Waspada, Jumat 11 Januari 2013

Page 30

Mimbar Jumat

C10

WASPADA Jumat 11 Januari 2013

Salahuddin Al Ayubi Pahlawan Besar Islam Di siang hari Salahuddin Al Ayubi bak singa yang siap menerkam musuhnya. Tapi di malam hari ia hanyalah seorang hamba yang penuh kekhusukan bersimpuh di hadapan Allah SWT.

Benteng Salahuddin Al Ayubi di Mesir Salahuddin Al Ayubi lahir di Tikrit, tepi sungai Tigris di Irak pada tahun 1137 masehi atau 532 hijriyah. Nama aslinya adalah Salah alDinYusuf bin Ayub. Ayahnya, Najm ad-Din masih keturunan Kurdi dan menjadi pengelola kastil bersama adiknya, Shirkuh. Kemudian keluarga Salahuddin pergi ke Mosul. Di Mosul, mereka bertemu dan membantu Zangi, seorang pemimpin Arab yang mencoba menyatukan wilayah Islam yang tercerai-berai dalam beberapa wilayah kerajaan kecil seperti Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yerusalem dan Damaskus. Zangi yang beraliran sunni berhasil menjadi penguasa di seluruh Suriah dan bersiap menghadapi serbuan tentara salib dari Eropa yang saat itu sudah mulai memasuki tanah Palestina. Zangi meninggal tahun 1146 setelah menundukkan Edessa, sebuah propinsi pendukung Eropa dan kemudian digantikan oleh Nuruddin. Di bawah bimbingan Zangi dan Nuruddin, pelan-pelan Salahuddin yang bertubuh kecil, rendah hati, santun, penuh belas kasih namun juga cerdas ini menemukan jalan hidupnya. Pada tahun 1163, Nuruddin mengutus Shirkuh untuk menundukkan Mesir yang dipimpin kekhalifahan Fatimah yang beraliran syi’ah. Shirkuh berhasil menundukkan Mesir tanggal 8 Januari 1189. Namun dua bulan kemudian Shirkuh meninggal dunia. Nuruddin kemudian mengangkat Salahuddin menggantikan Shirkuh. Salahuddin dianggap masih seba-

gai bocah yang lembek dan lemah sehingga mudah dikontrol. Nurruddin tentu tidak mempunyai pesaing kuat yang mempunyai kekuasaan besar di Kairo. Namun prediksi Nuruddin ternyata salah. Salahuddin segera mengorganisir pasukan dengan mengembangkan perekonomian untuk menghadapi serbuan tentara salib yang ingin merebut Mesir. Dalam kurun waktu 1169 hingga 1174 itu, Mesir di bawah pimpinan Salahuddin menjelma menjadi kerajaan yang malah membuat Nuruddin khawatir. Hubungan keduanya memburuk dan pada tahun 1174, Nuruddin mengirim pasukan untuk menundukkan Mesir. Saat armadanya dalam perjalanan, Nuruddin meninggal dunia pada tanggal 15 Mei 1174. Kekuasaan diserahkan pada putranya yang baru berusia 11 tahun. Pertempuran urung terjadi. Bahkan Salahuddin berangkat menuju Damaskus untuk menyampaikan belasungkawa. Kedatangannya dielu-elukan dan diharapkan rakyat. Namun Salahuddin yang santun malah berniat menyerahkan kekuasaan pada raja yang masih belia namun sah. Raja yang masih belia tersebut tiba-tiba juga sakit dan meninggal dunia, mau tak mau Salahuddin diangkat menjadi sultan bagi kekhalifahan Suriah dan Mesir, pada tahun 1175. Pada waktu Salahuddin berkuasa, perang salib telah memasuki fase kedua.Walaupun tentara salib berhasil menguasai kola suci Yerusalem (perang salib fase pertama), namun mereka tidak berhasil menaklukkan Damaskus dan Kairo. Kekuatan muslim sedang menuju jalan kemenangan

