56 minute read

Liputan Khusus

Liputan Khusus Sekolah Swasta Menjamur, Banyak SD Negeri di Ponorogo Tutup Karena Sepi Peminat

Pendidikan merupakan upaya secara terencana dan sadar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang aktif mengembangkan potensi diri dalam kehidupan sehari-hari, dengan mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, kepribadian, karakter, pengendalian diri, dan keterampilan untuk diterapkan di lingkungan masyarakat (UU RI Nomor 20 Tahun 2003). Negara bertanggung jawab untuk memastikan terselenggaranya program pendidikan yang baik. Hal itu adalah amanat konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi : “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Namun apakah hal tersebut sudah dilaksanakan?

Advertisement

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, yang mengatur mengenai hak atas pendidikan, khususnya tentang hak atas pendidikan dasar. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 13 ayat (2) yang menyatakan : “Negara-negara pihak pada kovenan ini mengakui, bahwa dengan tujuan untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak ini; (a) Pendidikan dasar harus bersifat wajib dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang”.

Sementara pada Peraturan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 BAB IV Tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah, Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menyatakan: “Ma-

syarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”. Di Pasal 9 tertulis: “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Dengan adanya Pasal tersebut, masyarakat (swasta.red) diberikan izin dan ruang untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayahnya. Misalnya dengan mendirikan yayasan atau lembaga pendidikan dan kelompok belajar.

Dengan demikian, terdapat dua subjek penyelenggara pendidikan yaitu negara (pemerintah) dan masyarakat (swasta). Kondisi ini memunculkan keuntungan di satu sisi karena terdapat persaingan sehingga masing-masing pihak akan berlomba menawarkan program pendidikan yang bermutu demi menjaring anak didik sebanyak mungkin dengan kualitas sebaik mungkin. Namun disisi lain, yang dapat terjadi adalah pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan justru lambat berinovasi dan mulai tertinggal dari lembaga pendidikan swasta yang semakin digandrungi masyarakat karena dianggap lebih berkualitas. Sehingga pemerintah terkesan berpangku tangan dan menyerahkan tugas kepada pihak swasta untuk memberikan sumber daya pendidikan yang lebih bermutu.

Terjadi penurunan jumlah pendaftar di Sekolah Dasar Negeri (SDN). Salah satu penyebabnya adalah masyarakat memilih menyekolahkan anak didik ke Sekolah Dasar berbasis Islam milik swasta. Hal ini diperparah dengan berbagai kekurangan dan kendala dari segi infrastruktur beberapa SD Negeri yang kurang mendapat perhatian Dinas Pendidikan setempat. Akhirnya banyak sekolah negeri yang ditutup.

Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Setidaknya terhitung 10 SD Negeri terancam tutup atau tidak beroperasi kembali karena kekurangan peserta didik, dampak dari kalah saing dengan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) milik swasta. Selain itu, lebih dari 15 SD Negeri juga diputuskan untuk digabung menjadi satu (regrouping) atau merger dengan SD Negeri terdekat juga karena penyusutan jumlah peserta didik. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, jumlah SD Negeri di Ponorogo adalah 609 unit dan pada tahun 2020 tersisa 579 unit. Artinya dalam kurun empat tahun ada 30 SD Negeri yang tidak beroperasi lagi.

Imam Muslihin, Kepala Bidang Pembinaan SD, Dinas Pendidikan Ponorogo, mengungkapkan bahwa permasalahan yang dialami oleh SD Negeri sudah sangat kompleks dan memang bersifat alami. “Dari data di BPS atau di Dukcapil silahkan dilihat anak-anak kelahiran tahun kemarin dan tahun ini berapa? Semakin turun. Kebijakan

Gambar: Ryan pemerintah pusat mendukung penutupan,” ungkapnya.

Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Mendagri nomor 421.2/2501/ Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan (Regrouping) SD yang menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk terciptanya efektivitas dalam pembelajaran dan pengelolaan pendidikan. SE tersebut juga dianggap sebagai solusi dari permasalahan berupa minimnya jumlah tenaga pengajar dan minimnya daya serap siswa setiap tahun pada sekolah negeri.

Lalu mengapa jumlah peserta didik SD Negeri di Ponorogo terus menyusut? Pada Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA, SMK, atau Bentuk Lain yang Sederajat menyebutkan bahwa pada jenjang SD satu rombongan belajar (Rombel) layaknya mencangkup 20-28 peserta didik. Jumlah pagu pada satu kelas adalah maksimal 28 siswa. Penyusutan ini terasa janggal jika melihat pertambahan penduduk Ponorogo yang meningkat. Misalnya pada tahun 2017 penduduk pada kelompok usia 0-4 tahun ada 59.230 balita, di tahun 2018 bertambah menjadi 59.273. Sedangkan pada kelompok usia 5-9 tahun, di 2017 ada 59.127 anak, di tahun 2018 naik menjadi 59.168, data ini dirilis oleh BPS Kabupaten Ponorogo berjudul “Ponorogo Dalam Angka (2018) dan (2019)”. Logika sederhananya kebutuhan maksimal 140 siswa untuk setiap sekolah, atau maksimal 60 siswa pada setiap penerimaan ajaran tahun baru bisa tercukupi.

Rata-rata SD Negeri hanya mempunyai satu Rombel (kelas) di semua tingkatan kelas. Paling banyak terdapat hanya dua rombel pada tiap tingkatan kelas di satu SDN atau jumlah keseluruhannya adalah 12 rombel. Sedangkan SD swasta rata-rata memiliki lebih dari dua rombel pada tiap tingkat kelas, karena maksimal jumlah Rombel untuk satu sekolah adalah 24. “Untuk rombel kita ketat, misalkan dia (sekolah) tidak punya sarana prasarana, maka tidak mungkin untuk menambah rombel,” tuturnya. Persoalan lain muncul karena penyelenggaraan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) mempunyai aturan induk tersendiri, tidak mengacu kepada aturan Kemendikbud.

Dari segi pembiayaan, kata Imam Muslihin, sekolah swasta memang cenderung lebih mudah untuk memperoleh sumber pembiayaan, Mereka mendapatkan pendanaan dari program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan iuran wali siswa. Sementara untuk SD Negeri mempunyai aturan yang ketat terkait pungutan iuran dari wali siswa. “Ya, memang SD (Negeri) sumber utamanya adalah BOS, dan untuk memungut kepada orang tua siswa itu juga sulit, karena banyak aturan tidak boleh memungut. Boleh pun dengan syarat-syarat tidak ada

ketentuan jumlah yang ditentukan (pungutan), terus tidak ada waktu yang ditentukan, kan sulit juga,” jelasnya.

Sekolah swasta dinilai lebih leluasa dalam hal aturan, pembangunan infrastruktur, gaji guru honorer, dan pembiayaan lain. Berbanding terbalik dengan kondisi SD Negeri. Dengan kenyataan bahwa setiap satu siswa SD Negeri atau swasta berhak atas dana BOS senilai total Rp 900.000,- per tahun, maka semakin sedikit jumlah siswa di sekolah tertentu, sumber pembiayaan untuk sekolah yang bersangkutan juga berkurang. Hal demikian juga yang menyebabkan jumlah SD Negeri di Ponorogo semakin berkurang setiap tahun karena ditutup.

Keputusan untuk menutup SD Negeri juga mempertimbangkan kondisi dari wilayah sekitar sekolah tentang ketersediaan sumber daya manusia sebagai calon peserta didik. “Boleh-boleh saja ditutup, kalau memang potensinya tidak ada tambah kasihan nanti siswanya. Kalau sudah kecil (jumlah siswa) dipertahankan juga tidak bisa, dari sumbernya dan potensi di sekitarnya sudah tidak ada,” tutur Imam (08/11/2021).

Di wilayah Ponorogo, sekolah berbasis Islam di bawah naungan Kemenag terdiri dari 94% MI dimiliki oleh pihak swasta, sisanya 6% berstatus negeri. Menurut keterangan dari Marjuni, Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kemenag Ponorogo, terdapat banyak kendala dalam mendirikan sekolah negeri. “Karena untuk mendirikan MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) persyaratan dan mekanisme le-

“Boleh-boleh saja ditutup, kalau memang potensinya tidak ada tambah kasihan nanti siswanya. Kalau sudah kecil (jumlah siswa) dipertahankan juga tidak bisa, dari sumbernya dan potensi di sekitarnya sudah tidak ada,”

bih sulit, karena menyangkut aset tanahnya harus atas nama Kemenag. MIN 1 sampai 6 Ponorogo itupun sejarahnya adalah lembaga swasta yang dinegerikan,” dia menjelaskan.

Menanggapi permasalahan dewasa ini berkaitan dengan pertumbuhan MI swasta yang juga seirama dengan tutupnya SD Negeri, Marjuni mengatakan bahwa sudah ada koordinasi sebelumnya dengan dinas terkait. “Biasanya jika ada permasalahan pendirian SD/MI maka kita koordinasikan dengan Dinas Pendidikan, saling memberi koreksi dan masukan,” katanya.

Masih menurut Marjuni, komunikasi dan koordinasi telah dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait ketika ada rencana pendirian unit sekolah baru. “Pernah, biasanya terkait jarak dan rasionalisasi calon peserta didik dalam suatu tempat,” ungkapnya (23/12/2021).

Sekolah Dasar (SD) Negeri Di Ponorogo Semakin Redup

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam bentuk buku publikasi dengan judul “Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan 2019” mengenai sarana dan prasarana sekolah dasar di Indonesia, dinyatakan bahwa jumlah ruang kelas dengan kondisi baik di SD swasta mencapai 46,17%. Sedangkan jumlah ruang kelas di SD Negeri hanya 24,57% yang kondisinya baik.

Dengan dalih efisiensi alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, pemerintah seakan menyediakan karpet merah kepada swasta yang berlomba mendirikan lembaga pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk merenovasi infrastruktur sekolah yang mengalami kerusakan atau untuk membangun infrastruktur

baru, membutuhkan dana yang besar. Dengan kondisi semakin berkurangnya jumlah SD Negeri dan diiringi terus bertambahnya sekolah dasar milik swasta, secara tidak langsung pemerintah membebankan sebagian kebutuhan anggaran perbaikan infrastruktur itu kepada pihak swasta melalui pungutan dari wali murid. Padahal masyarakat telah membayar pajak yang sebagiannya juga dialokasikan untuk anggaran pendidikan.

Laporan berjudul “Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan 2020”, persentase jumlah SD Negeri 88,25% dan swasta 11,75%. Dengan persentase jumlah peserta didik 85,80% di SD Negeri, sedangkan di SD Swasta 14,20%. Sebelumnya, pada tahun 2018/2019 peserta didik di SD swasta 13,63% dari keseluruhan siswa sekolah dasar di Indonesia. Hal ini menunjukkan SD Swasta mengalami kenaikan jumlah siswa yang cukup signifikan.

Di Jawa Timur total jumlah SD 19.285, dengan 90,26% didominasi oleh SD Negeri dan sisanya 9,74% milik swasta. Jumlah peserta didik sekolah dasar secara keseluruhan sebanyak 2.788.850 dengan persentase 13,62% atau 379,700 siswa yang belajar di SD Swasta.

