Sandeq Perahu Tercepat Nusantara

Page 1


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan per足足buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Sandeq Perahu Tercepat Nusantara CopyrightŠMuhammad Ridwan Alimuddin, 2009

Diterbitkan oleh: FORUM STUDI DAN DOKUMENTASI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MANDAR bekerjasama dengan YAYASAN AD DARASA

Sandeq Perahu Tercepat Nusantaraa Mandar: Forum Studi & Dokumentasi Sejarah & Kebudayaan, 2009 l + 268 hlm.: 14,5 x 20,5 cm Foto-foto isi: dokumen pribadi penulis

Desain Sampul dan Percetakan oleh: Penerbit Ombak Yogyakarta Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15 Yogyakarta 55292 Tlp/Fax (0274) 620606; email: redaksiombak@yahoo.co.id


Pengantar

Sandeq

adalah puncak kebudayaan Mandar dalam bidang kebaharian. Untuk melihat “keutuhan” sandeq, diperlukan banyak sudut pandang. Ya, sandeq memang perahu bercadik tercepat di kawasan Austronesia, dari Madagaskar ke Pulau Paskah, dari Taiwan ke Selandia Baru. Namun sandeq bukan hanya cantik dari tampan fisik dan elegan ketika membelah laut, sandeq memiliki banyak keindahan dan keagungan yang kasat mata. Bak seorang wanita, dia tidak hanya cantik dari fisik belaka, tapi memiliki “inner beauty”, kecantikan yang memancar dari dalam diri. Kecantikan yang kasat dari sandeq begitu dalam, butuh pengamatan telaten untuk menyingkapnya, dan sebagian terbungkus dalam rahasiamistik. Jauh hari sebelum pohon ditebang di hutan, ketika pemesan dan penebang kayu membuka lembar kutika yang kusam guna mencari hari baik, sejak itulah kita harus mulai melihat sandeq. Terus berlanjut ketika kayu dikeruk, ketika dibawa ke battilang, ketika sang tukang memulai ritual pembuatan, ketika …, dan ketika sandeq pertama kali menyentuh air laut. Itu baru awal. Bagaimana gerangan ketika sang punggawa mengikat leher kemudi ke kottaq sanggilang? Di saat tali layar ditarik, ketika punggawa menarik-ulur baya-baya, ketika angin datang dari sisi kanan, ketika tak ada arus, ketika angin begitu hebat, ketika ombak tak bersahabat, … dan ketika sandeq merapat kembali di pantai?


vi

muhammad ridwan alimuddin

Anak Sandeq: Anak pesisir kampung nelayan Pambusuang, Polman dan sandeq kecilnya.

Itu baru sebagian. Fisik sandeq begitu cantik, mengapa bisa demikian? Alasan apa yang ada di benak nelayan sehingga sandeq harus selalu putih dan bersih? Apa latar belakang sehingga ada filosofi “Lopi sandeq na malolo”? Masih ada. Sandeq untuk menangkap ikan tak dibuat lagi. Tapi itu bukan arti bahwa sandeq ditinggalkan. Sandeq tetap memiliki aura untuk tetap dibuat dan dilayarkan, meski bukan untuk menangkap ikan. Sandeq mulai “membumi”, tidak hanya ada di dunia para nelayan Mandar. Sandeq menjadi terkenal hingga orang Mandar tak merasa Mandar jika tak mengklaim dirinya bagian dari sandeq. Sandeq seakan lepas dari dunia laut. Mulai merambah dunia yang tak pernah di benak penemu sandeq. Sandeq mulai ada di logo dan mulai diinginkan agar dipatenkan, dan mulai diekspedisikan, meski itu bukan sandeq. Tukang sandeq diwawancarai media dan dibuat profilnya, passandeq mulai diabadikan kehebatannya ketika melayarkan sandeq, dan sandeq menjadi koleksi museum di mancanengara jauh di seberang Mandar, di benua lain. Ah, seakan mustahil menemukan dan mengeja sandeq dari “A” sampai “Z”. Harus butuh berapa sudut pandang untuk melihat semua sisi sandeq? Ironi, sandeq yang dari awal “sulit untuk melihat dirinya


sandeq perahu tercepat nusantara

vii

secara utuh” semakin susah ketika tak ada tulisan (buku) tentang sandeq yang dapat diakses masyarakat, baik di Mandar maupun di luar Mandar. Sandeq seolah-olah kita kenal, tapi sebenarnya tidak. Ketika ada yang bertanya “Sandeq itu apa?”, jawaban apa yang harus diungkap? Buku ini mencoba mengisi kekosongan referensi tentang sandeq, meski belum bisa menjawab secara utuh “Apa itu sandeq?” Isinya adalah catatan dari riset lapangan saya (yang didukung tulisan riset Horst H. Liebner) mengenai sandeq sejak tahun 2001 sampai 2007 dan komentar terhadap peristiwa yang berkaitan dengan sandeq (mengenai ide hak paten sandeq dan kegiatan ekspedisi perahu bercadik dari Mandar). Beberapa tulisan pernah dimuat di Harian Radar Sulbar, Harian FAJAR, majalah LIONMAG (majalah udara maskapai penerbangan Lion Air), majalah SAYA (majalah gaya hidup), majalah GERBANG (diterbitkan Dinas Infokom Sulawesi Barat), dan di website www. panyingkul.com. Harapan saya buku ini dapat menjadi bacaan bagi budayawan, kalangan pendidik, birokrat, generasi muda, dan unsur lain di masyarakat, baik di kalangan Mandar (Sulawesi Barat) maupun pihak di luar Mandar. Tulisan ini saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, seluruh kerabat saya dan seluruh komunitas bahari di Mandar.

Muhammad Ridwan Alimuddin Mandar, Oktober 2009


Daftar Isi

Pengantar Penulis Pengantar Daftar Istilah Bab I Mengenal Sandeq 1. Mengapa Sandeq Hanya Ada di Mandar 2. Pakur, Perahu Sebelum Sandeq 3. Mengikuti Jejak Sandeq 4. Jenis-jenis Sandeq 5. Bagian-bagian Sandeq 6. Pembuatan Sandeq 7. Upacara 8. Peluncuran 9. Melayarkan Sandeq 10. Perawatan 11. Mistik: Ussul dan Pemali 12. “Lopi Sandeqna Malolo” Bab II Lomba Sandeq 1. Teater Kolosal Berpanggung Laut 2. “Kami Kekurangan Pelaut” 3. Rumitnya Mempersiapkan Sandeq 4. Sponsor dan Keterlibatan Masyarakat 5. Aturan Lomba 6. Nama-nama Sandeq 7. Sosialisasi Lomba 8. Meliput Sandeq Race

viii


sandeq perahu tercepat nusantara

9. Terkeras, Terjauh, dan Tercepat di Dunia 10. Wisata Bahari 11. Pelaut di Atas Sandeq 12. Perbedaan 13. Memanfaatkan Momentum 14. Dari Karampuang Hingga Losari 15. Catatan Sandeq Race 2006 16. Cerita di Balik Penyerahan Hadiah 17. Sekilas Pendanaan 18. Sandeq Race 2007, Sandeq Race ke-10 19. Liputan Media Massa 20. Membidik Sandeq Bab III. Ekspedisi yang Gagal 1. Gagalnya Pelayaran Ekspedisi Perahu (Bukan) Sandeq 2. Tanggapan Terhadap Tayangan Spirit of Asian Voyagers Expedition 3. Mengambil Pelajaran dari Kegagalan Ekspedisi 4. “Sandeq� yang Bukan Sandeq 5. Napak Tilas yang Meragukan Bab IV Sandeq Sebagai Logo dan Ide Paten 1. Buat Apa Mempatenkan Sandeq? 2. Mustahil Mempatenkan Sandeq 3. Sandeq di Logo Provinsi Sulawesi Barat? 4. Sandeq di Logo Kabupaten Polewali Mandar? 5. Perahu di Logo Polman Bukan Sandeq Bab V Epilog: Meratapi Sandeq Terakhir Referensi Tentang Penulis

ix


Berikut adalah lebih 200 istilah kemaritiman Mandar, yang berkaitan dengan perahu sandeq. Simbol “---” adalah pengganti istilah yang di awal entri telah disebutkan (ditulis tebal). Sebagai contoh: “Baya-baya: Tali daman. Tali yang terletak di peloang …; Pasoqna ---: Tempat mengikat … ; Passailang ---: kayu yang digunakan untuk mengikat baya-baya …”, simbol “---” seharusnya berisi kata “baya-baya”. Demikian juga entri lain yang mempunyai beberapa turunan istilah. Huruf “q” digunakan sebagai pengganti simbol koma atas ( ...’ ) di akhir kata. Jadi pembacaan, misalnya kata sandeq dibaca sande’, siqoloq dibaca si’olo’, areq dibaca are’, pekkaq dibaca pekka’ dan lain-lain. Aju: Kayu. Bahan utama dalam pembuatan perahu tradisional. Pengadaan kayu merupakan kesulitan terbesar dalam usaha pengadaan bahan-bahan pembuatan perahu, khususnya bahan untuk belang di dalam pembuatan perahu sandeq. Berikut ini adalah jenis-jenis kayu yang umum digunakan dalam pembuatan perahu sandeq dan perahu jenis lainnya: tippulu atau kaccoda: sebab ringan serta kebal terhadap serangan serangga-serangga dan binatang lainnya yang merusak kayu maka merupakan bahan yang baik untuk pembuatan belang dan paqjonga-jonga; palapi (Kalapia cenlebica Kastern): lebih kuat dari tippulu, akan tetapi kayu ini gampang diserang perusak baik di laut maupun di darat serta lebih berat daripada tippulu. Bahan untuk pembuatan belang dan lapar; jati (Kayu jati, Tectona grandis Lf.): untuk bahan tajo; kalandara; gambus; paqmanu-manuq; baratang; sappuq (kayu besi


daftar istilah

xi

atau kayu uling): berasal dari Kalimantan, sangat kuat dan tahan terhadap segala macam perusak, tetapi berat. Kayu ini digunakan untuk pembuatan lunas perahu (sapatu pada lambung sandeq); passoq (pasak); dan pattolor sanggilang ; bitti (Vitex confassus Reinw.): digunakan untuk pembuatan bagian perahu yang tidak terkena air laut, sebagai pengganti jati; punaga: untuk pembuatan sangawing/paqlea; pali-paling; maqdun atau maqdang: bahan untuk pembuatan belang; bagang: untuk pembuatan sanggilang; paulu palattu; takal; kappu-kappu; tajo; gambus; guling; pekka; nanakukur: pembuatan paccong; kuqmil: atau kayu nangka untuk pembuatan paccong; malapau: untuk papang tobo; dingo: untuk belang; ranniq (Mimosa pudica, kayu lamtoro): untuk pembuatan tadhiq; pattung: (bambu petung) untuk pembuatan pallajarang; palatto; tarring: (bambu biasa) untuk pembuatan peloang; uwwe (rotan): untuk tambera; kanduruang: untuk pembuatan belang, bila tippulu atau palapi tidak ada. Ambing: Anjungan, yaitu teras yang berada di buritan perahu berukuran sedang, seperti baqgo atau kappal. Untuk jenis kappal umumnya digunakan sebagai tempat memasak dan buang air sedangkan untuk baqgo sebagai tempat mengemudikan perahu. Anging: Angin; --- kaccang: angin yang kencang; --- janda: Istilah yang digunakan nelayan untuk menyebut keadaan angin yang terjadi pada pertengahan musim timur. Diistilahkan demikian karena saat-saat itu keadaan angin yang sangat kencang sering meminta korban (nelayan), pada gilirannya membuat isteri mereka menjadi janda. Terjadi pada bulan Juni, Juli, dan memuncak pada Agustus; --- manuq: Angin yang bertiup pada subuh hari ketika ayam mulai berkokok (manuq = ayam); Laso ---: (laso = penis) Salah satu bentuk bahaya di laut. Pemunculan laso anging walaupun terjadi sangat cepat namum tanda-tanda kemunculannya dapat diketahui sebelumnya. Bila keadaan angin dalam keadaan


xii

muhammad ridwan alimuddin

kencang, langit yang mendung dan kehitam-hitaman, dan dari jauh ombak menghambur ke atas, maka pelaut meyakini akan segera muncul laso anging. Laso anging biasanya berupa “sebatang” hujan raksasa yang nampak turun dari segumpal awan, yang nampak mirip dengan tornado. Untuk dapat terhindar dari bahaya laso anging, pada umumnya para pelaut mengambil langkah-langkah sebagai berikut: bila laso anging sudah nampak dari jauh, para pelaut merubah haluan atau segera berlayar menyamping agar tidak searah dengan arah putaran angin tersebut, karena gerak dan arah laso anging selalu searah dengan angin yang sedang bertiup; semua awak perahu menanggalkan semua pakaiannya; barang-barang yang dapat terbawa angin (benda yang ringan) yang terdapat di atas perahu, segera dimasukkan ke dalam ruang perahu. Cara yang bernuansa mistik yang biasa dilakukan oleh sebahagian pelaut Mandar ketika berhadapan dengan laso anging: berdiri di haluan perahu kemudian berteriak: “Engkau dan aku sama-sama berbahaya, janganlah di antara kita saling merusak”. Ada juga yang membuka celana, sehingga penisnya kelihatan, mengereksikannya untuk kemudian berteriak: “Wahai laso anging, kamu tidak usah ke sini, karena di sini ada yang serupa denganmu”; --- baraq: angin barat; --- timor: angin timur. Annangguru: Guru (spiritual). Annangguru merupakan tempat bagi para nelayan atau pelaut memperoleh paqissangang aposasiang dan paqissangang sumombal (lihat paqissangang), khususnya dalam hal mistik (do’a, mantra-mantra, prilaku, dsb). Yang identik dengan istilah annangguru adalah panrita (ulama), pande lopi (ahli perahu) dan sando (dukun). Appire: Kapuk hitam sebagai bahan dasar pembuatan parapa. Areq: (1) Perut; (2) Pengucapan lambung perahu secara keseluruhan.


daftar istilah

xiii

Arus: Arus; Aru- ---: Arus kecil yang terjadi atau tampak di atas permukaan laut. Merupakan tempat yang biasa didatangi ikan terbang untuk bertelur sebab di tempat itu banyak bendabenda hanyut yang terkumpul sambil terbawa arus; Pa---: Alat yang digunakan untuk mengetahui arah arus yang terjadi di bawah permukaan laut yang terbuat dari tasi (monofilament) atau tali yang panjangnya sekitar 50 depa. Di ujung paarus terdapat pemberat batu atau tembaga. Baca-baca: Mantra-mantra atau do’a-do’a yang digunakan pada suatu perbuatan yang bersifat ritual/mistik. Mambaca: lihat kuliwa. Bacciq: Kampak bertangkai pendek. Digunakan sebagai alat potong dalam proses pembuatan perahu. Balacu: kain yang terbuat dari serat “karung�, dulu sebagai salah satu bahan layar perahu. Balakang: (1) Bagian-bagian paaro yang belum dihaluskan/ diraut, seperti bassarang dan paaro; (2) Lihat belang. Balango: Jangkar yang terbuat dari batu dan batang kayu, jika terbuat dari besi diistilahkan sapparaya. Sekilas bentuknya mirip penggabungan salbi dengan huruf L. Bagian atas diikatkan batu karang yang dibentuk sedemikian rupa (kotak), sedang ujung bawahnya berupa kayu lengkung yang berujung tajam. Balimbungang: (1) Bubungan rumah, puncak rumah atau balok pada puncak rumah tempat melekatkan atap; (2) Bambu yang berfungsi sebagai tempat penahan bagian tengah atap sementara pada beberapa jenis perahu, misalnya kappal. Banniang: Bagian yang panjang (lengan) dari tadhiq; Tasi ---: lihat tasi. Barakkaq: (1) Berkah; (2) Kumpulan berbagai jenis makanan dan kue yang disusun di atas baki besar yang setelah selesai pembacaan kitab barasanji dan doa bersama pada acara kuliwa atau


xiv

muhammad ridwan alimuddin

syukuran. Barakkaq dibagi dan diberikan kepada para panrita atau sando dan semua yang hadir dalam upacara baca doa itu. Barakkaq biasanya terdiri atas pangan terbuat dari nasi ketan (songkol atau sokkol), kue, pisang, telur, dan ketupat kecil. Barallo: lokasi (ruang) di antara ambing dengan ruangan perahu yang terdapat pada perahu baqgo dan lambo. Baraq: (1) Musim (angin) barat; (2) Arah barat (270 derajat), yang biasa disebut baraq tappaq (‘hanya barat’); (3) Besi tua yang umumnya berasal dari wajan tua. Sebagian nelayan menjadikannya sebagai jimat, misalnya di rumpon atau perahu. Wajan tua dijadikkan sebagai ussul kematangan dan kekuatan bagi benda yang menggunakannya. Jika digunakan di rumpon, selain membuatnya tahan lama, juga berfungsi sebagai penangkal atas guna-guna dari pihak lain. Demikian juga bila baraq di perahu. Biasanya ditanam di haluan perahu dan tempat sanggar kemudi (sanggilang); Sinding ---: Penutup kamar (palka) perahu, yang terbagi atas: sinding baraq diolo (penutup kamar depan) dan sinding baraq buiq (penutup kamar belakang). Masing-masing terletak di sisi lapar uluang dan lapar palamin. Baratang: Cadik. baratang adalah dua batang kayu balok panjang dengan ukuran 8:9 dengan panjang perahu. Letaknya ada di depan tepat di bawah paccong depan dan yang satu terletak di tengah badan perahu. baratang dipasang menembus badan perahu persis di bawah papan tadhiq (menembus papang lamma atau tariq). Untuk sebagian jenis sandeq lain, misalnya jenis badecceng, baratang haluan tidak menembus ruang perahu tetapi diikat di atas geladak haluan tepat di belakang paccong. Posisi ujung baratang haluan lebih tinggi daripada baratang buritan; Oroang --: Lubang di sisi perahu (di bawah lapar) yang berfungsi sebagai tempat masuknya baratang. Sisi atas lubang yang berbentuk segi empat tersebut lebih kecil daripada sisi bawah. Oroang baratang


daftar istilah

xv

untuk baratang buiq di bagian dalam berhimpitan langsung dengan lubang yang ada di gambus, demikian juga dengan baratang olo, kecuali jenis sandeq badecceng yang kedua baratang-nya berada di atas lapar (palka). Adapun sandeq callawai hanya baratang olo yang diikat di atas lapar; pallapis ---: lihat pambuang lepa-lepa. Baruq: Bahan pelapis antar sisi papan yang disusun/disambung saat proses pembuatan perahu agar susunan lambung perahu tidak menyisakan ruang (tidak bocor); --- gallang: baru yang berbahan kulit kayu yang digunakan sebagai bahan . Umumnya berasal dari Kalimantan. Barung-barung: (1) Balai-balai bambu; (2) Bangunan yang terdapat di atas rumpon yang dapat dijadikan tempat duduk nelayan ketika memancing atau di saat menjemur ikan di tengah laut. Basung: Tempat alat pancing yang terbuat dari kayu bulat yang dilubangi tengahnya. Penggunaan basung yang terbuat dari kayu untuk saat ini sudah sangat jarang, nelayan lebih memilih menggunakan jerigen plastik yang dipotong sebagai wadah penyimpanan alat tangkap (pancing) sebab lebih ringan dan dapat digunakan sebagai pelampung darurat. Istilah lainnya adalah paannang parewa atau tempat barang; Basu- ---: basung berukuran kecil. Battilang: Bangunan sederhana yang dijadikan sebagai tempat perlindungan saat pembuatan perahu, biasanya hanya terdiri dari atap daun nipah dengan bertiangkan batang-batang bambu. Istilah lainnya kalampang. Baya-baya: Tali daman. Tali yang terletak di peloang bersama dengan pekka yang berfungsi sebagai tali pengontrol bukaan layar. Ujung tali dipegang oleh pengemudi perahu atau diikatkan ke sanggilang; Pasoqna ---: Tempat mengikat baya-baya yang letaknya tepat di bawah sanggilang moane bagian belakang atau


xvi

muhammad ridwan alimuddin

antara sanggilang moane dengan paccong; Passailang ---: kayu yang digunakan untuk mengikat baya-baya. Terletak di sisi belakang sanggilang moane. Bisa juga diistilahkan pakkaeq --- atau passappeang ---. Benu: sabut kelapa. Dulunya, baya-baya terbuat dari serat benu. Sebab kuat tapi ringan. Cara pembuatannya, kulit kelapa yang telah dibuang kuliat terluarnya direndam sekitar satu minggu. Setelah itu, dipukul-pukul dengan kayu agar bagian bukan-serat terlepas. Kemudian dikeringkan untuk kemudian dipintal dengan teknik tertentu. Belang: (1) Telanjang, (2) Bagian bawah atau lambung perahu, terbuat dari sebatang kayu yang utuh. Di bagian dalam dikeruk dengan biqung (cangkul kecil) dan pahat untuk mendapatkan rongga atau ruangan bawah perahu. Ponna (bagian bawah pohon) biasanya menjadi bagian haluan. Belang merupakan bagian yang paling pertama dikerjakan dalam pembuatan perahu bercadik. Biasa juga diistilahkan balakang; Pilisna ---: Bagian runcing di haluan/buritan belang. Biluq: Istilah yang digunakan dalam penentuan posisi layar terhadap arah datangnya angin (untuk menentukan haluan perahu), yaitu: jika perahu akan diarahkan menghadap lebih kearah angin; Sambang ---: lihat sambang. Biqung: Cangkul. Dalam pembuatan perahu, ukurannya kecil, digunakan untuk membuat (menggali) lubang pada sebatang kayu yang akan dibuat menjadi balakang atau untuk menghaluskan bagian dalam lambung perahu diawal-awal pengerjaan. Bittoeng: Secara harfiah berarti bintang. Untuk istilah Mandar, dapat pula berarti gugusan bintang, planet, dan bintang itu sendiri (satu bintang). bittoeng merupakan alat bantu navigasi paling penting yang digunakan nelayan Mandar, khususnya pada malam hari. Selain itu, posisi bittoeng dapat juga dijadikan sebagai


daftar istilah

xvii

tanda datangnya musim, keadaan angin, ikan yang muncul, dsb. Sebagai contoh, pada bulan Juli, semua tanda-tanda (bintang) sudah tampak semua tepat di atas kepala ketika subuh hari (jam 3—4). Saat tanda-tanda bintang muncul sudah sedikit nelayan yang melakukan motangnga disebabkan ikan terbang yang bertelur sudah sedikit dan angin sudah bertiup kencang; Tai ---: meteor (biasa juga disebut solloq). Bodi-bodi: Jenis perahu yang bentuk lambungnya disesuaikan dengan penggunaan mesin sebagai penggerak utama, yaitu lebih ramping dan panjang. Jenis perahu ini mulai muncul ketika penggunaan mesin mulai banyak dimanfaatkan oleh nelayan Mandar. Panjang perahu ini berkisar delapan sampai sepuluh meter; lebar sekitar dua meter; dan kedalaman palka satu meter. Palka dari tengah lambung sampai haluan mempunyai ‘pintu’ yang besar, sebagai tempat penyimpanan peti-peti yang berisi es batu. Di bagian buritan mempunyai bangunan yang diistilahkan kamar, sebagai tempat mengemudikan perahu dan tempat beristirahat. Bose: Dayung, ukurannya sekitar 1,5 meter, biasanya terbuat dari kayu bagang atau jati. Bentuknya ramping dan ringan agar memudahkan pengoperasiannya. Muaq basemi ---, naperumbumi lapurang: (“Jika dayung telah basah, maka berasaplah dapur�). Ungkapan yang digunakan komunitas nelayan sebagai bentuk keyakinan bahwa jika mereka turun ke laut, mereka akan tetap bisa makan (mendapat hasil).; Mam---: mendayung; Pambose- ---: Alat tangkap pancing yang menggunakan banyak pancing, 17 mata pancing yang menggunakan umpan manik-manik dan benang yang berwarna-warni.; Tarungan ---: Batang dayung. Buaro: Bubu. Alat tangkap yang oleh potangnga digunakan untuk menangkap ikan terbang. Perangkap yang terbuat dari bambu dan berbentuk tabung yang mulutnya diberi lembaran-lembaran daun kelapa atau kulit jagung yang kering. Buaro berbentuk bulat


xviii

muhammad ridwan alimuddin

panjang (mirip gendang), terbuat dari potongan-potongan bambu, diiris kecil-kecil, kemudian diikat secara rapi hingga membentuk ‘tabung’ buaro. Pada kedua ujung buaro dibuatkan pintu kecil sebagai tempat atau jalan masuknya ikan terbang yang dipinggir mulut lingkaran itu dipasang paqaro (bambu yang disayat-sayat tajam dan runcing) dengan posisi sedemikian rupa agar ikan dapat masuk dengan mudah tetapi tidak bisa keluar. Bubukang: Tali pembuka layar. Buku: (1) Tulang; (2) Ruas kayu. Bulu: (1) Warna; (2) Rambut, bulu. (3) Bulu ijuk yang ditempatkan di ujung pallajarang (tiang layar) yang berfungsi sebagai penangkal hantu laut. Bumbungan : (1) Tumpuan tiang agung, yang terbuat dari balok kayu, tengahnya berlubang yang berfungsi sebagai penahan pallajarang, dipasang melintang dan menempel di dinding dalam perahu bagian kiri dan kanan pada dasar lunas, di tengah balok terdapat lingkaran yang diameternya sedikit lebih besar daripada diameter pallajarang yang berfungsi untuk menahan ujung tiang. Istilah lainnya tubal; (2) kayu (papan) kecil yang melintang di bagian atas lambung lepa-lepa, berfungsi menguatkan lambung lepa-lepa dan sebagai tempat menyandarkan patteppang. Cappuq arabaq: (cappuq = habis, terakhir; arabaq = Rabu) Rabu penghabisan, ketika hari Rabu menjadi hari terakhir dalam satu bulan. Hari yang menurut potika adalah hari yang tidak baik/buruk untuk memulai suatu pekerjaan, misalnya pembuatan perahu, berangkat ke laut, dsb. Ca’diang: Menggulung sebagian layar yang sedang terkembang untuk menghindari terbaliknya perahu atau patahnya pallajarang ketika angin terlalu kencang dalam pelayaran. Catoq: alat yang digunakan untuk merapatkan susunan papan pada lambung perahu. Biasanya menggunakan lilitan tali (seperti


daftar istilah

xix

usaha torniket pada Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) atau alat khusus untuk merapatkan papan yang terbuat dari besi. Istilah lainnya paqgagang. Dappa: Depa. Jarak antar ujung telapak tangan ketika tangan/ lengan direntangkan. Daung: Daun; --- guling: bagian utama guling (kemudi) yang bentuknya panjang (lebar) dan tipis; --- bose: bagian utama di dayung, bentuknya pipih dan lebar. Dengngeang: (dengngeq = pikul, memikul) (1) Tali yang dibuat melingkar dengan diameter sekitar 20 cm yang fungsinya menahan salah satu ujung pambaqgor ketika dilakukan pemasangan/ pengikatan tadhiq ke baratang; (2) tali yang digunakan untuk mengikat guling pada sanggilang. Epeq: Jepit; --- -epeq: Alat tangkap yang digunakan untuk mengumpulkan telur ikan terbang sewaktu motangnga, selain buaro. Epe-epeq bentuknya lebih sederhana dari pada buaro sebab hanya terdiri dari lembaran-lembaran daun kelapa kering yang diikatkan/dipasang di bilah-bilah bambu atau rotan. Gae: Pukat cincin (purse seine). Alat tangkap gae terbuat dari bahan sintetis, merupakan alat yang menggantikan kedudukan jala sebagai alat tangkap utama di rumpon; pa---: nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan gae. Galagang: Tempat duduk yang terdapat di lepa-lepa atau sebagai lantai di dalam lambung perahu pakur, sandeq, soppe-soppe dan katitting. Terbuat dari rangkaian bilah-bilah bambu, dengan ukuran panjang 40 cm dan lebar 30 cm; --- uluang: Galagang yang terdapat di haluan lepa-lepa yang fungsi utamanya menahan ikan yang ada di dalam lepa-lepa agar tidak melompat keluar (di saat memancing). Galendrong: Tempat gulungan tali pancing yang terbuat dari kayu. Berbentuk lingkaran dengan bagian sisi sebagai tempat


xx

muhammad ridwan alimuddin

menggulung tali; bagian tengah dibuat berlubang, sebagai pegangan. Diameternya bermacam-macam, 10—20 cm, tergantung besarnya nomor tali monofilament dan yang digunakan. Gambus: (1) alat musik petik, sejenis gitar; (2) gading tebal sebagai penahan baratang yang berbentuk huruf Y. Posisi gambus sama dengan tajoq yang menempel di dinding lambung perahu. Istilah lainnya tajoq gambus. Gamo: Pelepah daun pohon sagu. Merupakan gabus alami. Biasa digunakan sebagai bahan pelapis dalam pembuatan lambung perahu. Gayung: Dayung bergagang panjang, hampir dua meter. Dulu digunakan sebagai alat penggerak pada perahu layar bila hembusan lemah. Gagang gayung disisipkan ke semacam cincin di sisi perahu sehingga penggunaannya lebih ringan. Proses kerjanya seperti tuas. Adapun pendayung duduk membelakangi haluan agar memudahkan proses mendayung. Gisirang: Pegangan pada guling (kemudi). Gulang: Tali. Guling: Kemudi. Papan yang lebar dan tebal yang bentuknya mirip dengan pisau pemotong daging. Fungsinya sebagai alat kemudi perahu yang dipasang pada bagian buritan, tepatnya di belakang sanggilang (kiri atau kanan); Daung ---: lihat daung; Mang---: Mengemudikan perahu. Bila dilakukan di perahu sandeq: dengan cara memegang dan mengendalikan gisirang guling yang dilakukan di buritan perahu (lapar palaming), mengatur bukaan layar, dan mengarahkan perahu; Sabir ---: Tali pengikat leher kemudi, jika diganti dengan sebatang kayu disebut pakkilas. Biasa juga disebut tuluq pandengngeq ---; Oroang pandengngeq ---: lihat sangila Hantu laut: Slah satu bahaya di laut. Menurut pengetahuan tradisional pelaut Mandar, hantu laut biasanya muncul dalam bentuk titik-titik yang menyerupai kunang-kunang atau kembang


daftar istilah

xxi

api yang terdampar di atas permukaan laut (tapi bukan plankton), atau hinggap di atas tiang layar. Beberapa saat kemudian, titik-titik tersebut akan berubah menjadi air yang semakin lama semakin membesar memenuhi seluruh ruang perahu untuk kemudian menenggelamkannya. Cara menghilangkan: awak perahu harus melakukan hal-hal sebagai berikut: mengambil jeruk nipis dan diperas untuk kemudian diteteskan kepada hantu laut; bila jeruk nipis tidak ada, celana dalam dapat juga digunakan, yaitu dengan memukulkannya pada hantu laut tersebut; mengambil seutas tali ijuk yang kemudian dipukulkan pada hantu laut tersebut. Dalam pengetahuan ilmiah, ‘hantu laut’ adalah Api St. Elm yang timbul karena perbedaan tegangan di antara permukaan laut dengan udara, sehingga di ujung atas tiang dan tempat-tempat lain muncul lidah api kecil. Adanya api St. Elm itu menandai bahaya terjadinya angin ribut. Untuk mencegah munculnya hantu laut di tiang layar, nelayan memasang seikat tali ijuk di ujung tiang layar yang diistilahkan bulu. Jepa: Makanan yang dibuat dari dari ubi kayu parut yang sudah diperas airnya, dicampur kelapa parut dimasak di dalam acuan berlapis dua berbentuk bundar dan agak cekung sebesar piringan hitam; --- -jepa: Jepa yang dikeringkan untuk kemudian dihancurkan. Jeqneq keboq: (jeqneq = air; keboq = putih) Suatu peristiwa alam ketika permukaan laut berubah warna menjadi putih karena angin yang sangat kencang. Warna putih disebabkan oleh gelembung-gelembung udara yang banyak terdapat dipermukaan atau seperti busa sabun. Jeqneq keboq biasa terjadi pada bulan Agustus. Jimaq: Jimat. Kabe-kaber: Tali tempat menjemur telur ikan terbang. Kalakala: Pertemuan antara dua aliran arus atau lebih yang


xxii

muhammad ridwan alimuddin

berlawanan yang kemudian menimbulkan pusaran air yang berputar ke arah bawah permukaan laut, yang dapat mengakibatkan perahu berputar untuk kemudian tenggelam. Kalampang: lihat battilang. Kalandara: (kalang = tulang; dara = dada) Balok-balok pasak yang melintang di kedua sisi perahu bagian atas yang berfungsi sebagai tumpuan lapar perahu. Biasa terbuat dari kayu jati. Kanuku: (1) Kuku; (2) Lapisan yang terdapat di sudut layar pada layar. Kappal: Kappal adalah jenis perahu yang bentuknya lebih hidrodinamis dibandingkan dengan baqgo atau panjala. Mesin sebagai alat penggerak utamanya. Berukuran panjang 13—20 meter, lebar tiga meter, dan dalam palka 0,9 – 1 meter. Di bagian atas terdapat ruangan yang diistilahkan ‘kamar’ berjarak sekitar dua meter dari buritan perahu, mempunyai tiga pintu (dua samping dan satu belakang), dan beberapa jendela. Digunakan sebagai tempat mengemudi, beristirahat, dan perlengkapan nelayan. Ruangan berukuran panjang 5—5,50 meter, lebar 3—3,15 meter, dan tinggi 1—1,20 cm. Atap ruangan datar dan dijadikan tempat menjemur ikan olahan, tempat menyimpan lepa-lepa, dan lain-lain. Atap berlanjut ke arah buritan perahu yang digunakan sebagai tempat memasak, makan dan buang air yang diistilahkan ambing. Kappu: Tungku; --- -kappu: ‘Pemegang’ (lubang tempat masuknya) pallajarang yang terletak di geladak (lapar). Karena menerima beban yang besar, untuk membuat kappu-kappu harus digunakan kayu yang utuh (besar) dan kuat. Biasanya digunakan karet ban dalam mobil (ban bekas) untuk menutupi bagian kappukappu yang terbuka ketika pallajarang sudah terpasang. Ini untuk menghindari masuknya air laut/hujan ke dalam ruang perahu. Istilah lainnya pallu-pallu. Biasa juga disebut salar. Kaqjoli: (1) roda (secara umum); (2) alat yang digunakan


daftar istilah

xxiii

untuk membantu memudahkan pemindahan perahu sewaktu di darat, yang berfungsi sebagai roda. Terbuat dari sebatang kayu bulat; sawi ---: lihat sawi. Karakayi (manggaragaji): Arti harfiahnya adalah ‘menggergaji’. Istilah ini digunakan ketika haluan perahu ‘melawan’ arah angin (angin berasal dari depan perahu). Dikatakan manggaragaji karena jalur perahu membentuk garis zig zag agar perahu dapat maju ke depan. Karoroq: Salah satu bahan baku pembuatan layar waktu lampau. Terbuat dari serat pappas yang ditenun yang berasal daun lanu (semacam lontar) kering. Katitting: Jenis perahu bercadik yang tidak menggunakan layar ataupun dayung sebagai penggeraknya, tetapi mesin. Mesin yang diletakkan di samping kiri geladak perahu yang mempunyai lengan yang panjang untuk menghubungkan mesin dengan balingbaling yang terletak di samping kiri buritan. Umumnya digunakan sebagai sarana untuk menangkap bibit-bibit udang (pambibiq). Berukuran panjang lima meter, lebar 0,80 meter dan dalam 0,50 meter. Kesamaannya dengan jenis perahu sandeq adalah geladak juga ditutupi baik sebagai alat pelindung agar air tidak masuk, juga sebagai tempat awak perahu dan mesin. Kawao: Gurita raksasa, merupakan salah satu bahaya di laut. Cenderung hanya sebuah mitos. Kawu-kawu: Kapuk. Isi buah kapuk digunakan sebagai salah satu bahan untuk pelapis kayu, bersama baruq. Kayang: Lembaran daun pohon lanu (sebangsa palem) yang dikeringkan, disusun sedemikian rupa hingga membentuk lembaran lebih besar dengan ukuran kira 60cm x 250cm. Lembaran ini dapat digunakan sebagai atap sementara di perahu, tempat jemuran ikan, selimut, atau sebagai tikar. Khidir (Hedere; Hidir): Nabi yang menurut kepercayaan


xxiv

muhammad ridwan alimuddin

nelayan dan pelaut Mandar (juga di daerah lain yang menganut agama Islam) adalah utusan Allah yang menjaga lautan. Kilu: Tajoq pada jenis perahu yang berukuran besar, yang terdapat di bagian dasar perahu (melintang di atas lunas). Kosseng: Lihat paqbulu. Kottaq: (1) Pacar, kekasih; (2) Lubang pada sanggilang sebagai pemegang/penahan langole. Istilah lainnya ettaq sanggilang; Mak--: Pembuatan lubang tempat kemudi di sanggilang. Kuliwa: Upacara ritual. Biasa dilaksanakan ketika akan “meresmikan� sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap ukuran besar (yang berharga mahal, misalnya gae dan ketika memulai kegiatan penangkapan (setelah lama tidak beroperasi, misalnya motangnga). Kuliwa dilaksanakan di kediaman punggawa posasiq yang dipimpin oleh seorang pemuka agama (panrita) dan dihadiri oleh kru perahu, tetangga, dan tokoh masyarakat; Ma---: melakukan kuliwa. Biasa juga diistilahkan mambaca. Kutika: Lihat potika. Labe (lawe): (1) mulut; (2) pelapis pada bagian pinggir perahu agar tidak cepat aus. Bahan yang umum digunakan adalah bambu atau selang (pipa) plastik. Bahan ini biasanya terdapat pada perahu lepa-lepa, yang bagian pinggirnya tersebut sering bergesekan dengan lengan dayung ketika sedang mendayung; --- petaq: lihat petaq; Pal---: Papan/batang kayu yang digunakan untuk menutupi samping kiri-kanan lapar uluang dan palamin yang terletak di di bawah garis geladak utama yang berperan sebagai terali; --- petaq: Kayu yang dipasang di semua sisi lubang pintu masuk palka. Lakung: Palu (alat pemukul) berukuran besar yang digunakan untuk merapatkan susunan papan dinding perahu saat proses pembuatan. Lambo: Jenis perahu niaga jarak jauh, mempunyai haluan


daftar istilah

xxv

(sotting) yang sangat runcing karena anjungannya menonjol ke depan dua sampai lima meter. Bentuknya mirip dengan pinisi, tetapi ukuran lambo lebih kecil. Buritannya bulat dan disebut panta, mempunyai daya angkut sepuluh sampai 60 ton; berawak lima sampai sepuluh orang. Lamesa: Sudut (“siku�) pada bagian sisi lambung perahu. Lamole: Simpul pada ujung tali, yang berfungsi mencegah terurainya serat-serat pada tali tersebut; --- guling: lihat langole. Langole: Leher kemudi perahu (pada sandeq, katitting dan lepa-lepa yang menggunakan cadik) yang biasanya dibalut dengan lilitan tali untuk mempermudah gesekannya dengan dinding kottaq di sanggilang dan supaya tidak cepat aus. Lapar: (1) Lantai; (2) Palka atau penutup lambung yang berfungsi sebagai palka pada sandeq dan katitting; --- palaming: Lantai perahu yang terdapat di buritan, merupakan tempat duduk ketika mangguling; --- uluang: Lantai perahu yang terdapat di haluan perahu, tepatnya di atas baratang uluang atau di depan pintu petaq depan. Lattang: Lantai rumah yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Juga terdapat di dalam palka perahu yang dipasang di atas lepe yang umumnya diistilahkan galagang. Lemba-lembarang: (1) Sebatang kayu yang terdapat di samping perahu atau di ujung sanggilang moane yang berfungsi sebagai penahan sampan sewaktu disimpan di atas perahu (lihat pambuang lepa-lepa); tempat bom layar; (2) balok yang melintang di atas palka untuk mengikat pallewa-lewa. Lembong: gelombang atau ombak. Lemo: (1) Jeruk; (2) Ujung bawah tambera yang berfungsi sebagai tempat tali yang mengikat tambera pada baratang. Bagian ini terbuat dari kayu yang sisinya dikelilingi oleh tali (rotan) tambera. Untuk memperkuat lilitan tambera terhadap kayu


xxvi

muhammad ridwan alimuddin

tersebut digunakan tasi (monofilament). Istilah lainnya panggapanggaloq atau pijajing. Lepa: Dempul alami yang terbuat dari campuran pallili (serbuk batu kapur) dan minyak kelapa. Digunakan untuk melapisi lambung perahu, khususnya perahu pakur dan baqgo. Cara penggunaannya menggunakan irisan buah pepaya mentah; ---lepa: Sampan. Jenis perahu penangkap ikan atau alat transportasi jarak dekat yang terbuat dari sebatang pohon kayu (gelondongan) besar. Ada lepa-lepa yang diberi satu cadik, ada dua. Jenis perahu ini dipergunakan untuk menyeberangkan awak perahu dari pantai ke perahu, atau alat transportasi di sungai. Fungsi lainnya adalah sebagai perahu sekoci di perahu yang lebih besar (sandeq, panjala, dan kappal) dan juga sebagai perahu pembantu untuk menangkap ikan di lokasi yang agak jauh tempat perahu induk menambat (di rumpon), selain sebagai perahu penangkap ikan di daerah pantai. Ukuran lepa-lepa sangat tergantung pada besarnya diameter pohon yang akan digunakan sebagai bahan baku. Namun umumnya berukuran 3—4 meter panjang, lebar 0,5 meter, dan dalam 0,40 meter. Untuk menggerakannya digunakan bose (dayung) yang juga sebagai kemudi; mallepa-lepa: bersampan, menggunakan lepa-lepa; pambuang ---: lihat tege-tege; oroang ---: lihat tege-tege. Lepe: Kayu panjang yang dipasang di atas tajoq. Lete: Jenis perahu niaga berukuran sedang. Kapasitas angkut berkisar 10—40 ton, dan berawak 5—10 orang. Model layar perahu lete adalah segi tiga, runcing ke arah haluan atau layar nade. Bentuk lambung mirip dengan perahu baqgo. Lewa-lewa: Geladak samping terbuat dari beberapa bilahan bambu. Saat perahu digunakan untuk lomba, bagian ini tidak dipasang; galaqgar ---: kayu yang melintang di antara balok kayu lewa-lewa yang memanjang. Berfungsi untuk memperkuat bilahbilah bambu yang terdapat diatasnya (lantai); lattang ---: bilah-


daftar istilah

xxvii

bilah bambu pada lewa-lewa; paindo ---: dua balok kayu di ujung balok panjang lewa-lewa yang panjangnya adalah juga lebar lewalewa; galaqgar ---: kayu yang melintang di antara balok kayu lewalewa yang memanjang. Berfungsi untuk memperkuat bilah-bilah bambu yang terdapat diatasnya (lantai); Rammatang ---: jalinan tali yang digunakan untuk merangkai bilah-bilah bambu (lantai) pada lewa-lewa. Lolos: Kayu yang terdapat di dalam lambung perahu sandeq, dipasang (ditempel) di sekitar ujung bawah tajoq. Merupakan tempat galagang. Lopi: Secara harfiah berarti “perahu”. Dalam kehidupan seharihari, saat ini, penyebutan lopi biasa digunakan untuk menyebut jenis perahu tradisional (baqgo dan sandeq), yang membedakannya dengan jenis perahu modern (kapal dan bodi-bodi); --- -lopi: mainan perahu; --- sandeq na malolo. “Perahu sandeq yang cantik”. Ungkapan yang mengungkapkan bentuk sandeq yang ideal. Para pelaut Mandar memiliki angang-angan tentang rupa atau “model” “perahu sandeq yang cantik”. Cet-nya harus putih-bersih; pekerjaannya harus rapi dan halus; kayunya baik, ringan, kuat, dan tanpa lubang-lubang; modelnya harus runcing, laju dan seimbang; Pallanggaq ---: lihat pallanggaq; Pande ---: Tukang perahu; Posiq ---: lihat posiq; Punggawa ---: lihat punggawa; Sando ---: orang yang memimpin ritual dalam pembuatan perahu. Biasanya diperankan langsung oleh pande lopi. Lumalang: Batang kayu yang digunakan sebagai landasan perahu saat berada di daratan, yang berfungsi menstabilkan posisi perahu tersebut. Kedua ujung kayu tersebut dihubungkan dengan sisi perahu (diikat) dengan menggunakan tali. Lunas: Bagian bawah perahu dari haluan ke buritan. Bagian lunas kenampakannya tidak sama dengan yang ada di perahu jenis lain, misalnya baqgo atau pinisi sebab lunas yang ada di sandeq


xxviii

muhammad ridwan alimuddin

menyatu alami dengan belang. Jika sudah mengalami keausan, bagian bawah sandeq biasanya ditambal dengan aju sappu (kayu besi) yang diistilahkan massapatui (‘dikenakan sepatu’). Jika sudah ditambahi kayu tersebut, lunas akan lebih kentara, khususnya jika dilihat dari bagian samping/luar lambung perahu. Malino: (lino = bumi, dunia, daratan) Keadaan cuaca laut yang angin ‘sangat sedikit’ atau tidak ada yang membuat permukaan laut menjadi tenang. Mambuaq: (buaq = naik) Kegiatan menaikkan (mendorong) perahu ke arah darat. Manetteq: Kegiatan menenun/membuat sarung sutera Mantel: Tali penahan peloang. Manurung: (1) Orang yang turun dari langit yang pertama kali mendiami suatu daerah. Dalam beberapa lontar, diceritakan beberapa kisah to manurung, yaitu asal mula dan turunan raja/ bagsawan beberapa kerajaan; (2) istilah to manurung digunakan untuk menyebut tui-tuing pada musim motangnga, selain maraqdia (raja). Ini disebabkan adanya mitos yang menyebutkan bahwa tuituing adalah turunan raja. Mapunang: Jika seseorang yang akan keluar dari rumah (misalnya nelayan akan pergi melaut) disodori/disebutkan makanan kepadanya, maka dia harus makan atau paling tidak mencicipi makanan tersebut, sebab jika tidak dia akan mapunang (akan terjadi sesuatu yang jelek dalam perjalanannya tersebut, misalnya kecelakaan). Merupakan suatu bentuk pemali jika menolak hal tersebut. Maqulu: (ulu = depan, kepala) Kegiatan menurunkan (mendorong) perahu ke arah laut. Maraqdia: (1) Raja; (2) Karena kepercayaan yang mengatakan bahwa tui-tuing adalah keluarga raja, maka para potangnga menggantikan nama tui-tuing dengan maraqdia (atau to manurung)


daftar istilah

xxix

di musim motangnga. Marepeq: Salah satu jenis bambu. Umumnya digunakan untuk membuat rumpon. Diameternya lebih besar dari bambu jenis tarring, tetapi lebih tipis. Mattimbang: Teknik yang dilakukan awak perahu sandeq agar perahu tidak terbalik. Ketika perahu dilarikan dengan cepat dalam keadaan angin yang bertiup kencang, salah satu sisi perahu (arah datangnya angin), yaitu palatto, akan terangkat. Agar posisi perahu tetap stabil, beberapa sawi akan berdiri di baratang atau di palatto untuk memberi beban sisi perahu yang terangkat tersebut. Awak menggunakan tali yang terikat di pallajarang sebagai pegangan sewaktu mattimbang; Timbangang: (1) alat timbang atau neraca; (2) Tali yang dipakai sebagai pegangan ketika awak perahu melakukan timbang. Mattottoqi: (tottoq = cekung, lubang) Kegiatan membuat lubang pada marepeq sebagai tempat masuknya pattolor dalam kegiatan pembuatan lubang posiq pada lambung perahu. Olanmesa: Jenis perahu bercadik yang ukurannya lebih kecil dari pada pakur. Menggunakan jenis layar tanjaq yang besar. Posisi baratang buritan hampir terletak di tengah perahu dan baratang haluan terletak lebih ke arah dalam, mirip dengan posisi baratang pada perahu pakur. Posisi tiang layar terletak di depan baratang buritan atau di tengah perahu. Kedua paccong-nya berbentuk runcing, yang membedakannya dengan jenis perahu pakur dan sandeq yang melebar di ujungnya. Tidak ada papan palka (penutup lambung). Saat sekarang, perahu jenis olanmesa di Mandar sudah tidak digunakan lagi. Olo wallaq: Salah satu versi mengartikan kata ini dengan “olo� = depan; “wallaq� = demi Allah, dipakai untuk bersumpah, untuk meyakinkan lawan bicara, bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Kalimat ini diucapkan secara keras ketika mendorong


xxx

muhammad ridwan alimuddin

perahu yang dilakukan secara bertahap. Tujuannya untuk memberi semangat bagi para pendorong perahu. Ore angkat: Kalimat yang digunakan ketika mengangkat perahu (pemberi semangat). Oroang: (1) tempat; (2) --- lepa-lepa: lihat tege-tege; (3) --paqdengngeq guling: lihat sangila. Paccong: Ujung haluan/buritan perahu. Paccong terbuat dari kayu nangka atau jenis lain, berbentuk limas segitiga, bagian tengah paccong yang mengarah ke atas ukurannya lebih kecil daripada bagian atas atau dengan kata lain memiliki lekukan khas di bagian tengah. Paccong merupakan sedikit bagian dari perahu pakur/ sandeq yang membedakannya dengan jenis perahu lain (ciri khas); --- buiq: ujung perahu yang terdapat di buritan; --- olo: ‘Hidung perahu’, paccong yang terdapat di haluan perahu; --- palamin: sama dengan paccong olo. Padewakang: Jenis perahu yang berukuran besar dan meng­ gunakan layar jenis tanjaq. Pada armada dagang dan perang kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan tipe perahu padewakang yang paling besar ukurannya. Perahu padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis selama ratusan tahun melayari perairan Nusantara, mulai dari Papua sampai Semenanjung Malaya dan digunakan untuk mencari tripang di utara Australia. Setelah pelaut Sulawesi mengkombinasikan layar tanjaq dengan jenis layar fore-and-aft asal Eropa, maka istilah perahu mengalami perubahan, yaitu menjadi pinisi. Padi-padi: bendera-bendera kecil pada perahu. Biasanya dipasang pada tali tambera. Pa’epe: Lihat pambaqgor. Paeq: Pahat, salah satu alat dalam pembuatan perahu. Pakka: Cabang; --- peloang: Cabang kayu yang berbentuk huruf Y yang memegang peloang pada pallajarang. Ujung bawah pakka


daftar istilah

xxxi

dimasukkan ke dalam bambu peloang untuk kemudian diikat dengan kuat; Pattoeq ---: Tali pemegang ujung peloang pada tiang. Pakkilas: Lihat guling. Pakur: Sebelum kemunculan jenis perahu sandeq, pakur (dan olanmesa) merupakan jenis perahu bercadik yang digunakan nelayan Mandar. Perbedaanya dengan sandeq, pakur memakai layar segi empat yang dinamakan sobal tanjaq sehingga tiang layarnya harus disesuaikan, yaitu berukuran pendek (sekitar lima meter) dan lurus; letak baratang pakur juga lain, baratang buritannya terletak dekat sanggilang (sanggar kemudi) perahu di belakang lambung, sedangkan sandeq, baratang buritannya dipasang di sekitar tengah lambung perahu. Palaming: Palka perahu bagian buritan; lapar ---: lihat lapar. Palari: lihat pinisi. Palatto: Katir. Sebatang bambu (jenis bambu lurus yang mempunyai diameter besar) jenis pattung (bambu petung). Untuk mengikat palatto pada tadhiq digunakan tali yang disebut tasi. Dulu nelayan menggunakan kulit rotan sebagai pengikat. Fungsi utama palatto adalah untuk menjaga keseimbangan perahu. Adapun fungsi lain adalah sebagai tempat berdiri para awak perahu ketika melakukan timbang (menyeimbangkan perahu ketika angin menekan layar ke sisi lain); Paulu ---: Sepotong kayu yang dimasukkan (disumbatkan) ke dalam ujung depan bambu palatto. Bagian depannya menipis dan meruncing sehingga mudah membelah permukaan laut (hidrodinamis); Pallapis ---: lihat pallapis. Paliliang: Jahitan kedua pada lipatan layar untuk menahan tali aris dalam. Pali-paling: (1) Bahu; (2) Salah satu bagian haluan perahu yang terdapat di bawah paqjonga-jonga atau di atas sangawing pertama. Sisi bawah pali-paling sejajar dengan lapar (lantai palka perahu).


xxxii

muhammad ridwan alimuddin

Pallajarang: Tiang layar. Pada pallajarang (dari bawah ke atas) terdapat: pambaqbe pallajarang, pattahang bubukang, palapis tambera, tege-tege, dan paqmanuq-manuq atau takkalaq; Panusur ---: Tali pemegang layar pada pallajarang; Caliccing ---: Cincin dari kawat besar untuk mengarahkan bubutan yang terdapat di pammanuq-manuq; Caliccing aju ---: Sepotong kayu berlubang yang yang terdapat di pammanuq-manuq yang fungsinya untuk mengarahkan bubutan bawah/kedua agar bagian atas layar tidak terbuka jauh dari tiang; Tege-tege ---: lihat tege. Pallanggaq: Alat penyangga; --- lopi: Kayu yang digunakan untuk menahan perahu (menempatkan perahu di atas kayu). Dilakukan demikian agar perahu mudah dibersihkan; tidak terendam di dalam air laut; tidak bersentuhan dengan permukaan tanah/pasir yang dapat merusak lunas perahu. Biasanya terbuat dari kayu yang bulat atau balok. Pallapis: pelapis; --- palatto: Bambu yang terdapat di antara ujung tadhiq bagian bawah dengan palatto. Berfungsi sebagai pelapis antar keduanya, agar palatto tidak cepat rusak dan ikatan yang ada keras tapi elastis; --- tadhiq: kayu atau karet yang terdapat di ujung tadhiq bagian atas yang berfungsi melapisi hubungan antara tadhiq dengan baratang; --- baratang: lihat pambuang lepa-lepa. Palleppeng: Bilah kayu yang berbentuk huruf V yang fungsinya menjadi haluan perahu bersama dengan paccong dan paqlea. Bagian ini terletak antara paccong dan paqlea. Istilah lainnya paqjongajonga. Pallu: tungku; --- -pallu: lihat kappu-kappu. Pambaqbe: Tali yang digunakan untuk mengikatkan pakkopa kepada bagian perahu yang akan diperkuat (yang ada kemungkinan untuk patah/retak, misalnya baratang, tadhiq dan palatto). Pambaqgor: Alat bantu yang digunakan ketika mengikat tadhiq ke baratang. Terbuat dari sebatang kayu yang sedikit melengkung


daftar istilah

xxxiii

dengan panjang 1,5 meter. Di bagian yang melengkung terdapat cekungan sebagai tempat masuknya pundak tadhiq ketika dilakukan penekanan ke baratang. Di salah satu ujung pambaqgor diikatkan dengngeang yang berfungsi sebagai penahan ketika ujung yang lain ditekan ke bawah. Pambariwa: Dua bambu yang digunakan sebagai tempat pemasangan atap sementara pada perahu. Bagian pinggir plastik (atap) diikatkan pada pambariwa. Di bagian tengah diperkuat oleh balimbungang. Pambasse: Tali pengikat gulungan layar. Pana-pana: rotan yang dijadikan sebagai alat pengukur dalam pembuatan perahu. Biasa juga digunakan ketika akan mencari pohon atau yang akan digunakan sebagai bahan pembuat perahu. Pangga-panggaloq: lihat lemo. Pangoli: Nelayan yang menggunakan sandeq (ukuran kecil) yang berangkat melaut pada subuh hari dan kemudian kembali siang atau sore hari. Diistilahkan mangoli karena teknik penangkapan mereka, yang menggunakan pancing ulur, mengelilingi rumpon atau perairan karang. Karena sifatnya yang demikian, sandeq yang mereka gunakan sangat laju dan lincah agar dapat memburu ikan serta dapat membalik haluannya dengan cepat. Ukurannya sekitar 6—7 meter, lebar sekitar 50cm, dan dalam kurang dari satu meter. Tinggi tiang layar 7—9 meter. Panjoli: (1) ‘Pengunci’ yang memegang dua pasoq yang digunakan ketika menyambung dua papan saat pembuatan lambung perahu; (2) Kayu kecil yang berbentuk segi empat dengan lubang di tengah yang diikat di atas baratang olo, berfungsi sebagai tempat mengikat letteq tambera. Pannarai: Tiang dan balok melintang yang digunakan sebagai sandaran peloang dan tenda/atap perahu pada perahu sandeq dan pakur. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat pengamatan atau


xxxiv

muhammad ridwan alimuddin

memperluas daerah pandangan di lautan. Istilah lainnya adalah paqtimang-timang dan tandangan. Papang: Papan; --- lamma: Papan yang menyusun dinding perahu yang terdapat di bagian bawah (di atas belang pada perahu yang tidak menggunakan lunas). Biasa juga disebut pallamma yang secara harfiah berarti ‘pelemah’; --- tariq: Papan penyusun dinding perahu yang terdapat di bagian tengah; --- tobo: papan yang menyusun dinding-dinding perahu yang terdapat di bagian atas, jika penggunaan papang tariq belum cukup untuk membentuk tinggi lambung yang diinginkan. Istilah tobo (tombo) juga berarti kain yang ditambahkan pada kain lainnya untuk melengkapinya (pattombo). Mat---: Kegiatan menyusun dinding perahu. Papayeqneq: Penjepit untuk sangawing yang dipasang ketika mengerjakan perahu. Pappakkal: Sepotong kayu kecil yang digunakan untuk merapikan ikatan sewaktu pemasangan tadhiq, palatto dan sebagainya. Pappalele: (lele = pindah) Pedagang ikan yang berperan sebagai perantara antara nelayan dengan konsumen. Biasa juga berperan sebagai pemberi modal atau punggawa pottana (punggawa darat). Mappalele berarti memindahkan. Jadi arti harfiah pappalele adalah orang yang memindahkan. Maka defenisinya adalah pappalele adalah orang yang menjualkan ikan hasil tangkapan nelayan, baik keluarganya sendiri maupun orang lain ke konsumen. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh isteri-isteri nelayan. Setidaknya ada dua jenis pappalele, yaitu yang terikat dengan punggawa posasiq dan pappalele yang tidak terikat (bebas dan mandiri). Pappaluangang: (1) Tempat masuk; (2) Daerah di sekitar batu karang yang aman untuk dilewati perahu atau pintu untuk masuk pelabuhan baik yang alami maupun buatan. Paqalloang: (allo = siang) Tempat menjemur. Biasanya terdapat


daftar istilah

xxxv

pada perahu yang digunakan untuk mencari telur ikan terbang yang kemudian diistilahkan paqalloang tallo atau jemuran telur. Biasa juga disebut kabe-kaber. Paqallu-allung: Mirip dengan galagang, tetapi memanjang (tidak terpotong-potong). Paqbulu: Sargassum sp. Sejenis alga laut yang banyak terdapat di komunitas terumbu karang. Alga laut ini mempunyai sejenis pelampung yang disebut holdfast. Digunakan oleh potangnga sebagai salah satu bahan utama di dalam pembuatan alat tangkap telur ikan terbang. Paqigu: Lihat motangnga (tangnga). Paqissangang: (1) ilmu; (2) guna-guna; --- aposasiang. Pengetahuan mengenai lautan dan cara penangkapan ikan; -- sumombal. Pengetahuan berlayar. Mengandung pengetahuan tentang pelbagai hal yang berhubungan dengan laut, pelayaran, cuaca, bahaya-bahaya, mantra-mantra, dsb. yang diperlukan seorang pelaut untuk berlayar di atas lautan; --- paqlopiang: pengetahuan mengenai pembuatan perahu dan ritual-ritualnya. Paqjonga-jonga: (jonga = rusa) Lihat palleppeng. Paqlea: Paqlea terbuat dari cabang kayu besar yang berbentuk V (alami). Paqlea akan membentuk sudut depan dan belakang perahu yang dipasang di atas belang pada kedua ujungnya. Paqlea diistilahkan juga sangawing. Paqmanuq-manuq: (manuq = ayam; manuq-manuq = burung) Kayu yang dimasukkan ke dalam ujung tiang pallajarang. Tambahan ini diperlukan sebab bambu yang dilubangi cepat patah. Fungsinya sebagai tempat mengikat bendera. Paqmanuq-manuq terbuat dari kayu jati. Paqtimang-timang: Lihat pannarai. Pareba (parewa): (1) Barang-barang, harta, alat-alat; (2) Ramuan; (3) Dalam komunitas nelayan diartikan sebagai alat-alat


xxxvi

muhammad ridwan alimuddin

yang mereka gunakan, misalnya pancing, tali pancing, tali temali perahu, buaro, dan sebagainya; Mapparawung ---: Menurungkan alat tangkap (buaro) ketika akan memulai menghanyut dalam kegiatan motangnga; Paqannang ---: Secara harfiah berarti “tempat barang-barang�. Secara khusus di kalangan nelayan, dapat berarti wadah untuk menempatkan alat tangkap pancing. Biasanya terbuat dari tali yang dibentuk menjadi sebuah keranjang atau jerigen (wadah air) yang dipotong menjadi dua bagian, dengan bagian atas berfungi sebagai penutup bagian bawah. Jika terbuat dari kayu diistilahkan basung atau basu-basung. Parripping: Jahitan pertama untuk menghubungkan tali aris layar luar dengan layar. Pasarangang: Keseluruhan potongan untuk hubungan antara sangawing dengan papan-papan penyusun lambung perahu. Terbagi atas dua, yaitu lubang lidah yang diistilahkan pui (vagina) dan lidah yang diistilahkan pallasoang (laso = penis). Pasoq: Pasak kayu yang digunakan ketika pembuatan perahu, khususnya pada saat menyusun dinding perahu atau memasang papan pada tajoq. Terbuat dari beberapa jenis kayu, tergantung peruntukannya. Misalnya kayu besi dan bambu (untuk perahu ukuran kecil, misalnya lepa-lepa). Passogo: Sepotong kayu kecil yang digunakan untuk mengikat ujung tali aris layar. Passoqdiang: Bagian lunas di haluan/buritan. Passummeq: Kayu kecil yang agak runcing yang digunakan untuk membuat ‘jalan’ tempat masuknya ujung tali di antara lilitan ketika dilakukan pemasangan tadhiq; --- sobal: Bilahan bambu yang digunakan untuk menahan lipatan layar sebelum dijahit. Pattahang: Penahan; --- bubukang: Tempat mengikat bubukang Patteppang: Lihat andua.


daftar istilah

xxxvii

Pattung: Bambu petung. Jenis bambu yang diameternya berukuran besar. Sebagai bahan utama pembuatan palatto dan pallajarang. Parapaq: Bahan penyumbat celah atau persambungan antar papan. Pattupaq: Kayu penopang. Digunakan untuk menstabilkan posisi perahu bercadik ketika berada di daratan. Ujung bagian atas pattupaq diikat di baratang atau palatto. Pau-pau macca: (pau-pau = ucapan-ucapan; macca = porno, berbicara kotor, cerewet) Sewaktu melakukan motangnga, para nelayan ‘dianjurkan’ untuk mengucapkan pau-pau macca. Dalihnya, agar ikan terbang terangsang sehingga mereka banyak bertelur. Peang: Pancing; Carita --- bulabang: (Cerita pancing emas). Cerita yang berkembang di masyarakat nelayan Mandar bahwa ikan terbang mempunyai asal usul tersendiri, yang dari cerita tersebut yang menjadi dasar adanya tradisi kegiatan penangkapan telur ikan terbang saat ini. Cerita rakyat ini mengatakan bahwa ikan terbang adalah hadiah yang diberikan oleh kerajaan di bawah laut kepada seorang bangsawan dari kerajaan di darat. Bangsawan dari darat sampai ke kerajaan bawah laut untuk mencari pancing kerajaan yang ditelan oleh seekor ikan. Sewaktu tiba di kerajaan laut dia mendengar bahwa raja sedang sakit dan barang siapa yang dapat menyembuhkannya akan dikabulkan segala permintaannya. Menyadari bahwa sakitnya disebabkan menelan pancing emasnya, bangsawan tersebut menuju istana kerajaan untuk mengobati sang raja. Di dalam usaha pengobatan tersebut sang bangsawan dari darat meminta air putih untuk diminumkan ke sang raja. Sewaktu sang raja membuka mulutnya, pangeran melihat pancing emasnya yang terkait di leher sang raja dan kemudian mengambilnya dengan diam-diam. Setelah raja menyadari kesembuhan dirinya, raja kemudian kembali pada janjinya yang ia kemukakan dahulu.


xxxviii

muhammad ridwan alimuddin

Yang pada akhirnya bangsawan dari darat memilih seekor burung yang ada di dalam istana. Raja kemudian menyampaikan kepada tamunya tersebut bahwa burung tersebut mempunyai kebiasaan yang akan memakmurkan negeri yang memilikinya, tapi ia hanya muncul sekali dalam setahun. Untuk menyambutnya mereka harus menyediakan daun-daun kelapa di sekitar perahu untuk didatangi burung tersebut dan memberikan rezeki yang dimaksud (telur ikan terbang); Pameang: Pemancing. Pekkaq: Tali yang digunakan untuk menarik/mengulur/ menahan layar. Pekkaq ada dua utas, keduanya diikatkan pada sisi bawah peloang. Pekkaq disambung dengan baya-baya dengan menggunakan tukal. Peloang: Bom layar. Bambu yang dilekatkan pada sisi bawah layar, fungsinya sebagai penggulung dan pemberat layar; Panusur --: Tali pengikat layar pada peloang; Pallabong ---: batang kayu yang terdapat di ujung peloang (dimasukkan ke dalam ujung bambu); pakka ---: lihat pakka. Pemali: Pantangan atau larangan. Secara umum, pemali adalah bagian dari ussul. Yang cenderung membedakannya adalah pemali lebih banyak berkisar pada ussul yang bersifat larangan. Sedangkan ussul dapat mencakup semuanya, baik yang bersifat larangan maupun praktek-praktek yang harus dilakukan. Petaq: Pintu masuk ke dalam ruang palka perahu. Pintu ini terdapat di geladak. Petaq yang terdapat di sandeq umumnya berjumlah tiga sampai empat: di haluan, lambung, dan buritan di dekat sanggar kemudi. Pintu petaq dapat dibuka-tutup dengan mudah, dengan desain pintu yang memungkinkan air laut tidak masuk ke dalam ruang palka (tidak berengsel dengan penahan di tiap sisi yang berfungsi menahan pintu agar tidak bergeser dan air tidak masuk ke dalam roang yang diistilahkan labe petaq), berbentuk segi empat; Lawe ---: lihat labe.


daftar istilah

xxxix

Pijajing: Lihat lemo. Pilis: (1) Pipi; (2) Bagian sudut lambung perahu. Pinisi: perahu niaga yang cukup terkenal dari Sulawesi Selatan, dibuat oleh tukang perahu yang bermukim di Bira, Bulukumba (Suku Konjo, bukan Suku Bugis). Sebagai perahu dagang terbesar, kapasitas perahu ini berkisar 50—400 ton. Sebelum menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak utama, pinisi umumnya diawaki 15—20 orang. Berikut ini adalah sejarah timbulnya perahu pinisi di Sulawesi Selatan, sebagaimana yang dituturkan Horst dalam catatan penelitiannya. Layar dan perahu jenis pinisi mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Konon ceritanya, di Kuala Trengganu tinggallah seorang Perancis atau Jerman, yang telah melarikan diri dari sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa (atau tak mau ikut ke Indonesia ketika Malaka diserahkan oleh Belanda kepada Inggris) ke Trengganu di mana ia menikahi seorang gadis Melayu dan bekerja sebagai tukang besi. ‘Versi romantisnya’ adalah, bahwa pada suatu hari Raja Trengganu kala itu, Sultan Baginda Omar, meminta si bule membantu membuat sebuah perahu yang menyerupai perahu barat yang paling modern, sehingga dibangunkannya suatu kapal sekunar yang dipakai sebagai perahu kerajaan; ‘perahu pinisi pertama’ serta si bule yang bernama Martin Perrot itu dilihat dan ditemui oleh seorang nakhoda Inggris pada tahun 1846 ketika berlabuh di Kuala Trengganu. Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam Bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang. Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu pinisinya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak


xl

muhammad ridwan alimuddin

pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya. Bahkan, dalam sebuah armada bajak laut “berbendera Belanda” (dan dengan ini berasal dari Indonesia?) yang beroperasi dekat Singapura pada tahun 1836 terdapat beberapa perahu yang “rigged as a schooner with cloth sails” – artinya, bukan hanya di Trengganu, tetapi di beberapa tempat lain di Nusantara tipe layar yang terakhirnya menjadi ‘The Indonesian Schooner’ itu mulai digunakan. Bagaimanapun, jenis kapal layar yang dapat melawan angin dengan jauh lebih baik daripada jenisjenis perahu tradisional Nusantara maupun full-rigged-ship Eropa itu sempat mengungguli saudagar laut asal baik dalam maupun luar Nusantara: Dibandingkan dengan perahu dan kapal layar tipe lain yang menggunakan layar andang-andang, sebuah sekunar dengan sangat lincah dapat beropal-opal ke mata angin, sehingga ia tak tergantung dari arah angin monsun yang berabad-abad lamanya mendikte arus pelayaran dan perdagangan di Nusantara; layarnya dapat dicocokkan dengan hampir semua kekuatan angin; jumlah tenaga pelaut yang di diperlukan untuk menguasainya jauh lebih kurang daripada tipe-tipe layar lain. Dengan jelas, sukses perahu sekunar itu menjadi dorongan buat para pedagang-pelaut asal Sulawesi itu untuk mencoba menerapkan layar yang serupa di atas perahu-perahu mereka. Sebuah perahu pinisi lengkap memakai tujuh sampai delapan helai layar: Tiga helai layar bersegitiga yang terpasang pada laberang depan tiang haluan, pada masing-masing tiangnya sehelai layar besar bersegi empat serta sehelai layar topser bersegitiga di atasnya, dan pada laberang depan tiang buritan sering terdapat lagi sehelai layar bersegi-tiga. Posiq: Pusar; pusat; --- arriang (--- boyang): Tiang utama rumah. Untuk rumah panggung yang ada atau dibuat oleh orang Mandar,


daftar istilah

xli

posiq arriang adalah tiang kedua dari depan; tiang kedua dari kanan. Dari segi mistik, posiq arriang dijadikan oleh masyarakat Mandar sebagai “jembatan� (hubungan transcendental) dengan Tuhan. Ini tampak dari kegiatan-kegiatan ritual yang dilaksanakan di rumah semuanya berpusat di sini, misalnya meletakkan bahanbahan ritual; meletakkan alat tangkap yang baru akan digunakan; dan sebagainya; --- lopi: lubang yang terdapat di dasar lambung perahu; Map---: Pemberian (pembuatan) sebuah lubang di belang (lunas) perahu; kegiatan ritual menutup ulang posiq lopi (pemberian ‘jiwa’) ketika perahu lama tidak dilayarkan atau ketika perahu akan digunakan pada kegiatan yang berbahaya, misalnya motangnga atau dilombakan. Potika: Alat yang digunankan untuk mengetahui waktu-waktu yang baik atau buruk. Biasanya berupa matriks dengan beberapa simbol yang mengartikan keberuntungan atau kematina (rugi atau keburukan). Hari Selasa dan cappuq Arabaq (Rabu terakhir dalam satu bulan) dianggap hari buruk. Setiap sub waktu dari waktu sehari semalam juga terdiri dari waktu yang dipandang baik dan waktu yang kurang baik. Pui-pui asu (pui = vagina, asu = anjing): kayu penghubung antar tali. Berfungsi agar tali tidak terlilit. Pukaq: jaring insang (gill net); Map---: Kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan pukaq. Punggawa: (1) Ketua, pimpinan, kepala; (2) Orang yang mempunyai otoritas keilmuan, pengalaman atau kemampuan ekonomi dalam sebuah kelompok nelayan yang menjadikan mereka menjadi pemimpin di kelompok tersebut; --- lopi; (nakhoda) Nelayan yang memimpin di satu armada perahu atau satu kelompok nelayan; --- posasiq: istilah lain dari punggawa lopi; --- pottana: Orang yang mempunyai kemampuan ekonomi untuk memberi bantuan modal pendanaan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan.


