2
3
TRANSISI KAPITAL DI SULAWESI TENGAH: PENGALAMAN INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Arianto Sangaji
Info rmasi tentang pola- pola ekonomi di wilayah Sulawesi Tengah dalam beberapa abad terakhir dapat diperoleh dari buku geographer David Henley (2005), Fertility, Food, and Fever: Population, economy and environment in North and Central Sulawesi, 1600 – 1930. Dari sini bisa dilihat bagaimana sistem pertanian subsisten berbasis perladangan (swidden-farming) ditemukan di hampir semua wilayah Sulawesi Tengah, dengan tanaman utama padi ladang dan jagung. Tidak diketahui, sejak kapan padi mulai diintroduksi di Sulawesi Tengah, tetapi tanaman padi dalam skala besar telah dilakukan To Bungku (di Kabupaten Morowali saat ini) pada 1540an. Di luar jagung dan beras, sagu adalah makanan pokok di wilayah ini. Sebuah laporan Belanda (1670) menyebut bahwa Orang Tolitoli dan Buol adalah pemakan sagu dan tidak memiliki padi. Selain kedua daerah itu, penduduk di kepulauan Togean dan sebagian To Bungku menjadikan sagu seba gai mak anan pok ok (Hen ley, 2005:54-62). Seperti disimpulkan Henley (2005) meskipun kegiatan-kegiatan ekonomi itu bersifat pemenuhan kebutuhan subsisten, teta pi juga ditemuk an pend uduk memproduksi aneka barang pada masamasa senggang. Barang-barang itu
4
termasuk dengan mengirim sejumlah petani untuk mempelajari teknologi pembajakan sawah dari orang Bali di Parigi (saat ini Kabupaten Parimo) pada tahun 1920an, lokasi di mana komunitas buangan politik asal Bali berada (Davis, 1976:111-121). Proses ini menyumbang dua hal penting, yakni tumbuhnya gagasan tentang hak milik individu (individual property right) dan tersedianya surp lus pro duksi (b eras) u ntuk diperjualbelikan oleh petani produsen. Dalam studinya di sebuah desa di tepi Danau Poso, yang pernah menjadi Desa Teladan tingkat Propinsi Sulawesi Tengah di masa Orde Baru, Schrauwers (1998) melihat tra nsforma si ters ebut berlangsung tidak diikuti dengan komoditisasi tenaga kerja yang mencolok. Di masa Belan da pengenalan sistem pertanian baru padi sawah tetap menggunakan model penggunaan tenaga kerja tanpa upah di bawah prinsip saling membantu (labour exchange) secara berg ilir yang dia dopsi d ari sistem perladangan. Sistem itu terus-menerus mengalami perubahan hingga masa Orde baru, ketika pemerintah memperkenalkan revolusi hijau (green revolution), tetapi prinsip dasar labour exchange tetap saja bekerja dengan tingkat artikulasi yang berbeda dari masa ke masa. Meskipun
demikian, komoditisasi tenaga kerja di dalam pertanian berbasis padi sawah juga mula i tumbu h, ter utama s ejak diperkenalkan oleh pedagang-pedagang ketu runan China s ejak 1 930s (Schrauwers, 2000:111). Sulawesi Tengah, daerah di mana program transmigrasi berlangsung besarbesaran, dengan penempatan sebanyak 84.071 KK transmigran (umum dan swakarsa) sejak pra Pelita hingga 2004 (BPS Sulteng, 2005a), sukses pertanian berbasis sawah menjadi contoh menonjol bagaimana proses-proses pembentukan kelas di pedesaaan berlangsung. Tolai di Kabupaten Parigi Moutong dan Toili di Kabupaten Banggai adalah contoh itu, di mana sukses sebagai lumbung padi di propinsi Sulawesi Tengah juga berjalan seiring dengan proses proletarisasi, di mana akumulasi tanah di sebagian petani melalui mekanisme jual beli dan praktik tengkulak telah melahirkan sejumlah petani tak bertanah, yang kemudian masuk ke dalam pasar tenaga kerja dalam ekonomi pertanian pedesaan. Sebagian memilih bermigrasi ke daerah-daerah baru di mana informasi tentang potensi pertanian masih tersedia luas. Desa Meko di Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso adalah salah satu contoh, di mana para petani eks transmigran Tolai asal Bali yang tidak memiliki lahan berpindah untuk perburuan lahan sejak pertengahan 1990 an. Desa Meko s endiri, yang merupakan salah satu lumbung beras dan kakao di sekitar Danau Poso, adalah contoh nyata dari lapangan bagaimana proses-proses pembentukan kelas sedang berlangsung, di mana terjadi akumulasi lahan di tangan segelintir orang di tengahtengah sekitar 200 KK tidak punya lahan pertanian. Keadaan ini merupakan komb inasi yang komp leks an tara pengungsian penduduk karena konflik kekerasan Po so, pra ktek-pra ktek tengkulak, dan pencaplokan-pencaplokan tanah oleh tuan-tuan tanah atau kekuatan yang berpengaruh di desa.
Sebuah pemandangan yang kurang lebih sama dapat dilihat d alam perekonomian berbasis tanaman kakao. Tanaman ini adalah contoh lain bagaimana sifat-sifat kapitalisme dalam ekonomi pedesaan berbasis perkebunan rakyat yang meluas tengah mencari bentuk, terutama dalam belasan tahun terakhir ini, ketika kebutuhan pasar global atas komoditi ini meningkat pesat. Penanaman kakao mengalami ekspansi yang luar biasa di mana tanah-tanah pertanian berbasis sawah dan ladang serta hutanhutan sekunder telah dikonversi secara besar-besaran untuk tanaman ini, dipicu lonjakan tajam harga kakao terutama sejak krisis moneter 1997/98. Statistik resmi pemerintah menunjuk produksi kakao di propinsi ini lompat jauh dari 177 ton (1987) menjadi 99.857 ton (2000) dan 128.324 ton (2004) (Kantor Statistik Provinsi Sulawesi Tengah 1988:295;BPS Propinsi Sulawesi Tengah 2005a:263). Pada tahun 2002, realisasi ekspor kakao Sulawesi Tengah mencapai 88.270 ton dengan perolehan devisa USD 119,21 juta atau 89,06 persen dari total perolehan devisa ekspor Sulawesi Tengah dalam tahun yang sama, yakni senilai USD 133,84 juta (Radar Sulteng, 30 Januari 2003). Dalam sensus pertanian 2003, banyaknya r umah t angga u saha perkebunan (terpilih) dalam perkebunan kakao di propinsi ini mencapai 184.733 KK (Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah, 2005b:63). Apa yang terjadi dengan signifikansi perkembangan ini adalah semakin menguatnya hak-hak kepemilikan individual atas tanah ketika bekas-bekas ladang yang diolah secara bergilir dan hutan-hutan alam di mana terdapat beragam klaim adat dikonversi menjadi kebun-kebun kakao. Proses ini, yang digarisbawahi oleh antropolog ekon omi, Li (2007:1 03-9), t elah mendorong proses komoditisasi tanah berjalan kencang, di mana praktekpraktek jual beli tanah marak terjadi, yang kemudian di antaranya menimbulkan akumulasi tanah di tangan segelintir orang
5
dan mendepak sebagian lain menjadi petani tidak bertanah. Seperti juga dalam pertanian berbasis sawah, pertumbuhan perkebunan rakyat kakao untuk pasar global memicu pasar tanah tumbuh laju, tetapi ini tidak diikuti dengan semakin mendalam nya hubungan-h ubungan produksi kapitalis, di mana kelas buruh tani yang terbentuk mengalami tingkat komoditisasi yang rendah. Seperti juga dalam pertanian berbasis sawah, ruang lingkup ekonomi berskala kecil dalam perkebunan rakyat kakao, menjadi salah satu faktor penghambat tumbuhnya lapisan buruh upahan yang menonjol dan berarti. Situasi ini jauh berbeda ketika industrialisasi di sektor pertanian/ perkebunan yang merambah wilayah ini sejak sekitar 20 tahun lalu. Pertumbuhan industri berskala besar dalam perkebunan kela pa sawit di Sulawesi Tengah menimbulkan dampak yang tidak pernah terjadi sebelumnya di wilayah ini dilihat dari proses-proses pembentukan kelas, di mana pemisahan penduduk dari alat produksi, proses pembentukan tenaga kerja, dan konsentrasi kepemilikan tanah terjadi. Pertumbuhan industri kelapa sawit menandakan suatu era paling maju dari transisi kapitalisme berbasis sumber daya alam di wilayah pedesaan Sulawesi Tengah, di mana tanah dan buruh mengalami komoditisasi sedemikian maju diba nding m asa-masa sebelu mnya terhitung sejak sekitar 100 tahun lalu, ketika Belanda mulai mengontrol wilayah ini secara langsung.
