Waspada, Jumat 7 Mei 2010

Page 31

Mimbar Jumat

C10

WASPADA Jumat 7 Mei 2010

Pesan Dari Mandailing Natal Buat LPTQ SU

A

rtikel ini saya tulis setelah mendengar pengumuman Dewan Hakim MTQN XXXII Propinsi Sumatera Utara di Mandailing Natal pada Rabu malam yang lalu melalui RRI Nusantara Medan. K.H. Hasan Basri Sa’i sebagai ketua dewan hakim membacakan namanama para juara berbagai jenis perlombaan mulai dari terbaik satu sampai harapan tiga. Hasil akhirnya Kabupaten Mandailing Natal sebagai tuan rumah MTQN XXXII tingkat Propinsi Sumatera Utara keluar sebagai juara umum. Sebuah prestasi yang membanggakan tentunya bagi masyarakat Madina. Dalam setiap musabaqah (perlombaan) pasti ada yang berhasil dan ada pula yang gagal. Tentu hal ini sudah biasa. Yang luar biasa justru sambutan Bupati Madina H. Amru Daulay yang menyinggung keberadaan Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Sumatera Utara. Pak Amru mengatakan sudah saatnya LPTQ SU melakukan reformasi dan regenerasi. Kepemimpinan LPTQ sudah masanya diserahkan kepada generasi yang muda-muda. Sebuah pesan yang cukup jelas dan terang dari Mandailing Natal. Paling tidak ada beberapa alasan yang mendasari perlunya reformasi dan regenerasi di LPTQ.SU. Pertama, LPTQ SU termasuk lembaga keagamaan yang paling lambat melakukan reformasi dan regenarasi. Tidaklah mengherankan jika wajah LPTQ SU seolah tidak pernah berubah. Saya tidak tahu persis apa sebabnya. Apakah karena tidak banyak orang yang berminat untuk mengurus LPTQ atau pengurusnya sendiri yang tidak mau melepaskan jabatannya. Ada kesan LPTQ seolah menjadi lembaga yang tak tersentuh oleh kekuatan apapun. Akibatnya lebih lanjut, LPTQ menjadi rentan terhadap kritik. Saya kerap mendengar keluhan para Qari dan para pemerhati Al-Qur’an terhadap LPTQ, namun tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa. Kritik yang terakhir saya dengar di Madina dari salah seorang Qari, LPTQ itu singkatan dari Lembaga Pelaksana (bukan Pengembangan) Tilawatil Qur’an. Alasannya karena LPTQ hanya mengurusi MTQ. Kedua, LPTQ baik yang ada di propinsi ataupun yang berada di kabupaten/kota dipandang tidak melakukan fungsi pokoknya dalam melakukan pembinaan tilawat AlQur’an. LPTQ hanya bekerja menjelang dan pada waktu MTQ ber-

I

slam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam itu dapat dilihat dari prinsip-prinsip ajaran yang dikandungnya. Salah satu prinsip yang menempati posisi penting dan menjadi diskursus dari waktu kewaktu adalah keadilan (al ‘adalah). Keadilan secara sederhana dita’rifkan sebagai sebuah upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, Islam mengajarkan agar keadilan dapat diejawantahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tegaknya keadilan akan melahirkan konsekuensi logis berupa terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang harmonis. Tidak terbatas dalam satu aspek kehidupan, keadilan sejatinya ada dalam aspek yang amat luas, sebut saja misalnya; aspek religi, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek politik, aspek budaya, aspek hukum dan sebagainya. Sebaliknya, lunturnya prinsip keadilan berakibat pada guncangnya sebuah tatanan sosial (social unrest). Terma-Terma Keadilan Al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu; al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân. Al-‘adl, berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak

