Waspada, Jumat 29 Juni 2012

Page 29

Mimbar Jumat

WASPADA Jumat 29 Juni 2012

C7

Wakaf Produktif Melalui RS & Masjid Sujud Syukur Menerima Nikmat Rasa syukur saat menerima nikmat dari Allah SWT seharusnya diwujudkan dengan melakukan sujud syukur. Itulah yang selalu kita lihat saat seorang atlet menjuarai turnamen, saat seseorang diumumkan meraih keberhasilan. Ucapan Alhamdulillah, Allahuakbar segera keluar dari mulutnya, sembari kaki dan tangannya menyentuh lantai. Dalam Islam sujud syukur merupakan aktualisasi atau bagian dari amalan positif (ibadah), di mana sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau terhindar dari suatu bencana dikembalikan dengan mengingat kebesaran Sang Pencipta.Berdasarkan hadits disebutkan, “ketika datang berita gembira kepadanya, yaitu taubatnya diterima oleh Allah, maka ia pun bersujud” (HR. Bukhari).“Bahwasannya Nabi SAW apabila datang kepadanya suatu perkara yang menyenangkan, beliau langsung bersujud” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah). Terkait dengan sujud syukur ini para ulama bersepakat sujud syukur hukumnya tidak wajib, melainkan sunnah. Artinya, dikerjakan berpahala, tidak dikerjakan tidak mengapa. Tapi, alangkah baiknya jika yang sunnah ini dikerjakan sebagai pertanda kita terus mengingat pada kebesaran-Nya. Adapun tata cara sujud syukur seperti sujud dalam shalat saja. Namun, sujud syukur ini tidak disyariatkan untuk bersuci (thaharah/wudhu) dan menghadap kiblat, karena ini bukan shalat, hanya saja dianjurkan menghadap kiblat lebih baik jika kita mengetahuinya. Saat sujud, bacaannya adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud. Siapapun melakukan sujud syukur selayaknya memperbanyak syukur kepada Allah SWT karena maksud sujud ini adalah syukur kepada Allah yang telah memberinya nikmat. (Sumber buku dan risalah hadits shahih).

Mempertahankan “Piala Kearifan” Oleh Agusman Damanik, MA Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Al Wasliyah (UNIVA) Medan

B

ersama ketiga daerah di Sumatera Utara yaitu langkat, Deliserdang dan Tanjung Balai, Kota Medan Meraih Piala Adipura kategori Kota Metropolitan. Bahkan Kabupaten Langkat menerima dua Piala yaitu Adipura dan Adiwiyata Mandiri. Piala Adiwiyata Mandiri merupakan program dari Adiwiyata untuk sekolah yang mewujudkan sekolah berwawasan dan peduli lingkungan dan diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada sekolah yang mampu melaksanakan upaya peningkatan pendidikan lingkungan hidup secara baik dan benar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, diantara sekolah dimaksud yaitu SD Gebang, SD Tanjung Pura, SD Sawit Seberang, SMP 1 Stabat dan SMP 1 binjai. Berbagai bentuk Piala yang telah diraih tersebut tidak hanya untuk kebanggaan semata, lebih dari itu berupaya mempertahankannya agar tetap termasuk dalam prioritas bagi yang menilainya. Upaya ke arah itu telah dilakukan Walikota Medan dengan rencana ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA) bagi yang membuang sampah s e m b a ra n g a n a k a n d i p e n j a ra s e l a m a e n a m bulan. Hal tersebut mulai ditindaklanjuti dengan memberikan denda 5 Juta. Kesemuanya itu merupakan bentuk upaya mempertahankan piala, sebagaimana yang saat ini tengah dilaku-kan El Matador Spanyol dalam pertandingan sepak bola Euro 2012 di dua negara: Polandia dan Ukraina. Guru penulis pernah berkata”dalam hidup ini kita wajib mempertahankan ‘piala kearifan’ agar tidak hilang dari genggaman. Piala kearifan itu adalah Taqwa. Dalam kaitannya dengan taqwa Abdullah Yusuf Ali salah seorang penafsir kontemporer menuliskan dalam tafsirnya Pertama, takut kepada Allah yang merupakan awal dari kebijaksanaan.Kedua, menahan diri atau menjaga lidah seseorang, tangan dan hati dari perbuatan maksiat. Ketiga, kesalehan atau prilaku yang baik. Dan ketiga inilah menurut penulis piala kearifan itu. Mereka yang memiliki karakter tersebutlah yang akan mampu mempertahan piala kearifan. 1. Manusia yang bijaksana Manusia yang bijaksana adalah yang mampu memberdayakan potensinya ke arah yang lebih baik. Kata bijaksana sering disebut Hikmah atau Hikam, orang yang bijak dinamakan Al Hakim. Itulah sebabnya dibelakang nama Luqman ditambah dengan kata Al Hakim, karena nasehat beliau yang penuh hikmah kepada anaknya dan juga ditujukan kepada kita yang membaca dan mendengarnya. Berkaitan dengan pemikiran Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya tersebut, bahwa orang yang bijaksana ternyata merasa takut kepada Allah Maha Pencipta. Namun Takut yang dimaksud bukanlah takut untuk berbuat, tetapi takut dimaksud adalah yang merasa khawatir dan gelisah bila “sang kekasih” yakni Allah SWT memutuskan hubungan cinta dengannya. Dengan kata lain orang yang bijak juga yang membumikan sifat-sifat Tuhan dalam kepribadian dan prilakunya. Di kalangan intelektual Iran, orang yang bi-jak dikenal dengan “Arif ”, yakni orang yang memiliki pengetahuan, baik tentang dirinya terlebih lagi tentang Tuhannya. Orang yang seperti inilah yang akan terus memberdaya-kan kualitas ketaqwaannya. Ketaqwaan yang sebenarnya, bukan ketaqwaan yang formalitas. Sebagaimana firman Allah surat Ali Imran ayat 102"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah (muslim)”.