Industri Perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah Konteks INDONESIA saat ini menjadi negeri kunci dalam industri perkebunan kelapa sawit di dunia. Bersama-sama dengan Malaysia, Indonesia menjadi penyumbang terbesar, yakni 85 % dari total out put minyak kelapa sawit secara global (Carter, et.al., 2007). Tentu saja hal ini dicapai
6
setelah luas areal perkebunan kelapa sawit di negeri ini meningkat pesat dari 600.000 hektar pada tahun 1985 menjadi 7,9 juta hektar pada tahun 2008 dan berambisi untuk mencapai 10 juta hektar pada tahun 2020 (Gelder, 20004; The Star, 2009). Pada tahun 2007, Indonesia adalah negara palin g luas a real perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa (mature) di dunia, yakni mencapai 4,87 juta hektar atau hampir 45 persen dari keseluruhan dunia. Sementara produksi crude palm oil (CPO) meningkat dari 167.669 ton (1967) menjadi 18,8 juta ton (2008) dan berambisi mencapai 40 juta ton (2020) (The Star, 2009). Sebagian besar d ari produk si CPO Indo nesia a dalah untuk p asar internasional, di mana pada tahun 2008, volu me ekspo rnya 12 , 5 juta ton (menurun dibanding 13, 4 juta ton pada tahun 2007). Tahun 2008, ekspor dengan tujuan Uni Eropa mencapai 3 juta ton dan India sebagai pasar terbesar lebih dari 5 juta t on (Indo nesian Commer cial Newsletter, 2008; Bisnis Indonesia, 2009; Kontan, 2009). Kemajuan tersebut merupakan buah dari proses evolusi pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit sejak Orde Baru dari industri yang berbasis pada perusahaan-perusahaan milik negara menu ju indus tri yan g sepenu hnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta. Seperti ditunjukkan oleh Larson (1996), sampai dengan tahun 1992, produksi kelapa sawit didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara. Tetapi, seperti kita lihat hari ini, pemain utam a dalam industr i ini ad alah perusahaan-perusahaan swasta. Angka statistik BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1980, ketika luas perkebunan rakyat selu as 6.370 hektar dan perkebunan besar swasta 83.963 hektar, luas perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar negara mencapai 199.194 hektar. Tetapi, lebih dari 20 tahun kemudian, yakni pada tahun 2006, ketika luas perkebunan rakyat mencapai 2.120.338
hektar dan perkebunan besar swasta 3.141.802 hektar, justru luas perkebunan besar milik negara hanya 696.699 hektar (dikutip oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, N.D.). Itu setelah kebijakan-kebijakan berwatak neoliberal yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui konsep ‘kebun inti dan plasma’ (nucleus estate and smallholder), subsidi suku bunga yang rendah dari bank-bank pemerin tah kepada peru sahaan- perusah aan swa sta, pengurangan pajak-pajak ekspor secara progresif terhadap CPO dan produk lainnya, alokasi lahan yang luas untuk perusahaan perkebunan, dan membuka pintu selebar-lebarnya investasi asing di sektor ini (Casson, 2002:244-6; Larson, 1996; Colchester, et.al., N.D.). Perkembangan yang luar biasa ini juga sangat terkait dengan sukses minyak kelapa sawit dalam perdagangan secara global. Menurut Carter, et.al., (2007) ada dua faktor di balik sukses perdagangan
minyak sawit di tingkat global, yakni, minyak kelapa sawit memiliki harga yang lebih rendah dibanding produk minyak nabati lain dan minyak kelapa sawit cenderung dapat diproduksi dengan biaya murah dibanding minyak yang lain. Khusus dari sisi produksi, pada tahun 2004/2005, biaya produksi minyak kelapa sawit adalah paling kompetitif, yakni ratarata adalah $ 100 per ton lebih rendah dari pada minyak nabati lainnya. Dan kunci yang menentukan di balik biaya produksi yang kompetitif dalam industri perkebunan kelapa sawit adalah ongkos buruh yang murah dan akses terhadap lahan yang mudah. Sumber buruh murah adalah buah dari kebijakan pemerintah di bidang transmigrasi – termasuk model PIR-Trans, sebuah proyek transmigrasi semi swasta (Levang, 2003:229-233) – yang menyediakan tenaga kerja yang melimpah ruah. Sumber lain, tentu saja, bekas-bekas petani yang masuk dalam pasar tenaga kerja baik karena kehilangan tanah menyusul kehadiran industri ini
PABRIK PENGOLAHAN SAWIT : Salahsatu pabrik pengolahan di Kab. Morowali. doc. ytm
7
maupun transfer kepemilikan tanah dengan alasan-alasan lain yang beragam. Tetapi, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia bersifat oligopoli. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (N.D.), sifat ini terlihat pada struktur pasarnya, yang dikuasai oleh perusahaan swasta besar, dengan penguasaan 52,73 persen total lahan yang diusahakan untuk perkebunan, di mana 5 pelaku swasta utama, yakni Raja Garuda Mas, Wilmar Group, Guthrie Group, Sinar Mas, dan Astra Agro Lestari mendominasi. Struktur pasar yang oligopolistik juga terjadi dalam usaha pengolahan hasil perekebunan sawit (tandan buah segar [TBS] kelapa sawit), di mana 75 persen (18.268 ton TBS/jam) dari total kapasitas produksi pengolahan CPO (24.268 ton TBS/jam) terkonsentrasi di tangan perusahaan perkebunan swasta besar dan perkebunan negara. Kendati perkebunan rakyat menyumbang cukup besar terhadap perkebunan sawit secara nasional seperti telah ditunjukkan, stru ktur o ligopolistik d i indu stri pengolahan kelapa sawit menyebabkan tingkat ketergantungan mereka terhadap industri pengolahan sawit sangat tinggi, di mana keseimbangan pasar dikendalikan oleh permintaan (pengusaha pengolahan TBS sawit) dari pada sisi penawaran (pekebun sebagai produsen TBS). Sejak 1980an, pemerintah telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat saling menguntungkan antara perusahaan besar swasta dan negara dengan para petani. Salah satu di antaranya adalah model perkebunan inti rakyat-trans migrasi (PIR-Trans) diperkenalkan oleh pemerintah di bawah dukungan Bank Dunia sejak 1980an. Dasar legal pola ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi. Dalam model ini perusahaan inti punya keharusan menyiapkan lahan kebun sawit bagi rakyat atau (petani) plasma. Setelah
8
sekitar 4 tahun sejak penanaman (awal produksi), perusahaan mengalihkan pengelolaan kepada para petani tetapi tetap di bawah pengawasan perusahaan, dan para petani plasma punya keharusan menj ual has il prod uksi kepada perusahaan. Yang kedua adalah model Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), di mana fihak perbankan memberikan kredit modal kerja (KMK) kepada para petani sawit melalui koperasi primer KUD. Dalam pola ini perusahaan inti selain membangun kebun inti juga membangun kebun milik petani di atas tanah-tanah milik para petani. Skema KKPA ini didasarkan kepada keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil nomor 73/Kpts/OT.210/2/98 01/SKB/M/ II/1998. Perkembangan terbaru setelah keluarnya UU No.18/2004, perusahaan perkebunan pu nya keha rusan mengembangkan kemitraan termasuk dengan masyarakat sekitar. Secara teknisnya, seperti tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian No.26/ Perm entan/OT.140/2/ 2007 ten tang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan meny ebutkan bahwa perusa haan perkebunan dengan luas areal lebih dari 25 hektar memiliki kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan, baik melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil yang dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Kendati terdapat berbagai model praktik yang bersifat kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar, tetapi petani selalu saja dirugik an. Kom isi Peng awas Persaingan Usaha Republik Indonesia (N.D.) menyimpulkan bahwa kemitraan dengan pola PIR yang selama ini terjadi menunjukkan posisi tawar pekebun (pet ani) tid ak seba nding dengan perusahaan inti. Pekebun plasma selalu diru gikan d alam hal timban gan,
rend emen, d an atau harga. Pola kemitraan yang demikian berpotensi mengakibatkan praktik monopsoni dan atau perjanjian tertutup yang dilarang UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkembangan investasi swasta dalam industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah yang sudah dimulai sekitar 20 tahun lalu dan ekspansi yang dilakukan dalam dua tahun terakhir tentu saja merupakan bagian dari dinamka perkembangan tersebut. Secara historis, para pemain yang ter libat ad alah perusahaan-perusahaan kapitalis berskala besar terutama bagian dari konglomerasi yang beroperasi di Indonesia yang memiliki hubungan dengan oligarki politik Orde Baru. Aliansi bisnis, merger, dan akuisisi sebagai respon terhadap krisis ekon omi memungkin kan pr oses akumulasi di sektor ini terus-menerus berputar. Yang paling pertama kehadirannya adalah PT. Tamaco Graha Krida (TGK) di Kabupaten Poso (sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali). PT. TGK mengelola perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 10.000 hektar (4.266 hektar kebun inti dan 6.000 kebun plasma) di Keca matan Petasia , Kecam atan Witaponda, dan Kecamatan Bungku Barat. Perusahaan juga memiliki sebuah pabrik CPO di Desa Ungkaya. Sejarahnya, perusahaan ini adalah anak perusahaan di bawah Salim Grup, milik keluarga Liem Sio Liong, konglomerat yang sangat dekat dengan bekas Presiden Suharto (Schwarz, 1999:109-115). Tetapi sejak tahun 2000 perusahaan jatuh ke tangan Kumpulan Guthrie (Malaysia) melalai PT. Minamas Plantation, menyusul pembelian oleh Kumpulan Guthrie atas 25 perusahaanperusahaan perkebunan bekas milik Salim Grup seluas areal 250.000 dengan nilai USD 350 juta. Pembelian sendiri dilakukan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), di mana sebelumnya aset-aset milik Salim Grup diserahkan ke BPPN sebagai bagian dari pembayaran
