Tabloid Reformata Edisi 156 Oktober 2012

Page 29

Hikayat 29

EDISI 156 Tahun X 1 - 31 Oktober 2012

Pemuda Hotman J. Lumban Gaol

Z

IARAH masa lalu itu selalu penting. Sejarah ibarat cermin yang lapuk, jika dibersihkan menjadi cermin melihat raut nan baru. Kata bijak menyebutkan tak ada yang tetap di dunia ini, kecuali “perubahan” itulah yang tetap. Iya, sejarah tidak bisa diubah, ia hanya pemicu perubahan. Berubah ‘bak alarm untuk bisa tegak, mengeksiskan diri. Perubahan itu—semangat untuk terus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, beradaptasi pada zaman. Dinosaurus binatang yang kuat itu pada zamannya, hilang sebab tidak ada naluri berubah. Tidak mampu bertahan karena tidak ada daya untuk menyesuaikan diri, berubah. Berubah bukan monoton, tetapi berubah untuk lebih baik. Bukan bernostalgia! Sejenak kita ingat berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Walau lebih menonjolkan etnis, tetapi memacu semangat pemuda 20 tahun kemudian, mengikrarkan janji Pemuda. Ikrar itu bagai mercusuar, penerang jalan menuju semangat bersatu, semangat nasionalisme. Budi Utomo menjadi Sumpah Pemuda. Sumpah kata yang magis; hinggap sampai nurani. Memang! Bukan lagi rangkaian kata-kata peneguhan, pernyataan yang diucapkan hanya pemenuhan sejarah. Sumpah Pemuda itu diizikan Tuhan, semesta mendukung, ikrar kesehatian Pemuda prakemerdekaan. Sesuatu yang dianggap putih, suci. Ikrar itu bukan membumbung ke langit, tetapi ibarat darah mengalir memacu jantung. Sanubari Pemuda yang belum punya negara kala itu, ingin merdeka. Itulah yang sebenarnya terbaca dalam semangat Sumpah Pemuda, deklarasi yang mereka

buat pada tanggal 28 Oktober 1928. Saat itu, ada 71 Pemuda Indonesia dari berbagai latar belakang, suku, agama dan etnis. Muda-mudi, perempuan dan laki-laki. Mengikrarkan tiga citacita shadat: satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Pertemuan itu disebut Kongres Pemuda II. Menginspirasi perasaan persatuan yang pada puncaknya keinginan merdeka dari belenggu imperialisme. Di akhir pertemuan dilagukan Indonesia Raya yang dicipta Wage Rudolf Supratman, seorang nasrani. Ikrar bersama itu menurut Djon Pakan Lalanlangi, yang juga seorang Kristen-

makin tenggelam. Hari ini sesungguhnya lebih baik daripada satu abad yang lalu. Bangsa Indonesia sudah berdiri jauh lebih baik dibandingkan saat merdeka. Bangsa ini tidaklah bobrok. Bangsa ini sedang bangkit dan akan makin tinggi berdirinya.” Sumpah itu kejujuran nurani pemuda. Bukan janji yang muluk-muluk, bukan juga ikrar fatamorgana, yang kelihatan ada tetapi sesungguhnya tidak ada. Ikrar itu oase, yang memenuhi kebutuhan dahaga “bersatu.” Sumpah Pemuda itu memantik semangat keberagaman, memberi makna yang terdalam bagi seluruh insan; satu bangsa, satu bahasa,

bangsa tidak lagi rapuh. Ini tidak berlebih, karena, konon di sebagian gerakan pramuka, lalulagu kebangsaan itu bukan lagi kebanggaan. Jasmerah, kata Bung Karno. Jangan melupakan sejarah. Jika ditarik garis merah, semangat Sumpah Pemuda itu bersinggungan erat dengan Proklamasi 1945. Karena itu, fakta-fakta Indonesia sejak Sumpah Pemuda 1928 yang berpuncak deklarasi NKRI, 17 tahun kemudian. Itu juga disadari oleh umat Kristen waktu itu. Gereja memahami kehadirannya sebagai bagian bangsa, dan memang demikian seharusnya.

nasionalis menyebutkan itu menjadi pondasi mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika mau bangsa ini utuh: Kembali! Ke Jati Diri Bangsa, kata Djon, harus menegakkan Sumpah Pemuda, Pancasila, Proklamasi, UUD 1945. “Hari ini, bangsa Indonesia telah bergerak jauh melampaui satu abad yang lalu. Memang tidak mudah mengawal ratusan juta anak bangsa secara kolektif. Namun bukan hal mustahil untuk ditaklukan. Bangsa ini tidaklah

satu tanah-air. Itu terpatri. Tapi, jujur semangat itu sudah tergerus. Dulu, wujud persatuankesatuan pemuda sebagai satu wadah menaungi identitas yang beragam. Sekarang pemuda kita terpecah, berpikir menonjolkan kelompoknya sendiri. Pekikan Sumpah Pemuda, semangatnya mewujud kembali pada jati diri kita sebagai bagian dari NKRI. Karena itu, semangat Sumpah Pemuda harus terus-menerus didengungkan, agar mental-karakter Pemuda

Dalam masyarakat yang plural; mengutamakan kemanusiaan, menjunjung NKRI. Sejarah tidak pernah berbohong. Ketika ketakutan sudah lenyap, penjajahan yang membelenggu itu pun dilawan. Melawan tersemai dalam benak pemuda di tahun 28-an. Mereka sadar akan belenggu penjajahan; baik penjajahan fisik, bahkan juga mental sudah pada titik nadir. Dulu mereka tak mampu melawan karena tercerai berai, terpecah-pecah memicu

ketakutan melawan imperialisme. Semangat bersatu memicu ketakutan berubah menjadi perlawanan terhadap penjajah. Ketakutan punya batas, kalau sudah lewat batas ketakutan itu berubah menjadi semangat perjuangan-melawan. Pemuda sekarang? Itulah hidup, kenyaman telah meninabobokan Pemuda Indonesia. Makna Sumpah Pemuda itu bukan saja tidak diingat kalimat per kalimat, maknanya pun barangkali tidak ditangkap. Ikrar itu tidak lagi bergeming sebagai simbol persatuan dan semangat perjuangan. Alih-alih, yang ada sekarang “ego” dirinya sendiri. Harusnya semangat dan nilai itu perlu dijadikan landasan mengasah kesehatian, menguji kesatuan kita sebagai bangsa. Bila perlu kongres pemuda nasional kembali digelar, untuk menemukan bentuk baru pada makna terdahulu. Berdialektika “Sumpah Pemuda” sebagai modal refleksi bagi pengembangan bangsa yang lebih baik. Sesuai dengan cita-cita keberbangsaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Niat itu, harus kembali membangkitkan semangat nasionalisme. Semangat kesatuan satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Bersatu dan disatukannya Pemuda menjadikan semangat yang maha dhasyat. Pekikan Bung Karno yang mengatakan “berikan saya sepuluh pemuda, maka saya akan mengubah dunia.” Kalimat itu bagi Pemuda masih perlu, di tangan pemudalah masa depan bangsa-negara. Dan di pundak merekalah keutuhan NKRI dari segala perongrong. Pemuda saatnya tampil; bukan hanya pintar bicara, tetapi harus juga berbuat. Pemuda Indonesia jangan lagi dibelenggu, tetapi merdeka. Konon, setelah pembacaan teks proklamasi pertama diucapkan, bukan tepuk tangan yang bergemuruh, yang membahana pekikan: Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka!.

REFORMATA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.