Cauchy vol 3 no 3 november 2014

Page 1

ISSN 2086 – 0382

Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi Volume 3 Nomor 3 November 2014

CAUCHY

Vol. 3

No. 3

Hal. 124 - 180

Malang November 2014

ISSN 2086-0382



ISSN 2086 – 0382

Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi Volume 3 Nomor 3 November 2014

CAUCHY secara berkala terbit dua (2) kali dalam setahun dengan periode 24 bulan untuk setiap volume. Redaksi menerima tulisan ilmiah hasil penelitian, kajian kepustakaan, analisis dan pemecahan permasalahan di bidang Matematika (Aljabar, Analisis, Statistika, Komputasi, dan Terapan). Naskah yang diterima akan dikilas (review) oleh Mitra Bestari (reviewer) untuk dinilai substansi kelayakan naskah. Redaksi berhak mengedit naskah sejauh tidak mengubah substansi inti, hal ini dimaksudkan untuk keseragaman format dan gaya penulisan. Pimpinan Redaksi

: Mohammad Jamhuri, M.Si

Reviewer

: Prof. Dr. Toto Nusantara, M.Si (Universitas Negeri Malang) Prof. Dr. Agus Suryanto, M.Sc (Universitas Brawijaya) Dr. Yus M. Cholily, M.Si (Universitas Muhammadiyah Malang) Dr. Sri Harini, M.Si Dr. Usman Pagalay, M.Si Dr. Abdussakir, M.Pd

Editor Pelaksana

: Muhammad Nafie Jauhari, M.Si Juhari, M.Si

Alamat Redaksi Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jalan Gajayana 50 Malang Tlp./Fax. (0341) 558933 Malang 65145 Website: ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/Math E-mail: cauchy@uin-malang.ac.id



ISSN 2086 – 0382

Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi Volume 3 Nomor 3 November 2014

DAFTAR ISI Deskripsi Pengaruh Parameter Terhadap Kestabilan Perilaku Sistem Bandul Ganda Sederhana Thoufina Kurniyati Diskritisasi Pada Sistem Persamaan Diferensial Parsial Khusnul Khamidiyah, Usman Pagalay Faktorisasi Graf Baru Yang Dihasilkan Dari Pemetaan Titik Graf Sikel Pada Bilangan Bulat Positif

124 – 130 131 – 137

138 – 146

Nova Nevisa Auliatul Faizah, Wahyu H. Irawan Keakuratan Solusi Pada Persamaan Difusi Menggunakan Skema Crank-Nicolson Afidah Karimatul Laili, Ari Kusumastuti

147 – 151

Keterkaitan Antara Modul Bebas Dengan Modul Dilihat Dari Sifat-Sifat Homomorfisme Modul Khusnul Afifa, Abdussakir

152 – 157

Penurunan Model Traffic Flow Berdasarkan Hukum-Hukum Kesetimbangan Binti Tsamrotul Fitria, Mohammad Jamhuri

158 – 168

Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Fokker-Planck Dengan Metode Garis Siti Muyassaroh

169 – 173

Statistik Uji Parsial Pada Model Mixed Geographically Weighted Regression Mahmuda, Sri Harini

174 – 180



DESKRIPSI PENGARUH PARAMETER TERHADAP KESTABILAN PERILAKU SISTEM BANDUL GANDA SEDERHANA Thoufina Kurniyati Mahasiswa Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang E-mail: thoufinakurniyati@yahoo.co.id

ABSTRAK Sistem bandul ganda sederhana merupakan pengembangan sistem bandul sederhana. Penurunan model bandul ganda sederhana berasal dari persamaan Euler-Lagrange. Sistem bandul ganda sederhana didapatkan dengan asumsi besar sudut perpindahan benda pertama maupun benda kedua sangat kecil. Penelitian terdahulu [1] membahas mengenai kestabilan dan solusi eksak dari sistem bandul ganda sederhana, selanjutnya pada penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan kestabilan perilaku pada sistem dengan parameter yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan sistem memiliki titik tetap trivial, nilai eigen imajiner murni yang berarti sistem berayun di sekitar titik tetap, dan solusi sistem berupa solusi periodik untuk perubahan besar sudut benda pertama dan kedua (đ?œƒ1 , đ?œƒ2 ) serta solusi quasiperiodic untuk laju kecepatan benda satu dan benda dua (đ?œƒĚˆ1 , đ?œƒĚˆ2 ). Perubahan parameter tidak mempengaruhi kestabilan sistem bandul ganda sederhana. Kata Kunci: sistem bandul ganda sederhana, analisis perilaku, titik tetap, nilai eigen, vektor eigen, solusi periodik, solusi quasiperiodic ABSTRACT Simple double pendulum system is the development of a simple pendulum system. The decline in the simple model of a double pendulum is derived from the Euler-Lagrange equation. Simple double pendulum system obtained by assuming a large angle displacement of the object first and second objects is very small. Previous research by [1] discuss the stability and the exact solution of a simple double pendulum system, further research is focused to describe the stability of the behavior of the system with different parameters. The results of this study indicate the system has a nontrivial fixed point, purely imaginary eigenvalues which means the system swinging around a fixed point, and system solutions in the form of periodic solutions for a major change angle first and second objects (đ?œƒ1 , đ?œƒ2 ) and quasi-periodic solutions to the rate of velocity one and two object (đ?œƒĚˆ1 , đ?œƒĚˆ2 ). Parameter changes do not affect the stability of a simple double pendulum system Keywords : simple double pendulum system, behavioral analysis, fixed point, eigen value, eigen vector, periodic solutions, quasiperiodic solutions

PENDAHULUAN Peranan teori dan peranan penerapan matematika tidak dapat dipisahkan. Banyak konsep abstrak matematika yang dikembangkan karena kebutuhan untuk menjawab permasalahan dari dunia nyata dan bidang ilmu lain [2]. Pemodelan matematika dapat diterapkan ke berbagai disiplin ilmu lain, salah satunya adalah sistem bandul ganda sederhana. Sistem bandul ganda sederhana merupakan pengembangan bandul sederhana, pengertian bandul sederhana yaitu benda ideal yang terdiri dari sebuah titik massa, yang digantungkan pada tali ringan yang tidak dapat mulur [3].

Penelitian sebelumnya [1] membahas mengenai solusi eksak dan kestabilan sistem bandul ganda sederhana, selanjutnya pada penelitian ini difokuskan mendeskripsikan kestabilan perilaku dengan parameter yang berbeda, parameter tersebut adalah massa benda pertama đ?‘š1 . Salah satu permasalahan yang menggunakan sistem bandul ganda adalah pada sistem kerja tim SAR (Search and Rescue) dan suplai makanan atau amunisi ke barak analisis dengan menggunakan helikopter. Berbagai bencana alam yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, menyebabkan kerja Tim SAR semakin tinggi. Keefektifan kerja Tim SAR sangat diperlukan


Thoufina Kurniyati agar bantuan makanan dan, pakaian ataupun obat-obatan dapat tersebar merata. Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan untuk melanjutkan penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis mengambil tema “Deskripsi Pengaruh Parameter terhadap Kestabilan Perilaku Sistem Bandul Ganda Sederhanaâ€?. TINJAUAN PUSTAKA 1. Bandul Ganda Sederhana Sistem bandul ganda sederhana adalah sistem yang terdiri dari dua benda đ??ľ1 dan đ??ľ2 dengan massa masing-masing benda adalah đ?‘š1 dan đ?‘š2 . Selain itu benda tersebut masingmasing dihubungkan dengan dua helai kawat yang kuat tapi ringan đ??ż1 dan đ??ż2 dengan panjang masing-masing kawat adalah đ?‘™1 dan đ?‘™2 , benda đ??ľ1 terpasang pada ujung kawat đ??ż1 (ujung kawat đ??ż1 lainnya terpasang mantap pada sebuah bidang). Sementara itu benda đ??ľ2 terpasang pada ujung kawat đ??ż2 di bawah pengaruh grafitasi (ujung kawat đ??ż2 lainnya mantap terpasang pada benda pertama đ??ľ1 ). Sistem bandul ganda memiliki 4 (empat) parameter yakni đ?‘™1 , đ?‘™2 , đ?‘š1 dan đ?‘š2 dengan dipengaruhi oleh grafitasi, bandul ganda berosilasi pada bidang vertikal dengan sudut perpindahan untuk suatu waktu adalah đ?œƒ1 (đ?‘Ą) dan đ?œƒ2 (đ?‘Ą) [1]. Sistem bandul sederhana adalah sebagai berikut (đ?‘š + đ?‘š2 )đ?‘™1 2 đ?œƒĚˆ1 + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚˆ2 + (đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘™1 đ?‘”đ?œƒ1 = 0 { 1 đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚˆ1 + đ?‘š2 đ?‘™2 2 đ?œƒĚˆ2 + đ?‘š2 đ?‘™2 đ?‘”đ?œƒ2 = 0 Variabel dan parameter yang digunakan adalah đ?‘š1 : Massa benda pertama dalam satuan slug đ?‘š2

:

Massa benda kedua dalam satuan slug

đ?‘™1

:

Panjang kawat/tali pertama dalam satuan kaki

đ?‘™2

:

Panjang kawat/tali kedua dalam satuan kaki

đ?‘”

:

Gravitasi bumi dalam satuan kaki/s2

đ?œƒ1 (đ?‘Ą)

:

Sudut perpindahan benda pertama pada waktu đ?‘Ą dalam satuan radian

đ?œƒ2 (đ?‘Ą)

:

Sudut perpindahan benda kedua pada waktu đ?‘Ą dalam satuan radian

đ?œƒĚˆ1 (đ?‘Ą)

:

Laju kecepatan benda pertama terhadap waktu dalam satuan kaki/s2

đ?œƒĚˆ2 (đ?‘Ą)

:

Laju

125

kecepatan

benda

kedua

terhadap kaki/s2

waktu

dalam

satuan

2. Analisis Model Bandul Ganda Sederhana Pada bagian ini akan dianalisis model bandul ganda sederhana yang dibangun ke dalam bentuk sistem persamaan diferensial. Analisis dimulai dengan penurunan dari persamaan Euler-Lagrange. Dalam mekanika Lagrangian, evolusi sistem dijelaskan dalam hal koordinat umum dan kecepatan umum. Dalam kasus ini, sudut defleksi bandul đ?œƒ1 , đ?œƒ2 dan kecepatan angular dapat diambil sebagai variabel umum. Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut, dibangun persamaan Lagrangian untuk bandul ganda kemudian persamaan diferensial EulerLagrange. Koordinat bandul pertama didefinisikan đ?‘Ľ1 = đ?‘™1 sin đ?œƒ1 , đ?‘Ś1 = − đ?‘™1 cos đ?œƒ1 . Energi kinetik (đ?‘‡) secara umum dinyatakan 1 đ?‘‡ = đ?‘šđ?‘Ł 2 . 2 Energi kinetik benda pertama (đ?‘‡1 ) dinyatakan đ?‘š1 2 2 đ?‘‡1 = (đ?‘™ đ?œƒĚ‡ ), (1) 2 1 1 dan energi kinetik benda kedua (đ?‘‡2 ) dinyatakan đ?‘š2 2 2 2 đ?‘‡2 = [đ?‘™1 đ?œƒĚ‡1 + đ?‘™2 2 đ?œƒĚ‡2 2 (2) + 2đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚ‡1 đ?œƒĚ‡2 cos (đ?œƒ1 − đ?œƒ2 )]. Energi potensial (đ?‘‰) secara umum dinyatakan đ?‘‰ = đ?‘šđ?‘”â„Ž. Energi potensial benda pertama (đ?‘‰1 ) dinyatakan đ?‘‰1 = −đ?‘š1 đ?‘” đ?‘™1 đ?‘?đ?‘œđ?‘ đ?œƒ1 , (3) dan energi potensial benda kedua dinyatakan đ?‘‰2 = −đ?‘š2 đ?‘” (đ?‘™1 đ?‘?đ?‘œđ?‘ đ?œƒ1 + đ?‘™2 đ?‘?đ?‘œđ?‘ đ?œƒ2 ). (4) Persamaan Lagrangian adalah selisih antara energi kinetik dengan energi potensial. đ??ż = đ?‘‡ − đ?‘‰ = đ?‘‡1 + đ?‘‡2 − (đ?‘‰1 + đ?‘‰2 ) (5) Substitusi (1)-(4) ke persamaan (5) maka didapatkan đ?‘š1 đ?‘š2 2 2 đ?‘š2 2 2 đ??ż=( + ) đ?‘™ đ?œƒĚ‡ + đ?‘™ đ?œƒĚ‡ 2 2 1 1 2 2 2 + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚ‡1 đ?œƒĚ‡2 cos (đ?œƒ1 (6) − đ?œƒ2 ) + (đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘”đ?‘™1 cos đ?œƒ1 + đ?‘š2 đ?‘”đ?‘™2 cos đ?œƒ2 . Fungsi trigonometri cos đ?œƒ1 , dan cos đ?œƒ2 dapat digantikan oleh ekspresi perkiraan berikut 2 2 đ?œƒĚ‡1 đ?œƒĚ‡2 cos đ?œƒ1 ≈ 1 − , cos đ?œƒ2 ≈ 1 − . 2 2

Volume 3 No. 3 November 2014


Deskripsi Pengaruh Parameter Terhadap Kestabilan Perilaku Sistem Bandul Ganda Sederhana Diasumsikan bahwa sudut đ?œƒ1 dan đ?œƒ2 sangatlah kecil maka nilai cos (đ?œƒ1 − đ?œƒ2 ) dapat dinyatakan sebagai berikut cos (đ?œƒ1 − đ?œƒ2 ) ≈ cos đ?œƒ1 cos đ?œƒ2 + sin đ?œƒ1 sin đ?œƒ2 ≈ 1 maka didapatkan đ?‘š1 đ?‘š2 2 2 đ?‘š2 2 2 đ??ż=( + ) đ?‘™ đ?œƒĚ‡ + đ?‘™ đ?œƒĚ‡ + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚ‡1 đ?œƒĚ‡2 2 2 1 1 2 2 2 đ?‘š1 đ?‘š2 đ?‘š2 2 2 −( + ) đ?‘”đ?‘™1 đ?œƒĚ‡1 + đ?‘”đ?‘™2 đ?œƒĚ‡1 . 2 2 2 Persamaan Euler - Lagrange dinyatakan sebagai berikut đ?‘‘ đ?œ•đ??ż đ?œ•đ??ż − = 0, đ?‘– = 1, 2 đ?‘‘đ?‘Ą đ?œ•đ?œƒĚ‡đ?‘– đ?œ•đ?œƒđ?‘– sehingga diperoleh sistem bandul ganda dengan asumsi sudut osilasi yang kecil đ?‘‘ [(đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘™1 2 đ?œƒĚ‡1 + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚ‡2 ] + (đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘”đ?‘™1 đ?œƒ1 = 0 đ?‘‘đ?‘Ą { đ?‘‘ [đ?‘š đ?‘™ 2 đ?œƒĚ‡ + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚ‡1 ] − đ?‘š2 đ?‘”đ?‘™2 đ?œƒ2 = 0 đ?‘‘đ?‘Ą 2 2 2

Diasumsikan sebuah nilai eigen adalah đ?œ† = đ?›ź Âą đ?‘–đ?›˝ dengan đ?›˝ ≠0 [5] 1. Jika đ?›ź = 0, maka titik tetap adalah elliptic center, dengan solusi periodik. Arah gerakan yaitu searah jarum jam atau berlawanan dengan jarum jam. 2. Jika đ?›ź < 0, maka titik tetap adalah stable focus. Arah gerakan yaitu searah jarum jam atau berlawanan dengan jarum jam. 3. Jika đ?›ź > 0, maka solusi spiral keluar dan titik tetap adalah unstable focus, dengan arah gerak spiral yaitu searah jarum jam atau berlawanan dengan jarum jam. 4. Dalam tiga kasus di atas, arah solusi menuju ke sekitar titik tetap dapat ditentukan dengan mengecek apakah đ?‘ĽĚ‡1 adalah positif atau negatif ketika đ?‘Ľ1 = 0. Jika đ?‘ĽĚ‡1 positif maka solusi searah dengan jarum jam dan jika đ?‘ĽĚ‡1 negatif maka solusi berlawanan dengan jarum jam.

atau

(đ?‘š + đ?‘š2 )đ?‘™1 2 đ?œƒĚˆ2 + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒĚˆ2 + (đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘”đ?‘™1 đ?œƒ1 = 0 { 1 . đ?‘š2 đ?‘™2 2 đ?œƒĚˆ2 + đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 đ?œƒ1Ěˆ − đ?‘š2 đ?‘”đ?‘™2 đ?œƒ2 = 0

3. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Misalkan matriks đ??´ adalah matriks đ?‘› Ă— đ?‘›, maka vektor tak nol x di dalam â„› đ?‘› dinamakan vektor eigen (eigenvector) dari đ??´ adalah kelipatan skalar dari x; yakni, đ??´x = đ?œ†x untuk suatu skalar đ?œ†. Skalar đ?œ† dinamakan nilai eigen dari đ??´ dan x dikatakan vektor eigen yang bersesuaian dengan Îť [4]. 4. Solusi dan Potret Fase dengan Nilai Eigen Kompleks Persamaan diferensial ẋ = đ?‘Žx memiliki solusi x(đ?‘Ą) = x0 (đ?‘Ą)đ?‘’ đ?‘Žđ?‘Ą dengan x(đ?‘Ą) merupakan variabel yang bergantung pada waktu đ?‘Ą, đ?‘Ž merupakan parameter dan kondisi awal x0 yang berbeda [5]. Selanjutnya untuk solusi dari nilai eigen kompleks, diperlukan untuk memahami eksponensial dengan eksponen kompleks. Dengan membandingkan ekspansi deret kuasa, dapat dilihat bahwa đ?‘’ đ?‘– đ?›˝đ?‘Ą = cos(đ?›˝đ?‘Ą) + đ?‘– sin(đ?›˝đ?‘Ą), (đ?›ź+đ?‘–đ?›˝)đ?‘Ą đ?‘’ = đ?‘’ đ?›źđ?‘Ą đ?‘’ đ?‘– đ?›˝đ?‘Ą = đ?‘’ đ?›źđ?‘Ą (cos(đ?›˝đ?‘Ą) + đ?‘– sin(đ?›˝đ?‘Ą)) [5]. Demikian, jika đ?œ† = đ?›ź + đ?‘–đ?›˝ adalah nilai eigen kompleks dengan vektor kompleks v = u + đ?‘– w (dengan đ?›ź dan đ?›˝ adalah bilangan real serta u dan w adalah vektor real), maka đ?‘’ (đ?›ź+đ?‘–đ?›˝)đ?‘Ą (u + đ?‘– w) = đ?‘’ đ?›źđ?‘Ą (cos(đ?›˝đ?‘Ą) + đ?‘– sin(đ?›˝đ?‘Ą))(u + đ?‘– w) Berikutnya adalah menggambar potret fase untuk sepasang nilai eigen kompleks.

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

(2.24)

PEMBAHASAN

1. Analisis Perilaku Sistem Bandul Ganda Sederhana Riset pendahuluan bandul ganda sederhana [1] telah dilakukan penondimensionalan terhadap sistem bandul ganda sederhana, dimisalkan đ?‘Ž = (đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘™1 đ?‘”, đ?‘? = (đ?‘š1 + đ?‘š2 )đ?‘™1 2 , (7) â„Ž = đ?‘š2 đ?‘™2 đ?‘”, đ?‘— = đ?‘š2 đ?‘™1 đ?‘™2 , đ?‘˜ = đ?‘š2 đ?‘™2 dengan đ?‘Ž, đ?‘?, đ?‘—, â„Ž, dan đ?‘˜ > 0. Oleh karena itu sistem persamaan bandul ganda dapat ditulis sebagai berikut đ?‘?đ?œƒĚˆ + đ?‘—đ?œƒĚˆ2 = −đ?‘Ž đ?œƒ1 (8) { 1 . đ?‘—đ?œƒĚˆ1 + đ?‘˜đ?œƒĚˆ2 = −ℎ đ?œƒ2 Misalkan đ?‘Ľ1 = đ?œƒ1 , đ?‘Ľ2 = đ?œƒĚ‡1 , đ?‘ĽĚ‡ 2 = đ?œƒĚˆ1 , đ?‘Ľ3 = đ?œƒ2 , đ?‘Ľ4 = đ?œƒĚ‡4 dan đ?‘ĽĚ‡ 4 = đ?œƒĚˆ2 maka diperoleh đ?‘ĽĚ‡1 = đ?œƒĚ‡1 đ?‘ĽĚ‡ 2 = đ?œƒĚˆ1 (9) đ?‘ĽĚ‡ 3 = đ?œƒĚ‡2 {đ?‘ĽĚ‡ 4 = đ?œƒĚˆ2 atau dapat ditulis đ?‘ĽĚ‡1 = đ?‘Ľ2 đ?‘ĽĚ‡ 2 =

−đ?‘Žđ?‘˜ −đ?‘— 2 +đ?‘?đ?‘˜

đ?‘Ľ1 +

đ?‘—â„Ž −đ?‘— 2 +đ?‘?đ?‘˜

đ?‘Ľ3

(10)

đ?‘ĽĚ‡ 3 = đ?‘Ľ4 −đ?‘Žđ?‘—

đ?‘?â„Ž

{ đ?‘ĽĚ‡ 4 = đ?‘— 2−đ?‘?đ?‘˜ đ?‘Ľ1 + đ?‘— 2 −đ?‘?đ?‘˜ đ?‘Ľ3 Sistem (10) menunjukkan bahwa laju kecepatan benda pertama dipengaruhi oleh −đ?‘Žđ?‘˜ besar 2 dari perpindahan sudut bandul −đ?‘— +đ?‘?đ?‘˜

pertama

ditambah

besar

đ?‘—â„Ž −đ?‘— 2 +đ?‘?đ?‘˜

dari

126


Thoufina Kurniyati perpindahan sudut benda kedua. Laju kecepatan bandul kedua dipengaruhi oleh besar −đ?‘Žđ?‘— dari perpindahan sudut bandul pertama 2 đ?‘— −đ?‘?đ?‘˜

dan besar

đ?‘?â„Ž đ?‘— 2 −đ?‘?đ?‘˜

dari perpindahan sudut bandul

kedua. Analisis Titik Tetap Analisis titik tetap dikerjakan dengan mengasumsikan bahwa �� �� �̇1 = 1 = 0, �̇ 2 = 2 = 0, �� ��

đ?‘‘đ?‘Ą đ?‘‘đ?‘Ľ

đ?‘ĽĚ‡ 3 = 3 = 0, đ?‘ĽĚ‡ 4 = 4 = 0. đ?‘‘đ?‘Ą đ?‘‘đ?‘Ą Maka, didapatkan sistem linier untuk model bandul ganda sederhana sebagai berikut: 0 = đ?‘Ľ2 −đ?‘Žđ?‘˜ đ?‘—â„Ž 0= 2 đ?‘Ľ + 2 đ?‘Ľ −đ?‘— +đ?‘?đ?‘˜ 1 −đ?‘— +đ?‘?đ?‘˜ 3 (11) 0 = đ?‘Ľ2 −đ?‘Žđ?‘— đ?‘?â„Ž 0= 2 đ?‘Ľ1 + 2 đ?‘Ľ3 đ?‘— −đ?‘?đ?‘˜

đ?‘— −đ?‘?đ?‘˜

Oleh karena itu, sistem (11) mempunyai pemecahan trivial sehingga didapatkan titik tetap yaitu đ??š = (đ?‘Ľ1 , đ?‘Ľ2 , đ?‘Ľ3 , đ?‘Ľ4 ) = (0, 0, 0, 0) Sistem bandul ganda sederhana hanya memiliki satu titik tetap yaitu đ??š = (đ?‘Ľ1 , đ?‘Ľ2 , đ?‘Ľ3 , đ?‘Ľ4 ) = (0, 0, 0, 0) yang berarti bahwa posisi seimbang pada bandul ganda sederhana ketika sudut perpindahan benda pertama suatu waktu, laju kecepatan benda pertama terhadap waktu, sudut perpindahan benda kedua suatu waktu dan laju kecepatan benda kedua terhadap waktu sama dengan nol (đ?œƒ1 (đ?‘Ą) = đ?œƒĚˆ1 (đ?‘Ą) = đ?œƒ2 (đ?‘Ą) = đ?œƒĚˆ2 (đ?‘Ą) = 0). Posisi seimbang merupakan posisi dimana energi potensial mencapai harga minimum dan merupakan posisi untuk keseimbangan stabil. Contoh Kasus Contoh analisis perilaku sistem bandul ganda sederhana diberikan untuk memahami lebih dalam mengenai perilaku pada sistem bandul ganda sederhana. Contoh kasus dengan parameter đ?‘š1 = 937,5 slug, đ?‘š2 = 312,5 slug, đ?‘™1 = 16 kaki, đ?‘™2 = 16 kaki, dan đ?‘” = 32 kaki/s2 dengan kondisi awal yang berbeda đ?‘Ľ1 (0) = −0,5 rad, đ?‘Ľ2 (0) = −1 rad/s, đ?‘Ľ3 (0) = 1 rad, dan đ?‘Ľ4 (0) = 2 rad/s. Pandang sistem linier (10) menjadi sebuah matriks ẋ = đ??´x

0 1 −đ?‘Žđ?‘˜ 0 −đ?‘— 2 + đ?‘?đ?‘˜ đ??´= 0 0 −đ?‘Žđ?‘— 0 [ đ?‘— 2 − đ?‘?đ?‘˜ x1 x2 x = [x ]. 3 x4

0 0 đ?‘—â„Ž 0 −đ?‘— 2 + đ?‘?đ?‘˜ , 0 1 đ?‘?â„Ž 0 2 đ?‘— − đ?‘?đ?‘˜ ]

Substitusi parameter ke persamaan (7) kemudian ke persamaan (10) sehingga didapatkan 0 1 0 0 128 −512 ẋ 1 x 0 x1 0 ẋ 2 192 [ ] = 192 [ 2 ], (12) ẋ 3 0 0 0 1 x3 x4 512 −512 ẋ 4 0] [ 192 0 192 kondisi awal yang diberikan adalah x1 (0) = −0,5 x (0) = −1 [ 2 ]. x3 (0) = 1 x4 (0) = 2 Sistem (12) memiliki solusi sebagai berikut đ??ą = đ??ą đ?&#x;Ž đ?‘’ đ??´đ?‘Ą atau dapat ditulis đ?‘Ľ1 (đ?‘Ą) đ?‘’ đ??´1,1đ?‘Ą đ?‘’ đ??´1,2 đ?‘Ą đ?‘’ đ??´1,3 đ?‘Ą đ?‘’ đ??´1,4đ?‘Ą −0,5 đ??´2,1 đ?‘Ą đ??´2,2 đ?‘Ą đ??´2,3 đ?‘Ą đ??´2,4 đ?‘Ą đ?‘Ľ (đ?‘Ą) [ 2 ] = [đ?‘’ đ??´3,1đ?‘Ą đ?‘’ đ??´3,2 đ?‘Ą đ?‘’ đ??´3,3 đ?‘Ą đ?‘’ đ??´3,4đ?‘Ą ] [ −1 ]. 1 đ?‘Ľ3 (đ?‘Ą) đ?‘’ đ?‘’ đ?‘’ đ?‘’ 2 đ?‘Ľ4 (đ?‘Ą) đ?‘’ đ??´4,1đ?‘Ą đ?‘’ đ??´4,2 đ?‘Ą đ?‘’ đ??´4,3 đ?‘Ą đ?‘’ đ??´4,4đ?‘Ą Menentukan perilaku dari đ?‘’ đ??´đ?‘Ą saat đ?‘Ą → ∞ dengan memenuhi đ?‘’ đ??´đ?‘Ą = đ??Żđ?‘’ đ?œ†đ?‘Ą đ??Ż −đ?&#x;? dimana đ?œ† merupakan nilai eigen dan đ??Ż merupakan vektor eigen yang bersesuaian dengan đ?œ† serta đ??Ż −đ?&#x;? merupakan invers dari vektor eigen. Selanjutnya, menentukan nilai eigen dari persamaan karakteristik yang memenuhi det(đ??´ − ÎťI) = 0. Persamaan karakteristik đ??´ adalah 128 512 −512 −512 đ?œ†4 + 1 ( ) 1 ( ) − 1 ( )1( ) = 0. 192

192

192

192

Sehingga dengan menggunakan bantuan Maple 12 nilai-nilai eigen dari matriks đ??´ adalah 2 2 đ?œ†1 = √3 đ?‘– , đ?œ†2 = − √3 đ?‘– , (13) 3 3 đ?œ†3 = 2 đ?‘– , đ?œ†4 = −2 đ?‘–. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen adalah

dengan ẋ 1 ẋ 2 ẋ = [ ], ẋ 3 ẋ 4

127

Volume 3 No. 3 November 2014


Deskripsi Pengaruh Parameter Terhadap Kestabilan Perilaku Sistem Bandul Ganda Sederhana 1 − √3đ?‘– 4 1 đ??Ż= 2 1 − √3đ?‘– 2 [ 1

1 √3đ?‘– 4 1 2 1 √3đ?‘– 2 1

1 1 đ?‘– − đ?‘– 4 4 1 1 − − . 2 2 1 1 − đ?‘– đ?‘– 2 2 1 1 ]

Selanjutnya menentukan masing-masing solusi umum dari x1 (đ?‘Ą), x2 (đ?‘Ą), x3 (đ?‘Ą) dan x4 (đ?‘Ą). 1 1 x1 (đ?‘Ą) = đ??ś1 (− sin(2đ?‘Ą)) + đ??ś2 ( cos(−2đ?‘Ą)) 4 4 1 2 +đ??ś3 ( √3 sin ( √3đ?‘Ą)) 4 3 1 2 +đ??ś4 ( √3 cos (− √3đ?‘Ą)) 4 3 1 1 x2 (đ?‘Ą) = đ??ś1 (− cos(2đ?‘Ą)) + đ??ś2 ( sin(−2đ?‘Ą)) + 2 2 1 2 đ??ś3 ( cos ( √3đ?‘Ą)) 2 3 1 2 +đ??ś4 ( sin (− √3đ?‘Ą)) 2 3 1 1 x3 (đ?‘Ą) = đ??ś1 ( sin(2đ?‘Ą)) + đ??ś2 (− cos(−2đ?‘Ą)) 2 2 1 2 +đ??ś3 ( √3 sin ( √3đ?‘Ą)) 2 3 1 2 +đ??ś4 (− √3 cos (− √3đ?‘Ą)) 2 3 x4 (đ?‘Ą) = đ??ś1 cos(2đ?‘Ą) + đ??ś2 sin(−2đ?‘Ą) 2 +đ??ś3 cos ( √3đ?‘Ą) 3 2 +đ??ś4 sin (− √3đ?‘Ą) 3 Solusi khusus dengan đ??ś1 = 1, đ??ś2 = 1, đ??ś3 = 1, 3 dan đ??ś4 = − adalah √3 1 1 x1 (đ?‘Ą) = − sin(2đ?‘Ą) + cos(−2đ?‘Ą) 4 4 1 2 3 2 + √3 sin ( √3đ?‘Ą) − cos (− √3đ?‘Ą) 4 3 4 3 1 1 x2 (đ?‘Ą) = − cos(2đ?‘Ą) + sin(−2đ?‘Ą) 2 2 1 2 3 2 + cos ( √3đ?‘Ą) − sin (− √3đ?‘Ą) 2 3 3 2√3 1 1 x3 (đ?‘Ą) = sin(2đ?‘Ą) − cos(−2đ?‘Ą) 2 2 1 2 3 2 + √3 sin ( √3đ?‘Ą) + cos (− √3đ?‘Ą) 2 3 2 3 x4 (đ?‘Ą) = cos(2đ?‘Ą) + sin(−2đ?‘Ą) 2 3 2 + cos ( √3đ?‘Ą) − sin (− √3đ?‘Ą) 3 3 √3 Berikut adalah grafik perilaku dari sistem bandul ganda dengan đ?‘Ą = 0 ‌ 50 detik.

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Gambar 1 Grafik solusi(3.38) x1 (đ?‘Ą) terhadap đ?‘Ą

Gambar 1 merupakan grafik perubahan sudut perpindahan benda pertama terhadap waktu dengan rentang waktu 50 detik. Benda pertama mulai berayun pada sudut -0,5 rad (benda pertama berada di sebelah kiri posisi (3.39) setimbang) dan bergerak mendekati posisi seimbang (0,0) akan tetapi setelah benda pertama berada di posisi seimbang perlahan benda pertama menjauhi posisi seimbang, hal tersebut terjadi secara periodik. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pergerakan (3.40) periodik baik benda pertama berubah secara besar maupun arahnya di sekitar titik keseimbangan dengan periode 4,9 detik, simpangan maksimum yaitu 1,21 rad pada saat benda pertama berayun selama 5,49 detik dan selama rentang waktu 50 detik benda pertama tetap berosilasi di sekitar posisi seimbang. (3.41)

(3.48)

(3.49) Gambar 2 Grafik x2 (đ?‘Ą) terhadap đ?‘Ą

(3.50) Gambar 2 merupakan grafik laju kecepatan benda pertama terhadap waktu selama rentang waktu 50 detik. Pada(3.51) gambar tersebut menunjukkan bahwa laju kecepatan awal benda pertama terhadap waktu sebesar 1 rad/s2 (benda pertama berada di sebelah kanan posisi seimbang) dan kecepatannya berubah secara quasiperiodic baik besar maupun arahnya. Benda kedua memiliki kecepatan maksimal saat 8,9 detik.

128


Thoufina Kurniyati posisi seimbang sebesar -0,5 rad) dan laju kecepatannya 1 rad/s2 (benda pertama berada di sebelah kanan posisi seimbang dengan kecepatan 1 rad/s2).

Gambar 3 Grafik x3 (đ?‘Ą) terhadap đ?‘Ą

Gambar 3 merupakan grafik perubahan sudut perpindahan benda kedua terhadap waktu selama kurung waktu 50 detik. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pergerakan benda kedua berubah secara periodik baik besar maupun arahnya di sekitar titik keseimbangan dengan periode 4,91 detik dan simpangan maksimum yaitu 16,76 rad saat đ?‘Ą = 2,43 detik.

Gambar 5 Trayektori dengan đ?‘š1 > đ?‘š2

Gambar 5 memperlihatkan bahwa trayektori bergerak searah jarum jam untuk mendekati titik tetap sampai akhirnya mulai menjauhi titik tetap saat đ?‘Ą > 0 detik artinya kestabilan dari sistem adalah tidak stabil. Periode dari sistem bandul ganda sederhana berangsur-angsur membesar sampai đ?‘Ą → ∞. Parameter Massa Benda Pertama sama dengan Massa Benda Kedua (đ?’Žđ?&#x;? = đ?’Žđ?&#x;? ) Simulasi kedua dengan massa benda pertama sebesar 312,5 slug dan massa benda kedua sama dengan 312,5 slug. Benda pertama mulai bergerak saat sudut perpindahan sebesar -0,5 rad dan laju kecepatannya 1 rad/s2.

Gambar 4 Grafik x4 (đ?‘Ą) terhadap đ?‘Ą

Gambar 4 merupakan grafik laju kecepatan bandul kedua terhadap waktu dengan đ?‘Ą = 0 ‌ 50 detik. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa laju kecepatan awal sebesar -0.5 rad, bandul kedua terhadap waktu berubah secara quasiperiodic baik besar maupun arahnya. Pada saat đ?‘Ą = 19,94 detik bandul kedua memiliki laju kecepatan maksimal. 2. Deskripsi Pengaruh Parameter terhadap Kestabilan Perilaku sistem Bandul Ganda Sederhana Parameter Massa Benda Pertama lebih besar daripada Massa Benda Kedua (đ?’Žđ?&#x;? > đ?’Žđ?&#x;? ) Simulasi pertama dengan massa benda pertama sebesar 412.5 slug dan massa benda kedua sama dengan 312.5 slug. Bandul pertama mulai bergerak saat sudut perpindahan sebesar -0,5 rad (benda pertama berada di sebelah kiri

129

Gambar 6 Trayektori dengan đ?‘š1 = đ?‘š2

Gambar 6 memperlihatkan bahwa trayektori bergerak melawan arah jarum jam untuk mendekati titik tetap sampai akhirnya mulai menjauhi titik tetap saat đ?‘Ą > 0 detik artinya kestabilan dari sistem adalah tidak stabil. Periode dari sistem bandul ganda sederhana berangsur-angsur membesar sampai đ?‘Ą → ∞.

Volume 3 No. 3 November 2014


Deskripsi Pengaruh Parameter Terhadap Kestabilan Perilaku Sistem Bandul Ganda Sederhana Parameter Massa Benda Pertama lebih besar daripada Massa Benda Kedua đ?’Žđ?&#x;? < đ?’Žđ?&#x;? Simulasi pertama dengan massa benda pertama sebesar 212.5 slug dan massa benda kedua sama dengan 312.5 slug. Bandul pertama mulai bergerak saat sudut perpindahan sebesar -0,5 rad dan laju kecepatannya 1 rad/s2.

benda pertama kestabilan sistem.

tidak

mempengaruhi

2. Saran Penelitian ini difokuskan pada masalah analisis perilaku sistem bandul ganda sederhana. Pada penelitian selanjutnya penulis menyarankan untuk analisis bifurkasi pada sistem bandul ganda sederhana karena telah diketahui bahwa sistem bandul ganda sederhana memiliki nilai eigen murni yang merupakan syarat cukup untuk analisis bifurkasi. DAFTAR PUSTAKA

Gambar 7 Trayektori dengan đ?‘š1 < đ?‘š2

Gambar 7 memperlihatkan bahwa trayektori bergerak melawan arah jarum jam untuk mendekati titik tetap sampai akhirnya mulai menjauhi titik tetap saat đ?‘Ą > 0 detik artinya kestabilan dari sistem adalah tidak stabil. Periode dari sistem bandul ganda sederhana berangsur-angsur membesar sampai đ?‘Ą → ∞. Oleh karena itu, perubahan parameter tidak mempengaruhi kestabilan sistem melainkan hanya arah trayektorinya saja.

[1] Amanto and La Zakaria, "Solusi Eksak dan Kestabilan Sistem Bandul Ganda sederhana," Jurnal Sains MIPA, pp. 23-32, 2008. [2] Asep K. Supriatna, "Matematika dan Contoh Penerapan Matematika dalam Disiplin Ilmu Lain," Matematika Integratif, pp. 1-7, 2002. [3] Robert Resnick and David Halliday, Physics, 3'th Edition. Jakarta: Erlangga, 1978. [4] Howard Anton, Elementary Linier Algebra, Jilid I. Bandung: Erlangga, 1997. [5] R C Robinson, An Introduction to Dynamical System Continous and Discrete. Western: American Mathematical Society , 2012.

PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Model bandul ganda sederhana tersebut memiliki titik tetap saat đ??š= (đ?‘Ľ1 , đ?‘Ľ2 , đ?‘Ľ3 , đ?‘Ľ4 ) = (0, 0, 0, 0) artinya sistem memiliki posisi seimbang ketika sudut perpidahan benda pertama dan kedua suatu waktu serta laju kecepatan benda pertama dan kedua terhadap waktu sama dengan nol. Nilai eigen dari sistem bandul ganda dengan parameter tertentu adalah imajiner murni berarti kestabilan dari sistem bandul ganda yaitu tak stabil dan tipe kestabilan sistem bandul ganda sederhana adalah elliptic center. Grafik perpindahan bandul pertama dan kedua terhadap waktu adalah periodik dan grafik laju kecepatan bandul pertama dan kedua adalah quasiperiodic. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem bandul ganda bergerak bolak-balik melalui lintasan yang sama. Perubahan besar parameter

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

130


DISKRITISASI PADA SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL POLA PEMBENTUKAN SEL Khusnul Khamidiyah1, Usman Pagalay2 1Mahasiswa 2Dosen

Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang e-mail : diyah_af@yahoo.co.id, usmanpagalay@yahoo.co.id

ABSTRAK Persamaan Meinhardt merupakan sebuah model matematika yang menggambarkan pola pembentukan sel pada hydra. Hans Meinhardt menggunakan jenis persamaan difusi untuk menggambarkan bagaimana variabel-variabel berkembang biak, mati, bergerak dan berinteraksi. Bentuk model yang dirumuskan oleh Meinhardt tersebut merupakan model kontinu, sehingga salah satu studi yang dapat diterapkan pada model Meinhardt adalah dilakukannya diskritrisasi. Diskritisasi merupakan proses kuantisasi sifat-sifat kontinu. Salah satu metode yang dapat memperkirakan bentuk diferensial kontinu menjadi bentuk diskrit ialah metode beda hingga. Sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan proses diskritisasi pada model pembentukan sel. Metode yang digunakan adalah beda hingga skema Crank-Nicolson yang merupakan pengembangan dari skema eksplisit dan implisit. Kelebihan dari skema Crank-Nicolson adalah nilai error yang lebih kecil dari pada skema eksplisit dan implisit. Dalam penelitian ini digunakan beda hingga maju untuk turunan đ?‘Ą dan beda hingga pusat untuk turunan đ?‘Ľ pada persamaan activator đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) dan inhibitor đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą). Langkah-langkah yang dilakukan adalah dimulai dengan menganalisis persamaan Meinhardt dan dilanjutkan dengan diskritisasi. Kata kunci: Metode beda hingga, persamaan Meinhardt, , skema Crank-Nicolson ABSTRACT Meinhardt equation is a mathematical model which describes the pattern of cell formation in hydra. Hans Meinhardt uses the diffusion equation type to describe how the variables are breed, die, move, and interact. The model formulated by Meinhardt is a continuous model. Thus, one of the studies which can be applied to Meinhardt equation is discretization. Discretization is a quantization process of continuous properties. One method which can predict continuous differential form into discrete form is by applying finite difference method. Thus, the proses of discretization will be conducted in this research on the pattern formation of cell. The method used in this study is finite difference method implementing CrankNicolson scheme which is the result of explicit and implicit scheme development. The advantage of the Crank Nicolson scheme is the smaller error values than the explicit and implicit scheme. This method used finite forward difference for derivatives of đ?‘Ą and finite centre difference for derivatives of đ?‘Ľ at the activator đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) and inhibitor đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą). The Steps conducted by analyzing Meinhardt equation and continued with discretization. Keywords: Crank-Nicolson scheme, finite difference method, Meinhardt equation

PENDAHULUAN Sel merupakan kumpulan materi paling sederhana yang dapat hidup dan termasuk unit penyusun tubuh (building block). Seluruh makhluk hidup tersusun atas sel. Sel adalah unit dasar kehidupan. Dalam kingdom monera dan protista, keseluruhan organisme tersusun atas sel tunggal. Pada kebanyakan fungi dan dalam kingdom hewan dan tumbuhan, organisme adalah susunan yang luar biasa kompleks dari

sel-sel yang bisa triliunan banyaknya (Fried & Hademenos, 2005). Hydra merupakan metazoan atau hewan bersel banyak yang hidup di kolam atau di sungai yang airnya mengalir. Tubuh hydra berbentuk polip yang hidup soliter dalam arti tidak berkoloni, dapat berpindah tempat tetapi biasanya melekat pada obyek, misalnya batubatuan, batang kayu, tanaman air dan lain-lain. Tubuhnya berbentuk silindris yang dapat dijulurkan serta dipendekkan. Kemampuan untuk dapat menjulur dan memendek ini karena


Diskritisasi Pada Sistem Persamaan Diferensial Parsial Pola Pembentukan Sel

memang tubuh hydra memiliki fibril-fibril khusus pada beberapa sel. Panjang tubuh hydra mulai dari 2 sampai 20 mm, dengan diameter tubuhnya tidak lebih dari 1 mm (Kastawi, 2005). Pada organisme yang lebih tinggi, pentingnya proses pembentukan pola dasar pada subdivisi dari sebuah organisme hanya terjadi sekali dan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam berbagai kasus, embrio lebih sulit dijangkau dalam manipulasi sebuah penelitian. Berbeda dengan potongan-potongan kecil pada hydra yang hidup di air tawar dapat meregenerasi tubuhnya setiap saat. Oleh karena itu, model organisme yang tepat untuk dipelajari dan diajukan sebagai model serta sistem biologi yang nyata (Gierer, 1977). Hans Meinhardt merumuskan pola pembentukan sel hydra dalam sebuah sistem persamaan diferensial parsial. Model yang dirumuskan oleh Meinhardt merupakan model kontinu, sehingga salah satu studi yang dapat diterapkan pada model tersebut adalah dilakukannya diskritrisasi. Diskritisasi merupakan proses kuantisasi sifat-sifat kontinu. Kuantisasi diartikan sebagai proses pengelompokan sifat-sifat kontinu pada selangselang tertentu (step size). Kegunaan diskritisasi adalah untuk mereduksi dan menyederhanakan data, sehingga didapatkan data diskrit yang lebih mudah dipahami, digunakan, dan dijelaskan. Oleh karena itu, hasil pembelajaran dengan bentuk diskrit dipandang Dougherty (1995) sebagai hasil yang cepat dan akurat dibandingkan hasil dari bentuk kontinu (Liu, Hussain, Tan, & Dash, 2012). Salah satu metode yang dapat memperkirakan bentuk diferensial kontinu menjadi bentuk diskrit ialah dengan metode beda hingga. Metode beda hingga yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah skema Crank-Nicolson yang merupakan pengembangan dari skema eksplisit dan implisit. Kelebihan dari skema Crank-Nicolson adalah nilai error yang lebih kecil. Berdasarkan paparan tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji model Meinhardt dalam tulisan ini dengan judul Diskritisasi pada Sistem Persamaan Diferensial Parsial Pola Pembentukan Sel. KAJIAN PUSTAKA 1. Persamaan Diferensial Parsial Persamaan diferensial parsial adalah persamaan-persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan-turunan parsial. Persamaan itu haruslah melibatkan paling sedikit dua variabel bebas. Tingkat persamaan diferensial

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

parsial adalah tingkat turunan tertinggi pada persamaan itu (Ayres, 1992). 2. Orde Persamaan Diferensial Parsial Orde dari persamaan diferensial parsial ditentukan berdasarkan orde dari turunan tertinggi pada persamaan diferensial parsial tersebut. Sebagai contoh, persamaan diferensial parsial pola pembentukan sel yang kemudian disebut sebagai persamaan Meinhardt berikut merupakan contoh persamaan orde satu dan dua: đ?œ•đ?‘Ž PDE orde satu: = đ?‘ đ?‘?đ?‘Ž2 − đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘Ž đ?œ•đ?‘Ą

PDE orde dua:

đ?œ•đ?‘Ž đ?œ•đ?‘Ą

đ?œ•2 đ?‘Ž

= đ?‘ đ?‘?đ?‘Ž2 − đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘Ž + đ??ˇđ?‘Ž 2 đ?œ•đ?‘Ľ (Sasongko, 2010).

3. Linieritas Persamaan Diferensial Parsial Persamaan diferensial parsial berikut merupakan bentuk persamaan diferensial orde dua: �

đ?œ•2 đ?‘˘ đ?œ•đ?‘Ś 2

+đ?›˝

đ?œ•2 đ?‘˘ đ?œ•đ?‘Ľđ?œ•đ?‘Ś

+�

đ?œ•2 đ?‘˘ đ?œ•đ?‘Ľ 2

+� =0

(1) Persamaan diferensial parsial juga digolongkan menjadi persamaan linier, kuasilinier dan nonlinier, dengan penjelasan berikut: a. Apabila koefisien pada persamaan (1) adalah konstan atau fungsi yang hanya terdiri dari variabel bebas saja [đ?›ź = đ?›˝ = đ?›ž = đ?›ż = (đ?‘Ľ, đ?‘Ś)], maka persamaan itu disebut persamaan linier; b. Apabila koefisien pada persamaan (1) adalah fungsi dari variabel tak bebas (dependent variable) dan/atau merupakan turunan dengan pangkat yang lebih rendah daripada persamaan diferensialnya đ?œ•đ?‘˘ đ?œ•đ?‘˘ [đ?›ź = đ?›˝ = đ?›ž = đ?›ż = (đ?‘Ľ, đ?‘Ś, đ?‘˘, , )], maka đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ś

c.

persamaan itu disebut persamaan kuasilinier; Apabila koefisiennya merupakan fungsi dengan turunan sama dengan pangkatnya, [� = � = � = � = (�, �, �,

đ?œ•2 đ?‘˘ đ?œ•2 đ?‘˘

,

,

đ?œ•2 đ?‘˘

đ?œ•đ?‘Ľ 2 đ?œ•đ?‘Ś 2 đ?œ•đ?‘Ľđ?œ•đ?‘Ś

)],

maka persamaan itu disebut persamaan nonlinier. (Sasongko, 2010). 4. Bentuk Kanonik Persamaan Diferensial Parsial Berikut ini diberikan beberapa bentuk persamaan diferensial parsial: a. Persamaan Ellips, jika đ?‘? 2 − 4đ?‘Žđ?‘? < 0 b. Persamaan Parabola, jika đ?‘? 2 − 4đ?‘Žđ?‘? = 0 c. Persamaan Hiperbola, jika đ?‘? 2 − 4đ?‘Žđ?‘? > 0 (Triatmodjo, 2002).

132


Khusnul Khamidiyah

5. Deret Taylor Deret taylor merupakan dasar untuk menyelesaikam masalah dalam metode numerik, terutama penyelesaian persamaan diferensial. Jika suatu fungsi đ?‘“(đ?‘Ľ) diketahui di titik đ?‘Ľđ?‘– dan semua turunan dari đ?‘“ terhadap đ?‘Ľ diketahui pada titik tersebut, maka dengan deret taylor dapat dinyatakan nilai đ?‘“ pada titik đ?‘Ľđ?‘–+1 yang terletak pada jarak ∆đ?‘Ľ dari titik đ?‘Ľđ?‘– (Triatmodjo, 2002). Andaikan đ?‘“ adalah suatu fungsi dengan turunan ke (đ?‘› + 1), đ?‘“ (đ?‘›+1) (đ?‘Ľ), ada untuk setiap đ?‘Ľ pada suatu selang terbuka đ??ź yang mengandung đ?‘Ž. Maka untuk setiap đ?‘Ľ di đ??ź, đ?‘“ ′′ (đ?‘Ž) (đ?‘Ľ − đ?‘Ž)2 đ?‘“(đ?‘Ľ) = đ?‘“(đ?‘Ž) + đ?‘“ ′ (đ?‘Ž)(đ?‘Ľ − đ?‘Ž) + 2! đ?‘“ (đ?‘›) (đ?‘Ž) (đ?‘Ľ − đ?‘Ž)đ?‘› + đ?‘…đ?‘› (đ?‘Ľ) + â‹Ż+ đ?‘›! Dimana sisa (atau kesalahan) đ?‘…đ?‘› (đ?‘Ľ) diberikan oleh rumus: đ?‘“ (đ?‘›+1) (đ?‘?) (đ?‘Ľ − đ?‘Ž)đ?‘›+1 đ?‘…đ?‘› (đ?‘Ľ) = (đ?‘› + 1)! Dengan đ?‘? suatu titik antara đ?‘Ľ dan đ?‘Ž (Purcell & Varberg, 1999). Persamaan di atas merupakan penjumlahan dari suku-suku (term), yang disebut deret. Perhatikanlah bahwa deret taylor ini panjangnya tidak terhingga, untuk memudahkan penulisan suku-suku selanjutnya kita menggunakan tanda ellipsis (â‹Ż ). Jika dimisalkan đ?‘Ľ − đ?‘Ž = â„Ž, maka đ?‘“(đ?‘Ľ) dapat juga ditulis sebagai: đ?‘“ ′′ (đ?‘Ž) 2 đ?‘“(đ?‘Ľ) = đ?‘“(đ?‘Ž) + đ?‘“ ′ (đ?‘Ž)â„Ž + â„Ž +â‹Ż 2! (đ?‘›) đ?‘“ (đ?‘Ž) đ?‘› + â„Ž + đ?‘…đ?‘› (đ?‘Ľ) đ?‘›! (đ?‘Ľ − đ?‘Ž) Deret pangkat dari yang menggambarkan sebuah fungsi dinamakan deret taylor. Apabila đ?‘Ž = 0, deret yang bersangkutan disebut deret Maclaurin (Purcell & Varberg, 1999). 6. Diferensial Numerik Diferensial numerik digunakan untuk memperkirakan bentuk diferensial kontinu menjadi bentuk diskret. Diferensial numerik ini banyak digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial. Bentuk tersebut dapat diturunkan berdasar pada deret taylor. Persamaan di bawah ini: đ?‘Ś(đ?‘Ľđ?‘–+1 ) − đ?‘Ś(đ?‘Ľđ?‘– ) đ?‘Ś ′ (đ?‘Ľđ?‘–+1 ) = (đ?‘Ľđ?‘–+1 − đ?‘Ľđ?‘– ) dikenal dengan metode numerik sebagai beda terbagi berhingga. Secara umum dapat dinyatakan sebagai: ∆đ?‘“đ?‘– đ?‘“ ′ (đ?‘Ľđ?‘–+1 ) = + ď Żâ„Ž â„Ž Dengan ∆đ?‘“đ?‘– disebut beda ke depan pertama dan â„Ž disebut ukuran langkah, yaitu panjang selang hampiran. Istilah ke depan digunakan karena

133

ada hampiran turunan di titik đ?‘– dipergunakan data pada titik yang bersangkutan dan titik yang ∆đ?‘“đ?‘– di depannya. Suku disebut sebagai beda â„Ž terbagi berhingga pertama (Djojodihardjo, 2000). Beda terbagi ke depan ini merupakan salah satu dari beberapa cara yang dapat dikembangkan dari deret taylor guna memperoleh turunan secara numerik.

7. Metode Beda Hingga Skema CrankNicolson Skema Crank-Nicolson merupakan pengembangan dari skema eksplisit dan implisit. Dalam skema eksplisit, ruas kanan ditulis pada waktu ke đ?‘›. Dalam skema implisit, ruas kanan ditulis untuk waktu đ?‘› + 1. Dalam kedua skema tersebut diferensial terhadap waktu ditulis dalam bentuk: đ?œ•đ?‘‡ (đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘‡đ?‘–đ?‘› ) ≈ đ?œ•đ?‘Ą ∆đ?‘Ą yang berarti diferensial terpusat terhadap waktu 1 đ?‘› + . Skema Crank-Nicolson menulis ruas kanan 2

1

pada waktu đ?‘› + yang merupakan nilai rerata 2 dari skema eksplisit dan implisit. Skema jaringan titik hitungan diberikan oleh gambar 1 berikut.

Gambar 1. Skema Crank-Nicolson Skema ini menggunakan teknik pembobotan untuk diskritisasi waktu sekarang đ?‘Ą đ?‘› dan diskritisasi waktu yang akan datang đ?‘Ą đ?‘›+1 dengan cara yang lebih fleksibel yaitu dengan menggunakan faktor pemberat waktu. Beda hingga terhadap ruang (đ?‘Ľ): đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?œ•2đ?‘‡ đ?‘‡đ?‘–+1 − 2đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘‡đ?‘–−1 = đ?œƒ ( ) (∆đ?‘Ľ)2 đ?œ•đ?‘Ľ 2 đ?‘› đ?‘› đ?‘‡đ?‘–+1 − 2đ?‘‡đ?‘–đ?‘› + đ?‘‡đ?‘–−1 + (1 − đ?œƒ) ( ) (∆đ?‘Ľ)2 (2) Dengan 0 ≤ đ?œƒ ≤ 1 adalah faktor pemberat waktu (Luknanto, 2003). Sedangkan untuk beda hingga terhadap waktu: đ?œ•đ?‘‡ đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘‡đ?‘–đ?‘› = đ?œ•đ?‘Ą ∆đ?‘Ą Dengan đ?œƒ adalah koefisien pembobot dengan nilai:

Volume 3 No. 3 November 2014


Diskritisasi Pada Sistem Persamaan Diferensial Parsial Pola Pembentukan Sel

đ?œƒ = 0, jika skema adalah eksplisit đ?œƒ = 1, jika skema adalah implisit 1 đ?œƒ = , jika skema adalah Crank-Nicolson 2 (Lapidus & Pinder, 1981). Sehingga persamaan (2) dapat ditulis sebagai: đ?œ•2 đ?‘‡ đ?œ•đ?‘Ľ 2

đ?‘›+1 đ?‘›+1 −2đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 +đ?‘‡đ?‘–−1 1 đ?‘‡đ?‘–+1

= (

(∆đ?‘Ľ)2

2

đ?‘› đ?‘› −2đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+đ?‘‡đ?‘–−1 1 đ?‘‡đ?‘–+1

)+ ( 2

(∆đ?‘Ľ)2

)

Crank dan Nicolson (1947) mengajukan dan juga menggunakan sebuah metode yang mereduksi perhitungan pada volume total, dan itu dianggap sah (konvergen dan stabil) untuk semua nilai đ?‘&#x;. Mereka mempertimbangkan pdp 1 terpenuhi di titik (đ?‘–â„Ž, (đ?‘› + ) đ?‘˜) dan mengganti 2

đ?œ•2 đ?‘‡

dengan dengan rata-rata perkiraan đ?œ•đ?‘Ľ 2 perbedaan pada saat đ?‘› dan đ?‘› + 1. Dengan kata lain mereka mengganti persamaan đ?œ•đ?‘‡ đ?œ• 2 đ?‘‡ = đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ 2 dengan persamaan đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 −đ?‘‡đ?‘–đ?‘› đ?‘˜

đ?‘›+1 đ?‘›+1 −2đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 +đ?‘‡đ?‘–−1 1 đ?‘‡đ?‘–+1

= ( 2

â„Ž2

+

đ?‘› đ?‘› đ?‘‡đ?‘–+1 −2đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+đ?‘‡đ?‘–−1

â„Ž2

)

dan diberikan, đ?‘›+1 đ?‘›+1 −đ?‘&#x;đ?‘‡đ?‘–−1 + (2 + 2đ?‘&#x;)đ?‘‡đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘&#x;đ?‘‡đ?‘–+1 đ?‘› đ?‘› = đ?‘&#x;đ?‘‡đ?‘–−1 + (2 − 2đ?‘&#x;)đ?‘‡đ?‘–đ?‘› + đ?‘&#x;đ?‘‡đ?‘–+1 đ?‘˜ dimana đ?‘&#x; = 2 (Smith, 1985). â„Ž

8. Model Meinhardt (Meinhardt, 2012) menyajikan sebuah model matematika yang menggambarkan pola pembentukan sel pada hydra, yang berbentuk sistem persamaan diferensial parsial. Persamaan Meinhardt terdiri dari dua persamaan yang berjenis persamaan difusi. Dengan mendefinisikan đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) sebagai activator (pengaktif) dan đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) sebagai inhibitor (penghambat) pembentukan sel. Persamaan Meinhardt ditulis dalam bentuk sebagai berikut: đ?œ•đ?‘Ž đ?œ•2đ?‘Ž = đ?‘ đ?‘?đ?‘Ž2 − đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘Ž + đ??ˇđ?‘Ž 2 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘? đ?œ•2đ?‘? = đ?‘?đ?‘? − đ?‘ đ?‘?đ?‘Ž2 − đ?‘&#x;đ?‘? đ?‘? + đ??ˇđ?‘? 2 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ 9. Pembentukan Sel Hydra Seluruh makhluk hidup tersusun atas sel. Sel adalah unit dasar kehidupan. Dalam kingdom monera dan protista, keseluruhan organisme tersusun atas sel tunggal. Pada kebanyakan fungi dan dalam kingdom hewan dan tumbuhan, organisme adalah susunan yang luar biasa kompleks dari sel-sel yang bisa triliunan banyaknya (Fried & Hademenos, 2005). Hydra, satu diantara segelintir Cnidaria yang ditemukan di perairan tawar, merupakan hydrozoa yang tak lazim karena hanya terdapat dalam bentuk polip. Ketika kondisi lingkungan menguntungkan, hydra bereproduksi secara

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

aseksual. Ketika kondisi memburuk, hydra dapat bereproduksi secara seksual, membentuk zigot resisten yang tetap dorman hingga keadaan membaik (Campbell, et al., 2012). Pembentukan sel yang dipengaruhi oleh zat pengaktif dan zat penghambat terjadi melalui proses difusi. Dimana difusi sendiri menurut (Villee, 1984) adalah gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah lain dengan konsentrasi lebih rendah yang disebabkan oleh energi kinetik molekul-molekul tersebut. Tiap molekul cenderung bergerak lurus sampai terbentur pada molekul lain kemudian terpental dan bergerak ke arah lain. Setelah tersebar secara merata, molekul tersebut tetap bergerak, tetapi jika ada molekul yang bergerak dengan cepat dari kiri ke kanan, secepat itu pula ada molekul lain yang bergerak dari kanan ke kiri sehingga keseimbangan dapat dipertahankan. PEMBAHASAN Variabel-variabel yang digunakan dalam model pengaruh pengaktif dan penghambat terhadap pembentukan sel pada hydra diambil dari jurnal yang dirumuskan oleh Hans (Meinhardt, 2012) dalam karya tulisnya yang berjudul Models of Biological Pattern Formation sebagai berikut: Pengaktif (activator) đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ž(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ą

= đ?‘ đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą)đ?‘Ž2 (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) − đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) + đ??ˇđ?‘Ž

đ?œ•2 đ?‘Ž(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ľ 2 (đ?‘Ľ,đ?‘Ą)

Penghambat (inhibitor) đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘?đ?‘? − đ?‘ đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą)đ?‘Ž2 (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) − đ?‘&#x;đ?‘? đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ą đ?œ• 2 đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) + đ??ˇđ?‘? 2 đ?œ•đ?‘Ľ (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) Perubahan konsentrasi pengaktif persatuan waktu sebanding dengan kepadatan sel s yang menggambarkan kemampuan sel tersebut untuk melakukan reaksi dan sebanding dengan berkurangnya kerusakan pengaktif melalui pertukaran dengan sel tetangganya akibat difusi. Sedangkan perubahan konsentrasi penghambat persatuan waktu sebanding dengan laju produksi penghambat dan sebanding dengan berkurangnya kerusakan penghambat (Meinhardt, 2012). Agar pembentukan pola dapat terjadi, penghambat harus berdifusi jauh lebih cepat dari pengaktif (đ??ˇđ?‘? ≼ đ??ˇđ?‘Ž ). Pola akan stabil jika tingkat kerusakan penghambat lebih tinggi dibandingkan dengan pengaktif (đ?‘&#x;đ?‘? > đ?‘&#x;đ?‘Ž ), dan jika keadaan sebaliknya terjadi (đ?‘&#x;đ?‘Ž > đ?‘&#x;đ?‘? ) maka osilasi akan terjadi. đ?‘?đ?‘Ž menggambarkan laju

134


Khusnul Khamidiyah

produksi activator-independen kecil dari pengaktif yang diperlukan untuk memulai produksi activator autocatalytic pada tingkat rendah pada đ?‘Ž, misalnya selama regenerasi berlangsung. Dalam kebanyakan simulasi, kepadatan sel đ?‘ diasumsikan merata kecuali beberapa fluktuasi acak kecil yang memicu pembentukan pola dan yang tetap konstan selama simulasi (Meinhardt, 2012). 1. Diskritisasi Persamaan Meinhardt dengan Metode Beda Hingga Skema Crank-Nicolson pada Activator Berikut merupakan proses diskritisasi model pengaktif, persamaan yang digunakan yaitu persamaan: đ?œ•đ?‘Ž(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ą

= đ?‘ đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą)đ?‘Ž2 (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) − đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) + đ??ˇđ?‘Ž

đ?œ•2 đ?‘Ž(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ľ 2 (đ?‘Ľ,đ?‘Ą)

(3) dinotasikan, 1 đ?‘Ž(đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) = (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› + đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 ) 2 1 đ?‘?(đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) = (đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 ) 2 Berdasarkan pernyataan Luknanto sebagaimana tercantum dalam kajian pustaka di atas, maka transformasi beda hingga maju untuk turunan đ?‘Ą dan beda hingga pusat untuk turunan đ?‘Ľ adalah sebagai berikut: đ?œ•đ?‘Ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘Žđ?‘–đ?‘› = đ?œ•đ?‘Ą ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘› đ?‘› −2đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 +đ?‘Žđ?‘–+1 đ?‘Žđ?‘–−1 −2đ?‘Žđ?‘–đ?‘› +đ?‘Žđ?‘–+1 đ?œ•2 đ?‘Ž 1 đ?‘Žđ?‘–−1 + ) 2 = ( 2 2 đ?œ•đ?‘Ľ

2

∆đ?‘Ľ

∆đ?‘Ľ

Bentuk beda hingga disubtitusikan ke persamaan (3), sehingga diperoleh bentuk persamaan diskrit sebagai berikut: đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘Žđ?‘–đ?‘› 1 = đ?‘ [đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 (đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 )2 + đ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 ] ∆đ?‘Ą 2 1 − đ?‘&#x;đ?‘Ž [đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘Žđ?‘–đ?‘› ] 2 đ?‘›+1 đ?‘›+1 1 đ?‘Žđ?‘–−1 − 2đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘Žđ?‘–+1 + đ??ˇđ?‘Ž ( 2 2 ∆đ?‘Ľ đ?‘› đ?‘› đ?‘Žđ?‘–−1 − 2đ?‘Žđ?‘–đ?‘› + đ?‘Žđ?‘–+1 + ) ∆đ?‘Ľ 2 (4) Persamaan (4) juga dapat ditulis dalam bentuk: đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 đ?‘Žđ?‘–đ?‘› đ?‘ đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 đ?‘ đ?‘› đ?‘› 2 = + đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) + đ?‘?đ?‘– (đ?‘Žđ?‘– ) ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ą 2 đ?‘– 2 đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘Ž đ?‘› đ??ˇđ?‘Ž đ?‘›+1 − đ?‘Žđ?‘– − đ?‘Žđ?‘– + đ?‘Ž 2 2 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ??ˇđ?‘Ž đ?‘›+1 đ??ˇđ?‘Ž đ?‘›+1 − 2 đ?‘Žđ?‘– + đ?‘Ž ∆đ?‘Ľ 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 đ??ˇđ?‘Ž đ?‘› đ??ˇđ?‘Ž đ?‘› + đ?‘Ž − đ?‘Ž 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘Ž đ?‘› + đ?‘Ž 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 (5) Persamaan (5) dikalikan dengan ď „t pada kedua ruasnya, sehingga diperoleh:

135

đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) + đ?‘? (đ?‘Ž ) 2 đ?‘– 2 đ?‘– đ?‘– đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› − đ?‘Ž − đ?‘Ž 2 đ?‘– 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 + đ?‘Ž − đ?‘Ž 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› + đ?‘Ž + đ?‘Ž 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› − đ?‘Ž + đ?‘Ž ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 (6) Dalam bentuk yang lebih sederhana dan untuk mengelompokkan antara diskritisasi waktu sekarang (đ?‘›) dan diskritisasi waktu yang akan datang (đ?‘› + 1), maka persamaan (6) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut: đ??ˇ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x; ∆đ?‘Ą đ??ˇ ∆đ?‘Ą − đ?‘Ž 2 đ?‘Žđ?‘–−1 + đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘Ž đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘Ž 2 đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 = đ?‘Žđ?‘–đ?‘› +

2∆đ?‘Ľ 2 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 (đ?‘Ž ) đ?‘Ž − đ?‘? đ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘Žđ?‘– − 2 đ?‘Žđ?‘– + đ?‘Ž 2 ∆đ?‘Ľ 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1

= +

∆đ?‘Ľ đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘Ž + đ?‘Žđ?‘–đ?‘› 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘? (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 2 đ?‘–

−

(7) Persamaan (7) disederhanakan dalam bentuk sebagai berikut: đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘Ž + (1 + + ) đ?‘Žđ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 − đ?‘Ž − đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› = đ?‘Ž 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› + (1 − − ) đ?‘Žđ?‘– 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 + đ?‘Žđ?‘–+1 + đ?‘? (đ?‘Ž ) 2 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ?‘– (8) Didefinisikan: đ??ˇ ∆đ?‘Ą đ?‘ƒ= đ?‘Ž 2 đ?‘„= đ?‘…= đ?‘†=

2∆đ?‘Ľ đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą

2 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘ ∆đ?‘Ą 2

Kemudian dengan mensubtitusikan đ?‘ƒ, đ?‘„, đ?‘… dan đ?‘† pada persamaan di atas, maka diperoleh: đ?‘›+1 đ?‘›+1 −đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–−1 + (1 + đ?‘„ + đ?‘…)đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–+1 − đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 đ?‘› đ?‘†đ?‘?đ?‘– (đ?‘Žđ?‘– ) = đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–−1 + (1 − đ?‘„ − đ?‘…)đ?‘Žđ?‘–đ?‘› + đ?‘› đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–+1 + đ?‘†đ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 (9) 2. Diskritisasi Persamaan Meinhardt dengan Metode Beda Hingga Skema Crank-Nicolson pada Inhibitor Persamaan penghambat dalam pembentukan sel pada hydra sebagaimana persamaan: đ?œ•đ?‘? đ?œ•2đ?‘? = đ?‘?đ?‘? − đ?‘ đ?‘?đ?‘Ž2 − đ?‘&#x;đ?‘? đ?‘? + đ??ˇđ?‘? 2 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ (10)

Volume 3 No. 3 November 2014


Diskritisasi Pada Sistem Persamaan Diferensial Parsial Pola Pembentukan Sel

Transformasi beda hingga maju untuk turunan t dan beda hingga pusat untuk turunan x adalah sebagai berikut: đ?œ•đ?‘?(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘?đ?‘–đ?‘› = đ?œ•đ?‘Ą ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘› đ?‘› 2 +đ?‘?đ?‘–+1 đ?‘?đ?‘–−1 −2đ?‘?đ?‘–đ?‘›+đ?‘?đ?‘–+1 đ?œ• đ?‘? 1 đ?‘?đ?‘–−1 −2đ?‘?đ?‘– + ) 2 = ( 2 2 đ?œ•đ?‘Ľ

2

∆đ?‘Ľ

∆đ?‘Ľ

Bentuk beda hingga disubtitusikan ke persamaan (10), sehingga diperoleh bentuk persamaan diskrit sebagai berikut: đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘?đ?‘–đ?‘› 1 = đ?‘?đ?‘? − đ?‘ [đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 (đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 )2 + đ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 ] ∆đ?‘Ą 2 1 − đ?‘&#x;đ?‘? [đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘?đ?‘–đ?‘› ] 2 đ?‘›+1 đ?‘›+1 1 đ?‘?đ?‘–−1 − 2đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘?đ?‘–+1 + đ??ˇđ?‘? ( 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘› đ?‘› đ?‘?đ?‘–−1 − 2đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘?đ?‘–+1 + ) ∆đ?‘Ľ 2 (11)

(14) Dalam bentuk yang lebih sederhana, persamaan (14) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut: đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘?đ?‘–−1 + (1 + + )đ?‘? 2 2∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 − đ?‘? + đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› = đ?‘?đ?‘? ∆đ?‘Ą + đ?‘? 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› + (1 − − )đ?‘? 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 + đ?‘? − đ?‘? (đ?‘Ž ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ?‘– (15) Didefinisikan: đ??ˇ ∆đ?‘Ą đ?‘‡= đ?‘?2 đ?‘ˆ= đ?‘‰=

Persamaan (11) dapat disederhanakan menjadi: đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1

đ?‘?đ?‘–đ?‘›

đ?‘

đ?‘ = + đ?‘?đ?‘? − đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 (đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 )2 − đ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ą 2 2 đ?‘&#x;đ?‘? đ?‘›+1 đ?‘&#x; đ??ˇ đ??ˇ đ?‘›+1 đ?‘? − đ?‘? đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘?2 đ?‘?đ?‘–−1 − đ?‘?2 đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 + 2 đ?‘– 2 2∆đ?‘Ľ ∆đ?‘Ľ đ??ˇđ?‘? đ??ˇ đ??ˇ đ??ˇ đ?‘› đ?‘› đ?‘? đ?‘›+1 + đ?‘?2 đ?‘?đ?‘–−1 − đ?‘?2 đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘?2 đ?‘?đ?‘–+1 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2∆đ?‘Ľ ∆đ?‘Ľ 2∆đ?‘Ľ

−

(12) pada

Persamaan (12) dikalikan dengan ď „t kedua ruasnya, sehingga diperoleh: đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 = đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘?đ?‘? ∆đ?‘Ą − đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) 2 đ?‘– đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘? (đ?‘Ž ) − đ?‘? 2 đ?‘– đ?‘– 2 đ?‘– đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘? + đ?‘? 2 đ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘? + đ?‘? ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› + đ?‘? − đ?‘? 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› + đ?‘? 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 (13) Dalam bentuk yang lebih sederhana dan untuk mengelompokkan antara diskritisasi waktu sekarang (đ?‘›) dan diskritisasi waktu yang akan datang (đ?‘› + 1), maka persamaan (13) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut: đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘? + đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 + đ?‘? 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 + đ?‘? − đ?‘? ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 + đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› = đ?‘?đ?‘? ∆đ?‘Ą + đ?‘? + đ?‘?đ?‘–đ?‘› 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› − đ?‘? − đ?‘? 2 đ?‘– ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 + đ?‘? − đ?‘? (đ?‘Ž ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ?‘–

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

2∆đ?‘Ľ đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą

2 đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą

đ?‘Š=

∆đ?‘Ľ 2 đ?‘ ∆đ?‘Ą 2

Kemudian dengan mensubtitusikan đ?‘‡, đ?‘ˆ, đ?‘‰ dan đ?‘Š pada persamaan (15), maka diperoleh: đ?‘›+1 đ?‘›+1 −đ?‘‡đ?‘?đ?‘–−1 + (1 + đ?‘ˆ + đ?‘‰)đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘‡đ?‘?đ?‘–+1 + đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 đ?‘› (đ?‘Ž ) (1 đ?‘Šđ?‘?đ?‘– = đ?‘?đ?‘? ∆đ?‘Ą + đ?‘‡đ?‘?đ?‘–−1 + − đ?‘ˆ − đ?‘– đ?‘› đ?‘‰)đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘‡đ?‘?đ?‘–+1 − đ?‘Šđ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 (16) Dari proses diskritisasi di atas, maka diperoleh sistem persamaan Meinhardt diskrit sebagai berikut: đ?‘›+1 đ?‘›+1 −đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–−1 + (1 + đ?‘„ + đ?‘…)đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–+1 đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 − đ?‘†đ?‘?đ?‘– (đ?‘Žđ?‘– ) đ?‘› = đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–−1 + (1 − đ?‘„ − đ?‘…)đ?‘Žđ?‘–đ?‘› đ?‘› + đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘–+1 + đ?‘†đ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 đ?‘›+1 đ?‘›+1 −đ?‘‡đ?‘?đ?‘–−1 + (1 + đ?‘ˆ + đ?‘‰)đ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 − đ?‘‡đ?‘?đ?‘–+1 + đ?‘Šđ?‘?đ?‘–đ?‘›+1 (đ?‘Žđ?‘–đ?‘›+1 )2 đ?‘› = đ?‘?đ?‘? ∆đ?‘Ą + đ?‘‡đ?‘?đ?‘–−1 đ?‘› + (1 − đ?‘ˆ − đ?‘‰)đ?‘?đ?‘–đ?‘› + đ?‘‡đ?‘?đ?‘–+1 − đ?‘Šđ?‘?đ?‘–đ?‘› (đ?‘Žđ?‘–đ?‘› )2 PENUTUP Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk diskrit dari persamaan Meinhardt adalah sebagai berikut: 1. Activator đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 − đ?‘Ž + (1 + + ) đ?‘Žđ?‘– 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 − đ?‘Ž − đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› = đ?‘Ž 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ?‘&#x;đ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› + (1 − − ) đ?‘Žđ?‘– 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ??ˇđ?‘Ž ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 + đ?‘Ž + đ?‘? (đ?‘Ž ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ?‘– 2. Inhibitor

136


Khusnul Khamidiyah

−

đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘?đ?‘–−1 + (1 + + )đ?‘? 2 2∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘›+1 đ?‘›+1 2 − đ?‘? + đ?‘? (đ?‘Žđ?‘– ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› = đ?‘?đ?‘? ∆đ?‘Ą + đ?‘? 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–−1 đ?‘&#x;đ?‘? ∆đ?‘Ą đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› + (1 − − )đ?‘? 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘– đ??ˇđ?‘? ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘ ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 2 + đ?‘? − đ?‘? (đ?‘Ž ) 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘–+1 2 đ?‘– đ?‘–

[15] Villee, C. A. (1984). General Zoologi Sixth Edition. Jakarta: Erlangga.

DAFTAR PUSTAKA [1] Ayres, F. (1992). Persamaan Diferensial. Jakarta: Erlangga. [2] Campbell, N. A., Jackson, R. B., Minorsky, P. V., Wasserman, S. A., Cain, M. L., Urry, L. A., et al. (2012). Biology. Jakarta: Erlangga. [3] Djojodihardjo, H. (2000). Metode Numerik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [4] Fried, G. H., & Hademenos, G. J. (2005). Schaum's Outlines of Theory and Problems of Biology Second Edition. Jakarta: Erlangga. [5] Gierer, A. (1977). Biological Features and Physical Concepts of Pattern Formation Exemplified by Hydra. Curr. Top. Dev. Biol , 17. [6] Kastawi, Y. (2005). Zoology Avertebrata. Malang: UM Press. [7] Lapidus, L., & Pinder, G. F. (1981). Numerical Solution of Partial Differential Equations in Science and Engineering. New York: A Wiley-Interscience Publication. [8] Liu, H., Hussain, F., Tan, C. L., & Dash, M. (2012). Discretization: An Enabling Technique. 2. [9] Luknanto, D. (2003). Model Matematika. Yogyakarta: Bahan Kuliah tidak dipublikasikan Jurusan Teknik Sipil FT UGM. [10] Meinhardt, H. (2012). Models of Biological Pattern Formation. 1-10. [11] Purcell, E. J., & Varberg, D. (1999). Calculus with Analytic Geometry 5th Edition. Jakarta: Erlangga. [12] Sasongko, S. B. (2010). Metode Numerik dengan Scilab. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. [13] Smith, G. D. (1985). Numerical Solution of Partial Differential Equations: Finite Difference Methods. Oxford: Clarendon Press. [14] Triatmodjo, B. (2002). Metode Numerik dilengkapi dengan Program Komputer. Yogyakarta: Beta Offset.

