyediakan paling tidak Rp53,72 miliar

T

erkait pemilihan kepala daerah (walikota) Medan12 Mei mendatang, 10 calon dari jalur partai dan independen sudah menyiapkan diri. Otomatis mereka menyiapkan pula biaya politik (cost of politic). Biaya tersebut belum jelas berapa jumlahnya, masing-masing calon tampaknya masih sungkan dan malu-malu kucing untuk menyebutkan angka. Namun dapat ditebak, cost of politic yang dipersiapkan pasti berbeda antara satu calon dengan calon lainnya. Sekilas, besaran atau kekuatan cost of politic masing-masing calon dapat dinilai dari kemampuan mereka mengeluarkan biaya pada pemasangan iklan, brosur, billboard ataupun spanduk pada titik-titik yang dianggap strategis. Termasuk juga biaya sablon untuk baju kaos, biaya kegiatan sosialisasi dan biaya persiapan kampanye lain. Timbul pertanyaan, untuk apa mereka mengeluarkan cost of politic yang lumayan besar ini? Jawabannya tidak lain adalah untuk mendulang suara sebanyak mungkin. Bukankah sama kita ketahui, untuk mendominasi perolehan suara calon walikota perlu 30 persen dari total suara yang sah. Komisi Pemilihan Umum(KPU) kota Medan menetapkan jumlah daftar pemilih tetap 1.961.155 pemilih dengan 3.897 tempat pemungutan suara (TPS). Penetapan jumlah DPT tersebut sesuai dengan peraturan KPU No. 67 Tahun 2009 dan Keputusan KPU Medan No.6 Tahun 2010. Suara ini tersebar pada 21 kecamatan, 151 kelurahan dan lebih kurang 2005 lingkungan. Memperoleh suara sebanyak itu tentu harus dibarengi dengan biaya. Untuk tidak menyebutnya money politics dalam tulisan ini penulis sebut cost of politic.

Bukan rahasia lagi, kekuatan finansial seorang calon dalam pemilihan pemimpin apapun, selalu berefek pada suara yang didulang. Tidak cukup pada sekedar mengandalkan isi visi dan misi yang dilantunkan. Karena itu sudah sangat acap kita lihat, di setiap pemilihan ada saja bantuan-bantuan dadakan yang digulirkan sang calon kepada para konstituen. Bentuknya dikemas dengan sangat rapi dan menarik. Misalnya dalam bentuk memberi bantuan biaya operasi pasien miskin, bantuan pada pelantikan pengurus organisasi dan lain sebagainya. Adapula yang mengunjungi pasar tradisional, minum kopi bareng masyarakat yang katanya agar lebih akrab. Padahal bantuan atau kunjungan itu sebenarnya bermuara pada satu maksud, yakni menarik perhatian agar masyarakat memilihnya. Semua calon pasti menyadari, persaingan untuk memenangkan pemilihan kali ini amatlah berat. Peluang untuk meraih suara mayoritas sungguh kecil, mengingat banyaknya jumlah calon hingga suara pemilih terpecah-pecah. Raihan suara 30 persen untuk seorang calon hanyalah isapan jempol. Jauh panggang dari api. Sebab itu terjadinya kemungkinan putaran kedua tak dapat ditampik. Nah, untuk masuk ke putaran kedua, setiap calon tentu harus kerja ekstra keras. Empat kegiatan Untuk mendulang suara di Pilkada walikota Medan, secara umum paling tidak harus dilakukan empat kegiatan besar yang bersinggungan dengan cost of politic. Keempat kegiatan tersebut adalah cost of politic untuk jumpa masyarakat (konstituen), jumpa tokoh, biaya rapat dan biaya in-

