metroriau 29/05/2012

Page 4

4

opini

METRO RIAU SELASA, 29 MEI 2012

Nasib Sekolah Bertaraf Internasional PROGRAM Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) saat sedang menjadi sorotan masyarakat pendidikan di tanah air. Program yang bertujuan untuk membangun percontohan sekolah unggulan tersebut, kini sedang menunggu nasib ketok palu Mahkamah Konstitusi (MK), usai sidang uji materi Pasal 50 Ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemohon mempersoalkan Pasal 50 Ayat 3”, “Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Uji materi itu diajukan oleh sekelompok aktivis pendidikan yang merasa konsep RSBI dan SBI tidak adil bagi pelajar di tanah air. Mereka menilai RSBI/ SBI bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memunculkan dualisme sistem pendidikan, serta berpotensi menghilangkan jati diri bangsa. MK diminta membatalkan pasal itu, atau membubarkan RSBI/ SBI yang dibentuk pada tahun ajaran 2006/ 2007. Apa yang dirasakan oleh orang tua murid itu sejalan dengan saksi ahli mantan menteri P dan K Daoed Joesoef, yang meminta pemerintah meniadakan RSBI, karena melanggar konstitusi. Namun Dirjen Pendidikan Dasar menegaskan, RSBI untuk mengembangkan sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Suyanto, hanya ada 1.300 RSBI di Indonesia, sehingga tidak relevan mempersoalkan mengenai keadilan. Tapi mari kita tengok realitas pendidikan di tanah airsecara keseluruhan. Sekolah umum cenderung minim fasilitas, kualitas guru kurang memadai, atau bahkan seadanya. Sementara RSBI berfasilitas lengkap dengan guru-guru berkualitas. Rasanya tidak adil, RSBI dengan gedung mewah dan sarana lengkap namun masih disumbang oleh pemerintah dan orang tua. Sejumlah pihak mengkritisi RSBI hanya fokus pada pengembangan intelektualitas. Dari temuan lapangan, 50 persen dana RSBI untuk sarana dan prasarana, sementara untuk pengembangan dan kesejahteraan guru hanya 20 persen, dan 10 persen untuk manajemen sekolah. Saat sebagian besar sekolah masih di bawah standar pelayanan minimal, pemerintah mestinya mendorong peningkatan mutu ke standar nasional dan memperluas sekolah sekelas RSBI, sehingga bisa diakses oleh siswa dari segala lapisan ekonomi. Maka kita berharap putusan MK nanti cukup bijaksana, mengembalikan ruh pendidikan sebagaimana amanat konstitusi. Pendidikan berkualitas adalah hak warga negara, bukan untuk kelompok tertentu. Anak-anak pun akan berkembang lebih baik jika berinteraksi dengan siswa dan guru yang berbeda-beda. Sebab bila anak-anak terkotak-kotak berdasarkan kecerdasan atau taraf ekonomi melalui sistem pendidikan, bukankah justru akan merusak generasi muda sebagai pilar kemajuan masa depan bangsa? Kita ingin semua pelajar di negeri ini mendapatkan pendidikan yang merata, tanpa terkecuali. Semoga demikian. *

Mempercepat Pengusahaan Panas Bumi DARI 28 gigawatt potensi panas bumi di Indonesia atau 40 persen dari total dunia, hanya kurang dari sepersepuluh yang telah dimanfaatkan. Masalahnya bukan semata karena menyangkut teknis, namun - tanpa bermaksud menyalahkan pemangku kebijakan rasa-rasanya memang diperlukan fokus dan terobosan untuk menyelesaikan kendala-kendala yang menghadang pengusahaan panas bumi. Masalah yang sudah cukup lama menggantung adalah lahan. Secara sekilas, ruang yang dibutuhkan untuk membangun berbagai fasilitas dan sarana produksi memang tidak banyak. Namun, pada dasarnya pengusahaan panas bumi memerlukan lahan yang cukup luas, antara lain sebagai lahan penyangga. Salah satu faktornya, dibutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar. Karena itu, harus diperhitungkan kelestarian lingkungan sekitar agar pasokan air terjamin. Apalagi, panas bumi telah dipandang sebagai sumber energi yang ramah lingkungan. Ada dua isu terkait besarnya lahan ini. Pertama, tumpang tindih lahan. Panas bumi dianggap sebagai aktivitas pertambangan, namun kegiatan pertambangan tidak boleh berada di daerah lindung (konservasi). UU No 41/1999 tentang Kehutanan, pasal 38 ayat 4 menyebutkan, “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan

