Waspada, Jumat 8 April 2011

Page 26

Mimbar Jumat

C4

Ungkapan Syukur Melalui Jamu Laut Sesat Dan Menyesatkan Oleh Erwan Effendi

D

an aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). “Hanya kepadaMu lah kami beribadah dan hanya kepadaMu lah kami minta pertolongan. (Al Fatihah: 5). Sebelumnya masyarakat meragukan idenvendensi MUI (Majelis Ulama Indonesia) Batubara sebagai pewaris para nabi, namun setelah banyaknya desakan masyarakat akhirnya lembaga para ulama tersebut mengelurarkan fatwa bahwa jamu laut melarung (membuang) kepala kerbau di laut adalah haram dan pekerjaan yang dikatagorikan khurafat. Keraguan masyarakat terhadap eksistensi MUI Batubara tersebut wajar-wajar saja mengingat kegiatan itu melibatkan Pemkab Batubara. Bahkan jamu laut itu dirangkaikan dengan peringatkan hari lahir ke 55 pejabat tertinggi di daerah itu. Mengingat keterlibatan umara (pemimpin), harusnya MUI Batubara mengeluarkan fatwa apa hukumnya bagi penggagas, mengajak atau berdakwa serta menyeru orang untuk melakukan perbuatan ke jalan yang mungkar kepada Allah SWT. Lebih-lebih lagi ajakan itu kalau dilakukan oleh umara. Padahal, kita berharap seorang umara bertindak sebagai pelaku amar ma’ruf nahi mungkar bukan sebaliknya mengajak kepada perbuatan mungkar. Ironisnya, alasan umara melaksanakan jamu laut dengan membuang kepala hewan yang dopotong beserta isi perut ke laut merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allagh SWT, masya Allah. Alasan itu jelas sesat dan menyesatkan. Ungkapan rasa syukur yang direnkonstruksikan seperti itu yang kemudian meminta pertolongan dan perlindungan kepada laut, itu indentik seperti yang dalakukan oleh masyarakat pada zaman jahiliyah, mereka menyembah berhala lata dan huza meminta pertolongan dan perlindungan. Padahal, laut hakikatnya adalah hamba yang diciptakan Allah SWT. Justru, ajakan umara kepada masyarakatnya untuk mengungkapkan rasa syukur dengan kegiatan jamu laut itu, sama artinya mengajak masyarakat Batubara untuk mengikuti perbuatan masa jahiliyah, na’uzubillahiminzalik, hanya Allah SWT lah yang tahu. Ditambah lagi pendapat kalangan yang mengakungaku tokoh adat atau tokoh budaya bahwa jamu laut itu dapat dibenarkan dengan alasan tradisi atau budaya masyarakat yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Ucapan itu terkesan syarat kepentingan, sehingga mengabaikan yang haq dan melegalkan yang bathil. Harusnya, sebagai muslim landasan utama dalam melaksanakan suatu perbuatan adalah Alquran dan hadis bukan kebiasaan atau tradisi. Tradisi boleh saja dilaksanakan apapun bentuknya sepanjang tidak bertentangan dengan akidah. Tidak dekat Dari gambaran di atas mengindikasikan bahwa umara di Batubara sama sekali tidak dekat atau tidak melakukan komunikasi aktif dengan para ulama. Jika saja terbangun komunikasi yang efektif dan harmonis, gagasan atau seruan mengajak masyarakat untuk berbuat khurafat bahkan syirik dari mulut umara tidak

