Tabloid Mimbar Untan edisi 11

Page 1

Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

“face to face”

Suksesi Rektor, Langsung Dong ! TERIMA kasih buat redaksi Tabloid Mimbar Untan yang telah bersedia memuat aspirasi saya. Mendengar rumor yang berkembang bahwa beberapa bulan kedepan Untan akan mengadakan suksesi pemilihan Rektor, dan kabarnya saat ini sedang ditingkat senat sedang merancang draff tatib pemilihan Rektor Untan. Sekarang yang menjadi aspirasi saya buat senat Untan tolong dong draff tatibnya dibuat pasal yang mencantumkan bahwa suksesi pemilihan rektor di lakukan secara langsung. Dan bisakah dalam pembuatan draff tatib para mahasiswa dilibatkan dalam suatu dialog. Nama dan alamat pada redaksi

Harapan Kami sebagai Mahasiswa

BEAUTIFUL MIND, Finding Neverland dan Gie, tiga film ini bolehlah disebut mengajarkan sebuah laku perjuangan tanpa henti. Ketiganya juga memberikan semangat dan motivasi bahwa apa yang kita lakukan tidak semata-mata untuk diri kita, namun ada yang lebih besar dari itu, cinta yang tulus. Just believe it. Siapa sangka Robert JR Nash, si ahli matematika penerima nobel, bisa bangkit dari skizoprenianya, jika bukan karena cinta istrinya yang selalu setia bekerja keras untuk mendampinginya. Memang film hanyalah gambaran kehidupan yang serba berbeda dengan kehidupan itu sendiri. Film bisa diputar berulangulang, sementara kehidupan terus berjalan tanpa mampu dihentikan. Andai saja kehidupan bisa diputar seperti film, mungkin kita coba mengedit kehidupan itu. Akan banyak orang yang mempermak kehidupan sesuai keinginannya.Mamang bakso pengin jadi anggota dewan, tukang sapu jadi presiden, atau pemulung tak lagi mau profesi itu dan lebih ingin jadi menteri pemulung..... (tit...sensor). Intermezo kehidupan.. Setelah melalui perjuangan yang hampir tak mengenal lelah akhirnya, kami sadar bahwa hidup itu bukan film. Kehidupan mesti disongsong dengan sebuah perjuangan dan semangat perubahan. Sampai pada pertanyaan filsafat untuk “apa itu hidup?” Tidak sampai seperti apa yang diimpikan Tan Malaka, mencerdaskan pola pikir masyarakat, kami hanya ingin tiba pada pelabuhan yang sejuk. Hanya ingin berproses, sebagaimana kehidupan juga berproses. Barangkali, tabloid ini hanya sebagian kecil saja, dari proses yang telah kami lalui. Ada semangat, kekeluargaan, cinta, bahkan konflik. Bisa menyampaikan sekilas informasi adalah kebahagiaan lain. Ditemani ’Popeye the Sailorman’ lagunya Face to face, banyak kegiatan yang perlu kami lakukan di dalamnya, mulai dari pengolahan yang sedemikian rupa sambil berdiskusi sana sini, mulai dari berita yang akan diangkat, judul yang bagus sampai tata letak pada tabloid. Tapi hal itu merupakan suatu dinamika pers kampus. “Men are from mars, women are from venus”. Ilustrasi yang disampaikan John Gray ini sedikit ditentang oleh kru miun. Soalnya, dalam keredaksian, wanita atau pria tidak dibeda-bedakan. Terpenting adalah karya yang dihasilkan. Pada edisi kali ini kami teringat akan ucapan Thomas Hobbes dalam buku Leviathan, “homo homini lupus”. Lebih luas kalimat ini ditarik ke tingkat kebijakan publik, negara bagaikan serigala yang siap memangsa rakyatnya. Dan itulah yang sengaja kami kedepankan dalam Tabloid kali ini. Sedangkan pada rubrik Lapsus membahas tentang Akta Mengajar yang dipermasalahkan. Untuk rubrik selanjutnya simak aja sendiri !! Pada kolom terbatas ini, Mimbar Untan juga memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku ’dari sahabat untuk sahabat.’ Di mana buku tersebut merupakan buah karya I made Christian Lourans. Ia teman, abang, sahabat, dan karikatunis terbaik yang dimiliki Mimbar Untan. Sekarang, ia berada di peristirahatan terakhirnya. “Selamat jalan sahabat.” Akhirnya hanya curahan hati yang tersirat untuk para pembaca setia Mimbar Untan. Namun perjuangan belum berakhir. Choy..............!!!!!! .[].

[Redaksi]

Surat Pembaca

Dapur Redaksi

DI UNTAN yang melakukan aktivitas sehari-hari ada Mahasiswa, Dosen, Karyawan, dan Pejabat terkait di Untan. Mahasiswa yang tentunya mencari ilmu dan pengalaman untuk mengembangkan kapasitas dirinya, Dosen sebagai pengajar Mahasiswa, Karyawan tugasnya sebagai administrasi, dan sebagai Pejabat yang menentukan kebijakan. Sebagai Mahasiswa yang tentunya ingin cepat menyelesaikan dari titel Mahasiswanya, tapi terkadang terhalang dari sebagaian Dosen yang tidak sepenuhnya membimbing Mahasiswanya, Karyawan sebagai administrasi juga terkadang ada kesalahan dalam mengisi administrasi Mahasiswa, dan sebagian Pejabat penentu kebijakan juga terkadang kebijakan yang ditentukan itu tidak mendukung Mahasiswa. Kami berharap sebagai Mahasiswa, kalau kita menginginkan bantuan kepada Karyawan, Dosen, Pajabat harapan kami dapat dilayani, dibimbing, diperhatikan, diberi pengertian dan bukan diusir, bukan dimaki, dan sebagainya. Heri, Mahasiswa FKIP Untan ‘04

Jangan Ganti Jadwal lah Pak ...! DALAM perkuliahan yang berlangsung saat ini (semester genap) khususnya di kampus Pertanian dan mungkin juga di kampus lainnya, ada sedikit ketidakenakan terutama dalam hal jadwal mata kuliah yang sering gonta-ganti. Memang umumnya, dalam penggantian jadwal itu umumnya (mayoritas mahasiswa) setuju dengan jadwal barunya. Dan yang minoritas yang bentrok dengan mata kuliah lain mendapat izin untuk mengambil mata kuliah lainnya (yang sesuai jadwal asal). Tapi kalau dilihat dari sisi lain, akan mengakibatkan ketertinggalan mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah pada jadwal barunya. Untuk itu saya mewakili kawan-kawan yang sering mengeluhkan masalah ini mencoba untuk memberikan pertimbangan kepada Dosen Mata Kuliah atau pihak terkait lainnya untuk memikirkan kembali agar semua mahasiswa merasa tidak dirugikan. Terima kasih atas dimuatnya keluhan saya (dan kawan-kawan) ini. Mahasiswa Pertanian Untan ‘02

On-line Computer System FKIP Sangsot ..! “KALAU belum siap jangan diterapkan dulu” kalimat itulah yang sering terlempar di kalangan mahasiswa FKIP UNTAN. Sistem administrasi akademik di FKIP UNTAN dinilai kurang persiapan lantaran diterapkan on-line computer system untuk segala urusan akademik bagi mahasiswa FKIP khususnya.Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiaswa direpotkan dengan sistem ini.Memang sebenarnya sistem ini banyak keuntungan bagi mahasiswa kalau saja persiapannya sudah betul-betul matang.salah satunya adalah mahasiswa tidak perlu bersusah payah dan memakan waktu banyak untuk mencari dosen ketika mengisi LIRS;mahasiswa tidak perlu lagi untuk mengisi LIRS dengan cara menuliskannya di lembar KRS yang telah disediakan akademik.Kesimpulannya semua urusan akademik mahasiswa relative lebih efisien, efektif, cepat (tidak memakan waktu banyak)akurat, dan mudah.Mahasiswa cukup dengan mengaksesnya di internet yang masih bersifat internal di lingkungan kampus.Tapi kenyataan pada semester ini yaitu awal dan pertamakali diterapkannya sistem ini, mahasiswa malah direpotkan atau kasarnya “kerja dua kali”.Bagaimana tidak? Sistem itu yang seharusnya lebih kepada kemudahan tapi malah merepotkan, lantaran sistemnya sering error. Contoh saja, banyak matakuliah yang sudah diambil, tapi setelah diakses di komputer intenet malah hilang alias tidak tertera di komputer, yang semula matakuliah sudah diambil dan lulus 124 sks tapi data di komputer malah hanya 93 sks.Contoh lain misalnya saya mau mengulang mata kuliah prasyarat yang semulanya nilai matakuliah Membaca 1 nilainya A, dan mata kuliah Membaca 2 nilainya C. Dikarenakan matakuliah Membaca 1 “hilang” di komputer maka ketika mau mengisi LIRS untuk mengulang mata kuliah Membaca 2 menjadi tidak bisa.Mau tidak mau saya tidak jadi mengulang matakuliah tersebut setelah berusaha bolak balik ke akademik untuk mengurus masalah tersebut. Tapi setelah diberi keterangan oleh bagian Komputer akademik, masalah itu tetap tidak berubah. Saya kecewa dengan layanan akademik akhir-akhir ini. Jadi harapan saya adalah untuk kedepannya sistem akademik yang sudah ada bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya agar mahasiswa dan staff computer tidak kerja dua kali dan sama-sama direpotkan. Suatu sistem yang baik, lancar, akurat, efektive dan bermanfaat adalah cermin dari birokrasi yang bersih, disiplin, penuh persiapan tidak asal-asalan dan bertanggung jawab. Mahasiswa FKIP Untan jurusan Bahasa Inggris ‘02

Tabloid Mimbar Untan diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak. Pelindung : Rektor Untan, Pembina : Purek III, Pengarah : Kabag Kemahasiswaan, Ketua Umum : Heriyanto, Sekretaris Umum : Iskandar, Bendahara Umum : Syf. Ratih Komala Dewi, Divisi PSDM : Ahdika Fitrahrianto (ketua), Divisi Penerbitan : Nina Soraya (ketua), Aini Sulastri, Henny Kristina, Divisi Penelitian dan Pengembangan : Aulia Marti (ketua), Maya Nurindah Sari, Divisi Penyiaran : Agus Wahyuni (ketua), Maningsih, Mulfi Huda, Ashri Isnaini, Bahasmiati, Divisi Perusahaan : Maulisa (ketua), Rianto, Pemimpin Redaksi : Tantra Nur Andi, Sekretaris Redaksi : Ratna Marhama Harahap, Redaktur : Dedy Armayadi, Heriyanto, Artistik : Iskandar, Fotografer : Heri-Ripal, Staf Redaksi : Fitri Junia, Heri-Ripal, Ratna, Mulfi Huda, Nina Soraya, Bahasmiati, Maulisa, Aulia Alamat Redaksi : Jl Daya Nasional Komplek Untan (Gedung MKDU) Telepon : (0561) 706 8136 , e-mail : lpm_untan@yahoo.com, Percetakan : Artha Grafistama, Jl. Pahlawan No. 20. (Isi diluar tanggung jawab percetakan). Redaksi menerima tulisan berupa opini, essai, laporan kegiatan kampus, puisi/cerpen, hasil investigasi-dengan disertai identitas diri. Tulisan diketik rapi minimal tiga lembar folio


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Sudah Saatnya Rakyat Marah INI penguasa negara sedang berpesta pora menikmati hasil rampokan di negara ini. Kesenangan tanpa pretensi kemanusiaan. Melupakan sejenak hati nurani, menggunakan akal untuk mengakali bagaimana mencari keuntungan. Ilmu mumpung jadi penguasa dipakai. Tak salah, mumpung jadi penguasa berbuat seenaknya, mumpung jadi gubernur pakai dana APBD, mumpung jadi jendral punya power, dan sebagainya. Pemimpin negara ini seakan sedang menuju tirani. Siapa sekarang yang bisa mengontrol kebijakan pemerintahan presiden SBY? Semua kebijakan SBY saat ini tak ada yang mampu membendungnya. DPR? Kalikan nol jak. Lha wong ada atau tidak ada DPR sama saja. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan kenaikan harga minyak dunia, DPR adem ayem. Malah bikin kenduri supaya bisa dapat hasil pembagian makanan juga. Dibuatlah sandiwara yang hebat, bahwa mereka membela rakyat, padahal mereka hanya membela perut mereka sendiri. Akademisi juga diam saja. Tak bersuara, malah lebih mendukung kebijakan pemerintah dengan membuat penelitian fiktif, seperti yang dilakukan LPEM UI yang mengatakan bahwa kenaikan BBM bisa menurunkan angka kemiskinan. Tapi ternyata justru bikin orang miskin semakin banyak. Dan parahnya angka inflasi semakin tinggi. DPR sih enak, malas sidang pun dapat gaji yang tinggi. Malah dapat tunjangan tambahan sebesar 10 juta sebagai imbalan kongkalikong dengan pemerintah. Ketika ribut-ribut soal impor beras, DPR Juga mulai kasak kusuk untuk bikin angket. Seolah-olah jadi pahlawan bagi rakyat. Tapi ternyata hanya tipu-

K

UM’AT (3/2) pagi di ruangan Akta Mengajar fakultas FKIP saya masuk ke ruang AKTA mengajar. Maksud saya adalah ingin meminta data dengan Fadillah tentang jumlah mahasiswa yang mengikuti Akta Mengajar. Sebelumnya saya sudah mewawancarai ibu yang menggunakan kerudung ini, tapi karena kekurangan data saya kembali lagi. “Assalammualaikum,” ucap saya di depan pintu ruangan. “Waalaikumsalam,” balas Fadillah yang di ruangan itu tengah sendiri. “Saya dari Mimbar Untan, saya yang kemarin mewawancarai ibu, saya memerlukan data jumlah mahasiswa akta mengajar, bu.” “Data itu minta sama pak Edi saja,” kata Fadillah. Edi adalah Sekretaris dari program AKTA Mengajar di FKIP. “Kenapa tidak dengan ibu saja ?” tanya saya. “Ibu sedang sibuk dan kamu harus tahu pak Edi di sini sebagai sekretaris, jadi kalau mau minta data ini sama pak Edi saja.” “Pak Edinya sekarang ada ya bu?” “Lagi keluar, tak tahu kemana.” Lalu saya keluar dan menunggu didepan ruangan dan sambil jalanjalan melihat-lihat ruangan lain untuk menunggu Edi. Karena lama menunggu dan saya juga tidak kenal wajahnya, saya masuk lagi keruangan akta mengajar untuk menanyakan Edi. “Assalamulaikum,” saya mengucapkan salam kembali. “Waalaikumsalam” “Ibu, pak Edi sudah datang ?” tanya saya.

J

tipu DPR saja. Sama saja seperti yang sudah-sudah. Di ruang sidang DPR mereka hanya bersandiwara. Sekarang ketika BBM sudah naik, apapun bisa naik. Dan pemerintah tinggal merasionalisasikan bahwa setiap kenaikan apapun sah-sah saja dan memang sewajarnya. Sekarang kita list saja yang sudah naik, antaralain bensin, solar, minyak tanah, gas, beras, ikan teri, cabe. Jumlah utang naik. Barangkali hanya harga diri bangsa ini saja yang nggak naik-naik. Tarif Dasar Listrik (TDL) juga naik. Pemerintah

membuat alasan-alasan yang membawa kenaikan ini sebagai sebuah kewajaran. Wajar saja listrik naik, karena BBM naik. Kalau tidak, PLN bisa bangkrut . Nanti kalau TDL sudah naik, PDAM bakal naik, juga dibuat alasan yang wajar. TDL naik ya wajar aja, PDAM juga naik. Kan biaya produksinya semakin naik. Seterusnya, semua barang naik itu wajar saja. Alasan lainnya bisa dibuat rasional, kalau pemerintah menaikkan gaji mereka, itu juga wajar saja. Pertanyaannya, jika alasan pemerintah menaikkan harga BBM karena defisit anggaran, mengapa justru gaji pemerintah, anggaran kepresidenan, gaji DPR serta tunjangannya juga naik. Liburan pejabat negara keluar negeri pun tambah banyak. Semuanya dilakukan saat rakyat sedang susah hidupnya. Ini adalah ironi yang dibuat pemerintah. Tapi rakyat tak bisa berbuat banyak. Berdemo sepuluh hari sekalipun tak didengarkan. Paling pemerintah dan wakil rakyat yang terhormat itu akan membuat berbagai pernyataan-pernyataan yang tak masuk akal. Contohnya saja pada kasus SUTET. Mereka demo dengan menjahit mulut mereka, bahkan ada yang hampir matipun, pemerintah tak bergeming. DPR juga “same tak beri”, hanya jadi stempel pemerintah saja. malah ada juga yang berseloroh, “ekspektasi (harapan) masyarakat terlalu tinggi terhadap DPR.” Kalo sudah begini jadi bingung sendiri. DPR yang diharapkan untuk membela, malah sebaliknya menindas rakyat. Akhirnya, Pemerintah sudah jadi tiran, DPR jadi stempel pemerintah. Akademisi tak jauh beda. Dus sudah seharusnya rakyat marah. Itu wajarwajar saja bukan ? [*].

CORETAN RINGAN

Hanya Sebuah Pengalaman Oleh Heri Usman saya kembali keluar dan menunggu pak Edi datang. Selang berapa lama menunggu, kemudian saya masuk lagi ingin menanyakan keberadaan Edi. “Assalamualaikum” “Wa’alaikum salam” “Pak Edinya ada bu ?” Untuk ketiga kalinya saya bertanya. “Belum ada mungkin dia tidak datang, hari Jum’at waktunya sempit” kata ibu. Lantas saya pulang ke Mimbar Untan. Di Mimbar Untan saya ungkapkan persoalan ini dengan redaktur saya. Saya bilangkan sama dia tentang kejadian tadi dan bahwa saya tidak mendapatkan datanya. Karena waktu deadline sudah mendekat, setelah mendengar apa yang saya ceritakan, redaktur mengajak saya untuk menemui Fadillah. Setelah sampai ke kampus, untuk ke empat kalinya di hari yang sama, saya masuk lagi keruangan AKTA mengajar. Tujuannya sama meminta data jumlah mahasiswa AKTA mengajar. “Saya tak bisa memberikan data, minta ke pak Edi saja,” kata Fadillah ketika kami masuk ke ruang itu. “Kalau pun diberikan datanya harus vailid, takutnya nanti sama saya ndak vailid, kalau salah nanti urusannya payah, masalahnya dari AKTA kampus FKIP paling banyak memperoleh pendapatan,” katanya lirih.

