SOLIDARITAS Edisi 2

Page 1


Dari Redaksi Redaksi Good Governance Wajib Diwujudkan

Diterbitkan oleh: Yayasan Manikaya Kauci SUSUNAN REDAKSI Pelindung Tuhan Yang Maha Esa Penanggungjawab Gunadjar,SH Pemimpin Redaksi Nyoman Mardika ,SS Redaktur Saichu Anwar, SS Tim Liputan Cikal Socialista Rahsa natah ring Bali Dwipa Komang Arya Ganaris Editor Jatmiko Wiwoho Perwajahan Heru Gutomo Alamat Jl. Noja Gg XXXVII No. 16 Denpasar Timur 80237 Telp/fax : 0361-249630 Email ymk@manikayakauci.org website www.manikayakauci.org

G

ood governance adalah sebuah produk dari perubahan politik paskareformasi 1998. Sistem politik yang semakin terbuka, menciptakan ruang bagi publik untuk melakukan kontrol pada penyelenggaraan negara, terutama pemerintah. Negara memang lebih banyak mengetahui seluk-beluk pemerintahan dan berwenang menentukan kebijakan negara, tetapi dalam penyelenggaraan negara, dia tidak dapat bertindak semaunya. Bagaimanapun kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga check and balance sangat diperlukan. Sistem penyelenggaraan negara yang baik, salah satunya adalah dengan mewujudkan good governance, yang merupakan harapan bagi setiap warga masyarakat. Sistem politik yang demokratis mensyaratkan kemutlakan good governance, agar sistem pemerintahan bisa berjalan secara efektif, efisien, transparan, dan juga berkeadilan. Bagian dari pelaksanaan good governance adalah bagaimana peme-rintah mampu melayani kebutuhan dasar dari masyarakat secara baik, apakah itu adalah menyangkut kebutuhan pelayanan administrasi, maupun dalam bentuk program yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Dalam melaksanakan good governance, profesionalisme aparatur negara mutlak dibutuhkan. Sistem birokrasi pun wajib didorong dalam rangka pembenahan di berbagai sektor pemerintahan. Sudah tentu juga harus mempersiapkan sumber daya manusia yang memadai serta ditunjang oleh teknologi yang lebih modern dan tepat guna, sehingga kinerja pemerintahan menjadi lebih produktif dan efisien. Semangat yang tersirat dalam good governance juga mengingatkan setiap warga negara bahwa pejabat pemerintah bukanlah tuan atau majikan atas masyarakat, melainkan adalah pelaksana tugas pemerintahan yang sesuai mandat yang diberikan rakyat. Budaya feodalistis dalam sistem pemerintahan yang selama bertahun-tahun kita rasakan, hanya akan menghambat terwujudnya tujuan-tujuan mulia good go-vernance di Republik ini.

Daftar Isi PROGRAM Training Kelompok Kerja COP Pelayanan Publik oleh Polri Perjuangan HAM dalam Proses Politik Ancaman Rabies terhadap Keselamatan Manusia Gede Arya Bhakti: "Saya merasakan pengalaman berbeda..." Advokasi Program tingkat Kabupaten LAPORAN UTAMA Good and Clean Government Manifestasi Keadilan Sosial Meski Diawasi Ketat Tetap Rawan Kebocoran Sistem Tender Satu Pintu; Diakui Berpotensi Korupsi, Perbaiki Kualitas Lelang |

3 4 5 7 8 17

10 12

OPINI Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

16

SOSOK I Komang Adhiartha

18

SOSIAL BUDAYA Bakat dan Menulis Sastra Solidaritas & solidaritas

19 20

LAYANAN PUBLIK Penyandang Cacat Belum Jadi Prioritas

21

KONSULTASI KESEHATAN Dikontrol Makhluk Halus

22

14 Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Program Training Kelompok Kerja Community Oriented Policing (COP)

Penguatan Masyarakat Sipil untuk Pengawasan Sektor Keamanan Aktivitas seperti memonitor kinerja, kebijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah akan memberikan masukan pada proses ini. Oleh karena itu OMS harus memiliki kemampuan dan perangkat kerja untuk terlibat secara aktif, efektif dalam isu-isu reformasi di sektor keamanan. Atas dasar itulah Yayasan Manikaya Kauci memandang penting untuk melakukan pelatihan kepada anggota masyarakat yang memang sehari-harinya berkutat di berbagai organisasi baik formal dan non formal di tingkat desa. Pelatihan Kelompok Kerja Community Oriented Policing (COP),yang mengambil tema Penguatan Masyarakat Sipil untuk melakukan Pengawasan Sektor Keamanan, diselenggarakan Tim YMK fasilitasi diskusi dalam pelatihan COP

S

ecara kelembagaan pemisahan Polri dari TNI pada tahun 1999,melalui Instruksi Presiden No.2 tahun 1999 merupakan dantum point (titik awal) dimulainya Reformasi di tubuh Polri. Keputusan ini kemudian disusul dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No.VI tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No.VII tahun 2000 tentang peran Polri dan TNI. Ada harapan cukup besar, dengan pemisahan struktur organisasi ini. Aparat kepolisian tidak lagi tampil dengan watak militeristik dan bekerja secara profesional serta mencerminkan watak sipil sesuai prinsip demokrasi, membangun perpolisian yang bersandar pada norma keterbukaan (transparancy) dan dapat dipertanggung-jawabkan (accountability). Ini artinya Polri adalah bagian dari masyarakat, berintegrasi dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Polri adalah mitra sejajar masyarakat dalam melawan tindak kriminal dan tindak diskriminatif terhadap kelompok tertentu yang ada di institusinya ataupun yang ada di masyarakat. Adalah suatu keharusan bagi aparat kepolisian agar dapat memSOLIDARITAS | Volume II/2010

dok. YMK

pertanggungjawabkan tindakannya dan meminimalkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hal inilah yang acapkali menjadi pokok pembahasan reformasi di sektor kemanan khususnya pada institusi kepolisian. Berbicara tentang reformasi di sektor keamanan tentunya tidak bisa dilakukan secara sendiri oleh institusi Polri, melainkan perlu secara bersama, terutama dari masyarakat, melalui Organisasi Masyarakat Sipilnya (OMS). Dalam masyarakat muncul tuntutan moral untuk melakukan pengembangan kapasitas kelompok-kelompok masyarakat agar mampu melakukan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan. Kuatnya OMS Sipil adalah instrumen kunci untuk memastikan pengawasan sektor keamanan yang efektif. Keterlibatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Bersambung ke halaman 4

Salah satu peserta perempuan dalam training sedang melakukan presentasi hasil diskusi

dok. YMK

|


Program dari halaman 3

pelatihan dengan yang menggunakan metode pembelajaran orang dewasa ini, membuat seluruh peserta cukup antusias mengikuti proses pelatihan selama tiga hari tersebut. Wahidah, seorang ibu dari Desa Medewi Kecamatan Pekutatan, Jembrana mengatakan, “Saya sangat senang bisa mengikuti pelatihan ini, apalagi ini baru pertama kali saya ikuti. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan. Saya berharap program yang dijalankan Manikaya Kauci bisa berkelanjutan, dan saya sebagai anggota masyarakat bisa dilibatkan� katanya. Hal senada juga disampaikan oleh Maria Ulfa perwakilan dari Desa Pulukan. (rahsa)

di Hotel NIKKI Denpasar pada tanggal 22-24 Juni 2010 atas dukungan The Asia Foundation (TAF). Pelatihan diikuti tiga puluh orang perwakilan masyarakat dari dua kabupaten: Jembrana dan Buleleng, serta satu kota di empat kecamatan yakni, Kecamatan Pekutatan, Jembrana, Tejakula, dan Denpasar Selatan. Manajer Program, Gunadjar, S.H., menyampaikan bahwa materi yang disampaikan dalam pelatihan untuk peningkatan kapasitas anggota masyarakat seperti, pengetahuan tentang reformasi keamanan, manajemen konflik, analisa sosial dan advokasi. Harapan ke depan dengan kemampuan yang didapatkan dalam proses pelatihan masyarakat akan mampu berpartisipasi aktif untuk melakukan pengawasan di sektor keamanan. Dari pengamatan SOLIDARITAS,

Foto bersama peserta Training COP

dok. YMK

Pelayanan Publik oleh Polri

G

elombang Reformasi 1998 dua belas tahun yang lalu, membawa dampak cukup besar, walaupun belum dikatakan berhasil, terutama di tubuh institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yakni adanya keinginan untuk merubah paradigma militeristik menjadi polisi yang sipil dan profesional. Sebagai lembaga yang fokus pada percepatan konsolidasi demokrasi di Indonesia, Yayasan Manikaya Kauci (YMK) menganggap penting mempercepat proses reformasi kultural di tubuh |

dok. YMK

melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) di dua kabupaten yakni Jembrana dan Buleleng dengan jumlah total enam kali diskusi. FGD pertama di Kabupaten Jembrana melibatkan target group dari petugas bhayangkara pembina kamtibmas (bhabinkamtibmas) dan aparatur desa. Sedangkan FGD kedua dilaksanakan di Buleleng, melibatkan kelompok pengusaha, perlindungan masyarakat (linmas), pemuda dan kelompok perempuan.

Diskusi kelompok peserta pelatihan COP membahas pelayanan publik oleh POLRI

Polri, karena institusi ini bagian dari alat negara. Salah satunya dengan melaksanakan Program Perpolisian Masyarakat yang biasa disebut Community Policing. Harapannya adalah kelak Polri dalam setiap implementasinya lebih berorientasi pada pendekatan pelayanan, menghormati HAM, dan membangun kemitraan yang sejajar dengan masyarakat. Untuk melihat sejauh mana Polri sudah melaksanakan tugas pokoknya sesuai amanat UU No. 2 tahun 2002, YMK

Dari hasil FGD, secara umum walaupun ada perbaikan dibandingkan ketika masih bergabung dengan ABRI, tetapi masih saja Polri harus lebih serius melaksanakan perubahan kultural di tubuh institusinya. Hal ini terlihat dengan masih adanya apresiasi negatif dari masyarakat terhadap personel polisi yang bertugas di lapangan, kualitas sumber daya manusia masih menjadi soroton utama, belum lagi sarana dan prasana yang sangat minim. Hal ini tentu saja menjadi faktor penghambat dalam menjalankan pelayanan publik oleh Polri terkait tugas dan fungsi pokoknya. Wajar kemudian apabila Polri masih dianggap kurang serius dalam melakukan perubahan paradigma, budaya kerja, dan kurang maksimalnya dalam pelaksanaan tugas sebagai pelayan masyarakat. (rahsa)

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Program

Perjuangan HAM dalam Proses Politik

S

udah 12 tahun reformasi bergulir, masa transisi ternyata tetap saja tidak mengantarkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Nampaknya jalan di tempat, tanpa ada kejelasan. Kedatangan Usman Hamid (Kontras) ke Bali disambut oleh beberapa aktivis di Bali untuk mendiskusikan permasalahan ini. Usman Hamid selama ini telah dikenal bergelut dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Yayasan Manikaya Kauci menganggap cukup penting mendiskusikan hal ini, dan sebuah diskusi informal yang kemudian digelar pada tanggal 4 Juni 2010 bertema “Proses Politik dalam Perjuangan HAM”, berupaya untuk mengetahui akar-akar permasalahan dan menentukan langkah ke depan.

kedekatan dengan pengurus partai itu, dan tidak mengkomunikasikannya kepada kawan-kawan seperjuangan. Komunikasi antar aktivis, menurutnya cukup penting, sehingga di mana pun posisi politik kawan seperjuangan berada, mereka tetap menjadi bagian dari suatu gerakan dan memberi sumbangsih dari dalam sistem. Di lain pihak, sebagian orang percaya bahwa mengubah tidak mungkin dari luar, mengubah harus masuk dalam sebuah sistem, tapi mengubah sendirian jelas itu tidak mungkin.