xlii

muhammad ridwan alimuddin

Punggawa pottana juga merupakan pemegang saham terbesar untuk alat tangkap yang dimiliki, misalnya perahu, gae, dan mesin. Jadi dalam satu kelompok nelayan, bisa terdiri dari beberapa punggawa pottana. Untuk menjadi seorang punggawa pottana, seseorang tidak harus menjadi seorang nelayan. Perempuan juga dapat berperang sebagai punggawa pottana. Randang: Istilah lain untuk menyebut gulang yang berarti tali; --- lambe: Tali yang dibuat oleh penduduk di Dusun Lambe, Desa Karama dengan menggunakan bahan baku limbah tali dari pelabuhan-pelabuhan besar; --- pattalekko: Tali yang digunakan untuk menambatkan perahu ketika berada di pinggir pantai. Roang: Bagian dalam perahu (ruang palka). Roppong (roppo): Rumpon. Alat bantu penangkapan ikan yang terbuat dari bambu (atau gabus). Bentuknya mirip rakit. Roppong dipasang di tengah laut, pada keadalaman berkisar 300 – 1500 meter. Bagian bawah roppong dipasangi beberapa lembar daun kelapa yang berfungsi sebagai alat pemikat ikan. Pada waktuwaktu tertentu, nelayan menjaring dan memancing ikan yang ada di sekitar roppong. Sambang: Lari ---: Angin dari samping; --- turuq: jika posisi bukaan layar 45 derajat; --- biluq: jika posisi bukaan layar sekitar 22 derajat. Sambeta: Alat yang digunakan di perahu tak bercadik, berfungsi untuk meredam gelombang ketika sedang berlabuh atau saat sedang menghanyut (dalam kegiatan motangnga). Bentuknya menyerupai huruf T, lengannya terbuat dari balok kayu yang besar dan sedikit melengkung dan di bagian ujung, yang dimasukkan ke dalam laut, terdapat papan tebal yang berfungsi meredam gelombang. Jika menggunakan satu sambeta, diletakkan di haluan kanan perahu. Sambeta dilepas ketika perahu akan dijalankan/dilayarkan. Sandeq: (1) Runcing, (2) Salah satu jenis perahu bercadik


daftar istilah

xliii

ganda Mandar. Bentuknya ramping memanjang, mirip dengan perahu pakur tapi berbeda posisi baratang dan ukuran tinggi tiang layar. Baratang olo pada sandeq persis di bawah paccong olo, sedang pada pakur agak ke tengah, tak jauh dari tiang layar. Tiang layar sandeq terbuat dari bambu, sedang pakur dari kayu. Panjang antara lima sampai dengan kurang lebih tiga belas meter. Dipakai sebagai alat transportasi laut (mengangkut manusia dan barang) di pesisir pantai daerah Mandar dan antarpulau. Juga digunakan para nelayan/pelaut Mandar menangkap ikan tuna, ikan terbang dan sebagainya. Dengan hembusan angin yang baik kecepatannya 15-20 knot atau sekitar 30-40 km/jam; --- Race: lomba perahu sandeq, khususnya yang menempuh rute jarak jauh (beberapa puluh kilometer). Sando: Dukun; --- lopi: lihat lopi. Sanggilang: Balok sanggar kemudi. Terbuat dari dua papan tebal bersusun yang terletak di buritan perahu. Berfungsi sebagai tempat memasang guling (kemudi perahu); --- moane: (moane = laki-laki) kayu sanggilang yang berada di bagian atas; --- baine: (baine = perempuan) kayu sanggilang yang berada di bagian bawah, lebih panjang daripada sanggilang moane dan bentuknya lurus (sanggilang moane agak bengkok); Pattolor ---: Pasak kayu yang menghubungkan antara sanggilang moane dengan sanggilang baine; Ettaq --- : lihat kottaq. Sangila: sebatang kayu kecil yang dipasang di belakang sanggilang moane (sejajar dengan ettaq sanggilang) yang berfungsi sebagai tempat mengaitkan dengngeang guling. Istilah lainnya adalah oroang pandengngeq guling. Sapatu: (1) Sepatu, (2) Kayu yang ditambahkan di bagian bawah lunas perahu sandeq atau pakur ketika dasar lambung tersebut sudah mulai aus; Mas---i: Kegiatan memberi ‘sepatu’ ke lunas perahu yang sudah aus.


xliv

muhammad ridwan alimuddin

Sapparaya: Jangkar yang terbuat dari besi (lihat balango). Sasiq: Laut; Po---: Nelayan; pelaut; Baine po---: isteri nelayan/ pelaut; Mo---: Melaut, pergi menangkap ikan; Punggawa po---: lihat punggawa; paqissangang apo---ang: lihat paqissangangg; Wai ---: air laut. Sawi (sabi): Anak buah kapal atau kru; Attawangan ---: Sistem bagi hasil yang memberi hasil tangkapan sebesar 50 % untuk sawi; --- kaqjoli: sawi yang bertugas menyediakan kaqjoli (roda) ketika menurunkan perahu ke laut atau ketika akan menaikkan perahu ke darat saat datang dari melaut. Biasanya diperankan oleh anak kecil; --- pottana: (pottana = daratan) istilah lain dari sawi kaqjoli karena mereka bertugas di darat. Tugas lainnya adalah membersihkan perahu saat tiba dari melaut, dan membawa hasil tangkapan sawi “asli� dari perahu ke darat. Sibaliparriq: Konsep kerjasama dalam keluarga antara suami dengan isteri. Secara harfiah, sibaliparriq terdiri dari dua kata, yaitu: sibali (menghadapi) dan parriq (kesusahan, permasalahan). Dengan kata lain sibaliparriq adalah konsep yang berarti suami dan isteri masing-masing adalah subyek dalam menanggulangi bersama permasalahan rumah tangga, baik masalah sosial (merawat dan mendidik anak) sampai masalah ekonomi (keuangan). Siqoloq: alat utama dalam pembuatan perahu, berfungsi sebagai alat agar garis persambungan antar sisi papan bisa sama. Sirambangan: Berjalan/berlayar beriringan/berdekatan. Salah satu penerapan bentuk hubungan sosial antar nelayan Mandar ketika melaut. Perjanjian untuk sirambangan tidaklah formal sifatnya sebab tidak ada aturan yang mengikat antar nelayan yang sirambangan tersebut. Ikatan biasanya didasarkan pada beberapa hal, yaitu hubungan emosional: masih dalam hubungan kekerabatan; memiliki punggawa pottana yang sama; tetangga; persahabatan; satu kampung; dan kebetulan berada di daerah penangkapan yang


daftar istilah

xlv

sama. Sepakat untuk sirambangan lebih dikarenakan pertimbangan faktor keamanan ketika melaut. Maksudnya, antar mereka dapat saling memberi pertolongan ketika salah satunya ditimpa musibah. Sobal (sombal): Layar; --- tanjaq: jenis layar yang berbentuk segi empat; --- sandeq: bentuk layar (segitiga) yang digunakan di perahu sandeq, tapi berbeda dengan sobal lete; --- lete: jenis layar yang digunakan diperahu lete, berentuk segitiga tapi bagian yang meruncing mengarah ke haluan; Soba- ---: Layar bawah air yang digunakan sewaktu motangnga (sewaktu menghanyut). Fungsi soba-sobal adalah agar perahu tidak cepat terbawa oleh angin ketika menghanyut dan posisi haluan perahu tetap sejajar dengan alat tangkap yang dihanyutkan di depan; Gula-gulas ---: Tali aris dalam; Pangnganga ---: Tali aris luar; Passummeq ---: lihat passummeq; Tuluq paruiq ---: tali yang digunakan untuk menarik layar; sumombal: Melaut; pergi berlayar untuk waktu yang lama; Takkalai di---ang dotai lele ruppu dadi nalele tuali dilolangan: “Sekali perahu kembangkan layar lebih baik tenggelam daripada balik di tengah jalan�. Sebuah ungkapan yang menyimbolkan keberanian dan tekad pelaut dalam mengarungi lautan luas untuk jangka waktu yang lama. Sokkol (songkol): Panganan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan santan kelapa. Soppe-soppe: Jenis perahu bercadik yang menggunakan layar tetapi ukurannya lebih kecil daripada sandeq, sekitar dua sampai tiga meter. Bentuknya secara sekilas mirip dengan sandeq, karena warnanya yang juga putih, tetapi paccong-nya berbeda. Paccong olo untuk soppe-soppe lebih pendek dan tidak mempunyai paccong buiq; dan semua baratang terletak di atas palka. Digunakan untuk menangkap ikan di sekitar pantai dengan menggunakan pancing. Sore: Kandas, yaitu sampainya lunas perahu di dasar perairan


xlvi

muhammad ridwan alimuddin

yang dangkal atau di batu karang. Sotting: Balok kayu yang merupakan persambungan lunas (dasar perahu) yang berada di bagian haluan dan buritan. Tadhiq: Kayu ‘pemegang’ palatto yang terbuat dari akar/batang aju ranniq (Lamtoro, Mimosa pudica) berbentuk huruf L terbalik, diikatkan pada ujung baratang. Di ujung bawah tadhiq diikatkan palatto; Pallapis ---: lihat pallapis. Tajoq: Gading-gading perahu atau balok melengkung yang dipasang pada bagian dalam dinding perahu, dari atas ke bawah berfungsi sebagai kerangka atau tulang perahu. Tajoq berfungsi agar belang, tobo, lamma dan tadhiq terpadu kuat dan menyatu. Dipasang dengan menggunakan pasak kayu atau logam. Jumlah tajoq biasanya ganjil di tiap sisi (jumlahnya genap jika disatukan dengan sisi di depannya). Terbuat dari kayu jati atau bagang; -- gambus: lihat gambus; --- siku: tajoq di dalam lambung perahu sandeq yang berbentuk L terbalik (bagian yang pendek menahan lantai perahu). Takkalaq: Lihat paqmanuq-manuq. Talloq: telur; --- bau: telur ikan; Mat---: Lihat motangnga. Tambera: Tali pemegang pallajarang, biasanya terbuat dari rotan. Ujung atas tambera melilit pallajarang. Adapun ujung bawah dipasangi pangga-panggaloq; letteq ---: ujung bawah tambera yang berupa ujung rotan (tambera) yang melingkari sisi kayu yang berbentuk ‘titik air’ dengan ujung bawah yang berlubang (lihat lemo), sebagai tempat masuknya tali yang akan mengikat ujung tambera pada baratang termasuk tali (tasi atau rotan) yang menghubungkan antara ujung tambera (pangga-panggaloq atau lemo yang dililit rotan) dengan tege-tege di baratang. Biasa juga diistilahkan tasi letteq tambera; Tege-tege ---: lihat tege. Tambuku: potongan kayu yang menonjol di lambung perahu yang mengarah ke dalam roang perahu. Potongan kayu tersebut


daftar istilah

xlvii

alamiah dari dinding lambung perahu, digunakan sebagai tempat lubang yang akan dijadikan tempat masuk beberapa bagian perahu, yaitu baratang dan sanggilang. Di waktu lampau, ketika penyusunan papan lambung perahu masih menggunakan teknik ikat, tambuku adalah tempat mengaitkan tali yang menghubungkan antar satu papan lambung dengan papan lambung lainnya. Tandangan: Lihat pannarai. Tangnga: tengah; Po---: Nelayan yang melakukan aktivitas motangnga (lihat motangnga); Po---ng: Musim motangnga; mo--: Motangnga yang secara harfiah berarti “menengah� adalah kegiatan menangkap/mencari telur ikan terbang di atas palung Selat Makassar dan sekitarnya. Disebut motangnga karena pada kegiatan tersebut nelayan harus berhanyut-hanyut di tengah lautan selama 10—15 hari atau lebih sambil menunggui alat tangkapnya yang berada di sekitar perahunya di datangi ikan terbang untuk melekatkan telurnya. Kegiatan motangnga bagi komunitas nelayan Mandar adalah sebuah tradisi yang berlangsung sudah cukup lama. Tradisi penangkapan ini dilaksanakan pada musim timur (musim kemarau), ketika arah angin berhembus dari timur ke barat atau ketika arah arus lautan di Selat Makassar adalah dari utara ke selatan. Dalam satu musim penangkapan tui-tuing bersama telurnya, potangnga biasanya melakukan motangnga enam sampai tujuh kali. Tarengke: layar kecil di bagian haluan perahu yang terdapat pada perahu lambo dan pinisi. Tasi: Tali monofilament. Sejak dikenalnya tasi oleh nelayan dan pelaut Mandar, penggunaan rotan sebagai salah satu alat pengikat di perahu, mulai ditinggalkan. Demikian juga dengan penggunaannya pada tali pancing; --- letteq tambera: lihat tambera; --- banniang: Tali yang mengikat tadhiq dan baratang yang terletak di ujung baratang; --- passaqgang: Tali yang mengikat antara tadhiq dan


xlviii

muhammad ridwan alimuddin

baratang, yang pada tadhiq terletak di bagian yang membengkok, dan pada baratang terletak sebelum tasi banniang; --- tujuq palatto: tali yang mengikat (ikatan) antara tadhiq dan palatto; --- tujuq ulu: tali yang mengikat antara tadhiq dengan baratang yang terletak di ujung tadhiq. Tege: Nama ikan yang mempunyai alat penghisap di bagian kepala; --- -tege: (1)‘Lengan’ yang terdapat di samping perahu yang berfungsi sebagai tempat menyimpan lepa-lepa jika tidak digunakan atau sedang dalam perjalanan. Juga terdapat di ujung sanggilang moane. Panjang tege-tege sekitar 60 cm. Biasa juga diistilahkan pambuang lepa-lepa. Pallapis baratang bisa juga diistilahkan demikian, yang berfungsi untuk mencegah rusaknya baratang karena selalu bergesekan dengan lunas lepa-lepa. Biasanya terbuat dari plastik atau bilah-bilah bambu; --- pallajarang: Kayu yang menahan tambera agar tidak turun dari tempatnya; --- tambera: kayu kecil yang terletak di bagian atas baratang, sebagai lubang tempat ikatan tambera (letteq tambera) terhadap baratang. Tekko-tekko: kayu penopang yang terdapat di baratang bagian kanan, yang berfungsi sebagai tempat sapparaya. Tobo (tombo): lihat papang. Tolaq bala: Secara harfiah berarti “menolak bahaya�. Tujuan tolaq bala hampir sama dengan kuliwa, demikian pula acara yang dilaksanakan di dalamnya. Jenis tolaq bala yang lain adalah ritual yang dilaksanakan isteri nelayan ketika suaminya melaut dalam waktu lama. Tombor: lihat pallu-pallu. Tonda: seret; Si--- atau Ma---: Dua perahu yang saling mengikat, yang mana perahu di depan menarik perahu di belakang. Mungkin disebabkan adanya kerusakan atau untuk membantu kecepatan perahu yang berada di belakang. Tubal: Lihat bumbungan.


daftar istilah

xlix

Tui-tuing: (Cypsilurus sp.). Jenis ikan terbang yang paling ekonomis di antara jenis lain, karena telurnya yang menjadi komoditas ekspor. Bentuk badan memanjang, pipih, ramping; panjang total tubuh 6 – 30 cm dan tinggi dua sampai tiga cm. Telur ikan terbang ukurannya relatif besar bila dibandingkan telur ikan jenis lainnya dengan diameter 1 ¾ mm, pada permukaannya terdapat rambut-rambut panjang melingkar-lingkar yang digunakan untuk menempel pada benda-benda terapung, merupakan sperma dari ikan jantan. Telur ikan yang didapati melekat di alat tangkap atau benda-benda yang terapung dapat membentuk sebuah gumpalan yang cukup besar dan tebal mirip selembar handuk. Warna telur mengalami perubahan dari waktu ke waktu sejak dikeluarkan. Pada hari pertama berwarna oranye yang tampak bening, pada hari ketiga berwarna kuning, kemudian pada hari keenam berwarna oranye tua. Diameter telur berkisar 3—4 mm.. Tujuq: ikatan; --- palatto: lihat tasi; --- ulu: lihat tasi. Tukal: ‘Katrol’ (biasanya terbuat dari kayu yang dilubangi) yang menghubungkan baya-baya dengan pekka. Tuluq: tali yang terbuat dari serat alam; --- pandengngeq guling: lihat guling; --- paruiq bandera: tali yang terdapat di tiang layar perahu yang digunakan untuk menaikkan-turunkan bendera; --- paruiq sobal: lihat sobal. Tunggeng: Membelokkan perahu; --- turuq: Membelokkan perahu mengikuti arah angin (angin dari belakang perahu) sambil memindahkan posisi peloang dari satu sisi ke sisi lain; --- biluq: Jika sebuah perahu menuju ke arah angin lalu mengubah haluan sehingga layar (peloang) berpindah ke sebelah lain. Turuq: (1) Ikut; (2) Jika perahu diarahkan keluar dari arah angin (angin dari tengah buritan); --- panggang: Posisi layar 90 derajat, angin dari buritan perahu; --- puar: Posisi layar 45 derajat, angin dari buritan; Sambang ---: lihat sambang.


muhammad ridwan alimuddin

Undung: Kemenyan; dupa; setanggi. Serbuk yang digunakan yang apabila dibakar asapnya berbau harum. Digunakan ketika dilaksanakan upacara ritual. Menurut kepercayaan salah satu golongan dalam Islam, asap dupa dapat “mengantarkan� do’a mereka kepada Allah SWT; Maqundungngi: Mendupai. Aktivitas yang dilakukan pada upacara ritual, misalnya mengasapi sanggilang yang akan dibuatkan lubang (ettaq sanggilang). Uraq: (1) urat; (2) bagian persambungan pada layar. Ussul: Sebuah pengharapan keberhasilan lewat penggunaan simbol-simbol, baik berupa benda maupun prilaku. Merupakan unsur ritual/mistik yang paling penting dalam masyarakat Mandar, khususnya komunitas nelayan dan pelaut. Pengetahuan akan ussul diperoleh secara turun temurun, baik dari annangguru (menuntut ilmu dari seorang guru) maupun melihat prilaku nelayan lain. Bentuk ussul ada dua, ussul yang bersimbolkan benda dan ussul yang bersimbolkan praktek; Maq---: Mempraktekkan ussul. Uwwe: Rotan. Rotan yang disayat-sayat bagian kulitnya digunakan sebagai alat pengikat palatto, tadhiq, dan bagian perahu lainnya. Rotan sebagai tali pengikat digantikan oleh tasi (monofilament) ketika pendudukan Jepang. Untuk saat sekarang, rotan yang utuh digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan tambera yang ada di perahu bercadik yang menggunakan layar, misalnya sandeq dan soppe-soppe. Wase: Kampak bertungkai panjang, sekitar satu meter. Alat utama ketika menebang pohon yang akan digunakan dalam pembuatan perahu. Setelah gergaji mesin marak digunakan, fungsi wase mulai berkurang.


BAB I Mengenal Sandeq

Aksi: Perahu Sandeq untuk berlomba.


1. Mengapa sandeq hanya ada di Mandar?

Unsur budaya yang ada di Mandar, khususnya di komunitas nelayan, tidak ada yang sangat spesifik yang berpengaruh pada keberadaan sandeq sehingga hanya ada di Mandar. Daerah geografis hampir sama dengan lingkungan etnis di lain di Sulawesi Selatan kehidupan sejarah dan unsur-unsur kebudayaan bahari yang banyak kesamaan, dan lain sebagainya. Tetapi mengapa sandeq atau perahu buatan tukang perahu Mandar lain dari pada etnis ‘saudaranya’, yaitu Bugis dan Makassar? Selain sandeq, buatan lepa-lepa (sampan) pun berbeda. Lepa-lepa yang ada di Mandar ukurannya kecil, kayunya tipis, dan lebih laju. Lepa-lepa di daerah lain cenderung ukurannya besar, berat, kayunya tebal, dan agak lamban. Dalam tulisan ini, akan dikemukakan beberapa faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kemunculan sandeq di Mandar, yaitu pengaruh lingkungan (darat dan laut); pengaruh kebiasaan masyarakat setempat, yaitu keinginan memiliki perahu cepat, cantik dan kuat mengarungi lautan luas, praktek mistik di dalam pembuatan dan penggunaan perahu; dan pengaruh politik ekonomi. Bila dilihat dari penggunaan perahu bercadik ukuran kecil, perahu sandeq bisa dioperasikan di semua lingkungan perairan laut, baik di pesisir pantai maupun di lautan lepas dengan ombak dan angin yang lebih kuat, kecuali di perairan terumbu karang karena kemudi yang terlalu panjang dikhawatirkan mencapai batu-batu


sandeq perahu tercepat nusantara

karang. Perahu sejenis dari daerah lain tidak demikian adanya, hanya dioperasikan di perairan pantai (termasuk perairan karang karena kemudinya yang relatif pendek) sebab konstruksinya tidak sesuai untuk lingkungan laut lepas yang ganas. Sedangkan dari lingkungan fisik kelautan, khususnya pusat perkembangan perahu sandeq, adalah wilayah yang langsung ber足 batasan dengan laut dalam. Sedangkan wilayah perairan Bugis dan Makassar sebagian besar berhadapan perairan yang dangkal, yaitu perairan Kepulauan Spermonde di Selat Makassar dan Kepu足 lauan Sembilan di Teluk Bone. Keadaan yang demikian secara tidak langsung menuntut posasiq Mandar untuk memiliki perahu penangkap ikan yang kuat mengarungi lautan dan cepat lajunya. Sebelum sandeq digunakan, paling tidak ada dua jenis perahu bercadik ukuran besar yang digunakan posasiq, yaitu olanmesa dan pakur. Perbedaan mendasar antara sandeq dengan kedua perahu tersebut adalah pada layarnya, olanmesa dan pakur menggunakan layar jenis tanjaq. Perbedaan itu pada gilirannya mem足bedakan bentuk konstruksi, khususnya bentuk lambung dan ukuran tiang layar, serta posisi cadik. Sekilas, pakur dan sandeq sangat mirip, tetapi antara olanmesa dan keduanya berbeda, yaitu bentuk paccong (ujung haluan buritan). Tidak diketahui, mengapa paccong olanmesa, yang runcing (tidak membentuk limas segitiga di ujungnya) berbeda dengan paccong pakur atau sandeq. Ataukah kemunculan mereka secara bersamaan? Dengan kata lain pakur bukan bagian proses dari olanmesa ke sandeq, melainkan langsung (tanpa olanmesa sebelumnya) dari pakur ke sandeq. Jika itu yang terjadi, maka dapat diasumsikan bahwa kepuna足 han olanmesa disebabkan oleh semakin berkembangnya teknik pembuatan perahu, yang dapat menghasilkan perahu bercadik yang lebih kuat namun tetap ringan.


muhammad ridwan alimuddin

Gambaran ideal sebuah perahu di mata posasiq adalah perahu yang kuat, cepat lajunya, ringan, dan cantik. Sandeq adalah per足 wujudan keinginan tersebut: kuat mengarungi lautan luas dan ganas, perahu layar tradisional yang tercepat lajunya di nusantara, mudah dipindahkan ketika disimpan di darat, dan penampakannya indah dan cantik, sebab pembuatannya yang halus dan rapi. Ini adalah faktor kebiasaan pembuat perahu di Mandar. Selain berdasarkan pada persoalan fisik dalam membuat, peng足gunaan, dan perawatan sandeq, hal yang sifatnya mistik juga menjadi dasar sehingga sandeq memiliki keindahannya itu. Sebagai misal, dalam pengikatan palatto (katir) terhadap tadiq (kayu penghubung antara katir dengan cadik) atau tadiq terhadap baratang (cadik), cara mengikatnya tidak boleh sembarangan, sebab harus didasarkan pada ussul (penyimbolan).* Dengan berdasarnya pada ussul, bentuk ikatan sandeq menjadi tampak rapi, seimbang dan kuat. Demikian juga dengan ketika melabuhkan sandeq di darat, harus menghadap ke arah lautan (yang bermakna perahu selalu siap untuk melaut). Ini menjadikan adanya keindahan tersendiri ketika mengamati sandeq yang berjejer di sepanjang garis pantai. Pada zaman sebelum kemerdekaan, ada kebijakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk membatasi hubungan antara pedagang-pedagang pribumi dengan pedagang-pedagang asing. Dengan kata lain, VOC menutup pelabuhan pedalaman (pelabuhan-pelabuhan di tempat lain di sepanjang pesisir Sulawesi Selatan) bagi pedagang asing (Inggris, Cina, Arab, dsb.) dan hanya men足jadikan pelabuhan Makassar sebagai pintu gerbang per足 dagangan. Pada gilirannya penduduk setempat tidak mengalami

*

Penjelasan tentang ussul dan contoh-contohnya baca di bagian mistik.


sandeq perahu tercepat nusantara

kemajuan, diantaranya adalah keterbelakangan dalam pengaruh politik dan perkembangan teknologi dibanding etnis Makassar dan Bugis. Dua etnis ini, khususnya di pusat aktivitas pemerintahan dan perniagaan, dalam aktivitas kelautannya mengalami perkembangan yang cukup pesat, dalam hal ini perdagangan antar pulau. Dinamika perdagangan dan mobilitas manusia yang demikian aktif menuntut adanya armada pengangkut yang berukuran besar. Maka dikembangkanlah perahu-perahu niaga yang berukuran besar, yaitu pinisi. Sebelumnya hanya ada yaitu jenis padewakang dan lambo. Salah satu dampak dari hal tersebut di atas, khususnya kebijakan VOC, adalah bahwa yang dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung (peran­tau, awak perahu atau pedagang antar pulau) adalah nelayan Bugis-Makassar, sebab mereka memang lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat daerah lain. Dan untuk memudahkan identitas di daerah luar, pelaut dari Sulawesi Selatan, harus menyebut pe­ la­buhan pemberangkatan mereka, dalam hal ini pelabuhan di Makassar. Kegiatan perdagangan yang berkembang cukup maju tidak terjadi pada perahu yang digunakan untuk menangkap ikan, khususnya yang bercadik, sebab pengaruh di atas ‘menyibukkan’ pelaut Bugis dan Makassar di dalam kegiatan perniagaan. Sebalik­ nya yang terjadi di Mandar, kegiatan perdagangannya tidak semaju di daerah selatan, sebab memang penduduk di daerah ini masih sangat sedikit, dan mereka lebih banyak bergerak dalam kegiatan penangkapan ikan untuk pemenuhan konsumsi lokal. Karena perdagangan dalam skala besar tidak berkembang, posasiq Mandar secara tidak langsung berfokus pada kegiatan penangkapan ikan. Yaitu, mereka melakukan inovasi-inovasi terhadap perahu penangkapan ikan mereka. Dari mengganti layar jenis tanjaq dengan model layar yang ada di perahu barat, dari baratang yang


muhammad ridwan alimuddin

terlalu ke tengah menjadi rapat ke depan, sampai adanya pengaruh bahan yang dapat membuat perahu lebih kuat. Yang proses tersebut merubah pakur menjadi sandeq dan menghilangkan olanmesa yang tidak terlalu efektif.


2. Pakur, Perahu Sebelum Sandeq

Ada

perahu khas Mandar yang jarang dikenal masyarakat Mandar sendiri, padahal jenis perahu tersebut lebih khas Mandar daripada sandeq! Yaitu perahu pakur! Disebut lebuh khas sebab layarnya masih warisan nenek moyang orang Mandar: suku-suku Austronesia! Kalau layar sandeq, itu adopsi dari layar Eropa, sebagaimana perahu padewakang mengadopsi layar segitiga sehingga muncullah perahu baru: pinisi. Di Mandar, dari Paku hingga Suremana, tak ada lagi perahu pakur yang digunakan berlayar. Artinya, perahu pakur sudah punah di tanah Mandar. Walau demikian, bangkainya masih bisa ditemukan saat ini (Agustus 2009). Ada satu di Manjopai’, Kecamatan Tinambung, Polman; satunya lagi di Luaor (biasa ditulis Luwaor), Kecamatan Pamboang, Majene. Bangkai pakur di Manjopai’ masih ada penutup lambung (dek) dan baratang, sedang di Luwaor, tinggal balakang-nya (kayu gelondongan yang dikeruk) saja. Melihat ukuran lambung pakur, pakur adalah jenis perahu bercadik berukuran besar. Rata-rata tinggi lambung pakur lebih satu meter. Bandingkan dengan sandeq yang biasa digunakan berlomba: bekas balakang pakur di Luaor tingginya lebih semeter; balakang pakur sandeq Raditya (juara Sandeq Race 2007, sandeq milik Anwar Adnan Shaleh) tak sampai 50 cm. Pakur adalah perahu gempal: bodinya tinggi, tapi panjangnya rata-rata delapan meter. Sedang sandeq lomba, lambung pendek


muhammad ridwan alimuddin

tapi ukurannya panjang, rata-rata lebih 10 meter. Sebenarnya pakur Mandar masih bersiliweran berlayar di beberapa bagian laut Nusantara, yaitu di perbatasan Laut Jawa, Selat Makassar, dengan Laut Flores, tepatnya Laut Bali (perairan utara Bali). Koq bisa? Lalu siapa yang menggunakan pakur Mandar di sana? Ada beberapa pulau di Kepulauan Kangean di Laut Bali (masuk wilayah administratif Provinsi Jawa Timur) yang dihuni oleh orang Mandar. Beberapa diantaranya Pulau Pagarungan Besar, Pulau Pagarungan Kecil, dan Pulau Sakala. Sekedar catatan, perahu Samuderaksa, replika perahu borobudur yang digunakan berlayar dari Indonesia ke Ghana, Afrika dibuat oleh orang-orang Mandar di Pulau Pagarungan. Dari riset yang saya lakukan pada tahun 2005, di pulau tersebut nelayan Mandar yang masih menggunakan perahu bercadik dan layar sebagai tenaga pendorong, dipastikan menggunakan pakur! Malah banyak pakur yang berasal dari Mandar. Tapi bentuk layar yang digunakan bukan lagi jenis tanjaq (segiempat), tapi jenis lete. Nelayan di Majene biasa menyebutnya layar tigaroda. Meski bentuknya segitiga, tapi teknik penggunaan dan konstruksi tiang layarnya berbeda dengan sandeq. Pakur adalah jenis perahu kuno. Dikatakan demikian sebab jenis layarnya masih menggunakan jenis layar tanjaq, jenis layar khas Austronesia. Bentuk layar ini dapat dilihat di relief Candi Borobudur. Seorang peneliti perahu dari Jepang, Prof. Osozawa Katsuya, jenis perahu pakur adalah salah satu bentuk evolusi perahu bercadik yang dibuat orang-orang Austronesia, yaitu penggunaan papan dek sebagai penutup lambung. Dari sekian banyak perahu bercadik yang ada di kawasan Austronesia (dari Pulau Madagaskar di barat hingga pulau-pulau di Samudera Pasifik di bagian timur), lambung


sandeq perahu tercepat nusantara

perahunya tidak kedap air (tidak ada papan yang menutupi seluruh lambung). Sedangkan pakur selangkah lebih maju: meski permukaan air sejajar dek, selama penutup dek masih tertutup rapat, perahu masih bisa melaju alias tidak tenggelam! Ketika pelaut/nelayan/tukang perahu Mandar bersinggungang dengan teknologi pelayaran orang Eropa (karena banyak pelaut Mandar yang berlayar ke Makassar, Surabaya, hingga Tumasik/ Singapura), orang Mandar mengadopsi teknik layar segitiga orang Eropa (yang juga terjadi pada perahu dagang orang Makassar). Maka, pada tahun-tahun 30-an, secara perlahan muncul jenis perahu baru di Mandar: sandeq. Sandeq adalah perahu pakur yang tidak lagi menggunakan layar tanjaq, tetapi layar segitiga yang bentuknya “masandeq” (runcing), karena itu, perahu tersebut disebut “sandeq”. Konstruksi pakur pun sedikit berubah: letak baratang digeser lebih ke haluan dan tiang layar yang lebih tinggi. Dari teknik penggunaan, jenis layar segitiga lebih mudah dan lebih aman, dan yang lebih penting, relatif lebih cepat. Sejauh yang saya temukan, foto tertua pakur terdapat dalam sebuah tulisan pendek Nootebom tentang perahu Mandar. Dalam foto tersebut, perahu pakur tidak sedang berlayar, tapi layarnya terkembang. Mungkin fotografer meminta si pemilik perahu untuk membuka layar perahunya agar sosok sebagai perahu pakur sempurna terlihat. Layar masih terbuat dari serat tradisional. Kemungkinan besar dari olahan daun lanu yang diistilahkan “karoro”. Itu tampak dari tekstur layar yang kasar, termasuk persambungan layar (jahitan) tampak kasar (jelas). Layar berbentuk segiempat atau tipe layar tanja’. Beberapa tahun lalu saya masih bertanya-tanya apa arti kata tanja’. Belakangan ada nelayan di Luaor yang mengatakan bahwa asal


10

muhammad ridwan alimuddin

kata tanja’ berasal dari prilaku bambu di bagian bawah layar yang selalu “matta’ja’ “ (menendang). Ya, sedikit masuk akal! Ukurannya enam ura’ atau enam jahitan. Panjang dan lebar saya kurang tahu persis. Tapi kalau menebak-nebak dengan berdasar atau membandingkannya dengan obyek yang duduk di buritan, yang tampak seperti manusia, panjangnya sekitar delapan meter; lebar/tinggi sisi layar di bagian haluan 3-4 meter dan haluan sekitar 6 meter.


3. Mengikuti Jejak Sandeq

Awal tahun 2007, untuk pertama kalinya saya ke Bambangloka, Mamuju. Tujuan ke sana sudah lama saya nanti-nantikan: menyak­ sikan prosesi penebangan pohon yang akan dibuat menjadi dasar perahu sandeq (belang atau balakang) di hutan. Informasi bahwa akan ada pohon yang ditebang dan adanya peluang untuk me­ nyak­sikan prosesnya merupakan berkah tersendiri dalam riset kebaharian budaya Mandar yang saya lakukan sejak tahun 2007. Bukan apa-apa, menebang pohon untuk pembuatan sandeq amat jarang dilakukan dibanding sebelum tahun 90-an. Dulu, walau tak mendapat pesanan dari pelaut dan tukang perahu dari kampung-kampung nelayan di pesisir Teluk Mandar, ahli-ahli balakang di Mamuju, misalnya orang-orang di Pulau Kambunong dan sekitarnya, mereka tetap pergi ke hutan untuk menebang pohon. Setelah pohon ditebang, bagian tengah dikeruk, dibawa ke pantai, dan menunggu orang-orang dari Mandar memilih balakang. Tahun 90-an, kampung-kampung yang menyediakan balakang makin berkurang. Individu juga demikian. Penyebabnya, pembeli atau pemesan sudah amat jarang. Pelaut mulai beralih ke kapal motor yang bahan dasarnya papan kayu yang disusun-susun, bukan lagi balakang. Terus berlanjut sampai awal millenium. Meski ada pemesan, itu bisa dihitung jari dan sandeq yang dibuat pun bukan lagi sandeq untuk menangkap ikan, tapi untuk lomba.

11


12

muhammad ridwan alimuddin

Secara signifikan, mata rantai pembuatan perahu sandeq mengalami perubahan ketika sandeq untuk menangkap ikan tak lagi dibuat. Jumlah nelayan yang ikut lomba dengan nelayan yang menangkap ikan tentu beda. Artinya, sandeq yang dibuat tentu juga beda jumlah: pesanan sandeq untuk lomba jauh lebih sedikit dibanding dengan sandeq untuk menangkap ikan. Pada gilirannya, harga balakang meroket. Sekarang berkisar Rp 4 juta—Rp 5 juta. Itu baru balakang, belum bahan sandeq yang lain yang membuat harga sandeq Rp 25 jut—Rp 30 juta bisa masuk akal. Menebang pohon yang nantinya akan dibuat balakang tidaklah sembarangan. Ada hari baik dan ada praktek ritual-mistik. Salah satu ussul (penggunaan simbol-simbol tertentu dan meng­ harapkan ‘sisi baik’ dari apa yang disimbolkan) dalam penebangan pohon untuk balakang adalah pohon ditebang ketika tadi malam terjadi bulan purnama. Ya, bulan purnama memang memiliki makna tersendiri sehingga tak jarang praktek-praktek ritual umat manusia bersandar pada bulan purnama. Walau demikian, dalam penebangan pohon untuk balakang sandeq, dapat dirasionalkan. Ketika bulan purnama, gaya gravitasi bulan terhadap sisi bumi “didepannya” mengalami peningkatan. Tanda yang paling jamak ditemukan adalah terjadi air pasang. Ini juga dialami tanaman atau pohon: air di dalam batang pohon semakin kuat tertarik ke bagian atas pohon. Ketika pohon ditebang ketika air tertarik ke bagian atas, akan membuat batang kayu yang diperoleh (bagian bawah) tidak berat dan cepat kering. Tidak berat dan cepat kering (secara alami) amat diinginkan bila kayu akan dibuat menjadi perahu. Berbeda dengan jenis perahu kayu berukuran besar, misalnya pinisi dan lambo, perahu sandeq tidak menggunakan balok lunas. Sandeq dan perahu kayu kecil lainya berlunaskan “kayu gelondongan yang dikeruk”, mirip sampan. Kayu yang telah dikeruk tersebut kemudian diberi papan penyusun 2-3 lembar, sesuai dengan keda­


sandeq perahu tercepat nusantara

13

laman yang diinginkan. Artinya, sandeq mempunyai kekhasan dalam pembuatannya: dikerjakan oleh dua ahli perkayuan yang mengerti tentang pembuatan perahu; dan dikerjakan di dua tempat, hutan dan pesisir. Ahli perkayuan yang mengerti tentang pembuatan perahu yang pertama adalah ahli mengeruk kayu bulat untuk bahan baku perahu. Peralatan mereka tidaklah banyak, hanya mengandalkan kampak besar, cangkul kayu, dan parang. Sedangkan yang kedua adalah tukang perahu pada umumnnya yang bekerja dengan alatalat yang lebih kompleks: ketam kayu, gergaji, bor, dan lain-lain. Ahli pertama bekerja di hutan. Alasannya, memindahkan kayu bulat utuh yang masih basah dari hutan ke pantai dengan hanya mengandalkan kekuatan otot sangat merepotkan. Agar ringan, maka bagian-bagian kayu yang tidak digunakan dibuang: kayu dipotong sesuai panjang perahu yang diinginkan dan kayu dikeruk sampai tebal yang layak untuk sebuah perahu. Pun tidak mungkin menyelesaikan sebuah perahu di dalam hutan. Untuk itu, bahan baku pembuatan perahu dibawa ke battilang yang umumnya berada di pesisir. Disinilah ahli kedua bekerja, yaitu para panrita lopi. Yang menarik dari kegiatan pengambilan kayu untuk dasar pembuatan perahu sandeq adalah adanya praktek mistik, mulai dari penentuan hari hingga beberapa saat sebelum kayu yang telah selesai dikeruk dibawa keluar dari hutan. Adanya praktek mistik membuktikan bahwa sejak awal peruntukan kayu adalah sebagai perahu. Beda bila pohon ditebang yang peruntukannya papan atau balok semata. *** Kegiatan penebangan kayu dilakukan pada Rabu, 3 Januari 2007. Tanggal itu bertepatan dengan bulan purnama, atau hari


14

muhammad ridwan alimuddin

ke-15 menurut kalender Hijriah. Tanggal itu adalah waktu baik bila didasarkan pada rumus kuno untuk menentukan waktu baik dan waktu, potika. Adapun waktu untuk melakukan pemotongan adalah ketika matahari menanjak naik (pagi hari), ketika angin sedang berhembus. Dua tanda alam itu dijadikan sebagai ussul, sebuah pengharapan agar perahu nantinya juga “rezekinya naik, lajunya kencang”. Beberapa saat setelah tiba di Bambangloka, saya, Pua’ Lia (ahli membuat balakang yang juga adalah pelayar perahu sandeq) dan Nurdin (anak Pua’ Lia) menuju hutan, tempat kayu yang akan ditebang berada. Tujuan ke hutan untuk membersihkan lokasi di sekitar penebangan kayu, agar kegiatan pemotongan dan pembuatan balakang lebih lapang. Di tengah perjalanan, kami beberapa kali berpapasan dengan orang-orang yang baru datang dari dalam hutan membawa buahbuahan. Salah satunya seorang wanita yang membawa buah durian. Saya mendengar dari mulut Pua’ Lia menyebut “Ah, dalleq” (rezeki), sesaat kemudian dia membeli durian itu. Nurdin pun membawanya ke tempat tujuan. Pikir saya, itu sebagai pelepas rasa lapar jika di hutan nanti. Tiba di hutan, memang durian dibuka dan dimakan, tapi ada “satu set” (tiga butir buah masih melekat di kulit durian) yang diletakkan di bawah pohon yang akan ditebang. Kata Pua’ Lia, itu bagian “penghuni pohon”. Keesokan harinya, 3 Januari 2007, kami kembali ke hutan untuk melakukan penebangan. Kali ini bersama tiga orang passenso (ahli menggunakan gergaji mesin “chain shaw”) dan seorang bapak tua, bernama Suman, yang leluhurnya berasal dari kampung Kam­ bunong (masih di Kabupaten Mamuju Utara), kampung yang melayani permintaan balakang untuk sandeq dari tukang perahu Mandar di waktu dulu.


sandeq perahu tercepat nusantara

15

Konon katanya, orang-orang Kambunong yang bekerja sebagai pembuat balakang mempunyai ilmu melembekkan kayu. Dalam keadaan tertentu mereka menggunakan ilmu tersebut agar peker­ jaannya cepat selesai. Kayu diiris sama mudahnya mengiris ba­ tang pisang. Tapi karena ilmu itu “ilmu panas”, jarang mereka prak­tekkan apalagi untuk bahan baku perahu. Ilmu itu meminta tumbal “perahu cepat rusak”. Entahlah, apakah karena adanya ilmu itu, orang-orang Mandar (khususnya yang berasal dari Mamuju) dianggap bisa melembekkan kepala orang. Tiba di kayu yang akan ditebang, Pua’ Lia mendekatkan dirinya ke pohon, tepatnya di tempat dia meletakkan isi buah durian kemarin. Dia meletakkan parang dan kampaknya tepat di bawah pohon, dekat durian yang dikerumuni semut. Lalu dia berdiri (menghadap ke pohon, ke arah selatan) untuk kemudian membaca do’a (mantra?). Mulutnya komat-kamit. Beberapa saat kemudian, Pua’ Lia memegang pohon dengan kedua tangannya. Mulutnya kembali bergerak-gerak, dia sedang merapal, tapi tak terdengar. Pua’ Lia mendongakkan kepalanya ke atas, melihat semua bagian pohon. Dia membelai pohon.

Mangoli: Perahu sandeq berukuran kecil menambat di rumpon laut dalam di Selat Makassar untuk memancing ikan


16

muhammad ridwan alimuddin

Setelah Pua’ Lia komat-kamit, dia meminta Pak Suman untuk membantunya berkomunikasi dengan si penjaga hutan dan pohon. Di sisi pohon yang lain, Pak Suman melakukan hal yang sama yang dilakukan Pua’ Lia. Yang berbeda dari Pak Suman, ucapan dari mulutnya terdengar jelas. Dia meminta kesediaan hutan untuk diambil kayunya; meminta kesediaan si pohon untuk ditebang, demikian inti ucapannya. Selesai pembacaan doa dan komunikasi dengan penghuni hutan/pohon, Pua’ Lia kemudian melakukan penebangan simbolis. Dia mengawali pembuatan luka di pohon dengan menggunakan kampak yang ditandai dengan kampaknya tiga kali hingga pohon terluka. Dari luka pohon, Pua’ Lia mengambil sedikit kulit kayu untuk kemudian melemparkan kulit kayu tersebut ke arah tum­ bangnya pohon, sisanya dia simpan. Pua’ Lia kemudian mem­ persilahkan Hardi, salah seorang passenso, untuk melakukan pe­ mo­tongan. Tidak lama kemudian derungan senso bergemuruh menghilangkan irama khas hutan, yaitu suara serangga “irri-irris” (serangga yang menghasilkan suara khas di hutan). Berbeda dengan pembuat balakang profesional satu-dua dekade lalu yang hanya mengandalkan kampak besar untuk menum­ bangkan pohon, pembuat balakang saat ini, misalnya Pua’ Lia, sudah menggunakan jasa passenso dalam pekerjaannya. Khususnya memotong kayu dan membuang kulit kayu yang akan dikeruk. Tidak lama kemudian, pohon tumbang ke arah yang diingin­ kan. Cara tumbang pohon memperlihatkan tanda calon perahu beruntung dan cepat, yaitu “melompat”. Saya tidak tahu apa maksud melompat, tapi di mata Pua’ Lia dan Pak Suman, terlihat pohon melompat ketika akan tumbang. Setelah pohon tumbang, Pua’ Lia dan Pak Suman kemudian mengambil kayu di potongan pohon yang “ditinggalkan”. Pua’ Lia mengambil beberapa bilah kecil kayu “yang seharusnya ikut


sandeq perahu tercepat nusantara

17

terpotong” untuk kemudian membawanya ke tempat pohon yang tergeletak. Dia membelai batang pohon dari bagian yang dipotong hingga bagian pucuk. Di tangan yang membelainya terdapat kayu yang tadi dia ambil. Setelah tiba di dekat pucuk pohon, salah satu kayu dia lemparkan ke arah pucuk pohon yang ditebang. Adapun Pak Suman tidak melakukan pembelaian, dia hanya (?) mengunyah-ngunyah kayu itu. Saya tidak tahu apakah ada makna di balik itu. Proses selanjutnya ialah menentukan panjang kayu yang akan dijadikan balakang. Dengan menggunakan kayu yang panjangnya satu depa, Pua’ Lia melakukan pengukuran, beberapa cm dari dari tempat pemotongan ke arah dahan. Pua’ Lia menentukan panjang balakang-nya lebih dari 12 depa (sekitar 13 meter). Bagian yang akan menjadi haluan (depan) perahu adalah bagian bawah pohon. Bagian ini kuat dan daya apungnya bagus. Kemudian bagian atas batang pohon (sisi pohon yang menghadap ke atas) diiris (dibuang) dengan menggunakan senso. Setelah itu, pengerukan dimulai. Terlebih dahulu dibuat batas-batas yang akan dikeruk di atas sisi pohon yang telah dibuat datar. Pekerjaan pengerukan memakan waktu lima hari, dari pagi sampai sore dengan menggunakan peralatan kampak, parang, dan cangkul kayu. Pekerjaan itu hanya dilakoni oleh Pua’ Lia dan anaknya. Di hari ketika balakang akan dibawa keluar dari hutan, Pua’ Lia “membantu” batang pohon yang telah berwujud balakang menyapa bagiannya yang ditinggalkan, sebagai simbol permintaan ijin; sebagai simbol pertemuan terakhir. Pua’ Lia mengambil bekas potongan kayu yang dibuat balakang lalu menyentuhkan ke “kayu yang ditinggalkan” dan “kayu yang akan pergi”. Dibantu beberapa tetangganya, Pua’ Lia dan Nurdin membawa balakang keluar dari hutan, menuju perkampungan, di depan


18

muhammad ridwan alimuddin

rumah Pua’ Lia. Bila balakang sudah betul-betul kering, balakang akan dibawa ke rumah tukang perahu yang berjarak 400 km dari rumah Pua’ Lia dengan menggunakan perahu, dari Bambang Loka ke perbatasan Kabupaten MajeneBelum dikirim daftar istilahnya ya? Kpn?Kabupaten Polewali Mandar. *** Saya merasa beruntung dapat menyaksikan proses awal pembuatan perahu sandeq. Tahap tersebut cukup sulit untuk bisa disaksikan/didokumentasikan, baik waktu lampau apalagi saat sekarang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan: lokasi pengambilan yang cukup jauh, kayu untuk balakang umumnya hanya ada di hutan-hutan, dan waktu penebangan kayu yang tidak bisa diketahui. Faktor ketiga yang paling susah sebab informasi yang akan memesan perahu baru dan kapan kayu pergi diambil oleh penyedia balakang sepertinya “hanya Tuhan yang tahu”. *** Kurang dua bulan setelah sebatang pohon kanduruang di hutan Bambangloka ditebang, awal Maret 2007, balakang dibawa dari Bambangloka ke Baraneq (kampung kecil tak jauh dari perbatasan Kabupaten Polman–Majene). Balakang tidak dibawa dengan mobil atau dinaikkan ke atas perahu melainkan ditarik oleh perahu motor. Menarik sebatang balakang yang bentuknya mirip lepalepa panjang atau perahu kulubelang (perahu khas Mamuju) bukan masalah besar bila ombak tenang, arus tak kuat, sebagaimana yang terjadi di wilayah perairan dari Bambangloka ke Tanjung Rangas (Mamuju). Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, seperti yang terjadi di perairan Tanjung Ngaloq (antara Tappalang dengan Malunda) amat merepotkan. Nurdin, anak Pua’ Lia harus melakukan timbang di atas balakang. Dengan kalimat lain, dalam bentuk balakang saja


sandeq perahu tercepat nusantara

19

sudah harus ditimbang, bagaimana kalau sudah jadi sandeq? Nurdin harus berdiri di atas balakang agar balakang tak terbalik. Kalau terbalik, perahu penarik akan lambat lajunya. Kalau arus deras, itu berbahaya. Karena tak mungkin melakukan timbang terus dari Tanjung Ngaloq hingga Baraneq, Pua’ Lia berlabuh di pantai Malunda, menunggu cuaca bersahabat. Keesokan harinya, pelayaran dilanjut­ kan. Balakang sudah diperbaiki palatto sementaranya sehingga tak perlu ditimbang terus.

*** Medio April 2007, balakang akan diubah sosoknya menjadi sebuah perahu yang putih cantik “lopi sandeq malolo”, ber-baratang, ber-palatto, berlayar segitiga, ber-paccong, dan menjadi perahu yang digolongkan sebagai perahu tradisional tercepat di dunia: perahu sandeq. Tukangnya berasal dari Rangas Majene, kampung nelayan yang terkenal dengan passandeq-passandeqnya. Sama seperti prosesi penebangan, ketika balakang akan dibuat menjadi sandeq juga melalui proses ritual. Menu-menu khas ritual, semisal loka tira’ (pisang ambon), sokkol tallungrupa (panganan yang terbuat dari beras pulut, yang terdiri dari tiga warna), ule’ule’ (bubur kacang hijau), dan panganan lain dihidangkan di atas balakang. Tak lupa beberapa butir telur ayam kampung. Upacara pembuatan sandeq dipimpin oleh Bapak si tukang. Dulunya, si orang tua tersebut juga berprofesi sebagai panrita lopi (ahli perahu). Wajar saja anaknya juga menjadi tukang perahu, sebab pa’issangang pa’lopiang (ilmu tentang pembuatan perahu) memang jamak diwariskan dalam lingkungan keluarga. Yang menarik dalam upacara pembuatan perahu sandeq adalah, sang pemimpin upacara terlebih dahulu menempelkan telapak


20

muhammad ridwan alimuddin

tangannya ke wajah bumi. Sesaat kemudian, kedua telapaknya tersebut ditempelkan ke tubuh balakang. Ussul-nya, untuk terakhir kalinya balakang dipersuakan dengan ibunya, tempat dia dilahirkan, yaitu bumi. Setelah membaca mantra, pemimpin upacara mengayungkan parang ke beberapa titik di balakang. Serpihan kayunya tak dibiar­ kan begitu saja: sang pemimpin ritual menjilatnya terlebih dahulu untuk kemudian diberikan ke Pua’ Lia, sebagai pemesan. Pua’ Lia menyimpan baik-baik koleksi kayunya, ada di dalam kantongnya, ada juga di sela-sela kopiah-nya. Yang saya maksud “koleksi kayu” adalah, Pua’ Lia selalu menyim­ pan serpihan atau sepotong kayu dari tiap proses yang dia lakukan terhadap kayu: ada potongan kayu ketika penebangan, ada kayu ketika balakang akan diwujudkan menjadi sandeq, dan nantinya ada kayu yang juga disimpan ketika sandeq selesai dibuat. Secara hakikat, perahu yang sebenarnya adalah serpihan kayu tersebut. Dengan ketekunan dan ketelatenan, para tukang menghaluskan balakang, menyusun papan pattobo, pallama, sangawing, tajo’, pa’jonga-jonga, paccong, dan bagian-bagian dari tubuh sandeq yang lain. Itu semua dilakukan tanpa sketsa. Tidak seperti ahli-ahli per­ kapalan di galangan-galangan modern yang harus menggunakan cetak biru (blue print). Ya, sandeq memang perahu tradisional dan dibuat dengan cara tradisional, tapi dari segi teknik pelayaran sandeq digolongkan sebagai perahu modern, sebagaimana yang diungkapkan Horst H. Liebner, ahli sandeq berkebangsaan Jerman. Awal Juli 2007, sandeq akhirnya selesai dibuat. Untuk tubuh sandeq saja, sebenarnya selesai satu bulan sebelumnya. Tapi karena sandeq terdiri dari banyak bagian yang untuk memperoleh bahan bakunya tidak gampang dan tidak sembarangan, pembuatan sandeq butuh waktu lebih dari tiga bulan. Artinya, kalau bahan baku


sandeq perahu tercepat nusantara

21

lengkap, sandeq bisa selesai dalam tempo waktu 2 bulan. Selesai menjalani upacara makkotta’ (kegiatan pembuatan lekukan tempat kemudi di sanggar kemudi atau sanggilang, me­ru­pakan ritual penting dalam pembuatan sandeq), sandeq dipertemukan dengan laut untuk pertama kalinya. Sandeq diberi nama “Bintang Mandar”.

*** 25 Agustus 2007, di pantai Sumpang BinangaE, Barru untuk pertama kalinya saya berada di atas sandeq Bintang Mandar, bersama pelaut-pelaut Mandar yang amat tangguh, yang dinakhodai Pua’ Lia. Pua’ Lia seorang pelaut tua. Berasal dari Tomadio (Polman). Hampir dua dekade lalu bermigrasi ke Bambangloka (Mamuju) dari kampung halamannya, mencari nafkah di sana sebagai nelayan. Meski jauh dari Teluk Mandar, yang sepanjang pesisirnya banyak terdapat kampung-kampung pelaut ulung, di Bambangloka Pua’ Lia tetap membawa serta kemampuan sebagai pelaut Mandar, yaitu sebagai passandeq. Di musim ikan terbang dia motangnga, di luar itu menangkap ikan di roppong (rumpon) atau mencari ikan karang di pulau-pulau. Pernah Pua’ Lia sampai di Sampurna (Malaysia Utara, kampung orang Bajoe) untuk menangkap ikan dengan sandeq. Menandakan jauhnya pelayaran dengan sandeq yang pernah Pua’ Lia lakukan. Saya merasa beruntung dapat berlayar bersama Pua’ Lia, di atas sandeq yang saya menjadi saksi mata atasnya ketika si bakal sandeq dipisahkan dari bumi, ketika dibawa melintasi tempat-tempat keramat di sepanjang pesisir Mandar, menyaksikan ketika dia akan diwujudkan menjadi perahu sandeq, dan mendengar gemericik pertamanya ketika menyentuh laut. Lebih membanggakan lagi, saya berada di atas sandeq Bintang Mandar di kegiatan lomba perahu


22

muhammad ridwan alimuddin

terkeras, tercepat, dan terjauh di dunia: Sandeq Race 2007. Sandeq Race 2007 dimulai pada Jumat, 17 Agustus 2007, dengan tempat start Pantai Manakarra, Mamuju. Hari pertama mengambil etape Mamuju–Malunda, kedua Malunda-Majene, ketiga lomba segitiga di Majene, keempat Majene – Polewali, kelima segitiga di Polewali, keenam Polewali–Ujung Lero, ketujuh segitiga di Teluk Parepare, kedelapan Parepare-Barru, dan kesembilan Barru–Makassar. Jaraknya sekitar 400 km. Saya sudah beberapa kali naik sandeq yang bertarung di Sandeq Race, mulai pada tahun 2002. Misalnya Arawungan Ratu Pantai, Anging Pammase, dan Rindu Madinah. Lalu pada tahun 2006, naik sandeq Indah di lomba segitiga di Teluk Parepare. Tahun 2007 lalu berlayar dengan sandeq Tomadio di segitiga Majene dan sandeq Bintang Mandar etape Barru – Makassar. Namun dengan Bintang Mandar menimbulkan kesan tersendiri. Tentu ada alasan mengapa saya memilih sandeq Bintang Mandar, sebagaimana yang saya ceritakan di atas. Dengan kata lain, agar kesaksian saya “sukkuq” atau sempurna, tentu saya harus ikut berlayar dengan Bintang Mandar. Terlepas dari alasan di atas, saya merasa beruntung bisa berlayar bersama Bintang Mandar meski sandeq ini tidak begitu berkilau di Sandeq Race pertamanya. Dari 53 sandeq yang ikut serta, dia berada di urutan 45 (atau 39 sebab ada beberapa sandeq yang juara kembar) dengan jumlah poin 167 (bandingkan dengan juara umum, Raditya, dengan poin 23). Di atas sandeq Bintang Mandar juga ada sawi muda, jauh lebih muda dari saya. Umurnya masih 15-san tahun, tapi dia sudah ikut pelayaran yang menjadi ajang pembuktian keulungan pelaut Mandar, yakni Sandeq Race. Dan itu saya saksikan di etape terakhir, yang membuktikan bahwa si anak muda bertahan melalui lomba. Namanya Didi’, keponakan Pua’ Lia atau sepupu satu kalinya


sandeq perahu tercepat nusantara

23

Nurdin. Di atas Bintang Mandar memang ada jaringan kekerabatan. Yang saya tahu adalah Pua’ Lia, adik Pua’ Lia, anak Pua’ Lia, dan keponakan Pua’ Lia. Kemungkinan besar di sandeq-sandeq lain juga ada sebab pada umumnya rekrutmen sawi atau awak perahu memang mengutamakan jaringan kekerabatan agar komunikasi bisa berjalan lancar, agar rezeki yang diperoleh tak keluar dari keluarga). Tapi sawi semuda Didi’, sejauh pengamatan saya, tak saya temukan di sandeq lain. Didi’ ikut tentu bukan tanpa pertimbangan. Semenjak dia lulus SD, dia sudah ikut bapaknya melaut. Saat membawa balakang dari Bambangloka ke Majene dan saat upacara pembuatan sandeq, dia juga turut serta. Harus dipahami, kehadiran generasi muda dalam beberapa bentuk kebudayaan atau dinamika hidup pelaut Mandar adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Meski tak ada kuliah khusus, menyaksikan tetua mereka melakukan ini-itu adalah proses pewarisan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang bukan mainmain dan tidak baru muncul kemarin sore, melainkan pewarisan antar generasi, berasal dari ribuan tahun lampau. Teknik pembuatan perahu bercadik Mandar dan teknik navigasinya adalah ilmu pengetahuan maritim khas Austronesia. Artinya, itu diawali moyang kita saat masih berada di daratan Asia. Ketika mereka melakukan diaspora ke pulau-pulau, mulai dari Madagaskar, Nusantara, hingga ratusan pulau di Samudera Pasifik, mereka membawa serta pengetahuan dan mengembangkannya. Itulah sebabnya mengapa banyak bentuk dan istilah yang sama dalam bidang kemaritiman suku-suku berorientasi laut di kawasan Austronesia. *** Satu-dua jam pertama, etape Barru—Makassar diisi dengan mendayung. Pekerjaan yang cukup melelahkan tentunya.


24

muhammad ridwan alimuddin

Memasuki perairan Maros, angin mulai kencang, ombak mulai terasa. Sejak itu, yang namanya basah kuyup dan mata pedis karena terus menerus dihantam pecahan ombak menjadi hal biasa. Jadinya begitu menyiksa karena terjadi berjam-jam. Benak saya mengingatkan, “Ini belum apa-apa. Bagaimana dengan passandeq yang sudah mengalaminya sejak dari Mamuju?�. Meski sebagian sandeq lebih banyak berada di depan, ada juga sandeq yang kalah cepat dibanding dengan Bintang Mandar. Dari apa yang saya saksikan, Bintang Mandar kurang cepat sebab baratang bagian buritan terlalu dekat ke permukaan laut. Ombak yang tidak begitu tinggi sudah “tersangkut� hingga membuat sandeq tertahan lajunya. Untunglah Pua’ Lia lihai mengatur strategi sehingga tidak berada di posisi kunci. Setelah melintasi berjam-jam Kepulauan Spermonde dari utara ke selatan, menjelang malam Bintang Mandar berada di dekat Pulau Balang Lompo dan Balang Caddi. Ah, Makassar hanya kelihatan samar-samar cahayanya, masih jauh. Hari makin gelap, arah angin tak begitu bersahabat membawa Bintang Mandar ke Makassar. Belum lagi lingkungan perairan yang berbahaya sebab di mana-mana ada gusung dan terumbu karang. Jika tak hati-hati melakukan manuver, bisa-bisa kemudi patah atau perahu pecah sebab kandas di karang. Mempertimbangkan hal-hal di atas (hari sudah gelap dan kondisi perairan yang berbahaya), diputuskan menarik Bintang Mandar dengan kapal pengantarnya. Hal yang sama juga dilakukan sandeq-sandeq lain, sebagaimana yang saya saksikan. Kurang lebih dua jam kemudian, Bintang Mandar dan kapal pengantarnya berlabuh di Pantai Losari. Sudah banyak yang masuk, juga masih ada yang belum ada kabarnya. Tahun ini memang sandeq terhitung lambat masuk finis, penyebab utamanya angin yang membuat manuver sandeq lebih banyak menggunakan teknik


sandeq perahu tercepat nusantara

25

“makkarakaji� atau menggergaji. *** Delapan bulan mengikuti proses perkembangan Bintang Mandar dari “embrio� hingga “dewasa� bagaikan mengikuti jejak sandeq; melakukan napak tilas atas sebuah puncak kebudayaan Mandar. Ada banyak pembuktian atas apa yang sebelumnya hanya saya baca di buku atau cerita-cerita dari para pelaut, ada penghayatan langsung atas apa yang dialami oleh “benteng terakhir� kebudayaan bahari Mandar yang cenderung termarjinalkan, dan ada kesadaran bahwa kebudayaan yang kita miliki ini adalah sesuatu yang terus berkembang. Ternyata, kreativitas dan semangat inovasi yang dilakukan sendiri oleh si pelaku kebudayaan lebih banyak terjadi di komunitas kebaharian dibanding kelompok masyarakat lain. Ya, hampir setiap bulan kita ganti hp; dulu parabola, sekarang tv kabel; dulu komputer jarang ada di rumah-rumah, sekarang bukan barang aneh lagi; motor dengan model-model yang cantik hampir ada di tiap kolong rumah; dan lokasi hotspot (akses internet tanpa kabel) sudah ada di beberapa tempat di Mandar. Tapi teknologi itu bukan kita yang miliki, kita adalah konsumen, bukan pelaku inovasi. Demikian juga dengan teknologi lain yang ada di kehidupan kita sehari-hari. Tapi bagaimana dengan perahu? Dalam hitungan satu dekade saja, teknologi pembuatan perahu dan bentuknya mengalami evolusi yang tak salah bila disebut sebagai revolusi. Sandeq-sandeq dibuat makin rendah, panjang, dan ramping agar laju. Baru’ atau serat kayu yang digunakan sebagai bahan di antara persambungan papan tidak lagi digunakan digantikan dengan resing. Bukan hanya sandeq, perahu jenis lain pun mengalami hal yang sama. Dan beberapa teknik baru agar sandeq semakin kuat sudah ditemukan oleh tukang-tukang perahu.


26

muhammad ridwan alimuddin

Melacak jejak sandeq memperlihatkan kepada kita bahwa nenek moyang kita meninggalkan jejak kebudayaan, jejak sejarah yang amat penting. Namun itu jangan hanya dijadikan romantisme belaka sebab ada banyak yang bisa dipetik darinya. Saya dan Anda tidak harus menjadi tukang perahu atau menjadi nelayan untuk memiliki semangat hidup, berpikir positif, penghargaan terhadap alam, inovasi, kreativitas, terbuka atas perubahan yang bermanfaat, daya juang, kompetisi, kebiasaan mewariskan ilmu, dan penyerahan diri terhadap sang Maha Pencipta. Kapan Mandar memiliki pemimpin yang egaliter dan ber­kha­ risma layaknya punggawa posasiq?, kapan ada pemberi semangat di tanah kita layaknya Pua’ Lia menyemangati para sawi agar tak lelah mendayung perahu?, adakah inovasi teknologi yang patut kita banggakan yang ditemukan anak Mandar?, dan sudah adakah negarawan di provinsi malaqbiq ini yang dengan kerelaan hati membagi ilmunya ke generasi muda?


4. Jenis-jenis Sandeq*

Dari segi konstruksinya perahu-perahu tipe sandeq kini digolongkan dalam dua tipe utama, yaitu sandeq tolor dan sandeq bandeceng. Kedua tipe itu dibedakan oleh cara memasang cadik. Pada sandeq tolor cadiknya dimasukkan ke dalam lambung perahu, sedangkan pada sandeq bandeceng cadiknya diikat ke atas geladak perahu. Tipe terakhir ini baru mungkin dibuat setelah tersedia tasi (monofilament). Pasang-memasang ikatan dari rotan tak mungkin karena bahan itu akan lapuk dan tak tahan lagi di laut. Selain dua tipe tersebut masih terdapat beberapa tipe perahu lainnya yang mengkombinasikan kedua jenis konstruksi itu. Misalnya, cadik haluan tipe sandeq callawai diikat ke atas geladak haluan, sedangkan cadik buritan dimasukkan ke dalam lambung perahu. Keuntungan yang didapatkan dengan mengikat cadik ke atas geladak adalah tingginya cadik dari permukaan laut dan gampangnya melepaskan cadik serta katir ketika perahu mau dinaikkan ke darat untuk disimpan di bawah rumah pemiliknya; kekurangannya adalah jika ada kelemahan ikatan maka itu akan menyebabkan longgarnya cadik yang dapat membahayakan di lautan luas. *

Disadur dari Liebrer, 1996.

27


Selain itu, perahu tipe bandeceng dan callawai terbuat dari kayu yang tipis dan ringan sehingga tak begitu “kuat’’ menghadapi pukulan ombak besar yang terdapat di lautan luas. Maka, kedua tipe perahu ini jarang digunakan untuk penangkapan ikan jarak jauh. Sebab melepaskan cadik dan katir serta cara menyimpannya di bawah rumah begitu gampang, perahu dapat disimpan di darat sepanjang tahun agar kering dan ringan ketika diturunkan untuk mengikuti perlombaan. Sebenarnya, cara ikat-mengikat itu adalah suatu keunggulan sandeq yang tak terdapat pada tipe-tipe perahu lain. Seluruh konstruksi katir dan cadik–yang menentukan daya tahan perahu bila berlayar di laut lepas–sangat fleksibel, sehingga dapat melenting dan mengenyalkan pukulan ombak dan daya dorong layar. Oleh karena itu, jenis perahu yang terlihat sangat fragil ini sebetulnya amat bertahan di lautan, dan sekeliling cara mengikat baratang, tadiq dan palatto terdapat serangkaian pantangan yang bertujuan untuk menjamin adanya keseimbangan keseluruhan konstruksi itu. Sejak tahun 70-an, ukuran perahu-perahu sandeq semakin bertambah. Pada tahun 90-an panjangnya rata-rata sekitar tujuh sampai delapan meter, kini perahu-perahu sandeq yang masih melayari lautan luas pada umumnya berukuran di atas sepuluh meter. Ukuran sandeq semakin diusahakan untuk mencapai ukuran maksimal ketika sandeq itu dibuat khusus untuk kegiatan lomba. Para posasiq Mandar menjadikannya beberapa tipe tertentu yang diklasifikasikan sesuai dengan penggunaannya. Walaupun demikian, tipe-tipe berikut ini tidak tidaklah terbatas pada kegiatan yang dilakukan, dengan kata lain perahu sandeq dapat melakukan semua aktivitas yang dimaksud, khususnya antara kegiatan motangnga dan marroppong. Untuk sandeq pangoli, ukuran sandeq-nya lebih kecil dan dia tidak bisa digunakan untuk motangnga.

