POSMETRO MEDAN

Page 10

HALAMAN

10

POSMETRO MEDAN

sambunganhukum panggung

JAKARTA BADAN Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengklaim telah menyelamatkan keuangan negara Rp 13,93 triliun selama empat tahun terakhir. Nilai tersebut berasal dari 2.228 kasus terindikasi tindak pidana korupsi yang telah diaudit investigatif dan dilimpahkan pada penegak hukum.

“Seluruh kasus yang terindikasi korupsi telah diserahkan ke Kejaksaan dan KPK. Rincian nilai kerugian negara terdiri atas Rp 11,52 triliun, USD 234,65 juta, RM 21,93 juta, dan KIP 5,47 juta, atau ekuivalen Rp 13,93 triliun,” ujar Ketua BPKP Didi Widayadi di Jakarta. Untuk mengawal penyidikan dan persidangan kasus terindikasi korupsi,

lebih dari 1.700 auditor BPKP juga memberikan keterangan ahli pada tahap penyidikan maupun pemeriksaan pada sidang perkara korupsi. BPKP juga telah memverifikasi uang pengganti atas keputusan peradilan berkekuatan hukum tetap (in kracht) dalam eksekusi. “Nilai uang pengganti bernilai Rp 8,53 triliun dan USD 189,6 juta.

Ancaman yang menyuruh terpidana kasus ini sebelumnya, Polycarpus untuk membunuh Munir adalah sebuah pengingkaran terhadap keadilan. Demikian dikatakan Herdensi Adnin Ka. Operasional, Rabu (31/ 12) saat Konfrensi Pers di kantor seketariat Kontras Jalan Brigjend Katamso Gg Merdeka No. 20 A Medan. Lebih lanjut ia mengatakan, pembebasan Muchdi Pr ini menjadi pembuktian bahwa negara masih memberikan ruang bagi kelompok tertentu untuk mendapatkan hakhak istimewa (equality before the law) yang sama artinya dengan pengangkangan terhadap supremasi hukum sipil. Meskipun majelis hakim berpendapat bahwa semua dakwaan jaksa tidak ada yang terpenuhi, seharusnya Majelis Hakim sebagai mata rantai terakhir penegakan hukum dan HAM bisa lebih komprehensif dan imparsial memandang kasus ini. “Misalnya saja menganalisis lebih dalam soal kontak telepon yang terjalin antara Muchi dengan terpidana Polycarpus beberapa hari menjelang kematian Munir. Termasuk keterangan saksi-saksi yang diajukan JPU yang secara serempak mencabut BAP saat persidangan. Lalu terungkapnya fakta-fakta baru mengenai adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus pembunuhan ini, Oleh karena itu Kontras Sumut pun menilai majelis hakim mengabaikan unsur keadilan bagi keluarga korban dan para penggiat HAM (human right defender) yang dijamin di dalam UU HAM No. 39/1999. Karenanya putusan bebas terhadap terdakwa Muchdi ini telah menjadi ancaman serius bagi proses demokratisasi dan penegakan hukum dan HAM baik di dalam negeri maupun di dunia internasional,” ujarnya. Empat Kejanggalan Sementara itu di Jakarta, rekanrekan Munir menguliti putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang membebaskan Mayjen (pur) Muchdi Pr dari seluruh dakwaan. Mereka yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) itu menemukan sedikitnya empat kejanggalan. Mereka menganggap hakim yang

