11 minute read

Bahasan Utama

Pendidikan Indonesia dalam Digitalisasi, Sejauh Mana Kesiapan Kita?

Pandemi Covid-19 yang menimpa dunia tidak terkecuali Indonesia memberikan dampak terhadap banyak lini kehidupan, salah satunya pada bidang pendidikan. Proses penyebaran Covid-19 yang cepat bersamaan dengan kasus penularan yang meningkat secara signifikan membuat pemerintah segera mengambil tindakan terkait proses pembelajaran di Indonesia. Melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19), proses pembelajaran dilaksanakan dari rumah secara daring atau jarak jauh dengan beberapa ketentuan.

Advertisement

Dilansir dari stit-alkifayahriau.ac.id, pendidikan daring merupakan pembelajaran yang dilaksanakan secara online dengan mengacu pada aplikasi pembelajaran maupun jejaring sosial dimana seluruh bentuk materi pembelajarannya didistribusikan secara online, termasuk dalam komunikasi serta penilaian tesnya. Dengan

demikian, perubahan metode pembelajaran dari tatap muka menuju daring tentunya harus didukung dengan pemanfaatan teknologi digital. Hal inilah yang membuat pendidikan di Indonesia mau tak mau harus mempercepat proses digitalisasi pendidikan dengan tujuan memaksimalkan proses pendidikan selama masa darurat Covid-19.

Memahami Digitalisasi Pendidikan

Pada Revolusi 4.0, kini semua bidang di Indonesia dituntut untuk mampu beradaptasi dengan teknologi, termasuk juga bidang pendidikan. Salah satu bukti adaptasi yang dilakukan oleh pendidikan yaitu adanya gagasan terkait digitalisasi pendidikan. Digitalisasi pendidikan didefinisikan sebagai penerapan teknologi ke dalam sistem pendidikan.

Pada surat kabar tempo.com (5/11/2020), Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan menjelaskan bahwa sistem pendidikan yang akan didigitalkan tak hanya proses pembelajaran saja, akan tetapi juga kurikulum yang akan dirubah menjadi kurikulum digital. Tujuannya adalah agar pengajar dapat bebas untuk menentukan kurikulum pembelajaran bagi siswa sesuai dengan level kompetensinya.

Salah satu bentuk dari sistem pendidikan yang telah digitalisasikan yaitu proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Alasan PJJ dikatakan sebagai bentuk penerapan digitalisasi pendidikan karena PJJ, dalam prosesnya, memanfatkan teknologi sebagai media proses pembelajaran utama. Pada penerapan sistem digital ini, tentu harus memperhatikan pula berbagai kerangka kerja digitalisasi pendidikan agar digitalisasi pendidikan dapat terwujud atau terealisasikan. Menurut Indra Charismiadji, Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia dalam laman koran-jakarta. com (22/05/2021), tiga kerangka kerja tersebut meliputi infrastruktur, infostruktur, dan infokultur.

Kerangka kerja infrastruktur merupakan sarana dan prasarana yang digunakan untuk mendukung terealisasikannya digitalisasi pendidikan. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan yaitu gadget, kuota internet, dan lain sebagainya. Sementara itu, infostruktur merupakan proses penerapan sistem pembelajaran menggunakan teknologi, mulai dari proses penyampaian hingga proses penerimaan materi pembelajaran. Terakhir, infokultur merupakan budaya atau kebiasaan pembelajaran yang dilaksanakan. Pada pendidikan di Indonesia sendiri, kultur pendidikannya sekarang sudah mulai beralih dari offline menu-

ju online. Kerangka kerja inilah yang harus direalisasikan oleh setiap instansi lembaga pendidikan agar tercipta digitalisasi pendidikan yang efektif dan efisien.

Proses Pelaksanaan Digitalisasi Pendidikan selama Pandemi

Terciptanya PJJ akibat pandemi Covid-19 menjadi pendorong sekaligus pilihan utama digitalisasi pendidikan untuk terealisasi lebih cepat. Namun, berdasarkan berita pada laman medcom.id (18/08/2021), Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa PJJ bukan alasan muculnya gagasan digitalisasi pendidikan. Meskipun tidak ada PJJ, digitalisasi pendidikan akan tetap berjalan. Tidak hanya itu, pada laman yang sama, Nadiem Makarim menjelaskan bahwa konsep digitalisasi pendidikan akan dilaksanakan dengan menyediakan tool kit-tool kit.