Di Kabupaten Ponorogo sendiri terdapat (SD) dan (MI). Total keseluruhan Sekolah Basic (SD/MI) ada 694 unit, dengan 19% di antaranya adalah sekolah milik swasta. Kebijakan untuk pendidikan SD merupakan wewenang dari Dinas Pendidikan (Dindik) di bawah Kemendikbud Ristek, sedangkan MI menjadi tanggung jawab Kemenag.

Dari sekian ratus unit SD tersebut terdapat banyak sekolah yang sudah ditutup. Dikutip dari laman bkpsdm.ponorogo. go.id daftar sekolah yang ditutup yakni SDN 2 Ngumpul Kecamatan Balong, SDN 2 Slahung Kecamatan Slahung dan SDN 2 Bedingin Kecamatan Sambit pada tahun 2016. Sepanjang Tahun Ajaran Baru 2018/2019, Dindik mencatat ada 8 SD di Ponorogo yang ditutup, yaitu SDN 1 Karangpatihan, SDN 1 Carat, SDN 2 Bangunsari, SDN 2 Surodikraman, SDN 3 Singgahan, SDN 1 Tajug, SDN 2 Sooko, dan SDN 2 Gegeran. Selain itu terdapat 9 SD yang di-regrouping, yaitu SDN 1 Purwosari, SDN 2 Japan, SDN 2 Singosaren, SDN 1 Keniten, SDN 2 Plunturan, SDN 2 Karanglo Lor, SDN 1 Ngasinan, SDN 3 Sumoroto dan SDN 2 Duri.

Di tahun 2020 lalu, terdapat enam sekolah yang ditutup yaitu SDN 1 Poko, SDN Mangunsuman, SDN Patihan Kidul, SDN 2 Karanglo Lor, SDN 2 Duri, dan SDN 1 Glinggang. Di awal tahun 2021 SDN Jonggol dan SDN Wa-

“Kabar-kabar mau ditutup itu beberapa tahun lalu, tapi kok sampai sekarang bahkan realisasinya belum ya, gak ada. Baru saja ini malah mendapat penghargaan dari Pemerintah Pusat (atas) ‘Sekolah Bermutu Baik, Kurang Sanitasi,”

gir Lor ditutup. Beberapa sekolah dasar berbondong-bondong mengajukan permintaan penutupan, karena tak mampu menanggung biaya operasional.

Namun perlu diketahui bahwa penyebab dari penutupan SD Negeri ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya yang terjadi di SDN 2 Banyudono yang hanya mempunyai 22 siswa. Sedangkan tetangganya, yakni SDN 1 Banyudono memiliki 47 siswa. Sementara dua sekolah ini berjarak kurang dari satu kilometer. Sasetianing Tyashadi Susilaningsih selaku Kepala Sekolah SDN 2 Banyudono masih menunggu terealisasinya penutupan di SD yang ia pimpin saat ini.

“Kabar-kabar mau ditutup itu beberapa tahun lalu, tapi kok sampai sekarang bahkan realisasinya belum ya, gak ada. Baru saja ini malah mendapat penghargaan dari Pemerintah Pusat (atas) ‘Sekolah Bermutu Baik, Kurang Sanitasi,” ungkap Susilaningsih yang saat ini juga menjabat sebagai Plt. Kepala Sekolah SDN Cokromenggalan.

SDN 1 Cokromenggalan telah lama tutup sebab digabung dengan SDN 2 Cokromenggalan. Namun dalam perjalanannya, SDN 2 Cokromenggalan juga masih kekurangan siswa, padahal sudah di-regrouping dengan SDN 1 Cokromenggalan.

Alasan lainnya menurut Igut Istrijah, Kepala SDN 2 Keniten, lembaga yang ia pimpin diusulkan untuk digabung dengan SDN 1 Keniten, namun terkendala akibat regulasi tugas pengawas pada lembaga pendidikan. “Setiap Pengawas itu harus punya sekolah binaan se-

puluh (unit), kalau sekolah itu (SDN 1 Keniten) ditutup, nanti jatah daerah binaannya pengawas jadi kurang. Harus mencari ke luar kota, apalagi murid SDN 1 Keniten masih ada banyak,” paparnya.

Pada kasus yang lain, crew aL-Millah mencoba menghubungi Mantan Kepala Sekolah SDN 2 Bangunsari berkaitan dengan faktor yang menyebabkan SD tersebut ditutup pada tahun 2018. Namun ia enggan memberikan keterangan terkait tutupnya sekolah yang ia pimpin dengan alasan tidak mempunyai wewenang untuk menjawab. Kami diminta untuk mencari informasi secara langsung ke Dinas Pendidikan Ponorogo (01/11/2021).

Faktor Penyebab Penutupan Permanen dan Regrouping (Merger) Sekolah Dasar

Crew aL-Millah telah menghimpun, menganalisis dan mengelompokkan berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan regrouping atau penggabungan beberapa sekolah dasar dan kebijakan menutup permanen sekolah dasar. Kami meninjau langsung kondisi di beberapa sekolah. Dari berbagai alasan itu kami kelompokkan menjadi beberapa faktor.

Pertama, faktor penurunan jumlah penduduk. Hal ini berkaitan dengan jumlah angka kelahiran. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Ponorogo, penduduk pada usia 0-14 tahun sepanjang tahun 2010-2018 terdapat penurunan signifikan. Angka kelahiran yang terus merosot ini berdampak terhadap jumlah siswa di setiap kelas di daerah tertentu. Dengan demikian, tiap masing-masing wilayah desa/kelurahan jumlah penduduknya tidak sama, terlebih persebaran penduduk di kelurahan yang berada di pusat kabupaten.

Walaupun jumlah penduduk usia anak terus menurun, di lain sisi justru pertumbuhan SD atau MI milik swasta semakin bertambah.

Kedua, faktor pemberlakuan kebijakan zonasi Sekolah yang termaktub dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Penerimaan siswa dari jalur zonasi minimal 50% dari daya tampung sekolah. Untuk jalur afirmasi paling sedikit 15% dari daya tampung sekolah, dan untuk jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5%. Jika masih terdapat sisa kuota, pemerintah daerah dapat membuka jalur prestasi hingga jumlah maksimal 30%.

Dengan demikian, sekolah diminta memprioritaskan peserta didik baru yang memiliki kartu keluarga atau surat keterangan domisili dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan sekolah asal. Padahal, jumlah anak pada setiap wilayah desa/kelurahan juga tidak sama. Apakah Lembaga Pendidikan Dasar Swasta juga menerapkan zonasi seperti halnya SDN?

Ketiga, faktor jarak antar sekolah. Di wilayah kabupaten Ponorogo terdapat 307 Desa/ Kelurahan dengan 21 Kecamatan. Jarak antar sekolah satu dengan yang lain di setiap desa rata-rata kurang dari dua kilometer. Sekolah yang saling berdekatan juga menjadi persoalan untuk saat ini. Hal itu berkaitan dengan tata letak yang kurang strategis dan kesesuaian dengan jumlah anak-anak di setiap wilayah desa.

Wanto, seorang guru kelas di salah satu SDN di Ponorogo menunjukkan tata letak SDN-nya yang kurang strategis, sebelah selatan terhalang oleh

“Kalau sekolah itu mau diminati, maka harus punya nilai jual yang tinggi. Dengan prestasi-prestasi, kegiatan-kegiatan menarik. Jadi, kalau nilai jualnya gak ada, kepercayaan disitu gak ada,”

jalan protokol. “Kan, gak mungkin sekolah di SD 1 Banyudono. Jalurnya jalan besar, yang dekat ya SDN 1, 2, dan 3 yang di dekat situ (SD Mangkujayan. Red),” ungkapnya.

Tak berbeda jauh, SD dan MI yang memiliki jarak kurang dari 500 meter juga berdampak bagi eksistensi satu sama lain. Seperti SDN 1 Mangunsuman yang hanya berjarak sekitar 20 meter di utaranya terdapat MI Ma’arif. Di tempat lain, letak SDN 2 Banyudono juga dekat dengan sekolah MI yang berjumlah empat unit di sebelah timurnya. Lokasi bangunan-bangunan itu hanya berjarak kurang dari radius 500 meter. Imam Muslihin juga menerangkan bahwa semua kebijakan dan keputusan memiliki dampak yang tidak bisa dihindari. “Ya, itulah konsekuensinya dari sekolah-sekolah negeri ya seperti itu,” katanya.

Keempat, faktor citra sekolah dan kualitas pendidikan. kualitas dari SDN yang dinilai stagnan atau bahkan menurun salah satunya disebabkan karena pendanaan dari pemerintah yang dirasa elum cukup untuk meningkatkan program belajar sebagaimana yang sudah dilakukan oleh SD Swasta. Kualitas pendidikan yang stagnan akan menghasilkan peserta didik yang tidak kompetitif antara satu dengan yang lain. Sedangkan sekolah yang telah memiliki citra di masyarakat sebagai sekolah favorit karena kualitas pendidikan dan siswanya akan tetap diminati oleh para orang tua calon peserta didik. Di samping itu, karena memilih sekolah untuk sang buah hati adalah hak prerogatif dari orang tua dan siswa itu sendiri, maka sekolah yang sudah kekurangan siswa akan terancam semakin tidak diminati oleh para orang tua calon peserta didik.

Mujiadi, Kepala SDN 1 Nologaten mengatakan bahwa lembaga pendidikan juga harus berusaha untuk meyakinkan masyarakat sekitarnya dengan kualitas sekolah yang baik. “Kalau sekolah itu mau diminati, maka harus punya nilai jual yang tinggi. Dengan prestasi-prestasi, kegiatan-kegiatan menarik. Jadi, kalau nilai jualnya gak ada, kepercayaan disitu gak ada,” katanya.

SDN terkadang tidak mampu menampung jumlah siswa lebih banyak dari pertumbuhan penduduk. Persoalan daya tampung yang terbatas itu salah satunya karena sumber pendanaan SDN juga terbatas, murni dari pemerintah tanpa adanya pungutan wali murid sebagaimana di sekolah swasta. Maka, program pembangunan gedung untuk menambah ruangan kelas juga sangat terbatas. Ditambah lagi, menjamurnya sekolah swasta mau tidak mau akan mengurangi “jatah” alokasi dana pendidikan (BOS) untuk SDN. Perlu diketahui, indikator kualitas dari pendidikan itu diamati dari proses pembelajaran, sarana prasarana, keuangan lembaga, sumber daya manusia,

kurikulum studi, kesiswaan, dan sebagainya (journal.uii. ac.id).

Kelima, faktor tenaga guru. Jumlah tenaga pendidik terus menurun karena setiap tahun banyak guru yang telah purna tugas. Pengawas pendidikan di tingkat SDN pun banyak yang telah pensiun. Akibatnya pengawasan terhadap perkembangan SDN dalam meningkatkan kualitas juga terpengaruh.

Dikutip dari republika.co.id (19/01/2021) Kabupaten Ponorogo kekurangan hampir 2.800 guru ASN per tahun 2021. Di samping itu, proses pendaftaran tenaga pendidik masih dinilai berbelit-belit. Jumlah ini sangat timpang dengan angka guru honorer se-Jawa Timur yang berjumlah 35.000 orang.

Solusi yang diberikan pemerintah tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2020 yang salah satunya mengatur seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Imam Muslihin juga mengatakan bahwa dengan anggaran biaya yang kurang maka tidak mungkin untuk mendatangkan guru honorer di SDN yang kekurangan tenaga pengajar. “Ya, itulah konsekuensinya dari sekolah-sekolah negeri seperti itu,” katanya.