dengan menguasai Mesir,Syria dan Palestina. Ketika dinobatkan menjadi sultan, Salahuddin berujar, “ Saat Tuhan memberiku Mesir, aku yakin Dia juga akan memberiku Palesti-na! Namun saat itu antara Salahud-din dan Raja Yerusalem, Guy de Lusignan mengadakan gencatan senjata. Fase kedua perang salib dipicu penyerangan rombongan peziarah dari Kairo yang hendak menuju Damaskus oleh Reginald de Chattillon, penguasa kastil di Kerak yang juga merupakan bagian dari kerajaanYerusalem. Kafilah yang hendak menunaikan haji ini juga membawa saudara perempuan Salahuddin. Pengawal kafilah dibantai dan anggota rombongan ditahan, termasuk saudara perempuan Salahuddin. Reginald juga mengancam akan menyerang dua kota suci umat Islam, Mekah dan Madinah. Dengan demikian, gencatan senjata berakhir dan Salahuddin sangat murka. Pada Maret 1187, setelah bulan suci Ramadhan, Salahuddin menyerukan jihad. Satu konsep dan budaya yang dihasilkan pahlawan perang ini adalah lahirnya peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw atau yang disebut dengan maulid Nabi. Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw digunakan Salahuddin untuk menumbuhkan kembali semangat jihad pasukan muslim. Pasukan muslim mulai bergerak, menaklukkan satu persatu benteng-benteng pasukan Kristen. Puncak kegemilangan Salahuddin terjadi pada pertempuran di kawasan Hattin. Tanggal 13 Juli yang kering, 25.000 tentara muslim mengepung

tentara Kristen yang berjumlah lebih besar, di daerah pegunungan Hattin yang menyerupai tanduk. Pasukan muslim terdiri dari 12.000 pasukan kavaleri dan sisanya infanteri. Kavaleri merupakan pasukan utama yang menunggang kuda Yaman yang gesit. Dengan dibagi dalam skadron-skadron kecil, mereka menggunakan taktik hit and run. Salahuddin menang dalam pertempuran dan pahlawan besar Islam ini bisa membebaskan Yerusalem dari pasukan salib. Yerusalem Dari Hattin, Salahuddin bergerak membebaskan kota-kota Acre, Beirut dan Sidon di utara. Dia juga bergerak membebaskan Jaffa, Caesarea, Arsuf hingga Ascalon di selatan. Sekarang saatnya membebaskan kota Yerusalem. Dalam membebaskan kota-kota tersebut, Salahuddin senantiasa mengedepankan jalan diplomasi, yaitu penyerahan kota secara sukarela, daripada pasukannya menyerbu kota. Pasukan Salahuddin mulai mengepungYerusalem pada 26 September 1187. Saat itu pasukan salib di Yerusalem dipimpin oleh Balian dari Obelin dan mempertahankan kota dengan gigih. Namun pada tanggal 30 September 1187, Salahuddin menerima tawaran perdamaian Balian. Yerusalem diserahkan dan orang Kristen dibebaskan dengan tebusan tertentu. Fragmen ini pernah difilmkan Hollywood dengan judul Kingdom of Heaven. Sebagaimana diketahui berkat perjanjian yang ditandatangai oleh Khalifah Umar bin Khattab ra dan Uskup Sophoronius menyusul jatuhnya Antiokh, Damaskus dan Yerusalem pada tahun 636 masehi, orang-orangn Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Setiap warga negara bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di Yerusalem. Namun kerukunan beragama yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun ini di Yerusalem kemudian porak poranda akibat hasutan seorang patriach bernama Ermite. Provokator ini berhasil menghasut Paus Urbanus