SAB’TU, 04 Febuari 2006, sekitar pukul 09.30 saya datang kembali ingin menemui Edi untuk meminta data mengenai jumlah mahasiswa yang mengambil AKTA mengajar tersebut. “Assalamualikum,” saya mengucapkan salam. “Waalaikum salam,” Fadilla membalas salam yang berada di ruangan. “Pak Edinya ada bu” kata saya “Ada, tunggu saja sebentar” kata Fadillah. Lalu saya menunggu di luar. Tidak lama kemudian saya melihat ada laki-laki yang masuk di ruangan. “Assalamualaikum,” saya mengucapkan salam. “Waalaikum salam,” ibu membalas salam saya. “ Apa betul ini pak Edi, bu ?” tanya saya “Iya,” jawab Fadillah. “Memang kenapa ?” tanya Edi menyambut pembicaraan. “Saya dari Mimbar Untan mau minta data tentang AKTA mengajar,” kata saya. Namun, “Tunggu sebentar saya ada urusan,” kata pak Edi berlalu. Saya menunggu pak Edi di ruangan. Tidak lama saya menunggu pak Edipun datang kambali. “Sekarang mau minta data apa?” tanya Edi. ‘Saya mau minta data tentang jumlah mahasiswa yang mengambil AKTA mengajar dari pertama dibuka AKTA sampai sekarang,” kata saya. ‘Untuk apa ?” “Untuk tabloid Mimbar Untan,

“Kamu sekarang catat saja,” kata pak Edi. “Memangnya tidak ada datanya pak saya ingin foto kopi saja, pak,” kata saya. “Memang untuk apa, kok sedetail itu, datanya, kamu ingin nulis apa memangnya,” kata Edi dengan suara keras. “Saya ingin nulis tentang AKTA mengajar secara detail dan transparan,” kata saya. “Memangnya keuntungan untuk pembaca apa ?” tanya Edi yang kelihatan marah. “Supaya mahasiswa dan masyarakat tahu tentang AKTA mengajar,” kata saya. “Saya hargai kamu untuk transparan itu, tapi kamu untuk apa minta data sedetil itu, kamu bukan wartawan profesional, kamu masih belajar,” “Ia betul saya masih belajar, karena saya masih mahasiswa.” Tiba-tiba Edi menjadi terlihat marah, dan “Sekarang kamu sudah tidak sopan ke sini, kami berhak mengusir kamu dari ruangan ini. Kalau mau minta data ke sini semestinya harus melalui prosedur, kamu harus minta memo dengan pak Dekan, kalau ada kamu baru berhak ke sini. Sekarang kami berhak mengusir kamu, sekarang kamu keluar dari ruangan ini,” kata Edi dengan marahnya kepada saya. Saya pun keluar dari ruangan dan tidak mendapatkan apa-apa, alias tangan kosong. Dalam pulang saya berpikir,


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Serigala yang Siap Memangsa Rakyatnya Oleh Heriyanto

AGI itu, Masyuri (34) baru saja datang ke tempat biasa ia berdagang. Sambil mengemaskan gerobak, jerigen bensin, dan beberapa perlengkapan tambal ban, beberapa kata meluncur dari bibirnya. Pedagang yang biasa mangkal di Bundaran Untan tak habis pikir, mengapa saat ini beban hidupnya terasa makin berat. Bagi Mashuri, setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan bukan semakin mudah ia bekerja, namun pertanda usaha yang ia lakoni akan semakin sulit. Beberapa waktu lalu, misalnya, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, penghasilan yang ia terima semakin tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Penghasilannya ini seolah tak berharga ketika berhadapan dengan kenaikkan hargaharga barang. Hal yang sama juga diungkapkan Inah (39). “Kok, sekarang hidup makin susah ya bang, apa ada harga beras yang Rp 2.000 kaya dulu,” keluh ibu rumah tangga ini. Inah, pasca kenaikkan BBM tahun lalu, merasakan sulitnya mengatur keuangan rumah tangga. Pendapatan yang tak kunjung berubah membuat ia harus lebih mengencangkan ikat pinggang. “Tau sorang lah, beras naik, sayur naik, bensin naik, ape lah yang tak naik? Sebelum naik jak, kita susah hidup, apa lagi sekarang ini,” kata Inah. Dalam kondisi saat ini di mana beban hidup semakin menghimpit, keluhan-keluhan seperti ini tentu wajar muncul. Namun, baik Masyuri maupun Inah hanya bisa menerima pasrah segala kebijakan pemerintah itu dan tidak berniat untuk berunjuk rasa seperti halnya mahasiswa yang sering turun ke jalan. Baginya menolak atau tidak sama saja. Yang ia tahu saat ini harga barang semakin naik, sementara kebutuhan hidup makin meningkat. Beras misalnya, sampai berita ini diturunkan, harganya untuk kualitas rendah saja berkisar antara Rp 4.000Rp 5000 per kilogramnya. Sementara itu harga gula sudah mendekati Rp 6.700 per kilonya. Dengan harga barang yang semakin tinggi, sementara penghasilan yang diterima pas-pasan, bisa dipastikan hidup menjadi lebih sulit. *** APA yang dirasakan belakangan ini tidak lepas kaitannya dengan segala kebijakan yang telah dibuat pemerintah. Dalam skala makro, kebijakan pusat menentukan kebijakan daerah. Kebijakan-kebijakan ini, memengaruhi sektor-sektor kehidupan yang pada akhirnya memengaruhi kebutuhan publik. Satu kebijakan ditelorkan akan punya rentetan dampak terhadap sektor-sektor publik.

P

Ilustrasi si Is

nan mencapai 18 persen. Semua barang kebutuhan hidup beranjak naik. Akibatnya daya beli masyarakat semakin merosot, rakyat miskin bertambah, jumlah pengangguran bertambah. Ambruknya sektor Industri terus menambah jumlah PHK. Sementara penciptaan lapangan kerja sangat rendah. Hal ini tentu memperburuk keadaan. Tidak bisa dimungkiri, dengan berbagai kondisi ini, perbaikan Indonesia dari kondisi krisis akan sulit dicapai. Apa yang sekarang terjadi, menjadi semacam ‘blunder’ yang bisa-bisa menggiling bangsa Indonesia. “Kebijakan pemerintah memang tidak beranjak ke usaha untuk mengatasinya,” kata Faisal Riza, Sekjend JARI Borneo Barat. “Dengan biaya hidup yang semakin tinggi, rakyat tidak mampu berpikir dan berbuat banyak, selain bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Rakyat sulit bergerak untuk memperbaiki hidupnya,” tambahnya. persoalannya, dalam menyikapi permasalahan bangsa yang semakin runyam, pemerintah justru mengambil kebijakan–kebijakan publik yang cenderung meminggirkan publik. “Persoalan bangsa memang tidak sedikit, namun dalam menyikapinya pemerintah justru lebih memilih membuat kebijakan–kebijakan publik yang cenderung dirasakan merugikan kepentingan masyarakat,” ujar Sekretaris Jendral JARI Indonesia Agus Gunawan Wibisono dalam seminar bedah Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diadakan oleh JARI Borneo, 24 Januari lampau. Padahal Eksekutif dan Legislatif bertanggung jawab untuk membangun kelembagaan yang memungkinkan seluruh potensi bangsa bisa didayagunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebelumnya, sejumlah mahasiswa di tanah air berunjuk rasa menolak kenaikkan BBM. Di Kalimantan Barat, mahasiswa melakukan aksi selama seminggu berturut-turut, baik di Kantor DPRD Provinsi, Kantor Gubernur, dan

kali aksi, Gubernur Kalbar dan Ketua DPRD tidak mau bertemu mahasiswa. Yang berhadapan dengan mahasiswa hanya asisten atau anggota DPRD lainnya. “Inti dari aksi unjuk rasa itu umumnya menginginkan agar masyarakat tidak merasakan harga-harga barang, biaya transportasi, dan kebutuhan hidup yang naik, seperti dikeluhkan sekarang ini. Rupanya saat itu Gubernur Kalbar mendukung kenaikkan BBM dan anggota DPRD tidak berbuat banyak membela rakyat,” kata Suhud, dari Jaringan Mahasiswa Kalimantan Barat (JMKB). Alasan pemerintah menaikkan BBM saat itu karena naiknya harga BBM di dunia dan jika harga BBM di tanah air tidak dinaikkan maka APBN mengalami defisit. Alasan ini terus dipertahankan pemerintah. Namun tak lama setelah kenaikkan BBM, anggota DPR RI menaikkan tunjangan operasional sebesar 10 juta dan gajinya. Terakhir yang paling menyesakkan adalah pagar kantor DPR RI dibangun dengan memakan biaya miliaran rupiah. “Di tengah kesulitan masyarakat, ini adalah bentuk ketidakadilan yang diperlihatkan pemerintah. Ini menandakan bahwa apa yang dikatakan pemerintah lebih banyak karena kepentingan pribadi mereka saja,” ujar Suhud. Sayangnya, dengan kebohongan itu, masyarakat juga tidak mampu berbuat banyak. Kalau pun ada yang mengkritisi, pemerintah bergeming dan tidak menggubrisnya. Di masa kepe-

gitu mudahnya pemerintah mengeluarkan kebijakkan-kebijakan itu. Tidak satupun masyarakat yang dapat membendung, bahkan DPR sekalipun. Kebijakan impor beras lebih memperlihatkan betapa pemerintahan SBY-JK memiliki kekuatan luar biasa, sebaliknya menunjukkan ketidakberdayaan DPR. Hak angket impor beras yang diusulkan DPR kandas. Penolakan dari masyarakat juga tidak digubris. Baru-baru ini kembali diributkan dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kenaikan TDL menurut analisis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) akan membuat banyak perusahaan yang gulung tikar. Akan banyak perusahaan yang belum mampu mengatasi masalah akibat kenaikan BBM, ambruk. Beberapa pengusaha misalnya saja Sofyan Wanandi, serta Ketua Kadin MS Hidayat, secara tegas menolak rencana kenaikan TDL ini. Ada satu kecenderungan yang seharusnya ini tidak boleh terjadi, antara satu BUMN dengan BUMN lainnya yang seharusnya saling sinergis ternyata saling mematikan. Kenaikan TDL dengan alasan BBM naik, setelah itu BUMN lainnya, juga demikian. Padahal Indonesia punya gas, minyak bumi, dan sumber daya lainnya. “Kemungkinan besar TDL tetap dinaikkan. DPR RI, apalagi DPRD sudah tak bisa lagi diharapkan. Tampaknya mereka lebih senang rakyat yang memilih mereka saat pemilu hidup menderita,” kata Suhud. Asmaniar, Anggota DPRD Kalimantan Barat dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tidak menyangkal bahwa banyak kebijakan pemerintah yang justru memperburuk kondisi masyarakat. DPRD sendiri diakuinya saat ini tidak bisa berbuat banyak dalam mengontrol kebijakan pemerintah Pusat karena memang ada kebijakankebijakan pemerintah yang diputuskan tanpa harus meminta persetujuan dari DPR. “Seluruh masyarakat Kalbar pun misalnya berdemo menolak suatu


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Kemiskinan Bertambah : Kebijakan-kebijakan pemerintah belum berpihak kepada masyarakat miskin. Angka kemiskinan pun makin bertambah. ke pusat. Namun di sini DPRD tidak bisa mengambil keputusan yang signifikan,” jelasnya. Asmaniar mengakui kebijakan BBM beberapa waktu lalu membuat kehidupan masyarakat semakin bertambah susah. “Saya akhir-akhir ini turun ke lapangan, saya melihat multiflier effect (dampak lain yang mengikutinya-red) itu begitu dahsyat, saya kira kebijakan pemerintah bukannya memberantas kemiskinan, tetapi memberantas orang miskin,” jelasnya. “Saya ngeri membayangkan bila nantinya pemerintah jadi menaikkan tarif dasar listrik. Sekarang saja Kalbar masuk dalam urutan daerah miskin di Indonesia. Bila nantinya TDL jadi dinaikkan, dengan kondisi yang ada seperti ini bisa jadi suatu saat akan ada generasi yang hilang,” tuturnya. Kalbar sendiri telah mendapat dua musibah besar, pertama kenyataannya banyaknya PHK perusahaan kayu. Dengan tutupnya banyak perusahan kayu, ribuan pekerjanya terpaksa dirumahkan. “Ke mana mereka setelah itu. Saya kira mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, karena lapangan pekerjaan semakin sempit.” Belum selesai masalah itu, kemudian pemerintah menaikkan harga BBM. Itu membuat penderitaan mereka semakin bertambah. Sementara itu, upaya agar rakyat tidak bergejolak dan bisa tutup mulut menerima kebijakan pemerintah ini, maka diberilah bantuan langsung tunai (BLT). “Inikan bentuk penyuapan negara terhadap rakyatnya,” kata Asmaniar. Lihat saja beberapa perusahaan terancam gulung tikar atau setidaknya harus mem-PHK karyawannya, karena sulitnya untuk bisa bertahan. Con-

mampu menghasikan 5 ton, tetapi sejak BBM naik berkurang jauh sekali, hanya 200 kilogram saja. Bukan karena tidak ada ikan, tetapi karena tidak mampu melaut karena mahalnya bahan bakar. Perusahaaan masih beradaptasi atas kenaikan harga BBM, sementara ekonomi biaya yang tinggi masih sulit untuk dipangkas. Sehingga banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi tenaga kerjanya untuk menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan. “Nah ini kan akan berpengaruh juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. UKM misalnya, yang selama ini berjasa besar dalam menopang perekonomian di Kalbar. Dengan beban produksi besar, mereka akan sulit untuk bertahan,” jelasnya. Menurut Jumadi SSos, MSi, dosen Magister Ilmu Sosial Untan, idealnya dalam masyarakat demokratis, formulasi kebijakan pemerintah mesti ada partisipasi publik, mulai dari perencanaan, implementasi, sampai pada evaluasi. Dan ini menjadi salah satu syarat adanya good governance. Kaitan dengan kebijakan pusat, seperti misalnya kenaikan BBM, perlu ada kontrol dari rakyat. Artinya, pemerintah tidak boleh sembarang memutuskan kebijakannya tanpa ada partisipasi rakyat. Sebelum sebuah kebijakan dibuat dan diputuskan perlu diakomodir apa yang diharapkan dan kebutuhan daerah. Dalam Undang-undang No 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Negara disebutkan bahwa dalam perencanaan pembangunan makro yang strategis perlu ada keterlibatan masyarakat didalamnya. Persoalannya, dalam implementasi, kapasitas sebagian rakyat masih le-

Sehingga sejak perencanaan sampai evaluasi, kontrol untuk kebijakankebijakan pemerintah cukup kuat. Tetapi sayangnya, walaupun di aura politik yang serba terbuka, sesungguhnya kapasitas rakyat masih belum bergeser ke arah lebih baik. Dalam hal ini, terjadi ketimpangan yang cukup lebar antara rakyat dengan penguasa. Reformasi lebih banyak dinikmati oleh elit-elit politik. Muatan politik dan kepentingan partai lebih kental. Misalnya pada kasus impor beras. Sehingga kemudian kepentingan yang lebih besar kalah oleh kepentingan politik sesaat. Yang dikawatirkan, akan muncul krisis kepercayaan, di mana nantinya apapun kebijakan yang diputuskan tidak akan didukung rakyat. Padahal legitimasi pemerintah itu disandarkan suara rakyat. Sekarang ini ada semacam kejenuhan, di mana apapun yang disuarakan rakyat, sepertinya tidak ditanggapi pemerintah. Sehingga rakyat sepertinya sudah apatis dengan segala kebijakan pemerintah. Pemilu Presiden memang membawa konsekuensi bahwa posisi antara eksekutif dan legislatif sama kuat. Tetapi bukan berarti tidak bisa dikontrol. Di dalam negara demokratis dalam konteks menjalankan fungsi negara perlu ada kontrol dari rakyat. Jangan sampai seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, dalam buku “Leviathan,” negara menjadi serigala yang siap memangsa rakyatnya. Turiman Faturahman SH, Akademisi Untan, mengatakan, mengapa kebijakan-kebijakan yang dibuat cenderung membuat persoalan lain, karena dalam pengambilan keputusan itu tanpa ada data base yang valid. Kelemahan adminitrasi pemerintahan memang pada data base. Padahal data base yang valid begitu penting dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan. Maka jangan heran bila kebijakan yang diambil itu justru membuahkan masalah lain. Dalam hal mekanisme konsultasi publik, adanya masyarakat hanya untuk justifikasi saja. Formalitas dan asal ada. Ada yang disebut teori korelasi atau teori mata rantai yaitu paradigma ekonomi konsumtif. Misalnya saja PDAM akan menaikkan tarifnya, pihak pengelola berkata,” kami akan menaikkan 100 persen”. Tentu kemudian akan ada resistensi (penolakan). Nah untuk mengapresiasikan penolakan itu, kemudian akan dicapai angka 20 persen, misalnya. Memang naiknya tidak sampai 100 persen, cuma 20 persen, tapi tetap naik bukan? Karena sebelumnya yang diblow up kenaikkannya 100 persen, maka ketika cuma naik 20 persen, rakyat berpikir “Masih untung, daripada naik 100 persen.” Ini yang namanya kamuflase kebijakan. “Itu trik. Itulah wilayah strategi politik.” Dan sayangnya rakyat tidak menyadari hal itu. Memang semestinya, ada hal yang lebih urgen untuk diselesaikan saat ini, yaitu pemberantasan korupsi. Ini adalah sumber masalah yang ada di indonesia. Sementara kenaikan BBM, atau jika jadi TDL naik, adalah akibat dari korupsi yang terus menggurita. Inefesiensi Pertamina, PLN, atau insti-