DARI Wikiingkat pertama pedia bahasa ssejak 1995 Indonesia, hingga 2009, ensiklopedia ttidak termasuk bebas. Keka2008 ketika ia 2 yaan Intelektual tturun ke peratau Hak Kekaingkat tiga. yaan Intelektual Selama kar(HKI) atau Hak irnya di MicroMilik Intelektual ssoft, Gates peradalah padanan nah menjabat kata yang biasa ssebagai CEO digunakan dan kepala d untuk Intellecarsitek peranga tual Property kat lunak, dan Ir. RONI ARDIANSYAH MT IPU Rights (IPR) masih menPengamat Perkotaan/Dosen atau Geistigjjadi pemegang es Eigentum, ssaham perMagister Teknik Sipil UIR dalam bahasa orangan terbeo Jermannya. Istissar dengan leblah atau terminologi Hak Kekaih dari 8 persen saham umum yaan Intelektual (HKI) diguperusahaan. Ia juga telah nakan untuk pertama kalinya menulis beberapa buku. pada tahun 1790. Adalah FichSementara itu, bandingte yang pada tahun 1793 menkan dengan kisah berikut ini gatakan tentang hak milik dari (contoh kasus, “kekayaan si pencipta ada pada bukunya. intelektual” dalam rangka Yang dimaksud dengan hak pembekalan dosen kopertis milik disini bukan buku sebaX di Universitas Islam Riau gai benda, tetapi buku dalam baru-baru ini). di Indonesia, pengertian isinya. Istilah HKI masih ada masyarakat yang terdiri dari tiga kata kunci, yaitu mencari makan, pergi subuh Hak, Kekayaan, dan Inteleksebelum matahari terbit dan tual. Kekayaan merupakan pagi pulang magrib setelah abstraksi yang dapat dimiliki, matahari tenggelam. Setdialihkan, dibeli, maupun dijual. iap hari hampir tidak pernah Gina Rinehart misalnya, ketemu sinar matahari, hanya yang baru-baru ini dinobatberpenghasilan Rp10 ribu per kan sebagai wanita terkaya hari. Bagaimana bila dibanddi dunia dengan penghasiingkan dengan Bill Gagtes? lan Rp5,4 juta per detik. Apakah Bill Gates mempuAtau Kekayaan intelaktual nyai 1.000 kaki dan seribu yang dimiliki Bill Gates. Wiltangan? Tentu tidak! Yang liam Henry “Bill” Gates III dia miliki adalah kekayaan (lahir di Seattle, Washington, intelektual, bukan?. 28 Oktober 1955; umur 56 Harga sebuah CD tahun) adalah seorang tokoh kosong paling-paling bisnis,investor, filantropis, Rp5000 perbuah, tetapi penulis asal Amerika Serbila telah diisi program bisa ikat, serta mantan CEO yang menjadi Rp3 juta. Apaksaat ini menjabat sebagai ah bedanya kedua CD ini? ketua Microsoft, perusahaan Bentuknya sama, ditimbang perangkat lunak yang ia dirijuga sama beratnya, bukan?. kan bersama Paul Allen. Ia Sekali lagi, yang membedamenduduki peringkat tetap di kan adalah kekayaan intelekantara orang-orang terkaya tual yang berada dalam CD di dunia dan menempati peryang berisikan program.***

dengan pola pertambangan terbuka.” Sedangkan UU No 27/2003 menyatakan bahwa kegiatan panas bumi merupakan kegiatan pertambangan. Kedua peraturan ini tidak sinkron. Padahal, sekitar 70 persen atau 45 wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi bersinggungan dengan wilayah konservasi. Oleh sebab itu, diperlukan terobosan kebijakan dan koordinasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan untuk menuntaskannya. Kabar baiknya, Kardaya Warnika, Dirjen Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementerian ESDM, Desember tahun lalu menyatakan, pihaknya tengah menyusun kebijakan yang akan mengatur bahwa kegiatan panas bumi tidak termasuk dalam kegiatan pertambangan pada umumnya. Sebelumnya, Kementrian Kehutanan pun telah mengeluarkan PP No 28/2011, sebagai revisi PP No 68/1998, yang memasukkan aspek pemanfaatan energi di kawasan konservasi (suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam). Masalah kedua terkait dengan pihak pemda. Masih sering ditemui aturan-aturan daerah tidak selaras dengan pusat. Dengan demikian, aturan-aturan turunan pun harus diperhatikan. Selain itu, tidak jarang

