Filsafat bahasa mustofa kamal

Page 1

1

HUBUNGAN LAFAZ{ DAN MAKNA (Telaah atas Konsep al-Da>l wa al-Madlu>l, al-Ismu wa al-Musamma> Dalam Paradigma Filsafat Bahasa)

Oleh: Mustofa Kamal, AH,S.Th.I,M.S.I

‫املهخص‬ ‫انؼهمت بني انهفظ ًاملؼنَ ػاللت أساسيت ضشًسيت كي حؤدٍ انهغت يفيٌيا ًيا حشيز إنيو ألٌ انهغت نٌ اَفصهج ػٍ يؼنيا‬ .‫ألصبحج لٌانب يفشغت ال فائذة ينيا إر أَو البذ نكم نفظت يٍ يؼنَ حذل ػهَ يؼنَ يا يف حياة اإلَساٌ ًاإلجمخًغ‬ ‫ ألٌ املٌضٌع يخحذد ػٍ انخششيغ االحكاو‬,ًَ‫ اسى ًاملس‬,‫ىزه انشسانت يبحذ ػٍ أساسيت دال دال ًاملذنٌل‬ ‫ًػاللخيا ًَشأة انهغت يف انفكش األساليي ًألٌال املفسشًٌ حٌل األياث املسخخذيت كادنت يفيٌو ًينطٌق ًحسًيت‬ .ٌ‫ًأرشىا يا يخؼهك بانمشأ‬ ‫ ينطٌق‬,‫ يفيٌو‬,ًَ‫ يس‬.َ‫ يؼن‬,‫ نفظ‬: ‫انكهًت املفخاحيت‬ Abstrak Relasi antara lafaz dan makna mengandung hubungan latar belakang yang sangat mendasar dalam rangka memperoleh pemahaman bahasa agar dapat dimengerti maksudnya. Apa yang disimbolkan dalam berbahasa seyogyanya dipisahkan dari unsur maknanya sehingga diketahui maksudnya. Berawal dari tanda-tanda (simbol) memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta, yang bisa diakses melalui pemahaman terhadap penafsiran teks suci al-Qur’an. Pembahasan dalam tulisan ini menunjukkan hubungan antara dal (petanda) dan madlul (yang ditandai), al ismu (nama) dan musamma (yang dinamai), dimana topiktopik tersebut berhubungan erat dengan aspek pensyari’atan (tasyri’) suatu hukum dan korelasinya yang sangat dipengaruhi olehfaktor kebahasaan (lughoh) dan pemikiran islam, serta pendapat para ahli tafsir (mufassirin) yang berhubungan dengan ayat-ayat yang mengandung hubungan (dilalah) mafhum, manthuq, tasmiyah dan derivasinya yang berkorelasi dengan sumber al-Qur’an. Kata kunci: lafaz}, makna, mus\amma>, mafhu>m, mant}uq 

Penulis adalah dosen ilmu al-Qur’an dan Tafsir Universitas Sains Al-Qur’an fak.syariah dan hukum islam, alumnus pasca sarjana UNSIQ Jateng di Wonosobo, program beasiswa Kader Ulama Direktorat Pontren Kemenag RI, Program Studi Ulumul Qur’an dan Tafsir angkatan 2010; mulai tahun 2013 menjabat sebagai Kaprodi Ilmu Qur’an dan Tafsir UNSIQ. Penulis juga kandidat Doktor di PPs IAIN Walisongo, studi S3 beasiswa dari Diktis Kemenag th.2012.

1


2

A. Prolog Dalam kajian ilmu filsafat bahasa,1 pembahasan tentang lafaz} dan makna menjadi sesuatu yang menarik untuk didiskusikan, disamping karena persoalan makna akan senantiasa berkembang sesuai dengan berkembangnya peristiwa yang ada dalam lingkungan manusia. Makna yang dalam istilah bahasa inggrisnya ‚meaning‛ yang berarti ‚arti, makna atau maksud‛ merupakan pembahasan tematiknya ilmu s}araf (teori semantik Arab), walau tentu bukan satu-satunya. Dalam kamus istilah bahasa modern, misalnya, kita menemukan kesamaan istilah antara ‚semantics‛ (Barat) dengan ‘ilm ad-dila>lah (Arab) yang berarti ‚menunjukkan, menandai‛. Kajian semantik dalam tata bahasa Arab (nah}wu) menjadikan term ‚makna‛ sebagai titik awal. Tentunya hal tersebut juga tidak mengganggu istilah yang sama yang digunakan oleh ilmu-ilmu lain seperti ilmu mant}iq, ilmu s}araf, dan bala>gah, terutama terkait dengan terminologi ilmu ad-dila>lah tadi. Perlu diingat, bahwa antonim dari istilah ‚makna‛ adalah ‚lafaz}‛ yang selalu menunjukkan keterkaitan fisik dari perkara yang ditunjukkan oleh makna.2 Menurut Guntur Taringan, bahwa bahasa adalah suatu sistem simbolsimbol, maksudnya bahwa dalam bahasa mengandung makna yang diucapkan oleh si pembicara yang dihubungkan secara simbolis dengan objek-objek ataupun kejadian dalam dunia praktis. Dengan kata lain, bahwa bahwa ucapan itu ‚berarti‛ atau ‚terdiri atas‛ aneka ragam ciri pengalaman atau singkatnya mengandung arti atau makna. Sedangkan makna atau arti dalam bentuk linguistik seperti kata, bagian kata atau gabungan berbagai kata (fi’il, fa>’il, isim,

sifat, maf’u>l dll) adalah ciri yang umum bagi semua situasi tempat pemakaian. Dengan kata lain, bahwa persoalan makna (arti) senantiasa hadir dalam lingkungan kita. Pembahasan tentang da>l wa al-madlu>l (kata dan makna), al-ism 1

Filsafat bahasa, jika dilihat sebagai ilmu adalah kumpulan hasil pikiran para filosof mengenai hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Sedangkan jika diartikan sebagai sebuah metode berfikir adalah sebuah metode berfikir secara mendalam (radik), logis, dan universal mengenai hakikat bahasa. Lihat Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), cet.1, hlm.12-13 2 Antara makna dan lafaz} tidaklah selalu dihadapkan pada aspek antonimitas, sebab makna seringkali juga diantonimkan dengan istilah z}a>hir.