Tool kit ini merupakan alat sekolah yang akan digunakan oleh kepala sekolah, para pengajar, dan siswa untuk memperoleh atau mengakses materi. Salah satu tool kit yang telah direalisasikan yaitu platform digital. Pada proses PJJ ini, instansi lembaga pendidikan di Indonesia biasanya menggunakan platform digital berupa E-learning, Zoom, Google Meeting, dan Google Clasroom untuk media pembelajaran daring atau tanpa tatap muka. Sedangkan untuk digitalisasi bimbingan belajar (bimbel), kini telah tersedia bimbel online seperti Ruangguru, Zenius, Quipper, dan lainnya sebagainya yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran.

Selain itu, pada proses PJJ ini pemerintah juga tak luput memberikan infrastruktur berupa kuota internet gratis. Kuota internet gratis ini diberikan kepada semua pelajar dan pendidik meliputi; dosen, mahasiswa, guru, dan siswa pada setiap bulannya dengan jumlah yang berbeda-beda pada masing-masing pelajar dan pendidik di setiap lembaga instasi pendidikan.

Meskipun demikian, ternyata masih banyak para pelajar yang berasal dari daerah kategori Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T) yang terhalang dalam mengakses internet. Sebab, para pelajar yang berasal dari daerah 3T sering mengalami kesulitan dalam sinyal internet. Maka dari itu, sudah seharusnya dibutuhkan sebuah sarana tambahan agar para pelajar dari 3T dapat dengan mudah mengikuti proses pembelajaran secara online tanpa terhambat atau terkendala internet.

Adanya ketidakmerataan jaringan 4G menjadi salah satu penyebab kurang lancarnya sinyal pada daerah 3T. Pada sindonews.com (03/08/2020), berdasarkan pemaparan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada Panitia Kerja PJJ Komisi X Juli, terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau internet 4G di seluruh Indonesia. Dimana, dari jumlah keseluruhan desa/ kelurahan tersebut, sebanyak 9.113 desa/kelurahan berada di daerah 3T. Permasalahan tidak adanya jaringan 4G ini memang dapat diselesaikan dengan pemasangan sebuah Wi-Fi. Namun, dalam pemasangan Wi-Fi tentu akan memerlukan biaya

"Kendala pembelajaran daring itu sering kali karena masalah sinyal. Makanya dirumah terpaksa dipasang Wi-Fi. Meskipun begitu, kan saya juga harus mengeluarkan biaya lagi untuk tetap beli kuota. Karena saya tidak sepenuhnya (selalu) di rumah, sedangkan pembelajaran daring tetap berlanjut,”

tambahan.

Permasalahan sinyal nyatanya juga dialami oleh Eva Uma Widyastuti, mahasiswa Universitas Malang (UM) yang tinggal di daerah Slahung, Ponorogo. Pada wawancara melalui telepon, ia mengatakan bahwa di daerahnya masih terkendala akan masalah sinyal. Hal itu mengakibatkan ia sering mengalami kendala dalam pengunduhan materi pembelajaran serta pengumpulan tugas. Akhirnya, ia pun terpaksa mengeluarkan tambahan biaya untuk pemasangan Wi-Fi di rumahnya. “Kendala pembelajaran daring itu sering kali karena masalah sinyal. Makanya dirumah terpaksa dipasang Wi-Fi. Meskipun begitu, kan saya juga

harus mengeluarkan biaya lagi untuk tetap beli kuota. Karena saya tidak sepenuhnya (selalu) di rumah, sedangkan pembelajaran daring tetap berlanjut,” ujarnya (21/12/2021).