Dalam kesempatan tersebut Usman memaparkan, berdasarkan teori politik emansipasi sosial terbagi dalam dua sisi yakni practise of liberation dan practise of freedom. Dua belas tahun yang lalu gerakan sosial masuk pada fase practise of liberation yang orang bekerja, bertindak, berbuat dan berkata dalam konteks pembebasan untuk membebaskan diri dari belenggu hegemoni atau represi yang pernah ada, dan dalam konteks itu berhasil. Dampaknya, saat ini orang dengan mudah dan terbuka mengetahui akar-akar persoalan, mulai dari persoalan politik, sosial ekonomi, dan keadilan sosial. Kemampuan melihat segala sesuatu semakin meningkat. Tapi seiring dengan itu sebenarnya gerakan pro perubahan terjebak ke dalam rutunitas demokrasi. Belakangan muncul kegelisahan, kejenuhan, dan lelah bergulat dalam dinamika karena mungkin tidak lagi berdimensi membebaskan dan mencerahkan.

Saat ditanya tentang situasi kawan-kawan gerakan pro perubahan, lebih lanjut Usman menjelaskan, secara umum suasana batin kawan-kawan gerakan banyak yang terjebak pada pola practise of freedom, yaitu tingkat kesadaran untuk berbuat tinggi, tapi tidak terorganisasi dengan baik, sehingga dalam lapangan perjuangan -misalnya HAM atau lingkungan- akhirnya mandeg.

Usman mencontohkan, para mantan aktivis kini banyak yang menjadi pengusaha atau aktivis partai. Menurutnya, kalau diletakkan sebagai kerangka strategi kolektif hal ini justru bernilai positif. Persoalan seringkali muncul akibat kesalahan intrepretasi gerak personal, misalnya si A mencalonkan diri jadi calon legislator (caleg) dari partai B karena

Usman mengatakan, “Sekarang kami lagi coba untuk bernegoisasi atau membuka dialog dengan pemerintah dalam hal ini Menkopolkan, Menkum HAM, dan juga memanfaatkan kawan-kawan yang sudah menjadi staf presiden. Mulai dari Denny Indrayana (Staf Ahli Presiden Bidang Hukum) sampai Andi Arief (Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana.), kita manfaatkan ruangruang kecil itu untuk memperjuangkan nasib si korban, keluarga orang-orang hilang dan kawan-kawan yang sampai saat ini masih menghilang dan dalam ketidakpastian. Hasilnya, DPR merekomendasikan sebuah mekanisme pengadilan agar bisa kemudian mencari orang yang hilang dan bisa diketahui mati atau hidup. Kedua adalah rehabilitasi, ketiga kompensasi bagi korban dan keempat reparasi kon-

SOLIDARITAS | Volume II/2010

Usman Hamid

dok. YMK

sensi.” Lanjutnya, “Perkembangannya sih postif, SBY waktu itu mau mengeluarkan Keppres pengadilan, persis seperti kasus Timor-Timor dan Tanjung Priok, sehingga Jaksa Agung tidak lagi punya alasan untuk mendiamkan berkas Kasus Trisakti, Semanggi, Penculikan Aktivis 1998, dsb.” “Tapi kelihatannya situasi politik dalam kasus Century tidak memungkinkan, dalam konteks itu SBY bersama Partai Demokratnya perlu berkoalisi, perlu PDIP, perlu Golkar, bahkan perlu Gerindra,” imbuhnya. “Sampai pada kalkulasi politik yang seperti itu maka tidak mungkin Keppres pengadilan HAM untuk penculikan bisa keluar, karena pasti akan berurusan dengan Prabowo (mantan Danjen Koppasus TNI), Keppres tentang Kasus Trisakti dan Semanggi akan berurusan dengan Wiranto (mantan Panglima ABRI) dan sebagainya. Sehingga situasi demikian akan melemahkan perjuangan HAM atau pentingnya pengadilan kasus HAM yang menjadi hak si korban”. Bersambung ke halaman 6 |


Program

1,5 jam Usman Hamid bercengkerama di Yayasan Manikaya Kauci

dari halaman 5

“Belakangan SBY lewat menteri mengeluarkan gagasan memberikan perhatian ekonomi pada korban. Melalui menteri, SBY sempat mengeluarkan pernyataan akan mempersiapkan lowongan kerja untuk korban di dua ratus posisi. “Sekilas sebenarnya bagus-bagus saja, karena korban tahanan-tahanan politik dulu ‘kan tidak diakui hak politiknya, hak perdatanya hilang.” “Dulu mungkin pegawai negeri, tentara, polisi, guru, kemudian tiba-tiba dipecat gara-gara mereka dipenjara dituduh komunis.” Nah sampai disitu mau dimanfaatin atau tidak ini. “Kita bisa mengambil satu sikap tradeoff yaitu menukar keadilan hukum dengan bantuan ekonomi, menukar sesuatu yang transformatif menjadi sesuatu yang karikatif. Sesuatu yang seharusnya merubah relasi kuasa antara korban, masyarakat dan negara menjadi sesuatu yang bersifat amal,” ucap Usman. “Korban tetap ditempatkan di bawah, tidak diakui mempunyai hak yang sama dalam politik, karena pemerintah me -nganggap dirinya berkuasa dan mempunyai duit. Atau bisa juga kemudian |

dok. YMK

korban menerima bantuan tersebut, tapi secara implisit, harus ada pengakuan. Sekali nama korban masuk dalam daftar resmi negara untuk memulai satu konsep resparasi atau kompensasi. Maka di sana sebenarnya status perjuangan menjadi lebih kuat. Karena dengan adanya pengakuan pada si A, B, C harusnya yang dulu benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Masalahnya, apakah penguasa atau kekuasaan mau memberikan pengakuan seperti itu?“ Ujar Usman “Dalam konteks orang hilang International Committee of the Red Cross (ICRC) telah menyusun hirarki hak di Timor Leste yaitu hak orang-orang hilang. Pertama, tentu hak mencari kejelasan, di mana kepastian mayatnya, dimana kuburannya. Kedua, hak memakamkan dengan layak dan yang ketiga baru bantuan ekonomi. Tapi faktanya pemenuhan hak yang ketiga ini yang berjumlah 60% dari seluruh korban di Timor Leste, semakin tahun semakin menurun drastis. Mungkin sebagian dari mereka dahulunya kelas sosial menengah, tertidik, dan secara politik sadar, lalu tiba-tiba akibat peristiwa politik 1965, Tanjung Priok, peristiwa Talang Sari, peristiwa 1998, kemudian kelas sosialnya menurun.” Usman menggambarkan,”Ambil saja misalnya seorang Wiji Tukul (seniman yang hilang karena pandangannya politiknya yang

berseberangan dengan penguasa Orde Baru), seandainya sekarang dia masih hidup tentu akan menjadi sastrawan besar, tapi faktanya sekarang Sipon (istrinya) untuk ngurus kredit laptop buat Fajar dan Nganti Wani (anak) saja sangat susah.” “Atau orang-orang korban peristiwa 1965 yang dulu memiliki rumah di Menteng (Jakarta), karena peristiwa tersebut mereka dituduh PKI/komunis, lalu rumahnya diambilalih dan sekarang hidup terlantar. Jadi pertanyaannya dimana kita meletakkan keadilan atau mengapa menjadi dilema atau tereduksi oleh posisi tawar yang kuat negara”, jelas Usman.

Mengakhiri diskusi, Usman Hamid mengatakan mungkin karena kita tidak cukup solid, tidak punya bargain yang besar, kita sekarang masuk dalam practise of fredoom itu. Menurutnya di situ lah kelemahan paling pokok berada, yang kemudian menghancurkan nilai-nilai HAM yang seharusnya dijunjung tinggi. Hal ini akan menjadi tantangan kita bersama. “Kalau mau agak ilmiah sedikit, penelitian Demos berdasarkan wawancara dengan banyak aktivis (gerakan buruh, gerakan perempuan, HAM, dsb.) di Indonesia, menyimpulkan bahwa umumnya mereka setuju untuk go politics atau masuk ke dalam politik. Maksudnya tidak mungkin kita mengubah dari luar (sistem) dan bergabung dengan partai. Tapi tentu saja dengan catatan, kita tidak masuk sendirian atau hanya kenal secara pribadi dengan pimpinan partai. Paling tidak langkah tersebut dibicarakan di organisasinya, sehingga dukungan menjadi semakin kuat. Intinya, ada konsolidasi yang lebih reflektif, sehingga kita terhindar dari “jebakan” rutinitas organisasi an sich”. (rahsa)

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Program Talk Show Radio Komunitas Widya Pesona

