LONTAR April 2014

Page 1

iwulan Buletin Tr

nesia VECO Indo

#8 2014

K a yu M a n i s ,

Kekayaan Tersem bu n yi d i Peg u n u n g an Keri n ci

Muhajir LONTARFoto: - #8Anton - 2014

1


Dari Redaksi

Daftar Isi

Banyak Saluran

P

untuk Berbagi Informasi

embaca yang budiman. Februari la­ lu, kami mengadakan pelatihan In­ ternet dan publikasi untuk mitra kami di Kerinci, Jambi. Pelatihan empat hari itu diikuti delapan anggota dan pengurus kelompok Tani Sakti Alam Kerinci (Tak­ tik). Kegiatan serupa kami adakan tiap tahun di tempat berbeda. Misalnya pada tahun lalu di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tahun sebelumnya di Makassar untuk mitra di Sulawesi. Kami berusaha agar semua mitra kami di wila­

yah program makin terampil mengguna­ kan Internet sebagai sarana dan media berkomunikasi. Karena itu selama pelatihan kami tak hanya memberikan teori tapi juga prak­ tik. Komunikasi tak hanya soal wawasan tapi juga kebiasaan. Karena itu pula, jika organisasi Anda, para mitra VECO Indonesia, tertarik un­ tuk mengadakan pelatihan serupa, sila­ kan kabari kami. Agar Anda makin terampil menggunakan Internet dan in­ formasi terkait pertanian juga makin ter­ sedia di dunia maya. [Redaksi]

Many Channels

D

for Sharing Information

ear readers. Last February, we organised internet and publication training for your partners in Kerinci, Jambi. Attending this four­day training were eight members and managers of the Tani Sakti Alam Kerinci (Taktik) farmer group. We hold a similar event every year in a different location. For example, last year, the training was in Maumere, Flores, East Nusa Tenggara. And the year before that in Makassar, for partners in Sulawesi. We try to make sure that all our partners in the program

2

LONTAR - #8 - 2014

areas improve their skills in using the internet as a platform and media for communication. For that reason, our training is not just theoretical; it is practical, too. Communication is not only a matter of knowledge, but one of habit, as well. And so, if your organisation, VECO Indonesia partner, is interested in having this kind of training, please let us know. So you can become more skilled at using the internet, and so that there is more information about farming available in cyberspace. [Editor]

2 3 4

Dari Redaksi Editorial Reportase Kayu Manis, Kekayaan Rersembunyi di Pegunungan Kerinci

11 12 14 16 18 19 20

Organisasi Petani Kabar VECO Indonesia Kabar Mitra Kabar Internasional Profil Resensi Poster

LONTAR (n) daun pohon lontar ( Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi untuk menyampaikan informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilai lokal, sesuatu yang terus VECO Indonesia perjuangkan.

Tim Redaksi Penanggung jawab : Rogier Eijkens Redaksi : Imam Suharto, Anton Muhajir Kontributor : Staf dan Mitra VECO Indonesia Layout : Syamsul "Isul" Arifin Alamat Redaksi VECO Indonesia Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar Telp: 0361 - 7808264, 727378, Fax: 0361 - 723217 Email: admin@veco-indonesia.net, anton@veco-indonesia.net Website www.vecoindonesia.org Twitter @vecoindonesia

Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanian berkelanjutan terutama yang terkait dengan mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas. Materi publikasi ini dicetak menggunakan kertas daur ulang 50 persen sebagai komitmen VECO Indonesia pada ekologi


Editorial

Agar Kekayaan Tak Jadi Kutukan

B

Jika tak dikelola dengan baik, kekayaan bisa jadi malah berubah menjadi kutukan.

egitulah sering kali pikiran yang keluar ketika saya mengun­ jungi tempat­tempat terpencil di Indonesia. Begitu pula keti­ ka saya mengunjungi Kerinci, Jambi akhir Februari lalu. Daerah ini kaya karena kondisi alamnya. Berada di keting­ gian antara 500 – 3.800 meter di atas permukaan dengan ben­ tangan bukit terpanjang di Pulau Sumatera, Kerinci sangatlah kaya. Daerah ini menghasilkan kayu manis yang bahkan mele­ bihi kebutuhan dunia. Menurut beberapa sumber, kayu manis dari Kerinci menyumbang sekitar 70 persen pasokan di dunia. Dari kulit manis yang tersebar di lereng­lereng bukit, petani setempat bisa mendapatkan uang hingga puluhan juta tiap kali panen. Namun, sayangnya, panen ini hanya terjadi 10­15 tahun sekali. Selebihnya, petani membiarkan lahan di bawah rimbun pohon­pohon kayu manis tersebut menganggur. Hal serupa terjadi di banyak tempat di Indonesia. Petani manja karena toh tanpa harus diolah pun tanah sudah subur dan menghasilkan untuk mereka. Petani merasa sudah cukup tanpa harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa memperoleh hasil lebih banyak lagi. Padahal, tanah subur di mana kayu manis tersebut bisa memberikan hasil yang lebih banyak.

VECO Indonesia bersama mitra lokal di Jambi, Mitra Aksi, ingin agar petani tak terlena oleh kekayaan alamnya. Sejak Ja­ nuari 2013, VECO Indonesia dan Mitra Aksi mendampingi pe­ tani agar bisa meningkatkan pendapatan mereka dari tanah mereka sendiri. Pertama melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produk­ si kayu manis. VECO Indonesia mendorong dan mendampingi petani agar menerapkan Internal Control System (ICS) dalam produk mereka. Meskipun upaya ini baru dimulai, karena orga­ nisasi petani di sana juga relatif baru, namun saat ini petani mulai menerapkan sistem tersebut. Harapannya, jika kualitas produknya lebih baik, maka petani bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi pula. Kedua, upaya tersebut dilakukan melalui pemanfaatan la­ han di kebun kayu manis. Petani menanam tanaman selingan seperti cabai, tomat, maupun sayur lain secara organik. De­ ngan sistem intercroping ini, petani mengolah lahan yang sebe­ lumnya dibiarkan menganggur tidak produktif. Dengan demikian, petani pun akan tetap bekerja dan menghasilkan sembari menunggu kayu manis panen dengan hasil berlimpah. [Anton Muhajir]

Stopping Riches Becoming a Curse

T

If not managed properly, riches can actually become a curse.

hat's what I often think when I'm out visiting remote areas in Indonesia. And that's what crossed my mind when I visited Kerinci, Jambi, at the end of February. This region is rich thanks to nature. At a height of 500 ­ 3,800 metres above sea level, with the longest expanse of highland on Sumatra Island, Kerinci is very rich. This region produces even more cinnamon than the world needs. According to several sources, cinnamon from Kerinci accounts for around 70 percent of the world's supply. From the cinnamon that covers the hilly slopes, local farmers can earn tens of millions every harvest. But unfortunately, the harvest only happens once every 10­15 years. The rest of the time, the farmers just leave the ground in the shade of the cinnamon trees unused. The same is true in many places in Indonesia.

Farmers are spoiled because without them having to do anything, the fertile soils produce for them. Farmers feel that there is no point in working harder to be able to earn more. Even though the fertile soils on which this cinnamon grows could generate even more. VECO Indonesia and its local partner in Jambi, Mitra Aksi, want farmers to make the most of the natural riches. Since 2013, VECO Indonesia and Mitra Aksi have been supporting farmers in order to increase the incomes that they get from their own land. Firstly, by improving the quality and increasing the volume of cinnamon production. VECO Indonesia encourages and supports farmers to adopt the Internal Control System (ICS) for their products. Although this initiative has just begun, because farmer organisations there are relatively new, the farmers have already begun adopting this system. The expectation is that if the quality of their product improves, the farmers will be able to sell their cinnamon at a higher price. Secondly, this initiative involves making use of the land in the cinnamon gardens. Farmers practice multi­cropping, growing such crops as chilli peppers, tomatoes, and other vegetable organically. With this intercropping system, farmers work the land that had previously been left unproductive. And in that way, the farmers will continue to work and produce while waiting for the lucrative cinnamon harvest. [Anton Muhajir]

LONTAR - #8 - 2014

3


K a yu M a n i s ,

Kekayaan Tersem bu n yi

d i Peg u n u n g an Keri n ci

S u m b e r ke ka ya a n i tu te rs e m b u n yi d i l e re n g -l e re n g b u ki t m a u p u n g u n u n g d i Ke ri n c i , J a m b i . L e b a t n ya p o h o n - p o h o n d i h u t a n t r a d i s i o n a l i t u m e n y u m b a n g b e s a r b a g i p e n d a p a ta n p e ta n i s e te m p a t.