28


sandeq perahu tercepat nusantara

29

Sandeq pangoli dipakai untuk menangkap ikan dekat pinggir karang dan wilayah pertemuan arus dengan menonda umpan yang terbuat dari bulu ayam di belakang perahu (mangoli); tipe perahu ini sangat laju dan lincah serta dapat membalik haluannya dengan cepat agar dapat memburu ikan dan tidak kena karang; sandeq parroppo dipakai untuk menangkap ikan di rumpon (roppo atau roppong) di lautan bebas; tipe perahu ini cukup besar agar (i) dapat memuat dua-tiga sampan yang diturunkan di roppo guna memperluas areal penangkapan, (ii) para pelaut dapat membawa perbekalan untuk pelayaran yang berlangsung selama dua sampai lima hari, (iii) perahunya dapat menahan ombak yang besar dan angin yang kencang di lautan bebas yang merupakan daerah penangkapan ikan itu; sandeq potangnga yang dipakai untuk mengarungi laut lepas demi menangkap ikan dan mencari ikan terbang dan telurnya. Tipe perahu itu besar agar bisa memuat bekal dan peralatan yang diperlukan dalam mengarungi lautan selama dua-tiga minggu. Agar ombak tinggi yang biasanya ditemui di daerah penangkapan ikan takkan sempat mengganggu dan membasahi para pemancing, maka pada jenis perahu sandeq ini sering terdapat tambahan beberapa ‘panggung’ yang lebih tinggi daripada geladak lambung perahu yang terpasang kiri-kanan di belakang tiang, diistilahkan lewa-lewa. Olanmesa, pakur, dan sandeq Sebelum kemunculan jenis perahu sandeq, pakur dan olanmesa merupakan jenis perahu bercadik yang digunakan posasiq Mandar. Perbedaannya dengan sandeq adalah, pakur ukuran umumnya lebih kecil dan memakai layar segi empat yang dinamakan sobal tanjaq sehingga pallajarang-nya (tiang layar) harus disesuaikan, yaitu berukuran pendek (sekitar lima meter), lurus dan terbuat dari kayu


30

muhammad ridwan alimuddin

bukan bambu; letak cadik perahu pakur juga lain, cadik buritannya terletak dekat sanggar kemudi perahu di belakang lambung, sedangkan sandeq cadik buritannya dipasang di sekitar tengah lambung perahu. Pakur sudah sangat jarang digunakan di Mandar. Bulan Mei 2006, saya berada di Kepulauan Kangean kurang lebih dua pekan. Di sana saya banyak menyaksikan pakur-pakur Mandar yang dilayarkan pelaut Mandar! Jumlahnya puluhan! Perbedaan dengan pakur di Mandar (Pulau Sulawesi), pakur di bagian timur Pulau Madura (sekitar 100 km) ini menggunakan layar lete, jenis layar yang umumnya digunakan perahu lete dan perahu baqgo. Adapun olanmesa adalah jenis perahu bercadik yang ukurannya lebih kecil dari pada pakur. Menggunakan jenis layar tanjaq yang besar. Perahu jenis olanmesa sudah tidak ada lagi. Posisi baratang buritan hampir terletak di tengah perahu dan baratang haluan terletak lebih ke arah dalam, mirip dengan posisi baratang pada perahu pakur. Posisi tiang layar terletak di depan baratang buritan atau di tengah perahu. Kedua paccong-nya berbentuk runcing, yang membedakannya dengan jenis perahu pakur dan sandeq yang melebar di ujungnya. Saat sekarang, perahu jenis olanmesa di Mandar sudah tidak ada, tapi kalau mau mengetahui bentuknya, lihatlah lambang Kabupaten Majene!


5. Bagian-bagian Sandeq

Lambung sandeq terdiri dari beberapa susunan papan, yang susunannya diperkuat oleh beberapa rangka dan seluruh bagian atas ditutup untuk mencegah masuknya air ke dalam lambung perahu. Secara rinci, lambung atau tubuh perahu sandeq terdiri dari: belang adalah bagian bawah atau bagian utama lambung perahu, terbuat dari sebatang kayu yang utuh, biasanya palipi. Bagian dalam dikeruk dengan cangkul kecil dan pahat untuk mendapatkan rongga atau ruangan bawah perahu. Bagian bawah batang pohon) menjadi bagian haluan sandeq (karena pengaruh layar jenis ‘sandeq’ yang menekan haluan perahu sehingga palattonya harus panjang!). Belang merupakan bagian yang paling pertama dikerjakan dalam pembuatan perahu sandeq. Biasa juga diistilahkan balakang; untuk meninggikan lambung perahu ditambahkan beberapa lembar papan, yaitu: papan tobo, papan yang menyusun dinding-dinding perahu yang terdapat di bagian bawah. Istilah yang digunakan ketika menyusun papanpapan ini adalah “mattobo”; papan lamma (pallamma), papan yang menyusun dinding perahu yang terdapat di bagian tengah. Biasa juga disebut pallamma yang secara harfiah berarti ‘pelemah’; di atas pallamma terdapat papan tariq, papan penyusun dinding perahu yang terdapat di bagian paling atas. Jika lebar pallamma sudah mencukupi tinggi lambung yang diinginkan, papan tariq tidak ditambahkan lagi. Di dinding perahu bagian atas terdapat oroang baratang, yaitu lubang di sisi perahu (di bawah lapar) yang berfungsi sebagai 31


tempat masuknya baratang. Sisi atas lubang yang berbentuk segi empat tersebut lebih kecil daripada sisi bawah. Oroang baratang untuk baratang buiq di bagian dalam berhimpitan langsung dengan lubang yang ada di gambus, demikian juga dengan baratang olo, kecuali jenis sandeq badecceng yang kedua baratang-nya berada di atas palka (diikat) dan adapun sandeq callawai hanya baratang olo yang diikat di atas palka.

Bagian-bagian lambung, tiang layar bagian bawah, dan bom layar

32


sandeq perahu tercepat nusantara

33

Susunan belang dengan papan-papan diatasnya dirangkai oleh tajo, balok melengkung yang dipasang pada bagian dalam dinding perahu, dari atas ke bawah berfungsi sebagai kerangka atau tulang perahu. Tajo berfungsi agar belang, tobo, lamma dan tari terpadu kuat dan menyatu. Dipasang dengan menggunakan paku kayu atau logam kuningan, khususnya di bagian haluan dan buritan. Jumlah tajo haruslah ganjil di tiap sisi (jumlahnya genap jika disatukan dengan sisi di depannya). Tajo terbuat dari kayu jati atau bagang. Kayu yang berukuran besar dan letaknya sama dengan tajo serta menempel di dinding perahu disebut gambus, yaitu gading tebal sebagai penahan baratang yang berbentuk huruf Y. Rangka bagian atas adalah kalandara (tulang dada) balok-balok pasak yang melintang di kedua sisi perahu bagian atas yang berfungsi sebagai tumpuan lapar perahu, terbuat dari kayu jati. Di dasar belang dari haluan ke buritan terdapat: bumbungan atau tubal, yaitu tumpuan tiang agung, yang terbuat dari balok kayu, tengahnya berlubang yang berfungsi sebagai penahan pallajarang, dipasang melintang dan menempel di dinding dalam perahu bagian kiri dan kanan pada dasar lunas, di tengah balok terdapat lingkaran yang diameternya sedikit lebih besar daripada diameter pallajarang yang berfungsi untuk menahan ujung tiang. Letaknya sepertiga dari panjang keseluruhan badan perahu diukur dari haluan (paccong); dan posiq atau pusar (pusat) perahu, yang secara mistik merupakan bagian paling penting di perahu. Posisinya berada satu jengkal atau satu siku dari tengah perahu ke arah haluan. Tepat di atas tubal terdapat kappu-kappu atau pallu-pallu, yaitu pemegang (lubang tempat masuknya) pallajarang yang terletak di geladak (lapar). Karena menerima beban yang besar, untuk membuat pallu-pallu harus digunakan kayu yang utuh (besar). Untuk Sandeq yang berukuran besar, bagian sisi pallu-pallu juga menjadi lapar


34

muhammad ridwan alimuddin

sandeq, khususnya di sekeliling bagian tersebut. Biasanya digunakan karet ban dalam mobil (ban bekas) untuk menutupi bagian pallupallu yang terbuka ketika pallajarang sudah terpasang. Ini untuk menghindari masuknya air laut/hujan ke dalam ruang perahu. Berikutnya adalah lapar, yang berfungsi sebagai lantai sekaligus penutup lambung perahu. Lantai terdiri dari lapar uluang, lantai perahu yang terdapat di haluan perahu, tepatnya di atas baratang uluang atau di depan pintu petaq depan, dan lapar palamin, yaitu lantai perahu yang terdapat di buritan, merupakan tempat duduk ketika mangguling. Di lapar terdapat petaq, ialah pintu masuk ke dalam ruang palka perahu. Petaq yang terdapat di sandeq umumnya berjumlah tiga sampai empat: di haluan, lambung, dan buritan di dekat sanggar kemudi. Pintu petaq dapat dibuka-tutup dengan mudah, dengan desain pintu yang memungkinkan air laut tidak masuk ke dalam ruang palka (tidak berengsel dengan penahan di tiap sisi yang berfungsi menahan pintu agar tidak bergeser dan air tidak masuk ke dalam roang); berbentuk segi empat. Di palka perahu terdapat beberapa bagian, yaitu palamin atau palka perahu bagian buritan; pallawe, papan/batang kayu yang digunakan untuk menutupi samping kiri-kanan lapar uluang dan palamin yang terletak di bawah garis geladak utama yang berperan sebagai terali; pallawe petaq, kayu yang dipasang di semua sisi lubang pintu masuk palka (petaq), sebagai tempat pintu petaq; sinding baraq, penutup kamar (palka) perahu, yang terbagi atas dua: sinding baraq di olo (penutup kamar depan) dan sinding baraq bui (penutup kamar belakang). Masing-masing terletak di sisi lapar uluang dan lapar palamin. Di atas palka perahu yang digunakan untuk menangkap ikan terdapat lemba-lembarang atau balok yang melintang di atas palka untuk mengikat pallewa-lewa. Pallewa-lewa adalah geladak samping


sandeq perahu tercepat nusantara

35

terbuat dari beberapa bilahan bambu. Saat perahu digunakan untuk lomba, bagian ini tidak dipasang. Di ujung pallewa-lewa, bagian haluan dan buritan terdapat pambuang lepa-lepa yaitu ‘lengan’ yang terdapat di samping perahu yang berfungsi sebagai tempat menyimpan lepa-lepa jika tidak digunakan atau sedang dalam perjalanan. Panjang pambuang lepa-lepa sekitar 60 cm. Palka sandeq diistilahkan roang. Di dalam roang terdapat: galagang, yaitu lantai di dalam palka perahu yang dipasang di atas lepe yang terbuat dari rangkaian bilah-bilah bambu. Dibuat terpisah-pisah agar mudah di lepas dengan panjang sekitar 40 cm dan lebarnya disesuaikan lebar belang; dan lepe atau lolos atau pulangang, yaitu kayu panjang yang dipasang di atas tajoq. Khusus untuk ujung perahu (haluan dan buritan) tersusun dari bawah ke atas: paqlea atau sangawing. Paqlea terbuat dari cabang kayu besar yang berbentuk V. Paqlea akan membentuk sudut depan dan belakang perahu yang dipasang di atas belang pada kedua ujungnya. Paqlea diistilahkan juga sangawing karena bagian ini bentuknya miring dan begitu pula pemasangannya; palipaling, salah satu bagian haluan perahu yang terdapat di bawah paqjonga-jonga atau di atas sangawing pertama. Sisi bawah pali-paling sejajar dengan lapar (lantai palka perahu); palleppeng atau paqjonga-jonga, bilah kayu yang juga berbentuk huruf V; dan paccong, yang berfungsi sebagai ‘puncak’ (ujung) haluan dan buritan perahu. Paccong terbuat dari kayu nangka atau jenis lain, berbentuk limas segitiga, bagian tengah paccong yang mengarah ke atas ukurannya lebih kecil daripada bagian atas atau dengan kata lain memiliki lekukan khas di bagian tengah. Paccong merupakan sedikit bagian dari perahu Sandeq yang membedakannya dengan jenis perahu lain. Ukuran paccong olo atau paccong palamin (haluan) lebih tinggi daripada paccong buiq (buritan).


36

muhammad ridwan alimuddin

Bagian buritan sandeq terdapat sanggilang. Sanggilang adalah dua papan tebal bersusun, balok atas berbentuk V lebar yang disebut sanggilang moane (laki-laki) untuk yang terdapat di bagian atas, sedangkan bagian bawah lebih panjang dan bentuknya lurus disebut sanggilang baine (perempuan), keduanya berfungsi sebagai tempat bersandar atau tempat mengikat kemudi. Di bagian ini terdapat bagian terakhir yang dikerjakan di antara semua badan perahu, yaitu pembuatan lubang tempat leher kemudi dipasang yang diistilahkan ettaq sanggilang atau kottaq. Untuk memperkuat rangkaian kedua sanggilang tersebut ke lambung perahu digunakan pattolor sanggilang, yaitu pasak kayu yang menghubungkan antara sanggilang moane dengan sanggilang baine. Biasanya terbuat dari aju sappuq (kayu besi). Di bagian bawah sanggilang moane bagian belakang atau antara sanggilang dengan paccong terdapat passailang baya-baya, sebagai tempat mengikat baya-baya. Sedangkan di bagian depan sanggilang moane tepat di depan kottaq terdapat sangila, yaitu pasak kayu kecil sebagai pemegang dengngeq atau tali pengikat leher kemudi, biasa juga disebut oroang paqdengngeq quling; pambuang lepalepa, ‘lengan’ (terbuat dari kayu) yang terdapat di ujung sanggilang moane yang berfungsi meletakkan lepa-lepa ketika berada di atas perahu, istilah lainnya adalah lemba-lembarang. Sebagai tempat penahan peloang di bagian atas sandeq terdapat pannarai atau tandangan atau paqtimang-timang, yaitu tiang atau balok melintang yang berada di belakang pallajarang di atas buritan perahu. Karena letaknya yang tinggi, tandangan juga dijadikan sebagai tempat pengamatan nelayan untuk memperluas daerah pandangan di lautan. Bagian-bagian lain adalah pasarangang, keseluruhan potongan untuk hubungan antara sangawing dengan papan-papan penyusun lambung perahu. Terbagi atas dua, yaitu lubang lidah yang diis­


sandeq perahu tercepat nusantara

37

tilahkan pui (vagina) dan lidah yang diistilahkan pallasoang (penis); passoqdiang, bagian lunas di haluan/buritan; pilisna belang, bagian runcing di haluan/buritan belang; dan sapatu atau kayu yang ditambahkan di bagian bawah lunas perahu sandeq ketika dasar lambung tersebut sudah mulai aus, kayu yang digunakan adalah kayu besi lamesa, adalah sudut yang dibentuk lambung (sisi) perahu. Cadik dan Katir Baratang (cadik) adalah dua batang kayu balok panjang dengan ukuran 8:9 dengan panjang perahu. Letaknya ada di depan tepat di bawah paccong depan dan yang satu terletak di tengah badan perahu. Baratang dipasang menembus badan perahu persis di bawah papan tariq (menembus papan lamma atau tariq). Sebagian jenis sandeq lain, misalnya jenis badecceng, baratang haluan tidak menembus ruang perahu tetapi diikat di atas geladak haluan tepat di belakang paccong. Posisi ujung baratang haluan lebih tinggi daripada baratang buritan. Ada dua baratang, baratang olo (baratang yang terdapat di bagian depan) dan baratang buiq (baratang yang terdapat di bagian tengah/belakang perahu). Tekko-tekko adalah kayu penopang yang terdapat di baratang bagian kanan, yang berfungsi sebagai tempat sapparaya (jangkar); tege-tege tambera, atau panjoli, kayu kecil yang terletak di bagian atas baratang, sebagai lubang tempat ikatan tambera (letteq tam­ bera) terhadap baratang; pallapis baratang, pelapis di baratang berfungsi untuk mencegah rusaknya baratang karena selalu ber­ gesekan dengan lunas lepa-lepa, biasanya terbuat dari plastik atau bilah-bilah bambu. Tadiq adalah ‘pemegang’ palatto yang terbuat dari akar aju ranniq (Lamtorogung, Mimosa pudica) berbentuk huruf L terbalik, diikatkan pada keempat ujung baratang. Di ujung bawah tadiq diikatkan palatto. Tadiq yang terletak di buritan diameternya


38

muhammad ridwan alimuddin

sedikit lebih besar daripada tadiq yang di haluan. Ini disebabkan tadiq bagian belakang lebih besar/banyak menerima beban atau hempasan dari permukaan laut. Selain itu, ukuran ‘sisa’ palatto di belakang tadiq buritan juga lebih panjang daripada panjang palatto di depan tadiq haluan. Tetapi sebaliknya pada tadiq, di bagian haluan, tadiq-nya lebih panjang agar posisi palatto membuka. Posisi tadiq antara haluan dan buritan saling berhadapan atau berada di bagian ‘luar’ baratang. Untuk menentukan posisi kayu tadiq apakah berada di haluan, di buritan, di kanan atau di kiri didasarkan pada kenampakan batang tadiq tersebut. Yaitu, posisi baratang yang menempel di batang tadiq harus di bagian yang sedikit melengkung ke dalam; (tasi) banniang adalah tali yang mengikat tadiq dan baratang yang terletak di ujung baratang; (tasi) tujuq ulu tali yang mengikat antara tadiq dengan baratang yang terletak di ujung tadiq; (tasi) passaqgang adalah tali yang mengikat antara tadiq dan baratang, yang pada tadiq terletak di bagian yang membengkok, dan pada baratang terletak sebelum tasi banniang; (tasi) tujuq palatto tali yang mengikat (ikatan) antara tadiq dan palatto. Palatto (katir) adalah sebatang bambu, jenis bambu lurus yang mempunyai diameter besar, disebut pattung (bambu petung). Untuk mengikat palatto pada tadiq digunakan tali yang disebut tasi. Dulu posasiq menggunakan kulit uwwe (rotan) sebagai pengikat. Fungsi utama palatto adalah untuk menjaga keseimbangan perahu. Adapun fungsi lain adalah sebagai tempat berdiri para awak perahu ketika melakukan ‘timbang’ (menyeimbangkan perahu ketika angin menekan layar ke sisi lain). Di ujung depan palatto terdapat paulu palatto, sepotong kayu yang dimasukkan (disumbatkan) ke dalam ujung depan bambu palatto. Bagian depannya menipis dan meruncing sehingga mudah membelah permukaan laut (hidrodinamis). Menggunakan kayu


sandeq perahu tercepat nusantara

39

nangka atau jati. Bagian belakang palatto juga disumbat dengan kayu, namun bentuknya berbeda dengan depan. Jika paulu palatto menon足jol ke depan dan runcing, maka sumbat belakang palatto tertanam penuh ke dalam palatto sehingga tidak nampak dari samping. Adapun bagian tambahan adalah pallapis palatto, bambu yang terdapat di antara ujung tadiq bagian bawah dengan palatto, berfungsi sebagai pelapis antar keduanya, agar palatto tidak cepat rusak dan ikatan yang ada keras tapi elastis; dan pallapis tadiq, karet yang terdapat di ujung tadiq bagian atas yang berfungsi melapisi hubungan antara tadiq dengan baratang. Kemudi dan Layar Kemudi juga terdiri dari beberapa bagian. Bagian paling besar adalah daung guling, bagian kemudi yang berbentuk papan dan merupakan bagian utama kemudi. Di bagian atas daung guling terdapat langole, leher kemudi yang biasanya dibalut dengan lilitan tali untuk mempermudah gesekannya dengan dinding kottaq di sanggilang dan tidak cepat aus, gisirang atau pegangan sewaktu mengemudi; tali yang digunakan menahan bagian atas kemudi di sanggilang moane digunakan tali berbentuk cincin yang diistilahkan sabir guling, jika diganti dengan kayu disebut pakkilas; dengengeang atau gulang paqbasse adalah tali yang digunakan untuk mengikat guling pada kedua sanggilang (moane dan baine). Layar sandeq terdiri dari tiga bagian utama: sobal (layar), palla足 jarang (tiang layar), dan peloang (bom layar), serta tali temali. Sobal (atau sombal) yang berarti layar terbuat dari plastik, dulu terbuat dari karoro sejenis daun kering yang mempunyai serat panjang yang disebut pappas. Bahan yang digunakan panjangnya sekitar 80 meter (tergantung ukuran layar) dengan lebar sekitar 1,5 meter.


40

muhammad ridwan alimuddin

Bagian-bagian tali tiang layar (tambera) yang terikat pada baratang (cadik) (atas) dan ujung bom layar yang menempel pada tiang layar (tengah, bawah)


sandeq perahu tercepat nusantara

41

Plastik tersebut kemudian dipotong-potong untuk selanjutnya dijahit sesuai ukuran layar yang diinginkan. Sobal bagian depan diberi cincin yang terbuat dari tali dan melingkar pada pallajarang. Pada ujung atas pallajarang dipasangi roda tempat meluncur tali layar yang disebut bubukang. Berfungsi menarik layar untuk dikembangkan atau mengulur layar ketika digulung. Di tiap sisi sobal diberi tali penguat, dibungkus oleh pinggiran layar untuk kemudian dijahit. Setelah itu diberi lagi seutas tali sebesar telunjuk yang juga dijahit pada gulungan tali yang pertama sehingga menjadi dua utas tali: satu dibungkus oleh tepi layar dan satu lagi dijahit menempel pada sisi tali yang terbungkus. Tali yang tidak terbungkus disebut pangnganga. Seluruh sisi layar diberi tali yang juga dibungkus dengan tepi layar, berfungsi agar pinggiran layar menjadi kuat. Kain layar pada bagian tengah disambung dengan jahitan dan dibuat gembung atau kendor, maksudnya agar dapat menampung angin lebih banyak dengan cara menegangkan. Pada bagian bawah tepi sobal, disambung dengan peloang dengan cara mengikat pada cincin cantolan yang dipasang sepanjang sisi sobal bagian bawah. Layar terdiri dari beberapa bagian, yaitu: kanuku, sudut layar bagian atas yang dilapisi; gula-gulas sobal, tali aris dalam; paliliang, jahitan kedua pada lipatan layar untuk menahan tali aris dalam; pandapuang, jahitan di uraq; parripping jahitan pertama untuk meng足hubungkan tali aris layar luar dengan layar; dan uraq atau bagian persambungan kain layar. Tali temali yang ada di perahu sandeq semuanya berhubungan dengan layar, baik untuk memperkuat posisi tiang layar maupun untuk menaik-turunkan layar. Tali-temali terdiri dari: tambera, tali pemegang pallajarang yang terbuat dari rotan yang berjumlah enam tambera, empat terdapat di baratang haluan (masing-masing dua untuk kiri dan kanan) dan terikat di bagian tengah baratang,


dan dua di baratang buritan yang terikat di ujung baratang, ujung atas tambera melilit pallajarang, adapun ujung bawah dipasangi pangga-panggaloq yang diistilahkan letteq tambera. Baya-baya atau tali daman adalah tali yang terletak di peloang bersama dengan pekkaq yang berfungsi sebagai tali pengontrol bukaan layar, ujung tali dipegang oleh pengemudi perahu atau diikatkan ke sanggilang; bubukang, tali pembuka layar; mantel, tali penahan peloang; pangnganga sobal, tali aris luar; panusur pallajarang, tali pemegang layar pada pallajarang; panusur peloang, tali pengikat layar pada peloang; pattoeq pakka, tali pemegang ujung peloang pada tiang; dan pekkaq, tali yang digunakan untuk menarik/mengulur/menahan layar, pekkaq ada dua utas, keduanya diikatkan pada sisi bawah peloang. Bagian dari tali temali yang tidak dalam bentuk tali adalah pangga-panggaloq atau pijajing, ujung bawah tambera yang berfungsi sebagai tempat tali yang mengikat tambera pada baratang. Bagian ini terbuat dari kayu yang sisinya dikelilingi oleh tali (rotan) tambera. Untuk memperkuat lilitan tambera terhadap kayu tersebut digunakan tasi (monofilament); dan tukal sebagai ‘katrol’ (biasanya terbuat dari kayu yang dilubangi) yang menghubungkan baya-baya dengan pekka. Pallajarang (tiang layar) terbuat dari bambu yang kuat dan lurus. Di beberapa bagian pallajarang (dari bawah ke atas) terdapat: pambaqbe pallajarang, kayu atau bambu yang diikatkan di sekeliling tiang layar agar lebih kuat; pattahang bubukang, tempat mengikat bubukang; pallapis tambera atau tege-tege, kayu yang digunakan untuk menahan tambera agar tidak turun dari tempatnya; paqmanuq-manuq atau takkalaq, kayu yang dimasukkan ke dalam ujung atas tiang pallajarang, tambahan ini diperlukan sebab bambu yang dilubangi cepat patah, fungsinya sebagai tempat mengikat bendera, takkalaq terbuat dari kayu jati.

42


sandeq perahu tercepat nusantara

43

Ada bulu ijuk yang ditempatkan di ujung pallajarang yang berfungsi sebagai penangkal hantu laut; caliccing aju pallajarang, sepotong kayu berlubang yang terdapat di pammanuq-manuq yang fungsinya untuk mengarahkan bubutan bawah/kedua agar bagian atas layar tidak terbuka jauh dari tiang; dan caliccing pallajarang, cincin dari kawat besar untuk mengarahkan bubutan yang terdapat di pammanuq-manuq. Peloang (bom layar) adalah bambu yang dilekatkan pada sisi bawah layar, fungsinya sebagai penggulung dan pemberat layar. Peloang dihubungkan dengan sisi bawah sobal dengan menggunakan tali yang dicantolkan pada cincin-cincin kecil sepanjang sisi sobal bagian bawah tersebut. Di ujung peloang terdapat pakka peloang, yaitu cabang kayu yang berbentuk huruf Y yang memegang peloang pada pallajarang. Ujung bawah pakka dimasukkan ke dalam bambu peloang untuk kemudian diikat dengan kuat; pallabong peloang adalah batang kayu yang terdapat di ujung peloang (dimasukkan ke dalam ujung bambu); gulang paqila, tali yang digunakan untuk mengikat gulungan layar pada peloang. Ukuran tiang, layar, dan bom layar disesuaikan dengan penggunaan perahunya. Tiang sebuah sandeq pangoli lebih tinggi dan layarnya lebih lebar daripada tiang dan layar—misalnya— perahu sandeq yang akan digunakan untuk berlayar ke daerah Kalimantan –semakin besar layarnya, semakin laju dan lincah perahu itu, semakin kecil layarnya, semakin kurang bahaya terbaliknya bila kena angin kencang di atas lautan. Selain itu, bentuk layar yang akan menjadi penentu utama kelajuan sebuah perahu diukur dan diperhitungkan dengan sangat saksama. Pelayar Mandar percaya, bahwa sehelai layar harus dijahit dengan ‘isi’ (kelonggaran kain layar yang berkembang seperti ‘perut’ jika terisi angin) sebelah tiang yang cukup banyak, agar angin yang lewat pada layar itu dapat “ditangkap” di dalamnya dan akan


44

muhammad ridwan alimuddin

berputar dekat tiang untuk mendorong perahunya ke depan. Secara dasar isi layar ditentukan dengan tarik tengahnya pangnganga sobal (tali aris luar) bagian tiang dan bom layar keluar dari garis lurusnya dan berikutnya membundarkan garis bersudut yang dihasilkan itu. Bagian belakang layar di ujung peloang harus lurus agar angin dapat lewat dengan baik kalau perahu mau belok —jadi isinya di pasang di depan saja. Setelah tamberang-tamberang disiapkan dan diikat kepada tiang, panjangnya masing-masing utas tambera ditentukan dengan tarik rotan tambera itu sejajar dengan tiang ke ujung tiang bawah dan melipatkan ujung rotan yang akan diikat kepada mata tambera itu satu ruas ke atas dari ujung bawah tiang. Ketika tiang didirikan, kedua tambera buritan diikat duluan dengan sekeras mungkin; tamberang-tamberang haluan diikat berikutnya. Maksudnya adalah agar tiang dapat miring ke belakang—menurut pelaut Majene miringnya tiang itu akan menambah kelajuan perahu bila ia melawan angin (pendapat itu sesuai dengan hasil penelitian aerodinamika perahu layar modern).


sandeq perahu tercepat nusantara

Bagian dalam lambung sandeq

45


6. Pembuatan Sandeq

Proses pembuatan perahu jenis sandeq secara umum hampir sama dengan proses pembuatan perahu jenis lainnya, seperti hari untuk memulai pekerjaan, pantangan-pantangan, upacara ritual dan sebagainya. Hanya beberapa bagian yang berbeda, karena struktur dan bentuk perahu sandeq yang sifatnya lain dan unik. Sandeq yang ideal adalah ringan, cepat dan kuat, oleh sebab itu pengerjaanya pun harus teliti dan menggunakan bahan yang ringan tapi kuat. Teknik pembuatan perahu Sandeq merupakan tahap peralihan dari teknik yang sederhana ke teknik yang agak rumit, yaitu dari hanya pelubangan sebatang kayu gelondongan (dalam pembuatan lepa-lepa) ke pembuatan yang menggunakan rangka dan menghubungkan beberapa papan. Sandeq adalah jenis perahu yang modern, tapi dikerjakan secara tradisional. Disebabkan harus menggunakan kayu-kayu pilihan, khususnya bahan untuk belang, maka untuk saat sekarang pembuatan perahu sandeq mengalami kesulitan. Kurangnya pemesanan sandeq me­ nye­­­babkan para penyedia kayu belang menjadi berkurang, yaitu beberapa perkampungan di Mamuju. Bagi para tukang atau peme­ san sandeq hal tersebut merupakan kesulitan tersendiri. Selain itu, bahan baku belang, kayu-kayu yang berukuran besar, juga sudah berkurang. Berikut ini adalah jenis-jenis aju (kayu) yang umum digunakan dalam pembuatan perahu sandeq dan perahu jenis lainnya: tippulu

46


sandeq perahu tercepat nusantara

47

atau kaccoda: sebab ringan serta kebal terhadap serangan seranggaserangga dan binatang lainnya yang merusak kayu maka cocok sebagai bahan untuk pembuatan belang dan paqjonga-jonga. Palapi (Kalapia cenlebica Kastern): lebih kuat dari tippulu, akan tetapi kayu ini gampang diserang perusak baik di laut maupun di darat serta lebih berat daripada tippulu. Bahan untuk pembuatan belang dan lapar. Jati (Kayu jati, Tectona grandis Lf.): untuk bahan tajo; kalandara; gambus; paqmanu-manuq; baratang. Sappuq (Kayu besi atau kayu uling): berasal dari Kalimantan, sangat kuat dan tahan terhadap segala macam perusak, tetapi berat. Kayu ini digunakan untuk pembuatan lunas perahu (sapatu pada lambung sandeq); pasak; dan pattolor sanggilang. Bitti (Vitex confassus Reinw.): digunakan untuk pembuatan bagian perahu yang tidak terkena air laut, sebagai pengganti kayu jati.


Istilah-istilah kayu/papan penyusun lambung sandeq.

48


sandeq perahu tercepat nusantara

49

Punaga: untuk pembuatan sangawing/paqlea; pali-paling. Maqdun atau Maqdang bahan untuk pembuatan belang. Bagang untuk pembuatan sanggilang; paulu palatto; takal; kappu-kappu; tajo; gambus; guling; pekka. Kuqmil: pembuatan paccong (Kayu nangka). Malapau: papan tobo, dingo: belang Ranniq (Mimosa pudica): untuk pembuatan tadiq (Kayu lamtoro), pattung: (bambu petung) untuk pembuatan pallajarang; palatto, tarring: (bambu biasa) untuk pembuatan peloang, dan uwwe (rotan) untuk tambera. Biasanya perahu-perahu di daerah Mandar dibangun oleh tukang ahli pengerajin perahu; walaupun hampir semua passandeq mengetahui dasar pembuatan perahu dan sekurang-kurangnya dapat membantu dalam pekerjaannya, buat membangun perahu sandeq terdapat tukang-tukang yang berspesialisasi dalam pembuatan jenis itu saja. Bila ia tidak dapat membangunkannya sendiri, si pelaut memilih salah satu dari tukang-tukang yang biasa­ nya membangun sandeq di kampungnya sebagai ‘pelaksana’ peker­ jaan yang nantinya akan menentukan ukuran-ukuran, menger­ jakan hal-hal yang rumit dan mengadakan upacara-upacara yang berhubungan dengan pembuatan perahu. Para pelayar Mandar mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing pande lopi di daerah mereka, dan biasanya berusaha untuk memilih tukang paling pandai yang sedang bersedia untuk membangun sebuah perahu baru. Pada pembicaraan awal akan pembangunan sebuah perahu ditentukan cara kerjanya – siapa menye­diakan bahan bakunya seperti kayu, paku, dsb. perahu akan dibangun di mana, pada jangka waktu apa, dengan pembayaran gaji berapa. Ketika tercapai suatu persetujuan yang dapat diterima kedua belah pihak, maka persetujuan itulah dianggap sebagai ‘kon­ trak’ pembuatan, suatu perjanjian yang akan mengikat baik si pemesan maupun pande lopi sampai perahu itu diluncurkan.


50

muhammad ridwan alimuddin

Bila kayu perahu dan bahan baku lainnya disediakan oleh si pemesan, maka tukang akan diberikan sejumlah uang upah yang ditambah dengan beras, kopi, gula dan rokok yang dimaksudkan sebagai konsumsinya: selama mengerjakan perahu sang tukang tidak lagi dapat mencari nafkahnya dengan misalnya memancing atau berkebun. Sejumlah dari upah itu diberikan kepada pande lopi ketika pembuatan perahu dimulai; pembayaran sisanya tergan­ tung dari kebutuhan pengerajin dan dari uang yang tersedia pada pemesan. Jumlah dan pembagian gaji di antara pembantu sang tukang perahu (sawi) ditentukan oleh pande lopi sendiri; dari pemesan diharapkan, bahwa ia ikut membantu dalam pekerjaan. Di tempat pembuatan perahu pun si pemesan berkewajiban untuk selalu menyediakan kopi dan rokok buat orang yang mengerjakan perahunya. Unit ukuran tradisional berasal dari tukang perahu/pemesan kayu sendiri: dappa (depa) menandai jarak di antara kedua telapak tangan jika lengannya dibuka (direntangkan); lima adalah lebarnya ‘tangan’; jengkal terdiri dari jarak di antara ibu jari dan jari telunjuk. Untuk menentukan panjangnya papan tambahan tengah (papang lamma atau pallamma), maka belang diukur secara kasar dengan memakai depa; kemudian ukuran itu dikurangi satu depa agar dapat menghasilkan ukuran yang diperlukan. Lebarnya papan tergantung dari kayu yang tersedia: Semakin lebar papan tersebut, semakin kurang susunan papan pallamma akan diperlukan. Tingginya perahu yang mau dibangun itu diten­ tukan dengan mengukur lebar-panjangnya belang: Salah satu cara adalah dengan mengukur jarak di antara kedua sisi dalam belang dengan sepotong kayu atau dimstok dan kemudian menambahnya “sedikitâ€? untuk menghasilkan tingginya; pada cara yang lain sepersepuluh dari panjangnya belang ditentukan sebagai ukuran tingginya lambung perahu.


sandeq perahu tercepat nusantara

51

Akan tetapi, semua ukuran tergantung lagi dari penggunaan perahu yang diruncingkan itu: buat sebuah perahu yang “mau lajuâ€? kayunya harus ringan dan tipis. Belang-nya sangat runcing, dan lambung perahu tak boleh terlalu tinggi; buat sebuah perahu yang mau dipakai untuk angkut muatan atau menangkap ikan di lautan luas, kayunya harus kuat serta semua ukurannya boleh lebih besar, lebar dan tinggi. Untuk bagian haluan/buritan perahu diperlukan papan-papan tertentu: Jika kayu yang tersedia memungkinkannya, untuk ba­ gian de­pan/belakang perahu itu disiapkan dua sampai empat lembar paqleaq, yaitu papan/balok tebal berbentuk V yang dapat menjadi papan untuk kedua sisi perahu sekaligus; kalau tidak ada kayu yang cocok, maka empat sampai enam papan sangawing disediakan. Untuk menentukan ukuran baik paqleaq maupun sangawing kedua ujung belang diukur dengan sebatang rotan yang dibengkokkan sesuai dengan rupa bagian buritan/haluan belang; pengukur rotan yang dinamakan pana-pana itu diberikan kepada tukang penebang agar dapat dibawa ke tempat penebangan pohon yang akan dijadikan papan perahu.


7. Upacara

Setelah kayu dan bahan keperluan lainnya dikumpulkan di tempat pembuatan perahu, sebuah atap sementara (battilang atau kalampang) dibangun sebagai pelindung baik kayu maupun para pekerja dari matahari dan hujan. Battilang terbuat dari atap nipah dan bertiangkan batang-batang bambu. Pada beberapa kasus, ada tukang perahu yang membuat battilang ‘permanen’ di rumah mereka, yaitu di kolom rumah atau di samping rumah. Jadi battilang inilah yang digunakan untuk membuat perahu pesanan orang lain, kecuali perahu yang akan dibuat tidak muat di battilang tersebut atau proses pemindahannya ke laut tidak memungkinkan, atau pemesan perahu berasal dari daerah yang jauh. Namun untuk yang terakhir tersebut, tergantung kesepakatan antara tukang perahu dengan pemesan, sebab bisa saja perahu dibawa ke daerah tersebut setelah selesai dibuat. Para tukang perahu lebih memilih untuk membuat perahu di battilang mereka karena peralatan tersedia lengkap dan juga tidak merepotkan si pemesan (mengeluarkan biaya untuk pembuatan battilang). Menurut kebiasaan orang Mandar hari permulaan suatu peker­ jaan dipilih sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan beberapa cara perhitungan tentang hari-hari yang baik dan buruk yang didasarkan atas posisi/waktu bulan dan bintang (kutika). Menurut orang Mandar, hari Rabu terakhir dalam satu bulan tidak baik, sehingga tidak ada yang mau memulai dengan sesuatu; istilahnya

52


sandeq perahu tercepat nusantara

53

cappu araba (Rabu ‘penghabisan’). Kamis penghabisan sangat disukai, istilahnya coppo kammis (Kamis ‘puncak’). Pada hari tertentu itu lagi terdapat beberapa perhitungan akan jam yang cocok untuk memulai suatu pekerjaan. Untuk memilih waktunya didasarkan pada naskah kutika kecil yang mengandung pembagian hari-hari pada satu minggu menurut urutan jam, dan jam 10.00 ditentukan sebagai waktu yang paling cocok. Untuk me­ mulai dengan pembuatan sebuah perahu sandeq biasanya diadakan suatu upacara sederhana; susunannya sebagai berikut: Disediakan pelbagai jenis kue dan manis-manisan, yaitu: tujuh piring songkol (beras ketan) yang terdiri dari tiga jenis warna (putih, merah, hitam) dengan “telur, cucur dan ketupat nabi di atas­nya”; kue onde-onde; kue talloq panynyu; ule-ule, sejenis mi­ numan manisan yang terbuat dari kacang hijau; beberapa jenis pisang: loka barangan, loka tiraq, loka raya, dan loka manurung. Makanan kue-kuean itu juga disediakan pada pesta perkawinan, pesta keselamatan untuk anak yang baru dilahirkan, pesta sunatan atau pada syukuran keselamatan lainnya; dalam Bahasa Mandar disebutkan pitu pindan-pindang (‘tujuh piring kecil’) Setelah pembacaan barasanji selesai, para peserta membawa sebagian dari kue-kuean itu pulang ke rumah masing-masing – yang dikhususkan untuk dibawa pulang ke rumah sudah dibungkus sebe­ lumnya yang disebut barakkaq, sedangkan yang tersedia di atas piring dimakan pada tempat pembuatan perahu. Kepala tukang membawa parangnya naik ke dalam rumah di mana parang itu dido’akan berdekatan dengan tiang utama (posiq boyang); mata parang itu dipoles dengan minyak wangi dan setelah­ nya dikenakan seutas kalung emas Setelah kepala tukang turun dari rumah, pekerjaan dimulai dengan tiga pukulan dengan parang yang dido’akan tadi: di bela­kang, di tengah, di muka perahu; potongan kayu yang jatuh diambil oleh


54

muhammad ridwan alimuddin

pemilik perahu: “Entah nanti sakit dengan memakai perahu itu, maka potongan-potongan itu diambil dan dijadikan dupa atau dimakan sebagai obat”. Beberapa saat kemudian, “Malami tau maqjama!” (“Pekerjaan dapat dimulai!”) dan tambuku dalam belang dipotong. Bagian depan dan bagian belakang dipotong sesuai dengan panjangnya perahu yang diinginkan; kedua potongan itu diambil dan dinaikkan ke dalam rumah Garis tengah perahu dicari: Belang dibalikkan dan dengan tali pancing tengahnya ditandai. Diberikan dua garis kiri-kanan dari tengah (lunas), batang loka serta se’de (samping) ditandai dan dikerjakan. Selanjutnya, potongan kayu, minyak wangi dan dupa disimpan di rumah berdekatan dengan posiq boyang. Pekerjaan-pekerjaan itu harus diselesaikan pada hari pertama sebagai tanda bahwa perahu itu pun akan diselesaikan dengan cepat. Upacara yang dianggap paling penting adalah upacara mendoakan parang: Parang besar itulah perkakas utama tukang perahu Mandar, dan dengan menyiapkannya “hati pande lopi disiapkan agar dia bekerja dengan baik dan cepat”. Mata parang dikenakan minyak wangi dan emas, agar dia bisa membantu dengan baik dalam kerja perahu itu. Proses pembangunan perahu Setelah belang dihaluskan dengan ketam, di atas pinggirnya haluan/buritan kiri-kanan disusun papan paqleaq atau sangawing; papan-papan yang masih sangat tebal itu dibentukkan dan ditipiskan sesuai dengan ukuran belang. Pada bagian tengah sisi dalamnya ketebalan papan tersebut tidak dikurangi untuk membentukkan tambuku sebagai pemegang katir dan sanggar kemudi. Di antara papan-papan tersebut kemudian dipasang satu atau dua urat papan panjang (pallamma), tergantung dari lebarnya papan yang tersedia. Di atas pallamma terdapat seurat papan sempit (papan tariq) sebagai landasan pemegang balok dek (kalandara).


Berikutnya letaknya lubang-lubang untuk cadik (oroang baratang) dan sanggilang baine ditentukan dan dikerjakan. kemudian gadinggading (tajoq) dan balok dek dipasang; pada oroang baratang di tengah perahu dipasang sebatang kayu yang lebih lebar dan kuat daripada gading-gading lainnya sebagai pemegang cadik (gambus). Sebelum geladak perahu (lapar) dipasang, ‘ruang’ dalam perahu (roang) dicet; berikutnya lapar, kedua balok penutup haluan/ buritan (sinding baraq) serta lapar uluang dan lapar palamin dipan­ cangkan. Untuk menutupi samping kiri-kanan lapar uluang dan palamin yang terletak di bawah garis geladak utama beberapa papan/batang kayu (kapa, pallawe) dipasang sebagai terali; pada pinggir lubanglubang pada geladak yang dimaksudkan sebagai pintu palka (petaq) pun dipasangkan pallawe petaq. Sementaranya di atas papan paqleaq bagian haluan disusun pelleppeng sebagai landasan untuk paccong uluang (‘hidung perahu’ yang dianggap sebagai tanda khasnya sebuah perahu sandeq); paccong palamin tidak diberikan papan landasan dibawahnya. Oleh karena pemasangan kedua balok sanggar kemudi (sang­ gilang baine dan sanggilang moane) serta bagian-bagiannya meru­ pakan suatu pekerjaan yang cukup rumit, maka pekerjaan itu dilaksanakan oleh pande lopi sendiri setelah bagian-bagian buritan lainnya dipasang oleh pembantunya. Sama halnya dengan balok-balok yang dimaksudkan sebagai pemegang tiang layar: Baru sesudah pemegang tiang di atas geladak (pallu-pallu) terpancang, letaknya tubal, sepatu tiang di dalam ruang perahu, dapat ditentukan. Terakhirnya sebatang kayu panjang (lepe) dipaku ke atas gadinggading sebagai landasan lattang, ‘lantai dalam perahu’. Ketika baratang dan palatto (katir dan cadik) disiapkan dan badan perahu habis dicat, semua bagian dirakit (dipasang).

55


56

muhammad ridwan alimuddin

Ternyata tukang perahu memiliki gagasan tetang ‘kesempurnaan’ sebuah perahu sandeq serta detail-detail pekerjaan yang perlu di­ was­padai pada proses pembangunan itu. Misalnya, ketika urat papan pallamma dipasang, potongan yang dimaksudkan untuk lapar palamin dikerjakan sebelum papan itu dipasang; bagian bawah papan pallamma dipotong agak bundar agar ia nanti dapat disesuaikan bengkoknya belang dengan gampang; bentuk belang untuk perahu yang dibangun sebagai perahu sangat laju sudah dapat ditentukan kepala tukang sebelum papan-papan tambahan di atasnya terpasang dan berikutnya akan diperbaiki beberapa kali setelah papan-papan tersebut dan geladaknya dipasang. Hal ini sama dengan ukuran cadik dan katir: untuk mengukur bagianbagian perahu itu dipergunakan beberapa cara perhitungan. Persiapan tiang (pallajarang), tali-temali dan layar (sobal) meru­ pakan tanggung jawab pemesan perahu. Sebelum tiang dapat dinaikkan ke atas perahu, bagian-bagiannya serta tambera (‘tamberang’: tali pemegang tiang) dan tali temali lainnya dipasang kedepannya agar tidak perlu lagi memanjatnya sesudah tiang terpasang.


8. Peluncuran

Upacara

peluncuran sebuah perahu sandeq terdiri dari maqbarasanji (pembacaan kitab Barsanji); mapposiq (pemberian pusat perahu); dan upacara makkottaq (pembuatan lubang kemudi di sanggilang). Upacara dilakukan sederhana dan diadakan pada siang hari. Susunan upacara terdapat sebagai berikut ini: Sebuah piring dengan barang berikut ini disiapkan: (i) Penutup posiq: Sebatang kecil dari kayu kapas; (ii) minyak wangi; (iii) potongan kayu dari upacara permulaan pekerjaan; (iv) sejumlah uang sebagai gaji khusus buat mengadakan upacara untuk pande lopi; (v) satu meter kain putih; (vi) sebuah pahat baru; (vii) sepotong besi murni; (viii) kapas dan dupa. Di dalam rumah pemilik perahu diadakan barasanji bersama semua orang yang telah terlibat dalam pembuatan perahu itu, diikuti oleh makan bersama yang sederhana; bahan makanan yang dihidangkan sama dengan yang disediakan barasanji ketika pekerjaan dimulai. Pahat yang baru itu dikenakan emas dan minyak wangi – sama halnya dengan parang pada upacara permulaan pekerjaan. Setelah upacara pahat selesai, sang pande lopi langsung turun dari rumah untuk mengadakan upcara mapposiq: (i) Tempat posiq ditandai dengan pahat baru itu; (ii) balung seekor ayam jantan dilukai dan tempat posiq dikenakan darah yang keluar dari luka tersebut; (iii) asap dupa ‘ditangkap’ tiga kali dengan tangan dan ‘disimpan’ pada tempat posiq; (iv) tempat posiq dioles dengan

57


58

muhammad ridwan alimuddin

minyak wangi; (v) lubang posiq dibor; (vi) dengan menahan napas, penutupnya dimasukkan dan berikutnya dioles juga dengan asap dan dupa dan minyak wangi; (vii) lubang posiq yang sudah ditutupi ‘dikelilingi’ oleh tiga potongan besi kecil (di depan, kiri dan kanan) yang dipukul masuk ke dalam badan perahu; (viii) seluruhnya ‘diberikan’ lagi asap dupa sebanyak tiga kali. Sang tukang keluar dari ruang perahu untuk mengadakan upacara makkottaq: Dengan menahan napas ia memandang langit dan tanah demi “mencari tanda nasib perahu” seperti burung yang lewat, awan yang menutupi matahari, semut dan serangga lain yang berlarian di tanah, dsb. untuk menentukan saat pukulan pertama; dengan mengucapkan suatu mantera, sanggilang perahu dipahat tiga kali, dan potongan kayu yang lepas diambil sebelum dapat jatuh ke tanah. Kemudian kottaq dikerjakan dan sangila dipasang. Makkottaq adalah pembuatan lubang tempat leher kemudi diikat atau pembuatan ettaq sanggilang. Ini termasuk ussul yang ‘penting’ yang mengatakan bahwa bagian yang paling penting di perahu (selain posiq) adalah tempat kemudi, sebab jika bagian ini rusak, hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh nelayan (tidak bisa mengarahkan perahu). Upacara makkottaq menandai habisnya pembuatan perahu: setelah kottaq itu selesai, kemudinya dapat dipasang dan perahu bisa berlayar Seusai upacara makkottaq perahu harus didorong secepat mungkin ke dalam air. Bila perahu itu dibuat untuk perlombaan atau penangkapan ikan terbang, maka pada saat itu diadakan upacara pasitai indoq-amanna (‘diperlihatkan kepada ibu-ayahnya’): Tanah dari tempat pembuatannya dioles kepada buritannya (dari bawah ke atas). Upacara pasitai indo-amanna diadakan karena “tanah adalah saudara kita, dan kayunya perahu juga tumbuh di atas tanah. Jadi, perahu berasal dari tanah, dan tanah itu diperingatkan, bahwa perahunya akan turun sekarang, tolong tidak diganggu lagi”.


sandeq perahu tercepat nusantara

59

Pada semua upacara ini diungkapkan mantera-mantera, dan setiap bagiannya mengandung arti tersendiri. Misalnya, dengan pengeboran posiq perahu yang mau diluncurkan itu “diberikan jiwanya”; dengan menangkap asap dupa tukang menangkap juga roh-roh halus yang mengelilingi perahu dan memasukkannya ke dalam posiq”. Dalam Sahur dkk. (1991/92:39) terdapat mantera berikut ini yang digunakan pada saat mapposiq: “Nabi Sulaiman makkeqde diolo, Nabi Heder maqjaga isaliwang anna ilalang lopi” (Nabi Sulaiman berdiri di depan, Nabi Haidir menjaga di luar dan di dalam perahu). Mapposiq adalah kegiatan ritual yang menandai bahwa bagian penting sandeq (atau perahu secara umum) telah selesai dibuat. Mapposiq berarti pemberian (pembuatan) sebuah lubang di belang (lunas) perahu, sekitar satu meter dari ujung bawah pallajarang ke arah buritan atau satu jengkal dari tengah perahu. Dari segi mistik, mapposiq adalah memberi atau memperbarui ‘jiwa’ perahu. Berdasarkan pengertian tersebut, mapposiq di pembuatan perahu adalah pemberian ‘jiwa’ yang ditandai dengan pembuatan lubang. Mapposiq mengambil filosofi (ussul) dari posiq (pusar) manusia, baik posisinya maupun fungsinya. Posiq adalah bagian yang menghubungkan bayi dalam kandungan dengan ibunya, lewat tali plasenta. Jadi dapat dikatakan bahwa peran posiq sangatlah penting atau secara tidak langsung posiq adalah “sumber kehidupan” bayi di dalam kandungan. Demikian juga ketika bayi telah dilahirkan, bagian yang mendapat perawatan pertama adalah tali plasentanya. Saat bayi sakit pun dapat dilihat atau diobati lewat posiq-nya. Dari hal inilah para nelayan dan tukang perahu (demikian juga tukang pembuat rumah) mengambil ussul. Ritual mapposiq juga dilakukan ketika perahu yang lama tidak digunakan akan digunakan kembali. Atau ketika akan menghadapi kegiatan melaut yang sifatnya penting, misalnya dalam menghadapi


60

muhammad ridwan alimuddin

motangnga. Mapposiq di sini berarti ‘memperbarui’ (memberi ke­kuatan baru) jiwa yang sudah ada di perahu. Mapposiq yang dilaksanakan setelah selesai kuliwa tersebut ditandai dengan ‘menutup’ ulang posiq perahu. Punggawa membawa dupa ke dalam ruang perahu. Setelah berada di dalam perahu, tepatnya di atas posiq, punggawa mengambil sikap menghadap haluan perahu untuk bersiap melakukan ritual. Ritual yang dilaksanakan adalah: punggawa ‘menangkap’ asap dari dupa kemudian memanjatkan doa dengan cara mendekatkan tangan yang menggenggam penutup posiq bersama asap ke hidung. Selesai membaca doa, dengan cepat punggawa menutup posiq perahu dengan cara menekan dengan keras. Selain untuk memperbarui ‘jiwa’, ritual mapposiq juga bertujuan mengusir guna-guna yang mungkin ada di perahu. Ritualnya adalah nelayan menggunakan sisa air bilasan (pencuci beras) untuk bahan sokkol dan nasi sewak­ tu kuliwa. Pada saat mapposiq, air tersebut ditumpahkan ke posiq perahu oleh punggawa Ini merupakan salah satu bentuk ussul, yang bermakna agar guna-guna orang lain ikut terbuang. Air itu telah membersihkan beras dari kotoran, perahu dianalogikan sebagai beras, dan guna-guna sebagai kotoran.


9. Melayarkan Sandeq

Sebelum

digunakannya mesin sebagai penggerak utama perahu, keterampilan menjalankan perahu lewat bantuan angin dan layar adalah hal yang perlu dimiliki seorang nelayan. Semakin tinggi kemampuan dan pengetahuan mengenai mela­ yar­kan perahu (hubungannya dengan lingkungan laut: musim, arah angin, rute) tersebut, seorang sawi dapat menjadi seorang punggawa. Ini disebabkan punggawa pottana atau pemilik modal dapat mempercayakan investasi yang mereka tanamkan. Selain itu, seorang nelayan dapat memilih untuk mandiri, yaitu memiliki dan melayarkan sendiri perahunya. Ada beberapa jenis layar yang biasa digunakan oleh nelayan atau pelaut Mandar, yaitu tanjaq, nade, pinisi, dan sandeq. Layar jenis tanjaq digunakan pada perahu padewakang, baqgo, panjala, olanmesa, pakur, dan sebagai ‘cadangan’ pada perahu kappal; layar nade pada perahu lambo; layar ‘pinisi’ pada perahu palari dan pinisi; dan layar ‘sandeq’ pada perahu sandeq dan soppe-soppe. Melayarkan sandeq adalah salah satu puncak paqissangang sumombal yang dimiliki oleh posasiq Mandar. Berbeda dengan perahu yang menggunakan mesin, melayarkan sandeq dilakukan secara “manual”, pengetahuan dan keterampilan “tingkat tinggi” serta keberanian dan kecepatan mengambil keputusan haruslah dimiliki seorang yang mangguling (mengemudikan perahu) sandeq. Untuk melayarkan sandeq, paling tidak nelayan harus memiliki

61


62

muhammad ridwan alimuddin

pengetahuan mengenai paqissangang aposasiang (walaupun ke­ teram­­pilan melayarkan perahu adalah masuk kategori paqissangang sumombal), yaitu: kemampuan membaca arah angin; mengetahui sifat ombak, khususnya pengaruh terhadap perahu; kemampuan memposisikan layar terhadap haluan yang diinginkan; memiliki ketahanan dan kekuatan fisik; keterampilan menarik, menahan, mengikat baya-baya; dan mengenal keadaan perairan, khususnya tempat yang akan dilalui atau di mana perahu akan berlabuh (cuaca, sifat fisik, dan kedalaman). Dalam kegiatan motangnga atau mattalloq dan penangkapan ikan di roppo, sebuah perahu sandeq umumnya dilayarkan oleh tiga sampai lima orang, satu orang punggawa dan yang lainnya adalah sawi. Hampir seluruh pemilik perahu sandeq juga adalah punggawa posasiq. Tidak seperti di jenis perahu lain, di atas sandeq tidak ada pembagian tugas yang ketat, sebab biasanya semua awak perahu dapat melayarkan dan mengemudikan sandeq, dan cara pembagian tugas disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Yang paling ber­ pengalaman (umumnya adalah punggawa) menjadi pengemudi; yang pandai memasak akan menjadi tukang masak; dan yang lincah akan menimbangi perahu dengan berdiri di atas baratang atau di palatto pada saat perahu ‘dilarikan’ ketika angin kencang. Hal inilah yang menyebabkan sehingga menjadi pemandangan umum di atas pelayaran sebuah perahu sandeq seorang punggawa biasa menjadi tukang masak, sawi menjadi pengemudi perahu, dan sebagainya. Pada aspek lain, pengambilan keputusan seorang punggawa sandeq tidak terlalu ‘kaku’. Maksudnya adalah, pengam­ bilan keputusan yang penting tidak sepenuhnya berasal dari hanya punggawa. Hampir semua keputusan tentang haluan dan cara melayarkan perahu dan lokasi melakukan penangkapan ikan didiskusikan di


sandeq perahu tercepat nusantara

63

antara awak perahu yang berpengalaman dalam pelayaran atau memahami lokasi penangkapan yang baik, dan biasanya ditentukan melalui musyawarah. Walaupun demikian, kepemimpinan sepenuhnya masih berada di tangan punggawa dan para sawi tetap menghormati dan men­ jalankan keputusan punggawa. Pembagian tugas yang tidak ketat meng­haruskan para awak sandeq harus memiliki banyak kemam­ puan atau keterampilan yang dibutuhkan dalam berlayar. Bagi para passandeq, melayarkan perahu bukan hanya berdasar­ kan pada pengetahuan “fisik” saja, lebih dari itu pengetahuan yang bersifat mistik juga harus mereka ketahui (pengetahuan mengenai ilmu gaib: paqissangang). Pengetahuan tersebut bukan hanya dipraktekkan di perahu, tetapi juga ketika masih di darat saat nelayan sudah meniatkan untuk berlayar. Saat akan berangkat, nelayan harus mempersiapkan kondisi batin mereka, mereka tidak akan berangkat bila ada hal-hal atau kejadian yang membuat pikiran mereka terbebani ketika melaut. Ini berhubungan dengan praktek ussul dan pemali. Untuk menentukan hari keberangkatan ke laut digunakan perhitungan yang serupa dengan penentuan hari permulaan pekerjaan perahu. Sebelum seorang pelayar Mandar turun ke perahunya untuk berangkat melaut, ia “harus merasa terpanggil”, jika “perasaan” menandai, bahwa ia belum siap, maka pemberangkatan akan ditun­danya. Bila pelaut tersebut adalah seorang sawi, ia akan menunggu panggilan dari punggawa-nya bahwa hari itu mereka akan berangkat. Punggawa naik perahu ketika semua sawi sudah ada di atas perahu. Menaiki perahu sandeq, nelayan naik di sisi kanan buritan perahu tepatnya di sekitar sanggilang. Tiba di atas, nelayan mem­persiapkan segala peralatan yang akan mereka gunakan ketika melayarkan perahu. Layar dikembangkan dan kemudi


64

muhammad ridwan alimuddin

(guling) dipasang di kottaq (lubang di sanggilang) dengan cara mengikatnya. Jika kondisi perairan dangkal, terlebih dahulu perahu dibawa ke perairan yang dalam yang mana ketika guling diturunkan tidak mencapai dasar perairan. Untuk itu digunakan tokong (galah bambu) sebagai alat pendorong, dengan cara menumpukan tokong tersebut ke dasar perairan dengan kuat. Bisa juga menggunakan dayung. Saat pertama kali berangkat, guling diikat di sisi kanan, dan bila kondisi arus laut dan angin menghendaki guling diikat di sisi kiri, guling bisa dipindahkan. Ikatan guling haruslah kuat tetapi mudah untuk diputar dan dilepas secara cepat. Mengemudikan sandeq dilakukan di lapar palamin (di bagian buritan perahu) atau di depan sanggilang moane, dengan sikap duduk yang memungkinkan pangguling (orang yang mengemudikan perahu) melakukan pekerjaannya dengan mudah. Jika guling terletak di sisi kanan, kaki kanan ditekuk sehingga lutut tepat berada di antara dada dengan ketiak; betis dan paha kiri merapat di lantai perahu yang menyebabkan kaki kiri berada di belakang tumit kaki kanan; tangan kanan memegang ujung gisirang (lengan kemudi). Jika arus kuat atau ketika pergerakan/pemindahan kemudi harus dilakukan dengan cepat, kedua tangan berada di kemudi. Dalam mengemudikan sandeq, perhatian pangguling tidak hanya berfokus pada perubahan bukaan kemudi, tetapi juga pada bukaan layar. Atau dengan kata lain, pangguling juga mengontrol baya-baya (tali yang menghubungkan peloang dengan pangguling). Baya-baya haruslah terikat kuat namun juga mudah dilepaskan ketika posisi layar akan dirubah. Khusus ketika mengemudikan sandeq dalam rangka lomba, pangguling dibantu oleh dua orang sawi, yaitu untuk menarik dan mengikat baya-baya serta membantu memindahkan guling. Tangan


sandeq perahu tercepat nusantara

65

dan kaki semuanya berfungsi dalam mangguling. Jika tangan di­ gunakan untuk mengatur bukaan guling dan menarik baya-baya, maka kaki digunakan untuk membantu tangan menahan bayabaya ketika dalam proses penarikan (belum diikat). Dikatakan me­ merlukan ketahanan fisik untuk mangguling sandeq karena posisi mangguling adalah statis, bagi orang yang tidak biasa adalah hal yang ‘menyiksa’ yaitu duduk dalam waktu lama.

Bagian-bagian buritan sandeq dan pelayarnya


66

muhammad ridwan alimuddin

Dari segi teknik pemakaian sebuah perahu layar tidak sama dengan angkutan laut yang bermesin. Anginlah yang menentukan jalannya. Jadi, poros utama untuk menentukan arah berlayar adalah sudut haluan perahu terhadap angin. Secara dasar, sebuah perahu bisa berlayar ke arah angin, keluar dari arah angin, atau tepat dengan angin tengah, atau tepat dengan angin dari belakang. Posisi-posisi dibedakan dari segi peristilahan, baik dalam bahasa pelaut Mandar, Makassar, Bugis dan lain-lain maupun dalam bahasabahasa pelaut Eropa; cara membagi lingkaran 3600 agak sama bagi pelaut Barat dan Sulawesi, kemungkinan besar karena memang fisika berlayar memang demikian. Kalau sebuah perahu semakin menuju ke arah angin lalu me­ngu­­ bah haluan sehingga layar berpindah ke sebelah, manuvernya ber­ beda dari manuver berputar dengan mengikuti arah angin. Manuver itu, yaitu membelokkan haluan terhadap angin sehingga peloang berpindah lewat di atas geladak ke sebelah lain dinamakan tunggeng. Adapun biluq adalah istilah yang digunakan dalam penentuan posisi layar ter­hadap arah datangnya angin (untuk menentukan haluan perahu), yaitu: jika perahu akan diarahkan menghadap lebih ke arah angin. Kalau perahu tunggeng ke arah angin, namanya tunggeng biluq, karena semua arah berlayar ke arah angin—artinya, haluan perahu menuju antara 890 sampai 00 ke arah angin—diberikan suatu istilah yang mengandung kata biluq itu. Sebaliknya, semua arah haluan perahu antara 910 sampai 1790 dinamakan dengan sebuah istilah yang mengandung kata turuq, dan membelokkan haluan dan memindahkan peloang dengan mengikuti arah angin namanya tunggeng turuq. Kalau tepat 900 ke arah angin seharusnya namanya lari sa(m)bang, tapi karena tidak dapat diketahui dengan tepat saat sam­ ping perahu dikena hembusan angin, maka pelaut memperkirakan


sandeq perahu tercepat nusantara

67

dan mengkombinasikan semua istilah itu satu dengan yang lain, yaitu: lari sambang turuq, artinya arah angin dari samping tapi sedikit dari belakang juga, ada pun yang seperti lari sambang biluq, dan sebagainya. Untuk lari turuq biluq tidak bisa karena batasan antara biluq dan turuq adalah ketika angin dari samping perahu (900). Karena sandeq susah dilayarkan dengan angin tepat dari belakang, sebab peloang tak bisa dikeluarkan begitu jauh, para passandeq lebih suka berlayar turuq. Faktor lain adalah dengan melayarkan turuq perahu juga lebih laju dan bila ombak sudah agak tinggi, sehingga membahayakan perahu, maka yang diikuti adalah arah ombak, bukan arah angin. Istilah yang lain adalah turuq panggang ketika posisi layar 900, angin dari buritan perahu; turuq puar ketika posisi layar 450 dan angin dari buritan. Untuk haluan-haluan yang dapat ditempuh tersebut terdapat beberapa ‘aturan main’ dan tanda yang harus diperhatikan, antara lain adalah: jika perahu berlayar turuq dengan laju di antara ombak besar, pengemudi harus sangat berhati-hati agar ujung katir di sebelah bawah angin tidak masuk ke dalam ombak yang “diburu perahuâ€? ketika ia berada di atas ombak di belakangnya sebab bahaya terbaliknya; oleh karena itu, sebuah perahu yang turut dengan ombak tidak boleh biluq untuk mengurangi kecepatan, tetapi harus dibiarkan “lari betulâ€? untuk mengurangi bahaya tersebut. Kalau manggaragaji ke arah angin terdapat drift perahu keluar angin, sehingga ujung palatto bagian depan di sebelah bawah angin yang dilihat oleh pengemudi menentukan haluan yang akan dicapai, dan ujung katir belakang di sebelah atas angin menandai haluan yang akan dicapai setelah perahu tunggeng lagi; kalau ber­layar ‘dekat’ angin dalam angin kencang, daman layar harus dilepaskan ketika palatto serta tadiq sudah tenggelam ke dalam air agar perahu tidak terbalik.


10. Perawatan

Perawatan perahu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan posasiq Mandar. Perawatan perahu sangat erat kaitannya dengan keinginan mereka memiliki perahu yang bersih, cantik dan tahan lama. Perawatan perahu dilakukan untuk semua jenis perahu, mulai dari lepa-lepa sampai yang berukuran besar, misalnya kappal. Semakin besar perahu atau semakin banyak bagian-bagian­ nya, semakin rumit (lama dan membutuhkan banyak biaya) pe­ rawatannya. Kalau lepa-lepa hanya cukup dengan menggosok dan mencat ulang, maka jenis lain memerlukan perbaikan atau penggantian beberapa bagian yang sudah rusak, selain cat dan amplas yang tentunya lebih banyak digunakan. Beberapa aktivitas yang merupakan bagaian perawatan yang paling umum adalah: menaikkan di darat setelah tiba dari melaut; membersihkannya dari lumut dan binatang yang menempel di lam­bung perahu; menambal sambungan papan yang bocor atau mengganti bagian perahu yang rusak; dan mengamplas dan mengecat ulang perahu. Adapun untuk perawatan khusus adalah ‘meringankan’ (mengeringkan) lambung perahu yang akan digunakan berlomba dan perawatan yang bersifat mistik (mendo’akan ulang, dan mapposiq). Untuk perahu dan bagiannya yang disimpan dalam jangka waktu lama, diusahakan tidak terkena sinar matahari secara langsung, misalnya di bawah pohon, di samping rumah atau di

68


sandeq perahu tercepat nusantara

69

kolom rumah. Biasanya ini dilakukan untuk jenis perahu yang kecil dan mudah diangkat, yaitu sandeq, katitting, dan lepa-lepa. Sewaktu tiba dari melaut, untuk jenis perahu yang kecil (ringan) atau perahu yang tidak digunakan untuk jangka waktu yang agak lama, dinaikkan ke darat. Dengan menggunakan kayu yang bulat (kaqjoli), perahu didorong ke darat kemudian dinaikkan ke atas pallanggaq (kayu yang berfungsi sebagai tempat perahu agar tidak bersentuhan dengan permukaan tanah atau air). Agar posisinya stabil, pada perahu sandeq diikatkan tongkat di baratang-nya bagian kiri dan kanan. Pada perahu yang tidak menggunakan cadik digunakan tali untuk mengikatkan pallanggaq ke lambung perahu. Adapun untuk perahu lepa-lepa biasanya disimpan di sekitar rumah dengan cara menggantung di bawah kolom rumah atau hanya diletakkan di atas kayu pallanggaq. Jika sandeq tidak dinaikkan ke darat atau tetap berada di laut, cara menambatnya harus teliti. Caranya adalah bagian haluan diikat di jangkar (jika ada bangunan kuat di depan, bisa digunakan, misalnya tanggul) dan bagian tali dari buritan diikatkan di darat. Dengan cara demikian, maka perahu akan tertahan dengan baik. Penambalan atau penggantian bagian perahu dilakukan seper足lunya, yaitu jika ada kerusakan tersebut. Kecuali bagianbagian yang rawan atau sangat vital, jika sudah lama digunakan harus segera diganti, misalnya pallajarang, baratang dan palatto. Biasanya dilakukan juga penambahan (sebelumnya bagian ini tidak ada sewaktu pembuatan perahu), yaitu menambah ketebalan lunas (bagian bawah lambung) perahu. Istilahnya adalah massapatui. Pada perahu sandeq, jika sudah lama digunakan, bagian bawah lunasnya mengalami aus karena selalu bergesekan dengan per足 mukaan tanah atau kayu ketika dipindahkan di darat. Kayu, aju sappu (kayu uling atau kayu besi), tersebut ditempelkan sepanjang lunas perahu.


70

muhammad ridwan alimuddin

Penggantian dan penambahan atau pengurangan biasa juga dilakukan ketika perahu akan difungsikan lain. Sebagai contoh adalah lewa-lewa. Jika sandeq digunakan untuk kegiatan motangnga atau penangkapan ikan yang lain, lewa-lewa dipasang di sisi perahu. Tetapi jika digunakan untuk berlomba, lewa-lewa akan dilepas sebab akan memberati perahu dan ‘tidak ada gunanya’. Demikian juga dengan atap, akan dilepas jika digunakan untuk berlomba. Bagian-bagian sandeq diganti, walaupun belum rusak atau masih kuat, jika sandeq diinginkan mengalami perubahan, misalnya kecepatannya lebih laju. Pallajarang akan diganti dengan ukuran yang lebih panjang yang pada gilirannya ukuran layar, peloang, tambera, dan tali yang berhubungan dengan layar juga berubah. Palatto, baratang dan tadiq juga demikian. Nelayan akan menggunakan bagian yang besar dan kuat jika sandeq diikutkan dalam lomba. Beberapa sandeq yang meng­guna­ kan mesin biasanya juga mengalami penambahan. Jika mesin di­ letakkan di dalam ruang palka perahu, akan dibuatkan tempat khusus yang akan nampak di atas palka perahu. Hal yang juga rutin dilakukan adalah membersihkan lambung perahu dari lumut dan hewan-hewan laut, misalnya teritip. Sebab makhluk itu dapat merusak lambung perahu jika lama dibiarkan. Jika datang dari melaut dan di lambung sudah nampak lumut me­ nempel, nelayan akan menggosoknya dengan sabuk kelapa sampai bersih. Sedangkan untuk teritip biasanya dilakukan kayu atau besi untuk melepaskannya. Pembersihan bukan hanya dilakukan di darat, sewaktu di laut pun nelayan biasa melakukan pembersihan lambung perahu. Pengecatan dilakukan jika warna perahu sudah mulai kusam. Warna cat yang sangat umum adalah warna putih. Sebelum pe­ nge­catan dilakukan, pembersihan awal harus dilakukan, yaitu membersihkannya dari lumut atau teritip, kemudian mengam­ plasnya agar halus atau dan cat yang sudah tua terlepas. Pengecatan


biasanya menggunakan dua sampai tiga lapisan cat. Untuk perahu sandeq yang akan digunakan berlomba, sandeq harus dikeringkan terlebih dahulu agar air yang terdapat di dalam papan (yang merembes) dapat hilang, sehingga perahu menjadi ringan. Perahu yang ringan akan laju dipermukaan air. Pengeringan adalah hal yang sebenarnya ‘tidak sengaja’ dilakukan, maksudnya adalah tujuan sebenarnya adalah penyimpanan perahu karena me­mang tidak digunakan, mungkin karena sang nelayan bekerja dengan perahu lain. Pengeringan yang baik membutuhkan waktu lama, sekitar dua atau tiga bulan. Tapi tidak semuanya sandeq yang akan diikut­kan lomba melakukan hal sama (dikeringkan dalam waktu lama), sebab nelayan harus menggunakannya untuk menangkap ikan. Walaupun demikian, jika sudah mendekati hari H, diusahakan sandeq tidak digunakan selama beberapa hari atau selama sandeq mengalami perawatan atau perbaikan untuk tujuan lomba perahu. Kecuali dalam usaha tes atau ujicoba sandeq, misalnya jika meng­gunakan layar baru. Perawatan umum dapat juga bersifat khusus adalah perawatan bersifat mistik. Jika perahu lama tidak digunakan (beberapa bulan) atau akan melakukan kegiatan penangkapan khusus (misalnya motangnga), perahu mengalami perlakuan mistik yang bertujuan mendo’akan dan kembali memberi ‘jiwa’ ke perahu tersebut. Istilahnya adalah mapposiq. Mapposiq juga merupakan bagian penting ketika menyelesaikan pengerjaan perahu. Sebab lain mengalami perlakuan mistik adalah, perahu tersebut pernah mengalami musibah atau ‘peruntungannya’ buruk (sering menga­ lami kerusakan, tidak memberikan hasil yang banyak). Jika itu yang terjadi, perahu harus dido’akan ulang oleh pemuka agama atau dukun perahu.

