lb_terkoyaknya_islam_warna-warni_indonesia

Page 1

TERKOYAKNYA ISLAM “WARNA-WARNI” INDONESIA

Ditulis Oleh: Amir Tajrid (STAIN Samarinda) Abstract: The fall of New Order regime has opened the gate for the emergence of various newly ideological Islamic organizations, such as Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jama’ah Islamiyah (JI), and Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT). These organizations promulgate comprehensions of Islam different from the mainstream, since they often embrace radicalism, intolerance, and truth-claim. This sort of ideology is termed Islamic fundamentalism. This fundamentalism is imported from Middle East, which is socially, culturally, and politically different from Indonesia. Therefore, Islamic fundamentalism comes as a sparing partner for the mainstream Islam. This circumstance creates a new way of colorful relationship between Islamic organizations, along with its surrounding problems. On that basis, this paper focuses on the question of whether mainstream Islam in Indonesia with the values of tolerance, teposliro, moderation, according to the character and culture that exist in the Indonesian nation to survive? How efforts should be made to preserve the Mainstream Islam in Indonesia with those values? Keywords: Islamic fundamentalism, mainstream Islam I. Pendahuluan

Salah

satu

pemicu

terbentuknya

peradaban

global

adalah

berkembangnya Tehnologi Informasi (TI). Melalui TI dunia menjadi semakin mengecil, peristiwa yang terjadi di belahan dunia Barat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat yang ada di belahan dunia Timur, pun demikian sebaliknya. Sekat-sekat antar suku, ras, negara, menjadi semakin menipis. Doktrin, paham, pemikiran, ajaran-ajaran agama, dapat dengan mudah di ekspor maupun di impor dari satu tempat ke tempat yang lain. Seseorang dapat mengakses informasi secara bebas dan juga dapat berkomunikasi dengan dengan pihak-pihak yang diinginkan untuk menyampaikan ide, gagasan, pemikiran, berdakwah, dan lainnya. Indonesia, sebagai sebuah negara berpenduduk muslim terbesar dunia, juga tidak luput dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari arus globalisasi yang begitu kuat yang masuk di semua aspek kehidupan, seperti: gaya hidup,

1


makanan, cara berpakaian, prabotan rumah tangga, dan lainnya. Tidak hanya itu, berbagai ragam paham keagamaan Islam pun tidak ketinggalan masuk dan di impor ke negeri ini. Mulai dari yang moderat hingga yang radikal. Impor “paham keagamaan� Islam radikal atau fundamentalisme Islam ini sangat masif terutama terjadi setelah dibukanya kran demokrasi yang menjamin kebebasan warga negara untuk berekspresi pasca runtuhnya rezim Orde Baru (ORBA). Secara historis, di awal penyebarannya, Islam masuk ke Indonesia, terutama di pulau Jawa, disebarkan oleh para wali yang dikenal dengan Walisongo sangat lekat dengan ajaran-ajaran ke-sufi-an. Mereka, para wali, lebih banyak melakukan adaptasi dengan budaya setempat sehingga Islam dapat menyebar dengan cepat dan mudah dan diterima masyarakat secara damai. Wujud Islam yang damai, toleran, moderat, inilah yang kemudian manjadi tipikal Islam Indonesia hingga lahirnya organisasi-organisasi Islam di era modern seperti: Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), al-Irsyad, alWashliyyah, dan lainnya. Organisasi-organisasi Islam tersebut dengan metodenya sendiri mendakwahkan Islam dengan tetap menjaga nilai-nilai toleransi, teposliro, moderasi, sesuai dengan watak dan kultur yang ada pada masyarakat bangsa Indonesia. Walupun tidak dapat dipungkiri diantara organisisasi-organisasi

Islam

tersebut

kadang

juga

terjadi

gesekan

pandangan pemikiran yang menurut saya masih dalam taraf kewajaran karena tidak sampai kepada tindakan anarki. Semenjak terbukanya kran demokrasi di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru (ORBA), organisasi-organisasi Islam baru dengan dengan berbagai paham yang juga baru muncul di mana-mana, misalnya Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jama’ah Islamiyah (JI), Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT). Organisasi-organisasi ini mengusung paham ke-Islam-an yang baru dan berbeda dari maenstream paham ke-Islam-an yang ada sebelumnya, yang dikenal tidak toleran, radikal, dan merasa paling benar. Paham ke-Islam-an yang seperti itu di sebut fundamentalisme Islam. Paham ini di impor dari kawasan Timur-Tengah baik secara kultur, sosial, dan politik,

mempunyai latar belakang

yang

berbeda dengan

Indonesia.