4

LONTAR - #8 - 2014

Foto足foto: Anton Muhajir Foto-Foto: VECO Indonesia


Reportase

B

egitu pula bagi Munir, petani di De­ sa Talang Kemuning, Kecamatan Bukit Kerman, Kerinci. Selama hampir 40 tahun, Munir menggantungkan hidup dan mendapatkan kekayaan dari kayu manis di lereng­lereng bukit Kerinci. Kini, dia tak hanya menjadi petani tapi juga pedagang kayu manis. Akhir Februari lalu, Munir memanen kayu manis di Bukit Pematang Panjang, yang berjarak sekitar 1 km dari desanya. Bukit ini bersama bukit­bukit lain di seki­ tarnya seperti Bukit Sungai Kering, Bukit Setangis, Bukit Patoh, dan Bukit Pulau Lebar, menjadi rumah bagi ribuan hektar kebun kayu manis yang lebih mirip hutan daripada kebun produktif. Bersama lima buruhnya, Munir sore itu memanen kayu manis yang sudah berumur lebih dari 30 tahun. Dia memo­ tong pohon­pohon setinggi kira­kira 10 meter tersebut, mengupas kulitnya satu per satu dan mengumpulkannya. Dua buruh Munir, Salman dan Ludri, melakukan hal sama. Memotong pohon kayu manis satu per satu kemudian me­ ngupas kulitnya. Berjarak sekitar 10 me­ ter dari dua buruh tersebut, dua buruh laki­laki dan satu perempuan, ikut me­ manen kayu manis tersebut. Dalam se­ hari, mereka bisa memotong 3­6 pohon tergantung dari besar kecilnya pohon. Dari satu pohon, mereka bisa menda­

patkan kira­kira 100 hingga 300 kg kulit manis basah. Kulit kayu manis itu kemudian diba­ wa turun ke tempat lebih luas dan la­ pang. Karena medan yang sulit, kemiringan bukit yang cukup tajam de­ ngan jalan kecil berlumpur, maka Munir menggunakan kerbau untuk mengangkut kulit manis basah tersebut. Proses selanjutnya, kulit kayu manis tersebut kemudian dikikis bagian paling luar kulitnya. Dua buruh lain melakukan­ nya di bawah tenda. Menggunakan pi­ sau, mereka mengikis kulit tersebut satu per satu sehingga warna kulit yang se­

Petani di Kerinci menjemur kulit manis untuk mendapatkan produk lebih berkualitas.

mula kusam abu­abu berubah jadi kuning keputihan. Kulit manis pun siap dijemur.

Mewah Untuk mendapatkan kayu manis siap jual, petani biasa menjemur hingga ka­ dar air hanya 30 persen. Menurut Munir, perbandingan antara kayu manis basah dengan yang sudah dijemur kira­kira 60­ 70 persen. Artinya, 1 kg kayu manis ba­ sah bisa jadi 0,6­0,7 kg. Harga kulit ma­ nis kering ini variatif, antara Rp 12.000 hingga Rp 14.500. “Tergantung siapa pembelinya,” kata Munir. Mari gunakan hitung­hitungan kasar untuk mendapatkan berapa rupiah yang diperoleh Munir sebagai petani sekaligus pedagang kayu manis. Dia membeli ke­ bun kayu manis secara tebasan, mem­ beli pohon di kebun meskipun belum tiba waktu panen. Untuk membeli sekitar 4 hektar kayu manis tersebut, dia meng­ habiskan Rp 350 juta. Menurut petani di sana, harga tersebut termasuk murah. Hasil akhir untuk semua lahan terse­ but, Munir mengaku memperoleh sekitar 150 ton kulit manis kering. Dengan per­ kiraan harga rata­rata kulit manis Rp 13.000 saja, berarti Munir bisa menda­ patkan sekitar Rp 1,95 miliar dari total lahan yang dipanen selama satu tahun tersebut. Jumlah ini belum dikurangi biaya

Ci n n am on , a Sou rce of

Riches for Kerinci Farmers

I

This source of wealth is hidden away on the slopes of hills and mountains in Kerinci, Jambi. The dense trees in the traditional forests there are a hidden source of wealth for local farmers.

ncluding Munir, a farmer in Talan Kemuning village in the Bukit Kerman subdistrict of Kerinci. For almost 40 years, Munir has lived off the riches of the cinnamon that grows on the hillsides of Kerinci. Now, he is not only a farmer, but also a cinnamon trader. At the end of February, Munir harvested cinnamon on Pematang Panjang Hill, which is around a kilometre from his village. This hill, like others in the area such as Sungai Kering, Setangis, Patoh and Pulau Lebar, is

home to thousands of hectares of cinnamon estate, which looks more like forest than productive estate. That evening, with his five workers, Munir was harvesting cinnamon that was more than 30 years old. He was felling the 10 or so metre tall trees, peeling the bark off one by one, and gathering it up. Two of Munir's workers, Salman and Ludri, were doing the same. Cutting down the cinnamon trees one by one and peeling off their bark. Around 10 metres away, three other workers – two

men and a woman – were helping with the cinnamon harvest. They can fell 3­6 trees a day, depending on their size. One tree, produces an estimated 100 kg ­ 300 kg of wet cinnamon. The cinnamon is then brought down to a more spacious area. Because the terrain is difficult, with steep slopes and narrow, muddy roads, Munir uses buffalo to transport the wet cinnamon. The next process is to scrape off the outer layer of bark. Two other workers do this in a tent. Using knives, they scrape

LONTAR - #8 - 2014

5


Reportase pun terkesan mewah meskipun berada di pedalaman Kerinci.

Buruh mengupas kulit manis dari pohonnya di Kerinci.

upah buruh dan lainnya. Namun, tetap saja nilai tersebut termasuk besar, lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Begitulah gambaran kekayaan warga Kerinci berasal dan berputar. “Kalau se­ lesai panen kulit manis, warga di sini bi­ sa langsung naik haji, membangun rumah, atau membeli mobil,” kata Mad­

ral, petani kayu manis di Desa Talang Kemuning. Secara fisik, kekayaan tersebut terli­ hat pada rumah­rumah petani setempat. Rumah panggung mereka ukurannya termasuk besar untuk ukuran petani di desa, rata­rata bisa sampai 300 meter persegi dan bertingkat. Bangunannya

the bark off until the dull grey turns to yellow and then whitish yellow. The cinnamon is then ready for drying.

And at an estimated price of IDR 13,000, Munir gets around IDR 1.95 billion from that year's harvest. This is before deducting workers' wages and other expenses. But even then, the figure is in excess of IDR 1 billion a year. That's the story of where the riches of the people of Kerinci. "After the cinnamon harvest, the people here go on pilgrimage, build houses, or buy cars," said Madral, a cinnamon farmer in Talang Kemuning village. The physical evidence of these riches in the local farmers' houses. Their stilt houses are large for rural farmers, covering on average 300 square metres and with several floors. They may be in rural Kerinci, but these are lavish looking buildings.