yang mengirim ratusan ribu tentara ke Timur Tengah untuk melakukan perang salib. Setelah mengalahkan pasukan salib, Salahuddin menunda masuk ke kota suci selama dua hari, menunggu hingga tanggal 2 Oktober 1187 atau bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 583 H. Tanggal itu merupakan saat Nabi Muhammad SAW melakukan mikraj dari masjid Al-Aqsa yang terdapat di Yerusalem. Di kota ini, Salahuddin lagi-lagi menampilkan sikap yang adil dan bijaksana. Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu (Dome of Rock) yang sempat dijadikan markas Ordo Templar dan gereja Kristen dibersihkan. Namun demikian, gereja Makam Suci tetap dibuka dan ia tetap mempersilahkan umat Kristen untuk melakukan ibadah dan aktifitas di situ. Demikian juga kaum Yahudi bebas melakukan ibadah mereka di Yerusalem. Kebijakan ini sempat ditentang pendukung-pendukungnya. Namun Salahuddin berujar, “muslim yang baik harus memuliakan tempat ibadah agama lain!” Salahuddin sendiri tidak tinggal di istana megah. Ia justru tinggal di masjid kecil bernama Al-Khanagah di Via (jalan Do-lorossa, dekat gereja Makam Suci). Kantornya terdiri dari dua ruangan berpenerangan minim yang luasnya nyaris tak mampu menampung 6 orang yang duduk berkeliling. Salahuddin sangat menghindari korupsi yang banyak menghinggapi para raja pemenang perang. Setelah Salahuddin kembali menguasaiYerusalem, maka kota suci tiga agama samawi ini tidak berpindah tangan dari penguasa muslim hingga abad ke-20. Setelah perang dunia I, ketika daerah Palestina dikuasai Inggris dan akhirnya diserahkan pada kaum Yahudi untuk mendirikan negara Israel. Salahuddin juga berhasil mempertahankan Yerusalem dari serbuan prajurit Kristen pimpinan Richard “Si Hati Singa”. Richard mengepung Yerusalem dua kali, yaitu bulan Desember 1191 dan bulan Juni 1192. Namun Salahuddin mampu membuat Richard frustasi dan akhirnya kem-

bali ke Eropa tanpa pernah menyentuh tanah Yerusalem. Salahuddin meninggal pada 4 Maret 1193 di Damaskus. Para pengurus jenazahnya sempat terperangah karena ternyata Salahuddin tidak mempunyai harta. Ia hanya mempunyai selembar kain kafan lusuh yang selalu dibawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham Nasirian (mata uang Suriah waktu itu) di dalam kotak besinya. Ada dua kesan yang menyebabkan Salahuddin Al Ayubi dipandang sebagai kesatria sejati, baik oleh kawan maupun lawan. Pertama adalah soal kepiawaiannya dalam taktik pertempuran. Kedua tentang kesalehan dan sifat murah hati. Bulan Juli 1192, pasukan muslim menggerebek 12 tenda prajurit Kristen dalam perang salib, termasuk tenda Raja Richard I di luar benteng kota Jaffa. Richard yang terusik segera bangun dan bersiap bertempur. Richard berjalan kaki mengikuti pasukannya menyongsong musuh. Salahuddin yang melihatnya, berguman dengan tenang pada sau-ranya, Al-Malik al-Adil, “Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah, ambil dua kuda Arab dan berikan padanya. Katakan padanya, aku yang mengirimkan untuknya. Seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki.” Fragmen di atas dicatat sejarahwan Kristen dan muslim sebagai salah satu pencapaian tertinggi Salahuddin Al Ayubi sebagai seorang ksatria. Walau berada di atas angin, dia tetap menginginkan pertempuran yang adil bagi setiap musuhnya. Ketinggian budi pekerti Salahuddin seringkali menimbulkan rasa hormat para musuh terhadapnya. Salahuddin tidak membunuh musuh yang sudah tidak berdaya. Bahkan Salahuddin mengirimkan tim dokter muslim dan obat-obatan kepada Richard The Lion Heart ketika panglima perang itu terluka dalam pertempuran . Sikap ksatria terhadap panglima Lion Heart yang sudah terkapar di