Fundamentalisme Islam akhirnya muncul sebagai sparing partner bagi paham keagamaan yang sudah ada sebelumnya. Kondisi demikian paling tidak

2


menciptakan babak baru hubungan dan wajud Islam warna-warni yang ada di belantara

bumi

Indonesia

dengan

beragam

permasalahan

yang

melingkupinya. Di antara permasalahan yang dapat di inventarisir di sini adalah apakah Islam warna-warni Indonesia dengan nilai-nilai toleransi, teposliro, moderasi, sesuai dengan watak dan kultur yang ada pada masyarakat bangsa Indonesia mampu bertahan? Bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mempertahankan Islam warna-warni Indonesia dengan nilai-nilai tersebut? II. Metode Penelitian

Untuk menjawab permasalahan tersebut, kajian ini dilakukan dengan mengambil data kepustakaan dan lapangan dengan pendekatan normatifsosiologis. Untuk memudahkan melakukan pemahaman, maka kajian ini di mulai dari membuat kerangka teoritis mengenai Islam warna-warni; penelusuran mengenai terminologi fundamentalisme Islam dan dan aspekaspek negatifnya; penyajian fakta-fakta sosiologis yang terkait dengan tindakan anarkis organisasi Islam fundamentalis yang terjadi di Indonesia; dan usaha-usaha yang harus di lakukan. III. Hasil Penelitian

A. Kerangka Teoritis Islam Warna-Warni

Secara teoritis disepakati bahwa Islam cuma satu. Tetapi dari yang satu itu muncul beragam penafsiran. Akibatnya Islam pun muncul dalam wajah yang beragam pula, menjadi Islam warna-warni. Islam warna-warni, sebagaimana di ungkapkan oleh Luthfi al-Saukani,

adalah sebuah

ungkapan yang ditemukan tak hanya berdasarkan pilihan eksotisme katakata semata, tapi juga berdasarkan dalil teologis, fikih, maupun sosiologis (www.islamlib.com). Secara teologis (kalamiyah), Islam selalu hadir dalam bentuk yang tidak pernah seragam. Sejak wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam selalu dihadapkan pada beragamnya keyakinan (akidah) umat Islam, baik

3


mengenai ketuhanan, kenabian, wahyu, maupun persoalan-persoalan ghaibiyyat lainnya. Secara teologis, Islam selalu hadir dalam wajahnya yang beragam, dalam bentuk Khawarij, Syiah, Murjiah, Muktazilah, maupun Ahlussunnah. Ini sesuai dengan penjelasan al-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal bahwa sejak semula umat Islam berbeda-beda penafsiran dalam hal-hal yang bekaitan dengan akidah seperti sifat atau atribut Tuhan. Dalam tradisi keilmuan fikih (fiqhiyyah), Islam juga memiliki wajah yang beragam. Dalam berbagai permasalahan hukum yang di tampilkan seringkali memuat banyak pendapat. Wujud dari kondisi demikian dapat di lihat misalnya dalam berbagai kitab-kitab fiqh, seperti: fihi qaulani, fihi wajhani, nudhiro min aujuhin. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran hukum

itu

tidak

tunggal.

Dengan

pengertian

bahwa

kebenaran

dimungkinkan ada dalam pendapat si A, B, atau C. Kebenaran bukanlah monopoli orang tertentu. Karena itu dalam ranah ijtihad fiqh terkenal adagium, sebagaimana yang diungkapkan oleh imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, yaitu: “ra’yi showab walakin yahtamilu al-khata’, wa ra’yuhu khata’ walakin yahtamilu al-showab” (pendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah dan pendapatnya salah tetapi ada kemungkinan benar). Perbedaan pendapat sangat di junjung tinggi. Sebuah hadis Nabi mengatakan: la yafqahu al-rajulu hatta yara fi alQur’ani wujuhan katsiratan (tidak dianggap faqih seseorang sehingga ia melihat banyak dimensi dalam Al-Quran). Perbedaan pendapat adalah inti dari ajaran fikih. Karenanya, kita tak bisa berbicara tentang satu Islam secara fikih. Secara sosiologis, Islam juga hadir dalam wajahnya yang beragam. Karena itu, tepat sekali yang dikatakan Aziz Azmah, intelektual asal Suriah, “Secara sosiologis kita tak bisa bicara tentang satu Islam, tapi Islam-Islam” (Islams and Modernities, 1996). Saat ini terdapat beragam warna Islam di Indonesia, misalnya: Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam FPI, Islam Laskar Jihad, Islam Liberal, Islam Jama’ah Tabligh, dan lainnya. Hingga sekarang ini, Islam selalu hadir dalam warnanya yang beragam. Adanya warna-warni dalam Islam harus di pahami sebagai rahmat sebagaimana yang di sabdakan Nabi SAW: ikhtilafu ummati rahmat, perbedaan ummatku

4


adalah rahmat. Bukan sebaliknya sebagai bencana. Al-Quran mengatakan bahwa banyaknya wajah Islam adalah merupakan “kesengajaan� yang dibuat oleh Allah. Dalam surat Hud (11) ayat 118-119 dan surat al-Ma’idah (5) ayat 51, dengan sangat jelas Allah menolak ketunggalan (wahidah) dan sebaliknya menciptakan keanekaragaman (mukhtalifin) untuk mengetahui mana yang terbaik di antara mereka. Tentu keragaman ini mengandung hikmah besar yang harus disadari umat Islam dan bukannya malah ngotot menolak Islam warna-warni dengan memaksakan satu paham ke-Islam-an tertentu. Penolakan terhadap Islam warna-warni berarti menolak hukum Allah sebagaimana telah di jelaskan dalam firman-Nya. B. Terminologi Fundamentalisme Islam Dan Aspek Negatifnya

Harus di akui, bahwa terminologi fundamentalisme Islam yang di pahami umat Islam dan masyarakat dunia sekarang tidak lepas dari propaganda

yang

dilakukan

oleh

Barat.