71


11. Mistik: Ussul dan Pemali

Ussul

hampir ditemukan disemua aspek kehidupan posasiq Mandar, termasuk pembuatan perahu Sandeq dan beberapa perahu tradisional jenis lain (baqgo, pakur dan olanmesa) maupun perahu yang “modern� tetapi dibuat secara tradisional (kappal, bodi-bodi). Beberapa ussul berikut merupakan aspek mistik yang terdapat dalam proses pembuatan perahu Sandeq. Semua orang yang ikut dalam pengambilan kayu untuk bahan baku belang diharuskan mengambil daun yang berguguran di bawah pohon kayu yang akan ditebang. Daun-daun tersebut digosokgosokkan kepada bahagian-bahagian badan mereka, dimaksudkan sebagai tanda perkenalan dengan pohon yang akan ditebang. Bayang-bayang penebang tidak boleh jatuh pada batang kayu yang akan ditebang. Penebang kayu di dalam melaksanakan penebangan tidak boleh menghadap ke mulut gajah ( = ‘mulut naga’, arah bintangbintang bimasakti yang penting dalam beberapa cara perhitungan nasib/hari baik dan buruk [kutika]). Penebang kayu dengan parang di tangannya sebelum menebang terlebih dahulu mengelilingi pohon yang akan ditebang sebanyak tiga kali. Tetakan pertama parang harus diarahkan ke atas atau miring ke atas pucuk pohon yang akan ditebang. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan pemilik perahu tersebut semakin naik (baik). Sebelum kayu tumbang, pande lopi langsung memungut sebiji batu kemudian dilemparkan ke arah di mana pohon kayu yang

72


sandeq perahu tercepat nusantara

73

ditebang itu diharapkan akan jatuh. Pengerjaan bagian perahu yang berhubungan dengan upacara pemasangan lunas perahu harus diselesaikan satu hari saja sebagai tanda bahwa perahu itu pun akan diselesaikan dengan cepat. Jika mengerjakan perahu dalam keadaan hati yang tidak senang (berkaitan dengan masalah pembuatan perahu), perahu yang dihasilkan akan tidak baik, yaitu dalam hal rezeki, umur perahu, keselamatan/perjalanan perahu. Perahu diusap tiga kali haluannya untuk memberi “semangat” ketika akan diturunkan. Ketika diturunkan ke laut (maulu lopi), perahu diputar satu kali searah jarum jam agar haluan perahu dapat “memandang” pallanggaqna yang diistilahkan mappasitai pallanggaqna (memper­ temukan dengan penyangganya). Ussul-nya adalah ketika berlayar perahu dapat kembali dengan selamat. Demikian juga dengan segenggam pasir diletakkan di atas haluan perahu, ussul-nya adalah perahu dapat kembali dan selamat dalam perjalanan. Ciri Sandeq yang mempunyai ‘penjaga’ perempuan adalah perahu tidak mau masuk ke tempat berlabuh (di kampung nelayan pemilik) pada waktu siang hari. Maksudnya adalah perahu meng­ hadapi banyak halangan, misal angin kencang atau sebab lain, ketika dia akan tiba di kampung pada waktu siang hari. Jika akan tiba malam, perahu tidak menghadapi masalah. Agar perahu dapat masuk ke pelabuhan pada waktu siang hari, paccong depan ditutup dengan karung atau keranjang, agar ‘sang perempuan’ tidak terlihat oleh orang-orang. Demikian juga dengan perahu yang sering tiba dari melaut yang cukup lama pada waktu siang hari, ‘penjaganya’ adalah laki-laki. Jumlah kalandara dan tajo selalu ganjil. Allah menyukai angka yang ganjil, dan genapnya akan dilengkapi oleh si pemilik.


74

muhammad ridwan alimuddin

Patahan bor (atau peralatan lain, misal parang, pahat, dan sebagainya) jangan tertinggal di dalam kayu, harus dikeluarkan dengan cara membuat lubang yang besar di bekas bor tersebut. Jika ada patahan bor maka perahu akan gampang menghadapi masalah: perahu cepat rusak dan tidak mendapatkan rezeki. Posisi tukang terhadap bagian perahu yang akan dikerjakan tergantung arah datangnya sinar matahari. Bayang-bayang tidak boleh menimpa tukang (ketika matahari berada di depan atau bayang-bayang bagian yang dikerjakan menimpa tukang). Bayangbayang merupakan wujud dari “todioloq” (nenek moyang). Bayangbayang harus berada di depan tukang. Walaupun demikian, bayangbayang yang berada di depan, jangan sampai bayang-bayang tersebut tertimpa oleh parang, bor, pahat atau peralatan lainnya. Ussul-nya adalah jangan sampai bayang-bayang tersebut “mengalahkan” tukang atau si tukang jangan “melukai” bayang-bayang. Jika mengerjakan perahu dalam keadaan hati yang gundah, perahu yang dihasilkan akan tidak baik, yaitu dalam hal rezeki, umur perahu, dan keselamatan serta perjalanan perahu yang tidak baik. Semua tali yang dipasang harus mengikuti satu arah putar saja, dan jenis-jenis simpul yang dipakai untuk mengikat tali-tali tersebut harus tetap sama, sejajar dan dikerjakan serapi mungkin pada semua tali perahu. Jika suatu perahu selalu goyang ketika dikerjakan, itu adalah tanda bahwa perahu itu akan laju. Pahat baru yang digunakan untuk memulai pekerjaan dikena­ kan emas dan minyak wangi, maksudnya adalah agar pahat yang digunakan halus dan baik. Pande lopi ‘menangkap’ asap dupa sebanyak tiga kali ketika mapposiq dimaksudkan agar jiwa roh-roh halus ‘masuk’ ke dalam perahu (diberikan jiwanya). Ketika akan diturunkan ke laut, tanah dari tempat pembuatan


sandeq perahu tercepat nusantara

75

perahu dioles ke buritan (dari bawah ke atas) yang berarti pasitai indo-amanna (‘diperlihatkan kepada ibu-ayahnya’). Tanah adalah saudara kita, dan kayunya perahu juga tumbuh di atas tanah. Jadi, perahu berasal dari tanah, dan tanah itu diperingatkan, bahwa perahunya akan turun sekarang, perahu jangan diganggu lagi. Penggunaan kayu malapau. Malapau berarti “ingga malanna” atau “hingga bisa”. Ini sama prakteknya dalam penggunaan kayu palapi oleh tukang Bugis, yang berarti “palapi anna pajaq” atau “nanti dapat baru berhenti”. Paccong depan lebih tinggi dari pada paccong belakang; jumlah sangawing di depan ada dua dan di belakang satu. Ussulnya adalah ketika tidur posisi kepala manusia lebih tinggi dari pada bagian kaki. Pemasangan bagian-bagian perahu yang berpasangan dilakukan di sebelah kiri. Sisi kanan adalah tempat pemilik perahu, jadi supaya seimbang, tukang mengambil posisi kiri, kecuali jika dia membuat perahu untuk dirinya sendiri. Jika telapak kaki lebih lebar daripada lunas perahu (Untuk perahu yang menggunakan lunas, seperti kappal dan bodi-bodi), maka perahu itu tidak baik untuk digunakan karena dari awal perahu sudah tidak mau memuat manusia. Perahu yang baik adalah apabila lebar lunas lebih besar dari pada telapak kaki (telapak kaki pas masuk ke lunas). Lubang cucuran air pembuangan dari palka perahu tidak boleh sejajar dengan penyambungan. Hal ini akan menyebabkan perahu cepat rusak dan sering mengalami kecelakaan. Untuk menyambung bagian papan lamma/tobo/tariq dengan bagian haluan dan buritan perahu (sangawing) tidak boleh mem­ bentuk garis lurus. Harus mengikuti susunan jari tangan yang mana bagian atas (papan tariq/tobo) lebih pendek daripada bagian bawah (papan lamma). Bagian paling akhir yang dikerjakan dalam pembuatan perahu


76

muhammad ridwan alimuddin

sandeq adalah kottaq atau tempat pemasangan kemudi di sang­ gilang. Ini disebabkan kemudi adalah bagian yang sangat penting di dalam mengarahkan perahu. Pemali hampir sama dengan ussul, sebab jika diubah ke dalam bentuk larangan, maka ussul tersebut akan menjadi sebuah ung­ kapan pemali Tidak boleh ada buku (mata tunas kayu) di pertemuan sisi kayu dengan sisi kayu yang lain. Kalau sambungan atas-bawah bisa. Jika ada buku dipersambungan, maka nelayan yang menggunakan perahu tersebut akan merugi dan sulit mengendalikan perahunya. Tajo tidak boleh menutupi persambungan (sisi dengan sisi). Dapat menyebabkan sawi yang menggunakan perahu itu cepat bubar dan sering mendapat kesusahan jika melayarkannya. Posiq perahu tidak boleh sejajar dengan penyambungan yang terdapat di perahu. Ini sama dengan posisi pusar pada manusia. Pada saat melaut dengan menggunakan sandeq, penumpang tidak boleh buang air di sebelah kanan perahu. Bila diperhatikan secara seksama, beberapa ussul dan pemali tersebut dapat diterima oleh akal. Sebagai contoh: jika ada patahan bor di dalam kayu yang menyusun lambung perahu, maka itu akan menyebabkan cepatnya terjadi kerusakan perahu; lubang cucuran air pembuangan perahu tidak boleh sejajar dengan persambungan karena air yang biasa mengalir adalah air kotor (darah ikan) yang dapat menyebabkan pelapukan di persambungan; dalam penyusunan antara bagian-bagian papan (pertemuan antar ujung papan) di lambung perahu diharuskan untuk membentuk permukaan telapak tangan. Maksudnya adalah agar persambungan tersebut saling ‘mengikat’ (memperkuat). Kekuatannya akan beda jika pertemuan tersebut adalah garis lurus, bisa dipastikan perahu itu tidak kuat; tidak boleh buang air besar di kanan lambung perahu disebabkan pada


sandeq perahu tercepat nusantara

77

umumnya alat tangkap diturunkan di bagian tersebut, khususnya buaro dalam kegiatan motangnga. Unsur ritual dan mistik dalam aktivitas kebaharian etnis Mandar, merupakan (atau dipengaruhi oleh) unsur kepercayaan animisme dan agama Islam. Begitu eratnya ‘percampuran’ anisme dan Islam, menjadikan kaburnya batasan antara keduanya: mana yang Islam dan mana yang ‘sisa’ animisme. Pada umumnya pengaruh demikian tampak di seluruh aktivitas tradisi pelaut Sulawesi Selatan. Barasanji, Nabi Haidir, do’a-do’a, adalah contoh pengaruh Islam; pembakaran (undung) dupa, mapposiq, ritual di posiq arriang adalah pengaruh anisme atau kepercayaan sebelum Islam masuk di Mandar. Oleh para penyebar Islam di Sulawesi Selatan, pahampaham anisme tersebut tidak dilarang, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Praktek itu kemudian ‘diislamkan’, baik dengan menggabungkannya dalam satu kegiatan (misalnya di kuliwa, barasanji, pembakaran dupa, ritual di posiq arriang meru­ paka aktivitas utama) atau dengan menggunakan do’a-do’a dari Al Qur’an dalam kegiatan mapposiq, menurunkan roppo, dan kegiatan yang lain. Demikian juga dengan ussul dan pemali, adalah bagian dari ‘kepercayaan’ pelaut dan nelayan yang bukan berasal dari Islam. Tapi karena hal itu tidak menyesatkan, selama tidak bersifat menyekutukan Allah Swt, ‘kepercayaan’ itu tetap hidup di tengahtengah masyarakat, khususnya yang masih memegang tradisi. Syirik (menyekutukan Allah Swt) merupakan bahaya yang paling potensial dilakukan oleh komunitas nelayan dan pelaut. Dan beberapa kasus, praktek-praktek ritual atau mistik sudah merupakan perbuatan musyrik (menyekutukan Tuhan dalam Islam). Di kalangan pelaut dan nelayan Mandar, demikian juga Sulawesi Selatan secara umum, ritual dan mistik merupakan bagian penting dalam teknologi pembuatan dan pelayaran perahu yang mereka


78

muhammad ridwan alimuddin

praktekkan. Dengan istilah lain, antara teknologi dengan ritual dan mistik merupakan satu kesatuan. Ritual adalah aturan tradisional yang berhubungan erat dengan aturan sosial dan motivasi. Dan motivasi sangat berkaitan dengan latar belakang budaya yang ada. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, sangatlah sulit untuk memisahkan batasan tradisional dengan modern dalam kegiatan pelayaran, khususnya untuk saat ini. Walaupun sebuah perahu telah menggunakan mesin, kompas, dan alat tangkap yang modern lainnya, itu bukan berarti bahwa nilai-nilai tradisional ditinggalkan. Dia hanya ‘berpindah tempat’, jika dulunya ritual tersebut dipraktekkan untuk benda-benda yang mereka kembangkan sendiri, sekarang tetap dilakukan tetapi dengan beberapa penyesuaian. Mereka tetap mengadakan kuliwa untuk ‘meresmikan’ mesin dan gae yang mereka baru beli, dan sebagainya. Demikian juga batasan antara modern tradisional ketika akan ke laut. Namun tidak dipungkiri bahwa memang telah terjadi degradasi praktek (dan kualitas) ritual dan mistik di kalangan pelaut dan nelayan sekarang ini. Dan itu tidak terlepas dari perkembangan yang terus terjadi.


12. “Lopi sandeq na malolo”

Para nelayan Mandar, khususnya yang menggunakan sandeq, memiliki angan-angan tentang rupa atau “model” “perahu sandeq yang cantik” (lopi sandeq na malolo): catnya “harus putih bersih”, pekerjaannya “rapi dan halus”, kayunya “baik, ringan, tanpa lubanglubang”, perahu sendiri “bersih” dan “modelnya” harus “runcing, kelihatannya laju dan seimbang”. Dari “modelnya” saja mereka pun dapat membedakan, apakah sebuah perahu akan “laju” –mungkin sifat utama ‘kecantikan’ sebuah perahu sandeq- atau tidak. Cita-cita para passandeq agar perahunya dilekati ungkapan “Lopi sandeq na malolo” membuat banyak orang luar ‘jatuh cinta’ pada perahu ini. Bagi para peneliti atau pecinta budaya maritim, jenis perahu ini memang unik dibanding jenis perahu bercadik lainnya. Warnanya yang putih menampakkan keanggunan dan kesederhanaan, dan bukan suatu yang ‘norak’. Pembuatannya yang dijiwai oleh semangat agar menjadi perahu yang kuat, laju, ringan, dan cantik, menjadikan perahu ini sebagai sesuatu yang ‘hidup’. Demikian juga ketika perahu ini membelah lautan yang dengan kecepatan tinggi, sesuatu yang mendebarkan terjadi dalam iringan ‘kesunyian’, yang membedakannya dengan perahu bermotor. “Asap-asap” akan tampak di haluan perahu saat sandeq ‘melayang’ di atas permukaan laut; cadiknya bagaikan suspensi yang meredam getaran ketika perahu ‘mendarat’ dari ‘lompatannya’; dan hembusan angin yang menggetarkan tambera-

79


80

muhammad ridwan alimuddin

tambera adalah irama yang khas dalam kecepatan itu. Orang yang menyaksikan dari kejauhan akan terpana pada pemandangan itu. Dan ketika sawi-sawi di sandeq melakukan timbang, maka sesuatu yang menakjubkan telah terjadi. Keberanian, kelincahan, dan kekuatan fisik ditampakkan oleh para sawi yang berdiri di cadik sandeq. Tidak sedikit pun tampak keraguan berdiri hanya di atas sebatang palatto, sedang saat itu perahu melaju cukup kencang. ‘Lompatan-lompatan’ palatto juga tidak membuat mereka goyah untuk tetap berdiri di bagian yang tampak ‘rapuh’ itu. Hal yang sangat berbeda terjadi di dalam lambung: ‘keheningan’. Yang terdengar hanyalah tetes-tetes air, adapun bunyi hempasan gelombang tidak terdengar di dalamnya. Tajo-tajo yang kecil yang menempel di lambung yang tipis sama sekali tidak menjadikan bahwa lambung sandeq adalah sesuatu yang benda yang mudah rusak. Dia begitu kuat dalam ketipisannya. Berikut adalah kesan seorang pembuat film dokumenter dari Jepang yang datang ke Mandar untuk men­dokumentasikan Sandeq Race): … Saya ingat kembali ketika kami pertama kali berdiri di pantai … Kami semua “kaget” melihat banyak perahu yang berjejer di pantai. Kalau sampaikan dengan satu kata, apa yang paling berkesan adalah “keindahannya” sandeq. Sangat cantik!!! Bersih sekali sampai rasanya “bisa menjilat dengan lidah”… kelihatan tajam seperti pisau dan ringan seperti kertas (karena putih semua?). Kulitnya halus sekali hampir tidak bisa menduga “buatan apa? kayu atau plastik?. Cara mencat body-nya hampir tidak ada luka (memang ada sandeq yang warnanya sdh terkelupas, ... etc), etc. Kalau sudah berlayar di laut, indah sekali keseimbangan body-nya yang langsing putih, dengan cadik dan layar (keseimbangan bentuk ukuran lebar, panjangnya dan semua bagian), kecepatannya dan penampilan berlayarnya bukan seperti “benda kayu”, tapi seperti sesuatu yang hidup seperti burung atau kupu-kupu? Ringan, lincah, … Pokoknya, indah. Ini adalah kesan dari “mata”. Tapi Apa dan Siapa yang


sandeq perahu tercepat nusantara

81

membuat perahu begitu indah??… Memang, di tempat lain juga, pada umumnya nelayan memperhatikan dan merawat perahunya sendiri. Tapi saya pikir cara merawat perahunya orang Mandar sangat teliti. Juga ada perahu yang indah di tempat lain… perahu Madura juga juga OK, perahu bercadik di Micronesia … juga tidak kalah sama sandeq. Tapi apa ya? Keindahan sandeq yang berasal dari warna putih dan keseimbangan bentuk dan ukuran body yang lansing dan runcing sangat “segar”. Suasana kampung/pantai juga sangat terkesan… perahu dan penduduk sangat “dekat” “erat”. Kegiatan merawat perahu, pembuatan perahu, orangorang mulai dari anak laki-laki, perem­puan sampai orang-orangtua laki atau perempuan yang sangat ceria, semuanya “dekat” … Rasanya saya bisa melihat mereka semuanya dalam satu kesatuan. Jumlah perahu, jumlah orang juga banyak. Tidak sepi. Perahu berada di tengah kehidupan sehari-harinya penduduk, tidak hanya berada di dunia laki-laki (nelayan atau pelaut). Bagi saya suasana ”kepadatan” inilah merupakan suasana tersendiri di sekitar Pambusuang yang bikin saya tertarik. Walaupun Tanah Beru juga terkenal dengan pembuatan pinisi dan Bira terkenal dengan pelaut, tapi lain suasananya. Dalam suasana itu ada nelayan-nelayan yang sedang sangat rajin merawat perahunya … saya langsung “jatuh cinta”….”



Bab II Lomba Sandeq

Salah satu atraksi di Sandeq Race 2006 etape Majene—Polewali (Teluk Mandar)

83


1. Teater Kolosal Berpanggung Laut: Sandeq Race

Badannya menggigil kedinginan, tampak dari bibirnya yang gemetaran. Sekian jam tubuhnya dalam keadaan basah dan dipapar hembusan angin yang terasa lebih kencang karena lajunya perahu. Walau terlihat capek untuk berjaga-jaga melakukan timbang, dia tetap cekatan melompat ke cadik perahu ketika punggawa lopi (nakhoda perahu yang juga merangkap sebagai jurumudi) mengeluarkan komando agar beban di sisi perahu yang terangkat ditambah. Namanya Didi’, salah satu dari sekian ratus sawi (awak perahu) peserta Sandeq Race 2007. Umurnya masih amat belia, kira-kira 15 tahun, tapi sudah jago dan lincah melakukan timbang, pekerjaan yang paling memicu adrenalin tubuh di lomba perahu tradisional tercepat, terjauh, dan terkeras di dunia. Bukan hanya keberanian semata, tapi juga keterampilan teknis berdiri di atas batang baratang (cadik) dan palatto (katir) sandeq juga dimilikinya. Apa yang dimiliki Didi’ saya saksikan di etape terakhir Sandeq Race 2007, ketika saya ikut sandeq “Bintang Mandar” menempuh rute Barru—Makassar (25/08/07). Saya tak bisa membayangkan apa yang dilakukan dan dialami Didi’ di etape-etape sebelumnya yang tergolong jauh lebih berat, misalnya rute Mamuju – Malunda (17/08/07) dan Malunda—Majene (18/08/07) ketika peserta lomba harus terus menerus mendayung selama beberapa jam; dan Majene—Polewali (20/08/07) ketika tinggi ombak mencapai 2-3 meter. Mungkin tak jauh beda dengan apa yang saya saksikan: cekatan dan lincah di tengah kerasnya lomba.

84


sandeq perahu tercepat nusantara

85

Tercepat, Terjauh, dan Terkeras Sandeq Race 2007 disebut sebagai lomba perahu tradisional tercepat, terjauh, dan terkeras di dunia bukan tanpa alasan. Tercepat sebab perahu yang digunakan adalah salah satu perahu layar tradisional tercepat di kawasan Austronesia, yaitu perahu bercadik khas Mandar, sandeq. Terjauh, sebab rutenya menempuh jarak kurang lebih 480 km, dari Mamuju (Ibu Kota Sulawesi Barat) di bagian tengah Pulau Sulawesi menuju ke selatan, Makassar (ibu kota Sulawesi Selatan). Jarak bisa bertambah bila sandeq melakukan manuver “gergaji”, yang dilakukan ketika hembusan angin tidak pas mendorong sandeq ke arah yang dituju. Sejauh yang saya tahu dan Horst Liebner, peneliti kemaritiman dunia, tak ada lomba perahu tradisional yang melampaui rute Sandeq Race. Lomba dilakukan selama beberapa hari atau dibagi dalam beberapa etape, yaitu: Mamuju—Malunda (60 km), Malunda— Majene (125 km), Majene—Polewali (45 km), Polewali—Ujung Lero (95 km), Ujung Lero—Barru (45 km), dan Barru—Makassar (110 km). Masing-masing etape memiliki tantangan tersendiri yang membuat tak ada sandeq yang betul-betul menjadi pemenang sejati atau memenangkan semua etape. Dua etape awal dikenal sebagai kawasan perairan yang hembusan angin dan keadaan gelombang tak begitu besar di bulan Agustus. Jadi yang diperlukan adalah kecepatan mendayung dan strategi mengatur manuver perahu. Etape ini dimenangkan oleh sandeq-sandeq berukuran kecil (ramping dan rendah), misalnya “Raditya”. Etape ketiga, meski jaraknya dekat, merupakan etape terberat sebab ombaknya besar dan anginnya kencang. Di etape ini, 14 sandeq peserta Sandeq Race 2007 mengalami kerusakan. Jadi yang memenangkan etape ini adalah sandeq-sandeq yang kuat,


86

muhammad ridwan alimuddin

pelayarnya berani mengambil risiko, dan lihai membaca arah angin, sebagaimana kemenangan “Dondori”. Etape-etape berikutnya, khususnya etape terakhir, tantangan­ nya adalah perairan-perairan dangkal, mulai dari gosong sampai terumbu karang. Jika tak awas, bisa-bisa daun kemudi patah atau lambung perahu robek. Hal ini dibuktikan oleh sandeq “Tintiligang”, perahu baru tapi karena dilayarkan nakhoda yang sudah banyak makan garam Sandeq Race, dia bisa memenangkan etape terakhir. Ciri terakhir Sandeq Race adalah terkeras. Rata-rata lama tempuh setiap etape 6—10 jam. Makin cepat perahu makin singkat. Sebaliknya, makin lambat perahu makin lama di laut (ada yang sampai 12 jam). Lama di laut sama saja lama berada dalam keadaan panas sebab sama sekali tak ada pelindung, lama dalam keadaan basah, dan lama dalam keadaan lapar sebab tak ada waktu luang untuk makan porsi besar. Keadaan demikian berdampak pada mata yang perih sebab terus menerus menatap permukaan laut yang ditambah air laut yang pedis ketika ombak menghantam perahu. Permukaan tangan dan kaki berkeriput sebab dingin dan basah, dan badan yang kelelahan sebab terus menerus melakukan aktivitas fisik agar perahu bergerak. Mulai dari mendayung hingga menghentakhentakkan tubuh di atas perahu. Belum lagi lapar yang menyerang sebab ke dalam perut hanya diisi pisang dan air putih. Saya yang hanya menjalani satu etape saja sudah merasa amat tersiksa. Bagaimana jadinya jika saya melakoni semua etape sebagaimana yang dilakukan Didi’ dan passandeq (pelayar sandeq) yang lain? Tapi kan saya bukan passandeq. Bagi passandeq, kerasnya lomba adalah keseharian mereka ketika mencari nafkah di laut. Ajang evolusi Dalam sejarahnya, Sandeq Race 2007 adalah lomba perahu sandeq yang paling banyak pesertanya, yaitu 53 perahu. Setiap


sandeq perahu tercepat nusantara

87

sandeq diawaki 8 passandeq: 1 pa’guling (jurumudi, juga berperan sebagai punggawa lopi atau nakhoda), 1 pambeso bayabaya (asisten pa’guling yang duduk di belakang pa’guling, berperan menarik tali daman), 1 pambeso tainna bayabaya (asisten pa’guling yang duduk di depan pa’guling, juga membantu menarik tali daman), dan 5 pattimbang (penyeimbang perahu, yang juga menaik-turunkan layar dan membantu membantu memperhatikan arah haluan perahu). Dalam Sandeq Race 2007 lalu, ada 14 perahu sandeq baru yang ukurannya “menyimpang” dari sandeq pada umumnya, sebagaimana “Raditya”. Sehingga bisa dikatakan, sandeq lomba tak bisa digunakan menangkap ikan di laut lepas selama beberapa hari. Mengapa? Untuk masuk ke dalam ruang sandeq saja susahnya bukan main, malah beberapa pintu sudah tak bisa dilalui tubuh manusia. Tinggi lambung yang rendah membuat sandeq tak bisa dimuati beban. Padahal sandeq penangkap ikan harus dimuati logistik, balai-balai di kedua sisinya, memuat 1—2 lepalepa (sampan), dan hasil tangkapan. Diakui, Sandeq Race berperan signifikan dalam mengubah bentuk dan ukuran sandeq. Apakah itu negatif atau positif, jawabannya relatif. Alasannya, memang sandeq adalah perahu yang lahir dari proses evolusi. Ketika sandeq berubah, itu adalah proses adaptasi terhadap lingkungan, yang awalnya berada di lingkungan menangkap ikan dan berdagang, maka sekarang berada di lingkungan lomba. Ketika Sandeq Race tak ada, maka pelaut akan kehilangan momen untuk mempraktekkan atau mewariskan ilmu melayarkan sandeq kepada generasi muda. Dengan kata lain, Sandeq Race adalah ajang “meng-up date” ilmu pelayaran, Sandeq Race berfungsi melestarikan ilmu melayarkan perahu bercadik di kalangan pelaut Mandar. Sebagaimana kasus Didi’, dia tak mungkin menyaksikan


88

muhammad ridwan alimuddin

keterampilan kerabatnya melayarkan sandeq jika dia tak ikut Sandeq Race sebab ketika dia ikut bapaknya menangkap ikan di laut yang digunakan adalah kapal motor. Perahu silaturrahmi dan pembuktian Tak ada kejadian kolosal di laut selain Sandeq Race yang berperan sebagai pelanjut adanya hubungan budaya antara sukusuku berorientasi laut di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Sejak Kabupaten Polmas, Majene, dan Mamuju memisahkan diri dari Sulawesi Selatan, Sandeq Race menjadi kegiatan penting yang memperlihatkan pada dunia bahwa sejatinya ada hubungan kebaharian antara selatan dengan utara di kawasan barat Pulau Sulawesi. Sandeq Race semacam napak tilas budaya. Bukankah dulu orang-orang Mandar rutin berlayar ke Makassar untuk memasarkan sumberdaya alam dan hasil olahan sumberdaya manusianya? Kopra, minyak kelapa, sarung sutra, bahan baku tali, dan rotan adalah sekian komoditas dagang. Bukankah Mandar mempunyai kesamaan budaya bahari dengan Bugis, Makassar, dan Bajau? Istilah-istilah navigasi dan teknik pembuatan perahu banyak samanya daripada perbedaannya. Oleh sebab itu, Sandeq Race patut dilestarikan agar tetap ada “pengingat� bahwa dasar budaya bahari Mandar, Bugis, Makassar, dan Bajau adalah sama. Harus diakui, Sandeq Race merupakan satu-satunya ajang pembuktian bahwa Sulawesi atau Nusantara pada umumnya masih memiliki ratusan pelaut-pelaut ulung, yang cermat membaca angin, lihai melayarkan perahu dengan hanya mengandalkan layar, dan memiliki keberanian serta kekuatan fisik mengarungi ganasnya laut. Jadi, bila Sandeq Race tetap terlaksana tahun-tahun mendatang, masyarakat Indonesia tak perlu khawatir akan putusnya mata rantai ilmu dan teknologi kemaritiman yang berasal ratusan tahun


sandeq perahu tercepat nusantara

89

lampau. Sebab para tukang masih akan membuat sandeq dan mereka melakukan inovasi-inovasi; sebab para pelaut tua akan mengajak generasi mudanya untuk ikut melayarkan sandeq dan tentu mereka mewariskan ilmunya. Panggung seniman hebat Sandeq Race bukan hanya ajang memperlihatkan kecepatan sandeq atau ajang kompetisi semata yang dilakoni oleh orang-orang udik. Dibaliknya, Sandeq Race adalah dunia yang amat menarik, menggairahkan, dan penuh harmoni. Ada pertunjukan teater, ada pertunjukan tari, ada pertunjukan silat, dan musik. Dan itu terjadi di atas “panggung� pesisir, di atas perahu dan di laut: ketika sang tukang menyentuh bumi sesaat sebelum memulai pembuatan sandeq, ketika dukun menyalakan dupa dan merapal mantra, dan ketika darah dioleskan ke perahu; di masa para pattimbang berlompatan ke cadik dan katir bak Tarzan, berdiri di atasnya ketika sandeq tetap melaju beberapa puluh knot, dan tetap berdiri untuk beberapa jam kemudian; di kala sang punggawa bergulat dengan lengan kemudi sambil mata tetap tajam menatap arah hantaman gelombang, dan dikala pambeso bayabaya bergulat dengan tali daman; dan tajamnya haluan sandeq dan daun kemudi yang membelah laut, getaran tali penopang layar yang terbuat dari rotan, dan teriakanteriakan nakhoda yang keras tapi diselimuti ungkapan kasih sayang terhadap anak adalah musik dan nyanyian penuh makna.


90

muhammad ridwan alimuddin

Sandeq terlihat rapuh tapi tangguh mengarungi ombak

Barisan Sandeq: Peserta Sandeq Race 2007 melakukan start di etape Polewali—Parepare


Barisan Sandeq: Peserta Sandeq Race 2006 ketika lepas pantai dari Barru (etape B. Makassar)

sandeq perahu tercepat nusantara

91


2. “Kami Kekurangan Pelaut”

Kepastian Sandeq Race VII baru diketahui di awal Juni 2006 lalu. Sebelum itu, hati Pak Hamzah, pelaut Mandar yang pernah membawa sandeq ke Thailand bersama pelaut Perancis dan menja­ dikan lomba sandeq sebagai “pilihan hidup”, terasa tidak karuan dan penuh rasa was-was. Apa sebab? Beberapa pekan sebelumnya, Pak Hamzah sudah keliling ke kampung-kampung nelayan di pesisir Teluk Mandar, khususnya dari Rangas hingga Pambusuang untuk menerima pen­ daf­taran peserta sandeq. Agar ada yang mendaftar tentu kepada pelaut disampaikan bahwa “Sandeq Race ada tahun ini”. Maka, informasi dari mulut, sticker, poster, tulisan di media massa sudah tersebar di masyarakat guna mensosialisasikan hal itu. Dengan kata lain, sikap optimisme yang menjadi modal. Tentu ini bukan sikap sembarangan dan bohong semata sebab hal itulah yang selalu mendasari persiapan-persiapan Sandeq Race, yaitu sosialisasi harus disampaikan jauh sebelumnya. Jika informasi itu ternyata tidak jadi, mau ditaruh mana muka Pak Hamzah dan penggerak Sandeq Race yang lain? Syukurlah, Sandeq Race bisa dilaksanakan tahun ini! Bukan pekerjaan mudah Turunnya anggaran dari Kementerian Pemuda dan Olahraga dan bersedianya pemerintah Provinsi Sulawesi Barat untuk mendanai sebagian anggaran Sandeq Race bukan berarti pekerjaan

92


sandeq perahu tercepat nusantara

93

semakin ringan. Malah sebaliknya, kerja keras menunggu di depan dan butuh pendekatan khusus untuk menghadapinya. Faktor ter­ besar adalah, yang kita hadapi adalah para nelayan. Orang Mandar, apalagi nelayan, identik dengan sikap keras (bukan berarti kasar!), jadi kalau pendekatannya beda, menurut istilah Pak Hamzah, bisa-bisa kena “Bose millayang”. (Dilempar dayung). Ya, jangan sampai bersikap angkuh terhadap nelayan! Tidak bersikap angkuh pun harus dilengkapi pendekatan khusus. Saran, pendapat, dan masukan dari mereka pun harus diako­modir, jangan langsung ditolak. Artinya, panitia jangan ber­ sikap sok tahu, khususnya tentang lomba di lapangan. Bagai­mana pun, nelayan lebih banyak tahu akan apa yang mereka hadapi saat lomba dilakukan. Sebagai misal, saat start dilakukan di Majene. Di sini, harus diperhatikan benar arah angin dan letak tanda yang harus dilalui perahu sebelum bertolak ke arah Polewali. Jika ini sembarangan dilakukan, maka masalah pasti akan terjadi: ada perahu yang sangat diuntungkan karena letaknya “di mata anging”; dan jika tanda ter­ lalu dekat ke arah garis pantai, maka bisa-bisa sandeq akan saling bertabrakan. Beberapa permasalahan Saat dilakukan pendataan sandeq yang ingin ikut lomba, se­ tidak­nya sebelum Sandeq Race positif dilaksanakan, ada 60 sandeq (lewat punggawa-nya) yang menyatakan kesediannya. Mulai dari sandeq yang rutin ikut Sandeq Race hingga sandeq yang masih dalam tahap penyelesaian. Jumlah ini sudah dua kali lipat dari Sandeq Race sebelumnya yang hanya menerima 30 sandeq. Dalam basis data (database) panitia, ada 39 sandeq, dari 60, yang belum pernah ikut Sandeq Race (baca: Sandeq Race sebelum 2004). Sebenarnya tidak semua sandeq baru sebab ada banyak sandeq yang hanya berganti nama.


94

muhammad ridwan alimuddin

Ketika panitia melakukan proses konfirmasi ulang dan pen­ catatan nama-nama sawi, berjalan dalam satu pekan terakhir, peserta yang bisa dipastikan ikut hanya 40-an sandeq. Kemana sandeq yang lain?

“Tidak ada sawi” “Tidak ada sawi” adalah penyebab terbesar mengapa ada banyak sandeq yang mengundurkan diri! Koq bisa demikian? Aneh, mengapa bisa pesisir Teluk Mandar yang dipenuhi pelaut-pelaut ulung malah defisit pelaut? Tunggu, Mandar sama sekali tidak kekurangan pelaut atau hanya sedikit yang bisa melayarkan sandeq (apakah ini akan ter­ jadi beberapa tahun mendatang?). Sebaliknya, pelaut Mandar “terlalu” ulung dan berani mengarungi lautan luas. Saat ini dan beberapa bulan mendatang, ratusan pelaut Mandar mencari ikan di perairan antara Nusa Tenggara (dari Ketapang hingga Lombok Timur) dengan benua Australia! Bukan hanya itu, Laut Sulawesi pun “dipenuhi” pelaut Mandar dengan kappa-kappal/bodi-bodinya yang khas! Saya buktikan sendiri hal ini, pada pertengahan Mei yang lalu, saya bertemu langsung 12 pelaut (tiga kappa-kappal: satu perahu berawak empat orang) Mandar yang berasal dari Somba (Majene) di Pulau Pagarungan Kecil, salah satu pulau di Kabupaten Sumenep, Madura. Mereka tengah melakukan perjalanan ke Lombok. Fenomena pelaut Mandar mencari ikan tuna sampai ke perairan selatan Nusa Tenggara baru terjadi satu tahun terakhir ini. Sebe­ lumnya mereka hanya melaut di Teluk Bone, Laut Banda, Laut Flores, dan Laut Sulawesi, selain Selat Makassar. Menurut informasi di kalangan nelayan Mandar, di sana (Samudera Hindia) banyak ikan yang “naik”, beda dengan Selat Makassar yang sudah amat “berkurang” ikannya. Di tengah beban harga BBM (bahan bakar minyak) yang meroket naik, mereka


sandeq perahu tercepat nusantara

95

harus melakukan spekulasi untuk menyambung hidup. Informasi nelayan yang baru datang dari Lombok, misalnya sawi-sawi yang akan melayarkan salah satu sandeq milik Bupati Polman, “Sa’be Mandar”, yang berada di sana selama dua bulan, ikan memang banyak di sana. Salah satu penyebab ikan pelagis besar (tuna) tidak tere­ks­ p­loi­tasi di perairan tersebut adalah nelayannya hanya melaut di pesisir pantai. Untuk melaut di laut lepas sampai berhari-hari bisa dikatakan tidak ada. Bagi pelaut Mandar, itu bukan masalah besar, jadi mereka berbondong-bondong ke sana! Terlanjur melaut di tempat jauh (ongkos perjalanan saja bisa sampai Rp 8 juta), maka mereka pun akan lama di sana. Beberapa nelayan menjawab sampai bulan puasa (Oktober) nanti. Karena “stok” pelaut Mandar banyak yang mengadu nasib di pulau yang lama pelayaran (dengan perahu motor) sampai 4-7 hari, maka sawi yang sedianya melayarkan sandeq untuk Sandeq Race menjadi berkurang. Realitas ini harus diterima dan kami sebagai panitia tidak menganggapnya sebagai penghalang sehingga Sandeq Race tidak semarak. Penting untuk disampaikan, pelaksanaan Sandeq Race berbasis pada nelayan dan kebudayaannya. Panitia hanya sebagai fasilitator.


96

muhammad ridwan alimuddin

Pasang tali: Untuk memudahkan memasang tali layar, pelayar sandeq menggunakan kursi sebagai tempat pijakan.


3. Rumitnya Mempersiapkan Bagian-bagian Sandeq

Panitia menargetkan maksimal 60 sandeq yang ikut Sandeq Race. Sampai hari ke-8 pendaftaran ulang –bukan peserta yang datang ke panitia, tetapi sebaliknya—sandeq yang positif ikut masih kurang 45 sandeq. Ini ada untung-ruginya. Jika terlalu banyak, panitia harus kerja keras mencari sponsor yang logonya akan dipasang di layar sandeq, dana yang harus disiapkan untuk logistik dan gaji peserta, pengaturan di lapangan yang lebih rumit, dan lain sebagainya. Yang juga menjadi faktor pembatas ialah luas tempat “parkir” perahu di lapangan, yaitu tempat memulai-tibanya etape. Ambil contoh Pantai Losari Makassar. Dengan asumsi satu unit sandeq memerlukan ruang lebar 12—15 meter, maka panjang garis pantai untuk tempat 50 sandeq dijejerkan sekitar 600 meter. Untung jika garis pantainya lurus, tapi kalau ada bangunan, karang, dermaga, maka indahnya barisan sandeq akan terganggu. Belum lagi sandeq yang terpisah tempatnya mungkin akan kecewa karena “terpencil”. Sandeq Race memang lomba perahu tradisional, namun ceritacerita dan proses yang terjadi di belakang layar sama menariknya dengan lomba-lomba berkelas internasional. Ya, meski beda level, tapi Sandeq Race punya kemiripan dengan Formula 1, Moto GP, dan Sepak Bola Piala Dunia. Sandeq Race hanya berlangsung beberapa hari, tapi persiapan­

97


98

muhammad ridwan alimuddin

nya baik di panitia maupun di peserta bisa berbulan-bulan. Bebe­ rapa unit sandeq sengaja dibuat untuk mengikuti lomba. Karena peruntukannya untuk lomba, maka desain pun harus panjang, ramping, pendek, namun tetap kokoh mengarungi laut. Ini persiapan (dan persaingan teknik) di kalangan tukang-tukang perahu. Pallayarang (tiang layar), peloang (bom layar), baratang (cadik), tadiq dan palatto (katir) pun mendapat perhatian khusus. Sandeq untuk lomba bukan sandeq sembarangan, jadi empat bagian terpenting itu pun demikian. Jika palatto terlalu pendek, maka kemungkinan perahu “terperosok” ke laut (karena terlalu cepat dan beban tekanan angin) lebih besar terjadi, jika peloang kurang bengkok (jangan juga terlalu bengkok), bisa-bisa kemampuan layar “menampung” angin berkurang dan pada gilirannya kecepatan perahu pun berkurang. Pallayarang dan baratang pun demikian. Bagian yang paling sulit didapatkan adalah palatto. Palatto yang ideal adalah palatto yang panjang dan diameter yang besar. Ukuran yang panjang susah ditemukan sebab penambahan panjang sandeq yang dibuat tidak berbanding lurus dengan panjang palatto yang tumbuh di alam. Bukan hanya itu, tempat palatto tumbuh pun tidak seperti bambu (kecil) pada umumnya. Daerah “penghasil” yang terkenal adalah Toraja dan ada juga yang berasal dari Bone. Menurut salah seorang nelayan, ada pengusaha yang rugi karena mendatangkan banyak palatto ke Mandar, tapi karena ukurannya pendek, palatto-palatto itu tidak layak digunakan untuk sandeq lomba. Adapun peloang atau bagian sandeq yang tidak membutuhkan ukuran panjang dan diameter yang besar dan rata di sepanjang bambu bisa didapatkan di Mandar. Salah satu kampung asal peloang adalah Pallis, kampung kecil yang terletak di perbukitan, utara Tammangalle atau jalan poros Majene. Pengusahaan bagian di atas berlaku hampir di semua perahu, baik sandeq baru maupun sandeq lama, kecuali si sandeq lama


sandeq perahu tercepat nusantara

99

masih mempunyai bagian sandeq yang kuat. Ada dilema bagi perahu lama untuk mengganti bagian-bagian sandeq-nya, terkhusus sandeq-sandeq yang memenangkan lomba. Kenapa? Sebab sedikit saja bagian sandeq yang diganti atau ber­ ubah, itu berpengaruh pada kemampuan sandeq: bisa menjadi lebih cepat atau sebaliknya. Itulah sebabnya tidak ada sandeq yang stabil memenangi lomba, selain alasan teknis lainnya. Juga ada yang lucu, bertanda belum genapnya pemahaman kita terhadap kebudayaan bahari Mandar, khususnya dunia keperahuan. Salah satu punggawa pottana (pemilik perahu, bukan nelayan) mengusahakan layar “modernâ€? untuk sandeqnya. Layar bernilai jutaan tersebut diusahakan di Jakarta. Tiba di tempat Mandar dan dicobakan ke sandeq, yang terjadi malah ketidakcocokan, layar sampai menyentuh permukaan laut. Artinya, layar modern dengan bahan yang kuat dan super-ringan belum tentu pas di sandeq. Sekilas layar memang berbentuk segitiga, tapi pembuatannya tidak asal gunting, tidak asal jahit. Faktor manusia, dalam hal ini para pelayar sandeq, amat berperan penting. Mereka tahu persis layar yang mereka butuhkan, jadi mereka sendirilah yang harus membuat layarnya. Dalam persiapan lomba, panitia hanya menyediakan bahan baku sandeq. Pembuatannya (menjahit layar) dan jumlah “uraqâ€? (jumlah jahitan/ sambungan layar) yang diinginkan berada di tangan si pelayar. Setelah selesai, layar dikembalikan ke panitia untuk kemudian dipasangi logo sponsor. Baratang atau dua batang kayu yang menembus lambung sandeq, tempat dipasanginya tadiq atau kayu berbentuk L tempat memasang palatto pun susahnya bukan main, khususnya bentuk yang diinginkan. Bengkok baratang harus simetris, juga tidak boleh terlalu bengkok. Apakah gampang menemukan batang kayu yang bengkoknya rata? Karena susah, tukang perahu atau pelaut


100

muhammad ridwan alimuddin

menggunakan teknik sedemikian rupa agar bentuknya pas. Salah satu cara adalah menggantung batu di salah satu ujung baratang. Adapun ujung satunya diikat di permukaan tanah dan tengah baratang diletakkan di tempat yang tinggi. Jadi bentuknya semacam tuas. Baratang yang diperlakukan demikian didiamkan selama berhari-hari sampai terbentuk baratang yang diinginkan. Proses ini dapat disaksikan di depan rumah punggawa Masya Allah, di Lambe. Yang juga harus diingat untuk semua bagian sandeq, mulai dari lambung sampai bagian lain yang berbahankan kayu adalah haruslah kering. Jika tidak, selain membuat perahu menjadi berat, juga bisa membuat konstruksi perahu akan berubah, khususnya perahu yang telah selesai dirangkai. Proses persiapan sandeq untuk even Sandeq Race memiliki keunikan tersendiri. Bagi generasi muda Mandar, sepertinya sebuah keharusan untuk menyaksikannya, apalagi para penggemar sandeq. Peristiwa Sandeq Race akan menjadi paripurna ketika itu semua juga disaksikan. Di situ akan terlihat bagaimana pengetahuan kebaharian Mandar berkembang dan proses, bagaimana alam pikir nelayan Mandar juga menyediakan ruang untuk berkreativitas dengan tetap berdasar pada tradisi. Sandeq Race diusahakan dengan sepenuh tenaga dan pikiran bukan hanya untuk memperlihatkan peristiwa perlombaannya saja kepada masyarakat, tetapi juga proses dibaliknya itu, yang terjadi jauh hari sebelum bendera start dikibarkan. Hakikat Sandeq Race melimpah ruah di sudut dusun pelaut, di kolom rumah sang tukang, hingga di kepulan asap dupa yang menyatu dengan mantra dan ussul yang akan memberi “roh kehidupan� ke bagian-bagian sandeq. Lima tahun saya mempelajari kebudayaan bahari Mandar, setiap saya datang, ada saja yang baru dimataku. Ah, betapa kayanya kebudayaan kita.


4. Sponsor dan Keterlibatan Masyarakat Sulawesi Barat

Pelaksanaan

Sandeq Race tidak bisa dilepaskan dari peran sponsor. Bisa dikatakan, lomba tidak terlaksana jika tidak ada sponsor. Tentu peran komponen lain (nelayan, panitia, dukungan pemerintah, dan masyarakat) tidak diabaikan. Jika dianalogikan, sponsor itu bahan bakar di kendaraan. Even sekelas Sandeq Race adalah even berkelas internasional meski obyek dan subyek lombanya hanya perahu tradisional dengan nelayan. Dikatakan demikian sebab manajamen pelaksanaannya melibatkan banyak pihak dan profesional adanya. Karena kelasnya yang demikian, dan memang pelaksanaannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka biaya yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Sejak Sandeq Race pertama hingga Sandeq Race 2003 (lombalomba yang kami fasilitasi dan ada laporan pertanggungjawaban keuangannya) menelan dana ratusan juta rupiah. Sandeq Race 2006 sudah pasti demikian. Dalam persiapan Sandeq Race 2006 panitia membutuhkan dana sekitar Rp 952.250.000 atau kurang beberapa puluh juta untuk mencapai Rp 1 miliar. Nilai ini relatif, di mata beberapa orang mungkin terlihat besar dan mungkin beranggapan “Sandeq Race hanya membuang-buang uang�. Tapi bila dibandingkan uang yang dikorupsi pejabat-pejabat, nilai itu jauh lebih kecil; dan bila dilihat azas manfaatnya, nilai itu masih tergolong kecil. Lihatlah

101


102

muhammad ridwan alimuddin

proyek relokasi nelayan yang gagal, yang menelan dana miliaran rupiah: apa manfaat bagi masyarakat kita? Sandeq Race jelas dan buktinya ada: paling tidak perahu sandeq tetap dibuat oleh tukang perahu Mandar saat ini karena ada lomba; perahu sandeq dikenal dunia internasional juga karena lomba ini; riset-riset mengenai sandeq dan kebudayaan bahari Mandar pada umumnya juga berkembang karena daya tarik sandeq. Artinya, jika peruntukannya jelas, masyarakat banyak (nelayan) ikut menikmati, laporan keuangan transparan, maka nilai itu tidak perlu dipersoalkan. Tetapi jika sebaliknya, tidak ada laporan ke­ uangan, kegiatan kacau balau, sama sekali tidak bermanfaat maka masyarakat harus mempertanyakannya. Dari nilai dana yang ditargetkan di atas, sebagian besar dana dihabiskan untuk uang persiapan perahu, konsumsi peserta, dan hadiah lomba. Artinya, yang paling banyak menikmati dana lomba adalah masyarakat nelayan. Jadi, uang diberikan Pemerintah Pro­ vinsi Sulawesi Barat untuk menanggung uang persiapan hingga hadiah pada dasarnya kembali ke masyarakat Mandar sendiri. Selain dukungan dana dari pemerintah, pihak swasta pun banyak memberi dukungan, termasuk pejabat-pejabat yang menga­ tasnamakan pribadinya (menggunakan uang pribadi) untuk men­ dukung lomba. Kita patut bersyukur, di Sulawesi Barat ada dua tokoh kita yang tertarik dengan kebudayaan bahari Mandar dan mewujudkannya secara konkrit. Menurut catatan panitia, ada tiga sandeq yang berpatron ke Bapak Tashan Burhanuddin (Sekda Sulawesi Barat) dan empat sandeq dari Bapak Ali Baal Masdar (Bupati Polewali Mandar). Jika dihitung-hitung jumlah pejabat di Sulawesi Barat, dua tokoh tersebut di atas masih tergolong “kecil”. Bagaimana dengan bupati dan pejabat yang lain? Bukan hanya pejabat, pengusaha Sulawesi Barat pun idealnya juga berperan sama.


sandeq perahu tercepat nusantara

103

Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh politik yang ingin bertarung di pilkada? Apakah mereka mempunyai kepedulian terhadap kebudayaan bahari? Sandeq Race yang akan berlangsung Agustus atau setelah pilkada, menjadi bukti bahwa keinginan calon-calon pemimpin kita itu tidak terlalu didasari pada “agar saya dipilihâ€?, tetapi memang keinginan melestarikan budaya bahari Mandar! Sejak Sandeq Race pertama hingga ketujuh (2003), pihak yang ingin terlibat sebagai sponsor (imbalannya: logo atau nama mereka dipasang di layar dengan ukuran raksasa dan diliput media nasional dan internasional) memberi bantuan keuangan berkisar Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Untuk tahun 2006 ini, dana yang harus diberikan sekitar Rp 25 juta. Nilainya meningkat tajam karena biaya lomba kali ini pun dalam suasana yang berbeda: BBM yang meroket tajam, imbalan (hadiah) buat pemenang pun menjadi lebih besar, dan rute yang bertambah sekitar 100 km, yaitu dari Mamuju ke Majene. Berdasar lomba-lomba sebelumnya, pihak-pihak yang rutin berperan sebagai sponsor adalah perusahaan rokok, beberapa media besar, perusahaan, perguruan tinggi, pemerintah daerah (kabupaten, provinsi, dan dinas), dan tokoh-tokoh masyarakat. Diharapkan me­ reka kembali berperan di Sandeq Race 2006 nanti. Beberapa pihak sudah memberikan, sebagian menjanjikan, dan banyak yang belum memberikan komitmen yang bisa “dipegangâ€? panitia. Dengan kata lain, untuk saat ini panitia masih berusaha keras untuk mendapatkan sponsor. Ya, lomba masih beberapa bulan, tapi itu tidak berarti dana tidak dibutuhkan saat ini: panitia harus menyediakan bahan layar untuk puluhan sandeq, kepada peserta harus diberikan dana untuk membeli bahan-bahan sandeq, dan panitia pun harus menyebar publikasi agar masyarakat mengetahui bahwa ada lomba.


104

muhammad ridwan alimuddin

Yang amat mengharukan adalah keterlibatan pengusaha-pengu­ saha kecil di Mandar. Dengan dana yang tidak seberapa untuk be­berapa pihak, mereka dengan penuh semangat mengusahakan sandeq dan bagian-bagiannya. Saat ditanyakan alasan mereka melakukan hal itu, jawabannya “Kami ingin sandeq tetap lestari di Mandar”. Ini jawaban masyarakat kecil! Lalu bagaimana dengan tokoh politik atau pejabat kita yang selalu mengatasnamakan rakyat? Menarik untuk diperhatikan, pada Sandeq Race tahun-tahun sebelumnya ada beberapa pejabat non-Mandar yang terlibat sebagai sponsor, misalnya walikota Makassar dan gubernur Sulawesi Selatan. Sandeq Race tahun ini pun mereka sudah menjanjikan. Apakah Sandeq Race 2006 nanti, gubernur (meski itu pejabat sementara), calon gubernur Sulawesi Barat, dan bupati-bupati di Sulawesi Barat mempunyai kepedulian yang sama? Saya pribadi mempunyai mimpi: gubernur dan bupati di Sulawesi Barat ikut berlayar di sandeq pada salah satu etape dari Mamuju hingga Polewali (Mamuju—Malunda, Malunda—Majene, Majene —Polewali). Selain akan membuktikan kecintaan kepada rakyat dan kepedulian terhadap kebudayaan, mereka pun bisa menyaksikan sumberdaya laut laut di daerah mereka. Saya jadi curiga, beberapa pejabat kita belum pernah menyusuri pesisir kabupatennya. Jika ini yang terjadi, betapa memalukannya. Ya, memalukan sebab di dalam rencana pembangunan yang disusun, dikatakan bahwa laut mempunyai potensi besar. Anehnya, “Samudera Sulawesi Barat” belum pernah mereka lintasi!


5. Aturan Lomba

Sandeq

Race adalah ajang lomba perahu tradisional yang pesertanya seratus persen nelayan Mandar. Dalam keseharian pekerjaan mereka di laut, sepertinya terlihat tidak ada aturan, paling tidak di mata masyarakat awam di darat. Namun di realitas, ada aturan-aturan tidak tertulis yang mereka hormati, taruhlah misal aturan pemasangan roppo/roppong (rumpon), penemuan benda hanyut, dan bantu-membantu ketika ada musibah. Disebabkan Sandeq Race merupakan lomba yang melibatkan banyak pihak: panitia, peserta, penonton, media-massa dan sponsor maka harus ada aturan yang bertujuan memperlancar lomba, meminimalkan konflik antar peserta, mengapresiasi keinginan mendapat publikasi untuk sponsor, dan daya tarik lomba. Aturan dinaikkan levelnya, yaitu dibuat tertulis. Selama ini, di kalangan nelayan, aturan lisan adanya. Untuk kalangan nelayan itu tidak apa-apa, tapi ketika ada pihak lain yang selama ini hidup dengan aturan tertulis, maka aturan yang tertulis amat diperlukan. Alasan lain, aturan tidak tertulis adalah tradisi yang diwariskan puluhan tahun, jadi secara “otomatis” tersebar luas dan “tidak perlu” ditulis untuk kemudian dipublikasikan sebab semua orang (nelayan) “sudah tahu”. Beda dengan Sandeq Race yang hanya setiap tahun dan diikuti nelayan yang tidak selalu sama. Pada Sandeq Race 2006 ini ada penambahan aturan, misalnya penggunaan bose (dayung). Dulunya dilarang, kini diijinkan.

105


106

muhammad ridwan alimuddin

Berikut adalah aturan-aturan dalam Sandeq Race 2006: 1) Trayek dan tanggal ajang Lomba Sandeq Race 2006 adalah Mamuju—Malunda (17/08), Malunda—Majene (18/08), Majene—Polewali (19/08), Lomba Segitiga di Polewali (20/08) Polewali—Ujung Lero (21/08), Lomba Segitiga di Ujung Lero—Pare-pare (22/08), Ujung Lero/Parepare — Sumpang BinangaE (23/08), Sumpang BinangaE— Makassar (24/08). 2) Perahu-perahu peserta harus berada di Mamuju paling lambat pada tanggal 16 Agustus sore hari. 3) Setiap peserta menerima uang sebanyak Rp 1.000.000 (Satu juta rupiah) sebagai bantuan panitia untuk menyiap­kan perahunya. 4) Setiap peserta menerima satu fis kain layar baru. 5) Panitia menentukan dan mengadakan tulisan/gambar pro­ mosi di atas layar-layar para peserta. Artinya, bukan pemilik perahu atau punggawanya yang boleh menentukan apa yang dilukis ke atas layar perahu. 6) Penilaian lomba menggunakan poin yang sesuai dengan urutan finis masing-masing peserta. Peserta yang jumlah poin paling kecil dari semua trayek adalah pemenang lomba. 7) Pada trayek Mamuju—Malunda, Malunda—Majene dan Majene-Polewali para peserta akan dibagi ke dalam dua kelompok. Keanggotaan kelompok diundi setiap hari sebelum star. 8) Jumlah dayung yang boleh dibawa peserta tidak dibatasi. 9) Dayung harus lebih pendek daripada jarak kaki ke ketiak masing-masing peserta yang membawanya. 10) Daun dayung harus lebih pendek daripada jarak kaki ke lutut masing-masing peserta yang membawanya. 11) Lebar daun dayung tak boleh melebihi ukuran jengkal


sandeq perahu tercepat nusantara

107

ibu jari dan jari tengah masing-masing peserta yang membawanya. 12) Peserta yang menggunakan alat dayung lain daripada dayung tersebut didenda 20 poin untuk setiap pelanggaran. 13) Peserta yang memberangkatkan perahunya sebelum tanda star didenda 30 poin setiap penlanggaran. 14) Selama ikut berlomba, panitia menyediakan uang bekal sebanyak Rp 750.000 (Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), satu karung beras (50 kg) serta sejumlah rokok bagi setiap perahu peserta. Uang perbekalan dibagi beberapa kali. 15) Setiap peserta menyiapkan satu kapal motor sebagai pengantar bagi perahu sandeqnya. 16) Panitia menyediakan dana pengganti solar dan bekal bagi kapal pengantar itu sebanyak Rp 1.500.000 (Satu juta lima ratus ribu rupiah). 17) Bila ada kapal pengantar yang menghalangi perahu peserta yang bukan perahu sandeq yang diantarkannya, maka kapal pengantar itu berikutnya akan dikeluarkan dari medan lomba dan ditonda kapal SAR Angkatan Laut. 18) Pada saat mendekati garis finis, tidak satu kapal pengantar pun boleh mendahului perahu-perahu peserta. Bila melanggar, maka kapal pengantar itu berikutnya akan dikeluarkan dari medan lomba dan ditonda kapal SAR Angkatan Laut. Ada beberapa poin aturan yang perlu dijelaskan sebab ada aturan itu tergolong baru dan ada aturan yang penerjemahannya bisa bermacam-macam. Pertama, pemasang logo di layar (no. 5). Tidak dipungkuri ada banyak pemilik perahu yang ingin menggunakan ruang (space) di layar sandeq-nya sebagai peluang untuk memperkenalkan usaha dan keinginan dirinya. Ada juga yang ingin menuliskan nama anaknya, negara favoritnya di Piala Dunia, dan sebagainya. Ya, itu bisa dilakukan asalkan sang pemilik sandeq berperan sebagai sponsor


108

muhammad ridwan alimuddin

lomba. Syarat untuk menjadi sponsor lomba adalah menyetorkan dana sebesar Rp 25.000.000 (Dua puluh lima juta rupiah). Besar dana itu relatif, besar di mata pengusahan kecil; kecil di mata pengusaha besar. Yang pasti, nilai tersebut sebanding dengan apa yang didapatkan sponsor: merk, produk, dan nama usahanya terpublikasi mulai dari tingkat regional sampai internasional. Alasan lain, jika pemilik sandeq bebas mengisi ruang-kosongputih di layarnya, sudah pasti merepotkan lomba. Sebabnya, sponsor resmi (yang memberi dana) pasti tidak dapat tempat dan meski disisakan, logo sponsor resmi tersebut pasti “kotor”. Jika ini yang terjadi, mana mungkin ada sponsor! Hal ini penting dipahami oleh si pemilik sandeq. Kesimpulannya, yang menentukan gambar logo di layar adalah panitia. Kedua, tentang penggunaan bose. Dalam Sandeq Race-Sandeq Race sebelumnya, penggunaan bose dilarang. Yang diijinkan ada­ lah penggunaan piring-makan. Meski demikian, sudah menjadi rahasia umum ada banyak peserta yang tidak sportif, mereka secara sembunyi-sembunyi menggunakan bose. Ini menimbulkan kecemburuan dan pada gilirannya peserta lain juga menggunakan. Panitia dilema memberi hukuman sebab tidak ada bukti. Memang ada banyak kesaksian, tapi itu dikhawatirkan bias sebab sumbernya dari peserta Sandeq Race lain. Agak mustahil panitia mengawasi satu per satu sandeq! Karena Sandeq Race kali ini akan melewati kawasan perairan yang dikenal “kurang angin” (Mamuju—Majene) dan penggunaan bose secara sembunyi-sembunyi “sudah tidak tertahankan”, maka penggunaan bose diijinkan. Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dibedakan dulu istilah “bose” dengan “gayung”. Dalam Bahasa Indonesia, istilah itu hanya mempunti satu arti, yaitu dayung. Namun di kalangan nelayan, defenisi antar keduanya berbeda.


sandeq perahu tercepat nusantara

109

Bose adalah “dayung” yang ukurannya kecil (pendek dan tidak lebar) dan bisa dioperasikan secara mudah hanya dengan dua tangan dan digunakan di atas lepa-lepa. Adapun gayung adalah “dayung” yang ukurannya panjang, daunnya lebar, dan pengoperasiannya biasa membutuhkan penahan di sisi perahu. Gayung biasa digunakan di perahu panjala, yaitu dayung yang dipasang di sisi perahu: gagang dayung “diikat” di salah satu sisi yang menjadi “tuas”. Dalam aturan lomba, yang dimaksud/diijinkan adalah “bose” dan “gayung” dilarang. Secara tersurat tidak ada pelarangan gayung, tetapi jika mengacu poin-poin (patokan ukuran dayung), yang dimaksud jelas yang dimaksud adalah “bose”. Jika melewati batas maksimal, maka itu kemungkinan besar “gayung”. Mungkin ada pertanyaan, koq tidak dicantumkan ukuran standar (dengan angka-angka). Inilah kejelian panitia dalam mene­ lurkan aturan, yaitu mengadopsi ukuran-ukuran “standar” di ka­ langan nelayan, yaitu penggunaan ukuran-ukuran tubuh. Terlihat “ketinggalan zaman”, namun disitulah keunikannya! Karena tidak ada standar, mungkin ada niatan menggunakan tubuh orang yang tinggi sehingga “bose-nya” ikut panjang dan lebar. Tunggu dulu, yang dijadikan patokan adalah sawi yang ikut Sandeq Race. Jika memang si sawi yang menggunakan dayung itu tubuhnya tinggi, tidak apa-apa ukurannya panjang dan lebar. Tapi kalau ukuran tubuh si sawi tidak cocok dengan dayung yang dibawanya (panjang dayung melewati ketiaknya), maka perlu dipertanyakan “Tubuh siapa yang dia gunakan?” Kesimpulannya, yang menjadi ukuran adalah ukuran sekitar 400 peserta Sandeq Race! Jika dirata-ratakan (pengkuran bose di lapangan dan membandingkan tinggi rata-rata nelayan Mandar), kira-kira panjang dayung sekitar 130 cm. Ketika penulis, yang termasuk orang pendek, mengukur salah satu dayung milik nelayan berdasarkan aturan lomba, dayung di bawah ukuran maksimal.


110

muhammad ridwan alimuddin

Dengan kata lain, kenyataan di lapangan dayung tidak selamanya besar. Alasannya, dayung yang besar membutuhkan tenaga yang lebih besar untuk menggunakannya. Ketiga, pembagian dua kelompok perahu di tiga trayek pertama (Mamuju—Polmas). Aturan ini baru, sebelumnya hanya satu kelom­pok. Alasan aturan ini adalah adalah kondisi lapangan. Perlu diketahui, Sandeq Race 2006 ini melibatkan 50 sandeq, bukan 30. Jika diasumsikan satu sandeq membutuhkan ruang (kanankiri) sepanjang 12—15 meter, maka tempat start harus sekitar 600 meter. Jelas, ruang di Mamaju (antara Tanjung Mamuju dengan Pulau Karampuang) dan di Majene tidak bisa. Aturan ini sempat dikhawatirkan oleh beberapa peserta yang sering memenangkan lomba. Alasannya, jumlah poin yang dimiliki menjadi “tidak teratur” dan memberi peluang besar ke sandeq lain untuk memperoleh poin banyak. Ya, kemungkinan itu ada, tapi berdasarkan simulasi, praktek pembagian dua kelompok cukup adil dan memberi peluang ke lebih banyak sandeq untuk mempunyai harapan mengumpulkan poin terus-menerus, sampai lomba selesai. Sistem penilaian Sandeq Race didasarkan pada jumlah poin. Peserta yang lebih sedikit poinnya adalah pemenang lomba. Perhitungan poin didasarkan pada kecepatan tiba di finish: misal sandeq X juara 1, maka poinnya satu; sandeq Y yang masuk finish di urutan 34, maka poinnya 34. Untuk memperoleh gelar juara umum, poin dijumlahkan dari tiap etape. Jika sandeq X selalu menang (memperoleh angka terkecil), maka dia akan menjadi juara umum sebab penjumlahannya juga kecil. Dalam sejarah Sandeq Race, belum pernah ada sandeq yang selalu juara satu di semua etape; meski pernah juara satu, belum tentu masuk 10 besar sebab tertinggal jauh di etape sebelum dan sesudahnya. Sebagai contoh menarik adalah Masya Allah. Pada saat dia


sandeq perahu tercepat nusantara

111

juara umum, sandeq ini tidak pernah juara satu di semua etape. Dia menang karena posisinya stabil, yaitu kisaran juara 2 dan 3, adapun sandeq lain, pernah juara satu pada salah satu etape, tapi di etape lain tertinggal. Karena tertinggal (poin besar) maka penjumlahannya pun ikut besar. Keempat, tentang keberadaan dan pengaruh kapal pengatar (atau perahu bermesin lain yang sedang aktif) di sekitar sandeq yang sedang berlomba. Baling-baling kapal bermotor mempunyai dampak terhadap laju sandeq, apalagi kalau ukuran mesin besar dan berada dekat dengan perahu yang melaju. Gelombang yang disebabkan baling-baling “merepotkan� kemudi sandeq, apalagi kalau datang dari samping. Manuver menjadi tidak lincah dan bisabisa mematahkan kemudi. Ketika peserta Sandeq Race melihat sudah ada aturan itu, terpersit rasa gembira diwajah mereka. Aturan dibuat tidak untuk merepotkan peserta dan bukan keinginan seenaknya dari panitia, melainkan untuk memperlancar pelaksanaan lomba. Meski ada banyak aturan lomba diadopsi dari kebudayaan dan tradisi dari nelayan, panitia tidak selamanya menerima usulan dari nelayan. Jika itu semua diterima, aturan akan sangat banyak dan membuat lomba tidak menarik. Saat sekarang ini, aturan-aturan di atas masih dalam tahap sosialisasi ke peserta. Panitia masih menerima masukan dari peserta, mungkin ada yang memberatkan dan mungkin ada yang belum masuk. Walau demikian, tidak semua masukan dijadikan aturan sebab panitia mempertimbangan hal-hal lain dan juga sudah ada aturan yang tidak bisa diganggu gugat (rute, pemasangan logo, hadiah, dll). Penentuan final aturan dilakukan setelah pertemuan teknis antara panitia dengan semua perwakilan peserta Sandeq Race.


112

muhammad ridwan alimuddin

Timbang adalah atraksi paling berbahaya ketika melayarkan sandeq.


sandeq perahu tercepat nusantara

Tali adalah satu-satunya alat pengaman ketika melakukan timbang.

113


Agar tidak licin, tempat pijakan pada cadik dan katir digosok dengan lilin.