hutang kepada pemerintah menyusul krisis ekonomi 1997/98 (the Jakarta Post, 2000 ). Tetap i, seja k 2007, tiga perusahaan raksasa Malaysia, Kumpulan Guthrie Berhad, Golden Hope Plantation Berhad, dan Kumpulan Sime Darby Berhad melakukan merger dan beroperasi di bawah nama hukum baru Sime Darby, sehingga kemudian menjadi salah satu perusahaan multin asional berbasis Malaysia yang sangat kuat, beroperasi di 20 negara, dengan inti bisnis perkebunan, properti, motor, industri, energi, dan pelayanan kesehatan. Saat ini divisi perkebunan dari grup perusahaan ini meng uasai 5 31.299 h ektar a real perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami, di antaranya 202.196 hektar di Indonesia, dan sisanya di Malaysia. Total produksi CPO perusahaan ini pertahun sebanyak 2.413.246 ton, dengan produksi dari Indonesia 843.853 ton dan sisanya dari produksi Malaysia. Sementara total produksi palm kernel adalah 549.981 ton di mana produksi Indonesia adalah 165.928 ton dan sisanya diproduksi di Malaysia (Sime Darby Berhad, 2008). Perusahaan lain yang juga sudah beroperasi sejak belasan tahun lalu adalah PT. Hartati Inti Plantation (HIP) dari grup PT. Central Cipta Murdaya (CCM), sebuah grup perusahaan yang membawahi lebih dari 50 perusahaan yang bergerak di bida ng produ k logam, konstru ksi, kehutanan, kayu, tekstil, dan perkebunan (Eva Martha Rahayu, 2006). Perusahaan milik konglomerat pasangan suami-istri Siti Hartati Tjakra dan Mur daya Widyamirta Poo yang beroperasi di Kabupaten Buol Tolitoli (telah dimekarkan menjadi Kabupaten Buol) kini memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami mencapai 12.000 hektar di wilayah Kecamatan Bukal, Kecamatan Boka t, Kec amatan Momunu dan Kecamatan Tiloan dan sebuah pabrik CPO dengan kapasitas produksi 70.000 ton pertahun di kompleks perkebunannya itu. Sejak pertengahan 1990an, PT. Kurn ia Luwuk Sejati (KLS) t elah
9
mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Banggai. Saat ini areal perkebunannya diperkirakan sudah mencapai 12.000 hektar. Perusahaan ini juga memilik i pabrik CPO dengan kapasitas produksi 3.000 ton perbulan. Perusahaan juga sedang merencanakan pembangunan pabrik CPO di Mentawa, Kecamatan Toili Barat pada tahun 2010. Pabr ik baru tersebu t dihara pkan mengolah 90 ton tandan buah segar (TBS) perj am. Per usahaan juga sedang mengembangkan areal perkebunan sawit di Daerah Mamosalato dan Baturube, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah masing-masing seluas 4.000 hektar, sedangkan di daerah Mentawa, Toili Utara, Kabupaten Banggai seluas 10.000 hektar. Pemilik perusahaan ini adalah Murad Husain, pengusaha daerah di Sulteng, bekas bendahara Dewan Pimpinan Daerah Golkar Sulawesi Tengah, yang pernah menukarkan uang pribadinya sebanyak USD 5 juta dengan kurs Rp 5.000, mengikuti anjuran Presiden Suharto ketika krisis ekonomi menyerang Indonesia pada tahun 1997/98. Perus ahaan la in yang sudah beroperasi bertahun-tahun adalah PT. Perkebunan Negara (PTPN) XIV dengan areal perkebunan kelapa sawit seluas 6.000 hektar di Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali, daerah yang pernah dilanda konflik kekerasan bermasker agama dan suku. Berbeda dengan ketiga perusahaan sebelumnya di mana pabrik CPO dibangun di areal sekitar lokasi perkebunan sawit, PTPN XIV sampai hari ini tidak memiliki pabrik CPO di wilayah perkebunan itu dan hanya mengangkut hasil panennya sejauh lebih dari 100 kilometer ke Kecamatan Sukamaju Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, di mana perusahaan memiliki areal perkebunan sawit dan pabrik CPO. Di luar perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah berproduksi, saat ini Sulawesi Tengah juga sudah diserbu oleh salah satu raksasa di bidang industri perkebunan kelapa sawit
10
Indonesia, yakni PT. Astra Agro Lestari, Tbk. (AAL), yang 79.68 persen sahamnya dikuasai oleh PT. Astra International Tbk., salah satu raksasa pohon bisnis di Indonesia yang bergerak di bidang otomotif, keuangan, peralatan berat, pertambangan dan energi, agrobisnis, informasi teknologi dan infrastruktur. Saat ini, PT. AAL mengelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 250.883 hektar (inti 193.709 hektar dan plasma 57.174 hektar). Tahun 2008, produksi CPO perusahaan mencapai 981.538 ton dan memperoleh laba bersih Rp. 2,6 triliun (PT. Astra Agro Lestari, Tbk. 2008; PT.Astra International, Tbk., 2008). Setelah sukses ‘mensawitkan’ Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat) sejak 1990an di wilayah yang b erbatasan langsung d engan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah melalui anak-anak perusahaannya (PT. Letawa, PT.Suryaraya Lestari, PT.Pasangkayu, PT.Mamuang, PT. Badhra Sukses), AAL telah merambah Sulawesi Tengah. Dimulai dengan PT. Lestari Tani Teladan (LTT) yang beroperasi dekat dengan anak-anak perusahaan AAL lain di Su lawesi B arat, kini Kabup aten Morowali dan Kabupaten Poso, dua daerah di mana konflik kekerasan bermasker agama dan suku pernah terjadi sejak 1998 hingga 2007, menjadi sasaran utam a perusa haan in i. Anak- anak perusahaan AAL yang tercatat sudah mulai aktivitasnya adalah (1) PT.Agro Nusa Abadi (ANA) di wilayah Kecamatan Peta sia Kab upaten M orowali dan Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso dengan areal seluas 19.675 hektar; (2) P T. Sawit Jaya Ab adi (SJA) di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali dengan areal seluas 18.273 hektar; (3) PT. Cipta Agro Nusantara (CAN) di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali dengan areal seluas 10.013,5 hektar; (4) PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) di Kecamatan Mori Atas dengan areal seluas 21.289 hektar. Di luar itu, masih ada PT. Sawit Indonesia (SI) yang sebelumnya sudah memperoleh areal seluas 13.127 hektar di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali dan PT. Surya Cemerlang Permai
(SCP). Dengan ekspansi ke Sulawesi Tengah, PT. AAL, Tbk., akan melipatgandakan posisinya sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia. Raksasa lain yang melakukan ekspansi ke daerah ini adalah perusahaanperusahaan perkebunan kelapa sawit di bawah bendera Sinar Mas Group, sebuah kerajaan bisnis yang di masa Orde Baru memiliki beberapa u saha bisnis berhubungan dengan anggota-anggota keluarga besar Suharto, yang dikuasai keluarga konglomerat Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong) (Aditjondro, 2006). Di bidang perkebunan perusahaan saat ini beroperasi melalu Golden Agri-Resources Ltd., perusahaan perkebunan kelapa sawit terintegrasi terbesar kedua di dunia yang berbasis di Singapura, dengan pendapatan bersih USD 1,4 miliar pada tahun 2008. Perusahaan memiliki puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit,
pabrik pemrosesan CPO dan PK, hingga pabrik penyulingan CPO untuk barangbarang konsumsi dan industri seperti minyak goreng dan margarin. Di negeri ini, pada ta hun 2008 , perusa haan menguasai 392.000 hektar perkebunan kelapa sawit dan memproduksi CPO sebanyak 1.689.982 ton dan palm kernel 382.721 ton pertahun (Golden AgriResources, Ltd., 2008). Pada tahun 2008, Seperti juga anak-anak perusahaan PT. AAL Tbk., Sinar Mas Group juga menjadikan Kabupaten Moro wali sebagai t arget u tama ekspansinya. Perusahaan-perusahaan di grup ini yang sudah mengantongi izin lokasi hingga Mei 2009 meliputi (1) PT. Niaga Internusa dengan luas areal 17.000 hektar di Kecamatan Lembo; (2) PT. Kirana Sinar Gemilang dengan areal seluas 16.645 hektar di Kecamatan Lembo; (3) PT. Bahana Karya Semesta
PETA SULAWESI TENGAH
11
dengan areal seluas 9.253 hektar di Kecamatan Mori Atas; (4) PT. Nusamas Griya Lestari dengan areal seluas 20.000 hektar di Kecamatan Mori Atas; (5) PT. Primatama Kreasimas dengan areal seluas 9.224 hektar di Kecamatan Petasia dan 6.889 hektar di Kecamatan Soyo Jaya; (6) PT. Bahana Karya Semesta dengan areal seluas 10.420 hektar di Kecamatan Bumi Raya dan Kecamatan Witaponda. Di luar itu, berkenaan dengan pelaksanaan Kota Terpadu Mandiri (KTM), sebuah program antar departemen dari pemerintah pusat untuk menyulap sebuah wilayah terkebelakang menjadi sebuah kota ‘baru dan modern’, di mana KTM Air Terang di Kabupaten Buol adalah salah satu diantaranya, du a perusa haan perkebunan kelapa sawit hendak hadir di wilayah itu menyusul PT.HIP yang sudah ada sebelumnya. Keduanya adalah PT. Buana Makmur Lestari yang memiliki rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 hektar (12.000 hektar kebun inti dan 18.000 hektar kebun plasma). Perusahaan lain bernaung di bawah bendera PT. Hadji Kalla Group yang akan berinvestasi di areal seluas 20.600 hektar. Untuk program ini, pemerintah juga sejak 2008 hingga 2011 hendak menempatkan 1.500 KK transmigran di areal sekitar 7.000 hektar. Ada beberapa masalah menonjol telah dan akan muncul berkenaan dengan alokasi lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang memang rakus ta nah. Pertama, penyerobotan lahan antar perusahaan tidak bisa dihindari menyusul ekspansi besar-besaran perusahaanperusahaan perkebunan kelapa sawit itu. Di Desa Peleru Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali, areal seluas 24, 6101 hektar yang dikuasai PT. Nusamas Griya Lestari diserobot oleh PT. Rimbunan Alam Sentosa. Hal yang sama juga dialami oleh PT. Primatama Kreasimas, di mana lahannya seluas 366.3071 hektar di Desa Tontowea Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali telah diserobot oleh PT. Sawit Jaya Abadi. Ked ua, na fsu besar pemerintah daerah untuk mengonversi
12
hutan alam menjadi ‘hutan sawit.’ Ini sudah ditunjukkan oleh pemerintah daerah (Pemda) Morowali, di mana hingga Mei 2009, Pemda set empat t elah menerbitkan 14 izin lokasi u ntuk perkebunan kelapa sawit. Bahkan usulan Bupati Morowali ke Gubernur Sulawesi Tengah untuk revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) tertanggal 7 Mei 2009 tampak sekali semangat untuk mengalihkan fungsi kawasan hutan di wilayah itu patut dicurigai sebagai semangat untuk “mensawitkan” Morowali. Dalam usulan itu, luas kawasan Hutan Alam dan Pelestarian Alam (CA) di Morowali yang saat ini mencapai 241.331 hektar diusulkan untuk dikurangi menjadi 152.249 hektar; Hutan Lindung 436.756 hektar dikurangi menjadi 285.180 hektar; Hutan Produksi Terbatas dari 238.177 hektar menjadi 267.722 hektar; Hutan Produksi Tetap dari 181.366 menjadi 127.843 dan; Areal Penggunaan Lain dari 417.266 hektar menjadi 743.118 hektar. Ketiga, meningkat dan meluasnya konflikkonflik pertanahan antara perusahaan dengan penduduk setempat, seperti yang akan ditunjukkan dalam tulisan ini. Terutama di dua wilayah bekas kerusuhan, yakni Poso dan Morowali, di mana masalah-masalah keperdataan (terutama tanah) yang muncul setelah konflik menyusul pengungsian penduduk yang mengikuti garis agama dan suku tidak terselesaikan sampai saat ini. Di antara masalah-masalah itu adalah jual beli tanah di bawah harga, pinjam meminjam lahan dan penguasaan sepihak atas lahanlahan pertanian. Akumulasi tanah KOMO DITISASI tanah yang semakin laju adalah dasar di mana perampasan tanah penduduk setempat untuk areal perkebunan kelapa sawit menjadi kasus berulang yang umum terjadi di mana-mana. Proses ini dimulai dan didukung oleh pemerintah pada berbagai level dengan memberikan hak eksklusif kepada perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang memerlukan