Selain itu dalam mendukung terealisasinya digitalisasi pendidikan, tidak hanya infrastruktur kuota internet saja yang harus disediakan. Pada proses digitalisasi pendidikan tentu diperlukan pula infrastruktur lain berupa gawai seperti smartphone ataupun laptop. Namun, pemberian infrastruktur berupa gawai tersebut kepada para pelajar di Indonesia masih sangatlah jauh dari kata sempurna. Berdasarkan sindonews.com (07/04/2021), Audrey Gandadjaja dari General Manager Brand Communication & Content-Analgesic, Cough & Cold, and Herbal Products mengatakan bahwa dalam Laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) terdapat 50% lebih pelajar yang tidak memiliki sebuah smartphone.

Padahal gawai merupakan alat utama untuk mempermudah akses sebuah materi dan melakukan proses pembelajaran secara virtual. Tanpa adanya sebuah gawai, maka kuota internet tidak akan bisa digunakan. Sehingga, kuota internet yang diberikan oleh pemerintah pun akan terbuang secara sia-sia. Kurang meratanya infrastruktur gawai pada setiap pelajar tentu menjadi salah satu faktor penyebab ketidakmaksimalan daring yang harus diperhatikan pemerintah.

Selain itu, smartphone yang dimiliki oleh setiap pelajar dan pengajar haruslah smartphone yang canggih. Sebab pada saat ini, smartphone yang memiliki jaringan internet 3G tidak bisa digunakan pada provider internet yang termodifikasi 4G. Padahal di masa sekarang, hampir seluruh provider internet menggunakan kartu dengan jaringan 4G. Akhirnya, banyak dari pelajar terpaksa mengganti smartphone yang memiliki jaringan 4G. Hal itu dirasakan oleh Henyk Ariati, wali murid siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pupus 2 Magetan kelas 5. Pada kru LPM aL-Millah via telepon, ia mengatakan bahwa dirinya terpaksa membeli smartphone baru yang memiliki jaringan 4G untuk menunjang pembelajaran daring. “Karena kan saat ini handphone saya yang 3G tidak bisa digunakan. Jadi terpaksa harus beli lagi. Soalnya kan sekolah juga masih menggunakan handphone dalam pembelajarannya,” tuturnya (21/12/2021).

Bukan hanya itu, kurangnya pendampingan oleh pengajar juga menjadi kendala dalam pembelajaran daring. Menurut Erli Susanti salah satu wali murid pelajar Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Paju Ponorogo, selama pembelajaran jarak jauh ia kesulitan dalam membimbing anaknya ketika belajar dikarenakan tidak adanya penjelasan materi pembelajaran oleh pengajar terhadap siswa. “Ya kendalanya untuk menjelaskan materi pada anak. Soalnya guru itu hanya memberi tugas. Kadang cuma disuruh mengambil lembaran rincian tugas seminggu sekali. Kadang juga tugasnya dikirim lewat online tanpa adanya penjelasan sama sekali dari guru,” tuturnya saat diwawancarai di kediamannya

“Anak kelas satu yang baru ini kan sudah lama tidak masuk sekolah dan masuknya jarang. Seminggu hanya beberapa kali. Jadi, banyak anak-anak yang belum tahu abc (membaca, red.). Menulis namanya sendiri juga belum biasasa,”

~( Ayu Ning Tias )~

(20/12/2021).

Padahal digitalisasi pendidikan yang diterapkan dalam pembelajaran jarak jauh haruslah diimbangi dengan pendampingan oleh pengajar. Sebab, tanpa adanya pendampingan oleh pengajar akan mengakibatkan berbagai dampak kepada para pelajar. Mengutip laporan COVID-19: Bekerja dengan dan untuk Anak Muda milik UNICEF, disebutkan bahwa anak akan mengalami berbagai masalah seperti kecemasan, frustasi, dan putus sekolah ketika pembelajaran daring dilakukan tanpa adanya penerapan metode pembelajaran oleh pengajar yang tepat sesuai kondisi pelajar. Hal ini dikarenakan para pelajar sering menggunakan platform digital hanya untuk media komunikasi saja. Selain itu, tidak sedikit pula dari para pelajar yang mengalami ketertinggalan pelajaran karena kurangnya infrastruktur yang dimiliki untuk mendukung pembelajaran daring.

