Seputar Rakyat I Tahun 2012

Page 1

S E PU TAR

R A K Y A T Edisi 1 Tahun 2012

Bentrok Antar Warga, Negara Ada Di Mana?

Nunu- Tavanjuka

Kembali Membara Eskalasi Konflik Berbasis Komunal di Palu dan Sigi Pasca “Proyek Perdamaian� di Sulawesi Tengah

Konflik Antarwarga Untungkan Investasi

Wawali: Konflik Karena Miras dan Koplo www.ytm.or.id

1


Salam Redaksi

P

embaca yang budiman, seperti biasa redaksi SEPUTAR RAKYAT menurunkan laporan tematik dengan isu tertentu. Edisi I tahun 2012, Seputar rakyat kali ini mengangkat tema tentang eskalasi konflik berbasis komunal di Kota Palu dan Kabupaten Sigi – Sulawesi Tengah. Hasil investigasi Tim SEPUTAR RAKYAT menunjukan bahwa kaca mata pemerintah dan aparat keamanan menilai bahwa bentrokan berbasiskan konflik komunal terjadi murni karena kesalahan masyarakat itu sendiri, tanpa melakukan analisa akar masalah sesungguhnya yang terjadi di balik konflik. Anggapan tersebut sangat keliru, buktinya sepanjang tahun 2011 s/d 2012, tercatat kurang lebih 17 kasus bentrok antar warga di dua wilayah tersebut begitu masif terjadi. Pendekatan yang dilakukan dengan mempertemukan kedua komunitas, tanpa memberikan perhatian istimewa kepada kompleksitas kekerasan seperti kebijakan yang salah dari pemerintah daerah dan penanganan oleh aparat keamanan, maka ancaman-ancaman kekerasan tetap saja terjadi. Untuk itu, redaksi SEPUTAR RAKYAT ingin menyajikan laporan konflik berbasis komunal yang terjadi di Palu dan Sigi dengan membedah dan menganalisis, mulai dari apa, mengapa dan bagaimana semua itu terjadi. Selamat membaca.

DAF TAR I S I Sikap Redaksi ............................ 2 Laporan Utama • Nunu-Tavanjuka Kembali Membara .............................. 3 • Bentrok Antarwarga, Negara 5 • Karena Air Mengalir Darah .. 11 • Konflik Karena Miras dan Koplo .................................. 13 Sorot • Eskalasi Konflik Komunal di Palu dan Sigi Pasca “Proyek Perdamaian” di Sulteng ...... 14 Opini • Konflik Antarwarga Untungkan Investasi ............................. 17

Salam Pembebasan Redaksi

Foto Sampul Depan: Situasi Bentrok Nunu-Tavanjuka

Diterbitkan oleh: Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu. Penanggungjawab: Lahmudin Yoto. Pemimpin Redaksi/ Redaktur Pelaksana: Danel Lasimpo. Sekretaris Redaksi: Febrina Talita. Sidang Redaksi: Adriansyah, Sigit Purnomo, Ady Putra, Lahmudin Yoto, Danel Lasimpo, Laode Mardana (Banggai), Muh. Amiruddin Alala (Bungku), Marianto Sabintoe, Febrina Talita. Editing/Layout: Sarina. Sirkulasi: Muhajir Ginting. Alamat Redaksi: Jl. Tanjung Manimbaya, Lorong III No 111 B. Palu - Sulawesi Tengah Telp/Fax: 0451-425892 E-mail:ytm@ ytm.or.id Website: http://www.ytm.or.id

2


Laporan Utama NUNU - TAVANJUKA KEMBALI MEMBARA Sigit Purnomo Foto: YTM.doc

Situasi Bentrok Antar Warga Nunu-Tavanjuka

B

entrok antar dua kelompok warga masing-masing dari Nunu dan Tavanjuka kembali meletus pada penghujung tahun 2011. Sampai dengan 31 Januari 2012, tercatat sedikitnya terjadi enam kali bentrok yang menyebabkan dua orang tewas dan puluhan warga luka-luka jatuh di kedua belah pihak. Sejak tahun 2007, wilayah ini dikenal rawan bentrok yang disulut

oleh perkelahian antarpemuda. Tersinggung sedikit saja, dapat menyulut amarah yang berujung pada pertikaian. Menurut pihak Pemerintah Kota Palu, salah satu penyebab konflik adalah keberadaan Dusun Doda yang secara administratif masuk sebagai kelurahan Nunu, namun didiami oleh puluhan Kepala Keluarga (KK) dari kelurahan Tavanjuka—sumber konflik laten yang bisa menjalar

menjadi konflik terbuka. Pemkot berencana merelokasi puluhan KK keluar dari Dusun tersebut. Konflik dikarenakan angka pengangguran yang tinggi, tingkat kesejahteraan yang rendah serta maraknya pengaruh minuman keras dan obat-obatan. Keadaan ini mencerminkan produktivitas masyarakat yang rendah karena minim pendidikan dan ketiadaan pekerjaan sehingga kesejahteraan masyarakat rmenurun dan

3


Berikut rentetan bentrok Nunu-Tavanjuka berdasarkan investigasi Yayasan Tanah Merdeka. Tanggal Sabtu, 17 Des 2011

Minggu, 18 Des 2011

23 Des 2011

Sabtu, 7 Jan 2012 Minggu, 8 Jan 2012 25 Jan 2012

29 Jan 2012

Uraian Dua kelompok warga saling serang dengan petasan, dum-dum dan batu, serta saling kejar dengan menggunakan senjata tajam parang dan sangkur. Bentrok berhenti saat aparat polisi dan TNI datang ke tempat kejadian. Bentrok dipicu karena saling ejek antar warga dua kelurahan tersebut. Minggu malam sekitar pukul 22.00 Wita, kedua kelompok warga saling serang dengan senjata di areal persawahan dan merembet menjadi bentrok terbuka di jalan Jati. Bentrokan dipicu oleh ledakan petasan yang hampir mengenai rumah salah seorang warga Nunu, Siah. Bentrokan berhenti setelah polisi dan TNI memblokade jalan Jati. Warga bentrok berbekal senjata api rakitan, senapan angin, busur dan parang di perbatasan antar dua kelurahan. Bentrok dipicu pembakaran rumah Sarif dan Maolan, warga Nunu, pada pukul 03.00 Wita oleh orang bercadar yang melarikan diri ke arah Kelurahan Tavanjuka. Bentrok kembali terjadi di perbatasan antar kelurahan. Saling serang dengan menggunakan busur, parang, dan senjata api rakitan. Seorang warga ditemukan tewas karena dibacok. Pihak kepolisian menyebutkan tewasnya korban tidak terkait dengan kasus bentrok antar warga. Peletakan batu pertama pembangunan pos keamanan Anuta (Ana Nunu Tavanjuka) di perbatasan dua kelurahan tersebut yang dilaksanakan oleh para tetua adat, seperti Imran Karim dari Nunu, Ahlan dari Tavanjuka, dan disaksikan Rum Parampasi dari Dewan Adat Palu serta Kapolda, Gubernur dan Sekretaris Kota Palu. Konflik kembali berulang. Hinggal ratusan gabungan polisi dan TNI kembali diturunkan untuk berjaga-jaga.

kriminalitas meningkat. Dalam kasus konflik komunal atau konflik antar warga yang sebenarnya memiliki posisi sosial yang sama, konflik mengkonsolidasikan kerugian pada kedua belah pihak. Sementara, di sisi lain, justru menguntungkan kelas yang berkuasa secara

4 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012

Korban/kerugian Satu sepeda motor nomor polisi DN 2411 VP dibakar, seorang polisi terluka, toko-toko tutup karena takut.