Lavish To produce cinnamon ready for sale, the farmers usually dry it until the water content is just 30 percent. According to Munir, the ratio of wet to dry cinnamon is around 60­70 percent. In other words, 1 kg of wet cinnamon produces 0.6­0.7 kg of dry. The price the dry cinnamon fetches varies from IDR 12,000 to IDR 14,500. "It depends who's buying it," said Munir. Let's do a rough calculation of how much Munir gets as a cinnamon farmer and trader. He buys the cinnamon wholesale by the hectare, before it is harvested. Around 4 hectares of cinnamon costs him IDR 350 million. According to local farmers, that's quite a low price. From that area of land, Munir says he gets around 150 tons of dry cinnamon.

6

LONTAR - #8 - 2014

Two Thirds Kerinci lies at a height of 500­3,800 metres above sea level. The cool temperatures range from 18 to 26

Dua Pertiga Kerinci berada di ketinggian antara 500 – 3.800 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Udaranya sejuk berkisar an­ tara 18 – 26 derajat Celcius. Topografi daerah ini berbukit­bukit dan beriklim tropis lembab. Kabupaten ini berada di semacam lembah yang terbentuk alami oleh Bukit Barisan, bukit terpanjang di Pulau Sumatera. Dengan kondisi alam tersebut, kabu­ paten di Jambi yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan Bengkulu ini menja­ di rumah bagi aneka kekayaan alam. Tak hanya komoditas perkebunan tapi juga lukisan­lukisan alam, seperti lembah, bukit, danau, gunung, dan semacamnya. Dua ikon terkenal di tempat ini adalah Gunung Kerinci, setinggi 3.805 meter dan Danau Kerinci seluas 4.200 hektar. Di lereng gunung dan bukit­bukit ini­ lah kekayaan bernama kayu manis itu berada. Komoditas ini menjadi hasil perkebunan utama kabupaten seluas 380.850 hektar ini. Menurut data Peme­ rintah Kabupaten Kerinci, produksi kayu manis Kerinci hingga 2012 lalu seba­ nyak 53.623 ton berupa kulit kayu yang sudah kering. Adapun luas lahan kayu manus di kabupaten ini seluas 40.962 degrees Celsius. The topography of this area is hilly, and the climate is wet tropical. This district lies in a valley naturally formed by the Barisan Hills, the longest hill range on Sumatera Island. With these natural conditions, this district in Jambi, which is bordered by West Sumatera and Bengkulu, is home to a store of natural riches. Not only estate commodities, but also the scenery – the valleys, hills, lakes and mountains. The area's two most famous landmarks are Mount Kerinci, at 3,805 metres, and 4,200­hectare Kerinci Lake. It is on the slopes of these mountains and hills that the riches called cinnamon grow. This commodity is this 380,850­ hectare district's main estate product. According to Kerinci district government data, in 2012 Kerinci's 40,962 hectares of cinnamon estate produced 53,623 tons of dried cinnamon. Of the estate commodities produced in Kerinci district, cinnamon accounts for the largest area of estate and the highest Foto-foto: Anton Muhajir


Reportase hektar. Di antara komoditas perkebunan lain di Kabupaten Kerinci, kayu manis men­ jadi komoditas dengan areal kebun terlu­ as dan jumlah produksi tertinggi. Di bawah komoditas kayu manis baru ada kopi robusta dengan lahan seluas 6.600 hektar dan jumlah produksi 3.919 ton serta teh seluas 2.625 hektar dan pro­ duksi 28.121 ton selama tahun 2012. Menurut pengalaman beberapa peta­ ni, mereka bisa mendapatkan sekitar 10 ton kayu manis kering dari tiap hektar la­ han. Karena itu, kayu manis tetap men­ jadi sumber pendapatan bagi petani. Apalagi komoditas ini menyumbang se­ kitar 70 persen pasokan kayu manis di dunia.

kayu manis bisa dicapai melalui pene­ rapan Internal Control System (ICS). Na­ mun, untuk itu terlebih petani harus berorganisasi terlebih dulu. Karena itu petani­petani Kerinci sepakat mendirikan organisasi Tani Sakti Alam Kerinci (Tak­ tik). Organisasi tani ini merupakan aktor penting sebagai pemasok kayu manis di wilayah Kerinci. Kelompok yang baru terbentuk tahun lalu ini meliputi lima de­ sa di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bukit Kerman dan Gunung Raya. Saat ini Taktik mempunyai anggota sekitar 502 petani yang sudah tergabung dalam program ICS. Melalui organisasi petani ini, petani berharap bisa menjual kayu manis seca­ ra langsung ke perusahaan­perusahaan eksportir kayu manis di Kerinci maupun Padang. Salah satunya Casia Coop, perusahaan eksportir kayu manis berpu­ sat di Belanda yang kini membuka kan­ tor di Kerinci. Meskipun demikian, petani masih menghadapi tantangan susahnya menjual kayu manis dengan harga sesuai keinginan mereka. []

Dukungan Sejak awal 2013, VECO Indonesia melaksanakan program dukungan bagi petani kayu manis di Kerinci. Program yang dilaksanakan bersama mitra lokal di Jambi, Mitra Aksi, ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas produksi petani setempat. Tak hanya un­ tuk komoditas kayu manis tapi juga ko­ moditas lain seperti cabai, tomat, sayur, dan lain­lain. Menurut Firman Supratman, Koordi­ nator Lapangan VECO Indonesia di Ke­ rinci, peningkatan kualitas dan kuantitas production volume. After cinnamon comes Robusta coffee, at 6,600 hectares and total production of 3,919 tons, followed by tea, at 2,625 hectares and total production of 28,121 tons, in 2012. According to several farmers, they can get around 10 tons of dry cinnamon from each hectare of land. That makes cinnamon their main source of income. And this commodity contributes around 70 percent of the world's supply of cinnamon.

Support Since early 2013, VECO Indonesia has been running a support program for cinnamon farmers in Kerinci. The program, which is implemented with local partner in Jambi, Mitra Aksi, aims to improve the quality and increase the volume of commodities the local farmers produce. Not only cinnamon, but also other commodities like chillies, tomatoes and vegetables. According to Firman Supratman,

Kerinci menyumbang sekitar 70 persen kayu manis dunia

After the cinnamon harvest, the people here go on pilgrimage, build houses, or buy cars," said Madral, a cinnamon farmer in Talang Kemuning village.

VECO Indonesia Field Coordinator in Kerinci, the quality and volume of

cinnamon can be increased by adopting the Internal Control System (ICS). However, to do this, the farmers must be organised first, which is why the Kerinci farmers agreed to set up the farmer organisation Tani Sakti Alam Kerinci (Taktik). As a cinnamon supplier in Kerinci, this farmer organisation is a key actor. The group, which was formed only last year, covers five villages in two subdistricts – Bukit Kerman and Gunung Raya. Currently, Taktik has around 502 farmer members who are involved in the ICS program. Through this farmer organisation, the farmers hope to be able to sell cinnamon directly to cinnamon exporters in Kerinci and Padang. One of these is Cassia Coop, a cinnamon exporter headquartered in the Netherlands, which has now opened an office in Kerinci. However, the farmers continue to face the challenge of getting the price they want for their cinnamon. []

LONTAR - #8 - 2014

7


Reportase

Tanaman Tumpang Sari

untuk Menambah Pendapatan

M

Bersama empat petani lain, Madral membuat pupuk organik di kebun. Petani di Desa Talang Kemuning, Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci itu menggunakan bahan-bahan dari sekitar kebunnya.

adral mencampur daun­daun ga­ mal, bunga matahari, batang pi­ sang yang sudah dicacah, mol, dan urine sapi dalam satu wadah gentong dari plastik. Dia lalu mengaduk semua bahan tersebut sebelum kemudian me­ nutup bahan pupuk organik tersebut agar nantinya siap digunakan. Setelah difermentasi selama tiga ha­ ri, pupuk pun kemudian siap digunakan. Hanya dengan modal sekitar Rp 500.000, Madral kini bisa memberikan pupuk untuk 700 meter persegi lahan kebunnya yang kini dia tanami cabai. “Padahal, ketika dulu masih pakai pupuk kimia bisa sampai habis tujuh juta (rupi­ ah),” kata Madral. Berjarak sekitar 500 meter dari tem­

