EDISI 769 - 9 AGUSTUS 2010

Page 4

4

GAGASAN

Senin 9 AGUSTUS 2010

PERSPEKTIF

Penyerapan Anggaran

T

«

»

RUANG PEMBACA Kemacetan di Pinggiran Ibu Kota Kini kemacetan seakan-akan berpindah ke pinggiran Kota Jakata. Pada, Sabtu 7 Agustus 2010, mulai sore hari hingga malam hari, kemacetan panjang terjadi mulai dari perempatan Gaplek pul taksi Blue Bird Cinangka, Sawangan, Depok. Sore hingga malam hari, pukul 22.00 WIB semua kendaran dari Jakarta ke Parung, Bogor, berjalan merayap, sehingga untuk jarak tempuh satu kilometer membutuhkan waktu 60 menit. Kemacetan yang luar biasa tersebut hampir terjadi setiap hari—terutama untuk sore hingga malam hari, lebih-lebih saat terjadi hujan. Yang lebih parah, kalau hari Jumat dan Sabtu, kemacetan tidak mampu diurai, meski di pertigaan Cinangka sudah dijaga polisi dan warga yang rela ikut berpartisipasi mengatur lalu lintas. Saatnya Pemerintah Kota Tangerang Selatan memikirkan solusi kemacetan di wilayah pinggiran ibu kota Jakarta. Iwan S Jalan Parung – Ciputat, Sawangan, Depok

Setiap tulisan Gagasan/Perada yang dikirim ke Koran Jakarta merupakan karya sendiri dan ditandatangani. Panjang tulisan maksimal enam ribu karakter dengan spasi ganda dilampiri foto, nomor telepon, fotokopi identitas, dan nomor rekening bank. Penulis berhak mengirim tulisan ke media lain jika dua minggu tidak dimuat. Untuk tulisan Ruang Pembaca maksimal seribu karakter, ditandatangani, dan dikirim melalui email atau faksimile redaksi. Semua naskah yang masuk menjadi milik Koran Jakarta dan tidak dikembalikan. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap semua isi tulisan.