Puluhan warga luka-luka.

Enam orang warga dan satu polisi luka-luka.

Satu orang warga tewas, belasan luka-luka. Satu tewas, pelaku masih misterius. -

Belasan luka-luka.

ekonomi politik. Jika diperhatikan, bentrok yang dipicu oleh adu mulut antarpemuda yang cepat menjalar menjadi bentrok fisik lengkap dengan adu senjata. Informasi yang tidak lengkap yang diterima oleh warga mengenai perkelahian tersebut juga tersebut juga


Laporan Utama turut memanaskan situasi. Selain itu, aksi pembakaran rumah oleh sosok misterius terkesan mengadu domba. Kejadian bentrok separah ini sebetulnya sangat mengherankan karena mengingat programprogram perdamaian yang gencar dilaksanakan di kota Palu selama beberapa tahun terakhir. Programprogram tersebut seakan tidak berbekas jika melihat bentrok Nunu-Tavanjuka. Ada dua pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani konflik antar warga di Kota Palu, khususnya bentrok Nunu-Tavanjuka. Pertama, pendekatan komunikasi dengan merangkul tokoh-tokoh masyarakat wilayah yang berkonflik dengan harapan tokoh-tokoh ini adalah representasi dari masyarakat setempat. Tokoh masyarakat baik tokoh pemuda maupun tokoh adat dipandang akan sanggup mengarahkan warga yang berkonflik agar berdamai. Di sini, penggunaan simbol-simbol perdamaian sangat diutamakan, seperti dengan menggelar mediasi (forum komunikasi) maupun peletakan tugu perdamaian. Kedua, menggunakan pendekatan militer dengan mengerahkan brigade polisi dan TNI yang jumlahnya ratusan. Bahkan, menurut Timur Pradopo, jumlah polisi di Sulawesi Tengah sebanyak 8000 personel masih kurang sehingga perlu ditambah lagi. Baik pendekatan komunikasi maupun pendekatan militer sama-sama memiliki kelemahan yang menyolok, yakni “tiba masa, tiba akal� dan tidak menyentuh akar persoalan. Sesungguhnya, pemerintah telah gagal dalam mewujudkan perdamaian di Kota Palu. Kegagalan ini pahit, namun harus diakui, serta dibenahi. Pendekatan strategis dalam mewujudkan perdamaian yang masih belum dilakukan adalah pendekatan kesejahteraan yang berbasiskan keadilan sosial.

Bentrok Antar Warga, Negara Ada Di Mana? Sigit Purnomo & Sarinah

S

abtu 8 Oktober 2011, pada pukul 23.00 Wita, terjadi bentrok antar pemuda Desa Pakuli dan Desa Bangga yang mengambil arena saat pesta pernikahan di Desa Pakuli, kecamatan Gumbasa, kabupaten Sigi Biromaru. Dini hari (09/10) itu juga, sekelompok personel polisi Donggala turun untuk melerai tawuran dengan tembakan yang mengakibatkan satu orang warga tewas, yakni Heri alias Erick (25), sementara tiga orang lainnya luka-luka. Ismudin (53), seorang warga Dusun Kinta terluka di bagian dada kiri terkena tembak. Ismudin yang sedang duduk sambil bersandar ditembak sama polis. Basri alias Upik (35), luka di tangan kanan karena terkena bacok pada saat bertikai, dan Ebit (35), warga Desa Bangga mengalami luka di kaki kiri karena terkena bacok pada saat bentrok. Menurut kesaksian seorang warga, malam itu terasa sangat mencekam dan desingan peluru polisi terdengar ke mana-mana, bahkan warga yang tidak ikut bentrok turut menjadi korban. Malam itu, Heri keluar rumah hanya bermaksud untuk menjemput keponakannnya di pesta perkawinan yang tidak jauh dari lokasi bentrokan. Ia tiba-tiba roboh bersimbah darah karena dadanya tertembus peluru. Saat teman Heri, Dedi (25) bermaksud menolong, polisi membentak Dedi: “Kau juga (terlibat)!� tuduh polisi. Dedi dikeroyok dan dipukuli oleh belasan anggota polisi dengan tuduhan terlibat dalam SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 5


Laporan Utama bentrokan. Padahal Dedi sudah mengatakan kepada polisi bahwa dia tuan rumah pesta dan tidak terlibat dalam bentrokan yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Dedi bahkan dipukuli polisi di depan mata orang tuanya yang tidak berdaya mencegah kekerasan itu. “So te mampu saya (saya sudah tidak sanggup),� kata Heri sambil menahan kesakitan. Dedi bersama tiga kawannya berusaha membawa Heri ke rumah tempat acara pesta untuk mendapatkan pertolongan, namun ternyata Heri sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazah Heri lalu diseret dan dibuang begitu saja oleh polisi ke mobil mereka, hingga punggung Heri yang sudah tidak bernyawa itu timbul memar-memar. Jenazah Heri sempat disemayamkan di Rumah Sakit Bhayangkara. Korban Protap? Tawuran antar pemuda ini dipicu oleh kasus perkelahian antar pemuda. Seorang pemuda dari desa Bangga, Ilham, saat berkunjung ke rumah salah seorang gadis di dusun Karawana (Pakuli), berkelahi dengan Wasir, pemuda dusun Karawana. Ilham terkena bacok dan mengalami luka di bagian lengannya. Setelah kejadian itu, mereka melapor kepada teman-teman mereka masing-masing, dan akhirnya bentrokan pun tak terelakan lagi. Kawanan pemuda dari Desa Bangga merasa tidak terima, dendam dan kemudian menyerang kawanan pemuda di Desa Pakuli. Perkelahian antar kelompok pemuda dari dua desa tersebut memang kemudian dilerai oleh Polres Dongggala dengan mengeluarkan tembakan yang pada akhirnya menimbulkan korban jiwa, namun lagi-lagi pihak kepolisian tidak bertanggungjawab atas perbuatannya dengan berdalih penembakan yang dilakukan, sudah sesuai prosedur tetap (protap)