Pemahaman

terhadap

fundamentalisme Islam lebih banyak mengikuti pemahaman yang di buat oleh mereka (Barat). Hal ini di akui oleh intelektual Islam kaliber Hassan Hanafi dari Mesir. Menurutnya, ada kesulitan tersendiri menemukan istilah lain yang komprehensif dari gerakan fundamentalisme Islam yang sudah terlanjur menjadi trend nama di dunia Barat untuk menyebut gerakan Shahwah Islamiyyah, al-Ba’s al-Islamy atau revitalisasi Islam yang sedang marak du dunia Islam sekarang ini (Hasan Hanafi: 2003, hal. 107). Term al-Ushuliyyah Islamiyyah, lanjut Hassan Hanafi, yang secara literal

diterjemahkan

(Fundamentalisme

oleh

Barat

sebagai

Islamic

Fundamentalism

Islam) ini adalah eskalasi sejarah umat

Islam

sebenarnya tidak menunjuk sama sekali pada paham pemikiran atau politik tertentu sebagaimana pemahaman yang sudah terlanjur saat ini meski term al-Ushul memang merupakan term Islam seperti yang di pakai untuk menyebut disiplin ushuluddin dan ushul fiqh. Al-ushul dalam dalam term disiplin ilmiah berarti fondasi atau landasan yang di atasnya di bangun sesuatu, di mana dalam wacana ilmu ushuluddin dimaksudkan sebagai landasan rasional-logis dan landasan

5


materiil (maslahah) untuk disiplin ilmu Ushul Fiqh. Maka mengacu makna asli ini, term al-Ushuliyyah Islamiyyah (Fundamentalisme Islam) harus di artikan sebagai sebuah pencarian asas atau legalitas dengan asumsi bahwa setiap aksi, sistem, atau negara harus berdiri di atas konsepsi atau gagasan sebagai landasan dasar. Negara-negara kapitalis misalnya berlandaskan pada asas konsepsi kebebasan, sementara negara-negara berhaluan sosialis berlandaskan konsep keadilan sosial. Begitu pula halnya negara Islam, ia berdiri di atas landasan legalitas Islam (al-Syar’iyyah alIslamiyyah). Di sini, fundamentalisme Islam menurut salah satu maknanya, berupaya memformulasikan legalitas ini, lalu merealisasikannya, serta membangun

sistem

yang

islami,

kemudian

mempertahankannya

sedemikian rupa tanpa mengacu pada prestasi dan keunggulan sistemsistem lain yang telah eksis. Fundamentalisme Islam lebih mengacu pada bahs syar’i (pencarian legalitas syari’at) dari pada analisis realitas. Ia juga berdiri di atas aksioma-aksioma (fakrah mabda’iyyah) dari pada kebutuhan real. Juga lebih menggunakan metodologi deduktif (isthinbati) yang berlandaskan pada penafsiran teks-teks, bukan metodologi Induktif (istiqra’i) yang membutuhkan pengumpulan dan pengklasifikasian data real. Lebih lanjut Hassan Hanafi mengatakan bahwa term al-Ushuliyyah Islamiyyah (Fundamentalisme Islam) juga acap diterjemahkan dengan istilah al-Salafiyyah dengan asumsi bahwa salaf, generasi pendahulu, lebih utama dari pada khalaf, generasi belakangan, dengan mengacu pada teks al-Qur’an: ”Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-siakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya” (Q.S. Maryam; 19:59). Pemahaman seperti ini juga umum di temukan dalam aforisma Arab, yaitu: “yang baik adalah orang dahulu dan yang jelek adalah orang sekarang”. Pemaknaan fundamentalisme Islam sebagai al-Salafiyyah ini dalam sejarahnya pernah mengemuka dalam dinamika gerakan Salafiyyah yang di dirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan di tindaklanjuti oleh generasi berikutnya seperti: Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah. Dalam perkembangan lebih lanjut, gerakan puritan ini mengambil pola populis sebagai “Gerakan Reformis Modern” di tangan Muhammad bin Abdul Wahhab, al-Syawkani, Gerakan al-Mahdiyah di Sudan, al-Sanusiyah