137

Volume 3 No. 3 November 2014


FAKTORISASI GRAF BARU YANG DIHASILKAN DARI PEMETAAN TITIK GRAF SIKEL PADA BILANGAN BULAT POSITIF Nova Nevisa Auliatul Faizah1, H. Wahyu H. Irawan2 Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2Dosen Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang E-mail: novanevisa@yahoo.com, henky_lily@yahoo.com

1Mahasiswa

ABSTRAK Faktor merupakan subgraf merentang dari suatu graf. Subgraf merentang terdiri dari himpunan pasangan titik yang tidak saling terhubung dan selalu berbentuk graf beraturan satu, ini dapat disebut sebagai graf yang memiliki 1-faktor. Ketika himpunan titik dari graf sikel đ??śđ?‘› dipetakan pada bilangan bulat positif yang dibatasi oleh derajatnya maka akan menghasilkan graf baru đ??śđ?‘› ∗ yang memiliki 1-faktor dengan ciri-ciri fungsi tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri fungsi yang menghasilkan graf baru đ??śđ?‘›âˆ— yang dihasilkan dari graf đ??śđ?‘› akan memiliki 1-faktor. Adapun Langkah-langkah untuk memperoleh hasil dari penelitian ini adalah: (1) menggambar graf sikel đ??śđ?‘› , (2) menentukan kemungkinan-kemungkinan dari fungsi đ?‘“(đ??śđ?‘› ) → {1,2}, (3) menentukan đ??ˇ(đ?‘Ľ), (4) menentukan đ?‘ (đ?‘Ľ) dan đ?‘†(đ?‘Ľ), (5) Menentukan graf baru đ??śđ?‘›âˆ— = (đ?‘‰ ∗ , đ??¸ ∗ ), (6) Faktorisasi graf baru đ??śđ?‘›âˆ— dengan menunjukkan himpunan pasangannya. Hasil dari penelitian ini adalah ciri-ciri fungsi yang menghasilkan graf baru đ??śđ?‘›âˆ— yang memiliki 1faktor dengan membedakan untuk banyak titik ganjil dan banyak titik genap sebagaimana berikut: 1. Fungsi dengan banyak đ?‘› atau satu titik dipetakan ke 2 untuk đ?‘› ganjil 2. Fungsi dengan banyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 atau 1 untuk đ?‘› genap Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini untuk graf lainnya. Kata Kunci: Faktorisasi, 1-faktor, f-faktor, Graf Sikel (đ??śđ?‘› ) ABSTRACT Factor is a spanning subgraph of a graph. Spanning subgraph consist of a set of couples of vertices that disconnected each other and always organized as regular graph one, called as a graph that has 1factor. When a set of points of Cycle Graph (đ??śđ?‘› ) mapped on a positive integerbordered by its degree, it will produce a new graph of đ??śđ?‘› ∗ that has 1-factor with the particular function’s characteristics. The aim of this study is to determine the function’s characteristics that produc a new graph of đ??śđ?‘› ∗ obtained from đ??śđ?‘› of having 1-factor. Therefore, the steps to provide the result of the research are: (1) drawing the Cycle Graph đ??śđ?‘› , (2) Determining the possibility function of đ?‘“(đ??śđ?‘› ) → {1, 2}, (3) Determining đ??ˇ(đ?‘Ľ), (4) Determining đ?‘ (đ?‘Ľ) dan đ?‘†(đ?‘Ľ), (5) Determining a new graph đ??śđ?‘›âˆ— = (đ?‘‰ ∗ , đ??¸ ∗ ), (6) Factorizing the new graph đ??śđ?‘›âˆ— with showing a set matching. The results of this research are the function’s characteristics that producing a new graph of đ??śđ?‘› ∗ of having 1-factor with differentiate for many odd points and even points as follow: 1. A function of đ?‘› or one vertex has mapped to 2 for đ?‘› odd 2. A function of đ?‘› vertices is mapped to 2 or 1 for đ?‘› even. For the further research is expected to another graph. Keyword: Factoritation, 1-factor, f-factor, Graph Cycle (đ??śđ?‘› ) PENDAHULUAN Teori graf merupakan salah satu cabang ilmu Matematika yang sebenarnya sudah ada sejak dua ratus tahun yang lalu. Graf digunakan untuk mempresentasikan objek-objek diskrit dan

hubungan antara objek-objek tersebut. Representasi visual dari graf adalah dengan menyatakan objek sebagai noktah, bulatan, atau titik, sedangkan hubungan antara objek dinyatakan dengan garis (Munir, 2012). Secara sistematis, menurut (Chartrand & Lesniak, 1986)


Nova Nevisa A.F graf didefinisikan sebagai himpunan titik đ?‘‰(đ??ş) yang tak kosong dan himpunan sisi đ??¸(đ??ş) yang mungkin kosong yang mana keduanya saling berhubungan. Dalam perkembangannya, jurnal pertama yang ditulis tentang teori graf muncul pada tahun 1736 oleh matematikawan terkenal dari Swiss bernama Euler (Budayasa, 2007). Perkembangan teori ini tidak hanya secara teoritis, tetapi juga secara aplikatif. Dalam perkembangan teoritis, konsep-konsep yang ada dapat dibuktikan secara deduksi dan induksi. Sedangkan perkembangan secara aplikatif merupakan terapan dari hasil teoritis sebagai penyelesaian dari suatu masalah nyata. Salah satu topik yang menarik adalah membahas tentang faktorisasi. Menurut (Chartrand & Lesniak, 1986), faktor adalah subgraf merentang dari suatu graf dan faktorisasi adalah penjumlahan sisi-sisi yang disjoint dari faktor-faktor suatu graf. Selanjutnya r-reguler faktor dapat dinyatakan sebagai r-faktor. Karena faktorisasi dari suatu graf akan selalu menghasilkan faktor-faktor graf yang beraturan satu, maka graf tersebut dapat dinyatakan memiliki 1-faktor. Sedangkan pasangan sempurna adalah himpunan pasangan titik yang membentuk sisi pada suatu graf yang tidak saling terhubung langsung. Melihat definisi pasangan sempurna ini dapat mewakili definisi dari faktor maka dapat dinyatakan bahwa suatu graf yang mengandung pasangan sempurna akan memiliki 1-faktor. Sejauh ini masalah yang sudah dikaji tentang faktorisasi adalah faktorisasi graf komplit oleh Vera Mandailina tahun 2009 dan faktorisasi graf beraturan-r dengan order genap oleh Asna Bariroh tahun 2010, kedua masalah ini hanya membahas tentang faktorisasi pada graf yang hanya menghasilkan berapa banyak faktor pada suatu graf. Jika permasalahan faktorisasi ini dikaitkan dengan sebuah pemetaan dari himpunan titik suatu graf pada bilangan bulat positif yang dibatasi oleh derajatnya maka akan berakibat terbentuknya graf baru yang mana graf baru tersebut tidak selalu memiliki 1-faktor. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengembangkannya lebih lanjut. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan permasalahan tentang faktorisasi, sehingga metode penelitian ini merupakan metode kepustakaan, pendekatan yang digunakan ialah pendekatan kualitatif yang pada umumnya tidak terjun ke lapangan dalam pencarian dan pengumpulan sumber datanya. Sedangkan pola pembahasannya dari induktif ke deduktif, hal ini berarti pembahasannya dimulai dari hal-hal khusus menuju pada hal-hal umum

139

(generalisasi). Secara garis besar langkah penelitian ini sebagai berikut: 1) Menggambar graf sikel (đ??śđ?‘› ) dengan đ?‘› bilangan ganjil. 2) Menentukan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → đ?‘? + dengan ketentuan đ?‘“(đ?‘Ľ) ≤ đ?‘‘(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??śđ?‘› ), karena derajat pada graf sikel (đ??śđ?‘› ) selalu dua maka himpunan đ?‘? + = {1,2} sehingga fungsinya dapat ditulis đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1,2}. Kemudian menuliskan semua kemungkinan pemetaan yang terjadi. 3) Menentukan đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľđ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??śđ?‘› ), đ?›ź adalah sisi yang terkait langsung dengan đ?‘Ľ; ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??śđ?‘› )}. 4) Menentukan đ?‘ (đ?‘Ľ) = đ?‘‘(đ?‘Ľ) − đ?‘“(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) yang didefinisikan sebagai bilangan yang dihasilkan dari selisih antara derajat titik di graf sikel (đ??śđ?‘› ) dan bilangan bulat positif dari fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → đ?‘? + , kemudian menentukan đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľ(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ đ?‘ (đ?‘Ľ)} yang berupa himpunan titik dari đ?‘ (đ?‘Ľ). 5) Menentukan graf baru đ??śđ?‘› ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ), yang masing-masing dari đ?‘‰ ⋆ dan đ??¸ ⋆ didefinisikan sebagai berikut: a. đ?‘‰ ⋆ = đ?‘‰ ⋆1 ⋃đ?‘‰ ⋆ 2 ; đ?‘‰ ⋆1 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰ (đ??śđ?‘› ) đ??ˇ(đ?‘Ľ) ; đ?‘‰ ⋆ 2 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰ (đ??śđ?‘› ) đ?‘†(đ?‘Ľ) b. đ??¸ ⋆ = đ??¸ ⋆1 ⋃đ??¸ ⋆ 2 ; đ??¸ ⋆1 = {đ?‘Ľđ?›ź đ?‘Śđ?›ź |đ?›ź = đ?‘Ľđ?‘Ś ∈ đ??¸(đ??śđ?‘› ) ; đ??¸ ⋆ 2 = {đ?‘˘đ?‘Ł|đ?‘˘ ∈ đ??ˇ(đ?‘Ľ) đ?‘‘đ?‘Žđ?‘› đ?‘Ł ∈ đ?‘†(đ?‘Ľ), đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰ (đ??śđ?‘› )}. 6) Faktorisasi graf baru đ??śđ?‘› ⋆ . 7) Membuat suatu konjektur berdasarkan ciriciri yang didapatkan. 8) Merumuskan konjektur sebagai suatu teorema, kemudian dibuktikan kebenarannya sehingga dapat dinyatakan benar secara umum. 9) Menuliskan laporan penelitian. TEORI DASAR 1. Definisi Graf Sikel Sikel dengan 3 atau lebih titik adalah suatu graf sederhana yang titiknya tersusun mengikuti putaran seperti suatu jalan dengan dua titik yang terhubung langsung jika keduanya berturutan dan tidak terhubung langsung dengan lainnya. Sebuah sikel dengan satu titik disebut loop, dan sikel dengan dua titik yang dihubungkan oleh dua sisi disebut sisi rangkap (Bondy & Murty, 2008). Contoh 2.2: Graf sikel đ??śđ?‘› dengan đ?‘› = 3,4,5,6

Gambar 1 Graf đ??ś3 , đ??ś4 , đ??ś5 , đ??ś6

Volume 3 No. 3 November 2014


Faktorisasi Graf Baru Yang Dihasilkan Dari Pemetaan Titik Graf Sikel Pada Bilangan Bulat Positif 2. Definisi Subgraf Merentang Subgraf H dari graf G yang memiliki himpunan titik yang sama pada G atau jika subgraf H dengan đ?‘‰(đ??ť) = đ?‘‰(đ??ş), maka H disebut spanning subgraf (Subgraf merentang) dari G (Chartrand & Lesniak, 1986). Dari definisi sub graf merentang, peneliti memberikan contoh sebagai berikut:

G

7. Definisi Faktorisasi Faktorisasi dari graf G adalah penjumlahan sisi dari faktor-faktor graf (Chartrand & Lesniak, 1986). Suatu r-reguler faktor dari graf G dapat dinyatakan sebagai r-faktor dari G. Oleh karena itu, suatu graf memiliki 1-faktor jika dan hanya jika mengandung suatu perfect matching. contoh faktorisasi dari graf G sebagai berikut:

G1

Gambar 2 Subgraf Merentang Graf G1 dari Graf G

3. Definisi Matching Matching (Pasangan) pada graf G adalah himpunan pasangan titik yang membentuk sisi pada graf G yang tidak saling terhubung langsung (Chartrand & Lesniak, 1986). 4. Definisi Perfect Matching M disebut sebagai perfect matching (pasangan sempurna) pada graf G, jika M merupakan suatu pasangan pada graf G, dan semua sisi di M menutup semua titik di G (Bondy & Murty, 2008). 5. Definisi Perfect Matching M disebut sebagai perfect matching (pasangan sempurna) pada graf G, jika M merupakan suatu pasangan pada graf G, dan semua sisi di M menutup semua titik di G (Bondy & Murty, 2008). Contoh diberikan graf G dan graf H sebagai berikut:

G G1 G2 G3 Gambar 2.9 Garf G dan Faktor-faktornya Berdasarkan buku Extremal Graph Theory peneliti menyimpulkan bahwa untuk membangun graf baru đ??ş ∗ dari graf đ??ş yang memiliki 1-faktor adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menentukan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ş) → đ?‘? + dengan ketentuan đ?‘“(đ?‘Ľ) ≤ đ?‘‘(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ş). 2) Menentukan đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľđ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ş), đ?›ź adalah sisi yang terkait langsung dengan đ?‘Ľ; ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ş)}. 3) Menentukan đ?‘ (đ?‘Ľ) = đ?‘‘(đ?‘Ľ) − đ?‘“(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ş)), kemudian menentukan đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľ(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ đ?‘ (đ?‘Ľ)}. 4) Menentukan graf baru đ??ş ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) dengan đ?‘‰ ⋆ dan đ??¸ ⋆ didefinisikan sebagai berikut: a. đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘‰ ⋆1 ⋃đ?‘‰ ⋆ 2 |đ?‘‰ ⋆1 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰(đ??ş) đ??ˇ(đ?‘Ľ) đ?‘‘đ?‘Žđ?‘› đ?‘‰ ⋆ 2 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰(đ??ş) đ?‘†(đ?‘Ľ)} b. đ??¸ ⋆ = {đ??¸ ⋆1 ⋃đ??¸ ⋆ 2 |đ??¸ ⋆1 = {đ?‘Ľđ?›ź đ?‘Śđ?›ź |đ?›ź = đ?‘Ľđ?‘Ś ∈ đ??¸(đ??ş)} đ?‘‘đ?‘Žđ?‘› đ??¸ ⋆ 2 = {đ?‘˘đ?‘Ł|đ?‘˘ ∈ đ??ˇ(đ?‘Ľ), đ?‘Ł ∈ đ?‘†(đ?‘Ľ), đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰ (đ??ş)}}.

5. Faktorisasi graf baru đ??ş ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) dengan menunjukkan adanya himpunan pasangan sempurna. đ??ş

đ??ť Gambar 3 Graf đ??ş dan graf đ??ť

Dari Gambar 3 Graf đ??ş dengan đ?‘€ = {đ?‘’1 , đ?‘’4 } merupakan pasangan tidak sempurna dan graf đ??ť dengan đ?‘€ = {đ?‘’1 , đ?‘’3 , đ?‘’5 } adalah pasangan sempurna. 6. Definisi Faktor Faktor dari graf G adalah suatu subgraf merentang dari graf G (Chartrand & Lesniak, 1986). Jika đ??ş1 , đ??ş2 , ‌ , đ??şđ?‘› adalah faktor yang disjoint sisi pada graf G sedemikian hingga ⋃đ?‘›đ?‘–=1 đ??¸(đ??şđ?‘– ) = đ??¸(đ??ş) dimana đ??ş = đ??ş1 ⊕ đ??ş2 ⊕ ‌ ⊕ đ??şđ?‘› disebut sebagai penjumlahan sisi dari faktor-faktor đ??ş1 , đ??ş2 , ‌ , đ??şđ?‘› .

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Dari graf baru đ??ş ∗ yang dibangun tersebut maka terbentuklah lemma sebagai berikut: Lemma 1 đ??ş memiliki f-faktor jika dan hanya jika đ??ş ∗ memiliki 1-faktor (Bollobas, 1978). Bukti: Misalkan đ??ş memiliki f-faktor dengan himpunan sisi đ??š ⊂ đ??¸. Maka đ?œ“(đ??š) memuat sisi yang bebas dan dalam setiap himpunan đ??ˇ(đ?‘Ľ) pasti titik đ?‘ (đ?‘Ľ) tidak tertutup oleh đ?œ“(đ??š). Untuk setiap đ?‘Ľ kita menambahkan đ?‘ (đ?‘Ľ) yang bebas dengan sisi đ??ˇ(đ?‘Ľ) − đ?‘†(đ?‘Ľ) yang menutup titik-titik yang lain dari đ??ˇ(đ?‘Ľ). Dengan cara ini kita memperoleh đ??ş ∗ memiliki 1-faktor. Sebaliknya jika đ??ş ∗ mempunyai 1-faktor dengan himpunan sisi đ??š ∗ ⊂ đ??¸ ∗ kemudian đ?œ“ −1 (đ??š ∗ ∊ đ??¸ ∗ ) adalah himpunan sisi dari f-faktor di đ??ş. Contoh Diberikan graf komplit đ??ž4

140


Nova Nevisa A.F Jadi, đ??¸ ⋆1 = {đ?‘Ž1 đ?‘?1 , đ?‘?2 đ?‘?2 , đ?‘?3 đ?‘‘3 , đ?‘‘4 đ?‘Ž4 , đ?‘Ž5 đ?‘?5 , đ?‘?6 đ?‘‘6 } đ??¸ ⋆ 2 = {đ?‘˘đ?‘Ł| đ?‘˘ ∈ đ??ˇ(đ?‘Ľ), đ?‘Ł ∈ đ?‘†(đ?‘Ľ), đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ž4 )}

Gambar 4 Garf đ??ž4

1. Menentukan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ž4 ) → đ?‘? + dengan ketentuan đ?‘“(đ?‘Ľ) ≤ đ?‘‘(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ž4 ).

= {đ?‘Ž1 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž4 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž5 đ?‘Ž(1), đ?‘?1 đ?‘?(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?6 đ?‘?(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?3 đ?‘?(1), đ?‘?5 đ?‘?(1), đ?‘‘3 đ?‘‘(1), đ?‘‘4 đ?‘‘(1), đ?‘‘6 đ?‘‘(1)}

Sehingga untuk đ??¸ ⋆ = đ??¸ ⋆1 ⋃ đ??¸ ⋆ 2 diperoleh đ??¸ ⋆ = {đ?‘Ž1 đ?‘?1 , đ?‘?2 đ?‘?2 , đ?‘?3 đ?‘‘3 , đ?‘‘4 đ?‘Ž4 , đ?‘Ž5 đ?‘?5 , đ?‘?6 đ?‘‘6 , đ?‘Ž1 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž4 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž5 đ?‘Ž(1), đ?‘?1 đ?‘?(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?6 đ?‘?(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?3 đ?‘?(1), đ?‘?5 đ?‘?(1), đ?‘‘3 đ?‘‘(1), đ?‘‘4 đ?‘‘(1), đ?‘‘6 đ?‘‘(1)}

Jadi, graf baru đ??ž4 ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) adalah

Gambar 5 Salah Satu Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ž4 ) → đ?‘? +

2. Menentukan đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľđ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ž4 ), đ?›ź adalah sisi yang terkait langsung dengan đ?‘Ľ; ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ž4 )}. đ??ˇ(đ?‘Ž) = {đ?‘Žđ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ž4 ) dengan đ?›ź = 1, đ?›ź = 4 dan đ?›ź = 5} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ž) = {đ?‘Ž1 , đ?‘Ž4 , đ?‘Ž5 } đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?đ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ž4 ) dengan đ?›ź = 1, đ?›ź = 2 dan đ?›ź = 6} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?1 , đ?‘?2 , đ?‘?6 } đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?đ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ž4 ) dengan đ?›ź = 2, đ?›ź = 3 dan đ?›ź = 5} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?2 , đ?‘?3 , đ?‘?5 } đ??ˇ(đ?‘‘) = {đ?‘‘đ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ž4 ) dengan đ?›ź = 3, đ?›ź = 4 dan đ?›ź = 6} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘‘) = {đ?‘‘3 , đ?‘‘4 , đ?‘‘6 } 3. Menentukan đ?‘ (đ?‘Ľ) = đ?‘‘(đ?‘Ľ) − đ?‘“(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ž4 )), kemudian menentukan đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľ(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ đ?‘ (đ?‘Ľ)}. đ?‘ (đ?‘Ž) = đ?‘‘(đ?‘Ž) − đ?‘“(đ?‘Ž) = 3 − 2 = 1 diperoleh đ?‘†(đ?‘Ž) = {đ?‘Ž(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 1} = {đ?‘Ž(1)} đ?‘ (đ?‘?) = đ?‘‘(đ?‘?) − đ?‘“(đ?‘?) = 3 − 2 = 1 diperoleh đ?‘†(đ?‘?) = {đ?‘?(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 1} = {đ?‘?(1) } đ?‘ (đ?‘?) = đ?‘‘(đ?‘?) − đ?‘“(đ?‘?) = 3 − 2 = 1 diperoleh đ?‘†(đ?‘?) = {đ?‘?(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 1} = {đ?‘?(1)} đ?‘ (đ?‘‘) = đ?‘‘(đ?‘‘) − đ?‘“(đ?‘‘) = 3 − 2 = 1maka diperoleh đ?‘†(đ?‘‘) = {đ?‘‘(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 1} = {đ?‘‘(1)} 4. Menentukan graf baru đ??ş ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ )

maka

maka

Gambar 6 Graf baru đ??ž4 ⋆

5. Faktorisasi graf baru đ??ş ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) dengan menunjukkan adanya himpunan pasangan sempurna, yaitu đ?‘€ = {đ?‘Ž1 đ?‘?1 , đ?‘Ž5 đ?‘?5 , đ?‘?3 đ?‘‘3 , đ?‘?6 đ?‘‘6 , đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘‘4 đ?‘‘(1)}. Karena graf baru đ??ş ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) memuat pasangan sempurna maka graf baru đ??ş ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) memiliki 1-faktor. PEMBAHASAN 1. Faktorisasi Graf Baru đ?‘Şđ?&#x;‘ ⋆ yang Dihasilkan dari Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?&#x;‘ ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} Pertama menggambar graf sikel đ??ś3 dengan đ?‘Žđ?‘? = 1, đ?‘?đ?‘? = 2, dan đ?‘?đ?‘Ž = 3

maka Gambar 7 Graf Sikel đ??ś3

Selanjutnya menentukan semua kemungkinan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2} adalah sebagai berikut:

a. đ?‘‰ ⋆ = đ?‘‰ ⋆1 ⋃ đ?‘‰ ⋆ 2 đ?‘‰ ⋆1 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰{đ??ž4) đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ??ˇ(đ?‘Ž) âˆŞ đ??ˇ(đ?‘?) âˆŞ đ??ˇ(đ?‘?) âˆŞ đ??ˇ(đ?‘‘)} = {đ?‘Ž1 , đ?‘Ž4 , đ?‘Ž5 , đ?‘?1 , đ?‘?2 , đ?‘?6 , đ?‘?2 , đ?‘?3 , đ?‘?5 , đ?‘‘3 , đ?‘‘4 , đ?‘‘6 } đ?‘‰ ⋆ 2 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰(đ??ž4) đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘†(đ?‘Ž) âˆŞ đ?‘†(đ?‘?) âˆŞ đ?‘†(đ?‘?)} = {đ?‘Ž(1), đ?‘?(1), đ?‘?(1), đ?‘‘(1)}

Sehingga untuk đ?‘‰ ⋆ = đ?‘‰ ⋆1 ⋃ đ?‘‰ ⋆ 2 diperoleh

đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘Ž1 , đ?‘Ž4 , đ?‘Ž5 , đ?‘?1 , đ?‘?2 , đ?‘?6 , đ?‘?2 , đ?‘?3 , đ?‘?5 , đ?‘‘3 , đ?‘‘4 , đ?‘‘6 , đ?‘Ž(1), đ?‘?(1), đ?‘?(1), đ?‘‘(1)} b. đ??¸ ⋆ = đ??¸ ⋆1 ⋃ đ??¸â‹† 2 đ??¸ ⋆1 = {đ?‘Ľđ?›ź đ?‘Śđ?›ź |đ?›ź = đ?‘Ľđ?‘Ś ∈ đ??¸(đ??ž4 )}

� � � � � �

141

= 1 maka diperoleh đ?‘Ž1 đ?‘?1 = 2 maka diperoleh đ?‘?2 đ?‘?2 = 3 maka diperoleh đ?‘?3 đ?‘‘3 = 4 maka diperoleh đ?‘‘4 đ?‘Ž4 = 5 maka diperoleh đ?‘Ž5 đ?‘?5 = 6 maka diperoleh đ?‘?6 đ?‘‘6

Gambar 8 Semua Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2}

Kemudian untuk langkah selanjutnya akan dikerjakan pada salah satu kemungkinan dari Gambar 8 sebagai sampel kemungkinan yang dijadikan acuan untuk mengerjakan kemungkinan-kemungkinan fungsi yang lain. Salah satu kemungkinan tersebut adalah:

Volume 3 No. 3 November 2014


Faktorisasi Graf Baru Yang Dihasilkan Dari Pemetaan Titik Graf Sikel Pada Bilangan Bulat Positif

Gambar 9 Salah Satu Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2}

Selanjutnya menentukan đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľđ?›ź |đ?›ź = đ??¸(đ??ś3 ), đ?›ź terkait langsung dengan đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ś3 )} đ??ˇ(đ?‘Ž) = {đ?‘Žđ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ś3 ) dengan đ?›ź = 1 dan đ?›ź = 3} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ž) = {đ?‘Ž1 , đ?‘Ž3 } đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?đ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ś3 ) dengan đ?›ź = 1 dan đ?›ź = 2} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?1 , đ?‘?2 } đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?đ?›ź |đ?›ź ∈ đ??¸(đ??ś3 ) dengan đ?›ź = 2 dan đ?›ź = 3} maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘?) = {đ?‘?2 , đ?‘?3 } Selanjutnya menentukan đ?‘ (đ?‘Ľ) = đ?‘‘(đ?‘Ľ) − đ?‘“(đ?‘Ľ) ∀đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ś3 ), kemudian menentukan đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ľ(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ đ?‘ (đ?‘Ľ)} đ?‘ (đ?‘Ž) = đ?‘‘(đ?‘Ž) − đ?‘“(đ?‘Ž) = 2 − 1 = 1 maka diperoleh đ?‘†(đ?‘Ž) = {đ?‘Ž(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 1} = {đ?‘Ž(1)} đ?‘ (đ?‘?) = đ?‘‘(đ?‘?) − đ?‘“(đ?‘?) = 2 − 2 = 0 maka diperoleh đ?‘†(đ?‘?) = {đ?‘?(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 0} = { } đ?‘ (đ?‘?) = đ?‘‘(đ?‘?) − đ?‘“(đ?‘?) = 2 − 1 = 1 maka diperoleh đ?‘†(đ?‘?) = {đ?‘?(đ?‘–)|1 ≤ đ?‘– ≤ 1} = {đ?‘?(1)} Selanjutnya menentukan graf baru đ??ś3 ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) a. đ?‘‰ ⋆ = đ?‘‰ ⋆1 ⋃ đ?‘‰ ⋆ 2 đ?‘‰ ⋆1 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰{đ??ś3) đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ??ˇ(đ?‘Ž) âˆŞ đ??ˇ(đ?‘?) âˆŞ đ??ˇ(đ?‘?)} = {đ?‘Ž1 , đ?‘Ž3 , đ?‘?1 , đ?‘? 2 , đ?‘?2 , đ?‘?3 } đ?‘‰ ⋆ 2 = ⋃đ?‘Ľâˆˆđ?‘‰(đ??ś3 ) đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘†(đ?‘Ž) âˆŞ đ?‘†(đ?‘?) âˆŞ đ?‘†(đ?‘?)} = {đ?‘Ž(1), đ?‘?(1)} Sehingga untuk đ?‘‰ ⋆ = đ?‘‰ ⋆1 ⋃ đ?‘‰ ⋆ 2 diperoleh đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘Ž1 , đ?‘Ž3 , đ?‘?1 , đ?‘?2 , đ?‘?2 , đ?‘?3 , đ?‘Ž(1), đ?‘?(1)} ⋆ b. đ??¸ = đ??¸ ⋆1 ⋃ đ??¸ ⋆ 2 đ??¸ ⋆1 = {đ?‘Ľđ?›ź đ?‘Śđ?›ź |đ?›ź = đ?‘Ľđ?‘Ś ∈ đ??¸(đ??ś3 )} đ?›ź = 1 maka diperoleh đ?‘Ž1 đ?‘?1 đ?›ź = 2 maka diperoleh đ?‘?2 đ?‘?2 đ?›ź = 3 maka diperoleh đ?‘?3 đ?‘Ž3 Jadi, đ??¸ ⋆1 = {đ?‘Ž1 đ?‘?1 , đ?‘?2 đ?‘?2 , đ?‘?3 đ?‘Ž3 } đ??¸ ⋆ 2 = {đ?‘˘đ?‘Ł| đ?‘˘ ∈ đ??ˇ(đ?‘Ľ), đ?‘Ł ∈ đ?‘†(đ?‘Ľ), đ?‘Ľ ∈ đ?‘‰(đ??ś3 )} = {đ?‘Ž1 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž3 đ?‘Ž(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?3 đ?‘?(1)} Sehingga untuk đ??¸ ⋆ = đ??¸ ⋆1 ⋃ đ??¸ ⋆ 2 diperoleh đ??¸ ⋆ = {đ?‘Ž1 đ?‘?1 , đ?‘?2 đ?‘?2 , đ?‘?3 đ?‘Ž3 , đ?‘Ž1 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž3 đ?‘Ž(1), đ?‘?2 đ?‘?(1), đ?‘?3 đ?‘?(1)} Jadi, graf baru đ??ś3 ⋆ = (đ?‘‰ ⋆ , đ??¸ ⋆ ) dari kemungkinan fungsi đ?‘“(đ?‘Ž) = 1, đ?‘“(đ?‘?) = 2, dan đ?‘“(đ?‘?) = 1 adalah:

Gambar 10 Graf Baru đ??ś3 ⋆ dari Sampel Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2}

Selanjutnya faktorisasi graf baru đ??ś3 ⋆ . Dari Gambar 10 didapatkan pasangan đ?‘€= {đ?‘?2 đ?‘?2 , đ?‘?(1)đ?‘?3 , đ?‘Ž3 đ?‘Ž(1), đ?‘Ž1 đ?‘?1 } sebagai himpunan

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

pasangan titik yang membentuk sisi yang tidak saling terhubung langsung. Karena titik-titik pada Gambar 10 bisa berpasang-pasangan dan merupakan pasangan sempurna, maka berakibat graf baru đ??ś3 ⋆ dari fungsi đ?‘“(đ?‘Ž) = 1, đ?‘“(đ?‘?) = 2, dan đ?‘“(đ?‘?) = 1 memiliki 1-faktor. Selanjutnya untuk pembahasan kemungkinankemungkinan dari fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2} yang lain dapat dapat dilakukan dengan cara yang sama dan disimpulkan bahwa kemungkinankemungkinan fungsi yang menghasilkan graf baru đ??ś3 ⋆ yang memiliki 1-faktor adalah sebagai berikut:

Gambar 11 Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2} yang Memiliki 1-Faktor

Maka dapat dibuat dugaan mengenai ciri-ciri fungsi yang mengakibatkan graf baru đ??ś3 ⋆ yang dihasilkan dari fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś3 ) → {1, 2} akan memiliki 1-faktor dengan melihat banyaknya titik yang dipetakan yaitu fungsi dengan banyak đ?‘› titik atau hanya satu titik dipetakan ke 2. Untuk graf đ?‘Şđ?’? selanjutnya akan dilakukan dengan cara yang sama dan hanya akan ditunjukkan fungsi yang memiliki 1-faktor. 2. Faktorisasi Graf Baru đ?‘Şđ?&#x;’ ⋆ yang Dihasilkan dari Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?&#x;’ ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} Gambar graf sikel (đ??ś4 ) dengan đ?‘Žđ?‘? = 1, đ?‘?đ?‘? = 2, đ?‘?đ?‘‘ = 3, đ?‘‘đ?‘’ = 4

Gambar 12 Graf Sikel đ??ś4

Kemungkinan-kemungkinan fungsi yang menghasilkan graf baru đ??ś4 ⋆ yang memiliki 1faktor adalah sebagai berikut:

Gambar 13 Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś4 ) → {1, 2} yang Memiliki 1-faktor

3. Faktorisasi Graf Baru đ?‘Şđ?&#x;“ ⋆ yang Dihasilkan dari Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?&#x;“ ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} Gambar graf sikel đ??ś5 dengan đ?‘Žđ?‘? = 1, đ?‘?đ?‘? = 2, đ?‘?đ?‘‘ = 3, đ?‘‘đ?‘’ = 4, đ?‘’đ?‘Ž = 5

Gambar 14 Graf Sikel đ??ś5

Kemungkinan-kemungkinan fungsi yang menghasilkan graf baru đ??ś5 ⋆ yang memiliki 1faktor adalah sebagai berikut:

142


Nova Nevisa A.F

Gambar 15 Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś5 ) → {1, 2} yang Memiliki 1-faktor

4. Faktorisasi Graf Baru đ?‘Şđ?&#x;” ⋆ yang Dihasilkan dari Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?&#x;” ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} Gambar graf sikel (đ??ś6 ) dengan đ?‘Žđ?‘? = 1, đ?‘?đ?‘? = 2, đ?‘?đ?‘‘ = 3, đ?‘‘đ?‘’ = 4, đ?‘’đ?‘“ = 5, đ?‘“đ?‘Ž = 6

Gambar 3.10 Graf Sikel đ??ś6

Kemungkinan-kemungkinan fungsi yang menghasilkan graf baru đ??ś6 ⋆ yang memiliki 1faktor adalah sebagai berikut:

Gambar 19 Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś8 ) → {1, 2} yang Memiliki 1-faktor

7. Dugaan Ciri-ciri Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?’? ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} yang Mengakibatkan Graf Baru đ?‘Şđ?’? ⋆ Memiliki 1-Faktor Ciri-ciri fungsi yang mengakibatkan graf baru đ??śđ?‘› ⋆ yang dihasilkan dari fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1, 2} akan memiliki 1-faktor adalah: Untuk đ?‘› ganjil a. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 b. Fungsi dengan sebanyak hanya satu titik dipetakan ke 2. Untuk đ?‘› genap a. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 b. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 1.

Gambar 15 Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś6 ) → {1, 2} yang Memiliki 1-faktor

5. Faktorisasi Graf Baru đ?‘Şđ?&#x;• ⋆ yang Dihasilkan dari Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?&#x;• ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} Gambar graf sikel (đ??ś7 ) dengan đ?‘Žđ?‘? = 1, đ?‘?đ?‘? = 2, đ?‘?đ?‘‘ = 3, đ?‘‘đ?‘’ = 4, đ?‘’đ?‘“ = 5, đ?‘“đ?‘” = 6, đ?‘”đ?‘Ž = 7

Teorema 1: Fungsi yang mengakibatkan graf baru đ??śđ?‘› ⋆ yang dihasilkan dari kemungkinankemungkinan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1, 2} dapat memiliki 1-faktor untuk đ?‘› ganjil (đ?‘› ≼ 3) adalah fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik atau hanya satu titik dipetakan ke 2. Bukti:

Gambar 16 Graf Sikel đ??ś7

Kemungkinan-kemungkinan fungsi yang menghasilkan graf baru đ??ś7 ⋆ yang memiliki 1faktor adalah sebagai berikut:

Misal đ??śđ?‘› adalah graf sikel dengan đ?‘› ganjil (đ?‘› ≼ 3) dengan đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) = {đ?‘Ł1 , đ?‘Ł2 , đ?‘Ł3 , ‌ , đ?‘Łđ?‘› } dan đ??¸(đ??śđ?‘› ) = {đ?‘’1 , đ?‘’2 , đ?‘’3 , ‌ , đ?‘’đ?‘› } dengan đ?‘’đ?‘– = đ?‘Łđ?‘– đ?‘Łđ?‘–+1 untuk đ?‘– = 1,2, ‌ , đ?‘› − 1 dan đ?‘’đ?‘› = đ?‘Łđ?‘› đ?‘Ł1 . Misalkan đ??śđ?‘› ∗ adalah graf baru yang dihasilkan dari kemungkinan đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1, 2}. Akan ditunjukkan bahwa đ??śđ?‘› ∗ memiliki 1-faktor jika fungsinya memetakan sebanyak đ?‘› titik atau hanya satu titik dipetakan ke 2. Misal gambar graf đ??śđ?‘› adalah:

Gambar 17 Kemungkinan Fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??ś7 ) → {1, 2} yang Memiliki 1-faktor

6. Faktorisasi Graf Baru đ?‘Şđ?&#x;– ⋆ yang Dihasilkan dari Fungsi đ?’‡: đ?‘˝(đ?‘Şđ?&#x;– ) → {đ?&#x;?, đ?&#x;?} Pertama MengGambar graf sikel (đ??ś8 ) dengan đ?‘Žđ?‘? = 1, đ?‘?đ?‘? = 2, đ?‘?đ?‘‘ = 3, đ?‘‘đ?‘’ = 4, đ?‘’đ?‘“ = 5, đ?‘“đ?‘” = 6, đ?‘”â„Ž = 7, â„Žđ?‘Ž = 8

Gambar 18 Graf Sikel đ??ś8

Kemungkinan-kemungkinan fungsi yang menghasilkan graf baru đ??ś8 ⋆ yang memiliki 1faktor adalah sebagai berikut:

Gambar 20 Graf Sikel đ??śđ?‘› untuk đ?‘› Ganjil

Selanjutnya menentukan fungsi berdasarkan ciri-ciri yang telah ditentukan, yaitu: a. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 Misalkan đ?‘“ fungsi dari đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) ke {1, 2} dengan đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 2 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘›. Maka diperoleh: đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌, đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } đ?‘›âˆ’1 đ?‘› đ?‘†(đ?‘Ľ) = { } đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌, đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } đ?‘›âˆ’1 đ?‘› đ??¸ ⋆ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł3 đ?‘’ , ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ } 1

143

1

2

2

đ?‘›

đ?‘›

Volume 3 No. 3 November 2014


Faktorisasi Graf Baru Yang Dihasilkan Dari Pemetaan Titik Graf Sikel Pada Bilangan Bulat Positif Jadi graf baru đ??śđ?‘› ∗ = (đ?‘‰ ∗ , đ??¸ ∗ ) dengan fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 2 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘› adalah:

Jadi graf baru đ??śđ?‘› ∗ = (đ?‘‰ ∗ , đ??¸ ∗ ) dengan fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 1 dan đ?‘“(đ?‘Ł1 ) = 2 untuk đ?‘– = 2, 3, ‌ , đ?‘› adalah:

Gambar 21 Graf Baru đ??śđ?‘› ∗ untuk đ?‘› Ganjil dari Fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 2 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘›

Selanjutnya dari Gambar 21 dilakukan faktorisasi dengan menunjukkan adanya pasangan yaitu dengan melihat pengembangan titik yang terjadi dari setiap titik di graf sikel đ??śđ?‘› berdasarkan masingmasing pemetaannya sebagaimana berikut: Untuk đ?‘Ł1 dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł1 ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł1 ) = { }. Jadi titik đ?‘›

đ?‘›

1

Untuk đ?‘Ł2 dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł2 ) = {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł2 ) = { }. Jadi titik 1 2 đ?‘Ł2 berkembang menjadi {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ } 1 2 â‹Ž Untuk đ?‘Łđ?‘› dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Łđ?‘› ) = { đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Łđ?‘› ) = { }. Jadi đ?‘›âˆ’1 đ?‘› titik đ?‘Łđ?‘› berkembang menjadi {đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ }. đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Dari pengembangan titik ini dapat dilihat bahwa untuk setiap titik yang dipetakan ke 2 selalu berkembang menjadi 2 titik, karena sebanyak đ?‘› titik yang dipetakan ke 2 maka banyak pengembangannya adalah 2đ?‘› titik, dan karena đ?‘› = 2đ?‘˜ + 1 maka 2đ?‘› = 2(2đ?‘˜ + 1) bernilai genap. Kemudian dari simulasi Gambar 3.17 terlihat bahwa sisi-sisi yang terbentuk pada graf baru đ??śđ?‘› ∗ berupa sisisisi yang berselang-seling dengan đ?‘€ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł3 đ?‘’ , ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ }, maka dapat 1 1 2 đ?‘› 2 đ?‘› dipastikan graf baru đ??śđ?‘› ∗ dengan fungsi sebanyak đ?‘› titik dipetakakan ke 2 akan selalu memiliki 1-faktor. b. Fungsi dengan sebanyak hanya satu titik dipetakan ke 2 Misalkan đ?‘“ fungsi dari đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) ke {1, 2} dengan đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 1 dan đ?‘“(đ?‘Ł1 ) = 2 untuk đ?‘– = 2, 3, ‌ , đ?‘›. Maka diperoleh: đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌, đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } đ?‘›âˆ’1 đ?‘› đ?‘†(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 (1), ‌ , đ?‘Łđ?‘› (1)} đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘›âˆ’1 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 (1), ‌ , đ?‘Łđ?‘› (1)} đ?‘› đ??¸â‹† = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł3 đ?‘’ , ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł2 (1), 1 1 2 đ?‘› 1 2 đ?‘› đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł3 (1), đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł3 (1), ‌, 2

đ?‘›âˆ’1

Selanjutnya dari Gambar 22 dilakukan faktorisasi dengan menunjukkan adanya pasangan yaitu dengan melihat pengembangan titik yang terjadi dari setiap titik di graf sikel đ??śđ?‘› berdasarkan masingmasing pemetaannya sebagaimana berikut:

