EDISI 680 - 09 MEI 2010

Page 11

KORAN JAKARTA

MINGGU 9 MEI 2010

Perempuan

®

11

Pemberantasan TBC dan Peran Televisi Saya harapkan stasiun tv cobalah mereka berikan itu free of charge untuk iklan layanan masyarakat.

M

Widyawati

Ketegaran Seorang Bidadari Keluargalah yang mendukung langkahnya di dunia akting. Aktris dan aktor datang silih berganti menghiasi jagad perfilman Indonesia. Sebagian besar cuma bermodalkan kemolekan dan ketampanan, lalu lenyap ditelan zaman. Tak demikian dengan Widyawati, satu bidadari senior yang masih bertahan. Apa modalnya?

BIODATA Nama: Widyawati Tanggal Lahir: 12 Juli 1950 Karier: ◗ Piala Citra untuk film Arini, MasihAda Kereta Yang Akan Lewat ◗ Nominasi FFI: Buah Hati Mama, Amalia SH, Suami, Sesaat Dalam Pelukan Album: ◗ Potret Kekasih ◗ Esok Malam Kujelang ◗ Kunang-Kunang

J

ika kita perhatikan dalam lima tahun terakhir, jumlah sinetron di Indonesia melonjak drastis. Hampir tiap hari dan jam, ada saja stasiun televisi yang menayangkan sinema elektronik tersebut. Entah bertema horor, percintaan remaja, maupun cerita anak-anak. Widyawati, termasuk salah seorang yang kebagian rejeki dari booming sinetron ini. Sesuai usianya yang hampir memasuki kepala enam, peran yang biasa ia mainkan ya sebagai ibu. Namun, di tengah lingkup hingar bingar industri ini, ibu yang masih tetap cantik ini merasa prihatin. Dia merasa ada pengeksploitasian kodrat manusia yang terlibat dalam pekerjaan ini. Dia pun sadar itu konsekuensi logis dari membeludaknya jumlah sinetron, sehingga syutingnya pun harus kejar tayang. Namun, kata Widyawati, untuk apa mengejar kuantitas tapi mengabaikan kualitas. Menurutnya, jika dibanding era 70 atau 80an, kualitas film di Indonesia jauh menurun. Penurunan kualitas tersebut, katanya, akibat dari sistem dalam dunia hiburan, khususnya televisi yang tidak mengenal jam kerja. “Cobalah kita saling pengertian. Stasiun dan PH (production house/ rumah produksi) ini. Kalau dulu ketika sistemnya hanya seminggu tayang sekali, itu hasilnya jauh lebih baik. Jadi, bagaimana kita akan menghasilkan produk baik kalau dengan cara kerja yang tanpa batas? Stripping. Itu sekarang sistemnya tiap hari, tidak ada batasan waktu,” ungkapnya saat berbincang dengan Koran Jakarta, di rumahnya, Jumat pekan lalu. Di samping para pemain film maupun sinetron, Widyawati juga memerhatikan para kru yang bertugas dalam suatu produksi. Dia mengaku prihatin karena mereka dituntut kerja nonstop. Beda dengan para pemain yang masih dapat beristirahat di antara pergantian scene. “Jam kerja yang menurut saya tidak wajar. Sama sekali tidak wajar. Karena kadang mereka pulang jam 3, jam 4 menjelang subuh. Kapan waktu mereka istirahat? Bagaimana dengan kesehatan? Ok, kalau seperti kita pemain, kita masih ada sedikit waktu istirahat saat pergantian scene. Tapi bagaimana dengan kru? Mereka dari pagi sampai dengan subuh. Saya ingin perjuangkan agar kita cobalah bekerja dengan cara yang sehat,” ujarnya perempuan yang

eski mengaku tak lagi rajin berolah raga, Widyawati menaruh perhatian yang cukup besar terhadap kesehatan. Hal itu diwujudkannya dalam keikutsertaan Widyawati dalam sebuah organisasi nir laba di bidang kesehatan. Dia aktif dalam menyosialisasikan seputar penyakit penyebab kematian nomor tiga terbesar di Indonesia, Tuberkolosis (TBC). walnya ia tak yakin dengan kemampuannya. Akan tetapi, akhirnya ia berani terjun dalam mengupayakan pemberian sosialisasi untuk masyarakat tentang ancaman penyakit TBC. “Kalau untuk kesehatan, saya memang concern. TBC ini di Indonesia (merupakan pembunuh) nomer tiga. Bisa bayangkan setiap harinya (berapa orang) meninggal karena TBC,” katanya. Pengabdian secara total ia tunjukkan dengan melakukan sosialisasi hampir ke seluruh

FOTO-FOTO: KORAN JAKARTA/WACHYU AP

« Tempaan mental juga didapat dari sang ayah yang seorang tentara, Adi Sura Soedibrata.