diketuai Suharto sengaja memilih fakta yang menguntungkan mantan Danjen Kopassus tersebut. ”Majelis hakim dengan sengaja bersikap parsial dalam memilih fakta yang menjadi pertimbangannya dalam mengambil keputusan,” kata mendiang istri Munir, Suciwati, dalam jumpa pers di kantor Kontras kemarin (1/ 1). Ini adalah jumpa pers resmi pertama yang digelar pasca lolosnya Muchdi dari lubang jarum setelah sidang di PN Jaksel Rabu lalu. Turut hadir Choirul Anam, Asvinawati, Rafendy Djamin, Usman Hamid, Taufik Basari, Uli Parulian Sihombing, dan Smita Notosusanto. Ibu dua orang anak yang tak pernah lelah memperjuangan kasus suaminya itu menambahkan jika dirinya curiga, hakim dan juga jaksa, bekerja di bawah tekanan berbagai pihak yang berkuasa sehingga independensi dan objektivitasnya tergadai. ”Putusan ini, sekali lagi, tidak sesuai dengan komitmen pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengatakan kasus ini sebagai test of our history,” tegasnya. Lebih jauh, mantan direktur advokasi YLBHI Taufik Basari menambahkan, putusan PN Jaksel adalah bagian dari sebuah konspirasi. ”Ini konspiransi yang hampir sempurna sehingga pembuktian dan penggabungan fakta yang dilakukan hakim hanya menguntungkan Muchdi,” imbuh Ketua LBH Masyarakat itu. Menurutnya banyak rantai yang sengaja dihilangkan hakim kendati jaksa hampir berhasil menguraikan benang merah Muchdi sebagai penganjur pembunuhan Munir. Apa saja fakta yang dipilah hakim ? Choirul Anam, tim legal Kasum, menjawab, ”setidaknya ada empat kejanggalan. Yakni terkait motif dendam, surat penugasan Pollycarpus (terpidana 20 tahun kasus Munir, Red), uang, dan call data record (CDR).” Wakil koordinator Human Rights Working Group itu lantas membeberkan sejumlah kejanggalan itu setelah melakukan eksaminasi bersamasama dengan rekannya yang lain. (Sucilawati/ naz/fal)

Verifikasi terhadap uang pengganti masih berjalan untuk membantu peningkatan kualitas laporan keuangan KejaksaanAgung,” papar mantan Inspektur Pengawasan Umum Polri ini. BPKP dalam waktu dekat juga melakukan audit investigatif terhadap 175 rekening di 23 kementerian atau lembaga negara nondepartemen

JUMAT 2 JANUARI 2009

Klik

http://epaper.posmetro-medan.com

www.posmetro-medan.com

senilai Rp 854,41 miliar dan USD 474,44 juta. “Kami masih menunggu surat tugas dari menteri keuangan,” katanya. BPKP tahun lalu juga melakukan monitoring terhadap pemanfaatan dana alokasi khusus (DAK) pada 373 pemerintah daerah dari total 434 kabupaten/kota yang totalnya senilai Rp 17,1 triliun. “Hasil monitoring dengan uji petik atas 133 peme-

rintah ditemukan penyimpangan senilai Rp 164,22 miliar dan kurang bayar pada dana penyesuaian infrastruktur jalan senilai Rp 467,39 miliar,” kata dia. BPKP selama empat tahun juga telah melakukan audit penerimaan negara. Dalam periode tersebut, BPKP telah menemukan kewajiban penyetoran ke kas negara senilai Rp

15,6 triliun dan USD 343,81 juta atau ekuivalen Rp 19,7 triliun. “Dari hasil audit tersebut, telah direalisasi setoran ke kas negara senilai Rp 11,26 triliun dan USD 42,71 juta, atau ekuivalen Rp 11,78 triliun,” terangnya. Dengam tugas pengawasan internal atas akuntabilitas keuangan negara, kebendaharaan umum negara, dan melaksanakan penuga-

san-penugasan khusus dari presiden, BPKP meminta tambahan tenaga auditor. BPKP hanya memiliki 3.487 auditor yang tahun ini harus melaksanakan audit 10.280 penugasan. “Apalagi, 54 auditor BPKP juga dipinjam KPK untuk melakukan audit investigasi dan penghitungan kerugian keuangan negara,” katanya. (noe/oki)

sistem penggajian itu diubah,” ungkapnya. Di samping itu, ungkap Haryono, pegawai negeri juga dimanjakan dengan banyaknya insentif yang diterima. Itu terlihat apabila para PNS mendapatkan tugas dari kantor melaksanakan aktifitas tambahan yangmasihdidalamlingkuptanggung jawabnya. ”Bayangkan saja, kalau kegiatannya banyak tentu honor yang diterima juga makin bertambah. Honor itu merupakan tambahan