fokom (informasi dan komunikasi). Jumpa masyarakat (konstituen) bisa dalam bentuk kegiatan yang dibungkus silaturrahmi, festival seni budaya maupun bentuk lain yang umumnya dihadiri masyarakat luas. Sementara kegiatan jumpa tokoh merupakan pertemuan khusus yang sengaja dibangun sang calon pada tokoh tertentu untuk melihat aspirasi dan dinamika masyarakat ditempat tokoh tersebut.Tokoh yang lazim menjadi sasaran adalah tokoh yang memiliki pengaruh kuat dan basis massa lumayan besar untuk digiring sebagai dulangan suara. Di sini, antara calon dan tokoh acap ada imbalan menarik atau perjanjian-perjanjian tertentu andai sang tokoh berhasil menggiring basis massanya memenangkan si calon. Cost of politic berikutnya adalah biaya penyelenggaraan rapat-rapat serta biaya informasi dan komunikasi intensif dengan Parpol pendukung. Jumlah cost of politic yang keluar dari kocek si calon pada kegiatan ini juga lumayan besar. Belum lagi biaya kampanye nantinya. Memang, dari beberapa pengalaman, seorang calon kepala daerah hanya dibebankan sebesar 50 persen dari biaya kampanye, 30 persen untuk wakil dan 20 persen untuk koalisi partai. Partai menanggung biaya kampanye yang lebih sedikit karena dianggap telah memiliki mesin politik yang akan bekerja untuk memenangkan calon. Hitungan kasar Sebelum melakukan perkiraan cost of politic para calon walkot 2010-2015, langkah awal kita adalah menyusun beberapa hitungan kasar. Di antaranya jumlah pemilih dan tingkat partisipasi pemilih. Jumlah pemilih menurut DPT telah kita ketahui yakni sebesar 1.961.155 pemilih. Andai kita asumsi 10 persen tingkat Golput maka suara yang akan diperebutkan oleh 10 calon adalah 1.765.040 suara. Suara ini tersebar pada 21 kecamatan dan 3.897 TPS. Untuk menjadi pemenang, seorang

calon harus mengantongi 30 persen suara dari 1.765.040 pemilih. Ini berarti harus diraupnya 529.512 suara. Hitungan 1.765.040 jika dikaitkan dengan kertas suara rusak nantinya, katakanlah lima persen saja, maka seorang calon yang menang harus mendapat 503.037 suara (1.765.040-1.765.040x0,05x0,3). Dengan demikian pemilih potensial yang harus dipengaruhi sebelum hari pemilihan adalah sebesar itu juga. Kalau saja nilai satu suara simpatisan itu Rp100.000 (untuk baju kaos, konsumsi, transfortasi dan lain-lain) maka sang calon harus menyediakan cost of politicnya kurang lebih Rp 50,3 miliar. Ini belum lagi untuk cost of politic jumpa tokoh, penyelenggaraan rapat serta biaya informasi dan komunikasi. Andai kegiatan jumpa tokoh satu kali saja per kecamatan dengan biaya Rp20 juta (sewa tempat, konsumsi, hiburan dan lainlain), maka cost of politicnya adalah Rp420 juta. Dari wacana yang beredar, biaya rapat-rapat komite dan biaya komunikasi intensif dengan partai politik pendukung bisa sekitar dua atau tiga miliar. Dengan menjumlahkan semua komponen cost of politic hitungan kasar di atas, berarti setiap calon harus menyediakan paling tidak Rp53,72 miliar. Nah, dengan pengeluaran yang seperti itu, apakah nantinya setelah terpilih tidak tergoda untuk melakukan korupsi? Penutup Meraih dukungan politik dalam demokrasi yang jujur sesungguhnya tidak memerlukan biaya yang bernilai miliaran rupiah. Apalagi bila calon tersebut adalah kader terbaik yang bervisi dan misi membangun masyarakat berbasis prestasi. Karena itu kita berharap masyarakat Medan cerdas menentukan pilihan, mana emas mana loyang. Penulis adalah dosen USBM pemerhati masalah sosial-ekonomi

Harapan Kepada STAIN P.Sidimpuan Oleh Balyan Kadir Nasution Ke depan harus lebih membuka diri atau terbuka menerima kritik, saran konstruktif dari masyarakat