6


di Maroko, dan lebih lanjut di bidani oleh tokoh-tokoh sekaliber Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Abdurrahman al-Kawakibi, al-Basyir al-Ibrahimi, Abdul Kadir al-Jaza’iry, Tahir bin Asyur, dan lainnya. Oleh karena itu, fundamentalisme Islam tidak mesti di identikkan sebagai konservatif, terbelakang, dan menentang peradaban modern. Fundamentalisme Islam juga tidak tidak bisa diartikan sempit sebagai sikap fanatisme, berwawasan sempit, menolak dialog, dan menutup diri (eksklusif). Begitu pula ia juga tidak bisa di klaim sempit sebagai organisasi-organisasi yang tertutup, baik yang bergerak secara terangterangan maupun yang bergerak di bawah tanah, atau sebagai kelompok sempalan dan menyeleweng. Pun, fundamentalisme Islam tidak bisa di tuduh serampangan sebagai anarkis dan machiavelis yang selalu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, mengkudeta rezim penguasa, dan merencanakan pembunuhan-pembunuhan beraroma politik. Terakhir, fundamentalisme Islam tidak bisa di pandang sebagai hanya militansi ritual dan performa luar, memanjangkan jenggot, memakai celana komprang, memakai hijab, tuntutan penerapan syari’at Islam, mendirikan negara Islam, dan mendirikan masjid. Dengan demikian, fundamentalisme Islam atau salafiyyah tidak lahir dari masa sekarang sebagaimana di klaim reaktif Barat yang umumnya memahami bahwa fundamentalisme Islam lahir sejak meletusnya Gerakan Revolusi Islam Iran, berani matinya pejuang Afganistan menghadapi invansi Uni Soviet, munculnya Gerakan Amal (Evangelis) berhaluan Syi’ah yang di pimpin oleh Imam Musa al-Shadr di Lebanon, maraknya gerakangerakan sufisme dan tarekat di tengah-tengah komunitas muslim di Eropa Timur, bangkitnya gerakan revitalisasi Islam di republik-republik muslim di Uni Soviet, tampilnya Islam dalam percaturan politik di sebagian negara di Asia Tenggara, semaraknya busana muslim, dan gerakan-gerakan lainnya. Jika demikian, maka berarti fundamentalisme Islam telah eksis sepanjang sejarah Islam dan terus akan berulang sepanjang masa. Ia mempunyai andil besar dalam memunculkan gerakan-gerakan Islam kontemporer. Intrik-intrik politik gerakan ini di era modern di antaranya di lakukan oleh Hizbut Tahrir al-Islamy (Partai Pembebasan Islam).

7


Terlepas dari penjelasan Hassan Hanafi di atas, fundamentalisme Islam secara faktual-empiris telah melakukan gerakan dan tindakan yang tidak sesuai dengan misi dan tujuan awalnya. Dalam konteks keIndonesiaan, misalnya, aksi teror dan anarkis yang dilakukan para anggota Islam fundamentalis merupakan fakta yang tak terbantahkan. Kondisi demikian dipengaruhi oleh adanya aspek-aspek negatif yang menempel pada fundamentalisme Islam, diantaranya adalah pertama, reduksi peran akal dan pembesaran aspek keimanan. Maka yang berkembang kemudian adalah intuisi bukan rasio. Ekstremisme dan fanatisme menguat. Ruang dialog hilang dan wawasan pun menyempit. Inilah yang menggejala di tubuh kelompok-kelompok Islam militan sekarang. Kedua, dominasi dogma al-Hakimiyyah li Allah (pemerintahan Tuhan) sebagai dasar negara Islam. Padahal tidak semua sistem modern itu mengandung hukum setan atau undang-undang kekafiran dan masyarakat jahiliyyah. Dogma inilah yang dijadikan

salah

satu

alasan

terpenting

untuk memberontak pada

pemerintahan resmi dan melakukan pembunuhan terhadap pihak-pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Ketiga, ambisi membabi-buta dan sangat bernafsu ingin mendirikan negara Islam dan menetapkan syari’at Islam sebagai realisasi hukum Tuhan, dan ketaatan pada kehendak langit tanpa memperhatikan aspekaspek kemaslahatan umum yang merupakan dasar yurisprudensi hukum. Juga tanpa memperhitungkan bahaya-bahaya yang mungkin timbul ketika syari’at Islam di terapkan secara paksa dan formalistik. Dalam konteks Indonesia, mereka menyerukan dan ingin mengganti negara Pancasila dengan negara Islam dan memberlakukan hukum Islam. Seruan inilah yang menyebabkan masyarakat merasa ngeri dan takut dengan dakwah mereka, lebih-lebih syari’at Islam, yang dalam benak masyarakat awam berarti rajam, pancung, potong tangan, dan lainnya. Keempat,aksi perubahan sosial dengan jalan menggulingkan rezim penguasa dan merebut kekuasaan politik sebagai wujud realisasi sebuah aforisma: “Sesungguhnya Allah menganjurkan untuk memakai kekuasaan atas apa-apa yang tidak Dia anjurkan dengan al-Qur’an.” Kelima, penggunaan kekuatan real untuk melakukan perubahan dalam otoritas politik, juga pemberdayaan biro-biro rahasia. Untuk tujan ini di bentuklah

