Pieter Manopo : SULUT Pasok PSK ?

Page 1

SULUT PASOK PSK????1 rangkuman komentar disertai analisis dan refleksi psikososial oleh Pieter G. Manoppo2 Sungguh ironi, jika Bumi Nyiur Melambai yang dikenal sebagai daerah religius telah dikategorikan sebagai daerah pemasok atau pengirim untuk trafficking domestik di Indonesia, terutama pekerja hiburan (jaran) dan Pekerja Seks Komersial (PSK)- (kutipan komentar di milis BoSaMi).

Pengantar Mengacu pada komentar anggota milis BoSaMi terhadap persoalan “Sulut sebagai pemasok PSK”, saya merangkum beberapa catatan yang terasa penting untuk disikapi. Terutama untuk melihat sejauhmana kaitan antara fakta Sulut (a) sebagai daerah religius dan (b) pemasok traficking domestik untuk jaran dan PSK. Dua fakta sosial yang mungkin dapat disebut tidak akan saling mendukung (disonance). Atau justru kini faktor “daerah religius” terlalu bersifat formal dan simbolik sehingga kehilangan daya pengaruh dan pembentuk motif sosial spiritualitas kenabiannya untuk menundukkan perilaku traffiking domestik jaran dan PSK yang merantai “kalangan wewene tertentu” di Sulut. Pertanyaan kritisnya, “mengapa di daerah yang terkenal religius seperti Sulut, justru rentan menjadi pangkalan trafficking domestik jaran dan PSK?” Pertanyaan senada, “mengapa di Aceh yang religius itu (malah dijuluki Serambi Mekah), justru rentan menjadi pemasok ganja secara dahsyat ke seluruh Indonesia?” Artinya, ada dua daerah yang sama-sama memiliki basis religius, kultural, dan peradaban yang kuat, sama-sama pula menjadi pangkalan pemasok sesuatu yang “diharamkan” secara moral-religiusetis. Bila dicermati lebih dalam, para pelaku atau aktor 1

Judul ini diambil apa adanya dari milis Sulut-bosami saat dilontarkan sebagai bahan refleksi bersama. 2 Mengajar Matakuliah Teknik Intervensi Sosial pada Program Pascasarjana Fak.Psikologi UI Jurusan Psikologi Kriminal. Memberikan perhatian terhadap masalah-masalah sosial seperti konflik serta kekerasan sumberdaya alam dan sosial, ketidakadilan sosial dan pelanggaran HAM, pemberdayan dan capacity builiding dll.

1


yang terlibat dalam kedua area kehidupan tersebut - ganja dan jaran/PSK - pasti tahu dan sadar bahwa mereka berada dalam “matarantai sistem, struktur, dan jejaring� yang kokoh. Sekali mereka terjaring, maka keinginan bebas jadi kesulitan tersendiri. Bagaikan ikan yang terperangkap jaring nelayan, walaupun ada keinginan bebas, bahkan dengan meronta sekalipun, malah akan sia-sia dan semakin tercekik mati. Sebab diproteksi aturan main yang bersifat memaksa (coersive) dan berwatak kekerasan (structural violence). Apakah kesalahannya terletak pada fakta daerah religius dan perilaku pemasokan itu secara disposisional (kesalahan para pelaku), ataukah memang ada kesalahan di luar fakta daerah itu secara situasional (kesalahan pada situasi sosial yang melingkupi para pelaku). Yakni struktur dan sistem sosial pembangunan di Nusantara ini? Sehingga baik Aceh maupun Sulut, dan lainnya, akan terseret ke dalam pola situasi struktur dan sistem sosial yang sama? Rangkuman ini akan saya cermati dengan catatan analisis dan refleksi yang bersifat filosofis (logika berpikir), dan psikososial (tingkah laku sosial dalam ruang hidup). Secara khusus untuk konteks Sulut, dan tidak untuk Aceh. Sebab yang terakhir ini saya sebutkan sebelumnya hanya sebagai pembanding dalam rangka rekonstruksi pola pikir dan kesadaran kritis kita saja.