6 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012

Kepolisian, seperti yang diungkapkan oleh Kapolres Donggala AKBP I Nengah Subagia, “Penembakan itu sudah sesuai dengan prosedur tetap mulai dari imbauan kemudian peringatan hingga tembakan melumpuhkan.� Padahal menurut aturan Protap, tembakan melumpuhkan hanya sebatas lutut ke bawah, tetapi fakta di lapangan menunjukkan korban yang bernama Heri terkena peluru di dada. Begitu pun korban Ismudin, terkena peluru di bagian dada. Bahkan, kebrutalan polisi bukan hanya terlihat pada penembakan terhadap dua kelompok pemuda yang sedang tawuran, tetapi juga pada warga lain. Setelah massa yang bentrok kocar-kacir karena tembakan, polisi melakukan pengejaran hingga ke rumahrumah warga. Polisi menggeledah rumah Samaina (57 tahun) hingga ke dapur. Samaina adalah Imam Musholah Nurul Iman di Dusun 2 Pakuli yang rumahnya terletak di perbatasan antara dua desa tersebut. Tidak hanya itu, Samaina dicekik dan dituduh menyembunyikan orang-orang yang terlibat tawuran. Istri Samaina, yakni Sartini (54 tahun) yang sedang terbaring sakit, kena injakan kaki polisi yang sibuk menggeledah rumahnya. Sentimen antar-kelompok, sontak beralih menjadi kemarahan yang dialamatkan pada aparat kepolisian. Ketika pemakaman Heri alias Erick pada Minggu 9 oktober 2011, sejumlah spanduk yang mengutuk kebrutalan polisi, terpampang di sejumlah sudut desa sebagai bentuk protes. Warga kesal dengan tindakan polisi yang membabi buta dalam proses melerai kedua belah pihak yang bertikai. Pihak keluarga korban menilai kepolisian bertindak brutal dalam menangani bentrokan antar warga Desa Pakuli dan Desa Bangga. Kakek Heri, Ahmat Lamatundu, yang juga tokoh masyarakat di Dusun 2 Desa Pakuli, menginginkan agar pelaku penembakan dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Pihak keluarga juga sudah


Laporan Utama ke bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tengah agar mengusut anggota polisi yang ringan tangan dalam menembakkan peluru terhadap rakyat. Buktinya, warga menemukan banyak peluru polisi yang bertebaran di lokasi konflik. Negara Ada Di Mana? Tindak kekerasan dilakukan oleh polisi membuat masyarakat Pakuli dan Bangga menyadari kembali keberadaan negara, yakni terlihat pada saat warga mengecam polisi dalam spanduk-spanduknya. Apatisme politik yang akut sebagai akibat dari politik massa mengambang Orde Baru yang

Foto: YTM.doc

melapor ke Komnas HAM Sulawesi Tengah dengan harapan dapat mengungkap para polisi yang sudah melakukan penembakan dan penganiayaan terhadap warga yang bertikai. Kepala Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah, Dedy Askari mengatakan kedatangan keluarga korban adalah tindak lanjut dari upaya menyelidiki kasus penembakan di Desa Pakuli. Komnas HAM melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa saksi dan korban diantaranya Dedy (27 tahun) dan Samaina (57 tahun). Bukan hanya ke Komnas Ham, pihak keluarga pun mendatangi markas Polda Sulteng untuk melapor

Spanduk mengecam polisi yang terpasang di Desa Pakuli

SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 7


Laporan Utama hingga hari ini belum diobati, seringkali membuat masyarakat tidak menyadari keberadaan negara. Padahal, disadari atau tidak, negara hadir secara objektif di dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tidak disadari, negara justru semakin eksis. Negara, oleh Max Weber (1864-1920) didefinisikan sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli penggunaan kekuatan fisik (kekerasan) secara sah. Pengertian ini merupakan teori yang melegitimasi penggunaan senjata dan kekerasan negara terhadap siapapun yang dianggap mengancam ketertiban dan keamanan serta hak milik (property). Dalam hal ini, kepolisian adalah bagian dari perangkat Negara Republik Indonesia. Teori lain lagi, yang melegalkan keberadaan negara adalah pendapat Thomas Hobbes (1951) mengenai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi

Salah satu korban penembakan dari desa Pakuli, Basri, tengah dirawat di rumah sakit. Ditemani sang isteri, Basri menceritakan bahwa dirinya harus membiayai sendiri perawatan karena terkena peluru nyasar polisi saat mengamankan bentrok warga di Kecamatan Gumbasa, Sabtu (08/10/11) Foto: Sarina/YTM.doc

8 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012

sesamanya) sehingga manusia membutuhkan kontrak sosial (social contract) yang manifes sebagai negara. Manusia yang dianggap memiliki sifat serakah harus menyerahkan kebebasannya untuk diatur oleh kekuasaan tertinggi di dalam masyarakat, yakni negara. Kedua teori ini mengukuhkan keberadaan negara di dalam masyarakat. Dan artinya, semakin intens konflik horizontal terjadi di dalam masyarakat, maka negara dianggap semakin legitimated atau semakin diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Tidak akan dianggap sebaliknya. Semakin tinggi konflik SARA di dalam masyarakat, maka negara tidak akan dianggap semakin dianggap gagal, justru dianggap semakin dibutuhkan. Jika kehidupan masyarakat dirasa tidak aman, maka mayoritas penduduk akan semakin rela menyerahkan dirinya untuk diatur oleh negara, entah disadari atau tidak. Nah, konflik horizontal (antar-warga) yang meluas, termasuk tawuran antar-warga di Pakuli, justru memberikan balikan kepercayaan mayoritas penduduk kepada negara karena warga mendambakan keamanan. Hingga pada tahap dimana warga, baik dari Desa Pakuli maupun Desa Bangga sama-sama merasakan kekerasan aparat, membuat mereka menyadari adanya negara, lalu menuntut ke kepolisian ataupun ke lembaga eksekutif (parsialis/sebagian) saja, tidak menuntut negara sebagai satu institusi besar (menyeluruh). Karena, memang, adanya batasan pengetahuan yang dimiliki oleh warga mengenai penyebab jatuhnya korban di pihak mereka hanya lah semata-mata karena kesalahan polisi, bukan sistem negara itu sendiri. Hakikat negara yang dikaji melalui fakta sejarah justru menunjukkan negara adalah lembaga yang terbentuk untuk mengakomodir perkembangan masyarakat kapitalisme yang telah menggantikan


Laporan Utama (menumbangkan) masyarakat feodal. Pertama kali berkembang di Eropa pada abad ke – 16 dalam Revolusi Prancis, lalu meluas ke negara-negara jajahan, termasuk Indonesia pada abad 20. Dalam konteks Indonesia, negara merupakan hasil dari ideologi nasionalisme (kesadaran sebagai bangsa) yang kobarkan, didukung dan diperlukan oleh orang Indonesia (apapun kelasnya) untuk membedakan diri dari bangsa penjajah; untuk melawan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada masa Orde Baru, negara Indonesia diperuntukkan untuk melayani kepentingan modal asing yang bisa dilihat dalam kebijakan-kebijakan politik Soeharto yang membuka investasi seluasluasnya. Sampai saat ini, arah kebijakan negara tidak berubah, tetap tujukan untuk melayani perluasan pasar dan investasi. Bagi Marx (1848), negara adalah: alat untuk melayani kepentingan kelas berkuasa; suatu manifestasi dari konflik yang tidak terdamaikan antara kelas berkuasa (pemilik alat produksi) dengan kelas yang dikuasai (yang tidak memiliki alat-alat produksi). Lantas siapakah yang berkuasa di Indonesia, rakyat atau pemilik modal? Kita bisa menjawabnya sendiri dengan melihat arah kebijakan politik pemerintah yang sangat pro pada perluasan modal asing, bukan pro pada kesejahteraan rakyat (warga). Celakanya, banyak warga negara atau rakyat (penduduk yang tertindas) tidak mengetahui bahwa sebenarnya negara adalah sumber dari berbagai ketidakberesan di dalam masyarakat yang menimbulkan berbagai permasalahan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, kebodohan dan minimnya layanan kesehatan. Apalagi, negara dalam konteks Indonesia merupakan negara yang melepaskan diri dari kontrol warganya, karena negara itu sendiri tidak mampu mengembangkan kapasitas tenaga produktif warganya sebagai syarat