Potret manusia yang bijaksana telah terdapat pada diri Rasulullah Saw. Betapa bijaknya beliau ketika Abu Bakar sedih dan khawatir kalau orang quraisy mengetahui tempat persembunyian mereka. Rasulullah berkata “ janganlah kamu takut dan jangan kamu bersedih hati, yakinlah Allah bersama kita”. Hal tersebut telah diabadikan Allah dalam firmannya surat Attaubah ayat 40" Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan kete-nangan-Nya kepada (Muhammad) dan memban-tunya dengan tentara yang kamu tidak melihat-nya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 2. Manusia yang istiqamah. Menurut Ibnu Rajab Al Hambali, Manusia yang istiqamah adalah yang menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Sering kita mendengar kata ini dan kita bercita-cita menjadi orang yang istiqamah. Untuk menjadi manusia yang istiqamah ada beberapa kiat agar kita menjadi manusia yang istiqamah yaitu; Pertama, memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik. Kedua, mengkaji Alquran dengan menghayati dan merenungkannya. Ketiga, Iltizam atau konsekuen dalam menjalankan perintah Allah. Keempat,membaca kisah orang-orang yang soleh yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan.Kelima , memperbanyak doa kepada Allah agar tetap diberi keistiqamahan. Keenam, bergaul dengan orang-orang yang soleh. Bila keenam kiat tersebut dapat kita laksanakan, maka tidak perlu khawatir dengan berbagai problematika kehidupan, sebab Allah selalu bersama orang-orang yang istiqamah dan mencurahkan rahmat dan ketenangan, bahkan yang terpenting surga sangat”merindukan kehadirannya”. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Fussilat ayat 30" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. 3. Manusia yang soleh. Manusia yang soleh adalah yang memadukan dua kesolehan, baik kesolehan individual maupun kesalehan sosial. Terutama Kesolehan sosial, Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan berpendapat bahwa kesolehan sosial memiliki dimensi sosial yang lebih luas dibandingkan dengan dimensi ibadah individual. Itulah sebabnya nabi mengajarkan kepada umatnya untuk sholat berjamaah, karena pahalanya 27 derajat dibanding dengan sholat sendirian. Ajakan tersebut menunjukkan pentingnya kesalehan sosial disamping kesalehan individual. Dengan demikian hanyalah manusia yang bijaksana, manusia yang istiqamah dan manusia yang soleh yang mampu mempertahankan “Piala Kearifan” dalam kehidupannya.