2


3

wa al-musamma> (nama dan yang dinamakan) menjadi term yang menarik bagi para filosof bahasa, karena menyangkut masalah pemaknaan dan lafaz}. B. Al-Da>l wa al-Madlu>l sebagai dasar Semiotika Islam Pembahasan ilmu al-dila>lah sendiri masuk dalam pemaparan teori sebagai langkah peralihan menuju pembahasan turats dalam garapan disiplin ilmu bahasa.3 Konsep ‚dila>lah‛ adalah bagian dasar dari ilmu tanda yang sering kita dengar dengan istilah semiotika. Ilmu semiotika itu sendiri pada mulanya adalah berasal dari tradisi filsafat Yunani, yang dikenal dengan dari istilah semion yang berarti tanda. Tokoh modern yang mengusung ilmu ini adalah Charles Sanders Pierce (1830-1914) dan Ferdinand de Saussure4 (1857-1913). Adapun istilah semiotika itu sendiri sebenarnya diusulkan pertama kali oleh Lambert, seorang ahli filsafat Jerman pada abad ke-18 M sebagai sinonim kata logika. Dalam tradisi Islam, pembahasan tentang semiotika ini adalah berasal dari konsep ‚dila>lah‛5. Istilah ‚dila>lah‛ ini berarti suatu hal yang dapat membangkitkan adanya petunjuk, sedangkan apa yang diacunya atau yang ditunjuknya disebut ‚madlu>l‛. Adapun konsep dari al-da>l wa al-madlu>l6 itu sendiri

belum menjadi

pembahasan dalam disiplin tersendiri, namun selalu menjadi pembahasan dalam kajian ilmu mantiq (logika), ilmu ma’a>ni dan baya>n (semantika Islam), dan ilmu 3

Sebagai contoh, para ahli us}ul fiqh memberikan beberapa sampel dalam hal bagaimana mereka berinteraksi dengan bahasa sebagaimana bentuk aturan dari beberapa simbol daya ucap yang dalam gaya bahasanya tunduk pada aturan bijak dalam menyelesaikan tugas dilalahnya. Mereka juga sejak awal telah menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan bahasa. Menambahkan karya pengetahuan dengan secermat mungkin sebagai hasil dari usaha mereka dengan menjadikan al-Qur'an sebagai acuan utama dalam pengistinbatan hukum, dengan tidak melupakan dasar-dasar hukum bahasa yang salah satu keistimewaannya adalah ad-dila>lah. 4

Teori tentang makna menurut de Saussure: setiap tanda linguistik (tanda bahasa) terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen signifian (yang mengartikan) yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie (yang diartikan) yang wujudnya berupa pengertian atau konsep yang dimiliki oleh signifian. Lihat dalam Abdul Chaer, Linguistik umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm.286-287 5 Menurut kamus bahasa Muhammad Ridha, dala>lah dan dila>lah adalah isim mas}dar dari dalla> yang artinya sesuatu yang dijadikan dalil (bukti), petunjuk atau penemu. 6 Dila>lah merupakan petunjuk untuk mengetahui sesuatu, di mana dengan pengetahuan tersebut secara otomatis dapat diketahui sesuatu yang lain. Pengetahuan pertama disebut dengan da>l (petunjuk) dan pengetahuan kedua disebut madlu>l (yang ditunjukkan).

3


4

tafsir. Dalam konsep dila>lah, terdapat suatu petunjuk yang dapat menuntun kita pada pengetahuan tertentu, seperti petunjuk lafaz} atas suatu makna, petunjuk isyarat, lambang, kata kiasan, atau akad dalam transaksi tertentu yang menunjukkan pada makna tertentu juga, baik makna tersebut disengaja atau tidak, seperti seseorang yang bergerak menandakan bahwa ia masih hidup.7 Dalam ilmu mant}iq, kata ‚dila>lah‛ merujuk pada dua pengertian. Pertama, kata d{ila^lah didefinisikan sebagai sesuatu yang memberikan pengertian tentang sesuatu yang lain, apakah bisa dimengerti ataupun tidak. Sesuatu yang memberikan pengertian disebut da>l (yang menunjukkan), sedangkan sesuatu yang lain disebut madlu>l (yang ditunjukkan). Sebagai contoh: seperti lafaz} ‚Ibra>hi>m‛ atau ‚Ah}mad‛, keduanya bisa dimengerti sebagai zat (diri) seseorang yang diberi nama Ibrahim dan Ahmad. Adapun menurut konsep Charles S.Peire, mengilustrasikan bahwa yang menunjukkan (da>l) sama artinya dengan ‚tanda‛, yaitu yang mengemukakan sesuatu. Sedangkan ‚yang ditunjukkan‛ (madlu>l) sama artinya dengan objek, denotatum, referent atau acuan.8

Kedua, kata dila>lah didefinisikan sebagai ‚fahmu amrin min amrin‛, artinya adalah pengertian terhadap sesuatu karena didasarkan pada pemahaman sesuatu yang lainnya; contohnya seperti mengartikan ‚bani adama‛ kepada kata ‚manusia‛. Ungkapan bani> a>dama disebut madlu>l (amrun mafhu>mun) yaitu sesuatu yang dimengerti, sedangkan kata manusia disebut da>l (amrun mafhu>mun minhu) artinya sesuatu yang memberikan pengertian.9 C. Pembagian dila>lah Konsep

Dila>lah

dibagi

menjadi

tiga

yaitu:

mutat}a>biqiyyah,

tad}ammuniyyah dan iltiz}a>miyah. Dila>lah mutat}a>biqiyyah adalah petunjuk dari suatu lafaz}, persis seperti makna terapan lafaz} tersebut, contoh: lafaz} ‫ جنة‬yang berarti

surga.

Lafaz}

‫جنة‬

(surga),

memang

juga

diterapkan

untuk

7

Dr. Muh}ammad Salim Abu> ‘As}i, Al-Dila>la>t wa As\a>ruha> fi> Tafsi>ri al-Qur’a>ni al-Kari>m, , (Kairo: Da>r Ali li al-T{aba’ah,1997), cet. I, hlm. 15 8

Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), cet.1, hlm.254 9 Ibid, hlm.254

4


5

mengidentifikasikan taman atau kebun.10 Ketika maksud dari lafaz} persis seperti makna terapan lafaz}, berarti telah terjadi persamaan (tat}a>buq) antara makna dan pemahaman pendengar. Contoh lain firman Allah:

َّ‫حوَّاَّْب قرة‬ َُّ ‫إِنََّّاللّهََّّيأ ُْم ُرُك َّْمَّأ َّْنَّت ْذب‬ Artinya: ‚Sesungguhnya Allah memerintahkan menyembelih sapi‛. (QS. al-Baqarah[2]: 67).

kamu

sekalian

untuk

Lafaz} ً ً‫( َب َق َرة‬sapi) yang dimaksudkan adalah makna sapi seperti yang dipahami manusia sesuai dengan makna terapan lafaz}. Apalagi, lafaz} ً ً‫( َب َق َرة‬sapi) dari ayat di atas sama sekali tidak disertai dengan ikatan tertentu, sehingga dengan memahami makna lafaz} sudah cukup bagi Bani Israil untuk melaksanakan perintah Allah, yaitu dengan menyembelih sapi. Sedangkan dila>lah tad}ammuniyyah adalah petunjuk lafaz} atas sebagian dari makna lafaz} secara keseluruhan. Seperti lafaz} ‫( جنة‬surga) yang menunjukkan makna taman/ kebun saja. Disebut tad}ammuniyyah karena makna yang dapat dipahami dari lafaz} merupakan sebagian dari makna lafaz} secara keseluruhan. Ringkasnya, dila>lah tad}ammuniyyah merupakan petunjuk terhadap sebagian makna dari sesuatu.11 Contoh lain, firman Allah: َّ َّ‫قَّوالسارق َّةَُّفاقْط ُعوَّاَّْأيْدي ُهما‬ َُّ ‫والسار‬ Artinya: ‚Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya‛. (QS. Al-Maidah[5]: 38). Yang dimaksud dengan lafaz} ً‫( أَ ٌْدِي‬tangan) dari ayat di atas adalah telapak tangan sampai pergelangan tangan yang merupakan bagian dari makna tangan secara keseluruhan.

