Waspada, jumat 21 September 2012

Page 24

Opini

C2 TAJUK RENCANA

Figur Pemimpin Rakyat Jelata Pimpin Jakarta

A

lex Noedin, mantan Cagub DKI mengatakan, kekuatan partai politik tidak banyak berpengaruh dalam perebutan suara Pilgub DKI Jakarta. Prediksi Alex itu benar adanya, setelah melihat hasil hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei dan disiarkan media massa khususnya televisi kemarin. Kalau di putaran pertama lalu, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli melawan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dimenangkan Jokowi – Ahok dengan perolehan akhir 1.847.157 suara atau 42,6 persen, sementara suara Foke - Nara Pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli 1.476.648 (34,05 persen), maka hasil hitung cepat Jokowi – Ahok meraih sekira 54 persen berbanding 46 persen. Tidak terlalu jauh persentase perbedaan suara yang diperoleh kedua pasangan di putaran kedua ini, berkisar 8 persen selisihnya dan hampir sama dengan putaran I. Ini menunjukkan suara dari kandidat yang kalah di putaran I dan penambahan pemilih baru menunjukkan berimbang, setengah memilih Foke dan setengah lagi pada Jokowi. Namun begitu, hitungan dari KPU-lah yang pasti bakal menentukan siapa Gubernur DKI Jakarta dalam sepekan mendatang. Hemat kita, walaupun hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei belum jaminan, namun biasanya melihat perbedaan persentase antara kedua pasangan dengan hasil KPU sebelumnya, maka hasilnya tidak akan jauh dengan hitungan quick count sehingga dapat disimpulkan Jokowi –lah pemenang Pilgub DKI untuk periode 2012-2017. Tentu saja kita menaruh hormat pada pasangan Foke – Nara yang merespon positif hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan lawannya. Pernyataan menghormati hasil hitung cepat dan menghargai kemenangan sementara Jokowi – Ahok (sambil menunggu hasil hitungan resmi KPU) dapat meredam isu konflik yang mungkin saja terjadi jika tidak cepat diantisipasi. Sebab, bukan tidak mungkin banyaknya kecurangan yang terjadi dalam Pilkada Gubernur DKI Intisari Jakarta ini. Banyak faktor yang mendukung kemenangan pasangan Jokowi – Ahok, di antaraJokowi - Ahok merupa- nya penampilannya sangat sederhana yang kan pilihan terbaik warga diperlihatkan Jokowi selama ini dalam berdengan masyarakat kelas bawah Jakarta untuk lima tahun interaksi (rakyat jelata). Tak ayal lagi Jokowi pun digelar figur pemimpin yang peduli rakyat jelata. ke depan Sehingga warga kelas bawah cepat dekat dan bersimpati padanya. Melihat profil Cagub Jokowi yang terkesan begitu memahami aspirasi rakyat jelata muncul harapan dia takkan melupakan rakyat kecil kalau terpilih. Biasanya, saat kampanye banyak kandidat kepala daerah yang berakrab-ria dengan rakyat kelas bawah, tapi setelahterpilih lupa pada janji-janjinya. Rakyat dilupakan dan hanya menjadi penonton. Jokowi diyakini tidak seperti itu melihat penampilan dan gaya berpakaian baju kotak-kotaknya, model zaman dulu, menimbulkan kesan Jokowi santun dan sederhana. Kita harapkan Jokowi tidak berubah setelah menduduki kursi Gubernur DKI. Kalau biasanya para pejabat selalu diatur protokoler, dijaga ‘’body guard’’ hal itu tidak berlaku buat Jokowi. Hampir tidak terlihat penjagaan dan perjalanannya saat turun ke kampung-kampung kumuh, sangat tidak berjarak dengan warga masyarakat kelas bawah, selalu menebar senyum sehingga cepat menarik simpati masyarakat memilihnya. Padahal, Jokowi orang baru bagi warga Jakarta. Belum begitu banyak dikenal dan masih menjabat Walikota Solo. Bagi Jokowi yang dikeroyok partai-partai besar, seperti Demokrat, Golkar, PPP, PKS, PAN dll merasa dekat dengan rakyat kelas bawah jauh lebih penting, sehingga kebanyakan kegiatannya bersosialisasi dengan masyarakat bawah, masuk kampung ke kampung yang padat penduduk, sementara kampanye di tempat-tempat elit, gedung mewah untuk mencari simpati masyarakat kelas menengah dan atas yang jauh lebih kritis kurang dia lakukan. Selain itu, kita menangkap adanya kebosanan warga Jakarta dengan berbagai problem perkotaan antara lain kemacetan dan kebanjiran maupun infrastruktur yang tak kunjung terselesaikan. Upaya pejabat incumbent dirasakan sangat lamban oleh warga Jakarta sehingga mereka bakal semakin lama menderita pada lima tahun ke depan jika Foke masih tetap menjabat orang nomor satu di DKI. Jokowi dikenal tidak muluk-muluk. Gaya politiknya santun, tak emosionalan. Visi dan misinya sederhana, ingin Jakarta lebih baik dan melakukan pembangunan dimulai dari perkampungan, bukan dari pusat kota seperti Sudirman, Thamrin maupun Kuningan, sehingga cepat diamini warga Jakarta. Jokowi lagi-lagi memperoleh keuntungan dengan mengusung slogan perubahan buat warga Jakarta. Bagi warga Jakarta, hal (perubahan) itulah yang ditunggu-tunggu. Walaupun tidak mudah bagi pejabat baru, siapa pun dia, apalagi dari luar Jakarta dalam membenahi kondisi Jakarta yang amburadul, namun ada harapan Jakarta bisa lebih baik dengan pergantian pemimpinnya. Kesan ‘asal bukan Foke’ sudah tercipta di sebagian warga Jakarta. Walaupun Foke – Nara sudah berjuang habishabisan, bahkan timnya melakukan berbagai cara menjurus SARA, namun rakyatlah yang menentukan. Dukungan parpol tak banyak membantu Foke. Kini figur pemimpin rakyat jelata terpilih untuk memimpin Jakarta, ibukota negara RI.+