Dampak Digitalisasi Pendidikan

Proses digitalisasi yang terpaksa harus dipercepat karena pandemi, tentunya belum disertai dengan kesiapan fasilitas maupun sumber daya manusianya. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan fasilitas maupun hal-hal yang dapat menunjang pelaksanaannya seperti akses internet yang kurang merata, kecakapan guru dalam literasi digital, serta kesiapan orang tua dalam memberikan pendampingan selama pelaksanaan daring. Oleh karena itu, digitalisasi pendidikan di masa pandemi memberikan berbagai dampak sebagai berikut.

Terjadinya Learning Loss

Pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan secara daring membuat waktu belajar siswa menurun drastis. Lebih lanjut, hal ini juga diikuti dengan penurunan efektivitas belajar siswa dalam pembelajaran daring yang berpotensi menyebabkan terjadinya learning loss. Learning loss merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut hilangnya pengetahuan dan keterampilan, baik secara umum maupun spesifik, atau terjadinya kemundurkan proses akademik yang disebabkan oleh faktor tertentu. Jika ditarik pada kondisi pandemi saat ini, faktor tersebut dapat berupa adanya libur panjang, putus sekolah, dan ditutupnya pembelajaran tatap muka.

Dilansir dari koran.tempo. co, pendidikan selama masa pandemi membuat jam belajar siswa menurun drastis. Rata-rata siswa hanya belajar selama dua jam perharinya. Hal ini yang menyebabkan Nila Tanzil, Pendiri Taman Bacaan Pelangi, ikut mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya learning loss. “Learning loss ini jadi didasarkan riset saat liburan musim panas di Amerika dan Eropa selama dua bulan dan ternyata anak kehilangan keterampilan membaca selama satu bulan. Nah, bagaimana saat Covid-19 ini yang sudah setahun lebih?” ujar Nila (27/5/2021).

Kondisi learning loss harus diakui telah terjadi dalam pendidikan Indonesia akibat pandemi. Hal ini seperti yang dirasakan oleh Fitri Ayu Ning Tias, salah satu guru pengajar di SDN 1 Paju Ponogoro. “Anak kelas satu yang baru ini kan sudah lama tidak masuk sekolah dan masuknya jarang. Seminggu hanya beberapa kali. Jadi, banyak anak-anak yang belum tahu abc (membaca, red.). Menulis namanya sendiri juga belum bisa,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya (20/12/2021).

Menanggapi hal tersebut, Imam Muslihin, Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Ponorogo mengungkapkan bahwa learning loss merupakan masalah bersama yang harus ditangani dengan bertahap. “Ini (learning loss, red.) masalah kita bersama. Memang harus (ditangani) berangsur-angsur, karena memang sudah hampir dua tahun kita melaksanakan (pembelajaran) online,” ujar Imam saat diwawancarai di kantor Dinas Pendidikan Ponorogo (25/11/2021).

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa telah dilakukan upaya pendampingan yang lebih intens dalam menghadapi learning loss tersebut. “Sebenarnya ada pendampingan-pendampingan oleh gurunya yang lebih intens. Karena kita juga melihat pada saat awal sekolah, anak itu terlihat seperti kebingungan meskipun mereka juga senang saat masuk (luring) lagi. Ini (pendampingan, red.) intensif dari guru-gurunya melalui pendekatan-pendekatan untuk bisa mengembalikannya seperti dulu,” ungkap Imam.

Penggunaan Platform Belajar Online sebagai Ladang Bisnis

Pelaksanaan pembelajaran daring secara tidak langsung mengurangi porsi pendampingan guru terhadap siswa secara

signifikan. Ditambah tidak semua orang tua mampu untuk menjadi pendamping belajar bagi anak-anaknya ketika di rumah. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya platform bimbingan belajar online sebagai penunjang pembelajaran daring meningkat drastis seperti Zenius Education, Ruangguru, Pintaria, Sekolahmu dan lain sebagainya.