Dila>latul iltiza>m adalah petunjuk suatu lafaz} atas makna yang selalu mengiringinya. Maksudnya adalah bahwa makna lafaz} mempunyai keterkaitan sangat erat dengan makna lain yang berada di luar lafaz}. Dengan memahami 10

Jamaluddin ‘Abdurrahim bin al-H{asan al-Isnawi, Dr. Sya’ban Muhammad Ismail ed., Niha>yatu al-Su>li fi> Syarh}i Minha>ji al-Wus}u>li Ila> ‘Ilmi al-Us}u>l, (Beirut: , Da>r Ibnu Hazm, 1999), Jilid 1, cet.1, hlm. 194 11 Jamaluddin ‘Abdurrahim bin al-Hasan al-Isnawi, Ibid, hlm.194

5


6

lafaz} secara otomatis juga akan dipahami sesuatu yang lain. Seperti kata empat menunjukkan bilangan genap.12 Contoh firman Allah:

َّ َّ‫الربا‬ ِّ ََّّ‫وأحلََّّالل َّ​ّهَُّالْب ْيعََّّوحرم‬ Artinya: ‚Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‛. (QS. al-Baqarah[2]: 275).

Dila>lah Iltiza>miyyah dari ayat tersebut adalah bahwa jual beli berbeda dengan riba. Menurut para ahli filsafat Islam, pembagian dila>lah dibedakan menjadi dua, yaitu dila>lah lafz}iyah dan dila>lah gairu lafz}iyah.13 Dila>lah lafz}iyah adalah petunjuk yang berupa lafaz}, ungkapan atau suara. Dila>lah lafz}iyah dibagi menjadi 3 macam:  Dila>lah lafz}iyah aqliyah, yaitu dila>lah lafaz} (suara, ungkapan) yang didasarkan pada lafaz} yang rasional seperti ‚suatu ucapan‛ menunjukkan adanya orang yang mengucapkan.  Dila>lah lafz}iyah t}abi’iyah, yaitu dila>lah lafaz} yang didasarkan pada tabi’at atau kebiasaan seperti rintihan ‚aduh’ menunjukkan kesakitan.  Dila>lah wad}’iyah, yaitu dila>lah lafaz} yang didasarkan pada suatu lafaz}/ ungkapan yang sengaja ditetapkan/ dibuat, seperti ungkapan: ً‫اإلنسانًحٌوان‬ ‫( نطق‬manusia adalah binatang yang berfikir).14 Adapun dila>lah gairu lafz}iyah dibagi juga menjadi 3 macam:

12

Dr. Muh}ammad Salim Abu ‘As}i, Al-Dila>la>t wa As\a>ruha> fi> Tafsi>ri al-Qur’a>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r Ali li al-Thaba’ah,1997), cet. I, hlm., 21. 13 Pembagian lain dila>lah menurut ulama Hanafiyah dibagi menjadi dua yaitu dila>lah lafz}iyah dan gairu lafz}iyah. Dila>lah lafz}iyah oleh Hanafiyah dibagi menjadi empat: Iba>ratu al-nas}, Isya>ratu al-nas}, dila>lah al-nas} (dila>lah al-dila>lah), dilalatul iqtid}a’> (iqtidha>’u al-nas}). Pembagian ini berdasarkan pada pandangan mereka bahwa petunjuk nash atas suatu ketetapan hukum dapat diperoleh secara langsung dari lafaz}, atau tidak. Petunjuk makna yang diperoleh dari lafaz} secara langsung bisa jadi itu merupakan makna yang dimaksud, karena memang lebih sesuai dengan konteks, atau bukan makna yang dimaksud. Jika itu merupakan makna yang dimaksud disebut dengan iba>ratu al-nas}, dan jika bukan makna yang dimaksud disebut dengan isya>ratu al-nas}. Petunjuk yang diperoleh bukan dari lafaz} secara langsung, bisa jadi dapat dipahami secara bahasa, atau bisa juga dapat dipahami secara syariat. Jika hanya dapat dipahami melalui bahasa disebut dengan dila>lah al-nas}, dan jika lafaz} tersebut dapat dipahami sesuai dengan syariat disebut dengan dilalatul iqtid}a>’. Lihat Dr. Muh}ammad Salim Abu ‘Ashi, Op.Cit, hlm.33. 14 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), cet.1, hlm.254

6


7

 Dila>lah gairu lafz}iyah ‘aqliyah, yaitu dila>lah yang disebabkan oleh adanya petunjuk atau tanda yang bisa disimpulkan secara rasional seperti kepulan asap menunjukkan adanya api.  Dila>lah gairu lafz}iyah ‘adiyah, yaitu d{ila^lah yang disebabkan oleh adanya kebiasaan (adat) seperti ‚merah muka‛ tandanya malu.  Dila>lah ghairu lafz}iyah wad}’iyah, yaitu suatu dila>lah yang didasarkan pada suatu ketetapan dan dibuat secara sengaja, seperti berkibarnya bendera setengah tiang, tanda berduka ada yang meninggal dunia.15 D. Pembagian dila>lah menurut ulama mutakallimu>n16 Di kalangan mutakallimu>n, dila>lah dibagi menjadi dua, yaitu dila>latul

mant}u>q dan dila>latul mafhu>m. Mant}u>q17 adalah makna yang ditunjukkan lafaz}

15

Ibid, hlm.255 Disebut dengan mutakallimu>n karena metodologi yang digunakan mirip dengan para ulama mutakallimu>n, yaitu dengan sistem jadal (dialektika). Sebagian ulama menyebutnya dengan metodologi Syafi’iyah, karena imam Syafi’i dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan metodologi tersebut. Hanya saja, sebagian ulama menentang menisbatkan mutakallimun pada imam Syafi’i. Lebih lengkapnya, lihat, Dr. Mas’ud bin Musa> Falusi, Madrasah al-Mutakallimi>n wa Manhajuha> fi> Dira>sati Us}u>l al-fiqh, (Riyad}: Maktabah alRusy,2004), cet I, hlm. 102. 17 Mant}u>q dibagi menjadi dua yaitu mant}u>q s}a>rih} dan mant}u>q gair s}a>rih}. Mant}u>q s}a>rih} adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz} ketika diucapkan sesuai dengan makna lafaz} (mut}a>baqah), atau bagian dari makna lafaz} (tad}ammun). Di sini berarti mant}u>q mencakup juga dila>lah mut}a>baqah dan dila>lah tad}ammun. Bagian ini dalam maz\hab Hanafi disebut dengan ‘iba>ratu al-nas}. Mant}u>q gairu s}a>rih} adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz} bukan dari dua dila>lah di atas (dila>lah mut}a>baqah atau dila>lah tad}ammun ). Atau, Mant}u>q gairu s}a>rih} adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz} sesuai dengan ucapan lafaz} dengan makna yang mengiringinya (iltiz}am > ). Mant}u>q gairu s}a>rih} dibagi menjadi tiga yaitu: Al-iqtidha>’, Al-isya>rah, Al-ima>’. Al-iqtid}a’> adalah benar tidaknya makna yang dimaksud pembicara, baik secara syariat atau logika bergantung pada lafaz} yang terbuang. Al-isya>rah adalah makna yang tidak dimaksudkan oleh pembicara. Al-ima>’ adalah makna yang dimaksud pembicara disertai dengan sifat tertentu yang menjadi illat dari ketetapan hukum. Al-iqtid}a’> dan al-ima>’ berkaitan erat dengan makna yang mengiringi maksud pembicara. Sementara al-isya>rah berkaitan erat dengan makna yang mengiringinya dan tidak dimaksudkan oleh pembicara. Lihat dalam Dr. Wahbah alZuhaili, Us}u>l Fiqh al-Isla>miy, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Ma’a>s}ir, 1996), jilid 1, cet. ulang, hlm. 360. Lihat juga dalam Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqa>n fi ‘Ulum al-Qur’a>n, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-S|aqafiyah, 1996), jilid II, hlm.84. 16