APA KOMENTAR ANDA SMS 081362240523

Faks 061 4510025

Facebook Smswaspada

+6283199198105 TANGKAP, IKAT, DAN SEMBELIH • Kemudian dagingnya di iris kecil-kecil , lalu ditusuktusuk pada ba tang-batang lidi tusuk sate • Selanjutnya dipanggang • Apa itu ? Daging Kibas == Kambing • Dan yang bukan Daging Kibas , tidak perlu dipanggang • Langsung kita bagi-bagikan ke Kandang Harimau , Kandang Singa , Kandang Beruang dan Kandang Ular • Apa itu ? DAGING si SAM BACILE ( kalau ’dah dapat ) ! # sabtu 28 syawal 1433 All Moslem Solidarity * relay kr ueng sikameng. +6285361254425 Apa tanggapan kalian wahai teroris soal film yang melecehkan agama islam.yahudi itu tujuannya adu domba umat islam,ini namanya membela agama yang matinya masuk syurga,bukan sprt yang kalian lakukan selama ini membunuh yg tak bersalah matinya masuk neraka. +6281263995363 mantap kali pemberitahuan yg diumukan PLN tgl 17 Sept untuk operasi tunggakan rekening listrik. Tapi Pak general manejer R. Krisna Simbaputra tolong juga operasi ke petugas PLN di Padang Lawas. Tiap hari listrik padam. Petugas PLN di Palas tidak peduli pelanggan sudah sangat resah tapi pemadam tiap hari tetap terjadi. +6285261172936 Kita Sholat dimasjid sama ngaji sama mengantar mayit kekubur sama _tapi untuk mendapatkan memberikan / menempatkan jabatan (pns atau di swasta) tidak sama _ tentu pilih kawan asal sa tu kampung >Melayu tidak masuk agenda _ Melayu mau membantu Melayu _ tidak tau/bisa karena tak ada in dentitas (marga) tak punya jabatan/ kaya bias anya memang begitu _ nasehat Dtk Kempas bin Dtk Hitam _Terusan kempaskenal maka tak sayang _ Melayu akan terus kalah karena ti dak bisa berjamàah di kepe gawaian _ Melayu tau kalau primodialisme itu menghila ngkan 50% derajat taqwà _ tapi Melayu juga diperin tahkan utk merobah nasib suatu kaum _ hayo melayu sumut merobah nasib dng bermarga _ seumpama syah rial sitipayung (alamat cam ar 13) Fauji Halim Nerilam (nergilama _ camar 3) dng tanda tersebut kita tau me reka melayu _ jadi tak pay ah kita Melayu untuk mem bantunya _ dan dng bermar ga dapat diharap merubah sikap sedikit mengurangi pe nyakit kesombongan dan kec ongkakkan sesama melayu _ karena Melayu biasanya kal au. +6282367309817 Setuju Pak Gubernur ! ... Kita harus berhemat air , dgn pola RECYCLING , artinya air yg sdh dipakai kemudian di tampung kembali utk dipakai yang lain ... Tks ... +6285296915090 Islaaam tetaap tinggiii Allaaah berjanjii walau dicaci ,dimaki ALLAH LINDUNGI. Islaaam tetaaap tinggiii.. Ingat ingaat hai sahabat semuaa ,agama yg benar ada islaaam,islaaam tetaap tinggi..Allaaah lindungi .Ingat ingat hai umat nabi mursaliin.Waspada sy titip slm buat ayhanda tgk.ZAINI ABDULLAH dan kkanda mualem MUZAKKIR MANAF.(sy cukup kenal dgn pribadi bliau berdua).Jak keuno rakan tjak top pade,tatop beusare..? #al amir al ghazi syihabuddin@ dua jantan api dr gunong seulawah.@wassalam.Y ALLAH terangkan mata hati beliau berdua dgn hidayahMu AMIIN

