EDISI 331 - SENIN - 11 MEI 2009

Page 17

KORAN JAKARTA

®

Senin

RONA

11 MEI 2009

17

Butuh Perhatian dan “Sentuhan”

B

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

Menghidupkan Nyawa Museum Tanah Air Tingkat kunjungan masyarakat Indonesia ke museum masih rendah. Upaya pembenahan pun dilakukan untuk meningkatkan pamor museum.

T

engoklah pusat-pusat perbelanjaan di Ibu Kota, kebanyakan tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi setiap akhir pekan, mal-mal itu kerap dibanjiri orang-orang yang ingin berbelanja atau hanya sekadar cuci mata. Gambaran yang kontradiktif bisa dilihat di museum-museum. Tempat yang menyimpan banyak benda bernilai seni dan sejarah itu kerap sepi pengunjung. Jangankan pada hari-hari kerja, hari libur atau akhir pekan pun kebanyakan museum di Tanah Air sepi pengunjung. Padahal, jika mengacu pada kalimat bijak Yunani historia vitae magistra atau sejarah adalah guru kehidupan, museum merupakan tempat dokumentasi sejarah yang berperan penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Memang kesadaran masyarakat Indonesia untuk berkunjung ke berbagai museum masih teramat rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hanya dua persen dari total jumlah penduduk yang mengunjungi museum setiap tahunnya. “Angka kunjungan museum paling tinggi dipegang oleh Monas yang didatangi 900 ribu pengunjung dalam setahun,” kata Tinia Budiati, Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta. Saat ini, jumlah museum di seluruh daerah di Indonesia sebanyak 286 museum. Seiring berlakunya otonomi daerah yang membolehkan siapa pun mendirikan museum, jumlah museum diperkirakan akan terus bertambah. Apalagi sekarang ini pengategorian museum semakin luas. Museum bisa saja berupa galeri seni (bukan galeri seni komersial), tempat penyimpanan koleksikoleksi tertentu, monumen

historis, perpustakaan, atau gedung arsip yang terbuka untuk umum. Wujudnya pun beraneka ragam, mulai dari museum seni, antropologi, sejarah, hingga ilmu pengetahuan. Adapun bentuknya bisa tertutup, bisa pula terbuka (open air museum). Beberapa museum yang ada di Indonesia, di antaranya Gedung Gajah yang merupakan museum pusat yang antropologis, museum Sana Budaya Yogyakarta, Radya Pustaka Solo, keduanya merupakan museum daerah yang juga bersifat antropologis, ada pula museum khusus seperti Satria Mandala, Museum Wayang, Museum Konferensi Asia Afrika, Museum Tekstil, Museum Gula, serta museum terbuka seperti Taman Mini Indonesia Indah.

Menggaet Pengunjung Rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap museum mendorong Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada April lalu mencanangkan tahun 2010 sebagai tahun kunjungan museum. Dalam diskusi Tahun Kunjungan Museum 2010 yang digelar Kamis (16/4) disimpulkan, para pengelola museum perlu membuat terobosan untuk menggaet pengunjung datang ke museum. Museum harus tampil beda, muncul dengan “merek” baru. “Museum harus pandai dan lebih cerdas mencari potensi di masyarakat,” ujar Tinia, alumnus Musiologi, Reinwardt Academy Amsterdam, Belanda, itu.

«

Pembenahan nonfisik museum dilakukan dengan mengubah citra museum yang selama ini terkesan tidak atraktif, membosankan, tidak aspiratif, tidak menghibur, serta dikelola seadanya.

»

Pemerintah juga tengah menggodok adanya Hari Nasional Museum Indonesia yang tanggal pastinya masih belum ditentukan. Pekan lalu, sejumlah praktisi dan kepala permuseuman se-Indonesia menggelar rapat koordinasi tahunan di Jambi. Salah satu agendanya adalah menentukan tanggal Hari Nasional Museum Indonesia. Tanggal akan ditentukan berdasarkan tanggal-tanggal bersejarah di dunia permuseuman. Bisa saja penanggalan didasarkan pada saat berdirinya museum tertua di Indonesia atau momen-momen lainnya. Tinia mengatakan setelah tanggal didapat, akan dibawa ke menteri dan diharapkan tahun depan Hari Museum sudah bisa diperingati. Selain penentuan Hari Museum, pemerintah kini tengah sibuk “mendandani” sejumlah museum untuk menggairahkan kembali dunia permuseuman nasional. Pembenahan dilakukan melalui dua jalur, yaitu fisik dan nonfisik. Pembenahan fisik, di antaranya dengan melakukan renovasi, terutama karena gedung-gedung yang ditempati

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

KONSERVASI MUSEUM I Sejumlah pekerja merenovasi bagian gedung Museum Bahari, di kawasan Kota Tua, Jakarta. Konservasi fisik dilakukan untuk meningkatkan kualitas sarana fisik gedung.