Dr Brian Yuliarto wilayah panas bumi terletak di dua kabupaten hingga terdapat potensi konflik pembagian PAD atas pengusahaan panas bumi. Sejauh ini, memang belum ada aturan yang jelas mengenai pembagian keuntungan ini. Namun, jika mengacu pada skema yang berlaku pada kegiatan Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan), apabila ditemukan kondisi serupa, biasanya diserahkan kepada pihak provinsi untuk mengaturnya. Selain masalah lahan, berikutnya adalah mengenai jaminan pengusahaan panas bumi. Banyak lelang WKP panas bumi hanya didasarkan pada data survei eksplorasi. Yaitu, hanya berupa data awal yang umumnya diperoleh dari daerah yang paling potensial atau di sekitar manifestasi panas permukaan (surface manifestation). Ini dilakukan untuk mencari gambaran tentang luas wilayah potensial, kedalaman reservoir, karakteristik fluida, potensi cadangan, dan target lokasi pemboran eksplorasi. Namun, ini bukan data matang yang bisa langsung dipakai untuk pengembangan dan kemudian menghasilkan listrik. Perusahaan yang mendapatkan lelang masih harus melakukan pemboran eksplorasi untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya. Eksplorasi merupakan aktivitas kunci karena dari

situ bisa diketahui secara pasti berapa banyak energi yang bisa dimanfaatkan. Menurut Nenny Saptaji (2009), sumur eksplorasi umumnya lebih mahal dibandingkan sumur pengembangan karena memerlukan data yang paling lengkap dengan ketelitian tinggi, pemboran dilakukan sedalam mungkin, aktivitas pengukuran dilakukan lebih sering, dan besarnya potensi terjepitnya rangkaian pemboran atau runtuhnya formasi. Sementara, menurut pengamat kelistrikan Her-man Darnel Ibrahim, seperti dikutip dari Investor Daily, 9 Juli 2008, biaya eksplorasi panas bumi mencapai 20-25 persen dari total biaya investasi awal (initial cost). Rule of thumb yang berlaku adalah dari sepuluh sumur uji (well test), hanya satu yang bisa dikembangkan selanjutnya. Atau, dengan kata lain, kegiatan eksplorasi membutuhkan biaya yang besar dan berisiko tinggi. Masalahnya, ketidakpastian ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak perusahaan. Tak pelak, kondisi ini membuat pihak industri harus ekstra hati-hati jika ingin menanamkan modalnya, dan pada gilirannya menghambat pertumbuhan pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Terdapat tiga opsi untuk mengatasi persoalan ini sebagai terobosan dalam pengusahaan

panas bumi. Opsi pertama, kegiatan eksplorasi dilakukan oleh pemerintah. Di sini, hak milik atas data eksplorasi dimiliki pemerintah. Pihak pemerintah menunjuk perusahaan pemboran eksplorasi, kemudian bisa menjual (misalnya melalui lelang) data tersebut kepada perusahaan yang ingin mengembangkannya lebih lanjut. Opsi berikutnya, eksplorasi tetap dilakukan oleh pihak swasta, namun pemerintah memberikan jaminan atau semacam asuransi jika ada kegagalan. Opsi ketiga adalah insentif fiskal pada saat eksplorasi. Seperti yang terjadi pada era 1970-an periode Orde Baru, perusahaan-perusahaan minyak bumi saat itu mendapatkan berbagai insentif, seperti keringanan pajak usaha dan penghapusan bea masuk komponen. Ketiga opsi ini merupakan bentuk pengalihan risiko eksplorasi dari pihak swasta kepada pemerintah. Di sini memang masih perlu dipikirkan berapa persen yang ditanggung oleh pemerintah, dan hal lainnya seperti bagaimana pembagian atas hak kepemilikan eksplorasi. Namun, jika skema jaminan ini diterapkan, pengembangan panas bumi tidak perlu dihambat oleh keengganan swasta untuk menanggung risiko. *** Tulisan ini disadur dari suara karya online

Penulis adalah dosen Teknik Fisika ITB, aktif di Indonesia Energy Institute (Indeni).