Ancaman Rabies Terhadap Keselamatan Manusia

B

eberapa bulan terakhir penyakit rabies (gigitan anjing gila) mewabah di Pulau Bali, di sebagian besar kota/kabupaten seperti di Badung, Denpasar, Tabanan, Bangli, dan Buleleng. Sudah banyak korban meninggal dunia akibat gigitan anjing. Sebagai salah satu bentuk perhatian dan kepedulian terhadap keselamatan masyarakat terkait rasa aman, Community Policing Information Center (CPIC), Radio Komunitas Widya Pesona, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng menggelar talk show, dengan mengambil tema “Ancaman Rabies Terhadap Keselamatan Manusia”. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 28 Mei 2010 atas kerjasama Yayasan Manikaya Kauci (YMK) dan dukungan dari The Asia Foundation (TAF). Hadir sebagai narasumber drh. Gde Suarsadana seorang veteriner yang sehari-hari bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, dengan host Bung Arya Bakti memandu jalannya talkshow. Pada kesempatan itu, Suarsadana menjelaskan, adalah kewajiban pemerintah, baik daerah dan propinsi untuk segera menghentikan wabah rabies ini, karena memang penyakit ini sangat berbahaya. Di satu sisi masyarakat juga harus diberikan informasi terkait dengan penyakit, pencegahan, dan pengananannya? Secara teori penyakit rabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus rabies, virus ini dapat menyerang hewan berdarah panas. Jadi hewan yang bisa terserang adalah anjing, kucing, kera, ternak sapi, babi juga mungkin terserang, dan penyakit ini bisa menyerang dari hewan ke manusia. Mengingat tingkat bahaya jika penyakit sudah menginfeksi tubuh manusia, makanya pencegahan adalah tindakan terbaik yang bisa dilakukan. Ketika ditanya tentang tanggung jawab pemerintah, khususnya di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, terkait tindakan pencegahan, Suarsadana mengatakan, di Buleleng khususnya di Tejakaula virus

rabies ini sudah menyebar ke enam desa yakni Desa Penuktukan, Sambirenteng, Bondalem, Tejakula dan Les. Pemerintah Provinsi Bali sendiri dalam upaya menanggulangi penyakit rabies ini telah menge-luarkan Perda No. 15 tahun 2009, tentang Pemberantasan Rabies, secara umum telah diatur bahwa ma-syarakat tidak boleh memelihara anjing dengan cara dilepas untuk membatasi terjangkitnya anjing peliharaan, anjing berpemilik harus dikandangkan atau diikat. Seandainya membawa anjing jalan-jalan, mulut anjing harus ditutup. Selain itu anjing tersebut harus diregistrasi dan divaksinasi. Tentunya bagi warga masyarakat yang melanggar perda ini akan dikenakan sanksi, misalnya ancaman hukuman sampai 6 bulan kurungan.” Lebih lanjut Suarsadana memaparkan, dalam upaya pencegahan penyakit ini, pemerintah kabupaten mempunyai prosedur tetap. Pertama, sosialisasi, baik berupa penyuluhan, pemutaran film, pertemuan warga di desa, atau lewat media kesenian tradisional. Kedua, vaksinasi atau pemberian kekebalan kepada anjing yang belum terinveksi. Ketiga adalah eliminasi yaitu upaya pengurangan populasi pada hewanhewan yang telah terinveksi virus. Dan, keempat adalah penelusuran yaitu mela-

SOLIDARITAS | Volume II/2010

dok. YMK

cak informasi keberadaan sumber penyakit hingga kasus rabies tidak ditemukan lagi di masyarakat. “Memang kita masih punya keterbatasan sumber daya, khususnya di Tejakula sampai saat ini kita sudah melakukan vaksinasi pada kurang lebih 1600 ekor anjing, dan ini akan kita ulang lagi. di sepuluh desa di Kecamatan Tejakula. “Kami akui tidak bisa melakukan vaksinasi 100%, tapi paling tidak dengan usaha yang maksimal untuk menekan bahaya virus rabies ini, akan bisa meningkatkan rasa aman masyarakat, dan mengurangi kecemasan yang saat ini dirasakan,” Suarsadana menambahkan. (rahsa)

|


Program Gede Arya Bakthi, Fasilitator Program COP

”Saya merasakan pengalaman berbeda...”

B

agaimana proses penanganan permasalahan di Desa Les, Buleleng setelah mengikuti Program Community Oriented Policing (COP)? Pendampingan Yayasan Manikaya Kauci (YMK) di desa kami berlangsung sejak tahun 2004 hingga 2006, namun setelah tahun 2007 kami tidak lagi didampingi oleh YMK, tetapi di Desa Les masih tetap melanjutkan Program COP sampai sekarang., khususnya dalam penanganan permasalahan atau kasus-kasus sengketa di desa. Pada bulan April tahun 2010, sebuah kasus di desa Les telah berhasil kita selesaikan secara kekeluargaan yaitu kasus penganiayaan, setelah kita gali sumber dan akar permasalahannya ternyata berawal dari kecemburuan seorang suami pada pihak ketiga hingga berujung pada peristiwa penganiayaan. Kemudian untuk memecahkan kasus tersebut, kami telah memanggil kedua belah pihak dengan menghadirkan perwakilan Forum Kemitraan Pemolisian Masyarakat (FKPM). Terbentuknya FKPM diawali dengan berdirinya Forum Komunikasi Kamtibmas (FKK). Kemudian dengan adanya Program Polmas kita kaitkan program FKPM dengan program tersebut. Sebelumnya, kami juga pernah mengikuti pelatihan hukum-hukum dasar yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Dengan demikian, pengetahuan kami dalam penyelesaian atau penanganan sebuah kasus menjadi lebih banyak. Seperti pada kasus penganiayaan warga, kami berkoordinasi dengan kepala desa, didampingi petugas bhabinkamtibmas, I Gusti Ketut Nuada (perwakilan adat) kita berembuk bersama untuk menyelesaikan permasalahan. Di sini kemudian muncul dua cara peme |

cahan masalah yaitu; pertama, kami selesaikan secara kedinasan. Kedua, kami putuskan berdasarkan awigawig adat Desa Les. Karena apapun yang terjadi di lingkungan, baik lingkungan dinas maupun adat, menjadi tanggung jawab bersama. Sebagai bukti konkret dari kesepakatan pihak-pihak yang bertikai, bahwa mereka tidak akan mengulangi di kemudian hari. Maka kesepakatan dituangkan dalam bentuk surat pernyataan. Tetapi, kalau kesepakatan itu dilanggar, kami dari FKPM tidak segansegan melanjutkan ke jalur hukum. Sebelum dibahas pada tingkat desa, siapa yang datang melapor ke kantor kepala desa apakah dari masyarakat atau korban sendiri yang melapor?

Gede Arya Bakthi

Ya, itu menarik. Yang pertama melapor ke FKPM adalah dari pihak korban, kemudian FKPM memberikan penanganan dengan langsung memanggil korban dan pelaku penganiayaan. Setelah kita gali permasalahannya lebih lanjut, ternyata mereka sama-sama jadi korban (sekaligus pelaku), sehingga proses penyelesaian dan resolusi konfliknya membutuhkan waktu cukup lama sebelum muncul sebuah kesepakatan, yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk surat pernyataan bersama.

dok. YMK

Apa respon masyarakat terhadap penangangan model FKPM tersebut? Awalnya memang masyarakat bertanyatanya, mengapa tidak langsung dibawa ke jalur hukum padahal telah memenuhi unsur pidana terutama dari segi korban. Selanjutnya kami jelaskan bahwa proses demikian itu akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, selain juga menyita waktu aktifitas lain di desa. Model penyelesaian win-win solution dengan jalan memediasi para pihak, ternyata membuat kedua belah pihak merasa tidak dirugikan secara psikologis, tidak ada

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Program yang merasa ditekan, dan justru melahirkan rasa pengertian, serta kesepakatan untuk mencegah perselisihan lebih lanjut di kemudian hari akibat dari ketidakpuasan. Apakah surat pernyaan yang ditandatangani kedua belah pihak dilaporkan ke ke Kapolsek setempat oleh bhabinkamtibmas? Oh ya, tentu saja dilaporkan. Bhabinkamtibmas juga membuat laporan bulanan selaku bagian dari Program Polmas di tingkat desa. Apakah dari pihak kepolisian ada sosialisasi tentang Polmas dan datang ke desa-desa? Selama ini sangat minim sosialisasi dari pihak kepolisian apalagi berkaitan dengan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) atau tindak kekerasan. Namun sebaliknya, kami justru mengambil inisiatif untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat. Seperti yang telah kami buat dalam bentuk spot/jinggle iklan dan talk show di radio dengan topik seputar persoalan-persoalan kamtibmas dan solusinya lewat Program Polmas.

dengan upacara labuh getuh yang tentu saja biayanya tidak sedikit. Tetapi kalau penganiayaan seperti yang terjadi waktu lalu, ternyata tidak ada “darah keluar” dan mengotori pekarangan atau wilayah adat, maka tidak perlu mengadakan upacara labuh getuh. Untuk Program COP atau Polmas ini, sampai sekarang masih berlanjut walaupun secara formal program dengan YMK sudah selesai, tetapi kami di Desa Les masih menjalankan kegiatan-kegiatan FKPM seperti melakukan pencatatan kasus kamtibmas oleh FKPM dan program sosialisasi melalui radio komunitas yang kami kelola.

Setelah memperoleh program dan pelatihan dari YMK pada tahun 2005, lewat rembuk atau sangkep desa kami di Desa Les telah

Apakah dalam awig-awig adat telah mengatur tentang tindak penganiayaan. Bisa diceritakan sejak kapan dan bagaimana proses penanganannya? Saya tidak tahu persis apakah memang telah ada sejak dulu atau baru belakangan. Tetapi yang jelas, setelah memperoleh program dan pelatihan dari YMK pada tahun 2005, lewat rembuk atau sangkep desa kami di Desa Les telah melakukan revisi awig-awig adat, terutama pada hal-hal yang belum tertuang, kita buatkan pererarem atau aturan tambahan yang sesuai dengan kebutuhan warga di Desa Les. Sementara itu, proses penyelesaian di bidang adat memang sedikit berat. Artinya, terdapat ketentuan-ketentuan dan resiko yang harus ditanggung oleh para pihak yang berselisih. Misalnya, akibat suatu perkelahian warga, menyebabkan “darah menetes” di wilayah adat tersebut, maka wilayah tersebut harus disucikan kembali

melakukan revisi awig-awig adat, terutama pada hal-hal yang belum tertuang, kita buatkan pererarem atau aturan tambahan yang sesuai dengan kebutuhan warga di Desa Les. Kalau dari perangkat desa dinas dan adat atau dari desa tetangga apakah ada yang memberikan apresiasi terhadap Program COP ini? Sebenarnya ada, seperti dari Desa Penuktukan, yang secara adat masih menjadi satu bagian dengan Desa Les. Warga di Desa Penuktukan sering mendengar Program COP lewat siaran radio. Kemudian, kami tindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan dan rembugan tentang apa itu FKPM dan bagaimana cara membentuk-

