Buletin Interaksi PPI Jepang Edisi ke-19 - Mei 2013

Page 41

bahasa tubuh, dan pada saat darurat, bisa menggunakan kamus. Lewat enam bulan menjalani kehidupan di Jepang sebagai ibu rumah tangga, saya dan anak dihinggapi rasa bosan. Teman-temannya di wanpakusharon kebanyakan masih bayi, dan seminggu hanya ada 2 kali pertemuan masing-masing 1 jam. Oleh karena itu saya nekad mencarikannya sekolah (playgroup). Sistem yang berlaku disini adalah jika ibu dan bapaknya bekerja, maka anak masuk hoikuen. Namun jika tidak maka anak harus masuk ke youchien. Masalahnya bagi kami adalah karena saya tidak bekerja maka anak kami harus masuk ke youchien, tapi karena biaya masuk dan biaya bulanan di youchien cukup tinggi dibanding di hoikuen, kami tidak mampu bayar. Karena itu, dengan segala keterbatasan bahasa saya nekad mencari kerja sampingan (baito). Saat itu kebanyakan saya ditolak dengan dua alasan: pertama karena staff hallo work memberi tahu HRD bahwa saya orang asing, dan kedua karena saya dianggap tidak memenuhi kualifikasi kemampuan bahasa Jepang setelah melalui proses wawancara. Entahlah, yang pasti selama 4 bulan saya hanya bolakbalik ke hallo work, ikut mensetsu (wawancara), dan ngebut belajar bahasa Jepang secara otodidak. Beberapa tempat seperti hotel dan supermarket pun menolak lamaran saya. Namun setelah berusaha sekian lama, akhirnya saya diterima juga di sebuah asrama siswa sebagai staf cleaning service, dan masalah hoikuen anak kami pun selesai. Sejak saat itu saya mengisi waktu luang dengan belajar bahasa Jepang dan baito. Karena visa saya statusnya dependent visa, maka baito saya dibatasi hanya 28 jam seminggu. Hal ini bukan masalah karena masih banyak hal-hal lain yang menyenangkan. Tempat saya bekerja memberikan bonus setahun 2 kali yang besarnya lumayan, tergantung dari banyaknya jam kerja kita. Selain itu mereka juga memberikan yuukyuu (jatah libur yang bisa diuangkan) sebanyak sepuluh kali dalam setahun. Saya juga dapat tunjangan transportasi karena jarak tempat kerja ke apato saya lebih dari 3 km.

Tapi dibanding hal-hal materil yang saya dapat, lebih banyak hal-hal non-materil yang sangat berkesan bagi saya. Saya mendapatkan banyak teman, bisa belajar ‘berkomunikasi praktis’ dalam bahasa Jepang setiap hari, bisa mengatasi culture shock sedikit demi sedikit, dan yang paling penting, saya jadi paham makna ganbatte dalam persepsi orang Jepang. Ganbatte itu biasa. Ganbatte itu artinya mengupayakan yang terbaik dari setiap kemungkinan yang ada dengan terus-menerus berusaha. Dan dari hasil belajar ganbatte itu, sekarang saya masih tetap ibu rumah tangga, namun saya sudah mempunyai visa student dan mendapat beasiswa dari salah satu lembaga swasta di Jepang. Jadi jangan pernah takut sendirian, jangan pernah menyerah untuk belajar, jangan pernah menutup diri karena kekurangan. Lakukan yang terbaik yang kita bisa selama ada di Jepang karena mereka seringkali bilang “Minnasan isshouni ganbarimasho�. Semoga semangat ganbatte ini akan terus terbawa selamanya, untuk Indonesia yang lebih baik dan untuk hidup kita masing-masing yang memang harus terus menerus diperjuangkan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.