Tabloid Reformata Edisi 163 Mei 2013

Page 30

30 Kawula Muda 30

EDISI 163 Tahun X 1 - 31 Mei 2013

Ketika ABG Doyan Nongkrong di Mall B

ERPAKAIAN serba ketat, jilbab gaul atau memakai jeans yang sengaja dikumal-kumalkan mereka menghabiskan waktunya di mall. Ada juga yang berlagak model. Mereka berlenggak-lenggok bagai peragawati, memamerkan kemolekan tubuh dan model pakaian. “Buat gue pergi ke mall ya untuk belanja sekalian cuci mata. Sambil melihat cowok-cowok yang cakep,” kata Ratna (16) saat ditemui di sebuah ball di bilangan Bekasi, Kamis (5/4/2013) silam. Memang ada banyak motif ABG ke mall. Ada yang sekadar menghibur diri, bersenang-senang. Ada juga yang ke mall karena ingin menikmati jajanan gratis. Ada lagi yang ingin mencukupi kebutuhannya, terutama hasrat akan kemewahan. Untuk yang terakhir ini, sasaran mereka adalah om-om. Mereka harus bersedia entah sebagai teman makan-minum, teman ngobrol, teman belanja, atau yang paling parah, teman tidur. Secara moral, hal itu tentu tidak bisa dibenarkan. Tak mau ke kamar Santy (18), mahasisiwi perguruaan tinggi Jakarta mengaku pernah diajak om-om. “Gue pernah ngalamin diajak om-om jalan-jalan ke mall. Tapi guwe samatemen waktu itu. Makan, nonton film sampai karokean bareng. Semua dibiayai sama si om. Gue mau karena guwe lihat itu om manis juga, jadi ngga siteng (malu) kalau jalan sama dia. Tapi kalau sampai diajak ke kamar ya nggak mau ah,” cerita Santy sambil tersenyum tipis. Kebiasaan nongkrong di mall, menurut Santy terjadi, salah satunya, karena orang tuanya terlampau sibuk dengan pekerjaan mereka. Akibatnya, ia sering keluar rumah untuk dapat berkumpul bersama teman-temannya. Dan untuk memenuhi keinginannya untuk kumpul sama teman-teman itu, ia sering juga berbohong sama orang tuanya. “Saya memang sering berbohong sama orang tua,” akunya. Karena merasa dikekang dengan segudang aturan, ia mengaku sering berbohong dengan mengatakan kalau dia menginap di rumah teman atau mengerjakan tugas kuliah. “Padahal guwe nongkrong dari sore di mall. Abis itu cabut ke salah satu club hiburan malam di daerah Jakarta selatan,” ujar Santy dengan santai.

Tidak produktif Kebiasaan nongkrong di mall, bila sekadar refreshing memang bagus. Tapi, menurut sosiolog UI Dr. Paulus Wirotomo, hal itu tidak membawa manfaatnya bagi masa depan yang bersangkutan. “ABG seharusnya sadar bahwa waktu luang mereka bisa mereka isi dengan kegiatan lain, selain ke mall, seperti kegelanggang remaja, tempat olah raga, sanggar-sanggar kesenian agar lebih meningkatkan bakat mereka,” katanya. Kini ABG malah terjebak untuk akhirnya mengkomsumsi apa-apa yang mereka kurang butuhkan karena godaan-godaan di mall. Sebagai akibat lanjut, demikian Paulus, ABG pun kehilangan budaya khas Indonesia. Untuk mengantisipasi hal ini, Paulus meminta agar mall juga menggelar acara-acara yang kental nuansa keindonesiaannya sehingga ABG tidak hanya terpengaruh oleh budaya Barat. Peran keluarga Masih menurut Paulus, keluarga menduduki peran sentral dalam mendampingi ABG agar tidak membuang-buang masa mudanya untuk halhal yang kurang produktif. Apalagi, bila kesempatan untuk jatuh dalam “dosa” terbuka lebar. Minimal, orang tua musti memberikan bekal nilai moral kepada anak-anaknya tentang mana yang baik dan yang buruk, sehingga ketika digodai, ia mampu menepisnya. Selain bekal nilai, orang

REFORMATA

tua juga perlu menciptakan “rumah” sebagai tempat yang nyaman untuk tumbuh kembang ABG. “Bila tidak, maka ABG akan mencari kenyamanan di luar rumah,” tukasnya. Sementara menuru dosen psikologi Universitas Kristen Indonesia Theresia, orang tua harus peka pada gejolak dan dinamika psikologis ABG yang memang sedang memasuki musim pancaroba. “Orang tua harus punya kepekaan pada dinamika psikologis anak, terutama harus mengetahui kalau anak sedang dalam keadaan sulit. Orang tua

harus selalu memberi nasehat dengan contoh-contoh. Sehingga pada waktu anak tidak berada dengan orang tua, anak mengingat nasehat yang diberikan orang tua. Dan ini membuat anak mengerem tingkah laku anak yang jelek,” ujarnya. Ditambahkan, nasihat yang baik akan menolong anak ketika menghadapi pilihan-pilihan sulit dalam mengarungi masa remajanya. “Anak akan selalu teringat perkataan ayah dan ibu, itu sudah merupakan stimulus (peransang) anak untuk tidak melakukan prilaku yang

kurang baik. Jika anak bertukar pikaran dengan orang tua maka akan ada jalan keluar.” Pengoperan nilai itu sejatinya dilakukan dalam suasana akrab dan dialogis. Sayangnya, demikian Theresia, orang tua sekarang merasa diri lebih hebat, lebih pintar, mempunyai pengalaman yang lebih banyak. “Padahal garam yang dimakan anak-anak sekarang beda den-

gan orang tua dulu. Dunia sudah berbeda jadi orang tua harus cepat menerima informasi,” tukasnya. Ia berharap agar orang tua sungguhsungguh dapat menjadi teman bagi anak-anaknya, terutama yang berada dalam usia ABG. “Anak pasti betah di rumah bila dia merasa ada temannya di rumah,” tegas Theresia. ?Andreas Pamakayo


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.