Oleh Azhari Akmal Tarigan Pengurus BWI Perwakilan Sumut Bidang Litbang

S

alah satu institusi ekonomi Islam yang saat ini sedang mendapat perhatian serius adalah wakaf. Wakaf sesungguhnya merupakan ibadah sosialekonomi yang cukup penting dalam Islam di samping ZIS. Kendatipun di dalam Alquran kita tidak menemukan kata wakaf dengan segala derivasinya, namun substansi wakaf sebagai amal sosial dan amal kebajikan banyak disebut Alquran. Penyebutan wakaf produktif mengandung arti suatu upaya transformasi dari pengelolaan wakaf yang alami menjadi pengelolaan wakaf yang profesional untuk meningkatkan atau menambah manfaat wakaf. Dengan kata lain wakaf produktif adalah proses pengelolaan benda wakaf untuk menghasilkan barang atau jasa yang maksimum dengan modal yang minimum. Dalam bukunya Wakaf Produktif, Jaih Mubarak menuliskan, jika yang dimaksudkan dari istilah wakaf produktif adalah meningkatkan nilai tambah, maka istilah yang paling tepat adalah “wakaf operatif ”. Kata operatif dalam ilmu manajemen mengandung arti aktifitas yang mentransformasikan input menjadi output yang bermanfaat berupa barang dan jasa. Sedangkan kata produktif hanya mentransformasikan input menjadi output yang bermanfaat berupa barang saja.Terlepas apapun namanya, wakaf produktif ataupun wakaf operatif, intinya adalah bagaimana para nazir dapat mengelola harta (tanah) wakaf sehingga mampu memberi nilai tambah terhadap manfaat yang dihasilkannya. Sampai di sini, kita perlu memiliki nazir-nazir wakaf yang memiliki mental entrepreneurship. Jadi tidak sebatas mental da’i -nazhir saja. Dalam pengelolaan wakaf produktif, bentuknya dapat digambarkan berikut ini. Pertama, Pengelolaan ditangani langsung oleh nazir wakaf produktif; baik oleh nazir berbentuk perseorangan, ataupun badan hukum. Model ini dapat dilakukan bila nazir memiliki waktu, keahlian dan pengalaman yang memadai. Kedua, Pengelolaan ditangani oleh Badan Eksekutif yang diangkat oleh nazir, yang memiliki komitmen, kompetensi, dan di-

hargai secara profesional. Adalah penting untuk dicatat, Nazir wajib memproduktifkan harta benda wakaf yang existing dimiliki, terutama wakaf harta tidak bergerak dalam bentuk tanah yang telah ada. Dalam upaya ini, maka Nazir dapat menghimpun wakaf uang dalam upaya pengadaan modal kerja untuk memproduktifkan harta wakaf berbentuk tanah. Tidak itu saja, Nazir dapat menghimpun wakaf produktif non uang, seperti wakaf apartemen, wakaf ruko, wakaf SBPU, wakaf mall, wakaf kebun. Dalam rangka pengembangan Wakaf Produktif, maka ada dua pemikiran yang penulis tawarkan dalam artikel yang singkat ini. 1. Rumah Sakit Wakaf. Di berbagai belahan bumi Indonesia, peraktik wakaf produktif sudah banyak dilaksanakan. Belakangan ini bentuk yang semakin banyak dikembangkan adalah Rumah Sakit Wakaf. Di Indonesia terdapat beberapa rumah sakit yang didirikan dengan harta wakaf. Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah mengelola Rumah Sakit PKU maupun dengan nama lain tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Demikian juga NU. Lembaga-lembaga wakaf yang juga cukup banyak mengembangkan rumah sakit; seperti Badan Wakaf Sultan Agung Semarang yang mengelola rumah sakit Islam Sultan Agung, Yayasan Kesehatan Islam (YAKIS) Kudus yang mengelola Rumah Sakit Islam Sunan Kudus. Yayasan Universitas Islam Malang juga telah membangun Rumah Sakit Islam Malang. Menurut Yusuf Qardhawi, rumah-rumah sakit wakaf yang didirikan pada masa kejayaan Islam di atas dapat diakses secara gratis oleh semua orang, baik kaya maupun miskin. Pasien tidak perlu membayar biaya kamar, pemeriksaan dokter, obatobatan, selimut makanan dan seluruh pelayanan maupun fasilitas. Bahkan setelah sembuh pasien diberi bekal secukupnya untuk dibawa pulang agar tidak segera bekerja sebelum kesehatannya benar-benar pulih. Biaya seluruh operasional diperoleh dari hasil wakaf produktif yang