laha n dalam jumlah luas, dengan mengabaikan klaim kepemilikan atas tana h yang beraga m di tengah masyarakat pedesaan. Padahal di atas tana h-tana h itu w arga t elah menanaminya dengan padi sawah, padi ladang, tanaman palawija, dan berbagai tanaman perkebunan rakyat, khususnya kakao. Aparat pemerintah dari tingat desa sampai tingkat paling tinggi, termasuk aparat keamanan bersenjata, baik pada masa regim Su harto ma upun pemerintahan yang terbentuk sesudah reformasi, mengondisikan masyarakat dengan berbagai janji tentang kemajuan ekonomi, menipu, mengintimidasi, dan melakukan aneka tindak kekerasan kepada para petani agar menyerahkan lahan-lahan pertanian milik mereka. Inilah proses paling awal dan kunci yang menentukan di man a kehad iran perusahaan-perusahaan perkebunan berskala besar bukan saja menghancurkan sebuah ekonomi pertanian rakyat yang subsist en dan atau eko nomi pertanian kapitalis pedesaaan dengan input tehnologi dan tenaga kerja yang terbatas dan belum atau rendah tingkat komiditisasinya, tetapi juga memorakporandakan kepemilikan alat produksi (tanah) kaum tani di pedesaan. Sejak akhir 1980an, PT. TGK dan PT. HIP secara vulgar mengambil lahanlaha n pertan ian peta ni setem pat, mengakibatkan terjadinya konflik keras berlarut-larut. Dalam kasus PT. TGK, proses perampasan dimulai ketika setelah memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), tahun 1988 perusahaan melakukan pembukaan lahan untuk pembibitan kelapa sawit seluas 30 hektar di areal perkebunan milik warga di dekat Sungai Lantolimbu Desa Emea. Warga yang mempertahankan lahan itu dengan memasang kawat duri tidak dapat berbuat apa-a pa ketik a polisi dan ten tara bersenjata menghancurkan pagar-pagar itu. Proses pembukaan awal ini kemudian diresmikan oleh Bupati Poso saat itu Letnan Kolonel Sugiono dan segenap
anggota Muspida Kabupat en Poso. Setelah itu terjadi penyerahan lahan-lahan pertanian (padi ladang, sawah dan aneka tanaman palawija) atau cadangan lahan pertanian, dan tempat penggembalaan ternak oleh belasan kepala desa kepada perusahaan untuk dijadikan sebagai kebun plasma, dengan harapan bahwa petani setempat diprioritaskan untuk menjadi petani plasma. Dalam catatan perusahaan jumlah lahan yang diserahkan oleh 15 desa menc apai 2.9 64.6 hektar, tetapi sebaliknya sebuah klaim dari penduduk setempat menyatakan bahwa luas lahan milik 5.000 KK dari masyarakat setempat yang diserahkan mencapai 7.000 hektar, di mana hutan sagu, bekas-bekas kebun yang sudah ditumbuhi hutan, dan tempattempat penggembalaan ternak juga dihitung sebagai bagian dari hak milik itu. Sebelumnya sebagian petani menolak menyerahkan lahan pertanian mereka tetapi kemudian mendapat intimidasi dari aparat keamanan, memperoleh tuduhan anti pembangunan dan dicap sebagai anggota PKI. Apa yang terjadi kemudian adalah pemerintah dan PT. TGK mempriorita skan para trans migran, yang ditempatkan di wilayah itu dalam program PIR-Trans (1990 – 1992) sebanyak 1.214 KK, untuk dijadikan petani plasma. Keputusan rasial ini yang di kemudian hari memicu protes keras dari 11 kepala desa di wilayah itu di tahun 1990, yang kemudian disusul dengan berbagai aksi protes yang dilakukan oleh para petani dari desa-desa tersebut. Seperti yang sudah terjadi, ketika penyerahan kebun sawit kepada petani plasma, prioritas pertama memang diberikan kepada para transmigran sebanyak 2.133 KK di mana masing-masing KK memperoleh 2 hektar, termasuk di antaranya petani setempat yang mengikuti program transmigrasi sebagai transmigran sisipan, atau lazim dikenal transmigran alokasi penempatan penduduk daerah transmigrasi (APPDT). Seba gian war ga setempat kemudian disertakan sebagai petani
13
plasma, tetapi dengan hak milik hanya seluas 1 hektar kebun sawit, berdasarkan SK Bupati Poso No.188.45/4409/Disbun tertanggal 25 Oktober 1994 tentang penetapan jumlah petani peserta proyek PIR-Trans kelapa sawit yang berasal dari masyarakat setempat. SK ini menunjuk 1.110 KK yang berasal dari 15 desa, tetapi sampai dengan Februari 1999, jumlah petani setempat, di luar mereka yang mengikuti program transmigrasi, telah memperoleh masing-masing satu hektar kebun kelapa sawit berjumlah 1.482 KK berasal dari 15 desa itu. Sementara tuntu tan warg a yang p ernah diperjuangkan oleh Forum Komunikasi Petani Plasma Kelapa Sawit (FK-PPKS) adalah keseluruhan warga, termasuk pecahan keluarga adalah 2 hektar untuk setiap KK. Mereka juga meminta para transmigran dipindahkan ke kebun inti perusahaan, bukan di tanah-tanah adat di mana areal perkebunan plasma berada. PT.TGK melaporkan bahwa hingga tahun 2003, luas lahan kebun plasma telah mencapai 5.423 hektar yang dimiliki oleh
PETA KAB. MOROWALI
4.556 kepala keluarga (Berita G, Juli, 2003), dari target 6.000 hektar yang sudah ditetapkan. Apa yang terjadi dengan cerita ini adalah penyerahan tanah pertanian yang dilakukan secara paksa dan sukarela oleh sebagian warga setempat yang kemudian kehilangan hak kepemilikannya atas tanah-tanah mereka yang kemudian jatuh ke tangan transmigran. Di Desa Solonsa, misalnya, dari sekitar 700 hektar lahan pertanian yang diserahkan untuk menjadi kebun plasma, sampai tahun 1998 ketika kebun kelapa sawit seluas 54 hektar yang sudah siap diserahkan kepada petani plasma maka sebagian besar di antaranya diserahkan kepada petani eks transmigrasi dari Desa Molores Kecamatan Petasia, yang umumnya adalah transmigran yang berasal dari Lombok dan Flores. Atau di Desa Ungkaya, dari 650 hektar lahan pertanian yang diserahkan, ketika terjadi penyerahan ke petani plasma kebun kelapa sawit seluas 130 hektar, maka sebagian besar yang memperolehnya adalah petani asal transmigrasi dari Bukit Harapan. Di luar itu, sejumlah pejabat pemerintah dan karyawan PT. TGK juga memperoleh kebun sawit di atas lahanlahan yang telah diserahkan oleh warga. Praktik distribusi lahan-lahan kebun kela pa sawit semaca m ini memicu ketidakpuasan yang meluas di kalangan petani asli pemilik tanah. Akibatnya hal ini memicu konflik yang terus memanas bertahun-tahun, yang kemudian di bawah fasilitasi pemerintah, perusahaan bersedia membayar ganti rugi tanah pada lahanlaha n pertan ian warg a yang t elah ditanami kelapa sawit dengan nilai ganti rugi 1,8 miliar rupiah. Tetapi menurut warga janji ganti rugi tidak pernah terealisasi. Berbeda dengan PT. TGK, PT HIP melakukan penanaman kelapa sawit secara sepihak di atas lahan-lahan pertanian dan potensi lahan pertanian yang diklaim secara adat sebagai milik penduduk setempat. Areal tanah milik mereka seper ti pohon sagu, j enis
14
tana man yang secara tradisional merupakan sumber makanan pokok orang Buol, ladang dan bekas kebun, dan rawarawa yang d iproyeks ikan u ntuk percetakan sawah diklaim sebagai bagian dari HGU milik peru sahaan u ntuk kemu dian dit anami k elapa sa wit. Pencaplokan lahan yang terjadi secara sepihak ini yang memicu konflik yang keras dengan petani setempat, yang kemudian mengorganisir diri dalam Forum Tani Buol (FTB) dan pada tahun 2000 melakukan pengambilalihan (reclaiming) lahan-lahan yang sudah ditanami kelapa sawit, untuk kemudian diganti dengan pohon kelapa dalam, kakao, padi, dan aneka tanaman pangan lainnya. Praktik yang kurang lebih sama juga dilakukan PT. LTT, anak perusahaan dari AAL, di Kecamatan Rio Pekava, Kabupaten Donggala, wilayah perbatasan dengan propinsi Sulawesi Selatan (kini menjadi Sulawesi Barat). Tahun 2004, ketika hendak melakukan perluasan perkebunan, perusahaan bukan saja menanam sawit di kebun-kebun milik warga, tetapi juga didahului dengan perusakan kebun-kebun petani (terutama kakao), baik petani asli maupun petani asal transmigrasi (penempatan 1991). Peristiwa perampasan ini berbuntut dengan aksi perampasan senjata api milik petugas Brimob oleh warga setempat yang sudah tidak tahan menghadapi teror dan intimid asi peru sahaan yang menggunakan aparat keamanan maupun preman yang dimobilasi dari berbagai desa. Akibatn ya tiga orang petani dijebloskan ke penjara selama 4 bulan dan Kepala Desa Minti Makmur menghilang dari desa meninggalkan anak-isterinya hingga hari ini. Ada yang menduga dia telah ‘dihila ngkan’ s ecara pa ksa, sementara sebagian warga menyatakan dia takut kembali ke desanya, dan sekarang berada di Jawa. Tidak puas dengan itu, ketika lahan yang dirampas perusahaan ditetapkan sebagai ‘lahan sengketa’ oleh pemerintah daerah, perusahaan terus melakukan teror dan intimidasi dengan menggunakan aparat kepolisian. Agustus 2005, anggota Brimob
menjemput beberapa warga Desa Minti Makmur, membawa mereka ke kantor PT.LTT, kem udian memukul dan mengintimidasi mereka di sana. Di bulan yang sama, teror dengan cara lain juga dilakukan, di mana Kepolisian Resor Donggala menjadikan ‘lahan sengketa’ sebagai tempat latihan menembak untuk satua n pengam anan (sa tpam) perusahaan. Sementara sebuah komunitas penduduk asli setempat dari Suku KailiTado tersingkir untuk yang kesekian kalinya. Klaim mereka atas tanah adat, dengan pohon sagu, bambu, dan pinang di dalamnya telah disulap menjadi bagian dari ‘lautan’ sawit milik PT. LTT. Dalam perkembangan terakhir, mereka telah angkat kaki dari pusat Desa Minti Makmur (eks transmig rasi) da n tingga l di perbukitan, mengikuti program TSM (transmigrasi swakarsa mandiri) dari Dinas Sosial yang terisolasi dari desa, sehingga anak-anak mereka kehilangan kesempatan untuk bersekolah. Penjualan tanah karena berbagai alasan kepada sesama penduduk desa, baik transmigran maupun migran dari Sulawesi Selatan, yang memiliki modal lebih kuat dan pengetahuan lebih maju dalam pertanian berbasis sawah dan kakao menjadi salah satu penyeb ab paling meno njol ters ingkirnya kelomp ok ini d alam dinamika ekonomi di desa. Proses ini mela hirkan ketimp angan d alam kepemilikan tanah di antara sesama warg a desa sehingga melahirkan kecemburuan terhadap pendatang, sebuah masalah yang dalam belasan tahun terakhir pernah menjadi konflik dengan kekerasan di kawasan itu, ketika rumah dan kebun kakao milik petani Bugis dibakar dan dihancurkan oleh penduduk asli setempat, seperti yang pernah terjadi di Desa Watatu, pertengahan 1990an.
