EDISI 902 - 27 DESEMBER 2010

Page 17

RONA ®

17 Senin 27 DESEMBER 2010

Kesetiakawanan Sosial, Masih Dikemas Sikap Hedonis D

alam rangka menumbuhsuburkan semangat kesetiakawanan sosial secara berkesinambungan, maka Peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) diselenggarakan setiap tahun. Tetapi, menilik realitas saat ini, semangat ini belum sempurna mewarnai tatanan kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia. Kesetiakawanan sosial merupakan modal yang sangat berharga untuk bangsa. Sebab, nilai kesetiakawanan sosial merupakan salah satu pilar penting pembangunan nasional. Setiap tahun nilai-nilai dan sikap kesetiakawanan sosial ditingkatkan melalui berbagai program sosial pemerintah. Peringatan HKSN 20 Desember kali ini Kementerian Sosial mengambil tema “Meningkatkan kesetiakawanan sosial akan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat” Upaya pemerintah menggenjot semangat kesetiakawanan sosial melalui program-program sosial itu tentu akan berhasil jika tidak hanya sebatas peringatan seremonial. Dalam rangka peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial, tabur bunga di taman makam pahlawan memang tidak dilarang. Tetapi, urgensi menumbuhkembangkan kesadaran masyrakat terhadap nilai-nilai k setiakawanan sosial tampaknya perlu menjadi prioritas pemerintah ketimbang program yang normatif. Menurut Sosiolog dari Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, makin banyak fenomena masyarakat tidak peduli dan bahkan mungkin tidak tahu arti dan nilainilai kesetiakawanan sosial. Sebab, masyarakat masih menganggap upaya untuk mengingatkan hari bersejarah itu merupakan proyek pemerintah. “Lain lagi kalau hari kasih sayang yang begitu disambut luar biasa oleh anak muda, perusahaan kue, suvenir, artinya hari kasih sayang lebih populer,” kata Paulus. Padahal, makna yang terkandung dalam kesetiakawanan sosial pun juga serupa hari kasih sayang yang diperingati setiap 14 Februari Masalahnya ada apa pola pikir tiap orang yang terpola bahwa kesetiakawanan sosial itu adalah memberikan sumbangan materi sebanyak mungkin kepada kaum miskin. Benar, tetapi makna yang lebih dalam, lanjut Paulus, terletak pada nilai solidaritas tinggi dalam berbagai aspek. “Mencakup kesatuan etnis, agama, budaya, latar belakang individu, dan lain-lain,” imbuh Paulus. Sebab, pada kenyataannya, kemiskinan, baik uang maupun pengetahuan, makin merebak di tengah-tengah lingkungan hedonis (mewah).

Dalam realitas, kesetiakawanan sosial ternyata masih dikemas dalam sikap dan perilaku hedonis publik. Pasalnya, sejumlah aktivitas yang mengatasamakan kesetiakawanan sosial tidak lebih dari kedok belaka.

ANTARA/AMPELSA

ANTARA/BUDI AFANDI

MODAL BANGSA l Kesetiakawanan sosial merupakan modal yang sangat berharga untuk bangsa. Sebab nilai kesetiakawanan sosial merupakan salah satu pilar penting pembangunan nasional. Dengan modal itu, seluruh elemen bangsa dapat membangun negara. Ketimpangan itu bukan tanpa sebab, berbagai faktor memengaruhi terbentuknya krisis kesetiakawanan sosial saat ini. Menurut Paulus, pemerintah kurang gencar melakukan kampanye efektif kepada masyarakat. “Masyarakat banyak yang tidak tahu makna dan nilai apa dan

pentingnya peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial,” cetusnya. Kemanunggalan TNI-Rakyat Sebagai catatan, sejarah Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional diabadikan dari peristiwa sejarah tanggal 20 Desember 1948, yaitu ketika terjalin kemanung-

galan TNI dan rakyat persis sehari setelah agresi militer Belanda. Dua kekuatan milik bangsa Indonesia, yakni TNI dan rakyat bahu-membahu dalam perjuangan bersenjata untuk mengenyahkan penjajahan Belanda. Kesetiakawanan yang tulus, dilandasi rasa tanggung jawab