SOLIDARITAS | Volume II/2010

nya di tingkat desa, dan seterusnya. Setelah terbentuknya FKPM di Desa Les apakah tanggung jawab dalam hal kamtibmas, khususnya kepala desa, menjadi lebih ringan? Ya, memang seperti itu. Sebelum terbentuknya FKPM di Desa Les, menjabat sebagai kepala desa terasa amat berat dengan begitu banyaknya beban tugas di desa. Selain tugas-tugas rutin, di luar tugas rutin pun seorang kepala desa harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat ketika dibutuhkan, mulai soal perkelahian, anak dilarikan orang, pencurian, dll. Semenjak ada FKPM beban tugas kepala desa sedikit demi sedikit dalam bidang kamtibmas dapat diselesaikan lewat mediasi. Sehingga kepala desa bisa lebih konsentrasi pada program pembangunan di desa. Bisa diceritakan pengalaman Anda mengikuti program pelatihan yang dilakukan oleh Yayasan Manikaya Kauci? Pelatihan yang paling berkesan dan menarik adalah pelatihan penanganan permasalahan sosial. Mengapa? karena dalam pelatihan tersebut kami memperoleh materi tentang pemetaan sosial. Materi pelatihan ini sampai sekarang tetap kami pakai sebagai perangkat bedah persoalan di masyarakat, sehingga proses penanganan dan pengambilan keputusan menjadi lebih baik. Secara pribadi, saya merasakan pengalaman berbeda selama mengikuti program yang diselenggarakan oleh Yayasan Manikaya Kauci maupun lembaga lain di Bali. Misalnya, keterlibatan saya di Kelompok Kerja (pokja) Program COP, saya mendapat pengalaman untuk berbagi pengalaman dengan teman-teman di kabupaten lain. Demikian juga, ketika saya ditunjuk oleh Yayasan Manikaya Kauci sebagai salah satu narasumber dalam evaluasi program di Jembrana dan Denpasar, dan narasumber dalam Program Studi Banding LBH- Bali di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. (agapar)

|


Laporan Good and Clean Governance

Manifestasi Keadilan Sosial Konsep good governance, dikatakan dosen Fisipol Universitas Warmadewa, Dr. Wayan Gede Suacana, bisa diterapkan tidak hanya di sektor pemerintahan, tetapi juga dalam sektor swasta. Konsep yang sangat dekat dengan good governance, papar Suacana, adalah clean governance. Konsep ini, katanya, mendekatkan civil society dengan perwujudan keadilan sosial, setidaknya dalam tiga hal yaitu: pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan.

K

endati begitu, tiap daerah, tentu memiliki kendala berbeda untuk menerapkan hal tersebut. tentu saja, kendala itu menjadi tak berarti, ketika pemangku kebijakan mau menjalankan agenda tersebut. “Maka ini tergantung dari stake holder-nya. Apakah memiliki keseriusan atau tidak untuk melaksanakan hal itu,” katanya, beberapa waktu lalu. Dijelaskan, dalam pelaksanaannya, good governance tenyata masih tumpang tindih dan tak selalu berjalan mulus. Masih saja ada ketidakberesan yang secara teoritis biasa disebut bad governance. Untuk itu, dalam melihat lebih rinci praktik good governance, maka perlu diperhatikan beberapa hal. Di antaranya, kata

Suacana, karakteristik seperti pemberian ruang kepada pihak non pemerintah untuk mengakses, menilai agar pemerintah dapat berkerjasama dan pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN. “Bagaimana cara mengukurnya, tentu dapat terlihat dengan ILC sebagai indikatornya. Sebab, dengan penerapan IT, semestinya bisa mengurangi birokrasi yang gemuk, sehingga efisiensi regulasi dapat mengurangi pengangguran,” urainya. Adakah yang perlu dirombak untuk menciptakan hal tersebut? Ditanya begitu, Suacana mengatakan, harus diseimbangkan dan berkesinambungan, penyelarasan antara satu pihak dengan lainnya harus

Diskusi pembahasan procurement di Yayasan Manikaya Kauci

10 |

dok. YMK

ada kesepakatan keseimbangan dalam pencapaian good governance. “Terutama soal perubahan mindset. Ini yang sulit dilakukan. Efisiensi birokrasi juga perlu dilakukan,” pungkasnya. Menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, harus memiliki tolok ukur. Lalu, bagaimana jika dikaitkan dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Bali, yang diberlakukan satu pintu. Apakah sudah sesuai dengan konsep good and clean governance? Dalam pratik pengadaan barang dan jasa, ternyata konsep good and clean governance masih agak sulit untuk diterapkan. Sebagaimana dituturkan oleh Made Pande Karyawan, seorang yang bergerak di bidang pengadaan barang dan jasa, dikatakan, transparansi dan efisiensi masih sulit dilaksanakan. Dalam praktik, katanya, sangat jauh dari ketentuan lelang sebagaimana diatur dalam Perpres No.67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta atau Public Private Partnership (PPP) dalam Penyediaan Infrastruktur. “Dari situ saya baru tahu perbedaan antara bekerjasama dengan pihak hotel dan pemerintah. Saya sendiri punya dua ijin kualifikasi IT dan pengadaan kecil untuk hotel,” bebernya. Efisiensi dan transparansi, kata dia, terkendala oleh karena belum terkoneksinya sistem IT ke seluruh kabupaten/kota se-Bali. Atas dasar itu, maka, tak dimungkiri bad governance masih terjadi di lapangan. Terutama, kata dia, soal pengawasan terhadap perusahaan yang ikut dalam proses tender. Dikatakan, perusahaan, ketika mengikuti tender, tak melulu memiliki modal besar. Dari pengalamannya, banyak perusahaan yang meminjam uang terlebih dahulu di bank untuk mengikuti proses tender. Selain itu, pungutan uang di lapangan mulai dari pendaftaran

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Utama

DR. Wayan Gede Suacana, M.Si

hingga proses memangkan tender, sarat dengan biaya atau uang. “Itu yang luput dari pemantauan dalam hal transparansi. Pengalaman saya, yang lumayan baik itu adalah Kabupaten Jembrana, yang sudah menerapkan sistem IT sehingga irit biaya dan publik mengetahui secara jelas. Di sana, saya tak dimintai uang sama sekali” ucapnya. Dengan terjadinya perubahan sistem tender satu pintu, tentu saja ada yang merasa dirugikan atas berlakunya aturan baru tersebut. Namun begitu, tak berarti untuk mereka yang memang menginginkan proses tender berjalan transparan dan sesuai dengan aturan. Menurut Karyawan, ada juga rekan-rekannya, yang muda-muda, dengan semangat menyambut aturan baru tersebut. Bahkan, mereka tak takut untuk melaporkan kepada lembaga yang konsen terhadap korupsi.

dok. YMK

Dikatakan Karyawan, untuk pemenang tender, sistem match point dianggap sebagai ruang untuk ‘bermain’ dibanding dengan sistem gugur pada saat evaluasi. Pasalnya, dalam sistem gugur dilakukan secara terbuka dengan disaksikan dua orang saksi. Untuk e-government saat ini, mulai berjalan baik, oleh karena terjadinya pemotongan biaya yang cukup lumayan dari sistem terdahulu. Namun, untuk Pemprov Bali, meski sudah diumumkan menggunakan sistem egovernment, namun dalam pelaksanaannya masih menggunakan sistem yang lama.

Pasalnya, dalam sistem lama ini, ada juga yang merangkap sebagai ‘pemain dan penasehat. Sehingga dia bisa saja ‘memainkan’ sesuka hatinya untuk memenangkan suatu perusahaan. “Kalau mau memperbaiki hal ini, maka harus didorong

Tampilan website e-procurement Pemprov Bali

SOLIDARITAS | Volume II/2010

perbaikan sistem seperti penggunaan egovernance misalnya,” kata Karyawan. Atas praktik tersebut, Suacana mengatakan, tranparansi belum diterapkan betul dalam pelaksanaan tender pengadaan barang dan jasa. Praktik tersebut, saat ini, masih menggunakan sistem lama yang ruwet, sehingga memungkinkan terjadinya praktik kotor. Sementara itu, dibentuknya Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/ Jasa Pemerintah sesungguhnya untuk memotong rantai birokrasi yang panjang. Akan tetapi kemudian, jelas Suacana, lama kelamaan fungsi ULP pun bergeser. Selain itu, yang terpenting juga adalah keharusan adanya kejelasan kontrak “citizen charter.” Jika mengambil contoh di Yogyakarta, untuk membuat bangunan saja, harus ada kejelasan secara rinci tentang berapa waktu yang diperlukan, berapa biaya dan apa sanksinya jika tidak sesuai dengan kualifikasi. Pun halnya dengan terjadinya kesalahan oleh aparat. Sehingga tak memiliki peluang untuk mengaburkan segala hal soal pengadaan barang dan jasa, mulai dari awal hingga akhir. Terakhir tentu masalah integritas dan masalah pengawasan. Ini yang belum sampai ke masyarakat atau partisipasi masyarakat untuk mengetahui integritas ini masih kurang. Nilai-nilai lokal, harusnya masuk ke pakta integritas,” harapnya. (cikal)

rep. int

| 11


Laporan

Meski Diawasi Ketat, Tetap Rawan Kebocoran

Papan proyek peningkatan mutu jalan di Denpasar

Meski proses tender pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali diawasi secara ketat oleh DPRD Bali, Inspektorat Pengawas Daerah (Irwasda) Bali, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Bali, nampaknya, tetap rawan kebocoran. Pasalnya, pemenang tender, tetap ditentukan oleh pengguna barang dan jasa, dalam hal ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sehingga, pada titik ini, kemungkinan terjadinya praktik gratifikasi,yang masuk dalam kategori korupsi, terbuka lebar.

dok. YMK

K

endati begitu, Kepala Irwasda Bali, I Made Jendra, mengatakan, pelaksanaan tender di lingkup Pemprov Bali, diawasi ketat instansinya. Setiap tahapan pengadaan barang dan jasa, jelas Jendra, menjadi fokus perhatian Irwasda, temasuk kesesuaian aplikasi tender tersebut. “Mulai tahapan lelang hingga bagaimana aplikasinya di lapangan, itu yang kita perhatikan. Kalau prosesnya sudah benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai kami akan lakukan koreksi,” jelas Jendra kepada Solidaritas pekan lalu. Lalu, bagaimana bila spesifikasi tender itu tidak sesuai dengan kebutuhan? Ditanya begitu, Jendra menjelaskan, kalau hal tersebut terjadi, maka itu kembali kepada pengguna dan penyedia jasa. Menurutnya, ketidaksesuaian itu akan kembali pada kontrak penyedia dan pengguna jasa dalam pelaksanaan tender. Dalam kontrak, jelasnya, tertuang hak dan kewajiban masing-masing pihak secara detail. Inspektorat juga akan melakukan pengawasan jika ada keluhan ketidaksesuaian spesifikasi, sebagaimana dimaksud. “Kita juga akan cek itu. Apakah sudah sesuai dengan spek dan RAB,” bebernya.