museum biasanya merupakan gedung-gedung tua. Untuk mendanai kegiatan renovasi tersebut, Dinas Pariwisata DKI Jakarta menjalankan sistem sponsorhip dan bekerja sama dengan berbagai pihak, di antaranya dengan pabrik semen dan pabrik cat. “Kita banyak memasukkan proposal kerja sama, museum tidak lagi bisa bekerja sendirian,” ujar Tinia. Sedangkan pembenahan nonfisik museum dilakukan dengan mengubah citra museum yang selama ini terkesan tidak atraktif, membosankan, tidak aspiratif, tidak menghibur, serta dikelola seadanya. “Kesan ini yang harus diubah, bagaimana membuat museum bukan hanya ruang pamer bendabenda mati yang dari tahun ke tahun isinya tidak berubah,” kata KRT Thomas Haryonegoro, Sekjen International Council of Museum. Ada beberapa contoh konkret pembenahan performa museum yang telah digelar. Tahun lalu, misalnya, Museum Tekstil di Tanah Abang, Jakarta Pusat, membuka kelas membatik. Kegiatan tersebut menjadi agenda rutin yang diselenggarakan pengelola museum. Kegiatan sejenis juga digelar Museum Seni dan Keramik melalui penyelenggaraan kursus membuat tembikar. Di Museum Wayang, pengunjung diberi kesempatan memainkan alat musik gamelan dalam paket yang lengkap. Dari berbagai kegiatan itu bisa disimpulkan, untuk membenahi museum harus selalu dilakukan inovasi agar ada unsur-unsur kebaruan. Sebenarnya, berbagai kreasi telah dilakukan oleh sejumlah museum. Hanya saja hasilnya masih terkendala pada kemasan atau publikasi yang kurang menarik, sehingga tidak mampu menggerakkan orang untuk berbondong-bondong ke museum. Keadaan itu tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para pengelola museum dan pemerintah. Jangan sampai museum hanya sebatas “gudang” benda-benda warisan masa lalu yang hampa makna dan luput dari perhatian masyarakat. cit/L-2

enda-benda koleksi di museum semakin lama semakin tua usianya. Oleh karena itu, benda-benda tersebut membutuhkan “sentuhan” dan perawatan agar tetap awet. Awetnya benda-benda yang tersimpan dalam museum juga memungkinkan generasi-generasi mendatang menikmatinya dan berpeluang mengetahui sejarah masa lampau. Bukan perkara mudah menjaga kelestarian benda-benda bernilai sejarah yang tersimpan di sebuah museum. Perawatan benda-benda itu juga membutuhkan biaya besar. Namun, ketimbang memperbaiki benda-benda tersebut, tentunya lebih mudah dan murah merawatnya. Di Museum Tekstil yang terletak di Jalan Aipda KS Tubun No 4, Jakarta Pusat, misalnya, perawatan bendabenda koleksi museum kerap dilakukan. Di dalam museum tersebut terdapat lebih dari 1.000 koleksi yang kebanyakan merupakan koleksi tekstil tradisional Indonesia. Dua jenis koleksi tersebut di antaranya adalah batik tenun tua dan kulit dari Kalimantan. “Koleksi yang berharga harus diberi perawatan rutin,” kata Indra Riawan, Kepala Museum Tekstil Jakarta. Kegiatan perawatan dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, perawatan rutin yang meliputi pencucian bahan dengan formula pembersih khusus. Untuk beberapa jenis kain, terutama yang sudah berusia lanjut, tidak diperkenankan dicuci menggunakan air. Cara perawatan yang paling tepat adalah dengan menyedot debu yang menempel pada benda-benda koleksi itu. Semua koleksi disimpan di lemari kaca yang didesain khusus. Menurut Indra, hal itu dilakukan agar koleksi benda-benda museum terjaga kelembapannya dan terhindar dari kerusakan.

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

Koleksi yang terdapat di Museum Tekstil dihindari dari sentuhan langsung pengunjung. Indra menyatakan hal itu dimaksudkan untuk berjagajaga jika ada remah makanan atau permen yang jatuh di dekat baju dan mengundang semut atau serangga lainnya. Selain terlindung dari gangguan serangga, koleksi-koleksi museum juga dimanjakan dalam ruangan berpendingin. Suhu ruangan dijaga maksimal 30 derajat celcius dan benda-benda museum diusahakan tidak terkena sinar Matahari langsung. “Sinar Matahari akan membuat koleksi menjadi pudar warnanya,” terang Indra yang juga mantan Kepala Museum Keramik ini. Meski perawatan terhadap benda-benda koleksi Museum Tekstil terbilang ketat, tetap saja sempat terjadi beberapa kerusakan. Kerusakan biasanya berupa kain yang sobek dan benda diserang ngengat. Perawatan tidak hanya mencakup benda-benda koleksi museum, melainkan juga fisik bangunan. Museum Tekstil menempati gedung yang dulunya merupakan rumah pribadi seorang warga keturunan Prancis yang hidup pada abad ke-19. Setelah beberapa kali berpindah tangan, akhirnya kepemilikan gedung diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta dan dijadikan sebagai Museum Tekstil sejak 1976. Perawatan bangunan tua harus pula ekstrahati-hati. “Detailnya kami serahkan pada pihak ketiga untuk tugas kebersihan dan lingkungan gedung, karena kami tidak punya ahlinya,” kata Indra. Adapun mengenai biaya perawatan, Museum Tekstil mendapatkan jatah anggaran untuk keperluan tersebut sebesar 50 hingga 60 juta rupiah per tahun. cit/L-2


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.