gaimana mungkin pertamina bisa rugi, dan PLN bisa tekor, bila ternyata dua BMUN ini yang punya monopoli sumber daya alam. *** BANYAK pilihan kebijakan yang tidak pro rakyat. Namun DPR yang menjadi wakil rakyat dengan kenaikkan itu tidak bisa berkutik sama halnya dengan masyarakat kebanyakan. DPR yang semestinya mengontrol kebijakan pemerintah ternyata tidak menjalankan fungsinya. Jika demikian siapa yang bertanggung jawab atas segala masalah ini? Edy Suratman berpendapat, Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Kalbar yang seharusnya berjuang untuk daerah. “Buat apa mereka dipilih kalau bukan untuk menyalurkan aspirasi rakyat,” jelasnya. Ketika pemerintah sampai dua kali menaikkan harga BBM, rapat Paripurna yang diusulkan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa batal digelar DPR karena sebagian besar anggotanya menyetujui kenaikan BBM. Hal ini juga terulang ketika pemerintah mengambil kebijakan impor beras. Malah pada kasus ini berakhir tragis karena DPR mengusulkan hak angket yang kemudian kandas. Kemana anggota DPR RI itu? Padahal masyarakat telah memberikan kepercayaan kepada mereka, tak tahu mengapa malah menyakiti hati rakyat, dasar udah kepalang nyaman kali ya ?” ucap Suhud, dari Comitte Central Jaringan Mahasiswa Kalimantan Barat (JMKB). *** KINI, penduduk miskin baru terus bermunculan. Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah besar di Indonesia, walaupun isu kemiskinan itu sendiri tidak selalu menjadi isu popular dalam pemerintahan kecuali setelah pencanangan Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh negara-negara di dunia. “Dalam kehidupan bernegara pengentasan kemiskinan merupakan salah satu tugas utama pemerintah, tapi sampai saat ini masih terabaikan,” kata Dr Fariastuti, Dosen Fakultas Ekonomi Untan. Akhir-kahir ini di beberapa daerah terjadi kasus busung lapar, balita dengan gizi buruk yang mencapai 1,67 juta dan berbagai penyakit akibat buruknya kualitas hidup. Menurutnya, walaupun secara formal sudah menjadi dalam tujuan MDGs, namun paradigma pemerintah dalam pengentasan kemiskinan belum berubah secara substansial. Seperti pembangunan lainnya, program pemberantasan kemiskinan masih dilaksanakan secara parsial, jangka pendek, bersifat proyek, dan massal dalam arti mengabaikan beragamnya penyebab kemiskinan. Bagi Fariastuti, membiarkan penduduk miskin tetap menjadi miskin atau lebih miskin dan munculnya penduduk miskin baru akibat kebijakan yang tidak tepat merupakan kejahatan kemanusiaan bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk membuat perubahan agar kehidupan lebih baik. Dengan menggunakan pendekatan garis kemiskinan makanan dan non makanan yang dikonversi dalam rupiah, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2004 yaitu 558, 2 ribu jiwa atau sekitar


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

program pengentasan kemiskinan yang efektif dan penciptaan lapangan kerja. Kemiskinan memiliki dimensi yang luas bukan hanya ekonomi, tetapi juga non ekonomi. Dengan menggunakan Pendekatan Indeks Pendekatan Manusia (IKM-human Poverty indeks), Menurut data BPS dan Bapenas pada tahun 2004, dimensi kemiskinan Kalbar dilihat dari aspek yang terkait dengan kesehatan mencakup persentase penduduk yang tidak survive sampai usia 40 tahun yaitu 18,1 %, penduduk tanpa akses air bersih 78,5 %, tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan 50,1 %, persentase anak usia di bawah 5 tahun yang kurang gizi 33,2%, serta aspek pendidikan mencakup persentase penduduk dewasa buta huruf 18,1 %. Namun menurut Dr Zulkarnaen, Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial, belum ada perhitungan yang pasti apakah ada korelasi antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan tingkat kemiskinan masyarakat. Hanya saja diakuinya, selain faktor budaya, etos kerja misalnya, kemiskinan memang bisa disebabkan

secara struktural, misalnya saja disebabkan oleh suatu kebijakan. Saya ambil contoh, investor sulit masuk bila suasana yang tidak kondusif, adanya ekonomi biaya tinggi, perijinan yang berbelit-belit, dan juga lemahnya penegakan hukum. Ini secara tidak langsung mempengaruhi tingkat kemiskinan. Mengapa? Ya karena seharusnya bisa menyerap tenaga kerja, tapi karena persoalan itu sehingga gagal. *** DALAM upaya pengentasan kemiskinan, menurut Fariastuti, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan berdasarkan hak. Dalam konteks anggaran pendekatan ini dapat dilihat dari besar anggaran dan proses penyusunannnya. “Misalnya alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan harus dipenuhi,” tambahnya. Sekjend JARI Borneo Barat Faisal Riza, mengatakan pendekatan ini adalah ruang negosiasi antara rakyat dengan negara, maka prosesnya analisisnya diletakkan tidak dalam rangka agar tidak sekadar meributkan alokasi semata, namun lebih jauh dari itu adalah melibatkan patisipasi rakyat

dalam proses perencanaan hingga penetapan anggaran. Dan yang lebih penting adalah sejauhmana anggaran dimanfaatkan sehingga hak penduduk miskin terpenuhi. Doktrin negara kesejahteraan bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Namun hal ini diakui tidak mudah, karena paradigma aparatur pemerintah dan sebagian masyarakat masih paradigma fisik yaitu kemajuan hanya dilihat dari fisik seperti bangunan. Pembangunan Puskesmas, misalnya, tidak akan berdampak optimal terhadap peningkatan kesehatan masyarakat jika tenaga medisnya jarang masuk kerja atau tidak ramah pada pasien. Pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya dengan pemberian modal dan pendekatan fisik, jika misalnya penyebabnya karena etos kerja yang rendah dan tidak bekerjanya mekanisme pasar. Pedagang kaki lima (PKL) akan dipandang sebagai sumber ketidaktertiban sehingga harus harus ditertibkan, bukan sebagai katub pengaman di tengah kesulitan ekonomi sehingga

Berebut Jadi Guru, Akta Mengajar Dikejar

ETIKA melangkahkan kaki pertama kali memasuki Perguruan Tinggi, beribu harapan mulai digantungkan. Sebagian besar mereka (mahasiswa) menaruh harapan agar ketika sudah mendapat gelar sarjana langsung bisa mendapat pekerjaan yang sesuai. Namun harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Jumlah mahasiswa yang lulus tiap tahunnya terus bertambah, yang tak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang tersedia, baik dari instansi swasta ataupun pemerintah. Tahun ini bahkan bisa dilihat pada penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di instansi-instansi pemerintah. Formasi yang disediakan bagi lulusan sarjana tiap jurusannya paling banyak 3-5 orang, padahal jumlah lulusan sarjana tiap tahunnya bisa mencapai 1000 orang lebih. Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni membuat sebagian besar lulusan sarjana diluar FKIP terpaksa mengambil Akta Mengajar, atau biasa disebut Akta 4. Lantas sampai sejauh mana peranan Perguruan Tinggi agar bisa menghasilkan lulusan yang siap pakai dan bagaimana pula nasib mahasiswa FKIP yang seharusnya terlebih dahulu mendapat amanah menjadi seorang guru. ***

K

0leh Heri Usman dan jajaran yang ada FKIP. Peminat program akta mengajar terus bertambah dari tahun ketahun. Menurut Fadilah, Koordinator dan Ketua Pengelola Akta Mengajar, untuk tahun 2004 saja, mahasiswa yang mendaftar sekitar 106 orang, dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 120 orang. “Hingga saat ini jumlah mahasiswa yang mengambil Akta Mengajar berjumlah 700 orang, karena setiap tahunnya jumlah mahasiswa yang masuk terus bertambah,” jelasnya. Fadilah menjelaskan, program Akta Mengajar merupakan program nasional yang didasarkan pada PP No 38 tahun 1992 (7 Juli 1992) dan Jo Kepmendikbud No 013/U/1998 (26 Januari 1998). Pendirian program ini dimaksudkan untuk menutupi kekurangan guru yang ada di Kalimantan Barat. Beberapa Mahasiswa yang mengambil Akta Mengajar ini mengungkapkan alasan mereka karena semakin sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, tambah lagi kebijakan ekonomi yang diturunkan oleh pemerintah menuntut mereka harus mendapatkan pekerjaan yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Nia, salah seorang mahasiswa yang mengambil Akta 4 mengakui terpaksa menggeluti program ini. “Gara-gara aku gak dapat

perlu diatur dan diberdayakan. Dalam kenyataannya, proses penyusunan anggaran secara umum masih terkesan lebih menekankan aspek formalitas yang selintas seakan sesuai dengan pedoman penyusunan anggaran, padahal tidak ada perubahan secara substansial. Anggaran sebagai salah satu alat pembangunan yang paling penting hendaknya dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya untuk digunakan untuk memberikan kehidupan bagi sekelompok orang. Selama ini APBN/APBD lebih banyak digunakan pada hal-hal yang tidak jelas dan tidak terukur karena menekankan pada yang akan diterima dan dibelanjakan saja. Kerangka ide anggaran berbasis hak dasar rakyat, menurut Wibisono, antaralain, mengacu pada prinsip-prinsip hak dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa hak merupakan hal yang tak terpisahkan, dan semua orang yang lahir dengan hak yang sama.[].

Aswandi, Pudek I FKIP mengatakan bahwa syarat menjadi guru dan mengajar diharuskan dan wajib memiliki sertifikat Akta Mengajar. “Di sini kami memperhatikan kualitas baik dari segi kependidikan maupun non-kependidikan. Sehingga dalam rekruitmen Akta Mengajar ini kami tidak sembarangan, karena akta mengajar ini masih dikontrol oleh pemerintah,” ujarnya. Namun bagi Aswandi, dalam hal pengembangan kualitas dan kuantitasnya masih diupayakan. Karena untuk masalah lokal perkuliahan untuk sementara masih berpijak di FKIP. “Kami menggunakan tempat di FKIP hanya 2 kali dalam seminggu, yaitu hari Sabtu dan Minggu,” tambahnya lagi. Beberapa lulusan dari hampir seluruh fakultas yang ada di Untan dan Universitas lain mencoba kesempatan ini. Di sisi lain masih banyak lulusan FKIP yang hingga kini masih menganggur. Padahal mereka mempunyai kemampuan yang sangat mendasar dalam bidang pendidikan. Sehingga tak perlu diragukan lagi apabila mereka terjun langsung menjadi seorang pengajar. Tapi menurut Fadilah justru Akta Mengajar ini yang menjadi program kependidikan nantinya adalah dari segi mata kuliah Biologi, Tata Negara, Sosiologi, Ekonomi, dan lain-lain. Padahal dari sekian mata kuliah yang ditawarkan ada di antara nya yang telah mencakup di beberapa mata kuliah yang ditawarkan pada program Strata 1. *** Prosedur pendaftaran UNTUK memasuki Akta Mengajar tidaklah mudah, harus punya persiapan yang cukup matang khususnya dari segi biaya. Karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Lebih besar dari biaya perkuliahan reguler. Uang masuk sekaligus pendaftaran membutuhkan biaya sebesar Rp 2.250.000. Untuk apa dan bagaimana penggunaan uang itu masih belum jelas dan masih dipertanyakan. “Untuk apa uang itu saya tidak tahu karena itu urusan ketua dan bagian keuangan,” tutur Edi, Sekretaris Pengelola Akta Mengajar. Fasilitas yang diberikan dari pengelola untuk mahasiswa akta mengajar masih diperlakukan sama seperti mahasiswa FKIP reguler. Waktu perkuliahan mereka juga sangat singkat, yakni selama satu tahun dan harus menempuh 36 SKS. karena untuk harihari biasa lokal banyak terpakai oleh mahasiswa reguler. “Terus terang saja, kami masih membutuhkan tempat lagi, karena jumlah mahasiswa baru terus bertambah. Seandainya nanti melebihi kapasitas kami belum tahu pasti harus meletakkan mereka di mana,”


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

JIKALAU ITB mengandalkan lembaga penelitiannya guna menuju status BHMN dulu, lalu UGM menantikan pinangan para investor menjelang status otonomi, bahkan UI pun dengan semangat untuk mandiri menghidupi dirinya, rela-rela saja membangun perusahaan demi kelangsungan hidup. Maka pertanyaannya, bagaimana dengan Untan?

Usaha Kecil, Untan menuju BHMN

0leh Nina S dan Tantra N ICARA BHMN (Badan Hukum Milik Negara) tentunya akan terngiang kembali dengan nama-nama besar seperti UGM, ITB, IPB, UI yang sudah terlebih dahulu menyandang status ini. Dahulu alasan berganti statusnya PTN (Perguruan Tinggi Negeri) tersebut tak lepas dari seretnya dana subsidi pemerintah. Asumsi lainnya adalah PT bakal sulit berkembang kalau hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Jadilah namanama tadi menjadi trendsetter karena telah lebih dulu berstatus BHMN yang dikuatkan dengan suatu PP (Peraturan Pemerintah). Dengan status ini pula PTN dipersilahkan untuk mengelola sumber pendapatannya. Mengikuti jejak pendahulunya PTN termasuk didalamnya Untan mulai bersiap diri untuk menyandang status serupa. Apalagi dengan dikuatkan suatu UU yang memang masih berupa draft dan menunggu pengesahannya. Untan yang sekarang memang telah banyak perubahannya ketimbang pertama kali didirikan dulu. Lahannya telah disulap menjadi delapan lokal perkuliahan S1 dan empat gedung lagi

B

untuk pasca sarjana. Bahkan di tahun 2006 ini Untan akan membangun satu lagi gedung perkuliahan untuk mahasiswa kedokteran. Sejalan dengan kebutuhan akan pendidikan Untan pun makin berkembang yang semula hanya menerima mahasiswa regular, sekarang di beberapa fakultasnya telah membuka kelas-kelas ekstensi termasuk juga program Diploma. Tentunya yang menginginkan program ini harus membayar mahal dibanding kelas regular. Sampai saat ini pun tercatat 12.446 orang masih terdaftar sebagai mahasiswanya. Sedang total keseluruhan tenaga pengajarnya yakni 889 orang, masing-masing 61 bergelar Doktor, 539 bergelar Master, dan sisanya 289 bertitel S1. Untuk pegawai administrasi berjumlah 495. Akan tetapi saat Untan diperkenankan menggali sumber dananya sendiri, pemasukan dari uang SPP hanya akan menutupi sebagian kecil saja keperluan Untan. Rasanya pun kurang bijak hanya gara-gara mesti menghidupi dirinya harus mengeluarkan kebijakan menaikkan uang kuliah. Seperti dikatakan Drs Darsono Phd, ketua Pusat Penjamin

Mutu Untan bahwa PTN itu tidak dibesarkan dari SPP saja, karena kemampuan universitas untuk menghasilkan dana tidak dari SPP. “Itu hanya bagian kecil saja, jadi mestinya permasalahan ini sudah mesti dipikirkan oleh universitas ini,” tuturnya. Ada ketakutan bagi mahasiswa jikalau Untan mesti mandiri dan Untan tidak memiliki kreatifitas mencari sumber dana pemasukan maka mahasiswalah yang akan dijadikan objek. Artinya, bisa jadi Untan mengeluarkan kebijakan untuk meroketkan uang kuliah. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Presiden Mahasiswa Untan, A Azis yang mengatakan jika Untan tidak punya kantong-kantong dana, dikhawatirkan mahasiswa yang akan di komersilkan. Namun hal ini dibantah mentahmentah oleh Pembantu Rektor I Untan, Prof DR H Maswardi mengatakan tidak ada kaitannya antara mau menuju BHP dengan kenaikan biaya kuliah. Pemerintah tetap akan memback up PTN hanya saja pengelolaan keuangannya yang harus mandiri Dicontohkanya di UI atau pun UGM yang menaikan tarif kuliah, tetap akan diminati karena nama besarnya. Kalaupun kedepannya sekitar 15-20 tahun nanti Untan mencoba hal yang sama pastinya karena kebutuhan saat itu bukan karena BHMN. Menggali Sumber Dana BICARA tentang sumber-sumber pendapatan, selama ini diketahui Untan memiliki Yusra (Yayasan Universitas Tanjungpura) sebagai tempat pengelolaan usaha Untan. Diharapkan usaha-usaha ini mampu menopang kehidupan Untan menurut keterangan Drs H Mahdi Radjiin Msi, ketua pengelola Yusra ini, usaha-usaha yang dimiliki Untan antara lain kantin Yusra, dua buah wartel, tempat fotocopy, dan bis Yusra. Tapi bukan berarti usaha-usaha ini dapat diharapkan sepenuhnya. Sebut saja bis Yusra yang menurut Mahdi terus menerus merugi. “Sekarang mahasiswa sudah banyak punya kendaraan, jadi sudah jarang pakai bis lagi. Belum lagi untuk pengelolaan bis ini, yang memakan biaya besar,” ungkapnya. Tambahnya lagi, “jika Untan akan menuju BHP maka usaha-usaha ini bi-

orang yang profesional dengan memiliki energik untuk mengembangkan usaha ini”. Dan ada beberapa usaha lagi yang bisa dijadikan pemasukan Untan tapi di luar kewenangan Yusra, diantaranya Rusunawa (Rumah Susun Mahasiswa) yang khusus disewakan untuk mahasiswa. Lalu gedung seperti Auditorium, Anex yang sering disewakan untuk umum. Maswardi juga menambahkan bahwa Untan saat ini memiliki aset berharga lain yaitu tanah yang cukup luas. Masih banyak tanah-tanah Untan yang hingga kini tidak termanfaaSalah satunya tanah yang berada di belakang fakultas MIPA hingga Ekonomi, yang masih berupa hutan belantara dan tidak dimanfaatkan sedikitpun. Andai saja Untan jeli dalam melihat peluang bisnis yang ada. “USU itu modal utamanya tanah, itulah yang dikelola oleh mereka misalnya dalam hal kelapa sawit”, ujar Maswardi menjelaskan. Selain dari usaha-usaha ini yang terpenting juga ada pada Lemlit (Lembaga Penelitian). Seperti diketahui salah satu indikator kualitas pendidikan di PTN adalah produk penelitian yang dihasilkan. Ambil contoh ITB hasil penelitiannya menjadi sumber pendapatan unggulan. Untuk Untan sendiri Lemlitnya mewadahi tiga belas pusat kajian, tapi sangat disayangkan tidak kesemuanya berfungsi. Padahal dari penuturan Darsono, lembaga penelitian bisa menjadi pemasukan bagi Untan. “Jika misalnya dosen Untan meneliti maka harus ada kompensasi ke Untan jadi dana itu bisa dimasukan sebagai dana pendukung bagi kegiatan,” jawabnya lagi. Seperti apa langkah Lemlit Untan kedepan. Dr Ir Radian MS, Sekretaris Lemlit Untan menjawab Lemlit Untan saat ini tengah berupaya merubah riset-riset Untan untuk menjawab masalah daerah. Dalam lima tahun terakhir ini Lemlit Untan menerima usulan penelitian yang diajukan fakultas terus meningkat. Untuk bersaing dalam mendapatkan dana kompetisi. “Usaha kedepannya kita akan meningkatkan jumlah proposal yang masuk, memperbanyak network dengan stake holder karena tantangan kedepan akan semakin berat”, ungkapnya. Walaupun demikian pemerintah tidak lepas tangan begitu saja, artinya pemerintah tetap memberikan subsidi tapi tentu saja untuk mendapatkannya harus dengan perjuangan. Seperti yang dituturkan Kepala Biro Administrasi Perencanaan Sistem Informasi Untan, Drs. Murni Safwan, “PT yang ingin memperoleh bantuan harus memasukan proposal untuk bersaing dengan PT lainnya.” Dicari ! WACANA Untan akan menuju BHP memang kurang hangat diperbincangkan di tengah mahasiswa. Sepertinya mahasiswa enggan dipusingkan dengan masalah ini. Belakangan yang lebih hangat diperdebatkan adalah siapa yang akan menjadi Presiden Mahasiswa berikutnya. Atau yang tetap jadi pembicaraan adalah masalah penjaringan Rektor Untan akhir tahun ini. Untuk masalah yang terakhir ini erat kaitannya dengan bahasan BHP, karena dicari pemimpin yang mampu membawa Untan menjadi lebih baik kualitas pendidikannya, bukannya mempertaruhkan mutu untuk mencari sumber