Beberapa catatan rangkuman Faktor penyebab sharing.

yang

terpetakan

berdasarkan

hasil

1. kesulitan ekonomi. Para anggota milis BoSaMi mencatat kesulitan ekonomi sebagai sebab berkaitan dengan faktor: a. mencari pekerjaan dan pendapatan. b. adanya seperti sebagai lapangan

daerah/kantong-kantong potensi ekonomi pertambangan minyak, dll yang berpotensi faktor penarik dominan, tersedia akses pekerjaan dan pendapatan.

c. Karena itu, ada catatan faktual bahwa “salah satu warga Sulut yang pernah difasilitasi untuk dipulangkan ke Manado, akhirnya tokh memutuskan 2


kembali lagi ke kota Balikpapan karena tidak betah di kampung halaman. Komentator milis BoSaMi mencatat “bahwa mungkin karena kondisi orang gara-gara di kampung (dorongan sosial lokal) atau sudah terbiasa memegang uang (akses pendapatan sebagai faktor sosial eksternal). Jadi, perilaku para jaran dan PSK dipengaruhi situasi sosial lokal dan situasi sosial kemana mereka memilih bekerja. “Kondisi orang gara-gara di kampung� memang perlu ditelusuri lebih jauh. Sejauhmana mana Sulut sebagai daerah religius berpengaruh dan atau tidak berpengaruh terhadap keputusan dan perilaku wewene Basomai. 2. Eksploitasi citra PSK Sulut oleh pihak luar. Sedemikian rupa eksisnya aroma atau aura para wewene Sulut di pasar jaran dan PSK di daerah Batam, sehingga para jaran dan PSK yang bukan asal Manado pun ikut mangakui diri dari Manado. Padahal dicatat bahwa amoyamoy yang mengakui diri dari Manado itu asal Bangka Belitung. Sikap dan perilaku ini menunjukkan betapa eksistensi Wawene Sulut di pasar jaran dan PSK itu sudah menjadi modal dan model sosial yang rentan dipolitisasi dan dieksploitasi. Bagaikan merek dagang yang diidolakan dalam manajemen pemasaran. 3. Sistem dan jaringan eksploitasi/komersialisasi. Catatan yang amat kritis menunjukkan bahwa eksistensi jaran dan PSK Sulut ini sudah berada dalam rantai sistem dan jejaring komersialisasi. Mereka sudah masuk ke dalam dan menjadi simpul supporting system terhadap industri pertambangan (Kalimantan), pembangunan tata ruang kawasan pertumbuhan ekonomi (Batam), pelabuhan niaga strategis (Sorong), dsbnya. Dikatakan komentator milis: a. Perilaku jaran dan PSK Sulut ini sudah terkondisi ke matarantai yang saling terkait. b. Lebih memprihatinkan lagi, masuknya para wewene BoSaMi ke situasi matarantai tersebut karena mereka dikirim oleh orang-orang tertentu, yakni germo dan jejaringnya ke Batam, Papua dll tempat. 4. Akses terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi. Para konstributor dalam milis juga mencatat persoalan akses sumberdaya alam dan ekonomi sebagai faktor penyebab. 3


a. “Kalo ekonomi sulut baik, tantu mereka akan betah dan hanya keluar sulut untuk pasiar, bukan pigi basenga !!!.” Fakta ini penting. Bagaimana terjadi perubahan peta pola perilaku sosial, ekonomi, kultural, dan politik Sulut sebagai ruang hidup sehingga kalau wewene keluar dari Sulut adalah “untuk pasiar” dan “bukan pigi basenga” (modal jaran dan PSK). b. Kata orang,..... “Sulut dari Talaud sampe Bolmong kaya alamnya, tapi kenyataannya juga payah di dalamnya.” Fakta ini sekaligus menunjukkan struktur eksistensi yang disonance, kaya alamnya tetapi miskin manusianya. Tergantung cara pandang kita dalam melihat realitas tersebut. Apakah sebagai kesalahan pada manusia Sulut, atau pada ketiadaan peluang, atau pada sistem dan struktur pembangunannya. 5. Pergeseran kompetensi, kapasitas, dan akses kerja dari sumberdaya lokal ke pendatang. Sementara fakta sosial menunjukkan bahwa Sulut menjadi pangkalan “pemasokan jaran dan PSK”, fakta lain menunjukkan bahwa Sulut justru menjadi target bagi para pekerja dari luar Sulut memasuki dan menguasai beberapa lapangan kerja. a. Sopir taksi jalur ke dan kebanyakan bukan orang Sulut.