»

kini aktif di salah satu organisasi nirlaba bidang kesehatan. Sebagai aktris senior, Widyawati kerap merasa gelisah menyaksikan keadaan ini. Menurutnya, para pengusaha rumah produksi seharusnya mencontoh disiplin yang diterapkan para pekerja film di Hong Kong. Dan dia merasakan sendiri pengalaman itu. Awalnya, kata Widyawati, dia sempat terkejut ketika sutradara menghentikan produksi (break) di tengah scene yang belum selesai. Sang sutradara menjawab enteng, “Nggak ada, kita sudah 8 jam. Selesai nggak selesai, kita teruskan besok,” kata Widyawati menirukan gaya bicara sang sutradara. Jejak Ibu Profesi aktris, kata Widyawati, adalah profesi yang secara sadar ia tekuni dengan segala konsekuensinya. Widyawati kecil memupuk hasratnya untuk menjadi seorang bintang film terkenal seperti ibundanya, Aryati. Ketika itu di era 60-an, sutradara sekaligus pemilik rumah produksi Aries Film, Wim Umboh, mengajaknya bermain di film Mendung di Senja Hari.

“Kamu main, ya,” tiru Widyawati. Ia sangat senang menyambut tawaran tersebut. Saat itu, ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Oleh karenanya, peran yang ditawarkan padanya adalah menjadi anak dari tokoh yang diperankan oleh ibunya sendiri. Akan tetapi, saat itu sepertinya dewi fortuna belum berpihak padanya. Karena terlambat datang ke lokasi syuting yang saat itu mengambil tempat di Surabaya, Widyawati gagal memerankan tokoh itu. “Saya liburan di rumah eyang saya di Cilacap. Dan ketika saya sampai di Surabaya, karena saya terlalu lama, peran itu diganti. Itu saya mau nangis, kesel tapi saya tahan gengsi. Tapi sakit di sini (menunjuk ke pangkal tenggorokan). Tersekat. kesal sekali saya,” sesalnya. Meski ibunya terlibat dalam produksi tersebut, tapi tidak membuat Widyawati mendapatkan peran yang semula ditawarkan padanya. “Ibu saya waktu itu tidak mau membujuk sutradara untuk menungu saya. Dia pikir, kesalahan ada di saya. Saya belajar untuk terima konsekuensi,” ujarnya khidmat. Tempaan mental juga didapat dari sang ayah yang seorang tentara, Adi Sura Soedibrata, yang terakhir berpangkat Kapten CPM. Dengan kelembutan dan kesederhanaannya, sang ayah mengajarkan Widyawati tentang keprihatinan. “Jadi orang harus prihatin,” ujarnya.

Kegagalan debut pertamanya untuk berperan dalam Mendung di Senja Hari, tidak membuatnya murung berkepanjangan. Terbukti, itu membuahkan hasil. Peran demi peran pun berhasil diraihnya.Widyawati yang pagi itu mengenakan blus model kupu-kupu dipadu dengan black skinny pants itu menuturkan, almarhum Usmar Ismail berperan besar dalam kariernya. Karena dialah yang memberikan peran utama dalam film Ja Mualim pada 1969. Sejak itu, Widyawati mulai dikenal sebagai pemain film dan berturutturut mendapat kesempatan bermain dalam film Apa Jang Kau Tjari Palupi (1969), Hidup Tjinta dan Air Mata (1970), dan Gadis Djutawan (1971). Namanya semakin melambung setelah bermain dalam film Pengantin Remadja (1971). Di film inilah ia dipasangkan dengan Sophan Sophiaan yang kemudian menikahinya di tahun 1972 di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Antara tahun 1973-1975, Widyawati bermain dalam kurang lebih 15 judul film. “Kalau pun sejak itu kami berpasangan, itu karena permintaan produser, bukan kami yang meminta,” jelasnya. Tahun 2008, Widyawati, bersama suaminya, Sophan Sophiaan membintangi film berjudul Love, sebuah film yang mengangkat tema cinta dari berbagai karakter dengan beragam latar belakang. Tapi, siapa sangka film itu menjadi film terakhir yang mereka bintangi, karena pada bulan September 2008, suaminya wafat dalam suatu kecelakaan motor. Widyawati bercerita, sejak kematian suaminya ada suatu keunikan yang terjadi di rumahnya, yakni jam dinding antik yang tiba-tiba saja tak bergerak. “Jarum jam tersebut berhenti bergerak sepeninggal Sophan. Padahal sudah saya bawa kee reparasi, tapi tetap tidak mau jalan,” ujar Widyawati kali ini dengan mimik sedih. Peristiwa kepergian suaminya kurang lebih dua tahun yang lalu, memang masih menyisakan kepedihan mendalam. Bahkan istri penyuka motor gede ini harus keluar masuk rumah sakit dan beberapa kalii berkunjung ke psikiater. “Saya a manusia biasa. Saya masuk ru-mah sakit, pergi ke psikiater. Itu u semua karena kepergian yang ti-dak masuk di akal buat saya. Tapii ini jalan Allah. Semua manusia a pasti akan menghadap-Nya. Tapi pi cara kepergiannya itu yang memmbuat saya sakit. Perih sekali hati ati saya, tapi saya tidak dendam, m,” ungkapnya. im suryani