yang diperlukan untuk mengontrol dirinya (negara). Istilah pemerintahan top-down (atas-bawah) muncul dari realitas proses negara (top) yang lepas kontrol dari rakyatnya (down). Selama ini, pemerintah (pusat dan daerah) menganjurkan jargon-jargon pendamaian bahkan milyaran dana program perdamaian mengucur deras di era reformasi. Namun, ada kah program ril untuk menyelesaikan masalah pengangguran di Kabupaten Sigi Biromaru yang mencapai 5.000 pencari kerja? Tidak hanya itu, tahun 2010 tercatat 40 persen dari 217.874 jiwa atau 86 ribu penduduk Sigi Biromaru hidup di bawah Rp7.000/hari—dinyatakan miskin oleh Badan Pusat Statistik (BPS), karena tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya lapangan pekerjaan. Selanjutnya jangan ditanya bagaimana rakyat miskin ini bisa memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, mereka bisa dipastikan tidak sanggup. Selain itu, konflik elit yang bisa masif saat perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) turut memanifestasikan konflik menjadi semakin besar. Biasa problem konflik laten di dalam masyarakat terprovokasi oleh mobilisasi elit-elit politik lokal

Aksi puluhan mahasiswa yang bersolidaritas untuk kasus penembakan warga Pakuli, Rabu (12/10/11) Foto: YTM.doc

SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 9


Laporan Utama

10 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012

Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki menyebutkan dengan jelas bahwa apabila pelaku anarki tidak mengindahkan tembakan peringatan, maka dilakukan tembakan terarah kepada sasaran yang tidak mematikan. Merujuk pada Protap itu sendiri, dalam kasus penembakan di Pakuli, terlihat jelas bahwa polisi tidak bertindak sesuai Protap yang mereka tetapkan sendiri. Profesionalisme polisi patut dipertanyakan, misalnya mengenai keahlian polisi dalam menembak dan pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa proses rekruitmen anggota polisi berbau caracara cepat saji dan kolusi. Kasus Pakuli seolah tertelan dengan riuh berbagai kasus-kasus kekerasan baru yang marak di berbagai daerah di Indonesia dimana polisi terlibat sebagai pihak yang menghilangkan nyawa manusia, seperti kasus Mesuji dan kasus Bima. Sudah barang tentu, akan lebih banyak lagi rakyat yang menjadi korban negara pro modal ini. Korban-korban yang mati potensi karena hak-hak kebutuhan hidupnya diabaikan oleh negara, maupun korban-korban yang mati diujung senjata aparat militer. Foto: YTM.doc

politik lokal ketika bertarung dalam Pilkada. Modus konflik semakin terasa jika elit yang bersangkutan memainkan sentimen kekerabatan dan suku, apalagi jika elit yang memiliki massa kerabat dan satu suku kalah dalam pilihan. Tak pelak, mobilisasi massa demi kepentingan kursi kekuasaan menjadi jawaban kekecewaan tersebut. Gejala konflik komunal akut di Kabupaten Sigi tidak hanya ditunjukkan oleh bentrokan antar warga Desa Pakuli dan Desa Bangga, jauh dirunut ke belakang dapat dilihat banyak sekali konflik-konflik serupa yang berkembang sejak dahulu. Sebut saja, bentrokan antara warga Desa Tulo dan warga Desa Kotarindau di Kecamatan Dolo pada Oktober 2011, tawuran antara warga Desa Watunonju dan warga Desa Bora pada Februari 2002, bentrok antar warga di Desa Sidondo pada Maret 2002, dan sebagainya. Dalam cakupan Sulawesi Tengah, Polda Sulteng mencatat terjadi 26 kali bentrokan antar warga di propinsi ini selama tahun 2011 yang menimbulkan korban luka-luka, pembakaran dan kerusakan rumah, bangunan serta fasilitas lainnya. Tawuran antar sesama warga adalah model tindakan orang-orang yang tidak rasional, tidak produktif dan mengedepankan kekerasan sebagai penyaluran kemarahan. Sehingga yang menjadi pokok persoalan adalah bagaimana agar mereka rasional dan produktif. Tentu bukan dengan cara mereka ditembaki hingga ada yang mati, tetapi dengan cara meningkatkan kapasitas tenaga produktif rakyat melalui serangkaian program penyediaan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, teknologisasi yang berkualitas. Hingga kini, kasus penembakan di Desa Pakuli masih berwujud hanya berupa berkas laporan di Komnas HAM, sementara pihak kepolisian bersikukuh menyebut penembakan terhadap warga sebagai bagian dari prosedur tetap. Protap Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Nomor:

Mahasiswa menyalahkan polisi atas jatuhnya korban dalam bentrok di Pakuli


Laporan Utama KARENA AIR MENGALIR DARAH (Bentrok antar Warga Desa Oloboju dengan Desa Watunonju, Kec. Biromaru Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah) Ady Putra

K

abupaten Sigi yang dimekarkan pada tahun 2008 dari Kabupaten Donggala, kembali dihebohkan dengan bentrokan antar warga. Sabtu, tanggal 11 Februari 2012, pada malam hari bentrok antar warga kembali terjadi antara warga Desa Oloboju dan Desa Watunonju, di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi. Bentrokan tersebut terjadi, warga Desa Oloboju akan menyerang warga Desa Watunonju, karena adanya isu bahwa warga Desa Oloboju dibacok oleh salah seorang warga Desa Watunonju yang ingin mengambil air untuk kebutuhan pengairan sawah warga Desa Watunonjo. Karena merasa tidak melakukan seperti yang dituduhkan oleh warga Desa Oloboju, warga Desa Watunonjo melakukan penyerangan balik ke Desa Oloboju. Dalam aksi penyerangan tersebut, salah seorang warga Desa Oloboju bernama Siama Halim alias Lasiama (66) yang melewati kerumunan massa pada saat menjemput anak perempuannya, tewas setelah terkena busur di bagian dadanya dan bacokan parang di leher bagian belakang kepala serta tebasan di bagian wajah. Menurut keterangan salah seorang warga Desa Bora, Kecamatan Biromaru, bahwa pada Sabtu sore hari tanggal 11 Februari 2012, sebelum kejadian, warga kedua desa tersebut secara bersama-sama pergi melihat sumber air yang secara turun temurun digunakan oleh warga untuk mengairi sawah mereka. Entah kenapa peristiwa malam itu bisa terjadi, pasalnya selama ini sumber air Sungai

