12082012-metroriau

Page 4

4

METRO RIAU MINGGU, 12 Agustus 2012

Humaniora

Mbah Sarno, Tukang Sol Sepatu Keliling

Sisir Sis ir Jalan Jala Jalan Perumah Peruma maha haan Dem Demi mi Menya Menyam Menyamb yyamb bung Hidup Hidup CUACA C saat itu sangat sangat panas. Mbah Sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan perumahan demi menyambung hidup. Mbah Sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain mungkin berfikir “Mau nonton apa saya malam ini?”, Mbah Sarno cuma bisa berfikir “saya bisa makan atau nggak malam ini?” Di tengah cuaca panas seperti itupun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi Mbah Sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain. Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, diapun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburuburu. Ketika Mbah Sarno menampal sepatunya yang bolong, ia terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat pun ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya. “Wah cepat sekali. Berapa pak?” “5000 rupiah mas” Sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah Sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini. “Wah mas gak ada uang pas

ya?” “Nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak” “Maaf Mas, saya nggak punya uang kembalian” “Waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan” “Udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buruburu. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi.” “Oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak.” Jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi Mbah Sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, “Ikhlas. Insya Allah akan dapat gantinya.” Waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat Ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa. “Ya Allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakMu.” Selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan

pekerjaannya. Saat ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya. “Wah kebetulan kita ketemu disini, Pak. Ini bayaran yang tadi siang pak.” Kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi 5 lembar. “Loh loh mas? Ini mas belum mecahin uang ya? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas. Ini nggak salah ngambil mas?” “Sudah pak, terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi, pak. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya Allah minggu depan saya berangkat ke Prancis pak. Saya mohon doanya pak” “Tapi ini terlalu banyak mas” “Saya bayar sol sepatu cuma Rp 5000 pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini.” Tuhan punya cara tersendiri dalam menolong hambahambaNya yang mau berusaha dalam kesulitannya. Dan kita tidak akan pernah tahu kapan pertolongan itu tiba. Keikhlasan akan dibalas dengan keindahan. Kesuksesan akan menyertai keikhlasan dan rasa syukur. (ron)

Hari Ini Pasti Lebih Baik dari Hari Kemarin HARI kembali terang. Embun pagi terus membasahi safana alam. Diiringi oleh nyanyian merdu burung yang mencengkram pada ranting pepohonan di belakang gubug Mbah Sarno. Mbah Sarno bergegas untuk kembali bekerja sebagai tukang sol sepatu keliling. “Hari ini pasti lebih baik dari hari kemarin,” tukas Mbah Sarno. Mbah Sarno mulai melangkahkan kedua kakinya dengan pasti. Tak lupa dengan sepeda tuanya yang selalu ia bawa kemana-mana. Tapi, tampaknya kini Mbah Sarno lupa mematikan lampu minyak yang ia simpan di ruang tengah. Namun, Mbah Sarno tidak sadar melakukannya. “Sol sepatu…!” teriak Mbah Sarno sambil mengayuh sepedanya dengan pelan. Hari ini memang tak seburuk hari kemarin. Belum juga matahari meninggi, Mbah Sarno sudah mendapatkan pelanggan. “Pak …!” seorang anak kecil memanggilnya. Mbah Sarno pun segera menghampirinya dengan riang. “Ada apa, Nak?” tanya Mbah Sarno. “Tolong perbaiki sepatu saya, Pak” pinta anak kecil itu. Mbah Sarno pun dengan senang hati mengerjakannya. Menit demi menit ia lalui dengan mengerjakan tugasnya sebagai tukang sol sepatu. “Sepatunya sudah saya perbaiki,” ujar Mbah Sarno. “Terima kasih, Pak.” balas anak kecil sambil mengambil sepatunya yang sudah Mbah Sarno perbaiki. “Saya tidak punya uang untuk membayarnya,” tambah