MA dan King No Wrongs!

Dialektika Apakah Kekayaan Intelektual Itu?

Oleh

CERITA pilu dan memalukan di jagad yuridis dan para pejuang keadilan sudah demikian akrab di telinga. Perbuatan memalukan itu pun dapat dilihat, dirasakan dan sepertinya terus saja dihalalkan. Tiada hari tanpa praktik pelukaan atau pelecehan sistemis dan masif terhadap jagad hukum. Nyaris tiada institusi yuridis yang tidak berstigma buruk. Salah satunya adalah Mahkamah Agung (MA). “Pengadil puncak” ini masih tercatat sebagai institusi yang masih bercitra buruk dalam penegakan hukum, dan lebih sering terpublikasikan sebagai bagian dari lingkaran mafia peradilan. Ini menjadi tantangan sekaligus “PR” bagi Ketua MA sekarang (Hatta Ali). Lingkaran mafia peradilan itu setidaknya dimulai dari pengadilan terbawah (Pengadilan Negeri), Pengadilan Tinggi (PT), hingga MA. Di sini, penyakit bersumber dari gaya atau paradigma, Nicollo Machiavelli het doel heiling de middelen. Artinya, cara apa pun “halal” dilakukan asalkan tujuan (keinginan) bisa tercapai. Itulah penyakit yang menguasai dan mencabik-cabik institusi peradilan. Nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu didengarkan dan dijadikan pijakan, jika kepentingan kekuasaan menuntut disukseskan. Praktik-praktik dusta, pengkhianatan, atau pembusu-

Oleh kan nilai-nilai (values decay) bisa dikedepankan demi kemapanan dan keberlanjutan kepentingan kekuasaan. Kepentingan kekuasaan yang “diberhalakan” atau diajarkan Machiavelli itu dikembangkan oleh muridmuridnya, antara lain komunitas elite yudisial kita, dalam bentuk kepentingan memburu dan mendapatkan uang dengan cara gampang, menyelamatkan posisi, menaikkan posisi tawar-menawar, atau memperlicin jalannya politik peradilan “dagang sapi”. Machiavelli seolah sudah menjadi “ikon” di kalangan oknum-oknum di rimba mafia hukum kita, sehingga sikap dan gaya berelasi kekuasaan yudisial yang dibangunnya lebih dominan mempertimbangkan untung rugi, bukan kondisi riil masyarakat atau pencari keadilan yang membutuhkan etos kinerja dan kejuangannya. Sudah berkali-kali wajah hukum kita tercoreng citranya akibat terjerumus dalam kapitalisasi atau komoditasi dagang sapi gaya para machevialisme atau memenangkan prinsip simbiosis mutualisme (menguntungkan dan diuntungkan). Opsi pragmatisme dan kapitalisme malapraktik profesi dijadikannya sebagai pilihan utama yang mengalahkan berlakunya kode etik.

Mariyadi Faqih Jagad sang pengadil mulai dari hakim PN, PT hingga MA menjadi pembenaran kuatnya madzhab machiavelistik meruntuhkan ideologi keadilan, mencabik-cabik kebenaran, mengeliminasi egalitarianisme (aquality before the law), dan menghancurkan keadaban yuridis. Hukum menjadi bertaji dan seolah-olah sarat bingkai moral-etis ketika ditembakkan pada wong cilik yang sedang bermasalah hukum, sementara saat dipertemukan dengan kekuatan elitis, mulai dari bandit politik hingga ekonomi (korporasi), tangantangan perkasa hakim tiba-tiba kehilangan keberdayaannya (empowerless). Masyarakat atau pencari keadilan sudah mulai terbiasa mendengar dan membaca sepak terjang elite yudisial yang baru menduduki jabatan strategis di negeri ini, dan gampang mengucapkan atau melantunkan lagu-lagu manis. Misalnya, perr kayaan ‘akan saya sikat mafia peradilan’, atau ‘akan saya habisi makelar kasus’, ‘akan saya tegakkan keadilan untuk siapa pun yang melanggar tanpa kecuali’, dan sebagainya. Itu menjadi skema politik pencintraan strukturisasi dirinya di ranah institusi hukum yang seolah benar-benar hendak terwujud dalam waktu secepat-cepatnya. Namun, faktanya ucapan dan