diluar gaji,” jelasnya. Padahal, kata dia, selama ini PNS sudah menerima gaji yang amat layak. Mereka mendapatkan upah setiap bulan sebagai prestasi melaksanakan tugas-tugasnya itu. Pemerintah, tambah dia, seharusnya memulai memikirkan sistem single salary, dimana yang diberikan itu adalah upah atas kontribusi kepada negara selama ini. ”Gaji yang diterima seharusnya cukup satu saja. Karena mereka

memang dibayar untuk itu,” terangnya. Soal sistem penggajian PNS itu, KPK juga pernah mengkritisi pemberian remunerasi di tiga lembaga, yakni BPK, Depkeu dan Mahkamah Agung. KPK menilai bahwa pemberian remunerasi belum banyak memberikan kontribusi dalam reformasi birokrasi. Terbukti, di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai yang sudah mendapatkan remunerasi

namun masih marak praktik pungli. Selain itu. Haryono juga menyorot sistem pemberian tunjangan bagi pegawai di daerah. Selama ini, banyak sekali praktik pemungutan pajak di daerah untuk penambahan tunjangan pegawai di daerah. ”Seharusnya uang yang dipungut dari masyarakat itu masuk lebih dulu ke sistem APBN atau APBD. Tidak langsung dirupakan dalam bentuk tunjangan,” terangnya. (git)

Minta nakal itu baru dijatuhkan setelah mereka benar-benar menjalani masa hukuman. Menurut Haryono sistem penggajian pegawai negeri seharusnya mulai diubah dengan model berbasis kinerja. Apabila seorang pegawai tidak memberikan kontribusi sedikit pun kepada negara melalui pengabdian, mereka juga tidak berhak apa-apa. ”Kami sudah pertanyakan itu. Kami mengusulkan perubahan undang-undang yang mengatur

Mantan Yusnizar dan Agus dengan tuduhan penipuan ke Polsek Medan Baru pada 17 Juli 2007. Pengaduan tersebut diterima oleh Aipda Kabar Aritonang yang tertulis dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan dengan No Pol STPL/ 1474/K.15/VII/2007/TBS BARU. Diduga bermain mata dengan kedua tersangka, laporan ini diendapkan hingga lebih dari 1 tahun. Karena tidak mendapat kepastian, Wai akhirnya menemui Kapolsek Medan Baru yang dulu dijabat oleh AKP Darpin Purba. Pada 15 Juli 2008, didampingi pengacaranya Roni SH, Wai menyerahkan barang bukti berupa 4 lembar bukti penarikan uang dari Bank Mandiri, 2 lembar kwitansi bernilai RP 50 juta dan 25 juta, 1 lembar kwitansi peminjaman uang Rp 133 juta. Bukti penyerahan barang

bukti ini ditandatangani oleh Wai dan Kabar Aritonang. AKP Darpin Purba saat itu mendesak Aiptu Kabar Aritonang untuk segera mengeluarkan surat penangkapan kepada kedua tersangka. Pada 4 September 2008, Yusnizar dan Agus akhirnya ditahan di Polsek Medan Baru. Kejanggalan kembali terjadi, meski ditahan namun kedua pasutri itu tidak ditahan di sel tahanan melainkan di bangku yang ada di koridor Polsek Medan Baru. Hal ini disaksikan sendiri oleh Wai ketika datang ke Polsek Medan Baru. “Saat itu Pak Aritonang bilang kepada saya, mereka keluar karena ibu mau datang”, kata Wai, ibu dari 4 orang anak ini. Setelah ditanyakan Wai kepada petugas lainnya, mereka menyangkal pernyataan Wai.

