JRPB Vol.2 No.1 Maret 2014 (preview)

Page 1

Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Â

Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem !"#$%&' ($(' )*)"%+' ,%-(&.,%-(&' /*$*&(+(%$' 0%$1' 2*#3%(+%$' 4*$1%$' +*3$(3' /*#+%$(%$' 4%$' 2(5-(-+*)6' 7%-3%,' 0%$1' 4(3(#()' )*#"/%3%$' ,%-(&' /*$*&(+(%$' 0%$1' 2*&")' /*#$%,' 4(/"2&(3%-(3%$' -*2*&")$0%' 4%$' +(4%3' 4%&%)' /*#+()2%$1%$' "$+"3' /"2&(3%-(' 4(' /*$*#2(+%$' &%($6' 8-(' $%-3%,' 4%&%)' 9"#$%&' ($(' )*#"/%3%$' +%$11"$1' 9%:%2' /*$"&(-6' ;5#*-/5$4*$-(')*$1*$%('(-('$%-3%,'4%/%+'&%$1-"$1'4(%&%)%+3%$'3*/%4%'/*$"&(-6' '

'

'

Susunan Pengurus Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem !"#$#%%&#%'($)$*'+' <*3%$'=%3"&+%-'>*3$5&51('?%$1%$'4%$'@1#5($4"-+#+('A$(B*#-(+%-'C%+%#%)' ;*+"%'?#51#%)'D+"4('>*3$(3'?*#+%$(%$' ' ,")$#'!"#-&#./#%'+' 0".&$'+'' E%,)%+'D%2%$(F'D6>?6F'C?6'G;*+"%H' ' 1#%%2.$'+' 8#6'I%,0%:%$'I%+"#'J4('C%#1%$%F'C6J$16' <#6J$16D"3)%:%+0F'D6>?6F'C6D(6' <#6'@$-%#F'D6?46F'C6?6F'C?46' D(#%9"44($'K%9('@24"&&%,F'D6>?6F'C?6' !535'D")%#-5$5F'D6>?6F'C?6' ;"#$(%:%$'L"$(%#+5F'D6>?6F'C?6' ' 3/.4$'5"6.$4/'+' ?#5M6'8#6'J35'N%-"3(F'C6@//6DO6F'?,6<6'G=%36'>*3$5&51('?%$1%$'4%$'@1#5($4"-+#('A7E@CH' ?#5M6'<#68#6'P(&(3'D"+(%#-5F'C6J$16'G=%36'>*3$5&51('?*#+%$(%$'AQCH' <#68#6N%)2%$1'D"-(&5F'C6@1#6DO'G=%36'>*3$5&51('?*#+%$(%$'ANH' ?#5M6'8#6'D":%#49(F'C6@//6DO6F?,6<6'G=%36'?*#+%$(%$'A7E@CH' ' ,")$#'7"8$96/'+' C"#%4F'D?6F'C?6' Q"0"/'C%,%#4,(%$'<:('?"+#%F'D6>?6F'C6D(6'GD*3#*+%#(-'8H' <(%,'@9*$1'D*+(%:%+(F'D>F'CJD6'GD*3#*+%#(-'88H' @-(,'?#(0%+(F'D6>?6F'C6DO6'GN*$4%,%#%H' @)"44($F'D6>?6FC6DO6'G@4)($(-+#%-(H' D"#0%'@24"&'C"++%&(2F'D6>?6FC6DO6'G@4)($(-+#%-(H' 7(R%#'@)(#F'D>6F'C>6FC6DO6'G@4)($(-+#%-(H' C"+%:%&&(F'D?'G@4)($(-+#%-(H' 1:$;$.'7"8$96/'+' ?#51#%)'D+"4('>*3$(3'?*#+%$(%$' =%3"&+%-'>*3$5&51('?%$1%$'4%$'@1#5($4"-+#('A$(B*#-(+%-'C%+%#%)' !&6'C%9%/%,(+'756ST'C%+%#%)F'UVWTXF'7>N' >*&/'Y'GZV[ZH'S\]U[]' J)%(&'Y'9#/2^/-+*/_"$#%)6%O6(4'


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Jurnal Ilmiah

Rekayasa Pertanian dan Biosistem Vol. 2 No. 1 Maret 2014 DAFTAR ISI Karakterisasi Kolektor Tenaga Surya Tipe Pelat Datar (Characterization of solar collectors flat plate type) Cahyawan Catur Edi Margana, Sukmawaty, M.Sumarsono, Mia Rizkawati

1-8

Evaluasi Kesuaian Tanaman Kopi di Sub DAS Batulanteh dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Land Evaluation of Coffe Plant in Batulanteh Watershed With Geograpich Information System (SIG)) Murad, Rahmat Sabani, Sukarjo

9-12

Desain Sistem Kendali Suhu dan RH Berbasis Logika Fuzzy Pada Pengeringan Biji Pala (myristica sp.) ERK Hybrid (Design of Temperature

13-19

and RH Control System Based on Fuzzy Logic In Nutmeg Seed Drying (Myristica SP) Hybrid ERK (Greenhouse Effect)) Guyup Mahardhian Dwi Puta , Sumarjan Rancang Bangun dan Uji Performansi Mesin Penghancur Kulit Buah Kakao (theobroma cacao) Untuk Pembuatan Briket (Design Cacao Machine and Performance Test for Bricket) Sirajuddin Haji Abdullah, Cahyawan Catur Edi Margana, Juliartini

20-28

Kajian Penggunaan Asap Cair Terhadap Mutu Ayam Bakar Taliwang (Study of Liquid Smoke Using on Taliwang Grilled Chicken Quality) Wiharyani Werdiningsih, Sri Widyastuti, Nazaruddin, Baiq Rien Handayani

29-35

Perancangan dan Performansi Sistem Penyiram Tetes Tekanan Fluida Rendah dengan Head Konstan Untuk Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens l.) Pada Polybag Plastik (Design And Performance Test of Droplet System of Watering With Low Pressure Fluid In Constant Head For (capsicum fruitescens l) in Polybag) Joko Sumarsono, Cahyawan Catur Edi Margana, Nurlaela Mardani

36-44

Kajian Perubahan Kadar Air Blending Kopi Arabika (Coffea arabica L) dan Robusta (Coffea canephora L) Selama Penyimpanan (Study of Moisture Content Changes In Arabika (coffea arabica l) and Robusta (coffea canephora l) Coffee Blends During Storage) Surya Abdul Muttalib, Joko Nugroho, Nursigit Bintoro

45-50


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

PENGANTAR REDAKSI Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas berkat Rahmat dan Karunia-Nya Jurnal Rekayasa Pertanian dan Biosistem (Jurnal RPB) Vol. 2 No. 1, Maret 2014 dapat diterbitkan sebagai media publikasi ilmiah baik berupa hasil penelitian maupun hasil kajian teoritik. Jurnal RPB terus berupaya menjaga eksistensi penerbitannya dan berharap dapat terus dijadikan media publikasi bagi semua pihak, bukan hanya bagi Dosen Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram, akan tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang meminati kajian-kajian ilmiah dalam bidang ilmu Teknologi Pertanian. Redaksi Jurnal RPB mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terbitnya jurnal ilmiah ini. Dekan beserta jajaran nya di lingkungan Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram yang terus mendorong terbitnya jurnal ini, secara khusus, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada civitas akademika Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram. Redaksi juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada peneliti yang telah bersedia menyebarluaskan informasi yang diperoleh melalui penelitian ke dalam Jurnal RPB. Terimakasih yang tak terhingga, redaksi sampaikan kepada para reviewer yang telah meluangkan waktu sehingga Jurnal edisi kali ini dapat terbit sesuai dengan waktu yang direncanakan Penghargaan kepada para peneliti/penulis yang telah menyumbangkan naskahnya untuk dipublikasikan diterbitkan pada jurnal ini. Semoga di edisi-edisi mendatang para peneliti dan penulis semakin intens menyumbangkan naskah hasil penelitian dan pemikirannya pada edisi-edisi berikutnya.

Dewan Redaksi,

 Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

KARAKTERISASI KOLEKTOR TENAGA SURYA TIPE PELAT DATAR Characterization of Solar Collectors Flat Plate Type Cahyawan Catur Edi Margana 1 , Sukmawaty 1 , M. Sumarsono 2 , Mia Rizkawati 1 1

Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram 2 Staff Ahli Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) Puspiptek Serpong, BPPT Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia E-Mail : caturcem5@gmail.com ABSTRACT

The research aimed to study the engineering analysis ( heat transfer ) that occured in flat plate solar collector has been implemented at the Center for Energy Technology ( B2TE ) Puspiptek Serpong as well as Farm Power and Macinery Laboratory, Faculty of Food and Agro-Industrial Technology, University of Mataram. Research methods included literature study (library study), collecting data of sizes ( dimensions ) of solar collector, measuring parameters on the collector technique and materials, and analyzing the heat transfer of air through the simulation, performance and validation of mathematical models . The results showed that the heat transfer that occurs was affected by the air velocity and the total heat loss that occurs as well as solar intencity, the comparison of actual and simulated exit temperature ERMS had a value of 6.58 % - 10 % with the error value large enough, Therefore that Ho rejected. While the thermal efficiency of the simulation and the actual value had ERMS at 4:07 % - 5:50 % with zero values are within 95 % CI thus Ho was accepted and stated appropriate mathematical models in determining the collector thermal efficiency. Keywords : Solar collectors , flat plate , characterization

ABSTRAK Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari analisis teknik (pindah panas) yang terjadi pada kolektor tenaga surya pelat datar telah dilaksanakan di Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) Puspiptek Serpong serta di Laboratorium Daya dan Mesin Pertanian, Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri, Universitas Mataram. Metode penelitian meliputi studi kepustakaan (library study), mengumpulkan data keseluruhan ukuran (dimensi) kolektor tenaga surya, melakukan pengukuran parameter-parameter teknik pada kolektor serta bahan material yang dipergunakan, dan menganalisis perpindahan panas udara melalui simulasi dan melakukan validasi dari model matematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pindah panas yang terjadi dipengaruhi oleh kecepatan udara dan rugi-rugi total panas yang terjadi serta intentitas matahari, perbandingan hasil temperatur keluar aktual dan simulasi mempunyai nilai ERMS sebesar 6,58% - 10% dengan nilai error yang cukup besar sehingga H0 ditolak. Sedangkan efisiensi termal simulasi dan aktual mempunyai nilai ERMS sebesar 4.07% - 5.50% dengan nilai nol berada dalam CI 95% sehingga H0 diterima dan model matematika dianggap sesuai dalam penentuan efisiensi termal kolektor. Kata kunci : Kolektor, pelat datar, karakterisasi

PENDAHULUAN Energi surya untuk pengering berasal dari pemanas udara radiasi matahari, udara panas

yang dihasilkan dimasukkan ke dalam ruang pengering dengan bantuan blower. Pipa hisap blower untuk menghisap udara panas dari atas sedang pipa tekannya di supplai ke dalam pipa  1 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 pipa pemanas ruang (biasanya pipa-pipa berada di lantai ruang pengering). Kelebihan pengering energi surya yaitu selama pengeringan bila terjadi hujan, bahan dapat dibiarkan di dalam alat, suhu dan kelembaban nisbi dikontrol, juga alat ini tidak membutuhkan bahan bakar dan dapat di buat dan dioperasikan dengan mudah (Sodha et al, 1987 dan Margana, 2002). Kolektor surya adalah penukar panas yang berfungsi menyerap energi surya dan mengubahnya menjadi energi panas. Serta kolektor ini merupakan komponen utama pada alat pengering tenaga surya (Duffie dan Beckman, 1980). Unjuk kerja kolektor sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik absorber, di samping itu unjuk kerja termal kolektor tersebut juga dipengaruhi oleh jenis/tipe kolektor, konfigurasi saluran udara, transmisivitas penutup atas kolektor, kecepatan udara dan dimensi kolektor. Komponen dasar dari kolektor pelat datar pemanas udara ada dua, yaitu : permukaan penyerap (absorber) yang menerima radiasi surya, dan saluran udara yang salah satu sisinya di batasi oleh absorber (Sumarsono, 1998). Menurut Sumarsono (1998) beberapa unsur yang mempengaruhi jumlah energi yang diserap oleh pelat absorber adalah : 1). Tingkat radiasi surya, semakin tinggi radiasi surya semakin besar energi yang terserap. Tingkat radiasi surya dapat bervariasi cukup besar dari suatu tempat ke tempat lain pada waktu-waktu yang berbeda sepanjang tahun, 2) Sudut antara sinar matahari datang dan permukaan pelat absorber. Secara ideal, permukaan absorber tegak lurus terhadap radiasi surya. Namun karena sudut datang sinar matahari bervariasi terhadap waktu disepanjang waktu, maka kondisi ideal tersebut tidak selalu dapat dipenuhi 3), Absortivitas permukaan absorber. Semakin tinggi absortivitas permukaan absorber semakin besar proporsi radiasi datang yang dapat diserap, 4) transmisivitas material penutup atas kolektor. Hal yang terpenting dari performance kolektor surya adalah analisis keseimbangan energi yang terjadi pada kaca, pelat penyerap, dan fluida yang mengalir didalamnya. Energi matahari yang terserap (S), memanaskan cover sampai temperatur kaca (Tc) dan diteruskan ke pelat sampai temperatur pelat (Tp). Energi ini dipindahkan dari pelat ke udara sekitar melewati hambatan yang berupa kerugian bawah (Ub) dan dipindahkan ke fluida pada temperatur masuk kolektor (Ti) melalui pindah panas konveksi (h1

dan h2) serta dipindahkan juga secara radiasi ke bagian bawah cover melalui pindah panas radiasi (hr). Energi dipindahkan ke cover dari fluida melalui gabungan konveksi dan radiasi (Ut). Temperatur keluar dari kolektor tenaga surya merupakan variabel untuk menunjukkan performansi kolektor tenaga surya yang dapat dimanfaatkan untuk pengeringan bahan hasil pertanian. Hal ini sesuai dengan ASHRAE Standard (1978), yang menyatakan bahwa kemampuan panas dari kolektor matahari dipengaruhi oleh bagian dari perolehan nilai efisiensi untuk seluruh kombinasi dari radiasi, temperatur lingkungan, temperatur masuk dan temperatur keluar. Adapun penelitian ini bertujuan untuk keperluan perancangan maupun scale up kolektor tenaga surya tipe pelat datar. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian adalah 1)Studi kepustakaan (Library Study), yaitu dengan cara mempelajari literatur- literatur sesuai dengan masalah yang dikaji yakni pindah panas pada kolektor tenaga surya 2)Mengumpulkan data keseluruhan dari ukuran (dimensi) kolektor tenaga surya 3)Melakukan pengukuran variablevariable teknik pada kolektor serta bahan material yang dipergunakan untuk mempelajari pindah panas udara pada kolektor tenaga surya tersebut, 4)Menganalisis perpindahan panas udara melalui simulasi dan melakukan validasi dari model matematika perpindahan panas udara yang terjadi. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Teknologi Energi (B2TE), BPPT, kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang dan Laboratorium Mekanisasi Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Mataram pada tanggal 9 s/d 29 Maret 2005. Pelaksanaan Penelitian Tahap Persiapan Alat. Persiapan alat dalam penelitian ini adalah melakukan kegiatan kalibrasi termokopel terhadap termometer dan peletakan alat pada tempat yang tepat.Tahap Pemeriksaan Alat. Pemeriksaan alat yang dilakukan adalah pemeriksaan terhadap kesiapan teknis kolektor dan pemeriksaan termokopel untuk mengantisipasi adanya kesalahan pengukuran. Â 2 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Tahapan Pengukuran Kolektor Surya Pengujian dilakukan pengukuran mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Langkah pengukuran sesuai dengan ASHRAE Standar (1978) sebagai berikut : 1. Blower dinyalakan dengan menggunakan panel listrik yang telah tersedia. 2. Semua sensor dihidupkan dan dihubungkan ke data logger agar dapat menyimpan data. Sensor yang digunakan adalah termokopel Pt-100 untuk mengetahui besarnya temparatur di 12 (dua belas) titik, ke 12 titik tersebut adalah : temperatur sekitar, isol, tempetaur sekitas wet , kecepatan udara, temperatur masuk kolektor, temperatur kolektor 1, temperatur kolektor 2, temperatur kolektor 3, temperatur keluar kolektor, temperatur pelat kolektor, dan temperatur kaca kolektor. Untuk mengurangi isol digunakan alat pyranometer, alat ini terhubung ke data logger dan untuk mengukur kecepatan angin menggunakan alat anemometer.

3. Setiap hari sensor yang telah terpasang duperiksa kembali, hal ini dilakukan untuk mengetahui bila terjadi kerusakan sensor atau pustusnya kabel sensor yang adapat menyebabkan hilangnya data. 4. Data logger merekam data setiap 10 menit dan data yang telah direkam disimpan dalam hardisk komputer yang kemudian dikonversi dalam bentuk tabel. 5. Blower dimatikan pada jam 18.00 WIB.

Tahap Pemodelan Matematik untuk Simulasi Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini antara lain sebagai berikut 1) Menyusun model matematik yang sesuai dengan keseluruhan sistem kolektor tenaga surya 2) Menentukan konstanta yang digunakan dalam penyusunan model matematika 3) Mengolah data dengan menggunakan Bahasa QuickBasic , sehingga dihasilkan print out. Tahap Pengujian Simulasi Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Melakukan simulasi variable yang diamati.

terhadap

variable-

2. Membandingkan hasil simulasi dan data aktual dengan menggunakan persamaan Kesalahan Root Mean Square sebagai berikut : Kebermaknaan persamaan hipotesis sebagai berikut : Ho : µSimulasi = µAktual µSimulasi - µAktual = 0 H1 : µSimulasi - µAktual ≠ 0

2

dilakukan

uji

Selanjutnya penerimaan atau penolakan Ho dilakukan dengan menghitung selang kepercayaan (confidence interval, CI) 95 % perbedaan : dimana : s.e.d = Standard Error Difference sd = Standar Deviasi n = Jumlah data Jika nilai ) (nol) berada dalam kepercayaan (CI), maka Ho diterima.

selang

HASIL DAN PEMBAHASAN Temperatur Keluar (To) Hasil pengamatan pengukuran dan perhitungan simulasi dengan kecepatan angin 11.76 m/s dan 5.88 m/s menggunakan data logger tipe MAC 19 (CR10) yang langsung dihubungkan dengan komputer secara lengkap. Nilai temperatur keluar yang diukur rendah pada pagi hari dan akan meningkat pada jam 10.00 s/d 13.00 kemudian akan mengalami penurunan kembali pada sore hari. Pola tersebut sesuai dengan pola yang disampaikan Srimulato dkk (1990) yang menyatakan bahwa profil suhu udara pengering dan suhu penjemuran per hari hampir sama dan sangat bergantung pada besarnya radiasi matahari. Pada pukul 7.00 suhu ruang pengering hampir sama dengan suhu lingkungan dan kemudian meningkat secara cepat pada tengah hari antara pukul 11.00-12.00, pada selang waktu tersebut radiasi matahari terukur antara 80047 Watt/m2. 3


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Dengan penyelesaian menggunakan pemprograman komputer dengan bahasa Quick Basic dan hasil run dari program komputer tersebut diperoleh data hasil simulasi temperatur keluar dari setiap waktu dengan selang waktu 10 menit. Grafik To vs waktu simulasi dan aktual diberikan pada Gambar 1 dan Gambar 2 :

Gambar 1. Kurva To vs waktu Simulasi dan Aktual Pengujian I

Gambar 2. Kurva To vs waktu Simulasi dan Aktual. Pengujian II Pada Gambar grafik To vs Waktu di atas menunjukkan bahwa dengan pengujian I dan II temperatur udara keluar hasil perhitungan secara simulasi (teoritis) tidak berbeda jauh dengan hasil aktual (pengukuran) dan kedua grafik tersebut mempunyai pola yang serupa. Pada pengujian I nilai temperatur keluar (To) yang diperoleh lebih tinggi dari nilai temperatur keluar (To) pada pengujian II, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan angin antara pengujian I dan pengujian II dimana pengujian I menggunakan kecepatan angin 11,76 m/s dan pengujian II menggunakan kecepatan angin 5,88 m/s. Sebagaimana dikemukakan oleh Suhanan (1999), bahwa bila kecepatan udara dinaikkan maka akumulasi energi yang terbawa oleh massa menjadi besar, disamping itu meningkatnya massa aliran pada penampang aliran tetap akan mengalami turbulensi yang semakin besar dan akan mengakibatkan naiknya angka koefisien perpindahan kalor konveksi.