Keenam, faktor tren pendidikan islami. Jumlah Sekolah Dasar Swasta terus meningkat dengan label sekolah berbasis Islami seperti Madrasah Ibtidaiyah Terpadu (MIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Pesantren Terpadu dan sebagainya. Orang tua yang menaruh perhatian lebih pada pendidikan agama, moral dan etika pada akhirnya lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah tersebut daripada SDN. Sedangkan SDN semakin berkurang peminatnya karena dirasa mengalami penurunan kualitas dan program belajarnya yang kurang menarik dan inovatif untuk kebutuhan anak-anak di era sekarang.

Tintin Susilowati Kepala Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK), IAIN Ponorogo menanggapi hal demikian dengan menyatakan bahwa itu adalah problematika hari ini. Eksistensi SD/MI yang meningkatkan nilai-nilai religius atau pendi-

“Dulu kalau sekolah di MI, malah dianggap aneh. Tapi hari ini trennya berubah. Tapi SD favorit yang lebih murah juga sangat cocok untuk perkembangan anak, karena mereka masuknya pagi sampai siang. Waktu sore pun bisa digunakan untuk ke TPQ,”

dikan keagamaan menjadi daya tarik untuk para wali murid. “Dulu kalau sekolah di MI, malah dianggap aneh. Tapi hari ini trennya berubah. Tapi SD favorit yang lebih murah juga sangat cocok untuk perkembangan anak, karena mereka masuknya pagi sampai siang. Waktu sore pun bisa digunakan untuk ke TPQ,” terangnya.

Ketujuh, faktor ekonomi. Ketimpangan pendidikan antar kelompok ekonomi bawah dan atas semakin terasa. Apalagi memperoleh pendidikan dasar yang harusnya murni gratis, ternyata tidak selalu diimbangi dengan kualitas sekolah yang

bermutu. Jurang persoalan ini semakin lebar seiring dengan pertumbuhan sekolah swasta yang dinilai mempunyai daya tawar dan daya saing yang lebih kompetitif dalam hal peningkatan mutu pendidikan peserta didik. SDN non-favorit semakin tidak diminati, sementara SDN favorit dituntut bersaing dengan sekolah-sekolah swasta yang terus bertumbuh.

SD Swasta menawarkan biaya lebih tinggi tapi diimbangi dengan pelayanan dan kualitas anak didik yang dinilai lebih kompetitif. Hal ini terlihat ketika banyak orang tua yang tetap memilih SD/MI Swasta meski harus membayar lebih mahal daripada SDN. Orang tua memilih SD Swasta yang memiliki sarana dan prasarana yang baik, tenaga guru yang profesional, dan program studi yang mampu memfasilitasi minat, bakat, dan potensi diri para peserta didik.

Dinamika Kualitas dan Wacana Baru Pendidikan

Transformasi dari bentuk lembaga pendidikan akhir-akhir ini lebih menekankan pada nilai-nilai pendidikan agama. Antusiasme dari pihak orang tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dari sekolah berlabel pendidikan agama milik swasta. Walaupun demikian, SDN yang sudah memiliki citra sebagai sekolah favorit tidak terlalu terdampak atas strategi lembaga pendidikan swasta yang seperti itu. Masyarakat menilai SD favorit mempunyai nilai plus tersendiri terhadap kualitas siswa dan mutu lulusan sekolah tersebut.

Rini, salah satu wali murid SDN Kepuhrubuh menjelaskan bahwa alasannya menyekolahkan sang anak di sekolah negeri adalah karena hal demikian merupakan sesuatu yang lumrah di sekitar tempat tinggalnya. Biaya sekolah yang rendah, cukup sepadan dengan penghasilan dari pekerjaan sehari-harinya. Selain itu, jarak SDN itu terhitung dekat dengan rumahnya. “Saya sekolahkan anak saya di situ karena tidak jauh dari dusun. Kalau toh saya sekolahkan ke swasta mungkin jarak dan biaya akan berpengaruh,” ujarnya.

Berbeda dengan Aris, salah satu wali murid SD Qurotu A’yun. Dia menerangkan penyebab ia tidak menyekolahkan anaknya ke SDN bukanlah karena faktor biaya namun lebih memilih kualitas pendidikannya. “Alasan saya memilih menyekolahkan anak saya di sekolah swasta dan tidak memilih sekolah negeri karena faktor kualitas pendidikan. Dilihat dari kualitas pendidikan pada tingkat dasar terutama pada sekolah negeri yang biasanya memiliki kualitas pendidikan dibawah sekolah swasta,” ungkapnya.

Uswatun yang anaknya disekolahkan di MI Mayak mengungkapkan betapa pentingnya materi pendidikan agama di era ini. “Di zaman sekarang kalau tidak ada tambahan pelajaran agama untuk diajarkan malah timbul pengaruh negatif,” ungkapnya.

Tak heran ia memilih sekolah MI tidak lain agar anaknya memiliki kualitas diri sesuai nilai agama. Perihal biaya bulanan atau SPP sekolah ia tidak terlalu mempersoalkan demi masa depan anaknya.

Berbagai faktor yang telah disebutkan di atas menunjuk-

Saya sekolahkan anak saya di situ karena tidak jauh dari dusun. Kalau toh saya sekolahkan ke swasta mungkin jarak dan biaya akan berpengaruh

“Nanti ini akan dibuat Perbup (Peraturan Bupati) tentang ekstrakurikuler pendidikan agama. Sebentar lagi akan diluncurkan. Drafnya sudah jadi untuk di sekolah negeri, SD, SMP,”

kan kompleksitas persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Persepsi orang tua terhadap kualitas pendidikan di SDN yang stagnan atau bahkan menurun karena minim inovasi turut mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai penyedia pendidikan. Pemerintah semestinya memberikan pemenuhan hak setiap warganya untuk memperoleh jaminan pendidikan yang berkualitas.

Marjuni, Kepala Seksi Madrasah mengatakan dengan tegas bahwa Kemenag tetap melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak Dinas Pendidikan tentang persoalan diatas. Ia berkilah, masyarakat berhak memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka di mana pun. “Komunikasi memang senantiasa dilakukan, tapi memang masyarakat lebih memilih MI atau SD terpadu untuk pendidikan dasar anaknya dari pada SDN. Dan memang animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke SDN semakin berkurang. Masyarakat memilih ke MI atau SD Swasta,” tuturnya.

Pertumbuhan sekolah swasta di bawah naungan Kemenag juga turut berperan atas berkurangnya siswa di SD Negeri, apalagi dengan rombongan belajar yang lebih banyak. Lalu, langkah apa yang diambil oleh Dinas Pendidikan? Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo sedang merancang aturan yang rencananya akan dijadikan Peraturan Bupati (Perbup). Wacana dalam Perbup juga mengatur terkait tambahan pelajaran keagamaan pada SD. Apakah hal ini merupakan jawaban atas dinamika persoalan di atas?

Kembali kepada indikator pendidikan kita yang menjelaskan bahwa jaminan mutu atas kualitas pendidikan harus diberikan sebaik-baiknya kepada semua murid untuk pendidikan dasar dan tingkat selanjutnya. “Nanti ini akan dibuat Perbup tentang ekstrakurikuler pendidikan agama. Sebentar lagi akan diluncurkan. Drafnya sudah jadi untuk di sekolah negeri, SD, SMP,” terang Imam.

Melihat kondisi saat ini, jumlah distribusi guru dan pemerataan pendidikan masih belum maksimal. Pada setiap SD Negeri hanya terdapat satu guru agama. Mempertimbangkan animo masyarakat yang menggandrungi sekolah dasar dengan label pendidikan agama, SDN di Ponorogo mengambil langkah dengan menerapkan tambahan materi pendidikan agama Islam. SDN mendatangkan tenaga pendidik dari pihak luar, misalnya ustaz atau ustazah dari pondok pesantren untuk memberi tambahan materi pendidikan agama.

Ketimpangan soal SDM atau kekurangan tenaga pendidik ini terlihat kontras dengan kebijakan lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta yang berlomba-lomba membangun gedung sekolah yang megah. Padahal, dengan mempertimbangkan kondisi zaman teknologi semakin canggih yang memungkinkan masyarakat untuk belajar secara daring, masihkah relevan kita terus menanam dan meninggikan rangka beton bertingkat tapi tanpa diimbangi mengutamakan perbaikan kualitas sumber daya manusianya?

Riyan Fergi Zakaria (28. 19. 203) Atania Muna Mufidah (29. 20. 210) Mukhammad Miftakhul

Huda (Crew)

Manifestasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Revitalisasi Marwah Pendidikan Indonesia

Peran pendidikan dalam proses perkembangan manusia dari usia kanak-kanak hingga dewasa merupakan suatu yang sangat penting. Sejalan dengan itu, pendidikan harus dilakukan dengan cara yang baik, benar, terpadu, dan sesuai dengan perkembangan serta kebutuhan anak. Sebab pengaruh pendidikan menjadi penentu atas cara pandang anak didik dalam menjalani dan memaknai kehidupan. Apabila pendidikan itu tidak terpadu atau tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak didik, maka kehidupannya menjadi tidak terarah sehingga esensi tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Berawal dari poses pendidikan, anak didik dibentuk bagaimana cara berpikir, bersikap serta berperilaku yang baik dan benar. Sehingga pendidikan bisa dikatakan sebagai proses pengembangan untuk mereka mampu memperoleh kebijaksanaan. Kemudian dari kebi-

jaksanaan tersebut anak didik akan menjadi manusia yang arif secara pola pikir dan tindakannya. Berdasarkan amanat negara yang termaktub pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Diharapkan anak didik dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir maupun batin. Tentu dalam implementasinya, pendidikan dapat mengolah dan membantu anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki.

Selain itu, dalam menyempurnakan pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, maka pada anak didik juga ditanamkan jiwa yang religius. Sehingga generasi kedepannya akan menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menjadi warga negara yang demokratis sesuai dasar negara. Dari interpretasi pendidikan menurut amanat undang-undang secara eksplisit memberi pemahaman tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan dan membentuk karakter anak didik yang kemudian dapat diwujudkan di kehidupan nyata.

Adapun mengenai karakter anak Indonesia, saat ini pada faktanya belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita Indonesia merdeka. Data statistik perbuatan kriminal di laman bps.go.id menggambarkan tingkat kasus kejahatan di Indonesia selama tahun 2019 sebanyak 269.324 kasus. Selain itu, dilansir aptika. kominfo.go.id mengungkapkan kasus terbanyak adalah anak berhadapan hukum (ABH) sebanyak 12.367 kasus. Diikuti keluarga dan pengasuhan alternatif sebanyak 7.047 kasus. Hal ini juga diperjelas dalam kasus anak pada semester pertama 2018 yang dapat dilihat di laman news.detik.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menangani sebanyak 1.885 kasus, antara lain anak menjadi korban konsumsi narkoba atau bahkan menjadi pengedar, pencurian, hingga perbuatan asusila.