akan keluar. Kecenderungan tidak adanya komunikasi dengan ulama, mungkin saja umara bersangkutan menganggap dirinya sekaligus sebagai ulama seperti pada masa sahabat (Abubakar Assiddik ra, Umar Ibn Khatab ra, Usman ibn Affan ra dan Ali Ibn Abi Thalib ra). Persoalan yang menyangkut ibadah apalagi akidah, itu adalah wilayah kerja para ulama sebab mereka adalah ahlinya, karenanya sebagai uamra yang bersifat siddiq, amanah, tabligh dan fathanah harusnya setiap melakukan sesuatu menyerahk kepada ahlinya, jangan sok tahu semua, sehingga berpikir sendiri berbuat sendiri dan makan sendiri seperti menanggani proyek pembangunan fisik. Dalam konteks ini, ma-syarakat harus mendesak MUI Batubara mengerluar-kan fatwa, apakah masih boleh taat kepada umara yang sudah pernah menyeru masyarakat kepada perbuatan syrik. Sebab, syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat. “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan “Ulil Amri” diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS.4:59). Akan tetapi Umara yang wajib ditaati hanyalah umara yang memerintahkan berbuat makruf. Umara yang memerintahkan berbuat munkar, haram hukumnya ditaati, sesuai Hadis “La tha’ata li makhluq fi ma’shiyat Allah” (HR.Muslim). Penutup “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Ayat ini menegaskan bahwa tujuan Allah penciptaan kita tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perkataan atau perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Ibadah harus ditujukan hanya kepada Allah tidak kepada selain-Nya. “Hanya kepadaMu lah kami beribadah dan hanya kepadaMu lah kami minta pertolongan.” (Al Fatihah: 5). Barangsiapa yang menujukan salah satu ibadah tersebut kepada selain Allah maka inilah kesyirikan dan pelakunya disebut musyrik. Misalnya berkurban (menyembelih hewan) untuk jin seperti jamu laut. Ini semua termasuk kesyirikan karena menjadikan jin itu sebagai sekutu bagi Allah. Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat. � Penulis wartawan Waspada, mahasiswa PPs KOMI IAIN Sumut dan Wakil Ketua Bidang Kominfo MUI Sumut

Perlu Dibentuk Badan Wakaf Pengelola Air Minum Oleh Dr. Sjahril Effendy P, MSi, MA, MPsi

S

aad bin Ubadah setelah kematian ibunya datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Saad telah meninggal dunia, maka sedekah apakah yang paling baik untuknya?” Rasulullah Saw menjawab “Air”. Maka Saad bin Ubadah pun menggali perigi dan setelah siap dia berkata: “Perigi ini adalah wakaf untuk Ummu Saad”. Saidina Usman bin Affan telah mewakafkan sebuah perigi Rumah yang dibelinya dari seorang lelaki dari Bani Ghifar. Pada mulanya lelaki itu menjual air periginya kepada orang ramai dengan harga satu mud untuk setiap kirbah. Rasulullah Saw berkata kepada lelaki itu: “Maukah engkau menjual perigimu itu kepadaku dengan harga satu telaga di surga?” Kata lelaki itu : “Wahai Rasulullah, aku dan keluargaku tidak punya apa-apa selain dari perigi itu.” Ketika Usman mendengar berita itu dibelinya perigi itu dari pemiliknya dengan harga 30.000 dirham. Lalu Usman berkata kepada Rasulullah Saw:” Maukah engkau menjadikan bagiku seperti yang dijanjikan kepada pemilik perigi itu?” Rasulullah menjawab: “Ya”. Usman berkata: “Aku telah menjadikan perigi itu sebagai wakaf bagi Muslimin”. Dimensi Ekonomi Dalam Wakaf “Wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang dijalan kebaikan umum maupun khusus”. Wakaf merupakan shadaqah yang pahalanya berjalan terus (shadaqah jariyah) selama pokoknya masih ada dan terus dimanfatatkan. Pengertian kata “ada” disini bisa berarti karena secara alami barang tersebut usianya ditentukan oleh nilai ekonominya, juga bisa berarti ada karena sesuai dengan kehendak wakif dalam ikrar wakafnya. Karena itu, wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan dan pemanfatan hasilnya secara langsung. Semua bentuk wakaf yang telah disebutkan tadi menjadi saham, dan bagian atau unit dana investasi. Investasi sendiri mempunyai arti mengarahkan sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang untuk membentuk modal produksi, yang mampu menghasilkan manfaat atau barang dan dapat dipergunakan bagi kepentingan generasi yang akan datang. Dari penjelasan diatas, maka menurut tabiatnya maka dapat dibedakan hasil atau produk harta wakaf menjadi dua bagian. Pertama, harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu dan pemukiman. Wakaf seperti ini semua disebut sebagai wakaf langsung. Kedua, harta wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan memproduksi barang atau jasa pelayanan yang secara syara’ hukumnya mubah, apapun bentuknya dan bisa dijual di pasar, agar keuntungannya yang bersih dapat disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf yang telah ditentukan wakif, baik wakaf ini bersifat umum atau wakaf sosial maupun khusus yaitu wakaf keluarga. Instalasi Pengolahan Air Para wakif diajak untuk berwakaf dibidang pengolahan air minum yang produktif yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak (muslim) yang diperlukan setiap hari secara terus menerus dengan kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang terpelihara. Untuk membangun sebuah Instalasi Pengolahan Air Minum sesuai dengan kapasitas yang diinginkan menggunakan peralatan dengan proses sebagai berikut: 1) Intake, fungsinya mengarahkan air sungai agar lebih mudah di ambil dengan pompa, menya-