WASPADA Jumat 21 September 2012

Politik Pembangunan Masjid Di Medan Oleh Warjio Kalau sebelumnya kasus ini melibatkan masyarakat Islam versus pemilik modal plus pemerintah kota Medan, kini kasus itu justeru menghadapkan umat Islam dengan umat Islam sendiri. Buruknya lagi, ia menghadapkan antara umat dengan ulama

P

olemik peruntuhan masjidmasjid di kota Medan yang melibatkan Ormas Islam, MUI Kota Medan—di tengah isu terorisme, oleh Harian Waspada masih menjadisorotan.Walaupuntidakheadline, namun menurut saya, Harian Waspada masihmemilikikomitmenuntukmenempatkan polemik itu. Barangkali media lain kurang menganggap kasus ini menarik dan“tidakmendapatkankeuntungan”jika kasus ini diberitakan. Atau juga ia bukan memiliki ”nilai kapital” yang layak untuk diberitakan? Ini merupakan satu fenomena yang menarikyangsedangterjadidikotaMedan. Sebagai sebuah kota, yang di tahun 2012 ini mencanangkan diri sebagai tujuan wisata, tidak dapat disangkal bahwa salah satu yang menjadi identitas dan daya tarik kota Medan adalah Medan sebagai Kota Masjid. Ini bukan saja karena Medan memilikiMasjidRayaAlMaksun—warisan KesultananMelayuyangmenjadilambang kebesaran Islam tetapi juga karena memiliki banyak masjid. Berkeliling sebentar sajadibagian-bagiankotaMedan,kitaakan banyak menemukan masjid. Banyaknya masjidinibukansajamenjadibentukpelayananpublikumatIslamkotaMedanyang mayoritas tetapi juga para pendatang terutamanya para wisatawan. Namun, perlahan tapi pasti tapaktapak masjid itu kini mulai digantikan perumahan mewah, mal, supermarket ataupun ruko-ruko. Proyek-proyek yang didanaiparacukong/kapitalisinidilakukan atas alasan pembangunan.Kaumkapitalis telah berhasil meyakinkan Pemerintah Kota Medan bahwa mal, rumah-rumah mewah, supermarket ataupun Ruko jauh lebih penting ketimbang masjid. Di sisi lain, kaum kapitalis juga telah berhasil “melunakkan ulama” melalui fatwa mereka bahwa membangun mal, supermarket ataupun Ruko lebih penting untuk membangunkapitalismeketimbangpembangunan rohani dengan membiarkan masjid tetap berdiri. Peruntuhanmasjid-masjiddikotaMedan, sesungguhnya anti tesis bahwa mayoritas umat Islam akan mudah menguatkan identitasnya. Kenyataannya, justeru umatIslamdikotaMedanmenjadikorban (ataudikorbankan?)darisebuahkebijakan