Catatan Kecil Dari Pelaksanaan MTQN XXXII

Oleh Azhari Akmal Tarigan

langsung. Setelah selesai, mereka nyaris tidak melakukan apapun. Absennya beberapa kabupaten baik pada seluruh cabang atau sebagian cabang pada MTQN yang baru lalu, itu adalah bukti nyata tidak adanya perhatian dan pembinaan terhadap daerah. Untuk menyebut contoh, sangat memperihatinkan jika cabang penulisan artikel Al-Qur’an hanya diikuti dua peserta. Pada hal di berbagai daerah, seperti Langkat, Binjai, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Asahan, Sidempuan, Madina sendiri semuanya memiliki perguruan tinggi agama. Bahkan tanpa itupun, IAIN-SU sebenarnya sudah cukup menyiapkan peserta karena seluruh putra daerah tk II ada yang kuliah di IAIN.SU. Bayangkan betapa tidak perdulinya LPTQ untuk pengembangan itu sendiri. Ketiga, LPTQ juga dinilai tidak berhasil meningkatkan kualitas MTQ terutama pada cabang-cabang non tilawah, misalnya pada cabang tafsir, syarhil, fahmil dan karya tulis. Beberapa informasi yang penulis terima dari berbagai rekan yang terlibat langsung baik sebagai peserta ataupun dewan hakim, hampir setiap tahun, materi-materi (soal dan topik bahasan) cabang-cabang non tilawah hampir tidak banyak berubah. Kesan pengulangan begitu jelas terlihat. Alih-alih para peserta mampu melakukan internalisasi kandungan Al-Qur’an yang muncul hanyalah hapalan. Siapa yang kuat hapalannya dialah yang akan menang. Ironis memang cabang fahmil Qur’an dibajak menjadi cabang hapalan. Karena bahannya memang sudah ada tinggal dihapal. Ini menurut saya pembodohan. Sejatinya

yang diberikan kepada peserta adalah syilabus atau kisi-kisi dengan seabrek referensi. Keempat, LPTQ sama sekali tidak melakukan kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an, seperti studi tafsir ataupun modelmodel pelatihan. Alih-alih untuk mengembangkan strategi pemasyarakatan Al-Qur’an, diskusi-diskusi sederhanapun jarang terdengar untuk tidak mengatakan tidak pernah sama sekali. Adalah tidak berlebihan jika disebut LPTQ wujuduhu ka ‘adamihi. Saya terenyuh ketika seorang mantan Qari yang saat ini menjadi dewan hakim menyatakan, kalaupun ada Qari yang juara dan terus berkembang itu karena usahanya sendiri dan mandiri bukan binaan LPTQ. Melimpahkan semua kesalahan kepada LPTQ tentu merupakan sikap yang tidak bijaksana. Disadari banyak factor yang membuat mengapa LPTQ tidak mampu mengoptimalisasikan dirinya sebagai lokomotif pengembangan dan pemasyarakatan kajian dan pengamalan Al-Qur’an. Perhatian pemerintah propinsi juga layak dipertanyakan. Sejatinya perhatian pemerintah bukan hanya dalam konteks penyediaan pembiayaan MTQ tetapi lebih penting dari itu adalah tersedianya anggaran untuk melakukan pembinaan tilawatil Qur’an terutama daerah-daerah yang bibit-bibit qari, mufassir, hafiz dan sebagainya masih sangat minim. Selanjutnya kesungguhan para pengurus juga layak menjadi perhatian kita bersama. Umumnya pengurus LPTQ berdasarkan informasi yang penulis terima adalah orangorang sibuk apakah dalam kapasitasnya sebagai pejabat pemerintah ataupun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan dosen. Akibatnya waktu yang tersedia untuk mengurus dan membenahi LPTQ sangat sedikit. Tidak kalah seriusnya adalah ternyata tidak banyak Qori dan Qori’ah yang terlibat dalam mengurusi LPTQ. Ketika penulis berjumpa dengan Qari Internasional asal Sumut H. Fakhruddin Sarumpaet dan Ustaz H. Fadhlan Zainuddin di Madina beberapa waktu yang lalu, salah satu kritikan yang mereka sam-

Islam Dan Keadilan Oleh K.H. Amiruddin, MS

atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”. Al-qisth, berarti “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Al-qisth lebih umum dari al-‘adl. Karena itu, ketika al-Qur’ân menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang

Konsultasi Al-Quran Ikatan Persaudaraan Qari-Qariah & Hafizh Hafizah (IPQAH Kota Medan) KONSULTASI AL-QURAN adalah tanya jawab sekitar Al-Quran, yang meliputi: tajwid, fashohah, menghafal Al-Quran, Ghina (lagu) Al-Quran, Hukum dan ulumul Al-Quran. Kontak person. 08126387967 (Drs. Abdul Wahid), 081396217956 (H.Yusdarli Amar), 08126395413 (H. Ismail Hasyim, MA) 0819860172 (Mustafa Kamal Rokan).

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Al-Ustadz yang saya hormati, saya membaca Al-qur’an, saya melihat terkadang seperti tidak nyambung ayat per ayat. Seperti surat An-nisak ayat 42, 43, 44. ayat 42 bercerita tentang kedurhakaan orang-orang kafir, kok ayat 43 cerita larangan sholat dalam keadaan mabuk, nah ayat 44 cerita tentang ahli kitab yang menyimpang dari kebenaran. Siapa yang menyusun ayat-ayat al-qur’an?. Dari M. Syahril. T. Morawa Jawab : (lanjutan jum’at lalu). Sebenarnya, ketika kita melihat surat an-nisak ayat 42, 43 dan 44, ketiga ayat tersebut pada prinsipnya memiliki hubungan dan saling terkait. Ayat 42 menggambarkan perasaan yang mencekam dari orang-orang kafir ketika mereka akan disiksa oleh Allah, sehingga mereka ingin disamaratakan dengan tanah sehingga tidak ada satu bagian dari jasmanai mereka yang terlihat, mereka malu dan takut dihadapan Allah. Tapi keinginan dari perasaan mereka ini tidak mungkin terjadi, hal tersebut hanyalah pengandaian yang mustahil terjadi. Nah, setelah gambaran yang mencekam tersebut dijelaskan Allah, maka semua itu tidak ada yang selamat kecuali hati yang suci dan anggota badan yang penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah. Ayat 43 menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang menghadap Allah dengan penuh ketaatan yaitu dengan cara shalat, tatapi shalat yang diterima adalah dalam keadaan tidak mabuk. Ayat 43 malah menjelaskan dengan lebih jauh tentang persiapan berhadapan dengan Allah, yaitu ketika keadaan dalam ketidaknormalan, maka hendaklah bertayammum dengan debu yang suci, sapulah wajah dan tanganmu. Begitu ayat 43 menguraikan. Ayat 42 dan 43 dan ayat-ayat sebelum ini, membicarakan pembinaan keimanan masyarakat Islam kedalam sekaligus menjelaskan barbagai macam penerapan hukum-hukum yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin, penerapan hukum ini jangan sampai diabaikan dan dilanggar, agar kaum muslimin mampu memahami dengan baik, maka Allah menjelaskan dengan contoh kongkrit yang ada dihadapan mereka itulah orang yahudi. Ayat 44 menjelaskan dengan pernyataan yang gamblang, “Apakah kau tidak perhatikan orang yang telah diberi kitab, mereka membeli kesesatan dan mereka bermaksud agar kamu tersesat dari jalan yang benar, dan Allah mengetahui tentang musuh-musuhmu…”. (Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 2, hal 448-457). Jadi, sesungguhnya ayat per ayat nyambung dan saling terkait. Wallahu A’lam. Al-Ustadz H. Ismail Hasyim, MA