Konju yang terletak di wilayah Desa Oloboju yang mengairi sawah warga di lima Desa, di Kecamatan Biromaru yakni, Desa Sidera, Desa Bora, Desa Watunonju, Desa Soulowe dan desa Oloboju sendiri, tidak pernah ada masalah, demikian tutur warga desa Bora. Bingung…!!! Secara turun temurun, warga di lima desa tersebut sangat bergantung pada sumber air Sungai Konju. Mereka memanfaatkan air pada aliran sungai tersebut untuk mengairi persawahan. Selain sungai Konju, warga lima desa tersebut memanfaatkan aliran Sungai Vuno, yang berasal dari Kecamatan Palolo. Namun, pada musim kemarau, debit air Sungai Vono sangat kecil bahkan kering sehingga tidak bisa mengairi sawah warga. Maka, satusatunya alternatif warga adalah Sungai Konju. Kesaksian warga Desa Soulowe membenarkan hal tersebut. Menurut salah seorang warga yang enggan disebut namanya, peristiwa pertikaian tidak akan terjadi, jika pemerintah tidak melakukan pemasangan pipa air “lebih dari satu” di Sungai Konju; jika debit air untuk kebutuhan petani di lima desa tidak berkurang. “Pemasangan pipa air pertama pada sekitar 15 tahun yang lalu diperuntukan masyarakat transmigrasi dari Pulau Jawa yang ditempatkan di Bulu Pontu, sebelah timur Desa Oloboju, tidak menjadi masalah buat warga setempat. Sebab, air tersebut untuk kebutuhan saudara-saudara kami dari Jawa dan tidak terjadi masalah kekeringan,” tuturnya. Pada tahun 2011, Pemda Kabupaten Sigi SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 11


Laporan Utama Foto: YTM.doc

pejabat Pemda Sigi, Anggota DPRD Sigi, dan Anggota TNI/Polri yang juga berada di wilayah sekitar Bulu Pontu,” salah seorang petani dari Watunonjo menerangkan. Lagi menurut petani di Desa Watunonju, sebenarnya kebijakan pemda Sigi untuk menghidupkan lahan- lahan tidak produktif yang di Bulu Pontu masyarakat menilai itu bagus, tetapi yang di untungkan dari kebijakan tersebut hanya segelintir orang (para pejabat itu). “Bagaimana dengan kami?, sementara areal persawahan yang terbesar ada Ilustrasi: Air untuk mengairi sawah merupakan salah satu sumber di lima desa, termasuk desa saya konflik komunal “Watunonju”. Sejak dari nenek kembali pemasangan pipa air yang kedua, petani moyang kami, masyarakat di lima desa tidak di lima desa mulai resah, karena debit air semakin bermasalah, dengan air untuk kebutuhan pengairan berkurang. Pemasangan pipa air kedua tersebut sawah dan kebun kami,” tuturnya sambil dilakukan tanpa sepengetahuan petani di lima desa. meneteskan air mata. Warga kembali memaklumi kebijakan tersebut. Penanganan bentrok antar warga Desa Oloboju Para petani mengakui bahwa pemasangan pipa-pipa dan Watunonju tidak bisa ditangani dengan cara tersebut menyuburkan lahan kering yang ada di parsial, bahwa dengan menangkap pelaku kekerasan wilayah Bulu Pontu sehingga warga transmigrasi akan menyelesaikan masalah yang terjadi di sana. dapat memanfaatkan lahan kering untuk bertani. Tanpa melihat akar masalah yang terjadi, tidak Namun, akibat dari pemasangan pipa-pipa menutup kemungkinan bentrok kembali terjadi. air tersebut, petani di lima desa akhirnya mengeluh Apalagi jika Pemda Kabupaten Sigi tidak melibatkan karena air untuk kebutuhan pengairan sawah di para pihak (terutama masyarakat) dalam setiap desa-desa mereka tidak mencukupi. Keluhan warga pengambilan keputusan yang mengatasnamakan ditanggapi oleh Pemda Kabupaten Sigi dengan kepentingan masyarakat. rencana pemasangan pipa air yang ketiga pada bulan Kebijakan pemasangan pipa air oleh Pemda Februari 2012 yang ditolak oleh warga. Kabupaten Sigi hanya untuk kepentingan segelintir “Ternyata, setelah diusut, pemasangan pipa orang dan mengabaikan nasib petani di lima desa kedua dan rencana pemasangan pipa air yang ketiga, adalah tindakan salah kaprah oleh pemerintah yang tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan air oleh mengatur kebijakan pengairan sawah dan kebun masyarakat transmigrasi di sana, tetapi juga untuk masyarakat yang berbuntut pada mengalirnya darah mengairi lahan-lahan tidak produktif milik para para petani yang berebut air.

12 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012


Laporan Utama

Wawali: Konflik Karena Miras dan Koplo Wawancara Tim Seputar Rakyat Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dengan Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu, Jumat, 24 Februari 2012.

orang yang menjadi pemicu konflik. YTM: Berarti warga Nunu dan Tavanjuka telah sepakat untuk berdamai?

YTM: Apa tanggapan Bapak terkait konflik yang terjadi di wilayah seputaran Kota Palu? AMT: Konflik yang terjadi di Andi Mulhanan Tombolotutu sekitaran kota palu hampir sama dengan konflik yang terjadi di daerah lain dengan faktor pemicu berawal dari perkelahian remaja atau anak muda, yang sering kali mengkonsumsi munuman keras dan koplo. Jadi, tidak ada hubungannya dengan masalah ekonomi. Kita sudah berkoordinasi dengan Polda, Polres untuk merazia minuman-minuman keras dan peredaran pil koplo untuk meminimalisir terjadinya konflik. Misalnya seperti yang terjadi konflik di Nunu dan Tavanjuka ada salah satu pemuda yang mabuk terus berteriak-teriak di kampung lain dan berbicara kotor sehingga warga yang mendengar itu merasa tersingung dan mungkin memarahi atau memukul si pemuda. Akhirnya warga yang dimarahi atau dipukuli mengadu ke temantemannya sehingga timbulah konflik komunal antar masyarakat dan melibatkan komunitas yang lebih besar yang tidak bisa dibendung dan bergerak untuk saling serang antar warga kampung. YTM: Apakah konflik ini sudah menjadi konflik tradisi atau konflik yang turun temurun? AMT: Dikatakan tradisi juga bukan tradisi, konflik turun temurun juga tidak karena konflik yang terjadi kadang redam tapi selang beberapa waktu atau tahun kemudian terjadi konflik lagi dan melibatkan warga masyarakat. YTM: Bagaimana dengan masalah pengangguran? Apakah berkontribusi terhadap terjadinya konflik? Oh, itu tidak ada, karena masih banyak daerah atau kelurahan lain yang tingkat ekonominya atau kesejahteraannya jauh lebih rendah dari dua kelurahan di tempat itu. Tapi mereka juga tidak berkonflik seperti dua kelurahan (Nunu dengan Tavanjuka), bahkan kalau dilihat dua kelurahan ini tingkat kesejahteraan masih di atas kelurahan lain yang ada di Palu, tapi faktor minum-minuman keraslah yang menjadi pemicu penyebab terjadinya konflik. YTM: Apa Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota dalam menyikapi hal ini? AMT: Upaya yang sementara ini dilakukan Pemkot selain mengunakan peraturan daerah juga melakukan seminar dan pertemuan sampai ke bawah seperti kepala-kepala setiap kelurahan, pemuda-pemudanya, tokoh adatnya dalam hal ini pihak yang berkonflik serta pihak kepolisian dan untuk duduk bersama dan berdialog membicarakan jalan keluar dan akhirnya mereka pun sepakat untuk berdamai dan Pemkot juga menegaskan kepada aparat kepolisian untuk bertindak tegas kepada setiap