7


8

ketika diucapkan.18 Dengan demikian, dila>lah mant}u>q dapat berupa dila>lah

mut}a>biqiyyah, dila>lah tad}a>muniyyah atau dila>lah iltiz}a>miyyah, contoh:

َّ ََّّ‫وربائبُ ُك َُّمَّالالتيَّفيَّ ُح ُجورُكمَّ ِّمنَّنِّسآئ ُك َُّمَّالالتيَّدخلْتُمَّبهن‬ Artinya: ‚Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri‛. (QS: Al-Nisa>[4]: 23). Ayat di atas menunjukkan bahwa menikahi anak dari istri yang sudah dicampuri hukumnya haram. Dila>lah dalam ayat tersebut disebut sebagai dila>lah mant}uq> .19 Sedangkan dila>lah mafhu>m20 adalah petunjuk lafaz} terhadap ketetapan hukum yang tidak disebutkan dan tidak diucapkan dalam ungkapan kalimat. Contoh: 18

Dr. H{amdi S{ubh}i T}a>ha>, Buh}u>s\un us}u>liyyah fi> al-Mant}u>q wa al-Mafhu>m, wa al-Amr wa al-Nahy wa al-‘Umu>m wa al-Khus}u>s}, tt, hlm. 13 19 Sebagaimana dikatakan oleh imam Haramain bahwa ketetapan hukum yang dapat diambil dari lafazh dapat dibagi menjadi dua, pertama, ketetapan hukum yang langsung dapat dipahami dari redaksi nas} ketika diucapkan. Inilah yang disebut dengan manthu>q. Kedua, makna yang dapat dipahami dari ungkapan lafaz} meski tidak terucapkan. Inilah yang disebut dengan mafhu>m. Lihat Muh}ammad Udaib S|a>lih}, Tafsi>ru al-Nus}u>s fi> al-Fiqhi al-Isla>miy, (Beirut: Maktabah Isla>miy, 1983), Jilid I, cet. III, 1983, hlm. 591. 20 Mafhu>m juga dibagi menjadi dua yaitu: mafhu>m muwa>faqah & mafhu>m mukha>lafah. Pertama: Mafhu>m muwa>faqah adalah ketetapan hukum yang tidak tertulis dalam nas} sesuai dengan ketetapan hukum yang tertulis dalam nas}.20 Atau, Mafhu>m muwa>faqah adalah petunjuk lafaz} terhadap ketetapan hukum yang terucapkan atas hukum yang tidak terucapkan. Disebut mafhu>m muwa>faqah karena ketetapan hukum yang tidak terucapkan atau terungkapkan dalam nas} sesuai dengan yang terucapkan. Dalam mazhab Hanafi mafhu>m muwa>faqah disebut sebagai dila>lah al-nas}. Adapun persyaratan mafhu>m muwa>faqah baik Hanafiyah maupun mutakallimu>n mengakui akan keberadaan mafhu>m muwa>faqah, atau dalam maz\hab Hanafi disebut dengan dala>latu al-nas}, sebagai salah satu ijtihad dalam metode dila>lah, karena didasarkan pada persamaan makna antara yang diucapkan (mant}uq> ) dan yang tidak terucapkan (masku>t) tanpa mengharuskan ijtihad dan istinba>th. Dila>lah tersebut dapat diketahui langsung dari pengetahuan terhadap bahasa dan makna terapan dalam bahasa. Mafhu>m muwa>faqah ada yang qat}’iyyah dan z}anniyyah. Mazhab Hanafi Dalam membagi dila>lah al-nas} dalam qat}’iyyah dan z}anniyyah. Para ulama mutakallimûn, seperti imam Haramain dan al-Amidi juga membagi mafhu>m muwa>faqah dalam qat}’iyyah dan z}anniyyah. Dila>lah al-nas} atau mafhu>m muwa>faqah dianggap qat}’iy, jika lafaz} memiliki illat makna, dan makna tadi lebih sesuai dengan ketetapan hukum dalam masku>t ‘anhu dibandingkan dengan mant}u>q bihi, keduanya sama-sama qat}’iy. Dila>lah al-nas} atau mafhu>m muwa>faqah dianggap qat}’iy, jika lafaz} memiliki illat makna, dan makna tadi lebih sesuai dengan ketetapan hukum dalam masku>t ‘anhu, salah satu dari keduanya atau kedua-duanya z}anniy. Imam Haramain menganggap bahwa bagian pertama disebut al-nas} dan bagian kedua disebut al-z}a>hir. Kedua, Mafhu>m mukha>lafah adalah petunjuk lafaz} terhadap ketetapan hukum yang tidak terucapkan bertolak belakang dengan ketetapan hukum yang ditunjukkan oleh hukum yang terucapkan karena tidak adanya ikatan yang muktabar dalam hukum.20 Atau, ketetapan hukum yang tidak diungkapkan oleh lafaz}, bertolak belakang dengan hukum yang terdapat dalam lafaz}.

8


9

َّ َّ‫فالََّّت ُقلَّل ُهمآَّأُفََّّولََّّت ْن ه ْرُهما‬ Artinya: ‚Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka‛. (QS. Al-Isra>[17]: 23). Ayat tersebut tidak hanya melarang anak untuk mengatakan ‚ah‛ dan membentak kepada orang tua, namun juga melarang segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan yang dapat menyakiti hati keduanya. Petunjuk makna (dila>lah) tidak terucapkan dari ayat tersebut, namun dapat diketahui dari pemahaman kita terhadap redaksi ayat. Inilah yang disebut dengan dila>latul

mafhu>m. E. Dila>lah Mant}u>q: antara Iqtida>’ dan Isya>rah Secara definitif, dila>lah mant}u>q oleh para ulama didefinisikan sebagai ‚sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz} itu sendiri. Dengan kata lain, pengucapan lafaz} itu sendirilah yang memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya, sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu sendiri.21 Kebenaran petunjuk dari suatu lafaz} terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan (id}ma>r); dan model dila>lah yang seperti ini biasa disebut dengan dila>lah al-iqtid}a>. Seperti ungkapan: ‫( إسًأهلًالقرٌة‬tanyakan kepada desa), maksudnya adalah ً‫إسًأهل‬ ‫( القرٌة‬tanyakan kepada penduduk desa).