PT. AAL Tbk memang paling rajin dalam penyerobotan lahan pertanian milik petani di wilayah di mana konflik-konflik kekerasan yang mematikan bermasker
15
suku dan agama pernah terjadi sejak 1998 (Aragon, 2001; McRae, 2008). Di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali, PT. Cipta Agro Nusantara (CAN), anak perusahaan dari AAL, yang mengantongi izin areal seluas 10.013 ,5 hek tar, menggusur lahan pertanian yang sudah ditanami kakao, karet, vanili, durian, dan lahan-lahan lain yang sudah menjadi obyek pajak saat melakuk an land clearing. Tindakan PT. CAN dilakukan sepihak tanpa perundingan dengan warga pemilik lahan dari suku Towatu, salah satu anak suku utama dari Tomori. Di Desa Petumbea, kedatangan perusahaan difasilitasi oleh kepala desa dan pengurus BPD yang membuat surat penyerahan tanah warganya secara diam-diam kepada perusahaan. Akibatnya, Januari 2008, warga dari Dusun I dari Desa tersebut yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat mengadukan hal ini kepada Camat Lembo. Sementara di Desa Ronta, warga desa juga mengirim surat pengaduan kepada Camat Lembo karena perusahaan juga menggusur lahan pertanian yang telah ditanami jati, kelapa, karet, dan tanaman sagu. Seperti di Desa Petumbea, pemerintah Desa Ronta juga telah menerbitkan surat penyerahan lahan secara sepihak juga kepada perusahaan. Menyusul pengaduan-pengaduan tersebut Bupati Morowali kemudian menyurati PT. CAN untuk menghentikan kegiatan operasional, tetapi fakta di lapangan menunjukkan perusahaan sama sekali tidak mengindahkan surat tersebut. Akibatnya, Bupati kemudian mencabut izin lokasi perusahaan, tetapi sekali lagi peru sahaan t erus sa ja melak ukan aktivitas di kedua desa, dengan melakukan penanaman kelapa sawit, pembibitan, pembangunan jalan kebun selebar 6 meter, dan aktivitas lainnya. Di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali, PT. Agro Nusa Abadi (PT. ANA), salah satu anak perusahaan PT. AAL Tbk. kini sedang membuka kebun kelapa sawit seluas 19.675 hektar (HGU). Di Desa
16
Molino, lautan kelapa sawit yang baru ditanami terpampang luas terlihat dari depan markas Kompi Senapan B/Yonif 714 Sintuwu Maroso, tangsi militer yang dibangun setelah serangkain serangan berdarah di Morowali paska perjanjian Malino. Di d esa eks transmig rasi penempatan 1991 – 1992 sebanyak 604 KK (2.275 jiwa) ini, yang juga merupakan pusat kegiatan perusahaan perkebunan. Warga menyatakan bahwa sawit telah dan akan ditanami di kebun-kebun milik mereka. Kehadiran perusahaan juga memicu melonjaknya spekulasi tanah di desa-desa di kawasan itu. Beberapa kepala desa mengalihkan hak milik tanah dengan menerbitkan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah (SKPT) di desa-desa mereka untuk diperjualbelikan. Langkah ini mengakibatkan terjadinya akumulasi kepemilikan tanah di tangan segelintir orang, yang bahkan berdatangan dari luar desa. Termasuk menurut sebuah sumber seorang Komandan Peleton (Danton) dari Kompi Senapan B/Yonif 714 Sintuwu Maroso yang menguasai tanah seluas 100 hektar yang akan ditanami kelapa sawit. Sementara di Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali yang berbatasan deng an Keca matan Pamona T imur Kabupaten Poso, anak perusahaan lain dari PT. AAL Tbk., yakni PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) telah memulai aktivitas perkebunan sawit di wilayah itu. Areal ini juga berdampingan dengan areal milik anak perusahaan PT. AAL Tbk. yang lain, PT. ANA, di Kecamatan Pamona Timu r. Renca na peru sahaan u ntuk mengeringkan rawa untuk kemudian ditanami sawit mendapat tentangan keras dari warga dan beberapa pemuka adat dari berbagai desa. Mereka berpegang pada janji Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliuju bahw a rawa-rawa itu akan dikeringkan untuk percetakan sawah baru, sehingga merasa penting untuk melanjutkan rencana tersebut. Mereka menga nggap kebutuhan lahan persawahan menjadi semakin penting meng ingat p ertumb uhan ju mlah penduduk. Di Desa Taripa, Kecamatan
Pamo na Timur, misalnya, seo rang pemuka adat di sana memperkirakan rata-rata setiap jiwa memiliki sawah seluas 17 are, sementara sebagian warga desa sudah kehilangan lahan persawahan, terutama karena jual-beli. Di Desa Olukumunde Kecamatan Pamona Timur, menurut seorang pemuka masyarakat, rawa di sekitar desa sebelumnya telah dibagi-bagi seluas dua hektar perKK untuk percetakan sawah. Mereka juga peduli dengan sekitar 30 KK eks pengungsi kerusuhan Poso asal Tojo Unauna yang tinggal di desa itu, tetapi sejauh ini belum punya sawah. Apalagi sebagian rawa sejak 1990an telah dikeringkan untuk dijadikan sawah dan ditanami kakao. Di rawa itu pula, yang bersambungan dengan Danau Temui, menjadi sumber ikan bagi penduduk setempat di lembah dataran tinggi itu. Atas alasan-alasan itu, warga menolak konversi rawa menjadi kebun sawit. Saking kerasnya sikap penolakan, seorang tokoh adat setempat, Milton D. Pindongo, yang juga merangkap sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) Partai Demokrat Kecamatan Pamona Timur dicopot jabatannya oleh Bupati Poso, Piet Ingkiriwang, yang juga adalah Ketua Partai Demokrat Cabang Poso yang sangat berambisi men-sawit-kan Poso. Perburuhan PERUSAHAAN perkebunan kelapa sawit pada um umnya membagi pengelolaan perkebunannya ke dalam afdeling (divisi) dengan luas areal dan jumlah tenaga kerja tertentu. Setiap afdeling juga dibagi lagi ke dalam beberapa blok, deng an demikian pengorganisiran buruh dalam pekerjaan menjadi mudah. Dari sana bisa juga dihitung jum lah ten aga kerj a di peru sahaan perkebun an itu. PT. Mamuang, anak perusahaan PT. AAL, Tbk. yang lokasinya berdampingan dengan 3 perusahaan sesusu lainnya termasuk PT. LTT di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, misalnya, memiliki 13 afdeling, dengan buruh kurang lebih 70 orang perafdeling. Pada setiap afdeling terdapat 15 blok, di mana setiap blok
mencakup areal seluas 40 hektar. Dari situ bisa dihitun g, denga n luas a real perkebunan sekitar 7.800 hektar dengan pekerja sekitar 910 orang, maka setiap buruh perkebunan memikul tanggung jawab mengurusi sekitar 8 hektar kebun kelapa sawit. Atau PT. TGK, dengan luas perkebunan kelapa sawit (inti dan plasma) mencapai 10.000 hektar dan sebuah pabrik CPO hanya menyerap tenaga kerja tetap baik di perkebunan maupun di pabrik hanya sekitar 600 orang, dengan jumlah terbesar ada lah buru h di perkebunan inti dan 130an pekerja di pabrik CPO. Sementara PT.HIP dengan kebun kelapa sawit yang telah ditanami seluas 12.000 hektar menyerap kurang lebih 3.000 buruh, dengan mayoritas di antara mereka saat ini adalah buruh dengan sistem borongan, yakni pekerja yang terikat dengan pihak III untuk melakukan satu an peker jaan ter tentu secara temp orer di perkebu nan, di mana perusahaan tidak memiliki kewajiban langsung kepada para pekerja, baik upah maupun hak-hak buruh, kecuali kepada piha k III ya ng meng gunakan atau memobilisasi para pekerja itu. Para pengkritik industri perkebunan kelapa sawit kerap mengaitkan rendahnya penyerapan tenaga kerja di dalam industri ini, yakni dengan melihat rendahnya jumlah buruh dibanding luas areal perkebunan kelapa sawit sebagai sasaran kecaman. Tetapi, aspek yang tidak atau kurang diperhatikan adalah bahwa kehadiran industri perkebunan kelapa sawit men jadi contoh paling tepat bagaimana komoditisasi tenaga kerja berlangsung massive di wilayah-wilayah di mana hubungan-hubungan produksi kapitalis belum tampak, kabur, atau masih berskala terbatas, seperti di sebagian besar wilayah Sulawesi Tengah. Ini dapat dilihat dari dinamika pertumbuhan buruh yang bekerja di industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah. Pertama, sumber tenaga kerja utama adalah petani
17
tak bertanah atau warga miskin di wilayah asal yang kemudian menjadi peserta program transmigrasi di Sulawesi Tengah. Ketika perusahaan perkebunan memulai usaha investasi, dengan melakukan kegiatan land clrearing, pembibitan, penanaman, dan perawatan maka sumber utama buruh adalah para transmigran yang biasanya berasal dari lo kasi transmigrasi yang berdekatan dengan lokasi perkebunan. Dalam kasus P T. TGK, para transmigran asal Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang berlokasi di Kecamatan Bungku Barat dan Kecamatan Petasia menjadi pemasok utama pekerja di perusahaan perkebunan itu. Karena merupakan bagian dari proyek PIR-Trans, maka pada awalnya mereka menjadi buruh secara kolektif untuk kebun-kebun kelapa sawit yang telah ditanami. Dalam pengalaman PT. HIP, pemasok utamanya adalah transmigran asal Jawa, Bali, NTB, NTT yang juga sudah ditempatkan di sekitar areal perkebunan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kegiatan investasi perkebunan. Pada masa awal
kedatangan transmigran, biasa dikenal sebagai masa sulit, terutama setelah berakhirnya jaminan hidup (jadup) yang disediakan pemerintah selama masa satu tahun. Pada masa ini, kegagalan dalam peng olahan lahan pertanian atau keterbatasan modal usaha, membuat sebagian petani mencari nafkah dengan bekerja sebagai buruh tani harian di lahan-lahan petani yang lebih sukses, memungut hasil hutan, mengolah kayu, menjadi buruh bangunan atau konstruksi jalan untuk memperoleh uang tunai. Pekerjaan semacam ini tidak memberikan kepastian dari segi jumlah pendapatan dan peluang pekerjaan yang tidak datang setiap saat. Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit memberi peluang untuk jangka waktu yang pasti bagi petani untuk menjual tenaga kerjanya. Transmigran terus menjadi sumber utama buruh bahkan setelah perusahaan perkebunan telah memasuki fase produksi, di mana seba gian tra nsmigran , lelaki dan perempuan, baik pecahan-pecahan keluarga, maupun eks transmigran yang