1

đ?‘Ł1 berkembang menjadi {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1đ?‘’ }

đ?‘Łđ?‘› đ?‘’

Gambar 22 Graf Baru đ??śđ?‘› ∗ untuk đ?‘› Ganjil dari Fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 1 dan đ?‘“(đ?‘Ł1 ) = 2 untuk đ?‘– = 2, 3, ‌ , đ?‘›

2

3

đ?‘Łđ?‘› (1), đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Łđ?‘› (1)} đ?‘›

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Untuk đ?‘Ł1 dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł1 ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł1 ) = { }. Jadi titik 1

đ?‘›

đ?‘Ł1 berkembang menjadi {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ } 1 đ?‘› Untuk đ?‘Ł2 dipetakan ke 1, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł2 ) = {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł2 ) = { đ?‘Ł2 (1)}. Jadi 1 2 titik đ?‘Ł2 berkembang menjadi {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 (1)} 1 2 â‹Ž Untuk đ?‘Łđ?‘› dipetakan ke 1, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Łđ?‘› ) = {đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Łđ?‘› ) = {đ?‘Łđ?‘› (1) }. đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Jadi titik đ?‘Łđ?‘› berkembang menjadi {đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› (1)}. đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Dari pengembangan titik ini dapat dilihat bahwa untuk setiap titik yang dipetakan ke 2 selalu berkembang menjadi 2 titik, karena sebanyak satu titik yang dipetakan ke 2 maka banyak pengembangannya adalah 2 titik, sedangkan untuk setiap titik yang dipetakan ke 1 selalu berkembang menjadi 3 titik, karena sebanyak đ?‘› − 1 titik yang dipetakan ke 1 maka banyak pengembangannya adalah 3(đ?‘› − 1 ). Jadi, secara keseluruhan perkembangan titiknya adalah sebesar 2 + 3(đ?‘› − 1 ) titik. Karena đ?‘› = 2đ?‘˜ + 1 maka 2 + 3(đ?‘› − 1 ) = 6đ?‘˜ + 2 bernilai genap. Kemudian dari simulasi Gambar 3.18 terlihat bahwa sisisisi yang terbentuk pada graf baru đ??śđ?‘› ∗ akan selalu berbentuk lintasan, sehingga dapat ditunjukkan himpunan pasangannya adalah đ?‘€ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł3 (1) ‌ , 1 1 2 2 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Łđ?‘› (1), đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ }, maka dapat đ?‘› đ?‘›âˆ’1 đ?‘› ∗ dipastikan graf baru đ??śđ?‘› dengan fungsi sebanyak hanya satu titik dipetakakan ke 2 akan selalu memiliki 1-faktor. Teorema 2: Fungsi yang mengakibatkan graf baru đ??śđ?‘› ⋆ yang dihasilkan dari kemungkinan-

144


Nova Nevisa A.F kemungkinan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1, 2} dapat memiliki 1-faktor untuk đ?‘› genap (đ?‘› ≼ 4) adalah fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 atau ke 1. Bukti Misal đ??śđ?‘› adalah graf sikel dengan đ?‘› genap (đ?‘› ≼ 4) dengan đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) = {đ?‘Ł1 , đ?‘Ł2 , đ?‘Ł3 , ‌ , đ?‘Łđ?‘› } dan đ??¸(đ??śđ?‘› ) = {đ?‘’1 , đ?‘’2 , đ?‘’3 , ‌ , đ?‘’đ?‘› } dengan đ?‘’đ?‘– = đ?‘Łđ?‘– đ?‘Łđ?‘–+1 untuk đ?‘– = 1,2, ‌ , đ?‘› − 1 dan đ?‘’đ?‘› = đ?‘Łđ?‘› đ?‘Ł1 . Misalkan đ??śđ?‘› ∗ adalah graf baru yang dihasilkan dari kemungkinan đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1, 2}. Akan ditunjukkan bahwa đ??śđ?‘› ∗ memiliki 1-faktor jika fungsinya memetakan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 atau ke 1. Misal gambar graf đ??śđ?‘› adalah:

Gambar 23 Graf Sikel đ??śđ?‘› untuk đ?‘› Genap

Selanjutnya menentukan fungsi berdasarkan ciri-ciri yang telah ditentukan, yaitu: a. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 Misalkan đ?‘“ fungsi dari đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) ke {1, 2} dengan đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 2 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘›. Maka diperoleh: đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌, đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } đ?‘›âˆ’1 đ?‘› đ?‘†(đ?‘Ľ) = { } đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘›âˆ’1 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } đ?‘› đ??¸ ⋆ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł3 đ?‘’ , ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ } 1 1 2 đ?‘› 2 đ?‘› Jadi graf baru đ??śđ?‘› ∗ = (đ?‘‰ ∗ , đ??¸ ∗ ) dengan fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 2 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘› adalah:

Gambar 24 Graf Baru đ??śđ?‘› ∗ untuk đ?‘› Genap dari Fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 2 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘›

Selanjutnya dari Gambar 24 dilakukan faktorisasi dengan menunjukkan adanya pasangan yaitu dengan melihat pengembangan titik yang terjadi dari setiap titik di graf sikel đ??śđ?‘› berdasarkan masingmasing pemetaannya sebagaimana berikut: Untuk đ?‘Ł1 dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł1 ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł1 ) = { }. Jadi titik đ?‘›

1

đ?‘Ł1 berkembang menjadi {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1đ?‘’ } đ?‘›

1

Untuk đ?‘Ł2 dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł2 ) = {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł2 ) = { }. Jadi titik 1 2 đ?‘Ł2 berkembang menjadi {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ } 1 2 â‹Ž

145

Untuk đ?‘Łđ?‘› dipetakan ke 2, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Łđ?‘› ) = { đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Łđ?‘› ) = { }. Jadi đ?‘›âˆ’1 đ?‘› titik đ?‘Łđ?‘› berkembang menjadi {đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ }. đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Dari pengembangan titik ini dapat dilihat bahwa untuk setiap titik yang dipetakan ke 2 selalu berkembang menjadi 2 titik, karena sebanyak đ?‘› titik yang dipetakan ke 2 maka banyak pengembangannya adalah 2đ?‘› titik, dan karena đ?‘› = 2đ?‘˜ + 2 maka 2đ?‘› = 2(2đ?‘˜ + 2) bernilai genap. Kemudian dari simulasi Gambar 3.20 terlihat bahwa sisi-sisi yang terbentuk pada graf baru đ??śđ?‘› ∗ berupa sisisisi yang berselang-seling dengan đ?‘€ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł3 đ?‘’ , ‌, đ?‘Łđ?‘›+1 đ?‘’ đ?‘Łđ?‘›+2 đ?‘’ , 1 1 2 2 đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘Łđ?‘›+2 đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ }, maka dapat dipastikan graf đ?‘›+2 đ?‘›+2 baru đ??śđ?‘› ∗ dengan fungsi sebanyak đ?‘› titik dipetakakan ke 2 akan selalu memiliki 1faktor. b. Fungsi dengan banyak đ?‘› titik dipetakan ke 1 Misalkan đ?‘“ fungsi dari đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) ke {1, 2} dengan đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 1 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘›. Maka diperoleh: đ??ˇ(đ?‘Ľ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌, đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } đ?‘›âˆ’1 đ?‘› đ?‘†(đ?‘Ľ) = { đ?‘Ł1 (1), đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 (1), ‌ , đ?‘Łđ?‘› (1)} đ?‘‰ ⋆ = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ , đ?‘Ł3 đ?‘’ ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘› 1 1 2 2 3 đ?‘›âˆ’1 đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Ł1 (1), đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 (1), ‌ , đ?‘Łđ?‘› (1)} đ?‘› đ??¸â‹† = {đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł3 đ?‘’ , ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł1 (1), 1 1 2 đ?‘› đ?‘› 2 đ?‘› đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł1 (1), đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł3 (1), 1 1 2 2 đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł3 (1), ‌ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Łđ?‘› (1), đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Łđ?‘› (1)} 3 đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Jadi graf baru đ??śđ?‘› ∗ = (đ?‘‰ ∗ , đ??¸ ∗ ) dengan fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 1 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘› adalah:

Gambar 25 Graf Baru đ??śđ?‘› ∗ untuk đ?‘› Genap dari Fungsi đ?‘“(đ?‘Łđ?‘– ) = 1 untuk đ?‘– = 1, 2, ‌ , đ?‘›

Selanjutnya dari Gambar 25 dilakukan faktorisasi dengan menunjukkan adanya pasangan yaitu dengan melihat pengembangan titik yang terjadi dari setiap titik di graf sikel đ??śđ?‘› berdasarkan masingmasing pemetaannya sebagaimana berikut: Untuk đ?‘Ł1 dipetakan ke 1, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł1 ) = {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł1 ) = { đ?‘Ł1 (1)}. Jadi đ?‘›

1

titik đ?‘Ł1 berkembang {đ?‘Ł1 đ?‘’ , đ?‘Ł1đ?‘’ , đ?‘Ł1 (1)} đ?‘›

menjadi

1

Untuk đ?‘Ł2 dipetakan ke 1, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Ł2 ) = {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Ł2 ) = {đ?‘Ł2 (1) }. Jadi 1

2

Volume 3 No. 3 November 2014


Faktorisasi Graf Baru Yang Dihasilkan Dari Pemetaan Titik Graf Sikel Pada Bilangan Bulat Positif titik đ?‘Ł2 berkembang menjadi {đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 (1) } 1 2 â‹Ž Untuk đ?‘Łđ?‘› dipetakan ke 1, maka diperoleh đ??ˇ(đ?‘Łđ?‘› ) = { đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ } dan đ?‘†(đ?‘Łđ?‘› ) = {đ?‘Łđ?‘› (1) }. đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Jadi titik đ?‘Łđ?‘› berkembang menjadi {đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› (1)}. đ?‘›âˆ’1 đ?‘› Dari pengembangan titik ini dapat dilihat bahwa untuk setiap titik yang dipetakan ke 1 selalu berkembang menjadi 3 titik, karena sebanyak đ?‘› titik yang dipetakan ke 1 maka banyak pengembangannya adalah 3đ?‘› titik, dan karena đ?‘› = 2đ?‘˜ + 2 maka 3đ?‘› = 3(2đ?‘˜ + 2) bernilai genap. Kemudian dari simulasi Gambar 3.21 terlihat bahwa sisi-sisi yang terbentuk pada graf baru đ??śđ?‘› ∗ berupa lintasan, sehingga dapat ditunjukkan himpunan pasangannya adalah đ?‘€= {đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł3 (1), đ?‘Ł3 đ?‘’ đ?‘Ł2 đ?‘’ , đ?‘Ł2 đ?‘’ đ?‘Ł2 (1), đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Ł1 (1), 2 1 1 3 3 đ?‘Ł1 đ?‘’ đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ , đ?‘Łđ?‘› đ?‘’ đ?‘Łđ?‘› (1)}, maka dapat dipastikan đ?‘› đ?‘› đ?‘›âˆ’1 graf baru đ??śđ?‘›+2 ∗ dengan fungsi sebanyak đ?‘› titik dipetakakan ke 2 akan selalu memiliki 1faktor.

DAFTAR PUSTAKA [1] Bollobas, B. (1978). EXTREMAL GRAPH THEORY. San Francisco: ACADEMIC PRESS. [2] Bondy, J., & Murty, U. (2008). Graph Theory. USA: Springer. [3] Budayasa. (2007). Teory Graph dan Aplikasinya. Surabaya: Unesa University Press. [4] Chartrand, G., & Lesniak, L. (1986). Graph and Digraphs. Washington: Chapman & Hall/CRC. [5] Munir, R. (2012). Matematika Diskrit. Bandung: Informatika Bandung.

PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa ciri-ciri fungsi yang mengakibatkan graf baru đ??śđ?‘› ⋆ yang dihasilkan dari kemungkinan-kemungkinan fungsi đ?‘“: đ?‘‰(đ??śđ?‘› ) → {1, 2} dapat memiliki 1faktor adalah: Untuk đ?‘› ganjil a. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 b. Fungsi dengan sebanyak hanya satu titik dipetakan ke 2 Untuk đ?‘› genap a. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 2 b. Fungsi dengan sebanyak đ?‘› titik dipetakan ke 1 2. Saran Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk melanjutkan penelitian pada graf lain.

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

146


KEAKURATAN SOLUSI PADA PERSAMAAN DIFUSI MENGGUNAKAN SKEMA CRANK-NICOLSON

Afidah Karimatul Laili1, Ari Kusumastuti2 1Mahasiswa 2Dosen

Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang e-mail: aphid.laili@gmail.com, arikususmastuti@gmail.com

ABSTRAK Persamaan difusi adalah persamaan diferensial parsial linier yang merupakan representasi berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan distribusi temperatur persamaan difusi dengan menggunakan skema Crank-Nicolson. Pertama, mendiskritisasikan persamaan difusi menggunakan skema Crank-Nicolson. Diskritisasi akan menghasilkan matriks. Selanjutnya menentukan kestabilan dan konsistensi. Kestabilan dan konsistensi untuk menunjukkan bahwa metode yang digunakan tersebut memiliki solusi yang dapat mendekati solusi analitiknya sehingga diketahui bahwa solusi tersebut akurat. Matriks hasil diskritisasi akan disimulasikan dalam program. Hasil simulasi menunjukkan bahwa distribusi temperatur menurun terhadap waktu karena adanya perpindahan panas. Kata kunci: solusi akurat, persamaan Difusi, perpindahan panas balik, Skema Crank-Nicolson. ABSTRACT Diffusion equation is a linear differential equation that represents the transfer of substance from the high concentration part to the lower concentration part. This research is determine the temperature distribution of diffusion equation using Crank-Nicholson scheme. First, Discretization diffusion equation using Crank-Nicholson scheme. Obtained from the discretization is matrix. Next, determining stability and consistency. The stability and consistency to indicate that the method used have a solution that can be approximating analytical solution so known regularization. Matrix discretization results will be simulated in the program. The simulation results show that the temperature distribution decreases with time to heat transfer. Keywords: regularization, Diffusion equation, backward heat equation, Crank-Nicholson Scheme.

PENDAHULUAN Estimasi error adalah suatu proses yang bertujuan untuk mencari solusi terbaik dengan mempertimbangkan besarnya nilai error yang dihasilkan dengan metode numerik. Dalam prosesnya, estimasi error didapatkan dari ekspansi daret Taylor yang dipotong setelah suku turunan yang diinginkan. Dengan pemotongan order yang ke n, maka hasil perhitungan akan mendekati solusi. Jadi dalam estimasi error akan dihasilkan suatu solusi yang akurat. Solusi akurat yaitu dekatnya suatu solusi pendekatan terhadap nilai sebenarnya. Dalam prosesnya, dibutuhkan suatu metode numerik yang akan menghasilkan solusi pendekatan terbaik. Solusi pendekatan salah satunya adalah skema Crank-Nicolson. Skema

Crank-Nicolson adalah pengembangan dari metode beda hingga skema eksplisit dengan metode beda hingga maju skema implisit. Namun bentuk dari skema Crank-Nicolson adalah skema implisit. Kelebihan metode ini dibandingkan dengan metode beda hingga yang lain adalah stabil tanpa syarat. Penelitian terdahulu oleh (Durmin, 2013) telah meneliti tentang perbandingan solusi dari skema implisit dan skema Crank-Nicolson untuk model perpindahan panas. Fokus penelitian (Durmin, 2013) adalah membandingkan solusi dari skema implisit dan skema Crank-Nicolson dengan cara simulasi. Penelitian terdahulu oleh (Le, Q.H., & Nguyen, 2013) meneliti tentang keakuratan solusi pada persamaan perpindahan panas balik dengan menggunakan ketaksamaan. Pada hasil


Keakuratan Solusi pada Persamaan Difusi Menggunakan Skema Crank-Nicolson diperoleh dengan error yang relatif kecil dan mendekati solusi sesungguhnya. Dengan telah diketahuinya bahwa telah didapatkan error yang relatif kecil, penulis ingin mengetahui estimasi error pada persamaan yang sama dengan metode yang berbeda pada penentuan solusi pendekatannya. Pada penelitian ini diselesaikan persamaan difusi menggunakan skema Crank-Nicolson, dalam penyelesaiaannya dilakukan diskritisasi menggunakan metode beda hingga skema CrankNicolson, kemudian menentukan syarat kestabilan dan menentukan syarat konsistensi untuk mengetahui bahwa hasil diskritisasi tersebut akurat. Selanjutnya melakukan simulasi dari skema yang digunakan dan interpretasi hasil. KAJIAN PUSTAKA 1. Persamaan Difusi Persamaan difusi yang dipakai adalah persamaan perpindahan panas balik đ?œ•đ?‘˘ đ?œ•2đ?‘˘ (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) − đ?‘Ž(đ?‘Ą) 2 (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘“(đ?‘Ľ, đ?‘Ą), đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ đ?‘˘(0, đ?‘Ą) = đ?‘˘(đ?œ‹, đ?‘Ą) = 0, cos(1) sin(đ?‘Ľ) đ?‘˘(đ?‘Ľ, 1) = đ?‘”(đ?‘Ľ) = , exp(12 + 1)

(1)

dengan domain đ?‘Ą ∈ [0,1], đ?‘Ľ ∈ [0, đ?œ‹], đ?‘Ž(đ?‘Ą) adalah fungsi 2đ?‘Ą + 1, dengan solusi eksak đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = cos(đ?‘Ą) sin(đ?‘Ľ) exp(đ?‘Ą 2 +đ?‘Ą)

, serta

đ?‘“(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = −

sin(đ?‘Ą) sin(đ?‘Ľ) exp(đ?‘Ą 2 +đ?‘Ą)

. �(�, �)

adalah fungsi distribusi temperatur dan đ?‘˘(đ?‘Ľ, 1) adalah distribusi temperatur awal, đ?‘˘đ?‘Ą adalah variabel panas yang bergantung pada đ?‘Ą, đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľ adalah variabel panas yang bergantung pada đ?‘Ľ, dan đ?‘Ž(đ?‘Ą) adalah konstanta panas (Le, Q.H., & Nguyen, 2013). 2. Skema Crank-Nicolson Skema Crank-Nicolson merupakan salah satu skema pengembangan dari skema eksplisit dan implisit, yaitu merupakan nilai rerata darai kedua metode tersebut. Pada skema Crank-Nicolson diferensial terhadap waktu đ?‘Ą dituliskan dalam bentuk beda maju, yaitu (Triatmodjo, 2002) đ?œ•đ?‘˘(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ą

=

đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1 −đ?‘˘đ?‘—đ?‘›

(2)

∆đ?‘Ą

Sedangkan, diferensial terhadap ruang đ?‘Ľ merupakan rerata dari skema eksplisit dam implisit dengan menggunakan beda pusat

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

đ?œ•đ?‘˘(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ľ

đ?‘› đ?‘› 1 đ?‘˘đ?‘—+1 −đ?‘˘đ?‘—−1 2 ∆đ?‘Ľ

≈ (

+

đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘˘đ?‘—+1 −đ?‘˘đ?‘—−1

∆đ?‘Ľ

)

(3)

Untuk diferensial orde 2 terhadap waktu dapat dituliskan sebagai berikut 2

đ?œ• đ?‘˘(đ?‘Ľ,đ?‘Ą) đ?œ•đ?‘Ľ2

= 12 (

đ?‘›+1 +đ?‘˘đ?‘›+1 đ?‘˘đ?‘›+1 đ?‘—−1 −2đ?‘˘đ?‘— đ?‘—+1

∆đ?‘Ľ2

)+ (4)

đ?‘› đ?‘› đ?‘› 1 đ?‘˘đ?‘—−1 −2đ?‘˘đ?‘— +đ?‘˘đ?‘—+1 ( ), 2 ∆đ?‘Ľ2

3. Keakuratan Solusi Keakuratan solusi numerik diukur berdasarkan kriteria konvergensi, konsistensi serta stabilitas. Konvergensi berhubungan dengan besarnya penyimpangan solusi pendekatan oleh metode beda hingga terhadap solusi eksak. “Aproksimasi solusi pasti konvergen ke solusi analitiknya, jika konsistensi dari persamaan beda dan stabilitas dari skema yang diberikan terpenuhi (Zauderer, 2006)â€?. Kriteria stabilitas dan konsitensi merupakan kondisi perlu dan cukup agar diperoleh solusi konvergen. Analisis kestabilan dari skema yang digunakan dapat dicari menggunakan stabilitas Von Neumann dengan mensubstitusikan đ?‘˘đ?‘—đ?‘› = đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— ke dalam persamaan beda yang digunakan, sedangkan untuk analisis konsistensi dapat dicari dengan menggunakan ekspansi deret Taylor. Syarat perlu dan cukup stabilitas Von Neumann yaitu |đ?œŒ| ≤ 1 dan kriteria konsistensi akan terpenuhi jika ∆đ?‘Ľ → 0 dan ∆đ?‘Ą → 0. Jika syarat kestabilan dan konsistensi terpenuhi maka solusi numerik tersebut akan mendekati solusi analitik (Zauderer, 2006). PEMBAHASAN 1. Solusi Persamaan Difusi dengan Skema Crank-Nicolson Persamaan difusi yang digunakan adalah persamaan (1) yang akan dianalisis dengan skema Crank-Nicolson (Durmin, 2013). Mengacu pada persamaan (4), maka bentuk diskrit dari persamaan (1) adalah sebagai berikut: đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1 − đ?‘˘đ?‘—đ?‘› − ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› 1 đ?‘› đ?‘˘đ?‘—−1 − 2đ?‘˘đ?‘—đ?‘› + đ?‘˘đ?‘—+1 (đ?‘Ž + 2 ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘˘đ?‘—−1 − 2đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1 + đ?‘˘đ?‘—+1 đ?‘Žđ?‘› ) = đ?‘“đ?‘—đ?‘› ∆đ?‘Ľ 2

(5)

Kemudian untuk semua variabel dengan superskrip đ?‘› dikelompokkan ke ruas kanan, sehingga

148


Afidah Karimatul Laili đ?‘Žđ?‘› 1 đ?‘Žđ?‘› đ?‘›+1 đ?‘›+1 −[ ] đ?‘˘ + [ + ]đ?‘˘ − 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘—−1 ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘— đ?‘› đ?‘Ž [ ] đ?‘˘đ?‘›+1 = 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘—+1 đ?‘Žđ?‘› [ ] đ?‘˘đ?‘› + 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘—−1 1 đ?‘Žđ?‘› [ − 2 ] đ?‘˘đ?‘—đ?‘› + ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ľ đ?‘Žđ?‘› [ ] đ?‘˘đ?‘› + đ?‘“đ?‘—đ?‘› 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘—+1 diasumsikan sebagai: đ??´đ?‘— = đ??śđ?‘— = đ??ˇđ?‘— = đ??šđ?‘— = đ?‘Žđ?‘›

1

đ?‘Žđ?‘›

2∆đ?‘Ľ 2

;

đ??ľđ?‘— =

đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1 − đ?‘˘đ?‘—đ?‘› = (đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ą (6) đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ą

1 ∆đ?‘Ą

+

đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ľ 2

,

đ??¸đ?‘— = − 2, ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ľ sehingga persamaan di atas dapat ditulis kembali sebagai: đ?‘›+1 đ?‘— đ?‘˘đ?‘—−1

−đ??´

�+1 � ��

+đ??ľ

−đ??ś

�+1 � ��+1

(7)

Kemudian untuk đ?‘› = 1,2, ‌ , đ?‘€ − 1 dan đ?‘— = 1,2, ‌ , đ?‘€. Misalkan đ?‘€ = 5, đ?‘€ adalah banyaknya iterasi, maka pada persamaan (7) akan diperoleh suatu matriks, đ??ś1 đ??ľ2 â‹Ž 0 0

‌ ‌ ‌ ‌

0 0 â‹Ž đ??ľđ?‘€âˆ’2 đ??´đ?‘€âˆ’1

đ?‘˘1đ?‘›+1 đ??ˇ1 0 đ??ˇ2 đ?‘˘2đ?‘›+1 0 = â‹Ž â‹Ž â‹Ž đ?‘›+1 đ??ˇ4 đ??śđ?‘€âˆ’2 đ?‘˘đ?‘€âˆ’2 đ?‘›+1 đ??ľđ?‘€âˆ’1 ] [đ?‘˘đ?‘€âˆ’1 ] [đ??ˇ5 ]

Kemudian dapat dicari dengan cara mensubstitusikan đ?‘˘đ?‘—đ?‘› = đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— , ∀ đ?‘– = √−1 ke dalam persamaan tersebut dan ∆đ?‘Ąđ?‘“đ?‘—đ?‘› dianggap kecil , sehingga: đ?œŒđ?‘›+1 đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— − đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— =

đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Ž(đ?‘—+1) ) +

(10)

đ?œŒ(đ?‘›+1) đ?‘’ đ?‘–đ?‘Ž(đ?‘—+1) ) Untuk penyederhanaan, persamaan (10) dibagi dengan đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— , misalkan đ?‘Žđ?‘› diasumsikan sebagai đ?‘˜ sehingga diperoleh:

(8)

đ??´đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1

maka matriksnya = đ??ˇđ?‘— , dimana đ??´ dan đ??ľ adalah matriks tridiagonal dengan ukuran (đ?‘€ − 1) Ă— (đ?‘€ − 1) dan unsur đ?‘˘đ?‘—đ?‘› dan đ?‘“đ?‘—đ?‘› diketahui dan selesaiannya adalah đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1 = đ??´âˆ’1 (đ??ˇđ?‘— ) yang berukuran (đ?‘€ − 1) Ă— 1. 2. Keakuratan Solusi Hasil Skema CrankNicolson Untuk Menunjukan bahwa persamaan (5) bernilai benar dan memiliki solusi yang dapat mendekati solusi analitik, maka cukup dengan menunjukan bahwa persamaan beda yang digunakan tersebut stabil dan konsisten. mengetahui apakah metode yang digunakan untuk mendekati persamaan difusi tersebut stabil atau tidak, maka uji kestabilan dapat dilakukan menggunakan analisa stabilitas Van Neumann, dengan cara mensubstitusikan đ?‘˘đ?‘—đ?‘› = đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— , ∀ đ?‘– = √−1 ke dalam persamaan (5) yang terlebih dahulu dikalikan dengan ∆t, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

149

đ?‘›+1 đ?‘›+1 đ?‘˘đ?‘—−1 − 2đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1 + đ?‘˘đ?‘—+1 ) + ∆đ?‘Ąđ?‘“đ?‘—đ?‘› 2∆đ?‘Ľ 2

đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ą (đ?‘›+1) đ?‘–đ?‘Ž(đ?‘—−1) (đ?œŒ đ?‘’ − 2đ?œŒ(đ?‘›+1) đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— + 2∆đ?‘Ľ 2

đ?‘› đ??šđ?‘— đ?‘˘đ?‘—+1 + đ?‘“đ?‘—đ?‘›

đ??ľ1 đ??´2 â‹Ž 0 [ 0

(9)

đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘–đ?‘Ž(đ?‘—−1) (đ?œŒ đ?‘’ − 2đ?œŒđ?‘› đ?‘’ đ?‘–đ?‘Žđ?‘— + 2∆đ?‘Ľ 2

=

đ?‘› đ??ˇđ?‘— đ?‘˘đ?‘—−1 + đ??¸đ?‘— đ?‘˘đ?‘—đ?‘› +

đ?‘› đ?‘› đ?‘˘đ?‘—−1 − 2đ?‘˘đ?‘—đ?‘› + đ?‘˘đ?‘—+1 + 2∆đ?‘Ľ 2

đ?œŒ=

1+ [1 −

đ?‘˜âˆ†đ?‘Ą 2∆đ?‘Ľ 2 đ?‘˜âˆ†đ?‘Ą 2∆đ?‘Ľ 2

(đ?‘’ −đ?‘–đ?‘Ž − 2 + đ?‘’ đ?‘–đ?‘Ž ) (đ?‘’ −đ?‘–đ?‘Ž

−2+

(11)

đ?‘’ đ?‘–đ?‘Ž )]

Karena đ?‘’ Âąđ?‘–đ?‘Ž = cos đ?‘Ž Âą đ?‘– sin đ?‘Ž, maka persamaan (11) dapat ditulis:

đ??†=

đ?’Œâˆ†đ?’• (đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚−đ?’Š đ??Źđ??˘đ??§ đ?’‚−đ?&#x;?+đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚+đ?’Š đ??Źđ??˘đ??§ đ?’‚) đ?&#x;?∆đ?’™đ?&#x;? đ?’Œâˆ†đ?’• (đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚−đ?’Š đ??Źđ??˘đ??§ đ?’‚−đ?&#x;?+đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚+đ?’Š đ??Źđ??˘đ??§ đ?’‚)] [đ?&#x;?− đ?&#x;?∆đ?’™đ?&#x;?

đ?&#x;?+

(12)

sehingga diperoleh:

đ??†=

Misalkan

đ?&#x;?+ [đ?&#x;? −

đ?’Œâˆ†đ?’• đ?&#x;?∆đ?’™đ?&#x;?

đ?’Œâˆ†đ?’• đ?&#x;?∆đ?’™đ?&#x;? đ?’Œâˆ†đ?’• đ?&#x;?∆đ?’™đ?&#x;?

(đ?&#x;? đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚ − đ?&#x;?)

(13)

(đ?&#x;? đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚ − đ?&#x;?)]

=đ?‘ş

|đ??†| = √[

đ?&#x;? + đ?‘ş(đ?&#x;? đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚ − đ?&#x;?) ] [đ?&#x;? − đ?‘ş(đ?&#x;? đ??œđ??¨đ??Ź đ?’‚ − đ?&#x;?)]

đ?&#x;?

(13)

Persamaan stabil jika dan hanya jika |đ??†| < đ?&#x;? atau

Volume 3 No. 3 November 2014


Keakuratan Solusi pada Persamaan Difusi Menggunakan Skema Crank-Nicolson đ?&#x;? + đ?&#x;’đ?‘ş(đ?’„đ?’?đ?’” đ?’‚ − đ?&#x;?) ≤đ?&#x;? đ?&#x;? − đ?&#x;’đ?‘ş(đ?’„đ?’?đ?’” đ?’‚ − đ?&#x;?)

(14)

Karena −2 ≤ cos đ?‘Ž − 1 ≤ 0, maka persamaan (14) terpenuhi untuk setiap đ?‘† ∈ đ?‘…. Sehingga didapatkan kestabilan dari persamaan difusi menggunakan skema Crank-Nicolson adalah stabil tanpa syarat. Setelah diperoleh syarat kestabilan maka selanjutnya syarat konsistensi, untuk mengetahui skema yang digunakan konsisten atau tidak, dapat dilakukan dengan ekspansi deret Taylor yang disubstitusikan kedalam persamaan (5). Ekspansi deret Taylor yang digunakan adalah sebagai berikut: đ?‘˘đ?‘—đ?‘›Âą1

=

���

Âą

∆đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘Ą |đ?‘›đ?‘—

1 + ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą |đ?‘›đ?‘— Âą 2

1 3 ∆đ?‘Ą đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą|đ?‘›đ?‘— + â‹Ż 6

(15)

đ?‘›Âą1 đ?‘˘đ?‘—Âą1 = đ?‘˘đ?‘—đ?‘› Âą ∆đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘Ą |đ?‘›đ?‘— Âą ∆đ?‘Ľđ?‘˘đ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— +

2∆đ?‘Ąâˆ†đ?‘Ľđ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— +

(16)

3∆đ?‘Ą 2 ∆đ?‘Ľđ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— +

(

(18)

đ?‘› 1 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą − 12đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ľđ?‘Ľ ) ∆đ?‘Ą 2 | − 6 đ?‘—

đ?‘› đ?‘Žđ?‘› đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ ∆đ?‘Ľ2| + â‹Ż = 0 12 đ?‘—

Suku pertama pada persamaan (18) adalah persamaan difusi yang telah diselesaikan. Suku kedua dan seterusnya adalah suku tambahan yang didapatkan dari penyelesaian menggunakan persamaan beda hingga dan disebut truncation error. Truncation error atau galat pemangkasan yang didapatkan adalah

(19) đ?‘›

đ?‘Žđ?‘› đ?‘˘ ∆đ?‘Ľ 2 |đ?‘›đ?‘— + â‹Ż 12 đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ

đ?‘—

Karena ∆đ?‘Ľ dan ∆đ?‘Ą sangat kecil maka jumlah dari limit tersebut akan semakin kecil, karena berapapun nilai đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą , đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ dan đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ jika dikalikan dengan nilai dari ∆đ?‘Ą dan ∆đ?‘Ľ akan semakin kecil. Error pemotongan yang dihasilkan akan menuju nol untuk ∆đ?‘Ľ → 0 dan ∆t → 0. Jadi skema CrankNicolson konsisten terhadap persamaan difusi.

3∆đ?‘Ąâˆ†đ?‘Ľ 2 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ľđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— + ∆đ?‘Ľ 3 đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— ) + â‹Ż 1 đ?‘› đ?‘˘đ?‘—Âą1 = đ?‘˘đ?‘—đ?‘› Âą ∆đ?‘Ľđ?‘˘đ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— + ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— Âą 2

3. Simulasi dan Interpretasi Hasil (17)

Selanjutnya substitusikan persamaan (15), (16) dan (17) kedalam persamaan (5), dengan sedikit manipulasi aljabar maka diperoleh persamaan berikut:

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

đ?‘Žđ?‘› đ?‘˘ ∆đ?‘Ľ|đ?‘›đ?‘— + 6 đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ

12đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ľđ?‘Ľ ) ∆đ?‘Ą 2 | −

∆đ?‘Ľ 2 đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— ) +

1 3 ∆đ?‘Ľ đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ |đ?‘›đ?‘— + â‹Ż 6

đ?‘› 1 đ?‘Žđ?‘› đ?‘› 3 ( đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą − − 8đ?‘Ž ∆đ?‘Ľ đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ ) ∆đ?‘Ą| − ∆đ?‘Ľ 2 đ?‘—

đ?‘› 1 đ?‘Žđ?‘› ( đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą − − 8đ?‘Žđ?‘› ∆đ?‘Ľ 3 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ ) ∆đ?‘Ą| − 2 ∆đ?‘Ľ đ?‘— đ?‘Žđ?‘› đ?‘˘ ∆đ?‘Ľ|đ?‘›đ?‘— + 6 đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ 1 ( đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą − 6

1 (∆đ?‘Ą 2 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą |đ?‘›đ?‘— + 2

1 (∆đ?‘Ą 3 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą |đ?‘›đ?‘— + 6

đ?‘› đ?‘Žđ?‘› đ?‘Žđ?‘› (đ?‘˘đ?‘Ą − đ?‘˘ − đ?‘˘ − đ?‘“)| + 2 đ?‘Ľđ?‘Ľ 2 đ?‘Ľđ?‘Ľ đ?‘—

Persamaan yang digunakan dalam simulasi adalah persamaan (7) yang merupakan bentuk diskrit dari persamaan difusi. Dalam simulasi digunakan ∆đ?‘Ľ = 0,0698 dan ∆đ?‘Ą = 0,0222, sehingga simulasi persamaan difusi dapat dilihat pada gambar (1) berikut:

150


Afidah Karimatul Laili penurunan secara terus menerus sampai pada ruang đ?‘Ľ maksimal. Perubahan temperatur tersebut berjalan secara sama di đ?‘Ą berapapaun KESIMPULAN

Gambar 1. Solusi Numerik Persamaan Difusi Menggunakan Skema Crank-Nicolson

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan antara lain: 1. Hasil diskritisasi skema Crank-Nicolson pada persamaan difusi stabil pada saat ∆đ?‘Ą dan ∆đ?‘Ľ berapapun, karena skema Crank-Nicolson. Hasil diskritisasi memenuhi syarat konsistensi karena error pemotongannya menuju nol untuk ∆đ?‘Ľ → 0 dan ∆t → 0. Jadi, hasil diskritisasi mendekati solusi analitik. 2. Pada simulasi dan interpretasi yang dilakukan pada solusi analitik dan solusi numerik menunjukkan bahwa solusi numerik merupakan solusi pendekatan dari solusi analitik. Perubahan temperatur terjadi secara sama pada solusi analitik dan solusi numerik.

DAFTAR PUSTAKA [1].

[2].

Gambar 2. Solusi Analitik Persamaan Difusi Pada Gambar 1 solusi numerik di atas perubahan temperatur berjalan dari đ?‘Ľ = 0 di đ?‘Ą berapapun berada pada temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0 kemudian berjalan naik sampai pada temperatur tebesar yaitu pada đ?‘Ľ = 1,827 dan đ?‘Ą = 0 dengan temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0,4855 kemudian berjalan turun sampai pada đ?‘Ľ = đ?œ‹ di đ?‘Ą = 0 dengan temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0. Pada Gambar 2 solusi analitik di atas perubahan temperatur berjalan secara sama yaitu dari đ?‘Ľ = 0 di đ?‘Ą berapapun berada pada temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0 kemudian berjalan naik sampai pada temperatur tebesar yaitu pada đ?‘Ľ = 1,536 dan đ?‘Ą = 0 dengan temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0,977 kemudian berjalan turun sampai pada đ?‘Ľ = đ?œ‹ di đ?‘Ą = 0 dengan temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0. Perubahan temperatur pada solusi numerik dan solusi analitik bergerak secara sama. Perubahan temperatur terjadi secara signifikan yaitu pada ruang đ?‘Ľ = 0 dengan temperatur yang awal nya kecil đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = 0 kemudian perlahan mengalami kenaikan sampai pada ruang tengah đ?‘Ľ. Kemudian temperatur đ?‘˘(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) mengalami

151

[3].

[4].

Durmin. (2013). Studi Perbandingan Perpindahan Panas Menggunakan Metode Beda Hingga dan Cranh-Nicholson. Surabaya: tidak diterbitkan. Le, T. P., Q.H., D. T., & Nguyen, T. (2013). A Backward Parabolic Equation with TimeDependent Coefficient: Regulation and Error Estimates. Journal of Computational and Applied Mathematics, 237 , 432-441. Triatmodjo, B. (2002). Metode Numerik Dilengkapi dengan Program Komputer. Yogyakarta: Beta offset. Zauderer, E. (2006). Partial Differential Equations of Applied Mathematics. Canada: Wiley.

Volume 3 No. 3 November 2014


KETERKAITAN ANTARA MODUL BEBAS DENGAN MODUL DILIHAT DARI SIFAT-SIFAT HOMOMORFISME MODUL Khusnul Afifa1, Abdussakir2 1Mahasiswa

Jurusan Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang e-mail: apheecute@gmail.com, abdussakir@gmail.com

2Dosen

ABSTRAK Dalam artikel ini akan dibahas tentang cara untuk mengetahui suatu đ?‘…-modul adalah modul bebas atau bukan dengan memanfaatkan suatu modul bebas sebagai đ?‘…-modul melalui media homomorfisma modul. Penelitian ini menggunakan metode kajian kepustakaan (library research), yaitu melakukan penelitian untuk memperoleh data-data dan informasi serta objek yang digunakan dalam pembahasan masalah tersebut. Berdasarkan pembahasan dapat diperoleh bahwa suatu đ?‘…-modul merupakan modul bebas jika đ?‘…-modul tersebut isomorfik dengan suatu modul bebas sebagai đ?‘…-modul. Artinya, suatu đ?‘…modul merupakan modul bebas jika terdapat suatu isomorfisma dari đ?‘…-modul tersebut ke suatu modul bebas yang juga merupakan suatu đ?‘…-modul. Lebih jauh lagi, jika suatu đ?‘…-modul adalah modul bebas, maka đ?‘…-modul tersebut isomorfik dengan đ?‘…đ?‘› , dimana đ?‘› adalah kardinalitas dari basis bagi đ?‘…-modul tersebut. Kata Kunci : basis, homomorfisme modul, modul, modul bebas, Ring ABSTRACT In this paper, the way to know whether đ?‘…-module is free module or not will be discussed by using free module as đ?‘…-module through module homomorphism media. In this research, the author used library research, which is conducting the research to obtain data and information about object that used in the discussion. Based on the discussion, it was obtained that đ?‘…-module was free module if the đ?‘…-module was isomorphic to free module as đ?‘…-module. It means that đ?‘…-module was free module if there is isomorphism from the đ?‘…-module to the free module which is an đ?‘…-module. Furthermore, if an đ?‘…-module was free module, then the đ?‘…-module would be isomorphic with đ?‘…đ?‘› , where đ?‘› is cardinality from basis for the đ?‘…module. Keywords: basis, free module, module, module homomorphism, ring.