Terlepas apapun namanya, wakaf produktif ataupun wakaf operatif, intinya adalah bagaimana para nazir dapat mengelola harta (tanah) wakaf sehingga mampu memberi nilai tambah terhadap manfaat yang dihasilkannya. sengaja diwakafkan untuk memenuhi kebutuhan wakaf yang konsumtif. b.Pemberdayaan Lahan Masjid. Salah satu kekhasan tanah wakaf di Indonesia adalah banyaknya tanah wakaf yang dipakai untuk bangunan masjid. Sayangnya, tanah-tanah wakaf tersebut hanya dipakai untuk keperluan ibadah semata. Palingpaling pemanfaatannya ditambahkan untuk pembangunan madrasah. Banyak tanah wakaf yang di atasnya telah dibangun masjid tidak diberdayakan secara ekonomis. Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar di dalam bukunya Menuju Era Wakaf Produktif, membuat simulasi bagaimana tanah wakaf masjid dapat diberdayakan sedemikian rupa. Dikawasan elit Jakarta, misalnya Pondok Indah yang terdapat masjid sebenarnya dapat diberdayakan dan tidak sekedar hanya masjid yang berlantai II. Biasanya lantai satu digunakan untuk resepsi perkawinan dan lantai II digunakan untuk ibadah. Tanah masjid tersebut dapat saja dibangun gedung bisnis Islam (Wakaf Center) berlantai 15 yang megah. Sehingga bangunan masjid tersebut setara dengan gedung-gedung bertingkat yang berada di sekitarnya. Tentu saja pengelolaannya tetap berada di bawah naungan nazhir wakaf professional. Bangunan 15 lantai tersebut akhirnya tidak sekedar sebagai tempat resepsi pernikahan, tetapi bisa dijadikan toko, kan-torkantor dan hal-hal yang menghasilkan dari sisi ekonomis. Contoh sederhana adalah Masjid Muhammadiyah Bengkulu yang merupakan wakaf Datuk Hasandin, kakeknya Megawati Soekarnoputri dari jalur Fatmawati. Kompleks masjid itu tadi-

nya hanya seluas 400-an meter persegi. Lalu dikelola dengan membangun gedung tiga tingkat. Lantai bawah dijadikan lima unit rumah toko (ruko). Lantai kedua untuk masjid, dan lantai paling atas untuk kantor pengurus Muhammadiyah setempat dan lembaga onderbouw-nya. Masing-masing ruko disewakan dengan tarif Rp. 7 juta sampai Rp. 10 juta pertahun. Aneka kebutuhan tersedia di lima ruko tersebut. Mulai dari alat-alat listrik, pakaian, sepatu, sampai jam tangan. Animo pembeli juga tinggi. Akhirnya penyewapun tak merasa rugi. Hasil sewa ruko itu cukup untuk membiayai kebutuhan oprasional masjid. Menurut Asrori, Wartawan Gatra, Masjid Al-Azhar Jakarta dan Masjid Istiqamah Bandung juga telah melakukan pemberdayaan wakaf produktif dengan pemanfaatan tanah masjid dengan maksimal. Hemat penulis, tanah masjid yang sering disebut sebagai wakaf dalam makna yang sebenarnya sehingga masjid juga disebut “baitullah,” adalah wahana pengelolaan wakaf produktif yang potensial. Lebih-lebih pada saat kita belum menemukan tanah yang strategis. Di samping itu, pengelolaan tanah masjid dapat dijadikan media pembelajaran bagaimana seharusnya wakaf produktif itu dikelola. Sejatinya, wakaf produktif tidak lagi sekedar menjadi wacana dikalangan masyarakat muslim. Wakaf produktif harus menjadi bagian dari program ummat ini dalam rangka memberdayakan sesamanya. Para nazhir harus menyadari tugasnya bukan sekedar menjaga harta wakaf tetapi lebih dari itu adalah membuatnya menjadi produktif, sehingga memiliki nilai tambah yang tak terhingga. Semoga…

Syafi’i Mendahului Benjamin Bloom Oleh Abdul Hakim Siregar, MSI Penulis adalah Guru MSN2, MSYPKS, & SMASNI Padangsidimpuan