J

um’at, 19 Februari 2010 merupakan hari bersejarah bagi kalangan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padang Sidimpuan. Pasalnya hari itu STAIN Padang Sidimpuan menggelar pesta demokrasi dalam rangka Pemilihan Calon Ketua yang baru karena periode 2006-2010 akan berakhir pada 5 Mei 2010 mendatang. Hasilnya Dr H. Ibrahim Siregar, MCL terpilih sebagai calon peraih suara terbanyak yakni 10 suara dari 14 suara dibandingkan dengan Baharuddin (incumbent) dan Dr H. Nurfin Sihotang, MH, Ph.D yang masing-masing meraih hanya 1 suara, sementara seorang anggota senat tidak hadir dan satu suara lagi abstein. Namun sesuai mekanisme pemilihan Calon Ketua STAIN, Ibrahim Siregar belum resmi menjadi Ketua STAIN Padang Sidimpuan sebelum Menteri

Agama menetapkannya menjadi Ketua terpilih menggantikan Baharuddin. Setelah menetapkan hasil pemilihan Calon Ketua STAIN, tahapan selanjutnya adalah Senat STAIN Padang Sidimpuan mengirim tiga nama kandidat yakni Ibrahim Siregar, Nurfin Sihotang dan Baharuddin kepada Menteri Agama untuk ditetapkan menjadi ketua terpilih dan memulai bertugas memimpin STAIN Padang Sidimpuan untuk masa bakti 2010-2014. Gantungkan harapan Terpilihnya Ibrahim Siregar sebagai Calon Ketua STAIN Padang Sidimpuan sebenarnya banyak pihak yang menggantungkan harapan akan kembalinya STAIN Padang Sidimpuan menjadi milik umat. Karena, empat tahun (dari 2006 sampai 2010 ini) terkesan menutup diri dengan

akses eksternal bahkan internal. Empat tahun lamanya STAIN Padang Sidimpuan terkesan sepi dari pemberitaan pers secara positif dibandingkan dengan pemberitaan miring akibat manajemen yang tidak transparan. Dengan terpilihnya Ibrahim Siregar, figur ustadz yang dikenal luas sebagai Calon Ketua STAIN Padang Sidimpuan, masyarakat (umat Islam) di Sumatera Tenggara atau Tapanuli Bagian Selatan kini merasa lega sekaligus menaruh harapan kepada Ibrahim. Kiranya putraputri mereka yang menjadi mahasiswa STAIN Padang Sidimpuan konsisten dengan pelaksanaan sosial kontrol. Perguruan tinggi Islam satu-satunya berstatus Negeri di Tapanuli Bagian Selatan dari selama ini harus dibesarkan, dari hanya sekedar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Padang Sidimpuan. STAIN Padang Sidimpuan ke depan harus lebih membuka diri atau terbuka menerima kritik, saran konstruktif dari masyarakat, khususnya Civitas Akademika itu sendiri. Karena tanpa pola pikir demikian STAIN Padang Sidimpuan mustahil bisa memperluas jaringan kerjasama de-

ngan berbagai lembaga lokal, nasional dan internasional. Hasil Pemilihan Calon Ketua STAIN Padang Sidimpuan merupakan bukti konkrit betapa kalangan Civitas Akademika STAIN Padang Sidimpuan berupaya menyelamatkan STAIN Padang Sidimpuan. Keinginan masyarakat Berhasilnya STAIN Padang Sidimpuan memilih calon Ketua baru juga telah mengakomodir keinginan masyarakat. Maka STAINPadangSidimpuanharusbenar-benar mengutamakan kualitas lulusan, menjadi pusat pendidikan keIslaman yang handal. Dan itu tidak akan tercapai tanpa kepemimpinanSTAINyangberkualitasdanbenarbenarberaksesdalamtetapijugalebihpenting berakses keluar. Umat Islam di Tapanuli Bagian Selatan mungkin sependapat, bahwa tanpa manajemen STAIN Padang Sidimpuan yang benar-benar terbuka dan menerima pendapat orang lain, mustahil bisa mewujudkan lulusan yang benar-benar berilmu. Mustahil juga bagi STAIN bisa meningkat menjadi IAIN. Penulis adalah Wartawan Harian Waspada


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.