Pengumuman pemenang lelang tender di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemprov Bali

12 |

dok. YMK

Jendra menjelaskan, dalam tender satu

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Utama pintu yang belum lama diberlakukan ini, tak hanya instansi terkait yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Masyarakat, kata dia, juga diberikan ruang untuk melakukan kontrol terhadap sistem yang diberlakukan satu pintu ini. Menurutnya, sejak proses awal hingga akhir, masyarakat tetap diberikan ruang kontrol. Sebab, katanya, pada tahap awal, rencana lelang akan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat melalui media massa lokal dan nasional, tergantung dari besaran nilai tender. Selanjutnya, jika di tengah proses masyarakat juga ingin mengajukan keberatan, maka dia memiliki ruang sanggahan, yang memang diberikan untuk menjamin proses lelang tetap transparan. “Tapi lihat dulu, ketidakpuasannya soal apa. Biasanya, yang tidak puas itu yang ikut di dalam tender. Nah, mekanismenya itu bisa melalui sanggahan. Itu tetap akan ditampung, dan merupakan ruang dalam tender untuk menyatakan keberatan dari publik,” ujarnya. Sementara itu, anggota DPRD Bali, Ni Made Sumiati, S.H., saat dimintai komentarnya, mengatakan, tak mempersoalkan pelaksanaan tender satu pintu. Asal, kata dia, proses dan mekanismenya sesuai, mengacu pada aturan yang ada. “Tak jadi masalah, itu namanya sistem. Kami sendiri (legislatif) tak mempermasalahkan hal itu,” katanya. Meski begitu, srikandi dewan asal Karangasem ini tak membantah jika pelaksanaan lelang rawan kebocoran. Jika terjadi kebocoran, tentu saja tak bisa memukul rata siapa yang bertanggungjawab dalam hal itu. Menurutnya, hal tersebut berpulang kembali kepada individu yang terlibat dalam proses lelang. Apalagi jika diambil kesimpulan kalau tender satu pintu itu buruk. “Kalaupun terjadi kebocoran, itu berpulang kepada individu. Tak bisa memukul rata bahwa sistem ini bobrok, dan pucuk pimpinan yang harus bertanggung jawab,” tegas dia. Kontrol dewan sendiri, tutur Sumiati, dilakukan dengan sangat ketat. Terkait kontrol anggaran, sudah ada badan penganggaran (banggar). Setiap anggota DPRD Bali juga memiliki kewenangan pengawasan secara individual, di luar dari kelembagaan. Jika ada temuan kebocoran atau praktik KKN,

dok. YMK

Menunggu ketegasan para pengawas lelang tender

misalnya, maka DPRD Bali akan melakukan kajian terhadap hal itu. Tentu saja, hasil kajian tersebut akan dijadikan acuan untuk menyikapinya. “Bagi kami, tender satu pintu menghindari praktik KKN. Dan, kami percaya itu dapat memutus mata rantai KKN, seperti gratifikasi misalnya. Sepanjang sistem itu berlangsung sesuai dengan ketentuan, tak jadi masalah. Selama ini juga dewan tak menemukan adanya penyimpangan dalam pengadaan barang satu pintu,” imbuhnya. Di tempat terpisah, Kepala BPK perwakilan Bali, I Gede Kastawa, S.E., M. M., beberapa waktu lalu, menyatakan sistem pelaksanaan tender pengadaan barang dan jasa satu pintu ini, sarat dengan kemungkinan terjadinya praktik KKN. Kendati begitu, Kastawa tak mau buru-buru menyatakan jika tender satu pintu tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ditemui di ruang kerjanya, Kastawa tak banyak memberikan keterangan. Kastawa mengatakan, kalau sistem tender satu pintu, juga menjadi fokus kajian lembaganya. “Ya jelas dong. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan di lingkungan Pemprov Bali pasti akan kita awasi dan audit,” tegas Kastawa. (cikal)

SOLIDARITAS | Volume II/2010

Ni Made Sumiati, S.H.

dok. YMK

| 13


Laporan Sistem Tender Satu Pintu

Diakui Berpotensi Korupsi, Perbaiki Kualitas Lelang Tender satu pintu, diterapkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, dalam kerangka memperbaiki kualitas pengadaan barang dan jasa di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SPKD) di Pemprov Bali. Gagasan itu dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan pengadaan barang, dengan menghindari sistem kepanitiaan yang panjang dan tidak kredibel, yang berpotensi menjadi lahan praktik korupsi. Selain itu, kepanitiaan satu pintu diharapkan nantinya mampu memberikan asas keadilan kepada masyarakat, agar pemenang tender tak melulu jatuh ke tangan satu perusahaan saja. Namun begitu, benarkah pengadaan barang satu pintu sesuai semangat awal atau jangan-jangan, pengadaan barang dan jasa yang terpusat di bawah kendali Pemprov Bali malah makin menyuburkan praktik korupsi. Berikut penelusuran Solidaritas.

K

abag Humas pada BiroHumas dan Protokol Pemprov Bali, I Ketut Teneng, mengatakan, sejak awal program ini digagas, Pemprov Bali berharap agar program ini diketahui secara luas oleh masyarakat. Caranya, kata dia, dengan memanfaatkan fasilitas teknologi seperti internet. Melalui internet, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan Pemprov Bali disosialisasikan termasuk di dalamnya pengadaan barang dan jasa. “Ini penting, karena memang dalam konteks akuntabilitas, kami ingin semua masyarakat mengetahuinya dan dapat mengakses. Dengan begitu, segala kegiatan pemprov akan bermakna kegiatan masyarakat juga, karena merasa sudah memiliki kegiatan tersebut,” ujarnya. Dalam pengadaan barang dan jasa, kata Teneng, tentu saja yang diutamakan adalah bersaing secara sehat, sportif dan menjaga mutu dari output suatu proyek 14 |

yang digarap. Jika mengacu pada DPA, maka pengadaan barang dan jasa dengan besar anggaran di atas Rp100 juta, harus melalui proses tender. Teknisnya, jelas Teneng, SKPD yang membutuhkan barang atau jasa mengirimkan surat kepada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/ Jasa Pemerintah. Dalam isi surat, SKPD tersebut menjelaskan secara rinci jenis barang atau jasa yang hendak diadakan. “Begitu prosesnya. Mengirim surat, pengadaan barangnya apa dan speknya apa, itu harus disampaikan. ULP selanjutnya membuka lelang untuk keperluan dimaksud,” paparnya. Meski saat ini sistem tender pengadaan barang dan jasa terpusat menjadi

satu pintu, Teneng menjamin tak ada upaya “main mata” antara perusahaan dengan Pemprov Bali. Apa jaminannnya? Menurutnya, segala kualifikasi pemenang akan diumumkan secara terbuka di masyarakat. Pada titik itu, publik juga mempunyai kesempatan untuk melakukan konstrol secara penuh. Teneng juga menjamin, tak ada pejabat yang terlibat dalam proses tender tersebut. terlebih jika seorang pejabat ikut tender melalui perusahaannya. “Aturannya jelas, PNS tak boleh jadi pengusaha. Kalau memang ada yang begitu dan ketahuan, pasti ada sanksi yang tegas kepada orang itu. Itu tindakan yang tidak bisa dimaafkan,” jelasnya. Sementara itu, Kepala ULP Pemprov

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Utama Bali, Jayadi Jaya, saat ditemui di ruang kerjanya, mengatakan, meski proses tender di lingkup Pemprov Bali satu pintu, tapi dipastikan hal itu akan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain diumumkan melalui media online, pengadaan barang dan jasa juga diumumkan melalui media massa lokal dan nasional. Dikatakan, pengumuman yang disampaikan baik melalui internet atau pun media cetak, pasti akan memuat hal-hal detail seperti segala persyaratan yang dibutuhkan, siapa saja yang berhak mengikuti proses lelang, dan jenis kualifikasi yang dibutuhkan. “kalau barang dan konstruksi, kita akan umumkan melalui Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Nah, mulai dari pengumuman awal sampai dengan usul penetapan pemenang, itu kewenangan ULP. Selebihnya, mulai dari kontrak hingga pelaksanaan proyek, itu wilayah SKPD. Bagaimana untuk menghindari tumpang tindih pengadaan barang dari seluruh SKPD? Menurut Jayadi, ULP memiliki jadwal pelelangan. “Kalau dikatakan tumpangtindih, ya begitu realitasnya. Tapi kita punya jadwal sehingga tak mengacau antara SKPD satu dengan lainnya,” bebernya. Sementara itu, mengenai siapa saja berhak mengikuti proses lelang, Jayadi mengatakan, siapapun berhak mengiku-

Jayadi Jaya

ti proses tersebut, asal persyaratan yang dibebankan terpenuhi. Persyaratan itu, di antaranya sesuai dengan kualifikasi tender, bidang usaha sesuai dengan kebutuhan, NPWP, dan banyak persyaratan lainnya. Setelah persyaratan administrasi itu terpenuhi, maka yang bersangkutan boleh mengikuti proses lelang. Setelah lelang dilaksanakan, Jayadi mengaku tak tahumenahu soal kriteria bagi pemenang. Pasalnya, ULP hanya menjalankan rencana lelang, dan mengusulkan beberapa perusahaan kepada SKPD saja. Selanjutnya, pemenang akan ditentukan oleh SKPD yang membutuhkan pengadaan barang dan jasa. “Berdasar Kepres No. 80 tahun 2003. Setelah lulus evaluasi, maka ULP hanya menentukan calon pemenang saja, berdasar kualifikasi. Kita hanya ajukan calon saja,” urainya. Jayadi mengatakan, untuk proses evaluasi ada dua macam sifatnya, gugur dan match point. Jika pada proses evaluasi administrasi satu perusahaan tak memenuhi persyaratan, maka dengan sendirinya gugur. Kendati begitu, Jayadi tak mau membuka soal kriteria penilaian dan bagaimana hasil evaluasi yang dilakukan. “Itu kerahasiaan proses. Keppres yang menjamin tak boleh dipublikasikan. Yang boleh membuka itu adalah lembaga pemeriksa, jika pun ada pemeriksaan,” kelit dia.

dok. YMK

SOLIDARITAS | Volume II/2010

Jika satu perusahaan pernah memenangkan lelang proyek dan buruk pada pengerjaannya, maka dia tak akan diikutkan kembali jika sudah di-blacklist. Blacklist sendiri diajukan oleh si pengguna jasa dan barang yang merasa tak puas dengan pengerjaan suatu perusahaan, diajukan kepada ULP. Masa berlaku black list selama dua tahun. Black list sendiri, dijelaskan Jayadi, ada berbagai macam. Tak melulu dua tahun, tapi bisa saja dalam kurun waktu