yang tinggi kepada Tanah Air (pro patria), menumbuhkan solidaritas bangsa yang sangat kuat untuk membebaskan Tanah Air dari cengkeraman agresor. Rakyat memberikan apa saja yang menjadi miliknya untuk membantu perjuangan para pahlawannya. Sebaliknya, para prajurit TNI selalu siap melindungi rakyat dari angkara murka penjarah milik rakyat. Rakyat dari semua golongan turut bertempur, mereka menolong dan merawat para prajurit yang terbunuh maupun terluka. Kesetiakawanan sosial kemudian tumbuh secara nasional, hingga ke seluruh pelosok Tanah Air dan menampakkan diri sebagai bukti kemanunggalan TNI dan rakyat dalam mengusir agresi Belanda. Puncak kemanunggalan dibuktikan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Serangan Umum 1 Maret ini memunyai arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memunyai arti politik yang sangat krusial bagi dunia internasional terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Ketika itu, Soeharto membuat Hari Kesetiakawanan Sosial maksudnya agar orang kaya itu memberikan sumbangan-sumbangan kepada rakyat miskin,” kata Paulus. Tetapi, seiring proses, ritual itu menjadi politis ketika bertujuan supaya rakyat miskin berterima kasih kepada para konglomerat itu. Tetapi, bangkitnya rakyat secara serentak terpanggil untuk membantu dan bahu-membahu bersama TNI melawan penjajah adalah terdorong oleh rasa kesetiakawanan sosial. Paulus mengatakan dari peristiwa sejarah itu, tampak bahwa rasa keseti kawanan sosial yang merupakan sistem amunisi dan persenjataan sosial

telah terbukti sangat andal. Kesetiakawanan sosial nasional tecermin dalam lintasan sejarah dari masa ke masa. Tahun 1928, nilai ini tampil melandasi tercetusnya Sumpah Pemuda yang sangat fenomenal. Tahun 1945 mengejawantah dalam format yang mengilhami Proklamasi Kemerdekaan. Tahun 1948 mendorong bangkitnya kemanunggalan TNI dan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Tahun 1965 kesetiakawanan sosial mewujudkan diri dalam format keterpanggilan menumpas komunisme. Nilai inilah yang mendasari persatuan dan kesatuan bangsa kita sehingga meskipun bangsa Indonesia serba “Bhineka” namun tetap “Tunggal Ika”. Kesetiakawanan sosial yang dalam sejarah telah terbukti keampuhannya sebagai sistem persenjataan sosial kita yang terandalkan, akan senantiasa memiliki relevansi di sepanjang sejarah perjuangan bangsa kita untuk masa kini dan masa mendatang, dekat maupun jauh. Persoalannya, kesadaran masyarakat dalam menumbuhkan gerakan nurani tentang nilai-nilai kesetiakawanaan sosial sangat sulit. Fenomena itulah yang menunjukkan kondisi sesungguhnya saat ini. ”Antaragama saja masih ada bentrok-bentrok,” ucap Paulus. Mewujudkan kehidupan masyrakat yang ideal bukan domain pemerintah saja, tapi juga semua pihak termasuk masyarakat. “Ini mungkin soal komunikasi yang kurang efektif dari pemerintah kepada rakyat,” tutup Paulus Indonesia memiliki modal sosial yang sangat heterogen berupa etnis, bahasa, dan wilayah yang luas. Karena itu, kita membutuhkan satu sistem yang lebih hebat dibandingkan sistem-sistem yang sudah pernah ditawarkan sebelumnya guna mengatasi beragam persoalan. vin/L-1