Iya, mereka memang sepakat untuk berdamai, bahkan mereka sepakat untuk didirikannya dua pos jaga dimasing-masing batas kelurahan yang terdiri dari pos jaga untuk polisi, Satpol PP dan keamanan desa sendiri untuk menghindari konflik yang terjadi dan berkepanjangan. YTM: Terkait konflik Tapal Batas antar dua kelurahan ini sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Kapolda, bagaimana pendapat Bapak mengenai hal itu? AMT: Oh itu tidak ada, kalau persoalan tapal batas itu sudah selesai dari dulu. Khan, ada areal yang bernama Dondo itu yang menjadi tapal batas antara NunuTavanjuka, tapi konflik yang terjadi memang karena pemuda yang mengkonsumsi miras dan pil koplo. YTM: Apa harapan Bapak terkait dengan adanya persoalan konflik ini? AMT: Harapan saya mestinya setiap perselisihan pribadi yang terjadi jangan dibawa-bawa untuk melibatkan kelompok atau komunal masyarakat yang akhirnya dapat menimbulkan konflik yang lebih besar dan berkepanjangan sehingga menimbulkan korban. Tapi marilah kita selesaikan secara kekeluargaan sehingga konflik yang lebih besar dapat kita hindari. Kalau konflik pribadi terus membawa keluarga dalam penyelesaiannya jelas akan membawa warga masyarakat lainnya sehingga konflik akan menyebar dan tidak bisa dielakkan lagi untuk konflik antar warga masyarakat antar kelurahan.

SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 13


Sorot ESKALASI KONFLIK BERBASIS KOMUNAL DI PALU DAN SIGI PASCA “PROYEK PERDAMAIAN” DI SULAWESI TENGAH

M

Danel Lasimpo

asuknya lembagalembaga donor pasca konflik Poso, salah satunya adalah United National Development Program (UNDP) yang memainkan peran penting dalam wacana rekonstruksi Poso selama bertahun-tahun. Salah satu programnya adalah ‘Crisis Prevention and Recovery’, yang merupakan salah satu dari lima program prioritasnya di Indonesia. Isu kunci program ini adalah ‘peace building’. Satu dari program-programnya saat itu adalah ‘Peace Through Development’ (PTD), di mana UNDP mengalokasikan anggaran USD 16,569,645 (September 2005 – Juni 2010) yang didanai oleh Kedutaan Belanda, DFID, NZAID, and SIDA. Di sini,

Bappenas sebagai mitra untuk implementasi program Poso dan Palu (UNDP Indonesia, 2008). Donor lain adalah USAID yang muncul di Sulawesi Tengah melalui berbagai pintu. Salah satu di antaranya adalah Office of Transition Initiatives (OTI), yang memperkenalkan berbagai macam proyek perdamaian: seperti ‘communicating for peace’, sebuah latihan untuk NGOs, pemuka-pemuka masyarakat dan pemuka agama ; ‘reporting for peace’ lokakarya untuk wartawan dan ‘communication for peace’ workshop untuk orang-orang yang bekerja dalam bidang penyajian informasi kepada konstituennya (Anonymous, N.D.). Saat ini, USAID datang dengan sebuah program yang diberi nama

‘Serasi’ untuk meminimalisasi konflik sosial dan mendukung pengembangan perdamaian. Selain di Sulawesi Tengah, program ini juga dikembangkan di Aceh, dengan dana USD 27 juta. Di Sulawesi Tengah, program dimulai dari Februari 2008 - Februari 2011, di mana berbagai jenis NGOs di Sulawesi Tengah telah mulai melaksanakan program (Anto Sangadji 2009) . Anehnya, pasca implementasi program “peace building” (baca: membangun perdamaian) eskalasi konflik berbasis komunal di Palu dan sekitarnya yakni, Kabupaten Sigi (yang baru dimekarkan tahun 2008) justru semakin meningkat. Bisa dilihat pada tabel kekerasan berbasis komunal berikut ini:

Tabel Konflik Komunal di Kota Palu dan KabupatenSigi, Sulawesi Tengah selama 2011-2012 No

Konflik

Tempat Kejadian

1

Bentrok warga Jalan Anoa dan warga lorong Darussalam

Jalan Anoa dan Lorong Darusalam Kelurahan Tatura, Palu Selatan, Sulteng

2

Bentrok antara warga Karawana dengan warga Potoya Bentrok antara warga Desa Karawana dan Soulowe

Kabupaten Sigi Kecamatan Dolo, Sulteng Kabupaten Sigi, Kecamatan Dolo, Sulteng

3

14 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012

Bulan dan Tahun

Keterangan

18 Januari 2011

Bentrok berawal dari saling tantang di jejaring sosial (Facebook) kemudian berlanjut menjadi saling serang. Rejib, (23) warga Jalan Anoa terkena anak panah di punggung. 30 – 31 Januari 2011 Bentrok dipicu pengeroyokan seorang warga Desa Potoya oleh warga Desa Karawana. 3 Februari 2011

Dari informasi yang berhasil dihimpun Nuansa Pos dilokasi bentrok, bermula dari ratusan warga Desa Soulovepatua yang berkumpul di perbatasan desa untuk memantau situasi bentrok antarwarga Desa Karawana dengan warga Desa Potoya, masih tetangga desa yang terjadi Kamis pagi. Warga Desa Karawana mengira warga Desa Soulovepatua akan menyerang desa mereka. Pada saat yang sama berhembus isu bahwa warga Desa Soulovepatua ikut membantu warga Desa Potoya saat terjadi bentrok.


Sorot Tabel Konflik Komunal di Kota Palu dan KabupatenSigi, Sulawesi Tengah selama 2011-2012 No 4

5 6

7

8 9 10

11

12

Konflik Bentrok Warga dua desa bertetangga, Kotapulu dan Kotarindau.

Tempat Kejadian Kabupaten Sigi, Kecamatan Dolo, Sulteng

Bulan dan Tahun 19 Februari 2011

Bentrok antar warga Desa Tinggede dengan Desa Baliase Warga Kelurahan Baiya dan Lambara, Palu Utara, saling serang

Desa Tinggede dan Baliase, Kelurahan Palu Barat , Sulteng Kelurahan Baiya dan Lambara, kec. Palu Utara

19 Februari 2011

Keributan antara ratusan warga Kelurahan Baiya, Kelurahan Kayumalue, dan Kelurahan Pantoloan Bentrok Desa Kotarindau dengan Desa Kotapulu Bentrok antar Desa Tulo dengan Kotarindau Bentrok antara warga Desa Bangga dan Desa Pakuli Bentrok antara 4 desa di kabupaten sigi Kec. Dolo, yaitu Desa Watubula, Desa Tulo, Desa Kaleke dan Desa Maku Bentrok antara warga Desa Loru dan Desa Mpanau

11 Maret 2011

Menurut keterangan warga setempat pemicu terjadinya bentrokan karena saling mengejek saat pertandingan sepakbola.

Perbatasan Kota Palu dengan Kabupaten Donggala, Sulteng

9 Mei 2011

Dipicu oleh peristiwa malam sebelumnya dimana warga saling serang, tetapi cepat bisa dilerai polisi. Jadi, karena masih menyimpan dendam, maka kembali terjadi bentrok yng lebih besar

Kabupaten Sigi Kecamatan Dolo Sulteng Kabupaten Sigi, Kec. Dolo Sulteng

12 Juli 2011

Dipicu kesalahpahaman di pertandingan sepak bola, antara dua desa tersebut

29 Agustus 2011

Berawal dari Perebutan Lahan Parkir di Palu. bentrok berlanjut di dua Desa Kec. Dolo tersebut. Bentrok dipicu perkelahian antar pemuda di sebuah pesta pernikahan Korban tewas bernama Heri (25), warga Desa Pakuli Bentrok dipicu sengketa tanah seluas sekitar 40 hektar Yang rencananya akan di bangun perkantoran termasuk kantor Mapolsek Sigi.