I Ketut Teneng

dok. YMK

tertentu dengan jenis pengadaan proyek pada satu kasus saja. “Tetapi bagi pihak lain itu menjadi referensi,” jelasnya. Bagaimana dengan gratifikasi? Ditanya begitu, Jayadi mengklarifikasi jika sering terjadi praktik yang masuk dalam kualifikasi korupsi itu. Menurutnya, gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa berpotensi terjadi. Kendati begitu, gratifikasi itu, katanya, masing-masing kejadian dan bentuknya. Sementara di ULP sendiri, pihaknya menjamin tak ada yang menerima gratifikasi. Dikatakan begitu, katanya, karena ULP ini adalah lembaga yang tidak bergerak dan disoroti oleh berbagai lembaga berkepentingan. “Kita jamin tak ada gratifikasi di sini. ULP ini barang mati,” katanya. Meski begitu, pengadaan barang satu pintu, lanjut Jayadi, secara normatif jelas dapa menghindari hingga menghilangkan praktik KKN. Mengenai kebocoran anggaran, Jayadi mengaku jika dilihat dari misi dibentuknya badan pengadaan barang satu pintu adalah untuk menghindari potensi terjadinya praktik haram tersebut. “Dan, selama ini berjalan baik. Sangat bisa dijamin tak ada kebocoran anggaran. Kontrolnya jelas tepusat, karena satu pintu. Bandingkan, lebih fokus mengontrol empat puluh SKPD dalam sistem lama atau fokus hanya satu dalam sistem yang baru ini. saya pikir lebih efektif yang satu difokuskan. Tak akan ada kebocoran,” imbuhnya. (cikal) | 15


ini Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

DR. Wayan Gede Suacana, M.Si

P

roses dinamika politik yang sedang berlangsung pascareformasi 1998 lalu membangkitkan tantangan pada seluruh sistem penyelenggaraan pemerintahan. Dalam menghadapi derasnya arus dinamika politik tersebut. Pemerintah diharuskan dapat mentransformasikan semangat demokratisasi dan egalitarian, yang menempatkan rakyat—seperti logika awal demokrasi, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, agar terwujud tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dari sudut pandang ilmu politik, pembentukan good governance adalah tujuan akhir gerakan reformasi dan demokratisasi. Beberapa Karakteristik Penyelenggaraan good governance merupakan salah satu syarat bagi terciptanya sistem pelayanan, yang disatu sisi mampu merespons perkembangan eksternal yang terjadi, dan di sisi lain mampu mengakomodasi tuntutan internal. Ada beberapa karakteristik good governance yang semestinya menjadi acuan dalam mengarahkan kebijakan dalam sistem pemerintahan. Pertama, adanya penegakkan dan supremasi hukum, transparansi, dan profesionalisme. Penyelenggara negara juga harus memiliki kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas. Kedua, penghormatan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat di satu pihak, dan demokrasi di pihak lainnya. Kekuasaan negara ditransformasikan dari kekuasaan “atas rakyat� menuju kekuasaan “untuk rakyat�. Ketiga, dapat meningkatkan keberdayaan dan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat tanpa 16 |

Upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan tuntutan utama reformasi. Namum berbagai langkah yang dilakukan baik oleh DPR, pemerintah maupun lembaga tinggi negara lainnya akhir-akhir ini justru lebih mengarah kepada praktik Bad Governance dengan semakin pudarnya integritas di kalangan pejabat publik yang disertai keterlibatan mereka dalam berbagai kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. diskriminasi, dengan melibatkan unsurunsur masyarakat dan swasta. Keempat, mampu mengakomodasi kontrol sosial masyarakat dengan tetap mengembangkan semangat kemitraan, otonomi dan dinamika politik. Kelima, meningkatnya partisipasi, otoaktivitas, dan desentralisasi, dan keenam, berkembangnya sistem checks and balances. Dengan demikian, good governance, merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara yang efisien dan efektif dengan menjadi sinergi yang konstruktif diantara pemerintah (government), sektor swasta (private sector), dan masyarakat sipil (civil society). Negara dan pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta mendorong terciptanya lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri mewadahi interaksi sosial politik dan perpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Prinsip-prinsip demokrasi yang melekat pada good governance meletakkan urgensi untuk menempatkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa. Kemudian, tidak adanya rasa takut untuk memasuki suatu perkumpulan atau berserikat sesuai dengan kebutuhan hati nurani, dan akhirnya dihargainya perbedaan pendapat. Di samping itu, good governance juga menghendaki adanya upaya revitalisasi birokrasi dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan pendekatan parti-

sipatoris untuk menggantikan pendekatan kekuasaan, pendelegasian tugas dan kewenangan kepada masyarakat atas hal-hal yang dapat mereka kerjakan sendiri, serta yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia di kalangan aparat birokrasi sendiri. Peluang Good Governance Berbagai patologi birokrasi yang masih tampak hingga kini tidak menutup peluang bagi upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Untuk itu struktur birokasi hendaknya tetap bisa menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Di samping itu juga terpenuhi tiga hal yang hingga saat ini sangat didambakan oleh masyarakat luas yaitu: Pertama, pelayanan civil service secara berlanjut demi kelancaran administrasi pemerintah dan harus terbebas dari pengaruh politik (adanya pergantian pemerintahan hasil pilkada langsung), PNS harus independen dan hanya loyal kepada kepentingan negara. Kedua, perlindungan, melalui perwujudan dan su-premasi hukum (kepastian dan penegakan hukum), sehingga masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Ketiga, memberdayakan masyarakat. Pemerintah secara langsung mendorong (memfasilitasi) masyarakat dalam berbagai kegiatan demi kepentingan masyarakat dengan pemberian pelayanan dan perlindungan

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


ini serta jaminan hukum yang konsisten dan tegas. Guna menjamin terwujudnya hal itu maka perlu dilakukan "check and balance" dari masing-masing fungsi kelembagaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing lembaga harus memiliki fungsi yang jelas dan lebih independen, seluruh proses harus dilaksanakan secara "transparan" untuk diketahui publik guna kepentingan pengawasan melalui social control. Peluang terbuka ke arah perwujudan

good governance terjadi apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan partikularisme dalam sistem administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant�. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat apapun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair harus dilakukan agar setiap orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai kelayakannya melaksanakan proyek itu. Dengan begitu kesempatan munculnya praktek KKN dan mark up yang selama ini terjadi dalam pelaksa-

naan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan. Akhirnya good governance akan bisa terwujud apabila birokrasi bisa lebih adaptif terhadap perubahan dan dinamika masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berpihak pada kedaulatan rakyat sehingga lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara profesional, proporsional dan efisien. * Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa

Program

Advokasi Program tingkat Kabupaten

S

ebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Program Pemolisian Masyarakat (Polmas)/Community Oriented Policing (COP), yang digagas pada seminar dan lokakarya pada tanggal 27 April 2010, tim Manikaya Kauci melakukan proses advokasi pada tingkat kabupaten. Tujuan dari advokasi tingkat kabupaten ini tidak lain untuk mensosialisasikan hasil acara seminar dan lokakakarya. Ada harapan yang cukup tinggi

agar pemerintah kabupaten terlibat aktif dan bisa mendukung program yang akan dijalankan karena mau tidak mau institusi pemerintah juga bertanggung jawab terhadap rasa aman masyarakatnya. Pada tanggal 18 Mei 2010, tim Program Polmas dipimpin oleh Gunadjar, Direktur Yayasan Manikaya Kauci selaku penanggung jawab program bersama Nengah Sukardika selaku Program Officer, melakukan audiensi ke Pemerintah Kabupaten Jembrana dan Buleleng serta ke Kepolisian Resort (Polres) Jembrana dan Buleleng. Di Kabupaten Buleleng, Tim Polmas Manikaya Kauci bertemu diterima langsung oleh Kepala dok. YMK Kantor Kesa-

SOLIDARITAS | Volume II/2010

tuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Polinmas) Nengah Widiana Santosa, serta sekretaris Dewa Putu Susrama. Dari hasil pertemuan tersebut diketahui bahwa pihak pemerintah sangat setuju dengan program yang telah dan akan dijalankan Yayasan Manikaya Kauci, khususnya terhadap keberadaan Forum Komunikasi Pemolisian Masyarakat (FKPM) yang dinilai berhasil membantu program-program kepolisian. Widiana berharap kegiatan sosialisasi dilaksanakan lebih intens sehingga lebih banyak masyarakat Kabupaten Buleleng mengetahuinya. Pada hari berikutnya, 19 Mei 2010, di Kabupaten Jembrana Tim Polmas Yayasan Manikaya Kauci diterima oleh Sekretaris Kesbang Polinmas Kabupaten Jembrana I Wayan Widnyana mewakili pemeritah. Tidak banyak berbeda dengan hasil pertemuan di Kabupaten Buleleng, Kesbang Polinmas Kabupaten Jembrana merespon positif bersedia memberi dukungan dan berpartisipasi dalam program. Melalui program yang akan dijalankan, Widnyana berharap nantinya terjalinnya koordinasi yang cukup bagus antara pihak kepolisian, pemda dan masyarakat dalam menciptakan kamtibmas yang kondusif. (rahsa)

| 17


Sosok Sanggar Anak Tangguh

Sanggar Pendidikan Alternatif Tampak keceriaan anak-anak di Sanggar Anak Tangguh. Tawa dan canda mereka mewarnai pagi yang cerah di hari Minggu. Yah, hari itu anak-anak sedang mengikuti beberapa aktivitas di sebuah sanggar di pinggir sawah yang sejuk dan asri. Ada yang belajar menari, latihan drama, dan menggambar.