PENDAHULUAN Struktur aljabar yang dikembangkan dalam dua himpunan yang tidak kosong dengan dua operasi biner dan memenuhi syarat tertentu, yaitu distributif kanan, distributif kiri, assosiatif, dan mempunyai elemen identitas disebut dengan modul [1]. Modul sendiri juga dapat dikembangkan menjadi beberapa sub pembahasan di antaranya adalah homomorfisme. Seperti halnya ring di dalamnya dibahas mengenai homomorfisme ring, maka di dalam modul juga dibahas mengenai homomorfisme modul. Homomorfisme modul merupakan suatu pemetaan dari suatu modul đ?‘€ ke modul đ?‘ yang mengawetkan kedua operasi yang ada dalam modul. Homomorfisme modul dibedakan menjadi 3, yaitu homomorfisme yang merupakan pemetaan satu-satu (one to one/

injektif) disebut monomorfisme modul, homomorfisme yang merupakan pemetaan pada (onto/surjektif) disebut epimorfisme modul, dan homomorfisme yang mempunyai sifat keduaduanya (injektif dan surjektif) atau yang dikenal dengan istilah bijektif disebut isomorfisme modul [2]. Suatu modul yang memiliki basis atau himpunan pembangun disebut modul bebas. Jika � adalah �-modul dan terdapat � ⊆ � dengan � merupakan basis untuk �, maka � disebut modul bebas [3]. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui suatu �-modul adalah modul bebas atau bukan dengan memanfaatkan suatu modul bebas sebagai �-modul melalui media homomorfisme modul.


Khusnul Afifa

TEORI DASAR 1. Fungsi Suatu fungsi dari himpunan S ke T adalah aturan yang mengaitkan setiap anggota S dengan tepat satu anggota T. Anggota S disebut domain dari fungsi, dan himpunan T disebut kodomain [4]. 2. Operasi Biner Operasi + pada suatu himpunan tidak kosong đ??ş adalah biner jika dan hanya jika đ?‘Ž ∈ đ??ş, đ?‘? ∈ đ??ş maka đ?‘Ž + đ?‘? ∈ đ??ş, ∀đ?‘Ž, đ?‘? ∈ đ??ş. Sifat tersebut dari operasi di đ??ş dikatakan tertutup dan jika sifat ini memenuhi operasi + di đ??ş [5]. 3. Grup Misalkan đ??ş adalah suatu himpunan tak kosong dan pada đ??ş didefinisikan operasi biner +. Sistem aljabar (đ??ş, +) disebut grup jika memenuhi aksioma-aksioma: a. Operasi + bersifat assosiatif di đ??ş (đ?‘Ž + đ?‘?) + đ?‘? = đ?‘Ž + (đ?‘? + đ?‘?), ∀đ?‘Ž, đ?‘?, đ?‘? ∈ đ??ş b. đ??ş mempunyai unsur identitas terhadap operasi + Misalkan đ?‘’ unsur di đ??ş sedemikian hingga đ?‘Ž + đ?‘’ = đ?‘’ + đ?‘Ž , ∀đ?‘Ž ∈ đ??ş maka đ?‘’ disebut unsur identitas. c. Setiap unsur di đ??ş mempunyai invers terhadap operasi + Untuk setiap đ?‘Ž ∈ đ??ş ada a−1∈ đ??ş yang disebut sebagai invers dari a, sehingga đ?‘Žâˆ’1 + đ?‘Ž = đ?‘Ž + đ?‘Ž −1 = đ?‘’, dimana e adalah unsur identitas di đ??ş [5]. Grup (đ??ş, +) dikatakan grup komutatif jika untuk setiap unsur đ?‘Ž dan đ?‘? di đ??ş berlaku đ?‘Ž + đ?‘? = đ?‘? + đ?‘Ž [6]. 4. Ring đ?‘… adalah himpunan tak kosong dengan dua operasi biner yang dilambangkan dengan + dan Ă— (penjumlahan pada operasi pertama dan perkalian pada operasi kedua) disebut ring jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: i. (đ?‘…, +) adalah grup komutatif ii. Operasi Ă— bersifat asssosiatif (đ?‘Ž Ă— đ?‘?) Ă— đ?‘? = đ?‘Ž Ă— (đ?‘? Ă— đ?‘?), ∀đ?‘Ž, đ?‘?, đ?‘? ∈ đ?‘… iii. Operasi Ă— bersifat distributif terhadap + di đ?‘…, ∀đ?‘Ž, đ?‘?, đ?‘? ∈ đ?‘… (đ?‘Ž + đ?‘?) Ă— đ?‘? = (đ?‘Ž Ă— đ?‘?) + (đ?‘? Ă— đ?‘?) (distributif kanan) đ?‘Ž(đ?‘? + đ?‘?) = (đ?‘Ž Ă— đ?‘?) + (đ?‘Ž Ă— đ?‘?) (distributif kiri) [7]. Misalkan đ?‘… dan đ?‘† adalah ring. Homomorfisme ring adalah pemetaan đ?œ‘: đ?‘… → đ?‘† jika memenuhi syarat-syarat berikut:

153

i. đ?œ‘(đ?‘Ž + đ?‘?) = đ?œ‘(đ?‘Ž) + đ?œ‘(đ?‘?), ∀đ?‘Ž, đ?‘? ∈ đ?‘… ii. đ?œ‘(đ?‘Žđ?‘?) = đ?œ‘(đ?‘Ž)đ?œ‘(đ?‘?), ∀đ?‘Ž, đ?‘? ∈ đ?‘… [7]. 5. Modul Misalkan (đ?‘…, +,Ă—) adalah ring. đ?‘…-modul di đ?‘… adalah himpunan đ?‘€ yang memenuhi: i. (đ?‘€, +) adalah grup komutatif ii. Diberikan pemetaan đ?‘… Ă— đ?‘€ → đ?‘€, dimana đ?‘&#x;đ?‘š, ∀đ?‘&#x; ∈ đ?‘…, đ?‘š ∈ đ?‘€ yang memenuhi: a. Distributif kanan (đ?‘&#x; + đ?‘ )đ?‘š = đ?‘&#x;đ?‘š + đ?‘ đ?‘š, ∀đ?‘&#x;, đ?‘ ∈ đ?‘…, đ?‘š ∈ đ?‘€ b. Distributif kiri đ?‘&#x;(đ?‘š + đ?‘›) = đ?‘&#x;đ?‘š + đ?‘&#x;đ?‘›, ∀đ?‘&#x; ∈ đ?‘…, đ?‘š, đ?‘› ∈ đ?‘€ c. Assosiatif (đ?‘&#x;đ?‘ )đ?‘š = đ?‘&#x;(đ?‘ đ?‘š), ∀đ?‘&#x;, đ?‘ ∈ đ?‘…, đ?‘š ∈ đ?‘€ Jika R mempunyai unsur identitas 1 maka d. 1đ?‘š = đ?‘š, ∀đ?‘š ∈ đ?‘€ [7]. Misal đ?‘… adalah ring dan đ?‘€ adalah đ?‘…modul. đ?‘…-submodul di đ?‘… adalah đ?‘ subgrup dari đ?‘€ yang bersifat tertutup terhadap elemenelemen ring, yaitu đ?‘&#x;đ?‘› ∈ đ?‘ , ∀đ?‘&#x; ∈ đ?‘…, đ?‘› ∈ đ?‘ [7]. Teorema 1 Misalkan đ?‘… adalah ring dan đ?‘€ adalah đ?‘…modul. Subset đ?‘ di đ?‘€ adalah submodul di đ?‘€ jika dan hanya jika: a. đ?‘ ≠∅ b. đ?‘Ľ + đ?›źđ?‘Ś ∈ đ?‘ , ∀đ?›ź ∈ đ?‘…, ∀ đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘ [7]. Bukti a. Jika đ?‘ adalah submodul di đ?‘€ maka 0 ∈ đ?‘ jadi đ?‘ ≠∅. b. đ?‘ bersifat tertutup terhadap operasi penjumlahan Misal đ?›ź = −1, maka đ?‘Ľ + (−1)đ?‘Ś = đ?‘Ľ + (−đ?‘Ś) =đ?‘Ľâˆ’đ?‘Śâˆˆđ?‘ Maka đ?‘Ľ + đ?›źđ?‘Ś ∈ đ?‘ , ∀đ?›ź ∈ đ?‘…, ∀đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘ . Misalkan đ?‘… adalah ring dan misalkan đ?‘€ dan đ?‘ adalah đ?‘…-modul. Pemetaan đ?œ‘: đ?‘€ → đ?‘ disebut homomorfisme modul jika pemetaan itu memenuhi syarat sebagai berikut: a) đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś), ∀đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘€ b) đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ), ∀đ?›ź ∈ đ?‘…, đ?‘Ľ ∈ đ?‘€ [7]. 6. Modul Bebas Diketahui đ?‘€ adalah đ?‘…-modul. Jika terdapat đ?‘‹ ⊆ đ?‘€ dengan đ?‘‹ merupakan basis untuk đ?‘€, maka đ?‘€ disebut modul bebas [3]. Misalkan đ?‘€ suatu R-modul dan đ?‘‹ ⊆ đ?‘€. Unsur đ?‘Ś ∈ đ?‘€ dikatakan kombinasi linier dari đ?‘‹ jika untuk semua đ?‘Ľ ∈ đ?‘‹ dapat diungkapkan dalam bentuk đ?‘Ś = đ?›ź1 đ?‘Ľ1 + đ?›ź2 đ?‘Ľ2 + â‹Ż + đ?›źđ?‘› đ?‘Ľđ?‘› dimana đ?›ź1 , đ?›ź2 , ‌ , đ?›źđ?‘› adalah skalar [8]. Misalkan đ?‘€ suatu R-modul dan đ?‘‹ ⊆ đ?‘€. Jika untuk semua đ?‘Ľ ∈ đ?‘‹ dapat dinyatakan

Volume 3 No. 3 November 2014


Keterkaitan Antara Modul Bebas Dengan Modul Dilihat Dari Sifat-Sifat Homomorfisme Modul

sebagai kombinasi linier maka dikatakan bahwa đ?‘‹ merentang đ?‘€ [8]. Misalkan đ?‘€ suatu R-modul dan đ?‘‹ ⊆ đ?‘€. Maka persamaan đ?›ź1 đ?‘Ľ1 + đ?›ź2 đ?‘Ľ2 + â‹Ż + đ?›źđ?‘› đ?‘Ľđ?‘› = 0 Mempunyai paling sedikit satu pemecahan, yakni đ?›ź1 = 0, đ?›ź2 = 0, ‌ , đ?›źđ?‘› = 0 Jika ini adalah satu-satunya pemecahan, maka đ?‘‹ dinamakan himpunan bebas linier. Jika ada pemecahan lain, maka đ?‘† dinamakan himpunan tak bebas linier [8]. Diketahui đ?‘€ adalah đ?‘…-modul dan đ?‘‹ ⊆ đ?‘€. Himpunan đ?‘‹ dikatakan basis untuk đ?‘€ jika dan hanya jika: a. đ?‘‹ merentang đ?‘€ b. đ?‘‹ bebas linier [8]. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research). Adapun langkah-langkah yang akan digunakan oleh peneliti dalam membahas penelitian ini adalah: 1. Mendefinisikan kembali tentang modul, modul bebas, dan homomorfisme modul serta membuat contohnya dan contoh yang salah 2. Mendefinisikan monomorfisme modul, epimorfisme modul, dan isomorfisme modul 3. Membuat contoh dan contoh yang salah dari monomorfisme modul, epimorfisme modul, dan isomorfisme modul dengan menggunakan domain modul bebas dan kodomainnya modul 4. Dari poin 3 didapatkan dua teorema baru dan membuktikan teorema tersebut serta memberikan contohnya. PEMBAHASAN Homomorfisme modul merupakan pemetaan dari suatu modul ke modul yang lain yang mengawetkan kedua operasi yang ada dalam modul tersebut. Misalkan đ?‘… adalah ring dan misalkan đ?‘€ dan đ?‘ adalah đ?‘…-modul. Pemetaan đ?œ‘: đ?‘€ → đ?‘ disebut homomorfisme modul jika pemetaan itu memenuhi syarat sebagai berikut: a) đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś), ∀đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘€ b) đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ), ∀đ?›ź ∈ đ?‘…, đ?‘Ľ ∈ đ?‘€ [7]. Contoh: Diberikan đ?‘… dan đ?‘…2 sebagai đ?‘…-modul. Melalui pemetaan đ?œ‘: đ?‘…2 → đ?‘… yang didefinisikan dengan đ?œ‘(đ?‘Ľ) = 0đ?‘… . Akan ditunjukkan đ?œ‘ adalah homomorfisme modul.

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Berdasarkan definisi homomorfisme modul, đ?œ‘ dikatakan homomorfisme modul jika memenuhi sifat-sifat berikut: i. đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś) đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = 0đ?‘… ( berdasarkan definisi đ?œ‘, karena đ?‘Ľ + đ?‘Ś ∈ đ?‘…2 ) Dilain pihak, đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś) = 0đ?‘… + 0đ?‘… = 0đ?‘… Jadi đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś) ii. đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ) đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ś) = 0đ?‘… ( berdasarkan definisi đ?œ‘, karena đ?›źđ?‘Ś ∈ đ?‘…2 ) Dilain pihak, đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ś) = đ?›ź0đ?‘… = 0đ?‘… đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ) Jadi đ?œ‘ terbukti homomorfisme modul. Secara garis besar, homomorfisme modul dibedakan menjadi tiga, yaitu monomorfisme, epimorfisme, dan isomorfisme. Misalkan đ?‘… adalah ring, đ?‘€ dan đ?‘ adalah đ?‘… -modul, jika homomorfisme modul dari đ?‘€ ke đ?‘ bersifat injektif (satu-satu) maka disebut monomorfisme modul [7]. Contoh: Diberikan đ?‘? dan đ?‘? Ă— đ?‘?2 sebagai đ?‘?-modul. Pemetaan đ?œ‘ âˆś đ?‘? → đ?‘? Ă— đ?‘?2 didefinisikan sebagai đ?œ‘(đ?‘Ľ) = (đ?‘Ľ, 0). Pemetaan đ?œ‘ ini adalah pemetaan monomorfisme. Ambil sebarang đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘? dan đ?›ź ∈ đ?‘?, maka 1. đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = (đ?‘Ľ + đ?‘Ś, 0) = (đ?‘Ľ, 0) + (đ?‘Ś, 0) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś) 2. đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = (đ?›źđ?‘Ľ, 0) = (đ?›źđ?‘Ľ, đ?›ź0) = đ?›ź(đ?‘Ľ, 0) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ) Dari 1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah suatu homomorfisme modul. Kemudian, untuk sebarang đ?œ‘(đ?‘Ľ), đ?œ‘(đ?‘Ś) ∈ đ?‘…đ?œ‘ dengan đ?œ‘(đ?‘Ľ) = đ?œ‘(đ?‘Ś), berlaku đ?&#x;Ž = đ?œ‘(đ?‘Ľ) − đ?œ‘(đ?‘Ś) = (đ?‘Ľ, 0) − (đ?‘Ś, 0) = (đ?‘Ľ − đ?‘Ś, 0) Oleh karena itu, đ?‘Ľ − đ?‘Ś = 0. Dengan kata lain đ?‘Ľ = đ?‘Ś. Jadi đ?œ‘ adalah pemetaan 1-1. Dilain pihak, terdapat (1,1) ∈ đ?‘?đ?‘Ľđ?‘?2 Sehingga (1,1) ≠đ?œ‘(đ?‘Ľ) untuk setiap đ?‘Ľ ∈ đ?‘?. Jadi đ?œ‘ bukan pemetaan pada. Jadi dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah monomorfisme modul. Misal đ?‘… adalah ring, đ?‘€ dan đ?‘ adalah đ?‘…modul, jika homomorfisme modul dari đ?‘€ ke đ?‘ bersifat surjektif (pada/onto), maka disebut epimorfisme modul [7]. Contoh: Diberikan đ?‘? dan đ?‘?2 sebagai đ?‘?-modul. Pemetaan đ?œ‘ âˆś đ?‘? → đ?‘?2 didefinisikan sebagai đ?œ‘(đ?‘Ľ) = đ?‘Ľ (đ?‘šđ?‘œđ?‘‘2). Pemetaan đ?œ‘ ini adalah pemetaan epimorfisme. Ambil sebarang đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘? dan đ?›ź ∈ đ?‘?, maka 1. đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = đ?‘Ľ + đ?‘Ś (đ?‘šđ?‘œđ?‘‘2) = đ?‘Ľ (đ?‘šđ?‘œđ?‘‘2) + đ?‘Ś (đ?‘šđ?‘œđ?‘‘2) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś)

154


Khusnul Afifa

2. đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = đ?›źđ?‘Ľ (đ?‘šđ?‘œđ?‘‘2) = đ?›ź(đ?‘Ľ (đ?‘šđ?‘œđ?‘‘2)) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ) Dari 1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah suatu homomorfisme modul. Kemudian, untuk sebarang đ?‘§ ∈ đ?‘?2 , maka i) Untuk đ?‘§ = 0, maka terdapat 0 ∈ đ?‘? sehingga đ?œ‘(0) = 0 ii) Untuk đ?‘§ = 1, maka terdapat 3 ∈ đ?‘? sehingga đ?œ‘(3) = 1 Jadi đ?œ‘ adalah pemetaan pada. Dilain pihak, terdapat 1,3 ∈ đ?‘? dengan 1 ≠3, tetapi đ?œ‘(3) = 1 = đ?œ‘(1). Jadi đ?œ‘ bukan pemetaan 1-1. Jadi dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah epimorfisme modul. Misalkan đ?‘… adalah ring, đ?‘€ dan đ?‘ adalah đ?‘…-modul, jika homomorfisme modul dari đ?‘€ ke đ?‘ bersifat bijektif (satu-satu) dan surjektif (pada), dengan kata lain homomorfisme modul dari đ?‘€ ke đ?‘ bersifat bijektif, maka disebut isomorfisme modul. Jika terdapat suatu isomorfisme dari đ?‘€ ke đ?‘ , maka đ?‘€ isomorfik dengan đ?‘ atau đ?‘ isomorfik dengan đ?‘€ [7]. Contoh: Diberikan đ?‘?4 dan đ?‘€= đ?‘Ž11 đ?‘Ž12 {(đ?‘Ž đ?‘Ž22 ) |đ?‘Ž11 , đ?‘Ž12 , đ?‘Ž21 , đ?‘Ž22 ∈ đ?‘?} adalah đ?‘?21 modul. Pemetaan đ?œ‘ âˆś đ?‘€ → đ?‘? 4 didefinisikan sebagai đ?œ‘(đ?‘Ž) = (đ?‘Ž11 , đ?‘Ž12 , đ?‘Ž21 , đ?‘Ž22 ) dimana đ?‘Ž = đ?‘Ž11 đ?‘Ž12 (đ?‘Ž đ?‘Ž22 ). Pemetaan đ?œ‘ ini adalah pemetaan 21 isomorfisme. Ambil sebarang đ?‘Ľ, đ?‘Ś ∈ đ?‘€ dan đ?›ź ∈ ℤ, maka đ?‘Ľ +đ?‘Ś đ?‘Ľ +đ?‘Ś i) đ?œ‘(đ?‘Ľ + đ?‘Ś) = (đ?‘Ľ11 + đ?‘Ś11 đ?‘Ľ12 + đ?‘Ś12 ) 21 21 22 22 = (đ?‘Ľ11 + đ?‘Ś11 , đ?‘Ľ12 + đ?‘Ś12 , đ?‘Ľ21 + đ?‘Ś21 , đ?‘Ľ22 + đ?‘Ś22 ) = (đ?‘Ľ11 , đ?‘Ľ12 , đ?‘Ľ21 , đ?‘Ľ22 ) + (đ?‘Ś11 , đ?‘Ś12 , đ?‘Ś21 , đ?‘Ś22 ) = đ?œ‘(đ?‘Ľ) + đ?œ‘(đ?‘Ś) đ?›źđ?‘Ľ11 đ?›źđ?‘Ľ12 ii) đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ľ) = đ?œ‘ ((đ?›źđ?‘Ľ đ?›źđ?‘Ľ22 )) 21 = (đ?›źđ?‘Ľ11 , đ?›źđ?‘Ľ12 , đ?›źđ?‘Ľ21 , đ?›źđ?‘Ľ22 ) = đ?›ź(đ?‘Ľ11 , đ?‘Ľ12 , đ?‘Ľ21 , đ?‘Ľ22 ) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ľ) Dari (i) dan (ii), dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah suatu homomorfisme modul. Kemudian untuk sebarang (đ?‘š11 , đ?‘š12 , đ?‘š21 , đ?‘š22 ) ∈ đ?‘?, maka terdapat đ?‘š = đ?‘š11 đ?‘š12 (đ?‘š ) anggota đ?‘€ sehingga đ?œ‘(đ?‘š) = 21 đ?‘š22 (đ?‘š11 , đ?‘š12 , đ?‘š21 , đ?‘š22 ). Jadi đ?œ‘ adalah pemetaan pada. Di lain pihak, untuk sebarang đ?œ‘(đ?‘Ľ), đ?œ‘(đ?‘Ś) ∈ đ?‘…đ?œ‘ dengan đ?œ‘(đ?‘Ľ) = đ?œ‘(đ?‘Ś), berlaku đ?&#x;Ž = đ?œ‘(đ?‘Ľ) − đ?œ‘(đ?‘Ś) = (đ?‘Ľ11 , đ?‘Ľ12 , đ?‘Ľ21 , đ?‘Ľ22 ) − (đ?‘Ś11 , đ?‘Ś12 , đ?‘Ś21 , đ?‘Ś22 ) = (đ?‘Ľ11 − đ?‘Ś11 , đ?‘Ľ12 − đ?‘Ś12 , đ?‘Ľ21 − đ?‘Ś21 , đ?‘Ľ22 − đ?‘Ś22 )

155

Oleh karena itu, đ?‘Ľđ?‘–đ?‘— − đ?‘Śđ?‘–đ?‘— = 0 untuk setiap đ?‘–, đ?‘— = 1,2. Dengan kata lain đ?‘Ľđ?‘–đ?‘— = đ?‘Śđ?‘–đ?‘— untuk setiap đ?‘–, đ?‘— = 1,2. Sehingga diperoleh đ?‘Ľ = đ?‘Ś. Jadi đ?œ‘ adalah pemetaan 1-1. Jadi dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah isomorfisma modul. Pada contoh monomorfisme dan epimorfisme, domainnya adalah đ?‘? sebagai đ?‘?modul. Telah diketahui bahwa đ?‘? sebagai đ?‘?modul adalah Modul bebas dengan basis {1}. Pada contoh epimorfisme, mudah diketahui bahwa đ?‘?2 sebagai đ?‘?-modul bukan modul bebas disebabkan satu-satunya pembangun di đ?‘?2 , yaitu {1} tak bebas linear, karena terdapat 2 ∈ đ?‘? dimana 2 ≠0, berlaku 2 ∙ 1 = 0 di đ?‘?2 . Jadi epimorfisme bukan jaminan untuk kodomain merupakan modul bebas saat domain modul bebas. Selanjutnya, pada contoh monomorfisme, đ?‘? Ă— đ?‘?2 juga bukan modul bebas ( Hal ini akan dibuktikan dengan teorema terakhir pada bab ini ). Jadi monomorfisme bukan jaminan untuk kodomain merupakan modul bebas saat domain modul bebas. Terakhir, pada contoh ketiga, yaitu isomorfisme, đ?‘? 4 sebagai đ?‘?-modul adalah modul bebas dengan basis {(1,1,1,1)}. Begitu pula dengan đ?‘€ sebagai đ?‘?-modul juga merupakan modul bebas dengan basis 1 0 0 1 0 0 0 0 {( ),( ),( ),( )}. Dari contoh 0 0 0 0 1 0 0 1 isomorfisme ini, ada kemungkinan bahwa isomorfisme bisa jadi jaminan untuk kodomain modul bebas saat domain adalah modul bebas. Hal ini dijawab oleh teorema berikut. Teorema 2 Misalkan đ?‘€ dan đ??š adalah đ?‘…-modul. Jika đ?‘€ adalah modul bebas dan đ?‘€ isomorfik dengan đ??š, maka đ??š modul bebas. Bukti Misalkan đ?‘‹ = {đ?‘Ľ1 , đ?‘Ľ2 , ‌ , đ?‘Ľđ?‘› } adalah basis untuk đ?‘€ dan đ?œ‘ adalah isomorfisme dari đ?‘€ ke đ??š. Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa đ?‘‰ = {đ?œ‘(đ?‘Ľ1 ), đ?œ‘(đ?‘Ľ1 ), ‌ , đ?œ‘(đ?‘Ľđ?‘› )} adalah basis bagi đ??š. i) đ?‘‰ membangun đ??š Ambil đ?‘Ś ∈ đ??š. Karena đ?œ‘ pemetaan pada, maka terdapat đ?‘š ∈ đ?‘€ sehingga đ?œ‘(đ?‘š) = đ?‘Ś. Karena đ?‘€ modul bebas, maka terdapat đ?‘&#x;1 , đ?‘&#x;2 , ‌ , đ?‘&#x;đ?‘› ∈ đ?‘… sehingga đ?‘›

đ?‘š = ∑ đ?‘&#x;đ?‘– đ?‘Ľđ?‘– = đ?‘&#x;1 đ?‘Ľ1 + đ?‘&#x;2 đ?‘Ľ2 + đ?‘&#x;3 đ?‘Ľ3 + â‹Ż + đ?‘&#x;đ?‘› đ?‘Ľđ?‘› đ?‘–=1

Selain itu, karena đ?œ‘ suatu homomorfisme, maka đ?œ‘(đ?‘š) = đ?œ‘(∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘&#x;đ?‘– đ?‘Ľđ?‘– ) = đ?œ‘(đ?‘&#x;1 đ?‘Ľ1 + đ?‘&#x;2 đ?‘Ľ2 + â‹Ż + đ?‘&#x;đ?‘› đ?‘Ľđ?‘› ) = đ?œ‘(đ?‘&#x;1 đ?‘Ľ1 ) + đ?œ‘(đ?‘&#x;2 đ?‘Ľ2 ) + â‹Ż + đ?œ‘(đ?‘&#x;đ?‘› đ?‘Ľđ?‘› ) = đ?‘&#x;1 đ?œ‘(đ?‘Ľ1 ) + đ?‘&#x;2 đ?œ‘(đ?‘Ľ2 ) + â‹Ż + đ?‘&#x;đ?‘› đ?œ‘(đ?‘Ľđ?‘› ) = ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘&#x;đ?‘– đ?œ‘(đ?‘Ľđ?‘– ) =đ?‘Ś

Volume 3 No. 3 November 2014


Keterkaitan Antara Modul Bebas Dengan Modul Dilihat Dari Sifat-Sifat Homomorfisme Modul

Jadi đ?‘‰ membangun đ??š. ii) đ?‘‰ bebas Linear Berikutnya, persamaan ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘ đ?‘– đ?œ‘(đ?‘Ľđ?‘– ) = 0đ??š dimana đ?‘ 1 , đ?‘ 2 , ‌ , đ?‘ đ?‘› ∈ đ?‘…, dapat dituliskan menjadi đ?œ‘(∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘ đ?‘– đ?‘Ľđ?‘– ) = 0đ??š . Karena đ?œ‘ pemetaan 1-1, maka prapeta dari 0đ??š adalah 0đ?‘€ . Dengan kata lain ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘ đ?‘– đ?‘Ľđ?‘– = 0đ?‘€ . Karena đ?‘‹ adalah basis bagi đ?‘€, maka persamaan ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘ đ?‘– đ?‘Ľđ?‘– = 0đ?‘€ hanya dipenuhi oleh đ?‘ 1 = đ?‘ 2 = â‹Ż = đ?‘ đ?‘› = 0. Oleh karena itu persamaan ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘ đ?‘– đ?œ‘(đ?‘Ľđ?‘– ) = 0đ??š hanya dipenuhi oleh skalar đ?‘ 1 = đ?‘ 2 = â‹Ż = đ?‘ đ?‘› = 0. Jadi đ?‘‰ bebas linear. Oleh karena itu, đ?‘‰ basis bagi đ??š. Jadi đ??š adalah modul bebas. Teorema di atas adalah jaminan mengetahui suatu modul adalah modul bebas dengan memanfaatkan modul bebas yang lain melalui isomorfisme. Namun, masih diperlukan cara untuk menentukan modul pada domain (atau kodomain ) tersebut modul bebas atau bukan, tentu saja tidak dengan memanfaatkan kebebasan dari modul pada kodomain ( atau domain ) karena tentu saja hal ini seperti berputar ditempat yang sama. Teorema berikut dapat dijadikan sebagai prosedur untuk mengetahui apakah suatu đ?‘…-modul adalah modul bebas atau bukan. Teorema ini menjadi teorema penutup pada bab pembahasan ini. Teorema 3 Misalkan đ?‘€ adalah đ?‘…-modul. Jika đ?‘€ adalah modul bebas maka đ?‘€ isomorfik dengan đ?‘…đ?‘› , dimana đ?‘› adalah kardinalitas dari basis đ?‘€. Bukti Misalkan đ?‘‹ = {đ?‘Ľ1 , đ?‘Ľ2 , ‌ , đ?‘Ľđ?‘› } adalah basis untuk đ?‘€. Maka setiap đ?‘š di đ?‘€ dapat dituliskan secara tunggal sebagai đ?‘š = ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘šđ?‘– đ?‘Ľđ?‘– untuk suatu đ?‘š1 , đ?‘š2 , ‌ , đ?‘šđ?‘› ∈ đ?‘…. Sekarang, misalkan pemetaan đ?œ‘: đ?‘€ → đ?‘…đ?‘› didefinisikan sebagai đ?œ‘(đ?‘š) = (đ?‘š1 , đ?‘š2 , ‌ , đ?‘šđ?‘› ) dimana đ?‘š = ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘šđ?‘– đ?‘Ľđ?‘– untuk đ?‘š1 , đ?‘š2 , ‌ , đ?‘šđ?‘› ∈ đ?‘…. Ambil sebarang đ?‘§, đ?‘Ś ∈ đ?‘€ dan đ?›ź ∈ đ?‘?, maka i) đ?œ‘(đ?‘§ + đ?‘Ś) = (∑đ?‘›đ?‘–=1(đ?‘§đ?‘– + đ?‘Śđ?‘– )đ?‘Ľđ?‘– ) = (đ?‘§1 + đ?‘Ś1 , đ?‘§2 + đ?‘Ś2 , đ?‘§3 + đ?‘Ś3 , ‌ , đ?‘§đ?‘› + đ?‘Śđ?‘› ) = (đ?‘§1 , đ?‘§, ‌ , đ?‘§đ?‘› ) + (đ?‘Ś1 , đ?‘Ś2 , ‌ , đ?‘Śđ?‘› ) = đ?œ‘(đ?‘§) + đ?œ‘(đ?‘Ś) ii) đ?œ‘(đ?›źđ?‘Ś) = đ?œ‘(∑đ?‘›đ?‘–=1(đ?›źđ?‘Śđ?‘– )đ?‘Ľđ?‘– ) = (đ?›źđ?‘Ś1 , đ?›źđ?‘Ś2 , đ?›źđ?‘Ś3 , ‌ , đ?›źđ?‘Śđ?‘› ) = đ?›ź(đ?‘Ś1 , đ?‘Ś2 , đ?‘Ś3 , ‌ , đ?‘Śđ?‘› ) = đ?›źđ?œ‘(đ?‘Ś) Dari (i) dan (ii), dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah suatu homomorfisme modul. Kemudian, untuk sebarang (đ?‘š1 , đ?‘š2 , ‌ , đ?‘šđ?‘› ) ∈ đ?‘…đ?‘› , maka terdapat đ?‘š = ∑đ?‘›đ?‘–=1 đ?‘šđ?‘– đ?‘Ľđ?‘– anggota đ?‘€ sehingga đ?œ‘(đ?‘š) = (đ?‘š1 , đ?‘š2 , ‌ , đ?‘šđ?‘› ). Jadi đ?œ‘ adalah pemetaan pada.

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Di lain pihak, untuk sebarang đ?œ‘(đ?‘§), đ?œ‘(đ?‘Ś) ∈ đ?‘…đ?œ‘ dengan đ?œ‘(đ?‘§) = đ?œ‘(đ?‘Ś), berlaku đ?&#x;Ž = đ?œ‘(đ?‘§) − đ?œ‘(đ?‘Ś) = (đ?‘§1 , đ?‘§2 , ‌ , đ?‘§đ?‘› ) − (đ?‘Ś1 , đ?‘Ś2 , ‌ , đ?‘Śđ?‘› ) = (đ?‘§1 − đ?‘Ś1 , đ?‘§2 − đ?‘Ś2 , đ?‘§3 − đ?‘Ś3 , ‌ , đ?‘§đ?‘› − đ?‘Śđ?‘› ) Oleh karena itu, đ?‘Ľđ?‘– − đ?‘Śđ?‘– = 0 untuk setiap đ?‘– = 1,2, ‌ , đ?‘›, dengan kata lain đ?‘Ľđ?‘– = đ?‘Śđ?‘– untuk setiap đ?‘– = 1,2, ‌ , đ?‘›. Sehingga diperoleh đ?‘§ = đ?‘Ś, jadi đ?œ‘ adalah pemetaan 1-1. Jadi dapat disimpulkan bahwa đ?œ‘ adalah isomorfisme modul. Oleh karena itu, đ?‘€ isomorfik dengan đ?‘…đ?‘› . Akibat dari Teorema 2 Jika đ?‘€ isomorfik dengan đ?‘…đ?‘› dan đ?‘€ adalah modul bebas, maka đ?‘…đ?‘› modul bebas.

PENUTUP 1. Kesimpulan Dari pembahasan pada bab 3, dapat disimpulkan bahwa suatu đ?‘…-modul merupakan modul bebas jika đ?‘…-modul tersebut isomorfik dengan suatu modul bebas sebagai đ?‘…-modul. Artinya, suatu đ?‘…-modul merupakan modul bebas jika terdapat suatu isomorfisme dari đ?‘…-modul tersebut ke suatu modul bebas yang juga merupakan suatu đ?‘…-modul. Lebih jauh lagi, jika suatu đ?‘…-modul adalah modul bebas, maka đ?‘…modul tersebut isomorfik dengan đ?‘…đ?‘› , dimana đ?‘› adalah kardinalitas dari basis bagi đ?‘…-modul tersebut. 2. Saran Dalam studi modul, dikenal pula modul notherian. Untuk penelitian selanjutnya, dapat mengkaji tentang bagaimana mengetahui suatu modul adalah modul notherian atau bukan, metodenya mungkin melalui media homomorfisma modul juga, atau mungkin menggunakan media yang lain. DAFTAR PUSTAKA [1] Yunita Wildaniati, "Penjumlahan Langsung Pada Modul," Malang, 2009. [2] Khusniyah, "Kajian Homomorfisme Modul Atas Ring Komutatif," Malang, 2007. [3] Wijna. (2009, 5 Februari) http://wijna.web.ugm.ac.id. [4] John R. Durbin, Modern Algebra an Introduction third edition. New York: John Willey & Sons, Inc, 1992. [5] M.D Raisinghania and R.S Aggarwal, Modern Algebra. New Delhi: Ram Nagar, 1980. [6] Achmad Arifin, Aljabar. Bandung: ITB

156


Khusnul Afifa

[7]

[8] [9] [10]

Bandung, 2000. David S Dummit and Richard M. Foote, Abstract Algebra. New York: Prentice-Hall International, Inc, 1991. Howard Anton, Aljabar Linear Elementer Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 1987. M.D Raisinghania and R.S Aggarwal, Modern Algebra. New Delhi: Ram Nagar, 1980. Anton Howard, Aljabar Linear Elementer Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 1987.

.

157

Volume 3 No. 3 November 2014


PENURUNAN MODEL TRAFFIC FLOW BERDASARKAN HUKUM-HUKUM KESETIMBANGAN Binti Tsamrotul Fitria1 , Mohammad Jamhuri2 1Mahasiswa 2Dosen

Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Maulana Ibrahim Malang E-mail: binti_tsamrotulfitria@yahoo.com, m.jamhuri@live.com

ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang penurunan model makroskopis masalah traffic flow berdasarkan hukum-hukum kesetimbangan, yaitu hukum kesetimbanganmassa dan hukum kesetimbangan momentum.Asumsi yang digunakan adalah bahwa sepanjang interval jalan tidak ditemukan persimpangan yang menyebabkan perubahan jumlah kendaraan.Langkah-langkah dalam penurunan model persamaan tersebut adalah: (1)menurunkan persamaan kontinuitas dan persamaan momentum sebagai persamaan pengatur, (2) menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi traffic flow yaitu kepadatan, kecepatan dan fluks kendaraan, (3) menurunkan model berdasarkan hukum-hukum kesetimbangan tersebut. Model yang dihasilkan dalam skripsi ini dikenal sebagai persamaan Transport, dimana persamaan tersebut menyatakan kepadatan kendaraan per satuan luas jalan yang dipengaruhi oleh kecepatan. Untuk kecepatan kendaraan yang konstan, maka model tersebut menjadi model linier. Sedangkan bila kecepatan kendaraan bergantung pada kepadatan kendaraan maka persamaan tersebut menjadi non linier. Bentuk non linier dari persamaan traffic flow ini dikenal sebagai persamaan Burger.Solusi dari model yang dihasilkan didapat dengan menggunakan metode finite differenceskema FTBS untuk bentuk yang linier dan menggunakan metode Lax Wendroffskema FTCS untuk bentuk yang non linier. Kata Kunci: traffic flow, model makroskopis, hukum kesetimbangan, metode Lax Wendroff ABSTRACT This study discusses the derivation of macroscopic model of traffic flow problems based on the laws of Conservation, those are Conservation law of mass and Conservation law of momentum. The asumtionused is that in the whole of intervals there is no junction which causes the number of vehiclesto change. The steps in the derivation of the equation model are: 1. Derivingcontinuity equation and momentum equation as the regulator equation, 2. Determining variables which influencetraffic flow, namely density, velocity and flux of vehicle, 3. Deriving model based on the laws of Conservation. The resulting modelin this thesisis known as the Transport equation, speed of vehicle where, the equation states the vehicle density per unit area which is affected by the speed road. For a constant vehicle speed, the model becomes linear. While, when the speed of the vehicle depends on the density of the vehicle, then the equation becomes nonlinear. Nonlinear form of the traffic flow equation is known as the Burger equation. The solution of the resulting model is obtained by using the method of finite difference implementing FTBS scheme for linear form and using the method of Lax Wendroff implementing FTCS scheme for non-linear form. Key Words: traffic flow, macroscopic model, the conservation law, Lax Wendroff method.