114 muhammad ridwan alimuddin


6. Nama-Nama Sandeq

Apalah arti semua nama? Pertanyaan yang cukup kesohor dari seorang filosof, ada yang setuju; ada yang tidak. Mengamati namanama perahu milik nelayan Mandar, pertanyaan itu relatif. Sekilas seadanya dan tanpa makna. Inilah menariknya. Dari kacamata antropologi atau studi tentang budaya, pemberian nama perahu menarik untuk dikaji. Pemberian nama buat perahu adalah hal umum yang terjadi di komunitas nelayan. Mulai dari lepa-lepa, sandeq, sampai perahu yang berukuran besar. Biasanya katitting, soppe-soppe (perahu berukuran kecil) tidak selalu mempunyai nama. Ada yang terdengar aneh, unik, dan lucu. Di komunitas nelayan dan pelaut Mandar, paling tidak ada delapan golongan nama perahu. Berikut nama-nama perahu yang akan bertarung di Sandeq Race 2006 (sampai 28 Juni 2006). Istilah relijius: Nurul Ilahi, Nurul Aswad, Cahaya Madinah, Masya Allah, Nur Madinah, Nur Hidayah, Cinta Jabal Nur, Jabal Rahma, Arafah, Baital Makmur, Baurak. Istilah (budaya) Mandar: Harapan Arurung Mandar, Sayang Mitia, Bura’ Bakko, Lindo-lindo Mariri, Anging Pammase, Sa’be Mandar, Tunggang Samudera, Arawungan Ratu Pantai, Tomadio, Loka Ressu’ Percampuran antara istilah Mandar dengan istilah relijius: Anging Pammase; merk suatu produk, usaha, lembaga: Panther (mobil),

115


116

muhammad ridwan alimuddin

Usaha Baru, Harapan Arurung Mandar, DKP Polman (Dinas Kelautan dan Perikanan), Sempurna (rokok) Tumbuhan dan hewan: Loka Ressu’, Bura’ Bakko. Ikan Terbang, Kuda Laut, Polis Rotan; nama tempat: Mutiara Mandar, Sinar Binuang, Teluk Mandar, Dubai Star, Bintang Tangnga-tangnga, Satria Mandar, Tomadio, Sinar Losari, Putra Sinar Losari, Cahaya Polman, Gadis Mandar, Cahaya Madinah, Nur Madinah, Cinta Jabal Nur, Jabal Rahma, Arafah; nama orang: Terbit Terang Indrajaya. Istilah lain: Sinar Bersama, Sempati, Sinar Laut Pratama, Bina Bahari, Purnama, Cinta Bahari, Lincah, Sempurna, Sinar Nusantara, Indah, Kunci Alam, Raja Laut Dari kategori tersebut di atas, tidak ada ‘pola’ atau ‘standar’ khusus yang digunakan untuk memberi nama perahu, seperti yang digunakan PT PELNI untuk memberi nama perahunya, yang meng­ gunakan nama-nama gunung atau dataran tinggi. Hal yang cenderung adalah, istilah agama lebih banyak diguna­ kan daripada kategori yang lain, tentunya itu adalah sebuah peng­harapan (doa) tidak langsung kepada Allah. Hal lain yang ditemukan adalah tidak digunakannya nama binatang darat untuk memberi nama perahu. Ini mungkin disebabkan adanya pemali yang berlaku di kalangan nelayan dan pelaut: dilarang menyebut nama ‘asli’ binatang berkaki empat ketika berada di laut. Panther, yang merupakan nama binatang (Indonesia: macan, harimau), mungkin merupakan pengecualian, sebab kemungkinan besar nelayan tidak mengetahuinya. Dalihnya, kan itu nama merk mobil. Ussul sepertinya tidak dijadikan sebagai dasar utama untuk memberi nama, walaupun ada kasus nelayan memberi nama perahu (bukan peserta Sandeq Race) mereka berdasarkan ussul. Seperti: Cari Muatan (agar perahunya terus mendapat hasil), Paindo (yang utama, terbaik), Johnson (supaya perahu secepat laju perahu yang menggunakan mesin Johnson), Lincah (supaya perahunya lincah),


sandeq perahu tercepat nusantara

117

Raja Laut (agar perahunya menjadi yang terbaik), dan sebagainya. Dikatakan ussul tidak dijadikan dasar utama karena beberapa nama sama sekali ‘tidak ada kaitannya’ dengan “keinginan untuk menjadi seperti itu”, misalnya nama orang, merk rokok, dan lainlain. Tapi itu semua tergantung pada pemberi nama (pemilik nama), mungkin ada pertimbangan/niat lain yang mereka gunakan. Ada juga yang berpendapat nama-nama sandeq di atas lucu. Ambil misal Loka Ressu’, Dubai Star, dan Polis Rotan. Ini belum seberapa, ada yang bernama Goyang Inul, Rahasia Ilahi (pasti berdasarkan judul sinetron), Liontin, RCTI, Rinso (tentu ini merk sabun cuci), dan masih banyak lagi. Kira-kira apa tujuan si pemilik perahu menamai demikian? Sekali lagi, keragaman nama adalah kekayaan bahari Mandar yang kesekian dan tidak dipungkiri, sebagian besar pasti ada motivasi memberi perahu kesayangannya dengan nama demikian. Dan juga tidak salah bila berdasarkan kecenderungan penamaan perahu kita dapat menilai sebuah kelompok masyarakat.


7. Sosialisasi Lomba

Sosialisasi akan adanya Sandeq Race, publikasi pelaksanaannya, dan berita-berita menarik yang mengiringi lomba sudah menjadi salah satu bagian utama even Sandeq Race. Sejak Sandeq Race pertama sampai Sandeq Race 2006, jauh sebelum lomba panitia sudah memulai sosialisasi di beberapa pihak yang terlibat di lomba, mulai dari nelayan, sampai calon sponsor. Beberapa pekan kemudian, poster dan stiker mulai disebar. Untuk kasus Sandeq Race 2006, panitia sudah menyebar pemberitahuan ke publik, baik dengan stiker, poster, maupun media massa di bulan Februari 2006. Dari tahun ke tahun, Sandeq Race yang “sebenarnya” (bukan Sandeq Race 2004 dan 2006) mempunyai ciri khas, yaitu menyebar stiker dan poster yang menarik mata. Efeknya, jika poster tidak terpasang “mati” di tempat menempel, bisa dipastikan poster itu hilang. Poster tidak dirusak, melainkan berpindah ke rumah, kamar, atau tempat pribadi si penikmat sandeq. Saat penulis melakukan pendataan ulang peserta, beberapa punggawa mengingatkan supaya mereka mendapat pembagian “kalender”. Diistilahkan “kalender”, meski di poster sama sekali tidak ada cantuman tanggal-bulan dalam satu tahun, karena pada Sandeq Race awal di poster juga disertai penanggalan. Jika Sandeq Race awal hanya sablonan/kopian, poster-poster era berikutnya semakin berkualitas, dicetak warna, kertas yang bagus, dan gambar-gam­ barnya yang menakjubkan. Poster terbaik di mata penulis adalah

118


sandeq perahu tercepat nusantara

119

Sandeq Race 2002. Umumnya poster dibuat di Jakarta. Alasannya, ada sponsor yang memberi bantuan dalam bentuk barang, bukan uang. Sebenarnya ini sama saja dan malah tidak merepotkan panitia untuk terlalu banyak mengurus hal-hal teknis, yang notabene sudah melimpah di sana-sini. Setelah poster dan stiker selesai, poster kemudian dikirim ke Makassar. Karena Sandeq Race masih lama dan belum ada kepanitiaan resmi, pemasangannya dilakukan sendiri atau diserah­ kan ke beberapa orang yang sudah sering terlibat Sandeq Race tahun sebelumnya. Umumnya stiker ditempel di pintu pete-pete dan poster di tempat-tempat keramaian. Sudah tentu lebih banyak di perkampungan nelayan. Untuk sosialisasi awal Sandeq Race ini, beberapa orang asing yang sedang melakukan kunjungan wisata di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan sukarela membantu acara penempelan. Mereka cukup senang dan sangat menikmatinya. Stiker dan poster yang tertempel dari pelabuhan ikan di Mamuju sampai di beberapa tempat di Tinambung tidak terlepas dari keikhlasan tangan-tangan “kulit putih” mereka. Selain publikasi “kuno” di atas, ciri khas pemberitahuan ke publik yang lain adalah pemberitaan di media massa, baik lokal, nasional, maupun internasional; baik surat kabar, televisi, maupun internet; baik dengan cara keterangan pers (pers release), mengundang media, maupun si media sendiri yang inisiatif memuatnya. Media massa (koran) yang sering memberitakan Sandeq Race adalah Kompas (nasional), yang dapat dilacak lewat internet dan Fajar (regional). Saat ini, media Radar Sulbar (regional), sebagai salah satu lembaga media yang menjalin kerjasama dengan panitia Sandeq Race, merupakan media yang paling sering memberitakan atau membantu publikasi Sandeq Race.


120

muhammad ridwan alimuddin

Tentu beda publikasi antara poster/stiker dengan media massa. Selain keefektifan dan kecepatannya sampai di masyarakat, sosialisasi di media butuh pendekatan tersendiri, misalnya tulisan. Tulisan pun bermacam-macam, tergantung pembacanya. Ada yang dibuat panjang, memuat hal-hal rinci, menggunakan bahasa Indonesia, dan ada yang dibuat singkat dengan bahasa Inggris, seperti sosialisasi di internet. Harapan yang diinginkan pun berbeda-beda. Seri tulisan “Menuju Sandeq Race 2006” mengharapkan adanya kesadaran masyarakat Sulawesi Barat lebih memahami dan mengenal sandeq dan Sandeq Race, mengangkat martabat nelayan dan budayanya, dan mengajak lebih banyak pihak di Sulawesi Barat untuk terlibat di Sandeq Race. Sedangkan sosialisasi lain, misalnya lewat internet dan mediamedia komunitas pecinta kebudayaan bahari, bertujuan mengajak mereka datang menyaksikan Sandeq Race. Pada gilirannya, apresiasi terhadap kebudayaan bahari kita semakin meningkat, ada banyak pemasukan (devisa dari pariwisata), dan sandeq lebih banyak dikenal. Yang juga sangat diharapkan ialah, semakin banyak yang berminat untuk melakukan riset tentang kebudayaan bahari Mandar. Tentu, bagi beberapa pihak, akan tumbuh rasa penasaran di benak­ nya, menanyakan apa itu sandeq, mengapa sandeq hanya ada di Mandar, dan beragam pertanyaan lain tentang sandeq. Perlu pembaca ketahui, beberapa mahasiswa Mandar di Yogyakarta pernah menjadikan Sandeq Race sebagai tema tugas yang diberikan dosen mereka. Ada yang menjadikannya sebagai laporan akhir (semacam skripsi) dan ada yang menjadikan Sandeq Race sebagai tema diskusi di kampus. Yang menarik, beberapa pecinta bahari di Jepang sering mendiskusikan tentang sandeq di internet, meski itu hal-hal kecil, misalnya penulisan “sandeq”. Ada yang mengusulkan “sande” saja


sandeq perahu tercepat nusantara

121

(tanpa q), ada yang mengusulkan mengganti huruf “-q” dengan glottal stop atau koma atas “-‘ ”, dan ada yang menginginkan penulisannya dalam bahasa Jepang (dengan menggunakan tulisan latin “romanji”) sehingga menjadi “sandeku”. Juga ada tentang diskusi “Apa pentingnya melaksanakan Sandeq Race”, Sandeq Race sebagai kegiatan wisata bahari, dan sandeq sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Kesimpulannya, Sandeq Race telah menghasilkan pengaruh yang beranak-pinak di masyarakat, baik di Mandar sendiri maupun di belahan dunia lain. Bola saja yang bentuknya hanya bundar sudah bisa menjadi bahan diskusi tak habis-habis, apalagi sandeq yang bentuk dan mempunyai banyak bagian! Karena Sandeq Race sudah masuk di ranah diskusi oleh orang asing, mengapa orang Mandar tidak melakukannya? Ya, memang sudah ada, tetapi itu hanya di kalangan pelaut Mandar dan penikmat Sandeq Race. Alangkah menariknya jika sandeq dan Sandeq Race bisa menjadi tema diskusi di ruang-ruang kelas sekolah-sekolah tingkat atas di Sulawesi Barat; di Mandar!


8. Meliput Sandeq Race

Sandeq Race begitu berharga untuk dilewatkan begitu saja! Itu pasti ada di benak peserta Sandeq Race dan keluarganya, pemilik perahu, turis yang datang khusus melihatnya, media massa yang meliputnya, peneliti budaya bahari, dan penggemar lomba perahu. Saya pun berpendapat demikian, Sandeq Race adalah momen sejarah kebudayaan kita yang akan amat mahal beberapa tahun mendatang, apalagi kalau sandeq hanya tinggal nama. Untuk itu, cara terbaik untuk “menghentikan adegannyaâ€? adalah mendokumentasikannya, baik lewat mengamati saja lalu menuliskannya, kamera foto, maupun kamera film. Yang pertama, jamak dilakoni para wartawan media massa; kedua fotografer profesional, ilmuwan, wartawan, dan masyarakat umum (termasuk kerabat peserta lomba dan si pemilik perahu); dan ketiga oleh para kameraman amatir, stasiun TV, dan kameraman profesional dari rumah produksi. Kualitas dan kuantitas hasil dokumentasi sangat tergantung pada peruntukannya, yang tentu sesuai latar belakang si pen­ dokumentasi. Keluarga peserta tentu hanya merekam kerabat mereka dan kameraman amatir mungkin hanya menfokuskan kameranya pada si pemesan. Adapun wartawan dari media massa, sedikit lebih luas apa yang harus mereka rekam, meski kadangkala mereka mengambil satu contoh kasus. Adegan-adegan pun harus unik, holistik (proses pra-pasca lomba), dan menggunakan fasilitas yang lebih canggih (kamera beresolusi tinggi dan menggunakan banyak kaset). 122


sandeq perahu tercepat nusantara

123

Sama halnya dengan ilmuwan, mereka akan mencari tahu hal-hal kecil yang berkaitan dengan lomba. Hal-hal kecil terlihat sepele di mata masyarakat umum, tapi bagi seorang ilmuwan, itu seringkali menarik untuk dicermati. Sebagai contoh, proses mistik di rumah punggawa lopi sebelum lomba dan hadiah lomba (tropi) yang selalu disentuhkan ke posiq lopi. Pengambilan adegan pun banyak berbeda, ada yang seadanya saja dan ada yang menggunakan banyak sudut dengan banyak kamera. Yang terakhir banyak digunakan oleh rumah produksi. Tujuannya, agar film dokumenter yang mereka hasilkan dapat lebih banyak pilihan sehingga lebih menarik. Pun perekam biasa tidak mempunyai tuntutan dan semangat yang keras untuk mengejar adegan-adegan langka. Perkiraan saya, yang berhasil merekam suasana di atas sandeq saat lomba berlangsung bisa dihitung jari. Tapi adegan yang isinya suasana di pelabuhan, perahu yang start dan finish, jumlahnya mungkin ratusan, sesuai jumlah perekam. Merekam proses penyerahan hadiah sudah sangat umum, tapi merekam mimik wajah sang isteri peserta lomba yang mengikuti suaminya pasti jarang yang melakukan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam usaha men­ dokumentasikan Sandeq Race. Dengan catatan, dokumentasi ber­ tujuan menjadi karya yang baik, penting, dan berkualitas. Tapi kalau merekam saja, tips dan triknya tidak perlu banyak. Yang penting bisa melihat dan bisa menekan tombol rekam, tidak ada masalah. Sandeq Race adalah kegiatan budaya, sebuah tradisi dan bagian dari kebudayaan bahari Mandar. Untuk itu, si perekam hasil mempunyai pengetahuan dasar mengenai sandeq, khususnya mengenai lomba. Ya, tentu lokasi start dan finish harus diketahui, yang mana pesertanya, dan hal-hal apa yang menjadi bagian dari lomba. Sandeq Race merupakan kegiatan di laut, yang hanya terjadi di darat adalah ketika peserta bersiap-siap/berlomba menuju perahunya


124

muhammad ridwan alimuddin

ketika bendera start dikibarkan dan penyerahan hadiah. Artinya, perekaman yang bisa dilakukan di darat adalah hal tersebut. Tapi kalau ketegangan di atas perahu, suasana saling mendahului di laut, dan perahu yang terbalik atau mengalami celaka, tentunya harus disaksikan dan direkam di laut juga, kecuali ada helikopter yang bisa digunakan mengikuti perahu. Lalu bagaimana cara agar dapat merekam suasana lomba di laut? Salah satunya adalah ikut di kapal pengantar atau ikut perahu lomba. Yang pertama mudah dilakukan, asal kenal dengan orangorang yang berada di kapal pengantar. Tapi yang kedua agak susah. Alasannya, tambahan orang berarti tambahan beban/berat. Beban bertambah berpengaruh langsung terhadap kecepatan. Dengan kata lain, ada kemungkinan perahu berkurang kemampuannya garagara ada tambahan beban. Ikut di perahu lomba bisa dilakukan asalkan si punggawa lopi dan awak-awaknya bersedia. Jika tidak, jangan harap bisa ikut! Atau kalau kedua hal di atas tidak bisa, ikutlah ke kapal panitia, kapal Angkatan Laut, atau kapal SAR. Tapi, harus minta ijin dan mungkin terbatas yang bisa dibawa. Harus diketahui dari awal, kadangkala sandeq jauh mening足 galkan kapal pengantar. Jadi, proses menyaksikan lomba dari dekat pun untung-untungan. Alasan lain, berdasarkan aturan lomba, kapal pengantar tidak boleh mendekat ke perahu peserta sebab gerakan baling-baling (yang menghasilkan gelombang) berpengaruh terhadap gerakan perahu sandeq. Jika ikut, harus ada persiapan, baik peralatan maupun fisik. Yang paling penting mengenai fisik adalah tidak mabuk laut. Umumnya, orang yang mabuk tidak bisa berbuat apa-apa! Mengenai kelengkapan, yang penting adalah siap beberapa rol film bagi yang menggunakan kamera foto, kaset video yang menggunakan kamera film, baterei, dan kartu memori bagi yang menggunakan kamera


sandeq perahu tercepat nusantara

125

digital. Adegan di laut begitu banyak dan menarik, jadi memang “harus� boros merekam! Satu rol untuk kamera foto analog pasti tidak cukup! Laut identik, air (garam), air identik dengan basah, air garam identik dengan karat, dan karat identik dengan kerusakan. Artinya, air laut yang menyebabkan karat harus dijauhkan dari kamera. Membawa kamera ke laut sama saja mendekatkan kamera ke akhir umur! Dengan kata lain, siap-siaplah mengalami kerusakan kamera jika ingin meliputi Sandeq Race dengan berbagai sudut, apalagi kalau mau ikut di perahu sandeq Bagaimana cara agar risiko kerusakan dapat diminimalkan? Pertama, jika punya uang banyak, beli dan gunakanlah cameracase (pelindung kamera) yang melindungi kamera dari air laut beserta tekanan air (bisa dibawa menyelam). Ini umum digunakan kameraman profesional yang berkantong tebal atau kantor mereka tersedia alat tersebut. Jika tidak punya, bawalah kantong plastik. Jika kamera tidak digunakan, masukannlah kamera ke dalam kantong tersebut. Memasukkan dan mengeluarkan kamera harus mudah dilakukan sebab adegan berlangsung cepat. Pembersih lensa juga menjadi sebuah kelengkapan. Sandeq yang membelah laut sering menghasilkan percikan air yang selalu mengenai lensa. Lensa yang terdapat percikan amatlah mengganggu kualitas gambar. Jika segera dibersihkan, efek merusak air laut bisa diminimalkan. Hal-hal non teknis, selain tidak mabuk laut, adalah bisa berenang, mempunyai insting merekam adegan yang unik, bisa menjalin hubungan dengan pelaut, dan tidak neko-neko di atas perahu. Jika kurang ajar, bisa-bisa kena damprat pelaut dan dibuang ke laut!


9. Terkeras, Terjauh, dan Tercepat di Dunia

Terjauh, terkeras, dan tercepat adalah sifat yang dimiliki oleh lomba perahu tradisional Sandeq Race. Tanpa dijelaskan pun, bila berdasar pada tiga sifat tersebut, Sandeq Race merupakan kebanggaan masyarakat Mandar, sebagai pewaris “sah” tradisi per-sandeq-an, tanpa mengedepankan primordialisme yang berlebihan. Adalah ironi (jika) sebagian besar masyarakat Mandar tidak terlalu perduli pada kegiatan itu, tetapi sebaliknya orang-orang luar (suku atau negara lain) rela meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk pelaksanaan lomba tersebut. Posasiq Mandar tidak diindahkan oleh saudara-saudaranya (orang Mandar secara khusus dan orang Indonesia), mereka hanya sebatas kebanggan, aksi tidak ada atau sangat jarang. Terjauh, terkeras, dan tercepat itulah lomba perahu sandeq atau lebih dikenal dengan istilah Sandeq Race. Awalnya, Sandeq Race adalah lomba perahu sandeq yang mengambil rute Majene— Makassar atau sekitar 200 mil laut. Sandeq Race dalam skala besar yang mengambil rute tersebut mulai berlangsung sejak tahun 1995 dan pada tahun 2003 merupakan yang ke-7 (Sandeq Race 2006 yang ke-8). Secara tahunan, lomba ini dilaksanakan pada musim timur atau mulai tanggal 11 Agustus di Majene dan berakhir di Makassar pada tanggal 16 Agustus. Lomba dilakukan secara bertahap: 11 Majene—Polewali; 12 Lomba Segitiga di Polewali; 13 Polewali —Ujung Lero; 14 Lomba Segitiga di Pare-pare; 15 Pare-pare —Barru; 16 Barru—Makassar. Sandeq Race diprakarsai oleh The

126


sandeq perahu tercepat nusantara

127

Coastal Research anda Development Project (P3MP: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai) of Hasanuddin University, Makassar. Setelah mencoba memberikan pelaksanaan Sandeq Race ke pihak pemerintah pada tahun 2004 dan 2005, yang terbukti kurang sreg di hati pelaut-pelaut yang ikut serta didalamnya, pelaksanaan Sandeq Race yang memiliki ciri 3T (Terkeras, Terjauh, dan Tercepat) di atas kembali diadakan. Malah tambah jauh, yang menjadikan Mamuju, Ibu Kota Sulawesi Barat, sebagai tempat start. Waktunya pun digeser, yaitu berangkat pada tanggal 17 Agustus dan finish tgl 24 Agustus. Ini merupakan tantangan dan pengalaman tersendiri di kalangan nelayan Mandar. Kehidupan laut tidak lepas dari ciri “kerasnya hidup”, ini sudah makanan sehari-hari nelayan Mandar ketika melaut. Saya yang jumlah melautnya belum seberapa sudah merasakan demikian, apalagi dengan nelayan yang kalau dipresentasekan, di laut kayaknya lebih lama dibanding di darat. Karena bermediakan laut dengan lingkungannya yang ganas, kompetisi yang berhadap-hadapan dengan nelayan lain, berlangsung dalam waktu singkat, dan ada adu ilmu (baca: ilmu sihir), maka Sandeq Race pun tidak lepas dari sifat keras. Meski belum pernah ada konflik yang keras dan berlarut-larut antar sesama peserta, harus diakui, dalam prakteknya persaingan antar pelaut di Sandeq Race ada pergesekan yang “hangat”. Seringkali itu tidak nampak sebab terjadinya di laut. Mungkin saja di atas langit ada saling lempar “cahaya” (baca: sihir). Ya, ada rumor yang berkembang di komunitas nelayan, bahwa selain ada ketangkasan melayarkan sandeq, adu ilmu pun terjadi. Jadi, ada bahaya yang kasat mata. Entahlah, saya yang sama sekali tidak punya “ilmu-ilmu” semacam itu tetap baik-baik saja meski sudah pernah ikut di atas sandeq yang berlomba.


128

muhammad ridwan alimuddin

Ada satu pengalaman menarik, saat sandeq yang saya ikuti akan memasuki finish di Pantai Losari, tiba-tiba leher kemudi patah. Artinya, beberapa puluh meter dari finish perahu gagal me­ nye­lesaikan lomba. Saya tidak tahu apakah itu karena ada yang “mengirim ilmu” atau karena faktor fisik belaka? Selain langole (leher kemudi) yang patah, juga ada sandeq yang pallayarang dan peloang-nya yang patah. Ini merupakan bukti bahwa lomba memang keras! Bagaimana dengan terjauh? Rute Majene—Makassar saja sudah dikatakan terjauh, apalagi dengan Rute Mamuju—Makassar. Dengan penambahan ini, maka posisi Sandeq Race sebagai lomba perahu layar tradisional yang paling jauh semakin kokoh. Sepengetahuan penulis, belum ada lomba perahu layar tradisional yang mendekati, sejauh, atau lebih jauh dari Sandeq Race. Lomba perahu naga baik di Indonesia maupun negara lain, misal­ nya Hongkong, jauh di bawah Sandeq Race. Juga ada lomba perahu lain di Nusantara, jaraknya pun belum seberapa. Kalau di­bandingkan, itu sama dengan lomba segitiga di Sandeq Race. Lomba segitiga di Sandeq Race adalah “bonus”, bukan lomba utama. Jadi, ketika Sandeq Race hanya dilaksanakan di Teluk Mandar, itu sama saja menghilangkan salah satu ciri Sandeq Race! Tercepat. Koq bisa disebut tercepat padahal sandeq di dalam lomba tidak menggunakan mesin? Menurut riset ilmiah, perahu sandeq adalah perahu layar tradisional tercepat di dunia. Artinya, dibanding perahu-perahu layar bercadik tradisional di seantero dunia ini, sandeq adalah perahu tercepat. Sandeq bisa menjadi tercepat sebab desainnya yang ramping, panjang, dan ringan. Memang sandeq sengaja dibuat demikian sebab orientasinya memang kecepatan. Nelayan Mandar menarget­ kan ikan tuna atau ikan pelagis lainnya. Karena targetnya demikian, maka perahu harus cepat. Belum lagi hasil tangkapan yang harus


sandeq perahu tercepat nusantara

129

segera dibawa ke darat agar tiba di tangan konsumen dalam keadaan segar. Sandeq untuk menangkap ikan saja sudah cepat, apalagi kalau yang dibuat khusus untuk lomba (tanpa ada perubahan mendasar atas desain sandeq). Artinya, sandeq-sandeq di dalam Sandeq Race secara teori semakin cepat. Gara-gara cepat, kapal pengantar sering kewalahan mengejar sandeq yang sedang berlomba. Tentu harus ada tiupan angin. Sandeq dengan angin yang baik dapat mencapai kecepatan 15—20 knot atau sekitar 30—40 km per jam. Bisa Anda bayangkan dengan kecepatan demikian. Kalau keadaan angin stabil dan tidak terjadi apa-apa di lapangan, sandeq yang berangkat dari Baurung dengan tujuan Polewali, bisa tiba bersamaan dengan pete-pete yang berangkat dari Tinambung menuju Polewali dengan kecepatan normal (kecepatan menaik-turunkan penumpang). Kesimpulannya, Sandeq Race adalah perlombaan perahu yang digolongkan perahu-perahu tercepat di dunia! Jadi, wajar saja ada ciri T yang ketiga: tercepat! Anda mau merasakan kecepatannya?


10. Wisata Bahari

Usaha

pengembangan potensi wisata bahari di Indonesia umum­nya terbatas pada rekreasi di pantai, seperti menikmati pano­ rama alam (tebing karang, pasir putih, hutan mangrove, dan lainlain); kegiatan penyelaman untuk menikmati keindahan terumbu karang; dan pemancingan di laut lepas. Usaha wisata yang pertama hampir bisa ditemukan di semua daerah yang mempunyai kawasan pantai, seperti Pantai Parangtritis, Pantai Kuta, Pantai Bira, dan lain sebagainya. Adapun daerah wisata untuk penyelaman hanya terbatas di beberapa tempat, khususnya di kawasan barat Indonesia. Kawasan yang memiliki ekosistem terumbu karang yang terkenal banyak terdapat di Indonesia bagian timur, seperti Bunaken, Taka Bonerate, Kepulauan Padaido, dan Kepulauan Maluku. Antara kedua obyek wisata tersebut, di atas dan di bawah permukaan laut, mempunyai perbedaan mendasar yang pada gilirannya membedakan golongan masyarakat penikmatnya. Pano­ rama pantai hampir tidak memerlukan biaya untuk menik­mati­ nya, walaupun ada itupun untuk biaya retribusi masuk. Sedang­kan kegiatan penyelaman membutuhkan biaya yang sangat mahal, seperti peralatan/penyewaan snorkel dan tabung, selain dari keterampilan khusus untuk melakukannya (renang, teknik penyelaman, dan lainlain). Jenis wisata yang pertama didominasi masyarakat bawah atau ekonomi lemah sedangkan obyek wisata yang kedua didominasi

130


sandeq perahu tercepat nusantara

131

masyarakat atas yang mempunyai uang “lebih”. Pada kegiatan pemancingan, kelompok peminatnya hampir sama, ekonomi bawah maupun ekonomi atas. Namun keduanya dibedakan atas lokasi pemancingan tersebut dilakukan. Masyarakat bawah yang mempunyai hobi memancing hanya terbatas meman­ cing di pinggir pantai dengan perlengkapan seadanya, sedangkan masyarakat ekonomi kuat bisa di pinggir pantai dan bisa di lautan lepas. Memancing di laut lepas menggunakan perahu bermotor yang modern yang dilengkapi dengan peralatan canggih untuk memantau keberadaan ikan. Kegiatan wisata ini banyak tersedia di kawasan Pantai Marina, Ancol, Jakarta. Selain berperan dalam kegiatan sektor perikanan, perahu sandeq juga memberi sumbangan ekonomi dalam kegiatan pariwisata bahari, baik sandeq-nya “saja”, proses pembuatannya, pelayar (pelaut Mandar) dan pelayarannya, dan perlombaannya, baik yang dilaksanakan di kampung-kampung nelayan, maupun yang berskala besar (Sandeq Race). Tidak dipungkiri Sandeq Race mampu menarik perhatian orangorang asing untuk datang ke Mandar. Bila melihat ke belakang, belum ada suatu even atau obyek wisata di Mandar yang berhasil mendatangkan turis asing sebanyak Sandeq Race. Kira-kira apa ya selain Sandeq Race? Menurut pengalaman penulis mendampingi beberapa orang asing di Mandar dalam rangka Sandeq Race, mereka tidak menginap 1—2 hari, melainkan beberapa hari. Alasannya, Sandeq Race bukan hanya lombanya, tapi juga suasana lingkungan para pelajunya, tempat pembuatannya, dan persiapan lomba di kampung pelaut Mandar. Ini beda dengan obyek wisata pada umumnya, yang hanya menikmati alam dan satu kegiatan budaya yang tidak berlangsung lama. Menariknya, orang asing tersebut lebih ingin menikmati


132

muhammad ridwan alimuddin

kehidupan khas Mandar. Salah satu contohnya adalah Christopher Edward, orang Inggris yang bermukim di Thailand. Awalnya dia menginap di Lambe, Karama untuk menyaksikan persiapan sandeq Masya Allah. Setelah Sandeq Race, dia balik lagi ke Mandar dan bermukim beberapa hari. Dia tidak ingin disebut turis, dia lebih senang menjadi bagian dari masyarakat nelayan. Dia meminta penulis untuk mencarikan nama Mandar. Oleh salah seorang pelaut tua di Mandar, dia diberi nama “Aco Balanipa”. Ini baru satu orang. Masih banyak orang asing lain yang rutin tiap tahun datang ke Mandar untuk ikut dan menyaksikan Sandeq Race, mulai dari Australia sampai Jepang. Belum lagi turis domestik, yang berasal dari luar Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Hal yang harus dipertimbangkan adalah kecenderungan usaha wisata dewasa ini terdorong untuk dikomersilkan secara ber­lebihan, seperti menciptakan suasana yang modern di obyek wisata dan “manajemen modern” untuk mengelolanya. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan efek di masyarakat setempat. Masyarakat tidak dapat mengambil manfaat dari kegiatan wisata, karena tidak adanya modal, pendidikan, dan keterampilan. Sering terjadi sumberdaya yang semula menjadi milik masyarakat atau milik beberapa individu masyarakat setempat, diambil alih oleh pengelola pariwisata yang berasal dari luar, sehingga tidak dapat dipakai lagi oleh masyarakat setempat, atau usaha mereka kalah dalam berkompetisi. Kecenderungan di atas umumnya masih ada di benak pelaku pengelolaan wisata di pemerintahan. Inilah kekurangan kita. Mau bukti? Bagaimana keadaan Pantai Datoq dan Pantai Palippis saat ini? Ketika dipermak dengan berbagai macam fasilitas yang memakan dana ratusan juta, lambat laun dia pun mati. Awalnya ramai, per­ lahan namun pasti, wisatawan yang datang tidak seperti yang di­ harapkan. Harus disadari, orang asing yang datang mengharapkan


sandeq perahu tercepat nusantara

133

suasana yang asli, bukan suasana yang dibarat-baratkan. Kalau mau menyaksikan suasana modern, buat apa mereka meninggalkan negara mereka? Para wisatawan umumnya mempunyai latar belakang kebudaya­ an yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat lokal. Interaksi antar keduanya, dapat menimbulkan hal positif dan negatif. Dampak positif antara lain ialah meluasnya cakrawala pandangan penduduk lokal dan biasanya sang turis memberi langsung uang ke penduduk yang ditinggali dan membantunya. Penduduk yang tadinya melakukan pekerjaan mereka sebagai aktivitas biasa kese­ harian, menjadi sadar bahwa pekerjaan mereka mempunyai pula nilai komersial. Efek negatif yang ditimbulkan kegiatan wisata adalah kemung­ kinan semangat kapitalisme yang berlebihan berkembang di Mandar. Ketika ada orang asing yang datang, kepadanya langsung dimintai uang. Jika tidak ada uang, maka tidak ada bantuan. Ya, uang kita perlukan, tapi itu jangan menjadikan ciri khas Mandar yang meng­ hargai tamu menjadi sirna. Karena sandeq sudah menjadi salah satu obyek wisata, maka yang harus diperhatikan adalah: tradisi yang ada di masyarakat nelayan (Mandar) setempat harus tetap dihormati, seperti pan­ tangan-pantangan, adat istiadat pergaulan, dan kegiatan beribadah. Pengelolaan wisata harus berbasis masyarakat setempat, di mana orang luar, seperti agen wisata ataupun pemerintah daerah hanya membantu untuk mempromosikan wisata ke masyarakat luar dan regulasi pengelolaannya.


11. Pelaut di Atas Sandeq

Sandeq

yang ikut Sandeq Race diawaki delapan pelaut Mandar. Biasanya ada tambahan satu orang, tapi tidak boleh ikut membantu pergerakan perahu, misalnya ikut mendayung. Yang ikut di sandeq adalah untuk pendokumentasian lomba saja, misalnya kru dari stasiun televisi. Peran tiap awak di atas sandeq adalah sebagai berikut: satu punggawa yang bertugas mengemudikan perahu, mengkoordinir sawi lainnya; dua asisten punggawa yang disebut pambeso baya-baya, tugasnya membantu punggawa menarik baya-baya yang posisinya berada di belakang punggawa dan sawi yang bertugas menahan/ melonggarkan baya-baya yang posisinya berada di depan punggawa. Lima sawi lainnya bertugas mendorong perahu saat start, manaikkan layar ketika start dimulai; melakukan timbang pada saat diperlukan, dan mendayung ketika sedang malino. Untuk beberapa kasus, ada punggawa yang tidak berperan sebagai pangguling atau pengemudi perahu, melainkan diserahkan ke sawi lain. Karena ada peran demikian, untuk Sandeq Race kali ini, panitia menyediakan uang khusus untuk pangguling. Pekerjaan mangguling adalah pekerjaan paling berat yang dilakukan peserta Sandeq Race. Perekrutan sawi untuk lomba hampir sama dengan perekrutan untuk armada penangkapan ikan. Biasanya dimulai dari keluarga terdekat (anak), sepupu, dan kerabat. Setelah itu, tetangga dan teman. Pola ini digunakan dalam rangka menciptakan stabilitas dan kesinambungan kerja. Pertimbangan tersebut diambil untuk meng足

134


sandeq perahu tercepat nusantara

135

hindari hal-hal yang tidak diinginkan. Jika keluarga sendiri yang direkrut menjadi anggota kelompok penangkapan, suasananya akan lain. Hubungan yang terbangun sudah punya dasar yang kuat. Misalnya, jika seorang punggawa menegur sawi-nya, tentu akan ber­beda respon/tanggapan sawi tersebut jika punggawa bukan kerabatnya. Demikian pula dengan punggawa, tidak mempunyai beban untuk menegur keras sawi yang juga merupakan kerabatnya. Alasan lain, supaya penghasilan yang diperoleh “tidak lari” dari keluarga. Proses perekrutan yang umum di kalangan nelayan salah satunya adalah: jika seseorang ingin menjadi sawi di salah satu kelompok nelayan, orang tersebut menghubungi langsung punggawa posasiq bersangkutan. Istilahnya “bicara baik-baik”: dengan menggunakan pakaian sopan (untuk masyarakat Mandar, biasa ditandai dengan menggunakan songkok dan sarung), dia pergi ke rumah punggawa tersebut untuk kemudian menyampaikan niatnya. Jika orang tersebut masih kecil, biasa diwakilkan oleh orang­ tuanya, baik bapak maupun ibu. Jika tidak ada alasan yang mendasar, misalnya konflik atau sawi sudah cukup, biasanya punggawa jarang menolak permohonan tersebut. Setelah ada kesepakatan, orang tersebut bisa langsung ikut pada kegiatan penangkapan berikut yang dia inginkan. Pada umumnya penerimaan sawi tidak melibatkan punggawa pottana, sebab itu adalah hak penuh punggawa posasiq. Pola yang hampir sama dengan sawi yang dipercaya mengawaki sandeq untuk Sandeq Race. Tapi biasanya yang mengajukan per­ mintaan adalah punggawa lopi atau punggawa pottana. Alasannya, sawi untuk Sandeq Race bukanlah sawi biasa. Bisa dikatakan, dari sekian ratus pelaut Mandar, yang ikut di Sandeq Race adalah sawisawi terbaik. Baik dalam arti kemampuan fisik maupun kemampuan spritual. Masyarakat nelayan percaya, sewaktu mengikuti Sandeq Race, peserta juga membawa serta pengetahuan magis. Untuk itu,


136

muhammad ridwan alimuddin

paling tidak ada ilmu untuk “menangkis” kiriman ilmu pelayar lain. Seperti yang telah dikemukakan di tulisan awal seri tulisan ini, perekrutan sawi untuk Sandeq Race 2006 mengalami kendala. Sumberdaya sawi banyak yang sedang melaut di daerah jauh, misalnya Lombok. Ini membuat para punggawa kesulitan menge­ tahui bisa-tidaknya calon sawi yang mereka harapkan mau ikut Sandeq Race. Ini bukan masalah besar jika sawi mereka adalah keluarga sendiri atau sawi puliq (sawi yang cenderung tetap ikut di suatu perahu) mereka sebab bisa didaftarkan meski belum me­ nanyakan langsung kesediannya. Dalam kehidupan sehari-hari, yang betul-betul melayarkan atau menggunakan sandeq sepanjang tahun (kecuali angin kencang) bisa dikatakan tidak seberapa. Dari perhitungan kasar, hanya ada 13 perahu, dari 50 sandeq, yang pernah digunakan menangkap ikan. Dari jumlah itu, hanya 3—5 perahu yang masih melaut. Artinya, sebagian besar passandeq di Sandeq Race hanya sedikit yang passandeq asli. Apakah betul demikian? Sebenarnya tidak sepenuhnya benar, sebab beberapa pentolan peserta Sandeq Race adalah passandeq-passandeq ulung. Kan tidak mungkin mereka menjadi langganan menang Sandeq Race jika tidak ada pengalaman melayarkan sandeq. Sandeq sih baru betul-betul secara nyata ditinggalkan beberapa tahun yang lalu. Dengan kata lain, sebagian besar nelayan Mandar yang ikut Sandeq Race pernah berpengalaman melayarkan sandeq dalam tempo lama, jadi sudah menyatu di dalam diri meski lama tidak melayarkan sandeq. Tapi biasanya sih mereka adalah orang tua, yang muda mungkin hanya beberapa orang. Inilah tujuan Sandeq Race, menjadi sarana agar ilmu-ilmu pelayaran (sandeq) tetap dipelajari dan diwariskan turun temurun di Mandar. Coba hitung sendiri, ada berapa generasi yang bisa mengecap keagungan sandeq di ajang Sandeq Race? Sebaliknya,


sandeq perahu tercepat nusantara

137

jika tidak ada Sandeq Race, kira-kira acara apa yang menuntut generasi muda pelaut Mandar mempelajari sandeq? Sepertinya Sandeq Race ditakdirkan hanya bisa diikuti oleh pelaut-pelaut Mandar. Ya, kayaknya tidak ada nelayan atau pelaut lain di luar komunitas Mandar yang bisa melayarkan sandeq. Bisa tapi belum tentu mampu ikut Sandeq Race, sebab Sandeq Race bukan hanya melayarkan, melainkan ada hal-hal lain yang harus diperhitunkan, misalnya strategi mengalahkan perahu lain. Mungkin perkecualian orang-orang yang mencari kesenangan atau iseng-iseng saja ikut lomba, yang orientasinya berbeda dengan pelaut Mandar terhadap lomba. Ada sekitar 15—16 kampung di pesisir Teluk Mandar yang merupakan kampung asal pelayar-pelayar sandeq di Sandeq Race. Dari barat ke timur adalah Rangas, Deteng-deteng, Passarang, Leppangan, Tanangang, Pangaliali, Labuang, Tanjung Batu, Baraneq, Tangnga-tangnga, Lambe, Karama, Sabang Subik, Pambusuang, dan Bala. Jumlah perahu dari Kabupaten Majene seimbang dengan perahu dari Kabupaten Polman. Adapun kampung terbanyak yang menyertakan perahu atau awaknya adalah Rangas dan Pambusuang. Perlu diketahui, asal perahu dan asal sawi sulit untuk diten­ tukan asalnya. Mari lihat kasus berikut: perahu Cinta Arafah dimiliki orang Tanangan (Majene), tapi perahunya dibuat dan disimpan di Tammangalle (desa di Kecamatan Balanipa, Polman). Juga ada sandeq dari Ujung Lero (Pinrang) dan dari Mamuju, tapi kemungkinan awaknya berasal dari Pambusuang. Perahu Baurak disimpan di Rangas, tapi pelautnya dari Passarang. Hal di atas bukanlah kekacauan, melainkan keunikan budaya bahari. Berbicara tentang laut, batas geografis sepertinya tidak berguna. Harus ada sinergi dengan pihak lain untuk mengelola laut, misalnya pengelolaan wilayah laut dalam lingkup otonomi daerah. Sandeq Race pun demikian!


12. Perbedaan

Semua orang, semua pihak, semua lembaga bisa menfasilitasi lomba perahu sandeq. Setiap ada kompetisi perahu sandeq yang sengaja dilakukan, baik yang dilakukan di tingkat kampung maupun di tingkat inter­ nasional istilahnya sama, lomba sandeq atau sandeq race. Sejak zaman pra kemerdekaan, zaman pemberontakan, awal orde baru, hingga pra reformasi sekarang ini selalu ada lomba sandeq. Kesim­ pulannya, semua berhak melombakan sandeq. Suatu waktu saya mendengar pendapat yang mengatakan bahwa ada orang asing yang memiliki “paten” Sandeq Race. Dalam hati saya tertawa dan seakan tak percaya ada anggapan seperti itu! Ya, memang lomba sandeq di dalam bahasa asing disebut Sandeq Race, tapi di kalangan pelaut Mandar dan masyarakat yang hobi akan lomba sandeq, lomba sandeq yang “Sandeq Race” adalah lomba sandeq yang mengambil rute Majene—Makassar. Sandeq Race 2006 ini adalah Sandeq Race ke-8 yang tempat start-nya bukan lagi Majene, melainkan Mamuju atau bertambah beberapa puluh mil ke utara. Sandeq Race yang terjauh, terkeras, dan tercepat atau yang ke-7 terakhir dilaksanakan tahun 2003. Tokoh sentral dalam pelaksanaan Sandeq Race yang dilakukan secara profesional ini adalah Horst H. Liebner, peneliti kemaritiman berkebangsaan Jerman, salah satu staf ahli di Departemen Kelautan

138


sandeq perahu tercepat nusantara

139

dan Perikanan, di Jakarta. Begitu besarnya peran Horst, Sandeq Race identik dengan dirinya. Ini tampak jelas di komunitas pelayar sandeq. Dengan kata lain, ada kesan tersendiri jika lomba sandeq itu melibatkan Horst. Mengapa bisa demikian? Penulis mulai terlibat serius di Sandeq Race pada tahun 2002, belum sebagai panitia resmi, melainkan sebagai sukarelawan dan sebagai peneliti sandeq. Karena saya menjadikan Sandeq Race se­ bagai obyek penelitian, maka saya sedikit memahami perlombaan ini. Ada banyak perbedaan mendasar antara Sandeq Race yang Horst koordinir dengan lomba sandeq yang lain. Beberapa diantaranya adalah: lama waktu persiapan, tingkat publikasi, jumlah sandeq yang terlibat, lama-jauhnya rute lomba, besarnya dana yang digunakan, fasilitas yang didapatkan para peserta, hubungan dengan peserta, dan tingkat transparansi keuangan dan dokumentasi (pengarsipan) lomba. Persiapan Sandeq Race mulai dilakukan beberapa bulan sebe­lum lomba, minimal enam bulan sebelumnya. Ini jelas mem­ bedakan lomba sandeq yang lain, yang jarak antara ide dengan pelaksanaannya hanya hitungan minggu atau hari. Persiapan harus dilakukan jauh sebelum lomba karena melibatkan banyak pihak, khususnya calon sponsor. Perusahaan besar atau lembaga pemerintah yang diharapkan mensponsori lomba jelas tidak bisa didadak, harus jauh sebelum itu agar mereka bisa menganggarkan dana lomba. Tingkat publikasi Sandeq Race jauh berbeda dengan lomba sandeq lain. Pengalaman penulis, yang pembaca bisa buktikan sendiri, publikasi lomba sandeq yang dimuat media massa baik lokal, regional, nasional maupun internasional adalah lomba sandeq yang “Sandeq Race”. Untuk Sandeq Race VIII ini, informasinya sudah dimuat di RADAR MANDAR (regional), KOMPAS (media


140

muhammad ridwan alimuddin

nasional), dan TARZAN (salah satu majalah olahraga di Jepang, Edisi 22 Maret 2006). Ini belum yang di internet, di situs-situs pecinta olahraga laut dan milis-milis pemerhati budaya bahari. Persiapan sudah mendapat publikasi yang cukup luas, apalagi lombanya! Sandeq Race pertama sampai yang ketujuh rata-rata melibatkan 25—30 perahu sandeq. Jelas tidak ada yang menyamai jumlahnya untuk lomba-lomba sandeq yang lain. Karena melibatkan banyak peserta, maka persiapan dan pelaksanaannya pun butuh perhatian tersendiri. Secara langsung, peserta yang banyak berhubungan dengan dana yang harus disiapkan/digunakan. Sepengetahuan penulis, tidak ada lomba sandeq lain yang ke pesertanya diberi uang untuk mempersiapkan perahu, bahan layar, pembeli bahan bakar untuk kapal pengantar, hadiah dari nomor satu hingga yang “kotteng�, baju kaos, beras dan uang untuk logistik, dan rokok di setiap akhir etape. Untuk pelaksanaan yang kedelapan, sebagian besar fasilitas mengalami peningkatan: peserta mendapat dua pasang baju kaos, kru di kapal pengantar juga mendapat baju, sawi yang mangguling mendapat uang khusus dari panitia, dan hadiah lomba yang meningkat beberapa kali lipat. Hubungan antara panitia dengan peserta juga menjadi ciri khas di setiap Sandeq Race. Panitia menjadi pelayan bagi peserta: saat proses pendaftaran, panitia mendatangi kampung-kampung nelayan, menfasilitasi jika ada masalah, misalnya alat-alat sandeq; terus-menerus mendatangi sandeq yang akan ikut lomba untuk mengetahui langsung tingkat persiapan yang jika ada masalah panitia akan membantu. Saat lomba juga demikian, mulai dari memperhatikan logistik peserta hingga mengobati mata peserta yang memerah karena terik di laut. Artinya, di dalam lomba, panitia melibatkan pengetahuan


sandeq perahu tercepat nusantara

141

ten­tang budaya nelayan, budaya para peserta lomba. Jelas ada perbedaan antara orang darat dengan orang laut, jadi perhatiannya pun harus beda. Jika tidak ada pemahaman atas budaya mereka, bisa dipastikan peserta tidak terlaksana atau jika terlaksana, akan ada kekecewaan di hati para nelayan. Contoh kasus ketika di dalam lomba tidak berbasiskan budaya nelayan Mandar adalah Sandeq Race yang difasilitasi Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan. Begitu kacau dan pelaut amat kecewa sebab mereka tidak diperhatikan ketika mereka tiba di Makassar. Ini memunculkan trauma. Agar kekecewaan tidak muncul kembali, pelaut yang diharapkan ikut Sandeq Race (ketika mendatangi mereka untuk menerima pendaftaran) akan bertanya dulu, “Siapa panitia lomba?”. Jika yang menyebabkan mereka tidak diperhatikan, mereka akan pikir seribu kali untuk ikut. Transparansi laporan keuangan dan pengarsipan lomba merupa­ kan bagian penting di dalam Sandeq Race. Setiap selesai lomba, kepada sponsor diberi laporan keuangan agar mereka mengetahui penggunaan uang yang mereka berikan. Sama halnya dengan dokumentasi. Sejak Sandeq Race pertama hingga yang ketujuh, catatan seluk-beluk lomba ada di database panitia. Pada Sandeq Race VIII, pengarsipan semakin ditingkatkan, hingga ke hal-hal terkecil, misalnya siapa si pembuat sandeq X, tahun dibuat, apa nama sebelumnya, dan lainnya. Apakah ada panitia lomba sandeq yang melakukan hal ini? Sandeq Race tidak pernah dipatenkan dan sama sekali tidak pernah terpikir akan hal itu. Kalau ada pertanyaan “Koq harus bayar sekian juta rupiah?”, jelas itu bukan pembayaran royalti. Pembayaran itu adalah pembayaran sebagai sponsor, sebagai im­ balan atas pemasangan logo perusahaan/pemerintah/individu di layar sandeq. Perlu dipahami, panitia belum pernah melarang seunit sandeq


142

muhammad ridwan alimuddin

ikut Sandeq Race, malah sebaliknya, panitia yang meminta mereka untuk ikut. Ikut serta pun tidak bayar, malah diberi uang untuk mempersiapkan perahu. Jadi, harus dibedakan antara mengikutkan perahu sandeq untuk lomba dengan mengikutkan diri/perusahaan/lembaga sebagai sponsor. Yang pertama tidak membayar (malah dibayar!), yang kedua harus bayar. Pembayaran adalah untuk membiayai lomba, mulai dari persiapan hingga pra-pelaksanaan. Jika pemilik perahu menganggap dirinya berhak memasang gambar di layar sandeq-nya, lalu darimana sumber dana lomba? Imbalan apa yang didapatkan sponsor? Memberi kebebasan ke pemilik perahu untuk memasangi apa saja dilayarnya bisa saja terjadi jika si panitia, misalnya pemerintah, menyiapkan 100% dana lomba. Kesimpulannya, semua pihak bisa melaksanakan Sandeq Race, namun alangkah baiknya jika orang atau lembaga yang men足 fasilitasinya melakukan secara rapi, profesional dan memanusiakan peserta lomba.


13. Manfaatkanlah Momen

Sandeq Race diadakan sebagai salah satu bentuk pelestarian sandeq, mengangkat martabat para tukang perahu, pelaut dan keluarga mereka. Walau Sandeq Race identik dengan komunitas pelaut, itu tidak berarti bahwa momen Sandeq Race tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak lain. Panitia membuka lebar informasi ke publik bahwa “Manfaatkanlah Sandeq Race!”. Jika ada pihak yang menganggap sebagai peluang pasar, man­ faat­kanlah!; jika ada individu yang ingin menjadikan Sandeq Race sebagai ajang promosi diri, gunakanlah!; jika sekelompok masyarakat ingin memperkenalkan kampung mereka ke dunia luar dan melihat Sandeq Race sebagai momen yang tepat, maka jadikanlah Sandeq Race sebagai ajang promosi! Sebelum membahas lebih lanjut, diluar keinginan memanfa­ atkan ruang di layar sandeq yang akan berlomba (berperan sebagai sponsor), yang mana harus membayar sekian juta, panitia mem­ persilahkan siapa pun untuk ikut nebeng ke kemeriahan Sandeq Race dengan gratis! Misalnya Anda seorang pemuda atau mahasiswa yang mem­ punyai jiwa wiraswasta, maka buatlah stiker, baju kaos, dan apa pun yang berbau sandeq untuk kemudian jual di keramaiankeramaian yang berkaitan dengan Sandeq Race, misalnya saat start di Mamuju, dan beberapa tempat di sepanjang rute pelayaran, dan di Makassar. Panitia siap menjadi fasilitator tanpa ada permintaan

143


144

muhammad ridwan alimuddin

imbalan! Atau kalau mau beraktivitas sendiri menjual barangnya, juga tidak apa-apa. Jika Anda seseorang yang mempunyai kerabat yang pintar membuat miniatur sandeq, atau seseorang yang tinggal di perkam­ pungan nelayan Mandar, maka pesanlah sekarang juga miniaturminiatur sandeq! Insya Allah barang-barang itu akan laku, baik di Mamuju maupun di Makassar! Sekali lagi, panitia siap membantu untuk mempromosikan ke sentra-sentra turis asing berkumpul/ tinggal. Sebagai catatan, akan ada ratusan orang asing yang akan ber­kumpul di Makassar pada kisaran tanggal 23—27 Agustus. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang pecinta olahraga laut. Dengan kata lain, itu adalah pasar yang amat potensial. Jelas ini adalah peluang bisnis! Punya kamera video dan biasa diminta untuk men­do­ku­ mentasikan acara pernikahan, sunatan, rebana, dan acara keluarga lainnya? Mengapa tidak Anda tawarkan kemampuan Anda untuk merekam Sandeq Race ke punggawa-punggawa sandeq? Katakan, fokus kamera akan diarahkan ke mereka jika memang meminta demikian. Adegannya juga tergantung tawar menawar, apakah sejak dari Mamuju—Makassar atau satu-dua etape saja?; di darat saja (zoom dari jauh) atau ikut sampai di laut? Kalau merekam semua adegan atau hanya fokus ke satu sandeq biayanya pasti beda. Dan meski hanya merekam saat start dan tidak fokus ke satu sandeq, itu sudah menghasilkan uang sebab VCD-nya bisa Anda tawarkan ke mereka, setelah ada hasil. Atau kalau adegannya bagus dan unik, itu bisa Anda jual ke stasiun TV yang wartawannya sudah banyak di daerah kita. Anda mempunyai keterampilan menulis dan kebetulan punya banyak bahan tulisan mengenai kebudayaan bahari Mandar? Buatlah tulisan singkat, misalnya tentang sandeq, kopi beberapa


sandeq perahu tercepat nusantara

145

eksemplar, jilid dengan baik, dan tawarkanlah kepada pelaut itu! Atau kalau susah, karena mereka kebanyakan tinggal di perahu layarnya, titiplah di beberapa restoran yang banyak terdapat di Pantai Losari. Selain momen Sandeq Race, awal September nanti seke­ lompok mahasiswa Jepang akan datang ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat untuk mempelajari kebudayaan bahari Mandar, khususnya perahu sandeq. Sekali lagi, ini adalah peluang untuk memperkenalkan karya atau komoditas kepada mereka, baik stiker, baju kaos, tulisan, maupun make perahu Sandeq. Gratis bisa, mau jual juga bisa. Terserah! Bukan hanya individu atau sekelompok orang, Sandeq Race seharusnya juga dilihat oleh pemerintah sebagai ajang mem­ perkenalkan daerahnya dalam rangka promosi pariwisata. Sejujur­ nya, berdasarkan pengalaman penulis di dalam mem­persiapkan Sandeq Race 2006 ini, pemerintah belum sepenuhnya melihat potensi yang dimiliki Sandeq Race. Bisa percaya atau tidak, salah satu pemerintah kabupaten di Sulawesi Barat ingin membuat lomba sandeq tersendiri setelah ajang Sandeq Race selesai. Ini bukan hal yang salah, tapi bagi yang terbuka matanya, jika menggabungkannya atau menjadikannya dalam paket Sandeq Race, maka keuntungan akan lebih besar diperoleh. Mengapa tidak? Sebab Sandeq Race sudah dipublikasikan secara internasional dengan pencantuman waktu (hari, tanggal, dan jam) dan lokasi yang amat rinci. Dengan kata lain, turis yang berminat untuk menyaksikannya akan membuat jadwal yang mereka lihat di publikasi tersebut, bukan lomba sandeq lain yang berlangsung di luar jadwal itu. Jadi, salah sendiri jika lomba sandeq yang dilaksanakan tidak ada bule yang menyaksikannya dan tidak ada sorotan kamera dari stasiun TV asing. Meski semua bebas memanfaatkan ajang Sandeq Race, baik­


146

muhammad ridwan alimuddin

nya ada koordinasi dengan panitia. Alasannya, agar panitia bisa membantu mempromosikannya kepada para turis, menyalurkan informasi tempat-tempat strategis untuk memasarkan komoditasnya, dan sebagai sumber informasi bagi panitia bahwa ternyata ada yang bisa dijadikan jaringan kerja di dalam kepanitiaan di Sandeq Race mendatang. Maksudnya, jika ternyata Anda menghasilkan stiker dan baju kaos yang desainnya bagus dan bahannya berkualitas, tidak menutup kemungkinan penyediaan baju kaos untuk para passandeq dan stiker untuk promosi lomba diserahkan kepada Anda! Ini bukan hal yang mustahil. Dan karena Anda sudah berpengalaman dalam ajang Sandeq Race, beberapa penggiat Sandeq Race bisa melibatkan Anda sebagai panitia di Sandeq Race mendatang. Tentunya jika Anda mempunyai kecintaan murni terhadap kebudayaan bahari Mandar. Memang ada gaji di dalam kepanitiaan, tapi besarnya tidak seberapa bila dibanding dengan pekerjaan yang harus dilakukan, misalnya makan hati ketika ada pejabat yang mencoba menahan anggaran lomba, atau ketika ada nelayan yang terlalu banyak maunya. Pada intinya, siaplah berkorban! Kesimpulannya, Sandeq Race adalah milik masyarakat, milik dunia. Siapa pun bisa memanfaatkannya. Panitia hanyalah fasili足 tator. Jika memang ada aturan-aturan yang dibuat panitia (ini hanya ada pada saat lomba dan berkaitan dengan pemasangan logo di layar), itu bukan tanda bahwa Sandeq Race kaku dan dikomersilkan. Aturan ada agar lomba berjalan lancar, sponsor harus ada agar ada dana untuk berlomba dan agar ada hadiah yang didapatkan nelayan. Sekali lagi, Sandeq Race adalah milik Anda semua, baik orang Mandar maupun bukan orang Mandar. Manfaatkanlah, manfaatkanlah dengan jalan yang positif!


14. Dari Karampuang hingga Losari

Bayangkanlah 50 sandeq, 50 kapal pengantar, dan beberapa kapal perang berlayar menyusuri pesisir dari Karampuang hingga Makassar. Anda boleh percaya boleh tidak, nantinya itu akan menjadi parade perahu tradisional terbesar, terjauh, dan terbanyak di dunia. Sandeq Race VIII sedikit berbeda dengan Sandeq Race sebe­ lumnya, yang hanya mengambil rute Majene—Makassar. Sekarang menambah beberapa puluh mil ke utara, yaitu start dari Mamuju, ibu kota provinsi malaqbi kita, Sulawesi Barat. Hari pertama Sandeq Race dimulai pada tanggal 17 Agustus 2006 di Mamuju, tepatnya di sepanjang pantai, di belakang rumah adat Mamuju. Di garis pantai berpasir hitam tersebut akan berjejer kupu-kupu putih, sandeq kebanggaan masyarakat Mandar dengan pelautnya yang tangguh dan mempunyai keterampilan melaut di atas rata-rata. Karena lomba sandeq sangat bergantung pada angin, maka pelepasan sandeq harus dilakukan secepatnya. Jangan sampai sifat kita yang suka menunda-nunda waktu menjadikan lomba molor; menjadikan sandeq-sandeq tiba malam di tempat finish. Mamuju—Malunda adalah etape pertama. Secara kasar, jarak­nya sekitar 60 km. Ini termasuk jarak pendek dibanding etape lainnya, tapi karena ada kecendrungan wilayah perairan ini angin tidak terlalu kencang atau arahnya berlawanan dengan arah

147


148

muhammad ridwan alimuddin

perahu, maka para passandeq harus bekerja ekstra ketat untuk tiba di Malunda, di pesisir pantai Mekkatta. Bayangkan, sewaktu dari Teluk Mamuju, di balik Pulau Karampuang, sandeq harus mengambil arah utara. Tiba di laut lepas, menuju barat, beberapa kilometer kemudian menuju selatan. Berada di dekat Tanjung Ngaloq atau dekat Teluk Tappalang, sandeq menuju arah tenggara lalu tembak timur. Keesokan harinya, 18 Agustus, etape yang ditempuh adalah Malunda—Majene. Jaraknya berkisar 90 km. Karena rutenya relatif lurus dan angin “ada”, tidak seperti Mamuju—Malunda yang melalui beberapa teluk dan angin tidak selalu sama arahnya, maka bisa dilalui dengan cepat. Pada tanggal 19 Agustus atau keesokan harinya belum ber­ langsung etape ketiga atau Majene—Polewali. Terlebih dahulu ada lomba sandeq segitiga di Teluk Majene. Ini untuk memberi kesempatan kepada rakyat banyak untuk menyaksikan kehebatan sandeq dari jarak dekat dalam waktu relatif lama. Sebenarnya, rencana awal segitiga dilaksanakan di Polewali tapi karena Peme­ rintah Kabupaten Polman ingin melaksanakan sendiri lomba segitiga (setelah Sandeq Race), maka lomba dipindah ke Majene. Hari Minggu atau pada tanggal 20 Agustus, sandeq yang berlomba mengambil etape Majene—Polewali. Jauhnya berkisar 50 km, dari barat ke timur. Beberapa sandeq sudah terbiasa dengan rute ini sebab merupakan sebelumnya merupakan rute di hari pertama. Rute ini mempunyai tantangan tersendiri. Beberapa kilometer dari garis pantai Majene panitia memasang titik pembelokan yang harus dilalui sandeq. Ini sengaja dilakukan agar posisi start adil ke semua peserta. Maksudnya, jika tidak titik pembelokan, yang “dekat angin” akan lebih beruntung, sedangkan yang jauh akan dirugikan. Selain permasalahan di saat start, menjelang tiba pun demikian, tapi beda


sandeq perahu tercepat nusantara

149

tantangannya. Memasuki perairan Polewali sama saja memasuki perairan dangkal. Jadi harus hati-hati, bisa-bisa melalui takaq (batu karang). Keesokannya, tanggal 21 Agustus, pada pukul tujuh pagi, 50 sandeq beserta “ber-mi’raj� ke Teluk Pare-Pare. Beberapa kilometer saat meninggalkan pantai Polewali, sandeq harus super hati-hati sebab akan melalui perairan berkarang, di sekitar pulau-pulau kecil. Tempat finish pada etape ketiga mempunyai kesan tersendiri bagi pelaut Mandar sebab di tempat ini ada perkampungan Mandar, Ujung Lero. Bisa dikatakan, tiap kampung nelayan di pesisir Teluk Mandar mempunyai kerabat di Ujung Lero. Sandeq bermalam dua hari di Teluk Pare-Pare sebab pada tanggal 22 Agustus kembali dilaksanakan lomba segitiga. Pada tanggal 23 Agustus, sandeq melanjutkan pelayarannya, menuju Barru, tepatnya di Sumpang BinangaE. Jarak yang harus ditempuh relatif pendek, sekitar 40 km. Di pesisir pantai tempat finish berada banyak terdapat bagang yang bentuknya khas, tinggi menjulang dan ramping, tidak seperti bagang pada umumnya. Seperti di tempat start-finish etape sebelumnya, di sini para passandeq akan dihibur oleh kesenian rakyat. Ini adalah fasilitas yang dipersembahkan khusus kepada para passandeq yang tentu akan jenuh jika terus-menerus berada di tingkat adrenalin yang memuncak. Tanggal 24 Agustus adalah etape terakhir, dari Sumpang BinagaE di Barru ke Pantai Losari di Makassar. Jaraknya hampir sama dengan etape Malunda—Majene atau 90 km. Biasanya etape ini menjadi ajang penentuan sebab kesempatan terakhir untuk mengumpulkan poin. Lingkungan perairan yang dilalui jauh berbeda dengan etape sebelumnya sebab pada etape ini sepenuhnya berada di dalam


150

muhammad ridwan alimuddin

lingkungan perairan Kepulauan Spermonde. Dengan kata lain ada banyak pulau, ada banyak tempat dangkal, dan ada banyak karang. Sebenarnya ini bukan masalah besar bagi para peserta yang sudah berpengalaman atau sudah sering ikut Sandeq Race. tapi bagi peserta baru, tentu menjadi kesulitan tersendiri. Untuk itu, di etape terakhir ini panitia akan memberi panduan kepada peserta tentang rute-rute yang aman. Sebenarnya, sebelum melaksanakan lomba selalu diadakan pemantapan antara panitia dengan peserta tentang rute-rute yang akan dilalui. Kepada peserta dihamparkan peta laut skala paling rinci agar mereka memahami apa yang akan dilalui. Sebenarnya ini bukan untuk menggurui para pelaut, sebab mereka pasti lebih tahu tentang kondisi laut, tapi hanya untuk menambah informasi, khususnya lingkungan-lingkungan laut tertentu yang berbahaya, misalnya tempat karang berada. Tempat finish terakhir adalah beberapa puluh meter dari Pantai Losari Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, “saudara tua� Sulawesi Barat. Tidak seperti Sandeq Race-Sandeq Race sebelumnya, Sandeq Race kali ini para passandeq dan sandeqnya akan berada lebih lama di Makassar dan akan mengalami pengalaman yang langka. Mengapa? Sebab pada tanggal 26 Agustus, ketangguhan pelaut Mandar akan “dipertarungkan� dengan ketangguhan pelaut Eropa. Bukan itu saja, sandeq pun akan menjadi jenis perahu terbanyak yang terlibat di parade perahu-perahu layar tradisional. Insya Allah semua agenda di atas berjalan sesuai rencana dan semua passandeq dan sandeq-nya, kru kapal pengantar dan kappalnya, beserta panitia dan penonton tetap dalam keadaan selamat.


