jongArsitek 4.11

Page 1

jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i


“All architecture is shelter, all great architecture is the design of space that contains, cuddles, exalts, or stimulates the persons in that space� (Philip Johnson )


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

3

jongArsitek!

jongarsitek@gmail.com

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License

foto : Gravity


JongEDITORIAL! oleh : Danny Wicaksono

Tahun keempat dan sepanjang 2011 adalah tahun yang sibuk bagi jongArsitek!. 3 kuliah umum kelas dunia, satu pameran, dan rangkaian kolaborasi dengan beberapa sahabat kami dari komunitas-komunitas lain, mungkin bisa sedikit menggambarkan pikuk, hiruk kami di tahun ini.

gat bahagia dengan adanya kontribusi artikel dari Savina Nicolini, tentang satu arsitek perempuan dari Brazil yang berkebangsaan Italia, Lina Bo Bardi. Arsitek perempuan, yang jarang dibicarakan, dan sedikit sekali informasi tentangnya. Sejarah adalah hal yang sangat penting. Tidak mengetahuinya adalah hal yang merugikan bagi proses belajar. Sejarah arsitektur modern, dibentuk dan berputar diantara maskulinitas praktek kerja arsitek-arsitek pria. Seperti banyak yang lain, Lina Bo Bardi, adalah arsitek perempuan yang lupa untuk disebut dalam buku sejarah. Kami harap artikel tentangnya, yang ada di edisi ini, bisa menyadarkan kita, tentang banyaknya hal-hal di masa lalu, yang belum sempat kita ketahui.

Selamat membaca edisi khusus akhir tahun ini. Kini, seiring dengan tibanya Desember, Sampai berjumpa tahun depan. kami mencoba untuk melihat kembali, apa-apa saja yang telah kami lakukan di sepanjang tahun ini. Mengevaluasi, sekaligus sekali lagi belajar dari rangkaian kerja yang telah kami selesaikan tahun ini.

Kami bersyukur untuk hal ini.

Edisi jongArsitek! kali ini, bisa dilihat sebagai rekam jejak, rangkaian kerja kami di tahun 2011. Tulisan tentang pameran “Rumah-rumah Tanpa Pintu�, perjalanan kami ke Singapura, tulisan pemenang jongBerbagi! untuk kuliah umum Rem Koolhaas, adalah diantaranya. Beberapa artikel rekam jejak, ditambah dengan beberapa karya arsitek muda, dan artikel dari beberapa orang kontributor kami di dalam dan luar negeri, melengkapi edisi kompendium pertama jongArsitek!. Tanpa mengecilkan arti kontribusi dari para kontributor yang lain, namun diantara artikelartikel yang melengkapi edisi ini saya pribadi, san-


Kontributor

jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka cari langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya. Adam Angkawijaya Addina Amalia Adhy Wangsaatmadja Alice Shay Angga Rossi Asa Darmatriaji Erick Kristanto Bima Pritama Danny Wicaksono Delta Yogo Perdana Dita Kusumawardhani Ferdy Apriady Gravity team Khairunnisa Kautsar Mariska Pratimi Noerhadi Oktavina Q. Ayun Paskalis Khrisno Ayodyantoro Putri Kusumawardhani Rahmat Indriani Rikko Dian Putrawan Rofianisa Nurdin Salman Zahrawan Savina Nicolini Stephen Kennedy Talisa Dwiyani Raden Grenaldi