Keadilan memiliki beberapa makna, antara lain: Pertama, adil berarti “sama”. Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak (QS. An-Nisaa’/ 4: 58). Manusia memang tidak seharusnya dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-miskin, lelakiperempuan, pejabat-rakyat, dan sebagainya harus diposisikan setara. Demikian pula pesan terakhir yang disampaikan Rasulullah ketika hajiWada’. Di saat itu Rasulullah menegaskan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dari status sosial. Islam, melalui Rasulullah, menegaskan bahwa ukuran kemuliaan manusia terletak pada kualitas ketakwaannya kepada Allah. Kedua, adil berarti “seimbang”. Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan) ( QS. AlInfithaar/ 82: 6-7). Dalam konteks ini, Islam mengajarkan moderatisme, dimana segala sesuatu harus ditakar dalam batas-batas yang pantas. Termasuk dalam urusan ibadah, jika dilakukan secara eksesif, Islam juga memberikan kritik kepadanya. Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan mem-berikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”. “Adil” dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh alsyai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh ada satu hal yang dapat merusak permainan catur, jika seseorang menempatkan gajah di tempat raja,” demikian ungkapan sebuah adagium. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial. Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikanNya. Keadilan-Nya mengandung kon-sekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah disebut qaa’iman bi al qisth (yang menegakkan keadilan) (QS. AliImran/ 3:18). Keadilan Allah juga akan dirasakan setiap makhluk. Allah tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya (QS. Fushshilat/ 41: 46). Aspek-Aspek Keadilan Beberapa aspek keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain: Pertama, keadilan hukum. Ayatayat yang telah disebutkan di atas, itulah ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa

paikan kepada LPTQ adalah minimnya keterlibatan para Qori. Andaipun ada tetap saja tidak memiliki jabatan yang strategis. Sejatinya, urusan tilawatil Qur’an diurus oleh mereka-mereka yang cukup memahami seluk beluk MTQ. Point dari apa yang disampaikan Bupati Madina beberapa waktu yang lalu bukanlah sekadar mereformasi pengurus. Melakukan regenerasi tetap penting karena memang menjadi bagian dari sunnatullah. Cepat atau lambat setiap pengurus akan berganti atau malah Tuhan yang akan menggantinya. Sudah saatnya pengurus memberikan perhatian yang penuh kepada LPTQ. Mengurus LPTQ hemat saya tidak bisa sambil lalu. Oleh sebab itu mencari pengurus yang bersungguh mengurusi organisasi ini menjadi sebuah keniscayaan. Di samping itu, hal yang angat mendesak dilakukan adalah dengan merumuskan cetak biru pengembangan tilawatil Qur’an di Sumut. Ada beberapa hal yang semestinya menjadi perhatian LPTQ. Pertama, Menyusun cetak biru pembinaan QariQari’ah di berbagai tingkatan. Pembinaan yang terencana dan sistematis tidak saja memberi peluang munculnya bibit-bibit baru seolah tak pernah habis. Kedua, menyiapkan metode dan modul-modul pelatihan dari seluruh cabang yang diperlombakan. Tidak saja bahan tentunya. LPTQ juga harus menyiapkan tenaga-tenaga pelatih yang handal. Hal ini penting untuk menghindarkan disparitas (kesenjangan) antar wilayah. Ketiga, Merumuskan kreteria dan standard hakim baik dalam konteks integritas ataupun skill (keterampilan pada cabang tertentu). Dalam dunia perlombaan atau pertandingan berlaku kaedah, “hakim (juri, wasit) yang buruk akan melahirkan pemenang yang buruk pula”. Pernyataan ini sama maknanya dengan ungkapan, masyarakat yang buruk akan melahirkan pemimpin yang buruk pula. Di samping itu, mekanisme penilaian sudah saatnya dibuat secara transfaran dan akuntabel. Kendati MTQ Propinsi telah berakhir, bukan berarti kerja LPTQ juga berakhir. Di samping persiapan menghadapi MTQ nasional yang akan datang, LPTQ juga harus melakukan evaluasi dan kajian untuk pembenahan LPTQ. ● Penulis adalah Koordinator Tim Penulis Tafsir Al-Qur’an Sumut. pandang bulu inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kedua, keadilan ekonomi. Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad misalnya bersabda: “Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). “Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat.” (HR. Muslim). Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh sahabatnya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Umar berkata: “Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.” Ketiga, keadilan politik. Nabi Muhammad bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, (salah satunya) Pemimpin yang adil …” (HR. Bukhari). Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen dan bertanggungjawab pada warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Keempat, keadilan berteologi/ berkeyakinan. Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya, termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun (QS. AlBaqarah/ 2: 256). Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggugugat. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama. Yang penting diperhatikan adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya masingmasing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.” Wa Allahu a’lam. ● Penulis adalah: Dosen Fak. Tarbiyah IAIN Sumut. Pendiri Majelis Dzikir Tazkira Sumut.