15. Catatan dari Sandeq Race 2006

Sandeq Race, Lomba Berkelas Dunia

Bagi para peserta dan penonton Sandeq Race 2006 berlangsung dengan amat meriah: Keadaan cuaca, animo para peserta dan suasana di lapangan lomba yang berlangsung antara 17—26 Agustus sudah pada etape ketiga dari Majene ke Polewali dinilaikan oleh para aficionado lomba perahu tradisional Mandar ini sebagai “memang betul-betul hebat” (salah satu tokoh masyarakat Rangas, Kab. Majene). Maka, tak usah mengherankan bahwa penyelenggara dalam berbagai kegiatan follow up pada dua bulan silam ini tak mendapatkan kritikan dari pihak peserta yang dapat dilaporkan – berbeda dengan lomba tahun 2003—2005, semua peserta yang dikunjungi dan diwawancarai menyatakan bahwa mereka telah mengikuti ‘Lomba Perahu Layar Tradisional Terpanjang, Tercepat dan Terberat Dunia’ ini dengan senang hati dan tanpa rasa kecewa. Bagi tim penyelenggara penilaian ini merupakan sebuah pujian yang tak ternilai: Sejak lomba pertama pada tahun 1995 kami menyadari bahwa penggerak utama Sandeq Race adalah para passandeq, dan bahwa yang paling berhak mengukur suksesnya adalah para nelayan dan pelayar tradisional Daerah Mandar sendiri. Bagaimanapun, meski sudah diadakan sebanyak sembilan kali sejak 1995, tujuan utama kami dalam menyelenggarakan sebuah lomba berkelas dunia bagi nelayan tradisional, yaitu pengakuan dan kesadaran khalayak ramai akan martabat budaya bahari Nusantara, sampai sekarang belum tercapai: Walaupun Sandeq Race 2006 mendapatkan perhatian media yang cukup memadai, mutu

151


152

muhammad ridwan alimuddin

tulisan dan siaran masih jauh dari yang mestinya dapat diharapkan. Misalnya, salah satu media elektronik menamakan perahu sandeq asal Daerah Mandar “perahu pinisiq jenis sandeq milik orang BugisMakassar”—meski di baju semua peserta dan di atas semua layar ter­tulis dengan jelas ‘Sulawesi Barat’, yang identik dengan ‘Mandar’—, dan beberapa media lain hanya ‘memburu’ adanya ‘peserta asing’ – sementara pada tahun ini tiada seorang asing pun yang ikut berlomba atau menyiapkan sandeq lomba. Pada halaman satu salah satu media cetak terkemuka Sulawesi terdapat foto armada sandeq dengan keterangan “perahu tradisional sandeq dari berbagai negara, di antaranya, Jerman, Australia, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang saat berlabuh di Pantai Losari, Makassar”; media cetak lain bahkan memperlihatkan sebuah kapal pengantar yang mengibarkan bendera Jerman sebagai “peserta lomba Sandeq Race dari Jerman”. Herannya, kemenangan gemilang sandeq terhadap semua perahu asing pada Makassar Friendship Challenge tak menjadi berita. Mengapa warisan budaya bahari tak mendapatkan apresiasi yang wajar dari para ‘cucu pelaut unggul’? Apa alasannya bahwa media Indonesia kelihatannya tak bisa berbangga atas prestasi putera bangsa sendiri? Kekeliruan pemberitaan media di atas memunculkan sikap pro­tes di kalangan masyarakat Mandar. Mereka merasa pemberitaan telah merampas kebanggaan. Panitia, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelakasanaan Sandeq Race 2006 dan mudah dikontak oleh banyak pihak, dibanding dengan media atau wartawan yang memuat, mendapat protes, “Koq beritanya seperti itu?”. Ya, jelas panitia juga kecewa berat! Tapi kami mencoba untuk memahami, bahwa rata-rata wartawan yang kita miliki tidak melalukan prinsip pers, yaitu cek dan ricek. Coba baca kutipan berita-berita di atas, itu adalah gambaran betapa –maaf-- bodohnya beberapa oknum wartawan bersangkutan! Pun mereka mau mudahnya saja, hanya


sandeq perahu tercepat nusantara

153

meliput ketika sandeq tiba di Makassar. Sepengetahuan panitia, hanya wartawan Radar Sulbar saja yang terus ikut mulai dari Mamuju sampai Makassar. Demi membantu sedikit dalam menutupi kekhilafan-kekhi­ lafan ini, maka kami di bawah ini coba menyajikan sebuah laporan jalannya lomba dari baik segi pencapaian olahraga maupun latar belakang budaya. Semoga dapat dimaklumi. ‘The World’s Longest, Hardest, Fastest Race for Traditional Fishing Vessels’—julukan yang paling tepat untuk lomba perahu Sandeq Race. Bahkan, dalam rangka Festival Pemuda dan Olahraga Bahari, “Lomba Perahu Nelayan Tradisional Terpanjang, Terberat dan Tercepat di Dunia” ini menjadi suatu ajang penuh superlatif: Sebuah lomba sepanjang lebih 300 mil laut, diikuti 48 perahu peserta dengan lebih 380 pelayar yang berlayar selama delapan hari dalam enam etape dan dua lomba tambahan tak punya ‘pesaing’ satu pun di dunia olahraga layar. Sejak dahulu kala para nelayan daerah Mandar, Sulawesi Barat, merayakan puncak dan berakhirnya musim penangkapan ikan terbang pada bulan Agustus dengan perlombaan-perlombaan perahu. Memang, mempertandingkan perahu-perahu layar adalah ‘hobi’ yang paling digemari para pelaut – dan karena perahu sandeq yang dapat melaju hingga 15-20 knot (30-40 km/h) bila kena angin baik merupakan perahu layar tercepat di kawasan Selat Makassar, maka jelas ialah pilihan utama untuk diadukan di lapangan lomba. Jadi, tak usah heran kalau pertandingan maraton perahu layar yang diadakan kesembilan kalinya sejak tahun 1995 ini merupakan sebutir kebanggaan tersendiri bagi para pelaut tradisional daerah Mandar: Bukan hanya menang lomba, berpartisipasi saja sudah merupakan sebuah kehormatan tak ternilai bagi masing-masing pemilik perahu, para awaknya, bahkan seisi kampung asalnya. Mengadakan sebuah lomba bagi nelayan tradisional tak dapat


154

muhammad ridwan alimuddin

dibandingkan dengan mempertandingkan olahragawan profesional. Jelas, tak mungkin mengharapkan bahwa para nelayan dapat me­ ning­galkan pekerjaan mereka selama sebulan tanpa menyediakan ‘pengganti’ kehilangan nafkah yang tak lagi dapat mereka cari selama menyiapkan perahu dan mengikuti lomba. Maka, sejak Sandeq Race pertama penyelenggara berusaha untuk menyediakan segulung kain layar baru, sepikul beras serta sejumlah uang yang dimaksudkan untuk mempersiapkan perahu dan membekali para peserta dan keluarganya selama mengikuti lomba – bahkan, rokok, salah satu bagian terpenting dalam ‘bekal tradisional’ sebuah perahu, tak luput juga dari perhatian panitia. Dan, biar yang paling akhir melewati garis finis masih dikaruniai hadiah yang setimpal dengan biaya persiapan perahu dan kehilangan pendapatan selama tak melaut untuk mencari ikan. Cara penilaian lomba pun berbeda dari lomba layar modern: Berdasarkan peraturan lomba sandeq tradisional, maka masingmasing perahu diberikan poin sesuai dengan urutan masuk di masing-masing finis etape; poin-poin itu dijumlahkan, sehingga peserta yang sempat mengumpulkan jumlah poin terendah sampai etape akhir menjadi pemenang. Pada Sandeq Race 2006 armada ke48 peserta selama empat etape dibagi dalam dua kelompok yang diundi ulang setiap hari—bila tidak, sebuah perahu yang, misalnya, kalah tiga kali karena alasan teknis tak lagi berkesempatan ‘mem­ buru’ ketinggalannya terhadap teman-temannya karena jumlah poin yang dikumpulkannya terlalu besar. Untuk menghindari baik kekalutan puluhan perahu berukuran besar di areal persiapan lomba maupun kemungkinan ‘mencuri start’, maka start etape-etape diadakan ‘secara Le Mans’: Buritan perahu-perahu ditarik sampai ke atas pinggir pantai, dan hanya dua atau tiga pelayar dijinkan memegangnya, sementara temantemannya diwajibkan menunggu tanda start di daratan, beberapa


sandeq perahu tercepat nusantara

155

meter di belakang perahu mereka. Pada waktu malam pun, perahuperahu pelomba biasanya dinaikkan ke darat untuk menjaga kemungkinan hanyutnya maupun menghindari penyerapan air ke dalam lambung: Semakin ringan perahunya, semakin laju pula ia di lapangan lomba. Maka, perlu memilih lokasi-lokasi persinggahan etape dengan memperhatikan topografi pantai dan lautnya agar cukup luas untuk ‘mendaratkan’ perahu-perahu peserta dan pem­ bentukan ‘garis start’ serta—dan ini yang mungkin paling penting— tak terhalang olah karang dan gosong agar perahu-perahu dapat masuk-keluar tanpa halangan. Kisah Perjuangan Sandeq Dilepaskan pagi hari tanggal 17 Agustus oleh Pejabat Semen­ tara Gubernur Sulawesi Barat di Kota Mamuju, ke-48 peserta pada etape pertama melewati suatu daerah yang terkenal teduh, sehingga terpaksa membantu daya dorong layarnya dengan men­ dayung—alhasil, sebagaimana sudah diperkirakan sebelumnya, perahu-perahu yang ringan dan yang berukuran agak kecil sempat melaju ke posisi-posisi depan. Etape ini dimenangkan oleh perahuperahu baru: Pada kelompok merah Ikan Terbang dan Teluk Mandar menempati posisi pertama dan kedua, sementara pada kelompok putih Masya Allah dan Jabal Nur mengambil juaranya. Perahu favorit bertahun-tahun, Arawungan Ratu Pantai, hanya sempat memosisikan dirinya pada urutan ketiga kelompok putih, sementara sebuah perahu baru lainnya, Sa’be Mandar, mengambil juara tiga pada kelompok merah. Perahu-perahu unggulan seperti Lincah (juara satu tahun 2003), Bintang Tangnga-Tangnga (pemenang tahun 1995 dan juara dua tahun 2001) atau Sinar Losari (pemenang Sandeq Race 2004) hanya sempat mengakhiri etape ini pada urutan enam, delapan dan sembilan di masing-masing kelompoknya; bahkan, perahu Sempati/Wana Lestari (pemenang tahun 2002) masuk finis pada


156

muhammad ridwan alimuddin

posisi 18. Tiga perahu, Bura’ Bakko, Columbus dan Sinar Bersama, terpaksa didenda 5 poin karena ‘memotong jalan’ dengan tidak melewati tanda putar lepas Tanjung Rangas Mamuju. Meski bagian pertama etape kedua dari Malunda ke Majene lagi diwarnai kekurangan angin, mulai dari Teluk Somba anginnya semakin bertambah; antara Teluk Pamboang dan Tanjung Rangas Majene armada sandeq bahkan kena angin foehn yang bertiup dalam gusts berkekuatan sampai BFT 7. Akibatnya, sembilan perahu kena berbagai kerusakan dan terpaksa ditonda ke garis finis di pelabuhan Majene—di antaranya juga pemenang kelompok merah pada etape pertama, Ikan Terbang, yang rusak balok pemegang kemudinya. Salah satu perahu lain, Manakarra, memilih mundur karena jumlah awaknya tak cukup untuk bersaing dengan pesertapeserta lain serta dukungan pengurusnya yang tak memadai. Etape ini dimenangkan oleh Teluk Mandar (kelompok merah) dan Bintang Tangnga-Tangnga (kelompok putih), diikuti oleh Sempurna dan Masya’allah pada posisi kedua serta Sayang Mitia dan Cinta Arafah sebagai juara ketiga. Lomba segitiga di Majene pada tanggal 19 Agustus ternyata hanya diikuti oleh delapan perahu: Karena hasil lomba ini tidak dihitung dalam penilaian etape-etape ‘lomba besar’ MamujuMakassar dan angin tetap bertiup dengan cukup kencang, maka sebagian besar peserta memilih tidak mengambil risiko bagi perahu mereka dan memperbaiki berbagai kerusakan yang terjadi pada hari sebelumnya atau beristirahat. Bagaimanapun, untuk memancing animo para pelaut, para pejabat yang hadir, antara lain Sekretaris Propinsi Sulawesi Barat dan Bupati Majene, menaikkan hadiah utamanya menjadi lima juta Rupiah—jadi, yang tak sempat me­ nyiapkan perahunya untuk berlomba pada hari itu akhirnya menyesalinya. Disaksikan oleh ribuan penonton sepanjang pantai Kota Majene, lomba segitiga yang berlangsung pada cuaca cerah dan angin kencang sangat sengit; bahkan, salah satu perahu peserta,


sandeq perahu tercepat nusantara

157

Nur Madinah, hampir terbalik ketika melewati tanda putar di depan pantai Majene dan hanya dapat ditegakkan kembali setelah hanyut selama beberapa menit dalam keadaan terbaring di atas laut. Sebagai pemenang tercatat Arawungan Ratu Pantai, diikuti oleh Indah dan Lincah. Hari istirahat itu digunakan dengan sebaik-bainya oleh pesertapeserta yang rusak perahunya: Pada start etape Majene-Polewali ternyata hanya dua perahu, Manakarra yang sudah mundur pada bagian awal etape Malunda-Majene dan Columbus tidak hadir dalam garis start, sementara semua peserta lain telah sempat mem­ perbaiki kembali tiang, bom layar, cadik dan kemudi mereka yang rusak pada tanggal 18/08. Bagaimanapun, angin dan ombak di laut terbuka Teluk Mandar yang semakin bertambah kembali ‘memakan korbannya’, sehingga sekitar 60% dari armada pelomba mengalami pelbagai kerusakan kecilbesar pada etape ini. Bahkan, pada perahu pemenang etape kelompok putih, Teluk Mandar, kepala kayu peng­ hubung katir-cadik, tadiq, patah, tetapi sempat diperbaiki di lautan —dan meski ‘terluka’, perahu itu sempat mendahului bukan hanya semua peserta kelompoknya, tetapi juga sembilan (!) perahu dari kelompok merah yang berangkat dari Majene 45 menit sebelum kelompok putih. Pada malam hari 20/08 masih ditunggu tibanya 13 perahu di pelabuhan Polewali, di antaranya DKP Polman/Rezki Bakia, juara empat pada etape sebelumnya dan salah satu perahu peserta yang sejak 1995 ikut dalam Sandeq Race dengan belum pernah mengalami kesulitan teknis. Paling banyak dari perahu-perahu yang berkecelakaan itu masuk dalam kelompok putih yang pada pagi hari berangkat sebagai ‘gelombang kedua’, sehingga terkena angin dan ombak ganas yang berpuncak pada waktu sebelum siang di perairan Karama-Pambusuang-Tanjung Buku. Untunglah sampai waktu malam terdapat berita bahwa semua peserta tersebut


158

muhammad ridwan alimuddin

dengan selamat mencapai kampung-kampung pesisir, dan beberapa dari perahu yang terkena berbagai kesulitan teknis seperti tiang, bom layar, cadik dan kemudi yang patah itu dilaporkan sedang mengusahakan perbaikan seperlunya agar dapat mengikuti kembali lomba pada esok harinya. Salah satu perahu yang bernasib seperti ini adalah Sinar Nusantara: Setelah sempat menggantikan tiang yang patah pada etape Malunda-Majene, tiang barunya pun patah pada etape ini, dan—seolah-olah belum cukup—beberapa papan lambung buritan berbuka sehingga perahu kemasukan air. Meski begitu, para awaknya sempat memperbaiki semua kerusakan itu pada waktu malam dan tetap ikut kembali sampai ke finis di Makassar. Sinar Losari dan Putera Sinar Losari yang dua-duanya sudah mengalami terpatahnya tiang pada etape sebelumnya, pada etape ini kembali lagi kena nasib yang sama—akan tetapi, oleh karena hanya satu batang tiang pengganti masih tersedia di kampung asal mereka, maka hanya sang Putera sempat diperbaiki untuk melanjutkan ke etape-etape berikutnya. Angin kencang dan ombak tinggi memang menguji jiwa spor­ tifnya para peserta pada etape ini: Pada, misalnya, Usaha Baru patah bambu pemegang pattimbang ketika melewati tanda start lepas Majene, dan patahan bambu mengenakan lengan salah satu awak yang sedang berada di katir perahu; meski berluka dalam (pada malam hari di Polewali luka itu dijahit dengan sembilan jahitan!), ia tetap meneruskan berlayar sampai finis etape ini. Pada kelompok merah etape ini dimenangkan oleh Masya Allah, diikuti Arawungan Ratu Pantai dan Bintang Tangnga-Tangnga; di kelompok putih Sempurna dan Bura’ Bakko menempati juara dua dan tiga setelah Teluk Mandar. Dengan ini, sampai etape Majene—Polewali Masya Allah dan Teluk Mandar memimpin klasemen sementara lomba dengan masing-masing 4 poin, diikuti


sandeq perahu tercepat nusantara

159

oleh Sempurna (10 poin), Bintang Tangnga-Tangnga (12 poin) dan Arawungan Ratu Pantai (15 poin). Lima perahu, DKP Polman, Bina Bahari, Sinar Laut Pratama, Sinar Losari dan Salendang terpaksa mengundurkan diri sebab kerusakan yang dialaminya tak lagi dapat diperbaiki; dua perahu lain, Sandeq Nusantara dan Putera Sinar Losari, meminta didiskors pada etape berikutnya untuk mengusahakan perbaikan agar dapat ikut lagi pada etape kelima, sementara lima perahu lain yang tak mencapai finis Polewali sempat diperbaiki pada malam hari dan tetap berada di antara para kontestan yang esoknya melanjutkan lomba ke Ujung Lero. Meski berangkat dalam keadaan teduh ke Ujung Lero pada pagi hari 21/08, selepas pulau-pulau yang melindungi pelabuhan Polewali maka para peserta lagi dihantam angin timur yang tetap kencang—alhasil, pada sore hari lima di antara ke-39 kontestan terpaksa ditonda masuk finis di Tanjung Lero. Yang mungkin paling tidak beruntung adalah Cahaya: Setelah pada dua etape sebelumnya mengalami kesulitan pada kemudi dan cadik, lepas Langga tiangnya patah ketika kena tiupan angin kencang; bagaimanapun, pada malam hari di Ujung Lero para awak ‘meminjam’ tiang baru dan meneruskan berlomba, meski dari posisi paling akhir. Setelah dihantam ombak tinggi terus-menerus, bagian buritan Kuda Laut rusak berserakan sehingga seluruh lambung perahu goyang, sementara Nur Madinah dan Ikan Terbang mengalami kesulitan pada lambung perahu. Bagaimanapun kerusakannya, semua peserta ini sempat memperbaiki perahu mereka dan tetap meneruskan lomba sampai ke Makassar. Etape keempat ini dimenangkan oleh Sempurna (kelompok merah) dan Masya Allah (kelompok putih). Nurul Aswad dan Bura’ Bakko ikut pada posisi dua dan tiga pada kelompok merah, sementara prestasi yang mengagumkan dicatat oleh Cinta Bahari: Meski terpaksa menggantikan tadi yang patah pada etape ke


160

muhammad ridwan alimuddin

Polewali dan cadiknya retak pada lomba ke Ujung Lero, ia masih sempat meraih juara dua kelompok putih; Teluk Mandar ambil juara tiga pada kelompok itu. Dengan jumlah poin 5, Masya Allah memimpin klasemen sementara sampai etape itu, diikuti oleh Teluk Mandar dengan 7 dan Sempurna dengan 11 poin. Bintang TangngaTangnga pada posisi keempat sudah mengumpulkan 17 poin—jadi, pada saat itu sudah agak nampak bahwa—bila tiada hambatan yang tak terduga—kemenangan Sandeq Race 2006 akan jatuh pada salah satu dari tiga perahu pemimpin klasemen ini. Meski begitu, jumlah poin Lincah (20), Arawungan Ratu Pantai (22), Nurul Aswad (25), Jabal Nur (26) dan Bura’ Bakko (27) pada saat itu amat berdekatan, sehingga persaingan atas juara-juara berikutnya masih sangat terbuka. Mengalahkan Perahu Eropa Seperti di Majene, di Ujung Lero diadakan kembali sebuah lomba segitiga yang tidak masuk dalam penghitungan ‘lomba besarnya’—dan setelah pengalaman di Majene, ternyata 11 perahu bersedia ikut untuk merebut uang hadiah sejumlah Rp 6 700.000.-. Seperti di Majene, lomba segitiga yang trayeknya tiga kali memutari Teluk Pare-Pare disaksikan oleh ribuan penonton dari Ujung Lero dan pantai Pare-Pare; dimotori oleh angin barubbu (angin foehn timur lokal) yang bertiup dengan kencang terutama dekat pantai Pare-Pare maka kegiatan lomba berlangsung dengan sangat seru. Masya Allah sekali lagi sempat membuktikan keunggulannya dan menang dengan jarak yang cukup jauh dari Indah dan Arawungan Ratu Pantai, juara kedua dan ketiga. Pada etape berikutnya ke Sumpangbinangae, Barru, armada peserta tak lagi terbagi dalam dua kelompok, tetapi penghitungan poin dilakukan untuk keseluruhan field kontestan. Trayek ini berdekatan dengan pantai Pulau Sulawesi yang melindunginya dari ombak, sehingga perahu dapat melaju tanpa hambatan—selama


sandeq perahu tercepat nusantara

161

angin tidak berputar-putar antara barubbu dan angin laut. Maka, pilihan taktik haluan menentukan kemenangan pada etape ini: Para peserta harus memilih antara berlayar berdekatan dengan pantai untuk mengharapkan turunnya angin foehn atau mengarahkan perahunya agak ke arah laut untuk lebih cepat mendapatkan ‘angin balik’, angin laut yang pada waktu siang sering menggantikan barubbu. Ternyata, pada tahun ini taktik berlayar berdekatan dengan pantai adalah pilihan terbaik dan menguntungkan perahuperahu yang selama ini berada di urutan menengah: Sa’be Mandar, pemenang etape ini yang sebelumnya berada di posisi 13, dengan seluruhnya 33 poin naik ke posisi 6 dalam klasemen lomba, sementara Lindo-Lindo Mariri yang menjadi juara kedua naik dari posisi 15 ke posisi 9 dengan jumlah 37 poin; Masya Allah sebagai juara tiga sempat mempertahankan kepemimpinannya di overall ratings dengan seluruhnya 8 poin. Sempurna yang masuk di Barru pada urutan ketujuh menjadi pemegang posisi kedua di klasemen sementara dengan jumlah poin 18, mendahului Teluk Mandar yang hanya mencapai urutan ke-20 pada etape ini, dan kini dengan 27 poin berada di posisi ketiga perhitungan keseluruhan, hanya dua poin di depan Bintang Tangnga-Tangnga dan tiga poin dari Lincah. Arawungan Ratu Pantai dan Nurul Aswad yang mengambil haluan ke laut dan bahkan masuk pelabuhan Sumpangbinangae dari arah luar Pulau Panikiang hanya menjadi juara etape ke-26 dan ke-23, turun dari urutan keenam dan kedelapan dalam klasemen sementara ke posisi 15 dan 16. Dengan hasil etape ini, Masya Allah dan Sempurna menguatkan posisinya sebagai calon terkuat atas kemenangan keseluruhan lomba, sementara pertandingan atas urutan-urutan berikutnya menjadi sangat terbuka—etape ke Makassar mesti men­ jadi penentunya. Etape terakhir itu melewati suatu daerah penuh karang dan gosong, sehingga pemilihan haluan menjadi penentu kemenangan­ nya. Alhasil, setelah melewati Pulau Putiangin, armada ke-41 peserta


162

muhammad ridwan alimuddin

‘pecah’ dalam beberapa kelompok yang masing-masing mencari haluan yang diharapkan akan menguntungkan: Semakin dekat pantai, haluan perahu dihalangi oleh semakin banyak karang dan gosong, meski kemungkinan datangnya angin foehn yang sangat menguntungkan di kawasan yang terlindung dari ombak itu dapat menjadi kunci pemenangan—di sebelah Barat jalur pelayaran lebih terbuka dan kemungkinan datangnya dini angin laut bisa menjadi keuntungan menentukan ketika mendekati bagian akhir etape ini, tetapi jalannya pun menjadi semakin panjang dan angin laut yang menjadi harapan dapat diperlambat oleh adanya barubbu di sebelah timur. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ternyata tahun ini angin barubbu bertahan sampai ke perairan Maros, sehingga perahuperahu yang memilih haluan paling dekat pantai diuntungkan— sementara peserta yang mengarah ke sebelah Barat agak terhalang oleh lambatnya kedatangan angin laut. Kelompok tiga perahu yang sejak memasuki perairan Pangkajene memilih jalur paling Timur, Sayang Mitia, Jabal Nur dan Cinta Bahari, mengambil ketiga juara etape ini, diikuti sekelompok perahu yang setelah melewati Tanjung Tua mengambil ‘jalan tengah’. Ternyata, dalam kelompok kedua itu terdapat sebagian dari para favorit, termasuk Masya Allah yang melewati garis finis etape pada urutan keempat, dan Teluk Mandar yang menjadi pemenang juara lima etape ini. Dengan ini, Masya Allah dengan seluruhnya 12 poin menjadi pemenang gemilang lomba Sandeq Race 2006, 20 (!) poin di depan peserta berikutnya: Sempurna yang pada etape sebelumnya masih berada pada posisi kedua dalam klasemen sementara lomba ternyata memilih haluan di sebelah Barat dan baru dapat masuk Makassar pada urutan 14, sehingga kehilangan lead terhadap pesaing terdekatnya, Teluk Mandar – jadi, kedua perahu tersebut mengambil juara umum kedua dengan masing-masing 32 poin. Bintang Tangnga-Tangnga pun, di Barru masih pada posisi empat klasemen sementara, mengharapkan


sandeq perahu tercepat nusantara

163

angin laut di haluan sebelah Barat dan memasuki Makassar sebagai peserta ke-18; alhasil, dengan 47 poin dalam penghitungan umum ia akhirnya didahului Lincah (urutan keenam di Makassar dan 36 poin dalam klasemen) dan Jabal Nur dengan 39 poin. Pada hari esoknya, para peserta diberikan sehari istirahat —sebelum diminta berlomba lagi melawan kapal layar pesiar modern dalam rangka Makassar Friendship Challenge pada tanggal 26 Agustus. Lomba persahabatan itu diikuti seluruh armada sandeq serta empat kapal layar pesiar asal mancanegara – dan karena nama­ nya ‘Friendship Challenge’, maka baik para pelayar asing maupun para passandeq dimintai untuk ‘tukar’ beberapa anggota masingmasing krunya. Ternyata, pelaut Mandar yang mengikuti kapal layar modern dengan cepat mengerti cara membawanya, dan dua kapal modern sepanjang lomba dikemudikan oleh nelayan tradisional itu; sebaliknya, pelayar asing yang ikut di atas sandeq agak berkesulitan menguasai kemudi perahu lomba tradisional ... dan, herannya atau tidak, tak satu pun kapal layar modern sempat mendahului perahu-perahu sandeq: Ketika berlayar berdekatan dengan angin ke Pulau Samalona yang ditentukan sebagai tanda putar lomba maka kapal-kapal modern itu dapat menyeimbangi kecepatan perahu sandeq berkat adanya centreboard yang mengurangi gesernya lambung—pada haluan turut dengan angin ke Pelabuhan Makassar, semua perahu tradisional dalam waktu yang sangat singkat mendahului dan melaju jauh ke depan kapal-kapal layar modern itu. Bahkan, sebuah kapal trimaran, kendaraan layar paling mutakhir, yang ikut dalam lomba itu didahului oleh semua sandeq, termasuk Cahaya yang mengalami kesulitan dengan bom layarnya. Pemenang lomba ini adalah Arawungan Ratu Pantai, diikuti Masya Allah dan Cinta Arafah. Sekali lagi, para peserta “Lomba Perahu Tradisional Terpanjang, Terberat dan Tercepat di Dunia” membuktikan mengapa mereka memegang gelar ini.


16. Cerita di Balik Penyerahan Hadiah

Saya, Horst, dan beberapa panitia kalut bukan main menjelang penyerahan hadiah. Alasan pertama, panitia setempat, yaitu event organizer (EO) Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari 2006 (FIPOB 2006), membatalkan acara penyerahan hadiah kepada para pemenang Sandeq Race 2006. Alasan mereka, para menteri yang hadir harus segera balik ke Jakarta. Wah, harus dihadapkan muka kami bila bertemu para passandeq? Alasan kedua, uang yang dijanjikan oleh event organizer (sebagai EO, terhadap panitia Sandeq Race 2006, mereka mewakili sponsor utama untuk memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi pemasangan logo perusahaan di layar-layar sandeq) tidak kunjung diserahkan. Padahal uangnya tidak sedikit alias uang hadiah untuk para passandeq. Ya, sejatinya semua hadiah sudah ada sebab ditanggung oleh Pemprov Sulawesi Barat, tapi uang itu digunakan dulu oleh panitia untuk menutupi banyak pengeluaran selama pelaksanaan lomba. Kan EO dan beberapa sponsor menjanjikan akan membayarkan (Rahmat Endong Patompo baru membayar dua bulan setelah lomba!). Suasana panas sempat terjadi di posko panitia, Kios Semarang. Uang tak cukup, langkah apa yang harus ditempuh? Pilihannya, panitia menyiapkan hadiah untuk sebagian peserta dulu, yaitu mulai dari poin terbesar (juara terakhir) hingga ke atasnya. Didapat, sebagian besar peserta bisa ditutupi hadiahnya, yaitu juara 8-40. Hanya juara-juara atas yang tak ada uang cash-nya “saat ini�. Syukurlah sandeq Masya Allah yang menang. Dengan kata

164


sandeq perahu tercepat nusantara

165

lain, hadiah untuk sandeq Masya Allah bisa dialihkan ke tangan Gubernur Sulawesi Selatan yang mensponsori satu layar (Rp 25 juta) tapi belum membayar. Masalahnya, semua uang (Rp 25 juta) dibayarkan ke sandeq Masya Allah padahal uang hadiah untuk juara umum satu adalah Rp 15 juta. Artinya, ada tambahan Rp 10 juta yang diberikan ke sandeq Masya Allah yang seolah-olah dikatakan sebagai bonus dari gubernur. Ah, panitia tambah kekuarangan uang! Kan juga tidak mungkin meminta uang lebih itu ke sandeq Masya Allah. Karena suasana sudah amat kacau, sebab proses penyerahan hadiah bukan kami yang tangani dan uang hadiah yang dijanjikan tak kunjung diberikan, panitia menempuh cara: saya, dengan di­ kawal beberapa marinir, diutus ke lokasi acara (saat itu sudah berlangsung acara formal di Pantai Losari yang dihadiri beberapa menteri) menemui staf dari Kementrian Pemuda dan Olahraga, Syafri Burhanuddin (sebagai penanggung jawab FIPOB 2006) yang duduk dibarisan paling depan bersama para menteri, untuk menyerahkan uang hadiah (yang tak cukup). Uang harus diserahkan sebab panitia festival-lah yang bertanggung jawab atas banyak permasalahan di Makassar. Asumsi kami, setelah uang diserahkan, tanggung jawab kami (dalam hal uang hadiah) telah lepas. Agar terbukti uang telah ada di tangan penanggung jawab acara, seorang volunteer asing menga­ badikan/memotret “Kantongan plastik berisi hadiah telah ada di tangan Pak Syafri”. Langkah ini amat berisiko. Ya, kan hadiah tak cukup jadi apa yang harus diserahkan kepada para passandeq? Lalu, di mata para passandeq, yang bertanggung jawab adalah kami, bukan mereka (Panitia FIPOB 2006). Setelah menyerahkan uang, panitia memilih menyaksikan acara puncak FIPOB 2006 (yang isinya hanya tari-tarian dan kata sam­


166

muhammad ridwan alimuddin

butan menteri) dari jauh. Yaitu di pinggir pantai, tak jauh dari tempat para passandeq berkumpul di bawah tenda. Hati kacau bukan main sebab kami sudah tahu tak ada acara penyerahan hadiah di puncak acara festival tersebut. Singkat cerita, setelah acara selesai, kami menemui Pak Syafri untuk meminta tanggung jawabnya. Pak Syafri pun menjanjikan akan segera mengu­sahakan uang. Beberapa lama kemudian, menjelang sore, uang untuk menutupi hadiah didapatkan. Masalahnya, moment penting untuk penyerahan hadiah telah terlewatkan. Tentu kami dan para pemenang Sandeq Race 2006 kecewa! Atas inisiatif Panitia Sandeq Race 2006, kami membuat acara penyerahan hadiah tersendiri, yaitu di depan panggung. Ya, memang amat sederhana dan terlihat seadanya, tapi jujur saya pribadi akui, acara amat mengharukan dan ada ironi! Di situ terlihat, betapa orang-orang asing lebih menghargai dan memberi apresiasi terhadap pelaut Mandar daripada para pejabat dan orang-orang Indonesia sendiri. Ya, beberapa pelaut dan turis yang datang ke Makassar bersama perahu-perahu pesiarnya atas inisiatif sendiri meluangkan waktu untuk menyaksikan penyerahan hadiah. Mereka amat bangga menjadi pemberi hadiah kepada para passandeq. Belakangan, oleh beberapa oknum yang hanya melihat per­ soalan dari permukaan saja, moment penyerahan hadiah itu diang­ gap sebagai pelecahan kepada pelaut Mandar! Alasannya, “Koq diserahkan di bawah panggung? Koq bukan oleh pejabat?”. Maka tersebarlah ungkapan keluhan dan kekecawaan yang isinya “Jika Horst lagi yang memegang Sandeq Race, jangan ikut lagi sebab dia telah melecehkan pelaut Mandar”. Jelas saya, baik sebagai panitia, peneliti sandeq, dan orang Mandar yang terlibat dalam Sandeq Race 2006, kecewa atas per­ nyataan tersebut. Bahwa kami dianggap telah melecehkan para passandeq. Mereka tak melihat apa yang terjadi di belakang


sandeq perahu tercepat nusantara

167

layar. Bahwa ada kesepakatan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, antara Panitia Sandeq Race 2006 dengan Panitia FIPOB 2006. Sekedar catatan, pembicaraan yang telah disepakati adalah untuk acara penyerahan hadiah pemenang Sandeq Race 2006 dilangsungkan di puncak acara FIPOB 2006 yang notabene adalah urusan panitia festival. Walau demikian, panitia tidak lepas tangan. Makanya ada penyerahan hadiah “darurat” meski itu di depan panggung, meski amat bersahaja. Pun tidak bijak jika kami bentrok dengan panitia festival di depan menteri dan mencak-mencak “Koq tak ada penyerahan hadiah Sandeq Race 2006 di acara ini?”. Terus terang, kami pun kecewa atas tiadanya penyerahan hadiah. Dan tidak adanya acara penyerahan hadiah di atas pang­ gung bukan hal yang sengaja panitia Sandeq Race 2006 lakukan. Logikanya ada di mana? Sejak dari Malunda sampai Barru panitia Sandeq Race 2006 selalu mengundang pemenang etape untuk naik panggung menerima hadiah. Dengan kata lain, pemenang etape saja kami buatkan acara penyerahan hadiah di atas panggung, apalagai pemenang lomba keseluruhan? Dengan kalimat lain, penyerahan hadiah di Makassar di luar kuasa Panitia Sandeq Race 2006. Sekali lagi, ada pihak lain yang memegang tanggung jawab lebih besar untuk acara di Makassar, yaitu event organizer Surya Salura Mandiri (SSM), dari Jakarta. Dan perlu diketahui, EO ini tak ada hubungannya dengan kesukuan. Kami katakan demikian sebab ada banyak suara yang mengatakan bahwa “Orang Makassar telah menyudutkan orang Mandar”. Bukan itu yang terjadi. Isu itu yang dihembuskan oleh pihak yang tak tahu menahu persoalan dan berpikiran sempit. Juga perlu kami perjelas, pelaksanaan Sandeq Race 2006 lalu tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari acara FIPOB 2006. Festival tersebut ditangani oleh SSM yang bertugas mencari


168

muhammad ridwan alimuddin

sponsor dan membiayai kegiatan-kegiatan festival, termasuk Sandeq Race 2006. Khusus pembiayaan Sandeq Race 2006, memang tidak semuanya ditangani oleh SSM tetapi juga dibantu oleh panitia Sandeq Race 2006 sendiri. Yang jadi masalah, uang yang seharusnya diserahkan SSM (sebab merekalah yang berhubungan langsung dengan sponsor utama FIPOB, yaitu rokok Sampoerna yang telah diberikan dua space ikan di layar sandeq) ke panitia Sandeq Race 2006 sesen pun tak ada! Beda dengan Sandeq Race–Sandeq Race sebelumnya, di mana Sandeq Race berdiri sendiri sebagai sebuah kegiatan. Berdasarkan pengalaman tahun 2006 lalu, pelaksanaan Sander Race 2007 mendatang akan kembali pada model pelaksanaan semula, yaitu ditangani sendiri oleh panitia Sandeq Race, mulai dari pengusahaan dana hingga penyerahan hadiah di Makassar. Dengan cara se­ma­ cam ini, kami sebagai panitia akan legowo menerima masukan, keluhan, dan kritikan dari banyak pihak bila ada kesalahan dan kekeliruan atas semua proses acara. Ya, tidak apa-apa, kan kami yang bertanggung jawab.


17. Sekilas Pendanaan

Ikhtisar pendapatan dan pengeluaran Sandeq Race 2006 yang rinciannya terdapat dalam Laporan Sandeq Race 2006 mengikuti pospos biaya pada proposal pendanaan yang diajukan penyelenggara pada akhir tahun 2005. Ternyata biaya yang diajukan di dalam proposal (akhirnya) tidak sesuai sebab ada kenaikan beberapa item, yaitu naiknya harga solar, beras, dan bahan-bahan lain. Ini menyebabkan proyeksi pembiayaan Sandeq Race 2006 tak bisa dipertahankan. Selain itu, jumlah dana yang sempat dikumpulkan penyelenggara tak mencukupi untuk mengadakan semua hal yang direncanakan. Alhasil, sekian banyak poin yang tercatat dalam proposal awal tak diadakan atau dikurangi. Sebagai gambaran awal, uang cash yang diterima Sandeq Race 2006 adalah Rp 593.280.000 (yang dianggarkan di proposal Rp 927.900.000). Adapun pengeluaran sebesar Rp 599.151.800 alias minus Rp 5.871.800. Sponsoring Sandeq Race 2006 tak memadai. Meski lomba ini meru­ pakan media promosi internasional yang sangat jauh jangkauannya bagi kedua propinsi dan kabupaten-kabupaten terlibat, hanya Provinsi Sulawesi Barat dan Pemerintah Kota Makassar bersedia untuk mendukung acara ini dengan sepenuhnya, sementara du­ kungan –terutama- Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali

169


170

muhammad ridwan alimuddin

Mandar yang notabene menjadi lokasi utama pengadaan lomba jauh dari harapan penyelenggara. Bahkan, Provinsi Sulawesi Selatan hanya pada saat-saat terakhir menjanjikan bantuan finan­ sial, tetapi tidak akhirnya juga tidak menyerahkannya kepada penyelenggara, sehingga bukan hanya efek promosinya, tetapi pemenang lomba yang diraih perahu yang membawa logo Sulawesi Selatan ini menjadi keuntungan sepihak bagi Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Hal yang sama berlaku bagi dukungan pemerintah pusat: Hanya penyelenggara utama Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari (FIPOB) 2006, yaitu Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga, serta Departemen Kelautan dan Perikanan bersedia menjadi sponsor, sementara Departemen Budaya dan Pariwisata sama sekali tak menyediakan kontribusi bagi acara yang sejak 1995 mempromosikan bidang pariwisata budaya dan olahraga bahari Indonesia secara internasional ini. Peran swasta pun tidak memuaskan: Meski Sandeq Race 2006 menjadi salah satu acara utama dalam FIPOB 2006 dan menikmati media coverage yang amat luas, minat sponsor swasta amat kurang. Sekian banyak sponsor awasta hanya memenuhi janjinya setelah diperingati berulang kali—bahkan, keterlambatan pelunasan ini menyebabkan masalah pada saat penyerahan hadiah lomba (baca tulisan sebelumnya); sebagian dana sponsorship tidak diserahkan kepada tim penyelenggara yang akhirnya merugi. Selain beberapa item promosi yang jauh dari standar Sandeq Race 1999—2000, sponsor utama FIPOB bahkan tidak menyediakan sesen pun dana secara langsung bagi tim penyelenggara Sandeq Race 2006! Berikut rincian pemasukan (setidaknya sampai November 2006 ketika laporan resmi dibuat): Pemprov. Sulawesi Barat Rp 364.900.000, Kementrian Pemuda dan Olahraga Rp 63.100.000,


sandeq perahu tercepat nusantara

171

Kabupaten Mamuju Rp 25.000.000, Kabupaten Majene Rp 25.000.000, Kabupaten Polewali Mandar Rp 25.000.000, Univer足 sitas Hasanuddin Rp 10.000.000 (catatan: beberapa mahasiswa Unhas membantu penyelenggaraan dan Unhas bukanlah lembaga komersil; apresiasi atas hari ulangtahun Unhas), Hotel Imperial Aryaduta Rp 5.880.000 (catatan: tidak membayar penuh karena dijanjikan akan memberikan fasilitas hotel untuk acara malam dana dan jumpa pers, tapi EO SSM tidak memanfaatkannya), Pemuda Pancasila MPW Sulawesi Barat Rp 25.000.000, Dahri Yasin, SH (anggota DPRD Kalimantan Timur) Rp 24.000.000 (seharusnya Rp 25.000.000 tapi ada Rp 1.000.000 yang diambil oleh penghubung antara panitia dengan Dahri Yasin, SH.). Kekurangan dari Rp 593.280.000 diterima belakangan, yaitu dari Rahmat Endong Patompo atau PT Timurama, dari Gubernur Sulawesi Selatan (yang diserahkan langsung ke sandeq Masya Allah), PT Indosky, dan DKP. Beberapa pendukung Sandeq Race 2006 yang tidak memberikan uang cash tetapi memberi dukungan lain adalah harian Radar Sulbar dan Kompas (keduanya sebagai media partner), Kota Makassar (yang menyiapkan fasilitas perkantoran), organisasi Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (yang mengurus secara penuh lomba jolloroq di Makassar), TNI Angkatan Laut, Bapak Tashan Burhanuddin, dan lain-lain. Adapun rincian pengeluaran, tidak dicantumkan di sini karena begitu banyaknya item-item. Bagi yang memerlukan, bisa meng足hubungi langsung panitia Sandeq Race 2006/2007 (hp: 081355432716).


18. Sandeq Race 2007, Sandeq Race ke-10

Sandeq Race 2007 kurang tiga bulan lagi, waktu yang akan tak terasa dan amat singkat baik bagi panitia maupun para pelayarpelayar Mandar yang tangan dan kakinya sudah gatal, ingin segera memegang sabir guling (pegangan kemudi), ingin segera menarik tali baya-baya (tali bom layar), ingin segera bergelantungan di tali timbang, dan ingin segera menari atas putihnya sandeq, di atas gemulainya palatto (cadik). Sandeq Race 2007 nanti Insya Allah adalah Sandeq Race ke-10 yang kami tangani dan diharapkan menjadi persembahan terbaik bagi posasiq Mandar, masyarakat Mandar dan masyarakat dunia. Yang terakhir adalah harapan utama, sebab ada kemungkinan Sandeq Race 2007 nanti adalah Sandeq Race terakhir yang kami tangani: Penyebutan nama di sini tidak berarti bahwa kami satusatunya pihak yang menyelenggarakan Sandeq Race selama ini. Ada banyak pihak, khususnya dukungan pelaut-pelaut Mandar yang bisa terlibat dalam penyelenggaraan lomba. Walau demikian, itu tidak berarti kegiatan Sandeq Race akan terhenti. Sudah saatnya Sandeq Race ditangani masyarakat dan pemerintah Sulawesi Barat, menjadikannya sebagai kegiatan utama setiap tahun di bulan Agustus, layaknya pelaksanaan kegiatan lain yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Entah gara-gara Sandeq Race atau tidak, harus diakui, persepsi masyarakat terhadap sandeq jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jika dulunya sandeq hanya dikenal di komunitas

172


sandeq perahu tercepat nusantara

173

pesisir Mandar sebagai perahu semata, sekarang jauh melampaui defenisinya itu sendiri, sebagai perahu dagang dan penangkap ikan. Sekarang simbol sandeq ada di logo Kabupaten Polewali Mandar, logo Provinsi Sulawesi Barat (tapi melihat bentuknya, dia bukan sandeq), ada di logo Pesantren Nuhiyah Pambusuang, nama perusahaan rekaman “Sandeq Record”, nama klub sepakbola, dan lain sebagainya. Pustaka populer dan ilmiah pun sudah sering memuat tentang sandeq baik dalam maupun luar negeri, meski itu terbatas di beberapa kalangan. Tulisan tentang sandeq pernah dimuat di majalah mancanegara Life and Traditions Maritime Edisi No. 5 Tahun 2000 yang ditulis oleh Roger Michael Jonhson “In Search of the Sandeq: The Double Outrigger Canoes of South Sulawesi” dan pernah menjadi laporan khusus di majalah LionMag (majalah yang hanya bisa dibaca di atas pesawat Lion Air) Edisi September 2006 “Adu Laju Tradisi Lawan Zaman”. Ini belum termasuk tulisan-tulisan tentang sandeq atau menyinggung tentang sandeq di internet. Bukan hanya itu, beberapa stasiun TV baik di Indonesia maupun luar negeri pernah membuat film dokumenter tentang sandeq, misalnya Trans TV, Metro TV, Studio UMI Jepang, dan Studi Thalassa Paris. Adapun pustaka ilmiah belum sebanyak media-media populer. Sepengetahuan saya, buku khusus tentang sandeq baru satu, itu pun dicetak seadanya, peredaran terbatas, dan berlangsung satu dekade lalu. Memang tulisan saya “Orang Mandar Orang Laut” juga memuat tentang sandeq, tapi tidak mengkhusus sebab didalamnya juga ada tentang roppo(ng), motangnga, dan tentang pelaut Mandar. Tapi pencapaian-pencapain di atas sepertinya terlalu normatif dan belum maksimal. Buktinya, media-media di Makassar mengang­ gap sandeq adalah jenis perahu pinisi, menganggap sandeq ada dan dibuat di Bugis-Makassar. Saya sendiri tidak tahu persis harus


174

muhammad ridwan alimuddin

memberi persembahan apa terhadap sandeq; harus berbuat apa agar sandeq berada pada posisi idealnya. Sandeq begitu kompleks, dia bukan benda semata. Di balik sandeq ada begitu banyak hal, mulai dari teknik pembuatan, teknik pelayaran, ritual-mistik, tradisi, pengetahuan yang dikandungnya, hingga manusia yang melekat padanya (tukang perahu dan pelayarnya). Tentu ada yang berpendapat, persembahan konkrit sebagai bukti cinta terhadap sandeq adalah ikut mensponsori sandeq di even Sandeq Race, tetap melayarkan sandeq, mengadakan lomba sandeq, meneliti sandeq, membuat film tentang sandeq, menonton Sandeq Race, dan lain sebagainya. Ya, itu adalah manifestasi-manifestasi kesekian. Pembuktian itu benar, sama sekali tidak salah. Yang perlu dilakukan adalah melakukan sinergi pembuktian cinta dan kepedulian terhadap kebudayaan bahari kita, mulai dari sandeq dan bentuk-bentuk kebudayaan bahari Mandar lainnya, hingga manusianya (membantu ekonomi nelayan). Sinergi dibutuhkan, sebab hasil dari sinergi itu amat berkaitan dengan faktor lain. Ambil misal Sandeq Race yang menimbulkan efek domino yang ujung-ujungnya sandeq semakin dihargai. Atau dengan kata lain, sandeq tidak terbantahkan lagi sebagai aikon (icon) Mandar (Sulawesi Barat). Ya, kita sadar-diri bahwa sandeq adalah milik kita, masyarakat Mandar. Tapi itu tidak berarti tugas untuk mengenalkan salah satu unsur kebudayaan Mandar ke mata dunia terhenti; tidak berarti usaha untuk melestarikan wujud sandeq (dan pengetahuan yang menyertainya) terhenti. Jika ini yang menjadi misi, maka sandeq akan terus hidup.


19. Liputan Media Massa

Beberapa hari setelah pelaut Mandar meninggalkan Pantai Losari Makassar, nuansa Sandeq Race 2007 masih terasa. Tidak hanya pembicaraan hangat di kampung-kampung Mandar yang “mengi­rimkan” utusannya mengikuti lomba perahu tradisional terkeras di dunia, melainkan juga pemberitaan-pemberitaan nasional yang gampang diakses masyarakat umum. Ya, mudah disaksikan oleh masyarakat. Dengan kata lain, Sandeq Race atau sandeq sendiri tidak barusan diliput media, tapi kebanyakan media-media internasional, termasuk internet. Saya pribadi pernah melihat artikel sandeq di suatu majalah di Jepang, Horst membawa oleh-oleh dari Jerman artikel kecil tentang sandeq di harian sana (meski beberapa data keliru adanya), dan promosi Sandeq Race yang dilakukan suatu rumah produksi di Jepang. Kembali ke pembicaraan “pemberitaan nasional” di atas. Sandeq Race 2007, tentunya itu tidak terjadi secara tiba-tiba, mendapat perhatian khusus dari media-media arus utama nasi­onal, yaitu harian umum KOMPAS dan stasiun TV SCTV. Baru kali ini media nasional mengirimkan wartawan atau tim khusus untuk meliput Sandeq Race. Sepengetahuan saya, itu belum terjadi. Tapi kita patut bersyukur, koran “lokal-lah”, RADAR SULBAR, yang menjadi pionir media massa cetak yang mengutus khusus wartawannya meliput Sandeq Race. Dan Studio UMI, Jepang untuk rumah produksi (production house) film

175


176

muhammad ridwan alimuddin

dokumenter. Tanpa menafikan pemberitaan media lain, khususnya RADAR SULBAR, FAJAR, dan yang lain, di tulisan ini saya akan memberi apresiasi atas pemberitaan atau liputan Sandeq Race yang dilakukan KOMPAS dan SCTV. Alasannya, khalayak yang membaca atau menonton jauh lebih banyak (baca: menasional). KOMPAS tiga kali memuat artikel Sandeq Race 2007, yaitu 21/8 (Sandeq Race untuk Lestarikan Budaya Nelayan Mandar), 7/9 (Sandeq dan Kearifan Lokal Suku Mandar), dan 9/9 (Sandeq, Jejak Peradaban Nelayan Mandar). Juga ada empat artikel turunan, dikatakan demikian sebab penulisnya sama dan kunjungan di lapangan dilakukan dalam rangka Sandeq Race, yaitu: Tenunan Mandar Tak Luntur Termakan Zaman (3/9), Mandar Berbenah dalam Bingkai Sulawesi Barat (7/9), Makanan Raja-raja Ala Mandar (9/9), dan Kaviar dari Mandar (9/9). Penulis dari artikel-artikel di atas adalah wartawan muda KOMPAS, Agung Setyahadi. Dia seorang pewarta foto. KOMPAS sengaja mengirim pewarta foto agar kehebatan sandeq dapat tere­ kam dalam gambar. Ini bisa kita saksikan di KOMPAS edisi Minggu, 9 September 2007, di mana rubrik “Foto Pekan Iniâ€? bertemakan Sandeq Race. Walau hanya memuat lima foto, tapi pemuatannya satu halaman! Pemuatan beberapa kali, dilakukan dalam waktu berdekatan, dan artikelnya bukan artikel pendek tentu meninggalkan jejak tersendiri di benak pembaca di luar Mandar! Untuk itu, sebagai masyarakat Mandar, kita patur berterima kasih terhadap KOMPAS. Berikutnya SCTV, stasiun TV nasional pertama yang meliput khusus Sandeq race. Ya, memang Metro TV pernah membuat acara dokumenter sebanyak empat episode tentang budaya bahari Mandar, tapi itu tentang ekspedisi perahu bercadik Mandar yang dikira sandeq.


sandeq perahu tercepat nusantara

177

Pada tanggal 3 dan 10 September, setelah Liputan 6 Siang (13.30 WITA), dalam acara dokumenter POTRET, sandeq menjadi tema utama. Episode pertama berjudul SEMANGAT SANDEQ dan kedua PASSANDEQ. Baru kali ini sandeq disiarkan dalam durasi panjang (sekitar 15—20 menit tidak termasuk iklan) di media elektronik nasional. Menariknya lagi, kampung passandeq dijelaskan panjang lebar, dalam hal ini Desa Tangnga-tangnga, Kecamatan Tinambung. Liputan terasa membumi sebab tim dari SCTV memang me­ luangkan waktu khusus, baik untuk riset maupun pendokumen­ tasian Sandeq Race-nya. Itu tergambar dari narasi yang diungkapkan. Ussul, ritual kuliwa, dan acara mappossiq untuk pertama kalinya digemborkan oleh media elektronik. Tapi SCTV hanya meliput sampai etape Polewali yang membuat dokumentasi mereka tentang lomba tidak lengkap (misalnya acara penyerahan hadiah terhadap “aktor” sandeq yang mereka liput, BINTANG SEJARAH, tak mereka miliki). Itu disebabkan, dua kameraman utama mereka diserang penyakit cacar sehingga mereka duluan pulang. Alasan lain, sandeq BINTANG SEJARAH patah tiang layarnya di etape neraka sehingga mempengaruhi proses pendokumentasian. Untung panitia Sandeq Race meminjamkan beberapa hasil dokumentasi sehingga acara POTRET lebih kaya dengan adeganadegan sandeq yang bertarung di laut dan suasana di atas sandeq. *** Ada empat media massa yang bekerjasama dengan Forum Lopi Sandeq untuk menyebarluaskan kegiatan Sandeq Race 2007, yaitu RADAR SULBAR, FAJAR, KOMPAS, dan SCTV (ditandai dengan adanya layar sandeq yang memuat logo media bersangkutan). Semuanya mengirimkan wartawan untuk meliput sandeq. Hanya


178

muhammad ridwan alimuddin

RADAR SULBAR yang meliput dari Mamuju hingga Makassar, FAJAR hanya sampai Parepare, KOMPAS Majene-Parepare, dan SCTV Tinambung-Mamuju-Polewali. Media lain yang juga diberi layar oleh panitia www.panyingkul. com, majalah di internet yang beberapa kali memuat reportase tentang sandeq. Berkat tulisan-tulisan tentang sandeq di www. panyingkul.com, apresiasi dari kalangan intelektual dan budayawan terhadap sandeq mengalami peningkatan. Juga ada media massa lain yang secara langsung bekerjasama dengan panitia tapi mereka tak mendapat imbalan layar, yaitu majalah SAYA:Magazine About Yourself (majalah gaya hidup) yang memuat artikel SANDEQ RACE X: The Worl’s Fastest & Hardest Race for Traditional Fishing Vessels pada edisi ke-20 Juli-Agustus, dan majalah LIONMAG (majalah udara maskapai LION AIR). Yang kedua ini malah dibayar oleh panitia sebab panitia memang memesan ruang iklan di dua edisi (Juli dan Agustus) dan artikel khusus di edisi September. Meski terbit bulanan, tapi dampak yang ditimbulkan LIONMAG cukup signifikan. Sebab selama tiga bulan penuh tiap hari ratusan penumpang LION AIR melihat iklan dan artikel tentang sandeq dan mereka adalah pangsa tersendiri, yaitu masyarakat mapan. Pemberitaan tidak berhenti sampai di media perusahaanperusahaan media di atas. Sehari setelah sandeq tiba di Makassar, penulis lepas dari Belanda meminta informasi dan foto dari saya mengenai Sandeq Race. Katanya, tulisan tentang Sandeq Race akan dimuat salah satu majalah di Eropa. Dan dua pekan setelah Sandeq Race usai, tim stasiun Trans TV sengaja datang ke Mandar untuk mengumpulkan bahan pembuatan acara dokumenter “Surat dari Sahabat�, yang bertema sandeq. Apa yang saya tuliskan di atas adalah apa yang saya lihat sendiri atau terlibat langsung di dalamnya. Yang pasti, liputan dan


sandeq perahu tercepat nusantara

179

siaran media massa lain juga ada, sebagaimana yang disampaikan beberapa pihak bahwa mereka menyaksikan siaran pelepasan Sandeq Race di Mamuju, di Majene, dan lain-lain di layar kaca. Saya dan panitia lain tak sempat menyaksikan sebab siaran dilakukan pas bertepatan dengan lomba. Kesimpulannya, Forum Lopi Sandeq berterima kasih terhadap media-media di atas atas kerjasamanya. Forum Lopi Sandeq menyadari peran media massa tak bisa dilepaskan dari even sekelas Sandeq Race. Harapan untuk Sandeq Race mendatang adalah semakin banyak media yang meliput serius Sandeq Race. Bukan hanya dinamika di dalam lomba, tapi tempat di mana para pelaut dan sandeq-nya dilahirkan, yaitu tanah Mandar!


20. Membidik Sandeq

Saya

ingin menceritakan pengalaman mendokumentasikan kegiatan Sandeq Race, yang saya lakukan pada tahun 2002, 2006, dan 2007. Untuk beberapa gambar/adegan, baik foto (still) maupun video, ada yang saya miliki bersifat eksklusif alias tak dimiliki oleh pendokumentasi lain (dalam hal lokasi, adegan yang berlangsung). Sebagai panitia Sandeq Race tentu diuntungkan sebab bisa mengakses semua tempat dan mengetahui apa yang akan terjadi. Ya, untuk beberapa hal benar adanya. Di sisi lain, saya tak bebas untuk mendokumentasikan kegiatan yang saya anggap penting untuk diabadikan. Alasannya, sebagai panitia tidak hanya mengurus dokumentasi semata, tapi banyak hal lain. Pun, meski bukan panitia, pihak panitia tak pernah membatasi siapa pun untuk mengakses tempat-tempat tertentu di dalam Sandeq Race, malah sebaliknya. Jika berani, jika tak mabuk laut, jika diizinkan oleh passandeq, jika ingin mengambil risiko kamera basah, silahkan bersama kami di kapal panitia, dan silahkan naik sandeq. Baiklah, saya akan menceritakan momen-momen apa saja yang bisa didapatkan di tiap etape. Oh iya, sebelumnya saya sampaikan, Anda harus punya kerelaan hati untuk tidak mendokumentasikan sekaligus atau mengabaikan momen tertentu sebab ada banyak yang bersamaan, kecuali Anda adalah tim yang menggunakan beberapa kamera.

180


sandeq perahu tercepat nusantara

181

Mamuju—Malunda Pada etape pertama, adegan pentingnya adalah pelepasan atau start. Tapi ada beberapa sudut pengambilan gambar: mau di dekat pejabat yang menembak ke udara atau mengibarkan bendera, tapi risikonya Anda tak bisa merekam puluhan perahu yang berarak maju ke laut; mau dari jauh yang bisa mencakup semua peserta, tapi sebaliknya kibaran bendera hanya terlihat dari jauh; atau fokus pada satu sandeq tertentu yang mungkin Anda jadikan tokoh dokumentasi. Mamuju—Malunda bukan etape menegangkan, rata-rata ombak tak begitu besar dan angin kencang tak seberapa. Jika Anda ingin mendokumentasikan dinamika di atas sandeq tanpa ingin mengambil risiko kamera basah (jika tak menggunakan case anti air), bisa saja ikut di etape ini. Tapi carilah sandeq yang kirakira bisa memuat Anda: sandeqnya besar (ditandai dengan pintu palkan di buritan yang bisa dilalui dengan lapang), dan tentunya sang passandeq mengijinkan. Namun perlu diingat, mungkin Anda bosan berada terus di atas sandeq, sebab adegan yang banyak berlangsung adalah dayungmendayung. Bila tak ingin naik sandeq, naiklah kapal pengantar. Paling tidak ada 2 jenis kapal motor yang bisa diikuti: kapal panitia dan kapal peserta. Masing-masing dibagi lagi dua: kapal panitia yang duluan ke garis finish untuk menunggu peserta datang dan kapal panitia yang mengiringi peserta, ada yang di tengah, ada yang di bagian belakang (tapi penempatan ini tidak kaku sebab ada pertimbangan tertentu). Bila Anda mengambil satu sandeq sebagai tokoh, maka akan ada dua jenis kapal pengantar: kapal pengantar sandeq yang Anda jadikan fokus dan kapal pengantar sandeq lain. Perbedaannya jelas, kapal pengantar A tentu mengikuti atau memperhatikan posisi


182

muhammad ridwan alimuddin

sandeq A; kapal pengantar B tentu tak mengiringi terus menerus kapal pengantar D, C, dan yang lain. Keuntungan jika naik di kapal pengantar yang sama dengan sandeq yang menjadi fokus, bebas melakukan manuver tak jauh dari sandeq, sejauh tidak membuat marah awak-awak di atas sandeq. Kalau kapal pengantar lain yang lakukan, tentu beda, sebab mungkin dianggap mengganggu sandeq dan bisa-bisa kena denda/ hukum dari panitia. Tak lewat laut pun bisa melakukan dokumentasi, misalnya suasana start, saat sandeq sedang dalam pelayaran (Anda ke pantai yang di situ sandeq melintas tak jauh dari garis pantai), dan saat sandeq merapat di pantai disambut ratusan penonton yang penuh dengan elukan. Malunda—Majene Etape Malunda—Majene tak jauh beda dengan etape sebelum­ nya, tapi mendekati Teluk Mandar atau perairan di Pamboang, biasanya ombak dan anginnya keras. Tahun 2006, ada banyak sandeq yang rusak di kawasan ini, tapi di 2007, passandeq lebih banyak mendayung. Mengambil gambar dari pantai/darat dianjurkan di etape ini sebab dari sekian etape, hanya etape Malunda—Majene yang posisi sandeq dekat dari darat (baca: jalan raya). Juga, ketika baru lepas dari Malunda, sandeq-sandeq masih bergerombol membuat adegan yang terekam akan lebih menarik dibanding bila sandeq sudah terpisah-pisah. Suasana ketika sandeq merapat ke pantai sangat dramatis di sini sebab penonton sampai ribuan. Penyebabnya jelas, kota Majene adalah tempat finish/start etape terdekat dari kampung semua peserta lomba. Jadi keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabat passandeq serta orang sekampung mereka datang menonton. Selama hari masih terang, sudut pengambilan ada beberapa:


sandeq perahu tercepat nusantara

183

di kapal pengantar panitia yang menjaga finish, di pantai bersama panitia yang akan menyambut sandeq merapat ke pantai, atau di perbukitan Pangaliali (sisi barat). Segitiga Majene Esoknya adalah segitiga di Majene. Ini kesempatan emas bila ingin mendokumentasikan sandeq yang sedang dalam aksi berbahaya. Dan bila Anda tidak berniat mendokumentasi (karena kamera tidak anti air) tapi ingin mencoba sandeq serta menyaksikan aksi-aksi timbang, Anda bisa ikut sandeq yang ikut segitiga. Tentunya ada izin dari awak sandeq. Kalau tidak bisa di atas sandeq, naiklah salah satu kapal panitia (tiga kapal) yang menjaga tanda atau tempat belok. Dengan catatan, tidak mabuk laut. Ya, sebab nantinya Anda berada lama di kapal pengantar diombang-ambingkan ombak. Kalau mabuk, sama saja mengurangi peluang mengoperasikan kamera. Dokumentasi dari arah darat kurang begitu dianjurkan bila posisi kamera di garis pantai, tak berlensa tele/zoom optik dan tidak menggunakan tripod. Tapi bila kamera Anda pas-pasan saja dan tak memiliki tripod, bila ingin mendapat adegan unik: sewa ojek, pergilah ke Buttu Salabose (bukit Salabose), di kaki menara TVRI. Pandangan ke arah Teluk Mandar dihiasi sandeq yang berkompetisi adalah momen yang sempurna! Majene—Polewali Hari berikutnya adalah etape neraka: Majene—Polewali. Gambargambar menarik ciri khas Sandeq Race banyak tertangkap di etape ini. Bingung mau mengambil sudut dari mana: dari bukit, dari kerumunan penonton, dari dermaga, dari atas sandeq, dari kapal pengantar, dari bibir jurang tak jauh dari lokasi start, atau dari kapal panitia? Usul saya, usahakan beberapa kamera atau teman agar bisa


184

muhammad ridwan alimuddin

mendokumentasikan peristiwa di tempat ini. Tapi kalau Anda hanya punya satu kamera, tak perlu terlalu gusar sebab ada kesempatan kedua. Ya, sejak tahun 2006, pelepasan sandeq etape Majene—Polewali dibagi dua gelombang/pelepasan. Jadi bisa pindah-pindah tempat. Atau kalau pengambilan adegan pertama dirasa tak begitu baik, bisa diperbaiki di pelepasan berikutnya. Pengalaman Sandeq Race 2007 lalu, pada gelombang pertama saya menggunakan kamera foto, kedua kamera video. Dampaknya, saya menghadapi dilema akan menggunakan media rekam apa sebab semua pelepasan penting didokumentasikan. Maksud saya, ada keuntungan menggunakan kamera foto, juga ada keuntungan menggunakan kamera video. Karena gelombang besar dan angin kencang di etape ini, Anda harus pikir-pikir untuk mendokumentasikan di laut, kecuali Anda ikut di atas sandeq. Alasannya, kapal pengantar tak selalu dekat ke sandeq yang mereka antar sebab selalu saja sandeq menuju tengah laut dulu untuk mencari arah angin yang menguntungkan. Makin ke tengah sama saja menjemput gelombang besar. Gelombang besar sama dengan proses pendokumentasian tak bisa dilakukan dengan baik: kamera goyang, kamera rawan basah, dan obyek juga jauh. Tapi kalau Anda berada di atas sandeq, Anda akan mendapat banyak adegan eksklusif. Dengan catatan: kamera anti air, lensa kamera tidak berkabut, tape dan batterei tidak habis, dan sandeq yang ditumpangi tak celaka. Ditimpa musibah pun adalah momen tersendiri, jadi tidak apa-apa Anda alami hal ini. Tapi, sekali lagi, alat dokumentasi Anda baik-baik saja. Contoh kasus atas hal di atas dialami tim shooting SCTV. Mereka menggunakan dua kamera: 1 di atas kapal pengantar, 1 di atas sandeq. Kedua-duanya tak sempurna sebab: ombak besar membuat kamera di kapal pengantar diamankan saja sebab bisa-bisa basah padahal harganya puluhan juta; sandeq yang ditumpangi patah


sandeq perahu tercepat nusantara

185

tiang layar dan kamera yang dibawa mengalami kerusakan sebab air laut menghantam terus ke atas sandeq. Segitiga Polewali Lomba segitiga di Polewali juga memberi kesempatan sama yang bisa diperoleh di segitiga Majene. Hanya saja, segitiga di sini kurang dramatis. Bila tak ingin terlalu tersiksa saat mencoba sandeq, silahkan ikut sandeq di lomba ini, baik karena kondisi fisik lautan yang tak terlalu berbahaya maupun durasi sandeq berlayar tidak lama bila dibanding bila ikut di etape yang bisa sampai 12 jam. Kemungkinan untuk diijinkan oleh passandeq pun lebih besar. Polewali—Ujung Lero Jejeran sandeq di Polewali amat kolosal. Abadikan! Ada dua posisi yang jangan sampai dilewatkan: di atas warung bagang (yang biasa dijadikan tempat start, tempat bupati menonton sandeq) atau di dermaga di ujung timur. Posisi yang terakhir ini bisa dijadikan pilihan ketika start dilakukan: di sini ada satu bendera start yang dikibarkan (ada 3 bendera: tengah, ujung barat, dan ujung timur). Awal-awal start tidak setegang Majene karena dipengaruhi kondisi lautan yang tenang. Ketika layar sudah terbuka, yang dilakuan adalah mendayung. Tidal seperti Majene yang langsung tancap gas ketika layar terkibar. Beberapa saat setelah start, haluan sandeq diarahkan ke kiri, menuju selat kecil antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Tangnga (ada beberapa pulau kecil dan gosong di pesisir Polewali/Binuang). Untuk beberapa kilometer, sandeq masih beriringan. Setelah lepas dari perairan pulau, angin mulai berhembus kencang. Sandeq terpisah satu-satu, baik karena memang lajunya atau karena mengambil arah lain (strategi). Etape ini bagus dimanfaatkan untuk menyempurnakan gambar, misalnya merekam sandeq dari dekat. Begitu dekatnya, Anda bisa


186

muhammad ridwan alimuddin

mendekat dan menyentuh sandeq, tapi gunakan lepalepa atau berenang. Sandeq Race 2007 saya berenang di sekitar sandeq untuk merekam lambung dan bilah kemudi sandeq yang membelah laut. Ini bisa dilakukan sebab perairan tidak begitu dalam, ombak tak besar, angin tak kencang (sandeq tak melaju cepat), dan dekat dari darat (pulau). Mendekati Ujung Lero, bila Anda ikut kapal panitia, bisa mengabadikan sandeq yang melaju kencang berlomba memasuki Teluk Parepare. Atau kalau menunggu di Ujung Lero, ada dua pilihan: di atas kapal finish atau sekalian di darat untuk menunggu sandeq yang biasanya melakukan “victory lap�. Ya, meski sudah lewat finis, biasanya sandeq-sandeq melajukan sandeq-nya yang membuat kiri-kanan sandeq “berasap� dan posisi bukaan layar yang hampir bersudut 90 derajat. Menarik bukan? Segitiga Teluk Parepare Tak jauh dengan dua segitiga sebelumnya, lomba segitiga di Teluk Parepare memberi banyak kesempatan bagi pendokumentasi untuk mengabadikan prilaku passandeq di atas sandeqnya. Efekefek dramatis bisa ada, bisa tidak. Saya katakan demikian, sebab pada tahun 2006, saya yang ikut sandeq menyaksikan aksi-aksi timbang sebab ada banyak angin pirri-pirris (angin kencang yang tiba-tiba datangnya). Tapi pada tahun 2007, dua putaran awal amat membosankan (saya di atas speedboat), namun menjelang putaran terakhir selesai, tiba-tiba terjadi fenomena yang sangat disayangkan karena terlewatkan: awan mendung datang diikuti hujan lebat, angin kencang, dan jarak pandang sekitar 200 meter. Sandeq Masya Allah yang sebentar lagi masuk finish tiba-tiba terbalik di pembelokan terakhirnya. Sesaat kemudian, cuaca kembali normal. Ah, saya menyesal kembali ke darat. Tapi saya sadar, kalau pun di kapal terus juga tak bisa melakukan perekaman sebab angin


sandeq perahu tercepat nusantara

187

kencang bercampur hujan deras yang datangnya miring (meski berlindung, air tetap mengenai kamera karena air hujan datang dari samping). Di dermaga Ujung Lero juga bagus dijadikan pilihan sebab sandeq akan melintas di depannya. Bila angin kencang, kecepatan puncak sandeq bisa terjadi di depan dermaga tersebut. Parepare—Barru 2006, lepas dari garis pantai Parepare, haluan sandeq langsung diarahkan ke selatan, terus. Tahun 2007 berbeda: sandeq menuju suar di Tanjung Lero, belok “masuk” kembali ke Teluk Parepare menuju pelabuhan Parepare, belok lagi di situ lalu menuju ke selatan. Tujuannya, untuk memberi kesempatan penduduk Kota Parepare menikmati sandeq –dan agar sandeq tidak terlalu cepat tiba di Sumpang BinangaE, Barru, yang merepotkan panitia sebab sandeq bisa lebih cepat dari kapal motor. Posisi bagus bisa diambil di tanggul, baik di ujung utara barisan sandeq (bersama kapal-kapal pengantar yang berkumpul di situ), di tengah-tengah (yang ada patung pinisinya), atau di Teluk Parepare sendiri bersama kapal panitia. Disebabkan sandeq berkeliling di Teluk Parepare dan itu dilakukan dalam jumlah banyak (sekaligus, beda dengan segitiga yang hanya diikuti 10—20 sandeq), maka akan lebih kolosal kelihatan. Juga tak boleh dilupakan di tempat belok, biasanya sandeq-sandeq “baku tabrak” di sini sebab semua mau ambil posisi terpendek. Tapi ingat, semua tempat belok tidak memperlihatkan adegan-adegan seperti itu. Malah ada tempat belok yang “dijauhi” sandeq: mereka ke arah “mata angin” agar mendapat posisi menguntungkan. Biasanya, bila mereka terlalu pendek menuju mata angin, bisa-bisa sandeq mereka tak melewati tanda. Jadi, sebelum memilih tempat belok, tanyalah ke passadeq kira-kira mana tempat yang bagus menyaksikan dari dekat adegan “panik” di atas perahu;


188

muhammad ridwan alimuddin

bisa mendengar teriakan-teriakan komando passandeq. Beberapa hari sebelum Sandeq Race 2007, saya mendapat masukan dari Makhfudz mengenai foto menarik. Selain adeganadegan aksi (yang bisa ditangkap di Teluk Mandar, Mejene), juga harus memberi jatah gambar-gambar yang memperlihatkan emosi passandeq di atas sandeq. Ya, ini biasa terlewatkan. Terlewatkan mungkin kurang tepat, sebab untuk bisa memotret atau merekam si fotografer atau kameraman harus ikut serta di atas sandeq. Beberapa emosi atau mimik yang menarik antara lain adalah: saat mereka melakukan timbang, saat sang jurumudi (punggawa) memanggul gagang kemudinya (kenapa dipanggul padahal kemudi dipasang di sanggar kemudi?), saat layar ditarik, saat layar diubah posisinya, saat mereka berloncataan dari lambung perahu ke katir dan cadik, ketika mereka minum, merokok, dan makan pisang. Etape Parepare—Barru merupakan etape tercepat, sekitar jam 1-2 siang sudah ada sandeq yang tiba. Dilihat dari jarak, relatif sama dengan etape Majene—Polewali, tapi karena di etape keras tersebut sandeq tidak menggunakan rute yang lurus dari Majene ke Polewali, melainkan ke tengah laut dulu lalu belok ke arah kota Polewali, maka sedikit lebih jauh dan lama. Disebabkan tidak terlalu lama di laut dan kondisi perairan tidak terlalu keras, yang ingin merasakan suasana sandeq yang berlomba di etape bisa ikut rute Parepare—Barru. Perbedaan lain etape ini dengan etape-etape lain adalah, Anda tidak akan menemukan riuh-rendah penonton yang menyambut passandeq yang baru masuk finish. Penyebabnya, tempat berlabuh adalah kampung Bugis atau tidak ada ikatan emosional dengan passandeq. Beda dengan Malunda, Majene, Polewali, Ujung Lero (meski masuk wilayah Bugis-Pinrang, tapi di sini ada kampung Mandar), dan Makassar (yang ramai oleh orang kota yang ingin melihat peradaban maritim dari Mandar.


sandeq perahu tercepat nusantara

189

Jadi, lupakanlah menangkap moment ramai di sini, termasuk ketika start dilakukan. Kalau di Majene, ramainya penonton amat merepotkan sebab mereka selalu memprovokasi passandeq agar tarik layar padahal belum ada tanda dari panitia. Di Sumpang BinangaE, Barru ada bukit kecil. Dari atas bisa mengambil gambar sandeq yang berjejer di bagian selatan. Tapi ini hanya sebagian sandeq. Sebagian lagi berada jauh di utara membuat bingkai tak bisa mencakup semua peserta lomba. Walau demikian, jejeran sandeq tetap menarik untuk diabadikan, baik itu siang, malam, sore, maupun pagi. Mau mengambil detail-detail sandeq juga lapang dilakukan di Barru. Alasan lain, ini kesempatan terakhir sebelum sandeq tiba di Makassar. Passandeq-passandeq yang beristirahat, memasang kemah, main-main bola, santai-santai banyak terjadi di sini. Kalau sebelumnya agak kurang sebab mereka banyak tinggal di rumah kerabatnya, misalnya di Majene, Polewali, dan Ujung Lero. Barru—Makassar Etape terakhir ini hampir sama dengan etape sebelumnya, tapi lebih jauh. Bila sudah memiliki dokumentasi start, di laut, dan sandeq-sandeq yang bergerombol, baiknya Anda menunggu sandeq di Makassar ketika mereka finish. Agar adegan start di Mamuju ada pasangannya. Kalau ikut di laut, misalnya kapal pengantar, Anda akan melihat sandeq berada dekat dengan pulau-pulau dan gosong. Dan bila ikut naik sandeq, aktivitas memindahkan posisi layar juga banyak ditemukan. Sebab passandeq banyak melakukan manuver gergaji. Bila menuggu di Makassar, para fotografer umumnya memilih membidik sandeq dari ketinggian, yaitu dari hotel-hotel, restoran, atau bangunan lain. Bila semua sandeq sudah tiba, pilihan terbaik adalah mengambil


190

muhammad ridwan alimuddin

gambar dari sisi utara (kanan bila menghadap ke laut, bila berdiri di Pantai Losari). Itu bisa dilakukan di Hotel Pantai Gapura. Sandeq yang berjejer rapi di Pantai Losari menawarkan banyak sudut keindahan. Jadi terserah mau di mana. Kembali pada diri sendiri Apa yang saya kemukakan di atas adalah pendapat pribadi. Istilah lainnya, usulan. Jadi bisa Anda lakukan, coba, atau menentukan pilihan lain. Juga tergantung pada gaya Anda, kamera yang digunakan, jumlah kamera, peruntukan gambar/foto, dan lain sebagainya. Jika hanya menganggarkan 1-10 kaset video (misal mini-DV) dan satu kamera, apa yang saya usulkan di atas takkan bisa dipenuhi semua. Jadi lakukannlah skala prioritas, kemampuan Anda, dan kesempatan yang diperoleh. Demikian juga bila menggunakan kamera foto. Bila niatnya betul-betul fokus mendokumentasikan lomba mulai dari Mamuju, harus menggunakan kartu memori ukuran besar dan membawa laptop (bila menggunakan kamera digital). Jangan lupa cadangan batterei. Kesimpulannya, hal-hal standar yang dibutuhkan dalam kegiatan pendokumentasian tetap berlaku di kegiatan dokumentasi Sandeq Race. Pengalaman saya di Sandeq Race 2007, saya menggunakan dua kamera foto (Canon PowerShot A540 dan case anti airnya; DSLR Nikon D70s beserta dua lensa) dan satu kamera video (Panasonic NV-GS300 dan case anti air); kartu memori CF 4 keping (dua untuk 2 GB, dua untuk 250 MB), SD 2 keping (1 GB); 6 batarei NiMH AA (untuk Canon Powershot A540), 2 baterei untuk kamera video, dan satu untuk Nikon D70s; 12 kaset mini-DV; dan satu unit laptop. Saat merekam gambar, saya memaksimalkan kemampuan kamera. Misalnya Canon PowerShot A540 berkemampuan 6.0 MP, sama seperti Nikon D70s. Hanya saja saya tidak menggunakan


sandeq perahu tercepat nusantara

191

format RAW pada D70s sebab di laptop saya tak ada software untuk melihat foto berformat RAW. Sedangkang kamera video, jangan sampai menggunakan format rekam LP, pakailah SP agar kualitas gambar lebih terjamin. Kendala teknis yang saya alami banyak terjadi pada peng足 gunaan kamera video, ketika menggunakan case anti air. Bila case basah tidak lama kemudian di dalam case akan terjadi kabut, khususnya di depan lensa. Kamera sih tidak apa-apa, tapi gambar yang direkam juga ikut kabur. Tindakan pertama, sebelum terjun ke lapangan, perbanyak pasang silikon di dalam case. Kedua, kalau tidak terpaksa basah, jangan membuat basah agar tidak terjadi perbedaan suhu radikal antara di dalam case (yang mana kamera juga ada di dalam) dengan di lingkungan luar. Ketiga, yang merupakan langkah darurat, jika keadaan aman (ombak tidak menghantam sampai ke atas perahu) lepaslah case anti air dan gunakan secara normal. Atau kalau tidak mau, sesekali buka case agar udara yang tersirkulasi lancar menghilangkan titik-titik air di lensa case. Terakhir, siap-siaplah menghadapi risiko basah atau kamera rusak gara-gara dipakai dilingkungan ekstrim. Walau demikian, tetaplah bersikap hati-hati, janga terlalu nekat juga. Pengalaman saya di Sandeq Race 2007 lalu, kamera DSLR Nikon D70s menjadi korban sebab saya bawa serta di atas sandeq yang berlomba. Sebenarnya sih saya sudah simpan seaman mungkin di dalam lambung sandeq. Tapi karena tempat penyimpanannya bergeser pas di bawah pintu sandeq yang mana air masuk di situ (ombak menghantam sandeq berjam-jam lamanya!), maka kamera 10 jutaan tersebut harus rela berendam air laut.



