EDISI 552 - 27 DESEMBER 2009

Page 12

MINGGU 27 DESEMBER 2009

12

Kesehatan

KORAN JAKARTA

®

Berbahaya tapi Bisa Dicegah Pendeteksian sebelum menikah merupakan langkah yang paling bijak.

M

eski berbahaya dan genetik, talasemia bukan berarti tidak dapat dicegah. Caranya dengan melakukan deteksi dini yang dibagi dalam dua fase, premarital screening (sebelum menikah) dan prenatal diagnosis (sebelum melahirkan). Premarital screening untuk memeriksa apakah gen seseorang memiliki kelainan darah dan membawa talasemia (carrier). Hal ini penting untuk melakukan tahapantahapan perawatan bila nantinya terdeteksi menderita talasemia. “Sejak lulus SMP sebaiknya seseorang harus melakukan cek darah ini. Apakah terdapat talasemia atau tidak,” ujar Ketua Pusat Talasemia Indonesia Ruswandi. Menurut dia, menghindari pernikahan dengan seseorang dengan pembawa sifat talasemia (carrier) adalah langkah yang paling efektif sejauh ini. Cara kedua adalah melakukan prenatal diagnosis. Pemeriksaan ini perlu dilakukan bagi seorang ibu yang mengandung untuk mengetahui apakah kandungannya terkena

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

Ketika Darah Merah Melemah REUTERS/EDWIN MONTILVA

Penderitanya mengalami dilema yang berkepanjangan. Enam dari setiap 100 anak Indonesia disinyalir menderita talasemia. Penyakit ini tidak menular, namun juga tidak dapat sembuh dan bersifat genetik. Apa sebenarnya momok yang pertama kali merebak di Laut Tengah ini?

Masalah lain dari transfusi darah adalah rawannya penderita talasemia terkena infeksi hepatitis. Bila ini terjadi, kerusakan liver bukan sesuatu yang tidak mungkin. Maka itu Iswari menyarankan untuk mendapatkan donor darah, pasien talasemia sebaiknya mengerti asal muasal darah itu. “Kalau bisa yang berasal dari orang yang dikenal dan sehat,” papar dia.

T

alasemia merupakan salah satu penyakit kelainan darah. Ada tiga macam pengelompokan kelainan darah; trait/ carrier, minor dan mayor. Talasemia berasal dari kelompok mayor dan berbahaya. Sedangkan dua lainnya tidak demikian. Kelompok mayor ini terjadi karena sel darah merah tidak berfungsi normal. Usianya pendek dan berkondisi lemah. Bila pada orang normal, sel darah merah dapat hidup selama empat bulan. Tidak demikian pada penderita talasemia. Umur darah merah mereka hanya 1-2 minggu dan kemudian sudah pecah. Akhirnya, sel darah merah yang mengandung hemoglobin itu tidak mampu mengangkut oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh. Maka itu, dari bentuknya, darah merah penderita talasemia tampak kempes dan tidak beraturan. Talasemia bukan penyakit menular, tapi bersifat genetik (keturunan). Anak-anak merupakan penderita utamanya. Bila salah satu orang tua menderita talasemia, peluang anak terkena sebesar 25 persen. Bila pasangan memiliki dua anak, dipastikan salah satu anak itu turut terkena. Si anak diibaratkan menerima penyakit warisan dari orang tuanya. Namun menurut dr Iswari Setianingsih, SpA, PhD, Spesialis Anak dari Eijkman Institute for Molecular Biology-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, selain keturunan, parasit malaria yang masuk ke tubuh penderita talasemia juga berperan dalam semakin melemahkan usia darah merah tadi. Dalam catatan Pusat Talasemia Indonesia, penderita talasemia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo saja mencapai 1.500 orang. Jumlah itu juga stabil meningkat 5-6 persen dalam sebulan. Total, diperkirakan ada 5.000 jiwa penderita talasemia di Indonesia. Namun angka itu baru yang tercatat di rumah sakit pe-

ANTARA/DWI PRASETYA

« Transfusi darah

juga merusak limpa. Padahal limpa berfungsi untuk memfilter darah merah yang tidak baik.

»

merintah di Indonesia saja. Dominan penderitanya berasal dari kelompok usia di bawah 10 tahun. Gejala fisik anak dengan talasemia sudah dapat dilihat jelas sejak usia 3 hingga 18 bulan. Tubuh mereka tampak pucat, susah tidur, tidak nafsu makan, lemas, dan urine berwarna gelap. Kebanyakan dari mereka yang terlambat dideteksi, hanya mampu bertahan sampai usia 20 tahun. Kalau pun bertahan hidup, anak- anak dengan talasemia jarang sekali mencapai pertumbuhan yang normal. Sayangnya, sejauh ini belum ditemukan obat penyembuhannya.