Di samping itu hal yang menyebabkan variasi temperatur keluar (To) dari sebuah kolektor dipengaruhi oleh adanya kehilangan panas ke atas dan rugi-rugi panas, hal ini disebabkan terjadinya konveksi dan radiasi dari pelat penutup kaca ke permukaan dalam kolektor, yang kemudian panas ini dikonduksikan oleh pelat kaca ke permukaan luar kolektor dan selanjutnya diteruskan ke atmosfir secara konveksi dan radiasi. Sedangkan dari data hasil perhitungan kehilangan panas ke bawah pada kolektor ini mempunyai nilai yang relatif konstan sehingga isolator yang terbuat dari kayu (k=0,055 W/m2 K) tersebut dianggap cukup sempurna untuk mencegah terjadinya kehilangan panas kebawah yang disebabkan terjadinya konveksi melalui lapisan isolator dan selanjutnya panas dikonveksi dan diradiasi ke lingkungan sekitar kolektor. Isolator lain yang digunakan adalah glasswol (k=0,40 W/m2 K) dan alumunium pelat, dinding lubang masukan/keluaran dilapisi oleh isolator glasswol yang berbentuk seperti kapas dan kemudian dilapisi lagi oleh alumunium pelat (k=144 W/m2 K), sehingga dapat memperkecil terjadinya kehilangan panas pada kolektor tersebut. Jarak antara pelat penyerap dan kaca kolektor juga dapat mempengaruhi besar kecilnya kehilangan panas yang juga mempengaruhi temperatur keluar kolektor (To) serta besarnya nilai efisiensi. Semakin kecil jarak keduanya kehilangan panas yang terjadi akan semakin kecil pula dan akan meningkatkan temperatur kolektor karena panas yang dikumpulkan akan terjebak dalam ruang tersebut sehingga panas akan semakin tinggi. Hal ini dapat diperkuat dengan adanya pendapat dari Handoyo (2002), yang mengemukakan bahwa celah atau jarak antara pelat dengan kaca akan mempengaruhi besar kecilnya rugi-rugi panas yang terjadi, semakin besar celah atau jarak antara pelat dengan kaca penutup maka akan semakin besar pula nilai rugirugi panas yang terjadi. Pada kolektor ini jarak antara pelat dengan kaca adalah 15 cm sehingga kehilangan panas dan rugi-rugi panas yang terjadi tidak terlalu besar dan temperatur pelat yang terukur mempunyai nilai yang tinggi, hal ini didukung oleh Handoyo (2002), yang menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa pada jarak dari pelat ke kaca sebesar 20 mm menghasilkan temperatur pelat yang lebih tinggi dari jarak 25 mm dan 30 mm, hal ini diduga karena dengan semakin sempitnya celah molekul udara tidak dapat berpindah secara leluasa. Â 4 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur keluar kolektor (To) adalah temperatur pelat kolektor, dapat dilihat pada temperatur pelat akan selalu lebih tinggi dari pada temperatur kaca penutup, hal ini dikarenakan energi surya yang diserap pelat lebih banyak daripada yang diserap oleh kaca penutup. Apalagi umumnya pelat kolektor dicat hitam dan terbuat dari bahan dengan konduktivitas panas tinggi. Pada kolektor ini pelat yang digunakan terbuat dari seng yang dicat hitam, sehingga temperatur keluar yang dihasilkan pada kolektor ini mempunyai nilai yang tinggi. Akan tetapi karena temperatur pelat lebih tinggi dari temperatur udara sekitar kolektor, maka ada perpindahan panas yang tidak diinginkan dari pelat ke udara sekitar kolektor, hal ini membuat udara yang dialirkan dalam kolektor surya keluar pada temperatur lebih rendah dan akan menyebabkan terjadinya kehilangan panas. Selain itu dapat dilihat dari data hasil pengukuran di atas bahwa temperatur pelat kolektor tergantung pada intensitas atau radiasi matahari sehingga dapat mengakibatkan penurunan temperatur dan terjadinya temperatur yang tidak stabil biasanya dikarenakan oleh cuaca dan kecepatan angin sekitar kolektor yang selalu berubah-ubah. Kaca yang digunakan pada kolektor ini merupakan kaca tansparan dengan ketebalan 5 mm. Kaca yang digunakan juga dapat mempengaruhi besarnya To karena intensitas yang masuk dalam kaca tersebut langsung diserap dan dikumpulkan oleh pelat penyerap tetapi ada juga yang dipantulkan kembali ke atmosfir. Menurut Djamhoer dkk (1983), kaca dapat menjebak radiasi yang mempunyai panjang gelombang pendek secara efektif hal tersebut mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur keluar (To). Efisiensi Kinerja Efisiensi termal kolektor merupakan rasio antara energi yang ditransfer ke udara dengan energi radiasi surya yang datang dipermukaan kolektor, efisiensi ini juga merupakan efisiensi pengumpulan energi surya oleh kolektor, dalam penelitian ini efisiensi aktual diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan data pengukuran dan menggunakan persamaan 20 yang dinyatakan oleh perpotongan garis linier dengan sumbu tegak serta kemiringan garis yang dibandingkan dengan besarnya energi surya masuk. Sedangkan efisiensi simulasi diperoleh dari hasil iterasi pada data pengukuran dengan

menghasilkan nilai Tp dan To yang berbeda dengan nilai Tp dan To hasil pengukuran. Dari data hasil pengukuran dan perhitungan dapat dibentuk gambar grafik sebagaimana yang ditunjukan Gambar 3 dan 4. Grafik efisiensi simulasi mendekati grafik efisiensi aktual. Pada kedua grafik tersebut membentuk garis linier dan mempunyai kemiringan yang saling bersesuaian.

Gambar 3. Kurva Efisiensi vs (Ti-Ta)/Gt Simulasi dan Aktual. Pengujian I

Gambar 4. Kurva Efisiensi vs (Ti-Ta)/Gt Simulasi dan Aktual. Pengujian II Sedangkan dari data hasil pengukuran dan perhitungan diatas didapatkan bahwa dengan kecepatan 11.76 m/s nilai efisiensi yang paling tinggi pada tanggal 21 maret 2005 ( sebesar 61,4% untuk simulasi dan pada tanggal 18 Maret 2005 58,67% untuk aktual dan juga nilai efisiensi yang paling rendah pada tanggal 21 maret 2005 sebesar 21,08% untuk simulasi dan pada tanggal 21 maret 2005 sebesar 20,41% untuk aktual, sedangkan dengan kecepatan 5.88 m/s nilai efisiensi yang tertinggi pada tanggal 29 maret 2005 adalah 51% untuk simulasi dan 49,2% untuk aktual serta nilai efisiensi terendahnya adalah 8,7% untuk simulasi dan 7,3% untuk aktual. Menurut ASHRAE STANDARD (1978), nilai efisiensi suatu kolektor pelat datar tipis dikatakan baik bila mencapai nilai >70% dengan kecepatan udara antara 13 m/s sampai dengan 35 Â 5 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 m/s, sedangkan Fischer (1977), mengemukakan bahwa dari penelitian yang dilakukan Teledyne Brown Engineering tentang pengembangan pada sistem pengeringan tenaga surya untuk industri kacang kedelai dengan menggunakan pelat penyerap atau absorber, kolektor yang menggunakan panas matahari dengan luas kolektor 1208 m2 mendapatkan efisiensi dengan nilai rata-ratanya 52%. Sesuai data dari hasil pengukuran dan perhitungan yang menghasilkan nilai efisiensi tertinggi 61% untuk kecepatan 11,76 m/s dan 51% utuk kecepatan 5.88 m/s, termasuk dalam standar yang layak dan dapat dikategorikan kedalam kolektor yang digunakan untuk pengeringan beberapa hasil pertanian seperti pengeringan kacang kedelai. Beberapa hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya efisiensi suatu kolektor antara lain : kecepatan udara, intensitas matahari, dan lainlain. Dapat dilihat pada grafik bahwa nilai efisiensi dengan kecepatan 11,76 m/s mempunyai nilai efisiensi lebih tinggi dari nilai efisiensi dengan kecepatan 5,88 m/s, hal ini sesuai dengan pendapat Suhanan (1999), yang mengemukakan bahwa bila kecepatan udara dinaikkan maka akumulasi energi yang terbawa oleh massa menjadi besar, disamping itu meningkatnya massa aliran pada penampang aliran tetap akan mengalami turbulensi yang semakin besar dan

akan mengakibatkan naiknya angka koefisien perpindahan kalor konveksi. Didapatkan data hasil pengukuran dan perhitungan, semakin besar radiasi rata-rata matahari maka nilai efisiensinya akan semakin besar pula dan laju pengeringanpun akan semakin cepat, hal ini diindikasikan bahwa panas yang dihasilkan oleh kolektor memiliki perbandingan yang lurus dengan rata-rata radiasi. Validasi Model Matematika Pada pengujian kolektor tenaga surya ini baik hasil aktual maupun simulasi terlihat bahwa proses temperatur keluar aktual dan nilai efisiensi termal aktual dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan model matematika. Berikut ini adalah perbandingan nilai simulasi dan aktual pada temperatur keluar dan nilai efisiensi termal kolektor : Pada Tabel 1 tampak bahwa kesalahan relatif untuk temperatur keluar kolektor berada pada 6-10%. Hal ini menunjukkan bahwa H0 untuk temperatur keluar kolektor ditolak, artinya terdapat perbedaan antara To simulasi dengan To aktual. Perbedaan dan besarnya error yang diperoleh diduga pada proses simulasi belum dimasukkan kalkulasi untuk kerugian panas pada dinding samping kolektor dan pindah massa uap udara pada kolektor.

Tabel 1. ERMS Temperatur Keluar Simulasi dan Aktual

Tanggal

Rata-rata To Simulasi (°C)

18-3-05 20-3-05 21-3-05 29-3-05

32,72 36,30 35,81 35,09

Â

Rata-rata To Aktual (°C) 34,87 39,20 39,02 38,83

Selang Kepercayaan 95% s.e.d

1,3 1,7 1,8 2,1

Tabel 2 menunjukkan kesalahan relatif untuk efisiensi termal kolektor sekitar 4 - 5,5% dan nilai 0 (nol) berada dalam selang kepercayan 95% sehingga H0 untuk efisiensi termal kolektor diterima,

Bawah

Atas

0,85 1,20 1,41 1,64

3,45 4,60 5,01 5,84

ERMS (%)

6,58 7,42 8,3 10

artinya efisiensi simulasi sama dengan efisiensi aktual. Hal ini menunjukkan bahwa model matematik yang digunakan dianggap sesuai (valid).

 6  Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Tabel 2 : ERMS Efisiensi Termal Kolektor Simulasi dan Aktual

Rata-rata ηc Aktual (%)

s.e.d

Tanggal

Rata-rata ηc Simulasi (%)

18-3-05 20-3-05 21-3-05 29-3-05

40,66 42,19 41,23 36,44

39,22 40,08 39,14 35,26

3,31 3,55 2,96 3,47

Selang kepercayaan 95%

Gambar 5. Hubungan RH (%) dengan Temperatur keluar Kolektor (°C) Grafik di atas menunjukkan bahwa penurunan RH kolektor dipengaruhi oleh faktor temperatur kolektor yang mengikuti pola linier. Hal ini dikarenakan bila suhu udara ditingkatkan maka kelembaban nisbi akan menurun, dan bila suhu diturunkan maka kelembaban nisbi akan meningkat. Pada kelembaban udara yang rendah, laju penguapan dari bahan cukup tinggi, sebaliknya jika kelembaban udara tinggi maka laju penguapan air dari bahan akan rendah. Udara mulai mengembun bila kelembaban nisbinya mencapai 100%. Dari data penelitian diperoleh temperatur keluar rata-rata dengan kisaran 25,62°C s/d 45,01°C dan mempunyai RH 70% s/d 85%. KESIMPULAN Dari data hasil pengamatan dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut : 1. Proses pindah panas yang terjadi pada kolektor ini menghasilkan nilai efisiensi tertinggi 61% untuk kecepatan udara 11,76 m/s dan 51% untuk

Bawah

Atas

-1,87 -1,44 -0,87 -2,29

4,75 5,66 5,06 4,65

ERMS (%)

4,07 5,48 5,24 5,50

kecepatan 5,88 m/s. Hal ini memberikan indikasi bahwa kecepatan udara sangat mempengaruhi nilai efisiensi dari kolektor, yang menyebabkan terjadinya kehilangan panas baik ke atas maupun ke bawah dengan nilai rugi-rugi panasnya 6 s/d 10 W/ m2K. 2. Perbandingan hasil temperatur keluar aktual dan simulasi mempunyai tingkat kesalahan relatif sebesar 6,58% - 10% dengan nilai error yang cukup besar sehingga H0 ditolak. Sedangkan efisiensi termal simulasi dan aktual mempunyai tingkat kesalahan relatif sebesar 4.07% - 5.50% dengan nilai nol berada dalam CI 95% sehingga H0 diterima dan model matematika dianggap sesuai dalam penentuan efisiensi termal kolektor.

DAFTAR PUSTAKA

ASHRAE Standard, 1978. Methods of Testing to Determine the Thermal Performance of Solar Collectors. The American Society of Heating Refrigerating and Air-Conditioning, inc. New York. 52 p Djamhoer., A. Wahab. A., 1983. Matahari Sebagai Sumber Energi. Jurnal Penelitian Universitas Syah Kuala 7:45-47 Duffie, John A., William Beckman, 1980. Solar Engineering of Thermal Processes. John Wiley & Sons, inc. 380 p 7


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Fischer, P.N., 1977. Final Design Report For Aplications of Solar Energy to Industrial drying of Soy Beans. Department of Energy. 8-13 p. Washington DC. February, 28. Handoyo.E.A., 2002. Pengaruh Jarak Kaca ke Pelat terhadap Panas Yang diterima Suatu Kolektor Surya Pelat Datar. Jurnal Teknik Mesin 3(2) : 52-56 Margana, C,C.E., 2002. Inovasi Teknologi Hybrid Solar Dryer untuk Pengeringan Tembakau Virginia di Nusa Tenggara Barat, Laporan Riset Unggulan Kemitraan (RUK), KMNRT, Jakarta. Srimulato, Eddy. J. Amir, M. Silaban, T. Pass and W. Muhlbauer, 1990. Pemanfaatan Energi Matahari untuk Pengeringan Buah Kelapa dan Biji Kakao. Prosiding Seminar Nasional Pengering Komoditas Pertanian. Badan Penelitian danPengembangan

Pertanian. 165-173 h. Jakarta. 21-22 Suhanan D.E.A., 1999. Analisis Pengaruh Penggunaan Fin Terhadap Peningkatan Perpindahan Kalor Pada Alat Penukar Kalor Untuk Menyimpan Kalor Laten. Media Teknik Majalah Media Teknologi. 4 : 15-20 Sumarsono. M., 1998. Perancangan Dimensi Kolektor Datar Pemanas Udara Dengan Metoda Whillier. Prosiding Seminar Peningkatan Daya Saing Produk Kayu Melalui Pengembangan Teknologi Pengeringan. 107-116. Samarinda.

Lampiran 1 : Pengujian Kolektor Tenaga Surya Pelat Datar di B2TE BPPT (Kerjasama dengan PS Teknik Pertanian, Unram, Riset difusi teknologi Ristek)

8


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

EVALUASI KESUAIAN TANAMAN KOPI DI SUB DAS BATULANTEH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) Land Evaluation of Coffe plant in Batulanteh Watershed with Geograpich Information System (SIG) Murad 1 , Rahmat Sabani 1 , Sukarjo 2 1

Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram 2 Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah E-mail : muradfatepa@gmail.com ABSTRACT

Land degradation consequence utilization inappropriate causes depreciation watershed performance. Pull to interesting importance between land use for conservation and cultivation needs wise handling. Coffee gives good impact to conservation and beneficial to cultivate. Therefore land evaluation to coffee of importance done. The aim of this research that determines land evaluation for coffee at Batulanteh watershed with divider rainfall, land slope, temperature and soil depth with geography information system. Land evaluation analysis result shows that 0% S1 (very appropriate), 32.2% S2 (appropriate), 66.4% S3 (marginal appropriate) and 0.4% inappropriate, so that Batulanteh watershed can be developed coffee cultivation as land conservation. Keywords: Land Evaluation, coffee, Watershed, SIG ABSTRAK Degradasi lahan dapat menyebabkan penurunan kualitas DAS apabila tidak ditangani secara optimal sehingga perlu dilakukan penanganan lahan untuk konservasi dan pengolahan yang dilakukan secara bijaksana. Kopi adalah tanaman yang dapat memberikan dampak positif terhadap konservasi dan produk yang menguntungkan untuk di olah sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai evaluasi lahan untuk tanaman kopi. Tujuan dari penelitina ini adalah menentukan evaluasi lahan untuk kopi di DAS Batulanteh dengan parameter curah hujan, kemiringan lahan, suhu dan kedalaman tanah dengan menggunakan aplikasi GIS. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa evaluasi lahan di daerah DAS Batulanteh 0%s1 (sangat sesuai), 32,2% S2 (sesuai), 66.4% S3 (kurang sesuai) dan 0,4% (tidak sesuai). Jadi DAS Batulanteh dapat dikembangkan menjadi daerah perkebunan kopi sebagai lahan konservasi Kata kunci : evaluasi lahan, kopi, DAS, GIS

PENDAHULUAN Banjir yang terjadi di Sumbawa Barat baru-baru ini menyebabkan 800 ha sawah tenggelam, 70 rumah hanyut, 191 rumah rusak dan 2 jembatan rusak dengan total kerugian mencapat 2.5 milyar (Khalid, 2009). Kejadian tersebut salah satunya disebabkan karena degradasi hutan yang mengakibatkan rusaknya beberapa daerah aliran sungai (DAS). Salah

satu DAS yang mengalami degradasi yaitu DAS Batulanteh. Alih fungsi lahan hutan sebagai daerah resapan air menjadi lahan pertanian, terlebih penggunaannya tidak berbasis konservasi memperparah tingkat kerusakan DAS. Analisis kekritisan lahan menunjukkan bahwa 23,61% lahan berada pada tingkat sangat kritis dan kritis serta 56,37% semi kritis (Anonim, 2008). Kondisi tersebut memerlukan penanganan secepat mungkin. Â 9 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Untuk menekan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian sangat sulit dikarenakan ketergantungan masyarakat DAS terhadap sektor pertanian. Oleh karena itu perlu pendekatan yang memberikan win-win solution bagi masyarakat DAS. Salah satu pendekatan tersebut yaitu mengarahkan penggunaan lahan sebagai agroforestry. Salah satu komoditas yang memberikan dampak yang baik bagi konservasi yaitu tanaman kopi. Budiharsono dan Wijaya (2004) melaporkan bahwa besarnya run of pada areal yang ditanami kopi sebesar 3% sedikit lebih besar dari hutan yaitu 2,5%. Sehingga mengarahkan masyarakat DAS untuk menggunakan lahan

dengan tanaman kopi sangat tepat dari sisi konservasi selain menguntungkan juga dari sisi finansial. METODOLOGI PENELITIAN Evaluasi Lahan merupakan suatu proses penilaian suatu lahan sehingga sesuai dengan kondisinya pada penggunaan-penggunan tertetentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Faktor pembatas evaluasi lahan tanaman kopi untuk keperluan analisis ini dibatasi pada curah hujan, temperature, solum tanah, kelerengan dan tingkat bahaya erosi.