p4

j o n g E d i t o r i a l sambutan dari redaksi kita

p8

p14

j o n g R e p o r t a s e Surprise stove + park(ing) with keukenBDG

p38

p48

j o n g F o t o

j o n g K a

Harmonious Brotherhoo

p58

p18

j o n g R e p

Firm Foundation

p65

j o n g K a r y a

j o n g J e l a j a h Singapura

p44

Membangun Rumah adat Rateng

j o n g T u l i

Lina Bo Bardi : Design Glossary

j o n g B e r b a g i Rem Koolhaas

p68

j o n g K a Multiple Interactions foto : Gravity


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

p76

j o n g K a r y a Attic House

p84

j o n g K a r y a Menusantara House

p92

j o n g K a r y a Recuperate our city environment

p102

j o n g r e p o r t a s e

a r y a

Merengkuh Perspektif Baru lewat Rumah Rumah Tanpa Pintu

od

o r t a s e

ggaro membangun bangsa

y

p110 p118

j o n g K a r y a Borneo Forest Tower

j o n g P r o f i l s

Erick kristanto

p126

j o n g T u l i s

Interpretasi Arsitektur konstekstual dalam Ketiadaan Identitas

r y a

daftar isi


8


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

9

Khairunnisa Kautsar


10


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

11

Noerhadi


12


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

keukeunBDG x jongArsitek!

SurpriseStove + Park(ing) Paskalis Khrisno Ayodyantoro

13

[1]

Seperti siang pada musim panas biasanya, ya Siang ini sedang panas sekali, beberapa orang tampak lalu lalang menghindari teriknya matahari dibawah bayang toko toko kecil di sampingnya, terasa debu berterbangan dan kendaraan berhenti macet, sehingga menambah alasan bagi orang orang yang lalu lalang menjauh dari area panas tambahan dari kendaraan dan aspal merapat ke dinding dinding toko. Jalan cihampelas ini begitu kecil, utilitas jalan yang tidak lengkap dibuat dengan aspal sebesar 6 meter dan kemudian langsung trotoar sebesar 1 meter dan got menambah padatnya jalan. Jalanjalan kita kemudian menjadi faktor penambah urban heat island, menambah panasnya kota bahkan benua kita.


14

Komentar seorang ibu pada satu hari dengan kesal berkata, “jalan jalan ini semua ditempati oleh kendaraan bermotor, termasuk trotoar, kalau bukan warung tenda, motor dengan kurang ajar cari celah masuk trotoar karena jalan yang macet, lalu kemana kita mau jalan?� dan dengan terbiasa kalimat ini kemudian menjadi keseharian penduduk kota kita. Begitulah jalan jalan di bandung, Jakarta dan kota kota besar kita saat ini, seperti lupa oleh perencananya, jalan dengan lebar 7-8 meter seringkali habis hanya untuk aspal kendaraan bermotor, pohon-pohon dan pedestrian justru mengalah dengan kendaraan bermotor. Pohon bahkan kadang hidup tanpa resapan dan area yang cukup untuk berkembang, karena kadang tertutup aspal atau beton langsung. Urbanis, Charles Landry bahkan mengatakan dominasi kendaraan termasuk mobil membuat pengalaman indera kita didominasi oleh aspal dan metal, dan lebih lebih, pengalaman kita tak acuh terhadap detail landsekap kota, manusia enggan berinteraksi, kota kehilangan vibrasi dan kehidupannya. Masih ingat sosiolog, ibu Jane Jacobs dalam kritik pedasnya tentang kota kota Amerika, bahwa mobil mobil adalah musuh, penyebab dari kota yang sakit, ditambahkan olehnya jalan jalan yang di dominasi tempat parkir adalah instrumen yang nyata untuk menghancurkan kota