Satu-satunya cara agar si penderita dapat bertahan hidup hanya melalui transfusi darah. Hal ini untuk menggantikan darah merah yang rusak dan dapat menyuplai oksigen dan nutrisi ke tubuh. Intensitas transfusi darah ini beragam. Ada yang sebulan sekali, dua bulan, tergantung jenis talasemia, usia, dan berat badan si penderita. Biasanya memakai indikator berdasarkan skala. Kadar hemoglobin delapan, artinya si penderita masih dinilai fit dan bisa melakukan transfusi darah dalam rentang waktu yang cukup panjang. Sedangkan bagi yang bernilai empat atau enam, artinya sudah dalam keadaan cukup rawan dan perlu lebih pendek penjadwalan transfusi darahnya. Dilema Transfusi Namun transfusi darah juga menimbulkan dilema bagi penderitanya. Tinggi dan rutinnya aktivitas ini justru memicu kadar zat besi di darah menjadi tinggi. Akibatnya fungsi paru-paru, hati, sistem en-

dokrin, dan jantung dapat terancam. “Zat besi itu ibarat karat. Sifatnya menggerogoti tubuh,” ujar Ruswandi, anggota Dewan Pembina Pusat Talasemia Indonesia ini. Transfusi darah juga merusak limpa. Padahal limpa berfungsi untuk memfilter darah merah yang tidak baik. Maka itu, banyak penderita talasemia yang hidup tanpa limpa. Hidup tanpa limpa sebenarnya bukanlah sesuatu yang membuat seseorang menjadi tidak normal. Namun karena limpa berfungsi memfilter darah kotor, daya tahan si penderita menjadi turun dan mudah terkena penyakit. Orang yang memiliki kandungan zat besi berlebih dapat dilihat dari ciri kulit yang menghitam dan tulang yang rapuh atau mudah patah. “Hal ini terjadi karena tubuh mereka berusaha mengatasi kekurangan hemoglobin yang diproduksi sumsum tulang beralih ke tulang pipih. Sehingga tulang pipih akan membesar, rapuh, dan mudah patah,” tambah Iswari.

Kelasi Besi Untuk menetralisasi zat besi berlebih pada darah itu akhirnya penderita talasemia perlu melakukan pengobatan tambahan. Yakni berupa suntikan desfferal yang berfungsi untuk membuang kelebihan zat besi tadi atau biasa disebut kelasi besi. Namun cara ini tidak sederhana. Pasalnya, obat suntik desfferal perlu dilarutkan dan dimasukkan ke tubuh melalui pompa. Itu pun menghabiskan waktu sekitar 10 jam tanpa boleh dilepas dan dimasukkan sedikit demi sedikit. Hal ini agar obat tidak cepat terbuang melalui urine penderita. Obat ini juga tidak murah. Setiap bulannya perlu 20 kali suntikan dengan dosis 500 miligram. Padahal obat untuk sekali suntik itu seharga 125.000 rupiah atau 2,5 juta rupiah per bulan. Ada pula alternatif selain desfferal yang bernama ferriprox. Obat ini bentuk tablet dan dikonsumsi secara oral. Namun biaya obat dan transfusi darah tadi juga tidak murah. Hal ini seperti yang diutarakan Eko, 25 tahun. Laki-laki yang mengetahui dirinya menderita talasemia sejak usia 10 bulan ini, terpaksa melakukan transfusi darah setidaknya 1-2 bulan sekali. Untuk sekali transfusi, dia memerlukan empat kantong darah (harga satu kantong darah 143 ribu rupiah). Ditambah 1,5 juta rupiah untuk membeli ferriprox tiap 15 hari sekali. Ferriprox dikemas dalam bentuk botol berisi 100 tablet. “Untuk biaya semua itu sedikitnya saya menghabiskan tiga juta rupiah. Tapi tidak jarang sampai lima juta rupiah,” ujar dia yang bekerja sebagai karyawan administrasi ini. Selain transfusi darah, pencangkokan sumsum tulang belakang adalah cara lain agar penderita talasemia dapat bertahan hidup. Namun menurut Ruswandi hal ini sulit dilakukan karena dua persoalan. Pertama, untuk melakukan pencangkokan sumsum tulang belakang usia penderita idealnya ketika balita. Paling banter berusia 10 tahun. Kedua, soal biaya pencangkokan yang tinggi. “Biaya operasi ini sekitar satu miliar rupiah saat ini. Itu pun harus di luar negeri,” ujar pria yang juga menjadi Ketua Perhimpunan Orang Tua Penderita Talasemia ini. nala dipa/agus triyono

talasemia atau tidak. Analisis Hb A2, nama pemeriksaan darah tersebut. “Pemeriksaan sudah bisa dilakukan sejak usia kandungan delapan minggu,” tambah Ruswandi. Bila hasil pemeriksaan menyebutkan positif kandungan menderita talasemia, biasanya dokter merekomendasikan agar menyetop kehamilan. “Tapi hal itu biasanya opsi. Keputusan tetap ada di tangan pasangan,” tambah Ruswandi. Mengapa hal itu dilakukan? Pasalnya, untuk merawat penderita talasemia membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang besar. “Bayangkan bila seumur hidupnya, anak harus mendapat transfusi darah. Siapa pun bisa tidak kuat finansialnya,” ujar dia. Soal pencegahan itu juga diamini menurut dr Iswari Setianingsih, SpA, PhD, Spesialis Anak dari Eijkman Institute for Molecular Biology-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. “Akan sangat bijaksana bila sebelum menikah melakukan pemeriksaan dini. Hal ini untuk mencegah penyakit merebak,” ujar dia. nal/ayo

KORAN JAKARTA/BRAM SELO

Tip Bagi Penderita Talasemia ◗ Hindari vitamin atau suplemen yang mengandung zat besi. ◗ Mengonsumsi makanan bergizi dan seimbang. Hal ini penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Sangat direkomendasikan dokter agar mengonsumsi asam folat untuk membantu pembentukan sel darah merah baru. Termasuk melakukan diet kalsium dan vitamin D untuk mempertahankan kesehatan tulang. ◗ Hindari infeksi. Hal ini bisa dilakukan dengan mencuci tangan secara teratur dan menjauhi orang sakit. ayo

KORAN JAKARTA/JULIARDI


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.