ring kotoran/sampah agar tidak terhisap pompa, dan transfer air sungai ke Bak Pengendap I. 2) Bak Pengendap I (prasedimentasi), fungsinya mengontrol fluktuasi debit dan kualitas air baku, bak pengendap awal (partikel dengan diameter 0,1 mm atau lebih) dengan target sebesar 80% dan sebagai tempat pencampuran antara air baku dengan klorin dan penyediaan waktu tinggal chlorinasi. Fungsi klorin untuk membunuh bakteri pathogen atau desinfeksi awal, oksidator untuk logam Fe dan Mn. 3) Bak Koagulasi dan Flokulasi, fungsinya untuk pengaturan pH proses dengan menambahkan kapur Ca(OH)2 agar sesuai dengan kondisi operasi, menambahkan koagulan (Alum/ PAC) untuk menurunkan parameter turbidity, senyawasenyawa organic tersuspensi, dan logam berat, penambahan polymer untuk memperbesar flok, percampuran bahan kimia dengan air baku. 4) Bak Pengendap II (sedimentasi), fungsinya sebagai tempat pengendapan padatan atau flok yang terbentuk dari proses flokulasi, hal-hal yang harus diperhatikan adalah Bak pengendap II dikondisikan tenang dan jika banyak flok mengambang, maka harus di cek proses sebelumnya, dan target pengurangan turbidity sebesar 80%. 5) Bak saringan pasir cepat, fungsinya menangkap flok yang tidak dapat dipisahkan pada Bak pengendap II, melakukan Backwash Filter secara berkala, target pengurangan turbidity sebesar 90%. 6) Bak Netralisasi dan Klorinasi, fungsinya pengaturan pH agar air hasil pengolahan mempunyai pH netral, penambahan klor untuk menjaga agar kandungan klorin dalam air yang akan didistribusikan selalu ada, untuk menghindari adanya bakteri pathogen dalam air. 7) Bak Penampung Air Bersih¸ fungsinya sebagai penampungan air hasil pengolahan sebelum didistribusikan kepada konsumen. Adapun alat bantu Instalasi Pengolahan Air Minum antara lain adalah : peralatan chlorinator, dosing Aluminium sulfat, dosing kapur, dosing PAC, dosing polymer, dosing HCI. Biaya pembangunan Instalasi Pengolahan Air Minum diperkirakan sebesar Rp 125.000.000 setiap liter/detiknya. Jadi kalau ingin dibangun kapasitas 100 liter/detik maka dibutuhkan dana sekitar Rp 12.500.000.000. Biaya pembangunan instalasi tersebut belum termasuk lahannya yang dibutuhkan sekitar 0,5 Ha yang diharapkan dari wakaf para dermawan muslim. Hartawan dan Dermawan Di Indonesia banyak sekali Hartawan dan Dermawan dari kalangan muslimin yang mempunyai konsep hidup atau menjalani hidup dengan tahapan sebagai berikut: Waktu kecil dibina, Setelah dewasa berkarya, Sesudah tua bershadaqah jariyah, Insya Allah bila meninggal dunia ke surga. Sudah saatnya kita perlu membentuk Badan Wakaf Pengelola Air Minum dengan dukungan Hartawan dan Dermawan muslimin untuk membantu kaum muslim yang membutuhkannya dengan harga jual yang relatif murah. Pekerjaan yang mulia ini dapat ditindak lanjuti oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat dengan membentuk Badan Wakaf pengelolanya. Harta wakaf produktif dibidang pelayanan air bersih/air minum ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin. Yahya bin Muadz berkata, “Sebagai seorang muslim, hendaknya engkau mempunyai tiga hal positif; jika tidak dapat memberikan manfaat kepada orang lain, maka janganlah engkau memberikan mudharat kepadanya; jika tidak mau memujinya, maka janganlah menjelekkannya, dan apabila engkau tidak bisa membuatnya bahagia, maka janganlah membuatnya bersedih”. � Penulisadalah Pengamat Masalah-Masalah PengelolaanAir