Shalat Khusyu’ Gugurkan Dosa Menjaga shalat agar bisa khusyu’ merupakan keharusan, semakin khusyu’ shalat kita semakin baik dan insya Allah ibadah kita diterima-Nya, tidak sia-sia. Sebaliknya, shalat yang asal jadi, tidak benar bacaan dan tata tertibnya bukannya mendapatkan pahala melainkan dosa. Dalam Al-Quran surat AlMu’minum (23) Allah SWT berfirman: ’’Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna.’’ Shalat merupakan tiang agama sehingga tiang itu harus berdiri kokoh sehingga tidak mudah roboh. Kalau shalatnya sudah baik maka perbuatan dan kualitas orang itu pasti baik. Banyaknya kejahatan di muka bumi, termasuk perilaku korupsi disebabkan shalat mereka tidak khusyu’. Itu pasti! Maka itu mari kita perhatikan shalat kita yang hanya lima menit dan lima kali sehari semalam. Sebab, waktunya tidak banyak dibandingkan waktu tersisa sehari 24 jam. Rasulullah di masa hidupnya penah menyuruh sahabat mengulang shalatnya sampai beberapa kali karena belum benar. Apalagi kita sekarang sudah sangat jauh jarak waktunya, maka perlulah kita lebih berhati-hati agar shalat yang kita lakukan sesuai dengan shalatnya Nabi SAW. Justru itu, mari kita terus belajar meningkatkan kualitas shalat kita agar lebih baik dari waktu ke waktu. Mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa dilakukan tanpa meninggalkan shalat. Siapa pun yang merindukan kebahagiaan hakiki, kesuksesan sejati, atau kemenangan dalam hidup ini maka selayaknya memperhatikan dan menjalankan shalat dengan khusyuk. Sebab, shalat mengajarkan kita banyak hal kebaikan, bahkan menggugurkan dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW (HR Bukhari), membuat kita tertib, sehat, dan dekat dengan Allah SWT Penguasa Langit - Bumi dan Isinya. (Abdullah Gymnastiar, Refleksi Manajemen Qolbu, 2003, MQ Publishing, Bandung).

Siapa Ulil Amri Kita Besok ? “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya”. (Q.S. 28-al Qashash ayat 26).