PENDAHULUAN Arus lalu lintas kendaraan masih menjadi masalah yang cukup serius. Kepadatan kendaraan yang terus bertambah membuat kemacetan yang terjadi di kota besar semakin parah, terutama pada ruas jalan yang sempit, bercabang, dan naik turun. Perencanaan dan desain pembangunan jalan sangat penting peranannya dalam pengaturan lalu lintas. Agar terciptanya jalur lalu lintas yang teratur, lancar,

dan bebas hambatan sehingga membuat nyaman bagi pengendara maupun penumpang lainnya. Untuk membangun jalan raya perlu memperhatikan luas jalan yang harus dibangun dan peletakan rambu-rambu lalu lintas atau traffic light. Untuk mengatur tata letak kota tersebut perlu didukung oleh teori traffic flow. Nagel [1] menjelaskan teori traffic flow adalah suatu teori yang membahas masalah transportasi, yang menghubungkan antara tiga variabel fundamental yaitu kecepatan, kepadatan, dan


Binti Tsamrotul Fitria flow dari kendaraan itu sendiri. Solusi dari hubungan tersebut, dengan kondisi awal dan masalah batasnya mungkin bisa menjadi informasi yang berguna pada perencanaan dan optimalisasi masalah traffic flow. Lebih dari setengah abad yang lalu, para ahli Matematika dan teknik telah menggabungkan teori dinamika fluida dengan masalah transportasi. Dimulai pada tahun 1950an ketika Lighthill dan Witham mengenalkan OneDimensional Method mengenai traffic flow yang menyatakan bahwa masalah transportasi bisa dipelajari dan dimodelkan dengan menggunakan metode dinamika fluida [2]. Sejak saat itu pembahasan mengenai traffic flow menjadi topik yang menarik untuk diteliti sehingga banyak para ilmuwan mengembangkan teori tersebut seperti Daganzo [3] dan Rascle [4] yang mengembangkan model makroskopis dari traffic flow yang telah ditemukan oleh Lighthill dan Whitam [5]. Model dari arus lalu lintas, terbagi menjadi mikroskopis dan makroskopis. Sedangkan Immers dan Logghe [6] menjelaskan bahwa makroskopis adalah pendekatan yang mengamati kendaraan secara keseluruhan dan sangat bergantung pada kepadatan di suatu ruas jalan, sedangkan mikroskopis adalah pendekatan yang mengamati kendaraan secara terpisah, sehingga lebih menekankan pada jarak dan hubungan antar dua kendaraan yang saling berdekatan.

a. Persamaan Momentum Bentuk dari persamaan momentum yang diturunkan berdasarkan hukum kesetimbangan adalah sebagai berikut đ?œ•đ?‘ž 1 + đ?‘žđ?›ťđ?‘ž = − đ?›ťđ?‘? + đ?‘”đ?›ťđ?‘§ đ?œ•đ?‘Ą đ?œŒ

dimana đ?‘žĚ… = (đ?‘˘, đ?‘Ł, đ?‘¤) 1 đ?œ•đ?‘? 1 đ?œ•đ?‘? 1 đ?œ•đ?‘? 1 đ?œ•đ?‘? đ?œ•đ?‘? đ?œ•đ?‘? 1 [ , , ] = ( , , ) = ∇p đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ľ đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ś đ?œŒ đ?œ•đ?‘§ đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ś đ?œ•đ?‘§ đ?œŒ đ?œ•đ?‘˘ đ?œ•đ?‘Ł đ?œ•đ?‘¤ (đ?‘˘, đ?‘Ł, đ?‘¤) [ , , ] = đ?‘žâˆ‡đ?‘ž đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ś đ?œ•đ?‘§

2. Variabel Makroskopis a. Ukuran Interval Interval S didefinisikan sebagai daerah yang terletak pada ruang đ?‘Ą − đ?‘Ľ seperti yang dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 1. Ukuran Interval �1 dan �2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Persamaan pengatur Persamaan pengatur adalah persamaan yang diturunkan melalui hukum-hukum kesetimbangan. Adapun persamaan pengatur dalam penelitian ini adalah: Persamaan Kontinuitas Sebuah sistem didefinisikan sebagai kumpulan dari isi yang tidak berubah. Prinsip kekekalan massa berbunyi, laju perubahan massa terhadap waktu sama dengan nol. Olson [7] mengatakan bahwa pada persamaan kontinuitas mensyaratkan bahwa massa fluida harus bersifat kekal, yakni tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Bentuk dari persamaan kontinuitas yang diturunkan melalaui hukum kekekalan massa sebagai berikut đ?œ•đ?œŒ đ?œ•(đ?œŒđ?‘˘) đ?œ•(đ?œŒđ?‘Ł) đ?œ•(đ?œŒđ?‘¤) =− − − đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ś đ?œ•đ?‘§

sedangkan [

đ?œ• đ?œ• đ?œ• , , ] = ∇. đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ś đ?œ•đ?‘§

Sehingga persamaan (2.5) di atas dapat ditulis đ?œ•đ?œŒ = đ?œŒ(đ?‘žĚ… ∇) đ?œ•đ?‘Ą

159

đ?‘†1 merupakan daerah interval tertutup yang berbentuk segiempat ini mewakili ruas jalan sepanjang ∆đ?‘Ľ dengan waktu sekecil-kecilnya yaitu đ?‘‘đ?‘Ą. đ?‘†2 merupakan daerah segiempat ini mewakili daerah dimana jarak yang sekecilkecilnya dalam waktu yang berbeda. đ?‘†3 adalah ukuran interval yang berubah-ubah sesuai ruang dan waktu. Seperti yang dijelaskan melalui gambar berikut

Gambar 2. Ukuran Interval �3

b. Kepadatan Kendaraan Kepadatan yang dinotasikan dengan (đ?œŒ) menyatakan jumlah kendaraan per kilometernya di jalan (Immers dan Logghe, 2002). Dalam interval satuan waktu tertentu, misalnya daerah

Volume 3 No. 3 November 2014


Penurunan Model Traffic Flow Berdasarkan Hukum-Hukum Kesetimbangan đ?‘†1 , đ?œŒ dapat dicari dengan menghitung banyaknya kendaraan per partisi panjang jalan sebesar ∆đ?‘Ľ, secara matematis dapat ditulis đ?œŒ=

đ?‘› ∆đ?‘Ľ

dengan đ?‘› merupakan jumlah kendaraan yang melintas sepanjang interval jalan ∆đ?‘Ľ. c. Laju Alir Kendaraan (Fluks) Laju alir merupakan jumlah kendaraan yang melintas suatu ruas jalan pada interval waktu tertentu (Immers dan Logghe, 2002). Misalnya pada interval waktu ∆đ?‘‡ dan pada lokasi đ?‘Ľ2 maka laju alirnya bisa dicari dengan

đ?‘ž=

đ?‘š ∆đ?‘‡

Indeks đ?‘š merupakan jumlah kendaraan yang melintas pada lokasi đ?‘Ľ2 . d. Kecepatan Kecepatan đ?‘Ł adalah hasil bagi antara laju alir dengan kepadatan. Dengan kata lain, kecepatan adalah fungsi atas lokasi, waktu dan ukuran intervalnya [6]. Secara matematis dapat ditulis đ?‘ž đ?‘Ąđ?‘œđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘™ đ?‘—đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘˜ đ?‘˜đ?‘’đ?‘›đ?‘‘đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘Žđ?‘› đ?‘‘đ?‘– đ?‘†2 đ?‘Ł= = đ?œŒ đ?‘Ąđ?‘œđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘™ đ?‘¤đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘˘

e. Hubungan Antara Ketiga Variabel Makroskopis Untuk memberikan gambaran tersebut akan diberikan beberapa kasus di antaranya adalah jika dipunyai pergerakan kendaraan dengan kecepatan konstan đ?‘Ł dengan kepadatan (đ?œŒ). Karena setiap kendaraan melaju dengan kecepatan yang sama, maka jarak antara masingmasing kendaraan akan menyisakan konstan. Sehingga kepadatan lalu lintas tidak berubah. Untuk mengukur aliran traffic pada saat đ?‘Ą jam, kita ingat kembali rumus đ?‘—đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘˜ = đ?‘˜đ?‘’đ?‘?đ?‘’đ?‘?đ?‘Žđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘› Ă— đ?‘¤đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘˘. sehingga pada saat đ?‘Ą jam setiap kendaraan akan menempuh jarak đ?‘Łđ?‘Ą, sehingga jumlah kendaraan yang lewat dan diamati sebanyak đ?‘Ą jam merupakan sejumlah kendaraan pada jarak đ?‘Łđ?‘Ą. Karena đ?œŒ adalah sejumlah kendaraan perkilometer dan jarak sebenarnya berupa đ?‘Łđ?‘Ą kilometer, maka đ?œŒđ?‘Łđ?‘Ą adalah sejumlah kendaraan yang lewat dan teramati sepanjang đ?‘Ą jam. Sehingga sejumlah kendaraan per jam yang disebut aliran lalu lintas đ?‘ž adalah đ?‘ž = đ?œŒđ?‘Ł Karena variabel lalu lintas bergantung pada jarak dan waktu, maka dapat ditulis đ?‘ž(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?œŒđ?‘Ł CAUCHY – ISSN: 2086-0382

PEMBAHASAN 1. Penurunan Model Traffic Flow Pada bagian ini akan dijelaskan penurunan model traffic flow berdasarkan hukum-hukum kesetimbangan. Hukum kekekalan massa mensyaratkan bahwa perubahan massa per satuan waktu yaitu đ?‘?đ?‘’đ?‘&#x;đ?‘˘đ?‘?đ?‘Žâ„Žđ?‘Žđ?‘› đ?‘šđ?‘Žđ?‘ đ?‘ đ?‘Ž đ?‘Ąđ?‘’đ?‘&#x;â„Žđ?‘Žđ?‘‘đ?‘Žđ?‘? đ?‘¤đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘˘ = đ?‘šđ?‘Žđ?‘ đ?‘ đ?‘Ž đ?‘Śđ?‘Žđ?‘›đ?‘” đ?‘šđ?‘Žđ?‘ đ?‘˘đ?‘˜ − đ?‘šđ?‘Žđ?‘ đ?‘ đ?‘Ž đ?‘Śđ?‘Žđ?‘›đ?‘” đ?‘˜đ?‘’đ?‘™đ?‘˘đ?‘Žđ?‘&#x; Jika đ?‘š menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan, đ?œŒ menunjukkan kepadatan dan đ?‘ž adalah fluks kendaraan, dimana đ?‘ž|đ?‘Ľ menunjukkan fluks kendaraan yang memasuki suatu ruas jalan sedangkan đ?‘ž|đ?‘Ľ+∆đ?‘Ľ adalah fluks kendaraan yang keluar dari ruas jalan maka dapat dinyatakan sebagai đ?œ•đ?‘š (1) = đ?‘ž|đ?‘Ľ − đ?‘ž|đ?‘Ľ+∆đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ą Berdasarkan rumus dari massa jenis (đ?œŒ ) đ?‘š đ?œŒ= đ?‘‰ Untuk đ?‘š = massa dan đ?‘‰ = volume Sehingga đ?‘š = đ?œŒđ?‘‰ Oleh karena itu persamaan (1) dapat ditulis đ?œ•đ?œŒđ?‘‰ = đ?‘ž|đ?‘Ľ − đ?‘ž|đ?‘Ľ+∆đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ą

(2)

Karena objek pembahasannya adalah jalan raya dan hanya berdimensi satu, maka volume yang dimaksud adalah panjang interval jalan sebesar ∆đ?‘Ľ. Sehingga persamaan (2) menjadi đ?œ•đ?œŒ ∆đ?‘Ľ = đ?‘ž|đ?‘Ľ − đ?‘ž|đ?‘Ľ+∆đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ą Dengan membagi kedua ruas dengan ∆đ?‘Ľ maka đ?œ•đ?œŒ đ?‘ž|đ?‘Ľ − đ?‘ž|đ?‘Ľ+∆đ?‘Ľ = đ?œ•đ?‘Ą ∆đ?‘Ľ bila ∆đ?‘Ľ → 0 đ?‘ž|đ?‘Ľ − đ?‘ž|đ?‘Ľ+∆đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘ž lim =− ∆đ?‘Ľâ†’0 ∆đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ľ sehingga đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘ž =− đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ karena đ?‘ž = đ?œŒđ?‘Ł , dimana đ?‘Ł adalah kecepatan, maka đ?œ•đ?œŒ đ?œ•(đ?œŒđ?‘Ł) =− đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ

atau đ?œ•đ?œŒ đ?œ•(đ?œŒđ?‘Ł) + =0 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ

(3)

2. Hubungan Kepadatan dengan Kecepatan Pada penelitian ini diasumsikan bahwa kepadatan adalah faktor yang paling mempengaruhi kecepatan. Sedangkan untuk faktor lain diabaikan. Sehingga dapat ditulis đ?‘Ł = đ?‘Ł(đ?œŒ)

160


Binti Tsamrotul Fitria Jika tidak terdapat kendaraan lain atau tidak ada mobil lain yang melewati interval (đ?‘Ž, đ?‘?) artinya đ?œŒ = 0 maka kendaraan akan berjalan dengan kecepatan maksimum, yaitu đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘Ľ , akan tetapi jika terdapat peningkatan kepadatan maka laju kecepatannya menjadi pelan, sehingga dapat ditulis đ?‘Ł(đ?œŒ) ≤ 0 Sedangkan bila kepadatan kendaraan menjadi maksimum (đ?œŒmaks ), maka kondisi jalan menjadi bumper to bumper, dalam keadaan ini kendaraan tidak dapat berjalan atau berhenti. Bila dipaksakan maka kendaraan akan bertabrakan, karena sudah tidak ada ruang lagi untuk bergerak. Sehingga dapat ditulis

Dengan mensubstitusikan data-data yang sudah didapatkan bisa ditentukan suatu persamaan garis lurus yang menggambarkan hubungan antar kecepatan dengan kepadatan lalu lintasnya. Observasi yang dilakukan menghasilkan data đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘Ľ = 27. 8 đ?‘š/đ?‘‘đ?‘Ą pada saat kepadatan mendekati 0, sedangkan đ?‘Ł ≈ 0 pada saat đ?œŒđ?‘šđ?‘Žđ?‘Ľ = 0.67. Sehingga didapatkan 2 titik (0, đ?‘Ł) dan (đ?œŒ, 0) yaitu (0,27. 89) dan (0.67,0).

đ?‘Ł(đ?œŒmaks ) = 0 1 Sehingga đ?œŒmaks = dengan L adalah đ??ż panjang kendaraan. Oleh karena itu hubungan antara kepadatan dan kecepatan dapat digambarkan sebagai berikut

Gambar 4. Persamaan Garis

dengan mensubstitusikan data di persamaan (4) maka didapatkan đ?œŒ đ?‘Ł(đ?œŒ) = đ?‘Łmaks (1 − ) đ?œŒmaks đ?œŒ đ?‘Ł(đ?œŒ) = 27.89 (1 − ) 0.67

Berdasarkan Gambar 3 di atas didapatkan 2 buah titik yaitu (0, đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ ) dan (đ?œŒđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ , 0) sehingga bentuk persamaan garisnya dapat dituliskan đ?‘Ł − đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ đ?œŒ − đ?œŒđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ = −đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ đ?œŒđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ −đ?œŒ đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ đ?‘Ł= + đ?‘Łđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ đ?œŒđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ đ?œŒ đ?‘Ł = đ?‘Łmaks (1 − ) đ?œŒmaks Ansgar Jungel [8] menyatakan model kecepatan yang bergantung kepadatan dalam bentuk persamaan đ?œŒ đ?œŒmaks

),

0≤

ke

3. Penskalaan

Gambar 3. Hubungan kepadatan dengan kecepatan

đ?‘Ł(đ?œŒ) = đ?‘Łmaks (1 −

atas

(4)

Skala adalah perbandingan ukuran pada model dengan ukuran sebenarnya. Baik mengubah ke ukuran yang lebih kecil, maupun ke ukuran yang lebih besar dengan tanpa menghilangkan karakteristiknya. Selanjutnya kita kenalkan variabel lain dengan mengikuti penelitian sebelumnya [8] yaitu đ?œƒ dan đ?œ? dimana đ?œƒ đ?œƒ menyatakan jarak dan đ?œ? waktu, bila = đ?‘Łmaks đ?‘Ľ

đ?‘Ą

đ?œƒ

đ?œ?

maka akan ada đ?‘Ľđ?‘ = , đ?‘Ąđ?‘ =

đ?œ?

dan đ?‘˘ = 1 −

2đ?œŒ đ?œŒmaks

sehingga đ?œŒđ?‘Ą = karena đ?‘˘ = 1 −

2đ?œŒ đ?œŒmaks

đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ąđ?‘ ∙ đ?œ•đ?‘Ąđ?‘ đ?œ•đ?‘Ą

Maka đ?œŒ =

đ?œŒmaks 2

(1 − đ?‘˘)

sehingga

đ?œŒ ≤ đ?œŒmaks

đ?œŒmaks 1 (1 − đ?‘˘)] 2 đ?‘Ąđ?‘ đ?œ? 1 đ?œŒmaks (1 − đ?‘˘)] đ?œŒđ?‘Ą = [ đ?œ? 2 đ?‘Ąđ?‘ đ?œŒmaks đ?œŒđ?‘Ą = − đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘ 2đ?œ? đ?œŒđ?‘Ą = [

Kemudian persamaan (4) disubstitusikan pada model traffic flow pada persamaan (4.3) menjadi đ?œŒ đ?œŒđ?‘Ą + [đ?‘Łmaks đ?œŒ (1 − )] = 0 đ?œŒmaks đ?‘Ľ đ?œŒđ?‘Ą + [đ?‘Łmaks đ?œŒ −

161

đ?‘Łmaks 2 đ?œŒ ] =0 đ?œŒmaks đ?‘Ľ

(6)

(5) sedangkan untuk

Volume 3 No. 3 November 2014


Penurunan Model Traffic Flow Berdasarkan Hukum-Hukum Kesetimbangan

đ?œŒđ?‘Ľ =

đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ľđ?‘ ∙ đ?œ•đ?‘Ľđ?‘ đ?œ•đ?‘Ľ

dengan

đ?œŒmaks 1 (1 − đ?‘˘)] đ?œŒđ?‘Ľ = [ 2 đ?‘Ľđ?‘ đ?œƒ 1 đ?œŒmaks (1 − đ?‘˘)] đ?œŒđ?‘Ľ = [ đ?œƒ 2 đ?‘Ľđ?‘ đ?œŒmaks đ?œŒđ?‘Ľ = − đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ 2đ?œƒ

(7)

Selanjutnya dengan mensubstitusikan persamaan (6) dan (7) ke persamaan (5) maka đ?‘Łmaks 2 =0 đ?œŒđ?‘Ą + [đ?‘Łmaks đ?œŒ − đ?œŒ ] đ?œŒmaks đ?‘Ľ đ?œŒđ?‘Ą + đ?‘Łmaks đ?œŒx − −

đ?œŒmaks 2đ?œ?

đ?‘Łmaks đ?œŒmaks

−

đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘ + đ?‘Łmaks (− đ?œŒmaks

(2 (

2

đ?œŒmaks 2đ?œ?

đ?‘Łmaks

đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘ + đ?œŒmaks 2đ?œƒ đ?œƒ

đ?‘Łmaks (2đ?œŒđ?œŒx ) đ?œŒmaks

đ?œŒmaks 2đ?œƒ

(1 − đ?‘˘)) (−

đ?‘Łmaks (−

đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ ) −

đ?œŒmaks

đ?œŒmaks 2đ?œƒ

=0

2đ?œƒ

đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ ))

đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ ) +

=0

=0

((1 − đ?‘˘) đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ )

Karena = đ?‘Łmaks maka đ?œ?

−

đ?œŒmaks đ?œƒ đ?œŒmaks đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘ − ( đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ − đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ + đ?‘˘ đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ ) 2đ?œ? đ?œ? 2đ?œƒ =0 −

đ?œŒmaks đ?œŒmaks đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘ − (đ?‘˘ đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ ) = 0 2đ?œ? 2đ?œ?

Bila kedua ruas dibagi dengan − maka menjadi

đ?œŒmaks 2đ?œ?

đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘ + đ?‘˘ đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘ = 0

đ?œŒ(0, đ?‘Ą) = 3 đ?œŒ(1680, đ?‘Ą) = 2 −đ?‘Ľ đ?œŒ(đ?‘Ľ, 0) = +3 1680 Kondisi awal đ?œŒ diperoleh dengan mengasumsikan jarak đ?‘Ľ berada pada selang interval (0,1680) yang akan didapatkan suatu persamaan garis lurus yang menghubungkan đ?œŒ di batas kiri dengan đ?œŒ di batas kanan. Melalui rumus persamaan garis lurus akan didapatkan đ?œŒâˆ’3 đ?‘Ľ = 2 − 3 1680 đ?‘Ľ (đ?œŒ − 3) = (−1) 1680 −đ?‘Ľ đ?œŒ= +3 1680 Dengan menggunakan metode beda hingga skema FTBS (forward time backward space) yaitu aproksimasi dengan menggunakan skema beda maju untuk waktu dan skema beda mundur untuk ruang, maka akan diperoleh bentuk diskrit seperti berikut đ?œŒđ?‘—đ?‘›+1 − đ?œŒđ?‘—đ?‘› ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?œŒđ?‘—đ?‘› − đ?œŒđ?‘—−1 đ?œŒđ?‘Ľ = ∆đ?‘Ľ sehingga persamaan (9) menjadi đ?‘› đ?œŒđ?‘—đ?‘›+1 − đ?œŒđ?‘—đ?‘› đ?œŒđ?‘—đ?‘› − đ?œŒđ?‘—−1 +đ?‘Ł =0 ∆đ?‘Ą ∆đ?‘Ľ đ?‘›+1 ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?œŒđ?‘— đ?‘› = đ?œŒđ?‘—đ?‘› − đ?‘Ł [đ?œŒ − đ?œŒđ?‘—−1 ] ∆đ?‘Ľ đ?‘— đ?œŒđ?‘Ą =

(10)

Selanjutnya akan dilakukan simulasi dari persamaan (10), dengan menggunakan program MATLAB. Dengan mengambil ∆đ?‘Ľ = 0.99 m dan ∆đ?‘Ą = 0.099 satuan waktu, dan mengambil đ?‘Ł = 3 đ?‘š per satuan waktu. Sehingga perubahan kepadatan kendaraan dapat dilihat sebagai berikut

Model tersebut dikenal sebagai model traffic flow. Untuk selanjutnya đ?‘Ąđ?‘ akan ditulis sebagai đ?‘Ą dan đ?‘Ľđ?‘ akan ditulis sebagai đ?‘Ľ . Sehingga modelnya menjadi đ?‘˘đ?‘Ą + đ?‘˘ đ?‘˘đ?‘Ľ = 0 (8) 4. Solusi dan Simulasi a. Model Linier dari Persamaan Traffic Flow Pada persamaan (3) bila đ?‘Ł(đ?œŒ) merupakan suatu konstanta maka persamaan tersebut menjadi persamaan transport linier. Sehingga persamaan (3) dapat dituliskan đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?œŒ +đ?‘Ł =0 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ CAUCHY – ISSN: 2086-0382

(9)

Gambar 5. Simulasi kasus 1

Dari Gambar 5 di atas dapat dilihat bahwa sepanjang waktu đ?‘Ą pada batas kiri kepadatannya sebesar 3 kendaraan per satuan luas dan pada batas kanan kepadatannya 2 kendaraan per 162


Binti Tsamrotul Fitria

1 0

500 1000 posisi (x) t = 399.95

5

5

4

4

3 2 1 0

0

500 1000 posisi (x)

1500

4

3 2 1 0

2

0

1500

4

0

1 0

500 1000 posisi (x) t = 999.95

1500

2

500 1000 posisi (x) t = 399.95

3 2 1 0

1500

5

5

4

4

3 2 1 0

3

t = 249.95 5

kepadatan (p)

2

3

kepadatan (p)

3

t = 49.95 5 kepadatan (p)

4

kepadatan (p)

4

0

kepadatan (p)

t = 249.95 5

kepadatan (p)

kepadatan (p)

t = 49.95 5

yang seimbang, artinya, sepanjang jalan kepadatannya sama; yaitu 2 kendaraan per satuan luas jalan. Seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut

kepadatan (p)

satuan luas. Hal ini menunjukkan bahwa pada posisi đ?‘Ľ = 0 selalu terdapat 3 kendaraan, dan pada posisi đ?‘Ľ = 1680 selalu terdapat 2 kendaraan. Sedangkan untuk mengetahui kondisi kepadatan di setiap posisi đ?‘Ľ pada saat đ?‘Ą tertentu maka digambarkan pada grafik berikut

0

500 1000 posisi (x)

1500

0

500 1000 posisi (x) t = 999.95

1500

0

500 1000 posisi (x)

1500

3 2 1 0

Gambar 8. Simulasi Kasus 2 dengan Waktu Berbeda

1 0

0

500 1000 posisi (x)

1500

Gambar 6. Simulasi Kasus 1 dengan Waktu Berbeda

Berdasarkan gambar 6 tersebut dapat diketahui bahwa pada saat đ?‘Ą = 0 kepadatan kendaraan sebesar 2 kendaraan per satuan luas, setelah đ?‘Ą = 49.95 kendaraan mulai bertambah. Karena jumlah kendaraan di batas kiri lebih banyak daripada batas kanan, sehingga kendaraan menumpuk di titik-titik awal. Dan untuk đ?‘Ą menuju tak hingga kepadatan di sepanjang jalan besarnya sama, yaitu 3 kendaraan per satuan luasnya, tetapi di ujung jalan tetap ada 2 kendaraan per satuan luasnya. Simulasi pada kasus kedua, bila diasumsikan bahwa kepadatan kendaraan di daerah batas berkebalikan dengan kasus pertama. Jika terdapat 2 kendaraan di batas kiri dan terdapat 3 kendaraan maka dengan melakukan hal yang sama akan didapat grafik kepadatannya sebagai berikut

Selanjutnya dengan menggunakan metode karakteristik bisa didapatkan solusi analitik dari model linier đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?œŒ +đ?‘Ł =0 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ −đ?‘Ľ đ?œŒ(đ?‘Ľ, 0) = +3 1680 đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?œŒ Persamaan + đ?‘Ł = 0 adalah turunan berarah đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ dari đ?œŒ dalam suatu vektor dengan arah đ?•? = [1, đ?‘Ł] = đ?‘– + đ?‘Łđ?‘— dimana kurva dari persamaan tersebut memiliki gradien đ?‘‘đ?‘Ľ đ?‘Ł = =đ?‘Ł đ?‘‘đ?‘Ą 1 Dalam hal ini selalu bernilai 0 atau đ?œŒ(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘? dalam arah đ?•?. Vektor [đ?‘Ł, −1] adalah orthogonal terhadap đ?•?. Sedangkan garis yang sejajar dengan đ?•? adalah −đ?‘Ľ = đ?‘? , dan persamaan ini disebut persamaan karakteristik. Solusi PDP di atas selalu konstan dalam masing-masing karakteristik ini, sehingga tergantung hanya pada đ?‘Łđ?‘Ą − đ?‘Ľ. Dengan demikian solusinya adalah đ?œŒ(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘“(đ?‘Łđ?‘Ą − đ?‘Ľ) Atau bisa dengan menggunakan metode koordinat. Dalam sistem koordinat đ?‘Ą, đ?‘Ľ dapat kita transportasikan ke dalam sistem

Gambar 7. Simulasi Kasus 2

Pada kasus kedua ini, kepadatan kendaraan di batas kiri sebanyak 2 kendaraan per satuan luas, sedangkan kepadatan di batas kanan sebanyak 3 kendaraan per satuan luas, sehingga dapat diketahui bahwa penumpukan kendaraan terjadi di ujung interval yang akan berdampak pada kemacetan. Tetapi setelah đ?‘Ą = 1000 kondisi jalan telah mencapai kepadatan

163

Gambar 9. Transportasi Sistem Koordinat

Misal ditetapkan đ?‘Ą ′ = đ?‘Ą + đ?‘Łđ?‘Ľ dan đ?‘Ľ ′ = đ?‘Łđ?‘Ą − đ?‘Ľ dengan aturan turunan rantai maka turunan đ?œŒ(đ?‘Ľ ′ , đ?‘Ś ′ ) terhadap đ?‘Ľ dan đ?‘Ś adalah

Volume 3 No. 3 November 2014


Penurunan Model Traffic Flow Berdasarkan Hukum-Hukum Kesetimbangan đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ąâ€˛ đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ľâ€˛ = ∙ + ∙ = đ?œŒđ?‘Ą ′ + đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ľ ′ đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ąâ€˛ đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľâ€˛ đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ľâ€˛ đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?‘Ąâ€˛ đ?œŒđ?‘Ľ = = ∙ + ∙ = −đ?œŒđ?‘Ľ ′ + đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ą ′ đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ľâ€˛ đ?œ•đ?‘Ľ đ?œ•đ?‘Ąâ€˛ đ?œ•đ?‘Ľ = đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ą ′ −đ?œŒđ?‘Ľ ′ Selanjutnya substitusikan ke dalam persamaan đ?œ•đ?œŒ đ?œ•đ?œŒ + đ?‘Ł = 0 sehingga đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ đ?œŒđ?‘Ą ′ + đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ľ ′ + đ?‘Ł(đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ą ′ −đ?œŒđ?‘Ľ ′ ) = 0 đ?œŒđ?‘Ą ′ + đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ľ ′ + đ?‘Ł 2 đ?œŒđ?‘Ą ′ − đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ľ ′ = 0 đ?œŒđ?‘Ą ′ + đ?‘Ł 2 đ?œŒ đ?‘Ą ′ = 0 (1 + đ?‘Ł 2 )đ?œŒđ?‘Ą ′ = 0 2 untuk (1 + đ?‘Ł ) ≠0 maka đ?œŒđ?‘Ą ′ = 0 đ?œŒđ?‘Ą =

âˆŤ đ?œŒđ?‘Ą ′ đ?‘‘đ?‘Ą ′ = âˆŤ 0 đ?‘‘đ?‘Ą ′ đ?œŒ(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘“(đ?‘Ľ ′ ) sehingga đ?œŒ(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘“(đ?‘Łđ?‘Ą − đ?‘Ľ) merupakan solusi analitiknya. Dengan mensubstitusikan nilai awal ke model (9) sedangkan untuk đ?‘Ł = 3 maka

3.0018 2.9999 3.0003 3.0007 3.0012 3.0016 2.9997 3.0001 3.0006 3.0010 3.0015 2.9996 3.0000 3.0004 3.0009 3.0013 2.9994 2.9999 3.0003 3.0007 3.0012

0 0 0 0.0444 x 10-14 -0.0888 x 10-14 0.1776 x 10-14 0 0 0 0.0444 x 10-14 -0.3553 x 10-14 0 0 0 0.0444 x 10-14 0.0444 x 10-14 0 0 0 0 0

(3đ?‘Ą − đ?‘Ľ) +3 1680

maka solusi analitiknya (3đ?‘Ą − đ?‘Ľ) đ?œŒ(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = +3 1680 (3đ?‘Ą − đ?‘Ľ) đ?œŒ(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = +3 1680 Solusi analitik digunakan untuk membandingkan keakuratan dari metode numerik yang dipakai dalam skripsi ini. Untuk mengetahui galat pada solusi numerik dari model linier tersebut akan dilakukan simulasi dengan mengambil domain 0 < đ?‘Ľ < 1 dan 0 < đ?‘Ą < 1 dengan ∆đ?‘Ľ = ∆đ?‘Ą = 025. Sedangkan untuk solusi numeriknya yaitu persamaan (10) dengan kondisi batasnya ∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› [đ?œŒ − đ?œŒđ?‘—−1 ] ∆đ?‘Ľ đ?‘— 3đ?‘Ą đ?œŒ(0, đ?‘Ą) = +3 1680

đ?œŒđ?‘—đ?‘›+1 = đ?œŒđ?‘—đ?‘› − đ?‘Ł

đ?œŒ(1, đ?‘Ą) =

3.0018 2.9999 3.0003 3.0007 3.0012 3.0016 2.9997 3.0001 3.0006 3.0010 3.0015 2.9996 3.0000 3.0004 3.0009 3.0013 2.9994 2.9999 3.0003 3.0007 3.0012

3đ?‘Ą − 1 +3 1680

Maka didapatkan solusi sebagai berikut: Tabel 1. Perbandingan Solusi Analitik dan Solusi Numerik x T Analitik Numerik galat 0 0 3.0000 3.0000 0 0 0.25 3.0004 3.0004 0 0 0.5 3.0009 3.0009 0 0 0.75 3.0013 3.0013 0

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Table 2. Grafik Solusi untuk Solusi Analitik dan Numerik

Solusi analitik

Solusi numerik

Grafik solusi analitik

Solusi Numerik

3.003

3.003 3.002

kepadatan kendaraan (u)

đ?‘“(3đ?‘Ą − đ?‘Ľ) =

1 0 0.25 0.5 0.75 1 0 0.25 05 0.75 1 0 0.25 0.5 0.75 1 0 0.25 0.5 0.75 1

Dari hasil solusi di atas dapat diketahui bahwa galat maksimumnya sebesar 0.1776 x 1014 pada saat đ?‘Ľ = 0.25 dan đ?‘Ą = 1. Sedangkan untuk yang lain galatnya sangat kecil bahkan hampir keseluruhan galatnya 0. Hal ini bisa dikatakan bahwa metode FTBS ini sudah cukup baik untuk mengaproksimasi model tersebut. Adapun untuk grafik solusi bisa dilihat di bawah ini

kepadatan

sehingga

đ?œŒ(đ?‘Ľ, 0) = đ?‘“(3.0 − đ?‘Ľ) đ?œŒ(đ?‘Ľ, 0) = đ?‘“(−đ?‘Ľ) −đ?‘Ľ đ?‘“(−đ?‘Ľ) = +3 1680

0 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 1 1 1 1 1

3.001

3

2.999 1

3.002

3.001

3

1 0.8

0.5

0.6 0.4

2.999 1

0.2 waktu

0

0

1 posisi

0.8

0.5

0.6 0.4 0.2

waktu (t)

0

0

posisi (x)

b. Model Non Linier Persamaan Traffic Flow Pada persamaan (3) di atas jika kecepatannya bergantung pada kepadatan kendaraan yang berbeda di setiap posisi, maka persamaan tersebut menjadi persamaan non linier. Persamaan (10) adalah persamaan (3) yang telah diskalakan sehingga menjadi persamaan Burger. Misal diasumsikan pada batas interval (0,1680) adalah � = 0 batasnya 3 kendaraan dan � = 1680 batasnya 2 kendaraan. Artinya pada posisi � = 0 selalu terdapat 3 kendaraan per satuan luas. Dan pada posisi � = 1680 selalu terdapat 2 kendaraan per satuan luas. Persamaan (10) beserta kondisi batasnya dapat dituliskan sebagai berikut �� + ��� = 0 , � > 0 dan 0 < � < 1680 dengan �(0, �) = 3 �(1680, �) = 2 164


Binti Tsamrotul Fitria −đ?‘Ľ +3 1680

�(�, 0) =

Selanjutnya akan dilakukan pendiskritan pada persamaan (10) tersebut dengan menggunakan metode Lax Wendroff skema FTCS (forward time center space) dengan mensubstitusikan �� ke bentuk �� . Sehingga bentuk diskritnya sebagai berikut

Selanjutnya pada kasus ketiga ini akan dilakukan simulasi untuk model non linier dengan kondisi batas dirichlet. Dengan mengambil ∆đ?‘Ľ dan ∆đ?‘Ą sama seperti kasus sebelumnya maka kepadatan kendaraan pada kasus ini dapat dilihat sebagai berikut

đ?‘˘đ?‘Ą + đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ = 0 đ?‘˘đ?‘Ą = −đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą = −(đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ )đ?‘Ą đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą = − đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘˘đ?‘Ľ − đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ą Berdasarkan ekspansi Taylor đ?‘˘đ?‘—đ?‘›+1

���+1

=

��� 1 2

=

đ?‘ˆđ?‘—đ?‘›

+ ∆đ?‘Ą

�� |��

Gambar 10. Simulasi Kasus 3

1 + ∆đ?‘Ą 2 đ?‘˘đ?‘Ąđ?‘Ą |đ?‘›đ?‘— + â‹Ż 2

+ ∆đ?‘Ą (−đ?‘˘ đ?‘˘đ?‘Ľ )|đ?‘›đ?‘— +

(11)

∆đ?‘Ą 2 (− đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘˘đ?‘Ľ − đ?‘˘ đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ą )|đ?‘›đ?‘—

Karena pada persamaan (11) ruas kanan masih terdapat unsur đ?‘˘đ?‘Ą maka (− đ?‘˘đ?‘Ą đ?‘˘đ?‘Ľ − đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ą )

Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa pada batas kiri kepadatannya sebesar 3 dan pada batas kanan kepadatannya 2. Gambar tersebut menunjukkan hubungan antara kepadatan berdasarkan ruang dan waktu. Sedangkan untuk mengamati perubahan kepadatan di tiap waktu tertentu maka disajikan dalam bentuk plot berikut

= (−(−đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ )đ?‘˘đ?‘Ľ ) − đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ą t = 49.95

= đ?‘˘(đ?‘˘đ?‘Ľ )2 − đ?‘˘(−đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ )đ?‘Ľ

5

4

4

3 2 1

1

5

5

4

4

persamaan

���+1

= đ?‘˘ + ∆đ?‘Ą (−đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ )|đ?‘›đ?‘— 1 + ∆đ?‘Ą 2 (2. đ?‘˘(đ?‘˘đ?‘Ľ )2 + đ?‘˘2 đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľ )|đ?‘›đ?‘— 2

���+1

= đ?‘˘đ?‘—đ?‘› − ∆đ?‘Ą (đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ )|đ?‘›đ?‘— 1 + ∆đ?‘Ą 2 (đ?‘˘(đ?‘˘đ?‘Ľ )2 + đ?‘˘2 đ?‘˘đ?‘Ľđ?‘Ľ )|đ?‘›đ?‘— 2 = đ?‘˘đ?‘—đ?‘› − ∆đ?‘Ą (đ?‘˘đ?‘—đ?‘› [

đ?‘› đ?‘› đ?‘˘đ?‘—+1 − đ?‘˘đ?‘—−1

�� 2 (� � [ �+1 �

2∆đ?‘Ľ đ?‘› − đ?‘˘đ?‘—−1

2∆đ?‘Ľ

(11)

ke

0

500 1000 posisi (x) t = 399.95

0

1500

kepadatan (u)

(12)

kepadatan (u)

= �(�� )2 + �(�� )2 + �2 ���

Selanjutnya substitusi persamaan (12)

+

2

0

3 2 1 0

+ ∆đ?‘Ą

3

= �(�� )2 + �(�� �� + ���� )

= 2�(�� )2 + �2 ���

���+1

t = 249.95

5

kepadatan (u)

kepadatan (u)

= (đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ )đ?‘˘đ?‘Ľ − đ?‘˘(đ?‘˘đ?‘Ą )đ?‘Ľ

0

500 1000 posisi (x)

500 1000 posisi (x) t = 999.95

1500

0

500 1000 posisi (x)

1500

3 2 1 0

1500

0

Gambar 11. Simulasi Kasus 3 dengan Waktu yang Berbeda

Dari Gambar 11 tersebut bisa diamati perubahan kepadatan di beberapa waktu. Pada đ?‘Ą awal kepadatan kendaraan terjadi di daerah batas kiri, tetapi lama-lama terjadi penumpukan kendaraan sampai ujung interval. Hal ini dikarenakan jumlah kendaraan yang bisa melewati batas kanan hanya 2 kendaraan, sehingga terjadi antrian di sepanjang interval jalan. Pada kasus ketiga ini model yang digunakan adalah model non linier, sehingga kepadatan sepanjang ruas jalan pun akan mengalami fluktuasi pada posisi tertentu. Seperti pada gambar di bawah ini

])

2

]

đ?‘› đ?‘› − 2đ?‘˘đ?‘—đ?‘› + đ?‘˘đ?‘—−1 1 2 đ?‘˘đ?‘—+1 đ?‘˘ [ ]) 2 ∆đ?‘Ľ 2

t = 99.999 5

���+1

=

���

∆đ?‘Ą

đ?‘› − (đ?‘˘đ?‘—đ?‘› [đ?‘˘đ?‘—+1 2∆đ?‘Ľ

−

đ?‘› đ?‘˘đ?‘—−1 ])

+

(13)