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

15

[2] Bandung pada tahun 2009 memiliki jalan raya sepanjang 1200 KM dalam kota, bayangkan dengan jumlah seperti itu bandung memiliki 45 juta kendaraan kecil dan 4.9 juta kendaraan besar didalam kota bandung. Belum lagi ditambah 60.000 kendaraan yang masuk kota bandung ketika akhir pekan. Jumlah kendaraan ini bila satu waktu turun ke jalan semua, maka dibutuhkan 24.500 KM jalan raya, atau setidaknya kita membutuhkan 9800 kali lagi Jembatan Pasupati untuk menampung kendaraan ini. (gatra)(seputar indonesia) Ada yang hilang ketika jalan jalan ini di buat, mereka dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan jumlah kendaraan, semakin tinggi jumlah kendaraan, semakin banyak juga dorongan orang untuk memiliki dan menggunakan kendaraan. Padahal dalam penggunaannya ruang ruang jalan ini seharusnya bisa menjadi ruang publik dan sosial kota kita. Kota menurut Richard Florida menjadi panggung aktifitas penduduknya, Kota juga menentukan pilihan kita untuk tinggal, sehingga kota yang terbuka dengan kreatifitas, kota dengan utilitas publik yang baik, akan meningkatkan ekonomi kotanya secara signifikan. Menurut Florida kemudian, mobil mobil belakangan ini menjadi tanda ketakutan dan hilangnya kepercayaan kita terhadap kota adalah masalah dasar dalam segitiga kebutuhan dasar kota –maslow yang harus di selesaikan.


Menurut Allan B. Jacobs, jalan jalan ini berfungsi sebagai interaksi sosial penduduknya, menciptakan ide ide kreatif, dan revolusi sosial bahkan jalan jalan tersebut merangsang penduduknya untuk beraktifitas dan berkegiatan bersama. Seperti dalam buku Great Streets-nya Allan Jacobs, ia menyebutkan jalan yang baik memiliki kualitas spasial yang baik, merangsang untuk beraktifitas urban dan bersosialisasi diatasnya [3] Dalam contoh kota kota dunia, kita bisa melihat bahwa jalan jalan pedestrian utama kini menjadi landmark suatu kota, Jalan pedestrian yang menjadi saksi sejarah di Barcelona, Las Ramblas, justru menjadi satu kawasan pejalan kaki yang mendefinisikan kotanya. Kita juga masih ingat jalan jalan utama di Mesir menjadi saksi dan tempat penting revolusi sosial yang terjadi di negaranya. Kota kota dunia kini bakan berlomba menciptakan jalan sebagai Placemaking, usaha meningkatkan kualitas kawasan baik sosial, dan ekonomi yang kini menjadi gerakan internasional. Dari Buchanan st. di Glasgow, Camden High st di Inggris, Jalan Orchard di Singapura, hingga Rue Mouffetard, dan Champs-Elysees di prancis yang berlomba meningkatkan kualitas pedestrian, melalui material jalan, aksesibilitasl, utilitas, dan kenyamanan pedestriannya, Bahkan jalan Strøget di Copenhagen yang konon memiliki pedestrian dan meja kopi terpanjang di dunia pada tahun 1976. Jalan jalan ini memiliki kualitas pedestrian terbaik, meningkatkan interaksi sosial dan menciptakan akitifitas kota yang positif. 16

Selain dari luar negeri kita boleh berbangga kita memiliki contoh yang baik di Solo, Jawa Tengah. Jalan Diponegoro sebagai koridor utama jalan dari Bangunan Puro Mangkunegaran yang dahulu dipenuhi oleh ruko ruko yang sebelumnya mepet dengan Jalan kini dibongkar dan menghasilkan pedestrian 6-8 meter disepanjang jalan. Dengan bertambahnya pedestrian ini, pada waktu waktu ini kita bisa menikmati kegiatan kegiatan budaya, interaksi sosial setiap malam dimana warga solo tanpa takut turun ke Jalan dan bersosialisasi di area ini. [4] Kita boleh bermimpi dalam skala yang lebih besar, dalam perencanaan kota, menghasilkan placemaking / ruang ruang aktif yang berhasil dalam kota kita, dari ruang publik seperti taman, hingga jalan raya dan pedestrian dan perbaikan fisik ruang jalan dan publik kita. Semakin banyak kesadaran dan usaha pemerintah bersama masyarakat menciptakan ruang ruang terbuka yang semakin terbatas dalam kota kita. Dari penghentian ijin pompa bensin umum dan mengembalikan fungsi taman taman di Surabaya dan jakarta, pelebaran pedestrian di jalan Sudirman Thamrin di jakarta, hingga penutupan area jalan kendaraan bermotor sementara untuk pedestrian semacam car free day di solo, Surabaya, Bandung, jakarta dan di ikuti kota kota lain di Indonesia saat ini. Masih banyak tugas kita bersama dengan pemerintah dan desainer kota memperbaiki infrastruktur kota, memberikan aktifitas positif dalam ruang publik. Beberapa usaha bahkan bisa dimulai dari penduduknya tanpa harus menunggu perencanaan panjang untuk meningkatkan kualitas ruang publik dan jalan kita. Komunitas dan penduduk adalah aset terpenting dalam kota kita, dari merekalah Negara dan kota berkembang, dan di Indonesialah komunitas menjadi contoh bagi Negara lain, dimana komunitas secara aktif berkembang menyumbangkan sumbangsih bagi Negara dan kotanya.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