S

anggar Anak Tangguh adalah salah satu tawaran alternatif dalam meng-antisipasi kesenjangan di sektor pendidikan. Kesenjangan pendidikan antara masyarakat kaya yang tinggal di perkotaan dan masyarakat miskin yang tinggal dipedesaan. Sanggar Anak Tangguh memproklamirkan diri sebagai sanggar yang mengusung pendidikan alternatif dan holistik Adalah Komang Adi, salah satu satu penggagas sekaligus pendiri Sanggar Anak tangguh. Pemuda desa yang lahir pada tanggal 24 Desember 1974 di Desa Guwang, Sukawati, Kabupaten Gianyar, dimana Sanggar anak Tangguh berada. Ia menyelesaikan pendidikannya di ITN Bandung jurusan product design. Selain aktif mengurus sanggar, ia juga aktif di Mitra Bali, sebuah NGO yang yang peduli dalam pengembangan konsep perdagangan yang berkeadilan, didasarkan pada asas tranparansi (fair trade). Pendidikan alternatif di Sanggar Anak Tangguh, menurut Komang Adi, dapat diamati dari proses pembangunan yang digagas oleh warga lokal dengan bergotong-royong. Orang tua para anak di sekitar sanggar pun memiliki peran dalam pengembangan Sanggar. Orang tua atau wali anak-anak, dilibatkan dan bergotong-royong dan berkontribusi: pikiran, tenaga, waktu sesuai potensinya, dalam menghidupkan sanggar. Partisipasi 18 |

I Komang Adiartha

dok. YMK

orang tua diwujudkan dalam langkah nyata seperti: mereka berkontribusi menyumbang air, listrik, ada yang berkontribusi dalam penjemputan relawan. Termasuk mengajar di sanggar. Pemilik nama lengkap I Komang Adiartha ini menuturkan, partisipasi orang tua diharapkan sesuai kemampuan dan kesanggupannya. Dalam acara rapat para wali siswa, tuturnya, salah satu orang tua pernah me-ngatakan, “sanggar ini akan tetap hidup jika semangat gortong royong masih hidup, dan sanggar ini akan mati, jika semangat gotong royong itu telah mati�. Dalam melakukan aktivitas belajar, Sanggar Anak Tangguh menggunakan lingkungan sekitar sebagai ruang belajar anak-anak. Seperti sawah (subak Kulidan), Sungai Wos dan ekosistemnya, dan Lingkungan pantai Ketewel sebagai sarana bermain dan belajar. Visi Sanggar Anak Tangguh menjadikan semua tempat adalah sekolah, semua buku adalah ilmu dan semua orang adalah guru. Dalam mengimplementasikan visi tersebut. Anak-anak memakai potensi alam dan lingkungan sebagai sarana belajar. Seperti jika mereka menggambar,

mereka langsung ke sawah menggambar pohon bayam atau cabe. Anak-anak juga dapat menggambar pemandangan pantai dan mempresentasikanya dalam bahasa Inggris. Anak-anak mengungkapkan istilah seperti blue montain, coconut tree, dll, sesuai dengan gambarnya. Untuk menghindari kejenuhan dan menumbuhkan rasa senang belajar dari dalam diri si anak, progaram dibuat beragam. Program tidak hanya belajar di Sanggar, tetapi sekali-sekali anak-anak juga diajak susur su-ngai. Tujuan acara susur sungai adalah untuk tidak hanya membuat anak menjadi cerdas tetapi juga sehat dan tangguh.

Salah satu program unggulan sanggar adalah mengenalkan pentingnya keorganisasian dan berorganisasi. Banyak kalangan yang mengangap berorganisasi bukanlah pembelajaran. Karena banyak hal yang dapat dipelajari dalam praktek berorganisasi yang tidak dapat dipelajari dalam pendidikan yang hanya menekankan ilmu pengetahuan saja. Dalam setiap kegiatan yang diadakan, anak-anak selalu dilibatkan dalam kepanitiaan. Bahkan ketua panitianya haruslah anak-anak. Sebagai contoh dalam salah satu event “Tri Hita Karana In Action� panitia intinya adalah anak-anak SMP dan seksi-seksinya adalah anak anak dari kelas lima SD ke atas, sedangkan fasilitatornya hanyalah sebagai pendamping. (RAHSA)

Anak-anak di Sanggar Anak Tangguh

dok. YMK

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Sosial Budaya Menghadapi berbagai kebutuhan hidup (baca: tuntutan ekonomi) seperti saat ini, adalah suatu kewajaran kalau sastrawan dapat melahirkan karya yang menghasilkan materi atau uang untuk mencukupi kebutuhan hidup”, menuturkan.

(Ki-ka) Moch S Welang, Wayan Sunarta, Gunadjar

Diskusi Undip-YMK

Bakat dan Menulis Sastra

H

dok. YMK

tingnya sebuah komunitas sebagai ruang ekspresi dan penciptaan sebuah karya. Sebuah pertanyaan yang cukup mengelitik dilontarkan oleh seorang mahasiwa Undip. “Dengan kondisi jaman seperti ini, bagaimana sastrawan dapat meraih kehidupan yang lebih layak, karena pada kenyataannya banyak sekali satrawan hidup tidak layak?” Jengky yang lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana itu, menanggapi dengan arif pertanyaan tersebut. “Tidak selamanya sastrawan hidup miskin, paling tidak kaya akan karya dan kawan.

Senada dengan apa yang disampaikan Jengki, Gayatri (mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitas Udayana) menimpali, “Orang yang bergelut di dunia kesusastraan bukan berarti tidak mempunyai peluang, seperti banyak mereka yang kemudian masuk ke industri film dan sinetron. Nyatanya beberapa bahasa periklanan terikini, misalnya, dilahirkan dan dikemas secara apik oleh para sastrawan atau mereka yang berkecimpung di dunia kesenian. Jadi ada pemahaman untuk tidak kesusastraan an sich”. Malam semakin semarak, di tengah– tengah acara, para seniman dan satrawan yang hadir menampilkan beberapa performa dan pembacaan puisi. Seperti Muda Wijaya, Joan Valentine, Wayan “Jengky” Sunarta, Prakiyul, mahasiswa-mahasiswa Undip, dan tak ketinggalan dosen pendamping mereka. Acara ditutup dengan penyerahan tanda mata: majalah SOLIDARITAS dan antologi puisi “Keranda Emas” dari komunitas penyair Bali dan YMK kepada perwakilan rombongan Fakultas Sastra Undip. (rahsa)

ujan rintik tak menyurutkan langkah enam puluh mahasiswa Universitas Diponegoro datang di bilangan Kesiman, Denpasar menghadiri sebuah acara yang digagas oleh Yayasan Manikaya Kauci (YMK), bekerjasama dengan kelompok seniman “Ceritanya Komunitas” Denpasar dan mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dalam kegiatan studi. Sesampainya di balai banjar yang tampak tenang, telah menunggu beberapa seniman Bali seperti Wayan “Jengky” Sunarta (penyair Bali), Joan Valentina, Moch Satria Welang, dan beberapa aktivis YMK. Suasana hangat dan penuh keakraban meliputi acara yang dibuka pukul 19.OO wita oleh Moch Satrio Welang sebagai pemandu acara. Topik pembicaraan diawali dengan lemparan gagasan akan penSOLIDARITAS | Volume II/2010

Suasana diskusi Mahasiswa Fak. Sastra Universitas Diponegoro dengan sastrawan Bali di Bale Banjar Yayasan Maikaya Kauci

dok. YMK

| 19


Sosial Budaya

Solidaritas

solidaritas

Apakah Solidaritas itu? Solidaritas (dengan “S” kapital) adalah nama sebuah majalah terbitan Yayasan Manikaya Kauci, yang menyebut Tuhan Yang Maha Esa dalam susunan redaksinya sebagai Pelindung.

[ibm. dharma palguna] Apakah kehendak itu? Kehendak adalah satu kekuatan (shakti) yang menyebabkan apa yang sebelumnya tidak ada diusahakan menjadi ada. Kehendak itu bisa ada pada semangat orang-orang, bisa pula ada pada apa yang mereka sebut Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dapat dipahami, mengapa mereka tidak melupakan Tuhan Yang Maha Esa di dalam susunan redaksi. Bagaimana kalau kehendak itu hilang? Seumpamanya kelak Solidaritas hilang dari peredaran karena satu dan lain sebab, misalnya karena tidak ada dana, pembaca akan bertanya-tanya apakah barangkali Tuhan tidak lagi menghendaki ada Solidaritas? Bukan kebetulan Solidaritas menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pelindung. Dalam wacana solidaritas kemanusiaan pun (solidaritas dengan “s” kecil) Tuhan sering disebut-sebut oleh masyarakat beragama sebagai sebab dari mana nilai solidaritas itu berasal, dan ke mana nilai solidaritas itu kembali. Maka oleh sebab itu, jika sekarang perilaku-solidaritas dan produk-solidaritas dirasakan mulai hilang dalam hubungan kemanusiaan, maka itu juga dipahami memang kehendakNya. Tuhan mengadakan, Tuhan memelihara, dan Tuhan melebur. Sehingga orang atau kelompok orang yang menggali nilai soli20 |

Mengapa ada Solidaritas? Solidaritas itu ada karena diadakan: dari tidak ada menjadi ada. Dalam bahasa penganut Tuhan Yang Maha Esa, Solidaritas itu ada bukan hanya karena kehendak orang-orang, tapi di atas semua itu Solidaritas ada atas kehendakNya. daritas kemanusiaan dan mengkampanyekannya, mereka patut diduga provokator yang menghambat proses peleburan (pralina) solidaritas itu sendiri. Mengapa mereka menghambat? Barangkali mereka tidak percaya, bahwa peleburan solidaritas model lama oleh Tuhan Yang Maha Esa justru bertujuan agar segera bisa diciptakan model solidaritas yang baru oleh Tuhan Yang Maha Esa juga. Sabar, tabah, tawakal, ikhlas, adalah kata-kata kunci yang dititipkan oleh pikiran agamais untuk menghadapi cobaan. Dinasehatkan oleh guruguru agama agar manusia jangan larut dalam kesedihan ketika kehilangan harta berharga seperti solidaritas itu. Begitukah? Dengan cara berpikir seperti itu, permasalahan melemahnya solidaritas kemanusiaan menjadi seakan “terpecahkan” dengan sendirinya, tanpa perlu susah payah memecahkannya. Cara agama umumnya dipraktekkan seperti itu. Hati yang sedih karena hilangnya solidaritas diobati hingga pulih. Bila hati sudah waras, jiwa kembali wal’afiat, pandangan menjadi fresh, maka berubahlah “realita” yang nampak. Dalam bahasa pewayangan, neraka pun seketika berubah menjadi surga di mata wayang yang tinggi ilmu kebatinannya. So what? Begitulah barangkali akan jadinya,

bila buru-buru melibatkan Tuhan Yang Maha Esa untuk urusan manusia dengan manusia. Pikiran dan pandangan menjadi ambigu. Ada kavling solidaritas yang digarap oleh manusia, dan ada kavling yang diperuntukkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah sejatinya urusan solidaritas itu masih bisa ditangani oleh manusia secara bersama-sama dengan sesama manusia, dengan cara bergotong-royong, kalau berat sama dipikul kalau ringan sama dijinjing, harapan sama dikejar penjahat kemanusiaan sama-sama dihajar. Masalah solidaritas adalah urusan manusia dengan manusia. Urusan manusia dengan para Bhuta dan para Kala tidak dinamai solidaritas. Urusan pribadi manusia dengan Tuhannya juga tidak disebut solidaritas. Dalam wacana solidaritas, manusia adalah pusatnya. Manusialah yang secara bersama-sama melindungi nilai, perilaku, dan produk solidaritas kemanusiaan itu. Manusia punya kekuatan kehendak, kekuatan pengetahuan, dan kekuatan kerja yang luar biasa. Dengan potensi itu, manusia bukan hanya pelindung solidaritas kemanusiaan. Manusia bahkan juga pelindung Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, Siapa sesungguhnya melindungi siapa? Pasti bukan kebetulan bila majalah

Volume II/2010 | SOLIDARITAS


Layanan Publik berbasis kemanusiaan Solidaritas ini menempatkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelindung. Pasti juga bukan kebetulan bila banyak majalah agama berbasis ketuhanan justru menempatkan manusia (biasa) sebagai pelindung. Memang kita diajarkan bahwa tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Tapi kita akhirnya dibuat tahu, bahwa hampir di setiap bahasa ada kata kebetulan. Maka wajar bila orang lantas bertanya-tanya: apakah yang ada hanya kata, sedangkan isi yang direpresentasikan oleh kata itu bisa ada bisa tidak ada?