Berkaca dari fenomena di atas, menandakan bahwa proses pendidikan di lapangan

Gambar: Wikipedia

Sehingga wujud pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu saja, namun pendidikan juga penting dan berpengaruh pada hubungan individu dengan sesama manusia

masih banyak yang perlu dievaluasi. Dapat disimpulkan data tersebut mempunyai hukum kausalitas, sebab-akibat. Dapat ditangkap bahwa penerapan pendidikan di lapangan terjadi dehumanisasi. Seperti yang dilansir pada laman kpai.go.id, KPAI mencatat selama bulan April sampai Juli 2018, bidang pendidikan melakukan penanganan dan pengawasan kasus pelanggaran hak anak sebanyak 33 kasus, yang terdiri dari: (1) anak korban kebijakan sebanyak 10 kasus (30,30 persen); (2) pungli di sekolah sebanyak 2 kasus atau 6,60 persen; (3) tidak boleh ikut ujian sejumlah 2 kasus ( 6,60 persen); (4) Penyegelan sekolah sebanyak 1 kasus (3,30 persen); (5) anak putus sekolah dan dikeluarkan dari sekolah sejumlah 5 kasus (15 persen); dan kasus tertinggi adalah anak korban kekerasan/bully sebanyak 13 kasus (39 persen). Selain itu di situs resmi KPAI juga menyatakan dalam kurun waktu sembilan tahun, dari 2011 sampai 2019 perilaku perundungan (bullying) baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan cenderung terus meningkat.

Pendidikan Humanisme

Menurut Ki Hadjar Dewantara

Untuk mengaktualisasikan tujuan pendidikan yang berdasarkan amanat negara Indonesia, perlu namanya pendidikan dengan nilai humanistik. Sebab manusia sebagai makhluk sosial, hidupnya tidak bisa lepas dengan individu yang lainnya. Sehingga wujud pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu saja, namun pendidikan juga penting dan berpengaruh pada hubungan individu dengan sesama manusia.

Oleh karena itu, diperlukan konsep pendidikan yang adaptif, dianalogikan seorang petani bertugas merawat sesuai dengan kebutuhan tanamannya. Setiap jenis tanaman mempunyai cara perawatan masing-masing. Begitu pula pendidik harus bisa melayani segala bentuk kebutuhan metode belajar (berorientasi pada anak) yang memberikan kebebasan kepada anak didik untuk mengembangkan ide, berpikir kreatif, mengembangkan minat dan bakat siswa (merdeka belajar). Tetapi kebebasan itu bukan berarti kebebasan mutlak. Perlu tuntunan dan arahan dari pendidik supaya anak tidak kehilangan arah, sesuai dengan kearifan lokal dan menjauhi perilaku yang membahayakan dirinya.

Hal tersebut yang menjadi rumusan Ki Hadjar Dewantara dalam melahirkan gagasannya mengenai konsep pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat tersebut menjadi pelopor pendidikan untuk masyarakat Indonesia pada masa kolonial Belanda di wilayah Yogyakarta. Menurutnya pendidikan itu bagian sentral dan fundamental untuk gerakan perjuangan dalam segala ranah kehidupan manusia. Keyakinannya kemudian dimanifestasikan dengan mendidirikan sarana pembelajaran yang disebut Taman Siswa

dan diabadikan dalam buku Ki Hajar Dewantara jilid I Pendidikan dan jilid II Kebudayaan.

Di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan gagasan utama tentang konsep pendidikan yang mempunyai unsur kearifan lokal bangsa Indonesia. Adapun tiga semboyan ideal bagi seorang pendidik dan lembaga pendidikan yakni; pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya pendidik menjadi teladan yang baik dan benar. Ia harus pantas digugu dan ditiru dalam setiap perkataan dan perbuatan. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya pendidik menjadi fasilitator dan dapat memberi motivasi kepada anak didik. Hal ini supaya dalam diri anak didik dapat terbangun semangat untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya pendidik menuntun, menopang dan menunjukkan arah yang benar bagi hidup anak didiknya.

Konsep Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani tesebut menjadi karakteristik pendidikan yang bersifat pedagogi, yakni Momong, Among dan Ngemong. Interpretasi dari esensi pendidikan itu mempunyai karakteristik mengasuh. Sistem among ini mengedepankan prinsip kodrat hidup seorang anak, yakni kodrat anak didik yang meliputi suatu kemampuan yang dimiliki oleh anak didik atau bisa disebut sebagai potensi anak didik. Potensi anak ini terwujud sebagai minat bakat anak yang kemudian perkembangan dan kemajuannya dicapai berdasarkan seberapa besar potensi itu berhasil diasah dan diaplikasikan dalam kehidupan. Artinya, dalam merespon minat dan bakat anak tersebut harus terealisasi dalam pendidikan. Maka kemudian muncul istilah asah, asih dan asuh di Taman Siswa.

Asah yang berarti mendidik, tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja, tapi juga membentuk karakter anak melalui proses pembelajaran. Asih artinya mencintai, yang berarti antara pendidik dan anak didik tidak ada rasa saling benci dan tentu mencintai kedamaian. Hal ini juga harus direalisasikan dalam dunia pendidikan. Sedangkan asuh artinya membina, yang berarti pendidik sebagai fasilitator harus bisa membimbing anak ke arah pengamalan karakter dari nilai-nilai bangsa. Pendidik harus bisa memberi suri teladan sekaligus menumbuhkan nilai cipta, rasa dan karsa anak didik.

Bagaimanapun, bagian dari tugas pendidikan adalah mengajarkan dan membangun unsur daya cipta, karsa dan rasa agar potensi anak didik dapat tumbuh maksimal. Pertama, daya cipta merupakan aspek yang berhubungan dengan kognisi (akal pikiran), kemudian menghasilkan alur logika dan gagasan. Konstruksi gagasan anak didik terjadi karena adanya responsitas panca indra yang meliputi penglihatan, penciuman, perasa, pendengaran, perabaan. Dari panca indra tersebut dapat membentuk pola gambaran abstrak dalam pikirannya. Kedua, daya karsa adalah aspek yang berhubungan dengan motif atau keinginan seseorang sendiri. Dalam hal ini seseorang mempunyai otoritas dalam memutuskan sesuatu, baik kehendak yang baik maupun yang buruk. Ketiga, daya rasa adalah berhubungan dengan hati nurani yang menimbulkan rasa empati, simpati, moralitas. Kemudian membuahkan keindahan, keluhuran batin, seni, adat istiadat, penyesuaian sosial, nasionalisme, keadilan dan religiositas.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, unsur daya cipta, karsa dan rasa dalam pendidikan itu harus komprehensif. Apabila unsur ini dihilangkan atau diunggulkan salah satunya, maka timbul masalah sosial baru dan pendidikan tersebut dapat dikatakan cacat. Semisal pendidik mengutamakan salah satu daya karsa saja tanpa diikutsertakan daya cipta dan rasa dalam pengajarannya, akan terjadi degradasi moral dan karakter pada dirinya. Hal semacam inilah salah satu penyebab seseorang memiliki sifat serakah sebagaimana koruptor. Sebagaimana kita tahu, perilaku koruptif masih menjadi momok dan penyakit kronis negara Indonesia. Dapat dilihat di laman data. tempo.co pada semester kesatu tahun 2020, nilai kerugian negara dari kasus korupsi sebesar 18,173 triliun rupiah. Kemudian meningkat di semester kedua pada tahun yang sama, nilainya mencapai 26,83 triliun. Dengan kata lain, terjadi kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar 47,6 persen. Dapat disimpulkan dari data tersebut bahwa tingkat kerugian akibat perilaku korupsi trennya meningkat.

Menilik dari data di atas, masih terdapat ketidakseimbangan antara penanaman ketiga unsur tersebut dalam proses pendidikan di negara kita. Maka

hal ini menjadi tugas lembaga pendidikan dan para pendidik sebagai fasilitator yang mampu memadukan unsur cipta, karsa dan rasa secara komprehensif. Sebab masing-masing dari unsur cipta, karsa dan rasa tersebut saling memengaruhi satu sama lain dalam membentuk karakter anak didik. Begitu pula pendidik juga bertanggungjawab dalam memberi contoh dari tiga unsur tersebut, yang saat ini lebih familiar dengan isilah afektif, kognitif dan psikomotorik.

Pengajaran Bernilai Budaya Menurut Ki Hadjar Dewantara

Humanisme pendidikan tidak bisa dipisahkan dari proses pengajaran. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pengajaran (onderwijs) merupakan proses pendidikan dalam memberi ilmu atau bimbingan pada kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi kehidupan bersama, haruslah pengajaran itu disesuaikan dengan kebutuhan hidup anak didik. Maksudnya, pengajaran tersebut mempunyai peran terhadap cara pandang anak didik untuk peduli terhadap dirinya, sesama manusia dan bangsa.

Pengajaran akan membentuk karakter yang berpadu dalam proses berfikir, berperasaan dan berkehendak atau kemauan yang menimbulkan tindakan berbudi luhur. Budi pekerti mengantarkan manusia menjadi makhluk yang merdeka, berkepribadian dan mandiri. Selain itu, Ki Hadjar juga memasukkan nilai-nilai kebudayaan di dalam pengajaran mulai dari Taman Indria yang saat ini dikenal dengan Taman Kanak-kanak (TK). Usur kebudayaan lokal dimasukkan dalam pengajaran bermaksud untuk melatih panca indra, kognisi dan terutama budi pekerti atau pola pikir, emosi dan psikomotor.

Dalam pembelajaran hendaknya pengajar juga harus memperhatikan sisi kodrati anak yang masih suka bermain. Ketika anak didik belajar dengan sambil bermain, pengalaman yang anak didik rasakan adalah

Globalisasi tidak hanya berlaku pada bidang ekonomi, tetapi uga budaya.

kegembiraan dan itu membuat suatu kesan yang membekas di hati dan pikirannya. Pendidik juga memasukkan unsur permainan dalam pembelajaran agar merangsang kognitifitas, panca indra dan kesehatan jasmani. Apalagi dengan memanfaatkan permainan-permainan tradisional yang telah ada. Dengan menyampaikan pembelajaran melalui permainan, selain belajar bersama, pendidik sekaligus mengajak anak untuk melestarikan kebudayaan lokal. Proses pendidikan yang digunakan di Taman Kanak-kanak yaitu dimulai dengan masa bermain/dolanan, mendongeng dan sariwara (mengabungkan komponen antara lagu, cerita serta sastra). Praktik pengajaran harus mementingkan segala unsur kebudayaan yang baik di masing-masing daerah anak didik sendiri. Hal ini dengan maksud agar pendidikan juga membimbing para peserta didik ke arah persatuan dan pelestarian kebudayaan Indonesia sesuai dengan eranya.

Pendidikan sebagai Filter Budaya Asing

Budaya asing yang membombardir negeri ini akan berdampak kepada karakter para anak didik. Anak didik terbuai rasa individualisme yang hanya mementingkan diri sendiri sehingga kegiatan gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat menjadi tersingkirkan. Selain rasa individualisme, muncul pula sikap materialisme, mementingkan dan mengukur segala sesuatu berdasarkan materi karena hubungan sosial tersusun berdasarkan kekayaan, strata sosial masyarakat hanya diukur dari kekayaan dan jabatan. Akibatnya, kesenjangan sosial antargolongan kaya-miskin semakin lebar. Pola hidup mewah dan hedon membuat penilaian status seseorang di dalam masyarakat hanya diukur berdasarkan materi. Akhirnya dari cara pandang tersebut muncul sikap sekuler yang memisahkan dan lebih mementingkan kehidupan duniawi, mengabaikan nilai-nilai religiositas.