Minum dan Dosen Magister Manajemen Program Pasca Sarjana UMSU dan Magister Psikologi Program Pasca Sarjana UMA

WASPADA Jumat 8 April 2011

Alquran Sumber Inspirasi J

ika manusia - khususnya umat Islam- mau menjadikan Alqur’an sebagai sumber inspirasi maka kuat dugaan bahwa kehidupan sekarang jauh lebih maju dari apa yang kita saksikan saat ini. Urgensi menginspirasi Alqur’an karena pesan-pesan kemajuan di dalamnya selalu dibarengi dengan pesan-pesan moral. Penggandengan pesan Alqur’an ini (kemajuan dan moral) tidak terinspirasi secara utuh kecuali hanya sebatas kajian tentang moral. Akhirnya pesan-pesan Alqur’an yang berkaitan dengan teknologi dan fenomena alam tidak terinspirasi dengan baik sehingga membuat ayatayat tersebut luput dari kajian. Dampak yang paling dirasakan akhir-akhir ini adalah tidak adanya penemuan yang spektakuler dari sarjana-sarjana Muslim khususnya dalam bidang teknologi dan fenomena alam. Ironisnya, ayat-ayat Alqur’an yang membicarakan kedua hal ini (teknologi dan fenomena alam) selalu dijelaskan secara pragmatis. Peran Akal dalam Menginspirasi Alqur’an Di dalam al-Qur’an terdapat perintah agar manusia menggunakan akalnya dengan baik dalam membaca ayat-ayat Tuhan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Penggunaan akal ini dapat dilakukan dengan cara tafakkur, ta’abbur dan tadabbur. Pada prinsipnya, adanya perintah ini mengindikasikan bahwa kehadiran Alqur’an layak dijadikan sebagai sumber inspirasi. Alqur’an mensugesti manusia agar memperhatikan dengan serius ciptaan-ciptaan Tuhan. Perhatian ini tidak hanya sebatas pengakuan tentang adanya kekuasaan Tuhan akan tetapi bagaimana ciptaan Tuhan dimaksud dapat diinspirasi oleh manusia. Sebagai contoh, di dalam Q.S. al-Ghasyiyah ayat 17-20 disebutkan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung dipancangkan dan bumi dihamparkan. Urgensi menjadikan Alqur’an sebagai sumber inspirasi dapat dilihat dari penggunaan kata yanzhurun yang terdapat pada surat al-Gahsyiyah yaitu afala yanzhurun ilal ibli kayfa khuliqat. Kata ini (yanzhurun) menurut al-Zamakhsyari (w. 538 H) di dalam tafsir -al-Kasysyaf me-

Oleh Achyar Zein

ngandung makna nazhran i’tibaran (melihat dengan tujuan untuk mengambil pelajaran). Selain objek-objek di atas yang sifatnya berkaitan dengan fenomena alam masih terdapat lagi ayat-ayat lain yang berkenaan dengan hukum, sosial, ekonomi dan lain-lain yang patut untuk dijadikan sumber inspirasi. Jika ayat-ayat ini dijadikan sumber inspirasi maka akan memunculkan teori-teori baru yang dapat dikembangkan sesuai dengan budaya dan peradaban. Kuat dugaan, jika pernyataan Alqur’an ini direspon dengan baik yaitu mempelajarinya secara serius maka akan menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi kehidupan. Ini juga termasuk salah satu makna yang dapat dipahami dari keinginan Alqur’an ketika menyatakan bahwa kehadiran dirinya sebagai petun-juk bagi manusia. Sekiranya Alqur’an dijadikan sebagai sumber inspirasi dari dahulu maka kuat dugaan perkembangan ilmu dan teknologi akan jauh lebih maju bila dibanding dengan keadaan sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penemuanpenemuan yang hanya dilandasi kepada kekuatan akal saja tetapi sudah mampu membawa kemajuan yang luar biasa. Kemajuan ini akan lebih pesat lagi jika ayat-ayat Alqur’an dijadikan sebagai sumber inspirasi karena bersatu dua kekuatan yaitu wahyu (Alqur’an) dan akal. Kedua kekuatan ini saling mendukung karena Alqur’an sumber inspirsi untuk mengarahkan akal sedangkan akal memerlukan Alqur’an agar tidak berlarut-larut dalam menemu-kan