Oleh Fachrurrozy Pulungan

S

oal pilih memilih ternyata tidak gampang. Memilih istri atau suami, memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal bahkan sampai memilih pakaian pun terkadang perlu pertimbangan matang sekitar untung ruginya atau kepantasannya, manfaat dan mudharatnya. Dalam memilih seorang pemimpin, yang dalam agama Islam biasa disebut; Ulil Amri,Waliyul Amri, Amirul Mukminin, Khalifah terdapat aturan tersendiri. Seorang pemimpin selain harus dipilih dengan prinsip musyawarah dan mufakat, juga wajib dipilih dari kalangan sendiri. Rakyat Kota Medan yang 55 % beragama Islam insya Allah pada 12 Mei mendatang akan melaksakan pemilihan Walikota dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat, demikian juga bagi daerah-daerah lain yang juga akan dilaksanakan pada bulan Juni untuk memilih Bupati dan Walikota nya. Satu tugas besar bagi umat Islam yang keikutsertaannya dalam memilih Walikota, Bupati dan wakilnya untuk lima tahun mendatang dipertaruhkan kecermatannya dalam menentukan pilihan. Tidak asal memilih, dan pilihan dijatuhkan juga bukan berdasarkan sentimen kesukuan, apa lagi karena uang, dan materi lainnya. Karena hal itu tidak saja merusak moral, tapi juga dikenakan dosa. Sebab sogok-menyogok dalam hal jabatan haram hukumnya. Literatur Islam menuliskan, bahwa seorang pemimpin tertinggi dalam satu negara atau wilayah yang diberi mandat sebagai Ulil Amri, atau Waliyul Amri mempunyai syarat dan sifat yang ditentukan oleh syar’i. Hal ini sangat wajar, karena doktrin politik Islam menyebut, bahwa masyarakat yang telah membai’at/memilihnya wajib mematuhi semua perintahnya-selama perintah itu tentunya tidak untuk maksiat dan durhaka kepada Allah SWT. Ada kaedah Ushul Fiqih yang populer menyatakan, ‘la tha’atan limakhluqin fi ma’shiati rabb’/ tidak boleh taat/patuh kepada orang yang menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. Syarat yang kemudian harus dimiliki oleh seorang Ulil Amri atau Waliyul Amri, kata Abul Ala Maududi adalah : tidak boleh orang yang zalim, tidak fasik (rusak akhlaknya), fajir (suka melakukan dosa dengan merestui atau memback up perjudian, prostitusi, misalnya, walau dengan dalih untuk mendatangkan devisa yang lebih banyak). Sementara itu menurut Abu Bakar al Jashah, seorang ahli fiqih dari mazhab Hanafi, sorang Waliyul Amri harus sesuai ketentuan yang telah digariskan Allah dalam al Qur’an, sebagaimana pemimpin yang sudah dimaklumi dan tak ragu diikuti seperti kepemimpinan khulafa ar Rasyidin. Mereka adalah peringkat tertinggi sebagai pemimpin yang harus diikuti. Peringkat selanjutnya adalah para umara yang bertindak berdasar syar’i. Selanjutnya al Jashah dalam kitabnya Ahkamul Qur’an, mengatakan, siapa saja yang menduduki suatu jabatan dan ia berlaku fasik, maka tidak seorang Islam pun mesti mengikutinya. Sebagai agama, Islam yang memiliki peraturan yang lengkap, dan Qur’an sebagai minhajul hayah/way of life, banyak memuat ayat-ayat yang memberikan petunjuk bagaimana cara dan siapa yang dapat dijadikan sebagai pemimpin. Pertama, tidak boleh memilih pemimpin atau wakilnya dari golongan kafir (non muslim), Qs. An Nisa. a. 144. Kedua, dilarang memilih pemimpin orangorang yang menjadikan agamamu sebagai ejekan dan main-main, Qs. Al Maidah. a.57. Ketiga, haram memilih/ mengangkat pemimpin (auliya/penolong) yang nyatanyata memusuhi Islam, Q.s. al Mumtahanah.a 1. Keempat, pemimpin haruslah orang yang beriman dan yang mengutamakan keberimanannya, bukan pemimpin yang lebih mencintai kekufuran (kufur ni’mat). Qs. Attaubah 23,24. a .23. Kelima, yang memiliki keluasan ilmu dan kuat perkasa /basthotan fi al ‘lmi wa al jism Qs. Al Baqarah. a 247, serta mampu memelihara harta negara dan berilmu pengetahuan./hafidzun ‘alim, Qs.Yusuf. a.55, Keenam, orang yang kuat dan dipercaya/al qowiyu al amin. Qs.al Qashash. a.26. Kekuatan yang dimaksud, adalah kekuatan dalam berbagai bidang, tidak hanya kekuatan fisik, tapi juga mental. Selanjutnya kepercayaan yang dimaksud, adalah integritas pribadi yang menuntut adanya sifat amanah, sehingga tidak merasa bahwa apa yang ada dalam genggaman tangannya merupakan milik pribadi atau golongannya sehingga bisa diutak atik semaunya, tetapi milik masyarakat umum yang harus dipelihara, sekaligus rela mengembalikannya bila diminta kembali.