Hadirnya platform bimbingan online belajar memang dinilai cukup efektif sebagai penunjang proses pembelajaran siswa selama pandemi, apalagi dengan kondisi pendampingan guru yang minim. Namun, dengan sistem berlangganan dan berbayar, tentu saja penggunaan platform-platform tersebut tidak dapat dijangkau oleh seluruh elemen masyarakat. Hanya siswa dengan latar belakang perekonomian menengah ke atas yang mungkin mendapatkan akses atau kesempatan untuk memanfaatkan platform tersebut. Sementara siswa dengan perekonomian kurang, tentu sulit mendapatkan kesempatan yang sama. Hal ini pula yang turut memperparah learning loss serta melahirkan kesenjangan belajar siswa. Siswa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan platform tersebut akan semakin tertinggal di saat fasilitas maupun kondisi mereka di rumah tidak mendukung untuk melaksanakan pembelajaran daring dengan efektif.

Peningkatan penggunaan platform bimbingan belajar online nyatanya berpotensi menjadi ladang bagi para pengusaha untuk meraup keuntungan dan menjadikan pendidikan daring selama pandemi menjadi lahan bisnis di tengah krisis ekonomi yang dialami banyak keluarga. Selain itu, peningkatan penggunaan platform bimbel online pun menjadi indikasi ketidakpercayaan orang tua atau murid pada guru yang minim penjelasan dan pendampingan selama pelaksanaan daring.

Dekadensi Moral

Proses pembelajaran daring akibat percepatan digitalisasi pendidikan selama pandemi turut pula mengancam moralitas anak bangsa. Perubahan sistem dari luring menuju daring membuat pemerintah melalui Kemendikbud melakukan berbagai penyesuaian terhadap pembelajaran yang tidak membebani guru dan siswa, namun tetap mengandung nilai-nilai penguatan karakter seiring dengan status kedaruratan Covid-19 (Nurul & Gisela, 2020). Akan tetapi, sistem daring dengan kebebasan dunia digital masih tidak diikuti dengan kesiapan intelektualitas maupun moral pelajar. Akibatnya, dekadensi moral selama proses digitalisasi pendidikan di masa pandemi pun tidak terhindarkan.

Salah satu bentuk dekadensi moral yang terjadi selama periode daring adalah peningkatan kasus prostisusi online yang menimpa anak usia sekolah. Di Sulawesi Selatan, melansir dari merdeka.com, kasus kesulitan ekonomi menjadi faktor utama terjadinya kenakalan remaja tersebut. “Transaksinya (prostitusi, red.) secara online karena remaja aktif menggunakan gadget dan bermedia sosial. Saat ada tawaran, peluang, dan diiming-imingi, banyak yang terjebak,” ungkap Kepala UPT Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Sulsel, Meisy Papayungan (18/2/2021).

Hal semacam ini tidak bisa dikatakan sepenuhnya kesalahan para remaja. Mereka adalah individu yang sedang dalam masa pertumbuhan dan seringkali masih belum cakap untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri. Bahkan, banyak diantara remaja yang belum memahami apakah hal tersebut merupakan hal yang tidak baik bagi dirinya atau tidak. Oleh karena itu, pendampingan dari orang tua hingga guru menjadi penting.

Menakar Kesiapan Digitalisasi Pendidikan di Indonesia

Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi menjadi sebuah momentum sekaligus tuntutan bagi pendidikan Indonesia untuk lebih mengembangkan bentuk digitalisasi. Namun, dengan melihat proses digitalisasi pendidikan dalam bentuk pembelajaran daring yang telah berlangsung selama dua tahun, apakah Indonesia telah siap dengan segala bentuk digitalisasi pendidikan di waktu mendatang? Mengingat sebelum fokus pada digitalisasi, masih ada banyak hal dasar terkait pendidikan yang harus dituntaskan.

Menanggapi hal tersebut, Desi Puspitasari selaku Dosen IAIN Ponorogo mengungkapkan bahwa kesiapan digitalisasi sebagai main-learning masih perlu beberapa perbaikan. “Kalau untuk digitalisasi lebih lanjut, siap-siap saja. Hanya saJa, jika semacam daring ini dijadi-