Ranperda RTRW Kota Denpasar

Penyandang Cacat Belum Jadi Prioritas

Dengan kata lain pertanyaan itu berbunyi, apakah sekarang solidaritas itu hanya kata? Orang boleh bertengkar, atau bahkan berperang, untuk sebuah kata. Dari pertengkaran dan peperangan itu akhirnya mudah sekali memunculkan “solidaritas” di permukaan. Apalagi ketika ditemukan apa yang disebut musuh bersama: terutama musuh kebiadaban sosial. Selebar apakah solidaritas itu sekarang? Lebar majalah Solidaritas dapat diukur. Tebalnya dapat dihitung sesuai jumlah halamannya. Bagaimana dengan nilai dan perilaku solidaritas manusia? Keluasan dan kedalaman nilai solidaritas kemanusiaan yang dicita-citakan majalah Solidaritas, akan mudah dipahami oleh pikiran yang menganut “agama kemanusiaan”. Dalam agama ini, ketuhanan berubah menjadi “rasa” yang sangat dalam, ditemukan di dalam diri penganutnya. Bila itu kelak terjadi (atas kehendakNya), maka Yayasan Manikaya Kauci tidak perlu lagi menerbitkan majalah Solidaritas. Karena jagat manusia ini akan berubah menjadi “majalah Solidaritas” yang tak habis dibaca bergenerasi-generasi. Kapan itu akan terjadi? Itu akan terjadi segera setelah Tuhan Yang Maha Esa tahu diriNya dijadikan Pelindung sebuah majalah berbasis solidaritas! (*)

SOLIDARITAS | Volume II/2010

S

etahun yang lalu, di bulan Juli 2009, Forum Peduli Gumi Bali dan Alase Bali menggelar acara dialog publik, untuk menyikapi rencana disahkannya Ranperda RTRW Propinsi Bali. Dialog tersebut diikuti sejumlah komponen masyarakat, seperti perwakilan nelayan, petani, pelajar, mahasiswa, penyandang cacat, perwakilan desa pakraman, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Forum ini meminta kepada DPRD Bali untuk memastikan perda tersebut memenuhi unsur berkeadilan.

Sedikit mengingat kebelakang, salah satu rekomendasi dalam pertemuan tersebut agar RTRW yang nantinya disahkan akan memperhatikan akses sosial bagi kaum difabel. Selama ini difabel, tidak dapat menikmati haknya atas ruang karena ruang ditata dengan pola yang tidak ramah bagai mereka. Untuk itu satu kewajiban bagi tiap-tiap kabupaten/ kota di Propinsi Bali untuk mengakomodasinya dan menuangkannya ke dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Perda RTRW yang nantinya disusun harus memberikan sarana bagi difabel untuk menikmati ruang, misalnya penyediaan jalur, dan gedung pemerintah harus memberikan akses kepada difabel sehingga mereka juga bisa menikmati pelayanan publik. Faktanya penyandang cacat di Kota Denpasar, sepertinya harus memperjuangkan haknya untuk mendapat fasilitas memadai di pusat kota Provinsi Bali ini. pasalnya, pembahasan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar, yang sedang dalam tahap pembahasan di DPRD Kota Denpasar, belum mendapat prioritas. Terbukti, dengan belum diadopsinya RTRW Provinsi yang seharusnya menjadi acuan bagi Kota Denpasar dalam menyusun Perda RTRW-nya. Anggota Fraksi Golkar DPRD Kota Denpasar, I Wayan Mariyana Wandhira, ST, saat ditemui di ruang kerjanya mengakui jika klausul khusus penyandang cacat, hingga Rancangan Perda RTRW Kota Denpasar dibahas, belum diatur khusus.

Namun, ia berdalih pihaknya akan memasukkan klausul khusus terkait penyandang cacat di Kota Denpasar. “Kita sangat memerhatikan hal tersebut. mereka juga warga Kota Denpasar,” ujarnya. Dikatakan, Fraksi Golkar sendiri, akan memasukkan klausul khusus tentang penyandang cacat saat pembahasan fasilitas publik dilakukan. Wandhira mengatakan, Denpasar sudah selaiknya mengadopsi standar khusus tentang penyandang cacat seperti halnya di luar negeri. Pasalnya, penyandang cacat di Kota Denpasar sangat banyak jumlahnya, meski dia mengaku tak mengetahui secara persis berapa jumlahnya. Fasilitas ruang publik, jelas dia, termasuk di dalamnya adalah fasilitas untuk para penyandang cacat. “Misalnya trotoar harus menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Saya kira sudah saatnya Denpasar menyiapkan hal itu. Kita bisa sisipkan agenda itu ketika ruang publik dibahas nanti,” katanya. Wandhira sendiri mengaku meminta perhatian dari Pemerintah Kota Denpasar untuk memerhatikan penyandang cacat. Fraksi Golkar, jelas dia, mendorong agar dalam Perda RTRW Kota Denpasar ada klausul khusus yang mengatur hal tersebut. “Ini kita harus perhatikan betul. Hak dan perhatian dari Pemerintah Kota Denpasar terhadap mereka harus didorong,’ kata dia. Menurutnya, pembahasan Perda RTRW Kota Denpasar ini adalah ruang untuk mendorong hal tersebut. Hanya saja, Wandhira mengaku, realisasi hal itu tetap dengan mengedepankan skala prioritas. Dikatakan, Kota Denpasar, semestinya sudah menyiapkan akses bagi mereka. Hanya, percontohan harus dilakukan dalam kerangka perbaikan nantinya. “Harus ada skala prioritas. Di mana lokasi yang harus kita penuhi dulu. Misalnya di lokasi tertentu, itu akan dijadikan proyek percontohan,” imbuhnya. (rahsa) | 21


Konsultasi Kesehatan

Dikontrol Makhluk Halus Yudi, sebut saja namanya begitu. Berasal dari Karangasem, dia tinggal di Kuta, bekerja di sebuah agensi tourist information. Pada suatu sore dia datang diantar oleh temannya ke tempat praktek kami. Dia tampak gagah dengan body yang seimbang dan atletis. Tampaknya sehat dan energik. Setelah basa-basi sewajarnya, dia mulai bercerita mengenai penyakitnya. “Pak, saya bingung dari mana mulainya. Tapi yang jelas kepala saya sering terasa kosong, terutama daerah otak belakang saya. Jika saat seperti itu tiba, s a y a sering dengar bisikan-bisikan yang menyuruh saya ini atau itu. Pokoknya disuruh yang aneh-aneh. Saya tidak berdaya menolaknya. Pikiran saya terasa dikuasai oleh mereka, entah siapa. Pikiran dibuat bingung. Ini sangat mengganggu pekerjaan saya.” Demikianlah dia memulai ceritanya. Dia juga bercerita, bahwa pada malam hari saat berbaring, antara sadar dan tidak sadar dia dijemput beramai-ramai oleh serombongan cewek cantik. Kemudian diajak pergi ke beberapa tempat. Setelah sadar dari kondisi itu badannya terasa lemas, batin terasa kosong seolah-olah menjadi orang yang tanpa daya. Sampai dia berpikir, “Jangan- jangan saya telah gila”.

bawah, yang sering dikenal dengan nama para wong samar. Dengan kondisi seperti ini maka para makhluk halus senang bergaul dengan Pak Yudi ini. Para makhluk halus itu tidak bermaksud mengganggu, tapi akibat “pergaulan antardimensi” itulah yang membawa masalah. Ini juga salah satu bentuk salah pergaulan. Melihat kondisi itu, kami memasuki meditasi tantra, memusatkan pikiran kepada Sang Lautan Energi. Kami mengundang kehadiran Kawaca Gaib. Ini adalah energi pelindung gaib. Segera Pak Yudi terbungkus oleh semacam telur gaib yang bening dan transparan, tapi amat kuat. Kawaca ini melindungi dirinya dari frekuensi negatif dari alam roh bawah, dan mengubah frekuensi rohnya agar tidak bersesuaian lagi dengan frekwensi dari alam roh bawah. Kami juga memberinya beberapa Fu untuk diminum untuk membersihkannya dari hawa setan. Perlu diketahui bahwa Kawaca Gaib ini jenisnya bermacam macam. Tergantung kondisi pasien, kondisi tertentu memerlukan kawaca tertentu. Kami berpesan kepada Pak Yudi, “besok atau lusa tolong hubungi kami, biar kami tahu keadaan Bapak, kalau tidak ada perubahan, kami akan memikirkan cara lain.” Beberapa hari kemudian dia menghubungi kami dan mengatakan bahwa dia tidak pernah diganggu lagi seperti sebelumnya. Dia juga mengatakan seperti ada yang melindungi dirinya. Dan dia juga bilang, “Pak Dokter, sebenarnya saya juga senang akan hal-hal spiritual, boleh gak saya belajar tenaga dalam dari Bapak, minimal untuk meningkatkan kesehatan.” Kami jawab,”Silahkan datang.”

Mendengar penjelasannya mengertilah kami, bahwa problem ini adalah urusan dengan dunia roh. Tapi roh apa? Kami membuka Mata Dewa, meneliti keadaan dari Pak Yudi. Terlihat oleh batin kami bahwa dia memiliki frekuensi gelombang roh yang selaras dengan para makhluk halus. Terutama dengan makhluk halus dari golongan

Dr. I Gede Kamajaya, lahir 10 November 1969, di Nusa Penida. Ia dilahirkan dari keluarga pemangku. Sejak kecil sudah menyenangi dunia metafisik. Setelah lulus Dari Universitas Airlangga Surabaya, ia memutuskan untuk tdk berpraktik sebagai dokter umum. Tapi memilih jalur pengobatan alternatif. Alasan lain adalah ketika ia pernah mencoba untuk beraktivitas sebagai dokter umum merasa kurang nyaman. Sebelumnya, dia pernah praktek di sebuah klinik di Jakarta selama 1 tahun dan 3 tahun di nusa penida. Alamat praktek: Klinik alternatif Dhanvantri Usada JL. Ratna no 65 telp. 0361 3600290 Konsultasi lewat media bisa melalui email: ymk@manikayakauci.org 22 |

Volume II/2010 | SOLIDARITAS




Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.