BURUH PERKEBUNAN SAWIT : Buruh di depan pemukiman di areal perkebunan sawit Kab. Buol. doc. ytm
18
telah menjual tanah dengan berbagai alasan menjadi sumber pemasok utama buruh untuk berbagai pekerjaan (panen, pemarasan, pemupukan, dan sebaginya) di perusahaan perkebunan. Itulah yang kini, misalnya, terjadi dengan warga ekstrans (Bali, NTB, Jabar, Jatim, NTT, APPDT) penempatan tahun 1 991 di Desa Kokobuka, Kecamatan Tiloan Kabupaten Buol. Warga dari desa, di mana terdapat areal persawahan dan kebun kakao yang terhampar luas itu, menjual tenaga kerjanya kepada perusahaan perkebunan, dengan perjalanan yang dimobilisasi oleh perusahaan (commuting labourers). Setiap pagi mereka dijemput dengan truck peru sahaan di kamp ung itu dan dikembalikan lagi sore harinya. Ringkas cerita, program transmigrasi menyumbang sangat penting bagi pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit di wilayah ini, di mana para transmigran merupakan sumber tenaga kerja utama dan murah ba gi bagi perusah aanperusahaan untuk melakukan akumulasi kekayaan. Sumber tenaga kerja lain berasal dari penduduk lokal dengan asal-usul yang beragam dan kompleks. Pertama, adalah petani dari penduduk lokal, baik mereka yang mengikuti program transmigrasi sebagai APPDT, maupun petani setempat yang tanah pertaniannya (sebagian atau seluruhnya) sudah dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit dengan demikian menjadi contoh bagaimana proses proletarisasi sedang terjadi di mana para petani yang kehilangan alat produksi (tanah) karena kehadiran industri perkebunan kemudian terserap ke dalam industri ini sebagai buruh upahan. Kedua, adalah petani setempat yang karena sebelumnya tidak memiliki tanah, kemudian menjadi buruh tani di kampung asal atau kampung tetangga mereka di sekitar perkebunan. Termasuk dalam kategori ini juga adalah mereka yang berdatangan dari berbagai tempat di dalam wilayah kabupaten atau propinsi
menyusul kehadiran perkebunan sawit. Hilangnya lahan pertanian, karena berbagai sebab seperti jual beli dan perampasan atau munculnya pecahan keluarga yang tidak memilih tanah, membuat para petani tidak punya pilihan lain kecuali menjual tenaga kerjanya, dengan pendapatan yang pasti dari perusahaan perkebunan kelapa sawit. Seja k keha diran P T. RAS, di Kecamatan Mori Atas, sebagian warga di Desa Olukomunde, Kamba, dan desa-desa lain dari Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso beralih menjadi buruh harian di perusahaan dengan upah Rp. 31.000/hari. Sejak pagi buta mereka diangkut dengan truck milik perusahaan menuju Desa Era dan Desa Peleru, di Keca matan M ori Atas , Kabup aten Morowali, lokasi di mana perusahaan telah melakukan kegiatan penanaman kelapa sawit, untuk kemudian diangkut kembali ke desa-desa mereka setelah bekerja di sana selama 7 – 8 jam dari hari Senin hingga Jumat. Hal ini menimbulkan kekh awatira n seba gian pemuka masyarakat mengenai masa depan pertanian masyarakat (sawah dan kakao) di desa-desa itu yang merupakan salah satu lumbung padi di Kabupaten Poso, karena beralihnya warga desa menjadi buruh tani di perusahaan perkebunan. Padahal menurut keterangan sejumlah warga, sebelumnya upah harian buruh tani di persawahan dan perkebunan kakao milik warga di kampung bisa mencapai Rp.35.000 per hari. Tentu saja, daya tarik warga untuk menjadi buruh harian di perusahaan perkebunan kelapa sawit karena setiap hari tersedia kesempatan untuk menjual tenaga kerja mereka, berbeda dengan menjadi buruh tani di kampung asal di mana peluang itu lebih terbatas dan bersifat musiman. Ketiga, adalah petani yang tanah pert anian pr oduktifn ya menga lami kemunduran karena bencana alam baik langsung atau tidak langsung yang merupakan dampak dari pembukaan laha n dan h utan yan g luas oleh perusahaan perkebunan. Di Buol, bencana
19
banjir tahunan karena meluapnya Sungai Buol dan Sungai Lantikadigo yang muncul sejak kedatangan PT. HIP di wilayah dengan curah hujan 3.000 mm pertahun itu, telah menghancurkan sawah, kakao, kopi dan kelapa dalam milik penduduk sehingga pa ra petan i dari Desa Poma yagon, Desa Wakat, Desa Bungkudu, dan sejumlah desa lainnya tidak punya pilihan lain, kecuali menjadi buruh harian atau buruh borongan di perusahaan perkebunan itu. Tetapi kesempatan menjual tenaga kerja secara teratur bukan saja terjadi di dalam perusahaan perkebunan inti, tetapi juga di kebun-kebun sawit milik petani plasma. Berbeda dengan buruh di kebun inti, terutama untuk panen, di mana dalam kasus PT. TGK dilakukan oleh buruh upahan tetap di perusahaan (SKU), maka dalam kebun sawit milik petani plasma para buruh memperoleh upah harian mencapai Rp. 50.000 per hari. Biasanya, setiap petani pemilik kebun kelapa sawit memegang buruh harian berdasarkan ikatan secara informal dalam kurun waktu yang lama. Selain berasal dari transmigran, juga berasal dari pecahan keluarga atau mereka yang sudah kehilangan tanah, dan dari penduduk lokal, baik yang tidak memiliki lahan pertanian, maupun mereka yang memiliki lahan plasma seluas 1 hektar. Di PT. TGK, seorang petani plasma pemilik lahan 1 hektar menyatakan bahwa ia memegang 3 kapling, masing-masing seluas 2 hektar kebun kelapa sawit milik petani plasma lain (eks APPDT) sebagai buruh panen, di mana setiap bulannya ia memperoleh upah tetap Rp. 1.050.000, kumulasi dari pendapatan Rp.350.000 per kapling. Sementara seorang penduduk asli lain bukan petani plasma juga menjadi buruh panen untuk dua kapling, masingmasing seluas 1 hektar, menyatakan ia memperoleh upah tetap setiap bulan sebanyak Rp. 600.000 perbulan. Kedua, kejahteraan buruh. Hierarki merupakan salah satu ciri utama dalam industri perkebunan, di mana tingkat
20
kesejahteraan buruh perkebunan sawit sangat tergantung pada posisi mereka pada hierarki tersebu t, dari mana perbedaan-perbedaan perlakuan di antara sesama buruh mencolok terlihat. Buruh pada level manajemen lebih tinggi hingga karyawan tetap memperoleh pelayanan perusahaan meliputi upah, bonus, premi, pelayanan kesehatan gratis, fasilitas perumahan plus litrik dan air, pelayanan pendidikan bagi anak-anak karyawan, dan alat transportasi kendaraan bermotor. Tetapi, pelayanan itu berbeda-beda sesuai dengan posisi mereka, di mana buruh dalam hirarki lebih tinggi mendapatkan pelayanan lebih baik dibanding mereka yang berada di kaki piramida yang lebih rendah. Kesan paling mencolok bisa dilihat ketika mengunjungi areal perkebunan, di mana kompleks perumahan-perumahan karyawan yang menyebar di dalamnya memilik perbedaan ciri-ciri fisik, dari yang paling baik dengan dinding tembok, lantai keramik, fasilitas AC, garasi mobil, antena parabola, hingga yang paling sederhana dengan rumah berdinding kayu, fasilitas WC umum, sepeda motor di depan serambi, dan pemandangan jemuran pakaian yang ramai. Tetapi tidak semua buruh tetap tinggal di dalam kompleks perumahan karyawan, yang dibagi-bagi sesuai menurut perumahan afdeling perk ebunan, perumah an karyawan pabr ik, per umahan m anajer, dan perumahan sopir. Satu atau dua orang tetap tinggal di kampung halaman mereka, jika mereka berasal dari desadesa paling dekat dengan perusahaan. Sebagian karyawan atau buruh tetap (SKU) dengan posisi rendah tetap bermimpi satu ketika dapat keluar dari perusahaan untuk menjadi petani pemilik tanah. Seorang buruh (eks transmigran pecahan keluarga) di PT. TGK, misalnya, yang sudah 3 tahun berstatus karyawan tetap dengan upah 700.000 perbulan dan prem i sekita r 700.0 00 – 800 .000 perbulan, tunjangan beras 32 kg untuk isteri dan kedua anaknya, dan fasilitas
gratis kesehatan bagi seluruh anggota keluarganya, kecuali anaknya yang ketiga, masih berharap satu ketika ia dapat membeli lahan pertanian (sawah atau kebun sawit), sehingga dengan demikian dia akan meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh tetap perusahaan. Dengan menyatakan bahwa dengan pendapatan seba nyak itu tidak c ukup bag inya membiayai keluarganya secara lebih baik, dibanding tetangganya, seorang petani plasma pemilik 2 hektar kebun kelapa sawit yang tingkat pendapatan dan kehidupannya jauh lebih baik. Dia juga menyatakan bahwa pekerjaannya sebagai buruh panen dengan basis 80 tandan per hari bukanlah pekerjaan yang ringan. Meninggalkan rumah pagi hari karena harus mengikuti apel sebelum bekerja di kebun, yang kerap tidak dilakukannya tepat waktu, dengan risiko memperoleh teguran berulang dari mandor, kemudian kembali berkumpul dengan keluarga menjelang malam merup akan pengalaman berulang yang melelahkan setiap har i yang memper kuat pertimbangannya untuk meninggalkan perusahaan suatu waktu. Keadaan lebih buruk dialami oleh buruh harian berstatus kontrak, yakni mereka yang bekerja untuk perusahaan dala m masa t ertentu , tergan tung kebutuhan perusahaan, biasanya ketika menghadapi masa panen raya. Bersamasama dengan buruh borongan mereka merupakan lapisan buruh dalam jumlah paling besar. Upah mereka sangat bergantung pada jenis pekerjaan (panen, pemupukan, pemarasan) dan status mereka, di mana buruh-buruh dengan status harian biasanya memperoleh upah yang lebih baik dan pasti dibanding mereka bers tatus sebagai b uruh borongan. Untuk memangkas ongkos prod uksi, perusahaa n-perusa haan perkebunan sawit mengalihkan buruhburuh harian menjadi buruh dalam sistem borongan. Beberapa buruh PT. HIP yang diwawancarai menyatakan bahwa upah buruh harian bisa mencapai Rp. 700.000 perbulan dan borongan hanya sekitar Rp.