sesuatu. Apa yang sudah diketemukan oleh kekuatan akal akhirakhir ini semuanya memiliki korelasi dengan isyarat ayat-ayat Alqur’an. Namun sayangnya, isyarat-isyarat Alqur’an ini didapati setelah penemuan akal berlangsung sekian lama. Hal ini disebabkan adanya upaya pemi-sahan antara kekuatan Alqur’an dengan akal sehingga masing-masing berjalan dengan sendirinya. Alqur’an dan akal adalah mitra karena kedua-duanya ber-asal dari Tuhan. Jika keduanya samasama diefektifkan maka manusia tidak perlu berlarut-larut dalam menemukan sesuatu. Tugas Alqur’an adalah menginformasikan kepada akal tentang adanya objek-objek yang layak untuk diteliti. Kemudian tugas akal adalah mengembangkan informasi Alqur’an tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Alqur’an pada umumnya selalu berbicara pada tataran global. Hal ini untuk mengantisipasi perkembangan peradaban manusia supaya pesan-pesan Alqur’an tetap aktual. Selain itu, Alqur’an memberikan kebebasan kepada akal manusia untuk mengembangkan isyarat-isyarat Alqur’an agar manusia dapat menemukan hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan. Peran akal dalam hal ini adalah merinci keglobalan pesanpesan Alqur’an karena Tuhan sudah memberikan kepada manusia kemampuan akal untuk melakukannya. Dengan adanya kemampuan akal ini maka Alqur’an tidak perlu mengungkapkan suatu objek secara detail karena hal ini sama dengan memasung kekuatan akal manusia. Salah satu kekuatan akal ialah mampu mencari cara dalam menata kehidupan yang baik. Akan tetapi apa yang sudah didapati oleh akal masih perlu pengkajian yang serius karena tidak ada jaminan bahwa hal tersebut sudah pasti baik. Berbeda halnya dengan pernyataan Alqur’an yang sudah dapat dijamin bahwa setiap pernyataannya pasti baik untuk manusia. Dalam tataran ini Alqur’an nampaknya hanya mengarah-

kan apa-apa saja yang seharusnya dikerjakan oleh akal. Arahan inilah yang seharusnya diinspirasi oleh akal karena setiap yang disebutkan oleh Alqur’an pasti dapat di-kembangkan oleh manusia. Hal ini dilakukan agar akal tidak raguragu untuk mengembangkan isyaratsyarat Alqur’an. Penemuan-penemuan dimaksud terjadi pada abadabad terakhir ini sementara isyarat Alqur’an tentang itu sudah ada jauh hari sebelumnya. Keterlambatan ini disebabkan kurangnya kemauan untuk menginspirasi isyaratisyarat Alqur’an sehingga penemuan yang dilakukan mutlak dikerjakan oleh akal secara mandiri tanpa melibatkan informasi Alqur’an. Sikap menginspirasi Alqur’an ini harus diawali dengan satu keyakinan bahwa setiap ayatnya sudah pasti memberikan kontribusi positif bagi kehidupan manusia. Untuk menyahuti adanya kontribusi yang positif ini maka inspirasi paling tidak-difokuskan kepada objek-objek tertentu yang disebutkan di dalam Alqur’an untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut. Fokus terhadap objek-objek ini perlu dilakukan karena sudah pasti memiliki keistimewaan-keistimewaan. Terlebih lagi jika objek tersebut diungkapkan dalam Alqur’an berulang kali. Sebagai contoh, Alqur’an menyebut jenis hewan tertentu, langit dan bumi serta benda-benda angkasa, demikian juga tumbuh-tumbuhan dan beberapa tokoh tertentu yang diyakini dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi. Penutup Alqur’an diturunkan oleh Allah adalah untuk manusia dan karena itu semua pesan yang terdapat di dalamnya adalah untuk kepentingan manusia. Mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang ditugaskan oleh Allah untuk mengelola dan memakmurkan bumi maka kehadiran Alqur’an adalah sebagai pedoman untuk menunjang kesuksesan tugas tersebut dan karena itu patut dijadikan sebagai sumber inspirasi. � Penulis adalah Dosen Fak. Tarbiyah IAIN-SU dan Pengurus el-Misyka Circle.