Kabupaten Sigi, Kec. Dolo Sulteng

9 Oktober 2011

Bentrokan terjadi di Desa Maku, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

13 Oktober 2011

Desa Loru dan Desa Mpanau, Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

9 November 2011

13

Bentrok antar dua kelurahan penduduk Kelurahan Tatanga dan Kelurahan Tavanjuka

Di perbatasan antara Kelurahan Tatanga dan Kelurahan Tavanjuka, Palu, Sulteng

10 November 2011

14

Bentrokan antar warga Kelurahan Nunu, Kecamatan Palu Barat dan Kelurahan Tavanjuka Kecamatan Palu Selatan Bentrok antara dua Kelurahan Tavanjuka Kec. Palu Barat dan Kelurahan Nunu Kec. Palu Selatan

Terjadi di perbatasan dua kelurahan, Kelurahan Palu Barat dan Palu Selatan. Sulteng

23 Desember 2011

Terjadi di perbatasan dua kelurahan , Kelurahan Palu Barat dan Palu selatan. Sulteng

7 Januari 2012

15

Keterangan Penyebab bentrok Warga Kotapulu menuduh warga Kotarindau memprovokasi dengan cara melempar batu hingga mengenai kantor kecamatan setempat. Sementara itu, warga Kotarindau menuduh warga Kotapulu yang memprovokasi dengan membunyikan meriam rakitan. Kedua kelompok warga juga pernah bentrok pada tahun 1997 lalu seusai pertandingan sepak bola. Bentrok tersebut hanya dipicu perselisihan antar individu.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, bentrok dipicu oleh aksi penganiayaan yang menimpa salah seorang warga Desa Loru. Suayib (30), dibacok orang tak dikenal saat berada di perempatan Desa Loru. Sejumlah rumah warga juga terkena lemparan batu. Sebuah sepeda motor dilaporkan juga dibakar pelaku bentrokan. Tawuran yang melibatkan puluhan kelompok pemuda itu dilakukan dengan cara saling lempar batu dan benda keras lainnya. Bentrokan ini awalnya dipicu oleh pembakaran rumah milik Maolan, Warga Nunu, Jumat (23/12/2011) sekitar pukul 03.00 WITA. Mereka lalu mengejar pelaku pembakaran yang menurut warga bercadar. Pelaku pembakaran lari ke arah Tavanjuka. 1 (satu) korban meninggal dunia terkena tembakan senapan angin di bagian dada A.n. Lk. Ridwan als Doan, umur 33 Tahun , alamat Kel. Nunu Kec. Palu Barat. Menurut polisi penyebabnya hanya soal perbatasan kelurahan. Sehingga mengakibatkan korban satu orang tewas, dua unit kendaran bermotor, dan dua rumah dibakar.

SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 15


Sorot No

Konflik

Tempat Kejadian

16

Bentrok warga Kelurahan Baiya dan Kelurahan Lambara Bentrok dua warga Desa Oloboju dan warga Watununju

di Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah Kabupaten Sigi Kecamatan Biromaru, Sulteng

17

Bulan dan Tahun 9 Februari 2012 11 Februari 2012

Tabel kekerasan dari tahun 2011 sampai dengan 2012 menunjukkan ada sekitar 17 kasus kekerasan berbasis komunal terjadi di Palu dan Sigi. Mengindikasikan bahwa implementasi “proyek perdamaian� oleh lembaga-lembaga donor dan LSM-LSM adalah gagal, meskipun mereka mengklaim banyak memberi “manfaat� bagi masyarakat. Jika proyek tersebut di nilai bermanfaat, kenapa justru terlihat sebaliknya? Konflik berbasis komunal semakin meningkat pasca implementasi proyek-proyek tersebut dan tidak mengakhiri tensi ketakutan dan ketidak-nyamanan warga. Kenapa Demikian? Belajar dari contoh kasus bentrok antar warga Desa Oloboju dan Desa Watunonju di Kabupaten Sigi, akibat kebijakan pemasangan pipa air oleh Pemda Sigi untuk kepentingan pengairan lahan-lahan tidak produktif milik segelintir para pejabat dan anggota TNI/Polri adalah contoh yang paling nyata, bahwa negara berkontribusi terjadinya kekerasan berbasis komunal. Serta kasus Bentrok Pakuli Bangga (Oktober 2011) dimana polisi terlibat menghilangkan nyawa warga. Pemerintah dan aparat militer tidak dilihat sebagai aktor terjadi kekerasan, sementara warga

16 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012

Keterangan Dari informasi yang dihimpun, bentrokan terjadi karena masing-masing kelompok mengklaim diserang lebih dulu. Peristiwa itu bermula saat sekelompok orang yang diduga dari Desa Vatunonju menyerang ke Desa Oloboju karena mendapat kabar seorang warga Vatunonju ditikam warga Desa Oloboju. Informasi lain juga menyebut bentrok dipicu rebutan sumber air bersih. Seorang warga Desa Oloboju bernama Siama Halik (69), meninggal. Tabel: YTM.doc

yang bertikai sudah berdamai melalui pendekatan proyek yang sangat seremonial, dengan mempertemukan warga yang bertikai. Analisa akar masalah apa yang sesungguhya terjadi dibalik kekerasan berbasis komunal tidak dilakukan. Pengelola proyek perdamaian, selalu memposisikan masyarakat sebagai satu-satunya sumber kekerasan. Rancang bangun dari proyek perdamaian oleh pengelola (lembaga donor dan LSM-LSM) di mana seluruh solusi difokuskan kepada pemulihan kembali kepercayaan di antara komunitas. Itu tidak sepenuhnya salah, tetapi tanpa memberikan perhatian istimewa kepada kompleksitas kekerasan seperti kebijakan yang salah dari pemerintah daerah dan penanganan oleh aparat keamanan yang justru menimbulkan korban, niscaya konflik komunal akan jauh dari selesai.

