EDISI 936 - 310 JANUARI 2011.pdf

Page 18

18

Senin

KORAN JAKARTA

31 JANUARI 2011

®

Riwayat Kesehatan Itu Dilindungi Undang-Undang Sifatnya yang sangat pribadi dan rahasia membuatnya dilindungi oleh paling tidak dua undang-undang sekaligus. Maka, jika sampai isinya “diewer-ewer”, si pemilik bukan hanya berhak marah, namun juga dapat memerkarakannya lewat jalur hukum.

T

idak ada satu pun orang yang memilih ingin sakit ketimbang sehat. Namun kadang, sakit datang tanpa perlu minta izin dulu pada si pemilik tubuh. Jika sudah begitu, tidak ada pilihan selain istirahat, minum obat yang diual bebas, atau jika perlu memeriksakan diri ke dokter. Pilihan terakhir ditempuh dengan harapan lebih, dapat berkonsultasi tentang sakit yang diderita langsung pada ahlinya dan mendapat obat yang tidak dijual bebas di apotik atau toko obat. Selain itu, segala informasi terkait penyakit si pasien pun akan tercatat dengan rapi dalam sebuah catatan yang biasa disebut jejak rekam medis, riwayat kesehatan atau akrab disebut dengan medical record. Rekam kesehatan merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien. Termasuk hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap. “Isi Rekam Medis merupakan catatan keadaan tubuh dan kesehatan secara klinis maupun sosiologis, termasuk data tentang identitas dan data medis seorang pasien,” kata Marius Widjajarta Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Data klinis ini menyangkut segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta hasilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan laboratorium, rontgen dan lain sebagainya. Data-data klinis ini tanpa terkecuali merupakan data yang bersifat rahasia (confidential) sehingga tidak dapat dibuka kepada pihak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan. Kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut. Sedangkan data yang bersifat nonmedis atau sosiologis merupakan segala data lain yang tidak berkaitan langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dan lainnya. Data ini juga bersifat rahasia, walau ada sebagian orang yang mengatakan ini tidak bersifat rahasia layaknya data klinis. Etika Kedokteran Sifat kerahasiaan inilah yang membuat rekam medis dilindungi undang-undang, terutama UU No 29 Tahun 2004 tentang

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

JAGA RAHASIA | Dalam kode etik kedokteran, salah satu hal yang tidak bisa diabaikan dokter adalah menjaga rahasia terkait riwayat penyakit pasien yang ditanganinya. Pasalnya, pasien bisa melakukan gugatan hukum terhadap dokter jika rekam medisnya dipublikasikan tanpa izin.

» Sifat kerahasiaan inilah yang membuat rekam medis dilindungi undangundang, terutama UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

»

DOK KORAN JAKARTA

Praktik Kedokteran dan Undangundang Perlindungan Konsumen. Kementerian Kesehatan juga telah mengatur soal kerahasiaan rekam medis ke dalam Permenkes No 269 Tahun 2008. Bab V

Pasal 14 disebutkan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak, pemalsuan dan atau penggunaan oleh orang dan atau badan yang tidak berhak terhadap

rekam medis. Pada prinsipnya isi Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan. Pasal 10

Permenkes No 749a menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang harus disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu lima tahun terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Undang-undang inilah yang membuat rekam medis mendapat hak atas perlindungan atas keamanan dan kenyamanan. Sehingga pasien yang merasa dirugikan, bisa menyalurkan kekecewaannya melalui jalur hukum. “Pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan dengan kebocoran rekam medis melalui jalur hukum dengan gugatan perdata atau pidana sekalipun,”

terang Marius. Salah satunya dengan menggunakan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum. “Sebab dokter memiliki etika kedokteran yang seharusnya paham atas hal-hal yang masuk dalam kategori rahasia profesi, dan undang-undang praktik kedokteran,” katanya. Etika kedokteran sendiri merupakan suatu kumpulan asas atau nilai moral yang menjadi pegangan bagi para dokter untuk mengatur tingkah lakunya dalam menjalankan tugas. Etika tersebut salah satunya ialah menjaga rahasia kedokteran, yang merupakan kewajiban dokter dan hak dari pasien haruslah benar-benar dijaga kerahasiaannya. Rahasia kedokteran ini berhubungan erat dengan rekam medis, karena rekam medis ini menyimpan riwayat penyakit yang diderita oleh pasien. Memang pada kenyataannya, tidak sedikit masyarakat yang tidak ingin penyakitnya diketahui oleh pihak ketiga selain dirinya dan dokter. “Dan ini hak pribadi pasien untu menentukan siapa-siapa saja yang berhak mengetahui penyakitnya,” terang dia. Menurut Firman Lubis Ketua Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, banyak alasan yang kerap diungkapkan pasien saat menginginkan rekam medisnya dirahasiakan. Paling umum adalah masalah kesiapan menghadapi respons masyarakat di sekitarnya setelah mengetahui penyakit yang dideritanya. Sebab masih banyak masyarakat yang minim pengetahuannya tentang penyakit tertentu sehingga respons yang muncul kerap berlebihan. “Mulai dari dikasihani sampai dikucilkan, AIDS misalnya, padahal penyakit itu tidak menular begitu saja, tapi harus melalui media penularan tertentu. Namun masyarakat sering terburuburu mengucilkan, karena mereka tidak paham,” papar Dokter yang juga Ketua Dewan Eksekutif Koalisi Untuk Indonesia Sehat ini. Kebocoran data rekam medis juga dapat sering dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab secara politis untuk kepentingan tertentu. “Menkes misalnya, akhirnya muncul isu reshuffle kan, mungkin saja ada pihak lain yang merasa diuntungkan dengan kondisi ini,” tutur dia. Jika pun ada kondisi yang mengharuskan rekam medis ini dibuka, kata Firman, itu pun harus mematuhi aturan. Di antaranya harus menyembunyikan identitas si pemilik rekam medis tersebut. “Bisa dengan menyebut kata sejumlah orang, atau anonim,” tegas dosen fakultas kedokteran UI ini. Namun sayangnya, masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahui tentang kerahasiaan rekam medis. Untuk itu pemerintah harus meningkatkan kesadaran masyarakat dengan sosialisasi. “Itu hak pribadi pasien, jadi pasien harus tahu, kalau bisa dokter yang memeriksa ikut menyosialisasikannya kepada pasien,” pungkasnya. cit/L-1