Adapun ungkapan dalam nas}, jika suatu ketetapan hukum mendapat ikatan tertentu maka ungkapan tersebut dapat diambil dua ketetapan hukum: hukum mant}uq> yang diikat dengan makna tertentu & hukum mafhu>m, kebalikan dari hukum pada mant}u>q. Adapun Syarat-syarat mafhu>m mukha>lafah, Jumhur ulama yang mengakui hujjah mafhu>m mukha>lafah memberikan beberapa syarat, diantaranya syarat yang berkaitan dengan masku>t anhu (mafhu>m) dan yang berkaitan dengan mant}u>q. Jika dilihat dari berbagai syarat yang diletakkan para ulama, tidak akan lepas dari satu standar umum, yaitu takhs}i>s} mant}u>q hanya dapat digunakan dalam menafikan hukum pada masku>t ‘anhu. Jika takhs}is> } ternyata dapat digunakan selain untuk menafikan hukum pada masku>t ‘anhu, maka lafaz} tersebut tidak dapat digolongankan ke dalam mafhu>m mukha>lafah. Lihat dalam Dr. ‘Abdul Fatah Ahmad Qut}b Al-Dukhmisi, Talqi>hu al-Fuhu>m bi al-Mantu>q wa al-Mafhu>m, (Kairo: Da>r al-A>fa>q al-‘Arabiyyah, 1997), cet. I, hlm. 101. Lihat juga dalam Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur’an: Refleksi atas persoalan linguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet.1, hlm.134-146 21 Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Riyad}: Mansyu>rat al-‘As}r al-H{adis\, tt), hlm.250

9


10

Disamping dila>lah al-iqtid}a>, ada dila>lah lain yaitu dila>lah isya>rah, yaitu sesuatu yang tidak bergantung pada id}mar (lafaz} yang tidak disebutkan), akan tetapi lafaz} tersebut menunjukkan pada yang tidak dimaksudkan oleh lafaz} tersebut. Seperti contoh, firman Allah: ًً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً  ًً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً  ًً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً  ًً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً  ً​ً​ًًًًًًًًً​ً ًًً Artinya: ‚Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.‛ (QS.al-Baqarah[2]: 187). Ayat tersebut menunjukkan kebolehan bagi seorang suami untuk mencampuri istrinya pada malam bulan Ramad}an. Dengan demikian, baik bagi suami maupun istri yang telah melakukan hubungan intim pada malam Ramadan, maka tetap sah puasanya meskipun keduanyan masih dalam keadaan junub. Sebab, ayat ini membolehkan bercampur (al-wat}’u) sampai dengan terbit fajar. Sehingga keadaan demikian mensyaratkan bagi yang bersangkutan dalam keadaan junub pada sebagian siang harinya. F. Mafhu>m Mukha>lafah sebagai Argumen Tasyri’

10


11

Para Ulama mendefinisikan dila>lah mafhu>m sebagai makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz} yang tidak didasarkan pada bunyi ucapannya, artinyaa bahwa makna rasional (makna al-z\inni>) adalah satu-satunya jalan untuk memahami maksud suatu lafaz}. Mafhu>m dibedakan menjadi dua; pertama, mafhu>m muwa>faqah, yaitu jika makna yang difahamkan sama dengan makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafaz} (mant}u>q). Kedua, mafhu>m mukha>lafah, yaitu jika makna yang difahamkan berbeda dengan makna yang diucapkan.22 Untuk jenis yang pertama yaitu mafhu>m muwa>faqah, diklasifikasikan menjadi 2 kategori:  Fahwa al-khita>b, yaitu apabila makna yang dipahami hukumnya lebih utama daripada yang diucapkan; contoh firman Allah: ًً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً  ً ً​ً​ًًًًًًًًًًًًًً Artinya: dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. (QS.al-Isra[17]: 23) Ayat tersebut dilihat dari segi mant}uqnya dapat dipahami sebagai larangan untuk mengatakan ‘ah’ kepada orang tua. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kalau mencaci-maki/ memukul keduanya? Mengucapkan ‘ah’ aja tidak boleh, apalagi mencaci-maki bahkan sampai memukulnya. Artinya, bahwa secara mant}uq ayat tersebut berbunyi larangan mengucapkan ‘ah’ kepada kedua orang tua, namun kalimat tersebut juga bermakna mencaci-maki/ memukul keduanya, karena mencaci-maki atau memukul lebih terlarang ketimbang mengucapkan ‘ah’ kepad kedua orang tua. Maka 22

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Muassasah al-Kutub alS|aqafiyah, 1996), jilid II, hlm.85

11


12

makna yang kedua inilah yang disebut sebagai fahwa al-khita>b (maksud pembicaraan), karena keharaman mencaci-maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat daripada hanya mengucapkan ‘ah’ kepada kedua orang tua.  Lah}n al-khita>b, yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhu>m) sama hukumnya dengan apa yang diucapkan (mant}uq); contoh firman Allah: ًً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً ً  ً ً​ً​ًً Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara z}a>lim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS.al-Nisa[4]: 10) Secara mant}uq ayat diatas menjelaskan tentang keharaman memakan harta anak yatim dengan cara z}a>lim. Bahwa substansi yang hendak dicapai oleh ayat tersebut adalah keharaman melenyapkan harta anak yatim, baik dengan cara memakannya ataupun dengan cara yang lain seperti membakar, ataupun menyia-nyiakannya. Dengan demikian ayat tersebut mengandung keharaman membakar harta anak yatim ataupun menyia-nyiakannay dengan cara merusak. Bila makna yang tersurat (mant}uq) yaitu memakan harta anak yatim, maupun makna yang yang tersirat (mafhu>m), yaitu membakar harta anak yatim, maka keduanya memiliki konsekuensi yuridis yang sama. Dala>lah yang demikian dinamakan lah}n al-khita>b, karena yang tersurat (mant}uq) dan yang tersirat (mafhu>m) memiliki nilai yang sama. Adapun jenis kedua dari mafhu>m adalah mafhu>m mukha>lafah, yaitu apabila makna yang dipahami berbeda dengan apa yang diucapkan. Tipe ini digolongkan menjadi empat golongan:23  Mafhu>m wasfy (sifat), yaitu memiliki sifat yang beraneka ragam, tidak hanya terbatas pada sifatnya saja, tetapi masuk didalamnya setiap makna 23

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Op.Cit, hlm.85. Lihat juga Manna>’ al-Qat}t}an, Maba>his\ fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Op.Cit, hlm.252.

12


13

yang menunjukkan sifat seperti hal (keadaan), z}arf (suasana), ‘adad (bilangan). Contoh: ‚ Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumkan (QS.alBaqarah[2]: 197). Dila>lah mant}uq yang dipahami dari ayat ini adalah bahwa terdapat bulan-bulan tertentu untuk menunaikan haji, yaitu bulan syawal, z\ulqa’dah dan z\ulhijjah. Dengan demikian mafhu>m mukha>lafahnya adalah bahwa ihram yang dilakukan selain dalam bulan-bulan yang ditetapkan itu, maka tidak sah.  Mafhu>m Syart}i>, yaitu menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan dalam nas} (masku>t ‘anhu) dari hukum yang disebutkan dalam nas} (mant}uq bih) yang dibatasi dengan suatu syarat. Contoh firman Allah: ‚Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya‛. (QS.al-T{alaq[65]: 6). Dala>lah mant}uq dari ayat itu adalah bahwa bagi seorang suami diharuskan memberi nafkah kepada istrinya yang ditalak dengan syarat bahwa

istri

tersebut

dalam

kondisi

hamil.