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Mafia Pendidikan, Hambat Pembangunan Pendidikan Kalbar Oleh Tantra Nur Andi

ERSOALAN pendidikan di Kalimantan Barat tak kunjung tuntas. Salah satu penghambat terbesar pembangunan pendidikan di daerah khatulistiwa ini adalah munculnya mafia pendidikan yang ingin memperkaya diri sendiri. “Para mafia pendidikan ini memperparah kondisi pendidikan Kalbar. Dari pungli, uang menguap, sampai mark up merupakan realitas yang terjadi di dalam dunia pendidikan Kalbar,” ungkap Abriyandi, Ketua Umum Pengurus Pusat Untuk Reformasi Pendidikan Kalimantan Barat (Pergerakan) dalam Dialog Publik Evaluasi Akhir Tahun Pembangunan Pendidikan Kalimantan Barat, beberapa waktu yang lalu. Ia mencontohkan bantuan Schoolgrant SMP yang seharusnya diterima sekolah Rp 60 juta, harus dengan terpaksa menerima Rp 50 juta, karena merupakan syarat utama bagi yang akan mendapatkannya. Bagi Kepala Sekolah yang mau menerima uang sebesar Rp 50 juta tersebut tak jadi soal, bahkan tahun berikutnya bisa mendapat suguhan dana secara terus menerus. Sementara bagi kepala sekolah yang tidak mau menerima uang yang disunat 10 juta itu harus sabar menanti, walaupun kondisi sekolah sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersabar. “Contoh lain yang tak kalah hebatnya soal beasiswa BKM yang seharusnya untuk membantu siswa miskin, tega-teganya diembat juga. sekolah disuruh membuat daftar yang menerima sebanyak 60 siswa, tetapi yang menerima hanya 30 orang saja,” ujar Abriyandi kesal. Sisanya ? “Ya, diembat “orangorang miskin” di Dinas Pendidikan. Orang-orang yang bermental korup ini layak disebut “mafia pendidikan”. Betapa kasihannya rakyat yang selalu menerima pembodohan-pembodohan,” katanya lagi. Abriyandi menilai, karena mafia pendidikan masih berkeliaran, menjadikan pembangunan pendidikan di Kalbar dalam kondisi menyedihkan. Ditambah lagi sikap pemerintah yang setengah hati mencerdaskan rakyat, tak mengherankan jika Indeks Pembangu-

P

Permasalahan Pendidikan: Sebagian besar siswa-siswa di daerah-daerah belum mendapatkan layanan pendidikan yang memadai Di Kalbar, angka buta huruf dan putus sekolah masih tinggi. Pada foto di atas siswa-siswi SD Negeri di Kabupaten Sintang Kalbar sedang berpose. nan Manusia (IPM) di daerah ini jauh tertinggal dengan provinsi lain. Menurut UNDP, Bappenas, dan BPS tahun 2004 Kalimantan Barat menempati urutan ke 27 dari 30 provinsi diatas NTT, Papua, dan NTB. Di sisi lain, Soedarto, Konsultan Pendidikan, melihat persoalan pendidikan lebih kepada sulitnya mewujudkan sinkronisasi dan sinergis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pendidikan di wilayah Kalbar. “Masih lemahnya kemampuan dinas pendidikan di daerah (kabupaten/kota) untuk menyusun dan merumuskan kebijakan dan perencanaan pendidikan yang komprehensif, berwawasan ke depan, dengan tingkat reliabilitas yang tinggi merupakan faktor utama yang menjadi kendala dalam pembangunan pendidikan di wilayah ini (Kalbar-red),” ujarnya. Hal ini terjadi karena kurangnya SDM yang cukup terlatih dalam menangani perencanaan, mengelola sistem informasi dengan baik, dan belum mampu menerjemahkan visi ke dalam kebijakan dan tindakan. Selain itu, Soedarto memandang tantangan yang dihadapi dunia pen-

didikan di wilayah Kalbar, dalam kurun waktu 10 tahun kedepan bukanlah main-main. Dengan indeks pendidikan yang skornya baru mencapai 71,93 (Bapeda kalbar, 2002) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) provinsi yang skornya 62,50 dan masih di bawah skor rata-rata nasional, maka jajaran pendidikan, bekerja dalam keterbatasan waktu, harus bekerja efektif. “Sebab selain mengejar ketertinggalan dari provinsi lain dalam kualitas sumber daya manusia, kita juga dibebani dengan tugas mengejar ketertinggalan kita dengan Negara tetangga yang langsung berbatasan dengan kita. Apalagi, jika diingat bahwa pelaksanaan secara penuh dari pasar bebas ASEAN sudah diambang pintu,” jelasnya. Banyaknya permasalahan yang terjadi dan belum tersentuh dalam pengambilan kebijakan pembangunan pendidikan yang dijalankan di tahun 2005 diakui oleh Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kalbar, Drs Ngatman. Akan tetapi, Ngatman tidak menanggapi persoalan mafia pendidikan, namun lebih melihat tiga permasalahan yang paling mendasar dalam pembangunan pendidikan di Kalbar. “Permasalahan itu mencakup perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, manajemen pendidikan,” ungkap Ngatman. Ia tidak memungkiri dari tiga permasalahan yang mendasar itu berdampak pada adanya 244. 648 anak usia 7-15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan, 11.239 orang angka putus sekolah pendidikan dasar, 250.193 anak yang tidak tertampung ke jenjang pendidikan menengah, dan buta huruf usia 10-44 tahun 164.802. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat berada di urutan ke 27 dari 30 provinsi, rata-rata nilai kelu-

kan secara optimal. “Dari kondisi ini tentu tidak akan kita biarkan, tapi harus kita berikan jalan keluarnya,” ujar Ngatman. Ngatman menjelaskan, dari program peningkatan dan perluasan di tahun 2005 ada beberapa program kerja yang dilaksanakan dalam pembangunan pendidikan yaitu program pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan anggaran Rp 5.198.400.000, program wajib belajar 9 tahun dengan anggaran Rp 42.852.260.000, program pendidikan menengah sebesar Rp 43.457.000.000. “Dengan dana sebesar itu pemerintah melalui Dinas pendidikan telah melakukan pengadaan penyediaan prasarana pendidikan anak usia dini, pembangunan Tk negeri di setiap kecamatan, pembangunan TK/SD satu atap, rehabilitasi gedung SD dan SMP, pemberian beasiswa, penyediaan tenaga kependidikan, pelatihan tenaga kependidikan dan masih banyak program lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu,” ungkapnya. Ngatman juga memaparkan untuk peningkatan mutu dan relevansi pemerintah menitik beratkan pada tiga program utama yaitu pendidikan anak usia dini dengan melakukan peningkatan kualitas guru TK, penyediaan sarana belajar dan bermain PAUD. Sedangkan untuk program wajib belajar 9 tahun di adakan penyediaan sarana dan prasarana berupa alat peraga pendidikan, penyediaan bahan pelajaran pokok dan buku perpustakaan, penyediaan ruang perpustakaan, ruang laboratorium, pendidikan dan pelatihan guru mata pelajaran. “Dan yang terpenting adalah peningkatan manajemen pendidikan melalui peningkatan peran serta masyarakat dengan memberdayakan komite sekolah, dewan lembaga-lembaga sosial, pendidi-


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

...yang tak kalah hebatnya soal beasiswa BKM yang seharusnya untuk membantu siswa miskin, tega-teganya diembat juga... Abriyandi raan monitoring dan evaluasi, pendidikan dan pelatihan pengawas sekolah,” papar Ngatman. Rapuhnya Landasan Pendidikan Ibarat bangunan, landasan yang rapuh dan lemah memudahkan bangunan itu roboh. Begitu pula dalam hal pendidikan, karena landasannya rapuh dan lemah, membuat pembangunan pendidikan mudah runtuh. “Persoalan pendidikan yang paling utama adalah lemahnya landasan pendidikan yang kita miliki,” ujar Dr Aswandi, Pengamat Pendidikan Untan. Sekurangnya ada empat landasan pendidikan yang menjadi persoalan dalam pandangan Aswandi. Pertama landasan Fillosofis yang terdiri dari 3 hal, yakni ontologi, epistemologi dan Aksiologi. Pada tataran ontologi, dimaknai di aras benar tidaknya pemahaman pendidikan selama ini. “Apakah kita sudah benar-benar memaknai apa itu pendidikan? Jangan-jangan memaknai pendidikan itu sebatas pada sekolah. Atau misalnya di perguruan tinggi, pendidikan itu berhasil kalau IPK mahasiswa bisa tinggi. Ini pemahaman yang keliru. Atau di dinas, memahami pendidikan masih sebatas pada persoalan wajib belajar 9 tahun, pemberantasan buta huruf, dan peningkatan mutu. Namun hakekat pendidikan itu apa belum sampai ke sana,” jelasnya. Sementara itu pada aras epistemologi, yaitu bagaimana metodologi keilmuan itu disusun, belum menjadi kajian yang hebat di kalangan akademisi. “Cobalah perhatikan, diskusidiskusi keilmuan yang intens sangat jarang dilakukan, termasuk oleh dosendosen. Belum ada budaya berkumpul berdikusi, seperti dilakukan oleh pemikir-pemikir pada jaman dulu, di mana disitu ada perdebatan serius membongkar sisi metodologi keilmuan.” Dalam tataran aksiologis, masih terjadi pragmatisme dalam memandang pendidikan. Pendidikan masih sebatas dikaitkan dengan nilai, IPK, dan kelulusan. Landasan kedua yaitu psikologis. Landasan ini berkenaan dengan suasana belajar, aman atau tidak bagi anak. Belajar dalam suasana tekanan akan menyulitkan si siswa. Landasan ketiga yaitu sosiologis. Dalam kenyataannya, pembelajaran saat ini tidak membuat para siswa bisa berkolaborasi dengan pihak lain. Bahkan terkesan membuat siswa menjadi lebih individualistik. Landasan yang terakhir adalah landasan hukum yang sudah mulai diberlakukan dengan adanya Undangundang Guru dan Dosen. Jika landasan ini tidak segera dibongkar maka jangan harap pendidikan kita bisa lebih baik. Berkenaan dengan mafia pendidikan, Aswandi mengaku memang belum pernah menjumpai definisi ini secara teoritis. Hanya saja ia mencoba menganalogikan mafia menurut Francis Fukuyama, 2004 dalam bukunya berjudul “TRUST”. “Ambillah keuntungan sebanyak-banyaknya dari orang lain yang ada di luar keluargamu pada setiap kesempatan. Jika tidak maka milikmu akan diambilnya”. Jiwa mafia ini yang senantiasa membuat orang

Pintu Transformasi Universitas URTON R Clark (2001) dalam bukunya berjudul; “Creating Entrepreneurial Universities: Organizational Pathways of Transformatin” mengemukakan setidaknya terdapat lima pintu atau jalan masuk (pathways) transformasi universitas, yakni sebagai berikut; (1) pusat pengendalian mutu yang kuat; (2) jaringan pengembangan yang diperluas; (3) sumber pembiayaan yang bervariasi; (4) bidang akademik yang stimulatif; (5) adanya budaya usaha. Pusat Pengendalian Mutu yang Kuat; Implementasi penjaminan mutu universitas disinyalir masih sangat lemah. Seiring perubahan yang semakin cepat, kompleks, maka kelemahan yang ada telah membuatnya menjadi semakin lemah dan pada saatnya universitas semacam itu menjadi terpuruk. Agar kelemahan dan keterpurukan perguruan tinggi tidak akan terjadi, maka pusat pengendalian mutu harus diperkuat dan menjadi sebuah keharusan. Asumsi umum mengatakan setiap kita menuntut orang lain bermutu, maka sebelumnya kita harus bermutu. Penjaminan mutu sebagai termuat PP.No.19/2005 menyatakan: “Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan pen-

B

“... merubah budaya harus dilakukan secara evolusioner atau bertahap dari yang kecil dan mulai sekarang dan mulai dari diri sendiri. Karena perubahan kecil dan dilakukan secara konsisten akan memberi perubahan pada komponen lainnya.” jaminan mutu pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas. Adapun inti dari penjaminan mutu adalah suatu pendekatan untuk mengatur pekerjaan dan menjamin agar: (1) misi dan tujuan organisasi diketahui dan jelas bagi semua anggotanya; (2) sistem organisasi dan prosedur serta mutu semua jenis pekerjaan dan kegiatan telah ditentukan, serta dipikirkan secara matang untuk mencegah segala kesalahan dan dikomunikasikan kepada setiap orang; (3) selalu jelas siapa bertanggung jawab atas apa; (4) kalau ada penyimpangan/kesalahan dapat segera diketahui dan dikoreksi; (5) ada standar mutu yang telah disepakati bersama dan terdokumentasi untuk setiap pekerjaan; (6) pelaksanaan misi merupakan serangkaian pekerjaan, hasil pekerjaan yang satu diperlukan untuk pelaksanaan

persinggungan antara yang menyerahkan dan yang menerima hasil suatu pekerjaan yang disebut interfaces; (8) hasil pekerjaan yang diserahkan kepada yang memerlukannya harus memenuhi standar mutu; (9) ada sistem untuk mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan standar mutu untuk setiap pekerjaan; (10) ada sistem untuk meningkatkan standar mutu bila dianggap perlu (Slamet, 2005). Penjaminan mutu di universitas bersifat internal dan eksternal. Penjaminan mutu internal adalah proses ke arah penjaminan bahwa universitas yang bersangkutan dapat memenuhi mutu yang dijanjikan. Penjaminan mutu internal universitas mencakup komitmen inti terhadap; (1) kemampuan institusi, meliputi; integritas, visi, governance, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan, sistem informasi, dan keberlanjutan; (2) keefektifan pendidikan, meliputi; mahasiswa, kurikulum, system pembelajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, system penjaminan mutu, sistem pengelolaan, suasana akademik, dan mutu program studi (Slamet, 2005). Jaringan Pengembangan yang Diperluas; Secara umum setiap institusi yang ingin tetap bertahan hidup atau eksist harus mampu membangun jaringan atau networking, artinya cepat lambatnya mobilitas perubahan secara vertikal dari setiap organisasi dipengaruhi oleh kemampuannya membangun jaringan secara horizontal atau dengan perkataan lain memperluas jaringan pengembangan. Universitas tidak hanya membangun jaringan di luar lembaganya, melainkan juga pada lembaganya sendiri, yakni mengembangkan unit yang ada dan mendirikan unit baru sesuai kebutuhan, saling menguntungkan, dan dikelola secara profesional. Unit-unit internal tersebut dalam geraknya jangan dibatasi melainkan diberi kebebasan seluas-luasnya tentu menurut aturan main yang jelas dan disepakati bersama. Hubungan dengan pihak luar yang efektif maka akan memperkuat infrastruktur universitas. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat, universitas harus mengikuti perkembangan zaman, siap menanggung resiko dalam mempromosikan keseluruhan jaringan pengembangan unit-unit yang dimilikinya, keterlibatan kreativitas organisasi secara substansial sangat diperlukan. Sumber Pembiayaan yang Bervariasi; Untuk membangun karakter yang berorientasi kepada perubahan baru, setiap universitas membutuhkan dana yang cukup atau lebih, khususnya dana yang dapat digunakan secara luas bukan dana abadi. Memperluas sumber pembiayaan akan menjadi penting karena dukungan institusional dari pemerintah sebagai bagian dari total pembiayaan semakin berkurang, universitas harus menyedai ada kecenderungan tersebut dan harus dapat