17

Salah satu usaha yang dilakukan oleh teman-teman di bandung adalah KeukenBDG, dengan moto mereka spice of space, mereka melakukan gerilya menempati ruang ruang jalan dan publik, mengundang komunitas lokal untuk menjadi koki dan memasak kemudian membagi secara gratis, salah satu usaha mengembalikan pada publik ruang ruang yang menjadi komoditas pasar. Sudah beberapa kali SurpriseStove mereka adakan, dari jalan di Dago, hingga ruang parkir di jalan Braga, dalam beberapa kali kami jongArsitek! turut serta dalam kegiatan ini bersama melambatkan waktu kita, yang terkadang terlalu cepat hanyut dalam pekerjaan dan dorongan kapital saat ini. Menciptakan dan menikmati ruang publik adalah cara untuk memiliki waktu refleksi, waktu untuk menaikkan nilai bertemu dengan orang lain, membuat pertemanan, dan berinteraksi dengan kota kita. Sebelum kita menunggu transportasi publik dan ruang publik yang bertambah baik, tidak ada salahnya kita memulai dari diri kita untuk memberi sumbangsih, merebut ruang publik kembali dan kampanye hidup berkota yang baik. Seperti kata kami bersama, “we always complain about the chaotic of the city. let’s put it simply and take a break of that. Just come and join us to celebrate the city� mari berjalan dan berinteraksi.


Firm Foundation decreasing Vulnerability with selF-reliant urban design For riVerFront housing in Banjarmasin, indonesia

FoRTIFICATIoN oF RIVER ECoLoGY

18

INFRASTR FoR PU HEA


RUCTURE UBLIC ALTH

jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i addina amalia

Universitas sebelas maret, bs arch

bima Pritama

Universitas sebelas maret, bs arch

stephen Kennedy

massachusetts institute of Technology, mcp

alice shay

massachusetts institute of Technology, mcp

PHYSICAL STABILITY FoR WATERFRoNT PRoGRAMMING

19


the city of 1000 rivers: banjarmasin is und turbulent changes, the city needs a firm fo Banjarmasin sits at the southern tip of Borneo,

Banjarmasin is currently undergoing many large-

where the Barito river empties into the java sea. it

scale physical, economic and environmental trans-

is the self-proclaimed City of 1000 rivers. al-

formations. declining industrial production has left

though the actual number of rivers falls short of

behind a legacy of contamination and ecological

the thousand declared, it quickly becomes clear

damage on the river’s edge. Banjarmasin is growing

just how integral the river system is to the daily life

but the city cannot keep up with this urbanization.

of its citizens. more than 150 km of rivers, canals,

many communities live without utilities and basic

and tributaries course through the city. The water

infrastructure. The city’s tidal levels are rapidly

is used daily for transport, cleaning, bathing, trade,

rising due to climate change. residents battle with

recreation, production, and fishing.

the waters everyday to maintain their wood-built

O utdoor W/C

homes and livelihoods.

Raised Pat h

B ridge - O nly Access

Porch to B oardwalk

20

TRIBUTARY

CANAL

MARTAP

A

slum HousinG

C

dutCH arCHiteCture

B

PubliC HousinG

D

transit & trade boats

E

lumber industry

F

new riverfront walk

G

rubber faCtory

B

C

E A

D


jongArsitek! E dijongArsitek! si 4. 11 ( kEom di si pi l3. a si 3, 22001110) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

dergoing oundation.