I

mam Syâfi‘i (150-204 H/767820 M), ilmuwan Fiqih Islam (Hukum Islam) dan mazhab (pengikut) Syâfi‘i telah lama mempopulerkan tiga bagian rukun shalat: Rukun Qalbiyah (niat shalat dalam hati), Rukun Qauliyah (bacaan shalat yang diucapkan, seperti bacaan takbir dan al-Fatihah), dan Rukun Fi’liyah (gerakan–gerakan shalat, seperti berdiri (jika mampu), rukuk, i‘tidal, sujud, dan duduk). Jadi, Syâfi‘i dan mazhabnya lebih duluan menemukan tiga rukun shalat daripada tiga domain pendidikan Benjamin S Bloom (1913 – 1999 M/1333-1420 H), tak-sonomi Bloom: kognitif (knowledge), afektif (attitude), dan psiko-motorik (skills). Syâfi‘i mendahului teori Bloom, sebelas abad lebih atau seribu seratus empat puluh enam (1146) tahun sebelum Bloom mengampanyekan tiga domain pendidikan. Tiga bagian rukun shalat jika dibandingkan dengan tiga domain pendidikan, hasilnya; Rukun Qalbiyah (afektif dalam pendidikan), Rukun Qauliyah (kognitif dalam pendidikan, menyangkut pengetahuan, hafalan hingga evaluasi), dan Rukun Fi’liyah (psikomotorik dalam pendidikan). Lagi-lagi, ulama Mutakalimîn (ahli teologi Islam) mendahului Benjamin Bloom, Aliran Asy’ariyah, yang dipelopori Abû Hasan AlAsy’ari (260-324 H/873-935 M) merumuskan definisi îmân: taqrîru bil-qalbi (dibenarkan dalam hati, afektif), wa iqrâru bil-lisâni (diucapkan secara lisan, kognitif–knowledge), dan wa ‘amalu bil arkâni (diamalkan dengan tindakan, psikomotorik). Jadi, Ulama Fiqih (ahli Hukum Islam) dan Ulama Kalam (usuluddîn) telah mengatur ranah hukum dan akidah. Rukun shalat misalnya mencakup: rukun qalbiyah, qauliyah, dan fi’liyah. Sehingga ibadah shalat yang dikerjakan sah sekaligus menjadi pendidikan dan kecerdasan terpadu, meliputi: qalbiyah (afektif), qauliyah (lisan; kognitif), dan fi’liyah (psikomotorik). Rukun Qalbiyah Wilayah qalbiyah atau afektif dalam pola keilmuan (pendidikan) kini berkisar dengan ilmu humaniora dan kemanusiaan, yakni IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Tujuan pembelajaran ini, kecerdasan emosional (EQ). Daniel Goleman memaparkan

kecerdasan emosi (EQ), mencakup: pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri sendiri. Orang yang dikuasai dorongan hati–menderita kekurangmampuan pengendalian moral: Kemampuan mengendalikan dorongan hati merupakan basis kemauan (will) dan watak (character). Kerangka kerja kecakapan emosi meliputi: kecakapan pribadi dan sosial. Kecakapan pribadi ialah kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi. Ada pun kecakapan sosial, yakni empati dan keterampilan sosial. [Kajian mendalam mengenai qalb (hati) dapat ditemukan dalam tasawuf Islam].

jiwa–ruhiyyah). Kecerdasan tersebut, kata Covey, menuntut empat dimensi pribadi utuh: fisik/ekonomis (PQ), mental/ intelektual (IQ), sosial/emosional (EQ), dan spiritual/kontribusi (SQ). Sekaligus mencerminkan empat kebutuhan motivasi dasar setiap orang: untuk hidup (bertahan hidup/ badan/PQ/fi‘liyah), menyayangi (hubungan pertalian/hati/EQ/qalbiyah), belajar (tumbuh berkembang/pikiran/IQ/qauliyah), dan meninggalkan nama baik (makna dan sumbangan/jiwa/SQ/ruhiyyah). Keutamaan kecerdasan spiritual (SQ), papar Danah Zohar dan Ian Marshall ialah daya ubahnya. Jika,