Oleh Aswandi*) berbagai jasa, seperti royalty, kegiatan penelitian dan pengembangan. Dalam meningkatan pendapatan dari sumber lain, universitas harus mau belajar dengan pihak lain atas dasar pemahaman bahwa dana dari banyak sumber akan meningkatan kesempatan untuk membuat gerakan yang lebih berarti tanpa harus menunggu ketentuan dari sebuah sistem yang sering terlambat. Bidang Akademik yang Stimulatif; Ketika universitas berkomitmen pada penjaminan mutu, diikuti pengembangan jaringan untuk memperoleh pembiayaan yang cukup, maka bidang akademik dengan berbagai kegiatannya tetap menjaga tujuan utamanya sebagaimana terdapat pada Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat berada pada fakultas, jurusan, program studi dan pusat studi berdasarkan bidang ilmunya harus lebih inovatif dan kreatif melakukan perubahan yang lebih bermakna, jika tidak, mengabaikan atau menolak perubahan hampir dapat dipastikan transformasi menjadi tidak efektif. Oleh karena itu unit organisasi tersebut di atas harus mampu dan mau melihat ke luar secara lebih kokoh dengan program dan hubungan baru dan didukung oleh seluruh stakeholder. Adanya Budaya Usaha. Merubah budaya organisasi yang mengacu pada sebuah perubahan bukanlah pekerjaan yang mudah karena telah mengakar sebagai karakter individu yang menjadi anggota institusi tersebut. Oleh karena itu merubah budaya harus dilakukan secara evolusioner atau bertahap dari yang kecil dan mulai sekarang dan mulai dari diri sendiri. Karena perubahan kecil dan dilakukan secara konsisten akan memberi perubahan pada komponen lainnya. Hal ini akan terlihat dalam siklus interaksi pengembangan sepanjang waktu. Nilai organisasi akan semakin universal dan bebas dari struktur dan prosedur yang tidak fleksibel. Menutup uraian ini, penulis tidak bosan-bosannya untuk mengulangi dan mengingatkan kembali seuntai ungkapan orang bijak tentang trasformasi, yakni: “puncak gunung yang tinggi tidak akan pernah dicapai tanpa selangkah demi selangkah.” Oleh karena itu setiap perubahan mulailah dari diri sendiri, dari yang kecil dan dari sekarang. Terima kasih.*) Penulis adalah dosen FKIP Untan, Direktur Educational Advocacy Center, e-mail : aswandiwk@yahoo.-


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Ketika Media Berprasangka Oleh Hasymi Rinaldi*) ALAU saja boleh mengkambinghitamkan mengapa sebuah konflik terjadi, maka jawabannya adalah prasangka. Dan di sanalah sebenarnya media memainkan perannya. Media sebagai sebuah alat untuk menyebarluaskan informasi, dalam konteks ini, juga sebagai alat meresonansikan prasangka kepada publik. Dan tergantung apakah ia akan meresonansikannya demi memadamkan atau justru menyuburtumbuhkan konflik SARA. Adalah Gabriella Misckohwski, pengamat media, saat menuturkan pengamatannya tentang perang yang terjadi di Yugoslavia, menyatakan bahwa media mempunyai peran penting untuk melanggengkan konflik yang terjadi di Negara pecahan Uni Soviet itu. Dalam perspektifnya, ia menyebutkan bahwa media yang justru menumbuhsuburkan prasangka negatif antar komunitas itu, paling tidak akan mengakibatkan beberapa hal : Pertama, kekejaman yang terjadi di suatu wilayah, akan direspon oleh protes gerakan massa di wilayah lain. Kedua, liputan media atas gerakan massa itu akan memancing gerakaan massa balasan. Ketiga, akan terjadi konflik kekerasan di masyarakat yang akan berujung pada kekerasan brutal. Keempat, brutalitas akan mengembang menjadi besar dan perang saudara terjadi. Kelima, negara pecah berkepingkeping. Memang terkesan simplistis, namun Misckohwski tidak seluruhnya keliru. Baginya, media adalah variabel dominan yang mampu secara langsung menumbuhsuburkan prasangka. Meskipun kita tahu bahwa prasangka juga adalah buah dari proses interaksi sosial manusia. Kalau saja kita mau melihat secara lebih dalam, prasangka selalu muncul dari stereotipe, bukan berdasarkan fakta atau bukti ilmiah. Namun memang sulit untuk menemukan prasangka, karena ia tersembunyi. Di sana ada faktor subyektif. Seperti saat kita bergaul dengan komunitas lain, entah itu suku atau agama lain, selalu saja ada yang terasa ‘lain’. Meskipun semuanya kemudian tergantung pada kearifan kita menyikapinya. Namun dalam ranah publik, prasangka yang di-create oleh media baik secara sadar atau tidak, jelas berdampak sosial. Ia secara perlahan menjadi konsumsi publik yang bisa saja mengendap dalam ruang kognitif publik dan membangun pola pikir , pola sikap hingga ke pola tindak. Konflik selalu menghasilkan belasan kali sudah pertikaian antar etnis melanda Kalimantan Barat. Telah ribuan jiwa yang dijadikan tumbal. Belum lagi trauma yang tak kunjung sembuh dari korban pertikaian. Trilyunan rupiah ludes ditelan konflik. Perasaan was-was tak kunjung hilang bersamaan dengan redanya pertikaian. Khawatir konflik berskala yang lebih besar akan datang. Persis seperti kejadian sebelumnya, konflik etnis yang seolah-olah menjadi identitas masyarakat Kalbar bermula dari tindak kriminal biasa. Namun, akhirnya selalu berakhir dengan pertikaian massal, berskala besar dan sulit dikendalikan.

K

Kemana Pers? MEMANASNYA situasi akibat pertikaian antar etnis menjadi ladang bagi Pers. Tuntutan profesi agar menginformasikan kejadian secara aktual mengkondisikan para kuli tinta untuk ‘ambil bagian‘ dalam pertikaian. Tak dapat disangkal bahwa media telah menjadi bagian penting dari konflik itu sendiri. Dalam waktu yang sangat singkat, atas jasa media massa, masyarakat Kalbar dan nasional bahkan masyarakat internasional pun mengetahui berbagai peristiwa. Melalui keahlian wartawan/reporter dalam meracik berita mampu mengkondisikan konsumen seolah-olah berada di tempat kejadian. Jadi, layaklah bila media massa dikatakan sebagai sumber utama pengetahuan, prilaku dan ideologi bagi masyarakat.2 Berbagai media –khususnya media lokal- dengan deras memberitakan peristiwa tersebut. Aksi kriminal mulai menghiasi headline di berbagai media cetak. Khususnya media cetak lokal, hampir setiap hari berita-berita kerusuhan terpampang jelas di halaman muka. Dengan judul yang bombastis sekaligus seksi, media-media tersebut dengan lihai mengemas fakta dan dituangkan dalam bentuk berita. Bahkan foto-foto yang dianggap memiliki nilai jual tinggi turut hadir di halaman muka. Namun, dalam setiap pertikaian, sikap objektif dari media tersebutlah yang selalu dipermasalahkan. Media massa bukanlah institusi yang bebas dari prasangka. Untuk meraih kata ‘netral‘ dalam pemberitaan sangat sulit dilakukan oleh media massa. Walaupun secara subjektif berbagai media massa mengklaim bahwa pemberitaan yang dikemas mereka bersifat objektif, namun cukup sulit bagi mereka menyembunyikan kepentingan yang tersirat dalam pemberitaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi pada saat perang saudara di bekas negara Yugoslavia di tahun 1991. Posisi media memainkan peranan penting dalam mengubah warga yang semula damai menjadi saling bermusuhan.3 Situasi inipun terjadi di Indonesia. Di Maluku, media massa dituduh hanya menguntungkan pihak lawan. Di Timor Lorosae, media massa Indonesia mengklaim bahwa dirinya objektif dalam pemberitaan, namun sesungguhnya mendukung pendudukan.4 Cukup layak ketika Eriyanto melalui tulisannya yang berjudul Politik Pemberitaan5 menyatakan bahwa media bukanlah saluran yang bebas; dia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Media dapat dikatakan sebagai sarana suatu kelompok untuk mengukuhkan posisinya sekaligus merendahkan kelompok lain. Gambaran di atas mengesankan bahwa objektivitas tak lebih dari sekedar ilusi. Pemberitaan dalam media yang menggambarkan ‘apa adanya‘ sebenar-

Sering ditemui dalam banyak kasus bahwa dalam setiap pertikaian antar kelompok mayoritas dan minoritas, pemberitaan selalu mencitrakan bahwa kelompok mayoritas merupakan tokoh protogonis. Sedangkan sebaliknya, kelompok minoritas diidentikkan sebagai sosok yang antagonis. Kerapkali pemberitaan mendiskreditkan masyarakat marjinal. Stereotip yang berkembang semakin diperkuat lagi oleh media. Seperti yang diakui Van Dijk bahwa sebagian informasi yang diperoleh suatu kelompok tentang kelompok lain berasal dari media massa. 6 Fakta-fakta yang disusun oleh suatu media akan sangat dipengaruhi oleh visi dan misi yang diusung oleh media tersebut.7 Misalnya sebuah media dalam meliput konflik etnis di Kalbar menaruh perhatian terhadap etnis tertentu, anggap saja etnis X. Maka wacana yang dibangun yaitu pengkondisian imajinasi publik bahwa keluguan etnis X selalu dimanfaatkan oleh etnis Y. Sehingga suatu hal yang wajar apabila terjadi pengusiran etnis Y oleh masyarakat X. Pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan kerap kali hanya menyoroti daerah-daerah konflik dan memfokuskan terhadap pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, pemberitaan sering juga difokuskan kepada “siapa yang memulai terlebih dahulu”. Kondisi ini memungkinkan hadirnya prasangka bahwa perang tidak akan mungkin mencapai titik temu. Apakah hal ini terjadi dikarenakan ketidak piawaian media dalam mengemas berita? Ataukah miskinnya pengalaman wartawan dalam meliput konflik SARA? Selama 32 tahun dalam jajahan orde baru –dengan ancaman akan dibreidel dan ancaman pidana8– pers dilarang keras memberitakan hal–hal yang berbau SARA. 9 Hal serupa terjadi pula di Kalimantan Barat. Dalam orde yang sama, intervensi pemerintah daerah sangat kuat merasuki ranah jurnalistik. Pada tahun 1984, gubernur Kalimantan Barat H. Aspar Aswin mengeluarkan surat edaran No 485.I/116/HUMAS tanggal 25 November 1994 yang isinya bahwa setiap instansi dijajaran Pemda Kalimantan Barat untuk tidak melayani oknum yang mengaku dirinya wartawan sebelum menunjukkan kartu keanggotaan PWI. Di saat orde baru berkuasa, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Kalimantan Barat yang memegang peranan penting dalam meregulasi wartawan lokal dapat dikatakan sangat dekat dengan kekuasaan. Hal ini terbukti dengan diangkatnya gubernur Kalimantan Barat sebagai anggota kehormatan PWI di daerah ini pada masa itu. Selain itu, hubungan baikpun dijalin dengan pihak militer. Tepatnya pada tanggal 2 November 1995 tercipta kesepakatan antara PWI cabang Kalimantan Barat dengan komandan Korem 121/Alambhana Wanawwai Kalimantan Barat selaku perpanjangan tangan dari Bakorstanasda Kalimantan tentang penertiban wartawan dan kewartawanan. Ketika adanya jaminan kebebasan pers10 yang diawali dengan dicabutnya Permenpen No.1/1985 tentang lembaga SIUPP (Surat Ijin Penerbitan Pers), banyak wartawan yang merasa asing dengan kondisi tersebut. Dalam meliput suatu konflik, ucapan-ucapan pejabat kerap kali digunakan untuk memenuhi isi berita yang disajikan media. Wartawan merasa canggung untuk melakukan investigasi. Apalagi melakukan sebuah riset.11 Dan yang lebih ironis, statemen-statemen yang dikutip tersebut sangat jarang menyinggung fenomena sosial atau realita yang tengah terjadi. Pernyataan perorangan dianggap sebagai representasi sebuah kenyataan sosial.[].

*) Penulis adalah Pengamat Media

Catatan Kaki 1. Stephanus Djuweng. Masyarakat Adat Di Dunia (eksistensi dan perjuangannya), Pontianak, IWGIA & Institut Dayakologi, 2001, hal 82. 2. Seperti pengalaman yang dituliskan oleh Gabriela Mischkowski selama hidupnya saat perang Bosnia-Herzegovina. Ia beranggapan bahwa media-media nasional menghasut pembaca untuk melakukan tindakan yang sadis. Media pada masa itu mengakibatkan masyarakat yang semula rukun menjadi saling memusuhi. (dikutip Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Mohammad Qodari, Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama Di Media Massa, ISAI, 2001, hal. vii). Dapat juga dilihat tulisan Mohammad Qodari, Minim Pemberitaan Versi Kristen, dalam Pantau edisi 09/ Tahun 2000. lihat juga dalam tulisan Gabriela Mischkowsi, Propaganda Perang Dan Media di Negara Bekas Yugoslavia, dalam buku Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, LSPP, 1999, Hal. 63-88. 3. Pada saat konflik di Maluku, khususnya Republika dan media-media dakwah seringkali menyajikan pemberitaan yang mendiskreditkan kelompok Kristen (Pantau edisi 09/Tahun 2000). 4. Dikutip dalam kumpulan makalah Pelatihan Jurnalisme Perdamaian LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan), September, 2000. 5. Eriyanto, Politik Pemberitaan, dalam Pantau edisi 09/ Tahun 2000. 6. Teun A Van Dijk, Rasisme Baru Dalam Pemberitaan Media, dalam buku Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, LSPP, 1999, Hal. 17. 7. Agus Sudibyo, Ibnu Hamad, Muhammad Qodari, Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama Di Media Massa, ISAI, 2001, Hal. 90. 8. Pada masa orde baru, pembredeilan media massa kerap kali dilakukan oleh penguasa. Seperti halnya yang terjadi pada Harian Pelita pada tahun 1992. Hal ini dikarenakan pemberitaan yang disajikan oleh Harian Pelita dianggap sebagai kekuatan politik Islam pada masa itu, terutama dari Partai Persatuan Pembangunan. (Ibid. Hal. 10). Hal serupa juga menimpa majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik pada bulan Juni 1994. (Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi Dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, dalam buku Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, LSPP,1999, Hal. 45). 9. Sistem Pers pancasila yang diterapkan di jaman kekuasaan Soeharto merupakan sistem perijinan yang membelenggu pers. Pemberlakuan sensor diterapkan secara represif dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan serta stabilitas nasional untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi. (Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, ISAI, 2001, Hal. 12). Lihat juga Nur Zain Hae, rusdi Marpaung dan Hawe Setiawas, Konflik Multikultur Panduan Meliput Bagi Jurnalis, LSPP, Asia Foundation& USAID, 2000, Hal.35. tuntutan pasar yang dikendalikan penguasa orde baru menurunkan analisis kritis dan berani dari media pada masa tersebut. Jurnalis diharamkanuntuk memasuki kawasan kepentingan serta ideologi penguasa. (Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi Dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, dalam buku Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, LSPP,1999, Hal. 44-45). 10.Kebebasan pers pertama kali diteriakkan oleh M. Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan di era Habibie. Sehingga ia dijuluki oleh insan pers sebagai menteri reformasi dan lokomotif kebebasan pers. Selama menjabat sebagai menteri penerangan, ia mempersiapkan RUU Media Massa yang menjamin dan melindungi pers dalam menjalankan fungsinya. RUU Media Massa mengakomodasi tiga RUU sekaligus, yaitu; RUU Penyiaran, RUU Pers dan RUU Perfilman. (Hinca IP Panjaitan, Menuju Kemerdekaan Pers 2000, Internews Indonesia, 2000, Hal. 9). 11.Dalam dunia jurnalistik, untuk melihat kesejajaran statemen dengan kenyataan dapat dilakukan dengan cara investigasi, konfirmasi ataupun melalui polling. Namun hal ini sangat jarang ditemui dalam media-media lokal Kalbar. Isu-isu yang disajikan sangat berbau elitis. Faktafakta menjadi sangat tergantung dengan pada statemen pejabat, politisi, pengamat dan sebagainya. Padahal wawancara hanyalah salah satu cara untuk mengungkapkan fakta. (Faisal Reza, Andai Media Lokal Kita Punya Litbang, dalam Lentera edisi 01/Thn I/ Juli/ 2001). Selain itu, investigasi dan pengumpulan data di lapangan seringkali dimentahkan oleh bantahan pejabat. Dan yang lebih ironi, apabila suatu media menyajikan data-data investigasi, maka konsekwensi yang harus diterima yait teguran dari instansi yang berwenang. (Stanley, Meliput Konflik