®

Menimbang Redenominasi Oleh: Ilham Fawqi

otal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010 sekitar 1.047,7 triliun rupiah. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sebesar 93,7 triliun rupiah atau sekitar 9,8 persen dari realisasi anggaran belanja APBNP tahun 2009 yang sebesar 954 triliun rupiah. Pada awal tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan DIPA kepada para menteri, pemimpin lembaga negara, dan kepada 33 gubernur se-Indonesia di Istana Negara. Ketika itu, Kepala Negara mengingatkan dengan telah diserahkan DIPA tahun 2010, seluruh jajaran pemerintahan agar segera melaksanakan program kerja tahun 2010. Kepala Negara menyampaikan bahwa berbagai peraturan mengenai pencairan dana kebijakan pengadaan barang dan jasa telah tersedia. Dengan demikian tidak ada alasan apa pun untuk menunda pelaksanaan anggaran. Dalam APBN-P 2010 juga ada pemberian Dana Kita mendukung Penguatan Infrastrukpengelolaan anggaran tur Daerah dan Prasarana antara pemerintah Daerah (DPIPD) yang ditujukan untuk mendorong pusat dan daerah. percepatan pembangunan daerah. DPIPD tersebut dialokasikan sebesar 5,5 triliun rupiah, dengan porsi 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/kota. Perinciannya, alokasi DPIPD untuk provinsi dengan bidang infrastruktur jalan dan irigasi adalah sebesar 70 persen dan bidang pelayanan kesehatan rujukannya sebesar 30 persen, dengan memperhatikan Indek Kemahalan Konstruksi (IKK) masing-masing daerah. Sementara alokasi DPIPD bagi kabupaten/kota, 40 persen akan dialokasikan untuk kriteria teknis infrastruktur, sedangkan 60 persen lainnya untuk kriteria teknis kewilayahan, yakni alokasi anggaran untuk daerah tertinggal, daerah rawan bencana, daerah dengan pulau terluar, daerah perbatasan dengan negara lain, dan daerah pesisir/kepulauan. Melalui Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dengan pemerintah, Sabtu (31/4), akhirnya disetujui transfer pusat ke daerah pada APBN-P 2010 berjumlah 344,6 triliun rupiah. Sebelumnya, angka yang diajukan pemerintah melalui RAPBN-P 2010 hanya sebesar 326,9 triliun rupiah. Setelah berjalan setengah tahun lebih, ternyata daya serap anggaran baik APBN maupun APBD, masih rendah. Fakta inilah yang kemudian menjadi agenda pembahasan dalam Rapat Kerja Presiden bersama kabinetnya di Istana Bogor selama dua hari, Jumat-Sabtu (5-6 Agustus) lalu. Dalam Rapat Kerja yang membahas empat agenda, termasuk penyerapan anggaran APBN dan APBN tersebut, Presiden menilai banyak yang terlambat menyerap anggaran. Hal itu terjadi di kementerian dan lembaga pusat dan juga di daerah. Sebagai contoh, untuk tahun lalu, APBD yang tak terserap atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) mencapai 50 triliun rupiah. Keterlambatan itu dampaknya adalah kontribusi APBN atau APBD terhadap pertumbuhan akan kurang maksimal, efek ganda yang positif dari terserapnya anggaran dari pembelanjaan juga tidak terjadi. Menurut Presiden, hal ini tentu menyia-nyiakan peluang bagi pergerakan dan pertumbuhan ekonomi lokal. Kita mendukung pengelolaan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, kita juga mendukung sembilan instruksi yang dikeluarkan Presiden untuk mencapai tujuan-tujuan tadi. Di samping dua peraturan presiden (perpres) dan satu peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung penyerapan anggaran lebih cepat, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Salah satu instruksi Presiden adalah yang ditujukan kepada Mendagri dan Menkeu bersama unsur pimpinan daerah untuk segera merumuskan upaya peningkatan sinergi pusat dan daerah. Untuk mencapai sinergi, jajaran gubernur merujuk pada PP Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur. Dengan rujukan ini maka akan jelas siapa berbuat apa dan siapa bertanggung jawab tentang apa. Seperti kita ketahui, untuk menyinergikan penyerapan anggaran, kita pun mengapresiasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah dengan menerbitkan dua peraturan presiden (perpres) dan satu peraturan pemerintah (PP). Regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam Rapat Kerja Nasional III itu, pertama, revisi dari PP No 29/2000 tentang Jasa Konstruksi. Kedua, revisi PP No 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Ketiga, revisi Keppres No 42/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. Dengan demikian, sudah jelas persoalan penyerapan anggaran. Jika rendah daya serapnya, maka proyek pembangunan tidak jalan sesuai program, dan sebaliknya, jika daya serap tinggi, pengaruh positif gandanya amat banyak.

KORAN JAKARTA

B

ank Indonesia (BI) meyakini program redenominasi atau penyederhanaan nominal mata uang rupiah akan membawa dampak positif bagi masyarakat. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai nominal mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukar atau daya belinya. BI menegaskan redenominasi tidak ada ada hubungannya dengan pemotongan daya beli masyarakat (sannering), namun lebih dikarenakan inflasi, dan bertujuan untuk menyederhanakan nominal mata uang rupiah serta memudahkan transaksi. Jika terjadi inflasi, nilai tukar atau daya beli sebuah mata uang semakin melemah, sehingga harga suatu produk harus dituliskan dengan nominal yang lebih besar. Ketika nominal mata uang semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena kesulitan pencatatan/penghitungan dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah uang kertas/koin yang harus dibawa. Otoritas moneter dapat mengatasi masalah ini dengan melakukan redenominasi mata uang, yaitu satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Sebagai contoh 1000 rupiah dikonversi menjadi 1 rupiah tanpa mengubah nilai tukar dan daya belinya. Penerapan redenominasi, misalkan untuk harga 1 tiket Transjakarta saat ini seharga 3.500 rupiah, jika dilakukan redenominasi tiga digit (tiga angka nol), maka nominal yang harus dibayarkan adalah 3,5 rupiah untuk 1 tiket Transjakarta. Hal ini terjadi karena harga 1 tiket Transjakarta juga dinyatakan dalam satuan pecahan yang sama (baru). Sedangkan, apabila dilakukan sannering per seribu rupiah, maka untuk mendapatkan 1 tiket Transjakarta diperlukan 3.500 rupiah satuan baru atau setara dengan 3.500.000 rupiah satuan lama. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan redenominasi berbeda dengan sannering. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan nominal mata uang sehingga memudahkan