Ibadah shalat yang dikerjakan sah sekaligus menjadi pendidikan dan kecerdasan terpadu, meliputi: qalbiyah (afektif), qauliyah (lisan; kognitif), dan fi’liyah (psikomotorik). Rukun Qauliyah; Ranah qauliyah; lisan atau kognitif berkaitan dengan pola keilmuwan sekarang, seperti Matematika, Fisika, Kimia, dan Bahasa. Ini yang disebut IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) kecuali yang terakhir tadi, bahasa. Tujuan mempelajari ilmu ini demi kecerdasan intelektual–logika–rasional (IQ). Hasilnya, teknologi, mekanis, dan teknis. Riset ilmiah mengacu pada keilmuan eksakta dan logika rasional, induktif dan objektif. Rukun Fi‘liyah; Daerah fi’liyah atau psikomotorik dalam pola keilmuan saat ini adalah pelajaran olahraga (Penjas) dan seni. Tujuannya, kecerdasan fisik (PQ). Kecerdasan Lain Howar Gardner menyebut kecerdasan kini, kecerdasan majemuk (multiple intelligences); kecerdasan musik, kecerdasan gerakan badan, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan linguistik, kecerdasan ruang, kecerdasan antar pribadi, dan kecerdasan inter pribadi. Apa pun istilahnya, menurut Stephen R. Covey, manusia memiliki empat anugrah kecerdasan: kecer-dasan fisik (PQ/tubuh/ fi’liyah–penulis), kecerdasan mental (IQ/pikiran–qauliyah), kecerdasan emosi (EQ/hati–qalbiyah), dan kecerdasan spiritual (SQ/

kecerdasan emosi (EQ) terletak pada kemampuan mendeteksi situasi di tempatnya berada dan bersikap dengan tepat di dalamnya, tetapi EQ masih bekerja pada batasan situasi dan membiarkan keadaan itu mengarahkannya. Lain halnya dengan SQ, yang memungkinkan orang menjadi lebih kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ memungkinkan bermain pada batasan, atau ‘permainan tak terbatas.’ SQ memberikan kemampuan membedakan. SQ memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya. SQ digunakan untuk bergulat ihwal baik dan jahat, serta membayangkan kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri dari kerendahan. SQ memungkinkan seseorang bertanya; apakah memang ingin berada pada situasi itu? Ataukah lebih suka mengubah situasi tersebut, memperbaikinya? Dengan demikian, pola pendidikan dalam shalat, sebetulnya terkait dengan kecerdasan: qalbiyah (EQ), qauliyah (IQ), dan fi‘liyah (PQ), bahkan tentunya ruhiyyah (SQ). Ayat di bawah ini contohnya,

…Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Qs. An-Nisâ/4: 103). Jadi, shalat mengajarkan kedisiplinan waktu. Tentunya juga, keteraturan bacaan dan ketertiban urutan dan gerakannya. Bila tidak, shalat batal–tidak sah. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Ankabût/29: 45). Ayat tersebut menegaskan keterkaitan membaca (tilawah Alquran) dan mendirikan shalat, sehingga shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Lalu, bagaimana dengan pertanyaan sebagian orang bahwa ada orang yang gemar shalat, tetapi belum dapat mengakhiri kelakuan maksiatnya? Jawabannya, sebagaimana dipopulerkan Syâfi‘i, shalat melibatkan tiga aspek: Pertama, rukun qalbiyah/afektif. Berarti, ia mesti mempunyai keinginan kuat (niat) melakukan kebaikan atau menghentikan maksiatnya; Kedua, rukun qauliyah/kognitif/ knowledge. Niat saja belum cukup, ia juga harus memiliki pengetahuan–keterampilan teknis untuk melakukan perbuatan baik atau menghentikan maksiatnya; dan, Ketiga, rukun fi‘liyah/psikomotorik. Pada akhirnya, ia wajib bertindak– memiliki kekuatan dan kemampuan fisik untuk mengerjakan amal baik atau meninggalkan kelakuan maksiatnya. Prinsip itulah, yang oleh Stephen R Covey disebut dengan pola kebiasaan efektif (effective habits) sebagai titik temu dari: knowledge–pengetahuan (apa yang harus dilakukan, mengapa), skills–keterampilan (bagaimana melakukan), dan desire– keinginan (mau melakukannya). Dan itulah prinsip perubahan kebiasaan versi Stephen R Covey. Oleh Bloom diistilahkan dengan tiga domein: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sebagai muslim, kita melaksanakan kewajiban shalat. Syâfi‘i misalnya memasyhurkan tiga rukun dalam shalat, mencakup: niat, bacaan, dan gerakan. Jika ini dimaknai, shalat sangat berarti dalam pendidikan dan kecerdasan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.