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Pemanfaatan Aloevera Untuk Kesehatan Oleh Mahmudi Herman, Adhitya Warman & Fahrianto IDAH buaya (Aloevera) adalah jenis tumbuhan yang dapat tumbuh pada berbagai jenis iklim karena mempunyai sistem perakaran yang pendek dan tahan terhadap kondisi kering. Cocok dikembangkan pada daerah yang mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar antara 270C-30 C dan curah hujan perbulannya berkisar 4,5-6,0, pH optimum 5,5. (Sudarto, 1997) Aloevera dikenal dengan berbagai nama. Di Indonesia dikenal sebagai “Lidah Buaya”, sedangkan di Inggris dengan nama “Crocodiles Tongues”. Di setiap daerah Aloevera punya nama khas. Misalnya ‘Jadam” dalam bahasa Melayu Malaysia, “Salvia” dalam bahasa Spanyol, “Lu Hu” dalam bahasa Cina, dan ‘Aloe” dalam bahasa Jerman (Sudarto, 1997). Tanaman lidah buaya awalnya berasal dari Kepulauan Canary (Afrika). Pada 333 SM orang Yunani menggunakannya sebagai bahan pengobatan. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada abad ke-17 sebagai tanaman hias biasa, tetapi pada perkembangan selanjutnya digunakan sebagai tanaman obat dan bahan kosmetik. Secara agroklimat Kota Pontianak memenuhi persyaratan sebagai daerah pengembangan lidah buaya karena terletak pada garis khatulistiwa, dengan ketinggian 0,5-3 m di atas permukaan laut dengan jumlah curah hujan setiap tahunnya berkisar antara 2500-3000 mm (Sudarto, 1997). Ditinjau dari aspek sosial mayoritas masyarakat Kalimantan Barat berprofesi sebagai petani tradisional, nelayan, dan buruh yang mempunyai tingkat penghasilan rendah. Hal tersebut menjadi faktor pendorong untuk mencari sumber penghidupan yang prospektif, salah satunya di bidang budidaya tanaman lidah buaya. *** DALAM bidang farmasi penggunaan lidah buaya pertama kalinya dilakukan oleh orang-orang Samaria lebih kurang 1750 SM. Sekitar 2000 tahun yang lalu seorang bangsa Yunani yang bernama Dioscordes mencatat manfaat lidah buaya sebagai obat antara lain obat bisul, luka memar, kulit pecahpecah, kulit lecet, rambut rontok, obat wasir, radang tenggorokan, dan lain sebagainya (Anonymus, 1983a dalam Suryowododo, 1988). Secara komersial daun pelepah lidah buaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan minuman kesehatan, bahan kosmetik, dan obat (farmasi). Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departeman Kesehatan menunjukkan lidah buaya mengandung mineral, protein, lemak, karbohidrat, enzim, dan vitamin. Kandungan mineral dari lidah buaya antara lain adalah kalsium, potasium, sodium, dan chromium sedangkan enzim yang terkandung amylase, katalase, selulose, karboksipepidase, karboksihelolase, dan bradikinase. Pada lidah buaya juga terkandung unsur-unsur seperti Zn, K, Fe, vitamin A, asam folat dan kholin,vitamin B1, B2, B3, B12, C, E, inositol, dan asam folat (folid acid) yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan dasar kosmetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis asam amino esensial seperti arginin, asparagin, asam aspartat, anlin, serin, vialin, glutamate, tareonin, glisin, prolin, histidin, leusin, dan isolieusin juga ditemukan pada tanaman lidah buaya. Kandungan asam amino ini memungkinkan lidah buaya mempunyai khasiat obat antara lain sebagai obat cacing, obat luka, peluruh dahak, peluruh haid, obat pencahar, penghentian dareah, penyubur rambut, pengobatan kanker, kecanduan arthiritis, hepatitis, feline, leukemia, diabetes, dan skoderma. Di dalam gel lidah buaya terdapat kandungan vitamin yang bermanfaat dalam bidang kesehatan khususnya untuk menjaga agar tubuh tetap sehat. Vitamin-vitamin yang terkandung dalam gel lidah buaya adalah vitamin A, B1, B2, B3, B6,B12, C, E dan asam folat (Anonimous, 19832 dalam Suryowidodo, 1988). Kandungan vitamin beserta fungsinya dalam bidang kesehatan ditunjukkan oleh tabel. Komponen kimia berikunya yang terdapat dalam golongan Aloe adalah

L

Tabel : Kandungan vitamin

No

Vitamin

1 2

A B1

3

B2 (riboflavin)

4 5 6 7

B3 (niasin) B6 (piridoksin) B12 (sianokobalomin) C (asam asbokat)

8 9

Asam folat E

senyawa turunan C-glikosil dari antrakuinon, aloenosid dan o-glikosil dari krisopanol. Senyawa-senyawa turunan glikosil seperti seperti antarakuinon dikenal luas sebagai zat antibiotik dan antiseptik (Bly, 1963 dalam Suryowidodo, 1988). Dari hasil penelitian, senyawa-senyawa yang termasuk dalam golongan antra kuinon mempunyai khasiat untuk memudahkan buang air besar karena dapat merangsang selaput molosa usus besar sehingga otot usus besar terstimulus dan terjadi gerakan usus besar. Kondisi ini menimbulkan percepatan transit dari isi usus sekaligus terjadi sekresi lendir dan absorpsi air dihambat kemudian dihasilkan tinja yang lunak (Scunack, dkk, 1990). Hal tersebut disebabkan adanya senyawa glikosida antra yang bekerja pada usus besar. Senyawa aglikon terhidroksilasi pada atom C-1 dan 8 Danron, 1-8- dihidroksiantrakuinon dan diatrol yaitu 1,8,9-trihidroksiantrasen, seperti tautomernya 1,8-dihidroksiantron juga dibuat secar sintetik. Dantron (DAB8) digunakan sebagai laksan, sedangkan ditranol mempunyai sifat merangsang kulit sehingga digunakan sebagai antipsiriatik. Aglikon glikosida antrakuinon juga dinamakan emodia. Senyawa ini berasal dari kerangka dasar yang terhidroksilsi pada posisi 1,8, dan juga tersubsititusi pada atom C-3 dan 6. Menurut Fly (1963), aloin bukan satu-satunya bahan yang bersifat sebagai obat antiseptik dan antibiotik tetapi terdapat unsur lain yaitu aloe emodin. Kandungan aloin pada Aloevera sangat bervariasi, tergantung pada jenis tanaman Aloe-nya. Turunan yang penting dari glikosil adalah aloin. Aloin (barbaloin) adalah turunan D-glukopiranil edomin-antron beserta fungsinya dalam bidang kesehatan. Aloe yang terikat C-C. Zat ini berupa campuran yang terdiri dari dua stereo Fungsi isomer C-10 aloin. Beberapa publikasi di luar negeri Mencegah rabun senja, kulit keriput dan kering. juga mulai meneliti poteni pemanfaatn Mencegah beri-beri, gangguan mental dan gangguan Aloe vera sebagai obat HIV/AIDS hati. (ANTIVIRAL). Hal ini disebabkan Mencegah katarak, bibir pecah-pecah, dan gangguan adanya zat aloemodin dan aloe barbadoid yang termasuk dalam pertumbuhan. golongan antrakunon. Senyawa ini Mencegah gangguan iritabilita dan gangguan kulit. dilaporkan mempunyai khasiat sebagai Mencegah peradangan kulit. sistem pertahanan tubuh. Aloevera juga dilaporkan mempuMencegah anemia. nyai fungsi sebagai penghambat Mencegah sariawan dan terganggunya hubungan peradangan. Hasil perbandingan antara jaringan. dengan gliberin, Aloe vera mempunyai fungsi yang hampir sama. Gliberin Mencegah anemia. merupakan hormon yang berfungsi Mencegah ketidaksuburan. untuk menghambat pertumbuhan dan


Masa Muda di Bui Oleh Ratna M Harahap dan Nina Soraya

BANGUNAN bercat kuning kentang itu telah berusia seperempat abad. Pada halaman depannya dihiasi pelataran rumput yang tidak terurus bahkan tergenang lumpur bekas peninggalan hujan semalam. Di balik tembok beton inilah anak-anak yang berstatus narapidana melewati hari-harinya. Dari jalan Adi Sucipto, orang dapat membaca papan nama yang bertuliskan “Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II B Sungai Raya Pontianak” di depan bangunan itu. ENGHUNI di sana lebih senang menyebutnya “Rumah”, didirikan sejak 1980-an namun mulai digunakan setahun kemudian. LP Anak kelas II B ini dibangun sebagai tempat tinggal sementara bagi anak-anak yang memiliki masalah dengan hukum dan sengaja dibuat terpisah dengan orang dewasa. Pada Januari 2006 di LP Anak tersebut terdapat 40 orang narapidana dan tahanan yang terdiri dari 29 anak pidana, 1 anak negara, nihil untuk anak sipil, 9 anak tahanan dan 1 anak titipan. Menurut Kepala Seksi Pembinaan LP Anak Sutriman, S.Pd, anak pidana merupakan anak yang diberi putusan pengadilan dan dijatuhi pidana tertentu. Sedangkan anak negara adalah anak yang melakukan tindak pidana dan mendapat putusan pengadilan. Terakhir yaitu anak sipil, anak yang atas permintaan orang tua sendiri untuk dididik oleh LP karena telah berlaku nakal. “Sampai saat ini belum ada tahanan dengan status anak sipil,”kata Sutriman. Ketiga status tadi merupakan penggolongan jenis anak dalam LP ini, sedangkan untuk anak tahanan ataupun anak titipan adalah anak-anak yang masih menjalani proses persidangan. Rumah tahanan anak ini dibatasi juga usianya mulai dari 8 hingga 18 tahun. Walau demikian, kebanyakan anak yang baru berusia 12 tahun ke atas yang bisa menjalani proses hukuman di tempat ini. Jadi anak-anak dalam usia 8-12 tahun itu bisa dapat pidana bersyarat. Sehingga penghuni LP Anak itu kebanyakan berumur 14-18 tahun. Kejahatan yang melibatkan anakanak diyakini oleh Sutriman semakin meningkat tiap tahunnya. Anak-anak untuk daerah Pontianak ini paling tinggi terjerat kasus pencurian. Sedangkan kasus asusila dan narkoba di tingkat berikutnya. Di LP anak tersebut ada 38 petugas untuk mengawasi anak-anak. Walaupun dianggap cukup memadai, tetapi tidak dielakan juga bahwa menjaga anakanak jauh lebih repot ketimbang narapidana dewasa. “Lebih sulit menangani anak karena masih labil, kita mesti yang aktif. Dan tergantung pendekatan yang diutamakan,” ungkap

P

Kegiatan harian di LP anak, memacu semua anak untuk punya rutinitas harian. Hal inilah yang disyukuri oleh Tory (16), salah satu penghuni LP. “Pembelajaran di sini lebih baik dari luar, di luar belum tentu dapat ngelas, (red. keterampilan yang diajarkan di LP anak) bisa bikin kursi, meja, dan pintu,” katanya. Hidup di sini juga lebih teratur. Setiap harinya ada olahraga yang kalau di luar jarang sekali dilakukannya. “Di sini sukanya bisa bergaul dengan teman-teman, bahkan sering guraugurau.” Tory adalah salah satu penghuni blok B 2 LP sejak satu setengah tahun yang lalu. Karena pengaruh buruk lingkungan, ia terjerat kasus asusila. Kini ia mesti menghabiskan waktu empat tahun lamanya di LP. Sebelum mendekam di balik terali besi, Tory punya kehidupan layaknya anak-anak seusianya. Walau hidup menumpang di sebuah panti asuhan, ia sempat merasakan bangku sekolah, hingga nyaris lulus SMP di Ampera Pontianak. Prestasinya di kelas pun tidak jelek, pernah sekali menjadi juara tiga di kelas. Bahkan ia pernah bermimpi menjadi polisi sejak lama, tapi apa daya keadaan tidak berpihak padanya. Tindak asusila yang dilakukannya kemudian memaksanya membuang jauh-jauh mimpinya itu. “Pengen jadi polisi macam mane gak, malah ditangkap polisi,” ujarnya dengan logat melayu seraya tersenyum malu. Penjara sebagai tempat menakutkan untuk menjalani hidup adalah sebersit pikiran yang terlintas waktu awal mula dirinya tertangkap. Tapi mau tak mau ia mesti belajar bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya. Bagi Tory, kesedihan terkurung di sini tidak menjadikannya putus asa lamalama. Mimpi barunya menjadi yang terbaik muncul di LP anak. “Tidak nakal dan pengen kayak orang tua, rajin sholat,” ceritanya dengan suara samar. Tory yang siang itu mengenakan kaos biru sempat berpesan pada anakanak sebayanya agar tidak ikut-ikutan seperti tingkah polahnya yang tidak benar. “Baik-baik aja di luar,” ucapnya bijak, sambil berlalu pergi setelah secarik kertas sebagai isyarat untuk Tory kembali bersama kawan-ka-

juga terdapat anak perempuan. Meski hanya tiga orang, tetap saja mereka sengaja dipisahkan dari lawan jenisnya. Mereka masing-masing adalah anakanak yang pernah melakukan tindak pidana trafficking, narkoba, dan pembunuhan. Karena jumlah yang minim, Sutriman mengakui tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan anak-anak itu. “Biasanya mereka dilatih keterampilan sulam. Tapi seolah-olah tidak kelihatan kegiatannya karena sedikit jumlahnya,” ujarnya. Salah satunya adalah Ayu (16) yang harus memikul beban akibat ulahnya sendiri. Berteman dengan obat terlarang, berbuntut panjang yang mengharuskannya meringkuk ke dalam sel menjalani masa ABG nya. Peristiwa ini selamanya tidak akan pernah Ayu lupakan, ikhwal dia bisa berstatus tahanan. Awalnya bermula ketika ia merasa broken home akibat perceraian kedua orang tuanya. Ayu dalam usia masih butuh bimbingan, malah terjerumus pada buruknya pengaruh lingkungan. “Teman-teman kumpul yang ngajarkan makai. Pertama sih coba ngerokok, lalu ke cimeng,” kenangnya. Ternyata coba-coba ini malah berlanjut pada ekstasi dan sabusabu oleh gadis yang saat itu berstatus pelajar SLTP. Suatu hari ketika sedang coba pakai, naas bagi Ayu, dia malah over dosis.

Karena panik teman-temannya membawa nya ke RS. Seperti diketahui, penggunaan obat terlarang bisa terjerat pasal-pasal di UU Psikotropika begitu juga Ayu yang mau tak mau pun akhirnya harus berurusan dengan perkara ini. Sekarang Ayu telah resmi sebagai penghuni disini, bersama dua gadis lainnya yang telah jadi teman akrabnya. Tak banyak yang ingin ia ceritakan tentang kehidupannya disini. Akan tetapi baik Ayu maupun Tory jika diperkenankan memilih mereka tentu saja lebih memilih hidup bebas ketimbang terpenjara disini. Sambil menunggu hari itu tiba, kehadiran sanak famili menjenguk mereka adalah obat ampuh melumpuhkan rasa rindu. Ayu sendiri selalu dikunjungi orang tuanya nyaris seminggu sekali. Sedang Tory meski tak seberuntung Ayu, ia tetap bahagia didatangi keluarganya setahun sekali dengan membawa oleh-oleh makanan kesukaannya. Ketika itu, meski sinar matahari tengah terik-teriknya anak-anak itu tetap gagah berani bermain di lapangan. Ada juga yang lebih memilih bersembunyi dirindangnya atap sambil berceloteh bersama teman-teman, mengisi harihari di bui. Memang tidak bisa dibayangkan dari wajah-wajah itu pernah melakukan kejahatan sehingga mereka harus menghabiskan masa mudanya di dalam bui.[]


Menenun Masa Depan Oleh Dedy Armayadi

PERTENGAHAN Desember 2005, di sebuah rumah sederhana miliknya, Belenjan (65), seorang pengrajin tenun ikat di Dusun Umin, Mangat Baru, Dedai, Sintang tampak mengerjakan kain tenun ikat dayak. Dalam posisi duduk, kakinya terlihat menekan penumpu yang berada di bawah benang tenunan. Disanggah paut-penyanggah dari kulit kayu kepoakpinggangnya menarik benang tenunan yang ditempelkan pada dinding rumah itu. Sementara tangannya sibuk memasukkan benang pakan ke benang lungsi. ENGAN beliak (alat dari belian serupa pedang) ia mencucuk pakan ke benang Lungsi berkali-kali. Proses itu dilakukannya berulang-ulang sampai kain tenun yang dibuatnya menjadi utuh. “Ini namanya proses mantang (menenun-red),” jelas Belenjan. Sebelumnya ia harus melakukan beberapa tahap proses pembuatan kain tenun ikat, seperti menggulung dan menghitung benang dengan ulu ayan -alat penggulung terbuat dari bambu, melakukan perminyakan benang (ngaos), membuat motif dan pengikatan, pencelupan dengan bahan pewarna alam atau sintetis, pengetasan/melepaskan tali yang diikat pada benang, peregangan benang-benang dan membuat tepi kain di tangga penginsur, hingga menenun di alat mantang-. Ada beberapa produk kain tenun ikat yang sering ia buat. Diantaranya kumbuk (selimut) ukuran 60-100 cm x 190-220 cm, kain kebat ukuran 40-60 cm x 150180 cm, dan selendang ukuran 10-20 cm x 150-180 cm. Ia juga membuat sejadah, telapak meja, sarung bantal, alas sofa dan jas dari kain tenun ikat. Kain tenun ikat yang telah selesai dikerjakannya itu kemudian ia jual ke Koperasi Pengrajin Tenun Ikat Jasa Menenun Mandiri (JMM). “Kadang-kadang ada pembeli yang datang ke rumah membeli kain,” ujar Belenjan. Harga jual kain tenun ikat itu tergantung dari jenis dan kualitas yang dihasilkan. Biasanya kumbuk dijual dengan kisaran harga Rp 300.000 – Rp 500.000 per lembar, sedangkan kebat, sejadah, telapak meja, alas sofa, dan sarung bantal harganya berkisar Rp.75.000 – Rp 250.000 per lembar, selendang Rp 10.000-Rp 30.000 per lembar, dan jas bisa mencapai Rp 300.000Rp.500.000 per lembar. Pengerjaan kain tenun ikat dayak ini membutuhkan waktu yang cukup panjang. Biasanya ia dapat menyelesaikan sehelai kain tenun ikat selama 1-3 bulan. Belenjan menjelaskan, menenun merupakan pekerjaan sampingan yang biasa dilakukannya di waktu senggang atau di sela-sela kesibukannya bertani. “Tapi kalau banyak yang mesan kain tenun ikat, pekerjaan menenun bisa dilakukan seharian penuh,” ujarnya. Selama tahun 2005, Belenjan telah membuat 3 lembar kumbuk, 6 kebat, 42 selendang, 4 taplak meja, 6 sarung bantal, 5 alas sofa dan 2 lembar sejadah. Dari produk tersebut, di tahun 2005 ia memperoleh pendapatan sekitar Rp 5.660.000. Pendapatan dari tenun ikat ini, menurut Belenjan digunakannya untuk biaya sekolah anak-anak, membeli kebutuhan rumah tangga, dan sebagian disisihkannya untuk ditabung di koperasi JMM. Belenjan adalah salah satu pengrajin tenun ikat Dayak Desa di Dusun Umin Sintang. Hampir seluruh penenun di Sintang bergabung di Koperasi JMM. Di tahun 2005 Koperasi JMM memiliki anggota 427 orang yang berasal dari 16 kampung di pedalaman Sintang. Dari sejumlah anggota itu, sebanyak 170 orang aktif dalam