Tanggal 7 Juli 2008, Wai dan anaknya yang ketiga kembali ke datang ke Polsek Medan Baru. Saat itu sekira pukul 11 siang, Wai tidak lagi mendapat Yusnizar, hanya melihat Agus yang duduk di bangku panjang tersebut. “Gus di mana si Yus”, tanya Wai kepada Agus. Dari mulut Agus diketahui Yusnizar ini mengatakan kalau Yusnizar sudah pulang. Hal ini juga ditanyakan kepada Kabar Aritonang. “Pak Aritonang bilang kalau Yus pulang karena anak-anak mereka masih kecil (1,5 tahun)”, kenang Wai. “Padahal itu tanpa pemberitahuan kepada saya”, kata ibu yang telah ditinggal suaminya karena meninggal sejak 4 tahun lalu ini. Masalah lain muncul, Kabar Aritonang dipindahtugaskan ke Polsek Helvetia. Saat itu masalah

menggunakan fasilitas negara. “Keputusan ini tidak hanya pada acara tahun baru 2009, tetapi juga agenda pribadi keduanya,” katanya. Namun, kata Suliad, pertemu-

an yang digelar beberapa waktu lalu itu tidak memberi hukuman kepada Armudji dan Agustin. Bahkan, fraksi menganggap, kasus ini harus ditutup dan mempersiapkan agenda yang

Wai telah diserahkan oleh Kabar Aritonang kepada Juper lainnya, Hari (nama lengkap dan pangkat tidak diketahui Wai). Suatu saat Hari menanyakan kelengkapan berkas Wai berupa barang bukti agar bisa dikirim ke pengadilan. “Pak semua berkas sudah diserahkan ke Pak Aritonang”, kata Ibu Wai menjawab pertanyaan Hari. Selanjutnya, Hari menghubungi Aritonang yang telah bertugas di Polsek Medan Helvetia. “Pak Aritonang bilang kwitansikwitansi yang saya kasih kemarin di simpan di lemarinya dan kuncinya ada sama si Buyung (pegawai pembantu Polsek Medan Baru”, jelas Ibu Wai. Diceritakan Ibu Wai, setelah itu Hari, Buyung, dan Kanit Reskrim Ipda Doni membuka lemari di situ. Namun mereka tidak lagi menemukan kwitansi

yang akan digunakan sebagai barang bukti. Hal ini menyulitkan pengaduan Ibu Wai sebelumnya. Karena tidak juga mendapat jawaban pasti dari Aritonang setelah berulang kali dihubungi ke telepon genggamnya, Ibu Wai akhirnya mengadukan Aipda Kabar Aritonang ke Propam Poldasu dengan tuduhan penggelapan barang bukti. Pengaduan Ibu Wai diterima per tanggal 13 November 2008 dalam Surat Tanda Penerimaan Pengaduan No Pol: STPL/170/XI/2008/PROPAM. Kabid Propam Poldasu Kombes Diad Chardi mengakui laporan Wai. “Laporannya sudah diterima, begitu juga dengan saksi-saksi sudah diperiksa, berkas sudah diserahkan ke Poltabes Medan dan masih dalam penyelidikan,” ujarnya. (Lamdor)

Ya Ampun Mukadar (Ketua DPC), Whisnu Sakti Buana (Sekretaris DPC), dan Suliad (Ketua Fraksi PDIP). Atas kejadian itu, kata Suliad, Fraksi PDI-P memutuskan kedua anggota dewan tersebut tidak boleh

lebih besar menyongsong Pemilu 2009. “Mereka berjanji tidak akan rebutan pada tahun mendatang. Jadi, tidak ada sanksinya,” katanya menegaskan. Semen-

tara itu, Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Armudji tidak mau berkomentar banyak seputar rebutan vila antara dirinya dengan Agustin yang telah diselesaikan di tingkat DPC itu. (kp)

i k l a n Telp 0 6 1 7 8 8 1 6 6 1

REDAKTUR

REDPEL

PIMRED

PM/AMRY

PM/JPNN

PM/YOEDHI PM/JOHAN

>> Baca Denis Di Hal 10


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.