TNI pun ikut mengamankan bentrok antar warga. Foto: Fajar Online


Opini

Konflik Antarwarga Untungkan Investasi Sarinah Akhir-akhir ini, kata “konflik” kembali mengemuka karena maraknya rusuh antarwarga, seperti bentrok antar pemuda di Pakuli kabupaten Sigi dan bentrok antara sekelompok warga dari Nunu dengan sekelompok warga dari Tavanjuka. Konflik berasal dari bahasa latin “configere” yang artinya saling memukul. Secara garis besar, konflik dibedakan menjadi konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi antara rakyat dengan pemerintah melalui aksi-aksi demonstrasi, boikot, anarkisme hingga penggulingan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dalam aksiaksi demonstrasi yang menyerang kebijakan pemerintah. Konflik horizontal merujuk pada konflik antar kelompok warga sipil, misalnya konflik SARA (Suku, Agama, dan Ras), konflik tapal batas, bentrok antar warga kampung, dan semacamnya. Konflik vertikal dimana rakyat melancarkan perlawanan kepada negara adalah lebih

menguntungkan rakyat sebagai kaum tertindas. Negara, bisa dikatakan selalu bertindak sebagai perwakilan kelas berkuasa sehingga konflik rakyat dengan pemerintah memungkinkan untuk bertransformasi menjadi konflik kelas. Sementara, konflik horizontal dapat menghancurkan perlawanan masyarakat terhadap serangan eksternal. Dalam masyarakat kapitalis Indonesia, “serangan eksternal” itu berwujud modal yang biasa dikenal sebagai investasi hingga invasi militer. Akar Konflik George Junus Aditjondro (GJA) dalam tulisannya Dinamika Politik Modal di Sulawesi: Apa yang Dapat Dilakukan oleh Para Aktor Prodemokrasi (2006), menyatakan dua dari lima faktor yang sangat berpengaruh bagi dinamika ekonomi politik di Sulawesi adalah: “...(1). keragaman etno-linguistik yang tinggi di pulau ini, yang sering tumpang-tindih dengan keragaman agama, sehingga konflik-konflik ekonomi politik

berbasis kelas dengan mudah dapat ditransformasikan menjadi konflik-konflik komunal atau sektarian; (2). siasat faksi-faksi militer untuk mengawetkan konflik-konflik komunal untuk menghancurkan resistensi penduduk setempat bagi masuknya modal besar di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan, serta pembangunan proyek-proyek infrastruktur besar seperti PLTA...” GJA juga menyebutkan ada sekitar 50 etno-linguistik di Sulawesi Tengah, lebih tinggi daripada di Jawa. Keragaman ini rentan menjadi konflik antar-etnis dan agama. Jika etnis tertentu beragama tertentu dan status sosialnya lebih tinggi daripada kelompok etnis dan agama lain, maka lahan konflik dapat semakin subur. Jadi, konflik sesungguhnya berbasis kelas. Kelas tidak bisa dipandang sebagai perbedaan status sosial di dalam masyarakat saja. Lebih jauh lagi, pendekatan kelas melihat pada akar masalah, yakni relasi kelompok masyarakat dengan alat-alat produksi. Menurut seorang Marxis Australia, Doug Lorimer (1999), pengelompokan yang paling utama dan jelas di dalam masyarakat adalah pengelompokan berbasis kelas.

SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 17


Opini melintas batas-batas agama, Karena, pertama, kelaskelas itu tumbuh dari fondasifondasi masyarakat yang paling mendasar, yaitu dari relasi masyarakat/ manusia dengan alatalat produksi yang menentukan relasi-relasi lainnya. Kedua, kelas merupakan pengelompokan sosial yang paling kuat dan paling banyak keanggotaannya di tengah masyarakat, yang relasirelasi serta perjuangannya amat mempengaruhi jalannya seluruh sejarah kehidupan sosial, politik dan ideologi masyarakat. Seseorang bisa saja memiliki hidup yang mapan, namun dia tidak bisa dikatakan sebagai kelas pemilik alat produksi jika hidupnya menggantungkan diri dari penghasilan yang diperoleh dari bekerja dengan orang lain. Kelas suku, warna kulit, ras dan bangsa. Kelompok kelas tak bermilik bisa berasal dari diperuncing. Kedua, menjadikan otoritas militer semakin diperlukan. Jika berbagai etnis berbeda, bahkan berlainan bangsa. Hal ini akan lebih dimengerti ketika membuka fakta mengenai investasi di Sulawesi Tengah, khususnya di Palu. Rakyat yang berbeda latar belakang etnis dan agama posisi mereka sama saja ketika berhadap-hadapan dengan

investor yang didukung oleh pemerintah. Tidak Bermanfaat Ada beberapa alasan mengapa konflik horizontal (sektarian) tidak bermanfaat bagi warga atau rakyat. Pertama, menurunkan resistensi masyarakat. Jika warga dipecahbelah, maka ketahanan warga buyar. Persatuan rakyat melawan serangan yang berasal dari luar dirinya, bubar. Apalagi jika daerah tersebut merupakan kawasan yang dipersiapkan sebagai lahan investasi, maka pro-kontra di dalam masyarakat semakin sesama warga bentrok, mereka dianggap tidak sanggup mengatur dirinya sendiri dan mengganggu kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Sehingga, aparat militer pun diturunkan, posko-posko keamanan didirikan,

dan unit-unit militer ditambah. Dalam konflik berkepanjangan antara warga Nunu dan Tavanjuka, terdapat ratusan polisi dan 100 TNI (tentara) yang mengamankan. Tidak sampai di situ, dalam kunjungan Kapolri Jenderal Polisi, Timur Pradopo pada Senin, 9 Januari 2012, Pradopo menyatakan jumlah 8000 polisi masih kurang dan akan menambah personel polisi untuk mengamankan Sulawesi Tengah. Ketiga, investasi semakin lancar dilaksanakan karena syarat keamanan (unit militer) telah disediakan oleh keberadaan konflik horizontal tadi. Perlu diketahui, Kota Palu sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 2014 diancang-ancang akan menggunakan lahan seluas 1520 hektar, terbagi dalam 700 hektar Kawasan Industri (pengolahan kakao, rumput laut, rotan, dsb),

Walikota Palu, Rusdi Mastura, mengangkat tangannya untuk mendamaikan dua kelompok warga yang bertikai. Foto: beritadaerah.com

18 SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012


Opini 500 hektar Kawasan Perumahan, 100 hektar Education Park & Research Center, 100 hektar Kawasan Komersial, 50 hektar Sports, Golf dan Country Club, 50 hektar Pergudangan, 15 hektar, dan lima hektar Palu Botanical Garden. Sebagai contoh, pembangunan Palu Bay Park (PBP) akan mereklamasi teluk Palu seluas 40 hektar. PBP adalah pusat perbelanjaan yang dilengkapi dengan fasilitas mall, hotel, kolam renang, fitness center dan lain-lain. Selain itu, Palu menyimpan cadangan emas dalam lahan seluas 37.020 hektar di blok Poboya yang kini dikuasai oleh PT Citra Palu Mineral, milik Bumi Resources. Bisa dibayangkan, investasi yang mengandalkan modal dari luar ini akan mengambilalih ribuan tanah rakyat. Jadi, makin banyak konflik

antarwarga, maka unit militer bertambah sehingga digunakan untuk pengamanan investasi. Selanjutnya, konflik horizontal bertentangan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat tentang konsentrasi tenaga produktif. Masyarakat menjadi cepat maju jika tenaga produktif dikonsentrasikan. Dalam kondisi masyarakat yang menstrukturkan ketimpangan kelas, maka konsentrasi anggota-anggota kelas tertindas (apapun suku, agama, wilayah dan ras-nya) yang jumlahnya mayoritas diperlukan untuk melawan kelas segelintir orang yang berkuasa atas alat-alat produksi. Perlawanan ini berlaku dalam sepanjang sejarah untuk mentransformasikan alat-alat produksi menjadi milik sosial. Foto: Perusda Palu/ continentindonesia.com

Master Plan Palu Bay Park (PBP) SeputarRakyat edisi 1 tahun 2012 19


Dimanakah Rasa Aman untuk Kami Jika Warga Selalu Konflik?

20


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.