Kalimantan rainforest lumber is an almost extinguished resource. stone (granite and andesit) is plentiful.

Firm Foundation reduces physical vulnerability and enables endogenous development of the urban riverfront communities with a flexible kit of parts of gabion foundations. The project engages communities towards stewardship of their neighborhoods and waterways with a participatory design process. Firm Foundation provides a stable ground for the urban poor in banjarmasin, reinforcing the livelihoods and cultural identity of the riverfront communities.

resources of Kalimantan rainForest (1950) rainForest (Today) andesit

PUR A

s

k

granite

BANJARMASIN THE CITY’S

H

bird’s nest HarvestinG

I

waterfront restaurant

J

mosque

K

waterfront market

TURNING TIDES

J

G

H

F

I

K



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

23


24


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

25


26

unstable building construction

water quality: trash & Pollution

sanitation & Public health

The urban poor are skillful at building homes over the water. However, homes are vulnerable due to a lack of high-quality materials or infrastructure and the constant need to raise homes because of flooding. during the dry season, fires ravage the wooden structures.

The rivers have been contaminated by industrial pollution, build-up of urban waste and the elimination of a healthy river ecology.

The urban poor are surrounded by rivers but lack access to potable water. recent public health outbreaks are caused by waterborne bacteria. The city has no comprehensive utility system to reach the riverfront urban poor.

indUsTry & HoUseHolds prodUCe WasTe aT a raTe oF

300

tons / day

BUT THe CiTy only Has THe garBage managemenT CapaCiTy To Bring To THe landFill

180

tons / day

reCenT oUTBreaKs

e.coli & cholera

WHere does THe resT go? the water.

Troubled Waters

the city’s so quicK wins.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

erosion & sedimentation The river embankments have eroded, increasing the number of homes over water. at the same time, the number of rivers has decreased from 72 to 61 in the last 5 years due to sedimentation and build-up of urban wastes. Channelization disrupts river’s natural self-regulation. rivers lost in tHe last five years

Flooding & rising tides

damaged riVer ecology

Climate change and sedimentation have caused rising water levels across the city. during the rainy season, the city’s estuaries, canals and municipal drainage are overloaded, flooding whole neighborhoods. The lack of adequate drainage infrastructure exacerbates public health issues and degrades built structures..

Water hyacinth has taken over the waterways. The plant, which thrives in polluted water bodies because it has a high capacity for uptake of heavy metals, will starve the water of oxygen and kill fish populations. However, hyacinth can be used to remediate contaminated water and harvested as a valuable ingredient for fertilizer.

olutions to these systemic Problems are only . banjarmasin needs solid, longer-term strategies.

27


sMall tribUtary kaMpUNg

1

Small-scale industry mixed amongst housing along river. Residential structures built far over the water. dUtch caNal kaMpUNg

2

Waterway lined with wooden bridges and small boat docks. Entirely disconnected from services by canal. boats are used as transportation while connections to land are haphazard and jerry-rigged. Need for intermodal connections.

traditiONal kaMpUNg

3

Well preserved tradtional housing style on Martapura. Strong sense of community, but low quality of public realm.

2

MartapUra kaMpUNg

28

4

Boardwalk functions as the main thoroughfare. Businesses draw customers from downriver.

city land uses

slum housing residential

Utilities hang from boardwalks or float in the water. Need for formally organized utility system.

residential Within 200 M of WatERWay waterway commercial green open space industrial agriculture

52%

of residential areas are within a 2.5 minute walk of waterways.

200 m

1


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

waterfront housing

urban analysis: neighborhood typologies

Waste collects between houses under boardwalks. Opportunity to develop aquatic courtyards to strengthen quality of public realm.