wilayah Indonesia. Dan ia semakin prihatin, dengan fakta yang ia temukan di lapangan. Sebagian besar pasien yang terkena TBC adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. “Mereka kalau sudah merasa sehat, walau pengobatan belum berjalan 6 bulan, langsung akan menghentikan pengobatannya. Padahal dengan begitu malah bisa lebih parah. Untuk menjelaskan ini ke mereka sulit sekali,” ujarnya. Untuk itu, Widyawati mengimbau kepada stasiun televisi untuk ikut ambil bagian dalam upaya memberantas penyakit ini. Apalagi dengan kemampuan televisi yang dapat menjangkau segala lapisan masyarakat hingga ke pelosok. Stasiun televisi, katanya, dapat menyediakan sedikit waktu untuk digunakan sebagai media sosialisasi layanan masyarakat bagi penderita TBC. “Ini kan layanan masyarakat. Kita ngga akan mengambil apa-apa dari situ. Yang saya harapkan stasiun tv cobalah mereka berikan itu free of charge untuk iklan layanan masyarakat. Ini kan perlu sekali. Kenapa TBC ini kurang dipahami, karena sosialisasinya kurang,” paparnya geram. Sebagai aktris yang sering berkecimpung di jagad pertelevisian, Widyawati memaksimalkan betul posisinya agar sekaligus juga dapat ikut memberantas penyakit TBC. Caranya, ya mendekati orangorang yang bekerja di industri televisi agar mau membantu kegiatannya di bidang kesehatan ini. im suryani

KORAN JAKARTA/WACHYU AP

Rahasia Sebuah Kecantikan

M

enjelang 59 tahun usianya. Tak ada ritual khusus yang dilakukan oleh Widyawati. Pun ramuan rahasia sang nenek dari masa lampau. Nenek dua cucu, Julia dan Jemima itu mengaku, rahasianya adalah cukup dengan bersyukur. Bersyukur atas rezeki yang Tuhan berikan, dan pula bersyukur atas apa yang Ia ambil. “Ngga ada resep apa-apa. Hidup yang penting buat saya mensyukuri. Kita bersyukur, bersyukur dan bersyukur. Saya dan suami dulu menjalani hidup apa adanya,” kata dia. Peristiwa kepergian suaminya kurang lebih dua tahun yang lalu, masih menyisakan kepedihan mendalam. Keterpurukannya sempat membuat istri penyuka motor gede ini keluar masuk rumah sakit dan beberapa kali berkunjung ke psikiater. “Saya manusia biasa. Saya masuk rumah sakit, pergi ke psikiater. Itu semua karena kepergian yang tidak masuk di akal buat saya. Tapi ini jalan Allah. Semua manusia akan menghadap. Tapi cara kepergiannya itu yang membuat saya sakit. Perih sekali hati saya, tapi

KORAN JAKARTA/WACHYU AP

saya tidak dendam,” ungkapnya. Ya, tidak menyimpan dendam. Itulah yang ia tekankan. Karena ia meyakini, dengan menyimpan dendam, akan berpengaruh negatif terhadap kesehatannya. Hikmah yang ia dapat dari cobaan Tuhan itu dibuatnya sebagai ajang memperbaiki diri. Menjadi manusia yang lebih sabar. Widyawati mengutamakan kecantikan hati ketimbang kecantikan yang dapat dilihat mata. Tanpa kecantikan tingkah laku dan tutur kata, kecantikan lahir tidaklah memukau. Oleh karenanya, bersama dua orang kawannya, Rima Melati dan Anita Wells, Widyawati mendirikan sebuah lembaga yang dapat dikatakan sebagai sekolah pengembangan kepribadian. Sekolah yang diberinama New Image tersebut bekerja sama dengan Yayasan Putri Indonesia. “Waktu itu Mustika Ratu memang meminta kita. Saya bagian penampilan. Saya bertukar pengalaman. Kedua kawan saya tentang table manner, bagaimana kita berbicara, itu menjadi sebuah kesatuan. Itu yang kami lakukan untuk Putri Indonesia tahun lalu. Tahun ini mereka juga minta lagi. Sementara waktunya aduh, ini mepet sekali. Mau berangkat Juli, sementara saya musti syuting juga,” terang dia. Meski saat ini belum berkantor, Widyawati optimistis akan dapat mengembangkan sekolah tersebut dan menyumbangkan pribadi-pribadi perempuan yang berkepribadian untuk tanah air. Ke depannya, ia juga ingin menambah tenaga pengajar di sekolahnya tersebut. “Kami akan cari yang lebih ahli. Kalau hanya kami berdua kan pasti ada (yang kurang) Kami cukup sibuk, ngga mungkin kami melakukan itu semua,” tuturnya. im suryani


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.