Salahuddin Al Ayubi hadapannya mampu mencerminkan moralitas Islam yang sangat tinggi dalam diri seorang panglima muslim sejati. Salahuddin juga pantang berkhianat terhadap perjanjian genjatan senjata. Suatu hal yang sangat berlawanan dengan tradisi perang kaum salib Eropa. Ketika mereka berhasil merebut kota Yerusalem pada perang salib pertama pada tahun 1099. Ribuan orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab. Sebagai seorang panglima muslim yang ideal, di siang hari Salahuddin Al Ayubi bak singa yang siap menerkam musuhnya. Tapi di malam hari ia hanyalah seorang hamba yang penuh kekhusukan bersimpuh di hadapan Allah SWT. Berkat komando yang dipegang Salahuddin, dunia Arab dan Islam nyatanya pernah bersatu. Persatuan terbukti mampu mendatangkan kegemilangan dan musuh Islam kalah. Namun yang menjadi pertanyaan, mungkinkah akan muncul Salahuddin-Salahuddin lainnya di dunia Arab dan Islam yang mampu membangkitkan kejayaan Islam kembali, mempersatukan umat Islam dan memerangi musuh Islam yang selalu ingin menghancurkan agama yang mulia ini. Berakhirnya masa kolonialisme barat pada awal abad ke 20 sampai sekarang dunia Arab dan Islam terpecah belah. Kalau pahlawan besar Islam dan tokoh pemersatu bangsa Arab ini masih hidup, ia sangat sedih melihat kondisi umat Islam seperti sekarang ini. Nurhayati Baheramsyah/dari berbagai sumber

Memaknai Pergantian Tahun

Sunnah Lawan Bid’ah, Tauhid Lawan Syirik

Oleh Drs. H. As’ad Marlan, M.Ag

Oleh dr Arifin S. Siregar

Guru MAL IAIN SU dan Dosen Fak Tarbiyah IAIN SU

Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin

P

S

eredaran waktu terus bergulir, dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan ke bulan, tanpa terasa kita telah sampai pada satu putaran penuh, bulan Januari dan bersamaan dengan bulan Safar yang merupakan bulan kedua dari putaran bulan Hijriah tahun ini. Banyak saudara kita yang menjadikan bulan Masehi ini sebagai momentum, sehingga merayakan pergantian tahun merupakan suatu hal yang menjadi keharusan bahkan terkadang sampai keluar dari syariat Islam, mereka begadang semalam suntuk, pesta pora dengan maksiat dan lain sebagainya. Padahal Rasulullah SAW dan para sahabatnya serta para ulama terdahulu tidak pernah melakukan hal tersebut. Semestinya, dengan datangnya tahun baru ini kita banyak “bertafakur” untuk “bermuhasabah” atas bertambahnya umur berarti hakekatnya berkurang kesempatan untuk hidup dibumi Allah ini. Beruntunglah bagi kita yang diberi umur panjang oleh Allah dan dengan umur yang panjang itu dipergunakan untuk berbuat kebajikan demi kebahagiaan hidup di alam baqa kelak, Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik manusia ialah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”. (HR. At-Tirmizi). Jatah hidup kita belum tentu masih panjang dibanding umur yang telah kita lalui, mungkin tinggal sepuluh tahun lagi, atau mungkin lima tahun lagi atau bahkan tinggal satu tahun lagi atau satu bulan lagi, kita tidak tahu persis, semuanya itu hanya Allah yang Maha Mengetahui. Untuk itu dengan jatah hidup yang masih kita nikmati ini, marilah kita pergunakan untuk dapat menambah amal kebajikan demi meningkatkan kualiatas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Allah menciptakan kita hidup di muka bumi ini bukan untuk sia-sia. Tanpa tujuan yang jelas. Sebagaimana kita tahu bersama bahwa Allah menciptakan makhluk bernama manusia tiada lain hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu (beribadah kepadaKu)”. (QS. Az-Dzariyat: 56) Hidup di dunia ini sementara bukan kehidupan yang abadi atau kekal, dan dunia ini hanya merupakan persinggahan, yang tujuannya adalah kehidupan yang kekal abadi yaitu kehidupan akhirat. Allah SWT berfirman: “Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Al-A’la : 17). Berbahagialah kita, karena kita masih memperoleh kesempatan untuk memasuki tahun yang baru ini. Namun kita tidak boleh lengah dan lupa bahwa suatu saat Allah akan mengambil nyawa kita. Tahun baru ini hendaknya menjadi ajang koreksi bagi kita, merenung kembali amal usaha kita pada tahun lalu. Jika amalan kita jelek, maka kita harus bertekad bulat untuk memperbaiki amalan itu pada tahun ini. Jika pada tahun lalu amalan kita sudah baik, maka pada tahun yang baru ini kita harus berusaha untuk meningkatkan amalan kita menuju tingkat yang lebih baik. Dalam hal koreksi