8

LONTAR - #8 - 2014

pat dia membuat pupuk organik, Madral yang juga pegawai negeri sipil (PNS) itu menunjukkan kebunnya yang lain. Di la­ han seluas 1.600 meter tersebut, Madral baru panen tomat dua bulan lalu. Pada panen pertama, dia mendapat 18 ton. Pada panen kedua 12 ton. Kini dia se­ dang menyiapkan bibit lagi untuk tana­ man selanjutnya. Meskipun hasil panen masih sama antara pupuk kimia dan pupuk organik, Madral tetap merasa lebih beruntung. Alasannya, biaya produksi jauh di bawah sebelumnya. Dia memberikan contoh pada tanaman cabainya. Jika menggu­ nakan bahan­bahan kimia dia bisa menghabiskan

Rp 7 juta, kini cuma Rp 500.000. “Dari sisi tenaga memang lebih banyak, tapi pengeluaran jadi jauh lebih hemat,” tam­ bahnya. Tak hanya biaya produksi yang jauh lebih hemat. Menurut Madral, perubahan juga terjadi pada peningkatan kualitas tomat. Misalnya daya tahan buah tomat hasil panen. Dulu hanya tiga hari sudah busuk. Sekarang bisa 10­15 hari masih bagus. Keberhasilan Madral menggunakan bahan­bahan organik untuk bercocok ta­ nam mengundang lebih banyak petani untuk beralih ke bahan­bahan ramah


Reportase lingkungan. Sebelumnya, petani di dua kecamatan ini, Bukit Kerman dan Gu­ nung Raya, lebih sering menggunakan asupan kimia. Basril, petani lain di Kerinci menutur­ kan cerita serupa. Pada tahun 1995, dia memulai budi daya cabai di lahannya seluas 1.000 meter persegi. Dia pakai pupuk kimia seperti NPK dan urea. Mo­ dal untuk membeli pupuk, pestisida, dan bahan kimia lain itu sampai Rp 15 juta. Namun, hasil panennya ternyata rusak karena curah hujan yang terlalu tinggi. Sejak itu, Basril kapok tak mau lagi bercocok tanam cabai. “Modalnya besar tapi hasilnya tidak ada sama sekali,” ujarnya. Namun, kini Basril mulai berani men­ coba. Sejak 2013 lalu, dia bergabung dengan kelompok Tani Sakti Alam Kerin­ ci (Taktik), kelompok petani di Kerinci. Anggota Taktik berada di lima desa yaitu Talang Kemuning, Bintang Marak, Tan­ jung Syam, Selampaung, Sungai Ha­ ngat, dan Talang Kemuning. Lima desa ini tersebar di dua kecamatan, Gunung Raya dan Bukit Kerman. Bersama ratusan anggota Taktik lain­ nya, Basril belajar cara membuat pupuk

Anggota Taktik berdiskusi dengan petugas lapangan Mitra Aksi tentang pengelolaan tanaman tumpang sari.

organik maupun budi daya secara orga­ nik. Fasilitatornya dari Yayasan Mitra Ak­ si, mitra VECO Indonesia di Jambi. Parlan, pendamping petani dari Mitra Aksi, mengatakan dukungan untuk peta­ ni Kerinci bertujuan agar petani bisa me­ ningkatkan pendapatan. Selama ini, petani kurang mendapatkan hasil dari la­ han mereka. Menurut Parlan, hal ini karena tiga alasan. Pertama, karena petani kurang menguasai teknologi. Misal, cara pengo­ lahan tanah yang bagus. Kedua, teknis

penanaman juga asal­asalan. Misalnya jarak tanam atau penggunaan pupuk. Basril memberikan contoh, pupuk dasar untuk ternyata digunakan untuk buah. Alasan ketiga, kebun kayu manis mi­ lik petani setempat tidak diurus sehingga lebih mirip hutan daripada kebun. De­ ngan demikian, lahan di bawah pohon­ pohon kayu manis tidak bisa ditanami. Padahal, jika digunakan dengan baik, la­ han tersebut bisa menghasilkan tambah­ an pendapatan. Kayu manis sendiri termasuk tanam­

Multi-cropping to Boost Incomes

M

Along with four other farmers, Madral is making organic fertiliser in the garden. These farmers, in Talang Kemuning village, Bukit Kerman subdistrict, Kerinci, are making the compost using materials from their gardens.

adral is mixing gamal leaves, sunflowers, chopped banana stems, local micro­organisms, and cow urine in a plastic barrel. Then he stirs everything together and covers the organic fertiliser mixture, ready to be used in a few days. After fermenting for three days, the compost is ready. For an outlay of around IDR 500,000, Madral can now apply fertiliser to the 700 square metres of his garden that he is growing chillies on. "When I still used chemical fertiliser, it would cost me as much as seven million (rupiahs)," said Madral. About 500 metres from where he is making organic fertiliser, Madral – who is

also a civil servant – points out another of his gardens. From this 1,600 m2 plot of land, Madral harvested tomatoes two months ago. The first harvest, he got 18 tons. The second yielded 12 tons. Now he is raising seedlings for the next crop. Although the production volumes are the same, whether using chemical fertiliser or organic fertiliser, Madral still benefits. Because his production costs are far lower than they used to be. Using chemical fertiliser on his chillies, for example, would cost him IDR 7 million; now he spends just IDR 500,000. "It is more labour intensive, but my costs are much lower," he added. Not only are production costs lower.

According to Madral, this change has also improved the quality of the tomatoes. For example, the tomatoes produced have a longer shelf life. In the past, they would go rotten after three days. Now they last 10­15 days. Madral's success using organic inputs to farm has motivated other farmers to switch to environmental friendly inputs. In the past, farmers in these two subdistricts – Bukit Kerman and Gunung Raya – tended to use chemical inputs. Basril, another farmer in Kerinci has a similar story to tell. In 1995, he began growing chillies on a 1000m2 plot of land. He used chemical fertilisers like

LONTAR - #8 - 2014

9


Reportase an umur panjang. Pohon ini baru bisa di­ panen jika sudah berumur 10­15 tahun. Selama kurun waktu itu, petani tak pu­ nya pendapatan pasti. Pilihannya kemu­ dian mereka akan merantau ke luar desa atau bahkan luar negeri, seperti Malay­ sia. Jika pohon kayu manis sudah wak­ tunya dipanen, mereka baru kembali ke desa. “Karena itu, kita berusaha agar peta­ ni memanfaatkan lahan tersebut melalui tanaman selingan,” kata Firman Suprat­ man, Koordinator Lapangan VECO Indo­ nesia di Kerinci. VECO Indonesia mendorong petani agar mengolah lahan kebun kayu manis secara organik agar mereka mendapat­

kan tambahan pendapatan. Salah satu kegiatannya adalah sekolah lapangan di mana anggota Taktik belajar cara mem­ buat pupuk dan pestisida organik kemu­ dian diterapkan di lahan milik anggota, seperti Madral. Setelah percobaan berhasil, petani pemilik lahan percobaan ini secara tidak langsung menjadi corong. Apalagi mere­ ka juga belajar melalui kunjungan ke da­

erah lain tentang pertanian organik. Sejauh ini, perubahan cara produksi itu mulai terjadi. Satu per satu anggota Taktik mulai beralih ke pertanian organik. “Kami tidak hanya berubah dari pertani­ an nonorganik ke organik tapi juga mengubah pola pikir,” tambahnya. []

have not been getting the most out of their land. According to Parlan, there are three reasons for this. First, because the farmers are not familiar with technologies, such as proper soil management. Second, they lack knowledge of cultivation techniques, such as the appropriate distance between plants and use of fertiliser. Basril gives the example of base fertiliser being used for fruit. The third reason is the cinnamon estate that the local farmers own is not managed, so it looks more like forest than estate land. Likewise, the land under cinnamon trees is not cultivated. Even though, if used properly, this land could generate additional income. The cinnamon itself has a long growing period. The trees are ready to harvest when they are 10­15 years old. During that time, the farmers have no regular source of income. So they choose to find work outside the village, or even overseas, in countries like Malaysia. They return to the village only

when their cinnamon trees are ready for harvesting. "So that's why we're trying to get the farmers to practice multi­cropping and make use of this land," said Firman Supratman, VECO Indonesia Field Coordinator in Kerinci. VECO Indonesia encourages farmers to manage their cinnamon gardens organically to generate them extra income. One of its activities is field schools, at which Taktik members learn how to make organic fertiliser and pesticide and then apply them on their land, like Madral does. Following successful trials, the farmers who own this experimental plot did not become immediate converts. They also went on visits to other places to learn about organic farming. Production methods are starting to change. One by one, Taktik members are starting to switch to organic farming. "We are not only changing from non­organic to organic farming; we're changing mindsets, too," he added. []