Tabel 1. Kesesuaian lahan masing-masing faktor pembatas di Sub Das Batulanteh No

Faktor Pembatas

1

Curah Hujan(mm)

2 3

Solum Tanah (cm) Suhu (oC)

4

Kelerengan (%)

S1 2000-3000 > 100 22-25 < 8%

Kesesuaian Lahan S2 S3 1750-2000; 1500-1750; 3000-3500 3500-4000 100-75 75-50 19-22; 25-28 28-32 16-30%; 168-16% 50%

N < 1500; >4000 < 50 < 19 ; > 32 > 30%; > 50%

Sumber : Djaenudin et al, 2003 Data yang diperlukan untuk analisis meliputi peta sebaran pos hujan beserta data rata-rata curah hujan tahunannya atau peta isohyet hujan, peta ketinggian tempat, solum tanah, kelerengan dan tingkat bahaya erosi Das Batulanteh. Kriteria persyaratan penggunaan/karakteristik lahan untuk tanaman kopi mengacu pada Djaenudin et al (2003). Berdasarkan kriteria tersebut, persyaratan penggunaan/karakteristik lahan untuk tanaman kopi robusta seperti disajikan pada tabel . Data suhu wilayah didekati dengan persamaan Braak (1928), yang menyatakan bahwa semakin tinggi tempat, semakin rendah suhu udara rata-ratanya dan hubungan ini dituliskan sebagai: 26,3 C - (0,01 x elevasi(meter) x 0,6 C)........1) Analisis kesesuaian lahan menggunakan SIG dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Melakukan proses reklasifikasi kesesuaian lahan berdasarkan curah hujan, solum tanah, suhu dan kelerengan lahan

berdasarkan persyaratan yang dikemukakan oleh Djaenudin et al, 2003. 2. Melakukan overlay atau menumpangtindihkan keempat peta faktor pembatas dengan metode aritmatik sehingga diperoleh peta kesesuain lahan untuk tanaman kopi. 3. Untuk mengetahui luas lahan masingmasing kesesuaian lahan dilakukan dengan fasilitas xtool. HASIL DAN PEMBAHASAN Sub DAS Batulanteh terdiri dari 3 buah sungai utama yaitu sungai Setongo, sungai Sampa, dan sungai Batulante yang bertemu pada sungai Sumbawa dan merupakan pemasok air untuk Kota Sumbawa yang mengalir melewati tengah kota Sumbawa. Sub Das Batulanteh berada di wilayah administrasi Kecamatan Moyo Hulu, kecamatan Unter Liwis dan Kecamatan Batulanteh. Desa yang dominan berada dalam Sub Das Batulanteh yaitu Desa Batudulang, Desa Kelungkung, Â 10 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Desa Sempe, Desa Mokong, Desa Kerekeh dan Desa Pelat. Berdasarkan analisis peta tata guna lahan tahun 2007 dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sumbawa dan analisis spasial, penggunaan lahan pada daerah aliran sungai Batulanteh didominasi oleh hutan seluas 8.720,325 ha (50,78 %) dan semak belukar seluas 5.831,861 ha (33,96 %), sedangkan lahan yang dimanfaatkan sebagai tegalan seluas 1.748,233 ha (10,18 %). Luas hutan tersebut semakin

lama semakin menyusut karena konversi lahan menjadi daerah budidaya sehingga akan mengganggu konservasi tanah dan air di DAS tersebut (Anonim, 2008). Hasil analisis faktor pembatas kesesuaian lahan untuk tanaman kopi robusta yang meliputi curah hujan, suhu, kelerengan dan ketebalan solum tanah dengan mempergunakan SIG disajikan pada tabel 2 berikut :

Tabel 2. Kesesuaian lahan masing-masing faktor pembatas di Sub Das Batulanteh Klas Kesesuaian Lahan Sangat sesuai

Hujan Luas

Ketebalan Solum %

Luas

%

Suhu Luas

Kelerengan %

Luas

%

0

0

3755,0

21,9

0,0

0,0

1929,6

11,2

Sesuai

8480,2

49,4

13183,0

76,8

4846,2

28,2

2827,3

16,5

Cukup Sesuai

1590,7

9,3

37,0

0,2

12326,8

71,8

11904,9

69,3

Tidak sesuai 7102,2 Sumber: Analisis Data 2009

41,3

198,0

1,1

0,0

0,0

511,2

2,0

Hasil analisis pada tabel 2 menunjukkan bahwa kawasan sub Das Batulanteh memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman kopi untuk masing-masing pembatas. Kesesuaian kelerengan lahan 98% berada pada rentang cukup sesuai – sangat sesuai dan hanya 2% yang tidak sesuai. Kesesuaian suhu 100% lahan berada pada rentang cukup sesuai – sesuai. Kesesuaian tebal solum tanah 98,9% berada pada rentang cukup sesuai – sangat sesuai. Sedangkan kesesuaian curah hujan prosentase lahan yang tidak sesuai cukup besar yaitu 41,3% sedangkan 58,7% berada pada rentang cukup sesuai – sesuai.

Untuk mendapatkan kesesuaian lahan dengan keempat pembatas tersebut dilakukan overlay dengan metode aritmatik sehingga diperoleh kesesuaian lahan Sub Das Batulanteh untuk tanaman kopi seperti disajikan pada Gambar 1. Dari Gambar 1. menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Sub Das Batulanteh berada pada rentang cukup sesuai – sesuai untuk tanaman kopi. Hanya 0,4% yang tidak sesuai untuk tanaman kopi dan terletak di desa Kerekeh. Dengan demikian tanaman kopi layak untuk dikembangkan di Sub Das Batulanteh ditinjau dari segi kesesuaian lahan.

Gambar 1. Hasil analisis kesesuaian lahan tanaman kopi Sub DAS Batulanteh 11


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Dilihat dari masing-masing desa yang

luasan kesesuaian lahan masing-masing desa

dominan berada dalam sub das Batulanteh

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Kesesuaian lahan per desa yang berada di Sub Das Batulanteh Kesesuaian Lahan Sangat sesuai

Batudulang (ha) 0

Kelungkung (ha) 0

Sempe (ha) 0,0

Mokong (ha) 0,0

Kerekeh (ha) 0,0

Pelat (ha) 0,0

Sesuai

2215,4

670,5

1867,3

140,6

452,1

241,7

Cukup Sesuai

1261,1

1578,6

2399,7

2389,2

2934,1

498,1

0,0

0,0

69,7

0,0

Tidak sesuai Sumber: Analisis Data 2009

0,0

Hasil analisis per desa pada Tabel. 3 serta secara visual pada Gambar 1. menunjukkan bahwa Desa Mokong dan Desa Sempe memiliki lahan yang kesesuaiannya bernilai sesuai paling besar. Secara topografis Desa Mokong dan Desa Sempe memiliki ketinggian tempat yang lebih tinggi sehingga praktek konservasi dalam pengelolaan lahan harus diutamakan. Terkait dengan kemampuan tanaman kopi dalam menahan aliran permukaan (Budiharsono dan Wijaya, 2004) maka pengembangan budidaya kopi di kedua desa tersebut saling bersambut. Dari sisi konservasi dapat terpenuhi dan dari sisi ekonomis (ketergantungan masyarakat terhadap lahan) tidak terabaikan. Selain di Desa Mokong dan Desa Sempe, pengembangan budidaya kopi juga dapat dilaksanakan. Namun demikian karena tingkat kesesuaiannya dominan pada skala S3 (cukup sesuai), perlu dukungan dari pemerintah dari instansi terkait untuk mengembangkannya. KESIMPULAN Kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di Sub DAS Batulanteh yaitu 0% klas S1(sangat sesuai), 32.2% klas S2 (sesuai), 66.4% klas S3 (cukup sesuai) dan 0.4% klas N (tidak sesuai), sehingga Sub DAS Batulanteh layak untuk dikembangkan budidaya tanaman kopi untuk mencegah degradasi lahan dan memperbaiki lahan

0,0

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008. Laporan Baseline Data Sosial Ekonomi dan Biofisik (Need Assesment) Program Konservasi Kabupaten Sumbawa NTB – WRMP 2008. Tidak dipublikasikan. Braak, C. 1928. The Climate of The Netherlands Indies. Proc. Royal Mogn. Meteor. Observ. Batavia, nr. 14. pp. 192. Budiharsono, S. & K. Wijaya, 2004. Praktek Konservasi dalam Budidaya Kopi Robusta dan Keuntungan Petani. Agrivita, 26 (1),126-138. Djaenudin, D., Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama tahun 2003, ISBN 979-947425-6. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia. Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Menejemen Sumber Daya Lahan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. hal. 20 Khalid, S. 2009. Kerusakan Akibat Banjir di Lombok dan Sumbawa Barat, http://lomboknews.com/2009/01/12/ke rusakan-akibat-banjir-di-lombok-dansumbawa-barat/ diakses 16 Februari 2009.

12


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

DESAIN SISTEM KENDALI SUHU DAN RH BERBASIS LOGIKA FUZZY PADA PENGERINGAN BIJI PALA (Myristica sp.) ERK HYBRID Design of Temperature and RH Control System Based on Fuzzy Logic In Nutmeg Seed Drying (Myristica SP) Hybrid ERK (Greenhouse Effect) Guyup Mahardhian Dwi Putra 1, Sumarjan 2 1

Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram 2 Fakultas Pertanian, Universitas Mataram E-mail: guyup.mahardhian@yahoo.co.id ABSTRACT

ERK (Greenhouse Effect) Hybrid dryer is a drying machine which uses solar energy and biomass as heat source. The main problem of this type of dryer is in fluctuation of drying air temperature and humidity. This fluctuation may cause the ineffectiveness in energy consumption as well as the quality degradation. These problems can be solved through an appropiate controlling method. One of controlling method which can be used is fuzzy logic control. In this research fuzzy logic control is arranged from four inputs, i.e temperature error, RH error, and error rate of each. Action of the controlling system is fan rotation to control temperature and RH. The control system designed in this research has component involving microcontroller, SHT11 censor, LM 35 censor, and DC driver motor. Testing of fuzzy controlling system performed at 40oC set point produces average temperature of 40.75oC with deviation 2.66 oC, whereas for set point of 45% RH gains average RH of 45.67% with deviation 8.15 %. The controling can also save the electrical energy consumption up to 3109 Wh or 32% of without the controlling system. Keyword : Drying, fuzzy logic control, Green House Effect (ERK) hybrid, microcontroller ABSTRAK Pengering ERK Hybrid merupakan tipe mesin pengering yang memanfaatkan energi surya dan biomassa sebagai sumber panasnya. Kendala ERK hybrid adalah tidak efektifnya penggunaan energi mencakup energi listrik dan energi biomassa selama proses pengeringan serta keadaan cuaca yang berfluktuatif. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan melalui metode pengendalian, salah satu metode pengendalian yang dapat digunakan adalah kendali logika fuzzy. Kendali logika fuzzy disusun dari empat buah input yaitu error suhu, error RH dan laju errornya masing-masing. Proses Fuzzy akan menghasilkan keluaran berupa putaran kipas untuk mengendalikan suhu dan RH. Peralatan yang digunakan adalah mikrokontroler, Sensor SHT11, sensor LM35 dan driver motor DC. Pengujian sistem kendali fuzzy dengan beban pada set point suhu 40 oC menghasilkan suhu rata-rata 40,77 oC dengan deviasi 2,66, sedangkan untuk set point RH 45 % menghasilkan RH ratarata 45,67 % dengan deviasi 4,19. Pengeringan berlangsung selama 70 jam dengan konsumsi listrik 13,2 W/jam dan efisiensi pengeringan 5%. Keyword : Pengeringan, kendali logika fuzzy, ERK hybrid, mikrokontroler.

PENDAHULUAN Pala (Myristica sp.) merupakan salah satu komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pala dipanen dalam bentuk biji, fuli, dan daging buahnya. Sebelum

dipasarkan, biji pala dijemur hingga kering setelah dipisah dari fulinya. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air dalam bahan yang dapat merusak mutu dari biji pala tersebut sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Drazat, 2007) 13


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Pengeringan buatan ERK hybrid adalah metode pengeringan yang dalam operasi pengeringannya menggunakan bantuan alat pengering dengan cahaya dan biomassa sebagai sumber panasnya (Nelwan, 2005). Pengeringan biji pala dengan alat pengering ERK hybrid diharapkan dapat mempercepat proses pengeringan dan mendapatkan hasil yang lebih baik daripada pengeringan langsung dibawah sinar matahari. Dewasa ini kendala ERK hybrid adalah tidak efektifnya penggunaan energi mencakup energi listrik dan energi biomassa selama proses pengeringan serta kemungkinan penurunan kualitas bahan ketika suhu udara tidak berpotensi. Kendala lain adalah karakter energi surya yang berfluktuatif dan pengumpanan biomassa. Upaya untuk menjawab permasalahan tersebut diterapkan sistem kendali dengan basis logika fuzzy. Sistem kendali dengan basis logika fuzzy merupakan salah satu alternatif sistem kendali yang sederhana, dimana pada sistem kendali logika fuzzy tidak memerlukan pengetahuan tentang parameter-parameter numerik dari sistem (Darjat, 2008). Pengendalian berbasis logika fuzzy juga dapat diterapkan untuk mengurangi konsumsi listrik karena logika fuzzy dapat menerapkan prinsip-prinsip pengaturan tegangan masukan, pengaturan arus, atau pengaturan sudut fase. Adanya pengaturan tersebut dimungkinkan penghematan energi listrik (Purwaningrum, 2007). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk melakukan perancangan dan pengujian sistem kendali udara pengering didalam pengering ERK hybrid. Tujuan khususnya; (1) Merancang perangkat keras kendali suhu dan RH udara pengering, (2) Merancang perangkat lunak sistem kendali dengan logika fuzzy berbasis mikrokontroler, (3) Melakukan uji sistem kendali yang telah dibangun melalui uji performansi sistem pengering secara keseluruhan. METODOLOGI PENELITIAN Perancangan Alat Blok diagram perancangan perangkat keras secara keseluruhan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Perangkat keras dirancang untuk membentuk sistem pengaturan temperatur dan pendeteksian tingkat

kelembaban pada alat pengering biji pala dengan menggunakan kendali logika fuzzy. Titik pengendalian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Rancangan sistem kontrol suhu dan RH

Gambar 2. Titik Pengendalian Sistem kendali fuzzy didisain dalam satu papan akrilik berukuran 50 cm x 50 cm dengan menggunakan 3 buah trafo sebagai sumber catu daya. Trafo 2 A digunakan sebagai sumber catu daya untuk DT51 Petrafuz ver 3.3, DT51 Low Cost Micro Sistem ver 2.2 dan modul lain seperti LCD, keypad, sensor SHT 11, sensor LM35 DZ, modul I2C ADDA, modul SPC DC motor dan modul EMS 30 A H-bridge. Trafo 5 A digunakan sebagai sumber catu daya untuk kipas DC. Fungsi dari Mikrokontroler DT51 petrauzz dan Low cost adalah untuk menulis bahasa program yang akan mnegendalikan modul-modul yang lain, LCD berfungsi untuk menampilkan pembacaan sensor SHT11, I2C ADDA berfungsi untuk mengubah sinyal analog menjadi digital, SPC DC motor 14 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 berfungsi sebagai driver kipas AC dan EMS 30 A H-Bridge berfungsi untuk memperkuat arus menuju beban. Algoritma Fuzzy Basis aturan berisi aturan-aturan fuzzy yang digunakan untuk pengendalian sistem. Aturan ini berbentuk ‘JIKA–MAKA’ atau IFTHEN (Ardiansyah, 2000). Aturan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 25 aturan. Fungsi keanggotaan suhu dan RH dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4, sedangkan aturan kendali logika fuzzy dalam bentuk matrik pengambilan keputusan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. NB

NS

Z

PS

PB

1 E/dE

0

o

-­‐50

o

-­‐25

o

0

25 o

suhu

o

50

Gambar 3. fungsi keanggotaan suhu NB

NS

Z

PS

PB

E/dE -­‐60%

-­‐30%

0 %

30%

60%

RH

Gambar 4. fungsi keanggotaan RH Tabel 1. Matrik pengambilan keputusan kendali suhu

dError

Error NB

NS

Z

PS

PB

NB

Z

Z

Z

NB

NS

NS

Z

Z

NB

NS

PS

Z

NB

NB

NS

PS

PS

PS

NB

NS

PS

PB

PB

PB

NS

PS

PB

PB

PB

dError

Tabel 2. Matrik pengambilan keputusan kendali RH NB

NS

NB

PB

PB

NS

PB

Z PS PB

Error Z

PS

PB

PB

PS

NS

PB

PS

NS

NB

PS

PS

NS

NB

NB

PS

NS

NB

Z

Z

NS

NB

Z

Z

Z

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Awal Sebelum pengujian dengan sistem kendali dilakukan perlu dilakukan pengujian awal untuk memperoleh performansi sistem kendali yang paling baik. Pengujian awal ini berupa pengaturan kecepatan kipas 2 (tungku) dan pengaturan kipas 1 (heat exchanger). Hubungan Kecepatan Putar Kipas 2 dengan Suhu Ruang Kipas 2 berfungsi untuk menaikkan suhu dalam ruang pengering. Jika suhu ruang pengering terlalu rendah dibawah set point maka putaran kipas akan semakin cepat. Namun, jika putaran kipas terlalu cepat berakibat turunnya suhu dalam ruang pengering. Hasil dari pengujian pada putaran kipas dengan nilai PWN 230 menghasilkan suhu ruang rata-rata 37.95 oC selama 55 menit sedangkan putaran kipas dengan nilai PWM 200 menghasilkan suhu ruang rata-rata 38.12 o C selama 50 menit. Hasil dari dua kecepatan putar tersebut maka pada pengujian dengan sistem kendali akan digunakan putaran kipas minimum dengan nilai PWM 230 karena dengan nilai PWM 230 waktu yang diperlukan bahan bakar biomassa habis terbakar lebih lama dibandingkan dengan nilai PWM 200. Pengujian selanjutnya menggunakan variasi putaran kipas dengan nilai PWM 150 dan putaran kipas dengan nilai PWM 100. Putaran kipas dengan nilai PWM 150 menghasilkan suhu ruang rata-rata 39.92 oC selama 30 menit sedangkan putaran kipas dengan nilai PWM 100 menghasilkan suhu ruang rata-rata 37.05 o C selama 20 menit. Berdasarkan data pengujian tersebut maka pada pengujian dengan sistem kendali digunakan putaran kipas maksimum dengan nilai PWM 150 karena menghasilkan suhu yang lebih tinggi dan memiliki waktu yang lebih lama saat bahan bakar biomassa habis terbakar dari putaran kipas dengan nilai PWM 100. Hubungan Kecepatan Putar Kipas 4 (outlet) dan Kipas 1 (heat exchanger) dengan Suhu Ruang Suhu udara pada siang hari cenderung tinggi jika cuaca cerah. Hal ini disebabkan adanya radiasi matahari. Semakin tinggi radiasi matahari maka akan semakin tinggi pula suhu 15


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 lingkungan yang akan mengakibatkan suhu udara dalam ruang pengering akan lebih tinggi dari suhu lingkungan. Cara untuk menurunkan suhu pada ruang pengering adalah dengan menambah kipas 1 pada heat exchanger seperti pada Gambar 5 berikut.

40 KS_out

20 0

20

KS_in 40 Menit ke-­‐

KHE_out 60

80

Keterangan : KS_out = putaran kipas 4 ke lingkungan KS_in = putaran kipas 4 ke ruang pengering KHE_out = putaran kipas 1 ke lingkungan Gambar 5. Hubungan kecepatan putaran kipas dengan suhu ruang Kipas ini akan beroperasi pada siang hari guna menurunkan suhu jika suhu dalam ruang pengering mencapai diatas 50 oC. Dari pengujian dengan menggunakan kipas 1 dapat menurunkan suhu rata-rata 36.35 oC dari 49.34 o C. Pengujian Kontrol Tanpa Beban

100

Pengujian tanpa beban dilakukan dengan melihat pergerakan suhu udara pengering. Pengujian berlangsung dari pukul 11.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB dengan set point 45 o C.

50 RH ruang

0 0

60 Suhu (oC)

RH (%)

Suhu (oC)

60

38.3 oC dan suhu yang tertinnggi adalah 54.67 o C. pada peneliian ini suhu dijaga agar tidak lebih dari 55 oC karena suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan minyak atsiri dalam biji pala akan menguap. Suhu rata-rata ruang yang dicapai pada pengujian kosong dengan kontrol adalah 43.89 oC dengan deviasi 2.57. Algoritma fuzzy yang diterapkan dalam pengujian ini mampu menurunkan suhu mendekati set point, namun suhu tidak pernah dibawah set point siang hari, hal ini diduga adanya radiasi matahari yang membantu meningkatkan suhu hingga diatas 50 oC ditambah konsumsi biomassa sebagai bahan bakar tambahan untuk meningkatkan suhu. Algoritma fuzzy pada malam hari dapat dikatakan lebih mendekati set point, hal ini dikarenakan sumber panas hanya berasal dari bahan bakar biomassa sehingga suhu yang dicapai tidak terlalu tinggi. Seiring dengan peningkatan suhu udara maka secara alamiah kelembaban udara relatif akan menurun dan mancapai puncaknya pada jam yang sama dengan nilai RH terendah 32.2% dan rata-rata RH dalam ruang pengering 43.43% dengan deviasi 5.42. Secara umum kondisi udara yang panas dan kering menyebabkan nilai RH udara lebih rendah dari acuan (set point) sebesar 45 % sebagaimana terlihat pada Gambar 7 berikut

200

400 Menit ke-­‐

RH lingk 600

800

.