diri ini Umar bin Khattab pernah berpesan: “Hisablah (koreksilah) dirimu sebelum kamu dikoreksi kelak oleh Allah SWT”. Banyak hal yang bisa kita lakukan dalam memaknai datangnya tahun baru ini diantaranya: Pertama, memperbanyak taubat kepada Allah. Adapun yang dimaksud dengan taubat disini bukan hanya sekedar diucapkan di lisan saja, tidak membekas di dalam hati sama sekali, bahkan tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Tetapi yang dimaksud dengan taubat adalah seperti yang dijelaskan oleh ar-Raghib al-Asfahani yaitu “Meminta ampun dengan disertai ucapan dan perbuatan dan bukan sekedar lisan semata”. Selanjutnya ar-Raghib mengatakan, taubat itu ialah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang lebih baik sebagai ganti. Jika keempat hal itu telah dipenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna. Sedangkan menurut Imam Nawawi, bertaubat dari segala dosa hukumnya adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka harus memenuhi tiga syarat. Pertama, orang yang bertaubat harus menjauhi maksiat. Kedua, ia harus menyesal perbuatan maksiatnya. Ketiga, dia berjanji kepada Allah tidak akan mengulanginya lagi. Jika salah satu syarat taubat tersebut tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat, yaitu ketiga syarat di atas ditambah satu, yaitu hendaknya ia memenuhi hak orang lain. Jika berupa harta benda maka ia harus mengembalikan, jika berupa had (hukuman) maka ia mesti memberikan kesempatan untuk membalas atau meminta maaf kepadanya dan jika berupa ghibah atau menggunjing, maka ia harus meminta maaf. Dalam hal taubat ini, Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (QS. At-Tahrim : 8). Kedua, Muraqabah. Kita seharusnya melakukan pendekatan diri kepada Allah SWT, dan selalu mengingat-Nya dalam setiap saat, sehingga tumbuh suatu keyakinan dalam diri sendiri, Allah senantiasa mengawasinya, melindunginya, memenuhi segala keperluannya, membimbing dan memberikan petunjuk. Keyakinan ini menumbuhkan dalam dirinya akan kebesaran, kekuasaan dan kemurahan Allah terhadap hamba-hambaNya. Allah SWT berfirman: “Dan Dia bersamamu dimana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid : 4) Maksud ayat tersebut, bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatan kita kapan saja dan dimana saja kita berada. Di darat maupun dilaut, pada waktu malam maupun siang. Dirumah kediaman kita, di tempat kerja kita, diruang tertutup maupun diruang terbuka. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu sembunyikan serta apa yang kamu pikirkan. Wallahu A’lam Bishshawab.

Jatah hidup kita belum tentu masih lebih panjang dibanding umur yang telah kita lalui,..

unnah adalah lawan dari bid’ah. Tauhid lawan dari syirik. Bila dikatakan Sunnah berarti itu amalan yang benar. Bila dikatakan Tauhid berarti itu keyakinan yang benar didalam rangka meng-Esakan Allah SWT. Kemudian bila dikatakan bid’ah itu berarti amalan sesat (Hadist). Bila dikatakan syirik berarti itu keyakinan penyekutuan Allah SWT (kafir). Kalau sudah dikatakan syirik apakah masih bisa dikatakan ada syirik yang hasanah ? Begitu juga bila sudah dikatakan Bid’ah adalah sesat, bagaimana bisa dikatakan ada bid’ah yang hasanah ? Pada hal Nabi SAW telah menetapkan (memproklamirkan): “Seburukburuknya perbuatan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan di neraka”. Anda mengatakan ada bid’ah hasanah, berarti anda tidak jujur atas kaidahkaidah atau ketetapan diatas yang sudah disepakati ulama. Kalaupun ada argumentasi, anda kemukakan sebagai dalil untuk menyatakan ada bid’ah yang hasanah, untuk itu dapat dibantah yaitu : Pertama : Ucapan Umar bin Khattab RA yang menyatakan: “membuat shalat taraweh menjadi jemaah itu, itu adalah bid’ah hasanah”. Adapun ucapan Umar RA itu bukan mengandung arti syariat (hukum), tapi hanya arti kamus, lugot (pemanis kata). Alasannya, dimana dimasa Nabi SAW sudah pernah ada shalat taraweh (shalat malam) berjemaah. Jadi berjemaah shalat taraweh yang dibuat Umar RA itu, bukan cara ibadah yang baru. Kedua : Mendokumentasikan Alquran pada kertas yang berbentuk kitab, itu bukan pekerjaan ibadah, tapi mashlahat murshalah (hal-hal masaalah dunia demi kepentingan umat = masaalah dunia = muamalah, bukan ibadah). Yang ibadah adalah membaca dan mempedomani Alquran, dimana terikat pada apa yang difirmankan Allah SWT. Kalaupun ada yang bersikeras, menulis Alquran itu ibadah, ketahuilah pada masa Nabi SAW juga “firman Allah” SWT telah ditulis di dinding, kulit onta, tulangtulang, dsb. Kemudian dizaman Nabi SAW, juga sudah pernah Nabi SAW memerintahkan sahabat menuliskan Alquran. Ketiga: Sunnah syaiyah, Sunnah hasanah.