Globalisasi tidak hanya berlaku pada bidang ekonomi, tetapi juga budaya. Penyebaran budaya asing melalui media massa turut berkontribusi mengubah pola kehidupan anak dengan cepat. Mulai muncul sikap dan kebiasaan yang bertentangan dengan nilai kearifan Indonesia. Lambat laun nilai-nilai budaya dan kearifan lokal akan teralienasi. Kemudian dapat dilihat generasi muda yang cenderung lebih suka dan bangga dengan hasil karya (produk) dan budaya asing.

Misalnya, sebagaimana dikutip dari laman tempo.co K-Pop jadi salah satu topik pembahasan dominan di media sosial Twitter. Berdasarkan penelitian Twitter dari 1 Juli 2020 hingga 30 Juni 2021, terdapat sekitar 7,5 miliar tulisan yang berhubungan dengan K-Pop. Jumlah itu memecahkan rekor setahun sebelumnya sebanyak 6,1 miliar cuitan. Sejak 2010 hingga 2021, rata-rata kenaikan jumlah cuitan tentang K-Pop mencapai 131 persen per tahun. Indonesia memuncaki daftar negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Twitter sepanjang Juli 2020 hingga Juni 2021.

Supaya tidak terjadi alienasi kebudayaan lokal, maka entitas pendidikan serta peranannya menjadi hal yang esensial dalam filterisasi budaya dan pembentukan karakter anak didik sesuai dengan kearifan lokal. Jika membahas konsep pendidikan yang relevan untuk Indonesia, maka tidak akan lepas dari geneologi gagasan Ki Hadjar Dewantara itu sendiri sebagai bapak Pendidikan Indonesia. Seperti di Taman Siswa yang menjadi tempat membangun sekaligus memperkokoh proses internalisasi kebudayaan bangsa sehingga anak didik tidak mudah terpengaruh dengan budaya asing. Hal ini mendorong anak didik untuk merdeka secara lahir maupun batin sebagai bangsa Indonesia seutuhnya.

Untuk dapat mencapai ke bagian lahir dan batin, pendidikan mengajarkan supaya bisa mengendalikan, mengontrol serta mengatur diri pribadi sesuai dengan prinsip hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan demikian, pendidikan Indonesia yang diharapkan Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai taman untuk membangun nalar intelektual, eksistensial yang merdeka dan nilai humanisme.

Dhamuri (27. 18. 184)

Membumikan Prinsip Merdeka Belajar Dalam Perkuliahan Secara Kreatif Dan Inovatifa

Oleh: Tintin Susilowati, M.Pd (Kepala Jurusan PGMI IAIN Ponorogo)

Belajar bukanlah sebatas menghafal, bermaknanya suatu proses pembelajaran ditandai dengan terbangunnya pengetahuan dan keterampilan mahasiswa secara aktif. Namun Pandemi Covid 19 semakin menjauhkan terlaksananya pembelajaran bermakna yang seharusnya bisa didapatkan oleh mahasiswa melalui pertemuan tatap muka di kelas. Untuk itu, dosen sebagai fasilitator dalam kelas dituntut mampu menerapkan prinsip merdeka belajar di dalam kelas. Prinsip Merdeka Belajar seharusnya dapat menjadi ruh dari pembelajaran tatap maya yang dilaksanakan saat ini. Prinsip Merdeka Belajar yang diintegrasikan di dalam perkuliahan secara kreatif dan inovatif dapat menjadi solusi yang dibutuhkan oleh mahasiswa saat ini karena hal ini dapat membangun atmosfer belajar yang bermakna guna membangun pengetahuan serta keterampilan mahasiswa, dosen terdorong untuk memaksimalkan upayanya dalam merancang sebuah pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mayoritas mahasiswa di dalam kelasnya. Selain itu, penerapan prinsip merdeka belajar didalam perkuliahan akan mendorong terciptanya pembelajaran yang kreatif dan inovatif sehingga mampu menjawab tuntutan kontek pembelajaran era kini. Merdeka belajar bertujuan membebaskan dosen dan mahasiswa dalam menentukan sis-

“Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”

tem pembelajaran agar tercipta pendidikan yang menyenangkan dengan lebih menekankan pada aspek keterampilan. Agar mampu membumikan prinsip Merdeka Belajar di dalam kelas, dosen beserta mahasiswa sebagai masyarakat pembelajar dalam kontek kelas perlu memperkaya wawasan tentang: (1) prinsip merdeka belajar menurut Ki Hajar Dewantara; (2) prinsip Merdeka belajar menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim; (3) pembelajaran kreatif dan inovatif; (4) dosen yang kreatif dan inovatif; dan (5) mahasiswa yang kreatif dan inovatif. Paparan tentang kelima poin tersebut adalah sebagai berikut.

Prinsip Merdeka Belajar menurut Ki Hajar Dewantara

Proses pendidikan yang dilaksanakan oleh Ki Hadjar Dewantara merujuk pada filosofi “Merdeka Pikiran, Merdeka Raga serta Merdeka Tenaganya” (Istiqfaroh, 2020). Ki Hadjar Dewantara senantiasa menegaskan bahwa pendidikan akan berjalan dengan baik jika anak didik merdeka batinnya, merdeka lahirnya, merdeka pikirannya serta merdeka tenaganya (Prihatni,2014). Menurut Ki Hajar, jiwa merdeka adalah jiwa yang memiliki cara berpikir yang positif, berperasaan luhur dan indah, serta berkemauan mulia. Pembelajaran dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kodrat dasar peserta didik sehingga pembelajaran menjadi proses yang nyaman, menyenangkan dan bermakna demi terbangunnya kompetensi peserta didik secara optimal. Peserta didik dapat belajar dengan baik apabila dalam kondisi yang rilek, tidak merasa tertekan dalam kegiatan belajarnya, bisa dengan leluasa merancang serta mengekpresikan pengalaman belajarnya secara tepat dan bermakna. Peserta didik akan lebih mudah mendapatkan penguasaan materi ketika mereka mengalami sebuah proses pendidikan yang humanisme serta mengedepankan prinsip keterbukaan (Hadiwijoyo, 2016 dalam Istig’faroh).

Prinsip Merdeka Belajar menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim

Merdeka Belajar merupakan gagasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton. Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana belajar di sekolah yang bahagia, bahagia bagi peserta didik maupun para guru.

Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana arahan bapak presiden dan wakil presiden (dikutip dari situs web kemendikbud.go.id, Rabu, 11/12). Merdeka Belajar berorientasi untuk memberikan kebebasan berfikir dalam mengimplementasikan pembelajaran mengunakan model pembelajaran yang inovatif (Ainia, 2020; Istiq’faroh, 2021). Program ini adalah sebuah upaya untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang bebas untuk ber-

ekspresi, bebas dari berbagai hambatan terutama tekanan psikologis (Sekretariat GTK, 18 Februari 2020) kemendikbud. go.id

Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada peserta didik. Guru yang memiliki konsep kebebasan akan lebih mampu merancang pembelajaran secara maksimal dalam mencapai tujuan (goal oriented) dari pendidikan nasional, dalam koridor kaidah kurikulum. Kebebasan/kemerdekaan harus juga menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat selaras dengan masyarakat (dalam Afifuddin, 2007); dan (3) Implementasinya dalam hal pendidikan dan pengajaran, bahwa pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya secara lahir, sedangkan merdekanya hidup batin terdapat dari pendidikan.

Pembelajaran Kreatif

dan Inovatif

Menekankan aspek kualitas secara sadar dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran adalah kunci utama bagi suatu lembaga pendidikan agar mampu berkembang secara konsisten serta mampu bersaing di kancah masyarakat dunia (Saliman &Sutirman). Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari: (1) upaya guru dalam melakukan pembelajaran bermakna; (2) perilaku responsif siswa untuk secara aktif dan kreatif menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru; (3) iklim pembelajaran yang konstruktif ; (4) materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa; (5) Media pembelajaran yang sesuai berbasis ICT.; (6) sistem pembelajaran yang interaktif (Dikti: 2007).

Pembelajaran kreatif dan inovatif merupakan bentuk dari pengelolaan kualitas pembelajaran yang konstruktif. Dengan pembelajaran kreatif dan inovatif, iklim kelas menjadi lebih terpola menuju terbentuknya pembelajaran bermakna yang dilakukan secara kontektual melalui proses learning by doing. Hal tersebut senada dengan UU Sisdiknas Tahun 2003 bahwa: “Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”

Pembelajaran kreatif dan inovatif adalah upaya menciptakan proses pembelajaran yang baru agar dapat memecahkan permasalahan tentang proses pembelajaran yang telah ada (Semiawan, 1987; Munandar, 2002; Saliman & Sutirman, 2010). Seiring dengan tuntutan jaman, pendidikan dengan pemikiran produktif menjadi suatu keniscayaan. Oleh karena itu, pembelajaran seharusnya lebih ditekankan pada pemikiran kreatif dan inovatif, sebagai proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran diarahkan untuk membawa mahasiswa mendapatkan meaningful learning dengan memahami apa yang dipelajari dan mampu mengaplikasikannya dalam kegiatan yang nyata. Mahasiswa perlu memperoleh pengalaman belajar yang cukup sebelum memberikan penugasan. Materi pembelajaran perlu dikemas sedemikian rupa dengan menggunakan media yang sesuai sehingga mahasiswa akan lebih mudah untuk memahami dan mempelajari materi yang disampaikan tersebut. Kemampuan dosen dalam mengembangkan materi dengan media yang tepat merupakan hal penting yang dapat menunjang keberhasilan tujuan pembelajaran yang dirancang.

Dengan meaningful learning, maka mahasiswa akan mendapatkan long lasting experience artinya bahwa apa yang dipelajari tidak sekedar hafalan tapi merupakan hasil belajar yang direfleksikan dalam bentuk penguasaan. Mahasiswa mampu mengerjakan tugasnya setelah mereka mengerti esensi dari materi yang dipelajari sehingga mereha dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen dengan baik.

Belajar bukan semata kegiatan menghafal atau mengingat (Sudjana, 2013), tetapi belajar adalah proses aktif mengkontruksi pengalaman. Jadi belajar adalah; (1) proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, ditunjukkan melalui berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan, dan kemampuannya, daya reaksinya, serta daya penerimaannya ; (2) belajar adalah proses aktif, proses untuk melakukan sesuatu melalui berbagai pengalaman; (3) belajar adalah proses mereaksi ter-

hadap semua situasi yang ada di sekitar individu; (4) belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan; dan (5) belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Jadi apabila kita berbicara tentang belajar intinya adalah mengubah tingkah laku seseorang.