Dengan membuat pupuk organik, petani mengurangi jumlah biaya produksi.

NPK and urea. His outlay on fertiliser, pesticide and other chemical inputs was IDR 15 million. But his harvest failed due to excessive rainfall. Since then, Basril hasn't bothered to grow chillies again. "The investment was huge, but it produced nothing at all," he said. But now Basril has the confidence to start experimenting. Since 2013, he has been a member of Tani Sakti Alam Kerinci (Taktik), a farmer group in Kerinci. Taktik members live in five villages – Talang Kemuning, Bintang Marak, Tanjung Syam, Selampaung, Sungai Hangat, and Talang Kemuning – in two subdistricts (Gunung Raya and Bukit Kerman). Along with hundreds of other Taktik members, Basril learned how to make organic fertiliser and farm organically. Their facilitator is from Yayasan Mitra Aksi, VECO Indonesia partner in Jambi. Parlan, farmer support from Mitra Aksi, says that the support for Kerinci farmers aims to enable the farmers to increase their incomes. Until now, the farmers

10

LONTAR - #8 - 2014


Organisasi Petani

Koperasi Tani Masagena

Agar Petani Berjaya

K

Foto: Bert Wallyn

Masagena merupakan koperasi tani (Koptan) di Desa Pongo, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sejak 1 0 Oktober 2007 Koptan Masagena telah memiliki badan hukum tetap.

optan Masagena berawal dari inisa­ tif beberapa pengurus kelompok ta­ ni Bulo. Saat itu jumlah anggota hanya 25 orang. Sampai tahun 2006 Masagena sudah membawahi tiga kelompok tani yaitu Bulo, Toddo Puli dan Bulo 1. Jum­ lah anggota Koptan Masagena terus bertambah dari 59 orang pada tahun 2007 menjadi 116 pada tahun 2013. Kegiatan koptan Masagena saat itu misalnya praktik perkebunan yang baik. Kegiatan ini di bawah bimbingan PT Mars Symbioscience lewat program pri­ ma cocoa project bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dis­ hutbun) Luwu Utara. Masagena juga melaksanakan kegiatan peremajaan ta­ naman kakao lewat program gernas di lahan seluas 350 ha di Kecamatan Ma­ samba. Pada tahun 2008, Masagena bekerja sama dengan Dishutbun, melakukan ke­ giatan fermentasi biji kakao untuk mela­ kukan penjualan bersama kepada PT Armajaro. Kemudian sejak tahun 2009 Masagena menjadi pengecer resmi pu­ puk bersubsidi untuk Kecamatan Ma­ samba. Sejak 2012, Koptan Masagena be­ kerja sama dengan VECO Indonesia dan Wasiat sebagai pendampingan dalam pengembangan kelembagaan koperasi

tani. Tujuan program ini untuk mening­ katkan sumber daya manusia (SDM) anggota dalam hal kesadaran terhadap organisasi dan budi daya tanaman ka­ kao, mendapatkan pembinaan manaje­ men dan administrasi koperasi, dan membantu peluang bisnis. Program ini juga bertujuan untuk memfasilitasi koperasi untuk mendapat­ kan dana penguatan kelembagaan baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Masagena juga membuat demplot seba­ gai tempat percontohan bagi anggota dalam hal budidaya kakao. Pengurus tetap Koptan Masagena periode 2014 adalah Ketua H. Kamalud­ din, Sekretaris Mirna Juhari, Bendahara Roslina, dan Manager Program Ayu An­ tariksa. Beberapa unit usaha yang dija­ lankan yaitu sarana produksi, budi daya kakao, dan pemasaran. Masagena me­ ngembangkan unit usaha sertifikasi de­ ngan model outsourching di mana CV Marewa merupakan pemegang sertifikat dari Rainforest Alliance (RA). Marewa memiliki staf­staf internal control system (ICS) andal untuk pembi­ naan kelompok tani dalam memenuhi standar sertifikasi. Mereka tersebar di empat kecamatan meliputi Kecamatan Masamba, Baebunta, Sabbang, dan Ma­ langke. Rata­rata luas lahan yang mee­

ka antara 1­2 ha dengan jumlah petani sampai saat ini 1.074 petani. Komoditas utama anggota Koptan Masagena yaitu kakao dengan jumlah produksi per tahunnya rata­rata 840 kg/hektar. Luas lahan yang dikelola ang­ gota koptan Masagena melalui CV Ma­ rewa 45 yaitu 1.307,33 hektar, dengan jumlah produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain memberikan dana program, VECO Indonesia bersama WASIAT juga melakukan pendampingan dalam mem­ bangun kelembagaan koperasi, pengu­ atan kapasitas petani, pengembangkan organisasi petani, bagaimana petani bisa meningkatkan kualitas produksi hingga aspek pemasaran bersama. Pencapaian terpenting dari program dukungan VECO Indonesia terhadap Masagena saat ini, yaitu koptan Masa­ gena telah berhasil melakukan sertifikasi untuk seluruh areal milik anggotanya di empat kecamatan. VECO Indonesia juga telah memfasilitasi Koptan Masagena agar dapat berhubungan langsung de­ ngan pihak pembeli yaitu PT Mars untuk pemasaran biji kakao. Dalam hal ini CV Marewa sebagai unit Usaha Masagena. [Syarifuddin Taba, Pelaksana Lapangan Rantai Kakao di Sulawesi VECO Indo­ nesia]

LONTAR - #8 - 2014

11


Kabar VECO Indonesia

Empat Staf Baru di VECO Indonesia

T

ahun baru adalah bertambahnya staf baru bagi VECO Indonesia. Pada awal tahun ini, VECO Indonesia menambah empat staf baru. Mereka adalah Wayan Adiana (Manajer Keuangan), Catur Utami Dewi (Koordinator Learning & Monev), Ri­ niaty Liku Bulawan (Petugas Lapangan Kopi Sulawesi), dan Julia­ nus Arnoldus Yansen Meko (Petugas Lapangan Beras). Empat staf ini melengkapi 17 staf lain di VECO Indonesia. Adiana sebe­ lumnya bekerja di VSO Indonesia. Dewi pernah bekerja di Satunama, LSM yang berkantor di Yogyakarta. Rini pernah bekerja di Yayasan Jaya Lestari Desa (Jalesa) mitra VECO In­ donesia di Toraja. Adapun Yansen pernah menjadi staf lapangan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Foto­foto: VECO Indonesia (KRKP) dalam program Desa Mandiri Pangan Desa Sejahtera. Selain empat staf baru tersebut, VECO Indonesia juga melepaskan dua staf yaitu Slamet Pribadi, Manajer Keuangan, dan Hery Christanto, Koordinator Learning dan Monev.