Kalaupun ada Hadis yang didalamnya ada berbunyi : “Sunnah hasanah” dan “Sunnah saiyiyah” arti sunnah disini diartikan “cara” (bukan Sunnah arti syariat). Karena bila “Sunnah” diartikan dalam arti syariat, apakah ada Sunnah yang buruk ? Jadi kata “sunnah hasanah” disini tidak bisa dihubungkan menjadi ada bid’ah hasanah. Keempat : Kata “kullu” pada Hadis : Kullu bid’atin dholalah, wakulla dholalatin finnar. Bila kata kullu diartikan “sebagian” maka berarti hadis itu akan berbunyi : “sebagian bid’ah itu sesat dan sebagian yang sesat di neraka”. Maka ditanya yang sebagian lagi yang sesat dimana ? Apa di syorga ? Jadi argumentasi yang anda kemukakan itu batal untuk menegakkan adanya bid’ah hasanah. Sasaran Bid’ah : Mereka mengatakan syalawat pakai “syaidina” atau “shalat qabliyah Jum’at” itu bid’ah hasanah. Kalau begitu mana contoh bid’ah dholalah ? Anda mengatakan bid’ah dholalah adalah misalnya : membuat subuh jadi 3 rakaat atau shalat fardhu jadi 6 waktu. Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya : Al-I’tisham mengutarakan dalam pembahasannya : Membuat shalat subuh menjadi 3 rakaat atau shalat fardhu menjadi 6 waktu, itu bukan perbuatan bid’ah, tapi itu sudah terjerumus pada perbuatan haram atau maksiat, karena telah melanggar hukum (kaifiyat atau rukun) yang sudah jelas ada ditetapkan oleh Nabi SAW pada shalat subuh adalah 2 rakaat atau shalat fardhu 5 waktu. Dan perbuatan membuat shalat subuh 3 rakaat, bukan lagi perbuatan mengada-ada, (perbuatan yang dianggap bagus, menambah pahala, syiar), tapi sudah disadari perbuatan salah melanggar syariat, rukun dan kaipiyat shalat Subuh. Sehingga tidak akan mau ulama atau alangkah bodohnya ulama, kalau-kalau mau berbuat demikian. Adalah yang dikhawatirkan Nabi SAW terjadi pada ulama, adalah mereka akan mengada-ada (merobah, menambahnambah) pada Aqidah dan Ibadah hal-hal yang dianggap mendatangkan nilai kebaikan, syiar, memuja, menambah pahala, dsb, yang sebatas dianggapnya tidak melanggar syarat, wajib, rukun atau kaifiyat atas ibadah