Dosen yang Kreatif dan Inovatif

Merdeka Belajar memberikan kebebasan dalam menyusun perangkat pembelajaran serta melaksanakan proses pembelajaran (Istiq’faroh, 2020). Dosen sebagai pengajar diharapkan memiliki kepiawaian melakukan adaptasi secara kreatif dan kepiawaian menemukan pemecahan masalah yang imajinatif (Saliman & Sutirman, 2010), serta mampu menginterpretasikannya secara kongkrit. Kreatifitas serta inovasi seorang dosen dibangun oleh kompetensi pedagogis dan kompetensi professional. Kompetensi pedagogis merupakan seperangkat kemampuan dan keterampilan (skill) yang berkaitan dengan interaksi pembelajaran antara guru dan peserta didik dalam kelas ketika menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran, memberikan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengelola kelas, dan melaksanakan evaluasi. Sedangkan kemampuan profesional adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan terhadap penguasaan materi pelajaran secara mendalam, utuh, dan komprehensif (Muchith dalam Shabir U, 2015: 230), serta ditopang dengan kemampuan terhadap materi ilmu lain (Suntoro, R., & Widoro). Dengan kompetensi-kompetensi tersebut, dosen akan mampu membangun iklim kelas yang kreatif dan inovatif.

Dalam Merdeka Belajar, dosen dituntut mampu melaksanakan pembelajaran kreatif dan inovatif. Terdapat tujuh kriteria yang menunjukkan bahwa seorang dosen di kategorikan sebagai seorang dosen yang kreatif dan inovatif, diantaranya adalah (1). selalu mempunyai ide fresh; (2). tampil beda dalam melaksanakan proses pembelajaran; (3). memiliki fleksibilitas dalam kelas; (4). supel dalam interaksi kelas; (5). mampu merancang pembelajaran menyenangkan; (6). sering melakukan eksperimen; (7). cekatan menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam kontek Merdeka Belajar, dosen didorong dapat menerapkan berbagai model pembelajaran inovatif yang memungkinkan mahasiswa belajar lebih merdeka sesuai kemampuan dan potensinya (Istiq’faroh, 2020). Pembelajaran interaktif diluar jam pembelajaran formal, misalnya melalui kegiatan-kegiatan lokakarya dapat menjadi wahana untuk mentransfer pengetahuan serta keterampilan kepada mahasiswa. Proses interaksi dua arah dapat menjadi sebuah sarana untuk membangun pemahaman dan penguasaan mahasiswa terhadap suatu materi yang tengah dipelajari.

Selain itu juga dosen harus memiliki kemampuan mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran. Misalnya dengan memberikan tugas dengan G Meet kepada mahasiswa untuk menganalis video pembelajaran dan mempresentasikannya. Secara kelompok mahasiswa diminta untuk mempresentasikan hasil analisisnya. Namun sebelum presentasi hasil analisis, video tersebut diputar ditonton bersama-sama.

Mahasiswa yang Kreatif dan Inovatif

Merdeka Belajar memberikan kebebasan kepada mahasiswa sebagai peserta didik untuk berpikir kritis (Istiq’faroh, 2020). Mahasiswa diberi keleluasaan untuk mengembangkan kreativitasnya sendiri sesuai dengan kodratnya sendiri tanpa bantuan dari dosen.

Mahasiswa dalam kontek sosial mengkontruksi konsep-konsep pengetahuan serta keterampilan berdasarkan instruksi yang diperoleh oleh dosen. Proses rekontruksi tersebut terjadi sebagai hasil interaksi dengan dosen serta mahasiswa lainnya dalam iklim kelas yang kontruktif agar mahasiswa dapat berperan aktif, kreatif dan produktif agar mampu merealisasikan hasil gagasannya (Saliman & Sutirman, 2010).

Menerapkan prinsip Merdeka Belajar dalam perkuliahan adalah sebuah upaya nyata untuk membaiki kualitas pendidikan. Pendidikan yang berkualitas akan menjadi landasan perubahan budaya menuju pada pembangunan masyarakat yang cerdas, berkarakter, serta berkemajuan. Hanya dengan pendidikan yang berkualitas di lingkungan perguruan tinggi maka akan lahir masyarakat pembelajar yang mumpuni. Pembelajar-pembelajar sejati yang siap kerja, kompeten, dan berbudi luhur (Mustaghfiroh: 2020).

S D

S K

S K Fotografer: Dewi S D

S K

Transformasi Budaya Organisasi Dalam Pengembangan Nilai Karakter Di Madrasah

Oleh: Nuurun Nahdiyah KY, M.Pd.I Kepala Sekolah MTSN 1 Pomorogo

Degradasi moral adalah tantangan terberat dunia pendidikan. Banyak tindak asusila dan tindak kriminal menjadi menu berita setiap hari. Tentu ini menjadi keprihatinan mendalam untuk semua elemen terutama dunia pendidikan karena korbannya dan bahkan pelakunya sebagian besar adalah pada usia remaja.

Dilansir dari radarkediri.jawapo.com beberapa waktu terakhir kita digemparkan dengan berita hubungan gelap yang melibatkan dua kakak beradik di Bekasi, Jawa Barat dan mengakibatkan kakak hamil, yang kemudian menggelapkan mata dan membunuh bayi yang baru dilahirkan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kasus kekerasan seksual terdapat 426 sejak 1 Januari hingga Maret 2021 dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan jumlah ini terus meningkat sampai tanggal 3 Juni 2021 meningkat menjadi 2021. Tentu realitas ini betul – betul menjadi tamparan keras bagi Bangsa ini. Fakta ini harusnya menyadarkan kita tentang kondisi moral bangsa yang sedang tidak baik–baik saja. Lalu, bagaimana Lembaga Pendidikan mampu mengontrol perbuatan demikian?.

Lembaga pendidikan adalah institusi yang dibangun sebagai wadah mengembangkan potensi kemanusiaan dari individu agar mampu menjalankan perannya dalam kehidupan secara berkualitas. Pengembangan potensi individu, dengan menjalankan serangkaian proses pematangan pengetahuan, sikap, dan perilaku yang pada akhirnya dapat menjalankan peran dalam kehidupan individu maupun sosial. Aktivitas menumbuhkan, mengembangkan, dan memperkuat potensi kemanusiaan dilakukan secara terencana, terarah, dan sistematik guna mencapai tujuan tertentu.

Sebuah proses pengorganisasian atau menggerakkan roda organisasi dalam lembaga pendidikan terkait beberapa aspek kunci yakni: jenis, tingkatan, dan sifat lembaga tersebut. Jenis kelembagaan terbagi menjadi dua antara lain lembaga formal dan nonformal, secara

tingkatan ada beberapa jenjang pendidikan dimulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan atas. Misalnya dalam madrasah formal terdapat tingkatan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Sementara pada Madrasah Diniyah kita kenal tingkatan ula, wustha, dan ulya. Sedangkan secara sifat kelembagaannya ada yang murni pendidikan formal, informal, dan nonformal. Sifat kelembagaan pesantren misalnya secara umum dibagi menjadi berbasis pesantren salaf ataupun modern.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama no 19 tahun 2019 pasal 14. Setiap lembaga pendidikan Islam dirancang untuk mencapai tujuan yang dicanangkan oleh institusi yang menaunginya. Lembaga pendidikan Islam, mendapatkan tugas untuk melaksanakan penyusunan bahan dan pelaksanan kebijakan teknis, pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, pengelolaan sistem informasi, dan penyusunan rencana, serta pelaporan di bidang kurikulum, sarana, kelembagaan, dan kesiswaan, serta guru dan tenaga kependidikan madrasah berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh institusi ditingkat yang lebih tinggi.

Kaitannya dengan hal ini, pemimpin dalam sebuah lembaga pendidikan Islam diharuskan mampu mengelola struktur dan sistem manajerial dengan baik. Kepala madrasah sebagai pengelola lembaga pendidikan Islam mempunyai peranan yang sangat strategis dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di lembaga pendidikan. Ia diharapkan mampu meningkatkan iklim madrasah yang kondusif bagi terlaksananya proses belajar mengajar yang efektif, dan mengaktualisasikan sumber daya yang ada di madrasah seoptimal mungkin dalam menunjang proses belajar mengajar. Oleh karena itu, setiap kepala madrasah harus menguasai kemampuan organizational pendidikan yang efektif.

Menurut Murdianto. 2020, dalam Pendidikan dan Segregasi Manusia, dimuat dalam situs geotimes.com. Lembaga pendidikan Islam tersusun atas sistem atau struktur organisasi, yang didesain dan digerakkan dengan tujuan menginternalisasi nilai-nilai yang menjadi substansi penting dalam ajaran agama Islam. Pendidikan mesti diarahkan pada membangun kemanusiaan, memanusiakan manusia, mentransformasikan pengetahuan, gagasan, nilai, sikap, dan keterampilan yang pada akhirnya menjadi jalan bagi terbentuknya struktur sosial yang lebih adil. Pendidikan juga mesti memperkuat keperpihakan terhadap kaum mustad’afin, menyediakan akses yang luas bagi kaum terpinggir. Orientasi nilai ini pada akhirnya akan membangun ruh yang perlahan akan menumbuhkan budaya organisasi dalam lembaga pendidikan.

Berangkat dari hal tersebut tulisan ini akan membahas bagaimana struktur dan sistem organisasi dalam lembaga pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga pendidikan yang diharapkan mampu menjadi wadah mengembangkan potensi sumber daya manusia secara berkualitas.

Tulisan ini mengeksplorasi

Lembaga pendidikan Islam tersusun atas sistem atau struktur organisasi, yang didesain dan digerakkan dengan tujuan menginternalisasi nilai-nilai yang menjadi substansi penting dalam ajaran agama Islam

dua masalah kunci yang akan didiskusikan, yakni: Pertama, bagaimana transformasi budaya organisasi dalam lembaga pendidikan Islam? Kedua, bagaimanakah Implementasi budaya organisasi dalam menguatkan pendidikan karakter di madrasah ?

Struktur dan sistem organisasi dalam lembaga pendidikan Islam menjadi salah satu kajian penting dalam manajemen pendidikan Islam. Beberapa penelitian mengungkap struktur dan sistem organisasi dalam berbagai dimensi. Beberapa penelitian tersebut antara lain sebagai berikut.

Penelitian Basyit (2020) yang berjudul Budaya Organisasi dalam Pendidikan Islam mengungkap beberapa hasil penting terkait budaya organisasi. Beberapa temuan penting dalam kaitan organisasi adalah: Pertama, prinsip organisasi adalah memiliki tujuan yang jelas dalam Islam termaktub dalam sebuah kitab Sur’atul Badi’ah bahwa ciri orang yang berfikir serius atau fikrun Jinduyah adalah dengan merumuskan tujuan yang jelas. Kedua bahwa organisasi harus memiliki kesatuan arah dimulai dari seorang pimpinan sampai kepada bawahannya, memiliki komitmen dan konsistensi yang sama. Ketiga, pembagian kerja bisa terjadi dengan baik apabila ada struktur organisasi yang jelas. Keempat, terdapat pendelegasian wewenang, kelima, koordinasi, bahwa dalam sebuah organisasi bisa berjalan dengan baik apabila ada koordinasi yang baik. Keenam adalah Rentang manajemen, bahwa setiap organisasi akan berjalan dengan baik apabila pembagian tanggungjawab terhadap tim bisa diukur dengan jelas.

Sedangkan, sistem pendidikan di Indonesia menganut dua sistem yang mainstream adalah sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama (Arif Subhan,2012). Masing–masing sistem tersebut di Indonesia di kelola oleh kementerian yang berbeda, sistem pendidikan umum yang membawahi sekolah dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan sistem pendidikan agama di kelola oleh Kementerian AGAMA. Banyak pengamat yang menyebutkan bahwa Indonesia menganut sistem yang dualistik.