8


sistem kemiliteran yang semi bersenjata sebagai cikal bakal tentara jika tujuan berhasil. Ini pernah di lakukan oleh organisasi Islam fundamental di Indonesia yang di tangkap beberapa waktu lalu di Aceh walaupun belum ada pihak yang bertanggung jawab. Keenam,keterjebakan dalam perdebatan totalitas atau nihilitas, yakni menerima Islam secara utuh atau menolak sama sekali, lalu menolak sistem sekuler sebagai sikap Islam atau menerimanya secara utuh sebagai sikap menentang Islam. Paradigma graduasi menjadi menghilang, sehingga mereka merasa hidup dalam fase negara non Islam. Mereka lalu membentuk komunitas khusus yang eksklusif dan saling bersaudara, organisasi dan jaringan sebagai sarana berdirinya negara Islam. Ketujuh, kelekatan citra pemberontak dan pembangkang undang-undang. Ini pernah terjadi pada anggota kelompok garis keras Ikhwan al-Muslimin di Mesir. C. Tindakan Anarkis Organisasi Islam Fundamentalis Di Indonesia

Aspek-aspek negatif sebagaimana disebutkan di atas yang melekat pada fudanmentalisme Islam yang di impor oleh organisasi-organisasi Islam fundamentalis ke Indonesia pada kenyataannya mempengaruhi keberagamaan umat Islam yang ada di sana. Tindakan yang lebih mengemuka dari organisasi-organisasi Islam semacam ini berujung pada pengkafiran dan teror tidak saja terhadap umat atau organisasi-organisasi Islam lain yang ada di luar dirinya tetapi juga umat atau kelompokkelompok di luar Islam. Fakta-fakta berikut kiranya dapat dijadikan dasar bagi pernyataan di atas. Teror bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Jebres, Solo, yang di lakukan oleh Ahmad Yosepa Hayat alias Abu Dawud alias Raharjo alias Pino Demianto pada waktu siang hari Minggu 25 September 2011 beberapa hari yang lalu. Ia merupakan salah satu dari lima buronan polisi dalam kasus bom bunuh diri di Masjid alDzikra komplek Mapolresta Cirebon pada 15 April silam, sebagaimana di ungkapkan oleh Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabid Perum) Polri Kombes Boy Rafli Amar. Ia tercantum dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang di rilis Mabes Polri, Kamis 19 Mei 2011. Mereka adalah

9


perencana sekaligus sekaligus perakit bom bunuh diri di komplek Masjid alDzikra Mapolresta Cirebon. Selain memberi perintah pelatihan pada bom di masjid tersebut, Hayat juga menyembunyikan pelaku teror bom di sejumlah gereja di Klaten Jawa Tengah. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Anton Bahrul Alam, Hayat termasuk anggota Jama’ah Anshor al-Tauhid Jaringan Cirebon. Teror bom bunuh diri ini menelan banyak korban, 1 orang tewas dan 24 orang luka-luka (Suara Merdeka Edisi Selasa Pon 27 September 2011). Di samping teror bom yang dilakukan di gereja Kepunton dan Masjid al-Dzikra Mapolresta Cirebon, aksi Jaringan Cirebon ini juga melakukan penyerangan Pos Polisi Polsek Porwodadi, Purworejo, 9 April 2010 dengan pelaku Nanang alias Endut (buron) Erwan cs. Korban penyerangan ini di antaranya adalah dua petugas jaga, Bripda Wagino dan Briptu Iwan Eko Nugroho. Kemudian di susul teror bom di sejumlah gereja di Klaten akhir 2010. Teror dan tindakan anarkis lainnya adalah pengrusakan patung Semar, Gatut Kaca, dan Warkudara di Kabupaten Purwakarta beberapa waktu yang lalu. Pengrusakan ini di lakukan sekelompok masa yang mengatasnamakan Islam. Alasan pengrusakan menurut mereka lebih di dasarkan pada adanya unsur kemusyrikan dan tidak sesuai dengan syari’at Islam. Mereka sama sekali tidak memahami filosofi dari keberadaan patung tersebut dan tradisi masyarakat kabupaten Purwakarta. Budaya dan tradisi (‘urf) yang berasal dari luar bangsa Arab tidak semuanya buruk, toh keberadaan patung-patung tersebut bukan untuk di jadikan sesembahan. Dalam khazanah ilmu ushul fiqh juga di kenal adanya konsep adat kebiasaan/urf, yakni nilai-nilai dan tradisi masyarakat yang sudah melembaga yang tidak bertentangan di nilai-nilai tauhid Islam. Fakta lainnya lagi adalah kekerasan yang di lakukan terhadap Jama’ah Ahmadiyah di Ciukesik Bandung dan tempat-tempat lain, seperti di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan kantong Jama’ah Ahmadiyah yang seringkali menimbulkan korban nyawa dan harta benda bagi para anggotanya. Dengan alasan yang sama, mereka (kelompok Islam fundamental) melakukan aksi kekerasan terhadap anggota jama’ah ini. Kekerasan menjadi jalan terakhir untuk menghakimi kelompok-kelopok