D

kegiatan simpan pinjam. Dari 170 orang penenun aktif, setiap bulan ratarata kain yang ditampung pada koperasi mencapai 1530 lembar kain berbagai ukuran, tidak termasuk kain pesanan khusus. Sedangkan untuk momen khusus seperti pada saat dilangsungkan lomba dan pameran bisa mencapai 100-150 lembar kain kumbu/selimut. Saat ini tenun ikat dayak telah menjadi salah satu sumber penghasilan ekonomi masyarakat tradisional di pedalaman Kabupaten Sintang. “Selain pendapatan dari hasil kebun karet, hasil ladang, dan lainnya, tenun ikat telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian keluarga mereka,” papar Yuliantini yang pada penelitiannya menyebutkan penerimaan tenun ikat Dayak Desa dari 44 penenun selama tahun 2004 di Rumah Betang Ensaid Panjang sebesar Rp 56. 460.000. Menurut Sugiman, Koordinator Pengembangan Ekonomi Kerakyatan People, Resources, Conservation, Foundation-Indonesia (PRCF-I), penjualan tenun ikat tersebut merupakan sebuah bentuk penghargaan terhadap penenun. “Selain melestarikan budaya dan mendapatkan income, dari penjualan kain tenun ikat secara tidak langsung, mereka juga memperkenalkan budaya tenun ikat dayak kepada masyarakat luas. Orang luar akan bilang, oh ini loh kain tenun ikat dayak dari Sintang,” ujar Sugiman. Menenun Masa Depan Dalam hal kain tenun khas masyarakat Dayak, tidak semua daerah di pedalaman Kalimantan yang membuat atau mempunyai keahlian. Hanya ada beberapa Suku Dayak saja yang terkenal dengan hasil tenunannya, yakni O’t Danum, Bahau, Apo Kayan dan beberapa Suku Dayak lainnya di lembah-lembah sungai di Kalimantan sebelah barat daya dan timur (Kartiwa Suwati, 1996). Menurut Yuliantini, Alumni Fakultas Kehutanan Untan, beberapa masyarakat Suku Dayak membuat kain tradisional mereka tidak dengan cara mengikat dalam pembuatan motif, tetapi dengan menyulam pada kain songket serta manik-manik. Keahlian membuat kain tenun dengan cara diikat ini hanya dimiliki oleh beberapa Suku Dayak, antara lain Dayak Desa dan Ketungau di Kabupaten Sintang serta Dayak Iban, Kantuk, Bukat di Kabupaten Kapuas Hulu. Tenun ikat dayak merupakan salah satu seni budaya peninggalan para leluhur masyarakat dayak yang mempunyai nilai seni cukup tinggi dan sangat spesifik, baik keragaman motifnya maupun nilai cerita dan pesan yang disampaikannya. Tenun ikat dayak juga menjadi identitas dari masyarakat setempat. Motif yang dibuat pada kain tenun ikat, syarat berisi pesan nenek moyang akan arti dan makna kehidupan. Pembuatan motif bahkan ada yang didapatkan dari sebuah mimpi. Sampai saat ini belum ada informasi tentang kapan pertama kali munculnya budaya tenun ikat ini. Namun

mungkinan besar tenun ikat muncul ketika masyarakat mulai mengenal pakaian dari kain dan beralih dari penggunaan kulit kayu dan binatang sebagai pakaian. Pada awalnya para leluhur masyarakat Dayak membuat kain tenun ikat ini dengan memanfaatkan bahanbahan yang ada di sekitar tempat tinggalnya, mulai serat tumbuhan hingga kapas yang dipintal menjadi benang dan ditenun menjadi kain tenun ikat, dimana untuk pewarnanya menggunakan bahan pewarna alami yang berasal dari akar, kulit, batang maupun daun tumbuhtumbuhan hutan. Demikian pula penggunaan lemak dari buah dan hewan sebagai bahan perminyakan benang (ngaos). Dari cerita Yuliana, pengrajin tenun ikat di Ensaid Panjang, pada zaman ngayau -perang antar suku- bahan ngaos yang digunakan ada yang berasal dari lemak manusia. Tradisi ngaos biasanya dilakukan untuk kain yang dibuat dari bahan pewarna alam. Ngaos dilakukan untuk memperkuat benang, mempertahankan dan menerangkan warna kain, meningkatkan harga jual dan melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Menurut Belenjan, ngaos yang biasanya dilakukan bersama-sama itu harus disertai upacara pemanggilan Dewa Batara dan Nenek Andhan. Pemanggilan itu disertai berbagai perlengkapan seperti tuak, pinang, rokok, nasi, ayam, sayur dan beras. Mereka percaya setelah beras ditaburkan 7 kali ke atas, Dewa Batara dan Nenek Andhan telah datang. “Saat ngaos dilakukan, yang ikut harus menyelipkan bunga tujuh warna di telinga dan menggunakan pakaian adat yang dibuat dari kain tenun ikat,” terang Belenjan. Dewasa ini kawasan hutan di Sintang sudah mulai berkurang. Tumbuhan pewarna alam dan bahan ngaos yang dulunya mudah, saat ini sudah sulit ditemukan. Begitu pula dengan tanaman kapas. Jika dulunya setelah menanam padi ditanami kapas, sekarang berganti dengan tanaman karet. “Karena sulitnya memperoleh kapas dan bahan pewarna alam, dalam membuat tenun ikat, pengrajin sekarang sudah menggunakan benang dari industri dan pewarna sintetis,” kata Yuliantini. Kendati demikian keaslian budaya tenun ikat dan penggunaan bahan alam itu masih terus dilestarikan dengan melakukan pembudidayaan tanaman-tanaman seperti kapas dan tumbuhan pewarna alam. Dari pengamatan lapangan, untuk beberapa tempat seperti di Umin dengan pendampingan PRCF-I, pembudidayaan kapas kini sudah mulai dilakukan penenun kembali. Sedangkan tumbuhan pewarna alam sudah mulai ditanam penenun di sekitar rumahnya. Budaya tenun ikat dayak Sintang sekarang telah dikenal masyarakat luas. Di sebuah meseum Belanda, sudah terdapat kain dan seperangkat alat tenun asal Ensaid Panjang Sintang. Pada November 2005, Bupati Sintang mendapat penghargaan pelestarian dan pengembangan kain nasional dari Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Menurut Bupati Sintang Drs Milton Crosby MSi, penghargaan itu diberikan karena tenun


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

KU hanya bisa terdiam, ketika demonstrasi di depan sana terus memaksamu untuk berteriak-teriak. Aku hanya bisa berdoa semoga moncong senapan digenggaman orang-orang berseragam itu tidak membelai pipimu yang lembut. Kau terlalu cantik untuk menjadi seorang demonstran, manis. Jilbab putihmu akan kotor dan akhirnya kusam ditelan idiolegi-idiologimu yang belum tentu mendapat perhatian dari mereka, orang-orang yang duduk di gedung sana. “Kawan-kawan... kita sebagai perempuan sudah selayaknya untuk tidak terus dibawah ketiaknya para lelaki yang selalu berbau masam itu!” Bagi mereka, kau adalah seorang Kartini, yang dengan gigihnya menuntut hak-hak kalian sebagai perempuan untuk diperlakukan secara adil. Tapi tidak bagiku. Engkau adalah seorang yang sangat aku cintai. Meskipun sampai saat ini aku hanya bisa membiarkan cintaku menggantung dibalik mimpi dan harapan. Yang jelas aku tidak ingin kehilangan dirimu hanya gara-gara sebait ideologi. Teriakan-teriakan dari belakang terus menggentarkan gedung rakyat di depan sana. Mereka terus maju. Tak peduli dengan kawat berduri yang sudah menunggu. Berhasil. Ribuan perempuan entah dari mana yang membanjiri tempat itu berhasil menumbangkan kawat berduri di depan mereka. Masih tetap berteriak dengan mantap, engkau maju sebagai orang terdepan dan sangat percaya diri. Kau lupa, manisku, di balik duri-duri yang telah berhasil kau porak-porandakan berdiri orang-orang yang telah siap menarik pelatuk mereka masing-masing. Apakah ini hari terakhir untuk menikmati betapa manisnya wajahmu yang selalu tertutup jilbab putih itu? Aku tak pernah menantikan jawabannya. Biarlah semuanya mengalir. Aku cuma punya keyakinan, jika Tuhan bisa mempertemukan kita kembali, kenapa Dia tidak bisa mempersatukan kita? Suatu hari, aku pernah mengenalmu. Bukan sebagai seorang anggota di organisasi perempuan, juga bukan sebagai Kartini yang terus menuntut hak-hakmu. Melainkan aku mengenalmu sebagai Erna, seorang wanita dengan jilbab yang melengkapi indahnya dirimu. Kalaupun akhirnya engkau menjadi seorang demonstran, itu hakmu dan aku tak pemah melarangnya. Namun ada Catatan yang perlu engkau ketahui, bahwa aku sangat mencintaimu dan tak ingin kau terluka karena aktivitasmu. Saat itu sore diselimuti dengan awan gelap, ketika engkau gelisah menunggu kedatangan seseorang untuk menjemputmu pulang. “Menunggu siapa, mbak?” akhirnya aku mendekatimu dan melontarkan pertanyaan itu. Engkau tak menjawab, melainkan melampirkan senyuman serta sedikit menggeser posisi dudukmu seakan mempersilahkanku untuk ikut-ikutan masuk dalam keresahanmu. “Kok, ndak dijawab sih mbak?” “Saya mau menjawab pertanyaanmu. Tapi sebelumnya tolong jangan panggil saya dengan sebutan Mbak.” Begitu lembut dan sopan suara itu. “Lalu saya harus memanggil apa?” “Panggil saja saya Erna.” “Baiklah. Sedang menunggu siapa Erna?” Kuulangi pertanyaanku dibarengi dengan turunnya air hujan yang tiba-tiba menderas. Perkenalan yang dingin. Namun aku sangat menikmatinya. Senyummu yang terlampir, selalu hadir ketika hujan datang. Juga dengan bahasamu yang sopan. Sama sekali aku tak pemah mengira bahwa engkau adalah seorang aktivis pada saat itu. Jujur saja, tak peduli siapa dirimu, Aku tertarik padamu dan dengan arogan aku berani untuk mencintaimu. Suasana di halaman gedung milik wakil rakyat semakin memanas. Aparat keamanan semakin merapatkan pagar betisnya siap dengan tameng dan senjata di tangan. Namun kau sama sekali tidak gentar. Dengan kamera yang siap kubidikkan, aku terus mengamatimu. Tapi apa yang harus kujepret, sementara ketakutan-ketakutan terus

A

Cerpen Pay Jarot Sujarwo

Aku, Kau dan Suara Tembakan Itu

Ilustrasi si Is

kepalamu, untuk kemudian kau gantungkan di leher salah seorang dari mereka. “Gila!” teriakan itu reflek keluar dari bibirku bersamaan dengan jari telunjuk yang menekan tombol btitz. Tepat terbidik. Kemudian aku memasrahkan semuanya kepada Tuhan. *** “SEPERTINYA aku mencintaimu, Erna.” Akhirnya aku berani mengutarakan itu setelah perkenalan yang dulu membuat kita semakin akrab. “Ya.” Jawabmu singkat yang lagi-lagi disertai dengan senyuman. “Mencintai dan dicintai adalah hak. Dan ketika engkau mengucapkan itu, tak satupun yang berhak untuk melarangnya.” “Lantas?” “Lantas... silahkan engkau menikmati cintamu. Bukan sesuatu yang sulit kan?” “Sama sekali tidak sulit. Namun ketika hak itu kuutarakan, otomatis aku memerlukan sebuah jawaban.” “Akhirnya akupun berhak untuk menghormati rasa cintamu tanpa harus membalasnya.” Jawaban yang teramat indah, untuk kemudian sedikit mendatangkan penyesalan bagiku telah mengutarakan yang kau sebut ‘hak’ tersebut. Kebekuan tercipta. Tak ada yang terjadi setelah itu selain keempat mata kita yang saling beradu menafsirkan makna dari setiap kata yang telah kita ucapkan. Kebekuan itu tidak terlalu lama terjadi. Senyumanmu yang mencairkannya. “Namun engkau tidak perlu untuk menarik hakmu. Biarkanlah cinta itu mengalir, toh itu adalah hak, seperti yang telah kukatakan tadi. Meskipun akhirnya engkau tidak mendapat balasannya. Setidaknya dengan cinta kau bisa menjalani hidup ini dengan ketulusan.” “Absurd.” “Kupikir tidak ada yang absurd,” segera kau sanggah itu. “Hidup ini sudah sangat jelas dengan berhagai macam realitanya. Sama halnya dengan cinta yang tumbuh dalam nuranimu. Bagiku sangat realistis. Kalaupun itu menjadi absurd, kaulah yang membuatnya menjadi seperti itu. Bukan kehidupan atau cintamu yang absurd.” Siapa dirimu sebenarnya manis. Semula aku

sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat diriku menjadi orang yang bodoh untuk tertalu cepat memaknai dirimu. “Kenapa engkau terdiam? Bukankah sebelumnya engkau adalah orang yang sangat pintar menyusun kelakar, lalu kita sama-sama tertawa sebab kelakarmu.” Aku nyaris memaki diriku sendiri. “Aku cuma tidak menyangka kalau engkau mengucapkan itu. Semula aku berpikir engkau bisa menerima semua ini atau minimal memikirkannya untuk beberapa saat. Temyata hari ini engkau berhasil membuatku untuk tidak mengumandangkan kelakar yang biasa membawa kita sama-sama tertawa.” “Aku bisa memakluminya. Cinta, kata yang begitu sakral untuk diucapkan. Namun ketika engkau terpaksa harus mengucapkannya, kau sendiripun harus bisa mengambil resiko dari kesakralan itu. Nikmati saja cintamu dan tetaplah berdiri sebagai dirimu sendiri. Yang jelas untuk saat ini aku belum bisa membalasnya. Tetaplah sebagai orang yang mencintai.” Akupun harus puas dengan jawabanmu tersebut. Toh itu semua tidak membuat kita menjadi jauh. Engkau tetap Erna, gadis manis dengan senyum dan kata-kata yang santun. Dan aku tetap sebagai aku yang akan selalu berkelakar dengan diiringi barapan-harapan tentang cinta. *** AKU sudah tidak mau lagi melihat keadaan yang semakin menakutkan tersebut. Suara teriakan-teriakan perempuan yang haus dengan keadilan, peringatan dari pihak aparat, ataupun berbagai macam kemungkinan. Semuanya kupasrahkan kepada Tuhan. Untuk seorang Erna, sampai hari ini aku masih konsisten terhadap diriku sendiri sebagai orang yang mencintai. Ikat kepalamu yang akhimya menentukan semua ini. Cinta itu akan selalu ada dan mengabadi dalam setiap denyut nadi ini. Tak perduli siapapun dirimu. Seorang gadis bejilbab dengan senyum yang selalu terlampir, ataupun seorang demonstran yang teguh dengan idealismeidealismemu.


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Kegagalan Bukan Hal yang Terburuk uku setebal 174 halaman ini begitu jelas menggambarkan bagaimana kehidupan manusia di zaman serba modern ini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi segalanya menjadi berjalan serba cepat. Orang tidak lagi menghitung hari akan tetapi sudah sampai jam bahkan menit. Seiring dengan itu manusia berlomba-lomba mengejar cita-citanya masing-masing. Para orang tua bukan hanya sibuk mencari dunia, akan tetapi sibuk pula mengompetisikan anak-anaknya di sekolah-sekolah favorit. Satu yang mereka inginkan menjadi keluarga yang sukses. Semua berlomba mengejar karier dan kedudukan. Berlomba mengejar peluang dan bisnis. Berlomba pula menyekolahkan anak-anaknya agar menjadi anak yang pandai. Entah disadari atau tidak, entah juga tahu atau tidak, atau kadang tahu tapi sering kali diabaikan bahwa kita ini hidup di dunia, meski peradaban secanggih apa pun akan tetapi ini adalah planet yang fana, dengan kata lain tidak sempurna. Segala sesuatunya selalu memiliki cacat, dan bukanlah tempat yang bisa memuaskan kita dengan maksimal. Karena itu banyak di antara manusia terkena penyakit stres, penyakit karena sibuk memikirkan dunia, dan pusing memikirkan kegagalan demi kegagalan yang dialami. Memang tak mudah untuk bisa menerima kenyataan bahwa kita atau anak– anak kita hanya menjadi orang kebanyakan bahkan lebih sederhana lagi. Hidup dengan kerja keras menghabiskan banyak waktu dengan dengan hasil secukupnya saja. Ini sangat berbeda dengan pekerjaan secara terhormat di dalam kantor yang sejuk, dengan sedikit menulis dan bicara–bicara saja penghasilan mereka melambung sekian kali lipat dari orang– orang biasa. Apakah lalu kita telah gagal karena kita telah menjadi orang biasa yang tak dikenal dengan penghasilan paspasan saja? Teori–teori dalam buku yang ditulis oleh Yusuf Abdussalam ini, mengkritisi cara pandang masyarakat kebanyakan yang menilai suatu keberhasilan hanya dari sisi lahiriahnya saja. Padahal belum tentu demikian dalam pandangan Allah. Sesuatu yang demikian hebat dalam pandangan manusia bisa jadi tidak berarti apa-apa di sisi Allah. Juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap sepele dalam pandangan manusia bisa jadi sesuatu yang besar di sisi Allah. Padahal seseorang sebenarnya belum dikatakan gagal bila belum gagal menurut versi Allah. Gagal versi Allah inilah gagal yang sebenar-benarnya, sebab semua yang berasal dari Allah baik itu melalui kitab-Nya maupun perkataan Rasul-Nya adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya, tak lekang oleh zaman dan ruang. Kegagalan yang dikeluhkan banyak orang, di kupas para pakar dan ahli pada dasarnya bukanlah kegagalan, sebab kegagalan itu terjadi untuk kepentingan dunia maka berarti kegagalan itu adalah kegagalan semu, sebab hidup di dunia ini adalah bukan hidup yang sebenarnya. Hidup yang semu dan fana, sedangkan hidup di akhirat adalah hidup yang sesungguhnya dan kekal. Dalil dari masalah ini adalah Q.S Al-mu’minun {23} ayat 112-115 bahwa kegagalan yang sebenarnya ditandai dengan menjauh dari Allah, sibuk dengan duniawi, mengisi hidupnya tidak untuk beribadah, berbuat maksiat, mereka yang kafir, berbuat syirik, zhalim kepada Rasullulah, zhalim kepada orang tua, zhalim kepada orang lain, zhalim kepada diri sendiri. Penulis buku ini melihat realitas di atas bukan tanpa sebab. Salah satu akar permasalahannya adalah saat kegagalan datang, secara naluriah manusia tidak suka dengan keadaan itu, bahkan