Lembaga pendidikan merupakan tempat berlangsungnya proses pendidikan, dimana terjadi sebuah interaksi antara individu satu dengan individu lain dalam peran masing-masing untuk mencapai sebuah tujuan peningkatan mutu sumber daya manusia. Agama merupakan salah satu institusi pendidikan selain negara dan keluarga. Keluarga menjadi institusi pendidikan yang memberikan wewenang kodrati untuk menjalankan pendidikan, sementara negara menjalankan kewenangannya menyelenggarakan pendidikan berdasarkan regulasi yang dibentuk bersama dalam kehidupan bernegara. Sementara agama sebagai salah satu perangkat keyakninan dan nilai yang diyakini oleh manusia menjalankan fungsinya untuk memberi basis hingga kerangka bagi penyelenggaraan sistem pendidikan. Islam adalah salah satunya.

Sistem Pendidikan di Indonesia menganut dua sistem yang mainstream adalah sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama

~(Nuurun Nahdiyah ) ~

Berangkat dari sistem pendidikan yang dualistik maka hal ini akan menjadi budaya organisasi yang menjadi ciri khas masing–masing. Budaya organisasi lembaga pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain etika, peraturan kinerja, dan tipe struktur lembaga tersebut. Budaya organisasi melalui struktur Pendidikan Islam akan sangat memengaruhi perilaku organisasi dalam artian sistem organisasi dan perilaku anggota dalam organisasi tersebut (Hadari Nawawi, 2006).

Setelah mengkaji hasil pustaka dan temuan di lapangan ,maka penulis dapat menuliskan beberapa hal yang menarik untuk menjadi bahan sebuah diskusi antara lain:

Pertama, Bahwa sistem, struktur dan budaya organisasi lembaga pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh latar nilai dan aspek historis kelembagaan. Budaya organisasi atau sistem organisasi yang kuat akan mempengaruhi dan menuntun perilaku anggota dalam sebuah organisasi dalam hal adalah pelanggan baik internal maupun eksternal dalam rangka penguatan nilai karaker, hal ini tertuang dalam visi madrasah yang berbunyi, terciptanya Lulusan Madrasah yang Beriman, berilmu, dan beramal Shalih.

Kedua, Struktur organisasi yang terdapat di Pesantren sangat bergantung pada kultur pesantren yang dikembangkan, dimana–mana keduanya akan bergantung pada keputusan tertinggi Kiai atau pengasuh Pesantren tersebut. Meskipun dalam konteks tertentu di pesantren modern sudah menggunakan strutur yang lebih terbuka. Dalam hal penguatan nilai–nilai karakter tentu berbeda jauh dengan implementasi di lembaga formal karena intensitas yang jauh lebih kuat di pesantren.

Ketiga, di lembaga pendidikan formal milik negara terlihat juga sangat bergantung pada aturan negara dimana ada Kepala Madrasah, wakil kepala Madrasah dan Kepala Program yang menyesuaikna juga dengan kebutuhan lembaga tersebut. Misalnya dengan menambahkan Kepala Program Unggulan beserta Litbang di dalam struktur organisasinya, tentu pengembangan komposisi ini adalah wujud dari transformasi budaya organisasi, karena strukturnya diletakkan menyeseuaikan dengan kebutuhan lembaga, dalam hal ini muncul Litbang PKG PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) sebagai upaya penguatan SDM, litbang Kesiswaan sebagai ruang penguatan karakter kesiswaan, Litbang SOSROH sebagai ruang penguatan spiritual dan karakter peserta didik, Bidang Adiwiyata untuk menguatkan karakter cinta lingkungan sebagai manifestasi dari Hablum minal alam. Sedangkan beberapa program unggulan seperti Program Tahfidz, menjadi benteng untuk peserta didik, dengan menguatkan akhlak Qur’ani pada peserta didik melalui pembiasaan tahfidzul Qur’an, Tadabur Qur’an Halaqah Qur’an yang membedah tafsir Qur’an sebagai fondasi penguatan nilai–nilai karakter.

Dari temuan di atas ditemukan: pertama, setiap perkembangan dan pencapaian goal setiap lembaga selalu dimulai dari visi misi yang benar yang kemudian secara opersionalisasi akan dilaksanakan oleh struktur organisasi mendasar pada SOP atau STATUTA yang telah dibuat dan dirumuskan bersama. Berangkat dari visi misi madrasah menjadi framework organisasi terutama dalam menguatkan nilai karakter. Kedua, nilai karakter yang dikembangkan di madarasah akan bergantung pada budaya organisasi yang ditransformasikan secara tepat.

Budaya organisasi melalui struktur Pendidikan Islam akan sangat mempengaruhi perilaku organisasi dalam artian sistem organisasi dan perilaku anggota dalam organisasi tersebut

Permainan Tradisonal: Sarana Edukasi Local Wisdom yang Mulai Terlupakan

Tak dapat dipungkiri jika kebudayaan merupakan unsur penting yang kental bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari bangsa. Seperti yang diketahui, Indonesia adalah negara kaya akan peninggalan kebudayaan, baik bersifat tangible (kebendaan) maupun intangible (tak benda). Permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya dari nenek moyang yang bersifat intangible. Di sisi lain permainan tradisional nyatanya juga penuh dengan nilai kebudayaan yang tinggi.

Dilansir dari cnnindonesia. com (13/08/2018) (baca: Permainan Tradisional Puncak dari Segala Kebudayaan), asal-asul permainan tradisonal Indonesia biasa ditemukan dalam naskah-naskah kuno abad ke15, salah satunya dalan naskah Saweka Darma Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Ada juga Serat Rarya Saraya hasil tulisan K.P.A. Koesoemadiningrat dan Serat Javaansche Kinderspelen karya R. Soekardi alias Prawira Winarsa yang keduanya tersimpan di perpustakaan Museum Reksa Pustaka Mangkunegara Surakarta. Kedua naskah tersebut berupa naskah jawa cetak. Serat Rarya Saraya diterbitkan oleh Publiciteitsbureau Widya Pustaka, di Bogor pada tahun 1913. Adapun Serat Javaansche Kinderspelen diterbitkan oleh H.A. Bonjamins, Semarang pada tahun 1912.

Seperti peninggalan budaya lainnya di Indonesia, Jawa menjadi salah satu pulau yang kaya akan hasil kebudayaan. Seperti dalam Serat Javaansche Kinderspelen menguraikan tentang penggambaran permainan tradisional Jawa sejumlah 212 macam. Lalu pada Serat Rarya Saraya menjelaskan makna filosofis dari tembang pengiring permainan tradisinal Jawa sebanyak 60 macam. Pada tahun 1959, Ki Hajar Dewantara juga pernah menghitung jumlah permainan dan nyanyian yang khusus perempuan dan terhitung sebanyak 690 macam. Namun sangat disayangkan dari

sekian banyaknya permainan hanya tinggal beberapa saja yang masih diingat bahkan dimainkan masyarakat.

Perkembangan Permaianan Tradisional sebagai Media Pendidikan

Dimulai dari era penjajahan Hindia-Belanda berdirilah taman kanak-kanak yang diberi nama Frobelschool. Nama Frobelschool diambil dari nama pencetus taman kanak-kanak pertama yaitu Friederich Wilhelm August Frobel. Taman kanak-kanak ini menggunakan kurikulum ala Frobel dengan konsep bermain sambil belajar. Selain dengan sistem Pendidikan Frobel, pemerintahan Belanda juga menerapkan metode Montessori pada tahun 1938 yang menekankan kepada perkembangan kepribadian anak. Lalu pada masa penjajahan Jepang juga mendirikan taman-taman, namun berusaha keras menghilangkan corak kebelanda-belandaan yang sebelumnya telah diterapkan oleh Belanda. Beberapa metode yang digunakan dalam pengajaran seperti bernyanyi, bermain, dan bercerita. Bahkan sebenarnya banyak permainan anak tradisional yang ada saat ini diadaptasi dari Belanda, seperti slekdur (ular naga), engklek (zondaag maandang), gobag sodor (go back to door) dan masih banyak lagi.

Lalu tepat pada tanggal 3 Juli 1922, berdirilah Taman Siswa di Yogyakarta. Pendidikan di sekolah tersebut dimulai untuk anak-anak kecil dibawah umur 7 tahun. Sekolah diberi nama “Taman Lare” atau “Taman Anak”. Pada masa itu banyak juga orang yang menyebutnya dengan “Sekolah Frobel Nasional” atau “Kindertuin”. Namun saat ini lebih dikenal dengan “Taman Indria”, sekolah ini menggunakan metode pengajaran dengan sistem among. Yakni konsep pengajaran dimana guru menghamba pada murid. Dari model pengajaran ini muncullah konsep Dolanan Anak di Taman Indria, yang mana menggabungkan permainan anak dengan fisik, kecermatan, hitungan, kerjasama, dan gotong-royong dengan tidak memaksakan justru memerdekan anak, tanpa terasa anak juga berlatih life-skill. Dari nilai-nilai tersebut juga bisa ditemui pada permainan tradisional.

Mengacu pada metode pendidikan yang pernah ada, menjadi bukti bahwa permainan tradisional dirasa tepat sebagai salah satu metode strategis dalam membentuk karakter anak usia dini (usia 1-5 tahun), terlebih pada usia ini anak sangat mudah dalam menerima pembelajaran karena neuron otak sangat berkembang pesat. “Apa yang mereka lihat apa yang mereka dengar pengalaman apa itu mudah dioalah oleh mereka dan bisa, mengapa menggunakan permainan tradisional? jadi karakteristik belajar anak usia dini adalah belajar sambil bermain. Permainan trasidonal dalam pembetukan karakter karena memang di permainan trasidional banyak sekali pendidikan karakter yang didapatkan, sebenarnya bukan hanya melalui permainan tradisional, tetapi memang dalam permainan trasional mempunyai nilai-nilai karakter yang banyak,” ujar Raya Nurlianharkah, salah satu tenaga pendidik PAUD/TK saat ditemui crew di kediamannya Mrayan (2/12/2021).

Seperti halnya Ki Hajar Dewantara dalam bukunya yang berjudul “Tentang Frobel dan Methodenya”, dijelaskan bahwa suatu permainan anak alangkah baiknya mempunyai syarat-syarat di dalamnya, terutama permainan anak yang ditujukan untuk pendidikan. Permainan anak harus menyenangkan dan menggembirakan karena kegembiraan adalah pupuk bagi tumbuhnya jiwa.

Selanjutnya, permainan anak juga harus mengandung semacam tantangan sehingga merangsang daya kreatifitas untuk terus meningkatkan kemampuan guna mencapai suatu kemenangan atau kepuasan tertentu karena rasa kemenangan akan sangat memajukan kecerdasan jiwa. Selain itu, permainan anak hendaknya mengandung nilai seni karena rasa keindahan akan menarik jiwa ke arah keluhuran budi. Ser-

" Konsep Dolanan Anak di Taman Indria, yang mana menggabungkan permainan anak dengan fisik, kecermatan,hitungan, kerjasama, dan gotong-royong dengan tidak memaksakan justru memerdekan anak, tanpa terasa anak juga berlatih life-skill. "

ta harus mengandung isi yang dapat mendidik anak-anak ke arah ketertiban, kedisiplinan, dan sportifitas, karena ketertiban akan mendidik rasa kesosialan yang akan sangat berguna dalam hidupnya kelak setelah dewasa.