Gambar 7. Sebaran RH pada ruang pengering

40 20 0

200 Menit 400 ke-­‐ suhu ruang

600

800

suhu lingk

Gambar 6. sebaran suhu pada ruang pengering Gambar 6. menunjukkan grafik perubahan suhu dari siang hingga malam. Suhu pada siang hari cenderung lebih tinggi daripada suhu pada malam hari. Hal ini disebabkan karena ada energi tambahan yaitu radiasi matahari yang membantu menaikkan suhu pada ruang pengering. Suhu terendah yang dicapai adalah

Sistem kendali logika fuzzy dalam kasus kondisi RH yang rendah ini akan menyebabkan putaran kipas penghembus udara keluar ruangan berputar dengan lambat. Pengujian ini tidak menitikberatkan pada kondisi RH yang mendekati set point, jika nilai RH lebih rendah dari set point akan semakin baik dalam proses pengeringan tidak perlu ada upaya untuk meningkatkan nilai RH mendekati set point, namun jika RH berada diatas set point maka perlu ada upaya untuk menurunkan nilai RH hingga mendekati nilai set point. Pergerakan RH udara hanya akan meningkat jika terjadi kondisi dimana 16


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Pengujian Kontrol dengan Beban

Suhu (oC)

Pengujian pengeringan dengan logika fuzzy dilakukan pada beban biji pala dengan berat 75 kg dengan kadar air awal rata-rata 80%bb dan akan dikeringkan hingga kadar air akhir 10% bb. Pengujian dimulai pada pukul 14.00 WIB dan berlangsung selama 70 jam dengan set point suhu 40 oC. Sebaran suhu selama pengeringan berlangsung dapat dlihat pada Gambar 8 berikut 50

25 0

20

layer bawah

Jam 40 Ke-­‐ layer tengah

60

80 layer atas

.

Gambar 8. Sebaran Suhu Ruang Pengering Tiap Layer Gambar 8 menunjukkan sebaran suhu tiap layer dalam ruang pengering dimana layer bawah memiliki rata-rata suhu 40.49 oC, layer tengah memiliki rata-rata suhu 40.84 oC dan layer atas memiliki rata-rata suhu sebesar 40.93 oC. Ketiga layer jika dirata-ratakan akan memiliki nilai rata-rata suhu ruang pengering sebesar 40.75 oC dengan deviasi 2.66. Suhu maksimum yang dicapai sebesar 48.25 oC dan suhu minmum sebesar 32.93 oC. Suhu yang berkisar 40.75 oC dapat dikatakan telah mendekati set point yang di set pada 40 oC. Respon awal logika fuzzy pada pengendalian ini tidak dapat terlihat karena pengujian dimulai pada pukul 14.00 WIB dimana suhu pada saat itu tinggi sehingga respon awal logika fuzzy untuk mencapai set point tidak terlihat. Kontrol RH dengan bahan menghasilkan nilai yang lebih berfluktuatif daripada kontrol suhu seperti dapat dilihat pada Gambar 9.

RH (%)

100 50 0 0

20

40 Jam Ke-­‐

Layer Bawah

60

80

Layer Atas

Gambar 9. Sebaran Suhu Ruang Pengering Tiap Layer Sebaran nilai RH pada pengujian biji pala dengan kontrol sangat berfluktuatif dari awal pengujian hingga akhir pengujian dengan set point 45 %. Hal ini disebabkan karena pengujian yang dilakukan adalah mengkondisikan nilai RH agar tidak terlalu tinggi, semakin rendah RH dalam ruang pengering maka akan semakin baik sehingga tidak ada proses untuk menaikkan nilai RH dalam ruang pengering. Rata-rata RH dalam ruang pengering berkisar 45.67%. Pada awal pengujian dapat dilihat nilai RH sangat tinggi mencapai 70.25%, tingginya nilai RH ini disebabkan pada awal pengujian nilai kadar air biji pala masih sangat tinggi berkisar 79%bb. Namun, semakin lama nilai RH menunjukkan pola menurun dalam ruang pengering yang berarti kadar air dalam bahan semakin berkurang dan pada jam ke-50 nilai RH cenderung untuk mendekati set point. Penurunan Kadar Air Biji Pala Bahan yang dikeringkan dalam percobaan ini adalah biji pala dengan tempurung berjumlah 75 kg berumur ± 4 bulan sejak mulai berbunga, disebar ke dalam 36 rak dengan beban masing-masing 2 kg. Sampel penurunan kadar air diukur setiap nilai waktu 1 jam. 100

Kadar air bahan (% bb)

pemanasan udara tidak cukup (suhu udara turun maka RH akan naik). Kondisi lain yang akan menyebabkan nilai RH udara meningkat adalah adanya obyek yang menyumbang uap air ke udara dalam ruang pengering. Kondisi ini akan terjadi jika ada bahan yang dikeringkan sehingga kandungan air bahan akan pindah ke udara sebagaimana konsepsi pengeringan itu

70 40 10 0

20

layer bawah

40 60 jam ke-­‐

layer tengah

80

100

layer atas

Gambar 10. Penurunan kadar air biji pala pada tiap layer Gambar 10 menunjukkan pola penurunan kadar air dimana kadar air awal bahan adalah berkisar 77.72%bb dan 17


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Konsumsi Energi Selama Pengeringan Konsumsi dan porsi masing-masing jenis energi berupa listrik, biomassa dan surya pada pengeringan ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Konsumsi energi selama pengujian Sumber energi Surya Biomassa Listrik Total

Jumlah (MJ) 393.21 2342.78 9.98 2745.96

Porsi (%) 14.32 85.32 0.36 100

Penelitian Tahir, 2009 memperlihatkan penggunaan energi terbesar pada biomassa yaitu sebesar 85.2 %. Pada penelitian ini juga menunjukkan energi biomassa berupa bahan bakar biomassa menempati porsi terbesar yaitu 85.51% dengan laju bahan bakar 2.06 kg/jam. Energi terbesar setelah biomassa berasal dari energi surya 14.35%. Konsumsi energi terkecil pada pengujian ini adalah energi listrik sebesar 0.14%. Energi listrik ini dibutuhkan untuk menggerakkan kipas. Sistem kendali logika fuzzy memberikan peran penting dalam penghematan penggunaan energi listrik. Gambar 11 menunjukkan pola konsumsi energi listrik selama proses pengeringan berlangsung dengan kendali logika fuzzy selama 70 jam.

konsumsi listrik (Wa=.jam)

50 25 fuzzy

0 0

tanpa fuzzy

20

40 Jam ke-­‐

60

80

60

80

(a) konsumsi listrik (Wa=.jam)

dikeringkan dengan suhu konstan rata-rata 40.77 oC. Hasil dari pengeringan tersebut selama 70 jam adalah kadar air bahan menjadi berkisar 14.46%bb atau dengan kata lain penurunan kadar air berlangsung 3.84%bk/jam. Lambatnya laju pengeringan yang berlangsung disebabkan karena biji pala yang dikeringkan memiliki tempurung yang lebih tebal sehingga biji pala dalam tempurung sulit untuk dikeringkan pada suhu set point 40 oC, begitu pula dengan uap air dalam biji akan sulit keluar karena terhalang tempurung. Tebal nya tempurung menyebabkan kadar air biji pala sulit untuk mencapai 10%bb sehingga pada percobaan ini pengeringan dihentikan pada kadar air 14.46%bb karena sudah dianggap tidak efisien dari segi waktu dan biaya.

60 40 20 0 0

20

Jam 40 ke-­‐

fuzzy

tanpa fuzzy

(b) Gambar 11. Penggunaan energi listrik kipas suhu (a) dan kipas RH (b). Hasil dari pengujian dengan sistem kendali logika fuzzy menunjukkan adanya penghematan penggunaan energi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.7 dimana kipas suhu dan kipas RH menunjukkan konsumsi energi listrik yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa sistem kendali fuzzy. Pola konsumsi energi listrik pada kipas RH semakin menurun, hal ini disebabkan kadar air bahan semakin berkurang seiring waktu. Penggunaan sistem kendali logika fuzzy membutuhkan energi listrik total 2771 watt.jam sedangkan apabila tidak ada pengendalian logika fuzzy akan membutuhkan energi listrik sebesar 5880 watt.jam atau 32.03% lebih banyak dari pengendalian logika fuzzy. KESIMPULAN 1. Pengujian sistem kendali logika fuzzy pada mode stand alone pengering ERK hybrid untuk parameter suhu dengan set point 40 o C menghasilkan suhu udara pengering rata-rata 40.75 oC dengan deviasi 2.66. Sedangkan parameter kelembaban dengan set point 45% menghasilkan RH udara pengering rata-rata 45.67% dengan deviasi 8.15. 2. Penggunaan kontrol dapat menghemat penggunaan energi listrik dimana konsumsi energi listrik dengan fuzzy sebanyak 2771 18


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 watt.jam sedangkan jika tanpa fuzzy sebesar 5880 watt.jam. Lama pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan biji pala dari kadar air awal 77.72%bb hingga 14.46%bb pada pengujian ini adalah 70 jam dengan rata-rata laju pengeringan yaitu 4.6%/bk/jam sebagai indikator efektifitas pengeringan. DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah. 2000. Desain Sistem Kontrol Suhu Untuk Pemingsanan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Secara Bertahap Dengan Logika Fuzzy. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Darjat. 2008. Sistem Pengendalian Suhu dan Kelembaban pada Mesin Pengering Kertas. Jurnal Teknik Elektro, Jilid 10, Nomor 2, Juni 2008, hlmn 82-88. Drazat. 2007. Meraup Laba Dari Biji Pala. PT Agomedia Pustaka. Jakarta Nelwan LO. 2005. Study On Solar-Assisted Dryer with Rotating Rack for Cocoa Beans, Dissertation, The Graduate School-Bogor Agricultural University Bogor. Purwaningrum N. 2007. Aplikasi Fuzzy Logic Untuk Pengendali Penerangan Ruangan Berbasis Mikrokontroler ATmega8535. Skripsi. Jurusan Teknik elektro, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Semarang Tahir Muh. 2009. Disain Kendali Laju Aliran Udara dan Sistem Pengumpanan Bahan Bakar Biomassa Berbasis Fuzzy pada Pengering Jagung ERK-Hybrid. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

19 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

RANCANG BANGUN DAN UJI PERFORMANSI MESIN PENGHANCUR KULIT BUAH KAKAO (Theobroma Cacao) UNTUK PEMBUATAN BRIKET Design Cacao Machine and Performance Test forBricket Sirajuddin Haji Abdullah 1 , Cahyawan Catur Edi Margana 1 , Juliartini 1 1

Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agoindustri Universitas Mataram E-Mail : sirajuddinhajiabdullah@gmail.com ABSTRACT Â

Design and test performance shredder mechanic cocoa rind has been conducted at the Laboratory of Agricultural Engineering, University of Mataram. The method used by the two approaches, namely mathematical approach and statistical approach. Mathematical approach used in the design of the chopper cocoa rind implemented through literature study, compiled supporting equations used in data processing. Statistical approach used to find relationships between variables and parameters of the observations. There is also the variables used in this study is the velocity of the blade (rpm). These parameters have been measured on the structural aspects and functional aspects have been analyzed. Each treatment (variable) has been done 3 times and replicates in the statistical analysis using the level of segnifican 95%. For statistical analysis have finished with Statgraph Software 3.0.This study design can be obtained by the skin of the fruit shredder for the manufacture of briquettes cocoa by obtaining performance evaluation techniques as well as stampings cocoa rind. A variety of blade rotation affects the capacity of the input, the total raw material destroyed, the use of fuel, left, and long operating. And total input capacity of the destroyed material ever produced at 2651 rpm blade rotation. As for the fuel requirements, fuel efficiency, energy is absorbed, the most time and material left on the blade rotation of 1846 rpm. Key words: Design of, the performance test, structural test, Briquettes. ABSTRAK Rancang bangun dan uji performansi mesin penghancur kulit buah kakao secara mekanik telah dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pertanian, Universitas Mataram. Metode penelitian yang digunakan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan matematik dan pendekatan statistik. Pendekatan matematik dipergunakan dalam perancangan mesin penghancur kulit buah kakao yang dilaksanakan dengan melakukan studi pustaka, menyusun persamaan-persamaan pendukung yang digunakan dalam pengolahan data. Pendekatan statistika dipergunakan untuk mencari hubungan antara variabel dan parameter-parameter pengamatan. Ada pun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perputaran sudu (rpm). Parameter-parameter pada aspek struktural telah diukur dan pada aspek fungsional telah dianalisis. Setiap perlakuan (variabel) telah dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dan dalam analisis statistik mengunakan level of segnifican 95%. Untuk analisis statistik diselesaikan dengan Software Statgraph 3.0. Penelitian ini dapat diperoleh hasil rancang bangun mesin penghancur kulit buah kakao untuk pembuatan briket dengan diperolehnya performansi teknik sekaligus evaluasi hasil hancuran kulit buah kakao. Perputaran sudu yang beragam mempengaruhi kapasitas masukan, total bahan baku yang dihancurkan, penggunaan bahan bakar, bahan tertinggal, dan lama pengoprasian. Kapasitas masukan dan total bahan yang dihancurkan terbanyak dihasilkan pada perputaran sudu 2651 rpm. Sedangkan untuk kebutuhan bahan bakar, efisiensi bahan bakar, energi yang terserap, waktu dan bahan tertinggal terbanyak pada perputaran sudu 1846 rpm. Kata Kunci : Rancang bangun, Uji performansi, Uji struktural, Briket. 20 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 PENDAHULUAN Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ke-3 setelah Pantai Gading dan Ghana. Statistik Pertanian tahun 2009 dan tahun 2008 luas areal perkebunan kakao di Indonesia sebesar 1.473.259 ha, produksi 792.761 ton dan produktivitas 801 kg/ha yang melibatkan lebih dari 1,7 juta petani (Sulistyowati, 2010). Peningkatan luas areal tanaman dan produksi kakao, diikuti juga dengan peningkatan jumlah hasil pengolahan buah kakao. Produksi satu ton biji kakao kering menghasilkan sekitar 10 ton kulit buah kakao segar. Menurut Figueira et al. (dalam Intan, 2010). Dari segi kebutuhannya tentu sangatlah jelas bahwa limbah kulit kakao dapat dibuat menjadi barang yang lebih bermanfaat khususnya dalam pembuatan bahan bakar yang berupa briket dan biogas dalam membantu penyediaan bahan bakar minyak yang sekarang sangat banyak dibutuhkan masyarakat. Pembuatan briket biasanya membutuhkan banyak campuran bahan lain tetapi pembuatan briket dari kulit buah kakao sangat sederhana cukup dengan menghancurkan kulit buah kakao tersebut dengan alat atau mesin kemudian dirancangkan alat cetakan untuk pembuatan briket tersebut lalu dijemur dengan panas matahari hingga kering. Proses pembelahan kulit buah kakao dilakukan secara tradisional oleh para petani dengan menggunakan pisau dan parang dengan cara dibelah dua. Karena penanganan kulit buah kakao hanya dipotong-potong atau dihancurkan dengan pisau atau parang (cara tradisional), maka altenatif lain dari penanganan yang dilakukan yaitu penggunaan mesin penghancur kulit buah kakao. Mesin penghancur kulit buah kakao dirancang untuk menghancurkan kulit buah kakao dengan ukuran yang sangat kecil yang selanjutnya dijadikan sebagai briket. Penelitian bertujuan : Merancang bangun mesin dan peralatan penghancur kulit buah kakao (theobroma cacao) untuk pembuatan briket. Serta Untuk mendapatkan performansi dari mesin penghancur kulit buah kakao (theobroma cacao) yang memenuhi syarat secara teknis. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah eksperimental dengan percobaan laboratorium. Dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pertanian Fakultas

Pertanian Universitas Mataram pada Bulan April sampai Bulan Juni 2011. Parameter Rancang Bangun Mesin dan Peralatan pada Aspek Struktural Data yang diperlukan antara lain : rangka mesin, drum penghancur, pisau pemotong, hopper, poros (As), puli, bantalan, V belt, baut, mur dan ring. Parameter Rancang Bangun pada Aspek Fungsional Sudut Kemiringan Hooper (φ,°) Sudut Repose Dimana : W = lebar dari bahan yang terurai H = tinggi gundukan (cm)

1.

Friksi Internal dan Kohesi

Dimana : F1, F2, F3 = gaya friksi (g) N = gaya normal (g) Favg = gaya friksi rata-rata (g)

Energi Penghancur (E, Hp/jam)

Dimana : C = Konstanta penghancur (tidak berdimensi) Dpb = Panjang masukan (mm) Dpa = Panjang produk (mm)

Parameter Uji Performansi Mesin dan Hasil Cetakan Briket Uji Performansi Mesin Penghancur Kulit Buah Kakao adalah sebagai berikut : 1. Perlakuan perputaran sudu di antaranya : Putaran pertama, sebesar 1846 rpm. Putaran kedua, 1973 rpm. Putaran ketiga, 2269 rpm. Putaran keempat, 2651 rpm. Tiap perlakuan diulang tiga kali sehingga didapat 12 unit percobaan 2. Parameter yang diukur berdasarkan perputaran sudu ini antara lain a) Hubungan antara perputaran sudu dengan kapasitas pemasukan bahan b) Hubungan perputaran sudu dengan total kulit buah yang dihancurkan c) Hubungan antara 21


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 perputaran sudu dengan jumlah bahan yang tertinggal d) Hubungan antara perputaran sudu dengan waktu yang digunakan e) Hubuangan antara perputaran sudu dengan penggunaan bahan bakar Uji Performanasi Hasil Cetakan Briket : Massa jenis briket (ρ, kg/m3) ρ = .......................................................5)

!"

Dimana : m = masa briket yang dihasilkan (kg) v = volume briket yang dihasilkan (m3)

Panas untuk meningkatkan suhu air (Qn, kJ) Qn = mair.cpair.(Tair – Tling)....................6) Dimana : Mair = masa air yang teruapkan (kg) Cpair = panas jenis air (kJ/kg°C) Tair = suhu air (°C) Tling = suhu lingkungan (°C)

Panas untuk evaporasi (Qev, kJ) Qev = mair.hfg.......................................7) Dimana : Mair = massa air yang diuapkan (kg) Hfg = panas laten penguapan (kJ/kg)

Panas berguna total (Qt, kj/kg) Qt = Qn + Qev........................................8) Dimana : Qn = panas briket untuk menaikkan suhu air (kj/liter) Qev = panas dari briket untuk evaporasi (kj/liter uap air)

Data dianalisis menggunakan : Pendekatan Matematik Serta Pendekatan Statistika menggunakan analisis regresi dengan tingkat kepercayaan 95 % HASIL DAN PEMBAHASAN Rancang Bangun Mesin dan Peralatan pada Aspek Struktural Rangka Mesin Rangka yang digunakan terbuat dari besi siku berukuran 40 × 40 mm.