dari

bandara

kini

b. Bahkan para pendatang sudah memasuki lapangan dan sektor kerja seperti mall sampai ke kantor permerintahan. Pertanyaannya adalah, mengapa untuk orang pendatang, Sulut justru menjadi peluang lapangan pekerjaan dan pendapatan, sementara wewene Sulut sendiri pergi mencarinya ke luar dari Sulut? 6. Sulut juga jadi peluang import PSK??? Malah, ada catatan yang mengejutkan ketika dikatakan bahwa Sulut justru menjadi peluang import PSK dengan indikator terbukanya potensi cafe atau di pub-pub. Disadari bahwa pembangunan Sulut membuka pula lapangan pekerjaan. Sebagai daerah religius, apakah kondusif bagi komunitas wewene yang telah mencari akses kerja serupa di luar Sulut untuk berbalik mengisi sektor tersebut di Sulut? 7. Kualitas produk pendidikan dan ancaman struktur/sistem ekspoiltasi PSK. Dunia pendidikan justru menunjukkan fakta menggembirakan.

4


a. Seorang siswa SMA di Airmadidi 1 Minahasa Utara, berhasil menjadi satu satunya pelajar dengan lulus angka tertinggi untuk seluruh wilayah INDONESIA. b. Namun ada catatan mendasar, “dia adalah anak seorang janda yg hidup keseharian adalah sebagai PENJUAL PISANG GORENG." Penjual pisang goreng menjadi basis ekonomi dan persiapan siswa SMA terbaik. c. Ada pertanyaan kritis konstributor milis, “apakah anak ini juga akan menjadi sasaran para GERMO??” Kapasitas intelektual akan termarginalisasi karena persoalan praktis ekonomi sehari-hari? Mungkinkah siswa SMU ini dan basis ekonomi berjualan pisang goreng ibunya diproteksi secara sistematis sehingga terjamin citra keluarga Sulut yang mandiri secara ekonomis, intelektual, dan religius? d. Intervensi dan proteksi Pemda: seremonial atau mengubah sistem sosial? Konstibutor mencatat peran Pemda dalam menegosiasi konstribusi Men.Dik.Nas yang akan melakukan kunjungan kerjanya di Sulut. 8.

Potensi kultural.

a. Ide panti pijat. Ada beberapa tempat termasuk yg dibuat seorang advokad (asal BoSaMi?) di daerah Jaktim yang berhasil, dan betul-betul halal. Nyanda ada yang laeng-laeng. (mar nintau kalu dong baku ator di luar hahahahahaha) Selama kita pe pengamatan samua panti pijat itu dijalankan dengan profesional, menenkankan unsur tradisional, semua pemijat berbusana sopan dan melibatkan banyak unsur alam.

b. Ada yang berpendapat “kita kira om yosep pe ide tantang pijat itu bukang lah konga. Bukankah torang pe budaya kan juga kanal deng tu baku pijit itu. Kita pe opa dari mama asal sanger, jago ba uru, apalagi yang patah. Ja kase minya campur deng akarakar, mar so almarhum, kasiang. Ada le birman dulu di Manado itu tanta jago skali ba uru sampe-sampe orang-orang yang nda dapa anak ba uru kasana hahahaha nintau ada yang dapa ato nda.”

5


c. “kong ada satu resep ba uru di pa tong pe keluarga, yakni pake minya baru kong campur sadiki goraka deng bawang merah, ini khusus yang kena flu.

d. “No tentang ba uru ato panti pijat, ini mungkin bisa jadi ide bisnis baru for Bosami, selain RM Manado yang om Dolof so tekuni. Jadi potensi daerah bukan cuma Sumberdaya alam, tapi juga budaya, makanan, pijat dll.”