Pembukaan Kantor Baru di Ende, Flores

G

untingan pita oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) menandai resminya kantor la­ pangan baru VECO Indonesia di Ende, Pulau Flores, NTT. Kantor yang diresmikan pada pertengah­ an Februari lalu ini menggantikan dua kantor lama di dua lokasi Flo­ res yaitu di Maumere untuk wila­ yah kerja NTT 2 dan Ruteng untuk wilayah kerja NTT 1. Selain meresmikan, Gubernur NTT Frans Lebu Raya juga me­ ngunjungi kantor baru di Ende ter­ sebut. Bersama Regional Representative VECO Indonesia Rogier Eijkens Gubernur juga me­ nanam pohon sukun di depan kantor lapangan tersebut. Acara diikuti seluruh bupati di Flores. Dalam sambutannya, Guber­ nur berharap, kehadiran VECO Indonesia bisa membantu petani untuk menaikkan posisi tawar mereka dalam pema­ saran. Harapan ini diwujudkan VECO Indonesia melalui program pendampingan di Flores untuk tiga komoditas yaitu beras sehat, kakao, dan kopi.

12

LONTAR - #8 - 2014


Kabar VECO Indonesia

Pertemuan Regional FAO di Bali

V

ECO Indonesia menjadi pelaksana pertemuan regional FAO tentang Regional Rice Initiative di Sanur, Bali awal April lalu. Kegiatan pada 3­5 April ini diikuti petani dari tiga negara yaitu Indonesia, Filipina, dan Laos. Peserta mendiskusikan contoh­contoh cerita sukses pertanian berkelanjutan. Rogier Eijkens, Regional Representative VECO Indonesia memaparkan contoh keberhasilan mitra VECO Indonesia di Appoli. Menurut Rogier, organisasi petani mitra VECO Indonesia telah berperan untuk membangun kapasitas, mengawasi, dan memberi masukan terhadap anggotanya terkait dengan penerapan ICS serta memasarkan produk beras organik dan beras sehat ke para pembeli baik domestik maupun internasional.

Kejuaraan Latte Art dan Cup Tasters di Bali

V

ECO Indonesia menjadi salah satu sponsor dalam kejuaraan pertama untuk para penghobi kopi, Indonesia Latte Art Championship (ILAC) dan Indonesia Cup Tasters Championship (ICTC). Kedua lom­ ba ini diadakan di Nusa Dua, Bali pada awal Maret lalu bersamaan dengan acara Pameran Food and Hotel Tourism di tempat yang sa­ ma. Kejuaraan selama empat hari tersebut diadakan oleh Asosiasi Kopi Specialty Indonesia (AKSI). AKSI merupakan salah satu pihak swasta yang bermitra dengan VE­ CO Indonesia terutama dalam pro­ gram pemasaran dan pengolahan komoditas kopi. Sebelumnya, AKSI Foto: Asosiasi Kopi Specialty Indonesia (AKSI) turut serta dalam pertemuan ta­ hunan mitra VECO Indonesia di Surabaya, pameran dalam rangka penanda tanganan kerja sama VECO Indonesia dan pemerintah Indonesia, dan lain­lain. ILAC dan ICTC merupakan kegiatan yang pertama kali digelar AKSI. Menurut Veronica Herlina, Koordinator AKSI, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para pecinta kopi Indonesia agar setara dengan keahlian pecin­ ta kopi internasional.

LONTAR - #8 - 2014

13


Kabar Mitra

Kunjungan Belajar ke Boyolali dan Tasikmalaya

M

itra VECO Indonesia di Mbay, Kabupaten Nage­ keo, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan kunjungan belajar ke petani di Jawa. Kegiatan pada 24 – 28 Februari tersebut diikuti anggota Asosiasi Petani Organik Mbay (ATOM), staf Yayasan Mitra Tani Mandiri, dan pemerintah da­ erah Kabupaten Nagekeo. Kun­ jungan itu menjadi sarana bagi petani untuk belajar dan mem­ perkuat organisasi petaninya. Lokasi kunjungan belajar adalah wilayah program pe­ ngembangan rantai padi organik di Boyolali, Jawa Tengah dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Wila­ yah tersebut dipilih karena kerja Foto­foto: VECO Indonesia sama bisnis organisasi petani dengan pembeli beras sudah berkembang bahkan sudah diekspor melalui kerja sama dengan PT. Bloom Agro. Petani di dua wila­ yah ini juga banyak melakukan perbaikan produktivitas dan kualitas padi dengan pola pertanian organik maupun penerapan Inter­ nal Control System (ICS). [Yansen Meko, Pelaksana Lapangan VECO Indonesia di Mbay]

Membawa Kehangatan ke Negeri Dingin

P

aviliun Kedutaan Indo­ nesia di The Reiseliv­ messen Exhibition di Oslo pada 10­12 Januari dipe­ nuhi kehangatan produk komunitas. Selama tiga hari, aneka produk komu­ nitas seperti Kopi Toraja, Kopi Manggarai, Kopi Ba­ jawa, dan Kayu Manis dari petani mitra VECO Indone­ sia mencuri perhatian, in­ dra penciuman dan pencecap pengunjung pa­ meran. The Reiselivmessen merupakan pameran turis­ me terbesar di Norwegia. Tahun ini, Kedutaan Indo­ nesia di Oslo, bekerja sa­ Foto: Perkumpulan Indonesia Berseru ma dengan sejumlah organisasi termasuk Perkumpulan Indonesia Berseru. Sehari setelah pameran, Kedutaan memfasilitasi diskusi dengan pihak bisnis dan lembaga­lembaga yang tertarik untuk menggali potensi pariwisata dan produk komunitas. Dua kegiatan ini, merupakan langkah awal memperkenalkan produk komunitas yang berkualitas ke wilayah Skandinavia. [Ida Pardosi, Perkumpulan Indonesia Berseru]

14

LONTAR - #8 - 2014


Kabar Mitra

Pelatihan Pelatih Sistem Pengawasan Internal

M

itra VECO Indonesia di Jambi yaitu Mitra Aksi dan Tani Sakti Alam Kerinci (Taktik) mengikuti pelatihan untuk pelatih Sistem Penga­ wasan Internal (ICS). Selain dari Mitra Aksi dan Taktik, ke­ giatan selama tiga hari, 5­7 Maret, ini diikuti staf PT Cas­ sia Coop dan VECO Indone­ sia. Pelatihan difasilitasi Imam Suharto, Manajer Pro­ gram VECO Indonesia, dan Etih Suryatin, Konsultan In­ dependen. Selama pelatihan di kan­ tor lapangan Mitra Aksi ini, peserta belajar untuk ICS serta standar mutu Rainforest Alliance dan organik. Peserta juga diharapkan bisa mening­ katkan pengetahuan dan keterampilan untuk bisa memberikan pelatihan pada petani peserta program pengembangan Kayu Manis Lestari yang mengacu pada standar RA dan organic EU dan NOP (USDA). [Firman Supratman, Koordina­ tor Lapangan VECO Indonesia di Jambi]

Belajar tentang Sekolah Bisnis Pertanian

M

itra VECO Indonesia dari lima lokasi program yaitu Sulawesi, Flores, Jawa, Jakarta, dan Kerinci mengikuti pelatihan sekolah bisnis pertanian (FBS). Kegiatan yang diadakan di Yogyakarta pada 23­24 Maret 2014 ini diikuti 20 orang termasuk staf VECO Indonesia. Sekolah Bisnis Pertanian (FBS) merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan petani produsen tentang pasar dan pemasaran.

Selama pelatihan, para peserta belajar antara lain tentang pemahamaman dan penyiapan pelatihan FBS untuk di tingkat petani dan mampu menyampaikan materi pelatihan sesuai dengan silabus pelatihan yang disiapkan VECO Indonesia. Selain itu, peserta juga menyempurnakan silabus sesuai dengan kebutuhan petani dampingan masing­masing.