Bab III Ekspedisi yang Gagal

Bukan Sandeq: Perahu yang yang digunakan berekspedisi. Inzet: motif pahatan di lambung perahu ekspedis.

193


1. Gagalnya Pelayaran Ekspedisi Perahu (Bukan) “Sandeq”

Suatu

waktu, kolega saya di Jepang mengikuti diskusi yang dilakukan komunitas pemerhati perahu-perahu tradisional kawasan Pasifik. ����������������������������������������������������� Dalam pertemuan tersebut, seorang peserta berkata ke peserta lain ”Sekarang perahu sandeq dari Sulawesi sedang berlayar bersama Yamamoto”. Kolega saya langsung menimpali “Itu bukan sandeq”! Dan dia pun menjelaskan sandeq yang sebenarnya. Namun jawaban peserta tadi hanya “Oh begitu ya” dan kayaknya tetap percaya bahwa perahu yang melakukan ekspedisi tersebut adalah “sandeq”. Di atas adalah contoh kesalahpahaman yang sudah terjadi bagi orang yang belum pernah melihat sandeq yang sebenarnya dan itu pasti terjadi di mana-mana, sejauh berita mengenai ekspedisi sampai ke publik. Lalu bagaimana ketika KOMPAS memuat berita ”Ekspedisi keliling dunia menggunakan perahu sandeq, perahu tradisional suku Mandar, Sulawesi Barat, gagal” (26/08/05: Dihantam Ombak, Perahu Sandeq Kembali ke Jayapura)? *** Jauh sebelum KOMPAS memberitakan, pertengahan Juli 2005, tersiar kabar sampai bahwa dua pelaut Mandar yang ikut ekspedisi kembali ke kampung halamannya, Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, saat perahu tiba di Jayapura. Saya penasaran dengan kabar tersebut. Hingga satu bulan kemudian, tepatnya 16 Agustus 2005, mendapatkan

194


sandeq perahu tercepat nusantara

195

jawabannya, langsung dari awak bersangkutan. Saat perahu ekspedisi dalam tahap penyelesaian (awal Mei 2005), dia sempat menanyakan pendapat saya mengenai ekspedisi. Secara singkat saya jawab ”Kalau sandeq asli yang digunakan, saya setuju, tapi kalau perahu ini yang digunakan, saya tidak setuju”. Kemudian saya jelaskan bahwa bagi saya, perahu itu bukan sandeq. Artinya, jika perahu itu tetap disebut sandeq, maka paling tidak akan terjadi kesalahpahaman. Dengan asumsi sandeq berhasil tiba di darat, paling tidak orang setempat akan menganggap bahwa itulah perahu sandeq: mempunyai dua pallayarang (tiang layar), enam palatto (katir), empat baratang (cadik), dan berbagai tambahan yang sama sekali tidak ada di perahu sandeq asli. Apakah baratang sandeq berwarna merah? Apakah ada ukiran bergaya Taiwan di lambung sandeq? Dan apakah di bagian bawah buritan sandeq dipasangi baling-baling? Berdasarkan hasil penelitian ilmiah dan pendapat pelaut Mandar, ciri-ciri di atas bukanlah ciri sandeq! Yang kedua, jika perahu itu gagal dalam ekspedisinya, maka bisa ditebak ungkapan yang terucap: “Oh ternyata seperti itu kemampuan ‘sandeq’”. *** Sebagai peneliti kebaharian Mandar, saya dan Horst H. Liebner pernah memberikan masukan ke orang-orang yang terlibat dalam ekspedisi, bahwa perahu itu jangan disebut sandeq, rutenya berbahaya, dan konstruksi perahu yang digunakan tidak laik laut (FAJAR, 23/5/05: ”Sandeq” yang bukan Sandeq; 24/5/05: Napak Tilas yang Meragukan). Sandeq tidak dibuat untuk menaklukkan lautan, melainkan beradaptasi dengan lingkungan laut. Dengan kata lain, ketika semuanya dibuat besar, itu bukan berarti bahwa sandeq akan lebih tangguh. Dalam kebudayaan bahari Mandar, ada konsep ”Lopi


196

muhammad ridwan alimuddin

sandeq na malolo”: perahu sandeq yang cantik, bersih, kuat, cepat dan lincah. Memang terlihat kecil, rapuh, dan bersahaja, namun melintasi ombak dua-tiga meter dan lautan yang luas, sandeq begitu elegan dan tetap kuat. Membandingkan antara sandeq asli dengan ”sandeq” yang di­ guna­kan ekspedisi sangat jauh berbeda. Perahu ekspedisi terlihat ”Wah”, sehingga disebut ultra oleh para pemesannya, tapi badan­ nya ”bongsor dan kaku”. Mengapa dia dibuat seperti itu ketika pelayaran sebenarnya membutuhkan kelincahan dan bukan kebe­ saran (ukuran perahu) semata? Seorang antropolog Jepang, Tsurumi, menyebut sandeq sebagai perahu terindah di dunia; pelaut Inggris, Christopher Edwards menggelarinya ”bangau putih”; Horst, ahli maritim Jerman menulis ”perahu terlaju di kawasan Austronesia; penari di atas lautan”; dan Kyoko Miyazawa pembuat film dokumenter maritim dari Jepang, satu-satunya wanita yang pernah ikut perahu peserta Sandeq Race, menganggap sandeq sebagai ”kupu-kupu di atas laut”. Ungkapan tidak bermaksud mengkultuskan sandeq. Saya hanya memberi gam­ baran bahwa ketika sandeq dihilangkan konsep awalnya, sebagai­ mana ”sandeq” yang digunakan ber-ekspedisi, maka sandeq lajunya lamban dan manuvernya tidak lincah lagi. Apa yang dikhawatirkan tersebut terbukti. Sejak meninggalkan Makassar (22/5/05), perahu telah mengalami beberapa permas­ alahan: mesin perahu mengalami kerusakan di Selat Makassar sehingga harus ditarik (oleh perahu yang lebih kecil) ke pantai untuk diperbaiki (23/5/05); di Laut Sulawesi salah satu katir patah sehingga diganti dengan pipa paralon (5—6/6/05); mengalami gangguan teknis di bagian buritan menjelang tiba di Jayapura (27/6/05); dan akhirnya perahu harus kembali ke Jayapura karena tidak berdaya menghadapi ombak ketika akan memasuki perairan Solomon (21/8/05). ***


sandeq perahu tercepat nusantara

197

Saat perahu ekspedisi akan meninggalkan pantai Teluk Mandar (15/5/05), dibacakan beberapa pantangan bagi seorang pelaut ketika sedang berlayar, yaitu: membuang air panas ke laut, membuang api ke laut, selalu meminta-minta angin, mengomentari apabila melihat keanehan, berselisih paham dalam pelayaran, gembira berlebihan, dan memotong kayu selama dalam pelayaran. Menarik untuk disimak alasan utama sehingga dua awak dari Mandar mengundurkan diri, kaitannya dengan pantangan di atas. Ketika di Manado, nakhoda yang berasal dari Makassar (aneh juga, nakhodaâ€?sandeqâ€? berasal dari Makassar dan dia akui sendiri bahwa sebelumnya sandeq asing baginya) yang ikut eksepedisi mempunyai kebiasaan minum-minuman keras yang berlebihan (sampai mabuk). Tidak ingin ada konflik kekerasan dan petaka di laut, salah satu awak mengusulkan ke koordinator ekspedisi, Yamamoto, untuk memecat awak tersebut. Usulan diterima. Lalu, ketika di Jayapura, terjadi ketidakcocokan dan keke­ cewaan atas apa yang dijanjikan oleh koordinator ekspedisi, hingga akhirnya dua awak Mandar yang ikut terlibat sejak perahu dibuat mengundurkan diri. Perahu pun berada di Jayapura selama satu bulan lebih, baik untuk memperbaiki masalah fisik perahu maupun non-fisik (menunggu awak pengganti dari Mandar). *** Benar-tidaknya kepercayaan tersebut; Spirit of Asian Voyagers Expedition bisa dikatakan telah gagal! Konstruksi perahu yang tidak laik laut dan pantangan dilanggar, telah cukup untuk menja­dikannya sebagai dalih gagalnya ekspedisi. Tradisi yang kita anggap kampungan harus dimaknai lebih mendalam. Pengetahuan kebaharian tra­ disional, mulai dari teknik pembuatan perahu, teknik pelayaran, sampai pantangan-pantangan bukan sekedar sebuah warisan yang eksotik. Dia adalah sebuah nilai yang diwariskan ratusan tahun.


198

muhammad ridwan alimuddin

Bayangkan, perahu yang tergolong baru modelnya (pada gilirannya tidak teruji kekuatan konstruksinya) harus selesai dalam tempo 40 hari dan menggunakan kayu yang belum kering sepenuh­ nya. Bandingkan dengan pembuatan perahu sandeq asli yang membutuhkan waktu dua—tiga bulan padahal ukurannya lebih kecil. Lalu, awak perahu yang asal comot. Selain mengangkat nakhoda (dari Makassar) yang bisa dikatakan pertama kali menyen­ tuh ”sandeq” saat akan ekspedisi, sejujurnya, awak Mandar yang diikutkan ekspedisi adalah generasi ”perahu motor”, bukan murni passandeq (pelayar sandeq), umur mereka baru berkisar 27—38 tahun. Akan lain ceritanya jika perahu yang digunakan adalah sandeq (asli) yang dibuat dengan cermat dan awak-awaknya pun betulbetul pelayar sandeq, misalnya punggawa (nakhoda) perahu sandeq Arawungan Ratu Pantai, Lincah, atau Masya Allah (tiga nama sandeq yang sering memenangkan Sandeq Race). Mereka adalah pelautpelaut yang amat terampil melayarkan sandeq. Sejak kecil sampai saat ini (umur mereka mendekati 50-an), perahu sandeq adalah ”mainan” mereka. Kesimpulannya, telah terjadi keraguan akan “kekayaan ilmuilmu kelautan dan pelayaran terbaik” yang dimiliki tukang perahu dan pelaut Mandar. Para petualang hanya menjadikan sandeq se­ bagai dalih bahwa ”ekspedisi mereka ilmiah dan mengangkat derajat budaya bahari tradisional”, sebenarnya tidak. Sandeq malah dikorbankan. Mengutip pendapat seorang budayawan Mandar, Muis Mandra, ”Telah terjadi pemerkosaan atas sandeq”.


2. Tanggapan Terhadap Tayangan Spirit of Asian Voyagers Expedition

Mulai 25 Oktober 2005 sampai 16 November 2005 tiap hari Selasa (malam Rabu) pukul 22.30 WITA, Stasiun Metro TV lewat acara Expedition Special akan mengisahkan pelayaran Spirit Of Asian Voyager’s Expedition dengan menggunakan perahu bercadik yang dibuat di Mandar oleh tukang perahu Mandar, dari Makassar ke Papua. Pemberitaan atau penanyangan film dokumenter tentang ekspedisi di Metro TV bisa dikatakan cukup fenomenal dalam memperkenalkan budaya bahari Mandar secara nasional. Durasinya 30 menit, termasuk iklan yang lama, dan ditayangkan di jam mahal, bertanda acaranya dikategorikan acara unggulan. Isi cerita acara adalah ungkapan catatan pribadi seorang wartawan Metro TV, Aswandi As’an, yang ikut ekspedisi tersebut. Acara diawali ritual makkottaq, pembuatan ettaq sanggilang (lekukan tempat kemudi di sanggilang) yang dilakukan oleh Tukang Husain. Berikutnya, Aswandi datang ke Makassar dua hari sebelum pela­ yaran. Salah seorang temannya, Willy, sudah ada di Makassar beberapa hari sebelumnya. Mereka pergi berbelanja alat-alat pribadi yang akan mereka gunakan dalam pelayaran, misalnya baju pelampung. Lalu, acara resmi peluncuran di Pambusuang dan Kabupaten Majene. Ada yang aneh di sini, Kabupaten Polman sepertinya tiba-tiba terhapus dari peta: tidak terlibat dalam acara peluncuran perahu. Terlihat Gubernur Sulawesi Barat dan sekdanya, Bupati

199


200

muhammad ridwan alimuddin

Majene, dan beberapa pejabat teras setempat. Selanjutnya, wartawan Metro TV menyambangi perahu yang akan digunakan berekspedisi yang berlabuh di sekitar Pantai Losari, Makassar. Mereka disambut Yamamoto, koordinator ekspedisi. Yamamoto memperkenalkan perahu, tujuan pelayaran, peralatan di atas perahu, dan lain sebagainya dengan bahasa Indonesia yang patah-patah. Kemudian acara di Pulau Lae-Lae. Ditayangkan upacara adat pelepasan seorang penduduk setempat yang dipercayakan sebagai nakhoda perahu. Namanya Anton Daeng Tompo. Yang kembali janggal di sini, durasi acara budaya di Makassar lebih lama diban­ ding di Mandar. Apakah sandeq memang ”milik” Makassar? Koq punggawa-nya dari Makassar? Lalu bagaimana dengan nuansa bu­ daya yang menyertainya? Misalnya, musik ”soundtrack” acara itu. Saat Anton Daeng Tompo diwawancarai, terus terang saya sangat tidak suka isi bicaranya yang penuh dengan kebohongan. Katanya sudah akrab dengan sandeq dan sangat mengerti akan sandeq. Apakah memang demikian? Tanyalah ke sawi-sawi dari Mandar yang ikut ekspedisi atau bacalah salah satu media massa di Sulawesi Barat yang memuat wawancaranya dengan Anton,”Saya memang pernah berlayar keliling Sulawesi dengan menggunakan perahu kecil, dan baru sekali ini saya menakhodai Sandeq, yang sebenarnya asing buat saya, ...” (Sulbar Bersinar, Sandeq Berkeliling Dunia, Minggu ke1 Juni Tahun 2005). Bertemu dengan Aswandi Sekitar satu jam setelah acara dokumenter tersebut selesai, saya pergi menemui Aswandi As’an di rumahnya. Kebetulan dia Kepala Metro TV Biro Yogyakarta sejak dua bulan lalu. Tiba di rumahnya saya langsung memperkenalkan diri dan memberikan tulisan saya Tanggapan Terhadap Pemberitaan Spirit Of Asian Voyager’s Expediton, yaitu tanggapan saya terhadap 18 artikel tentang pelaksanaan


sandeq perahu tercepat nusantara

201

ekspedisi yang dimuat tujuh media cetak. Dia membaca sekilas dan kemudian menceritakan pengalaman berlayarnya. Ada banyak informasi baru bagi saya, misalnya kesan mengenai awak Mandar yang pulang dan yang tetap bertahan, nakhoda dari Makassar yang dipecat di Manado, Yamamoto, dan pihak lain yang terlibat dalam ekspedisi, baik di darat maupun tim di atas perahu. Salah satu unek-unek Aswandi yang membuatnya cukup kere­ potan adalah adanya pihak yang dipercayakan mengurus admi­ nistrasi pelayaran yang melepaskan tanggung jawab meskipun sudah digaji jutaan rupiah. Ini membuat ekspedisi menjadi ter­ hambat dan yang malah mengurus dalam waktu singkat adalah wartawan Metro TV padahal peran mereka rencananya sebatas mendokumentasikan. Kasus seperti ini cukup mengecewakan. Walau masalah ini hanya berasal dari seorang oknum (pribadi), imbas kejelekan akan menimpa orang Indonesia secara umum. Dalam kegiatan berkelas internasional, pribadi bukan hanyalah ‘pribadi’, tetapi juga atas nama negeri. Kasus lain, orang-orang Indonesia (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat) malah tidak menjelaskan yang sebenarnya tentang sandeq kepada Yamamoto. Jelas ini merugikan. Apakah karena me­mang tidak tahu ”yang sebenarnya” atau ”yang penting dapat uang” dari proyek itu? Kesimpulannya, pertemuan dengan Aswandi As’an membuat saya lebih paham akan pelaksanaan ekspedisi. Tanggapan ke Pihak Metro TV Keesokan harinya, saya mengirim e-mail ke Metro TV, dalam hal ini pengasuh acara Expedition (�expedition@metronews.com).� Berikut isi e-mail saya:


202

muhammad ridwan alimuddin

Salam Tadi malam saya menyaksikan acara Expedition Special mengenai ekspedisi perahu bercadik dari Mandar yang akan berlayar ke melintasi Samudera Pasifik dengan episode ”Layar Terkembang”. Ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi mengenai ekspedisi tersebut, yaitu penggunaan istilah sandeq. Berdasarkan kebudayaan bahari Mandar, perahu yang digunakan berekspedisi tersebut bukanlah sandeq. Untuk lebih rinci, saya melampirkan tulisan yang secara khusus menanggapi ekspedisi tersebut (tulisan yang sama sudah saya berikan ke Mas Aswandi dan sudah diskusi banyak mengenai kegiatan ekspedisi yang dia ikuti). Harapan saya, Metro TV melakukan pertimbangan atas penggunaan istilah ”sandeq” dalam ekspedisi tersebut. Yang dipertaruhkan dalam hal ini adalah pemahaman masyarakat terhadap sandeq. Bisa dikatakan, orang yang sebelumnya tidak mengenal sandeq, ketika melihat perahu ekspedisi itu (untuk kemudian media menyebutnya sbg ”sandeq”) akan menganggap bahwa ”Itulah sandeq”. Lalu bagaimana dengan sandeq asli? Bgm dengan kebudayaan bahari Mandar yang sebenarnya? Juga sangat disayangkan, ada kesalahan letak geografis tempat pembuatan dan peluncuran perahu ekspedisi itu. Perahu dibuat di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Adapun di acara ekspedisi, dikatakan bahwa Kabupaten Majene sbg lokasi pembuatan dan peluncuran. Semoga masukan ini bermanfaat. Muhammad Ridwan Alimuddin

Pihak Metro TV tidak pernah memberi tanggapan atas surat saya di atas. Peran Metro TV Secara umum, keterlibatan Metro TV di ekspedisi adalah untuk mengangkat budaya bahari Mandar dalam bidang dokumentasi dan mensosialisasikannya. Adanya kontroversi bahwa itu dianggap ”sandeq”, bagi Metro TV bukan persoalan besar, yang penting ada


sandeq perahu tercepat nusantara

203

perhatian terhadap budaya bahari. Menurut pendapat Aswandi, ekspedisi telah memperkenalkan ”sandeq” ke masyarakat dalam cakupan yang luas. Ini diakui cukup berhasil. Wajar Aswandi berpendapat demikian sebab pengetahuannya mengenai budaya bahari, khususnya sandeq hanya bersumber dari internet. Kunjungan ke Makassar pun dua hari sebelum ekspedisi dimulai. Dia pun belum pernah ke Mandar sehingga atmosfir kebaharian Mandar belum dia rasakan atau saksikan langsung. Ya, Metro TV mempunyai pengalaman berharga sebab ikut perahu ekspedisi dan mendokumentasikannya. Ini adalah karya yang membanggakan. Saya menghargai niat mereka dan salut atas karyanya. Niat mereka adalah mengangkat budaya bahari; dunia yang belum diperhatikan oleh banyak pihak di Indonesia. Di sisi lain, karena ada kekeliruan yang cukup fundamental, maka efeknya pemberian informasi yang salah ke masyarakat dalam waktu cepat dan tertanam kuat di benak masyarakat sebab dilakukan oleh media terpercaya, diwartakan dalam waktu lama, dan untuk pertama kalinya “sandeq” mendapat publikasi secara nasional dan internasional. Logikanya, saat pembaca atau penonton melihat perahu ekspedisi yang disebut “sandeq”, maka mereka pun pasti menganggap bahwa demikianlah bentuk perahu sandeq. Masyarakat pasti lebih mengenal “sandeq aspal” (asli tapi palsu) dibanding sandeq asli. Pendapat Masyarakat Mandar Berdasarkan diskusi singkat dengan beberapa orang Mandar yang saya mintai pendapatnya tentang acara di Metro TV, mulai dari mahasiswa Yogya, perantau Mandar di Kalimantan, hingga tetangga kru (sawi) yang ikut ekspedisi di Pambusuang, sebagian besar menyampaikan rasa tidak puas. Ungkapan yang hendaknya jangan diartikan bahwa acara itu tidak ”cantik” menggambarkan budaya Mandar, melainkan ”ketimpangan dan beberapa kekeliruan”


204

muhammad ridwan alimuddin

yang ditampilkan Metro TV. Saya tulis dalam kutipan sebab saya yakin apa yang dilakukan Metro TV bukanlah hal yang disengaja. Dugaan saya, itu adalah kesalahpahaman. Di sisi lain, saya pun tidak menafikan kebahagiaan dan kegembiraan orang-orang Mandar menyaksikan acara itu. Kekecewaan masyarakat Mandar yang sadar akan ”kekeliruan” didasarkan pada alasan-alasan yang telah saya kemukakan sebelum­ nya. Dengan kata lain, hampir ada keseragaman sikap: mengapa budaya suku lain yang lebih ditonjolkan? Mengapa punggawa-nya ”Diimajinasikan saja tidak pernah?” (betapa terkejutnya orang Mandar menyaksikan punggawa sandeq dari suku lain, tidak pernah menggunakan sandeq, dan bergaya Bob Marley), dan mengapa perahunya berbentuk demikian? Kembali saya yakin sikap kecewa tersebut tidak didasarkan pada sikap primordialisme. Sikap yang dimunculkan adalah hal yang wajar. Orang, suku, atau bangsa lain pun akan mengapresiasikan sikap yang sama ketika budayanya diatasnamakan atau digambarkan seolah-olah menjadi milik pihak lain. Lalu pada saat yang sama, salah satu puncak kebudayaannya (dalam hal ini sandeq) mengalami pelecehan. Lumrah untuk mengungkap prasangka bahwa orang-orang lokal (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat) dibalik ekspedisi ber­ peran besar dalam pendistorsian budaya, sehingga Metro TV tidak tepat dalam mengungkap realitas yang ada. Bukan Hanya Milik Mandar Budaya bahari tidak terlepas dari pengaruh budaya luar. Arti­ nya, tidak ada puncak budaya yang berdiri sendiri. Begitu juga dengan sandeq. Sandeq sebagai perahu bercadik adalah teknologi yang dikembangkan Suku Austronesia yang tersebar dari Madagaskar (pulau di timur Afrika) sampai pulau-pulau di Samudera Atlantik. Pada gilirannya, ada banyak kesamaan budaya bahari dengan suku


sandeq perahu tercepat nusantara

205

lain. Istilah-istilah untuk beberapa bagian di sandeq sama dengan istilah di beberapa bagian perahu di suku lain. Dalam bahasa Makassar, Bugis dan Konjo, cadik pun disebut baratang, sama dengan istilah di Mandar. Model layar sandeq sekarang ini awalnya adalah model layar yang diadopsi pelaut dan tukang perahu Mandar saat mereka menyaksikan model layar perahu dagang dagang Eropa sebelum tahun 1930-an di Makassar (atau mungkin juga di kota-kota per­ dagangan lainnya, misalnya Tumasik [Singapura], dan Johor). Sebe­ lumnya pelaut Mandar menggunakan layar tanjaq untuk perahunya, misalnya perahu olanmesa dan pakur, perahu bercadik yang dalam evolusinya akhirnya berubah menjadi sandeq. Memaknai kenyataan ini, sandeq adalah bagian dari budaya suku-suka pelaut di kawasan yang amat luas, bukan hanya milik Mandar. Sandeq tidak berdiri sendiri; tidak terlepas dari pengaruh budaya lain; tidak lahir tiba-tiba. Pun tidak bisa diingkari bahwa sandeq hanya ada di Mandar. Mandar ”dipercaya” menjadi tempat lahirnya ”puncak evolusi perahu-perahu bercadik Austronesia”. Jadi masyarakat Mandar mem­punyai hak untuk bersikap demikian. Upaya Pemulihan Sekarang nama sandeq sudah tertanam di ”otak” masyarakat Indonesia. Ironisnya, gambaran tentang sandeq adalah perahu ber­ tiang layar dua, bercadik empat, berkatir empat, berwarna merah, dan mempunyai ukiran di lambungnya. Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Pemberitaan Metro TV sangat dahsyat, demikian juga media massa lain (khususnya cetak). Walau demikian, kita jangan terlena sebab ada yang keliru. Ini bukan salah Metro TV sepenuhnya, tapi melibatkan banyak pihak. Sudah ada usaha untuk memberi klarifikasi ke pihak Metro


206

muhammad ridwan alimuddin

TV, namun itu belum menjamin bahwa nama sandeq akan pulih. Maksud saya, karena ke pihak Metro TV telah diberi informasi akan sandeq yang sebenarnya, maka Metro TV harus melanjutkan sosialisasi ke publik. Misalnya Metro TV menyiarkan sandeq yang asli dan memberi penjelasan atau perbedaan antara sandeq dengan perahu ekspedisi. Komponen masyarakat Mandar lain pun harus berperan untuk mensosialisasikan bahwa yang melakukan ekspedisi sebenarnya bukan sandeq. Media massa di Mandar mempunyai peran kunci dalam proses ini. Harus ada sinergi jika memang ada semangat untuk mengungkap kebenaran. Tidak harus di luar Mandar, tapi juga harus di kalangan orang Mandar sendiri. Malah obyek kedua inilah yang terpenting. Sangat ironis bila orang luar lebih tahu mengenai sandeq mengenai orang Mandar sendiri! Usaha memperkenalkan budaya bahari Mandar yang dilakukan pihak luar ataupun kalangan Mandar sendiri adalah sesuatu yang amat dihargai dan penting dilakukan, namun alangkah baiknya jika yang disampaikan ke masyarakat bukan informasi yang keliru.


3. Mengambil Pelajaran dari Kegagalan Ekspedisi “Sandeq Raksasa”

Akhir

September 2005 yang lalu, perahu yang digunakan dalam Spirit Of Asian Voyager’s Expedition (Ekspedisi Semangat Para Pelaut Asia) kem���������������������������������������� bali ke Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Kabar berlabuhnya kembali di Teluk Mandar “nyaris tak terdengar”, tak satu pun media yang memberitakannya. Radar Sulbar baru memberitakan lebih satu bulan kemudian (Sandeq Nusantara Pulang Kampung, hal. 1 Rabu, 2/11/05). Sangat kontras saat peluncuran ekspedisi: setidaknya ada delapan media massa regional dan nasional yang memberitakan semarak peluncuran ekspedisi. Selasa, 15 Nopember 2005, saya “menjenguk” perahu ekspedisi yang “sakit”. Saya sedih menyaksikan keadaannya. Kegagahannya seakan dilupakan. Beberapa bagian lambung mengalami retak mung­kin karena memuai; dua cadik di bagian buritan dilepas dan disimpan seadanya di pasir pantai menemani sampah-sampah yang berserakan; tadiq, bagian sandeq yang saya kagumi, tergolek di samping lambung perahu dengan tali-tali pengikatnya yang terurai kasar bak bulu landak karena dilepas dengan paksa dari baratang (tali langsung dipotong); fiberglass yang membungkus tiang layar terkelupas di bawah terik dan bambunya mulai ditumbuhi jamur serta pecah-pecah; dan tali tambera yang disandarkan di pohon bersama lewa-lewa (lantai tambahan di samping geladak perahu) seakan berubah fungsi menjadi pagar.

207


208

muhammad ridwan alimuddin

Dulu, saat perahu dibuat, suasana sekitar perahu sangat ramai. Penduduk di Pambusuang dan sekitarnya silih berganti datang melihat proses pembuatan perahu: tukang-tukang perahu Mandar yang berburu waktu menyelesaikan perahu, orang Jepang yang mengawasi pembuatan perahu, seniman Taiwan yang membuat desain pahatan, dan pekerja film yang melakukan pendokumentasian. Itu lampau, sekarang sepi, sunyi. Pendapat Sang Tukang Selesai mengamati perahu ekspedisi, saya menemui kepala tukang pembuat perahu tersebut, Tukang Husain. Perahu ekspedisi disimpan di belakang rumahnya, tepatnya dibawah semacam bangu­nan sederhana beratapkan rumbia, battilang istilahnya. Tempat penyimpanan perahu saat ini berbeda dengan tempat pem­buatannya, keduanya berjarak kurang 100 meter. Tempat penyimpanan berada di timur dari tempat pembuatan. Saya sudah lama mengenal Tukang Husain, sejak tahun 2002. Dia termasuk keturunan para ahli-ahli pembuatan perahu di Mandar, khususnya di Pambusuang. Tujuan saya menemuinya adalah untuk mengkonfirmasi beberapa hal mengenai ekspedisi. Bagaimana pun juga, beliau mempunyai peran penting dalam ekspedisi. Menurut Tukang Husain, perahu ekspedisi juga adalah sandeq. Alasannya, peristilahan “sandeq” tidak didasarkan pada warna dan jumlah bagian-bagian sandeq, misalnya baratang, tetapi “segala sesuatunya dibuat runcing supaya perahu cepat”. Istilah sandeq sendiri muncul ketika layar “segiempat” (tanjaq) pada perahu pakur diganti dengan layar “segitiga” (yang tentunya terlihat runcing); ketika bagian bawah haluan dibuat lebih “tajam”. Alasan lain, berkaitan dengan warna. Sandeq tempo dulu (sebelum tahun 70-an) tidak hanya putih, ada biru, ada kuning, dan palatto pun banyak yang berwarna hitam karena aspal digunakan


sandeq perahu tercepat nusantara

209

untuk melapisi bambu agar awet. Kesimpulannya, sebelum sandeq dominan putih, pernah ada era di mana sandeq “beragam warnanya”. Lalu konstruksi berubah, tepatnya ditambah, sehingga melenceng dari sandeq pada umumnya dilakukan untuk menyesuaikan rute pelayaran yang lama waktunya dan jauh jaraknya. Jadi perubahan wajar-wajar saja menurut sang tukang. Namun pahatan-pahatan di kedua sisi lambung perahu tetap diakui oleh sang tukang bukan bagian dari budaya bahari Mandar. Menurut kolega saya di Jepang setelah melihat foto-foto perahu ekspedisi, pekerja di usaha dokumentasi budaya bahari dunia yang bermukim di Jepang, pahatan di perahu ekspedisi mirip dengan perahu-perahu Suku Yami di Taiwan. Ya, besar kemungkinan ada kaitannya sebab salah satu sponsor utama ekspedisi dan terlibat dalam pembuatan perahu adalah orang Taiwan. “Sandeq raksasa” Sang tukang mengakui bahwa perahu yang dibuat bukanlah sandeq yang umum dibuat oleh tukang-tukang perahu Mandar. Dalam sejarahnya, perahu model demikian baru pertama kali ada di Mandar. Karena pembuatannya mengambil inspirasi dari sandeq, maka perahu tersebut layak disebut sandeq. Namun berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki, saya dan tukang sependapat bahwa perahu ekspedisi bukanlah sandeq yang sebenarnya. Modelnya berdasarkan dari pesanan, dalam hal ini Yamamoto dan kawan-kawannya. Meskipun lambung di bagian buritan terpahat Sandeq Explorer, namun itu hanyalah nama perahu. Saya lalu menanyakan kepada sang tukang kira-kira apa istilah perahu tersebut. Saya bertanya demikian sebab bagaimana pun juga, perahu tersebut tidak boleh hanya dilekati satu kata “sandeq”. Harus ada kata lain yang mengikutinya untuk menjelaskan perbedaannya dengan sandeq jenis lain guna menghindari kesalahpahaman. Ada sandeq pangoli


210

muhammad ridwan alimuddin

(ukurannya kecil sekitar 3-4 meter, digunakan menangkap ikan sambil membuat manuver perahu yang berputar-putar), sandeq parroppong (ukuran sekitar 8 meter, digunakan untuk menangkap ikan di rumpon), sandeq pappasilubangang (dibuat khusus untuk lomba perahu) sandeq bandecceng (cadik berada di atas papan geladak), sandeq tolor (cadik di bawah papan geladak), sandeq calabai (satu cadik dipasang diatas papan geladak, satunya lagi dibawah papan geladak), sande-sandeq (model perahu sandeq yang dibuat sebagai mainan), dan perahu Mandar lain yang secara konstruksi mirip dengan sandeq. Perahu ekspedisi tidak bisa hanya disebut “sandeq”, tetapi harus ada kata yang menjelaskan ciri-khasnya. Jawaban sang tukang, “sandeq raksasa”. Diistilahkan raksasa karena ukurannya yang cukup besar. Tetapi istilah “sandeq raksasa” tidak serta merta menjadi satusatunya istilah utama. Sebab ini baru pendapat pribadi sang tukang, bukan pendapat komunitas; belum menjadi istilah yang umum di masyarakat. Pihak lain di komunitas pelaut Mandar pun berhak memberi pendapat dan istilah. Perlu dipahami, meskipun dilekati istilah sandeq, “sandeq raksasa” tetaplah bukan sandeq khas Mandar sebab ada sekian banyak per­ bedaan dengan sandeq pada umumnya. Perbedaan yang dipengaruhi langsung pendapat dari orang asing dan terjadi dalam waktu relatif cepat, hanya beberapa bulan. Dengan kata lain, “sandeq raksasa” bukanlah bagian dari evolusi sandeq, perubahannya menyimpang, terlepas dari tujuan penggunaan perahu. Dalam evolusi perahu sandeq di Mandar, desainnya dibuat semakin ringan, ramping, dan pendek mungkin namun tetap kuat, lincah, dan cantik. “Sandeq raksasa” sebaliknya: semakin tinggi, bongsor, kaku, dan tidak lincah. Inilah yang perlu dijelaskan ke masyarakat umum, baik di kalangan orang Mandar sendiri maupun


sandeq perahu tercepat nusantara

211

masyarakat lebih kuas. Ironisnya, “sandeq raksasa” itu lebih terkenal dibanding sandeq (asli) di Nusantara. Kelanjutan ekspedisi Menurut Tukang Husain, ekspedisi akan tetap dilanjutkan. Rencana Maret 2006 perahu akan diperbaiki. Bagian-bagian yang perlu diperbaiki antara lain, lambung yang pecah-pecah akan ditambal dan ettaq sanggilang (lekukan tempat memasang kemudi) akan dibuat mendekati tempat duduk pengemudi perahu agar ergonomis saat mengemudikan perahu (tangan tidak terlalu jauh ke arah luar untuk memegang gagang kemudi). Untuk itu sanggilang (sanggar kemudi) akan diganti. Adapun menurut Metro TV, sebagaimana terbaca di pemutaran film dokumenter pelayaran ekspedisi di episode terakhir (15/11/05), ekspedisi tetap dilanjutkan sebab “Sekali layar terbentang, pantang biduk surut ke pantai”. Bila berdasar pada tujuan awal ekspedisi, bisa dikatakan ekspedisi telah gagal. Motto di atas menjadi rancu bila itu dijadikan acuan ekspedisi tetap dilanjutkan. Realitas yang telah terjadi: perahu ekspedisi saat ini ada di Pambusuang; gagal melakukan ekspedisinya. Beberapa tujuan ekspedisi antara lain adalah merekonstruksi hubungan dengan masyarakat Austronesia lainnya di kawasan Pasifik, mencoba membuktikan bahwa perahu “sejenis sandeq” pernah digunakan ke Amerika Selatan, dan membantu mening­ katkan kepedulian terhadap korban tsunami di Aceh (perlu dicatat, keterangan pers akan adanya ekspedisi disampaikan ke masyarakat jauh sebelum bencana tsunami terjadi di Aceh). Jika tujuan tetap dilanjutkan, bisa dikatakan tujuan di atas tidak bisa digunakan lagi untuk ekspedisi selanjutnya. Mengapa? Sebab rencana rute akan diubah. ���������������������������� Sesudah diperbaiki, ada dua rute yang dipertimbangkan, yakni dari Makassar-New GuineaSrilangka-India-Arab, kemudian balik lagi dengan rute yang sama


212

muhammad ridwan alimuddin

tetapi finish di Bali. Sedangkan rute kedua dari Jayapura-TaiwanJepang-China-England-Filipina-In���������������������������������� donesia��������������������������� . Dalam ������������������������� penelitian ilmiah, diperkirakan perahu sandeq, yang baru muncul di awal tahun 30-an, hanya sampai di Selat Malaka, sekitar Laut Sulawesi dan beberapa bagian timur Nusantara yang lain. Sandeq melintasi pesisir anak benua (India) dan memasuki Teluk Persia atau Laut Merah perlu dipertanyakan kebenarannya. Kesimpulan untuk hal ini, unsur keilmiahan ekspedisi yang dulu diragukan semakin diragukan (membuktikan jalur-jalur penyebaran perahu layar bercadik). Mari kita ingat kembali apa yang ditampilkan di Metro TV, ketika perahu ekspedisi tidak bisa berbuat apa-apa ketika mesinnya rusak; ketika solarnya habis. ���� Apa yang harus dibuktikan jika yang diandalkan adalah teknologi yang muncul belakangan? Apakah pelayar-pelayar dulu menggunakan mesin berbahankan solar untuk melakukan migrasinya? Mengapa tidak mengandalkan layar jika memang ingin membuktikan teori? Faktor cuaca? Cuaca jangan dijadikan sebagai dalih utama penyebab kegagalan. Menariknya, Badai Katrina, Rita, dan Wilma dianggap sebagai peng­halang ekspedisi. Setidaknya demikian anggapan yang tersebar di masyarakat Pambusuang dan juga dikutip Radar Sulbar (Sandeq Nusantara Pulang Kampung, hal. 11 Rabu, 2/11/05). Mari kita simak: perahu ekspedisi gagal memasuki perairan Solomon pada akhir Agustus 2005, hampir bersamaan dengan Badai Katrina (24—31 Agustus), sedangkan dua badai yang lain terjadi pada Oktober 2005. Ketiganya terjadi di pantai timur Amerika. Dengan kata lain, meskipun ada efek global, tapi tiga badai yang terjadi di Amerika tersebut bukanlah penyebab utama sebab ada perbedaan lokasi. Jalur ekspedisi kan berlangsung di Samudera Pasifik, sedangkan badai (Katrina) terjadi di Samudera Atlantik. Benua Amerika masih ribuan mil jauhnya, pun ada


sandeq perahu tercepat nusantara

213

dataran Amerika (misalnya dataran tinggi Peru) yang menghalangi efek badai untuk tiba di pantai barat Amerika. Belajar dari ekspedisi sebelumnya Ekspedisi dilanjutkan sah-sah saja. Namun kesalahan dan keke­liruan yang dilakukan hendaknya tidak dinafikan begitu saja. Kesalahan dan kekeliruan itulah yang secara langsung menggagalkan ekspedisi. Ada pihak yang terlibat langsung dalam ekspedisi menyam­ paikan bahwa “orang kuat” di Makassar menginginkan nakhoda perahu berasal dari daerah tersebut (penentuan nakhoda tidak lagi didasarkan pada kemampuan diri, tetapi sudah digantikan keputusan politik); ekspedisi dipaksakan meskipun perahu tidak laik layar (dibuat terburu-buru dengan menggunakan kayu mentah); desain asli perahu sandeq dipermak habis-habisan sehingga memunculkan kesalahpahaman di masyarakat nasional dan internasional dengan alasan agar tahan di lautan (kenyataannya, di perairan Laut Sulawesi katir sudah patah); dan pengurusan administrasi (paspor/visa dan gaji) awak yang tidak beres membuat pelayaran menjadi tidak lancar. Kita harus belajar banyak dari beragam sikap yang dimunculkan oleh orang Mandar sendiri dalam rangka ekspedisi. Ada yang ber­ orientasi uang, politik, kebanggaan semata, dan kemurnian-hati. Awalnya itu tersamar, setelah ekspedisi gagal, sedikit demi sedikit itu terkuak. Jika mata dan telinga tajam menyaksikan film dokumenter yang disiarkan Metro TV, akan muncul pertanyaan, “Mengapa hanya Anhar yang selalu disebut”? Berdasarkan diskusi dengan wartawan penulis naskah dan narator, memang hanya Anhar yang betul-betul mencerminkan sikap seorang pelaut Mandar. Keberanian dalam menghadapi keadaan darurat, kelincahan bergerak di atas perahu, pengetahuan dalam membaca gelagat alam,


214

muhammad ridwan alimuddin

dan sikap sebagai seorang pelaut memberi inspirasi salah seorang antro­polog Taiwan, �������������������������������������������� Syarman Nagapong,��������������������������� yang ikut ekspedisi untuk me­nulis novel berdasarkan pelayaran ekspedisi dengan judul Hero (mudah-mudahan saya tidak salah ingat judulnya), pahlawan yang dimaksud adalah Anhar. Harus berani kita akui, orang Mandar yang telah menjerumuskan ekspedisi pada kegagalan baik langsung maupun tidak langsung lebih banyak dari pada yang mengarahkannya pada jalur yang seharusnya. Memang orang asing atau yang berasal dari daerah lain banyak terlibat dalam ekspedisi dan sebagian diantaranya menjadi penentu, tetapi kesalahan jangan hanya ditimpakan kepada mereka. Alangkah bijaknya jika kita mengoreksi diri sendiri dulu sebelum mengkambinghitamkan orang lain. Tidak salah berorientasi materi, namun sangat tragis ketika idealisme dan pengetahuan tradisi kita korbankan atas nama uang dan popularitas.


4. “Sandeq” yang bukan Sandeq

Sejak

akhir Maret 2005, di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Baharuddin Lopa yang habis terbakar, dikerjakan sebuah perahu yang agak aneh bentuknya. Perahu itulah yang akan menjadi aktor utama pada pelayaran Spirit of Asian Voyagers Expedition (‘Ekspedisi Semangat para Pelaut Asia’), suatu ekspedisi yang katanya “Menuju Sejarah Baru Bangsa Asia!”, bertema “Save the Pacific!” dan “Sandeq for New Asian History”. Ya, perahu itu memang ‘dijual’ sebagai sandeq. Demikianlah sebutannya di beberapa media yang memberitakan pelaksanaan kegiatan itu (misalnya Kompas, 17 Desember 2004: Perahu Sandeq Akan Jelajahi Pasifik Sejauh 40.000 Km). Juga, semacam lembaran konferensi pers yang saya dapatkan menyebutnya sebagai sandeq. Bahkan, menurut lembaran itu, perahu tersebut berjenis ‘ultra sandeq’, dijuluki demikian karena dimensinya jauh lebih besar dari­ pada sandeq pada umumnya: panjang 16 meter, lebar 1,2 meter, dan tingginya—tak tanggung-tanggung—hampir dua meter. Ya, katanya, di Mandar pun pernah dibuat sandeq yang ukurannya hampir sama—akan tetapi, habis bertanya ke mana-mana, kami hanya dengar kabar tentang dua perahu sandeq yang ukurannya (hampir) mendekati sang ‘ultra sandeq’ ini. Ketika kami bertanya kepada nelayan dan tukang perahu setem­pat mengenai jenis perahu itu, mereka pun agak bingung menjawab. Sambil bercanda, ada yang menyebutkannya sebagai “sandeq raksasa”, dan akhirnya masyarakat setempat menyebutnya

215


216

muhammad ridwan alimuddin

sandeq bagang karena perahu tersebut agak mirip dengan alat penang­ kapan ikan yang bisa berpindah-pindah ini. Jenis perahu sandeq Sandeq adalah perahu bercadik khas Mandar. Sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang, warnanya putih, bertiang layar tunggal, layarnya bersegi-tiga, dan mempunyai dua baratang (cadik) serta dua palatto (katir). Penggolongan sandeq paling tidak berdasarkan tiga karakteristik: dari segi konstruksi, peruntukkannya, dan ukuran: Sandeq yang baratang-nya dipasang di bawah geladak disebut sandeq tolor; bila cadik itu dipasang di atas dek, maka disebut sandeq bandecceng; dan perahu ‘campuran’ di antara dua jenis tadi (artinya, baratang haluan di atas, belakang buritan di pasang di bawah geladaknya) diistilahkan sandeq bencong atau calabai (waria). Ada pun atas dasar penggunaannya, sebagai misal adalah sandeq parroppong (digunakan menangkap ikan di rumpon) dan sandeq potangnga (yang digunakan untuk menangkap ikan terbang dan telurnya). Dan yang berdasarkan ukuran: umpamanya, sandeq kayyang (besar, diawaki 3-6 orang) dan sandeq keccu (kecil, diawaki 1—2 orang). Meskipun ada beberapa jenis sandeq, namun ciri utamanya tetap sama. Nah, kalau sebuah perahu bukanlah sandeq, maka ada sebutan lain, yang dapat menandai tipe-tipe perahu yang sangat jelas dan nyata ciri-cirinya. Misalnya, jenis perahu bercadik yang digunakan nelayan Mandar sebelum kemunculan sandeq, pada tahun 1930-an, dinamakan olan mesa (jenis perahu itu terdapat di lambang Kabupaten Majene) dan pakur. Memang, perahu pakur agak mirip dengan sandeq - akan tetapi, ketika mau ditelisik lebih jauh, akan tampak sekian banyak perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan bahwa istilah “pakur” digantikan dengan sebutan “sandeq”. Perahu pakur menggunakan layar segi-empat (layar tanjaq),


sandeq perahu tercepat nusantara

217

bertiang layar tunggal tetapi ukurannya lebih pendek dan kaku sebab disesuaikan dengan jenis layarnya, posisi cadik depan tidak tepat di dekat ujung haluan perahu tetapi agak ke tengah, dan baratang buritannya lebih jauh ke belakang, dekat sanggar kemudinya; bagi para nelayan Mandar perbedaan-perbedaan ini sangat jelas. Adapun kesamaan antara sandeq dan pakur: ujung haluan dan buritan berbentuk limas segi-tiga (ini adalah ciri khas pakur dan sandeq); sanggar kemudi ‘berlapis’ dua, yakni sanggilang moane (lakilaki, bagian atas) dan sanggilang baine (perempuan, bawah); satu tiang layar, dua baratang, dan dua palatto. Bagaimanapun, sebagai angkutan di laut baik pakur maupun sandeq sudah hampir punah: sejak para nelayan Indonesia melengkapi perahu-perahunya dengan mesin, perahu-perahu tak laku lagi. Lalu bagaimana dengan perahu yang akan digunakan untuk ekspedisi itu? Bagi seorang pelaut Mandar, perahu itu jelaslah bukan sandeq. Perahu itu berukuran amat besar, memakai dua tiang dengan tiga lembar layar yang digolongkan sebagai jenis layar nade, ditambah empat baratang dan empat palatto. Jadi, bisa dikatakan, perahu itu bukan sandeq, ‘kan? Selain daripada hal-hal ini, perahu itu menggunakan mesin yang dipasang di dalam lambung perahu, sehingga lambung buritan diubah secara radikal, dan layout geladak, interiornya dan ukiran lambung disesuaikan dengan keinginan sang pemesan. Berhadapan dengan semua modifikasi ini, salah seorang tukang perahu yang mengerjakan perahu tersebut mengatakan secara pasrah, “saya hanya ikut perintah pemesan”. Dengan istilah lain, bila perahu itu mau disebutkan sandeq, ia semacam “sandeq keturunan indo”, tidak lagi ‘berdarah asli Mandar’ meskipun dikerjakan oleh tukang perahu Mandar. Nah, apapun jenis perahunya, sebagai pencinta kebudayaan dan tradisi bahari, kami mengharapkan pelayaran tersebut ber­


218

muhammad ridwan alimuddin

jalan dengan sukses, sebagaimana yang diharapkan oleh para penggagasnya. Akan tetapi, selain soal sebutan alat pelayarannya, ada masalah yang jauh lebih krusial, yaitu salah satu dasar teknis perkapalan: yang namanya perahu layar selalu harus memperhatikan perhitungan stabilitas. Pada sebuah perahu sandeq ‘biasa’, soal itu dipecahkan melalui beberapa rumus perbandingan antara daya apung katir, lebarnya cadik dan besarnya layar serta bentuk lambung. Artinya, bambu katir, palatto, harus memiliki ukuran dan berat tertentu supaya dapat menyeimbangi sebuah perahu yang berukuran tertentu; dan karena palatto itu sangat penting untuk menciptakan stabilitas dalam berlayar itu, maka bambu yang dipakai dikerjakan dengan amat seksama dan lama. Apa artinya bagi perahu ‘ultra-sandeq’ itu? Jelas, palatto-nya harus ‘ultra’ juga, artinya, daya apung yang ditimbulkan oleh bambu penyeimbang itu harus sesuai dengan daya-daya yang disebabkan oleh angin dan ombak yang ingin membalikkan perahu. Akan tetapi, bambu yang ukurannya sesuai dengan sebuah perahu yang sebesar perahu ekspedisi itu tak pernah ada, sederhananya, secara alami, bambu bagaimanapun tak pernah tumbuh dalam ukuran yang diperlukan itu. Konon ceritanya, kedua perahu sandeq raksasa buatan Mandar yang disebtukan sebelumnya memakai ‘katir dobel’, artinya, dua batang bambu dipasang sejajar pada masing-masing sisi perahu agar daya apung palatto dapat menahan keseimbangan perahu. Pada perahu ekspedisi Borobudur ke Afrika 2003—2004 hal itu diantisipasi dengan menggunakan lambung perahu lebar yang dengan ini memiliki stabilitas yang inheren. Para ahli perkapalan yang dilibatkan dalam pelayaran Borobudur itu dari awal sadar, bahwa mereka takkan mendapatkan bambu katir yang dapat menyeimbangi perahu. Sebaliknya, mereka menyimpulkan, bahwa tujuan utama penggunaan katir dan cadik pada perahu-perahu abad


sandeq perahu tercepat nusantara

219

ke-9 bukan guna menjaga stabilitasnya, tetapi lebih-lebih sebagai tempat yang sangat cocok untuk mendayung. Jadi, apa solusinya bagi para petualang Asian Spirit itu? Karena memang tiada bambu yang panjangnya sesuai dengan yang mereka perlukan, diputuskan memasang dua pasang katir dan cadik. Hal itu tak dapat memecahkan masalah volume palatto, kriterium pertama yang menentukan daya apungnya. Malahan lagi, karena ternyata mereka tidak mendapatkan palatto yang siap pakai, maka diputuskan memesan bambu baru dari hutan—dengan melupakan, bahwa bambu yang basah adalah sekitar tiga sampai empat kali lebih berat daripada bambu kering, sehingga daya apungnya hanya sepertiga atau seperempat dari bambu kering. Bukan tanpa alasan para pelaut Mandar selalu menggunakan bambu yang dikeringkan melalui sebuah proses rumit yang memerlukan empat sampai enam bulan. Dan, sebenarnya, hal itu berlaku juga untuk kayu yang mau dijadikan perahu. Ketika kami terangkan cara pembuatan palatto dan mengingat­ kan mereka akan bahaya yang akan mereka hadapi bila menggunakan katir dan papan lambung yang tidak kering, penterjemahnya tidak bersedia untuk menyampaikan peringatan-peringatan kami kepada sang pemimpin ekspedisi ini, Yamamoto-San. Malahan, jawaban yang diberikan oleh juru bahasa itu kepada kami cukup mengherankan: “Semua yang ikut sudah tahu konsekuensinya.â€? Bagi orang yang bukan ahli perkapalan: cobalah kita simak sebuah analogi. Apakah Anda akan mengendarai sebuah mobil yang velgnya bengkok sampai ke Manado? Bila Anda tidak tahu bawah mobil memerlukan ban bundar? Ya, mungkin, tapi apakah Anda akan tiba dengan selamat? Atau: Kalau tahu bahwa ban Anda tidak bundar, dan mengerti bahwa bannya seharusnya bundar, apakah Anda akan menggunakannya? Dalam kasus ini: ekspedisi itu tidak hanya akan sampai ke Manado, tetapi menempuh suatu


220

muhammad ridwan alimuddin

pelayaran lebih dari 30.000 mil laut—ke Manado hanya sekitar 1.500 km, artinya itu hanya sepersekian dari rute pelayaran yang maunya ditempuh dengan “ban tidak bundar” tersebut. Bagaimanapun, setelah kami memperlihatkan perbedaan berat­ nya bambu kering dan basah secara langsung kepada YamamotoSan dengan menggunakan dua batang bambu yang demikian, diputuskan meminta bambu palatto dari para pemilik perahu sandeq lomba; kami pun ikut mengorbankan salah satu palatto milik kami. Akan tetapi—bambu-bambu katir itu sesuai dengan perahu berukuran sampai 12 meter saja; bila dipasang pada sebuah perahu yang 1/3 kali lebih panjang daripada perahu sandeq lomba terpanjang, maka, secara logis, tinggallah 2/3 dari daya apung awalnya, bukan? Bukan hanya kami yang risau akan hal-hal ini. Salah seorang tukang perahu yang disegani di Mandar pun dengan otoritas penge­ tahuan yang dimilikinya mengkhawatirkan akan jumlah susunan papan lambung yang terlalu banyak dan yang posisinya tegak lurus terhadap tekanan air. Seharusnya, perahu yang terdiri dari beberapa susunan papan lambungnya dibuat melebar agar stabilitas yang terancam oleh ketinggian itu dapat diseimbangi. Cobalah saja Anda simak perbedaan antara sebuah buku yang ditegakkan di atas sisi punggungnya dengan sebuah buku yang dibaringkan di atas sisi sampulnya! Di sini perlu dijelaskan, bahwa sebuah perahu sandeq ‘biasa’ hanya terdiri dari belang (kayu gelondongan yang dikeruk bagian tengahnya) sebagai dasar perahu dan satu atau dua urat papan tambahan. Dan paling banter tingginya sekitar satu meter— sementara bentuk lambung perahu yang akan digunakan ekspedisi tersebut terdiri dari belang dan lima urat tambahan, sehingga lam­ bungnya mencapai ukuran hampir dua meter. Tidak apa-apa jika lambungnya agak lebar—akan tetapi, yang terjadi adalah lebar­nya


sandeq perahu tercepat nusantara

221

tidak jauh berbeda dengan sandeq pada umumnya, yakni amat ramping. Sederhananya, lambung perahu sendiri sama sekali tak stabil, dan alat penambah stabilitas, yaitu palatto, tak sesuai ukurannya, sehingga rawan terbalik. Ada seorang nelayan Mandar yang meminta masukan ketika ada tawaran kepada dia sebagai salah seorang calon pelayar pada ekspedisi tersebut. Maksudnya, jika ekspedisi tersebut menggunakan judul pelayaran dengan sandeq, apa yang terjadi jika ekspedisi tersebut gagal, misalnya perahu rusak? Sandeq yang menjadi kambing hitam? Apakah nanti takkan ada komentarkomentar seperti “ternyata sebatas itu kemampuan sandeq”? Sebenarnya, ketika Yamamoto-San pertama kali menemui kami dan menanyai pendapat kami, secara langsung kami menyarankan agar ekspedisi itu sebaiknya menggunakan dua perahu sandeq ‘biasa’ saja—semua kesulitan-kesulitan tentang jadwal pembuatannya yang sagat mepet dan sekian banyak masalah teknis terpecahkan dengan otomatis, dan kami cukup yakin bahwa sebuah perahu sandeq yang dipersiapkan dengan baik dapat menempuh pelayaran itu. Bagaimanapun, yang terjadi saat ini adalah sandeq Mandar hanya menjadi semacam inspirasi bagi tim petualang itu—dan kelaiklautan sandeq dikorbankan atas nama inspirasi itu. Mungkin kekhawatiran sang pelaut Mandar tadi, apakah nanti takkan ada kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahui bentuk sandeq yang sebenarnya? Maksudnya, ketika mereka melihat perahu tersebut baik lewat foto, film, atau secara langsung, maka mereka akan menganggap bahwa itulah ‘sang penari di atas ombak itu’—padahal pelaut itu sendiri tahu, bahwa perahu ekspedisi ini bukanlah sebuah sandeq na malolo, ‘nan elok’, dan cara menarinya pun tak mungkin begitu lincah dan gemulai.


5. Napak Tilas yang Meragukan

Berdasarkan

informasi yang kami dapatkan, rencana rute eks­pedisi adalah “Majene—Makassar—Kep. Solomon—Kep. Tahiti—Kep. Easter—Peru—Meksiko—Los Angeles—Kep. Hawaii —Kep. Fiji—Bali/Jakarta—Bali/Jakarta—Taiwan—Jepang” demi “merekonstruksikan kembali [...] sejarah perjalanan laut bangsabangsa Asia”. Tak susah untuk menebak bahwa rute ini merupakan semacam napak tilas pelayaran orang-orang Austronesia menuju kawasan Polinesia—dan itulah keterangan pertama yang kami dapatkan mengenai tujuannya para petualang itu. Hal migrasi itu dikenali dengan baik oleh banyak ilmuwan, dan terutama di Polinesia sendiri sejak tahun 1970-an diadakan sekian banyak event dan petualangan yang memperingati dan ‘merekonstruksi’ penyebaran manusia terbesar melalui laut ini. Akan tetapi, para ilmuwan tahu, bahwa migrasi itu tidak menuju ke satu arah saja, tetapi terdiri dari berbagai gerakan manusia ke segala arah angin. Perlu pula dicatat, bahwa migrasi itu tidak terjadi dalam satu kali pelayaran atau satu tahap saja, tetapi menghabiskan waktu ratusan tahun dengan ribuan pelayaran, sehingga semua pulau di Samudera Pasifik didapatkan dan jadi dihuni oleh manusia. Ada yang ironis, jika kita bersandar pada kalimat “merekonstruksi kembali, sekaligus menciptakan sejarah baru perjalanan laut bangsabangsa Asia dengan menggunakan kekayaan ilmu-ilmu kelautan dan pelayaran terbaik yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia sendiri”, yaitu mengapa harus memodifikasi secara radikal konstruksi sandeq yang notabene merupakan “kekayaan ilmu-ilmu kelautan dan

222


sandeq perahu tercepat nusantara

223

pelayaran terbaik� yang dimiliki tukang perahu Mandar? Apakah itu menyiratkan keraguan pada kemampuan sandeq mengarungi samudera luas? Mengapa tiang layarnya harus dua, baratang dan palatto-nya harus empat, dan mengapa pallayarang (tiang layar) dan palatto-nya harus dibungkus dengan fiber-glass - apakah ini kekayaan tradisi kebaharian Mandar? Cukup mengherankan pula mengapa dipakai layar segitiga jenis nade yang notabene berasal dari pengadopsian jenis layar barat sloop yang di Barat pun baru mulai digunakan pada abad ke-20 ..... Nah, kalau ekspedisi ini memang ingin menjadi sebuah napak tilas atas sejarah orang Austronesia, maka perlu ditanyakan, mengapalah para penyelenggaranya tidak menggunakan penemuanpenemuan indigen masyarakat itu. Misalnya, kendaraan laut Austronesia yang terbukti terbaik di atas samudra luas, tipe-tipe perahu Mikronesia dan Polinesia, bukan perahu bercadik ganda, tetapi bercadik tunggal atau berbentuk katamaran—cobalah Anda simak gambar-gambar perahu pada misalnya buku standar tentang jenis-jenis perahu Austronesia oleh A.C. Haddon dan J. Hornell, Canoes of Oceania (Honolulu, 1936). Salah satu alasannya adalah bahwa cadik ganda kemungkinan besar diciptakan setelah orang-orang yang sampai ke Polinesia meninggalkan kawasan Nusantara. Suatu alasan lain: kelihatannya, perahu bercadik ganda agak susah digunakan di samudra, karena cadiknya gampang patah kalau ‘dijepit’ antara ombak-ombak tinggi. Dari pelbagai penelitian sejarah dan etnografis diketahui bahwa jenis-jenis perahu yang dipakai di samudra lepas oleh para pelaut Austronesia paling unggul, orang Mikronesia, menggunakan katir tunggal yang dipasang sedemikian rupa agar katirnya selalu berada di sebelah atas angin. Oleh karena itu bukan daya apung katir, tetapi beratnya dan sudut jatuhnya menjadi penjamin stabilitas perahu, dan penghubung katir ke lambung, cadiknya, tak terancam


224

muhammad ridwan alimuddin

patah bila kena ombak tinggi. Nah, kesimpulannya gampang: tidak ada hubungan antara perahu yang dibuat untuk ekspedisi ini dengan perahu-perahu yang digunakan di kawasan Oseania. Jadi, sejarah apa yang mau dibuktikan dengan pelayaran ini? Dengan kata lain: apakah menggunakan ‘sandeq’ yang bukan sandeq untuk merekonstruksikan suatu sejarah yang tak pernah terjadi bukankah suatu pembodohan bagi khalayak ramai? Ketika hal itu kami tanyakan kepada Yamamoto-San, beliau hanya ketawa: “Kalau tujuan saya sendiri bukan mengadakan satu pelayaran rekonstruksi sejarah, tetapi memperlihatkan, bahwa laut dapat mempersatukan bangsa-bangsa dunia ini!” Ya, Pak Yamamoto, kami sangatlah setuju. Tapi kok, dari apa yang ‘dijual-jual’ oleh pihak-pihak tertentu dalam proyek ini publik menyimpulkan kesan yang lain .... Kami tahu, pelayaran ini hanya salah satu dari sekian banyak petualangan amat mengagumkan yang memang telah menjadi tujuan hidup sang penggagasnya, Yamamoto-San. Dalam berbagai diskusi dengan dia, kami sangat menghormati keberanian dan kepedulian beliau, dan kami juga tahu bahwa bukan dialah yang ingin menjual pelayaran petualangan ini sebagai suatu kegiatan semi-ilmiah. Yang harus kita sayangkan adalah para penumpang pada proyek itu—penumpang-penumpang yang tidak akan kita temui di atas perahunya. Akan tetapi, keraguan kami tak berhenti di sini saja. Ada pun sebuah pepatah pelayar-pelayar barat yang berbunyi, “ke barat, adik, ke barat, janganlah ke timur.” Maksudnya, melawan angin timur yang terus-menerus berhembus di sabuk pasat tidak pernah mau disarankan oleh pelayar-pelayar terkemuka dunia. Misalnya, semua percobaan orang Spanyol untuk melawan angin trade winds di Samudra Pasifik itu gagal dan berakhir dalam kematian dan


sandeq perahu tercepat nusantara

225

kehancuran—bacalah saja cerita pelayaran Saavedra dan Mendaña yang mengharukan dan memilukan itu. Pengalaman-pengalaman itu menyebabkan perahu-perahu layar Spanyol pada pelayaran Filipina—Amerika memilih sebuah rute yang melewati bagian utara Pasifik—dan rute itu pun amat susah, panjang, melelahkan, dan bahkan membahayakan. Pelayar Polinesia memang mencoba menghadapi angin pasat itu dengan menggunakan suatu fenomena alam yang kita kenali sebagai El Niño, yaitu angin barat yang kadangkala muncul melawan angin pasat. Alasannya sama dengan yang digunakan hampir semua penemu benua baru yang cerdas, yakni coba ‘mencuri-curi jalan’ ke arah utama angin, agar ketika apa yang dicari tidak ditemukannya, sang pelayar dapat kembali cepat dengan menggunakan angin dari belakang. Menurut keterangan-keterangan yang disampaikan YamamotoSan dan teman-temannya, mereka berencana untuk mengambil haluan dari Tahiti ke arah selatan agar dapat menemukan angin yang menguntungkan di situ. Kawasan bagian selatan Samudra Pasifik terkenal sebagai the roaring fourties, artinya “empatpuluhan yang teriak-teriak”, suatu istilah yang menggambarkan bunyi di tali-tali tiang layar yang disebabkan oleh angin yang bertiup sangat kencang. Kawasan di antara 40o dan 50o Lintang Selatan itu terkenal sebagai salah satu wilayah laut yang paling treacherous, ‘paling berbahaya’, yang dikenali dalam dunia pelayaran. Memang, di kawasan itu terdapat angin barat yang bisa mendorong perahu ekspedisi ke Amerika – akan tetapi, angin itu amat sangat kencang, dan tidak pernah berhenti meribut ... cobalah Anda tanya ke pelayar-pelayar Australia mengenai cerita-cerita mereka akan kawasan itu. Dan cobalah Anda membayangkan berlayar dalam roaring fourties dengan sebuah perahu yang dibuat dengan terburuburu, dengan alat keseimbangan yang tak seimbang, yang bahkan


226

muhammad ridwan alimuddin

lagi dikurangi daya apungnya dengan sebuah lapisan fiberglass, suatu penambahan berat yang berkisar 10-20%. Cermin Kepedulian? Pertanyaan utama kami amat gampang: kalau memang mau mengharumkan nama Mandar, mengapa para pengurus proyek tidak menggunakan saja sandeq asli berukuran besar kalau yakin bahwa perahu sandeq itu dapat menempuh pelayaran tersebut. Karena ukuran, daya tahan, cara melayarkannya, dan sebagainya, teruji. Para pelaut Mandar pun sangat lincah dalam memakainya. Sekali lagi: kami sangat yakin sebuah perahu sandeq ‘biasa’ dapat menempuh pelayaran dengan rute yang direncanakan itu asal tidak dilakukan terburu-buru. Pemerintah di segala tingkatan sangat mendukung kegiatan Spirit of Asian Voyagers Expedition. Kegiatan ini dapat mempromosikan Sulawesi Barat sebagai provinsi baru, keulungan pelaut-pelaut Mandar, dan Indonesia sebagai benua maritim. Akan tetapi, kami meragukan komitmen pemerintah terhadap kebudayaan bahari yang lebih luas. Contoh kasus yang masih mempunyai benang merah adalah Sandeq Race: sejak lomba itu mulai ditangani pemerintah pada dua tahun silam ini, para peserta tak henti-hentinya mengeluh atas cara pelaksanaannya. Apakah Sandeq Race 2005 yang tinggal kurang tiga bulan lagi sudah ada di benak pemerintah? Tidak mengherankan kalau terjadi kekacauan dan pelecehan terhadap ketulusan dan kesahajaan pelaut Mandar: jajaran pemerintah, tepatnya sekian banyak ‘oknum’ di situ, tidak menghadapinya penuh cinta. Mereka hanya menganggap sandeq dan para pelayarnya sebagai pelengkap pada suatu komoditas dagang, komoditas pariwisata, alat untuk mengangkat gengsi daerah, dan proyek kebanggaan semu lainnya. Apakah mereka tidak menyadari, bahwa pada saat ini Sandeq Race adalah wadah terakhir yang terbukti mampu “memperpanjang nafas” tradisi kebaharian


sandeq perahu tercepat nusantara

227

Mandar, ketika sandeq tidak dipakai lagi untuk melaut dan mencari ikan? Dan apakah mereka tahu, bahwa yang sebenarnya menjadi pewaris pengetahuan tradisi kebaharian Mandar adalah para nelayan, para pelaut, para tukang perahu, dan komunitas mereka? Ekspedisi yang telah dimulai 15 Mei 2005 lalu adalah suatu kegiatan yang patut diapresiasi dengan baik. Penggagasnya, para tukang perahu dan pihak lain yang terlibat telah melakukan kerja keras; ratusan juta dana dikeluarkan untuk ekspedisi tersebut; dan jarak yang akan ditempuh adalah cerminan bahwa ekspedisi ini bukanlah kegiatan sembarangan. Namun—apakah perlu lagi dan lagi orang asing harus datang untuk mengingatkan kita akan sejarah kebaharian Nusantara? Dan apakah orang-orang Indonesia harus menjadi penumpang di situ—tak mampukah bangsa ini mengadakan kegiatan serupa dan sebesar itu secara mandiri? Dan —apakah perlu ada orang-orang kita yang mengharumkan diri dengan bermacam-macam kesemuan akan sejarah, budaya dan tradisi bahari Mandar dan Nusantara?