Reposisi Hakikat Toleransi

S

aat ini, banyak yang salah dalam memposisikan makna toleransi. Sering sekali toleransi ditujukan kedalam persoalan aqidah (keyakinan) padahal persoalan tersebut merupakan perkara ushuli (prinsip). Dalam aqidah semua umat Islam harus komitmen dan tidak ada tawar menawar dalam bentuk apapun. Komitmen ketauhidan ini telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika pada waktu itu tokoh kaum musyrikin di Mekkah seperti al-Walid ibn alMughirah, Aswad ibnu ‘Abdul Muthalib, Umayyah ibnu Khalaf menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama (keyakinan). Usul mereka adalah agar nabi bersama pengikutnya mengikuti keyakinan mereka dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam. Nabi SAW. Menjawab dengan tegas “Aku berlindung kepada Allah, dari tergolong orang-orang yang mempersekutukan Allah”. Sikap ketegasan Nabi Muhammad SAW. itu juga diperkuat oleh Allah SWT. dengan diturunkannya surat alkafirun (1-6). Di ayat terakhir Allah menegaskan “lakum dinukum waliyadin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Dalam Islam, landasan ketauhidan sudah sangat jelas yaitu la ilaha Illa Allah, Muhammadur Rasulullah. Kalimat Laa ilaha illa Allah ini mengandung pengertian yang menjadi inti dari seluruh ajaran Islam. Bagian kedua dari dua kalimat syahadat adalah pernyataan Muhammad Rasulullah. Kalimat ini bermakna bahwa menerima cara pengabdian kepada Allah itu hanya dari nabi Muhammad SAW. Mengakui syahadat pertama tetapi menolak kandungan syahadat yang kedua membuat syahadat seseorang tidak sah. Nabi Muhammad adalah khataman nabiyyin (penutup para nabi), mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad dan juga mendapatkan wahyu berarti penyimpangan dari aqidah Islam dan penyimpangan tersebut tidak boleh ditoleransikan karena itu persoalan keyakinan. Sebagaimana kasus Ahmadiyah yang mengaku Islam tapi berbeda dalam keyakinan (aqidah). Untuk itu, tidak ada toleransi terhadap penyimpangan dasar ajaran Islam. Kalau Ahmadiyah masih mau berada di rumah Islam mereka wajib ruju’ ilalhaq (kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya). Arti toleransi Makna leksikal kata toleransi

Oleh Sugeng Wanto, MA

adalah bersabar, menahan diri, membiarkan. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan: “Namun toleransi memiliki makna yang sangat terbatas. Ia berkonotasi menahan diri dari pelarangan dan penganiayaan. Meskipun demikian, ia memperlihatkan sikap tidak setuju yang tersembunyi dan biasanya merujuk kepada sebuah kondisi di mana kebebasan yang diperbolehkannya bersifat terbatas dan bersyarat. Toleransi tidaklah sama dengan kebebasan agama, bahkan terlampau jauh dari persamaan hak beragama.” Dalam mengkaji isu toleransi dalam Islam, kita menemukan sebuah situasi yang sama sekali sangat berbeda. Hal itu adalah tidak ada kata bahasa Arab yang sepadan untuk mengartikan apa yang secara tradisional dipahami sebagai “tolerance” (toleransi) dalam bahasa Inggris. Kata yang dipergunakan untuk mendekatkan kata toleransi ini adalah tasamuh, yang telah menjadi istilah mutakhir bagi toleransi. Bentuk akar dari kata ini mempunyai dua macam konotasi: “kemurahan hati” (Jud wa karam) dan “kemudahan” (tasahul). Karena itu, kaum muslimin berbicara tentang tasamuh al-Islam dan tasamuh al-dini sangat berbeda dengan toleransi yang dipahami oleh Barat. Di Barat kata “toleransi” itu menunjukkan adanya sebuah otoritas berkuasa, yang dengan enggan bersikap sabar atau membiarkan orang lain yang berbeda. Namun, dalam Islam kata “tasamuh” yang menjembatani kata toleransi justru menunjukkan kemurahan hati dan kemudahan dari kedua belah pihak atas dasar saling pengertian. Istilah itu selalu dipergunakan dalam bentuk resiprokal (hubungan timbal balik). Dengan demikian toleransi dalam Islam bisa dimaknakan membangun sikap untuk saling menghargai, saling menghormati antara satu