4.5 4

∆đ?‘Ą 2 4∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ą 2 2∆đ?‘Ľ

2

đ?‘› đ?‘› (đ?‘˘đ?‘—đ?‘› [đ?‘˘đ?‘—+1 − đ?‘˘đ?‘—−1 ] )+

đ?‘› 2 đ?‘› đ?‘› đ?‘› 2 ((đ?‘˘đ?‘— ) [đ?‘˘đ?‘—+1 − 2đ?‘˘đ?‘— + đ?‘˘đ?‘—−1 ])

kepadatan

3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

0

5

10

15 posisi

20

25

30

Gambar 12. Fluktuasi Kasus 3 pada x =10

165

Volume 3 No. 3 November 2014


Penurunan Model Traffic Flow Berdasarkan Hukum-Hukum Kesetimbangan

�� (0, �) = 3

(14)

�� (1680, �) = 2

(15)

−đ?‘Ľ đ?‘˘(đ?‘Ľ, 0) = +3 1680

persamaan (4.10) beserta kondisi batasnya dapat dituliskan sebagai berikut �� + ��� = 0 dengan kondisi

Pada Gambar 12 tersebut dapat diketahui bahwa pada saat 0 < đ?‘Ľ < 30 kepadatan kendaraan sudah mengalami fluktuasi dari awal, hal ini karena model yang digunakan adalah model non linier yang bergantung pada kecepatan dan kepadatan kendaraan. Simulasi keempat dilakukan pada model yang sama dengan kasus ketiga di atas, yaitu dengan model non linier. Akan tetapi kondisi batas yang digunakan berbalik, yaitu posisi đ?‘Ľ = 0 terdapat 2 kendaraan dan posisi đ?‘Ľ = 1680 terdapat 3 kendaraan. Dengan langkah-langkah yang sama dengan kasus ketiga maka didapatkan hubungan kepadatan berdasarkan ruang dan waktunya sebagai berikut

Sedangkan bila kita mendiskritkan kondisi batas (14) dan (15) dengan menggunakan skema beda pusat menjadi: đ?‘› đ?‘› đ?‘˘đ?‘—+1 − đ?‘˘đ?‘—−1 =3 2∆đ?‘Ľ

untuk � = 1 �0�

đ?‘˘2đ?‘› − đ?‘˘0đ?‘› =3 2∆đ?‘Ľ đ?‘› = đ?‘˘2 − 6∆đ?‘Ľ

(16)

Dan untuk batas kanan đ?‘› đ?‘› đ?‘˘đ?‘—+1 − đ?‘˘đ?‘—−1 =2 2∆đ?‘Ľ Untuk đ?‘— = đ?‘™ đ?‘› đ?‘› đ?‘˘đ?‘™+1 − đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 =2 2∆đ?‘Ľ đ?‘› đ?‘› đ?‘˘đ?‘™+1 = 4∆đ?‘Ľ+đ?‘˘đ?‘™âˆ’1

(17)

Sehingga bila kita substitusikan (16) dan (17) ke skema (13) akan didapatkan kondisi batas kiri sebagai berikut đ?‘˘1đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘› − ∆đ?‘Ą (đ?‘˘đ?‘› [đ?‘˘đ?‘› − đ?‘˘đ?‘› ]) + ∆đ?‘Ą 2 (đ?‘˘đ?‘› [đ?‘˘đ?‘› − 1

�0� ]2 ) +

1

2∆đ?‘Ľ ∆đ?‘Ą 2

2∆đ?‘Ľ 2

2

0

((đ?‘˘1đ?‘› )2 [đ?‘˘2đ?‘› −

1 4∆đ?‘Ľ 2 2đ?‘˘1đ?‘› + đ?‘˘0đ?‘› ])

2

đ?‘˘1đ?‘›+1 = đ?‘˘1đ?‘› − Gambar 13. Simulasi Kasus 4

∆đ?‘Ą (đ?‘˘1đ?‘› [đ?‘˘2đ?‘› −đ?‘˘2đ?‘› + 6∆đ?‘Ľ]) + 2∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ą (đ?‘˘1đ?‘› [đ?‘˘2đ?‘› − đ?‘˘2đ?‘› + 6∆đ?‘Ľ]2 ) + 4∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ą 2

Pada kasus keempat ini kepadatan lebih fluktuatif. Dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa fluktuasi kepadatan sudah terjadi saat đ?‘Ľ = 3. Tetapi kepadatan kendaraan terjadi ujung jalan karena adanya penumpukan kendaraan di ujung interval jalan. Lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini

kepadatan (u)

4

3 2 1 0

kepadatan (u)

t = 249.95 5

4

0

500 1000 posisi (x) t = 399.95

2 1

5

5

4

4

3 2 1 0

0

500 1000 posisi (x)

1500

0

500 1000 posisi (x) t = 999.95

1500

∆đ?‘Ą 2

∆đ?‘Ą 2∆đ?‘Ľ

((đ?‘˘1đ?‘› )2 [2đ?‘˘2đ?‘› 2∆đ?‘Ľ 2

−

2

∆đ?‘Ą (đ?‘˘1đ?‘› [6∆đ?‘Ľ]2 ) 4∆đ?‘Ľ 2 2đ?‘˘1đ?‘› + 6∆đ?‘Ľ])

(đ?‘˘1đ?‘› [6∆đ?‘Ľ]) +

+

dan kondisi batas kanan sebagai berikut đ?‘› đ?‘› ]) đ?‘˘đ?‘™đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘™đ?‘› − ∆đ?‘Ą (đ?‘˘đ?‘™đ?‘› [đ?‘˘đ?‘™+1 − đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 +

2∆đ?‘Ľ đ?‘› đ?‘› ]2 (đ?‘˘đ?‘™đ?‘› [đ?‘˘đ?‘™+1 )+ − đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 4∆đ?‘Ľ 2 2 ∆đ?‘Ą đ?‘› 2 [đ?‘˘ đ?‘› đ?‘› đ?‘› ]) ((đ?‘˘đ?‘™ ) đ?‘™+1 − 2đ?‘˘đ?‘™ + đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 2∆đ?‘Ľ 2

đ?‘˘đ?‘™đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘™đ?‘› −

3 2 1 0

đ?‘˘1đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘› − 1

((đ?‘˘1đ?‘› )2 [đ?‘˘2đ?‘› − 2đ?‘˘1đ?‘› + đ?‘˘2đ?‘› + 6∆đ?‘Ľ])

∆đ?‘Ą 2

3

0

1500

kepadatan (u)

kepadatan (u)

t = 49.95 5

2∆đ?‘Ľ 2

0

500 1000 posisi (x)

1500

Gambar 14. Simulasi Kasus 4 dengan Waktu Berbeda

Selanjutnya bila diasumsikan pada posisi � = 0 terdapat 3 kendaraan yang masuk pada interval, dan pada � = 1680 terdapat 2 kendaraan yang keluar pada interval, maka CAUCHY – ISSN: 2086-0382

∆đ?‘Ą đ?‘› đ?‘› ]) (đ?‘˘đ?‘™đ?‘› [4∆đ?‘Ľ+đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 − đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 + 2∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ą đ?‘› [4∆đ?‘Ľ+đ?‘˘ đ?‘› đ?‘› ]2 (đ?‘˘đ?‘™ đ?‘™âˆ’1 − đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 ) + 4∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ą 2 đ?‘› đ?‘› ]) ((đ?‘˘đ?‘™đ?‘› )2 [4∆đ?‘Ľ+đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 − 2đ?‘˘đ?‘™đ?‘› + đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 2∆đ?‘Ľ 2

đ?‘˘đ?‘™đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘› − đ?‘™ ∆đ?‘Ą 2 2∆đ?‘Ľ 2

∆đ?‘Ą 2∆đ?‘Ľ

(đ?‘˘đ?‘™đ?‘› [4∆đ?‘Ľ]) +

∆đ?‘Ą 2 4∆đ?‘Ľ 2

(đ?‘˘đ?‘™đ?‘› [4∆đ?‘Ľ]2 ) +

đ?‘› ((đ?‘˘đ?‘™đ?‘› )2 [4∆đ?‘Ľ+2đ?‘˘đ?‘™âˆ’1 − 2đ?‘˘đ?‘™đ?‘› ])

166


Binti Tsamrotul Fitria Simulasi untuk kasus kelima ini dilakukan untuk model non linier dengan batas Neuman. Dengan cara yang sama dengan kasus sebelumnya maka didapatkan bentuk grafik kepadatan berdasarkan ruang dan waktu adalah sebagai berikut

Persamaan beserta kondisi batasnya adalah sebagai berikut �� + ��� = 0 dengan kondisi �� (0, �) = 2 �� (1680, �) = 3 �(�, 0) =

đ?‘Ľ +2 1680

Dengan cara yang sama dengan kasus kelima, maka didapatkan kondisi batas kiri đ?‘˘1đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘› − 1 ∆đ?‘Ą 2 2∆đ?‘Ľ 2

Gambar 15. Simulasi Kasus 5

Dari Gambar 15 di atas dapat dilihat bahwa penumpukan kendaraan terjadi di waktu pertama. Setelah đ?‘Ą waktu kemudian kepadatan menurun. Artinya berdasarkan model ini jalan bisa dikatakan sepi. Penumpukan jumlah kendaraan terjadi ujung interval yang menyebabkan kepadatan di ujung mencapai 4 kendaraan persatuan luas. Hal ini menunjukkan di ujung jalan terjadi kemacetan yang parah. Berikut disajikan grafik pada beberapa waktu pengamatan yang berbeda

∆đ?‘Ą 2∆đ?‘Ľ

(đ?‘˘1đ?‘› [4∆đ?‘Ľ]) +

((đ?‘˘1đ?‘› )2 [2đ?‘˘2đ?‘› −

∆đ?‘Ą 2

(đ?‘˘1đ?‘› [4∆đ?‘Ľ]2 ) 4∆đ?‘Ľ 2 2đ?‘˘1đ?‘› + 4∆đ?‘Ľ])

+

dan kondisi batas kanan sebagai berikut đ?‘˘đ?‘™đ?‘›+1 = đ?‘˘đ?‘› − ∆đ?‘Ą (đ?‘˘đ?‘› [6∆đ?‘Ľ]) + ∆đ?‘Ą 2 (đ?‘˘đ?‘› [6∆đ?‘Ľ]2 ) + đ?‘™

đ?‘™ 4∆đ?‘Ľ 2 đ?‘› 2 [6∆đ?‘Ľ+2đ?‘˘ đ?‘› ((đ?‘˘đ?‘™ ) đ?‘™âˆ’1 − 2∆đ?‘Ľ 2 ∆đ?‘Ą 2

đ?‘™

2∆đ?‘Ľ

2��� ])

Sehingga hasil simulasi menggunakan MATLAB sebagai berikut

dengan

Gambar 17. Simulasi Kasus 6 4

kepadatan (u)

4 3 2 1 0

kepadatan (u)

t = 249.95 5

0

500 1000 posisi (x) t = 399.95

3 2 1 0

1500

5

5

4

4

kepadatan (u)

kepadatan (u)

t = 49.95 5

3 2 1 0

0

500 1000 posisi (x)

1500

0

500 1000 posisi (x) t = 999.95

1500

0

500 1000 posisi (x)

1500

3 2 1 0

Gambar 16. Simulasi Kasus 5 dengan Waktu Berbeda

Gambar 16 di atas menunjukkan kondisi jalan di beberapa waktu yang berbeda. Dari beberapa posisi yang diamati, dapat diketahui bahwa pada waktu mula-mula kepadatan kendaraan sangatlah tinggi, akan tetapi, lamalama kepadatannya menurun meski terjadi fluktuasi sepanjang interval jalan. Simulasi keenam adalah simulasi yang dilakukan dengan model yang sama dengan simulasi kelima. Yaitu dengan menggunakan persamaan burger dan kondisi batas Neumann. Akan tetapi kondisi batas yang dipakai berkebalikan dengan simulasi sebelumnya.

167

Grafik yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan kasus kelima. Keduanya memiliki kepadatan di waktu yang pertama dan kemudian kepadatannya menurun setelah đ?‘Ą waktu. Sehingga bisa dikatakan untuk model non linier dengan batas Neumann kepadatan kendaraan di sepanjang ruas jalan rendah (tidak ada kemacetan), sehingga memungkinkan para pengemudi untuk memaksimalkan kecepatan kendaraannya. Untuk perubahan kepadatan per satuan waktu bisa dilihat dari gambar berikut

Volume 3 No. 3 November 2014


Penurunan Model Traffic Flow Berdasarkan Hukum-Hukum Kesetimbangan

kepadatan (u)

4

3 2 1 0

kepadatan (u)

t = 249.95 5

4

0

500 1000 posisi (x) t = 399.95

3 2 1 0

1500

5

5

4

4

kepadatan (u)

kepadatan (u)

t = 49.95 5

3 2 1 0

0

500 1000 posisi (x)

1500

0

500 1000 posisi (x) t = 999.95

1500

0

500 1000 posisi (x)

1500

3 2 1 0

Gambar 18. Simulasi Kasus 6 dengan Waktu Berbeda

PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa model traffic flow yang diturunkan dari hukum-hukum kesetimbangan adalah sebagai berikut

[3] C. F. Daganzo, “Requiem for second-order fluid approximations of traffic flow,� Transp. Res. Part B Methodol., vol. 29, pp. 277–286, 1995. [4] A. Aw and M. Rascle, “Resurrection of ‘Second Order’ Models of Traffic Flow,� SIAM Journal on Applied Mathematics, vol. 60. pp. 916–938, 2000. [5] G. Whitham, Linier and Non Linier Waves. Canada: A WILEV-IMTERSCIENCE SERIES, 1974. [6] Immers dan Logghe, Traffic Flow Theory, no. May. Heverlee Belgium: A WILEVIMTERSCIENCE SERIES, 2002. [7] R. M. Olson, Dasar Dasar Mekanika Fluida Teknik. 1993. [8] A. Jungel, “Modeling and Numerical Approximation of Traffic Flow Problems,� 2002.

đ?œ•đ?œŒ đ?œ•(đ?œŒđ?‘Ł) + =0 đ?œ•đ?‘Ą đ?œ•đ?‘Ľ dimana đ?œŒ menyatakan kepadatan kendaraan, đ?‘Ł merupakan kecepatan kendaraan. Bila kecepatan đ?‘Ł dalam model tersebut adalah konstan, maka model traffic flow tersebut menjadi persamaan Transport (linier) đ?œŒđ?‘Ą + đ?‘Łđ?œŒđ?‘Ľ = 0 Sedangkan bila kecepatan đ?‘Ł merupakan suatu fungsi yang bergantung pada kepadatan kendaraan di setiap ∆đ?’™ nya maka model tersebut menjadi persamaan Burger (tansport non linier), dan dapat dituliskan sebagai đ?‘˘ + đ?‘˘đ?‘˘đ?‘Ľ = 0 Sedangkan untuk mencari solusi dari kedua model yang telah dihasilkan, dilakukan dengan menggunakan metode beda hingga skema FTBS untuk persamaan transport, dan metode lax wendroff skema FTCS untuk persamaan Burger. Berdasarkan hasil solusi numeriknya dapat diketahui bahwa model linier tersebut stabil ∆đ?‘Ą dengan syarat 0 ≤ đ?‘Ł ≤ 1, sedangkan model ∆đ?‘Ľ non liniernya stabil bila dilihat dari grafiknya, akan tetapi perlu adanya analisis konvergensi untuk mengetahui kestabilan dan kekonsistenan dari model non linier tersebut. DAFTAR PUSTAKA [1] K. Nagel, “Particle hopping vs. fluiddynamical models for traffic flow,â€? LA UR, p. 4018, 1995. [2] D. S. & J. LV, “In-Depth Analysis of Traffic Congestion using Computational Fluid Dynamic (CFD) Modelling Method,â€? J. Mod. Transp., vol. 19, no. 1, pp. 58–67, 2011.

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

168


PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL FOKKER-PLANCK DENGAN METODE GARIS Siti Muyassaroh Mahasiswa Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang e-mail: muy.sms@gmail.com ABSTRAK Persamaan Fokker-Planck merupakan persamaan diferensial parsial yang menggambarkan fungsi distribusi partikel dalam suatu sistem yang berisi banyak partikel yang saling bertumbukan. Digunakan metode garis untuk menyelesaikan solusi numerik pada persamaan Fokker-Planck. Metode ini merepresentasikan bentuk persamaan diferensial parsial ke dalam bentuk sistem persamaan diferensial biasa yang ekuivalen pada bentuk persamaan diferensial parsialnya. langkah pertama yang dilakukan untuk menyelesaikan persamaan Fokker-Planck dengan metode garis yaitu mengganti turunan ruang dengan metode beda hingga pusat, sehingga diperoleh bentuk sistem persamaan diferensial biasa. Langkah kedua yaitu menyelesaikan sistem persamaan diferensial biasa yang telah diperoleh pada langkah pertama dengan metode penyelesaian yang berlaku pada persamaan diferensial biasa yaitu metode Runga-Kutta. Hasil solusi numerik dengan metode garis kemudian dibandingkan dengan solusi eksak menghasilkan galat yang sangat kecil atau mendekati nol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode garis merupakan metode yang baik untuk menyelesaikan persamaan Fokker-Planck. Kata kunci: persamaan Fokker-Planck, metode garis, metode Runga-Kutta. ABSTRACT Fokker-Planck equation is partially differential equation that describe distribution function of particles on system contain many particles that collide each other. The method of lines is used to solve numerical solution of Fokker-Planck equation. This method represents form of partially differential equation into the form of ordinary differential equation that equivalent to the form of its partially differential equation. The first step to solve Fokker-Planck equation using line method is replacing spatial derivative with center finite difference, in order to obtain system of ordinary differential equation. The second step is solving the system of ordinary differential equation that have been obtained in the first step using the method of lines using the solving method that used at ordinary differential equation, that is Runga-Kutta method of fourth order. Then numerical solution obtained by using the method of lines is compared to the exact solution and produce error that very small or tend to zero. Therefore, it can be concluded that the method of lines is good method for solving Fokker-Planck equation. Keywords: Fokker-Planck equation, Line method, Runge-Kutta method.

PENDAHULUAN Persamaan Fokker-Planck merupakan persamaan yang menggambarkan fungsi distribusi partikel dalam suatu sistem yang berisi banyak partikel yang saling bertumbukan. Persamaan ini berisi komponen difusi partikel dan interaksi antar partikel (Palupi, 2010). Bentuk umum persamaan Fokker-Planck adalah: 1 đ?‘Łđ?‘Ą (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = −đ??´đ?‘Łđ?‘Ľ (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) + đ??ľđ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľ (đ?‘Ľ, đ?‘Ą) (1) 2 dengan đ?‘Ł merupakan fungsi distribusi partikel, đ??´ disebut sebagai koefisien apung (drift coefficient) dan đ??ľ disebut sebagai koefisien diffusi (Zauderer, 2006). Persamaan Fokker-Planck termasuk persamaan diferensial parsial karena

mengandung turunan parsial, yaitu turunan dengan dua variabel bebas đ?‘Ľ dan đ?‘Ą. Salah satu metode untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial adalah dengan metode garis (method of lines). Metode garis merupakan metode beda hingga khusus yang menghasilkan solusi numerik yang mendekati solusi sebenarnya. Ide dasar metode ini yaitu mengubah bentuk persamaan diferensial parsial ke dalam bentuk persamaan diferensial biasa. Metode garis telah banyak diterapkan pada beberapa permasalahan persamaan diferensial parsial. Beberapa penelitian terdahulu yang membahas metode garis antara lain yaitu membahas solusi numerik persamaan Kortewegde Vries dengan metode garis (Ozdes & Aksan, 2006). Penelitian lain membahas penerapan


Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Fokker-Planck dengan Metode Garis metode garis pada persamaan Laplace (Sadiku & Obiozor, 1997). Metode garis memiliki beberapa keunggulan antara lain metode ini sangat efisien dalam perhitungan karena menghasilkan solusi yang akurat dengan sedikit waktu yang ditempuh. Selain itu metode ini juga mudah dalam menentukan kestabilannya dengan memisahkan antara variabel ruang dan waktu (Sadiku & Obiozor, 1997). KAJIAN TEORI Persamaan Diferensial Parsial Fokker-Planck Persamaan Fokker-Planck merupakan persamaan yang menggambarkan fungsi distribusi partikel dalam suatu sistem yang berisi banyak partikel yang saling bertumbukan (Palupi, 2010). Persamaan ini pertama kali dikenalkan oleh Fokker dan Planck. Beberapa penerapan persamaan Fokker-Planck antara lain pada gerakan tidak menentu partikel kecil yang direndam dalam suatu cairan, fluktuasi intensitas sinar laser, dan distribusi kecepatan partikel cairan dalam aliran turbulen. Secara umum persamaan Fokker-Planck dapat diaplikasikan pada sistem keseimbangan maupun ketakseimbangan (Frank, 2004). Awal terbentuknya persamaan nonlinier Fokker-Planck merupakan akibat terjadinya tumbukan antara partikel, sehingga mengalami perubahan arah gerak secara acak (Brownian Motion). Partikel yang disebut sebagai partikel Brownian tersebut mengalami proses diffusi. Gerakan partikel bersifat acak dan gerakan partikel tidak dipengaruhi oleh gerakan partikel sebelumnya (Palupi, 2010). Persamaan Fokker-Planck termasuk persamaan diferensial parsial (PDP) karena persamaan ini menggambarkan laju perubahan terhadap dua variabel bebas yaitu waktu dan jarak (ruang). Jika dilihat dari persamaan (1), maka persamaan Fokker-Planck merupakan PDP orde satu terhadap variabel bebas � dan orde dua terhadap variabel bebas �. Persamaan FokkerPlanck merupakan PDP tipe parabolik. Metode Beda Hingga Persamaan FokkerPlanck Untuk persamaan Fokker-Planck yang mengandung variabel x dan t, perkiraan beda hingga dilakukan dengan membuat jaringan titik hitungan pada bidang x-t yang dibagi dalam sejumlah pias dengan interval ruang dan waktu adalah Δx dan Δt. Turunan parsial pada setiap titik grid didekati dari nilai-nilai tetangga dengan menggunakan deret Taylor. Berikut merupakan

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

turunan pertama dan kedua variabel đ?‘Ľ dengan metode beda hingga pusat: đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 − đ?‘Łđ?‘–đ?‘› (2) đ?‘Łđ?‘Ľ (đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) ≈ ∆đ?‘Ľ đ?‘› đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 − 2đ?‘Łđ?‘–đ?‘› + đ?‘Łđ?‘–−1 (3) đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľ (đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) ≈ 2 ∆đ?‘Ľ Sedangkan untuk turunan pada variabel đ?‘Ą dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas. Metode Garis Metode garis merupakan salah satu dari metode numerik yang paling efisien untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial. Metode ini banyak diaplikasikan pada beberapa masalah di bidang fisika teori. Metode garis pertama kali dikenalkan oleh matematikawan asal Jerman bernama Erich Rothe pada tahun 1930 (Pregla, 2008). Ide dasar metode garis adalah mengganti turunan ruang (nilai batas) pada persamaan diferensial parsial dengan pendekatan aljabar. Setelah ini dilakukan, turunan ruang tidak lagi dinyatakan secara eksplisit dalam variabel bebas ruang. Dengan demikian, hanya ada variabel nilai awal saja artinya dengan adanya satu variabel bebas yang tersisa maka diperoleh sistem persamaan diferensial biasa (PDB) yang mendekati persamaan diferensial parsial yang asli. Kemudian selanjutnya adalah merumuskan pendekatan sistem persamaan diferensial biasa. Setelah ini dilakukan maka bisa diterapkan beberapa pendekatan untuk nilai awal persamaan diferensial biasa guna menghitung solusi numerik dari persamaan diferensial parsial (Hamdi, Schiesser, & Griffiths, 2009). Metode Runga-Kutta Penyelesaian PDB dengan metode deret Taylor tidak praktis, karena metode tersebut membutuhkan perhitungan turunan đ?‘“(đ?‘Ľ, đ?‘Ś). Disamping itu, tidak semua fungsi mudah dihitung turunannya, terutama bagi fungsi yang bentuknya rumit. Oleh karena itu metode RungaKutta merupakan alternatif dari metode deret Taylor yang memberikan ketelitian hasil yang lebih besar dan tidak memerlukan turunan fungsi (Triatmodjo, 2002). Bentuk umum metode Runga-Kutta: đ?‘Łđ?‘&#x;+1 = đ?‘Łđ?‘&#x; + â„Žđ?œƒ(đ?‘Ľđ?‘&#x; , đ?‘Łđ?‘&#x; , â„Ž)

(4)

dengan đ?œƒ(đ?‘Ľđ?‘&#x; , đ?‘Śđ?‘&#x; , â„Ž) adalah fungsi pertambahan yang menggambarkan kemiringan pada interval. Ada beberapa tipe metode Runga-Kutta yaitu metode Runga-Kutta orde satu, dua, tiga dan empat. Metode Runga-Kutta orde empat banyak digunakan karena mempunyai ketelitian

170


Siti Muyassaroh yang lebih tinggi (Chapra & Canale, 2002). Berikut merupakan bentuk metode Runga-Kutta orde empat: 1 đ?‘Łđ?‘&#x;+1 = đ?‘Łđ?‘&#x; + (đ?‘˜1 + 2đ?‘˜2 + 2đ?‘˜3 + đ?‘˜4 )â„Ž 6 dengan: đ?‘˜1 = đ?‘“(đ?‘Ľđ?‘&#x; , đ?‘Łđ?‘&#x; ) 1 1 đ?‘˜2 = đ?‘“ (đ?‘Ľđ?‘&#x; + â„Ž, đ?‘Łđ?‘&#x; + đ?‘˜1 ) 2 2 1 1 đ?‘˜3 = đ?‘“ (đ?‘Ľđ?‘&#x; + â„Ž, đ?‘Łđ?‘&#x; + đ?‘˜2 ) 2 2 đ?‘˜4 = đ?‘“(đ?‘Ľđ?‘&#x; + â„Ž, đ?‘Łđ?‘&#x; + đ?‘˜3 )

(5)

đ?‘‘đ?‘Ł

đ?‘› đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 −đ?‘Łđ?‘–−1

2∆đ?‘Ľ

Ide dasar metode garis terdiri dari dua langkah, pertama mengganti turunan ruang dengan menggunakan metode beda hingga sehingga diperoleh sistem persamaan diferensial biasa. Kemudian menyelesaikan sistem persamaan diferensial biasa yang sudah diperoleh dengan menggunakan metode penyelesaian pada persamaan diferensial biasa, seperti metode Euler, metode Runga-Kutta dan lain-lain. Metode ini dinamakan metode garis karena solusi ditentukan pada setiap garis đ?‘Ľ = đ?‘Ľđ?‘– dimana daerah solusi dibagi menjadi beberapa garis lurus yang sejajar dengan sumbu-đ?‘Ś pada batas tertentu (Sadiku & Obiozor, 1997). Berikut merupakan model persamaan yang akan diselesaikan dengan metode garis: (6) đ?‘Ł − đ?‘Ľđ?‘’ 3đ?‘Ą đ?‘Ł − đ?‘Ł = 2đ?‘Ľđ?‘’ 2đ?‘Ą − đ?‘’ 2đ?‘Ą

Langkah pertama yang harus dilakukan pada metode garis adalah mengganti turunan ruang pada persamaan diferensial parsial dengan menggunakan metode beda hingga pusat. Transformasi beda pusat untuk turunan pertama dan kedua variabel ruang: đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 − đ?‘Łđ?‘–đ?‘› (7) đ?‘Łđ?‘Ľ (đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) ≈ ∆đ?‘Ľ đ?‘› đ?‘› đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 − 2đ?‘Łđ?‘– + đ?‘Łđ?‘–−1 (8) đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľ (đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) ≈ ∆đ?‘Ľ 2 subtitusi pada persamaan (6) sehingga akan diperoleh bentuk berikut: đ?œ•đ?‘Ą

(đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) = đ?‘Ľđ?‘– đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› ( đ?‘› đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 −đ?‘Łđ?‘–−1

2∆đ?‘Ľ

∆đ?‘Ľ 2

)+

+ 2đ?‘Ľđ?‘– đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› − đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘›

(10)

đ?‘‘đ?‘Ł0đ?‘› đ?‘‘đ?‘Ą

= đ?‘Ľ0 đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› (

đ?‘› đ?‘Ł1đ?‘› −2đ?‘Ł0đ?‘› +đ?‘Łâˆ’1

∆đ?‘Ľ 2

)+

đ?‘› đ?‘Ł1đ?‘› −đ?‘Łâˆ’1

2∆đ?‘Ľ

+ 2đ?‘Ľ0 đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› −

đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› đ?‘‘đ?‘Ł1đ?‘› đ?‘‘đ?‘Ą

= đ?‘Ľ1 đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› (

đ?‘Ł2đ?‘› −2đ?‘Ł1đ?‘› +đ?‘Ł0đ?‘› ∆đ?‘Ľ 2

)+

đ?‘Ł2đ?‘› −đ?‘Ł0đ?‘› 2∆đ?‘Ľ

+ 2đ?‘Ľ1 đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› −

đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› đ?‘‘đ?‘Ł2đ?‘› đ?‘‘đ?‘Ą

= đ?‘Ľ2 đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› (

đ?‘Ł3đ?‘› −2đ?‘Ł2đ?‘› +đ?‘Ł1đ?‘› ∆đ?‘Ľ 2

)+

đ?‘Ł3đ?‘› −đ?‘Ł1đ?‘› 2∆đ?‘Ľ

+ 2đ?‘Ľ2 đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› −

đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› đ?‘‘đ?‘Ł3đ?‘› đ?‘‘đ?‘Ą

= đ?‘Ľ3 đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› (

đ?‘Ł4đ?‘› −2đ?‘Ł3đ?‘› +đ?‘Ł2đ?‘› ∆đ?‘Ľ 2

)+

đ?‘Ł4đ?‘› −đ?‘Ł2đ?‘› 2∆đ?‘Ľ

+ 2đ?‘Ľ3 đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› −

đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› đ?‘‘đ?‘Ł4đ?‘› đ?‘‘đ?‘Ą

= đ?‘Ľ4 đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› (

đ?‘Ł5đ?‘› −2đ?‘Ł4đ?‘› +đ?‘Ł3đ?‘› ∆đ?‘Ľ 2

)+

đ?‘Ł5đ?‘› −đ?‘Ł3đ?‘› 2∆đ?‘Ľ

+ 2đ?‘Ľ4 đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› −

đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘›

đ?‘Ľ

Dengan nilai awal yang diberikan yaitu đ?‘Ł(đ?‘Ľ, 0) = đ?‘Ľ, untuk đ?‘Ľ ∈ (0,1) dan nilai batas đ?‘Ł(0, đ?‘Ą) = 0, đ?‘Ł(1, đ?‘Ą) = đ?‘’ 2đ?‘Ą . Daerah solusi dibatasi pada 0 ≤ đ?‘Ľ ≤ 1 dan 0 ≤ đ?‘Ą ≤ 1 (Hussain & Alwan, 2013).

đ?œ•đ?‘Ł

đ?‘› đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 −2đ?‘Łđ?‘–đ?‘› +đ?‘Łđ?‘–−1

Jika dipilih ∆đ?‘Ľ = 0,25 maka daerah solusi terdiri dari đ?‘Ľđ?‘– , dengan đ?‘– = 0,1,2,3,4 dan ∆đ?‘Ą = 0,01 atau đ?‘› = 0,1,2, â‹Ż ,101. Sehingga akan diperoleh sistem persamaan diferensial biasa sebagai berikut:

1. Penerapan Metode Garis pada Penyelesaian Persamaan Fokker-Planck

đ?‘Ľđ?‘Ľ

(đ?‘Ľđ?‘– , đ?‘Ąđ?‘› ) = đ?‘Ľđ?‘– đ?‘’ 3đ?‘Ąđ?‘› (

đ?‘‘đ?‘Ą

PEMBAHASAN

đ?‘Ą

tersebut tidak lagi dinyatakan secara eksplisit dalam variabel bebas ruang. Sehingga tersisa variabel nilai awal saja yaitu variabel đ?‘Ą. Dengan demikian karena tersisa satu variabel bebas saja maka diperoleh sistem persamaan diferensial biasa (PDB) yang mendekati PDP aslinya (Hamdi, Schiesser, & Griffiths, 2009). Maka persamaan diferensial parsial di atas berubah menjadi bentuk persamaan diferensial biasa berikut:

đ?‘› đ?‘› đ?‘Łđ?‘–+1 −2đ?‘Łđ?‘–đ?‘› +đ?‘Łđ?‘–−1

∆đ?‘Ľ 2

)+

Langkah kedua setelah diperoleh sistem PDB adalah menyelesaikan PDB tersebut dengan metode Runga-Kutta orde empat. Bentuk umum metode Runga-Kutta orde empat yaitu sebagaimana pada persamaan (5). Hasil perhitungan solusi metode garis digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 1. Solusi Metode Garis Persamaan Fokker-Planck (6) Iterasi

1 2 3 4 5 â‹Ž 101

đ?’™đ?&#x;Ž đ?’• 0 0 0,01 0 0,02 0 0,03 0 0,04 0 â‹Ž â‹Ž 1 0

đ?’™đ?&#x;? 0,25 0,2549 0,2600 0,2652 0,2704 â‹Ž 1,8091

đ?’™đ?&#x;? 0,5 0,5100 0,5202 0,5306 0,5412 â‹Ž 3,9021

đ?’™đ?&#x;‘ 0,75 0,7651 0,7804 0,7961 0,8121 â‹Ž 5,1894

đ?’™đ?&#x;’ 1 1,0202 1,0408 1,0618 1,0833 â‹Ž 7,3891

(9)

+ 2đ?‘Ľđ?‘– đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘› − đ?‘’ 2đ?‘Ąđ?‘›

Ketika turunan variabel ruang sudah diganti dengan beda hingga, maka turunan ruang

171

Volume 3 No. 3 November 2014


Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Fokker-Planck dengan Metode Garis 2. Perbandingan Solusi Analitik dan Solusi Numerik Metode Garis pada Persamaan Fokker-Planck Solusi eksak (analitik) persamaan Fokker-Planck (6) adalah sebagai berikut (Hussain & Alwan, 2013): đ?‘Ł(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) = đ?‘Ľđ?‘’ 2đ?‘Ą Bertujuan untuk menunjukkan bahwa solusi dengan metode garis adalah mendekati solusi analitik maka keduanya digambarkan dalam bentuk plot. Solusi analitik persamaan Fokker-Planck (6) sebagai berikut:

0,25

0,01

đ?’—(đ?’™, đ?’•) 0,2549

đ?’—(đ?’™, đ?’•) 0,2551

0,0002

0,25

0,02

0,2600

0,2602

0,0002

0,25

0,03

0,2652

0,2655

0,0003

0,25

0,04

0,2704

0,2708

0,0004

0,25

0,05

0,2758

0,2763

0,0005

â‹Ž

â‹Ž

â‹Ž

â‹Ž

â‹Ž

0,75

1

5,1894

5,5418

0,3524

SOLUSI ANALITIK PERSAMAAN FOKKER-PLANCK

Sedangkan untuk mengetahui error pemotongan yang dihasilkan oleh persamaan Fokker-Planck, dilakukan diskritisasi dengan metode beda hingga pusat, sehingga terbentuk skema berikut: (11) đ?‘›+1 đ?‘›âˆ’1 đ?‘› đ?‘› đ?‘› đ?‘› đ?‘›

8

v(x,t)

6

4

đ?‘Łđ?‘–

2

−đ?‘Łđ?‘–

2∆đ?‘Ą

đ?‘Łđ?‘–+1 −2đ?‘Łđ?‘– +đ?‘Łđ?‘–−1 ∆đ?‘Ľ 2

1

đ?‘Łđ?‘–+1 −đ?‘Łđ?‘–−1

2

2∆đ?‘Ľ

)− đ??ľ(

)

= đ?‘“(đ?‘Ľ, đ?‘Ą)

0 1 1 0.8

0.5

0.6 0.4 0.2 t

0

0

x

Gambar 1. Solusi analitik persamaan Fokker-Planck (6)

Sedangkan plot solusi numerik dengan metode garis sebagai berikut: Solusi Numerik Metode Garis

Konsistensi dapat dicari dengan menggunakan ekspansi deret Taylor pada masing-masing sukunya. Kemudian suku-suku sejenis dikelompokkan, sehingga diperoleh persamaan berikut: đ?‘› 1 đ?‘› đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľ ) | + ∆đ?‘Ą 2 đ?‘Łđ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą | + đ?‘– 6 đ?‘– đ?‘› đ?‘› đ??´ đ??ľ 1 ∆đ?‘Ľ 2 ( đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ − đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ )| + ∆đ?‘Ą 4 đ?‘Łđ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą | + 6 24 đ?‘– 120 đ?‘– đ?‘› đ??´ ∆đ?‘Ľ 4 ( đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ − â‹Ż )| = đ?‘“(đ?‘Ľ, đ?‘Ą) 120 đ?‘– ( đ?‘Łđ?‘Ą + đ??´ đ?‘Łđ?‘Ľ −

đ??ľ 2

(12)

Dari persamaan (12) dapat diketahui bahwa error pemotongan yang dihasilkan mempunyai orde dua yaitu đ?’Ş(∆đ?‘Ą 2 , ∆đ?‘Ľ 2 ). Persamaan (12) dikatakan konsisten jika

8 6

v(x,t)

+đ??´(

lim

(∆đ?‘Ą,∆đ?‘Ľ)→0

4 2 0 1 1 0.8

0.5

0.6 0.4 0.2 t

0

0

x

1 2 đ??´ đ??ľ đ?‘› đ?‘› ∆đ?‘Ą đ?‘Łđ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą | + ∆đ?‘Ľ 2 ( đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ − đ?‘Ł )| đ?‘– 6 6 24 đ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ đ?‘– = 0

Jika ∆đ?‘Ą dan ∆đ?‘Ľ sangat kecil maka jumlah dari limit tersebut akan semakin kecil, karena berapapun nilai đ?‘Łđ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ą , đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ , đ?‘Łđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľđ?‘Ľ jika dikalikan dengan nilai dari ∆đ?‘Ą dan ∆đ?‘Ľ akan ikut mengecil. Error pemotongan yang dihasilkan akan menuju nol untuk ∆đ?‘Ą → 0 dan ∆đ?‘Ľ → 0.