tra transaksi, sedangkan sannering bertu tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat u dengan cara memangkas daya beli mata uang. Pengalaman Turki yang mengalami hyperinflation hingga harga-harga produk dalam perekonomian bernilai miliaran, triliunan, bahkan kuadriliunan perlu kita cermati sebagai referensi. Proses redenominasi lira Turki pada 2005 diterapkan hingga mengurangi enam (6) nol, dari 1.000.000 lira menjadi 1 lira. Inflasi di Turki berkurang dari 12 persen sebelum redenominasi menjadi sekitar 5 persen pascaredenominasi. Manfaat Redenominasi Rupiah? Secara umum, redenominasi mendorong efisiensi mata uang lokal. Jika sebuah transaksi terlalu besar angkanya, semisal sejuta, semiliar, atau setriliun, hal ini membuat pencatatan dan perhitungan menjadi terlalu sulit. Nilai nominal yang lebih sederhana akan memfasilitasi perkembangan

tas/koin baru serta pendistribusiannya kepada masyarakat dan biaya untuk menarik uang kertas/koin lama dari peredaran. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah skema atau prosedur yang bisa menjamin hak-hak masyarakat terlindungi selama proses transisi dari uang kertas/koin lama ke baru. Indonesia mungkin perlu belajar dari pengalaman redenominasi di Rusia tahun 1998 yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola proses transisi ke uang kertas/

«

Bangsa kita saat ini sudah semakin cerdas, oleh karenanya mari kita beri kesempatan terlebih dahulu kepada pihakpihak terkait untuk melakukan studi mengenai kemungkinan kebijakan redenominasi rupiah.

»

KORAN JAKARTA/REPIANTO

bisnis, memudahkan membawa uang kertas/koin, serta mengurangi risiko pencurian atau perampokan. Kedua, redenominasi diharapkan bisa mengurangi tekanan inflasi dalam perekonomian dan meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Secara rasional, redenominasi hanya bisa dilakukan saat inflasi relatif rendah dan kondisi perekonomian makro stabil. Ini berarti memberikan sinyal positif bahwa perekonomian Indonesia sudah berada di jalurnya. Ongkos yang pasti dikeluarkan adalah biaya untuk menerbitkan uang ker-

koin baru. Pada tahun 1998, Russia meredenominasi 1.000 ruble lama menjadi 1 ruble baru. Namun demikian, pemerintah dan bank sentral saat itu tidak mampu mengelola tagihan utang luar negeri dan gagal meyakinkan masyarakat sehingga mendorong revaluasi nilai ruble. Akibatnya redenominasi yang diharapkan meningkatkan kepercayaan terhadap ruble, justru membuat inflasi naik menjadi 85 persen pada tahun 1999. Selain permasalahan uang kertas/ koin, hal subtansial berikutnya ialah pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai perubahan yang

PERADA

terjadi. Pengalaman di beberapa negara dibutuhkan waktu yang lama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, dengan tingkat pendidikan penduduk beragam. Dari sisi makroekonomi, penetapan redenominasi bisa menimbulkan shock di pasar dalam jangka pendek yang diakibatkan oleh asymmetric information dan ketidakpastian akan dampak yang mungkin timbul pasca penetapan redenominasi. Pada negara-negara berkembang ketidakpastian kebijakan ekonomi dapat mendorong spekulasi, capital flight, dan memperburuk iklim investasi. Kerugian redenominasi juga bisa timbul dari waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk berbagai proses penyesuaian, mulai dari penyesuaian sistem pencatatan keuangan, penyesuaian harga, penyesuaian nilai tukar, hingga penyesuaian transaksi yang telah atau sedang berjalan. “Deal or No Deal?” Setiap kebijakan selalu akan menampilkan sisi baik dan buruknya, termasuk di antaranya kebijakan untuk meredenominasi sebuah mata uang. Maka diperlukan suatu studi yang komprehensif, mendetail, dan terukur, sehingga kelak keputusan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan. Alangkah tidak bijaknya kita jika membandingkan wacana redenominasi saat ini dengan trauma sannering di masa lampau, atau bahkan dengan pengalaman redenominasi di Zimbabwe. Bangsa kita saat ini sudah semakin cerdas, oleh karenanya mari kita beri kesempatan terlebih dahulu kepada pihakpihak terkait untuk melakukan studi mengenai kemungkinan kebijakan redenominasi rupiah. Janganlah membanding-bandingkan suatu kebijakan dengan kebijakan lainnya tanpa suatu alasan yang masuk akal. Deal or no deal? Penulis adalah pengamat ekonomi UGM, Yogyakarta