Dari keterangan al Qur’an di atas jelas Islam menetapkan tujuan dan tugas Waliyul Amri (baca Walikota, atau Bupati) adalah untuk melasanakan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul Nya, dengan melaksanakan perintah-perintah Allah. Dengan ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah, maka segala urusan masyarakat dapat berjalan secara benar dan teratur. Dalam sebuah hadis sebagaimana diriwayatkan, Rasulullah SAW pernah menasehati Abdur Rahman bin Samurah, ‘Wahai Abdur Rahman, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya’. H.R. Bukhari dan Muslim. Bila seorang pemimpin tunduk kepada syahwat/keinginan dan nafsu ammarah bissu’nya dan hanyut dalam arus yang bertentangan dengan amanah yang dipikulnya, maka martabatnya akan jatuh di depan masyarakat. Akibatnya, ia akan kehilangan harga diri dan kehormatannya. Karenanya setiap pemimpin siapapun orangnya harus waspada dan menjauhi gila jabatan, gila harta kekayaan atau keinginan yang memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dan golongannya. Rasulullah SAW senantiasa memperingatkan kita umatnya untuk berhati-hati memilih pemimpin. Ada bebarapa kretaria yang disampaikan Rasulullah . 1). Dalam sebuah hadis sebagaimana diriwayatkan al Hakim, Nabi SAW memperingatkan, ‘Barangsiapa yang memilih seseorang, sedang ia mengetahui bahwa ada orang yang lebih wajar dari yang dipilihnya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat orang-orang beriman ’. 2). Rasulullah SAW juga mengisyaratkan siapa yang harus dipilih, ‘Sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atau penguasa atas kalian’. Kalimat yang singkat dari Rasulullah ini dapat mengandung beberapa makna, pertama, seorang penguasa atau pemimpin adalah cerminan keadaan masyarakatnya. Pemimpin atau penguasa yang baik adalah yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya. Sedang masyarakat yang baik adalah yang berusaha mewujudkan pemimpin yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. Kedua, tidak tergesa-gesa menyalahkan lebih awal pemimpin yang menyeleweng, durhaka atau membangkang, apalagi menjatuhkan kesalahan itu bukan berdasarkan vonis pengadilan, tetapi kampanye busuk dari lawan politik, agar calon lain kalah. Belakangan ini menyebar, pernyataan-pernyataan yang menyatakan yang menyudutkan caloncalon pemimpin Islam (Walikota, Bupati) sehingga membuat masyarakat pemilih menjadi ragu. Penulis, yang mengisi berbagai pengajian kaum ibu, dan beberapa masjid-masjid selalu mendapat pertanyaan seputar upaya pembusukan calonWalikota, seperti, si anu sudah pikun, kandidat itu penyakitan, kandadidat yang ini tukang main perempuan, terindikasi korupsi dan sebagainya. Dan tulisan ini diangkat justru untuk mengajak seluruh umat Islam untuk tidak terpancing dengan isu-isu menyudutkan tanpa bukti yang valid/syah. Logikanya, tidaklah mungkin seseorang yang mengajukan diri dan diajukan oleh partai-partai pendukungnya adalah orang-orang yang sudah tidak mampu lagi berfikir, atau partai partai besar mendukung orang yang penyakitan atau para petinggi partai politik yang sudah mapan dinegara ini mau mengajukan calonnya yang rusak moralnya. Karenanya umat Islam jangan mudah terpancing, dan harus hati-hati terhadap kampanye buta yang disebarkan oleh pihak tertentu. Untuk itu umat Islam harus bersatu untuk memilih Calon Walikota dan wakilnya atau Calon Bupati dan wakilnya yang : 1). bertaqwa kepada Allah dan RasulNya, 2). bersahaja, 3). telah nyata berbuat/membangun untuk masyarakat (daerah) yang pernah dipimpinnya, 4). tidak arogan baik dalam attitude/tingkah laku maupun kata-kata, 5). Tidak mementingkan golongan (sukuisme) atau ashabiyah. Karena pemimpin atau penguasa adalah cerminan dari keadaan masyarakat nya secara umum. Artinya, jika pemimpin (Walikota atau Bupati nya) besok adalah orang yang tidak peduli dengan masyarakatnya, itu disebabkan karena masyarakatnya yang memilihnya adalah masyarakat yang mementingkan perutnya sendiri. Wallahu a’lam.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.