Akar Persoalan Terletak pada Komunikasi

K

risis keteladanan dianggap salah satu faktor penghambat distribusi nilai-nilai kesetiakawanan sosial di masyarakat. Bagaimanapun hebatnya sebuah program sosial pemerintah, jika komunikasi tidak berlangsung efektif, maka yang terjadi adalah ketimpangan. Sebagian orang mungkin menganggap sepele peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial, karena persepsi mereka terhadap apa yang tampak di permukaan. Seperti yang telah disinggung oleh Paulus Wirutomo, bahwa akar masalah krisis kesetiakawanan sosial terletak pada cara komunikasi pemerintah kepada rakyat dalam mensosialisasikan program-program sosial. Masyarakat juga mempersepsi negatif niatan positif pemerintah itu sebagai proyek kepentingan oknum elite politik. Berangkat dari persoalan itu, lebih lanjut, Deddy Mulyana, guru besar Komunikasi Universitas Padjadjaran mengata-

ANTARA/REGINA SAFRI

kan ekspektasi publik rendah terhadap kesetiakawanan sosial karena krisis keteladanan. “Tidak ada contoh dari para petinggi di pemerintah yang menunjukkan nilai-nilai kesetiakawanan

sosial dalam kesehariannya,” kata Deddy yang juga mengaji komunikasi dari sisi budaya. Contoh sederhana, elite politik di DPR yang sering berpenampilan hedon (mewah), mobil, jalan-jalan ke luar

negeri, dan cara berpakaian. Itu semua menunjukkan kekurangpekaan terhadap rakyat miskin. “You are what you wear, tidak harus pakai jas rapi kalau bertemu korban bencana,” imbuh Deddy. Pakaian adalah hasil budaya, sementara budaya memengaruhi tingkat kepekaan dan kesadaran orang terhadap sikap-sikap sosial. Dalam hal ini, budaya kesetiakawanan sosial di dalam masyarakat saat ini cenderung di tingkat rendah. Namun, lanjut Deddy, pada dasarnya manusia memiliki rasa ingin menolong, gotong royong, dan selalu ingin bekerja sama dalam kelompok. Masyarakat kita secara tradisional umumnya menganut kolektivisme, yang artinya kelompok lebih penting daripada individu. “Sayangnya, kerja sama itu kadang negatif,” cetus Deddy. Manusia selalu belajar dari realitas kehidupan, sehingga mendorong untuk

senantiasa melakukan pembauan bahasa, pakaian, dan tindakan peniruan. Berdasarkan teori tersebut, menurut Deddy, masyarakat tidak peduli tentang pentingnya kesetiakawanan sosial karena meniru pemimpinnya. “Celakanya lagi kalau pemimpinnya itu tidak egaliter dan menganggap kesetiakawanan itu adalah bawahan yang setia mengabdi kepada atasan,” paparnya. Kendati fenomena sosial terjadi bukan oleh sebab tunggal, masyarakat kita masih memiliki rasa kesetiakawanan sosial. Gempuran arus globalisasi pun turut membentuk skema kultur sosialita. Dominasi kesetiakawanan sosial negatif harus segera diperbaiki melalui berbagai upaya strategis. Deddy mengambil contoh negara Bangladesh yang menurut sebuah survei terbaru adalah negara yang paling sejahtera diukur dari tingkat kepuasan rakyatnya terhadap kon-

disi yang ada. Rakyat Bangladesh selalu menerima dengan tulus dan ikhlas apa pun di negaranya. “Berbeda dengan kita yang sering mengirim TKI ke luar negeri dan mempertaruhkan harga diri bangsa,” cetus Deddy. Ini karena pemerintah sendiri yang mengarahkan rakyat untuk menjadi TKI dengan iming-iming menjadi pahlawan devisa negara. Untuk menuju kehidupan bermasyarakat yang ideal bukan proses mudah dan murah. Semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat, harus bahu-membahu membangun negara dengan timbang rasa terhadap sesama. “Dakwah (ceramah) agama, pendidikan di sekolah-sekolah, lingkungan keluarga sedini mungkin agar tidak terkontaminasi nilai-nilai yang buruk,” kata Deddy. Meski saat ini kita dalam keadaaan krisis kepemimpinan, kita tentu jangan berhenti berharap menuju perubahan yang lebih baik. vin/L-1


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.