B

kepada Allah sepenuhnya. Adapun orang yang sungguh–sungguh bertawakal, mereka meyakini bahwa tugas mereka hanyalah sampai pada batas berusaha sekuat tenaga, sedangkan hasilnya adalah terserah Allah semata. Inilah pentingnya iman dan ilmu dalam menghadapi badai kegagalan. MasyaAllah, memang berat, bahkan kadang seseorang merasa sangat terpukul akibat kedatangan ’si gagal’ ini yang begitu mendadak. Dunia seolah gelap seketika. Nasihat dan kata-kata orang lain seolah tak berarti. Mereka hanya bisa bicara, coba saja mereka yang mengalami, tentu saja mereka akan lebih ’down’ dari pada diriku ini. Yang kubutuhkan adalah tindakan yang nyata, yang ’riil’, bukan nasihatnasihat yang mengambang seperti itu. Demikian kira-kira pikiran seseorang ketika itu. Semuanya begitu gelap, ruwet dan bundet. Tidak tahu harus bagaimana. Coba kita perhatikan, banyak sekali contoh–contoh kasus–kasus bunuh diri dari para pebisnis besar atau orang terkenal. Di antaranya adalah Dale Carnegie, seorang tokoh konsultan yang begitu terkenal seantero jagat sebagai seorang guru besar kepribadian. Kalau kita pernah membaca buku-bukunya, tentu kita akan takjub karena begitu bagusnya pelajaran tentang kepribadian. Tapi apa yang terjadi di akhir hayatnya? Ia mati karena bunuh diri! Di saat gagal hampir kebanyakan orang merasa bahwa dirinyalah yang paling sial. Tidak ada orang yang lebih gagal dari dirinya. Ketahuilah, pendapat seperti itu hampir semuanya salah. Selalu saja ada orang yang penderitaannya lebih berat, yang kegagalan lebih parah daripada kita, akan tetapi kita saja yang menutup. Penyebab lainnya adalah malu, inilah tabiat manusia yang sebenarnya baik, akan tetapi sering orang justru lebih malu kepada manusia dari pada kepada Allah. Dan malu atas kegagalan yang terjadi pada dirinya sebenarnya adalah sesuatu yang tidak perlu terjadi. Mengapa kita harus malu bila gagal? Malu karena takut dianggap tidak mampu, atau takut dianggap bodoh, dianggap tidak cakap dan sebagainya. Ini adalah malu yang tidak perlu bahkan harus dibuang jauh–jauh, sebab malu seperti ini adalah malunya orang yang haus mendapat pujian dari orang lain. Kalau sudah demikian, penyakit riya’ bisa menjangkitinya secara kronis. Pada hal riya ’termasuk perbuatan syirik, meski ia adalah syirik kecil. Perbuatan ini bisa merusak amal, dan dikecam oleh Allah seperti termaktub dalam Q.S Al–Ma’uun. Kini, menurut Yusuf, untuk bisa bangkit dan mengobati kegagalan hendaknya kita selalu berserah diri kepada Allah, karena Allah lebih tahu apa yang menimpa kita. Kalau sekadar sehelai daun jatuh pun Allah tahu, apalagi urusan kegagalan yang menimpa kita, tentu Allah sangat tahu, dan tidaklah lepas dari pengawasanNya juga dari kehendak-Nya. Allah tahu berbagai kebaikan dan kejelekan di balik semua urusan kita. Tidak seperti kita yang hanya tahu sebagian kecil saja. Sedangkan Allah mengetahui dengan sebenar-benarnya. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi setitik pun bagi-Nya. Dengan mengerti tentang hal ini maka ini bisa cukup menghibur diri kita saat kegagalan menyelimuti kita. Allah sangat tahu tentang apa yang terjadi pada diri kita. Lalu setelah itu apa yang bisa kita lakukan? Tentu mengembalikan segala urusan kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya, agar mengganti dengan sesuatu yang lebih baik. Ketika kegagalan terjadi ada beberapa sikap yang biasa terjadi pada seseorang. Ada yang menyalahkan diri sendiri. Ada yang menyalahkan orang lain. Namun ada pula yang menyalahkan keadaan. Menyalahkan keadaan pada dasarnya adalah

Judul Penulis Penerbit Peresensi Cetakan Tebal

: Berani Gagal Islami : Yusuf Abdussalam : Media Insani Yogyakarta : Tantra Nur Andi : Kedua, Juli 2005 : v+174 halaman

Ada baiknya kita contoh kisah Nabi Yunus as yang masuk ke dalam perut ikan laut. Yunus as adalah seorang nabi, karena itu ia tahu betul bahwa semua itu terjadi atas izin dan kehendak Allah. Namun demikian apa yang ia lakukan? Apakah ia menyalahkan Allah SWT? Tidak sama sekali bahkan ia memuji Allah SWT dengan doanya yang sangat populer (dalam surat Al-Anbiyaa’ {21}: 87) dengan mengatakan “Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orangorang yang Zhalim.” Yunus paham bahwa dirinyalah yang bersalah atas semua yang terjadi ini, sedangkan Allah tetaplah Yang Maha Suci, karena itu ia memuji

Allah dan bertobat atas kezhalimannya. Inilah perbuatan seorang yang mengenal baik Tuhannya. Selain tidak menyalahkan Allah, dengan pandai bersyukur kepada Allah akan mudah mengatasi kegagalan yang kita alami. Saat menengok dan mengingat berbagai nikmat Allah itu maka kegagalan yang kita alami akan menjadi jauh lebih enteng dari apa yang kita rasakan sebelumnya. Obat bagi mereka yang mengalami kegagalan sebenarnya ada di dalam Al-Qur’an. Mulai dari banyak– banyak mengingat Allah, bertobat, memohon pertolongan Allah, Istiqomah, tekun dalam beribadah serta berikhtiar secara maksimal. []

Sambungan-sambungan

Menenun ... naan bahan dari alam, motif yang didapat dari mimpi, dan penggunaan alat tradisional. Cuma anehnya, Milton mengakui baru tahu tenun ikat dayak dikenal luas saat ia menerima penghargaan itu. “Saya kaget ternyata perhatian masyarakat luas begitu besar dengan tenun ikat Dayak,” katanya saat dialog dengan penenun di pendopo Rumah Bupati Sintang beberapa waktu lalu. Kekagetan itu mungkin menjadi wajar. Pasalnya, pelestarian tenun ikat dayak tumbuh dari inisitif penenun yang bergabung di Koperasi JMM yang terus di dampingi PRCF-I dan Kobus Center Sintang dengan berbagai pelatihan dan promosi ke berbagai pelosok tanah air, termasuk di dunia internasional. Sampai saat ini Belenjan beserta pengrajin tenun ikat lainnya masih melestarikan budaya leluhur, sekaligus meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Sebuah usaha menenun masa depan di tengah himpitan jaman yang semakin pelik ini.[].

Aloe vera ... gliberin dapat bekerja sevara sinergis (Davis dan Maro,1989). Khasiat aloe vera sebagai anti peradangan dan anti diabetes telah dibuktikan dengan cara menyuntikkan streptozotocin pada dua kelompok tikus. Streptozotocin merupakan obat yang dapat menyebabkan diabetes. Setelah streptozotocin pada dosis tertentu (sesuai dengan kesetimbangan darah merah) disuntikkan pada dua kelompok tikus yang pada awalnya sehat, ternyata kelompok tikus tersebut terkena penyakit diabetes dengan tanda-tanda luka pada tubuhnya. Untuk menguji khasiat gel aloe vera, pada salah satu kelompok tersebut disuntik dengan salah satu dari gel aloe vera. Setelah beberapa hari dianalisis, ternyata kelompok tikus tersebut menjadi sembuh. Pada kelompok tikus yang satunya ketika disuntik dengan streptozocin lagi ternyata mengalami kematian setelah 3 jam kemudian (Davis dan Maro, 1989). Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa aloe vera mengandung senyawa yang mempunyai fungsi sebagai penghambat peradangan tetapi dapat mempercepat penyembuhan luka dan menghambat diabetes seperti halnya diberelin. Senyawa ini dikenal sebagai enzim carboxypepetidase yang mempunyai efek pada anti peradangan (Waller, G.R, 1978). Ada pun kesimpulan dari karya tulis yaitu gel lidah buaya tersusun atas tiga komponen utama yaitu nutrisi, asam amino, dan mineral. Secara kimia, komposisi gel lidah buaya terdiri atas mineral, vitamin, monosakarida, polisakarida, dan enzim. Unsur metabolit sekunder pada gel lidah buaya yang sangat berperan dalam bidang kesehatan terutama adalah dari golongan antrakuinon dan turunan antrakoinon yaitu aloin. Senyawa golongan antrakuinon dipercaya mempunyai khasiat anti radang. Dan Aloevera mengandung senyawa senyawa sejenis gliberin yang diduga mempunyai khasiat sebagai penghambat peradangan yang berfungsi sebagai anti diabetes.[].

Seluruh penulis adalah Mahasiswa FMIPA Universitas Tanjungpura. Tulisan di atas pernah diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Kimia (LOKTIK) Tingkat Nasional Tahun 2003 di Fakultas MIPA UGM Yogyakarta dengan judul Kajian Kimia Pemanfaatan Lidah Buaya Dalam Bidang Kesehatan . Tim yang diketuai oleh


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

ANUSI membuka kotak koloni lebah madu itu. Sambil mengibas-ngibaskan potongan karung goni yang berasap, tanpa rasa takut ia mengangkat sarang lebah. Begitu keluar dari kotak, sebagian lebah-lebah pun beterbangan. “Jangan ditepis,” serunya ketika lebah-lebah itu mengarah ke wajah kami yang akan mengambil gambar. Sarang itu tampak hitam dipenuhi lebah. Pada beberapa tempat yang tak dihinggapi lebah terlihat madu yang berwarna kecoklatan. Hanya dibagian atas sarang saja yang terlihat putih dengan lubang-lubang kosong. “Kalau sarangnya sudah membungkus madunya, itu berarti boleh dipanen,” jelas Sanusi seraya menunjuk sarang yang diangkatnya itu. Kemudian Sanusi mematahkan sedikit sarang berisikan madu, lalu ia berikan kepada kami. “Ayo dimakan,” serunya. Dan kami pun merasakan madu itu. Bagaimana rasanya ? “Ehm..., manis seperti paras Dian Sastro,” kata Heri bercanda. Kami pun tergela. *** SANUSI adalah seorang peternak lebah madu “Istana Lebah”, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak. Ia membudidayakan lebah di halaman rumah dan di ke-bunnya. Kotak-kotak berukuran kurang lebih 60 cm x 40 cm berisi koloni-koloni lebah dari jenis lokal (Avis cerana) ia letakkan di 4 titik rumahnya yang berada di Jalan Manunggal XIII No 1 RT 01 RW 02 Sungai Kunyit. “Sebagian saya taruh kotak di kebun,” ungkap Sanusi yang saat ini memiliki 25 kotak koloni lebah, di mana dalam satu koloni berisikan sekitar 10.000-20.000 lebah. Pria yang juga guru di sebuah Sekolah Dasar Negeri Sungai Kunyit ini menggeluti budidaya lebah madu sejak tahun 1983. Kemampuannya membudidayakan lebah datang dari orangtuanya. Orang-tuanya sendiri adalah perintis usaha perlebahan madu di daerahnya. Menurut Departemen Kehutanan (2001), di Indonesia usaha perlebahan madu meliputi tiga jenis lebah, yaitu budidaya lebah jenis lokal (Apis cerana), jenis lebah Eropa (Apis mellifera), dan pemungutan madu lebah hutan (Apis dorsata).

S

Di Kalbar, yang lebih banyak adalah pemungutan madu lebah hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan, seperti masyarakat di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu. Sementara budidaya lebah madu seperti yang dilakukan Sanusi tidak terlampau banyak. Menurut Sanusi lebah yang dapat dibudidayakan di Kalbar hanya jenis Apis cerana. Sedangkan lebah jenis lebah Eropa sulit dibudidayakan di Kalbar. “Saya pernah mencoba membawa dan mengem-bangkan beberapa koloni lebah madu itu dari Jawa, namun hasilnya gagal. Le-bahnya tidak mampu menyesuaikan de-ngan kondisi di sini,” kata Sanusi. Dalam pengembangan lebah madu, Sanusi mengakui terdapat beberapa kendala. Misalnya saja ketika tanaman bunga atau pohon yang menjadi pakan lebah mulai berkurang. “Madu ada, jika ada bunga, “ kata Sanusi. Dahulu sekitar tahun 1980-an sampai 1990-an, banyak sekali pohon rambai di sekitar rumahnya. Waktu itu boleh dibilang masa jaya-jayanya mendapatkan madu. “Sayangnya rambai saat itu tidak laku dijual dan kurang menghasilkan, sehingga orangtua saya menebangi pohon-pohon itu. Sejak saat itulah madu tak banyak lagi,” kata Sanusi. Kini, di sekitar rumahnya hanya terdapat buah kelapa. Madu yang dihasilkan tak lagi banyak. Selain itu, ada satu hal yang memang persoalan remeh, tapi sangat berpengaruh dalam pengembangan lebah madu, khususnya bagi pemula. “Banyak di antara pemula yang saya

bina kemudian berhenti karena tidak tahan dengan sengatan lebah. Bagi orang yang sudah lama sih tidak masalah, karena sudah terbiasa, tetapi bagi mereka yang baru, itu sangat berat,” papar Sanusi. Soal pemasaran, Sanusi tidak menemui kendala karena banyak sekali permintaan madu. Bahkan ia sering kehabisan stok. Banyak pembeli yang datang kepadanya untuk mencari madu asli. “Kalau jual madu gampang, mereka datang sendiri cari madu asli. Dalam sebulan bisa 10 orang cari madu ke sini, cuma kadang stok madunya ndak ada,” ujar Sanusi. Satu botol volume 650 ml ia jual Rp 100.000 per botol, sedangkan untuk 150 ml madu harganya Rp 30.000 per botol. Jika dibandingkan dengan harga di pa-saran, harga jual madu Sanusi ini tergolong mahal. Di pasaran, seperti yang dijual di pasar Swalayan dan mal Ma-tahari, serta di kios-kios di sekitar PSP, harga madu untuk volume 650 ml paling tinggi Rp 55.400 per botol. Dalam sebulan paling sedikit Sanusi menjual 2 botol madu atau memperoleh Rp 200.000. Pada bulan Desember-Januari, saat banyak bunga bermekaran, pendapatan madu bisa mencapai sejuta lebih. Selain membudidayakan Lebah Madu, Sanusi juga sering menjadi pelatih dan fasilitator. Dari berbagai daerah di Kalbar pernah datang ke tempatnya untuk berlatih membudidayakan madu. “Mereka ingin mengembangkan budidaya lebah. Pernah datang ke sini dari Kabupaten Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang, Ketapang, Pontianak dan

“Usaha madu itu bisnis yang menjanjikan, apalagi saat bunga-bunga bermekaran” Sanusi Sambas, mereka belajar bagaimana membudidayakan lebah madu,” kata Sanusi yang pernah magang di Pusat Perlebahan Nasional, Parung Panjang, Bogor tahun 1996 dan di Istana Lebah Kab Batang, Semarang tahun 2001. Setiap pelatihan pembudidayaan madu, yang menjadi fassilitator hanya Sanusi sendiri. Sedangkan peserta yang datang merupakan masyarakat dari berbagai kabupaten di kalbar yang diba-wa oleh Unit Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), atau Unit Taman Nasional. “Kalau pulang mereka (peserta-red) biasanya membawa 15-60 koloni lebah untuk dibudidayakan,” ungkap Sanusi. Tapi, kendati peserta pelatihan tersebut telah membawa koloni lebah madu, sampai sekarang tidak terdengar kabar bagaimana pembudidayaan madu di daerah-daerah. Selain sebagai tempat pelatihan, di lokasi pembudidayaan lebah madu Sanusi juga sering menjadi tempat penelitian mahasiswa. “Mahasiswa yang sering meneliti di sini dari Fakultas Kehutanan Untan,” ungkap Sanusi. *** UPAYA-upaya yang dilakukan oleh Sanusi ini bisa menjadi pilot projek pengembangan hasil hutan bukan kayu. Madu, di samping sumber hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, tumbuhan obat, getah, dan lainnya, bisa menjadi alternatif sumber pendapatan ekonomi masyarakat. Menurut data Departemen Kehutanan pada tahun 2001, kebutuhan madu di Indonesia diperkirakan lebih dari 2.200 ton pertahun, yaitu untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri, misalnya, jamu, industri farmasi, kosmetik, dan makanan dan minuman. Di negara-negara maju, seperti Jepang, tingkat konsumsi rata-rata 700 gram/ orang/tahun; di negara-negara Eropa, tingkat konsumsinya rata-rata 1.000 gram/per orang/ pertahun. Kondisi ini membuka peluang masyarakat dalam pengusahaan madu, baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor. Sebelum pamitan pulang Sanusi sempat memberikan sebuah pesan,


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.