10


yang tidak sepaham dengan mereka. Tidak hanya itu, kelompok Islam fundamentalis juga telah melakukan pengkafiran seperti yang telah dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Forum Umat Islam (FUI) Indonesia terhadap saudara Ulil Absar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), yang dianggapnya murtad, kafir, dan melenceng dari ajaran Islam sehingga darahnya halal ditumpahkan. Padahal sama-sama membaca

syahadat,

shalat,

puasa,

dan

ibadah-ibadah

lain

yang

diwajibkan. Selain itu juga ada buku yang dikarang oleh Hartono Ahmad Jaiz yang intinya menuduh ada pemurtadan di IAIN. Kecenderungan keberagamaan yang monolitik seperti itu akhir-akhir ini semakin gencar dipropagandakan oleh mereka yang mempunyai sikap dan pandangan keberagamaan yang eksklusif

yang selalu memancing kerusuhan,

keonaran, dan bahkan memakan korban orang-orang yang tidak berdosa. Meledaknya dua hotel di Jakarta (JW. Marriot dan Ritz Carlton), pemboman kedutaan besar Australia di Jakarta, serta bentrokan yang terjadi antara aparat keamana dengan anggota pengajian Umar bin Khattab di NTB, beberapa waktu yang lalu disinyalir juga akibat dari sikap negatif yang melekat pada mereka yang mengusung paham Islam fundamentalis dengan memakain beragam nama yang berbeda. Tindakan kekerasan sebagaimana di buktikan oleh banyak faktafakta empiris tersebut, akhirnya menciptakan fenomena keberagamaan Islam warna-warni Indonesia yang mengalami pembelahan, yakni mereka yang melakukan dakwah Islamiyah dengan tetap menjunjung tinggi moderasi, toleransi dengan tetap akomodatif terhadap budaya lokal, dan lebih bercorak kontekstual. Sementara yang lain melakukan dakwah Islamiyah dengan menonjolkan aspek formal dan tekstual serta menolak segala bentuk pemikiran yang tidak sejalan dengan mereka dan budaya masyarakat

setempat

yang

dianggapnya

mengandung

unsur-unsur

kesyirikan, tahayyul, bid’ah, khurofat. Pembelahan tersebut sering kali tidak menemukan titik temu, dan bahkan memicu terjadinya konflik yang menegangkan. Hubungan di antara Islam warna-warni di Indonesia mengalami ketegangan, mengambil posisi yang saling berhadapan. Nahdhatul Ulama’ (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, mendeklarasikan diri untuk tampil di garda terdepan dalam

11


melawan radikalisasi yang sering di lakukan oleh organisasi-organisasi Islam fundamentalis. Prof. Dr. Said Aqiel Siraj, Ketua Umum PB NU, akhirnya melakukan

secara

formal

membuat

deradikalisasi,

penerbitan

buku,

baik

dan

sebuah

melalui

lainnya.

langkah-langkah

ceramah

agama,

Sementara

untuk

seminar,

Muhammadiyah

mendeklarasikan diri sebagai tenda kultural bangsa. Muhammadiyah akan menempuh jalur kultural dalam menyampaikan dakwah Islamiyahnya. Muhammadiyah menyadari bahwa dengan kondisi perubahan yang terjadi begitu cepat dalam aspek budaya sosial dan ekonomi, seharusnya tidak mengawetkan konsep dakwah lamanya yang mengagungkan perlawanan terhadap Tahayyul, Bid’ah, Churofat (TBC) saja. Konsep dakwah yang demikian menurut Muslim Abdurrahman secara tidak langsung menjadikan Muhammadiyah seakan menjadi agen tiket surga Tuhan yang menjanjikan kepastian.

Paradigma

seperti

ini

harus

segera

di

rubah,

bila

Muhammadiyah ingin tetap eksis di terima di semua kalangan dan memberi makna pada kehidupan umat. Jangan sampai pembaharuan keagamaan hanya terpaku pada aspek yang bersifat tekstual semata. Dakwah harus lebih

bersifat

kontekstual

dan

kultural

sesuai

dengan

kebutuhan

masyarakat (Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, 2003). Dengan menjalankan agenda kultural seperti di atas, menurut Ahmad Fuad

Fanani,

salah

seorang

aktifis

Muhammadiyah,

prestasi

Muhammadiyah sebagai agen civil society dan civil Islam di Indonesia akan tetap bertahan. Konsistensi Muhammadiyah dalam aktifitas kultural dan sosialnya, banyak menghasilkan perubahan di hampir semua lini masyarakat (Ahmad Fuad Fanani: 2004, hal. 156). Oleh karena itu, M. Amin Abdullah, Muhammadiyah harus tetap bergerak di level kultural yang memperjuangkan pengembangan masyarakat, mempromosikan toleransi, menjaga kemendirian dan jarak dari kekuasaan, serta memperkenalkan Islam yang moderat (Muhammadiyah’s Experience in Promoting Civil Society on the Eve of the 21st Century, 2001). Fakta-fakta empiris mengenai pembelahan, ketegangan, serta pengambilan posisi saling berhadapan di antara mereka (Islam warnawarni di Indonesia) di sebabkan tindakan kekerasan, main hakim sendiri, mengklaim sesat yang lain, merupakan bentuk terkoyaknya Islam warna-