Nilai-Nilai Luhur Permainan Tradisional yang Mulai Terlupakan

Permainan tradisional, aset kebudayaan yang tak ternilai harganya sampai kapan pun. Didalamnya juga terdapat nilai-nilai luhur yang dapat diwariskan kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Permainan anak tradisional juga mengandung wisdom, memberikan manfaat untuk perkembangan anak, serta refleksi budaya dan tumbuh kembang anak. Jika digali lebih dalam, ternyata makna dibalik nilai-nilai permainan tradisional mengandung pesan-pesan moral dengan muatan kearifan lokal (local wisdom) yang luhur. Sangat disayangkan jika generasi sekarang tidak mengenal dan menghayati nilai-nilai yang diangkat dari keanekaragaman suku bangsa di Indonesia.

Tidak sedikit orang sebenarnya yang belum sadar, bahkan semakin melupakan nilai-nilai luhur dalam suatu kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Makna filosofis dalam permainan tradisional bahkan belum sepenuhnya dimengerti. Permainan tradisional hanya dianggap sebagai dolanan biasa dan sarana menghibur diri. Padahal sebenarnya banyak sekali hal positif yang bisa diambil serta bermakna dalam kehidupan. Seperti yang dijelaskan dalam buku Permainan Tradisional untuk Anak Usia Dini dalam Naskah Kuna Jawa yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, mengutip dari Ki Hadisukatno permainan anak tradisonal dapat dikelompokan dalam lima macam.

Pertama, permainan tradisional yang bersifat menirukan, seperti pasaran, manten-mantenan, dhayoh-dhayohan, dsb. Dari permainan menirukan ini anak akan melatih daya ingat dan imajinasi anak. Kedua, ada juga untuk melatih kekuatan dan kecakapan, misalnya tarik menarik, bergulat, berguling-guling, berkejar-kejaran, gobag sodor, dsb. Permainan tersebut tidak disadari oleh anak telah melatih kekuatan dan kecakapan jasmani.

Ketiga, permainan yang bersifat melatih panca indra misalnya: gatheng, dhakon, macanan, sumbar-suru, sumbar-manuk, dll. Permainan tersebut secara tidak langsung mengajarkan si anak latihan kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, menajamkan alat penglihatan dan pendengaran, dan melatih keterampilan tangan. Keempat, permainan dengan latihan bahasa, misalnya: permainan anak dengan percakapan/cerita, permainan dengan teka-teki dan tebak- tebakan, dan lain sebagainya. Dalam permainan ini biasanya anak tidak hanya terbatas pada cerita-cerita atau teka-teki yang sudah lazim, melainkan mereka akan berusaha mengemukakan cerita atau teka-teki buatannya sendiri agar tidak mudah ditebak atau diketahui oleh teman-temannya. Disitu akan tumbuh kecakapan berbahasa dan meningkatkan kecerdasan anak.

Kelima, permainan dengan lagu dan irama, misalnya jamuran, cublak-cublak suweng, bibi rumbas timun, ancak-ancak alis, manuk-permanuk dipanah, tokung-tokung, blarak-blarak sempal, dhemplo, dan lain sebagainya. Permainan tersebut secara tidak langsung akan melatih anak dalam hal seni suara dan seni irama. Permainan berupa lagu dan irama ini mempunyai makna-makna tersendiri dalam setiap liriknya terutama yang sarat akan makna kehidupan. Seperti dalam tembang dolanan cublak-cublak suweng yang berasal dari Jawa Tengah. Tembang cublak-cublak suweng biasanya dinyanyikan untuk sebuah permainan anak.

Dilansir dari pgsd.binus. ac.id, cublak-cublak suweng diciptakan oleh seorang Walisongo yaitu Syekh Maulana Ainul atau biasa dikenal dengan Sunan Giri. Penciptaan lagu/ tembang ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam dimana ketika mencari harta janganlah sesekali menuruti hawa nafsu tapi gunakanlah hati nurani yang bersih. Dengan hati nurani akan lebih mudah mencarinya sehingga tidak tersesat jalan dan lupa akhirat. Oleh karena itu, permainan ini memiliki makna filosofi yang dalam karena merupakan salah satu media dakwah Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Dengan banyaknya nilai-nilai positif yang terkandung dalam permainan tradisonal anak, maka pelestarian permaianan tradisional anak perlu diupayakan. Penanaman nilai

karakter yang positif merupakan cara untuk membekali anak agar mereka mampu menjalani kehidupannya dengan lebih baik.

Bergesernya Permainan Tradisional ke Game Online

Saat ini, kita lebih sering menemukan anak yang memainkan gadget-nya ketika berkumpul bersama temannya. Adanya aplikasi-aplikasi seperti game online, membuat anak-anak menjadi lebih sering menghabiskan waktu untuk memainkannya. Bahkan saat ini, banyak anak-anak yang beranggapan “kalau gak main game, gak keren”. Tidak hanya itu, penyebab anak sering bermain gadget salah satunya karena faktor orang tua sendiri. Agar anaknya diam di rumah dan tidak berbuat aneh-aneh. Para orang tua lebih memilih untuk memberikan gadget kepada mereka. Namun, tanpa disadari ketika anak berlebihan memainkan gadget maka berpengaruh membentuk sifat antisosial dan lebih suka menyendiri untuk sekedar bermain game online.

Berbeda halnya ketika anak memainkan permainan tradisional. Kebanyakan permainan tradisional merupakan dolanan di luar ruangan. Dimana anak cenderung akan mengenal lingkungan. Selain itu, bermain permainan tradisional pun bisa mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional tatkala anak berinteraksi dengan orang lain. Permainan tradisional juga mampu mengajarkan untuk memecahkan masalah dan melatih kreatifitas dari anak itu sendiri. “Permainan tradisional mengandung nilai-nilai kebersamaan jadi ketika anak bermain dan berinteraksi dengan orang lain tentunya akan membangun komunikasi dan interaksi. Selain itu, permainan tradisional itu memberikan kesan nyata permainan tradisonal kan dilakukan saat itu juga dengan orang lain dan melalui interaksi tersebut maka pendidikan karakter tercipta mungkin ketika ada permainan yang berkaitan dengan teknologi bisa mereka itu bermain dengan yang lain tetapi kesannya itu tidak nyata, belum tentu adanya interaksi secara langsung,” ucap Raya.

Eksistensi Permainan Tradisional yang Mengkhawatirkan

Seiring berjalannya waktu, eksistensi permainan tradisional mengalami penurunan. Adanya kemajuan di bidang teknologi membuat permainan tradisional makin ditinggalkan. Inovasi-inovasi yang muncul akibat perkembangan teknologi menjadi lebih menarik minat anak-anak. Misalnya saja munculnya gadget dengan daya tarik tersendiri bagi anak-anak yang memiliki rasa ingin tahu tinggi. Jika semakin hari, minat terhadap permainan tradisional semakin menurun tentu merupakan hal yang memprihatinkan. Permainan tradisional bisa saja akan semakin terlupakan atau bahkan menghilang sehingga anak cucu kita tidak mengenal apa itu permainan tradisional. Maka dari itu, upaya pelestarian permainan perlu

diadakan agar tetap terjaga keberadaanya sampai kapan pun. Salah satu contoh upaya pelestarian dilakukan oleh Forum Anak Ponorogo (FAP) melaui kegiatan Traditional Games Return (TGR) sejak tahun 2016. Awal mula adanya kegiatan ini berawal dari kesadaran tentang bahaya kecanduan dan ketergantungan gadget. “Tujuan dari kegiatan ini adalah supaya keberadaan permainan tradisional dapat terjaga kelestariannya serta dapat menjadi solusi agar anak-anak dapat terhindar dari ketergantungan akan gadget sehingga dapat bermain dan bersosialisasi bersama dengan teman-teman sebayanya,” ujar Tasya selaku ketua FAP melalui via online (10/12/2021).

Selain menjadi upaya pe-

Majalah Edisi 38

lestarian, TGR berperan dalam melatih hubungan sosial anak dengan orang lain/teman sebayanya. Mulai dari pendekatan, pengenalan, dan berteman. Sehingga kegiatan ini dapat menjadi salah satu wadah anak untuk bermain dan bersosialisasi bersama teman-teman sebayanya. “Kegiatan TGR ini mereka dikenalkan akan hak-hak mereka sebagai anak dengan pendekatan yang mudah dipahami oleh anak. Sehingga harapannya anak-anak dapat mengenali hal-hal apa saja yang harus mereka dapatkan dan hal-hal apa yang tidak seharusnya mereka peroleh,” harap Tasya.

Pada akhir percakapan, Tasya menjelaskan permainan tradisional dinilai penting karena dapat menjadi solusi agar anak-anak terhindar dari ketergantungan akan gadget. Sehingga anak dapat bermain dan bersosialisasi bersama teman sebayanya. “Besar harapan saya agar keberadaan permainan tradisionat terjaga kelestariannya, karena ini merupakan salah satu kebudayaan turun-menurun di masyakat, karena juga berhubungan positif untuk proses tumbuh kembang anak,” ungkap ketua FAP tersebut.

Eksistensi permainan tradisional semakin mengalami kemunduran juga dirasakan oleh Gondo Puspito, salah satu budayawan dan sejarawan di Ponorogo. Menurutnya banyak anak-anak sekarang yang kurang mengenal dolanan bocah. Anak-anak jaman sekarang hanya cenderung mengetahui permainan dari buku.

“Mereka hanya mengenal lewat buku seperti yang ada di tematik seperti itu, mereka tau dari buku tetapi mereka tidak merealisasikan pada kehidupan sehari-hari, perkembangan untuk dolanan bocah sekarang sangat jauh tertinggal, artinya anak-anak sekarang tidak tau yang namanya engkling, gobag sodor, enthik-enthikan, dll, memang tidak bisa setiap daerah bisa dipukul rata bahwa permainan tradisional sudah menghilan seperti daerah saya misal masih anak-anak pulang TPA itu masih bermain dolanan bocah hanya saja praktikya tidak detail seperti dulu,” jelas Gondo saat ditemui crew di kediamannya Paju (30/12/2021).

Gondo juga menambahkan perlu adanya kerjasama antara semua pihak dalam upaya pelerstarian permainan tradisional. Tanpa adanya kerjasama dan kesadaran dari semua pihak upaya peletarian ini tidak akan bisa berjalan. Dari lini terkecil dalam masyarakat harus mempunyai kesedaran akan menjaga budaya. “Mbok ya o (harusnya. red) ada sentuhan dari pemerintah meskipun secara pribadi atau komunal tradisi di masyarakat sebenarnya juga mempunyai tanggungjawab dalam pelestarian, kita tidak bisa hanya berharap saja kepada penentu kebijakan atau juga agen of change, tapi disisi lain masyarakat budaya, lokal jenis yang lain, wisdom yang ada dan kebijakan-kebijakan yang ada atau lebih lagi dalam keluarga artinya satu keluarga mempunyai tugas untuk menceritakan ini kepada anak cucunya,” ujar Gondo.

Afriana Dwi Utami (28.19.196, Itsna Rahmawati H (29.20.216)