Sehingga

mafhu>m

mukha>lafahnya, apabila istri yang ditalak tersebut dalam kondisi tidak hamil, maka suami tidak diharuskan untuk memberi nafkah kepadanya.  Mafhu>m ga>yah, yaitu menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan dalam nas} (masku>t ‘anhu) dengan melalui suatu ga>yah (batasan) yang terdapat dalam mant}uq bih. Seperti firman Allah: ‚Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain…‛(QS.al-Baqarah[2]: 230). Hukum yang ditetapkan oleh nas} sebelum adanya ga>yah adalah keharaman suami mengawini istri yang telah ditalak tiga. Maka mafhu>m mukha>lafahnya adalah istri tersebut halal bagi suami pertama hingga sehingga ia nikah dengan suami yang lain terlebih dahulu.  Mafhu>m h}asyri, yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dari hukum mant}uq bih yang di hasyr-kan (khususkan hanya untuknya).

13


14

Seperti firman Allah: ‚Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan‛ (QS.al-Fatihah[1]: 5). Ayat tersebut mengandung hasyr (pembatasan), yaitu kami hanya menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada Engkau. Mafhum mukhalafahnya, kami tidak akan menyembah dan meminta pertolongan kepada selain Engkau (Allah). Para Ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhu>m mukha>lafah sebagai dasar penetapan hukum. Menurut pendapat yang sahih, sebagaimana persyaratan yang dilontarkan oleh Muhtar Yahya, setidaknya terpenuhi enam syarat:24 1) Mafhu>m mukha>lafah hendaknya tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhu>m muwa>faqah.25 2) Dila>lah mant}uq-nya bukan dimaksudkan untuk memberi batasan sifat tertentu.26 3) Dila>lah mant}uq-nya bukan untuk menerangkan suatu kejadian khusus.27

24

Lihat dalam Prof.DR.Muhtar Yahya & Prof.DR.Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, (Jakarta: al-Ma’arif, 1986), hlm.315-317. Bandingkan dengan Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Op.cit, hlm.86. 25

Contoh penerapan ayat ini, misal pada al-Qur’an surat al-Isra: ‚Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan‛ (QS.al-Isra>’[17]: 31). Secara mant}uq, ayat ini menjelaskan tentang larangan membunuh anak-anak karena takut kemiskinan, sehingga kalau ayat tersebut dipahami secara mafhum mukha>lafah, maka boleh membunuh anak-anak selama yang melakukannya (orang tua) tidak takut kemiskinan. Pemahaman seperti itu adalah salah dan tidak sah, karena bertentangan dengan dalil mant}uq lainnya : ‚dan janganlah kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran‛ (QS.al-Isra>’[17]: 33). Oleh karena itu tidak boleh membunuh anaknya sendiri karena alasan tidak takut miskin. 26 Contoh penerapan, misal dalam firman Allah: ‚Dan dia lah yang menundukkan lautan agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar‛ (QS.al-Nahl[16]: 14). Lafaz} t}ariyyan (daging segar), pada ayat tersebut hanyalah sekedar untuk melukiskan sesuatu yang memberi kesenangan, bukan dimaksudkan untuk mensifati daging yang boleh dimakan itu bersifat demikian. Oleh karenanya, ayat tersebut tidak melarang makan daging yang tidak segar. 27 Misal firman Allah: ‚janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS.Ali Imran[3]: 130). Dila>lah mant}uq ayat tersebut adalah keharaman riba karena berlipat ganda. Dengan demikian mafhum mukha>lafahnya adalah tidak terlarang makan riba apabila tidak berlipat ganda. Pemahaman seperti itu adalah salah dan tidak sah, karena baik berlipat ganda ataupun tidak, riba tetap haram hukumnya. Lafaz} ad}’a>fan mud}a>’afah (berlipat ganda) pada ayat tersebut hanyalah sekedar melukiskan kejadian khusus bagi orang jahiliyah. Secara historis, orang jahiliyah yang menghutangkan uangnya kepada orang lain setelah jatu tempo untuk membayar, dia biasa berkata: ‚bayarlah hutangmu itu, atau kalau belum bisa membayar maka hutangmu menjadi bertambah.

14


15

4) Dila>lah mant}uq-nya bukan dimaksudkan untuk penghormatan atau menguatkan suatu kejadian.28 5) Dila>lah mant}uq-nya harus berdiri sendiri, tidak boleh mengikuti yang lain.29 6) Dala>lah mant}uq-nya bukan sekedar menerangkan kebiasaan.30 G. Al-Ismu wa al-Musamma> Pendefinisian al-ismu dan al-musamma bermula dari perdebatan panjang antara kaum theologis (ahli kalam). Apakah ismu dan musamma> itu? Ibnu Jinni> mengatakan dalam kitab Khas}a>is}-nya,31 bahwa ketika anda bertanya kepada seseorang apa ejaan dari kata sayf (pedang), dan ia menjawab ‚s-y-f‛, maka anda sedang mengatakan sebuah nama (ism). Namun, manakala anda bertanya dengan apa ia memukul seseorang, dan ia menjawab ‚dengan sayf (pedang)‛, maka anda sedang mengatakan sebuah nominatun/yang dinamakan (musamma>). Dalam perbedaan ini, al-musamma> menunjukkan suatu objek dalam dunia fisik, ekstra linguistik, yang merupakan acuan atau rujukan dari kata sayf. Dan sangat 28

Contoh dalam hadits Rasulullah SAW: ‚Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam saja, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya‛ (HR.Bukhari-Muslim)‛. Hadis ini tidak boleh diambil mafhum mukha>lafahnya dengan pemahaman bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir boleh berkata yang tidak baik atau mengganggu tetangganya. Karena penyebutan orang dengan yang beriman kepada Allah dan hari akhir pada hadis tersebut sebagai penghormatan dan menguatkan. 29 Misalnya dalam firman Allah: ‚Janganlah kamu campuri mereka (istri-istri) itu sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid (QS.al-Baqarah[2]: 187)‛. Bahwa larangan mencampuri istri pada waktu beri’tikaf sudah merupakan ketentuan sendiri, tidak dikaitkan dengan tempat ia beri’tikaf, apakah di masjid atau tempat lain. Oleh karena itu, ayat tersebut tidak boleh diambil mafhum mukhalafah bahwa orang yang beri’tikaf diluar masjid boleh mencampuri istrinya. 30 Contoh firman Allah: ‚Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri….(QS.al-Nisa[4]: 23)‛. Pada ayat tersebut menjelaskan bahwa di antara wanita-wanita yang tidak boleh dikawini adalah anak tiri yang dalam pemeliharaanya. Menurut kebiasaan bahwa anak tiri mengikuti ibunya dan oleh karenanya ia menjadi tanggungan suaminya (ayah tirinya). Ayat tersebut tidak dapat dipahami menurut mafhum mukha>lafahnya, yaitu anak tiri yang tidk dalam pemeliharannya boleh dikawini. Lafaz} fi> h}uju>rikum (dalam pemeliharaanmu) pada redaksi ayat tersebut cuma sekedar menerangkan aspek kebiasaan (tradisi) saja. 31 Ibnu Jinni>, al-Khas}a>is}, (Kairo: Da>r al-Kutub al-Misriyah, 1952),juz 3, hlm.5-10.