1. Drum Penghancur Drum penghancur terbuat dari besi baja dengan panjang 360 mm, lebar 260 mm, dan ketebalan 10 mm dilengkapi dengan penutup silinder. Pada penutup silinder dibuat lubang pemasukan dengan panjang 500 mm dan lebar masukan 270 mm, lebar lipatan pelat bagian samping 90 mm. Di atas lubang pemasukan dibuat tutupan dengan panjang 220 mm dan lebar 110 mm. Pada bagian atas drum penghacur terdapat pegangan penutup dengan panjang 140 mm dan lebar 50 mm. Selain itu terdapat lubang pengeluaran dengan panjang yang sama dengan input tapi lebarnya berbeda yaitu 260 mm dan lebar lipatan pelat 130 mm. Pada lubang pengeluaran dilengkapi dengan saringan yang terbuat dari besi dengan ketebalan 10 mm. Ukuran saringan yang dikonstruksi memiliki panjang 190 mm dan lebar 80 mm. 2. Pisau Pemotong Pada drum penghancur terdapat 16 pisau pemotong di antaranya 6 pisau pemotong statis dan 10 pisau pemotong dinamis, terbuat dari besi baja berbentuk balok berukuran 140 × 20 × 30 mm. Pisau berkerja berputar searah jarum jam 3. Hopper Hopper dibuat dari plat dengan ketebalan 1 mm, hopper yang dirancang untuk hopper input dengan panjang 500 mm, lebar 270 mm dan panjang lipatan 500 mm, lebar lipatan platnya 90 mm dengan kemiringan 60 derajat. Hopper output memiliki panjang sama dengan hopper input tapi lebarnya berbeda yaitu 130 mm, panjang lipatan platnya 500 mm dan lebarnya 130 mm, untuk hopper input diberi penutup setengah dengan panjang 220 mm lebar 110 mm. 4. Poros Poros (As) yang digunakan pada rancang bangun ini terbuat dari besi baja (St37) yang memiliki kekuatan tarik 37 kg/mm² dengan panjang 400 mm, diameter poros yang dipakai 1 ¼ inci atau sama dengan 31,75 mm. Diameter poros untuk puli berukuran 22,1 mm dan diameter poros pada pillow blok berukuran 25,4 mm. 5. Puli Ukuran puli penggerak dengan diameter dalam sebesar 67,7 mm dan diameter luar sebesar 89,1 mm. Untuk puli yang digerakkan diameter dalamnya sebesar 47,6 mm dan diameter luar sebesar 70,6 mm. Puli terbuat dari besi baja. Menurut Stolk, J. and C. Kros 22


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 (1981) untuk konstruksi ringan diterapkan puli dari paduan aluminium. Puli sabuk baja cocok untuk kecepatan sabuk yang tinggi (di atas 35 m/detik). 6. Bantalan Pada rancang bangun ini terpasang dua buah bantalan yang berfungsi sebagai penumpu poros dan memungkinkan poros dapat berputar dengan leluasa (dengan gesekan sekecil mungkin). 7. V Belt Sabuk (V-Belt) dipakai untuk memindahkan daya antara dua poros yang sejajar (Sularso dan Suga, 2004). Sabuk V yang digunakan adalah sabuk V tipe A 46. berbentuk trapesium dengan ukuran alas luar 12,4 mm dan alas dalam 7,5 mm, tinggi 9,5 mm dengan sudut 40° dan panjang sabuk adalah 995.905 mm. 8. Baut, Ring dan Mur Pada alat ini, menggunakan baut, ring dan mur 12 sebanyak 8 buah, 4 buah dipasang pada bantalan kiri dan kanan untuk menahan poros agar berputar dengan sempurna dan 4 buah lagi dipasang pada motor bakar agar mesin bisa beroperasi.

diperoleh rata-rata 0,05091. Dari nilai rata-rata gaya friksi dengan logam untuk kulit buah kakao kering dan basah dapat kita prediksikan sudut kemiringan terkecil dengan mengalikan nilai rata-rata friksi dengan nilai rata-rata internal kohesi antara aliran logam. Untuk kulit buah kakao kering kemiringan terkecil sebesar 39,42 × 0,80716 = 31,81824° dan untuk kulit buah kakao basah kemiringan terkecil sebesar 49,90 × 0,05091 = 2,5404°. Apabila friksi tersebut diperhitungkan maka sudut kemiringan hopper yang kita konstruksi sebesar 45° masih memenuhi syarat maka dalam penelitian ini dibuat kemiringan hopper sebesar 60° untuk memudahkan bahan baku keluar dengan sempurna dan tidak terbuang dengan sia-sia. Energi Penghancur

Analisis Rancang Bangun Mesin pada Aspek Fungsional Sudut Kemiringan Hopper Kemiringan sudut hopper yang dikonstruksi sebesar 60°. Nilai ini berdasarkan data percobaan laboratorium melalui penentuan sudut repose rata-rata. Data percobaan didapat sudut repose rata-rata sebesar 50,31° untuk kulit buah kakao kering dan untuk kulit buah kakao basah sebesar 40,41°. Sudut repose ini menunjukkan batas terjadi aliran kulit buah kakao, maka aliran kulit buah kakao menjadi faktor yang menentukan besarnya sudut kemiringaan hopper. Semakin kecil nilai sudut repose maka aliran akan semakin baik, sudut repose alami ini tergantung pada jenis material, bentuk dan kelembutan bahan baku dan keseragaman dari bahan baku tersebut, agar mudah menetukan sudut kemiringan hopper. Sudut kemiringan hopper yang dikonstruksi ternyata lebih kecil dari pada sudut repose yang diperoleh maka secara teknik telah memenuhi syarat. Untuk gaya friksi antara kulit buah kakao kering dengan logam diperoleh rata-rata 0,87016, dan untuk kulit buah kakao basah

Gambar 1. Grafik hubungan perputaran sudu (rpm) dengan kebutuhan energi yang terserap (HP) untuk kulit buah kakao basah.

Gambar 2. Grafik hubungan perputaran sudu (rpm) dengan kebutuhan energi yang terserap (HP) untuk kulit buah kakao kering. Dari Gambar 1 dan 2, energi terbesar diperoleh pada putaran sudu 1846 rpm yaitu sebesar 4,47 HP sedangkan kebutuhan energi terkecil terdapat pada putaran sudu 2651 rpm 1,28 HP untuk kulit buah kakao kering. Begitu juga dengan kulit buah kakao basah kebutuhan energi terbesar terdapat pada perputaran sudu 1846 rpm yaitu sebesar 3,47 HP sedangkan 23


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 kebutuhan energi terkecil terdapat pada putaran sudu 2651 yaitu sebesar 0,28 HP. Hal ini dapat kita lihat dari perhitungan kebutuhan energi yang terserap lebih banyak, untuk menghancurkan kulit buah kakao kering karena bentuk bahannya yang mengeras, sedangkan untuk kulit buah kakao basah membutuhkan sedikit energi yang terserap untuk menghacurkan kulit buah kakao karena bentuk dari kulit buah kakao yang masih basah. Jika dilakukan penggilingan maka tidak akan terlalu besar menyerap energi bahan bakar minyak. Uji Performansi (Kinerja) Penghancur Kulit Buah Kakao

Dari Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa semakin tinggi perputaran sudu maka nilai kapasitas masukan semakin meningkat. Meningkatnya kapasitas penghancuran disebabkan adanya gesekan antara kulit buah kakao dengan pisau penghancur yang mengakibatkan perputaran semakin cepat dan bahan yang hancur juga semakin banyak. Total Kulit Buah Kakao yang Dihancurkan

Mesin

Kapasitas Pemasukan Bahan Baku Untuk kulit buah kakao basah kapasitas kerja rata-rata alat tertinggi diperoleh pada perputaran sudu (rpm) tertinggi 2651 sebesar 3,760 kg/menit dan kapasitas rata-rata alat yang paling rendah pada perputaran sudu (rpm) 1846 sebesar 2,045 kg/menit. Begitu juga dengan kulit buah kakao kering kapasitas kerja rata-rata alat tertinggi diperoleh pada perputaran sudu (rpm) 2651 sebesar 2,810 kg/menit dan kapasitas alat yang paling rendah pada perputaran sudu (rpm) 1846 sebesar 1,731 kg/menit.

Gambar 5. Grafik hubungan antara perputaran sudu (rpm) dengan total kulit buah kakao basah yang dihancurkan (kg/menit).

Gambar 6. Grafik hubungan antara putaran sudu (rpm) dengan total kulit buah kakao kering yang di hancurkan (kg/menit). Gambar 3. Grafik hubungan kapasitas masukan penghancur kulit buah kakao basah dengan perputran sudu (rpm).

Gambar 4. Grafik hubungan kapasitas masukan penghancur kulit buah kakao kering dengan perputaran sudu (rpm).

Dari Gambar 5 dan 6 total kulit buah kakao terbanyak terdapat pada putaran sudu (rpm) 2651 sebesar 1,880 (kg/menit) untuk kulit buah kakao basah dan untuk kulit buah kakao kering pada putaran sudu 2651 (rpm) juga sebesar 1,856 (kg/menit). Semakin tinggi putaran sudu (rpm) maka semakin cepat laju kecepatan pemasukan bahan baku, dan sebaliknya semakin rendah kecepatan putaran sudu (rpm) maka makin lambat laju kecepatan pemasukan bahan baku. Bahan Tertinggal Dalam Alat Dari Gambar 7 dan 8, terlihat bahwa semakin besar putaran sudu (rpm) maka bahan 24 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 yang tertinggal dalam alat semakin sedikit dan sebaliknya semakin rendah putaran sudu (rpm) maka bahan yang tertinggal di dalam alat akan semakin banyak, hal ini disebabkan semakin cepat perputaran sudu maka pisau penghancur akan berputar semakin kencang dan bahan yang keluar akan semakin cepat karena adanya dorongan dari putaran pisau penghancur. Untuk kulit buah kakao basah bahan yang tertinggal paling bannyak pada putaran sudu 1846 (rpm) sebesar 5,366 kg/menit dan yang tertinggal paling sedikit pada putaran sudu 2651 (rpm) sebesar 2,957 kg/menit. Untuk kulit buah kakao kering jumlah bahan yang tertinggal paling banyak pada putaran sudu 1846 (rpm) juga sebesar 9.499 kg/menit dan yang tertinggal paling sedikit pada putaran sudu 2651 (rpm) juga sebesar 4,820 kg/menit.

Gambar 7. Hubungan antara perputaran sudu dengan bahan tertinggal dalam alat (kg/menit) untuk kulit buah kakao basah.

untuk kulit buah kakao kering waktu terlama pada putaran sudu 1846 rpm juga dengan waktu selama 1,001 kg/menit dan waktu tercepat pada perputaran sudu 2651 juga dengan waktu sebesar 0,660 kg/menit. Kecepatan Waktu Kerja

Gambar 9. Grafik hubungan antara perputaran sudu (rpm) dengan waktu kerja untuk kulit buah kakao basah.

Gambar 10. Grafik hubungan antara perputaran sudu (rpm) dengan waktu kerja untuk kulit buah kakao kering. Penggunaan Bahan Bakar

Gambar 8. Hubungan antara perputaran sudu dengan bahan tertinggal dalam alat (kg/menit) untuk kulit buah kakao kering. Dari Gambar 9 dan 10, terlihat bahwa semakin tinggi perputaran sudu (rpm) maka waktu yang diperlukan untuk menghancurkan kulit buah kakao semakin sedikit. Sebaliknya semakin rendah perputaran sudu yang digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan kulit buah kakao akan semakin lama. Waktu terlama yang diperoleh untuk menghancurkan kulit buah kakao basah pada putaran sudu 1846 rpm selama 0,834 kg/menit dan waktu tercepat pada perputaran sudu 2651 rpm dengan waktu sebesar 0,5 kg/menit dan

Dari data anlisis perbedaan perputaran sudu (rpm) menujukan hasil yang nyata terhadap penggunaan bahan bakar (R² = 0,951 pada P/0,10) untuk kulit buah kakao basah dan (R² = 0,943 pada P0,10) untu kulit buah kakao kering.

Gambar 11. Grafik hubungan antara perputaran sudu (rpm) dengan bahan bakar yang digunakan untuk kulit buah kakao basah.

25 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Dari data analisis bahwa semakin tinggi perputaran sudu maka penggunaan bahan bakar semakin sedikit untuk menghancurkan bahan, sebaliknya semakin rendah perputaran sudu maka penggunaan bahan bakar semakin banyak. Gambar 12. Grafik hubungan perputaran sudu (rpm) dengan bahan bakar yang digunakan untuk kulit buah kakao kering. Data Uji Hasil Cetakan Briket Massa Jenis Briket

Gambar 13. Perbedaan antara massa jenis briket kering dan basah (kg/mÂł) pada tiap perputaran sudu (rpm). Dari Gambar 13, dapat dilihat bahwa massa jenis briket basah lebih ringan dari pada massa jenis beriket kering karena bentuk dari briket basah pada saat dipres dengan alat pengepres ukurannya mejadi sedikit karena kadar air dari briket berkurang pada saat dipres dan dijemur. Sedangkan untuk massa briket

kering lebih besar dari massa briket basah karena pada saat di cetak briket ini dicampur dengan kulit buah kakao yang basah sebagai perekatnya sehingga pada saat dicetak ukuran dari briket ini lebih besar dari briket basah karena bentuknya mengembang atau adanya rongga udara yang banyak pada briket kering.

Panas untuk Meningkatkan Suhu Air

Gambar 14. Perbedaan antara panas untuk meningkatkan suhu air (Qn/kg) untuk kulit buah kakao basah dengan kulit buah kakao kering pada tiap perputaran sudu (rpm). 26 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Dari Gambar 14 tersebut dapat kita lihat bahwa panas untuk menikatkan suhu air akan semakin meningkat jika suhu airnya besar dan masa air yang teruapkan juga akan semakin banyak. Panas untuk meningkatkan suhu air

yang banyak terdapat pada perputaran sudu 2651 (rpm) karena nyala api briket yang terus menyala menyebabkan suhu air meningkat dan masa air berkurang.

Panas untuk Evaporasi

Gambar 15. Perbedaan antara panas untuk evaporasi (kj) untuk kulit buah kakao basah dengan kulit buah kakao kering pada tiap perputaran sudu (rpm). Panas Berguna Total

Gambar 16. Perbedaan antara nilai pembakaran briket (kJ/kg) untuk kulit buah kakao basah dengan kulit buah kakao kering untuk tiap perputaran sudu (rpm). Dari Gambar 15 dapat kita lihat bahwa semakin besar suhu air maka air yang terevaporasi juga akan semakin banyak, hal ini dapat kita lihat dari nyala api pada briket yang menyala semakin besar. Makin besar nyala api beriket sehingga menyebabkan massa air yang teruapkan akan semakin banyak. Dari Gambar 16 dapat kita lihat bahwa nila pembakaran briket yang baik pada putaran sudu 2651 (rpm) dan nilai pembakaran yang

rendah pada putaran sudu 1846 untuk kulit buah kakao basah, dan untuk kulit buah kakao kering nilai pembakaran briket yang bagus pada perputaran 2651 (rpm) jugu dan nilai pembakaran briket yang rendah pada putaran sudu 1846 (rpm) juga. Kulit buah kakao kering nyala apinya lebih bagus dibandingkan nyala api kulit buah kakao basah, hal ini disebabkan oleh bentuk kulit buah kakao yang sudah kering sehingga memiliki rongga udara lebih banyak 27 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 dibandikan kulit buah kakao basah yang sifatnya mengental pada saat dicetak. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Dari hasil konstruksi, penghacur kulit buah kakao yang dirancang telah memenuhi syarat teknis (engineering). 2. Diperoleh konstruksi penghancur yang memiliki performansi dengan kapasitas tertinggi 3,760 kg/.menit untuk kulit kakao basah dan kulit kakao kering 2,810 kg/menit, dengan efisiensi bahan bakar tertinggi 86,53 % pada penghancuran kulit kakao basah dan 88,51 % pada kulit buah kakao kering DAFTAR PUSTAKA Intan, dlm. 2010 Penggunaan Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan ternak. Blog. Blog at Wordpress. Com. Diakses pada tanggal 20 Ferbuari. Pukul 11.30 Wita. Sularso dan Suga, 2004. Dasar Perencanaan dan Pemeliharaan Elemen Mesin. PT Pradnya Pramita. Jakarta. Sulistyowati, 2010. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. BSN Gedung Winabakti. Jakarta Stolk, J. and C. Kros, 1981. Elemen Mesin, Elemen Konstruksi Bangunan Mesin. terjemahan H. Hendarsin dan A. Rahman. Erlangga, Jakarta.

Gambar 17. Mesin Penghancur Kulit Buah Kakao 28 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

KAJIAN PENGGUNAAN ASAP CAIR TERHADAP MUTU AYAM BAKAR TALIWANG Study of Liquid Smoke Using on Taliwang Grilled Chicken Quality  Wiharyani Werdiningsih 1, Sri Widyastuti 1, Nazaruddin 1, Baiq Rien Handayani 1 1

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram E-mail: wiharyani@yahoo.com ABSTRACT

The aim of this research was to identify the use of the concentration of liquid smoke with time of marination on grilled chicken. Chickens used were male chicken with taliwang herbs adopted from the merchants of taliwang grilled chicken. The design used was a completely randomized design with laboratory experiments. The result indicated that 2% liquid smoke concentration with 30 minutes marination time resulted in 67.92% moisture content, 2.74% ash content, with a rather preferred criteria, rather soft texture, rather strong grilled chicken flavor, and flavorful smoke of grilled chicken. Total microbial, fungal and coliform were almost undetectable <1.0 x 101 CFU / g, which indicates that hygienic processing and safe to consume. Keywords: grilled chicken, liquid smoke, time of marination ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi penggunaan konsentrasi asap cair yang tepat dengan lama perendamannya pada ayam bakar taliwang. Ayam yang digunakan adalah ayam pejantan dengan bumbu taliwang yang diadopsi dari para pedagang ayam bakar taliwang yang ada. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan percobaan di laboratorium. Penelitian yang dihasilkan yaitu perlakuan konsentrasi asap cair 2% dengan lama perendaman 30 menit menghasilkan kadar air 67,92%, kadar abu 2,74%,, dengan kriteria agak disukai, tekstur agak empuk, rasa ayam bakar agak kuat, dan beraroma asap. Total mikroba, jamur dan koliform hampir tidak terdeteksi <1,0 x 101 CFU/gram, yang menandakan pengolahan yang higienis dan aman untuk dikonsumsi. Kata kunci : ayam bakar, asap cair, lama perendaman.

PENDAHULUAN Ayam taliwang merupakan makanan tradisional khas NTB dimana dahulunya bumbu-bumbu yang digunakan sebagai pelengkap dibuat oleh warga Karang Taliwang, Cakranegara sehingga dinamakan ayam taliwang. Tujuan pembuatan ayam bakar taliwang adalah menambah kuliner makanan tradisional khas NTB dan menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang) dan bakteri agar tidak mudah rusak karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Daging banyak mengandung nutrisi yaitu 74% air, 22% protein, 13 mg

kalsium, 190 mg fosfor dan 1,5 mg zat besi pada setiap 100 gram daging.Tingginya kandungan air dan aktivitas air (aw) memungkinkan mikroba tumbuh sehingga cepat terjadi kerusakan. Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging antara lain Escherechia coli, Salmonella sp., dan Staphylococcus sp. Pemanggangan daging yang disertai perendaman dengan senyawa antimikroba dapat mempengaruhi penampilan, rasa, tekstur, penyusutan, kematangan, kemunculan flavor, dan daya simpannya. Asap cair merupakan bahan kimia hasil destilasi asap dari pembakaran biomassa dan juga bersifat 29 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 desinfektan sehingga bahan makanan dapat bertahan lama tanpa membahayakan konsumen. Menurut Darmadji (1996), pirolisis tempurung kelapa yang telah menjadi asap cair akan memiliki senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11,3% dan asam 10,2%. Kandungan kadar asam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikrobia karena mikrobia hanya bisa tumbuh pada kadar asam yang rendah (Pszczola, 1995) dan adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi. Menurut Widyastuti, dkk (2012), kandungan benzopyrene asap cair grade I tidak terdeteksi sehingga sesuai untuk syarat pengawet makanan. Dengan demikian penggunaan asap cair sebagai pengawet alami pada pembuatan ayam bakar taliwang berpotensi untuk dikembangkan. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan konsentrasi asap cair yang tepat dengan lama perendamannya pada ayam bakar taliwang. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan adalah daging ayam pejantan, bumbu khas taliwang (bawang putih, cabai besar, cabai rawit, terasi, gula, jeruk limau), asap cair grade I, detergent pembersih alat-alat “mama lime”, air galon “narmada”, aquades, medium PCA, medium VRBA, medium PDA, larutan buffer phosphat, Na2SO4 anhidrat, H2SO4 pekat, Zn, NaOH 45%, HCl 0,1 N, fenolptalein 1%, dan alkohol. Metode Daging ayam pejantan dengan berat rata-rata 263 gram yang diperoleh dari pasar dibersihkan dari kotoran dan bulu yang masih melekat dengan dicuci pada air mengalir kemudian ditiriskan. Setelah tiris, daging dikemas menggunakan kantong plastik satu per satu, kemudian dimasukkan kedalam box

plastik. Daging ayam dengan berat rata-rata 263 gram ditambahkan dengan bumbu dan asap cair sesuai dengan konsetrasi (0%, 1%, 2%, dan 3%) dan lama perendaman (0 menit, 15 menit, dan 30 menit) yang telah ditetapkan. Pencampuran dilakukan dengan cara melumuri seluruh permukaan daging secara merata dengan bumbu dan asap cair. Bumbu-bumbu yang digunakan diadopsi dari pedagang ayam bakar taliwang untuk setiap ayam yaitu 9,5 gram cabe merah keriting, 7,5 gram cabe rawit, 29 gram bawang merah, 9 gram bawang putih, 5 gram terasi bakar, 25 gram gula merah, 7,5 gram garam, 1 buah jeruk limau, 100 ml santan kental, 12 ml (4 sendok makan) minyak goreng. Ayam di panggang dalam oven (merk MEMMERT) pada suhu 180oC selama 23 menit tanpa membalik posisi ayam. Parameter hasil percobaan yang diamati adalah kadar air, kadar abu, warna, rasa, tekstur, aroma, total bakteri, total kapang, dan total koliform. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 36 unit percobaan. Data hasil percobaan di analisis dengan analisis keragaman (analysis of variance) pada taraf nyata 5%. Apabila terdapat beda nyata, akan dilakukan uji lanjut (Hanafiah, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Perlakuan konsentrasi asap cair dan lama perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air ayam taliwang. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kadar air ayam bakar taliwamg yang direndam pada asap cair dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3% selama 0 menit, 15 menit dan 30 menit berturut-turut adalah 67,11%, 66,37%, dan 67,31%; 67,16%, 67,45%, 67,92%; 67,80%, 67,61%, 66,41%. Sedangkan kadar air ayam bakar taliwang yang tidak direndam dengan bumbu diperoleh 67,68% (0 menit), 65,01% (15 menit), dan 67,36% (30 menit).