12


warni Indonesia yang tidak bisa mempertahankan nilai-nilai toleransi, moderasi, teposliro, sesuai dengan watak dan kultur yang ada pada mayarakat bangsa Indonesia yang sudah tertanam sejak lama. Nilai-nilai adiluhung tersebut tergantikan oleh nilai-nilai lain yang di impor oleh organisai Islam fundamental yang belum tentu sesuai dengan kultur dan kepribadian masyarakat bangsa Indonesia. Umat atau masyarakat menjadi mudah terprofokasi untuk melakukan tindakan kekerasan, sehingga kerusuhan acapkali terjadi di mana-mana. Hanya karena masalah kecil emosi massa mudah tersulut. Sehingga masyarakat bangsa Indonesia saat di kenal sebagai pemarah dan emosional. Akhirnya berujung pada menurunnya kepercayaan masyarakat dunia akan ketidakmampuan pemerintah Indonesia menciptakan kondisi yang aman baik terhadap warga negaranya sendiri maupun warga negara asing yang berkunjung ke Indonesia. Travel warning dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Australia,

adalah

fakta

yang

tak

terbantahkan

terhadap

kondisi

ketidakamanan Indonesia. D. Usaha-Usaha Yang Harus Di Lakukan

Jika Islam warna-warni Indonesia sudah mulai terkoyak, maka tentu usaha-usaha untuk mempertahankannya harus di lakukan. Agar Islam warna-warni Indonesia mampu mempertahankan nilai-nilai toleransi, teposliro, moderasi, sesuai dengan watak dan kultur yang di milikinya. Usaha-usaha tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagaimana berikut: Pertama, kaharusan menggunakan metode dan pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Selama ini studi agama lebih banyak dilakukan dengan hanya menggunakan metode dan pendekatan tertentu, seperti: pendekatan teologis. Pendekatan teologis adalah pendekatan normatif, subyektif terhadap agama, yang bisa dilakukan oleh seorang penganut suatu agama dalam memahami agama orang lain dengan perspektif agama yang dianutnya. Kajian pendekatan teologis model seperti ini, menurut Amin Abdullah mengarah kepada keberpihakan kepada agama tertentu, lebih bersifat eksoteris, tertutup, dan final-kongkrit (M. Amin Abdullah, Ulumul qur’an, Vol. VII, No.5,1997, hal. 56-57).

13


Selain pendekatan teologis perlu juga disampaikan di sini pendekatan falsafati yang oleh M. Amin Abdullah dinyatakan sebagai pendekatan tekstual hermeneutis dengan pola pikir kualitatif, sehingga pesan teks dapat dilihat secara lebih mendalam dari apa yang ditampilkan oleh teksnya selama tidak menyalahi prinsip-prisip universal yang diusungnya. Sehingga dapat diperoleh pandangan yang terbuka, inklusif, dan abstrak, karena lebih menitikberatkan pada aspek ide-ide fundamental, yang kemudian dapat membentuk pola berfikir kritis dalam mencari esensi dan semangat suatu pesan atau data dan fakta, dan akhirnya membawa pada mentalitas, kepribadian, dan alam pikiran yang mengutamakan kebebasan intelektual, sekaligus memiliki sikap toleran terhadap berbagai pandangan yang berbeda dan terbebas dari dogmatisme dan fanatisme. Contoh model studi dengan pendekatan ini misalnya tampak pada studi agama dalam alQur’an yang juga merujuk pada pesan yang sama dengan pandangan teologis di atas. Hanya saja berbeda dalam mencermati pesan tersebut. Bahwa misi al-Qur’an yang membawa kepada Islam dan tawhid dan din alhaq, bukanlah Islam dalam arti agama resmi yang diakui secara historis, tetapi lebih dititik beratkan pada makna Islam dan tawhid itu sendiri, yaitu ketundukan, kepasrahan, dan komitmen tunggal hanya kepada Tuhan. Makna inilah yang merupakan petunjuk dan din al-haq yang dibawa setiap rasul dan terdapat dalam setiap agama. Jadi al-Qur’an memang berpihak dan melakukan truth claim, tetapi keberpihakannya kepada ide-ide dasar keberagaman yang benar yaitu: kepasrahan, ketundukan, dan komitmen tunggal hanya kepada Allah. Selain dua pendekatan di atas, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Hidayat mengenai visi al-Qur’an tentang metode dan pendekatan studi agama-agama, setidaknya masih ada tujuh pendekatan.

