Buletin Balkon 138

Page 23

BALAIRUNG/Jojo

Kondisi itu membuat media-media tersebut vakum menulis berita cukup lama. Majalah Tempo harus mengalami masa tidak produktif selama empat tahun. Di antara media-media yang pernah dibredel, Tempo-lah yang telah mengalami pembredelan sebanyak dua kali. Tak jarang pembredelan tersebut secara otomatis dapat mematikan ruang gerak jurnalis serta bayang-bayang kebangkrutan pun datang. Awalnya Tempo merupakan tempat menulis cerita pendek, novel, drama, esai, puisi bahkan tempat untuk menyelesaikan tugas akhir. Ide untuk membangun simbol perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto kala itu dituangkan dalam bentuk tulisan melalui media cetak, berupa Majalah Tempo. Simbol perlawanan tersebut berdiri pada 6 Maret 1971 dengan landasan “Azaz Djurnalisme�. Azas tersebut merupakan dasar rasa semangat independensi, sikap adil, dan tidak memihak golongan tertentu. Semangat untuk melayani publik dan Indonesia yang lebih baik menjadi dasar utama dunia jurnalistik a la Tempo. Majalah Tempo mengidentifikasi dirinya sebagai media investigasi. Pemberitaan dilandaskan dengan menjunjung tinggi argumen yang kuat, data terpercaya, dan kejelasan. Hal tersebut dilihat sebagai cara menghidupkan dunia jurnalisme, dimana menyiarkan berita tanpa ada aroma kepentingan pemodal, politik, dan kelompok mayoritas. Memilih menjadi media anti mainstream membuat Tempo tak gentar mengkritisi kondisi negara melalui pemberitaannya. Mengkritisi permasalahan negara tentu mendatangkan banyak kecaman tak ketercuali dari Presiden Soeharto. Melalui Departemen Penerangan, Majalah Tempo dengan kilat dapat dibredel secara cepat. Konsekuensi yang didapat pun tidak mainmain. Ketika Tempo memosisikan dirinya untuk menjadi media investigasi, banyak pemberitaan yang mengundang kontroversi. Majalah Tempo pernah mengangkat pemberitaan ke publik mengenai konflik yang melibatkan dua menteri di kabinet Soeharto. Konflik yang terjadi antara Menteri Riset dan Teknologi yang kala itu dijabat oleh B. J. Habibie dan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Dalam pemberitaan itu, Tempo membahas mengenai pembelian kapal perang dari Jerman yang karam di teluk Lampung. Akibat pemberitaan prahara tersebut, Tempo dibredel untuk kedua kalinya dalam kurun waktu empat tahun oleh Presiden Soeharto. Alasan Presiden Soeharto kala itu membredel Tempo karena pemberitaan tersebut menganggu stabilitas ekonomi dan nasional. Tempo juga dikenai tuntutan dari B. J. Habibie senilai US$ 1 miliar akibat pemberitaan yang dianggap terlalu memojokan namanya. Runtuhnya rezim Orde Baru telah membawa dampak yang positif terhadap perubahan iklim politik dan junalistik. Hal itu dibuktikan dengan

dihapusnya Departemen Penerangan yang diketuai oleh Harmoko, selaku menteri. Tidak ada lagi bentuk pengekangan ruang gerak terhadap media massa. Keadaan itu membuat kalangan jurnalis dengan mudah memberitakan kondisi pemerintahan tanpa ada bayang-bayang pembredelan. Demokrasi yang sesungguhnya telah terimplementasi dengan adanya kebebasan pers. Tantangan tidak berhenti ketika rezim Orde Baru telah runtuh. Reformasi telah memberikan arti kebebasan pers dan berpendapat. Maka dari itu, berbagai media pun bermunculan bak jamur di musim penghujan. Secara otomatis dengan variasi media yang semakin banyak, mengharuskan setiap media memiliki keunggulan untuk dijual kepada publik. Maka dari itu, Tempo mengandalkan dirinya sebagai media investigasi. Kekuatan argumentatif di setiap pemberitaanya menjadi nilai jual dan ladang bisnis tersendiri. Di balik judul pemberitaannya yang selalu mengundang kontroversi, Tempo tetaplah media yang pernah melakukan kekeliruan. Bentuk kekeliruan Majalah Tempo saat memberitakan iklan advertorial rencana pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran. Kesalahan teknis menjadi penyebabnya. Materi iklan menyalahi kode etik periklanan karena menjelek-jelekan pihak lain (hal.66). Hal tersebut secara otomatis melanggar standar baku etika periklanan dan ketentuan redaksi. Iklan tersebut berimplikasi terhadap keraguan kredibilitas para narasumber liputan Tempo. Dari kekeliruan tersebut, Tempo diberitakan menerima iklan senilai hampir Rp 500 juta. Kasus tersebut menimbulkan kesan bahwa Tempo sengaja “menjual� berita untuk mendapatkan iklan. Buku ini terdiri dari dua sub tema. Bagian yang pertama merupakan cerita selama 40 tahun yang menceritakan lebih ke historis. Pada bagian yang kedua merupakan pengalaman 15 tahun awak-awak Tempo itu sendiri. Penulisannya menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Isi buku berdasarkan berdasarkan pengalaman empiris para awak selama kurun waktu 40 tahun. Memberi sisi lain dari perjuangan Tempo ketika mereka dibredel dan harus memulai dari awal lagi. Di balik judul pemberitaannya yang selalu mengundang kontroversi, Tempo tetaplah sebuah media yang mengalami pasang surut dalam dunia jurnalistik. Selain itu juga memberi gambaran tentang bagaimana sikap jurnalis dalam menyikapi kebenaran. Sudah menjadi kewajiban dari jurnalis untuk memberitakan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Media berfungsi untuk menjembatani hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Tugas dari jurnalis ialah memberitakan yang seharusnya diberitakan tanpa ada unsur kepentingan. Seperti itulah dunia jurnalistik seharusnya dalam melakukan pemberitaan.[Maya]

31 Maret 2013

23


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.