Buletin Balkon 138

Page 27

Uang Kuliah Tunggal

BALAIRUNG/Yoel

Prof. Dr. Ir. Bambang Triatmodjo, DEA (Guru Besar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM)

T

erbitnya Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menimbulkan harapan adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi. UU tersebut mewajibkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menerima calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima. Harapan semakin menguat ketika Mendikbud menginstruksikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan diberlakukan mulai tahun 2013/2014. Mahasiswa baru, nantinya, hanya membayar uang kuliah tunggal yang jumlahnya tetap tiap semester selama masa kuliah. Mendikbud menjanjikan tidak akan ada lagi biaya tinggi masuk PTN. Pemerintah juga akan memberikan dana Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN). Namun, dengan UKT, benarkah biaya pendidikan di PT akan turun? Ketika status PTN berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), biaya pendidikan di PTN meroket. PT BHMN diberi keleluasaan menarik dana dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sejak itu, muncul berbagai macam biaya seperti SPMA, SPP, BOP, dsb. Sayangnya, PTN lain yang bukan PT BHMN juga ikut-ikutan naik. Jadilah biaya pendidikan tidak terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi (PT).

Kondisi perekonomian masyarakat, padahal, sangat bervariasi: ada warga miskin, sedang, menengah, kaya dan sangat kaya. Biaya pendidikan tidak sama yang tergantung pada kemampuan orang tua dirasa lebih adil. Orang kaya membayar SPMA tinggi, sementara warga lainnya membayar lebih rendah, bahkan nol rupiah. Ini dimaksudkan untuk memberikan subsidi silang. Orang kaya mensubsidi orang miskin. Dengan itu, warga miskin memiliki kesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Namun, bagi warga dengan kondisi perekonomian sedang dan menengah, yang tidak masuk kriteria untuk mendapatkan beasiswa, UKT yang nilainya sama untuk semua mahasiswa dirasa tidak adil dan memberatkan. Seorang PNS golongan IV dengan gaji Rp 5 juta/bulan akan kesulitan untuk bisa menyekolahkan anaknya di PT. Gaji sebesar itu habis untuk biaya hidup. Kalau PNS golongan IV saja kesulitan menyekolahkan anak-anaknya, bagaimana dengan masyarakat yang pendapatannya lebih rendah, tetapi tidak termasuk miskin? Saat ini semua PTN masih menghitung besaran UKT, yang hasilnya akan diserahkan ke Ditjen Dikti untuk mendapat persetujuan dan ditentukan besaran BOPTN untuk masing-masing PTN. Kemungkinan PTN akan menghitungnya berdasarkan pembiayaan pendidikan tahun sebelumnya yang sudah terlanjur mahal. Uang pangkal yang nilainya besar bisa saja diratakan untuk delapan semester sehingga kelihatan kecil. PTN pun diharapkan dapat menghitung secara cermat UKT dengan melakukan efisiensi pada pospos pembiayaan yang prioritasnya rendah, sehingga bisa menekan UKT. Selain itu, harapan UKT lebih murah hanya tinggal bertumpu pada kebijakan Mendikbud dalam memutuskan UKT. Dengan itu, keberpihakan Pemerintah terhadap rakyat miskin untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi seperti yang diamanahkan Undang-Undang sangat diharapkan. Barangkali, perlu seseorang atau suatu PT yang berani berkorban dengan menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Kemudian kita evaluasi apakah dengan biaya pendidikan murah kualitas pendidikan akan menurun. Memang, ini tantangan untuk berani melawan arus dan membuktikan bahwa kita mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa.

31 Maret 2013

27


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.