30


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Kadar Air (%)

70 65 60 55 50 0

15

30

0

15

30

0

15

30

0

15

menit

menit

menit

menit

0%

1%

2%

3%

30

Gambar 1. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap Kadar Air Ayam Bakar Taliwang

Kadar Abu (%)

5 4 3 2 1 0 0

15

30

0

15

30

0

15

30

0

15

menit

menit

menit

menit

0%

1%

2%

3%

30

Gambar 2. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap Kadar Abu Ayam Bakar Taliwang Kadar air ayam bakar taliwang yang diperoleh (65%-68%) termasuk produk dengan kadar air yang tinggi, hal ini disebabkan karena daging ayam itu sendiri sudah mengandung kadar air cukup tinggi. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan dan semakin lama perendamannya, kadar air pada ayam bakar mempunyai kecenderungan mengalami penurunan. Penurunan kadar air ini dapat disebabkan karena asap cair yang ditambahkan pada selama perendaman berdifusi ke dalam daging, yang mengakibatkan terjadinya lisis dan denaturasi protein sehingga mengakibatkan keluarnya

cairan yang terdapat di dalam daging (Pelczar dan Chan, 1988). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk.(2012), yaitu penambahan 2,5% asap cair pada dendeng sapi siap makan menyebabkan penurunan kadar air karena asap cair dapat menyebabkan dehidrasi pada bahan pangan. Kadar Abu Kadar abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik (deMan, 1997). Perlakuan konsentrasi asap cair dan lama perendamannya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu ayam 31


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 bakar taliwang. Hal ini diduga karena perbedaan waktu perendaman yang tidak terpaut jauh. Berikut disajikan gambar hubungan konsentrasi asap cair dan lama perendaman terhadap kadar abu ayam bakar taliwang. Gambar 2 menunjukkan kisaran kadar abu yang dihasilkan adalah 2,31%-3,97%. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan, kadar abu yang dihasilkan agak bervariasi. Diduga karena adanya perbedaan umur ayam pada saat di sembelih dengan kisaran umur 2-3 bulan. Perbedaan umur

maupun makanan yang diberikan akan berpengaruh terhadap kandungan padatan terlarut termasuk kadar abu. Warna Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dan lama perendamannya memberikan pengaruh nyata terhadap warna yang diuji secara skoring, namun dari segi kesukaan (hedonik), perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata.

5

Warna

4 3 2 1

WARNA skoring

0

WARNA hedonik 0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30 menit

menit

menit

menit

0%

1%

2%

3%

Gambar 3. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap Warna Yang Diuji Secara Skoring dan Hedonik Pada Ayam Bakar Taliwang 5

Rasa

4 3 2 1

RASA skoring

0

RASA hedonik 0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30 menit

menit

menit

menit

0%

1%

2%

3%

Gambar 4. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap Rasa Yang Diuji Secara Skoring dan Hedonik Pada Ayam Bakar Taliwang Warna daging ayam bakar taliwang (Gambar 3) yang dihasilkan adalah merah

kecoklatan dengan kriteria kesukaan agak suka sampai dengan suka. Semakin tinggi 32


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 konsentrasi asap cair yang diberikan dan semakin lama perendaman yang dilakukan, panelis cenderung untuk lebih menyukainya.

maka rasa asapnya menjadi agak kuat dengan penerimaan panelis menunjukkan agak disukai sampai dengan suka Hal ini sejalan dengan penelitian Handayani dkk (2012) bahwa rasa dendeng sapi siap makan yang dihasilkan dengan pemberian asap cair mempengaruhi kesukaan terhadap rasanya.

Rasa

Tekstur

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pemberian asap cair dengan konsentrasi yang berbeda dan lama perendaman yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap rasa yang diuji secara skoring, namun tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kesukaan rasa. Gambar 4 menunjukkan bahwa panelis memberikan penilaian kesukaan terhadap rasa yaitu agak suka sampai dengan suka dengan rasa asap yang agak lemah sampai dengan agak kuat. Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan

Tekstur Tekstur ayam bakar taliwang yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh perlakuan konsentrasi asap cair dan lama perendamannya. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa panelis memberikan penilaian yang relatif sama terhadap tekstur (skoring) yaitu agak empuk sampai dengan empuk dengan tingkat kesukaan agak suka sampai dengan suka.

5 4 3 2 1 0

TEKSTUR skoring 0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30 menit

menit

menit

menit

0%

1%

2%

3%

TEKSTUR hedonik

Gambar 5. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap Tekstur Yang Diuji Secara Skoring dan Hedonik Pada Ayam Bakar Taliwang 5 Aroma

4 3 2 1

AROMA skoring

0 0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30 menit

menit

menit

menit

0%

1%

2%

3%

AROMA hedonik

Gambar 6. Grafik Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap AromaYang Diuji Secara Skoring dan Hedonik Pada Ayam Bakar Taliwang Pola kecenderungan yang dihasilkan adalah bahwa semakin tinggi konsentrasi asap

cair yang diberikan, maka teksturnya semakin empuk dan disukai (3,35-3,90). Demikian juga 33


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 dengan perlakuan lama perendamannya, memberikan hasil yang semakin empuk dan disukai. Aroma Kriteria aroma ayam bakar taliwang yang dinilai oleh panelis adalah dari tidak beraroma asap sampai dengan beraroma asap sangat kuat dengan kriteria kesukaan sangat tidak suka sampai dengan sangat suka. Perlakuan pemberian asap cair dan lama perendaman yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma ayam bakar taliwang yang diuji secara skoring, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna secara hedonik (kesukaan). Pada Gambar 6, panelis memberikan penilaian aroma secara skoring pada ayam bakar yang dihasilkan dari beraroma asap lemah sampai dengan beraroma asap.dengan kriteria kesukaan agak disukai sampai dengan suka seiring dengan bertambahnya konsentrasi asap cair yang diberikan dan lama perendaman yang dilakukan. Hal ini diduga karena adanya senayawa fenol yang terdapat pada asap cair yang dapat mempengaruhi aroma ayam bakar yang dihasilkan. Menurut Girard (1992); Hadiwiyoto (1993), senyawa fenol berperan dalam memberikan aroma, rasa, dan warna karena asap yang terabsorbsi pada permukaan produk. Total Mikroba Jumlah mikroba terutama bakteri pembusuk dalam bahan pangan mempengaruhi kecepatan kerusakan suatu bahan pangan. Jumlah total mikroba pada ayam bakar taliwang dengan perlakuan konsentrasi asap cair 0% dengan lama perendaman 0 menit, 15 menit dan 30 menit berturut-turut <1,0 x 101 CFU/gram, <1,0 x 101 CFU/gram,, <1,7 x 101 CFU/gram; sedangkan jumlah total mikroba sampel dengan lama perendaman 0 menit, 15 menit dan 30 menit dengan konsentrasi asap cair 1% adalah <1,0 x 101 CFU/gram, <1,3 x 101 CFU/gram, <1,0 x 101 CFU/gram. Dengan perlakuan lama perendaman 0 menit, 15 menit dan 30 menit pada konsentrasi asap cair 2% yaitu <1,0 x 101 CFU/gram, <1,0 x 101 CFU/gram; <1,0 x 101 CFU/gram, sedangkan untuk perlakuan lama perendaman 0 menit, 15 menit dan 30 menit menggunakan konsentrasi asap cair 3% memperoleh perhitungan total mikroba berturut-turut <1,0 x 101 CFU/gram,

<1,0 x 101 CFU/gram. Rendahnya pertumbuhan mikroba menunjukkan bahwa ayam bakar taliwang yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Menurut Darmadji (1996), penambahan asap cair pada bumbu yang mempunyai senyawa-senyawa fenol, karbonil, dan asam yang dapat berperan sebagai anti mikroba. Total jamur yang terdapat pada ayam bakar taliwang sangat rendah <1,0 x 101 CFU/gram, bahkan tidak terdeteksi. Perlakuan perbedaan konsetrasi asap cair yang diberikan dengan lama perendaman yang berbeda-beda tidak mempengaruhi total jamur pada ayam bakar taliwang. Proses pengovenan dengan panas yang cukup diduga mampu mematikan pertumbuhan jamur. Hasil pengamatan untuk total koliform menunjukkan bahwa total koliform yang terdapat pada produk ayam bakar taliwang sangat rendah <1,0 x 101 CFU/gram (tidak terdapat pertumbuhan koliform pada media uji VRBA). Koliform merupakan bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu, maupun produk yang lain. Tidak ditemukannya bakteri koliform pada ayam bakar taliwang dapat disebabkan karena selama proses pengolahannya dilakukan secara aseptis, higienis dan dalam kondisi sanitasi yang baik. KESIMPULAN Konsentrasi asap cair 2% dengan lama perendaman 30 menit merupakan perlakuan terbaik dimana menghasilkan kadar air 67,92%, kadar abu 2,74%, dengan kriteria agak disukai, tekstur agak empuk, rasa ayam bakar agak kuat, dan beraroma asap. Total mikroba, jamur dan koliform hampir tidak terdeteksi <1,0 x 101 CFU/gram, yang menandakan pengolahan yang higienis dan aman untuk dikonsumsi UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini, terutama Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Lembaga Penelitian Universitas Mataram yang telah memberikan dana penelitian melalui Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Negeri 2013. 34 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 DAFTAR PUSTAKA Darmadji, P., 1996. Antibakteri Asap Cair Dari Limbah Pertanian. Agritech 16(4):1922. deMan, J.M., 1997. Kimia Pangan. Penerbit ITB. Bandung. Girard, J. P. 1992. Smoking in Technology of Meat and Meat Products. J.P. Girard (ed).Ellis Horwood. New York. Hadiwiyoto, S., 1993. Teknologi Pangolahan Hasil Peikanan. Liberty. Yogyakarta. Hanafiah, 2001. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Permata. Jakarta. Handayani, B.R., Kertanegara, C.C.E. Margana, dan A. Hidayati, 2012. Laporan Akhir Penelitian Prioritas Nasional MP3EI: Diversifikasi Dendeng Sapi “Jerky” tradisional Siao saji Menggunakan Asap Cair sebagai Pengawet Alami untuk Meningkatkan Keamanan Pangan dan Perekonomian Masyarakat NTB. Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S., 1988, DasarDasar Mikrobiologi. U.I.Press. Jakarta. Pszczola, D.E., 1995. Tour Highlights Production and Users of Smoke Based Flavours. Food Technology (1): 70-74. Widyastuti, S., S. Saloko, Murad, dan Rosmilawati, 2012. Optimasi Proses Pembuatan Asap Cair dari Tempurung Kelapa sebagai Pengawet Makanan dan Prospek Ekonomisnya. Agroteksos 22 (1): 48-58.

35


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

PERANCANGAN DAN PERFORMANSI SISTEM PENYIRAM TETES TEKANAN FLUIDA RENDAH DENGAN HEAD KONSTAN UNTUK TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) PADA POLYBAG PLASTIK Design and performance test of droplet system of watering with low pressure fluid in constant head for (capsicum fruitescens L) in polybag Joko Sumarsono 1 , Cahyawan Catur Edi Margana 1, Nurlaela Mardani 1

1

Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram E-mail: sumarsonojoko@unram.ac.id ABSTRACT

The objective of this study were to determine the level of distribution uniformity of droplet in plant watering in dryland and to determine the effective ways in watering so that the using of water is efficient. Experimentaly in the field was used in the method. This study was devided into three stages, they were preparation, design and assembly, and performance test.The parameters of study were including parameters in main channel, distribution channel, the uniformity of emitter and parameters of the needs of water. Results show that velocity (v), pressure (P), Reynold number (Re) and Head total (Ht) were constant for generative fase while water discherge per emitter wasnot constant. Laminer flow (Re<2000) take place at emitter with the value of 367.34 while turbulence(Re>3500) occured at the main channel with the value of 68532939.7. The uniformity emitter value for this droplet system was good base on the criteria of the uniformity level droplet by ASAE of 84%. Key word :drip irrigation, uniformityof emitter ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keseragaman distribusi tetesan dalam pemberian air pada tanaman lahan kering serta menentukan cara yang efektif dalam penyiraman sehingga tidak terlalu boros dalam penggunaan air. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental di lapangan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, perancangan dan perakitan, uji performansi. Parameter penelitian meliputi parameter pada saluran utama, parameter pada saluran distribusi, keseragaman emitter, parameter kebutuhan tanaman. Dari data hasil pengukuran menunjukkan besar nilai kecepatan (v), tekanan (P), Bilangan Reynold (Re), dan head total (Ht) konstan pada pengukuran fase generative, sedangkan nilai debit per emitter tidak konstan. sifat aliran air laminer (Re<2000) terjadi pada emitter yaitu sebesar 367,34 dan pada saluran distribusi sebesar 60313380,67, sedangkan sifat aliran turbulen (Re>3500) terjadi pada saluran utama sebesar 68532939,7. Nilai keseragaman emitter (EU) pada alat irigasi tetes ini tergolong baik berdasarkan kriteria tingkat keseragaman tetesan sistem irigasi tetes menurut ASAE yaitu 84%. Kata kunci : Irigasi tetes, Keseragaman Emitter (EU)

PENDAHULUAN Di Indonesia, pemanfaatan air untuk pembangunan pertanian menempati urutan pertama, mencapai 75%. Air untuk pertanian sebagian besar berasal dari air irigasi dan

digunakan untuk mengairi lahan sawah. Pengairan pada lahan kering masih sangat terbatas, padahal upaya ini penting untuk meningkatkan produktivitas lahan. Hal-hal yang sering menjadi penyebab tanaman rusak atau mati pada lahan pertanian 36 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 adalah penyiraman air yang terlalu berlebihan. Kadar air di dalam tanah menjadi lebih banyak dibandingkan kadar makanan, berakibat pada tanaman itu menjadi kekurangan makanan dan akhirnya menjadi layu, rusak dan kemudian mati. Irigasi tetes dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan produktivitas lahan (Anonim, 2008a). Irigasi tetes yang lebih dikenal sebagai drip atau tricle irrigation merupakan salah satu metode pemberian air ke tanaman pada zona perakarannya melalui suatu alat yang disebut emitter baik yang tunggal maupun berbentuk selang berlubang (drip line) (Prabowo at al, 2004). Dengan sistem penyiraman irigasi tetes menggunakan penampung yang dapat dikontrol akan lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi nilai biaya. Keuntungannya dengan sistem ini sedikit menggunakan air, air tidak terbuang percuma, dan penguapan pun bisa diminimalisasi (Suhaya, 2008). METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan : air, pupuk dan tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) Alat : satu set alat penyiram sistem tetes (dirakit sendiri), tower air, gelas penampung, gelas ukur, polybag, selang, alat pengatur tetesan, jaringan pipa, kran otomatis, stop kran, mistar, dan pemantau tinggi air. Tahapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Melakukan penelitian pendahuluan dengan dua perlakuan yaitu 1) bukaan kran 45˚ 2) bukaan kran 90˚. Setiap perlakuan diulang 10 kali, diatur head fluida konstan. Dianalisis menggunakan t-test dengan tingkat kepercayaan 95%. Kemudian dipilih bukaan kran dengan keseragaman yang paling tinggi sebagai dasar perancangan. Tahap Perancangan dan Perakitan Membuat rancangan sistem penyiram tetes mencakup perancangan skema tata letak (layout) perpipaan. Tahap Uji Performansi

Metode eksperimentnya yaitu mengukur ratarata kebutuhan air dengan 2 (dua) perlakuan yaitu 1) Kebutuhan air tanaman (162,21 ml/hari) fase vegetatif 2) Kebutuhan air tanaman (278,91 ml/hari) fase generatif. Setiap perlakuan diulang 10 (sepuluh) kali, diatur head fluida konstan. Dianalisis menggunakan t-test dengan tingkat kepercayaan 95%. Parameter Penelitian : Parameter pada saluran utama : Debit saluran utama Debit saluran utama dapat ditentukan dengan menggunakan rumus : !=# % &.......................................................1) dimana: Q = Debit aliran (m3/s) V = Kecepatan aliran (m/s) A = Luas penampang aliran (m2) Kecepatan aliran fluida pada pipa (V, m/det) Kecepatan aliran fluida dihitung dengan persamaan colebrooke (Victor, 1986):

#$=−' '()⁡ [*+,-.+',0#12$] ……....................... .2)

dimana: k = kekasaran efektif dinding dalam pipa (desimal) D = diameter dalam pipa (m) Re = Bilangan Reynold (non dimensi) f = faktor gesekan (desimal) Tekanan (P) Tekanan pada saluran distribusi diperoleh melalui persamaan Bernoulli:

4#5+6#''7+8#=4'5+6'''7+8' −9: ...............3) dimana : P = Tekanan (Pa) γ = Berat jenis air (kg/m3) V = Kecepatan aliran (m/s) g = Percepatan gravitasi (m/s2) Z = Ketinggian muka air tujuan (m) Hl = Head Losses (m) 37


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 D = diameter pipa (m) g = percepatan gravitasi (m/s2)

Bilangan Reynold (Re)

12=;6.< ...................................................... ..4) dimana: Re = Bilangan Reynold (non dimensi) ρ = Massa jenis fluida (kg/m3) V = Kecepatan fluida (m/s2) + = Viscositas (kekentalan) fluida (Pa.s) D = Panjang geometri (m) Pada Re < 2300, aliran bersifat laminer Pada Re > 4000, aliran bersifat turbulen Pada Re = 2300-4000, terdapat daerah transisi dimana aliran dapat bersifat turbulen atau laminer tergantung pada kondisi pipa dan aliran (Sularso, 2007). Parameter pada saluran distribusi : Kecepatan aliran fluida pada pipa (V, m/det) Kecepatan aliran fluida dihitung persamaan colebrooke (Victor, 1986)

dengan

Bilangan Reynold pada saluran distribusi dihitung menggunakan persamaan 4. Keseragaman emitter Keseragaman pemberian air dari setiap emitter pada keseluruhan sistem irigasi tetes dinyatakan dengan Keseragaman Emisi (Emission Uniformity, EU) yang dihitung menggunakan persamaan 7 :

>?=#@@ABAC .............................................. ....7) dimana: Eu = Keseragaman emisi (%) qn = Debit rata-rata dari 25 % debit terendah (l/jam) qa = Debit rata-rata dari keseluruhan emitter (l/jam) Parameter kebutuhan tanaman : Evapotranspirasi tanaman (ETo)

#$=−' '()⁡ [*+,-.+',0#12$] ............................ .5) Debit aliran (Q, m3/det)

Ditentukan dengan menggunakan program Cropwat atau metode Penman-Monteith. Input data yang digunakan yaitu data iklim 10 tahun terakhir (2000-2009) yang diperoleh dari BMG Selaparang. Kebutuhan air tanaman cabai

Debit saluran utama dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan 1. Tekanan (P)

Kebutuhan air tanaman (Evapotranspirasi, ETc) ditentukan dengan persamaan 8 : ETc = Kc x Eto.............................................8)

Nilai tekanan dapat ditentukan menggunakan persamaan 3.

dengan

Head losses pada pipa distribusi Head losses persamaan 6 :

Bilangan Reynold (Re)

dapat

ditentukan

dengan

9:=$=.6''7 ............................................... .....6) dimana: Hl = head losses (m) f = faktor gesekan (non dimensi) L = panjang pipa (m)

dimana: ETc = Kebutuhan air tanaman, (mm/hari) Kc = Faktor koefisien tanaman (non dimensi) ETo = Evapotranspirasi acuan, (mm/hari) Luas media tanam (polybag)

D=EF' ……………………………….........………...... 9) dimana: A = Luas media tanam (cm2) r = Jari-jari media tanam (cm) Analisis Data

38


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan matematik dan pendekatan statistik: 1. Pendekatan Matematik Pendekatan matematik dilakukan dengan menggunakan GW Basic yang selanjutnya

diselesaikan dengan menggunakan program exel. 2. Pendekatan statistik dilakukan dengan menggunakan Statgraph 3.0 dengan analisis Two-Sample Comparison.