janji seperti itu tak pernah terr bukti. Komunitas elite yudisial kita itu mengidap penyakit kekuasaan yudisialnya daripada perannya. Mereka lebih bahagia dan senang bisa menikmati hak-hak privilitas dan eksklusivitas yang diperoleh selama menjadi elitisme yudisial daripada meninggikan militansi atau keberaniannya demi memperjuangkan hak-hak kesamaan derajat dan keadilan wong cilik yang sedang menghadapi kasus. (Himawan, 2011) Hakim-hakim itu, yang nota bene dalam wilayah kerja MA, memang belum berkeinginan kuat untuk menceraikan dirinya dari pesona hedonisasi malapraktik yang dijalaninya. Terbukti, misalnya, Badan Pengawasan MA telah menjatuhkan hukuman disiplin kepada 107 hakim selama 2010. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2009 (78 hakim). Survei barometer korupsi global, Tranparency International Indonesia juga masih menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga terkorup nomor tiga. Kasus tersebut menunjukkan, sebagian hakim telah terjerumus menjadi pelaku kejahatan istimewa (exstra ordinary crime) akibat menjadikan hukum dan keadilan sebagai “mesin” apologis untuk mem-

perlancar dan menyukseskan kepentingan pribadinya. Para pencari keadilan dibuatnya sebagai penonton dan pejuang yang bodoh, sementara dirinya berdiri jumawa sebagaimana layaknya ‘raja-raja kecil’ yang berprinsip, king no wrongs. Itu menunjukkan, bahwa faktanya, jagad hukum di negara ini memang masih mengidap kondisi kritis, yang tidak lepas dari pengaruh kinerja aparat peradilan, di antaranya hakim, yang terperangkap dalam praktik penyalahgunaan peran, kewenangan, atau tugas-tugas fundamentalnya. Akibat kondisi kritis yang menjangkiti ranah hukum itu, seperti diungkap Gumawan Haz (2010), rasanya berat sekali untuk menyebut kalau negara ini masih sebagai negara hukum. Dalam tataran norma (das sollen) dan bunyi konstitusi, memang negara ini tegas-tegas mengklasifikasikan dirinya jadi negara hukum, namun dalam sisi realitas (das sein), lebih tampak sebagai konstruksi negara dengan sekumpulan manusia (hakim-hakim) yang gemar melakukan perlawanan norma atau pembangkangan hukum (legal discobidience), serta membuat hukum gagal menjakankan tugas sucinya dalam keadilan egaliter. *** Tulisan ini disadur melalui suara karya online

Penulis adalah kandidat doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw.

Jangan Asal ‘Tempel’ Jalan Rusak Pilgub Akan diPilih DPRD - Wah, jadi penonton lagi kite ne.. Demi Fly Over, Tugu Selais bakal Digusur - Digusur kemana tu Pak Cik.. PDIP Diserbu 7 Kandidat Balon Gubri - Siapa nyusul lagi tu Cik..

BEBERAPA ruas jalan di Kota Pekanbaru mengalami rusak. Seperti, Jalan Paus, Jalan Arifin Achmad, maupun Jalan Soekarno-Hatta. Apalagi, jalan ini termasuk akses utama untuk

memajukan Kota Pekanbaru. Untuk perbaikan infrastruktur jalan tersebut, hendaknya harus segera dilakukan, karena merupakan akses jalan yang sangat diperlukan dalam memaju-

kan Kota Pekanbaru. Kita harapkan kepada Pemerintah Kota Pekanbaru, melalui instansi terkait, agar perbaikan jalan tersebut, jangan hanya asalasalan, alias asal tempel saja.

Dalam melakukan perbaikan, hendaknya memperhatikan kekuaa tan dari aspal yang dibuat. Jangan asal tempel saja terhadap jalan yang berlubang maupun bergelombang. Kita harapkan pemerintah

harus secepatnya memperbaiki jalan tersebut, sebelum korban jatuh di jalan yang berlubang maupun bergelombang tersebut. Wandani Warga Kota Pekanbaru


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.