Usulan solusi ke depan oleh komentator. 9.

Meningkatkan kewaspadaan terhadap mafia-mafia wewene yang memasuki kampung-kampung untuk menawarkan pekerjaan, dengan gaji banyak, padahal dijadikan PSK. Kalau perlu kita usul iko ja manimpang padorang (calo). Suatu pemikiran buat Bosami untuk Sulut, bagaimana mencegah para germo ini.

10. Menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesempatan kepada generasi muda perempuan Sulut untuk ikut nikmati kesempatan tersebut. Di antara kita, keluarga, kolega yang kebutulan punya lahan-lahan tersebut boleh dipikirkan sebagai salah satu cara penanggulangannya. 11. Coba torang sasakali pasiar di sulut kong lia lia dimasyarakat (survey sistematis) 12.

Bagi wewene Bosami yang ke Papua, mungkin bisa ada jalan keluar kalau Pemda Sulut mau baku ator deng pemda Papua. Kerjasama antar provinsi.

13.

Revitalisasi dan refungsionalisasi potensi kultural, medis obat-obatan dan pengobatan trandisional, pengolahan makanan, dll.

Catatan Analisis dan Refleksi 1. Persoalan PSK Sulut, titik tolak berpikir “konsensus ataukah kritis-progresif.” Titik tolak berpikir merupakan acuan dasar bagaimana kita memandang persoalan sosial dan memaknainya. a. Pola berpikir konsensus biasanya memandang masalah sosial melalui dua pilihan. 6


Konservatif, akan meletakan kesalahan persoalan PSK Sulut ini pada para pelaku. Dalam hal ini kelompok atau komunitas wewene (PSK) itu sendiri. Pola atau titik tolak Bagi cara pandang ini, struktur sosial tidak menjadi masalah. Kesalahan bukan pada struktur dan sistem sosial di Sulut atasu di Indonesia. Justru kondisi sistem dan struktur sosial yang ada menjadi konsensus (kesepakatan) dan tidak dimasalahkan. Malas, bodoh, jari gampang, dsb. Karena itu, bagi cara berpikir ini, yang bertanggung jawab untuk memecahkan masalah PSK Sulut adalah para pelaku atau PSK-PSK (wewene) itu sendiri. Liberal, meletakan kesalahan pada peluang atau kesempatan yang tidak diberikan atau terbatas. Masih sama dengan pola berpikir konservatif, kondisi struktur dan sistem sosial tidak dimasalahkan karena dianggap sebagai konsensus. Misalnya, PSK tidak memiliki peluang pendidikan, pekerjaan, dst. Karena kesalahan ada pada peluang atau kesempatan, maka yang bertanggung jawab untuk mengatasinya adalah elit politik dan pemerintah. b. Pola berpikir progresif atau konflik. Cara pandang ini melihat masalah PSK Sulut sebagai persoalan struktur dan sistem sosial. Struktur dan sistem sosial yang tidak adil, komersial, dan eksploitatif menjadi akar terdalam terhadap perilaku jaran dan PSK Sulut. Kalau dikatakan sumberdaya alam Sulut itu kaya, mengapa kelompok wewene pergi ke Batam, Papua, dst dan menjadikan pekerjaan jaran dan PSK sebagai pilihan? Masalahnya bukan hanya kesalahan PSK Sulut (cenderung “blaim the vistims�) atau juga bukan karena kurang kesempatan atau peluang (justru sekarang banyak pekerja dari luar Sulut mengambil alih pekerjaan dan sektor ekonomi di Sulut). Tetapi karena sistem dan struktur pembangunan yang memarginalisasi, mengeksploitasi, dan yang tidak adil. Bagi cara pandang progresif dan konflik, mengatasi masalah jaran dan PSK Sulut adalah dengan mengubah sistem dan struktur sosial sehingga akses pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi Sulut oleh kelompok wewene diperoleh secara demokratis dan adil.