yang melibatkan kaum kapitalis. Menyelesaikan Persoalan Menurut saya, persoalan ini harus segera diselesaikan. Pihak-pihak terkait seperti Pemerintah kota Medan, dalam hal iniWali Kota Medan, DPRD Kota Medan, para ulama, Muspika plus, kaum kapitalis pemilik modal dan umat Islam sendiri harus kembali duduk bersama secara serius menyelesaikan persoalan ini. Ini disebabkan beberapa alasan. Pertama,polemikinitelahmenelankorbanyang melibatkan masyarakat. Sebagaimana yang diberitakan (Waspada, 10/9/2012), kasus lanjutan peruntuhan masjid-masjid di kota Medan telah bergeser inti persoalannya. Kalau sebelumnya kasus ini melibatkan masyarakat Islam versus parakapital(pemilik modal) plus pemerintah kota Medan,kinikasus itu justeru menghadapkan umat Islam dengan umat Islam sendiri. Buruknya lagi, ia menghadapkan antara umat dengan ulama, yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) KotaMedan.Bukanitusaja,kekerasanjuga terjadi di dalamnya. Sebagaimana diberitakan, seorang pengurus MUI dipukul olehmasyarakatdiPengadilanNegeri(PN) Medan karena diduga terlibat dalam kasus perubuhan Masjid At –Thoyyibah. Jika hal ini dibiarkan ia akan semakin memperburuk hubungan umat Islam dan MUI. Jika hubungan umat Islam dan ulamanya (MUI) buruk, maka ia akan menganggu sinergisitas peran umat Islam dalam pembangunan. Kedua, polemik ini juga akan mengganggu hubungan umat Islam dan Pemerintah Kota Medan. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus peruntuhan masjidmasjid akan memberikan imej buruk terhadap Pemerintah Kota Medan, yang dianggap bertangungjawab memfasilitasi

para kapitalis ”bercokol” mengambilalih tapak-tapak masjid. Jika imej negatif ini terusterpellihara,inijugaakanmengganggusulitnyapemerintahKotaMedanuntuk mengimplementasikan program-program pembangunannya. Ketiga, polemik ini juga akan menumbuhkan rasa ketidakpercayaan para investor untuk pembangunan di kota Medan. Para investor akan terbangun opininya bahwa Medan tidak ramah terhadap pembangunan.Lebihburuknyalagi,munculnya imej Islam anti pembangunan. Keempat, polemik ini juga jika tidak diselesaikan dengan segera, ia dapat menimbulkan konflik SARA. Jika ini terjadi tentu sangat berakibat buruk kepada kota Medan yang sangat plural. Setahu saya,Wali Kota Medan, bersama dengan Plt.GubernurSumateraUtaradanMuspidapluspernah duduk satu meja untuk menyelesaikan persoalan peruntuhan masjid di Kota Medan. Tapi, bagaimana kelanjutannya? PembangunanMasjid:MencariAkar Persoalan Salahsatupersoalanmendasaryang dihadapi dan menjadi tantangansebuah kota adalah belum adanya penserasian antar golongan dan masalah sosial lainnyayangberkaitan pelayanan publik (Gita Chandrika Napitupulu, 2005). Makna dari pernyataan ini adalah jika sebuah kota belum mampu menserasikan antar golongan apalagi yang berkaitan dengan identitas golongan itu—dan itu bagian dari pelayanan publik yang harus diberikan pemerintah kota maka akan muncul persoalan sosial. Kenyataan ini di masa otonomi daerah justru semakin memburuk, dimana banyak kasus banyak wali kota justru terjebak kepentingan para pemiliki modal membangun kotanya dengan cara meminggirkan golongan tertentu dengan identitasnya. Ini merupakan pengaruh globalisasi yang melanda kota, dimana terjadi pergeseran pola dan lokasi dalam tata ruang kota. Globalisasi merupakan proses sosial, ekonomi, budaya dan demografi dalam sebuah negara yang kemudian tersebar ke luar dari negara tersebut dengan dasar untuk mencapai peningkatan ekonomi. Globalisasi biasanya berpegang pada