Start

A

Penelitian pendahuluan dengan dua perlakuan:bukaan kran 45˚dan 90˚ Analisis hasil Dipilih rata-­‐rata volume penyiraman yang optimal

Hitung Eto (Penman Monteith ) Aplikasi Cropwat Koefisien tanaman, kc

Lay-­‐out sistem : P1,V1,Z1,

Q infiltrasi = infiltrasi x 24

Beda tinggi Z2-­‐Z1 = 5 m

Kecepatan aliran air dihitung dengan menggunakan pers.Colebrooke

jenis pipa PVC

Log-­‐out sistem penyiram dan kc, EU, ETo, ETcrop, Qemitter, kapasitas penyiraman, tinggi tanaman, dan jumlah daun, Bilangan Reynold (Re), Kecepatan aliran fluida (V), kehilangan energi.

Luas pipa (A)

Perakitan

Q = A .V Belokan pipa, head pipa utama (m), head pipa lateral (m) dan head ujung akhir (m)pipa.

Uji performansi pada pendahuluan dengan bukaan kran ½ (45°) Analisis data

kecepatan aliran fluida, Log-­‐out Head Losses (Hf), Evaporasi Tetapan Evapotranspirasi Tanaman (ETcrop), Bilangan Reynold (Re), Debit Keluaran pipa (Q), Keseragaman Emiter (EU).

Stop

A

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

39


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data klimatologi wilayah Mataram selama 10 tahun terakhir sejak tahun

2000-2009, maka dengan bantuan program CROPWAT diperoleh nilai Evapotranspirasi Potensial (ETo), seperti pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Data rata-rata klimatologi wilayah Kota Mataram selama tahun 2000-2009

Bulan

Min Temp (°C)

Max Temp (°C)

Relatif humidit y (%)

Kec. Angin (km/hari)

Penyinaran Matahari (jam)

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

24,5 31,3 24,3 23,5 22,8 21,9 21 21,1 22,8 23,5 24,2 24,5

31,3 31,5 31,4 31,7 31,9 31,1 30,9 31 31,6 31,4 32,3 31,7

82 81 82 83 80 79 77 76 76 77 81 80

268 354 311 268 268 268 268 268 311 268 268 268

4,5 4,4 4,9 5,6 6,5 6,2 6,6 6,6 6,2 6,2 5,6 4,3

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan program Cropwat terlihat bahwa nilai ETo setiap bulannya sangat bervariasi yang menyebabkan kebutuhan air tanaman tiap bulannya berbeda-beda. Di samping itu, besarnya kebutuhan air tanaman juga dipengaruhi oleh faktor koefisien tanaman (kc) yang nilainya berbeda-beda pada setiap fase pertumbuhan. Untuk keperluan desain digunakan kc dengan nilai yang lebih tinggi agar tidak terjadi kekurangan air selama fase pertumbuhan. Data hasil pengukuran laju infiltrasi pada tanah yang digunakan untuk penelitian diperoleh nilai rata-rata infiltrasi sebesar 25,2 mm/jam. Data laju infiltrasi ini juga dapat digunakan untuk menduga kapan suatu run-off akan terjadi bila suatu jenis tanah telah menerima sejumlah air tertentu baik melalui curah hujan ataupun irigasi dari suatu tandon air di permukaan tanah. Tanaman akan menghasilkan produksi maksimum jika kebutuhan airnya terpenuhi dengan maksimal mulai dari saat tanam sampai panen tergantung fase pertumbuhannya. Hasil penelitian sebelumnya (Soemarno, 2004)

Rad (MJ/m?/ hari) 16,8 16,8 17,1 17 16,8 15,5 16,4 17,7 18,6 19,4 18,5 16,4

ETo (mm/ hari) 4,08 4,63 4,3 4,04 4,11 3,85 4,04 4,34 4,76 4,74 4,52 4,23

mengemukakan bahwa kalau kekurangan air terjadi selama periode tertentu dalam musim pertumbuhan tanaman, respon hasil terhadap kekurangan air sangat beragam tergantung pada tingkat kepekaan tanaman pada periode tersebut. Pada umumnya tanaman sangat peka terhadap kekurangan air selama awal pertumbuhannya, pembungaan dan awal fase pembentukan hasil sehingga produksinya kurang maksimal. Penanaman cabai dimulai pada tanggal 10 Juli 2010, dengan kebutuhan air tanaman pada fase vegetatif adalah 162,21 ml/hari. Pada fase generatif sekitar 80 HST pada bulan Oktober (fase generatif), kebutuhan air tanaman cabai adalah 278,91 ml/hari. Keseragaman emitter Nilai keseragaman tetesan merupakan persentase yang diperoleh dari pengukuran debit pada tiap emiter per hari pada fase vegetatif dan generatif. Tingkat keseragaman tetesan dapat dilihat pada Gambar 2. Debit keluar pada tiap-tiap emitter tidak sama namun mendekati seragam. Pada fase vegetatif ratarata keseragaman emitter 85% sedangkan pada 40 Â

Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

keseragaman emi=er

fase generatif rata-rata keseragaman emitter 84% 150 100

vegetagf generagf

50 0

Untuk belokan pipa θ=90° dalam penelitian ini digunakan koefisien (f, non dimensi) 1,129, sambungan T dengan f=0,55 dan sambungan drat dengan f=1,3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian pada parameter alat

Parameter Kecepatan (V, m/s) Tekanan Gambar 2. Grafik tingkat keseragaman (P, Pa) emitter pada pada fase vegetatif dan generatif Bilangan tanaman cabai Reynold (Re, non Besarnya nilai rata-rata keseragaman dimensi) irigasi pada aplikasi jaringan irigasi ini lebih Debit besar dari 80%, ini berarti nilai keseragaman (Q,ml/det) debit keluar emiter sudah memenuhi kriteria Head keseragaman yang baik menurut ASAE. Hal losses ini menunjukkan bahwa jaringan irigasi tetes (Hl, m) mampu mendistribusikan air yang cukup mayor merata pada tiap-tiap emiter dalam setiap minor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ulangan ke-­‐

perlakuan. Namun apabila nilai keseragaman irigasi tetes <50%, maka jaringan irigasi tetes dinilai tidak layak karena pendistribusian air tidak merata yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Prabowo et al, 2004). Parameter pada alat Dalam rangka mempermudah analisis perhitungan, berdasarkan skema alat irigasi tetes dibagi dalam tiga sub sistem yaitu sub sistem saluran utama, sub sistem saluran distribusi dan sub sistem emitter. Secara teknis, head losses diperlukan dalam analisis mekanika fluida dari suatu aliran. Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan head losses mayor dan minor pada setiap sub sistem. Head losses mayor terjadi akibat panjang dan ukuran diameter, serta kekasaran absolut bahan di dalam pipa yang diperoleh melalui pendekatan numerik dengan persamaan colebrooke yang diselesaikan dengan menggunakan analisis numerik Newton-Raphson melalui bahasa program GW Basic. Head losses minor adalah kerugian akibat belokan, pengecilan mendadak dan penggunaan keran. Besarnya nilai head losses minor sesuai dengan jenis belokan dan bahan yang digunakan diperoleh dari (Sularso, 2007).

Saluran utama 4,419878 242396,648

Saluran distribusi 1,944888* 311104,15 68532939,7(turbulen)

60313380,67(turbulen) 0,02 0,04

1,0195E-06 1,39

6,127E-07 5,529

Keterangan : debit diambil dari total volume penyiraman per hari dan dibagi dua saluran yang sama Berdasarkan Tabel 2, debit diatur sesuai dengan debit yang dibutuhkan oleh tanaman. Pada dasarnya pada irigasi tetes, kecepatan aliran, tekanan dan debit aliran yang digunakan relatif kecil dan konstan. Kecepatan aliran pada saluran utama yaitu 4,419878 m/s lebih besar dibandingkan dengan kecepatan aliran pada saluran distribusi sebesar 1,944888 m/s. Pada penelitian ini besarnya tekanan udara luar (Pu) 1 atm atau setara dengan 101325 Pa sehingga dapat dicari besarnya tekanan pada emitter (PE1) sebesar 101714,42 Pa. Besarnya tekanan pada emitter 2 (PE2) juga dapat dicari setelah dikurangi head losses dan tegangan permukaan (σ) serta dijumlahkan dengan tegangan kapiler. Sehingga diperoleh (PE2) sebesar 101714,35. Begitu seterusnya sampai emitter ke-7. Tekanan pada emitter harus lebih besar dari tekanan udara luar sehingga emitter dapat mengalirkan air dengan debit tertentu per hari. Berikut hasil pengujian parameter pada sub sistem emitter dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengujian parameter pada emitter terdapat nilai tekanan yang bervariasi dimana semakin menjauhi saluran utama nilainya semakin berkurang. Hal ini disebabkan adanya 41


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 head losses akibat pertambahan panjang pipa pada saluran distribusi. Tekanan pada emitter nilainya harus lebih tinggi dari tekanan udara luar yakni 101325 Pa atau setara dengan 1 atm sehingga air masih mampu menetes dan dapat berjalan dengan baik. Tabel 3. Hasil pengujian parameter alat pada emitter Parameter Emitter Kecepatan (VE, m/s) 1.97E-05 Tekanan (PE, Pa) : E1 101714.4195 E2 101714.3477 E3 101714.276 E4 101714.2042 E5 101714.1325 E6 101714.0607 E7 101713.989 Bilangan Reynold (Re, non 367.3413383 dimensi) (laminer) Debit (QE, ml/det) 0.003486998 Head losses (HlE, m) : mayor 5.62E-07 Minor Keterangan : - Nilai tekanan pada emitter, tiap-tiap pipa saluran distribusi terdapat 7 buah emitter. Total jumlah emitter 14 buah. - Debit yang digunakan adalah debit pada masing-masing emitter Kecepatan Aliran (V) Pada emitter, pipa saluran distribusi dan saluran utama berdiameter (D) sama yaitu sebesar 0,0125 m diperoleh kecepatan pada saluran utama sebesar 4,419878 m/s, kecepatan pada saluran distribusi sebesar 1,944888 m/s dan kecepatan pada emitter sebesar 0,0000197 m/s. Kecepatan aliran ini juga sangat berguna untuk keperluan desain. Kecepatan pada saluran utama lebih besar dibandingkan dengan kecepatan pada emitter dan saluran distribusi. Hal ini dikarenakan pada saluran utama, air mengalir langsung dari penampung tidak dari pompa dengan head 1,5 m. Semakin sempit saluran yang dilewati maka zat cair akan bergerak lebih cepat karena adanya pengaruh tegangan kapiler. Hal ini sesuai dengan hukum Kontuinitas dalam Alexander (2007) yang menyatakan bahwa laju aliran volume atau debit selalu sama pada titik sepanjang pipa/tabung aliran. Ketika penampang pipa

mengecil, maka laju aliran fluida semakin meningkat. Debit Saluran (Q) Berdasarkan hasil pengukuran, debit pada saluran utama sebesar 0,04 ml/det lebih besar dibandingkan dengan debit saluran distribusi sebesar 0,02 ml/det. Sedangkan nilai debit pada emitter relatif lebih kecil dari saluran utama dan distribusi yaitu 0,0034869 ml/det. Dalam pengukuran debit di lapangan ditemui adanya kesulitan dalam pengukuran. Debit per emitter tidak sama yaitu karena adanya perbedaan suhu lingkungan antara pagi hari, siang hari, dan malam hari yang menyebabkan tetesan tiap emitter berbeda. Bilangan Reynold Kondisi aliran fluida akan sangat tergantung dari kecepatan aliran fluida, semakin tinggi kecepatan akan mempengaruhi pola aliran, kondisi aliran akan berubah dari laminer menjadi turbulen. Besar yang bisa menghubungkan antara kecepatan aliran (v), kondisi fluida (ρ,+), dan kondisi penampang diameter pipa (D) adalah angka reynold (Re) dapat dilihat pada persamaan 4. Pada penelitian ini diperoleh data Bilangan Reynold sebagai berikut ditunjukkan pada Gambar 3. 100000000 10000000 1000000 100000 10000 1000 100 10 1

Bilangan reynold (Re)

Re emiher

Re Re Utama distribusi

Gambar 3. Grafik rasio Bilangan Reynold Nilai Bilangan Reynold pada emitter, saluran distribusi dan saluran utama memiliki nilai yang berbeda-beda, disebabkan karena perbedaan kecepatan pada tiap saluran. Untuk emitter sifat aliran air laminer (Re<2000) yaitu sebesar 367,34 karena kecepatan pada emitter sangat kecil, sedangkan pada saluran distribusi dan pada saluran utama memiliki nilai Re yang sangat tinggi dengan sifat aliran turbulen 42


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 (Re>3500). Sifat pokok aliran, yaitu apakah alminer atau turbulen, serta posisi relatifnya pada skala yang menunjukkan pentingnya secara relatif kecendrungan turbulen terhadap kecendrungan laminer ditunjukkan oleh Bilangan Reynolds (Victor, 1986). Kalkulasi matematika pada alat penyiraman sistem tetes tekanan fluida rendah

Kalkulasi matematik untuk penyiraman dengan irigasi tetes tekanan fluida rendah dapat dikembangkan melalui penelitian ini untuk menentukan cara yang efektif dalam penyiraman. Untuk mengetahui karakter alat, banyak faktor yang dikaji salah satunya yaitu tekanan dengan kecepatan yang relatif kecil dan konstan untuk keperluan desain. Data hasil kalkulasi matematika dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Data Hasil Kalkulasi Model Matematika friction factor (desimal)

Input viskositas kinematik (Myu,m2/s) Absolute roughness (E,m) Diameter Pipa (D, m): Emitter Distribusi Utama Kerapatan(RHO, kg/m3) Panjang selang(L, m) Grafitasi(g, m/s2)

V(m/s)

P (Pa)

1,97E-05 1,944888 4,419878

101714,42 311104,15 242396,648

8,01E-07 0,000015 0,0025 0.0125 0,0125 993,6 0,25 9,8

Dari hasil analisa perhitungan data diperoleh nilai tekanan dan kecepatan pada emitter sangat kecil dibandingkan dengan saluran utama dan distibusi. Pada dasarnya pada irigasi tetes, tekanan, kecepatan aliran dan debit aliran yang digunakan relatif kecil dan konstan. Persamaan-persamaan yang diperoleh dapat digunakan untuk keperluan scale up, desain, atau perluasan jaringan alat.

0,174224878 9,64869E-09 1,03E-08

Buah cabai dipanen pertama kali pada umur 112 hst. Buah cabai dipanen pada tingkat kemasakan 90% yaitu ketika buah berwarna merah atau kuning kemerahan. Total keseluruhan hasil panen tanaman cabai adalah 492,266 g dengan luas areal 8 m2 dan jumlah populasi tanaman 14 buah. Rata-rata produksi per tanaman sebesar 35 g.

tanaman yang sesuai dengan kebutuhan air tanaman cabai yang diuji cobakan, yaitu dengan debit total 7 ml/jam atau setara dengan 0,007 liter/jam. 2. Tingkat keseragaman tetesan emitter per tanaman dapat menyebar secara merata pada tanaman sehingga dapat secara teknis dikategorikan baik, berkisar 81 s/d 87%. 3. Untuk keperluan desain dengan tekanan fluida rendah dapat digunakan pada fase generatif agar tidak terjadi kekurangan air selama proses pertumbuhan dan aliran pada emitter bersifat laminer. 4. Pada sistem penyiram tetes tekanan fluida rendah ini sangat efektif dalam penyiraman sehingga tidak boros dalam penggunaan air.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Penerapan sistem irigasi tetes dengan tekanan fluida rendah menghasilkan debit

Alexander, 2007. Handbook of Experimental Fluid Mechanics. Springer

Parameter pada tanaman

43 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosisem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

Prabowo, A.,Abi Prabowo.,Agung Hendriadi. 2004. Pengelolaan Irigasi Hemat Air di Lahan Kering: Aplikasi Irigasi Tetes dan Curah. Diakses melalui http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id/en g/index.php?option=com_docman&task =doc_download&gid=21&Itemid=64 [ juni, 2010] Soemarno, 2004. Pengelolaan Air Tanah Bagi Tanaman. Diakses melalui http://images.soemarno.multiply.multi

plycontent.com/attachment/0/RfuGmg oKCpkAAG53XHc1/pengelolaan%20 air%20untuk%20tanaman.DOC?nmid =22307046.[ 2 Desember 2009] Suhaya, D. 2008. Irigasi Tetes, Cara Efisien Menyiram Tanaman. Diakses melalui http://dedesuhaya.blogspot.com/2008/0 6/irigasi-tetes-cara-efisienmenyiram.html [02 Desember 2009] Sularso., dan Haruo, T. 2007. Pompa dan Kompresor. PT. Pradya Pramita. Jakarta.

44 Â Â


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014

KAJIAN PERUBAHAN KADAR AIR BLENDING KOPI ARABIKA (Coffea arabica L) DAN ROBUSTA (Coffea canephora L) SELAMA PENYIMPANAN Study of moisture content changes in arabika (coffea arabica l) and robusta (coffea canephora l) Coffee blends during storage Surya Abdul Muttalib 1 , Joko Nugroho 2 , Nursigit Bintoro 2 1 2

Program Studi Teknik Pertanian Universitas Mataram Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada E-Mail : surya_muttalib@yahoo.com ABSTRACT

In Indonesia, there are two types of coffee grown i.e Arabica and Robusta. Arabica coffee has higher quality flavor than Robusta, but it has less production. If both types are combined, there fore probably produce a good flavor quality with high taste and intense color. After roasted, the aroma quality of coffee grown is decreased quickly, so it is necessary to have good storage conditions and proper packaging. A quality component is a moisture content. This study aims to knows the effect of blending coffee Arabica and Robusta based on moisture content changes during storage at different temperature. This research used percentage Arabica : Robusta blends coffee were used respectively: 100:0%, 75:25%, 50:50%, 25:75, 0:100% and 2 temperature storages are cool temperatures (15 °C) and absolute temperatures (27°C). The maximum blends Arabica and Robusta is 75 % : 25% with grade 1. Grown coffee is better stored in cool temperatures than in room temperature. Key words: Arabica, Robusta, blending, storage. ABSTRAK Di Indonesia, terdapat dua jenis kopi yang dibudidayakan yaitu kopi Arabika dan Robusta. Kopi Arabika memiliki flavour lebih tinggi dibandingkan kopi Robusta, namun produksinya relatif sedikit, sehingga jika kedua jenis kopi ini dipadukan, dimungkinkan menghasilkan kualitas flavor yang baik dengan cita rasa tinggi dan warna yang kuat. Setelah penyangraian, kualitas kopi cenderung mengalami penurunan yang drastis sehingga dibutuhkan kondisi penyimpanan dan kemasan yang sesuai. Salah satu komponen mutu kopi adalah dengan melihat kadar air yang dikandungnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh blending kopi arabika dan robusta berdasarkan perubahan kadar air selama penyimpanan pada berbagai suhu penyimpanan. Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan suhu penyimpanan yakni suhu kamar (27°C) dan suhu dingin (15°C). Persentase blending Arabika : Robusta yang digunakan berturut-turut : 100:0 %, 75:25 %, 50:50 %, 25:75, 0 :100%. Blending kopi Arabika dengan Robusta yang terbaik yaitu Arabika 75% dan Robusta 25 % dengan grade 1. Kopi bubuk lebih baik disimpan dalam suhu dingin (15°C) dibandingkan dengan suhu kamar. Kata kunci: Arabika, Robusta, blending, penyimpanan.