Ajukan Gugatan Hukum ketika Hak Pasien Dilanggar

B

ulan lalu, Marius Widjajarta tersentak mendengar informasi bahwa rekam medis almarhum ibundanya yang meninggal pada 2007 lalu akibat kanker digunakan tanpa seizin ahli waris. Tidak hanya keluarganya, kata Marius, Kemenkes melalui salah satu dirjennya, melalui surat edaran tertanggal 14 Juni 2010, meminta data langkap penderita penyakit kanker yang sudah meninggal di Jakarta untuk periode 2007-2010. “Di situ ia meminta rekam medis penderita kanker yang sudah meninggal di 78 rumah sakit di Jakarta, salah satunya almarhum ibu saya,” ungkap Marius. Ibunda Marius yang juga salah satu pendiri Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meninggal dunia 20 Januari 2007 akibat kanker payudara di sebuah rumah sakit di

Jakarta. Data itu, menurut Marius, akan disetor ke sebuah instansi yang berada di bawah WHO, dan berkantor di Prancis. Tentu saja sebagai ahli waris, Marius tidak terima mendapat perlakuan seperti itu. Terlebih lagi sebagai Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, ia tahu benar bahwa rekam medis merupakan hak pribadi yang bersifat rahasia. Andai digunakan untuk penelitian sekalipun, paling tidak ahli waris harus diberi tahu, dan identitas pasien harus disembunyikan. “Tapi itu semua tidak dilakukan Kemenkes, mereka meminta sampai ke identitas, dan kami sebagai ahli waris tidak dimintai izin,” terangnya. Ketika Marius mempertanyakan hal tersebut ke Kementerian Kesehatan, ia tidak mendapatkan

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

jawaban yang memuaskan. “Menurut mereka, data itu diberikan kepada pihak asing, dan untuk registrasi harus menggunakan

identitas,” sungutnya kesal. Merasa haknya dilanggar, dalam waktu dekat ia akan mengajukan tuntuan kepada Kementerian Kese-

hatan yang dianggap telah melanggar hukum tersebut. “Saya akan menuntut. Jika ada keluarga korban lain yang ingin mengajukan tuntutan, silakan hubungi saya, kita ajukan bersama-sama,” serunya. Cerita berbeda diungkapkan Nurul Agustin, 26 tahun yang beberapa tahun lalu juga sempat dirawat di sebuah rumah sakit swasta di bilangan Rawamangun Jakarta Timur karena sinusitis yang dideritanya. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali berobat ke sejumlah dokter. Ia tidak merasa penyakit yang pernah hinggap pada dirinya adalah sebuah rahasia. Walaupun jika terjadi kebocoran sekalipun, sebenarnya ia tidak begitu peduli. “Toh saya bukan tokoh masyarakat,” cetusnya. Ia juga mengaku selalu jujur ketika ditanya dokter tentang keluhan serta catatan kesehatan lain yang

pernah dialaminya. “Saya tidak mau memberikan informasi yang salah, andai ada yang memalukan sekalipun, karena saya percaya dokter mampu menjaga kode etiknya,” jelas wanita berkacamata ini. Namun ia menyadari bahwa tidak semua orang bersikap sama terhadap pentingnya sebuah penyakit menjadi sebuah rahasia. Terutama diakuinya, ada beban psikologis yang mungkin belum siap ditanggung pasien ketika masyarakat mengetahui perihal penyakitnya. “Karena masyarakat sendiri kadang minim pengetahuannya tentang penyakit, sehingga responsnya sering berlebihan, jadi wajar saja kalau ada orang yang ingin penyakitnya tetap menjadi rahasia,” pungkas anak pertama dari tiga bersaudara ini. cit/L-1


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.