15


16

mungkin bahwa yang pertama, istilah musamma> (nominatun) menunjukkan acuan/ rujukan ekstra-linguistik dari ism (nama), namun dengan semakin canggihnya perdebatan, ia mulai lebih banyak digunakan untuk rujukan konseptual dari ism. Sebagai contoh dari penggunaan yang terakhir ini, kita mungkin bergeser pada teori signifikansi al-G{aza>li (w.402 H/ 1111 M). Ia membedakan pada tiga bentuk wujud (mengada), pada tingkat fisik, psikologis dan linguistik. Dalam kerangka ini, kata-kata berkorelasi dengan konsep-konsep pikiran (mafhum), baru selanjutnya dengan objek-objek dalam dunia luar (waqa’i). Dalam skema Aristotelian, konvensional tersebut, musamma> dari sebuah ism adalah ta’alluq

ma’na>wi (korelasi mental) dari suatu h}aqi>qat luga>wiyah (entitas linguistik), bukan mahiyah (obyek fisik). Namun dalam perdebatan tentang identitas nama, beberapa ilmuan Mu’tazilah menggunakan ambiguitas inheren dari istilah tersebut

untuk

memperolok

para

penentangnya.

Mereka

(mu’tazilah)

mengatakan, jika nama adalah sama dengan musamma>, menyuarakan kata ‚api‛ akan membakar pada mulut anda.32 Musamma> diidentifikasikan dengan rujukan fisik dari kata. Perlawanan mu’tazilah yang mengajukan tesis bahwa identitas ism dan

musamma> berkaitan dengan gagasan tentang kesatuan Tuhan.33 Mereka menegaskan bahwa ism adalah sama dengan tasmiyah (tindakan penamaan). Nama (ism) hanyalah tanda yang menjadi bagian dari suatu proses penamaan (tasmiyah), dan bukan sebagai sesuatu yang sama dengan yang ditandai (rujukannya). Sebaliknya, kalau nama-nama Tuhan adalah qadim dan kekal 32

Abu> Bakar Muh}ammad bin al-T{ayyib al-Baqilla>ni, Kita>b al-Tamhi>d, (Kairo: Da>r alMa’a>rif, 1981), hlm.232. 33 Doktrin tentang kemakhlukan al-Qur’an (khalq al-Qur’an) adalah bagian dari sistem theologi yang komprehensif, dimana kehendak bebas manusia (ikhtiyar), keadilan Tuhan (‘ada>lah), dan ke-Esaan Tuhan yang absolut (tawhid) adalah menjadi tema-tema sentral. Untuk mendukung ide-ide mereka tentang status al-Qur’an, kaum mu’tazilah harus menyinggung status Kalam Tuhan (secara literer berarti suara Tuhan/ firman Tuhan), dan dengan demikian juga status kalam secara umum. Ini menjelaskan perhatian mereka pada persoalan kalam dan hubungan antara nama (ism) dan yang dinamai (musamma). Jika Kalam (ucapan) adalah tindakan sang mutakallim, maka al-Qur’an sebagai firman Tuhan adalah sesuatu yang diciptakan oleh-Nya, dan secara analogis, ujaran-ujaran tentang Kalam dari orang-orang beriman (mukmin) adalah tindakan-tindakan mereka sendiri.

16


17

seperti diri-Nya, maka hal itu akan mengancam kedudukan-Nya sendiri. Slogan tersebut terkenal dengan istilah al-ismu huwa gayr al-musamma> (nama adalah tidak sama dengan yang dinamai), yang muncul pada zaman ahli nah}wu alZajja>ji.34 Perdebatan tentang hubungan ism dan musamma dinyatakan oleh Ibnu al-H{a>jib (w.646 H/ 1248 M), tentang status musamma>.

ً‫ًومنهم‬,‫"ًمنهمًمنًٌقولًاإلسمًهوًتسمٌةًوهوًمذهبًالمعتزلةًوالنحوٌ​ٌنًوكثٌرًمنًالفقهاء‬ 35 "ً‫منًٌقولًاإلسمًهوًالمسمىًوهوًمذهبًاألشعري‬ ً (sebagian mereka berkata bahwa nama adalah hasil penamaan, dan ini adalah ajaran Mu’tazilah dan ahli nahwu serta sejumlah fuqa>ha. Yang lain berkata bahwa nama adalah sama dengan (inheren) yang dinamai, dan ini adalah pendapat mazhab al-Asy’a>ri). Jika musamma> adalah rujukan fisik dari kata-kata, maka bagaimana tentang maknanya? Sebuah gagasan pokok dari filsafat Mu’tazilah tentang makna berkisar pada persoalan tentang apakah ide abstrak terdapat dalam objekobjek ataukah dalam pikiran. Mereka (mu’tazilah) melihat ma’na adalah malz}um (determinan kausal) yang lazim dalam setiap objek yang menentukan kelekatan dari berbagai bentuk lafaz}-nya, karena setiap makna pada gilirannya ditentukan oleh makna lain, akibatnya adalah serangkaian ma’a>ni yang tidak ada batasnya. Yang jelas, persolan ini adalah erat kaitannya dengan hubungan tentang mafhum (konsep), meski tentu saja tidak sama. Abdul Jabbar misalnya, menegaskan tentang penolakan terhadap teori bahwa ucapan (mant}uq) adalah makna yang ada dalam pikiran; artinya bahwa pada kenyataannya tidak ada persamaan antara pemikiran dan ungkapan, sebaliknya dimungkinkan mengatakan tentang seseorang bahwa ia sedang berbicara tanpa berfikir.36 Hubungan antara nahwu dan dan faham Mu’tazilah bisa dikatakan memberikan jalan bagi sebuah pengetahuan baru yaitu us}u>l fiqh, yang berupaya 34

Ibnu Jinni>, al-Khas}a>is}, (Kairo: Da>r al-Kutub al-Misriyah, 1952), juz 3, hlm.245 Abu Amr Us\ma>n Ibn ‘Umar ibn al-Hajib, Syarah al-Mufassal, tah}qiq: al-Ida>h fi> Syarh al-Mufassal, Musa Banay al-Alili, (Bagda>d: Maktabah al-Ani, 1982), Juz 1, hlm.417. 36 Abu al-H{asan Abd Jabba>r bin Ah}mad bin al-Hamazani, al-Mugni>, tah}qiq: Ibra>him alAbna>f, (Kairo: Da>r al-Kutub, 1961), juz vii, hlm.14-20. Lihat juga dalam DR.Hasan Ismail Abd Raza>q, Dala>il I’ja>z: baina Abi Sa’i>d al-Sira>fi wa Abd Qa>hir al-Jurja>ni, (Kairo: Dal al-T{iba>’ah alMuh}ammadiyah, 1991), cet.1, hlm.168-174. 35