keniscayaan administrasi dan hukum. Pada kenyataan ini, rumah ibadah, khususnya masjid, selalunya menjadi korban dari pergeseran ruang kota, atas alasan pembangunan dari sebuah globalisasi yang dijalankan untuk peningkatan ekonomi karena dianggap tidak memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan mudah “dimanipulasi” karena memang secara administratif banyak masjid yang tidak memiliki manajemen administratif kepemilikan yang baik. Itulah antara alasan mengapa masjid mudah digeser, diganti dengan simbol-simbol kapitalis seperti perumahan mewah, mal, supermarket ataupun ruko-ruko. Sebagai contoh misalnya, banyak masjid dan mushalla di KotaTebingtinggi diperkirakan belum memiliki sertifikat wakaf lahan. Masjid dan mushalla itu terutama yang berusia lama dan berada di lingkungan perkotaan yang jumlah warga Muslimnya sedikit. Menurut Ketua MUI Tebingtinggi, Drs H.Ahmad Dalil Harahap mengatakan, masjid dan mushalla perlu memiliki sertifikat agar kejadian peruntuhan masjid di Kota Medan tidak terulang (Waspada, 8/9/2012). Sebagaimana diketahui, fatwa istibdal (menukar) yang dikeluarkan oleh MUI Kota Medan untuk masjid Thoyyibah dan masjid Raudhatulhasanah akhirnya memudahkan para pengembang perumahan mewah. Memahami persoalan ini, mengingatkan kembali penelitian saya di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu tentang bagaimana politik pembangunan masjid di sana (Waspada, 6/8/2012). Komunitas Muslim Indonesia yang minoritas disanaterpaksaharusberjibaku,menahan cercaan, mengalami tekanan baik dari pemerintah maupun dari komunitas mayoritas yang bukan Islam. Mereka terpaksa harus menerima ini dan ridha karenanya demi berdirinya masjid—tempat dimana merekabisaberibadah,bersilaturahmidan bersosialisasi. Darah, tekanan perasaan dan keringat merekalah yang sesungguhnya menjadi fondasi yang kuat hingga kemudian berdirinya masjid. Jika mau jujur, sesungguhnya masjidmasjid di Indonesia, termasuk di kota Medan, pada umumnya dibangun berdasarkan keringat dan kerja keras swadaya masyarakatnya. Bisa kita bayangkan bagaimana sedihnya mereka jika masjid (Rumah Allah ) yang dibangun dengan keringat—sebagai usaha untuk tetap menunjukkan identitas harus dirubuhkan demi kepentingan memenuhi nafsu serakah para kapitalis dan budak-budaknya. Penulis adalah Dosen Program Pascasarjana Studi Pembanguna USU (S3, S2), Ketua MAP UMA Dan Peneliti RUT ISDEV USM (Malaysia).

Kesejahteraan Dalam Keberagaman Di Mata Pers Oleh Sofyan Harahap Liputan pemberitaan media setiap harinya tidak pernah sepi dari masalah-masalah tersebut (bad news).Berarti, tujuan berbangsa dan bernegara kita sebagaimana citacita the founding fathers masih jauh dari harapan.

S

ungguh ideal dan terlihat sangat sempurna judul yang diberikan panitia pada saya acara pertemuan terbatas –diskusi— dengan Wantimpres bidang luar negeri/internasional mengenai promosi dan proyeksi demokrasi Indonesia: Bercermin pada Sumut yang beragam, sejahtera, dan harmonis. Judul yang diberikan ‘Keberagaman dalam Kesejahteraan, Kesejahteraan dalam Keberagaman’ tapi berhubung saya dari kalangan media tentunya kajian atau paparan yang disampaikan dalam perspektif pers, seperti judul di atas. Dan acuan orang pers pastilah: ‘’Bad News is Good News’’. Lantas, bagaimana pers melihat masalah kesejahteraan dalam keberagamaan ini? Hemat saya, menakar ‘barang’ yang bernama sejahtera jelas tidak mudah. Di mata pemerintah, masyarakat miskin terus menurun di angka 32 juta. Tapi, orang pers mengeritik karena takarannya rendah sekali, tak manusiawi, karena tidak sampai satu dolar per hari. Artinya, di negeri kita ini pengemis pun bisa-bisa tidak masuk kategori miskin. Mengapa? Mereka bisa masuk dan bergabung dalam masyarakat sejahtera karena tolok ukurnya tadi, sengaja dibuat rendah. Jika merujuk pada ukuran PBB pastilah jumlah masyarakat miskin di Indonesia, dan juga di Sumut, tidak seperti angka-angka dalam badan statistik. Berbicara masalah sejahtera atau kesejahteraan mari kita melihat sila ke5 Pancasila, yaitu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudahkah itu dicapai dan dirasakan oleh seluruh rakyat? Jawabnya pasti belum sekalipun reformasi sudah berjalan 14 tahun, karena keadilan sosial maupun kesejahteraan itu baru dirasakan oleh sebagian rakyat saja. Seseorang atau suatu masyarakat dapat dinilai sejahtera bila kehidupan dasarnya sudah terpenuhi dan itu tergambar dari peningkatan kebutuhan dasar hidupnya. Misalnya di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan fisik dan sosialnya. Kemajuan itu juga tergambar dari kualitas layanan infrastruktur –kota dan desa—melalui program pembangunan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Fakta di lapangan, semua itu masih jauh dari harapan. Liputan pemberitaan media setiap harinya tidak pernah sepi darimasalah-masalahtersebut(badnews). Berarti, tujuan berbangsa dan bernegara