INFO BUKU

Wajah Suram Demokrasi Indonesia Judul

: Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru Penulis : Prof Kacung Marijan Penerbit : Kencana Prenada Media Group Jakarta Tebal : xix + 362 halaman Tahun : I, Juli 2010 Harga : Rp55.000,-

K

onsolidasi demokrasi Indonesia pascagemuruh reformasi 1998 terus menjadi perdebatan publik. Perdebatan terus mengalir untuk menemukan formula politik yang sinergis dengan pergumulan demokrasi yang berkembang dewasa ini. Tanpa tata kelola demokrasi yang deliberatif, cita-cita reformasi hanya akan mandek, dipangkas para penggarong demokrasi yang sering mengaku sebagai pahlawan. Pembajakan demokrasi dalam tiga pemilu pascareformasi menjadi bukti politik Indonesia masih tersandera pragmatisme politik partai yang despotik. Bencana dalam berdemokrasi ini tak lain karena wajah sistem politik Indonesia yang masih kacau balau. Sistem politik penuh tumpangtindih, sehingga wajah elite lama terus berkuasa melanggengkan status quo yang telah merusak demokrasi. Kacung Marijan menganalisis fakta ini dalam buku terbarunya berjudul Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Buku ini menjelaskan seluk beluk tentang sistem politik, mulai dari pengertian, budaya politik, fungsi, struktur, proses, masalah, dan prospek dari sistem politik di Indonesia yang

« Buku ini menjelaskan seluk beluk tentang sistem politik mulai dari pengertian, budaya politik, fungsi, struktur, proses, masalah, dan prospek dari sistem politik di Indonesia.

»

dibagi menjadi tiga bab besar yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutup dan arah demokrasi Indonesia. Sistem politik yang dijalankan dalam roda demokrasi Indonesia berjalan mandek, bahkan suram, karena konsolidasi demokrasi hanya menuruti alur pragmatisme kekuasaan saja. Ini terlihat dengan adanya politisasi birokrasi yang terbagi dalam kapling antarpartai. Pembagian kekuasaan yang yang disesuaikan dengan jumlah partai politik penyokong eksekutif terpilih menjadikan birokrasi pemerintah sebagai salah satu sumber dana politik partai. Ini terlihat dengan adanya pejabat birokrat departemen tertentu

ternyata kader partai bersangkutan. Budaya politik yang berkembang di masyarakat juga menentukan stabilitas dan kelangsunan politik yang berjalan. Seperti tingkat kepercayaan (trust) masyarakat pada pemerintah dan budaya politik warga masyarakat dapat menopang terjadinya governmental power dan governmental responsiveness di dalam sistem perwakilan menurut Almond dan verba (1963:18). Hal ini juga berkaitan dengan budaya politik yang ada dalam masyarakat yang masih bercorak patronclient, serta perilaku pemilih yang semata-mata bercorak voluntary serta transaksi material juga menyuburkan terdapatnya disconnect electoral yaitu adanya wakil yang terpilih hanya berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Hingga diperlukan adanya transaksi kebijakan pada masa yang akan datang untuk membuat politik Indonesia yang lebih baik. Untuk membangun budaya politik yang demokratis, penulis melihat demokrasi ditandai dengan tiga prasyarat: kompetensi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, partisipasi masyarakat, dan adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Ketiga hal ini perlu didukung oleh sistem pemilu yang mumpuni, yang dalam buku ini diterangkan dengan penjelasan instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangi oleh partai atau calon. Peresensi adalah Amin Musthofa, peneliti The Independent Institute, Semarang.

Judul : Sashenka Penulis : Simon Montefiore Penerjemah : Yanto Mustofa dan Ida Rosdalina Tahun : I, Juni 2010 Tebal : 650 halaman Harga : Rp 99.900 Terilhami kisah nyata, sejarawan Simon Montefiore menuturkan kisah epik Sashenka Zeitlin. Sashenka Zeitlin adalah bangsawan Yahudi Rusia yang tertangkap dalam kisah asmara revolusi dan kemudian dihancurkan oleh polisi rahasia Stalin. Bagian awal novel ini, bersetting St Petersburg 1916, menggambarkan bagaimana Sashenka, di bawah asuhan paman Bolsheviknya, menjadi seorang revolusioner idealis yang naif, yang terpesona dengan perannya sebagai kurir gerakan bawah tanah. Cerita bergulir ke Moskwa tahun 1939, ketika Sashenka dan suaminya, seorang pejabat partai, berada di puncak kesuksesan dalam lingkaran politik. Hubungan asmara Sashenka dengan seorang penulis membuat dia ditangkap dan menghadapi tuntutan; dalam penggambaran yang hidup penyiksaan psikologis dan fisik, Sashenka dipaksa memilih antara keluarganya, kekasihnya, dan perjuangannya.