Ketujuh

pendekatan

itu

adalah

pendekatan

historis,

pendekatan kritik, pendekatan rasional intuitif, pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis, pendekatan dialogis, dan pendekatan perbandingan (Syamsul Hidayat, ”Visi Al-Qur’an Tentang Metode Dan Pendekatan Studi Agama-Agama”, Jurnal Profetika No.1, Vol. I, 1999, hal. 136). Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar sesama organisasiorganisasi Islam di Indonesia agama secara terstruktur dan terjadwal

14


dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar pengikut organisasi-organisasi Islam tersebut. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan, yang harus ditanamkan mulai sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Tugas ini tidak semata-mata menjadi tugas orang tua tetapi juga menjadi tugas pemerintah

dengan

cara

mengevaluasi

kembali

terhadap

proses

pendidikan dan pengajaran akidah/keyakinan baik ditingkat sekolah dasar, menengah,

maupun

pelajaran/perkuliahan,

perguruan guru,

dan

tinggi, dosen

menyangkut yang

mengampu

materi mata

pelajaran/mata kuliah tersebut. Guru dan dosen yang mengampu mata pelajaran/mata kuliah tersebut harus benar-benar mempunyai wawasan yang luas dan keahlian dibidang tersebut. Dengan kata lain, guru dan dosen diwajibkan dapat membentuk sikap sebagaimana dimaksud bagi siswa/mahasiswa yang diajar dan dididiknya. Keempat, pemerintah harus mempunyai ketegasan dalam penegakan hukum. Siapa pun yang berbuat anarkis dan melakukan tindakan kekerasan harus di hukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Selama ini pemerintah masih di anggap tidak tegas di dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena pemerintah dalam beberapa hal masih melakukan pembiayaran terhadap aksi-aksi anarkis dan pengrusakan yang di lakukan organisasi-organisasi Islam berhaluan keras, sebagaimana yang di lakukan oleh FPI terhadap pihak-pihak yang di anggap tidak sejalan dengan mereka. Kelima, mengembangkan corak keberagamaan yang moderat, walaupun kadang dianggap tidak jelas pendiriannya. Corak keberagamaan ini lebih mengedepankan bahwa ajaran Islam haruslah di laksanakan sebaik mungkin sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW, sedangkan pemahaman keagamaan dan keberagamaannya tidaklah harus senantiasa bersifat liberal atau formal. Pemahaman dan keberagamaan harus senantiasa di perbaharui, di baca ulang, di sesauaikan dengan konteks kekinian untuk kemaslahatan dunia-akherat.

15


IV. Kesimpulan

Berdasarkan fundamentalisme

ulasan

di

atas,

dapat

disimpulkan

bahwa

Islam yang di impor dari kawasan Timur-Tengah oleh

organisasi-organisasi Islam fundamentalis balakangan ini telah menyebabkan timbulnya aksi-aksi kekerasan dan teror, main hakim sendiri, mengklaim sesat yang lain, di Indonesia. Aksi-aksi kekerasan dan teror ini ini memicu terjadinya pembelahan-pembelahan, ketegangan, serta pengambilan posisi saling berhadapan di antara mereka (Islam warna-warni di Indonesia). Kondisi demikian adalah bentuk terkoyaknya Islam warna-warni Indonesia yang tidak bisa mempertahankan nilai-nilai toleransi, moderasi, teposliro, sesuai dengan watak dan kultur yang ada pada mayarakat bangsa Indonesia yang sudah tertanam sejak lama. Nilai-nilai adiluhung tersebut perlahan namun pasti telah tergantikan oleh nilai-nilai lain yang di impor oleh organisai Islam fundamental yang belum tentu sesuai dengan kultur dan kepribadian masyarakat bangsa Indonesia. Sebagai langkah antisipatif terhadap kondisi demikian, harus di lakukan usaha-usaha sebagai berikut, yaitu: kaharusan menggunakan metode dan pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama; keharusan mengintensifkan dialog antar sesama organisasi-organisasi Islam di Indonesia agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar pengikut organisasi-organisasi Islam tersebut; penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan mulai sejak dini; pemerintah harus bertindak tegas dalam penegakan hukum; mengembangkan corak keberagamaan yang moderat.[]

16


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis, Penerbit Kompas, Jakarta, 2004. Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Beirut, tth. Aziz Azmah, Islams and Modernities, London University Press, 1996. Hasan Hanafi, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Islamika, Yogjakarta, 2003. Lutfi al-Saukani, Islam Warna-Warni, www.islamlib.com. M. Amin Abdullah, Muhammadiyah’s Exsperience in Promoting Civil Society on the Eve of the 21st Century, 2001 (makalah). M. Amin Abdullah, Ulumul qur’an, Vol. VII, No.5,1997. Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Ma’arif Institute, 2003. Suara Merdeka Edisi Selasa Pon 27 September 2011. Syamsul Hidayat, ”Visi Al-Qur’an Tentang Metode Dan Pendekatan Studi Agama-Agama”, Jurnal Profetika No.1, Vol. I, 1999.

17


18


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.