kita sebagaimana cita-cita the founding fathers masih jauh dari harapan. Artinya, pemerintahmasihharusdanwajibbekerja kerasuntukmewujudkanmasyarakatyang adil, makmur, dan sejahtera. Bukan lagi dalam tataran konsep dan wacana saja. Tak pelak lagi masalah kesejahteraan menjadi tantangan kita bersama.Tanpa kesejahteraan masyarakat rentan terhasut dan mudah terjebak dalam perangkap masalah yang tercipta oleh keadaan maupun oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Potensi Konflik Kita tentu sepakat menjadi orang kaya adalah hak setiap orang (warga negara). Agama tak melarang, hukum negara juga membolehkan, asalkan hasil kerja keras, jujur, menaati peraturan dan perundangan. Bukan kekayaan yang diperoleh dengan menghalalkan segala cara, ber-KKN, apalagi mengeksploitasi kekayaan alam dan sesama manusia. Tidak saja di pusat tapi juga di kabupaten-kota. Begitupun kita pun patut bersyukur Sumut dan khususnya kota Medan dijadikan contoh positif dalam hal keberagaman, kesejahteraan, dan keharmonisan. Walau banyak ragam etnis di Sumut, seperti Batak, Mandailing, Jawa, Melayu, Cina dll kehidupan dalam heterogenitas bisa berjalan dengan ‘kondusif’, di mana hanya sesekali saja terjadi gesekan, friksi, konflik yang tidak diinginkan. Tapi, sesungguhnya kondisi Sumut yang pluralitas selalu diklaim kondusif itu sebenarnya sarat dengan masalah. Harmonisasi Sumut seperti banyak dipuji bahkan menjadi barometer nasonal, tidak lepas dari peran serta dan komunikasi yang terjalin baik dari para tokoh masyarakat, adat, dan agamanya. Meski banyak aneka ragam permasalahan muncul dengan cepat dapat diantisipasi dan diatasi sehingga tidak sampai meledak. Justru itu kita jangan terlalu bangga dengan pujian karena sejatinya masih banyak PR yang perlu diselesaikan di Sumut. Masih jauh perjalanan kita menuju cita-cita mencapai kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera atau kesejahteraan dalam keberagaman. Karenanya pula kita perlu terus belajar, waspada, termasuk adanya infiltrasi dari luar di era globalisasi untuk menguasai sumberdaya alam dan menjadikan Indonesia sebagai obyek pasar segala macam produk asing –minimarket— yang kian menjamur, mengancam