LONTAR - #8 - 2014

15


Kabar Internasional

Bangkitnya Kembali

Sektor Kopi di Kongo

Pengamatan sekilas di kantor Badan Kopi Nasional Kongo (ONC) menyatakan banyak hal. Produksi kopi di Kongo mencapai sekitar 63.000 ton sementara ekspor resmi pada 201 2 hanya 9.1 80 ton dan pada 201 3 hanya 8.1 67 ton. Rakyat Kongo tidak terlalu suka minum kopi. Jadi, ke mana larinya kopi-kopi tersebut?

S

emua tahu kopi Kongo dalam jum­ lah sangat besar selalu diselundup­ kan ke negara tetangga untuk kemudian diklaim sebagai produksi negara terse­ but. Petani kopi di Kongo Timur terjerat oleh tengkulak. Kualitas kopi mereka ju­ ga tak dihargai. Maka, tak usah heran ji­ ka ekspor resmi kopi Kongo turun drastis dari sekitar 130 ribu ton pada pertengah­ an 1980­an hanya menjadi sekitar 6 per­ sen saat ini. Berangkat dari fakta tersebut, VECO Kongo meluncurkan program dengan tu­ juan ambisius. Dengan dukungan Com­ mon Fund for Commodities (CFC), International Coffee Organisation, peme­ rintahan Belgia melalui DGD dan organi­ sasi Belanda Cordaid, program tersebut akan dilaksanakan selama empat tahun hingga 2017 mendatang. Ambisi tersebut berusaha diwujudkan

16

LONTAR - #8 - 2014

Foto­foto: VECO Kongo

melalui pembangunan kapasitas petani untuk memproduksi kopi dan terhubung dengan pasar dunia. Program ini merupakan pengem­ bangan dari konsep yang sudah dilaksa­ nakan pada fase 2013. Selama fase percobaan, program telah mencoba kon­ sep tempat pengolahan kopi, micro­ washing station (MWS) yang didesain Andy Carlton, ahli koperasi petani kopi kecil yang berpengalaman lebih dari 20 tahun di Rwanda, Malawi, Burundi, Tan­ zania, dan Uganda. Hasilnya, 17 MWS yang diproduksi pertama akan segera dioperasikan. Setiap MWS dimililiki satu kelompok

yang terdiri dari minimal 100 petani kopi. Masing­masing petani menyumbang 50 dolar. Karena biaya pembuatan tempat pengolahan tersebut sekitar 1.000 dolar, maka 5.000 dolar lain akan diganti de­ ngan bahan­bahan bangunan seperti atap anti­UV, mesin pencacah, dan lain­ lain. Pengelola dari setiap unit pengola­ han turut serta dalam lokakarya metode pengolahan kopi berkualitas tinggi, di mana manualnya dibuat oleh mereka sendiri. Manual tersebut bisa dimengerti setiap orang termasuk yang tidak bisa baca tulis sekalipun. Secara bersama­ sama mereka mendesain format mana­ jemen transparan untuk anggota. Mere­ ka kemudian mencetak dan menyebarkan manual tersebut ke selu­ ruh anggota. Semua unit pengolahan dan area produksi akan bersama­sama memben­ tuk koperasi pemasaran kopi. Tempat pengolahan kopi berkualitas tinggi akan menarik pembeli kopi spesial dari selu­ ruh dunia sehingga membuat kopi Kongo terkenal di pasar dunia. [Ivan Godfroid, Perwakilan Regional VECO Kongo]


Kabar Internasional

Pada 1 2-1 3 Februari, sekitar 60 perusahaan, LSM, akademisi, dan ahli dari berbagai penjuru dunia berkumpul dalam sebuah lokakarya di Amsterdam, Belanda. Mereka mendiskusikan bagaimana mewujudkan keterlibatan petani kecil alam jangka panjang dalam bisnis, pemasaran modern. Foto: Vredeseilanden

V

Pengalaman Kolaborasi Petani dan Pihak Swasta

redeseilanden terlibat dalam diskusi tersebut. Kami membagi pengalam­ an bekerja sama dengan Colruyt dan belajar banyak bagaimana perusahaan­ perusahaan membayangkan tantangan untuk membeli produk dari petani kecil. “Kami memulai proyek percobaan untuk melibatkan petani kecil di Peru agar memasok selada dan tomat untuk Mc Donalds,” kata Leonardo Correa de Souza Lima dari Arcos Dourados, peme­ gang cabang McD di Amerika Latin. “Tentu saja McD membutuhkan pasokan yang sangat banyak. Karena itu akan ja­ di tantangan besar untuk melibatkan pe­ tani kecil. Tapi, saat ini kami senang karena melihat sejauh ini percobaan ter­ sebut berhasil,” Correa melanjutkan. Bersama LSM Yayasan Syngenta, petani dilatih cara memproduksi karena mereka tidak mengetahui standar kuali­ tas McD, produksi mereka tidak cukup banyak, memerika kurang berpengalam­ an dengan tempat budi daya (green ho­ use), tak ada pengalaman pemasaran, dan ada ketidakpercayaan sesama peta­ ni. Namun, setelah dua tahun berjalan, petani sukses memasok sayur dan tomat ke McD sehingga pendapatan mereka naik hingga 177 persen. Arcos Durados sekarang merenca­ nakan membuat program serupa di ne­ gara­negara Amerika Latin. Dengan contoh tersebut, diskusi berlanjut ten­

tang bagaimana organisasi petani, pihak swasta, dan LSM bisa berkolaborasi ser­ ta bagaimana memperluas keberhasilan itu ke tingkat lebih struktural. LSM lain yang presentasi adalah Catholic Relief Services (CRS). LSM ini

Namun, bagi kami hal itu sangat menghemat pengeluaran karena transportasi berkurang sekaligus menjaga keberlangsungan pasokan dalam jangka panjang. Kami jadi tidak terlalu tergantung pada pasar yang labil

membagi pengalaman kelompok tani mitra mereka yang bekerja sama dengan perusahaan cokelat Ritter serta petani sayur dan buah­buahan yang menjual produk mereka ke Walmart. “Kami meli­ hat kebutuhan untuk bekerja sama de­ ngan pihak swasta agar misi kami tercapai, pendapatan yang lebih baik de­ ngan petani. Dan kami melihat ada jalan tengah melalui diskusi rutin,” kata Jeffer­ son Shriver dari CRS. Hal serupa juga dilaksanakan Vredeseilanden. Perusahaan Heineken bercerita ten­ tang kebijakan lelang lokal mereka di Af­ rika. Sebelum 2020 mereka ingin membeli 60 persen produk lokal seperti beras, sorgum, dan singkong untuk pembuatan bir di pasar Afrika. “Ini sa­ ngat susah dan makan waktu,” kata Paul Stanger dari Heineken. “Namun, bagi kami hal itu sangat menghemat pengelu­ aran karena transportasi berkurang se­ kaligus menjaga keberlangsungan pasokan dalam jangka panjang. Kami ja­ di tidak terlalu tergantung pada pasar yang labil,” tambahnya. Cara itu menurunkan beban ekologis dan menaikkan pendapatan petani seca­ ra signifikan. Sebagai contoh di Kongo, kami telah menjangkau 57.000 keluarga petani sejak 2009 dan rata­rata produksi petani meningkat sekitar 42 persen sela­ in juga pendapatan mereka. [Saartje Bo­ utsen, Vredeseilanden]

LONTAR - #8 - 2014

17


Profil

Meskipun baru setahun bergabung dengan Perhimpunan Petani Watu Ata (Permata), Marselina Walu Wajamala sudah dipercaya mendapatkan posisi penting dalam organisasi petani tersebut. Saat ini, petani di Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut menjadi Koordinator Divisi Pemasaran Permata.