Kita tidak mengecilkan, atau kita menghormati ulama yang membagi bid’ah atas 2 bagian, 3 bagian, 5 bagian. Tapi kita kita harus berpikir jujur, rasional, argumentative.. yang hukumnya telah ada ditetapkan. Maka oleh karena itu penam-bahan atau mengobahobah (bid’ah) ini terjadi hanya pada Ibadah yang bersifat sunat. Misalnya: menambah “syaidina” pada syalawat, meletakkan azan pada pemakaman mayat, tahlilan dikematian, shalat qabliyah Jum’at, dsb. Pada Ibadah yang sifatnya wajib, tidak mungkin berani ulama lakukan, karena disadari sudah melanggar hukum atau kaifiyat yang sudah jelas. Penyebabnya atay pendorongnya adalah karena ingin beribadah berlebih-lebihan berlandaskan nafsu (ghulwun). Inilah cikal bakal terjadinya bid’ah. Sehingga ada ulama Imam Syofyan Atsauri berkata: Begitu tergelincirnya atau mudah terpengaruhnya ulama berbuat bid’ah seperti yang diutarakan Imam Syofyan Atsauri: Syetan menangis datang melapor pada iblis karena gagal mengajak atau merayu ulama berbuat maksiat (mencuri, berzina, berjudi, dsb), tapi syetan datang tertawa seraya melapor pada iblis karena berhasil mengajak “ulama” membuat shalat qabliyah Jum’at, syaidina dalam syalawat, dsb. Karena dalam berbuat bid’ah, ulama merasa tidak melanggar rukun atau kaifiyat Ibadah. Untuk itu berakibat terjadilah bid’ah lebih buruk dari maksiat, karena seorang yang maksiat satu waktu ia akan tobat, karena ia sadar perbuatannya itu salah (haram), tapi seorang bid’ah tidak akan pernah tobat, karena dianggapnya perbuatannya itu baik sehingga dosanya terbawanya ke liang kubur. Hal ini diutarakan oleh Imam Syofyan Atsauri. (lihat kitab: “BAHAYA BID’AH DALAM ISLAM”, oleh: Syeikh Ali Mahfuzd). Ada yang berpendapat sebagai contoh “shalat qabliyah Jum’at” atau “syaidina” jangan dipermasaalahkan atau diperdebatkan, karena perbedaan pendapat itu masaalah furu’iyah atau khilafiyah. Bagaimana kita menganggap re-

meh, bila kita pedomani H.R Muslim : “Sesungguhnya bila seorang mengamalkan amalan yang tidak ada dalam ajaran kami (petunjuk kami), maka amalan itu tertolak. Ketahuilah bahwa “shalat qabliyah Jum’at” tidak ada dalam Sunnah (tidak ada petunjuk), maka ia tertolak (karena bid’ah atau sesat). Apakah ancaman Nabi SAW ini dianggap angin lalu saja ? Dimana Ibadah setiap hari dikerjakan. Berarti setiap hari kita menumpuk dosa/sesat seandainya itu ditakdirkan Allah SWT sesat. Apakah hal ini masih bernilai furu’iyah atau khilafiyah ? Dianggap sepele ? Ada yang menganggap “berdo’a berjemaah dengan suara keras selesai shalat fardhu” atau “shalat qabliyah jum’at” tidak bid’ah (sesat), karena bardo’a berjemaah atau shalat qabliyah itu ada hukum asal (adalah Sunnah berdo’a berjemaah, atau shalat qabliyah). Tapi untuk itu, disini ada lagi hukum yang membatalkan “hukum asal” yaitu hukum “harus ada contoh” atau “petunjuk” yaitu sesuai bunyi Hadis: “shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat” atau Hadis : “Sesungguhnya seseorang yang mengamalkan amalan (Ibadah yang tidak ada petunjuk Agama (Nabi SAW ), maka amalan itu tertolak”. Jadi penambahan do’a berjemaah pada Ibadah shalat fardhu yang tanpa contoh/petunjuk Nabi SAW, menjadilah bid’ah atau tertolak dan sesat. Kita tidak mengecilkan, atau kita menghormati ulama yang membagi bid’ah atas 2 bagian, 3 bagian, 5 bagian. Tapi kita kita harus berpikir jujur, rasional, argumentatif. Kita dapat membanding, mempertimbangkan mana pendapat-pendapat mujtahid itu yang benar sesuai kehendak Alquran, Sunnah dan rasional. Sifat taqlid harus dibuang, untuk memilih pendapat mana diantara mereka yang benar.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.