17


18

memperhitungkan hubungan referensial antara lafaz} dan makna. Dengan masuknya kaum Mu’tazilah dalam barisan ahli nahwu dan setelah tertolaknya mereka dari teologi resmi, mereka juga menemukan jalan dalam ilmu-ilmu hukum, dengan menyusun disiplin khusus yang memfokuskan pada kajian sistematis tentang prinsip-prinsip yang mendasari penalaran hukum yang diterapkan seorang qa>di dan fuqaha terhadap masalah konflik hukum yang konkret. Melalui ilmu us}ul fiqh (ilmu tentang prinsip-prinsip hukum), mereka berhasil melestarikan banyak ajaran tentang status kalam (firman Tuhan), bahan dibawa masuk dalam kajian fiqih klasik.37 Perdebatan seputar ism dan musamma> pada pembahasan diatas, pada dasarnya merupakan bentuk upaya dari kaum Mu’tazilah untuk mengatasi hubungan antara nama dan rujukannya yang merupakan salah satu unsur esensial dalam kaidah hukum. Penalaran hukum dalam Islam berbasis pada penafsiran ajaran tertulis atas kasus yang konkret (waqa>’i), yang penerapannya bagi kasus yang baru harus dibentuk oleh suatu sistem aturan analogis (qiya>s). Pendekatan teoritis terhadap sistem hukum semacam itu membutuhkan perhatian tersendiri pada konsep-konsep semisal perluasan makna dan hubungan antara bentuk dan makna. H. Epilog Hubungan antara lafaz} dan makna, melahirkan konsep-konsep yang mengacu pada teori-teori semiotika yang berkembang pada filsafat bahasa. Adanya kata dan makna (al-da>l dan al-madlu>l) dan nama dan yang dinamakan (al-ismu dan musamma>) merupakan implikasi dari aspek kritis terhadap analisa kebahasaan yang mengacu pada sebuah penalaran melalui tanda-tanda, yang memungkinkan

perluasan makna dan hubungan antara bentuk dan makna.

37

Campur tangan kaum Mu’tazilah dalam ilmu Us}ul fiqh, mengilhami adanya sebuah analisis tentang hubungan antara bentuk dengan makna (lafaz} wa ma’na>) dari perspektif yang berbeda. Kebutuhan mendasar pada masyarakat Islam untuk mencari intisari dari putusan hukum dalam teks suci memaksa para Ulama bersinggungan dengan berbagai macam syarat yang diperuntukan bagi proses kajian dan penafsiran, ujung-ujungnya adalah memunculkan teori referensialitas. Teori ini merupakan pendekatan otonom terhadap bahasa dan teks yang tetap memiliki independensi yang kuat dari arus besar ilmu bahasa Arab,yang dikembangkan dalam disiplin ilmu wad’ al-lughah (penetapan bahasa), yang bertujuan menganalsis hubungan antara makna dalam pikiran yang karenanya ungkapan itu ada dan diciptakan.

18


19

Berawal dari tanda-tanda memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta, yang bisa diakses melalui pemahaman terhadap penafsiran teks suci al-Qur’an. Bagi umat Islam, salah satu metodologi kajian teks yang lebih sesuai dengan teks al-Qur'an, adalah ilmu semantik (dila>latul alfa>z}). Pendalaman lebih jauh dari kedua konsep d{ila>lah yang melahirkan paradigma mafhum dan mant}uq, serta analisis tentang paradigma tasmiyah sebagaimana pembahasan diatas dapat disinergikan dalam memberikan jawaban dan hujjah terhadap berbagai persoalan yang menyangkut aspek pentasyri’an dan istinba>t suatu hukum.[ ] ‫وماًتوفٌقً​ًإالًباهللًعلٌهًتوكلتًوإلٌهًأنٌب‬

Daftar Pustaka Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI Abd Jabba>r, Abu> al-H{asan bin Ah}mad bin al-Hamazani, 1961, al-Mugni>, tah}qiq: Ibra>him al-Abna>f, Kairo: Da>r al-Kutub, juz vii. Abd Razaq, H{asan Isma>il, 1991, Dala>il al-I’ja>z: baina Abi> Sa’i>d al-Sira>fi wa Abdul Qa>hir al-Jurja>ni, Kairo: Dal al-T{iba>’ah al-Muh}ammadiyah, cet.1. Abu> ‘As}i, Muh}ammad Sa>lim, 1997, Al-Dila>la>t wa As\a>ruha> fi> Tafsi>ri al-Qur’a>ni al-Kari>m, Kairo: Da>r Ali> li al-T{aba>’ah, cet. I Al-Baqilla>ni, Abu> Bakar Muh}ammad bin al-T{ayyib, 1981, Kita>b al-Tamhid, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. Al-Dukhmisi, ‘Abdul Fatah Ah}mad Qut}b, 1997, Talqi>hu al-Fuhu>m bi al-Mant}uq> wa al-Mafhu>m, Kairo: Da>r al-A<fa>q al-‘Arabiyyah, cet. I Al-Isnawi, Jamaluddin ‘Abdurrahi>m bin al-H{asan, Dr. Sya’ban Muhammad Ismail ed., 1999, Niha>yatu al-Su>li fi> Syarh}i Minha>ji al-Wus}ul> i Ila> ‘Ilmi alUs}ul> , Beirut: Da>r Ibnu Hazm, Jilid 1, cet.1 Al-Qat}t}a>n, Manna>’, tt, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Riya>d} Mansyurat al-‘As}r alH{adi>s\.

19


20

Al-Suyuti, Jala>luddin, 1996, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Beirut: Muassasah alKutub al-S|aqafiyah. Al-Zuhaili, Wahbah, 1996, Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>, Beirut: Da>r al-Fikr al-Ma’a>s}ir, jilid 1, cet. Ulang Chaer, Abdul, 2007, Linguistik umum, Jakarta: Rineka Cipta. Hidayat, Asep Ahmad, 2006, Filsafat Bahasa, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, cet.1 Ibnu al-Ha>jib, Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n Ibnu ‘Umar, 1982, Syarah al-Mufas}s}al, tah}qiq: al-Id}ah fi Syarh al-Mufas}s}al, Musa> Banay al-Alili, Bagda>d: Maktabah al-Ani. Ibnu Jinni>, 1952, al-Khas}a>is}, Kairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, juz 3. Ichwan, Nor, 2002, Memahami Bahasa al-Qur’an: Refleksi atas persoalan linguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.1 Mas’u>d bin Musa> Falusi, 2004, Madrasah al-Mutakallimi>n wa Manhajuha> fi> Dira>sati Us}u>li al- fiqh, Riya>d}: Maktabah al-Rusy, cet I S{a>lih}, Muh}ammad ‘Udaib, 1983, Tafsi>ru al-Nus}u>s} fi> al-Fiqhi al-Isla>mi>, Beirut: Maktabah Isla>mi>, Jilid I, cet. III T{a>ha>, H{amdi S{ubhi, tt, Buh}us> \un Us}ul> iyyah fi> al-Mant}uq> wa al-Mafhu>m wa alAmr wa al-Nahy wa al-‘Umu>m wa al-Khus}us> },. Yahya, Muhtar, & Fathurrahman, 1986, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: al-Ma’arif.

***

20


21

21


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.