dengan lainnya berdasarkan ketetapan yang diberikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Azas toleransi dalam Islam Dari pengertian di atas menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang kejam tidak toleran, tidak memiliki welas asih dan kasih sayang terhadap umat yang lain. Islam memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan baik antara muslim dengan nonmuslim. Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain. Allah SWT berfirman: “…Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…” (QS.Luqman:15) Ayat ini menyuruh kita untuk tetap berbuat baik kepada orang tua yang jelas-jelas mengajak kita untuk meninggalkan agama tauhid (murtad). Artinya, dalam kontek sosial kemanusiaan tetap harus berlaku baik tapi persoalan aqidah (keyakinan) tidak boleh dipermainkan sekalipun orang tua yang mengajak berbuat musyrik. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai azas pemberlakuan konsep toleransi (tasamuh) dalam Islam ini, antara lain adalah: Pertama, keyakinan umat Islam bahwa manusia itu adalah makhluk yang mulia apapun agama, kebangsaan dan warna kulitnya. Firman Allah SWT: “…Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam (manusia)…” (QS. Al-Isra’:70) Maka kemuliaan yang telah diberikan Allah SWT ini menempatkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk dihormati, dihargai dan dilindungi. Kedua, keyakinan umat Islam bahwa perbedaan manusia dalam memeluk agama adalah karena kehendak Allah, yang dalam hal ini telah memberikan kepada makhluknya kebebasan dan ikhtiyar (hak memilih) untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Allah SWT berfirman: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Hud:118). Ketiga, orang muslim tidak diberikan tugas untuk menghisab orang kafir karena kekafirannya. Tapi umat Islam harus tegas dengan kekufuran. Persoalan peng-hisab-an bukanlah

menjadi tugas kita, itu adalah hak prerogatif Allah SWT. Hisab bagi semua adalah di yaumul hisab nanti di yaumil qiyamah/ akhir. Allah SWT berfirman: “Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selisih pendapat karenanya.” (QS.al-Hajj: 68-69). Keempat, keimanan orang muslim bahwa Allah menyuruh berlaku adil dan menyukai perbuatan adil serta menyerukan akhlak yang mulia sekalipun terhadap kaum musyrik, dan membenci kezaliman serta menghukum orang-orang yang bertindak zalim, meskipun kezaliman yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap seorang yang kafir. Allah SWT berfirman: “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (al-Maidah:8). Kelima, ajaran Islam tidak pernah memaksa umat lain untuk menjadi muslim apalagi melalui jalan kekerasan. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al-Baqarah: 256). M. Quraish Shihab dalam alMisbah menjelaskan bahwa jika seseorang telah memilih salah satu aqidah/agama maka dia terikat dengan tuntunannya dan dia punya kewajiban melaksanakan perintahnya. Penjelasan ini menunjukkan bahwa kalau sudah memilih Islam maka ia harus terikat dengan prinsip ajarannya dan tidak boleh berbeda dengan prinsip ajaran tersebut. Akhirnya, Islam memang agama dakwah. Dakwah dalam ajaran Islam dilakukan melalui proses yang bijaksana. Allah SWT berfirman: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahal:125) Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang toleran. Dalam artian, agama yang senantiasa menghargai, menghormati dan menebar kebaikan di tengah umat yang lain (rahmatan lil’alamin). Hal ini tentunya memiliki batasan tertentu yang sesuai dengan aqidah dan syari’at Islam. Wallahu a’lamu. � Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN-SU dan Anggota Komisi Ukhuwwah dan Kerukunan MUI Provinsi Sumatera Utara


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.