PENDAHULUAN Pada tahun 2008 ekspor kopi Indonesia sebesar 375,000 ton dan terjadi peningkatan sekitar 8 % sepanjang lima tahun terakhir. Nilai ekspor tersebut menyumbang 9,7 % total volume ekspor Indonesia (Ditjenbun-deptan,

2008). Selama ini, ekspor kopi dari Indonesia hanya terbatas pada biji kopi kering dan sekitar 0,5 % berupa kopi bubuk. Secara umum ada dua jenis kopi yang budidayakan di Indonesia yaitu kopi Arabika dan Robusta. Kopi Arabika memiliki mutu cita rasa lebih baik dibandingkan kopi Robusta 45


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 (Siswoputranto, 1993), sehingga jika kedua jenis kopi ini dipadukan dimungkinkan akan menghasilkan kualitas flavor yang baik dengan cita rasa tinggi dan warna yang kuat. Penelitian Bicchi et al., (1995) menyatakan bahwa campuran kopi arabika dan robusta dapat meningkatkan nilai ekstraksi dan menyaring rasa masam pada kopi robusta, sedangkan dengan melebihkan persentasi jumlah kopi arabika dapat memperjelas rasa pahit dan secara umum meningkatkan aroma yang dihasilkan. Selama penyangraian terjadi proses yang komplek seperti pengurangan kadar air dan reaksi-reaksi kimia (oksidasi, reduksi, hidrolisis, polimerisasi, dekarboksilasi dan berbagai perubahan kimia) sejalan dengan perubahan (warna, volume, berat, pH, komponen yang mudah menguap, produksi CO2 dan lain-lain). Oleh karena itu, setelah proses penyangraian, kopi harus disimpan dalam tempat yang tertutup rapat untuk mencegah perubahan reaksi yang dapat mempengaruhi kualitas kopi yang dihasilkan (Sivetz and Desrosier, 1979). Kopi bubuk yang sudah disangrai harus dilindungi dengan cara menerapkan pengemasan dan kondisi penyimpanan yang sesuai sesuai. Proses penyimpanan harus mampu melindungi produk dari absorbsi kelembaban atmosfir yang tidak hanya menyebabkan produk menggumpal (mengeras/memadat) juga mempercepat penurunan aroma (Ridwansyah, 2003). Pada proses penyimpanan, kopi mengalami proses penambahan kadar air yang secara langsung mempengaruhi kualitas kopi. Semakin tinggi kadar air yang terkandung di dalam kopi bubuk semakin rendah kualitas kopi tersebut. Hal ini dimungkinkan karena dengan semakin besarnya jumlah kadar air maka aktifitas mikroorganisme semakin berkembang dengan cepat sehingga dimungkinkan akan merusak kualitas kopi. Oleh sebab itu, diperlukan perlakuan yang baik terhadap kopi bubuk yang dihasilkan sehingga komponen mutu bisa dipertahankan.

METODOLOGI PENELITIAN Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 Sampai bulan Januari Tahun 2012 di Laboratorium Rekayasa Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Teknik Pangan dan Pasca Panen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Alat Dan Bahan Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah biji Kopi Arabika dan Robusta kualitas A yang telah diproses dengan pengolahan cara kering dari Pengolahan Kopi Rakyat di Kecamatan Candi Roto, Temanggung, Jawa Tengah. Ukuran biji kopi Robusta yang digunakan memiliki dimensi rata-rata panjang, lebar dan tebal berturut-turut sebesar 1,116 cm, 0,893 cm dan 0, 594 cm, sedangkan ukuran biji kopi Arabika memiliki dimensi rata-rata berturut turut sebesar 1,02 cm, 0,751 cm, dan 0,415 cm. Prosedur Percobaan Rancangan percobaan Pada penelitian ini dilakukan dengan Blending Kopi Arabika dan Robusta dari hasil penyangraian yang optimal, kemudian melakukan proses penyimpanan. Sebelum dilakukan penyimpanan, dilakukan proses identifikasi aroma menggunakan alat Electric Nose yang memiliki empat sensor yakni TGS822, TGS825, TGS826, dan TGS2602. Pada penelitian tahap kedua, dilakukan penelitian menggunakan percobaan faktorial yang terdiri dari tiga (2) faktor yaitu : 1. Persentase Blending, terdiri dari 5 aras perlakuan sebagai berikut: • B1 : Arabika 100 % : Robusta 0 % • B2 : Arabika 75 % : Robusta 25 % • B3 : Arabika 50 % : Robusta 50 % • B4 : Arabika 25 % : Robusta 75 % • B5 : Arabika 0 % : Robusta 100 % 2. Suhu Penyimpanan, terdiri dari 2 aras perlakuan yaitu: • S1 : Suhu Kamar (27 ºC) • S2 : Suhu Dingin (15ºC)

46


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Tahapan Penelitian Blending Perbandingan Kopi Arabika dan Robusta: 0:100%, 25:75 %, 50%;50%, 25%:75%, 100:0%

Grinding

Alumunium foil

Pengemasan

Penyimpanan

-

Pengujian Aroma dan Kadar Air

Suhu Kamar (27 º C) Suhu Dingin (15 º C)

Selesai

Gambar 1. Bagan alir penelitian Pengujian Kadar Air

Analisis Data

Analisa kadar air kopi dilakukan menggunakan metode thermogravimetri (Sudarmadji,dkk., 1997), langkah yang dilakukan sebagai berikut: 1. Ditimbang bahan sebanyak 3 g dalam botol timbang yang sudah diketahui beratnya. 2. Dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama empat jam 3. Didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. 4. Dikeringkan kembali dalam oven selama 1 jam. 5. Didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. 6. Perlakuan ini diulangi sampai berat konstan yaitu selisih penimbangan tidak lebih dari 0,2 mg. 7. Dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus: wt(%)=

………..........…….1)

dimana: wt = Kadar air bahan (%) w0 = Berat sampel awal (gr) wt = Berat sampel setelah dipanaskan pada suhu 105°C

Analisis data menggunakan analisis varian dengan menggunakan software SPSS versi 18. Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut menggunakan uji Duncan multiple Range Taste (DMRT). HASIL DAN PEMBAHASAN Blending (Pencampuran) Setelah dilakukan proses penyangraian, selanjutnya dilakukan proses blending (pencampuran) antara kopi Arabika dengan Robusta dengan berbagai variasi proporsi campuran, kemudian dilakukan identifikasi aromanya menggunakan Electronic nose. Hasil identifikasi aroma blending Kopi Arabika dengan Robusta dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa semakin besar persentase campuran kopi Arabika semakin tinggi nilai sensor aroma yang dihasilkan dan sebaliknya semakin banyak persentase kopi Robusta, semakin rendah nilai sensor aroma yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh sifat dan kandungan senyawa organik yang terkandung di masingmasing kopi.

47


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 yang menyatakan bahwa kopi Arabika memiliki mutu cita rasa lebih baik dibandingkan kopi Robusta.

Nilai Sensor Aroma (voltase)

0.7000 0.6000 0.5000

TGS822

0.4000

TGS825

0.3000

Perubahan Kadar Air Selama Penyimpanan

TGS826

0.2000

Hasil analisis keragaman kadar air selama penyimpanan dengan perlakuan Variasi Suhu Penyimpanan, Kemasan Dan Blending Kopi Arabika dan Robusta menggunakan rancangan Spilt-split Plot Design dapat dilihat pada tabel 1.

TGS2602

0.1000 0.0000 A

B

C D E F Perlakuan Blending

G

Keterangan: A=Perbandingan Arabika:Robusta = 100% : 0% B= Perbandingan Arabika:Robusta =

75% : 25%

Tabel 1. Analisis keragaman kadar air selama penyimpanan dengan perlakuan variasi suhu penyimpanan dan blending Kopi Arabika dan Robusta

C= Perbandingan Arabika:Robusta = 66,3% : 33,7% D= Perbandingan Arabika:Robusta =

50% : 50%

E= Perbandingan Arabika:Robusta = 33,3% : 66,7% F= Perbandingan Arabika:Robusta = G= Perbandingan Arabika:Robusta =

25% : 75% 0% : 100%

No

Gambar 2. Hasil identifikasi aroma blending kopi Arabika dengan Robusta

Pengamatan Hari ke-

Blok ns ns ns ns ns

Perlakuan S B ns ns s s s s s s s s

SxB s s s s s

1 H0 2 H15 3 H30 4 H45 5 H60 Keterangan: S= Perlakuan variasi suhu penyimpanan B= Perlakuan blending (pencampuran Kopi Arabika dan Robusta) s= Signifikan (berbeda nyata) ns= Non signifikan (tidak berbeda nyata)

Kopi Arabika memiliki kandungan senyawa organik pembentuk aroma seperti alkohol, furfural, asam karboksil, oligosakarida, dan total polisakarida yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi Robusta. Clarke dan Macrae (1987) kopi Arabika mengandung oligosakarida sebesar 6-8% bobot kering sedangkan kopi Robusta mengandung oligosakarida sebesar 5-7% bobot kering, total polisakarida kopi Arabika sebesar 50-55 % berat kering sedangkan kopi Robusta mengandung total polisakarida sebesar 3747% berat kering. Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat Siswoputranto, (1993) Tabel 2. Tabel hasil uji lanjut analis keragaman Variabel Suhu S1 S2 Variabel blending B1 B2 B3 B4 B5

Nilai Rata-rata kadar air hari keH0 2.684 a 2.730 a

H 15 3.628 a 3.313 b

H 30 3.968 a 3.672 b

H 45 4.459 a 4.076 b

H 60 4.945 a 4.443 b

2.685 a 2.681 a 2.723 a 2.690 a 2.750 a

3.407 c 3.446 bc 3.503 a 3.476 ab 3.520 a

3.734 c 3.751 bc 3.801 b 3.881 a 3.932 a

4.108 e 4.208 d 4.282 c 4.344 b 4.397 a

4.502 e 4.590 d 4.720 c 4.788 b 4.868 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5 %.

48


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 Berdasarkan hasil analisa kadar air pada tabel 1 dapat dilihat bahwa pada hari pertama pengamatan perlakuan suhu penyimpanan dan blending pada masingmasing perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hal ini, diduga disebabkan pada hari pertama pengamatan belum dilakukan proses penyimpanan sehingga belum terjadi proses oksidasi maupun laju perubahan kadar air (difusi) kadar air lingkungan ke dalam sampel yang diuji. Terdapat interaksi antar perlakuan blending kopi Arabika dan Robusta pada suhu penyimpanan yang memberikan pengaruh berbeda nyata (signifikan) baik pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-45 dan hari ke-60 pengamatan. Perlakuan yang memberikan pengaruh yang nyata diuji lanjut menggunakan metode Duncan Multiple Range test (DMRT), hasil uji lanjutnya dapat dilihat pada tabel 2. Variabel Suhu Penyimpanan Hasil analisis keragaman pengaruh suhu penyimpanan terhadap kadar air kopi selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3.

ke-60. dari Hal ini dimungkinkan karena terjadinya difusi uap air dari lingkungan ke bahan. Peningkatan kadar air bubuk kopi selama penyimpanan disebabkan oleh pengaruh kelembaban udara sekitarnya, disamping itu bubuk kopi bersifat higroskopis sehingga mudah menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Pada penelitian ini penyimpanan bubuk kopi dilakukan pada suhu kamar dan kelembaban antara 72 – 90 %. Karena adanya perbedaan RH bubuk kopi yang lebih rendah dari pada RH ruang penyimpanan, maka untuk mencapai kesetimbangan bubuk kopi mengabsorpsi uap air dari ruang penyimpanan yang mengakibatkan meningkatnya kadar air bubuk kopi. Suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada penyimpan 15 sampai 60 hari. Pengaruh yang berbeda nyata ini disebabkan oleh perbedaan kelembaban relative (RH) dan tekanan yang terdapat dalam bahan dengan lingkungan ruang penyimpanan. Menurut Soemardi dan Karama (1996) kelembaban relative (RH) lingkungan sangat berpengaruh terhadap kadar air bahan selama penyimpanan.

8 7 6 5 4 3 2 1 0

a

a a b b

a b

a b Suhu kamar

0 15 30 45 60 Lama penyimpanan (hari)

Gambar 3. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kadar air kopi selama penyimpanan Dari Gambar 3 terlihat bahwa semakin lama penyimpanan kadar air bahan semakin meningkat baik pada penyimpanan suhu kamar maupun suhu dingin (15°C) di dalam refrigerator. Pada penyimpanan suhu kamar kadar air meningkat dari 2,68 % pada hari pertama sampai 4,9 % pada hari ke-60, sedangkan pada penyimpanan suhu dingin dalam refrigerator kadar air meningkat 2,73 % pada hari pertama sampai 4,44 pada hari

Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa semakin lama penyimpanan semakin tinggi kadar air pada bahan campuran kopi arabika dan robusta. Terdapat pengaruh yang signifikan perlakuan blending terhadap kadar air yang terkandung di dalam kopi. Hal ini dimungkinkan oleh kadar air awal biji kopi yang digunakan untuk blending kopi Arabika dan Robusta tersebut. 8 7 Kadar air (%)

Kadar air (%)

Variabel Blending

6

B1

5

B2

4 3

B3

2

B4

1

B5

0 0

15 30 45 Lama penyimpanan (hari)

60

Keterangan: B1= Arabika : Robusta =100:0 % B2= Arabika : Robusta = 75 :25 % 49


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 B3= Arabika : Robusta = 50:50 % B4= Arabika : Robusta = 25:75 % B5= Arabika : Robusta = 0:100 % Gambar 4. Pengaruh Blending Terhadap Kadar Air Kopi Selama Penyimpanan Dari Tabel 2 terlihat bahwa kadar air terendah terdapat pada perlakuan blending pada Arabika dan Robusta 100 : 0 %. Pada lama penyimpanan 15 dan 30 hari perlakuan Blending kopi Arabika dan Robusta 100 : 0 % tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan perlakuan Blending 75 : 25 %. Sedangkan pada lama penyimpanan 45 dan 60 perlakuan blending memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kadar air. Nilai rata-rata kadar air Blending kopi Arabika dan Robusta 100 : 0 % selama penyimpanan 60 hari sebesar 3,68 %. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan blending Kopi Arabika dan Robusta 0 : 100 % yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan blending Arabika : Robusta 25 : 75 % dan 50 : 50 % pada lama penyimpanan 15 hari dan memberikan pengaruh yang signifikan dengan semua perlakuan pada lama penyimpanan 30, 45 dan 60 hari. Semakin tinggi proporsi campuran kopi Robusta yang diberikan semakin meningkat kadar air yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kadar air awal dan sifat bahan kopi Arabika dan Robusta. Sifat reologi dari produk sangat menentukan difusi air ke dalam bahan yang disimpan. Sifat reologi berhubungan erat dengan bentuk molekul dan kandungan yang terdapat dalam bahan. KESIMPULAN Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Persentase Blending kopi Arabika dan Robusta Arabika 75% : 25 % merupakan yang terbaik, sehingga penggunaan 25 % Robusta cukup baik dalam mensubstitusi penggunaan kopi Arabika. 2. Kopi bubuk lebih baik disimpan dalam suhu dingin (15°C) dibandingkan dengan suhu kamar.

Saran Adapun saran yang diberikan sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebagai berikut: 1. Substitusi kopi Robusta 25 % dan Arabika 25 % pada blending Kopi Arabika dan Robusta dapat diterapkan oleh pelaku industri untuk mengurangi ketergantungan terhadap kopi Arabika. 2. Perlu dilakukan penelitian penentuan kualitas kopi blending Arabika atau Robusta dengan bahan lain seperti: beras, jagung dan sebagainya. Hal ini dikarenakan di beberapa daerah banyak yang melakukan blending kopi Arabika atau Robusta dengan bahan-bahan lain. 3. Perlu dilakuan penelitian kualitas kopi selama penyimpanan dalam jenis kemasan yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Bicchi CP, Binello AE, Pellegrino GM, Vanni AC (1995) J. Agric Food Chem 43:1549–1555 Clarke, R. J. and Macrae, R. 1987. Coffe chemestry (Volume 1). Elsevier Applied Science, London and New York. Clarke, R. J. and Macrae, R. 1987. Coffe Technology (Volume 2). Elsevier Applied Science, London and New York. Ditjenbun_deptan, 2008. Pengembangan Komoditas Perkebunan dan Kehutanan Non Kayu. Grasindo. Jakarta Illy, A dan R. Viani,1995. Expresso Coffee; The Chemistry of Quality. Academic Press London-sandiego253 p. Ridwansyah, 2003. Pengolahan Kopi. Digitized by USU digital library. Sievetz, M dan N.W, Desroiser, 1979. Coffee Technology. The Avi Publish. Co:Wesport. Conecticut. USA Siswoputranto, P .S. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanasius. Jakarta. Soedarmadji, dkk.,1997. Analisa Bahan MAkanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Soemardi dan Karama, 1996. Tanaman Tropika. Bina Aksara. Bandung.

50


Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.2, No. 1 Maret 2014 PANDUAN PENULISAN NASKAH Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem Umum Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem menerima kiriman naskah laporan hasil kerja penelitian yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan di penerbitan lain. Semua penulis diharapkan sudah menyutujui pengiriman naskah ke Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, dan setuju dengan urutan nama penulisnya. Corresponding author juga diharapkan sudah memperoleh persetujuan dari para penulis untuk mewakili mereka selama proses penyuntingan dan penerbitan naskah. Penulis diminta mengirimkan 3 (tiga) eksemplar naskah asli beserta soft copy nya di dalam CD ke: Redaksi Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem Alamat : Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram Jl. Majapahit No.62 Mataram, 83125, NTB Atau E-­‐mail ke: jrpb_pstep@unram.ac.id Format Naskah Naskah harap ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris yang baik dan benar. Penulisan dalam bahasa Inggris umumnya dalam bentuk past tense. Naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris atau penulis yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris harap dikirim ke English Editor terlebih dahulu untuk mengecek bahasa Inggrisnya. Naskah ditulis menggunakan word-­‐processor, Microsoft Word dengan Times New Romans 12 lebih diutamakan. Naskah ditulis dengan ukuran kertas A4 dengan margin 2,5 cm di sekitar teks dan dalam spasi ganda, justifikasi sebelah kanan harap di set off. Naskah terdiri dari bagian-­‐bagian: (a) Judul; (b) Nama-­‐ nama penulis; (c) Afiliasi penulis; (d) Abstrak; (e) Pendahuluan; (f) Metode Penelitian; (g) Hasil dan Pembahasan; (h) Kesimpulan; (i) Ucapan Terimakasih (apabila perlu); (j) Daftar Pustaka. Untuk naskah dalam bahasa Indonesia, judul dan abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak disertai dengan kata kunci/keyword. Gambar dan tabel hanya boleh digunakan untuk menerangkan hal-­‐hal yang tidak mudah diterangkan dalam teks. Penulisan Pustaka Pustaka dalam teks disitasi sebagai berikut: dua penulis, Smith dan Jones (2005) atau (Smith dan Jones, 2005); tiga penulis atau lebih, Smith dkk. (2005) atau (Smith dkk., 2005). Pustaka yang ditulis oleh penulis yang sama pada tahun yang sama dibedakan dengan huruf kecil a, b, dst. baik di dalam teks maupun dalam Daftar Pustaka (misalnya 2005a atau 2005a,b). Penulisan Pustaka dalam Daftar Pustaka Pustaka dari jurnal: Suhardiyanto, H., M.M. Fuad dan Y. Widiningrum, (2007). Analisis pindah panas pada pendinginan dalam tanah untuk sistem hidroponik. Jurnal Keteknikan Pertanian Vol.21 (4):355-­‐362. Pustaka dari buku: Singh, R. P. dan D. R. Heldman, (2001). Introduction Food Engineering. Food Science Technology. Academic Press. London . Pustaka dari bab suatu buku: Howell, T.A., F.K. Alijiburi, H.M. Gitlin, I. Pai Wu, A.W.Warrick dan P.A.C. Raats, (1980). Design and operation of trickle (drip) irrigation, in Jensen, M.E.(Ed.). Design and Operation of Farm Irrigation System. Am. Soc. of Agric. Eng., Michigan. p 663-­‐717. Referensi melalui internet: Nugroho, Wahyunanto Agung, (2002). Uji Performansi Alat Pengering Cengkeh (Eugenia Aromatica) Tipe Efek Rumah Kaca. Diiakses melalui http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/16316.[20 Februari 2014] Skripsi/Tesisi/Disertasi : Arifanto, T. 2002. Teknik perbaikan filter fisik dan filter kimia pada sistem resirkulasi pembenihan ikan patin. (Skripsi). Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

51


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.