Gambar 2. Solusi numerik persamaan Fokker-Planck (6)

Penyelesaian secara numerik hanya menghasilkan nilai yang mendekati pada solusi analitiknya. Bertujuan untuk mengetahui besarnya error metode garis terhadap solusi eksaknya, dapat dilakukan dengan menghitung selisih antara nilai eksak dan nilai pendekatan dengan metode garis. Besarnya error digambarkan pada tabel berikut. Tabel 2. Perbandingan Solusi Numerik dan Analitik

đ?’™

đ?’•

Solusi Numerik

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Solusi Eksak

Nilai error

3. Interpretasi Hasil Metode garis merupakan metode numerik yang lebih akurat dibandingkan metode beda hingga biasa karena menghasilkan solusi yang akurat dengan waktu perhitungan yang dibutuhkan lebih efisien. Penyelesaian dengan metode garis terdiri dari dua tahap, yaitu mengganti turunan variabel ruang dengan metode beda hingga sehingga diperoleh sistem PDB yang mendekati bentuk PDP asli, kemudian langkah kedua yaitu menyelesaikan sistem PDB

172


Siti Muyassaroh dengan metode penyelesaian PDB. Bentuk metode beda hingga yang digunakan yaitu beda hingga pusat karena titik-titik yang dihitung dipengaruhi oleh titik-titik disekitarnya sehingga beda hingga pusat dianggap lebih baik daripada beda hingga maju dan mundur. Kemudian penyelesaian PDB menggunakan metode RungaKutta orde empat karena metode ini mempunyai ketelitian yang lebih tinggi Bertujuan untuk mengetahui perbandingan solusi analitik dan solusi metode garis, maka keduanya digambarkan dalam bentuk plot di atas. Hasil plot menunjukkan bahwa solusi analitik dan solusi metode garis pada persamaan (6) hampir sama atau dapat dikatakan bahwa solusi metode garis mendekati solusi analitiknya. Hasil perhitungan menghasilkan nilai error yang sangat kecil menunjukkan bahwa solusi metode garis hampir mendekati solusi analitik. Error pemotongan pada persamaan FokkerPlanck dilihat dengan cara ekspansi deret Taylor pada tiap suku-sukunya sehingga dihasilkan error pemotongan yang mempunyai orde dua yaitu đ?’Ş(∆đ?‘Ą 2 , ∆đ?‘Ľ 2 ). PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa langkah pertama untuk menyelesaikan persamaan Fokker-Planck dengan metode garis adalah mengganti turunan variabel ruang dengan metode beda hingga, sehingga diperoleh bentuk sistem persamaan diferensial biasa. Langkah kedua yaitu menyelesaikan sistem PDB yang terbentuk dengan metode Runga-Kutta orde empat. Solusi yang dihasilkan dengan metode garis mendekati nilai eksaknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode garis merupakan metode yang baik untuk menyelesaikan permasalahan solusi numerik pada persamaan Fokker-Planck. DAFTAR PUSTAKA

Software and Programing Applications. Fourth Edition. New York: The Mc Graw-Hill Companies, Inc. [2] Frank, T. (2004). Nonlinear Fokker-Planck Equation. Munster: Springer-Berlin. [3] Hamdi S., William E. Schiesser, Graham W. Griffiths. (2009). Method of Lines. Scholarpedia, 5. [4] Hussain, E. d. (2013). The Finite Volume Method for Solving Systems of Non-linear Initial-Boundary Value Problems for PDE's. Applied Mathematical Science, 1737-1755. [5] Ozdes A. dan Aksan E.N. (2006). The Method of Lines Solution of the Korteweg-de Vries Equation for Small Times. Int. J. Contemp. Math. Science, 639-650. [6] Palupi, D. (2010). Persamaan Fokker-Planck dan Aplikasinya dalam Astrofisika. Jurnal Berkala Fisika, A1-A6. [7] Pregla, R. (2008). Analysis of Elegtromagnetic Fields and Waves: The Method of Lines. British: John Wiley & Sons, Ltd. [8] Sadiku, M.N.O dan Obiozor, C.N. (1997). A Simple Introduction to the Method of Lines . International Journal of Electrical Engineering Education, 282-296. [9] Triatmodjo, B. (2002). Metode Numerik Dilengkapi dengan Program Komputer. Yogyakarta: Beta Offset. [10] Zauderer, E. (2006). Partial Differential Equations of Applied Mathematich. New York: Wiley-Interscience.

[1] Chapra, S.C. dan Canale, R.P. (2002). Numerical Methods for Engineers with

173

Volume 3 No. 3 November 2014


STATISTIK UJI PARSIAL PADA MODEL MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (STUDI KASUS JUMLAH KEMATIAN BAYI DI JAWA TIMUR TAHUN 2012)

Mahmuda1, Sri Harini2 1Mahasiswa 2Dosen

Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang e-mail: ammyima@gmail.com1, sriharini21@yahoo.co.id2

ABSTRAK Mixed Geographically Weigted Regression (MGWR) adalah pengembangan dari model regresi dimana terdapat parameter yang dihitung pada setiap lokasi pengamatan, sehingga setiap lokasi pengamatan mempunyai nilai parameter yang berbeda-beda, regresi yang demikian dinamakan Geographically Weighted Regression (GWR). Penaksir parameter untuk GWR ini menggunakan WLS, karena dalam GWR terdapat matriks pembobot yang dibutuhkan. Dengan MGWR akan menghasilkan penaksir parameter yang sebagian bersifat global dan sebagian lain bersifat lokal sesuai dengan lokasi pengamatan. Penaksir pada model MGWR dapat dilakukan dengan metode WLS. Selanjutnya diperlukan serangkaian prosedur untuk melakukan uji hipotesis terhadap parameter model yang dihasilkan. Uji hipotesis ini digunakan untuk kesesuaian model dan juga menentukan variabel bebas mana yang berpengaruh signifikan terhadap model. Dari hasil penelitian didapatkan model statistik uji dari model MGWR adalah statistik uji F dan uji t. Pada aplikasi GWR4 didapatkan bahwa dari ke tujuh variabel, ternyata kesehatan ibu dan kesehatan bayi yang signifikan mempengaruhi jumlah kematian bayi di Jawa Timur tahun 2012. Sehingga model yang didapatkan dari pengujian signifikansi model GWR pada data jumlah kematian bayi di Jawa Timur tahun 2012 menggunakan aplikasi GWR4 adalah: đ?‘ŚĚ‚ = 33,930030 + 465,611379 đ?‘‹6 − 469,063181 đ?‘‹7 Selain menggunakan statistik uji F dan uji t, dapat juga digunakan metode lainnya pada pengujian model MGWR. Estimasi parameter juga dapat menggunakan metode selain WLS, serta data yang sesuai dengan kebutuhan peneliti. Kata Kunci: Geographically Weighted Regression (GWR), Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR), statistik uji t. ABSTRACT Mixed Geographically Weigted Regression (MGWR) is the development of a regression model where there are parameters calculated at each observation location, so that each location has a different parameters value, such regression is called Geographically Weighted Regression (GWR). The parameter estimator for this GWR use WLS, because it requires weighting matrix GWR. MGWR will produce parameter estimator that some are global and some others are local according to the observation location. Estimator at are MGWR model can be done using WLS method. Furthermore, a series of procedures required to test the hypothesis on the resulted model parameters .This hypothesis test is used for the suitability of the model and also determine which independent variable that influence the model significantly. From the study we obtain that a test statistical model of MGWR model is F test and t test. According to the application of GWR4, we obtained that from all of seven variables the maternal health and infant health are significantly affect the number of infant death in East Java in 2012. The model obtained from testing the significance of the GWR models on data of the number of infant deaths in East Java in 2012 using GWR4 application are: đ?‘ŚĚ‚ = 33,930030 + 465,611379 đ?‘‹6 − 469,063181 đ?‘‹7 In addition to the statistic of F test and t test, we can also use other methods on the MGWR model testing. Parameter estimation can also use methods other than WLS, and use data according to the needs of researcher.

Keywords: Geographically Weighted Regression (GWR), Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR), statistics t test.


Mahmuda đ?‘Ľđ?‘–đ?‘˜

PENDAHULUAN Dalam matematika terdapat beberapa cabang yang sangat bemanfaat untuk kehidupan manusia, salah satu cabang diantaranya adalah ilmu statistika. Dalam statistika terdapat suatu metode yang disebut dengan regresi, regresi merupakan metode yang memodelkan hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas. Di dalam regresi terdapat statistik uji yang terbagi menjadi statistik uji simultan dan statistik uji parsial. Dalam regresi terdapat parameter yang dihitung pada setiap lokasi pengamatan, sehingga setiap lokasi pengamatan mempunyai nilai parameter yang berbeda-beda, regresi yang demikian dinamakan Geographically Weighted Regression (GWR). Dalam regresi juga terdapat gabungan antara regresi linier global dan model GWR, dalam kasus ini disebut Mixed Geographically Weigted Regression (MGWR), dengan MGWR akan menghasilkan penaksir parameter yang sebagian bersifat global dan sebagian lain bersifat lokal sesuai dengan lokasi pengamatan. Untuk mengetahui signifikansi dalam model MGWR, maka menggunakan statistik uji simultan dan statistik uji parsial. Dalam jurnal Hasbi Yasin (2013) sudah diteliti statistik uji simultan, maka dari itu peneliti melanjutkan penelitian dengan menggunakan statistik uji parsial dalam model MGWR. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan statistik uji parsial pada model Mixed Geographically Weighted Regression. KAJIAN TEORI 1. Geographically Weighted Regression (GWR) [1] menyatakan bahwa â€?Model GWR merupakan pengembangan dari model regresi global dimana ide dasarnya diambil dari regersi nonparametrikâ€?. Model GWR adalah pengembangan dari model regresi global di mana setiap parameter dihitung pada setiap lokasi pengamatan, sehingga setiap lokasi pengamatan mempunyai nilai parameter yang berbeda-beda. Model ini merupakan model regresi linier lokal yang menghasilkan penaksir parameter yang bersifat lokal untuk setiap titik di mana data tersebut dikumpulkan. Model GWR dapat ditulis sebagai berikut: đ?‘?

: nilai observasi variabel prediktor k pada pengamatan ke-i đ?›˝0 (đ?‘˘0 , đ?‘Ł0 ) : nilai intercept model regresi GWR đ?›˝đ?‘˜ : koefisien regresi (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) : menyatakan titik koordinat (lintang, bujur) lokasi i đ?œ€đ?‘– : Error ke-i Penaksir Parameter Model GWR Penaksir parameter model GWR menggunakan metode WLS yaitu dengan memberikan pembobot yang berbeda pada setiap lokasi pengamatan. Sehingga penaksir parameter model untuk setiap lokasinya adalah [2]: đ?›˝Ě‚ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = (đ?‘‹ đ?‘‡ đ?‘Š(đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– )đ?‘‹)−1 đ?‘‹ đ?‘‡ đ?‘Š(đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– )đ?‘Œ dengan đ?‘‹ : matriks peubah prediktor đ?‘Œ : matriks peubah respon đ?›˝Ě‚ : vektor penduga parameter GWR untuk pengamatan ke-i (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ): koordinat spasial (longitude, latitude) untuk pengamatan ke-i 2. Statistik Uji Model GWR Pengujian hipotesis pada model GWR terdiri dari pengujian kesesuaian model GWR dan pengujian parameter model. Pengujian kesesuaian model GWR (goodness of fit) dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut [3]: H0 = đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = đ?›˝đ?‘˜ (tidak ada perbedaan yang signifikan antara model regresi global dan GWR) H1: Paling tidak ada satu đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) ≠đ?›˝đ?‘˜ untuk setiap đ?‘˜ = 1,2, ‌ , đ?‘ž (ada perbedaan yang signifikan antara model regresi global dan GWR). (đ?‘…đ?‘†đ?‘†(đ??ť0 ) − đ?‘…đ?‘†đ?‘†(đ??ť1 )) đ?œ?1 đ??š= đ?‘…đ?‘†đ?‘†(đ??ť1 ) đ?›ż1 =

đ?‘Śđ?‘‡ [(đ?‘°âˆ’đ?‘Ż)−(đ?‘°âˆ’đ?‘ł)đ?‘Ą (đ?‘°âˆ’đ?‘ł)]đ?‘Ś đ?œ?1 đ?‘Śđ?‘‡ (đ?‘°âˆ’đ?‘ł)đ?‘Ą (đ?‘°âˆ’đ?‘ł)đ?‘Ś đ?›ż1

Adapun pengujian signifikansi parameter model pada setiap lokasi dilakukan dengan menguji parameter secara parsial. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui parameter mana saja yang signifikan mempengaruhi variabel terikatnya. Adapun bentuk hipotesisnya adalah [4]:

đ?‘Śđ?‘– = đ?›˝0 (đ?‘˘0 , đ?‘Ł0 ) + ∑ đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) đ?‘Ľđ?‘–đ?‘˜ + đ?œ€đ?‘– ; đ?‘˜=1

� = 1,2, ‌ , � Dengan ��

175

H0 = đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = 0 H1 = đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) ≠0, dengan k=1,2,‌,q

: nilai observasi variabel respon ke-i

Volume 3 No. 3 November 2014


Statistik Uji Parsial pada Model Mixed Geographically Weighted Regression

�ℎ����� =

�̂ (�� , �� ) (

đ?œŽĚ‚ ) √đ??śđ?‘˜đ?‘˜

3. Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR) Mixed Geographically Weighted Regression merupakan gabungan dari model regresi linier global dengan model GWR, sehingga dengan model MGWR akan dihasilkan penaksir parameter yang sebagian bersifat global dan sebagian yang lain bersifat lokal sesuai dengan pengamatan data [1]. Model MGWR dengan p variabel bebas dan q variabel bebas diantaranya bersifat lokal, dengan mengasumsikan bahwa intersep model bersifat lokal dapat dituliskan sebagai berikut: đ?‘ž

đ?‘ž

đ?‘Śđ?‘– = đ?›˝0 (đ?‘˘0 , đ?‘Ł0 ) + ∑ đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) đ?‘Ľđ?‘–đ?‘˜ + ∑ đ?›˝đ?‘˜ đ?‘Ľđ?‘–đ?‘˜ đ?‘˜=1

đ?‘˜=đ?‘ž+1

+ đ?œ€đ?‘– ; đ?‘– = 1,2, ‌ , đ?‘› dengan: đ?‘Śđ?‘– xik

: nilai observasi variabel respon ke-i : nilai observasi variabel prediktor k pada pengamatan ke-i β0 (u0 , v0 ) : nilai intercept model regresi βk : koefisien regresi (ui , vi ) : menyatakan titik koordinat (lintang, bujur) lokasi i ξi : Error ke-i

sehingga penaksir parameter model GWR yang pertama adalah: −1 đ?›˝Ě‚đ?‘™ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = [đ?‘‹đ?‘™đ?‘‡ đ?‘Š(đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– )đ?‘‹đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘™đ?‘‡ đ?‘Š(đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– )đ?‘ŚĚƒ Misalkan đ?‘Ľđ?‘™đ?‘‡ = 1, đ?‘Ľđ?‘–1 , đ?‘Ľđ?‘–2 , . . . , đ?‘Ľđ?‘–đ?‘ž adalah elemen baris ke-i dari matriks đ?‘‹đ?‘™ . Maka nilai prediksi untuk đ?‘ŚĚƒ pada (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) untuk seluruh pengamatan dapat dituliskan sebagai berikut: đ?‘ŚĚƒ = (đ?‘ŚĚƒ1 , đ?‘ŚĚƒ2 , ‌ , đ?‘ŚĚƒđ?‘› )đ?‘‡ = đ?‘†đ?‘™ đ?‘ŚĚƒ dengan −1 đ?‘‡ đ?‘Ľđ?‘–1 [đ?‘‹đ?‘™đ?‘‡ đ?‘Š(đ?‘˘1 , đ?‘Ł1 )đ?‘‹đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘™đ?‘‡ đ?‘Š(đ?‘˘1 , đ?‘Ł1 ) −1

đ?‘‡ đ?‘‡ đ?‘‡ đ?‘†đ?‘™ = đ?‘Ľđ?‘–2 [đ?‘‹đ?‘™ đ?‘Š(đ?‘˘2 , đ?‘Ł2 )đ?‘‹đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘™ đ?‘Š(đ?‘˘2 , đ?‘Ł2 ) â‹Ž −1 đ?‘‡ đ?‘‡ đ?‘‡ )đ?‘‹ đ?‘Ľ [đ?‘‹ đ?‘Š(đ?‘˘ , đ?‘Ł [ đ?‘–đ?‘› đ?‘™ đ?‘› đ?‘› đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘™ đ?‘Š(đ?‘˘đ?‘› , đ?‘Łđ?‘› )] Sehingga fitted-value dari respon pada koefisien lokal dari n lokasi pengamatan adalah đ?‘ŚĚƒ = đ?‘†đ?‘™ (đ?‘Ś − đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” ) −1

Dengan đ?‘†đ?‘” = đ?‘‹đ?‘” (đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ đ?‘‹đ?‘” ) đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ Oleh karena itu, nilai fitted-value dari respon untuk n lokasi pengamatan adalah đ?‘ŚĚ‚ = (đ?‘ŚĚ‚1 , đ?‘ŚĚ‚2 , ‌ , đ?‘ŚĚ‚đ?‘› )đ?‘‡ = đ?‘ŚĚ‚ + đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” = đ?‘†đ?‘™ (đ?‘Ś − đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” ) + đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” −1

= đ?‘†đ?‘™ đ?‘Ś + (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” [đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘Ś = [đ?‘†đ?‘™ + (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” đ?‘†đ?‘™ đ?‘Ś + (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” [đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‡ (đ??ź − −1

đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )] đ?‘Ś = đ?‘†đ?‘Ś Substitusikan elemen dan đ?›˝đ?‘™ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) ke dalam model MGWR: đ?‘Ś − đ?‘‹đ?‘™ đ?›˝đ?‘™ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ đ?‘Ś − đ?‘†đ?‘™ đ?‘ŚĚ‚ = đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ đ?‘Ś − đ?‘†đ?‘™ (đ?‘Ś − đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” ) = đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ đ?‘Ś − đ?‘†đ?‘™ đ?‘Ś + đ?‘†đ?‘™ đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” = đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ đ?‘Ś − đ?‘†đ?‘™ đ?‘Ś = đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” − đ?‘†đ?‘™ đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ (1 − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘Ś = (1 − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ (1 − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘Ś − (1 − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” = đ?œ€

4. Penaksir Parameter model MGWR Cara mencari penaksir parameter pada model MGWR dapat dilakukan dengan menggunakan metode WLS seperti halnya pada model GWR. Penaksir parameter MGWR dilakukan dengan mengidentifikasikan terlebih dahulu variabel global dan variabel lokal pada model MGWR. Dalam bentuk matriks dapat dituliskan sebagai berikut: đ?‘Ś = đ?‘‹đ?‘™ đ?›˝đ?‘™ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) + đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” + đ?œ€ dengan: đ?‘‹đ?‘” đ?‘‹đ?‘™ đ?›˝đ?‘”

: Matriks variabel bebas global : Matriks variabel bebas lokal : Vektor parameter variabel bebas global đ?›˝đ?‘™ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) : Matriks parameter variabel bebas lokal langkah selanjutnya adalah menuliskan model MGWR menjadi GWR untuk mencari penaksir parameter model MGWR: đ?‘ŚĚ‚ = đ?‘Śâˆ’đ?‘‹đ?‘” đ?›˝đ?‘” = đ?‘‹đ?‘™ đ?›˝đ?‘™ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) + đ?œ€

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

maka: đ?‘‡ đ?›˝Ě‚đ?‘” = (đ?›˝Ě‚đ?‘ž+1 , đ?›˝Ě‚đ?‘ž+2 , ‌ , đ?›˝Ě‚đ?‘? ) −1

= [đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‹đ?‘” ] đ?‘‹đ?‘”đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘‡ (đ??ź − đ?‘†đ?‘™ )đ?‘Ś 5. Statistik Uji F Model MGWR Uji F dilakukan pertama kali untuk uji kesesuaian model regresi global dan model MGWR, maka bentuk hipotesisnya adalah (Yasin, 2013:532): H0 : = đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = đ?›˝đ?‘˜ H1 : Minimal ada satu đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = đ?›˝đ?‘˜ đ?‘Ś đ?‘‡ [(đ?‘° − đ?‘Ż) − (đ?‘° − đ?‘ş)đ?‘Ą (đ?‘° − đ?‘ş)]đ?‘Ś đ?‘Ł1 đ??š= đ?‘Ś đ?‘‡ (đ?‘° − đ?‘ş)đ?‘Ą (đ?‘° − đ?‘ş)đ?‘Ś đ?‘˘1

176


Mahmuda

6. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis adalah salah satu cara dalam statistika untuk menguji “parameter� populasi berdasarkan statistik sampelnya, untuk dapat diterima atau ditolak pada tingkat signifikansi tertentu. Pada prinsipnya pengujian hipotesis ini adalah membuat kesimpulan sementara untuk melakukan penyanggahan atau pembenaran dari permasalahan yang akan ditelaah. Sebagai wahana untuk menetapkan kesimpulan sementara tersebut kemudian ditetapkan hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Jumlah Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan dalam Sistem Kesehatan Nasional dan bahkan dipakai sebagai indikator sentral keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia. Dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau kematian neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi. Variabel terikat yaitu jumlah Kematian Bayi di Jawa Timur tahun 2012, dan variabel bebasadalah jumlah puskesmas, jumlah tenaga medis, jumlah posyandu, pemberian asi eksklusif, pemberian vitamin, kesehatan ibu, kesehatan bayi. METODOLOGI PENELITIAN Tahap Penelitian a. Statistik Uji Parsial pada Model MGWR Tahapan penelitian pada statistik uji parsial pada model MGWR yaitu: 1. Menetapkan model MGWR 2. Melakukan estimasi parameter regresi dan parameter variansi menggunakan metode Weighted Least Square (WLS). 3. Memeriksa asumsi dari GWR dengan pendekatan model regresi global yang akan digunakan untuk mendeteksi multikolinier dan autokorelasi. 4. Menggunakan pengujian uji kesesuaian model untuk menguji model MGWR dengan GWR. 5. Mencari statistik uji parsial dan menetapkan hipotesis. b.

177

Statistik Uji Parsial pada Data Jumlah Kematian Bayi di Jawa Timur tahun 2012

Tahapan penelitian pada statistik uji parsial pada model MGWR dengan data jumlah kematian bayi yaitu: 1. Mendeskripsikan data. 2. Mencari nilai VIF untuk menguji Multikolinier. 3. Muncari nilai Durbin Watson untuk menguji Autokorelasi. 4. Memasukkan data pada program GWR4.04. 5. Menganalisis data dengan cara a. Menguji kesesuaian model GWR b. Mencari parameter dari model GWR yang signifikan c. Mencari parameter yang signifikan dengan statistik uji F d. Memasukkan data pada program GWR4.08 sesuai klasifikasi parameter yang telah ditentukan. e. Menentukan hasil statistik uji parsial dari model MGWR dengan program GWR4.08. f. Membentuk digital peta menggunakan software Arcview 3.3. 6. Pembahasan hasil analisis. 7. Membuat kesimpulan. PEMBAHASAN 1. Statistik Uji Parsial pada Model MGWR [2] menyatakan bahwa statistik Uji parsial pada model MGWR bertujuan untuk menentukan parameter yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon. Dengan mengikuti hipotesis berikut: H0 : = đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = 0 H1 : = đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) ≠0 untuk k=1,2,‌,p , h=1,2,‌,q dan i=1,2,‌,n Statistik uji parsial pada model MGWR digunakan untuk mendapatkan estimasi parameter đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) dan matriks varian kovarian (đ?‘‹ đ?‘‡ đ?‘Šđ?‘‹)−1 đ?›żđ?‘˜2 dengan menggunakan standart eror (SE) đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ): đ?‘†đ??¸(đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– )) = √đ?‘”đ?‘˜đ?‘˜ gkk adalah elemen diagonal k+1 dari matrik (đ?‘‹ đ?‘‡ đ?‘Šđ?‘‹)−1 đ?›żđ?‘˜2. đ?‘†đ??¸(đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– )) digunakan untuk menguji tingkat signifikansi masing-masing lokasi dengan menggunakan statistik uji đ?‘Ą dibawah H0 untuk đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = 0, maka: đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) đ?‘Ąâ„Žđ?‘–đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘›đ?‘” = đ?‘†đ??¸(đ?›˝đ?‘˜â„Ž (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ))

Volume 3 No. 3 November 2014


Statistik Uji Parsial pada Model Mixed Geographically Weighted Regression Statistik Uji Parsial Global pada Model MGWR Pada model MGWR prediktor dapat berpengaruh secara global dan sebagian secara lokal. Uji đ?‘Ą untuk parameter global đ?‘Ľđ?‘˜ (đ?‘ž + 1 ≤ đ?‘˜ ≤ đ?‘?) menggunakan hipotesis: H0 : = đ?›˝đ?‘˜ = 0 (variabel global đ?‘Ľđ?‘˜ tidak berpengaruh secara signifikan) H0 : = đ?›˝đ?‘˜ ≠0 (variabel global đ?‘Ľđ?‘˜ berpengaruh secara signifikan) Estimator parameter đ?›˝đ?‘˜ akan mengikuti distribusi normal multivariat dengan rata-rata đ?›˝đ?‘˜ dan matriks varian kovarian đ??şđ?‘– đ??şđ?‘–đ?‘‡ đ?œŽ 2 dengan: 1

T T G i  ďƒŠ X g T  I - Sl   I - Sl  X g ďƒš X g T  I - S l   I - S l  ďƒŤ ďƒť

Dengan

g kk

ď ˘k

adalah rata-rata pada regresi spasial,

adalah elemen diagonal ke-k dari matriks

G i G ď ł 2 , maka statistik uji yang digunakan T i

adalah: �̂�

�ℎ����� = (

đ?œŽĚ‚ ) √đ?‘”đ?‘˜đ?‘˜

Statistik Uji Parsial Lokal pada Model MGWR Statistik uji t untuk mengetahui pengaruh signifikan variabel prediktor lokal xk (1 ď‚Ł k ď‚Ł q) terhadap variabel respon model MGWR menggunakan hipotesis sebagai berikut: H0 : đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) = 0 (variabel lokal xk pada lokasi ke-i tidak berpengaruh secara signifikan) H1 : đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) ≠0 (variabel lokal

xk pada lokasi ke-i berpengaruh

secara signifikan) Estimator parameter đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) akan mengikuti distribusi normal multivariat dengan rata-rata đ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) dan matriks varian kovarian đ?‘€đ?‘– đ?‘€đ?‘–đ?‘‡ đ?œŽ 2 . Denganđ?›˝đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) adalah rata-rata pada regresi spasial, mkk adalah elemen diagonal ke-k dari matriks đ?‘€đ?‘– đ?‘€đ?‘–đ?‘‡ đ?œŽ 2 , maka statistik uji yang digunakan adalah: đ?›˝Ě‚đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– , đ?‘Łđ?‘– ) đ?‘Ąâ„Žđ?‘–đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘›đ?‘” = đ?œŽĚ‚ ( ) √đ?‘šđ?‘˜đ?‘˜ 2. Aplikasi Data Model MGWR

MODEL GWR Pada penelitian ini model MGWR diterapkan pada kasus jumlah kematian bayi di propinsi Jawa Timur tahun 2012. Variabel yang diteliti yaitu persentase jumlah kematian bayi (jiwa) sebagai variabel respon (Y) dan variabel

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

jumlah puskesmas (X1), jumlah tenaga medis (X2), jumlah posyandu (X3), jumlah pemberian ASI eksklusif (X4), jumlah pemberian vitamin (X5), kesehatan ibu (X6), kesehatan bayi (X7) sebagai variabel prediktornya. Pada penelitian ini analisis data menggunakan software GWR4 dan digital peta menggunakan software Arcview 3.3. Langkah pertama adalah menentukan lokasi pengamatan dalam hal ini adalah letak geografis tiap kabupaten/kotamadya di Jawa Timur. Kemudian mencari bandwith optimum berdasarkan koordinat lokasi pengamatan dengan prosedur cross validation (CV). Setelah mendapatkan nilai bandwidth optimum, maka langkah selanjutnya adalah menentukan matriks pembobot terbaik untuk mendapatkan model GWR. Dari hasil analisis dengan program GWR4 didapatkan model terbaik untuk penentuan jumlah kematian bayi di Jawa Timur adalah menggunakan jenis pembobot Adaptive Bisquare , yaitu: Tabel 1. Hasil Uji Model GWR dengan Pembobot Fungsi Adaptif Bisquare Variabel

F

p-value

DIFF of Criterion

Intercept

1.507602

0.289519

0.750355

X1

3.437276

0.001926*

-0.179920

X2

3.978672

0.000572*

0.263310

X3

5.92783

1.4E-05*

-1.101479

X4

1.352884

0.434997

-0.135576

X5

5412.07229

7.03E-44*

-0.042191

X6

1145829.503

2.83E-75*

0.108179

X7

914566.6336

5.93E-74*

-0.004400

Dari tabel di atas dapat diketahui variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah variabel jumlah rumah sakit (X1), jumlah tenaga medis (X2), jumlah posyandu (X3), pemberian vitamin (X5), kesehatan ibu (X6), dan variabel kesehatan bayi (X7). Sehingga model GWR untuk kasus jumlah kematian bayi di Jawa Timur pada tahun 2012 adalah: đ?‘Ś = 33,930030 + 3,587866đ?‘‹1 + 1429114đ?‘‹2 + 1429114đ?‘‹3 + 1,611371đ?‘‹5 + 465,611379đ?‘‹6 − 469,063181đ?‘‹7 Sedangkan untuk GWR lokal diketahui dari hasil program GWR4 dari tiap lokasi, dalam hal ini peneliti mengambil contoh dari kota Malang, diantaranya:

Tabel 2. Hasil Estimasi Parameter Model GWR Lokal Variabel

Estimate

Intercept

34.06744

Standard Error

t (Est/SE)

0.757745

44.95896

178


Mahmuda

X1

2.208323

2.047297

1.078653

X2

0.084554

0.994597

0.085013

X3

-0.02908

1.244517

-0.02336

X4

-0.62515

0.648891

-0.96341

X5

0.414951

7.526751

0.05513

X6

475.5051

37.40756

12.71147

X7

-473.876

39.22458

-12.0811

Dari tabel di atas dapat diketahui variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah variabel kesehatan ibu (X6), dan variabel kesehatan bayi (X7). Sehingga model GWR Lokal untuk kasus jumlah kematian bayi di Kota Malang pada tahun 2012 adalah: đ?‘Ś32 = 34,06744 + 475,5051 đ?‘‹6 − 473,876 đ?‘‹7 Sedangkan Pemetaan Model GWR pada kasus kematian bayi di Jawa Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:

X1 X2 X3 X5 X6 X7 X4

3.587866 1.429114 1.324760 1.611371 465.611379 -469.063181 -1.034796

2.374693 1.482826 1.462288 7.436231 45.789913 48.792622 1.012299

1.510876 0.963777 0.905950 0.216692 10.168427 -9.613404 -1.022224

Berdasarkan hasil dari tabel di atas, dengan membandingkan đ?‘Ąâ„Žđ?‘–đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘›đ?‘” dan đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘?đ?‘’đ?‘™ , maka dapat diketahui variabel apa saja yang berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kematian bayi di Jawa Timur. Dengan đ?›ź = 5% maka dapat diperoleh variabel yang signifikan yaitu: jumlah kesehatan ibu (X6) dan jumlah kesehatan bayi (X7). Model MGWR yang didapatkan pada kasus jumlah kematian bayi di Jawa Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: đ?‘Ś = 33,930030 + 465,611379đ?‘‹6 − 469,063181đ?‘‹7 Sedangkan Pemetaan Model MGWR pada kasus jumlah kematian bayi di Jawa Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:

MODEL MGWR Tabel 3. Pengujian Kesesuain Model MGWR Sumber Keragaman Residual Global GWR improvement GWR residual

JK

Db

KT

1097.6 39 73.068

30.00 0 2.667

27.392

1024.5 71

27.33 3

37.485

F

P-value

7.307 32

1.64E06

Pemetaan untuk pemetaan variabel yang signifikan dengan menggunakan statistik uji pada model MGWR adalah:

Berdasarkan tabel di atas maka didapatkan nilai đ??šâ„Žđ?‘–đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘›đ?‘” sebesar 7.89544 dan đ?‘? − đ?‘Łđ?‘Žđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ sebesar 6.19577E-08. Dengan melihat tabel F maka didapatkan nilai đ??šđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘?đ?‘’đ?‘™ sebesar 2.33. Jika dibandingkan menjadi đ??šâ„Žđ?‘–đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘›đ?‘” > đ??šđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘?đ?‘’đ?‘™ , dan dengan tigkat signifikansi (Îą) sebesar 5% maka didapatkan đ?‘? − đ?‘Łđ?‘Žđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ < Îą. Maka dapat disimpulkan bahwa model GWR memiliki perbedaan yang siginifikan dengan model GWR. Setelah dilakukan pengujian kesesuaian model, langkah selanjutnya adalah menguji parameter model MGWR. Tabel 4. Hasil Estimasi Model MGWR Variable

Estimate

Standard Error

Intercept

33.930030

0.982829

179

t(Estimate/S E) 34.522839

Volume 3 No. 3 November 2014


Statistik Uji Parsial pada Model Mixed Geographically Weighted Regression

PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pada pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil statistik uji parsial pada model MGWR adalah: a. Untuk statistik uji parsial global adalah: đ?›˝Ě‚đ?‘” đ?‘Ąâ„Žđ?‘–đ?‘Ąđ?‘˘đ?‘›đ?‘” = đ?œŽĚ‚ ( ) √đ?‘”đ?‘˜đ?‘˜ b.

Untuk statistik uji parsial lokal adalah: �ℎ����� =

Ě‚đ?‘˜ (đ?‘˘đ?‘– ,đ?‘Łđ?‘– ) đ?›˝ Ě‚ đ?œŽ ( ) √đ?‘šđ?‘˜đ?‘˜

2. Pada pemetaan statistik uji pada model MGWR terdapat empat kelompok warna untuk variabel yang signifikan yaitu warna putih, kuning, biru dan merah. Untuk warna putih yaitu Kabupaten Lamongan dengan variabel yang signifikan đ?‘‹2 , đ?‘‹3 , đ?‘‹6 , đ?‘‹7 (jumlah tenaga medis, jumlah posyandu, jumlah kesehatan ibu dan jumlah kesehatan bayi). Sedangkan yang warna biru adalah Kabupaten Malang dengan variabel yang signifikan: đ?‘‹1 , đ?‘‹2 , đ?‘‹5 , đ?‘‹6 , đ?‘‹7 (jumlah puskesmas, jumlah tenaga medis, pemberian vitamin, jumlah kesehatan ibu, jumlah kesehatan bayi). Untuk yang warna kuning adalah Kota Batu dengan variabel signifikan: đ?‘‹1 , đ?‘‹2 , đ?‘‹3 , đ?‘‹5 , đ?‘‹6 , đ?‘‹7 (jumlah puskesmas, jumlah tenaga medis, jumlah posyandu, jumlah pemberian vitamin, jumlah kesehatan ibu dan jumlah kesehatan bayi). Sedangkan untuk yang warna adalah daerah yang mempunyai variabel signifikan đ?‘‹6 , đ?‘‹7 (jumlah kesehatan ibu dan jumlah kesehatan bayi) diantaranya Kab. Pacitan, Kab. Ponorogo, Kab. Trenggalek, Kab. Tulungagung, Kab. Blitar, Kab. Magetan, Kab. Ngawi, Kab. Bojonegoro, Kab. Tuban, Kab. Tuban, Kab. Kediri, Kab. Lumajang, Kab. Jember, Kab. Banyuwangi, Kab. Bondowoso, Kab. Situbondo, Kab. Probolinggo, Kab. Pasuruan, Kab. Sidoarjo, Kab. Mojokerto, Kab. Jombang, Kab. Nganjuk, Kab. Madiun, Kab. Gresik, Kab. Bangkalan, Kab. Sampang, Kab. Pamekasan, Kab. Sumenep, Kota Kediri, Kota Malang, Kota

CAUCHY – ISSN: 2086-0382

Probolinggo, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, Kota Madiun, dan Kota Surabaya. 2. Saran Dari penelitian ini terdapat beberapa saran yang dapat dilakukan untuk penelitianpenelitian selanjutnya, yaitu: 1. Untuk penelitian selanjutnya, perlu ditambahkan variabel-variabel lain yang lebih signifikan berpengaruh secara global agar mendapatkan hasil yang lebih sempurna. 2. Untuk peneliti lain, bisa menggunakan metode penaksiran dan fungsi pembobot yang lain . DAFTAR PUSTAKA [1] Hasbi Yasin, "Uji Hipotesis Model Mixed Geographically Weighted Regression dengan Metode Bootstrap," in Universitas Diponegoro, Jogjakarta, 2013, pp. 528-532. [2] Sri Harini, Purhadi, and Mashuri, "Statistical Test for Multivariate Geographically Weighted Regression Model Using the Method of Maximum Likelihood Ratio Test.," Applied Mathematics, pp. 24-30, 2012. [3] Hasbi Yasin, "Pemilihan Variabel pada Model Geographically Weighted Regression," Media Statistika, pp. 66-70, 2011. [4] Luluk Azizah, "Pengujian Signifikansi pada Model Geographically Weighted Regression," Malang, 2013.

180


PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL JURNAL CAUCHY A. Petunjuk Umum Artikel harus ditulis pada kertas HVS ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan margin kiri, kanan, atas, dan bawah sebesar 25 mm. Artikel ditulis tanpa nomor halaman dan disusun dengan urut-urutan topik bahasan: Pendahuluan, Kajian Teori (atau Konsep Dasar), Metode Penelitian (atau Pengembangan Model), Hasil dan Pembahasan (atau Aplikasi dan Pembahasan), Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (kalau ada), Daftar Notasi (jika ada) dan Daftar Pustaka. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. B. Petunjuk Penulisan 1.

Font regular untuk penulisan artikel adalah font Cambria

2.

Artikel diawali dengan judul artikel, dengan font size: 14 pt, huruf tebal (bold) dalam format UPPER CASE.

3.

Nama penulis ditulis di bawah judul dengan font size: 11 pt, huruf tebal (bold) dalam format Title Case. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademik. Apostrop ditulis di belakang nama penulis dengan format superscript jika penulis lebih dari satu.

4.

Nama lembaga (institusi asal, alamat, nomor telepon, nomor faksimil dan e-mail) ditulis di bawah nama penulis dengan font size: 10 pt.

5.

Judul artikel, nama penulis dan nama lembaga ditulis rata tengah. Jarak antara judul dengan nama penulis adalah 12 pt dan jarak antara nama penulis dengan nama lembaga adalah 10 pt.

6.

Judul Abstrak ditulis dengan font size: 10 pt, huruf tebal (bold) dalam format UPPER CASE, rata tengah (center). Jarak antara judul abstrak dengan nama lembaga adalah 10 pt. Jarak antara teks abstrak dengan judul abstrak tanpa spasi. Teks abstrak ditulis dengan font size: 10 pt, sepanjang 150-200 kata. Abstrak ditulis dengan format satu kolom. Kata kunci ditulis di bawah teks abstrak, disusun urut abjad dan dipisahkan oleh tanda koma. Judul kata kunci ditulis dengan format reguler dengan font size: 10 pt, huruf tebal (bold), sedangkan kata kuncinya ditulis dengan huruf miring (italic).

7.

Isi artikel diketik dengan font size 10 pt, 1 spasi dan dalam format dua kolom. Jarak antar kolom adalah 10 mm. Setiap artikel terdiri dari maksimum 20 halaman (termasuk gambar dan tabel) dan ditulis dalam format justified.

8.

Sub judul ditulis dengan font size: 10 pt, huruf tebal (bold), dengan format UPPER CASE dalam format rata kiri tanpa nomor. Sub sub judul ditulis dengan font size: 10 pt, huruf tebal (bold) dengan format Title Case dan disusun rata kiri diberi nomor atau huruf.

9.

Gambar dan Tabel diletakkan di dalam kelompok teks dan diberi keterangan. Gambar diikuti dengan judul gambar yang diletakkan di bawah gambar yang bersangkutan. Tabel diberi judul tabel yang diletakkan di atas tabel yang bersangkutan. Judul gambar dan judul tabel diberi nomor urut. Tabel yang ditampilkan tanpa garis vertikal, sedangkan garis horisontal hanya ditampilkan 3


garis horisontal utama yaitu 2 garis horisontal untuk item judul kolom dan garis penutup dari baris paling bawah. 10. Sistem penulisan kutipan/cuplikan suatu naskah atau literatur menggunakan style IEEE. 11. Daftar Pustaka ditulis dengan font size: 10 pt, dan disusun menurut abjad disertai penomoran dan jarak antara daftar pustaka adalah 6 pt. C. Pemuatan Artikel Artikel dikirimkan dalam bentuk rekaman (soft copy) dalam bentuk CD atau dapat juga dikirimkan lewat e-mail. Artikel diharapkan diketik dalam program Microsoft Word. Selain itu juga dilampirkan Data Pribadi Penyaji yang meliputi nama penulis (lengkap dengan gelar akademis), tempat dan tanggal lahir, instansi tempat bekerja, alamat korespondensi, alamat email, pendidikan, pengalaman penelitian dan publikasi. Proses review akan dilaksanakan oleh Dewan Redaksi dan/atau Mitra Bestari sehingga untuk kelancaran transfer file, sebaiknya pengiriman naskah dilakukan lewat e-mail. Korespondensi akan ditujukan kepada penulis pertama. Penulis harus segera memperbaiki artikel sesuai petunjuk reviewer. Redaksi berhak menolak artikel yang dikirim apabila tidak relevan dengan bidang matematika, tidak up to date atau sudah pernah dipublikasikan dalam majalah ilmiah lainnya. Artikel dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal CAUCHY Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No.50 Malang. Telp. : (0341) 558933 Fax. : (0341) 558933 E-mail : cauchy@uin-malang.ac.id



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.