pasar tradisional, dapat mematikan perekonomian rakyat di berbagai bidang, seperti pertanian, home industri dll. Sedangkan PR dari dalam negeri meliputi kesenjangan sosial. Ada orangorang atau kelompok tertentu hidup bergelimang kekayaan, rumah mewah, mobil seharga satu miliar, belanja ke mall, berobat ke luar negeri. Sementara kelompok lain termarjinalkan, kian terpuruk. Hidup di kawasan kumuh, tak punya rumah, masa depan suram, tak punya pekerjaan, belanja sekadar mengganjal perut, dicari beras paling murah, sekadar dapat menyambung hidup, masalah gizi tak lagi terpikirkan. Pemandangan miris terlihat, mereka antre beras raskin, menunggu dan berharap bantuan langsung tunai. Jumlahnya mencapai 19,1 juta keluarga miskin. Nah, kalau satu keluarga miskin dihuni lima orang, terdiri suami-istri dengan tiga anak berarti angka kemiskinan di Indonesia mencapai 95,5 juta jiwa. Mereka inilah yang acapkali mewarnai konflik, termasuk di Sumut. Potensi konflik di Sumut meliputi banyak hal, seperti masalah agraria, perubuhan masjid, aksi unjuk rasa lahan garapan dengan PTPN-2, eksploitasi tambang emas di Tapsel, penebangan hutan, ganti ganti rugi tanah, narkoba, terorisme, perburuhan, nelayan, pengangguran sampai kemiskinan absolut, juga dominasi sektor ekonomi oleh satu kelompok (Cina) dan juga dampak Pilkada membuat masyarakat terpecah dan terkelompok-kelompok, semua itu dapat memicu konflik SARA dan kerusuhan anarkis. Tidak saja antar-agama tapi juga antar-aliran agama. Penutup Kalau pemerintah pusat dan kabupaten-kota mengklaim angka kemiskinan menurun, secara data statistis tidak salah karena parameternya penuh rekayasa dan sengaja dibuat rendah. Begitu pula klaim pertumbuhan ekonomi tinggi, juga betul tapi hanya bagi sebagian orang kaya.Yang kaya makin kaya, si miskin makin menjerit. Pada tataran empiris, secara riil, masalah kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar. Poin ini jelas berpotensi menyulut konflik horizontal, jika tidak diantisipasi oleh pihakpihak terkait, dapat berimbas pada masalaah keamanan, politik, hukum, agama ekonomi, sosial dan budaya dst. Sila ke-5 Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat tidak mungkin terwujud jika sila-sila yang lain tidak dijalankan dengan optimal oleh seluruh elemen masyarakat, terutama elite politik dan penguasa. Ini memprihatinkan. Jangankan mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, mengingat/menghafal urutan ke-5 sila saja banyak lupa, khususnya kalangan generasi muda yang konon menjadi harapan bangsa kita ke

depannya. Heterogen Sumut harus berada paling depan mencegah disharmoni di masyarakat dengan terus menjaga, memperkuat elemen keberagaman dan meningkatkan kesejahteran. Tk bisa ditawar lagi berpihaklah pada masyarakat kecil, tegakkan supremasi hukum tanpa pilih kasih terhadap segala bentuk penyelewengan, terutama korupsi yang kian menggurita, baru kita bisa hakkul yakin terwujud kesejahteraan dalam keberagaman yang sesungguhnya. Tanpa itu persatuan dan kesatuan takkan tercipta. Akhirnya,jangansalahkanperssebagai biang kerok atau penyulut api konflik. Sebab, kondisi Sumut selaku miniatur Indonesia menjadi pusat pemberitaan, tidak mungkin melahirkan orang-orang pers yang homogen. Pers tahu batas informasi yang boleh dan tidak, apalagi kalau sudah terkait potensi konflik dan perpecahan yang berakibat pada terganggunya sistem kehidupan dan eksistensi NKRI.*** Penulis adalah Wapenjab Waspada, artikel ini dari makalah penulis dalam diskusi terbatas bersama tim Wantimpres di Grand Aston, 7 September 2012.

Pengumuman Redaksi menerima kiriman karya tulis berupa artikel/opini, surat pembaca. Kirim ke alamat redaksi dengan tujuan ‘Redaktur Opini Waspada’ dengan disertai CD atau melalui email: opiniwaspada@yahoo. com. Panjang artikel 5.000-10.000 karakter dengan dilengkapi biodata penulis dan kartu pengenal (KTP). Naskah yang dikirim adalah karya orisinil, belum/tidak diterbitkan di Media manapun.Tulisan menjadi milik Waspada dan isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis.

SUDUT BATUAH * JK: Kasus Century misterius - Percuma debat di televisi * Menpan: Korupsi penghambat utama pembangunan - Makanya sulit diberantas * Sumut berpotensi tujuan investasi Uni Eropa - Sekedar angan-angan boleh lah!

oel

D Wak


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.