S

Marselina Terus Berjuang Memasarkan Kopi Bajawa

Foto: VECO Indonesia

Begitu pula bagi Marselina. Dia kini menerapkan semua ebagai Koordinator Divisi Pemasaran, Marselina bertang­ metode pertanian organik seperti penggunaan pupuk organik gung jawab untuk mengoordinir pemasaran bersama kopi cair maupun padat yang dibuat bersama anggota kelompok. anggota Permata. Untuk itu, dia harus berhubungan dengan Dia pun menerapkan pemangkasan agar buah lebih lebat dan pembeli dan melakukan negoisasi terutama soal harga. “Kami harus mengurusi kopi dari kebun sampai pasar,” kata Marseli­ besar. na. Karena kerja keras para pengurus dan Radabata termasuk salah satu desa di mana anggotanya, petani kopi di Watu Ata kini petani anggota Permata berada. Seperti desa la­ mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. in di kawasan pegunungan Pulau Flores bagian Marselina memberikan contoh petani kini lebih tengah, Watu Ata merupakan sentra produksi berminat terhadap pertanian organik dari se­ Kami berusaha mula tergantung pada bahan­bahan kimia atau kopi baik arabika maupun robusta. Anggota Per­ mata tersebar di dua kecamatan yaitu Golewa untuk meningkatkan asupan luar yang tinggi. Kini mereka bisa memproduksi pupuk dan pestisida organik dan Bajawa. Dengan sekitar 9.500 petani kopi, mutu kopi agar sendiri. Kabupaten Ngada menghasilkan kurang lebih memenuhi “Perawatan kebun kopi pun kini lebih ba­ 300 ton kopi Arabika Flores Bajawa (AFB) tiap musim panen. permintaan pasar gus,” tambah Marselina yang juga Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Radab­ Namun, petani di sini masih menghadapi tan­ ata ini. tangan dalam pemasaran. Untuk itulah, Marseli­ Difasilitasi Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat na bersama pengurus maupun anggota Permata lain berusaha Sipil (Lapmas), mitra VECO Indonesia di Ngada, Permata pun untuk melakukan pemasaran bersama. bisa menjual langsung kopi tersebut ke pengusaha, tidak lagi “Kami berusaha untuk meningkatkan mutu kopi agar me­ menuhi permintaan pasar,” tambah perempuan kelahiran 10 lewat tengkulak. Harganya pun bisa lebih tinggi. Jika ke teng­ Maret 1976 ini. kulak hanya Rp 16.000 hingga Rp 17.000, kini mereka bisa Untuk meningkatan mutu kopi, anggota Permata pun bera­ mendapatkan harga Rp 24.000 per kg. Meskipun masih meng­ lih ke pertanian organik. Mereka menggunakan metode­metode hadapi banyak tantangan, termasuk sistem pembayaran yang alami agar selain terhindar dari bahan­bahan kimia juga mutu belum memuaskan bagi petani, setidaknya petani kini memiliki lebih baik dan jumlah produksi lebih banyak. Sekolah Lapang harapan lebih baik. (SL) merupakan metode penting bagi petani untuk belajar per­ “Semoga perubahan ke arah lebih baik ini terus berlanjut,” tanian organik tersebut. harap Marselina, ibu satu anak ini.

18

LONTAR - #8 - 2014

Foto- Foto: VE CO

Ind on es ia


Resensi

Rujukan Lengkap Budi Daya dan Pengolahan Kopi

I

ndonesia produsen kopi ter­ besar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Menurut FAO, pada tahun 2012, Indo­ nesia menghasilkan 657.200 ton di bawah Brazil 3.037.534 ton dan Vietnam 1.292.389 ton pada tahun yang sama. Kare­ na itulah, Indonesia terus beru­ saha untuk meningkatkan produksi kopi, komoditas inter­ nasional tersebut. Selain melalui perluasan area, peningkatan produksi di­ lakukan pula peningkatan kua­ litas budi daya. Hal ini perlu dilakukan karena budi daya kopi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara amatir dan tradisional. Untuk itu, buku ini penting sebagai referensi. Buku karya Ahli Peneliti Muda di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao ini bisa membantu petani memperoleh informasi teknologi budi daya dan pengolahan kopi. Buku setebal 212 halaman ini membahas

teknik budi daya kopi hingga pemasaran. Pada dasarnya, 13 bab dalam buku ini bisa disarikan dalam tiga topik besar yaitu sejarah dan perkembangan kopi di dunia, teknik budi daya, serta penanganan pascapanen, termasuk analisis usaha. Karena itu, materi buku ini lengkap dari A hing­ ga Z terkait kopi. Misalnya, Bab 1 tentang sejarah kopi, Bab 2 membahas pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi, bab 10 tentang pemeliharaan tanaman kopi, dan bab 11 ten­ tang panen dan pascapanen kopi. Selain dalam bentuk teoritis, buku ini pun disertai materi­ materi praktis dan teknis. Dengan gaya penulisan yang ringan dan gambar­gambar maupun ilustrasi di dalamnya, buku ini mudah dipahami oleh petani awam sekali pun. Namun, buku ini perlu dibaca tak hanya oleh petani tapi juga peneliti dan pen­ damping petani.

Judul

: Kopi, Panduan Budi daya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta Penulis : Pudji Rahardjo Penerbit : Penebar Swadaya, 2012 Tebal : iv + 212 halaman ISBN : 978­979­002­536­3

Mengenal Sistem Irigasi Warisan Budaya Dunia

S

ubak merupakan jantung Bali. Karena sistem irigasi pertanian tradisional ini, Bali menjadi tujuan wisata ternama di dunia. Turis dari berbagai negara datang un­ tuk melihat terasering dengan sawah berundak­undak di Bali. Karena subak pula masyarakat Bali memiliki budaya yang amat dekat dengan alam khususnya pertanian. Namun, subak tak hanya sistem irigasi. Menurut buku berjudul Subak, Warisan Budaya Dunia subak adalah bu­ daya, hukum adat, sekaligus ikatan sosial bagi petani di Bali. Karena keunikannya tersebut, maka UNESCO me­ masukkan subak sebagai salah satu warisan budaya du­ nia sejak Juni 2012. Buku setebal 289 halaman ini membahas seluk beluk subak dalam tujuh bab. Bab­bab tersebut membahas pengertian subak, kekuatan dan kelemahan subak, ke­ berlanjutan subak, aspek gender dalam subak, dan lain­ lain. Tulisan­tulisan itu memberikan kerangka teoritis se­ kaligus praktis di lapangan terkait dengan sistem subak ini. Dua penulis buku ini, Wayan Windia dan Wayan Alit Artha Wiguna, adalah orang yang bergelut dengan topik pertanian di Bali. Windia adalah dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali sedangan Alit adalah peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Karena itu, buku ini memang ditulis orang ahli di bi­ dangnya. Meskipun ditulis berdasarkan apa yang ada di Bali,

buku ini juga bisa menjadi referensi tentang bagaima­ na sistem irigasi pertanian seharusnya dilakukan. Tak hanya agar sawah­sawah bisa terisi air tapi juga agar ada pembagian yang adil sesama anggota kelompok tani. Dengan demikian bu­ ku ini bisa dibaca dan jadi acuan bagi petani di luar Bali. Sebagai sebuah refe­ rensi, buku ini masih ba­ nyak catatan. Misalnya terlalu banyak istilah dalam konteks Bali sehingga kurang bisa dipahami mereka yang tidak ada di Bali. Kedua, bahasa dalam buku ini terlalu akademis, kurang populer bagi orang awam. Ketiga, ma­ sih banyak salah ketik dalam buku sehingga agak meng­ ganggu.

Judul Penulis Penerbit Tebal ISBN

: Subak, Warisan Budaya Dunia : Wayan Windia, Wayan Alit Artha Wiguna : Udayana University Press, 2013 : xiv + 289 halaman : 978­602­7776­58­6

LONTAR - #8 - 2014

19


Tu m pang Sari di Kebu n Kayu M an is

20

LONTAR - #8 - 2014


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.