anak kecil dengan muka memelas. Tiba-tiba pemuda yang kemarin menjadi pelanggannya datang menghampiri mereka setelah sebelumnya meminggirkan motor bebek yang dikendarainya. “Wah, kebetulan kita ketemu di sini, Pak. Ini bayaran yang kemarin,” ujar sang pemuda. Kali ini pun pemuda itu tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar tapi lima lembar. “Loh, loh, ini Mas belum juga mecahin uangnya?” ujar Mbah Sarno heran. “Maaf Mas saya masih belum punya uang kembalian.” “Sudah Pak terima saja”. Pemuda itu mengepalkan lembaran uang itu ke tangan Mbah Sarno. “Tapi ini terlalu banyak, Mas.” “Saya bayar sol sepatu cuma lima ribu rupiah, Pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya kemarin dan keikhlasan Bapak.” “Tapi, Mas…” Mbah Sarno ragu. “Terimalah, Pak. Saya ikhlas. Semoga Allah membalas segala usaha dan kebaikan yang telah kita perbuat. Amin.’ “Amin. Terima kasih banyak, Mas. Semoga Mas tambah sukses.” “Amin. Saya pergi dulu, Pak.” “Sekali lagi terima kasih, Mas” ujar Mbah Sarno dengan hati senang. “Oh iya, nama Mas siapa ya kalau boleh tahu?” “Saya Andika Putra, Pak. Panggil saja saya Dika, Pak” Pemuda itu menyebutkan

namanya. Tak lama setelah itu, pemuda itu menstater motornya dan pergi meninggalkan Mbah Sarno dan anak kecil itu. Tanpa berpikir panjang lagi Mbah Sarno bergegas pulang dan membiarkan anak kecil itu tidak membayar jasanya. ‘Tuhan memang punya cara tersendiri dalam menolong hamba-hamba-Nya yang mau berusaha dalam kesulitannya. Asalkan ia mau berikhtiar dan ikhlas dalam menjalankan roda hidup.’ gumam Mbah Sarno. Mbah Sarno pun mengayuh sepedanya menuju tempat tinggalnya. Lebih kurang sekitar 30 menit mengayuh sepeda, hampir tibalah Mbah Sarno di gubuknya, Tiba-tiba hidungnya mencium bau terbakar yang terbawa angina. Ia menengok kiri dan kanannya, tak ada benda yang terbakar. Namun di ujung sebelah sana terlihat asap hitam mengepul. “Pasti kebakaran,” ucapnya pada dirinya sendiri. Ia pun semakin cepat mengayuh sepeda tuanya. Mbah Sarno mulai melangkah dan menjatuhkan sepedanya saat melihat gerombolan orang berdiri di depan gubugnya. Ia terbengong-bengong melihat kerumunan orang yang sedang sibuk memadamkan api. Dari jauh pun ia merasa heran, tidak seperti biasanya banyak orang di sekeliling gubugnya itu. “Astagfirullah,” ucapnya pelan. “Gubugku …!” jeritnya perih. Beberapa orang tampak mencoba menyelamatkan kepingan atap gubug Mbah Sarno. Mbah Sarno pun sudah tidak berdaya memandangi api

yang semakin menjilat-jilat. Tapi tampaknya asap hitam semakin menebal. ‘Ya Allah, aku tak tahu perasaanku sekarang. Baru saja aku mendapat rezeki-Mu, sudah dilanda lagi dengan ujian-Mu,” gumamnya dengan lirih. Mbah Sarno duduk terpaku di depan gubuknya yang sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Tak ada satu benda pun yang bisa diselamatkan, karena semua benda milik Mbah Sarno adalah barang-barang yang mudah terbakar. Tidak disangka, Dika, pemuda yang baru saja member Mbah Sarno uang, tengah menyaksikan kejadian yang dialami Mbah Sarno. Pemuda itu pun menghampiri Mbah Sarno dengan rasa iba. “Yang sabar ya, Pak. Mungkin ini rasa sayang Tuhan kepada Bapak. Kalau Bapak tidak keberatan, Bapak bisa tinggal bersama saya,” ajak pemuda itu. “Kebetulan tadi saya lewat daerah ini. Saya lihat banyak orang berlari dan menghampiri rumah ini. Saya lihat Bapak, makanya saya menghampiri Bapak. Mudah-mudahan Bapak tegar dalam menghadapi semua ini.” Mbah Sarno pun akhirnya tinggal bersama keluarga Dika. Walaupun pada awalnya ia merasa sungkan menerima ajakan pemuda itu, namun Mbah Sarno menerimanya dengan syarat ia tidak gratis tinggal di rumah pemuda itu. Lalu ia diangkat sebagai tukang kebun. Dan, kini ia tidak lagi berprofesi sebagai tukang sol sepatu yang sudah digelutinya bertahun-tahun. (*/ron)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.