7


2. Kesadaran kritis dalam mengelola perilaku. a. Paulo Freire mengemukakan pentingnya bersikap kritis terhadap perkembangan cara pandang dalam kaitan dengan kesadaran dan pengelolaan perilaku manusia. Freire mengekukakan perkembangan kesadaran berpikir sebagai berikut.

Sumber : Pieter G. Manoppo, Modul Pelatihan Analisis Sosial Bagi Pemuka Agama di Kabupaten Mimika, 25-29 Juli 2005.

b. Kesadaran magis dan naif, ternyata akan sejalan dengan cara berpikir konservatif dan liberal. Bila kesadaran dan pola berpikir ini menjadi rujukan dalam melihat dan memaknai perilaku jaran dan PSK Sulut, maka secara naif tawaran solusi pengelolaanya diletakan kepada para pelaku atau elit masyarakat. Para pihak dan peluang dikelola, sementara sistem, struktur, dan jejaring sosialnya tidak tersentuh. Sebaliknya, bila kesadaran kritis yang dekat dengan cara berpikir progresif dan konflik menjadi rujukan, maka pilihan pola pengelolaan perilaku jaran dan PSK akan menyentuh wilayah sistem, struktur,dan jejaring industri sosiol yang menjadikan jaran dan PSK sebagai komoditi, dikomersialisasi & dieksploitasi. Dari mana lahir budaya kekesaran dan pemaksaan 8


terhadap kaum perempuan BoSaMi. Budaya pemaksaan dan kekerasan struktural yang mesti diberantas berbasis pada komunitas para jaran dan PSK Sulut sebagai subyek utama. c. Sejalan dengan itu, pada level mikro, perilaku jaran dan PSK yang terkondisi untuk waktu lama dalam sistem, struktur dan jejaring eksploitasi dan komersialisasi tersebut, akan melahirkan budaya dan sikap mental jaran dan PSK Sulut yang secara sistematis dianggap sebagai kebenaran. Pada konteks ini, nilai-nilai moral, etik, dan spiritual dari ruang hidup Sulut sebagai daerah spiritual, akan berjarak terhadap realitas hidup jaran dan PSK. Perilaku wewene sebagai bagian dari warga Sulut yang spiritualitatif dan sebagai bagian dari sistem dan struktur jaran-PSK akan sangat wajar berciri disonance. Apalagi, pada saat yang sama agama dan kehidupan keagamaan lebih berorientasi formal, simbolik dan institusional sehingga gagal menjadi fungsi transformasi manusia dan kemanusiaan Sulut. Agama dan kehidupan keagamaan seperti itu terasing menjadi semakin besar dan kokoh - sementara manusia dan kemanusiaan Sulut semakin terpuruk, seperti dinampakan dunia jaran dan PSK ini. d. Usul solusi untuk mewaspadai operasi mafia-mafia wewene, membuka lapangan kerja, kerjasama antar Pemda, dan revitalisasi dan refungsionalisasi modal kultural, obat dan makanan Sulut tidak hanya dikelola berdasar pada pola berpikir konsensus dan kesadaran magis-naif, tetapi terutama cara berpikir progresif dengan kesadaran kritis. Artinya, melingkupi seluruh level intervensi. 3. Lapangan psikologis dan ruang hidup. a. Kurt Lewin pernah menawarkan struktur berpikir dan analisis psikologis yang mengaitkan Personal (P) dengan Lapangan Psikologis (Lp) dan Ruang Hidup (Rh). Struktur berpikir dan analisis psikologis itu ia rumuskan P+Lp = Ruang Hidup. Bila digambarkan sebagai berikut.