400.000, jauh di bawah pengeluaran bulanan, yang membuat mereka terikat dengan utang bahan kebutuhan pokok dengan pedagang-pedagang kecil di kampung. Ketika mengunjungi perusahaan itu awal Agustus 2009 tampak muncul keluhan yang meluas di kalangan buruh berkenaan dengan kebijakan perusahaan untuk mengalihkan sebagian buruh harian menj adi bur uh boron gan. Mereka meminta perusahaan mengembalikan sistem borongan menjadi sistem harian. Sebua h ancama n mogok kerja disa mpaikan oleh Ser ikat Pek erja Perkebunan Sawit (SPPS) di perusahaan tersebut, 10 Agustus 2009, jika tuntutan buruh tidak dipenuhi. Tetapi, sebuah kesepakatan yang sangat umum dilakukan antara perusahaan, pengurus SPPS, dan Dinas Nakertrans, di mana perusahaan akan mempertimbangkan tuntutan buruh secara proporsional, tanpa ada kejelasan waktu tuntutan itu dipenuhi, telah membatalkan rencana pemogokan yang sudah ramai dipercakapkan oleh buruh-buruh yang tinggal menyebar di berbagai desa di sekitar areal perkebunan itu. Sementara it u pelay anan perusahaan di luar upah sangat buruk, dari tidak ada fa silitas pelayanan kesehatan, pendidikan anak-anak, hingga tidak ada atau buruknya perumahan. Di PT. HIP, misalnya, sebuah kompleks perumahan di blok 7 yang dihuni 46 orang buruh, sama sekali tidak memiliki fasilitas list rik, air bersih dan WC. Para penghuninya terpaksa membersihkan diri dan membuang tinja di WC alam, yakni parit dan sungai yang nyaris kering yang melintas di sekitar perumahan itu. Dalam setiap bilik rumah (teras, ruang tamu, sebuah kamar, dapur) yang layak dihuni satu kepala keluarga malah menumpuk dengan beberapa buruh. Bahkan terdapat satu rumah dihuni oleh tiga pasangan suam i-isteri. Sement ara seju mlah perempuan yang menjadi buruh borongan yang jam kerjanya mulai pukul 6 pagi
21
memilih meminjam lahan di kebun warga untu k memba ngun po ndok-po ndok sebagai tempat tinggal sementara. Para buruh yang tinggal di perumahan Blok 7 yang umumnya adalah penduduk asli dari Desa Panimbul Kecamatan Momunu, sebagian meninggalkan keluarga mereka di kampung, yang berjarak sekitar 7 kilometer, karena pertimbangan tidak ada akses anak- anak m ereka u ntuk bersekolah di kompleks perkebunan. Memang ada fasilitas bus sekolah yang disiapkan oleh perusahaan, tetapi itu tidak melayani anak-anak buruh jenis ini. Beberapa anak yang terpaksa tinggal bersama orang tua mereka di kompleks perusahaan terpaksa menghadang mobil tangki perusahaan pengangkut CPO atau BBM yang melintasi di jalanan terdekat ketika hendak pergi atau pulang sekolah. Tahun 2007, menurut Ketua SPPS, pernah terjadi 2 hari mogok kerja para buruh yang menuntut pelayanan fasilitas perumahan dan listrik yang lebih, di mana tuntutan mereka dipenuhi perusahaan. Tetapi, sukses itu tidak dinikmati oleh buruh-buruh paling rentan, seperti mereka yang tinggal di komp leks perumahan blok 7. Petani Plasma Di Sulawesi Tengah perusahaanperu sahaan perkeb unan s awit memb angun h ubungan inti-plasma dengan dua model. Pertama, kebun sawit, biasanya seluas antara 1 atau 2 hektar, diserahkan hak kepemilikan dan pengelolaan kepada petani peserta plasma setelah masa produksi dimulai. Para petani dengan demikian memiliki hak atas tanah dan kebun sawit di atasnya berdasarkan sertifikat hak milik (SHM), di samping mengelola kebun sawit milik mereka secara otonom, mulai dari perawatan, pemupukan, hingga panen. Tetapi para petani harus menjual hasil prod uksi sa wit mereka kepada perusahaan Inti, meraih pendapatan bulanan setelah dipotong cicilan kredit minimal 20 persen hingga lunas, sesuai skema kredit lunak jangka panjang (13 tahun) untuk golongan ekonomi lemah.
22
Praktik ini yang terjadi dengan PT. TGK di Morowali. Kedua, kebun sawit seluas 1 atau 2 hektar diserahkan hak kepemilikan kepada petani, namun pengelolaannya tetapi dipegang secara terpusat oleh perusahaan. Para petani memperoleh pendapatan bulanan dari hasil penjualan buah sawit setelah dipotong kredit investasi dan ongkos produksi. Jika bekerja pada perusahaan, maka para petani itu akan dihargai sebagai buruh dengan upah yang umum berlaku di peru sahaan. Praktik seperti ini berlangsung di PT. HIP di Buol. Dari pengalaman di Sulawesi Tengah terdapat dua jalan menjadi (petani) plasma. Pertama, Pengalaman PT. TGK memperlihatkan bahwa para transmigran yang ditempatkan di sekitar lokasi perkebunan menjadi sumber utama petani plasma. Yang dimaksud dengan transmigran di sini adalah transmigran asal Jawa, B ali, Lom bok, NTT dan penduduk setempat (APPDT), yang terutama terdiri dari petani pecahan keluarga, baik dari desa-desa sekitar maupun dari desa-desa lain di dalam wilayah kabupaten. Mereka memperoleh masing-masing kebun sawit di atas lahan seluas 2 hektar, sesuai skema program PIR-Trans. Di luar mereka, masih juga terd apat penduduk lokal b ukan tran smigran sisipan yang t elah menyerahkan lahan mereka memperoleh kebun sawit seluas satu hektar. Penetapan pembagian lahan semacam itu didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Poso No. 188-45/4409/Disbun tertanggal 25 Oktober 1994. Rasialisasi penet apan petani plasma semacam ini yang memicu para petani kemudian menolak keras. Pemda Poso melalui Kepala kantor Sosial Politik, Kapten Sunardi mengintimidasi warga, tokoh masyarakat, dan kepala desa dengan tuduhan melawan pemerintah dan mengancam mereka dengan UU subversi, sehingga warga kemudian menerima
secara terpaksa. Tetapi sebagian warga terus protes dengan keputusan tersebut, dengan membongkar jembatan yang tela h diban gun PT.TGK, di mana kendaraan-kendaraan yang mengangkut buah sawit selalu melewatinya. Akibatnya, pada tahun 1996 tujuh warga desa Ungkaya ditangkap oleh Kepolisian Resor Poso dengan tuduhan melakukan makar terhadap pemerintah. Sepanjang tahun 1998, terutama setelah reformasi, para petani yang tergabung dalam FK-PPKS melakukan protes, termasuk di antaranya berunjuk rasa di gedung DPRD Tingkat II Poso di Poso dan DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah di Palu. Puncak kemarahan warga terjadi pada 1 Maret 1999, ketika sekitar 5.000 petani dari 15 desa melakukan unjuk rasa di kantor PT.TGK menuntut perusahaan menyerahkan kebun sawit kepada petani yang belum memperolehnya. Aksi panas itu diamankan oleh 1 satuan setingkat kompi (SSK) Brimob dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan 2 SSK Perintis dari Kepolisian Resor Poso. Bukannya meladeni aksi dengan dialog, PT. TGK mala h sebaliknya dengan memakai truck mengerahkan 50 eks transmigran asal Flores (NTT) yang membawa golok dan pentungan kayu dengan maksud menyerang pengunjuk rasa, sementara aparat keamanan hanya membiarkannya. Sebuah tindakan yang bodoh ketika ketegangan etnis dan agama sedang meningkat tajam di Poso saat itu, di mana di kemudian hari sebagian di antara eks trans asal NTT inilah yang dimobilisasi untuk melakukan kekerasan dalam konflik Poso sekitar tahun 2000 dan berakhir dengan eksekusi hukuman mati terhadap para petani itu, Fabianus Tibo, Dominggus Soares, dan Marinus yang dikriminalisasi sebagai penanggung jawabnya. Setelah unjuk rasa itu, aparat keamanan tetap ditempatkan di sekitar perkebunan, di mana sejumlah aktivis FKPPKS setiap hari selalu didatangi oleh aparat intel.
Kedua, hadirnya petani plasma di luar rencana, seperti dalam kasus PT. HIP merupakan buah dari konflik pertanahan yang panjang antara perusahaan dengan petani yang tinggal di sekitar areal proyek. Mereka menjadi petani plasma sebagai jalan keluar untuk meredam konflik yang meluas dan melelahkan yang tidak terp ecahkan setelah petani yang terg abung d alam FT B melak ukan reclaiming atas tanah-tanah pertanian mereka yang sebelumnya telah ditanami kelapa sawit. Melalui dialog yang keras, setelah sebelumnya anggota-anggota FTB dan aktivis Yayasan Dopalak Indonesia, sebuah LSM yang bekerja sama dengan FTB diteror melalui organisasi-organisasi tandingan dan sejumlah preman, maka muncul kesepakatan untuk menyerahkan 400 hektar lahan kelapa sawit kebun inti untuk dijadikan lahan plasma dengan prioritas kepada 191 petani dari 12 desa. Dalam kesepakatan itu perusahaan juga akan menambah program plasma sampai mencapai 1.500 hektar, di mana tidak akan menanam kelapa sawit pada lahan kebun rakyat untuk program plasma. Kesepakatan itu sendiri dilakukan oleh perusahaan dengan FTB dan disaksikan Bupati Buol, Ketua DPRD Buol Tolitoli, Kepala Kepolisian Resort Buol Tolitoli, Komandan Komando Distrik Militer (KODIM) 1305 Buol Tolitoli, dan pejabat pemerintahan lainnya. Bupati Buol Drs. Karim Hanggi kemudian mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan sebuah tim yang terdiri atas wakil-wakil pemerintah, termasuk kepala-kepala desa , dan w akil dar i FTB u ntuk menetapkan petani peserta plasma dengan prioritas diberikan kepada petani yang tanah pertaniannya terkenai dampak perusahaan. Dalam skema ini para petani plasma membentuk koperasi petani plasma kelapa sawit (Koptan Plasa) yang mewakili para petani. Para petani plasma kemudian memperoleh pembayaran setiap triwulan dari PT. HIP dengan potongan fee sebesar 5 persen untuk Koptan Plasa. Pembayaran oleh PT. HIP kepada petani plasma sendiri dimulai sejak 2005, yang didahului dengan rapat
23
penetapan harga jual tandan buah segar (TBS) yang dilakukan oleh sebuah tim penetapan harga Tingkat I Propinsi Sulawesi Tengah yang dilakukan setiap tiga bulan. Tim itu sendiri diketuai oleh Asis ten II Sekda Su lteng, yang beranggotakan wakil-wakil dari dinas Perkebunan, Perindustrian, Koperasi, Perdagangan, PT.HIP, dan Koptan Plasa. Dewa sa ini P T. HIP m ulai mengembangkan program plasma sekitar 1.000 hektar, terutama di atas lahanlahan milik eks transmigran yang berada di sekitar areal perkebunan. Tampaknya, perusahaan memanfaatkan sebuah klausul kesepakatan dengan FTB (20/6/ 2000) tentang pengembangan plasma sampai 1.500 dari 400 hektar yang sudah direalisasi. Anehnya, areal 1.000 hektar ini bukan diambil dari kebun inti, tetapi pada lahan-lahan perkebunan rakyat milik eks transmigran. Di Wanangun, desa paling dekat dengan kantor perusahaan dan merupakan desa eks transmigran asal NTB, NTT, J ABAR, J ATIM, APPDT penempatan 1994/95, sedang terjadi penanaman sawit pada lahan II (baik yang