Pemimpin Redaksi: M Selamet Susanto Wakil Pemimpin Redaksi: Adi Murtoyo Asisten Redaktur Pelaksana: Adiyanto, Khairil Huda, Suradi SS, Yoyok B Pracahyo. Redaktur: Alfian, Alfred Ginting, Antonius Supriyanto, Dhany R Bagja, Lili Hermawan, Marcellus Widiarto, M Husen Hamidy, Sriyono Faqoth, Suli H Murwani. Asisten Redaktur: Ade Rachmawati Devi, Ahmad Puriyono, Budi, Mas Edwin Fajar, Nala Dipa Alamsyah, Ricky Dastu Anderson, Sidik Sukandar, Tri Subhki R. Reporter: Agung Wredho, Agus Supriyatna, Benedictus Irdiya Setiawan, Bram Selo, Citra Larasati, Dini Daniswari, Donald Banjarnahor, Doni Ismanto, Eko Nugroho, Hansen HT Sinaga, Haryo Brono, Haryo Sudrajat, Henry Agrahadi, Houtmand P Saragih, Hyacintha Bonafacia, Im Suryani, Irianto Indah Susilo, Irwin Azhari, Merta Anduri, Muchammad Ismail, Muhammad Fachri, Muhammad Rinaldi, Muslim Ambari, Nanik Ismawati, Rahman Indra, Setiyawan Ananto, Tya Atiyah Marenka, Vicky Rachman, Wachyu AP, Xaveria Yunita Melindasari, Yusti Nurul Agustin Koresponden: Budi Alimuddin (Medan), Noverta Salyadi (Palembang), Agus Salim (Batam), Henri Pelupessy (Semarang), Eko Sugiarto Putro (Yogyakarta), Selo Cahyo Basuki (Surabaya) Kepala Sekretariat Redaksi: Debora Awuy Bahasa: Yanuarita Puji Hastuti Desain Grafis: Yadi Dahlan. Penerbit: PT Berita Nusantara Direktur Utama: M Selamet Susanto Direktur: Adi Murtoyo. CEO: T. Marx Tobing Managing Director: Fiter Bagus Cahyono Associate Director: Woeryadi Kentoyo Manajer Iklan: Diapari Sibatangkayu Manajer IT: Parman Suparman Asisten Manajer Sirkulasi: Turino Sakti Asisten Manajer Distribusi: Firman Istiadi Alamat Redaksi/Iklan/Sirkulasi: Jalan Wahid Hasyim 125 Jakarta Pusat 10240 Telepon: (021) 3152550 (hunting) Faksimile: (021) 3155106. Website:

www.koran-jakarta.com E-mail: redaksi@koran-jakarta.com Tarif Iklan: Display BW Rp 28.000/mmk FC Rp 38.000/mmk, Advertorial BW Rp 32.000/mmk FC Rp 40.000/mmk, Laporan Keuangan BW Rp 17.000/mmk FC Rp 32.000/mmk, Pengumuman/Lelang

BW Rp 9.000/mmk, Eksposure BW Rp 2.000.000/kavling FC Rp 3.000.000/kavling, Banner Halaman 1 FC Rp 52.000/mmk, Center Spread BW Rp 35.000/mmk FC Rp 40.000/mmk, Kuping (Cover Ekonomi & Cover Rona) FC Rp 9.000.000/Kav/Ins Island Ad BW Rp 34.000/mmk FC Rp 52.000 Obituari BW Rp 10.000/mmk FC Rp 15.000/mmk, Baris BW Rp 21.000/baris, Kolom BW Rp 25.000/mmk, Baris Foto (Khusus Properti & Otomotif ) BW Rp 100.000/kavling

Wartawan Koran Jakarta tidak menerima uang atau imbalan apa pun dari narasumber dalam menjalankan tugas jurnalistik


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.