Non Psikologis

Lp

P

Lp

Non Psikologis

Ruang Hidup, Rh

9


b. Ruang Hidup (Rh)adalah dunia sang psikolog (pelaku); ruang hidup adalah keseluruhan kenyataan psikologis. Ruang Hidup mengandung semua kemungkinan fakta yang dapat menentukan tingkah laku personal dan komunal. Ruang hidup meliputi segala sesuatu yang harus diketahui untuk memahami tingkah laku konkret manusia individual dalam suatu lingkungan psikologis (Lp) tertentu dan pada waktu tertentu pula. Tingkah laku (Tl) menurut Lewin adalah fungsi dari ruang hidup (Rh), atau dirumuskan sebagai Tl = f (Rh). Tugas BoSaMi adalah menemukan secara tepat tingkah laku individu wewene Sulut dari keseluruhan fakta psikologis jaran dan PSK yang ada dalam ruang hidup Sulut khususnya dan Indonesia pada umumnya pada suatu masa tertentu. c. Dalam kaitan dengan usulan komentator BoSaMi untuk melakukan pengamatan langsung ke Sulut berbentuk riset aksi partisipatif (participatory action research), atau dalam bahasa Kurt Lewin disebut penelitian psikologis, dimaksudkan terutama untuk mengidentifikasi dan menetapkan fakta-fakta yang terdapat dalam batas ruang hidup Sulut sekarang (lingkaran elips) karena fakta-fakta ini membantu menentukan apa yang ada dan apa yang tidak mungkin ada, apa yang mungkin terjadi dan yang tidak mungkin terjadi dalam ruang hidup BoSaMi itu. Lewin menegaskan bahwa fakta-fakta lingkungan dapat mempengaruhi pribadi, P = f(Lp), dan fakta-fakta pribadi dapat mempengaruhi lingkungan, Lp= f(P). d. Sebagaimana diingatkan Nani Nurakhman dan Norman Wright, agar kita tidak mempersalahkan masa lalu dan terbenam dalam dendam dan trauma psikososial berlarut yang hanya merusak memori kolektif Sulut. Mengingat kita masih berada dalam sistem dan struktur sosial berwatak pemaksaan dan kekerasan, baiklah kita bersama menciptakan masa depan Sulut melalui upaya sistematis mengelola memori kolektif tersebut dan berdamai dengan masa lalu BoSaMi itu (Nurakhman, 2002; Wright, 2005). 4. Masih relevankah stereotip etnis “Sulut pemasok PSK??� a. Ketika kita menyatakan bahwa “Sulut Pemasok PSK??�, suka atau tidak, secara kultural dan psikososial kita berada dalam tatanan pola berpikir dan kesadaran stereotip etnis secara magis dan naif. 10


Stereotip ini mesti dikritisi secara proporsional, mendasar, dan obyektif. b. Kalau pernyataan stereotip etnis tersebut bersandar pada (a) pola berpikir konservatif dan liberal dan terkait dengan kesadaran magis dan naif, maka tidak hanya komunitas wewene Sulut akan menjadi sasaran kesalahan. Tetapi juga konteks kultural Sulut dimana nilai, norma, pandangan, dan sanksi sosial berakar. (b) Tetapi kalau pernyataan stereotip etnis tersebut dilihat dari pola berpikir progresif dan kesadaran kritis, maka kondisi di luar wewene dan kultur Sulut mesti dikritisi obyektif, holistik, dan tuntas. c. Hal seperti ini pernah dikritisi Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi UI saat mengkritisi pandangan stereotip kultural kelompok etnis di Indonesia yang dikemukakan almarhum Dr. Warnaen Suwarsih, ahli psikologi sosial. Dalam studinya tentang stereotip kultural Indonesia, Dr Suwarsih menemukan pola perilaku yang sama di antara kelompok etnis seperti Maluku, Batak, Manado yang temperamental, spontan, suka pesta, dst. Sementara etnis Sunda dan Jawa berciri lemah lembut, halus, dsb. Namun, Sarlito mempertanyakan “mengapa justru perilaku kekerasan massa sampai pembakaran pelaku pencuri ayam misalnya, terjadi justu di lingkungan kultural etnis Jawa dan Sunda, dan tidak dominan di lingkungan kultural etnis Maluku, Batak, Manado. Kenapa konflik sosial terjadi di Maluku dan tidak di Batak, padahal keduanya memiliki watak yang sama. Kata Sarlito, itu berarti ada sesuatu yang salah di luar komunitas kultural ini, yakni situasi struktur dan sistem sosial Indonesia. Artinya, stereotip etnis tidak relevan lagi dijadikan rujukan identifikasi, memetakan dan memecahkan kondisi perilaku kekerasan dan konflik di Indonesia. (Manoppo, 2003). d. Dari catatan Prof. Sarlito tersebut dapat dikatakan bahwa secara psikososial, pendekatan stereotip etnis sebagai acuan melihat masalah jaran dan PSK Sulut mesti dikritisi secara proporsional. Benarkah jaran dan PSK itu merupakan ekspresi psikososial yang identik dengan kultur etnis Sulut? Kenapa ekspresi itu disonance dengan eksistensi Sulut sebagai daerah spiritualitas? Ataukah memang seperti ditegaskan Sarlito, justru memang ada kesalahan struktural dan 11