sudah diolah dan maupun yang belum diolah) dan lahan persiapan seluas 600 hektar milik eks transmigran itu. 300 di antara warga desa itu akan menjadi petani plasma dengan memiliki 1 hektar kebun sawit dan 150 orang yang merupakan pecahan KK dan tambahan dari desa lain yang mengikut i progra m TSM (transmigrasi swakarsa mandiri) akan memperoleh masing 2 hektar kebun sawit. Menurut jurubicaranya, perusahaan juga sedang dalam proses persiapan plasma untuk penduduk dari desa-desa asli, di mana lahan-lahan pertanian mereka yang umum nya belu m beser tifikat akan difa silita si oleh perusa haan u ntuk memperoleh sertifikat hak milik. Pada laha n-lahan petan i yang akan diplasmakan ini tidak akan ada ganti rugi, tetapi dilakukan secara sukarela, di mana pada lahan-lahan mereka yang pada umumnya sudah ditanami kakao, warga membuat pernyataan penyerahan tanah untuk land clearing. Seju mlah mas alah mu ncul berk enaan dengan petani pla sma. Pert ama, terjadinya konsent rasi
KENDARAAN PENGANGKUT CPO : Perkebunan sawit Kab. Buol. doc. ytm
24
kepemilikan kebun plasma di tangan sebagian para petani plasma sendiri, di mana mereka menjadi tuan tanah baru dengan memiliki kebun plasma hingga di atas 10 hektar, yang memungkinkan mereka juga mengakumulasi lahan persawahan yang luas, dan bahkan kebun sawit di wilayah perkebunan sawit lain yang juga menerapkan pola plasma. Munculnya kelas tuan tanah baru ini juga ditandai dengan kedatangan penduduk, terutama pedagang dengan membeli kebun-kebun plasma milik para petani plasma. Dengan pendapatan bersih petani plasma di PT. TGK antara 4 – 5 juta per dua hektar s etiap b ulan mem buat kepemilikan kebun sawit menjadi bernilai secara ekonomi. Akibatnya transfer kepemilikan kebun sawit melalui jual beli menjadi lazim dengan harga jual antara 75 – 100 juta rupiah per hektar. Terkait dengan utang-piutang, biaya sekolah anak , biaya pernik ahan, b iaya pengobatan membuat sejumlah petani plasma menjual kebun sawit mereka kepada sesama petani plasma atau kepada penduduk pendatang yang tinggal di desa. Proses ini selain menciptakan ketimpangan dalam kepemilikan kebun kelapa sawit di kalangan petani, juga seju mlah petani pla sma, ka rena kehilangan tanah kebun sawit yang berharga, kemudian alih profesi menjadi buruh tani. Kedua, muncul keresahan di kalangan petani terutama berkenaan deng an ketidakjela san ren cana perusahaan untuk peremajaan kelapa sawit, di mana isu mengenai menurunnya prod uksi kelapa sawit yang t elah mencapai usia lebih tua. Seperti diketahui, usia produktif kelapa sawit adalah antara 25 s ampai 3 0 tahun . Fakta ini menu njukkan tingginya kon trol perusahaan kepada petani, melengkapi penguasaan mereka dalam pemasaran, di mana para petani tidak punya pilihan bebas untuk menjual hasil panen dan dalam penentuan harga. Dalam percakapan dengan petani mereka juga mengeluh meng enai maha lnya ha rga pup uk sehingga
membebani ongkos produksi. Ketiga, menyebarnya ketidakpuasan antara sesama petani di pedesaan, karena sebagian terpilih sebagai petani plasma dan lainnya tidak atau memperoleh lahan kebun yang lebih sedikit. Dalam kasus PT. TGK, ketimpangan kepemilikan lahan kebun sawit menimbulkan kecemburuan beralaskan suku, di mana kategori penduduk pendatang (Lombok, Flores, Jawa, Bali dan Bugis) dan penduduk asli menjadi isu yang tumbuh di bawah permukaan. Sementara di PT. HIP, sejumlah anggota FTB menyoal sejumlah hal mulai dari munculnya beberapa nama yang menurut mereka tidak layak menjadi petani plasma karena proses penunjukan yang tidak fair; rendahnya pendapatan petani plasma dari hasil penjualan buah sawit di mana setiap triwulan mereka hanya memperoleh antara Rp.400.000 hingga Rp. 500.000; hingga anggapan tidak bermanfaatnya program plasma, baik karena rendahnya pendapatan petani plasma maupun munculnya konflik terutama di antara sesama anggota FTB. Catatan penutup INDUSTRI perkebunan kelapa sawit menjadi contoh paling baru bagaimana transformasi kapitalis sedang berlangsung dengan jelas. Sifat-sifat industrinya yang pada t modal, berskala besar, dan melayani kebutuhan pasar secara global telah membuka ruang yang luas bagi peranan investasi swasta. Sangat jelas, industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah menggambarkan sedang berlangsungnya proses kerja hubungan prod uksi kap italis yang sem akin mendalam. Proses ini bekerja begitu kompleks terutama ditandai dengan (a) pemisahan petani dari alat produksi, dimulai dari hilangnya akses untuk mengolah lahan-lahan pertanian milik mereka di dalam sistem pertanian subsisten atau sistem di mana tanah dan tenaga kerja masih rendah tingkat komoditisasinya; (b) beralih menjual tenaga kerja dalam industri perkebunan sawit yang modern. Proses ini berjalan seiring bermigrasinya buruh-buruh tani
25
sewaan dari kegiatan pertanian pedesaan berskala kecil ke industri perkebunan kelapa sawit yang jauh lebih kapitalistik dan; (c) terjadin ya konsen trasi kepemilikan alat-alat produksi di tangan kelas kapitalis. Inilah tiga aspek kunci yang oleh Marx (1976) menyebutkannya sebagai akumulasi primitif. Proses ini berjalan, tentu karena peranan sentral pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan/kebijakan pemerintah yang mendukung di bidang pertanahan, perburuhan, dan programprogram penyediaan tenaga kerja murah melalui skema pemindahan penduduk misk in dari daerah- daerah p adat penduduk, di mana sejarah pemisahan mereka dari kepemilikan alat produksi sudah berlangsung lebih lama. Juga didukung dengan melalui kebijakan liberalisasi investasi dan keuangan, serta yang tidak kalah penting menyebarkan kekerasan, teror, dan intimidasi untuk mengakhiri klaim-klaim petani atas tanah dan sekaligus mendesak keluar sistem ekonomi prakapitalis. Keseluruhan proses ini yang memungkinkan akumulasi keka yaan sw asta dalam indu stri perkebunan kelapa sawit di daerah ini dapat berlangsung.
26
Palu, 28 Agustus 2009
Daftar Pustaka
Aditj ondro, G .J., (20 06) Koru psi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, tangsi, dan partai penguasa, Yogyakarta: LKIS. Aragon, L. (2001) Communal violence in Poso, central Sulawesi: where people eat fish and fish eat people, Indonesia, Vol. 72. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah (2005a) Sulawesi Tengah dalam Angka 2004, Palu Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah (2005b) Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Survey Rumah Tangga Perkebunan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu: Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Bisnis Indonesia (2009) UE janji ekspor CPO Indonesia tidak terganggu, Bisnis Indonesia, 27 Juli. Carter, C., et.al, (2007) Palm Oil Market and Future Supply, Eur.J. Lipid Sci. Technol, 109:307-314. Casson, A. (2002) The political economy of Indonesia’s oil palm sub sector dalam C.J. Cofler & I.A.P. Resosudarmo, (eds.) Which Way Forward?: People, forest, and policy making in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Colchester, M. et.al. (N.D.) Promised Land Palm Oil and Land Ac quisitio n in Indo nesia: Implicati on for l ocal communities and indigenous people, unpublished paper. Davis, G. (1976) Parigi: A Social history of the Balinese Movement to Central Sulawesi, 1907 – 1974, a PhD Dissertation at Stanford University. Eva Martha Rahayu (2006) Manuver Murdaya – Hartati Membangun Kerajaan Bisnis, Swasembada, No. 07/XXII/6-19 April. Gelder, J.W.V., (2004) Greasy Palms: European buyers of Indonesian palm oil, London: Friend of the Earth. Golden Agri-Resources Ltd., (2008) Annual Report 2008, Singapore: Golden Agri-Resources Ltd. Henley, D. (2005) Fertility, Food and Fever: Popu lation, economy and envi ronment in North and Cen tral Sulawesi, 1600 – 1930, Leiden: KITLV. Indonesian Commercial Newsletters (2008) Outlook Agribusiness – 2009, Indonesian Commercial Newsletter, December. Kantor Sensus dan Statistik Sulawesi Tengah (1988), Sulawesi Tengah dalam Angka 1987, Palu.
27
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (2006) Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit, Jakarta: Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Republik Indonesia. Kontan (2009) FTA Diteken Bea Masuk CPO Indonesia turun, Kontan, 9 Juli. Larson, D.F. (1996) Indonesia’s Palm Oil Subsector, Policy Research Working Paper, Washington, D.C.: The World Bank. Levang, P. (2003) Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta: KPG. Li, T.M. (2007) the Will to Improve: Governmentality, development, and the practice of politics, Durham: Duke University Press. Marx, K. (1990) Capital: A Critique of Political Economy (Volume I), London: Penguin Books. McRae, D. (2008) The Escalation and Decline of Violent Conflict in Poso, Central Sulawesi, 1998-2007. Unpub lished Dissertation, College of Asia and the Pacific, Australian National University. PT. Astra Agro Lestari, Tbk., (2008) Take Care for the Future: Laporan tahunan 2008, Jakarta: PT. Astra Agro Lestari, Tbk.
28
PT. Astra International, Tbk., (2008) Maintaining Momentum: Annual Report 2008, Jakarta: PT. Astra International, Tbk. Sami Darby Berhad (2008) Annual Report 2008, Kuala Lumpur: Sami Darby Berhad. Schrauwers, A. (200 0) Colo nial ‘Reformation’ in the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892 – 1995, Toronto: University of Toronto Press. Schrauwers, A. (1998) ‘Let’s Party’: State intervension, discursive traditionalism and the labour process of highland rice cultivators in Central Sulawesi, Indonesia, the Journal of Peasan Studies, vol. 25 (3): 112-131. Schwarz, A. (1999) A Nation in Waiting: Indonesia’s search for stability, NSW: Allen & Unwin. The Jakarta Post (2000) Malaysia’s Kumpulan Guthrie Wins Salim Plantation Firms, The Jakarta Post, 28 September. The Star (2009) Indonesia’s current Palm oil production far from target, June. [online]. akses m elalui: htt p:// biz.thestar.com.my/news/story.asp?file=/ 2 0 0 9 / 6 / 2 4 / b u s i n e s s / 4181 330&sec= busines s. [akses 29 Agustus 2009].