Bab IV “Sandeq� Sebagai Logo dan Ide Paten

Sandeq Potangga: Sandeq yang digunakan untuk menangkap ikan, baik ikan pelagis di sekitar rumpoan maupun untuk menangkap ikan terbang beserta telurnya.

229


1. Buat Apa Mempatenkan Sandeq?

Penulis pernah membuat tulisan tentang hak paten atas pinisi, di dalam buku Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004)�. Ketika ada ide mengenai hak paten atas sandeq, tidak adil rasanya jika saya tidak membuat tulisan yang sama. Tapi yang lebih adalah, saya harus mempunyai motivasi sama atas kedua perahu tersebut: tidak boleh ada diskriminasi. Sebelum memasuki wacana tentang hak paten atas sandeq, penulis mengutip tulisan tentang ide mempatenkan perahu pinisi. Judul eseinya nya di dalam buku di atas adalah Hak Paten Pinisiq: Dagelan Terlucu di Dunia. Sangat lucu, saya sampai kesulitan untuk menghentikan tawa ketika selesai membaca artikel di koran FAJAR (saya lupa catat tanggal dan hari terbitnya) yang memberitakan adanya hak paten untuk perahu pinisi. Siapa dalang dan pemeran lawakan itu? Apa maunya? Apakah mereka tahu apa itu pinisi? Apanya yang mau dipatenkan? Baik informasi yang berasal dari teman-teman yang berasal dari Bulukumba ataupun informasi dari media massa, tujuan utama Pemerintah Daerah Bulukumba adalah mempatenkan perahu pinisi. Seperti pertanyaan terakhir di atas, apanya yang mau dipatenkan? Untuk menjawabnya, mungkin analogi adalah cara yang sedikit lebih pas. Misalnya satu unit komputer. Tidak ada perusahaan yang memiliki hak paten 100% pada satu unit komputer. Maksudnya, di tiap bagian-bagian komputer patennya

230


sandeq perahu tercepat nusantara

231

dimiliki oleh pihak-pihak (pemegang hak) yang berbeda. Misalnya LCD, mouse, bentuk keyboard, icon, sampai software yang diinstal didalamnya. Sedikit mustahil sebuah perusahaan memiliki paten secara penuh atas hardware dan software di sebuah komputer, kecuali apa yang digunakannya adalah hasil riset mereka sendiri. Lalu bagaimana dengan perahu pinisi? Defenisi pinisi saja sudah sedikit rumit, apalagi bagian-bagiannya. Sebelum membahas defenisi perahu pinisi, mari kita simak sebagian kecil bagian-bagian perahu pinisi. Pinisi terdiri dari 7—8 layar; terdiri dari dua tiang agung; bentuk haluan sedemikian rupa; ruang kemudi sedikit di bagian buritan; terdiri dari banyak susunan papan yang mempunyai nama-nama tersendiri; dipasang dengan menggunakan ratusan pasak kayu dan logam; sela-sela persambungan papan diisi sejenis kulit kayu bersama tali agar air laut tidak masuk; dibuat dengan pengetahuan tak tertulis dan dengan ritual tersendiri; dan puluhan bagian-bagiannya lainnya yang sulit untuk dijelaskan satu persatu di sini. Siapa yang memiliki hak paten itu semua? Siapa yang mene­ mukan bentuk layar yang ada di pinisi? Siapa yang menemukan bentuk tiang agung yang memudahkan pengembangan layar pinisi? Siapa yang menentukan rumus pemasangan lambung pinisi? Siapa yang menentukan bahwa ritual “itulahâ€? yang harus dipraktekkan? Siapa yang pertama kali memasang dua kemudi di kiri-kanan lambung buritan pinisi? Lalu siapakah yang meng-ide-kan menggunakan kemudi di tengah buritan perahu? Siapa pula yang menentukan istilah cocoroq; tarengke; passoq; kalabiseang; tambera; dan bagian lain pinisi? Siapa yang menemukan teknik penyambungan tulang-tulang (tajoq) lambung perahu? Apakah Pemerintah Daerah Bulukumba sudah mengetahui itu semua? Saya sangat yakin, mustahil untuk


232

muhammad ridwan alimuddin

menemukan siapa penemu-penemu itu. Pinisi terdiri dari “hardware – software” yang dirumuskan oleh nenek moyang tukang-tukang perahu yang bila ditelusuri kita harus sampai ke ribuan tahun yang lalu ketika orang-orang Austronesia memulai ide untuk menyebrangi Laut Cina Selatan. Pinisi hanyalah salah satu jenis perahu dari sekian jenis perahu yang dibuat di Tana Beru, Bulukumba. Ada banyak jenis perahu kayu lainnya yang “hardware” dan “software-nya” sama dengan pembuatan perahu pinisi. Hal yang juga dipraktekkan di daerah lain di luar Bulukumba yang juga mempunyai tradisi pembuatan perahu. Lalu siapa yang berhak memiliki perangkat-perangkat itu ketika hal yang sama juga ada di tradisi pembuatan perahu Butun, Bajau, Bugis, Makassar dan Mandar? (pembuat perahu pinisi adalah orang Konjo yang bahasanya berbeda dengan lima suku di atas). Juga perlu diingat, perahu pinisi baru muncul di abad ke19. Karena itu yang terjadi, tidak mungkin pinisi dibuat dengan pengetahuan yang muncul secara tiba-tiba. Artinya, teknik pembuatan perahu pinisi didasarkan pada teknik pembuatan perahu sebelum­ nya, misalnya padewakang. Padewakang pun berasal dari teknik pembuatan perahu sebelum perahu padewakang muncul. Demikian seterusnya jika terus dirunut ke belakang. Saat ini proses itu tetap terjadi. Pinisi terus dimodifikasi sehingga yang terjadi saat ini perahu pinisi sudah punah. Yang ada adalah PLM atau perahu layar motor yang notabene menggunakan mesin. Penggunaan mesin pada gilirannya mengubah konstruksi asli pinis: layar sebagian besar “dibuang”; konstruksi lambung diberi banyak tambahan untuk menfasilitasi “benda-benda baru”; dan tradisi pun ikut berubah. Lalu dimana harus mengambil titik awal atau standar untuk mengatakan bahwa “Perahu itulah pinisi?”. Jika itu tidak terjawab dan mustahil untuk menjawabnya, maka mustahil pulalah untuk


sandeq perahu tercepat nusantara

233

mempatenkan pinisi. Saya curiga Pemerintah Daerah Bulukumba mengambil istilah hak paten hanya retorika sok belaka tanpa ada alasan yang kuat secara ilmiah untuk menggunakan istilah itu. Bagaimana dengan sandeq? Judul artikel ini bisa diganti dengan “Hak Paten Sandeq: Dagelan Terlucu di Dunia #2”. Ya, ide atas hak paten sandeq adalah “komedi yang penuh ironi” di dalam dunia per-perahuan kita, baik di Nusantara maupun di Mandar. Pemerintah lebih banyak terfokus pada status-status formal atas budaya yang berkembang di daerahnya. Jika memang bisa mempatenkan sandeq, itu adalah tahap atau level yang kesekian; yang lebih tinggi. Dalam kasus ini, pemerintah seolah-olah melakukan lompatan yang amat tinggi, lompatan yang terlihat lucu sebab tidak ada proses sebelum itu: tidak ada proses belajar, tidak ada proses pemahaman. Yang ada adalah ketakutan bahwa jika patenisasi tidak dilakukan, orang asing yang akan mempatenkan. Ketakutan yang muncul sebab tidak ada pemahaman! Ada beberapa alasan mengapa Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar tidak berhak mempatenkan sandeq. Sandeq adalah unsur kebudayaan Suku Mandar. Apakah hanya kabupaten ini yang hanya ber-suku Mandar? Bagaimana dengan Kabupaten Majene? Bagaimana dengan Kabupaten Mamuju? Jika memang “Bisa”, harus lintas kabupaten, yaitu atas nama Provinsi Sulawesi Barat. Bagaimana dengan tukang perahu ber-suku Mandar di tempat lain? Sama seperti kasus pinisi yang telah dituliskan sebelumnya, teknologi yang berkembang di sandeq bukanlah teknologi indigen atau asli (original) Suku Mandar melainkan pengaruh dari banyak budaya, baik yang berada dalam golongan suku-suku Austronesia maupun pengaruh Eropa. Yang terlihat jelas adanya pengaruh Barat


234

muhammad ridwan alimuddin

adalah layar yang “masandeq” (runcing). Siapa yang pertama kali menggantikan layar tanjaq (segiempat) di pakur? Apakah pemerintah memahami hal ini? Di kalangan pelaut Mandar ada beberapa versi, ada yang mengatakan pertama kali dikembangkan tukang perahu di Majene dan ada yang mengata­ kan dari Polman (sebenarnya dulu belum ada pembagian wilayah administratif). Pemerintah sudah ada kajian mendalam akan hal ini? Sebagai misal, Pemerintah Polman sudah mempatenkan. Lalu ketika ada kajian ilmiah bahwa sandeq pertama kali berkembang di Majene, bagaimana status paten tersebut? Atau Kabupaten Polman hanya mempatenkan sandeq yang dibuat di Polman? Ah, lucu jika itu yang terjadi! Begitu juga dengan teknik pembuatan sandeq. Pengetahuan dan teknologinya hampir sama dengan suku-suku di Provinsi Sulawesi Selatan. Persis sama! Yang membedakan adalah bentuk, sandeq mempunyai beberapa ciri khas. Pemerintah yang mau mem­ patenkan memahami ciri khas sandeq? Jika belum, ide patenisasi dipendam dulu! Hampir mustahil jika sebuah unsur kebudayaan ditafsirkan sebagai unsur kebudayaan milik sebuah wilayah administratif (modern). Jika memang ada kesepakatan bersama kabupatenkabupaten di Sulawesi Barat untuk mempatenkan sandeq, bagai­ mana dengan tukang-tukang Mandar yang berada di daerah lain, misalnya di Ujung Lero (Pinrang, Sulawesi Selatan) dan orangorang Mandar di beberapa pulau di Selat Makassar dan Laut Jawa? Apakah mereka tidak berhak mengatasnamakan perahu yang mereka buat adalah sandeq? Juga sifat mustahil yang terjadi jika ada pihak-pihak (asing) yang mempatenkan sandeq, sebagaimana yang ditakutkan. Dunia akan mentertawai jika itu yang terjadi. Namun ini harus dengan catatan, bahwa dunia harus tahu bahwa sandeq adalah kebudayaan


sandeq perahu tercepat nusantara

235

yang dikembangkan oleh Suku Mandar. Ya, yang seharusnya dilakukan bukan paten-patenan, melain­ kan adanya kajian ilmiah yang amat mendalam akan sandeq, dokumentasi berbagai bentuk atas kebudayaan sandeq, dan memper­ kenalkan sandeq ke dunia luar dengan terus-menerus. Idealnya ini dilakukan atas fasilitas pemerintah daerah bekerjasama dengan dunia perguruan tinggi atau para peneliti. Jika hanya berhenti pada paten, ini sama saja omong kosong. Mengapa penulis katakan bahwa pemerintah terlalu berlebihan atau melompat terlalu jauh yang bukan pada levelnya, sebab selama ini pemerintah belum pernah mengadakan diskusi ilmiah atas sandeq, belum pernah mendanai proyek riset besar-besaran atas sandeq, dan pemerintah belum pernah ada upaya serius untuk melestarikan sandeq dalam arti yang sebenarnya. Yang terjadi hanya kebanggaan bahwa sandeq “Ada di daerahkuâ€?, tidak lebih dari itu! Jika hal-hal ini sudah dilakukan, barulah kita masuk wacana paten. Ya, jika memang sandeq bisa dipatenkan. Apakah memang bisa? Paten identik dengan dunia industri (baca: komersialisasi), bahwa ketika ada orang atau pihak lain yang membuat suatu karya yang paten-nya milik orang lain, maka si pihak yang membuat tersebut harus membayarkan dengan harga tertentu ke penemu karya. Jika dibawa ke kasus sandeq, secara sederhana bisa dikatakan sebagai berikut: Jika ada pihak lain di luar kabupaten X membuat sandeq, maka dia harus membayar ke kabupaten X. Yang jadi pertanyaan adalah, sebenarnya apa motivasi pemerin­ tah untuk mempatenkan sandeq? Pembayaran royalti sebagai sumber APBD atau untuk si tukang sandeq? Jika sebagai sumber APBD, alangkah tidak ber-etikanya. Ya, apakah pemerintah pernah membuat sandeq? Apakah mereka komunitas yang berada di dalam


236

muhammad ridwan alimuddin

proses pewarisan teknologi sandeq? Bisa dipastikan: bukan! Jadi, jika memang sandeq ada paten-nya; jika ada pihak lain yang membuat, maka pembayaran adalah untuk mereka. Pemerintah sama sekali tidak punya hak, kecuali pajak. Tapi ini kan sesuatu yang mengada-ada. Jika ada orang Ujung Lero yang membuat sandeq, apakah akan membayarkan ke orang Pambusuang? Ah, lucu. Lalu buat apa juga orang asing (luar negeri) membuat sandeq? Sebagai perahu buat nelayan di negara mereka? Ini pasti tidak mungkin, dan mustahil untuk amat persis dengan sandeq. Teknologi yang melingkupi pembuatan sandeq adalah warisan yang universal, milik umat manusia secara bersama-sama (the common heritage of mankind), paling tidak di kawasan Austronesia. Jika memang ada orang asing yang ingin memiliki sandeq, kemungkinan besar atas dasar sebagai koleksi, misalnya untuk museum. Dan biasanya, yang diinginkan adalah barang yang asli, yang dibuat oleh si tukang perahu asli. Jadi, mau tak mau mereka harus memesan sandeq di Mandar jika memang ingin memilikinya. Singkat cerita, ujungnya bisa diketahui: ada pendapatan atas sandeq. Sekali lagi, buat siapakah pendapatan tersebut? Buat si tukang sandeq atau untuk pemerintah? Yang juga harus dipahami adalah, sandeq secara terus-menerus mengalami evolusi. Ini dilakukan oleh para tukang perahu. Beberapa tahun belakangan, yang secara langsung atas pengaruh Sandeq Race, tukang perahu membuat perahu yang “jauh berbeda� dengan sandeq sebelumnya. Sandeq yang dibuat di millenium ini dibuat semakin panjang, semakin ramping, dan semakin pendek. Siapa yang melakukan inovasi itu semua? Jika memang ada inovasi baru, merekalah yang berhak mendapatkan paten, BUKAN PEMERINTAH! Pemerintah hanya bersifat menfasilitasi agar penemuan para tukang perahu itu mendapat paten. Tapi apakah pernah ada kajian pemerintah tentang pembuatan sandeq dewasa


sandeq perahu tercepat nusantara

237

ini? Koq tiba-tiba berani meng-idekan paten? Berapa sih pemesan sandeq dari darah lain; negara lain? Apakah pembelian sandeq oleh orang/pihak lain mengandung potensi pajak yang tinggi? Sebagai penutup, pemerintah harus mengkaji ulang atas keinginan mem-paten-kan sandeq. Harus memahami dengan baik UU No.19/2002 tentang Hak Cipta, UU No. 14/2001 tentang Paten, dan yang lebih penting adalah memahami bahwa sandeq itu sebenarnya apa?


2. Mustahil Mempatenkan Sandeq

Sebab

sandeq terdiri dari banyak bagian-bagian: lebih 30 nama-nama bagian sandeq. Beberapa diantaranya: pallayarang, baratang, tadiq, palatto, paccong, sangawing, paqlea, papang tobo, papang gambus, tajoq, kalandara, paqmanuq-manuq, pallapis palatto, pallapis baratang, caliccing aju pallayarang, tambera, tambera jalang, kappu-kappu, gambus, balakang, sanggilang baine, sanggilang muane, kottaq, papang palaming, kanuku pallayarang, baya-baya, peloang, dan seterusnya. Mengapa mustahil mempatenkan sandeq? Sebab jika ingin mempatenkan, semua bagian-bagian di atas (termasuk yang belum disebutkan) harus jelas siapa penemunya, siapa yang pertama kali menggunakan “cara itu, bahan itu, ‌â€?. Apakah bisa melacak penemunya? Jelas mustahil sebab proses pembentukan bagian-bagian di atas adalah warisan turun temurun selama ratusan tahun. Alasan lain, bukan hanya sandeq yang menggunakan bagianbagian atau istilah-istilah di atas. Palatto (katir) digunakan banyak jenis perahu di kawasan Austronesia. Bukan hanya bentuk yang sama, istilah pun demikian, khususnya suku-suku berorientasi bahari di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Jadi, lupakan dan buang saja ide mempatenkan sandeq! Jika mau memaksakan, orang lain akan mentertawai kita.

238


sandeq perahu tercepat nusantara

239

Kesalahan penggunaan istilah Melindungi sandeq sebagai sebuah warisan budaya adalah suatu kewajiban bagi kita, orang Mandar. Namun itu ada aturannya tersendiri, harus berdasar pada aturan karena “hak memiliki” (baca: monopoli, paten, merk dagang, dan sebagainya) adalah produkproduk dunia modern. Dulu tidak ada. Masyarakat nusantara hampir tidak mengenal kepemilikan individu, kecuali tanah, lainnya adalah milik umum. Termasuk ilmu pengetahuan. Yang saya maksud dengan aturan adalah, kita harus berdasar pada defenisi yang diakui secara internasional, bukan dalam benak kita sendiri. Paten memang ada, tapi ada defenisinya tersendiri. Paten adalah “hak istimewa (eksklusif) yang diberikan kepada seorang penemu (inventor) atas hasil penemuan (invention) yang dilakukannya di bidang teknologi, baik yang berupa produk atau proses saja. Atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri hasil penemuannya …” (Rachmadi Usman. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Penerbit Alumni). Istilah yang seharusnya digunakan Dalam perundingan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) telah disepakati aturan-aturan (istilah) perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual yang meliputi: Copyright dan Related Right (hak cipta dan hak-hak lain yang terkait), Trademarks, Service Marks, dan Trade Names (merek), Geographical Indications (indikasi geografis), Industrial Design (desain produk industri), patents (paten, termasuk perlindungan varietas tanaman), Layout Designs of Integrated Circuits (desain tata letak sirkuit terpadu), Protection of Undisclosed Information (perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan), dan Control


240

muhammad ridwan alimuddin

of Anti Competitive Practices in Contractural Licences (pengendalian praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian lisensi). Nomenklatur bentuk-bentuk perlindungan HaKI di atas terbagi atas dua, yaitu Hak Milik Perindustrian (Industrial Property) dan Hak Cipta (Copyright). Kecuali Copyright, yang lain tergabung di Hak Milik Industri. Melihat istilah-istilah di atas dan mempelajari pasal-pasanya, perlindungan atas sandeq hanya cocok masuk di Copyright (yang biasa disimbolkan © ) atau hak cipta yang dasar hukumnya adalah UU No. 19 Tahun 2002. Adapun “paten” berdasar hukum UU No. 14 Tahun 2001. Hak Cipta Menurut UU Hak Cipta Tahun 2002 pasal 1 “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Walaupun hak cipta merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta, penggunaan dan pemanfaatannya hendaknya berfungsi sosial, karena ada pembatasan-pembatasan tertentu yang telah diatur dalam UU Hak Cipta 2002. Dengan kata lain, hasil karya cipta atau ciptaan bukan saja hanya dinikmati oleh penciptaan saja tetapi juga dapat dinikmati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna, di samping nilai moral dan ekonomis (Rachmadi Usman. 2003). “Kelonggaran” Hak Cipta (bila dibandingkan dengan paten) dapat dilihat pada pasal 10 UU Hak Cipta 2002 yang menyatakan “(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya”. Selanjutnya, pada


sandeq perahu tercepat nusantara

241

Pasal 11 “(1) Apabila suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, maka Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya”. Artinya, pada dasarnya pemerintah telah melindungi salah satu bentuk kebudayaan bahari Mandar, yaitu sandeq. Pemerintah pun dapat mencegah adanya monopoli atau pemanfaatan komersil tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Dasar hukum atas sandeq sudah ada meski tidak ada usaha untuk menformalkan kepemilikan hak cipta itu. Jadi, usaha “kerja keras” untuk mempatenkan adalah pekerjaan sia-sia sebab memang sandeq tidak bisa dipatenkan, tapi kalau hak cipta, bisa ya, bisa juga tidak (sebab undang-undang sudah melindunginya). Salah satu perbedaan antara hak cipta dengan paten adalah, hak cipta tetap diakui meski dia tidak didaftarkan ke lembaga resmi. Adapun paten, harus terdaftar di lembaga yang khusus mengurus paten. Ya, memang lebih baik jika hak cipta atas suatu karya didaftarkan, kalau tidak, juga tidak apa-apa. Jadi, sandeq dari dulu sudah dilindungi oleh negara dan sandeq pun “tidak apaapa” bila tidak didaftarkan sebab sandeq terbukti hanya ada di Mandar. Apa yang harus dilakukan Yang harus dilakukan saat ini adalah pemerintah, ilmuwan, dan budayawan di Mandar harus terus menerus mensosialiasikan bahwa sandeq memang salah satu bentuk budaya bahari Mandar. Tujuannya, agar bukti-bukti bahwa perahu sandeq diciptakan oleh orang Mandar terus “up to date”, harus menyesuaikan per­ kembangan zaman. Bagaimana caranya, yaitu membiayai riset dan dokumentasi ilmiah atas sandeq, melestarikan sandeq (misalnya dengan Sandeq Race atau lomba-lomba lokal), membuat website khusus tentang


242

muhammad ridwan alimuddin

sandeq, dan melakukan penyebaran infrormasi dan pemahaman yang lebih baik mengenai sandeq kepada generasi muda. Semua kegiatan di atas harus disosialisasikan ke pihak lain di luar Mandar, baik di Indonesia maupun masyarakat global. Jika itu semua ada dan tersebar luar, yang akan memberi pengakuan adalah dunia! Jika dunia sudah tahu, dunia akan tertawa jika tiba-tiba ada pihak lain (misalnya negara lain) yang tiba-tiba menganggap sandeq adalah perahu khas negara/daerahnya. Hendaknya rasa phobia (ketakutan atau kekhawatiran) sandeq akan diambil orang lain dihilangkan dari benak kita. Ironisnya, phobia itu didengun-dengunkan oleh pihak pemerintah. Adapun dalih pemerintah “Jangan sampai seperti perahu pinisiq, … jangan sampai seperti kasus tempe yang diambil Jepang, …”. Sedikit penjelasan, perahu pinisiq tidak pernah dipatenkan, tapi hak ciptanya didaftarkan; adapun tempe, kemungkinan yang dipatenkan adalah tempe “gaya baru, jenis baru”, yang berbeda dengan tempe pada umumnya. Yang terakhir ini sah-sah saja, sebab tempe adalah komoditas industri (salah satu syarat agar diberi paten: hasil penemuan dapat diterapkan dalam industri). Apakah sandeq barang industri? Siapa yang bisa membuat sandeq, siapa yang menggunakan, dipakai untuk apa? Jawabannya, hanya orang Mandar dan sekarang dipakai untuk lomba. Buat apa membuat sandeq banyak-banyak? Jadi, buat apa sandeq dipakai oleh pelaut negara lain? Rasanya tidak ada, kecuali untuk museum, misalnya sandeq Mandar di salah satu museum di Perancis (sandeq-nya langsung dari Mandar). Lalu di Jepang, di sana sandeq tidak memenuhi syarat untuk berlayar sebab terbuat dari kayu, paku-pakunya dari kayu, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, dan lain-lain. Jadi buat apa? Penutup Kalau dipikir-pikir, ada juga ruginya bila Hak atas Kekayaan


sandeq perahu tercepat nusantara

243

Intelektual orang Mandar atas sandeq diformalkan (didaftar). Mengapa, jika itu hanya dilakukan oleh salah satu kabupaten, kabupaten lain yang notabene tukang perahu dan pelautnya juga menggunakan sandeq akan kecewa, sebab seolah-olah kabupaten lain mengklaim bahwa dari kabupaten merekalah sandeq berasal. Dengan kata lain, ada potensi perpecahan di daerah kita. Sekedar catatan, sejauh yang saya baca, belum ada publikasi ilmiah yang jelas-jelas menuliskan bahwa sandeq pertama kali muncul dari daerah atau kampung “X”. Kalau konon atau berdasar informasi “alam pikir” beberapa orang tua, itu banyak. Tiap kabupaten kebanyakan menganggap “sandeq berasal dari kampung kami”, itu sah-sah saja tinggal bagaimana sang peneliti (yang menggunakan metode ilmiah) menyikapinya. “Konon” atau folklore hal yang penting dalam riset kebudayaan, tapi kita harus hati-hati bila menjadikannya sebagai bukti ilmiah. Kesimpulannya, (1) penggunaan istilah “paten” harus diganti dengan istilah “hak cipta” dalam usaha perlindungan HaKI atas sandeq, (2) Pendaftaran HaKI sandeq tidak boleh dilakukan oleh hanya satu kabupaten di Sulawesi Barat, sebab sandeq (dan pem­ buatnya) tersebar di daerah lain, baik di Sulawesi Barat maupun di provinsi lain, misalnya orang Mandar di Ujung Lero (Sulawesi Selatan), (3) Jika memang niatnya melindungi/melestarikan san­ deq, pe­merintah harus melakukan usaha-usaha komprehensif, jangan hanya berhenti pada pendaftaran HaKI atau usaha-usaha mengkomersilkan sandeq tetapi juga harus melakukan hal-hal lain yang sifatnya lebih mendasar; lebih berhakikat. Semoga pemilik sandeq yang sebenarnya, tukang perahu dan pelaut Mandar, tidak terlupakan!


4. Sandeq di Logo Sulbar adalah Sandeq?

Hal

yang sudah jamak menjadikan perahu sebagai logo kabupaten dan provinsi. Beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan mencantumkan perahu pinisi dan lambo dan Kabupaten Majene dengan perahu olangmesa. Lalu Provinsi Sulawesi Barat dengan sandeq. Apakah perahu yang ada di logo Sulawesi Barat adalah sandeq? Ya, yang dimaksud memanglah sandeq, tetapi jika mencoba mengkaji lebih jauh dan dengan sudut pandang yang beragam, perahu itu belum tentu sandeq, bisa saja lepa-lepa yang meng足 gunakan cadik dan layar yang segitiga, bisa saja soppe-soppe. Bisa juga dikatakan, perahunya memang bukan sandeq! Dan jika memang sandeq, apakah sandeq tolor? Sandeq bandecceng? Atau sandeq bencong? Sandeq-nya mau balik ke darat atau baru mau melaut? Memang sebuah desain tidak harus se-realitas mungkin, tapi itu tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan sebuah hasil desain sebagai sebuah diskusi, hitung-hitung sebagai polemik. Polemik tidak bertujuan untuk menggugurkan, apalagi jika logo ini sudah disahkan DPRD Sulawesi Barat, tetapi mengharapkan ada pemahaman yang lebih mendalam mengenai kebudayaan kita. Baiklah saya mencoba menjawab pertanyaan (saya sendiri) di atas. Paling tidak ada tiga ciri khas perahu sandeq (Mandar). Pertama

244


sandeq perahu tercepat nusantara

245

adalah bentuk paccong haluan dan buritan, ujungnya berbentuk limas segitiga; posisi ikatan tadiq terhadap baratang dan palatto; dan bentuk layar yang segitiga. Yang terakhir ini jelas tergambar di logo, tapi pertama yang kedua bagaimana? Karena perahunya terlihat dari depan (atau dari belakang?), maka itu tidak bisa terlihat (baca: tidak diketahui). Perahu berlayar segitiga ada banyak di seantero dunia, tapi bentuk paccong dan posisi tadiq cukup spesifik di Mandar. Jadi, perahu di logo perahu dari mana? Untung ada bendera merah putih di ujung pallayarang, jadi jelas itu perahu Indonesia. Untung warnanya putih, jadi ada kemungkinan dari Mandar. Tapi apakah itu sandeq? Kan ada jenis perahu bercadik lain di Mandar yang berwarna putih? Melihat posisi baratang (bagian yang melintang di atas lambung perahu), ada tiga kemungkinan akan jenis perahu itu: lepa-lepa tipalattoi atau soppe-soppe. Ya, kedua perahu ini juga berlayar segitiga dan juga bercadik. Jika sandeq, tidak jelas akan jenisnya. Jenis berdampak pada peruntukan perahu. Saya belum tahu posisi perahu apa yang dimaksud pendesain logo, yang menuju laut (pergi bekerja) atau balik ke darat? Jika menganggap perahu itu menuju laut, posisi layarnya sedang ada di sisi kanan lambung perahu dan “sangat� turuq. Artinya, posisi layar membentuk sudut 900, posisi yang amat berbahaya sebab menuntut tekanan angin yang datang dari haluan betul-betul menekan layar. Pelaut jarang menggunakan sebab berbahaya, kecuali angin tidak sedang kencang. Bisa juga dianggap sandeq akan balik ke darat: layar berada di sisi kiri lambung dan juga “sangat� turuq. Lalu bagaimana dengan posisi baratang dan tadiq? Jika baratang ada di atas, maka sandeq itu digunakan jarak dekat, misalnya untuk mangoli. Untuk berdagang, mencari ikan di perairan yang jauh dan


246

muhammad ridwan alimuddin

berhari-hari baratang di atas kurang kuat. Ini tentu berpengaruh terhadap makna sandeq yang kita harapkan, apakah yang hanya melaut jarak dekat atau yang berani melaut ke tengah lautan? Menurut penulis, alangkah bagusnya jika tadiq (kayu berbentuk L terbalik, yang menghubungkan baratang dengan palatto) dibuat agak panjang sedikit. Kalau berdasar logo, palatto menempel ke baratang. Apakah ada perahu di Mandar yang demikian? Sepertinya tidak ada! Kalau mau bertanya lebih radikal atau melihat dengan mata tajam, “Koq perahu ini tidak mempunyai paccong�? Ya, perahu sama sekali tidak ada paccong! Jika memang ada, harusnya ada “tonjolan� yang sejajar dengan pallayarang atau bagian bawah pallayarang dibuat lebih tebal, yang bisa menggambarkan bahwa itulah paccong-nya. Sekali lagi, jika memang ada, haluan (atau buritan?) perahunya tidak rata hingga ke haluan (buritan?) perahu. Seharusnya membentuk segitiga samakaki ke arah atas, sebagai sebuah paccong. Artinya, perahunya lebih mirip katitting (perahu bercadik di Mandar yang tidak menggunakan paccong) daripada sandeq! Juga disayangkan, tambera-nya ada dua. Entahlah, apakah yang terikat di baratang haluan atau yang buritan. Baiknya juga ada tambera yang berada di tengah-tengah baratang sebab memang sandeq mempunyai banyak tambera, bukan hanya dua (atau empat, mungkin saja dua tambera yang lain terlindung oleh tambera yang ada di depan). Kesimpulannya, posisi sandeq yang menghadap/membelakang (posisi masih belum jelas) menimbulkan banyak persepsi dan pertanyaan bahwa betulkah itu sandeq? Idealnya sandeq tampak dari samping agar perahu bisa lebih jelas jenisnya: jenis sandeq. Ya, cara ini juga akan memunculkan pertanyaan, tapi akan lebih sedikit dibanding perahu yang hanya kita lihat dari depan-belakang.


sandeq perahu tercepat nusantara

247

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin berlebihan, sebab apa yang dikomentari adalah sebuah desain. Sekali lagi, desain tidak menuntut harus persis sama dengan realitas, apalagi kalau memasukkan unsur-unsur grafis lain yang ada di logo. Tapi karena yang logo itu adalah logo provinsi kita, yang diharapkan akan abadi, maka harus ada kritik. Masukan pun masih dalam lingkup “Bisa diadopsi dalam perbaikan desain”, sebab tidak akan merusak esensi logo secara keseluruhan. Ya, mungkin masukan ini terlambat, tapi akan salah jika sama sekali tidak ada masukan. Jika perahu di logo dianggap sandeq, maka jelas ada kesalahan pada logo tersebut sebab sandeq tidaklah demikian. Anda mau membuktikan? Silahkan potong logo, ambil gambar perahunya saja, lalu tanyakan ke nelayan “Ini perahu apa?”. Yang tahu dunia perahu di Mandar pasti tidak menjawab langsung “sandeq”, dia akan memberi beberapa alternatif jenis perahu, “Kayaknya ….?”.


Perahu di Logo Polman Bukan Sandeq

Melihat

orang dari atas (kepala) atau dari bawah (kaki) cukup menyulitkan untuk bisa mengenal orang tersebut, kecuali orang tersebut mempunyai kekhasan yang cukup unik. Demikian juga dengan perahu, melihat dari arah haluan atau buritan belum memunculkan banyak informasi bagi penyaksi bahwa perahu itu adalah perahu X, misalnya sandeq. Tulisan ini hampir sama dengan tulisan sebelumnya (Seri 20: Apakah Perahu di Logo Sulbar adalah Sandeq? RADAR MANDAR, Sabtu 8 Juli 2006), yaitu untuk mengomentari simbol perahu di logo sebuah pemerintahan. Jika sebelumnya perahu di logo Provinsi Sulawesi Barat, tulisan ini untuk perahu di logo Kabupaten Polewali Mandar. Kesamaan antara logo Sulbar dengan logo Polman adalah, perahunya sama-sama menghadap ke haluan. Kekurangan di logo Sulbar sebagian sudah tidak ada di logo Polman. Di logo Polman, ujung perahu (paccong) sudah tampak jelas, hal yang tidak ada di logo Sulbar. Posisi bukaannya layarnya pun sudah masuk akal, yaitu tidak terlalu membuka sudut yang besar. Perbedaannya, jika logo Sulbar layarnya berada di kiri, maka layar di logo Polman membuka ke arah kanan; jika logo Sulbar perahunya hanya berupa siluet (bayangan) putih, maka logo Polman sedikit memperlihatkan “teksturâ€?, berupa garis yang menan­dai layar, tambera, dan bagian-bagian perahu yang lain. Logo Polman pun sudah bisa dianggap tampak dari haluan (tidak seperti logo

248


sandeq perahu tercepat nusantara

249

Sulbar yang penafsirannya bisa beragam) dengan adanya garis yang menandakan tiang layar dan lekukan layar yang sedang “menampung anginâ€? dan tidak adanya gambar sanggilang (sanggar kemudi) yang berada di buritan. Pertanyaan yang muncul di tulisan sebelumnya kembali muncul di tulisan ini. Apakah betul perahu di logo Polman adalah sandeq? Sebagaimana yang menjadi anggapan di dalam keterangan akan lambang atau logo ini? (RADAR MANDAR, Selasa 11 Juli 2006) sebab sama-sama dilihat dari haluan dan adanya beberapa keke­ liruan pada gambar. Bila melihat letak baratang yang menembus lambung perahu, jenis perahu yang ada di logo Polman adalah perahu pakur, salah satu perahu bercadik yang pernah ada di Mandar, yang ada sebelum sandeq muncul. Dikatakan lambung perahu pakur dan bukan sandeq sebab baratang haluan perahu pakur berada agak ke tengah, ke arah buritan. sedangkan sandeq lubang baratang haluannya persis di bawah paccong haluan. Ini berkaitan dengan jenis layar yang digunakan atau ilmu aerodinamika. Layar sandeq yang segitiga menjadikan perahu sandeq adalah golongan perahu-perahu cepat. Konsekuensinya, layar mem­ beri beban cukup berat ke haluan perahu. Untuk itu, agar tidak ter­perosok, penahan harus berada di ujung (bersama dengan penggunaan palatto yang panjang, khususnya ke arah haluan). Jadi, siapa pun yang melihat logo pasti menganggap baratang perahu tersebut berada di tengah! Jika sandeq menggunakan baratang yang berada agak di tengah, bukan persis di depan, maka sandeq tersebut akan terperosok ketika berlayar! Apakah perahu di logo ingin selalu terperosok ketika berlayar? Jangan sampai ini menjiwai kehidupan Kabupaten Polman! Kekurangan lain adalah tali tambera di perahu logo hanya ada empat, semuanya di ujung baratang, baik baratang haluan


250

muhammad ridwan alimuddin

maupun buritan. Tambera sandeq minimal ada enam, yaitu empat di baratang depan, dua di baratang buritan. Dua tambera yang lain berada di tengah baratang, antara lambung perahu dengan ujung baratang (kanan-kiri). Masih berkaitan dengan tambera yang menyebabkan adanya kekeliruan adalah tambera di logo terlalu persis di ujung atas pallayarang (tiang layar) atau di bawah sisi bawah bendera. Kalau sandeq yang sebenarnya, ujung tambera berada sekitar 1,5 meter dari ujung tiang layar, di bagian bawah paqmanuq-manuq atau takkalaq, bukan malah di ujungnya. Sebab tampak dari haluan, perahu juga bisa disebut perahu pakur-lete (jenis perahu Mandar yang digunakan orang Mandar di Kepulauan Kangean, Madura) sebab peloang-nya (bom layar, sisi layar di bagian bawah) terlalu melengkung ke atas. Ini ciri jenis layar lete, apalagi terlihat dari depan. Kekeliruan lain yang juga amat signifikan adalah ujung paccong terlihat runcing. Ya, memang paccong sandeq membentuk limas segitiga, tetapi bagian yang paling tinggi adalah sisinya, bukan puncak segitiganya. Dengan kata lain, ujung paccong datar, tidak (agak) runcing. Jelas ada kesalahan atau kekeliruan di logo jika memang dianggap perahu tersebut adalah sandeq. Untuk itu harus ada per­baikan, perbaikan yang tidak akan merusak desain, malah memperbaikinya. Usul penulis, perahu diperlihatkan menyamping agar jelas bahwa itu sandeq (baca tulisan tentang logo Sulbar). Tapi karena ini akan memerlukan perhatian khusus (membuat gambar sandeq dari samping), mungkin pemerintah Polman berat (?) untuk melakukan re-desain perahu. Yang memungkinkan untuk dilakukan adalah memperbaiki gambar perahu, sebagaimana kekeliruan yang disebutkan di atas: tambera ditambah, posisi baratang dipindah ke depan, dan tali


sandeq perahu tercepat nusantara

251

tambera yang terikat di pallayarang diturunkan sedikit. Dan kalau bisa, lambung perahu diperkecil. Pada logo, komposisinya tidak seimbang, lambung perahu terlalu gemuk untuk ukuran layar yang kecil. (Catatan: Belakangan DPRD Polman memperbaiki desain logo Kabupaten Polman. Perbaikan berdasarkan pada salah satu foto sandeq yang penulis ambil ketika Sandeq Race 2006.



Bab V Epilog: Meratapi Sandeq Terakhir

“Itu dia! Sekarang jadi tempat tidur….” Ilyas (64) menunjuk dipan lebar persis di samping kursi tamu, saat saya tanyakan keberadaan sandeq tuanya. Saya berpindah kursi mendekat ke arah dipan. Betul, itu bekas sandeq! Ada banyak lubang-lubang kayu bekas tempat pasak di sisi-sisi dipan. Sandeq adalah salah satu jenis perahu layar bercadik yang digunakan Suku Mandar di Sulawesi Barat. Ia adalah salah satu bentuk kebudayaan Mandar paling terkenal. Ia menjadi simbol kebanggaan. “Orang darat” di Mandar berharap perahu ini dilestarikan. Tapi realitasnya, nelayan semakin meninggalkan sandeq. Komunitas pelaut Mandar memiliki setumpuk alasan, mengapa tidak lagi membuat dan melayarkan sandeq. “Perahu sandeq terkenal sebagai perahu layar terlaju di dunia, khususnya kawasan Austronesia, bisa mencapai kecepatan 15-20 knot, sekitar 30—40 km per jam,” ungkap antropolog maritim asal Jerman, Horst H. Liebner, dalam catatannya tentang kemaritiman di Indonesia. Horst adalah tokoh yang malang melintang mempromosikan lomba sandeq. Tahun-tahun belakangan, perahu sandeq semakin terkenal disebabkan semakin banyak perhatian orang luar Mandar (dalam dan luar negeri) terhadap kebaharian Mandar. Sandeq Race, lomba bertaraf internasional yang diadakan dalam waktu 10 tahun terakhir, menjadi salah satu pendongkrak. Tapi banyak yang tidak

253


254

muhammad ridwan alimuddin

tahu, perahu yang pernah dikirim ke Perancis dan menjadi “point of interest” pada suatu pameran kemaritiman di sana beberapa tahun lalu, menuju kepunahan. Sandeq yang bisa dipakai berlayar jauh dan berhari-hari di lautan untuk menangkap ikan tak dibuat lagi saat ini. Sandeq penangkap ikan berukuran di atas tujuh meter yang bisa digunakan menangkap ikan terakhir dibuat tahun 2000. Namanya “Sampurna”, milik orang Dusun Lambe, Karama. Beberapa bulan lalu, sandeq itu dijual kepada nelayan lain untuk kemudian diubah menjadi bagang apung. Bukanlah hal aneh jika banyak sandeq yang dijual. Walau dikenal sebagai perahu tradisional tercepat di dunia, sandeq tak bisa memenuhi keinginan nelayan Mandar agar mereka bisa segera membawa ikan, misalnya tuna, ke darat. Terlebih bila berharap agar kesegarannya lolos ekspor dan terjual dengan harga tinggi. Daya jelajah sandeq pun tidak seluas dan secepat kapal motor. “Saya menjual sandeq karena tidak bisa dilayarkan. Susah awak. Teman-teman yang dulu bersama saya sekarang bekerja di kapal motor dan ada menjadi pedagang ikan. Dua anak lelaki yang saya harapkan bisa menemani melaut lebih memilih bersekolah. Daripada rusak di tempat, lebih baik dijual”, alasan Kaharuddin (50) yang menjual perahu sandeq-nya empat tahun lalu. Bagi saya pribadi, sandeq milik Kaharuddin memiliki kesan tersendiri. Tahun 2002, pertama kali saya berlayar dengan sandeq bersama Kaharuddin selama lebih seminggu di Selat Makassar untuk mencari telur ikan terbang (motangnga dalam bahasa Mandar). Kaharuddin seorang punggawa posasiq (nakhoda perahu) yang setia menggunakan sandeq setiap musim perburuan telur ikan terbang. Tapi ia tak kuasa mempertahankan sandeq-nya ketika tak ada orang yang bisa menemaninya melaut. Tahun 2005 dia menjual sandeq-nya itu.


sandeq perahu tercepat nusantara

255

Saat ini, Kaharuddin bekerja sebagai salah satu sawi (kru perahu) di kapal motor pukat cincin di Maliaya’, sekitar 100 km ke arah utara dari rumahnya di Desa Sabang Subik, Polewali Mandar. Dia mudik ke desanya saat-saat tertentu, misalnya seperti sekarang, menjelang lebaran dan acara maulid Nabi Muhammad SAW. Dulunya dia punggawa (pemilik) di atas sandeq, sekarang di kapal motor modern, ia hanya sawi (kru). Status sosial antara punggawa dan sawi di Mandar beda memang beda. Tentu punggawa memiliki posisi lebih bergengsi. Sandeq miliknya dibeli orang dari Desa Labuang (sekitar 5 km ke arah timur dari desanya). Belakangan, bekas sandeq-nya itu dibeli nelayan lain yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Perahu yang berpindah tangan jamak terjadi beberapa tahun belakangan. Misalnya sandeq milik Pua’ Hasbi (55), salah satu (mantan) nelayan di Desa Sabang Subik. Setelah sandeq yang dia gunakan sejak 1972 rusak (bagian bawahnya dijual ke penambang pasir), tahun 2001 ia membeli sandeq dari Desa Pambusuang seharga Rp 2 juta. Sama seperti kasus Kaharuddin, sebab tak ada sawi dan mulai sakit-sakitan, dia menjual sandeq-nya yang bernama “Pandeng Bau” pada kenalannya bernama Sappe, nelayan desa Galung Tulu (desa tetangga Sabang Subik), dengan harga Rp 4 juta. Awalnya tidak ada ide menjual sandeq sebab dua anak lelakinya, Hasbi dan Rusdi, juga nelayan yang selama ini menemaninya berlayar dengan sandeq. Ketika Hasbi memiliki kecenderungan untuk bekerja sebagai kru di kapal motor dan Rusdi berdiri sendiri sebagai nakhoda di sandeq lain, “Pandeng Bau” menganggur. Daripada rusak, lebih baik dijual. Penjualan sandeq itu akhirnya disesali sebab saat ini Hasbi ingin memiliki sandeq. Dan, karena kini tak ada sandeq, Hasbi dan anak pertamanya bernama Kelu’,


256

muhammad ridwan alimuddin

yang keluar dari SD ketika baru kelas tiga sebab sudah dua kali tinggal kelas, bekerja sebagai sawi di sandeq orang lain. Yakni di sandeq “Nur Mekar”, milik Kannang. Mereka memang menyesal, sebab bila sandeq dimiliki sendiri, pasti untung lebih banyak. Belakangan, sandeq “Pandeng Bau” kembali dijual oleh Sappe kepada tetangganya dengan harga Rp 6 juta, tiga kali lipat dari harga sebelumnya. Menurun Pada tahun 2001, saya menghitung sandeq yang ada di empat desa yang secara kuno disebut “Sappambusuangang”. Dari timur ke barat: Desa Bala (23 sandeq), Pambusuang (58 sandeq), Sabang Subik (8 sandeq), dan Galung Tulu (19 sandeq). Namun pada September 2009 (setidaknya sampai 13 September), jumlah sandeq di empat desa di atas adalah hanya 0 (nihil), 25, 4, dan 8 sandeq. Penurunan sandeq di empat desa tersebut disebabkan dijualnya perahu tradisional itu. Baik kepada nelayan lain (khususnya nelayan dari Desa Labuang), ke penambang pasir, usaha penyeberangan sungai dan karena rusak. Adapun faktor utama penurunan kuantitas adalah tidak adanya regenerasi sandeq. Ya, tak ada lagi pembuatan sandeq untuk menangkap ikan jarak jauh di Mandar saat ini. Jika pun ada sandeq yang diperjual-belikan, itu pasti sandeq lama. Penjualan sandeq marak kira-kira lima tahun lalu, ketika penangkapan ikan karang sedang menjadi tren. Ikan karang yang dijual hidup/segar dihargai tinggi. Beda bila dijual kering sebagaimana tradisi nelayan Mandar yang melaut ke daerah karang di Selat Makassar selama berminggu-minggu untuk kemudian membawanya ke Kalimantan Timur. Banyak nelayan sandeq beralih ke kapal motor sebab lebih cepat membawa ikan segar ke darat dan bisa memuat banyak ikan


sandeq perahu tercepat nusantara

257

(palka bisa menjadi tempat penampungan). Banyak sandeq dijual murah kala itu. Kisaran harganya Rp 700.000—Rp1.000.000. Benar- benar banting harga! Di saat ikan karang berkurang dan harga bahan bakar minyak melonjak tinggi, sebagian nelayan kembali melirik sandeq. Tapi hanya nelayan yang memelihara sandeq-nya bisa dengan mudah kembali melaut dengan sandeq. Yang dulu menjualnya berhadapan dilema: bekerja sebagai kru di kegiatan penangkapan lain yang menggunakan kapal motor, membeli sandeq yang siap digunakan atau memesan sandeq baru. Yang terakhir bisa dikatakan mustahil sebab harga sandeq baru bisa sampai lebih Rp 10 juta ongkosnya. Jadi jalan tengahnya adalah membeli sandeq orang lain, yang dengan mudah ditemukan. Lantas, mengapa banyak yang menjual sandeqnya? Bukankah sandeq kembali diperhatikan sehingga banyak yang kembali ingin menggunakan? Ya, memang betul. Tapi di sisi lain, beberapa pemilik sandeq tak bisa merekrut orang lain untuk dijadikan sawi sebab orangorang muda saat ini lebih menyukai bekerja di kapal motor. Lebih enak bila berada di laut dengan kapal motor. Berbedabila berlayar dengan sandeq, panas di saat terik, basah ketika hujan. Jadi, banyak pemilik yang berpikir, daripada sandeq rusak ditempat, lebih baik dijual. Tapi ada juga nelayan yang ragu bekerja di kapal motor. “Kalau awak di kapal motor sedikit, saya tidak mau ikut sebab berat kerjanya sebagai pemutar mesin kapal. Lebih baik pakai sandeq”, ungkap Mawardi, sawi termuda di sandeq “Rinso”, milik orangtuanya. Tiba di darat, hanya butuh beberapa menit untuk mendaratkan sandeq. Mawardi pertama kali melaut dengan sandeq tahun 2003 atas kemauan sendiri, saat masih SD, dengan alasan “Bila tak melaut,


258

muhammad ridwan alimuddin

tak ada uang”. Ya, faktor ekonomi adalah salah satu pendorong banyak anak kecil bersemangat melaut. Mawardi anak kedua dari sembilan bersaudara. Ada sebelas mulut yang harus makan di keluarganya.“Melaut itu enak”, dia menambahkan. Menurutnya, dia punya telepon genggam (sedang tak dibawa ketika saya bertemu dengannya). Bagi anak seusianya di Mandar, memiliki telepon genggam adalah hal yang agak mustahil, kecuali bila dibelikan orangtua. Tapi bagi Mawardi bukan hal sulit sebab dia sudah melaut. Setiap mendapat bagi hasil melaut, dia gunakan untuk beli makanan, baju, dan rokok. Tak ada tabungan. Ia pernah mendapat Rp 3 juta sewaktu musim telur ikan terbang. Diapakan saja yang yang banyak itu? “Saya belikan televisi untuk keluarga di rumah,” ungkapnya bangga. Hampir sama ceritanya dengan Rahim, Bodi dan Usman. Nelayan muda dari Desa Galung Tulu. Tiga bersaudara yang melaut bersama orangtuanya, Zaeni (53). Mereka menjadi nelayan atas kemauan sendiri, kecuali Usman. Sewaktu baru tamat SD, Usman diminta tidak usah lanjut sekolah. Alasannya, toh ia sudah punya ijazah. Lebih baik ikut melaut agar jumlah sawi cukup. Saat saya tanyakan ke Zaeni bila sandeq-nya rusak, perahu apa yang akan dia pilih, kapal motor ataukah sandeq? Jawabnya, “Saya akan cari sandeq. Tapi kalau anak-anak menginginkan kapal motor dan ada modal, akan memilih kapal motor”. Banyak nelayan tidak mempunyai kemampuan membeli kapal motor beserta perlengkapannya (mesin dan jaring). Investasinya bisa sampai puluhan-ratusan juta. Alternatif paling memungkinkan adalah “mendaur ulang” sandeq. Bila dengan sandeq, jumlah awak­ nya hanya berkisar 3—5 orang (faktor pembagi tidak besar), mudah perawatannya, dan ongkos melautnya tidak banyak sebab tidak pakai bahan bakar minyak dan tidak bawa banyak kru (artinya banyak bawa makanan dan rokok, pengadaan logistik ini diambil


sandeq perahu tercepat nusantara

259

dari hasil penjualan ikan). Ilyas, yang sandeq tuanya menjadi ranjang, agak kesulitan memperkirakan berapa penghasilan pribadi dari melaut dengan sandeq. Sebab, dia hanya melaut bersama dengan menantunya, yang juga tinggal di rumahnya (Ilyas hanya memiliki satu anak, perempuan). Sepertinya pendapatan tak perlu dibagi meski dalam aturan tak tertulis, sebagai nakhoda dan sebagai pemilik perahu mendapat bagian tersendiri. Dia menganggap hasilnya lumayan dibanding ikut kapal motor. Ilyas, pada tahun 1971—1980-an, melaut bersama orang tua dan dua kerabatnya untuk mencari ikan terbang dan telurnya dengan perahu pakur bernama “Sri Jeddah”. Di luar musim ikan terbang, misalnya untuk menangkap ikan di rumpon, dia menggunakan sandeq. Awal tahun 80an, sandeq milik orangtuanya yang dibuat tahun 60an dia beli dengan harga Rp 150.000. Kala itu, ongkos naik haji masih dua jutaan. Karena sudah tua, beberapa bagian telah lapuk, sandeq itu dipensiunkan tahun 1989. Karena tak lagi memiliki perahu, dia bekerja sebagai pedagang ikan sampai 1996. Ketika tabungannya cukup, dia kembali membeli sandeq bekas yang digunakannya sampai saat ini. Nama sandeq-nya “Tambah Manis”, mirip nama sandeq pertamanya yang saat ini menjadi tempat tidur di ruang tamunya, “Tambah Muatan” Tak jauh dari rumah Ilyas, seorang nakhoda sandeq khusus lomba. Namanya Kale (42). Ia seorang nakhoda atau jurumudi di lomba sandeq Artinya, dia bukan pelatu biasa. Dalam arti, kemampuannya di atas rata-rata nelayan sandeq pada umumnya. Uniknya, dia terakhir berlayar dengan sandeq yang melaut jauh dan berhari-hari di laut pada 1989. Setelah tidak melaut, dia menjual sandeq-nya untuk selanjut­ nya merantau ke Manado, Sulawesi Utara bersama teman-


260

muhammad ridwan alimuddin

temannya. Hanya sebulan di sana, dia kembali ke Pambusuang. Dia tidak melaut dengan sandeq melainkan ikut kapal motor yang menggunakan gae (pukat cincin atau purse seine) yang lagi marak di kampungnya. Itu terjadi di akhir milenium kedua. Merasa pendapatan sebagai sawi di armada gae tidak begitu maksimal, dia kembali menggunakan sandeq. Tapi bukan sandeq ukuran besar dan menangkap ikan di laut selama beberapa hari, melainkan sandeq ukuran kecil yang hanya dilayarkan seorang diri dan tidak bermalam di laut. Namanya sandeq pangoli. Berasal dari kata “ngoli” yang berarti “bolak-balik, berkeliling di sekitar rumpon untuk memancing ikan”. Nama sandeq kecilnya “Cahaya Nurul”, diambil dari nama salah satu putrinya. “Sekarang passandeq menginginkan sandeq ukuran relatif kecil sebab tidak membutuhkan banyak sawi serta mudah diken­dali­kan seorang diri. Nelayan lebih mandiri, lebih hemat ongkos melaut. Melaut hari ini dapat uang hari ini”, itulah alasan Kale mengapa dia dan kebanyakan nelayan di Pambusuang dan sekitarnya menggunakan sandeq pangoli. Pertengahan Agustus 2009, Kale menjadi salah satu anggota tim Provinsi Sulawesi Barat di acara Pawai Budaya Nusantara 2009. Provinsi Sulawesi Barat mengusung tema laut, yaitu membawa serta sandeq asli di acara pawai tersebur. Nah, tugas Kale merakit ulang sandeq di Jakarta dan menjaga sandeq ketika “dilayarkan” (bagian bawah dipasangi roda) mengelilingi Monas hingga masuk Istana Negara. Tahun 2008, Sulawesi Barat menjadi tim terbaik nomor satu di acara Pawai Budaya Nusantara. Tahun 2009 prestasi itu diraih kembali, bersama Bali dan Jawa Timur. Bagi Kale, seorang pelayar sandeq, berlayar ke Istana Negara adalah pengalaman paling mengesankan dalam hidupnya. Oleh teman-teman rombongannya, ada lelucon bahwa Kale adalah orang


sandeq perahu tercepat nusantara

261

Kampung Pambusuang ketiga yang masuk Istana Negara setelah almarhum Baharuddin Lopa (mantan Jaksa Agung) dan Basri Hasanuddin (mantan Menkokesra, mantan Rektor Universitas Hasanuddin). Si Ramping dengan layar runcing Secara umum, sandeq terdiri dari lambung, cadik dua batang, dan dua katir di kanan-kiri. Palkanya kedap air sebab pintu palka, biasa terdiri dari 3-4 pintu, didesain tak bisa dilewati air. Layar berbentuk segitiga, yang terdiri dari tiang layar dan bom layar, merupakan salah satu kekhasannya. Kekhasan sandeq lain terletak pada warnanya yang dominan putih, ujung haluan-buritan yang mengarah naik berbentuk limas segitiga, dan konstruksi ikatan yang khas di beberapa bagian. Sandeq dalam bahasa Mandar berarti runcing. Disebut demikian sebab sebelumnya, perahu yang bentuk lambungnya mirip sandeq, yakni pakur, bentuk layarnya tidak runcing tapi segiempat. Istilahnya jenis layar tanjaq. Jenis ini khas Austronesia, sebagaimana yang terdapat pada relief perahu di Candi Borobudur. Menurut pakar antropologi maritim nusantara, Horst Liebner, “Sandeq adalah puncak evolusi perahu-perahu bercadik dunia. Dibuat secara tradisional, tapi dalam ilmu hidrodinamika, sampai saat ini, sandeq terus mengalami evolusi, khususnya sandeq untuk lomba�. Menurut catatan seorang Belanda, Noteboom, yang datang ke Mandar pada tahun 1938, “Sejak beberapa waktu lalu cukup banyak dari perahu-perahu (pakur) itu diberikan layar dan tali temali yang lain. Tiang yang digunakannya lebih panjang, dan bengkok ke belakang pada ujung atasnya, ...�. Berdasar deskripsi, perahu yang dimaksud adalah sandeq. Dikatakan muncul pada tahun 30an sebab dalam laporan orang Belanda yang lain, Van Vuuren, mengenai keadaan dan perkapalan


262

muhammad ridwan alimuddin

di Mandar pada 1961, nama sandeq belum disebutkan. Adapun pakur dan olanmesa (perahu bercadik yang lebih kuno, sekarang sudah tidak digunakan lagi) sama-sama menyebut keberadaan perahu tersebut di Mandar. Jenis sandeq Berdasarkan ukuran dan peruntukan, setidaknya ada tiga jenis sandeq, yaitu sandeq parroppong atau sandeq potangnga (digunakan menangkap ikan di rumpon dan juga bisa untuk berburu telur ikan terbang), sandeq pappasilumba (sandeq yang khusus digunakan berlomba), dan sandeq pangoli. Ukuran sandeq pertama rata-rata tujuh sampai sepuluh meter. Lebar dan tinggi lambung sekitar satu meter dan sepuluh meter tinggi tiang layar. Sandeq kedua, panjang di atas sepuluh meter, tinggi dan lebar lambung di bawah 90 cm, dan 15 meter tinggi tiang layar. Sedangkan sandeq ketiga, rata-rata panjang enam meter, tinggi dan lebar lambung di bawah satu meter, dan tinggi tiang layar tujuh meter. Sandeq parroppong atau sandeq potangnga bisa digunakan berlayar jarak jauh dan berhari-hari di laut dengan jumlah awak 25 orang. Sandeq jenis inilah yang tidak dibuat lagi saat ini. Berbeda dengan sandeq di atas, sandeq pelomba, meskipun lebih panjang dan lebih cepat, dia tidak digunakan berlayar jauh dan berhari-hari di laut. Pintu masuknya ada yang sangat susah dimasuki tubuh orang dewasa dan lambung tidak didesain guna memuat barang/logistik melaut. Papan lambung tipis sebab dibuat seringan mungkin tapi kuat. Sejak 2002, rata-rata tiap tahun dua sandeq pelomba muncul. Sampai September 2009, setidaknya ada dua sandeq lomba yang sedang dibuat. Adapun sandeq pangoli, hanya dilayarkan satu orang. Tidak bisa memuat banyak barang dan tidak didesain untuk berlama-


sandeq perahu tercepat nusantara

263

lama di laut. Berangkat dinihari, pulang jam sepuluh pagi. Lima tahun terakhir, pertumbuhan sandeq pangoli mengalami peningkatan signifikan. Walau ukuran kecil, bila sama-sama bekas atau sandeq lama, harga sandeq pangoli lebih mahal daripada sandeq parroppong. Sandeq yang dibawa ke Jakarta dalam rangka Pawai Budaya Nusantara adalah sandeq pangoli, dibeli dari nelayan dengan harga Rp 2,3 juta. Saat itu sandeq tidak digunakan, disimpan di kolong rumah. Bila membeli yang baru, harganya bisa sampai Rp 6 juta. Sebenar-benarnya sandeq Dari tiga sandeq yang dijelaskan di atas, sandeq yang sebenarnya adalah sandeq parroppong. Sebab sandeq inilah yang bisa menjadi media pewarisan ilmu pengetahuan kebaharian Mandar secara menyeluruh, khususnya dalam bidang navigasi di laut. Ya, dengan sandeq pelomba dan sandeq pangoli bisa diajarkan cara melayarkan sandeq, tapi karena sandeq ini dalam kesehariannya (malah sandeq pelomba hanya digunakan ketika ada lomba sandeq) tidak berlayar jauh dan tidak digunakan bermalam di laut lepas, maka dia tidak bisa menjadi “sekolah” bagi pelaut muda mempelajari ilmu navigasi tingkat tinggi, misalnya perbintangan. Juga, hanya dengan sandeq parroppong nelayan bisa memasak dan tidur di atas perahunya. “Missalimu’ anging, mippa’disang lembong”, demikian pepatah Mandar tentang kehidupan nelayan di atas sandeq: berselimutkan angin berbantal ombak. Sandeq parroppong sandeq sebenarnya. Tapi dia tidak dilirik oleh orang Mandar sendiri, kecuali nelayan penggunanya. Jenis ini tak pernah membuat bangga pemiliknya. Sebab sandeq ini tak layak lomba. Tubuhnya tambun, tak cepat lari dan bau ikan. Pemerintah daerah pun sepertinya salah kaprah, karena menganggap sandeq yang berjejer di pantai setiap bulan Agustus di acara lomba adalah sandeq asli. Padahal sandeq itu hanya jago


264

muhammad ridwan alimuddin

lari, tapi tak pernah terbukti melayarkan pelaut Mandar melintas palung Selat Makassar, berhari-hari di laut. Sandeq parroppong inilah sandeq sejati, tapi sandeq inilah yang sewaktu-waktu dijual dengan harga murah, menjadi alat angkut pasir di sungai atau semacam katamaran di penyeberangan sungai. Beberapa bagian dijadikan dinding rumah (biasanya dipasang begitu saja sehingga tampak jelas bahwa itu bekas sandeq), ranjang, meja kios, dan kayu bakar. Apakah sandeq parroppong dapat dipertahankan? Yang bisa menjawab hanya waktu. Yang berhak menjawab adalah para nelayan Mandar. Yang jelas, dari waktu ke waktu sandeq parroppong makin berkurang. Hampir satu dekade tak ada lagi dibuat sandeq jenis ini. Bila sandeq-sandeq yang tersisa di Sulawesi Barat saat ini rusak semua, maka sejak itu bisa dikatakan sandeq (yang sebenarnyasebenarnya) telah punah. Pertanyaannya, apakah ancaman kepunahan ini dibiarkan menari di depan mata kita?


Referensi

Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2004. Laut, Ikan dan Tradisi: Kebudayaan Bahari Mandar. Yogyakarta. __________, 2004. Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?. Yogyakarta: Penerbit Ombak. __________, Muhammad Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Borahima, Ridwan dkk. 1977. Jenis-Jenis Perahu Bugis Makassar. Proy. Pengembangan Media Kebudayaan, Dep. P&K. Haddon, A.C. & J. Hormell. 1936. Canoes of Oceania. Honolulu. Liebner, Horst. H. 1996. Beberapa Catatan tentang Pembuatan Perahu dan Pelayaran Orang Mandar. Jakarta: Seminar Antar Bangsa, UNHAS; Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian UNHAS, Ujung Pandang, LIPI. Panitia Sandeq Race 2006. Laporan Sandeq Race 2006. Sulawesi Barat – Sulawesi Selatan. Sukendar, Haris, 2002. Perahu Tradisional Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nusantara. Usman, Rachmadi, 2003. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Alumni. www.panyingkul.com

265


Penulis

Muhammad Ridwan Alimuddin, dilahirkan Tinambung, 23 Desember 1978. Alamat: Jl. Daeng Rioso No. 10, Kec. Tinambung, Kab. Polewali Mandar, Prov. Sulawesi Barat 91354, e-mail: sandeqlopi@yahoo.com. Pekerjaan: penulis, fotografer Pendidikan: Jurusan Kelautan dan Perikanan UGM, Yogyakarta (1997—2006), Kursus Singkat Penyelaman (Unit Selam UGM dan POSSI Jawa Tengah) 1999, Sertifikasi Selam Tingkat A1 POSSI Jawa Tengah 2000, Penyelaman Laut Terbuka (Unit Selam UGM), Taman Nasional Laut Karimunjawa, Jepara 2000, Latihan Advokasi Masyarakat Pesisir Tingkat Nasional (IPB dan HIMAPIKANI) Bogor 2001, Pelatihan PRA (Participatory Rural Appraisal) Bogor 2001, Pelatihan Jurnalistik Tingkat Nasional Cetak dan Jurnalistik, Maret 2003 Yogyakarta. Karya: Buku Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (Penerbit Ombak, Yogyakarta), Buku Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta), Film Dokumenter (peneliti, kameraman bawah air, dan asisten sutradara) DVD video series: A Look at People, Oceans and Forest Bahari # 2: Asia’s Oceans: Poison and Bombs (Studio UMI, Japan), Destructive Fishing di Segitiga Emas Nusantara dalam International Proceeding Workshop on The Culturo-Ecological Dynamics

266


sandeq perahu tercepat nusantara

267

in Wallacea and Establishing a Research Center for Wallacea Maritime World, Makassar, 27 November 2004, Changes in Customary Marine Law in The Era of Regional Autonomy: The Utilization of Roppong (Traditional Floating Fishing Device) In The Northern Part of The Spermonde Islands, Makassar Straits, Indonesia dalam Proceeding Kyoto Symposium: Crossing Disciplinary Boundaries and Re-visioning Area Studies, Perspectives from Asia and Africa, Kyoto University, 9—13 November 2006, kontributor tulisan buku Makassar di Panyingkul: Kabar Pilihan Orang Biasa 2006—2007, www.panyingkul.com, Koordinator Lapangan pembuatan film dokumenter Brilliant Season of Flying Fish, Part I: In Search of Flying Fish Egg’s (NHK, TV Station, Documentery Program Hi-Vision Special) Juni 2008. Dokumentasi foto: Laut, Ikan dan Tradisi: Kebudayaan bahari Mandar (Sulawesi Barat), 2002—2004, 2006; Mereka Bukan Penjahat: Pemboman dan Pembiusan Ikan di Segitiga Emas Nusantara (Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat), 2004; Perburuan Ikan Hiu di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan), 2005; Sandeq Race 2006, 2006; Mandar–Tsukiji: Ikan Tuna dari Laut Indonesia hingga Meja Makan di Jepang (Sulawesi Barat, Jepang), 2006, kontributor foto buku fotografi Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari 2006 (Kementrian Pemuda dan Olahraga), kontributor foto buku fotografi Sulawesi Barat Sejuta Peluang (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Barat, 2007). Kegiatan: Riset Singkat Kegiatan COREMAP Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat di Taka Bonerate, Selayar 1999; Workshop Regional Mangrove (Pusat Pengembangan dan Rehabilitasi Mangrove Instiper Yogyakarta) Yogyakarta 2000; Kemah Riset Perikanan Rawa di Kalimantan Selatan (HIMAPIKANI) 2000; Uji Coba Pendidikan Lokal Pesisir untuk SD di Pesisir Teluk Mandar (Klub Indonesia Hijau dan KSPKUGM) 2000; Riset Teknologi Roppo Mandar di Selat Makassar


268

muhammad ridwan alimuddin

2001; Riset Penangkapan Ikan dengan Pukat Cincin (Purse Seine) di Selat Makassar 2001; Kemah Riset Pulau-pulau Kecil di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah (HIMAPIKANI) 2002; Riset Tradisi Motangnga dan Perahu Sandeq 2002—2003; Riset Destructive Fishing Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur April —Mei 2004; Anggota tim Ekspedisi Pinisi Penelitian Cinta Laut di Selat Makassar dan Laut Flores, Agustus 2003, September 2004; Fasilitator pada Cultural Exchange Programe Indonesia - Japan Through: Sailing Experience and Wooden Boatbuilding Technology in Sulawesi, Indonesia, 5—23 September 2006, Cooperate Program: UNESCO, Ehime University, Hasanuddin University, Gorontalo State University, Gadjah Mada University, Lembaga Perahu Makassar; Koordinator Daerah Sandeq Race 2006, 17—24 Agustus 2006; Pembicara pada Kyoto Symposium: Crossing Disciplinary Boundaries and Re-visioning Area Studies, Perspectives from Asia and Africa, Kyoto University, 9—13 November 2006; Koordinator Daerah Sandeq Race 2007.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.