sistem sosial pembangunan, serta akses pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi di Sulut sendiri. Sebagaimana disinyalir para komentator BoSaMi.

Penutup Persoalan jaran dan PSK BoSaMi pada kenyataannya adalah satu di antara begitu banyak persoalan yang melilit Tanah dan Manusia Sulut. Persoalan jaran dan PSK Sulut adalah cermin dari Indonesia kita. Kita membutuhkan pendekatan dan penanganan sistematis, konsisten, dan bersama. Sebagai mandat bagi BoSami memberi sumbangan bagi Indonesia, kita ujudkan kontribusi tersebut berbasis Tanah dan Manusia Sulut. Tidak hanya pada tingkat wacana, tetapi aksi transformasi berbasis komunitas BaSami di Sulut. Semoga. Jakarta, 19 Juli 2005.

Referensi. Berkson, William dan Wetersten, John. (2003). Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu KARL POPPER, Penerbit Qalam, Yogyakarta. Hall, Calvin.S dan Lindzey, Gardner. (1993)Psikologi Kepribadian 2, Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), A,Supratiknya (Ed), Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Manoppo, Pieter G., (2005), Rangkuman Diskusi Milis BoSaMi tentang “Sulut Pasok PSK”, tidak diterbitkan. ---------------- (2005). Modul Pelatihan Analisis Sosial dan Refleksi Iman, tidak diterbitkan. ---------------- (2003). RESOLUSI KONFLIK INTERAKTIF BERBASIS KORBAN – Pendekatan Psikososial di Maluku, Tesis Magister Psikologi, Pascasarjana Fak.Psikologi UI. Manoppo, Pieter.G; Melaz, Agus; Muhamad, Athoillah (2004). MERANGKAI PERDAMAIAN, Refleksi Atas Partisipasi Perdamian Pemilu 2004, Common Ground Indonesia, Jakarta. Fakih, Mansour.(2002). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST PRESS dan Pustaka Pelajar, Cetakan ke-2, Yogyakarta.

12


Howard,

Roy

J.(2001).Pengantar Teori-Teori Pemahaman Kontemporer,Hermeneutika:Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Yayasan Nuansa Cendikia kerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundatiuon, Bandung. Klandermas,Bert. (2005). PROTES Dalam Kajian Psikologi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Nurrachman, Nani. (2002). Psikologi Pasca Trauma: Perspektif Sosial Klinis dan Lintas Budaya serta Catatan Pribadi, dalam JPS – Journal Psikologi Sosial, No.X/TH VII/Januari 2002, Fakultas Psikologi UI, Jakarta. Pargament, Kenneth I (1997). The Psychology of Religion and Coping, Theory, Research, Practice, The Guilford Press, New York. Suryawasita, A. (1987). Analisis Sosial, dalam Kemiskinan dan Pembebasan, Editor J.B. Banawiratma, Kanisius, Yogyakarta. Sujito, Arie. (2004). Refleksi dan Aksi untuk Rakyat, IRE Press, Yogyakarta. Wacana, No.XV/2003. Pendidikan Populer: Dekolonisasi Metodologi, INSIST PRESS, Yogyakarta. Wright, H. Norman (2005).Terapi Memori, Menciptakan Masa Depan Melalui Teknik Berdamai dengan Masa Lalu, Grapes Literature, Jakarta.

13


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.