3 4

Must raise / reconstruct their boardwalks regularly. Floods every couple weeks. Need for improved boardwalks and structures to support informal businesses. 29

Over 52% of Banjaris live within a 2.5 minute walk of a river or canal, but every neighborhood has a different relationship with the water.


30


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

31


32


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

33


comPetition as camPaign: Firm Foundation will be implemented by t riverfront residents themselves. urban des can be a learning tool for neighborhood planning and urban water issues. campaign

34

public campaign to increase awareness of urban design opportunities and competition. partnership between sKK, local government and neighborhood associations to disseminate information about urban water issues and the competition.

charrette

1

sKK and the student designers will lead participatory design session, working with residents to develop site plans for their neighborhoods. The Firm Foundation kit of parts will be applied to the neighborhood sites according to findings from the fieldwork and stakeholder interviews.

4


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

a Pedagogical aPProach with solo Kota Kita

the sign

solo Kota Kita (sKK) is an nGo tHat foCuses on PartiCiPatory urban PlanninG, desiGn, and develoPment ProjeCts. skk’s aPProaCH is HiGHly inClusive of Communities wHere tHey work. tHey believe in HelPinG Citizens and offiCials alike understand tHe ComPlexities of tHe built environment so tHey Can better take on tHe Problems and oPPortunities tHat Come witH ramPant urbanization.

workshop Workshops organized by sKK to explain urban water issues, urban design methodologies and competition process. These facilitated sessions will engage neighborhoods with the strategic vision of the project and identity opportunities for project sites.

2 competition The site plans created from the community design sessions will be shared during a public campaign and meetings organized by sKK in collaboration with local government. Winning neighborhood plans will determine the first phase of implementation.

5

Fieldwork Community members will be trained by sKK and student designers to complete on-site fieldwork and stakeholder interviews. This research will refine identified needs and opportunities for the participatory design process.

35

3


city challenge

Fir

imPlementation through the comPetition method vulnerability is decreased when people can improve their own built environment. daily battles can be transformed into everyday advantages. Phases

YEAR 1

poliCy WriTTen FUnding apparaTUs engineering ConsUlTaTion

YEAR 2

city adoPtion Project

CiTy-Wide Campaign neigHBorHood WorKsHops FieldWorK & inTervieWs CollaBoraTive design CHarreTTe CiTy-Wide CompeTiTion ConsTrUCTion doCUmenTs maTerials soUrCed

36

CollaBoraTive ConsTrUCTion inFrasTrUCTUre sysTem inTermodal ConneCTions pUBliC programming WeTlands ConsTrUCTed managemenT & sTeWardsHip evalUaTion oF FirsT pHase FUnding For FUTUre pHases

ma


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

rm Foundation gabions Can Be easily ConsTrUCTed WiTHoUT THe Use oF Heavy maCHinery By CommUniTy memBers THemselves.

YEAR 3

n oF gaBions arrive on

Pedagogical imPlementation: comPetition as camPaign

anagement oF Future Phases

siTe parTially assemBled in FlaT paCK FormaT WiTH laCing Wire

construction oF base structure

and loCKing pins For permanenT ConneCTions.

Programming imPlementation

37


jongJelajah! Singapura

Putri Kusumawardhani

38

Sebuah perjalanan dapat membantu seorang arsitek membuka wawasan dan memperluas hubungan. Perjalanan jongArsitek! selalu dimulai dari undangan komunitas lain untuk mengambil bagian dalam acara diskusi yang mereka selenggarakan. Setelah sebelumnya undangan datang dari Surabaya, kali ini undangan berasal dari rekan-rekan jongArsitek! di Singapura. Perjalanan kami berlangsung dari tanggal 13 sampai 17 Juli 2011, tidak hanya untuk mengikuti diskusi, namun jadwal perjalanan tersebut juga diisi dengan ekskursi ke beberapa objek arsitektur. Beberapa kawan kami di jongArsitek! Singapura membantu penyusunan jadwal ekskursi dan proses ijin kunjungan ke bangunan. *** Perjalanan tersebut dimulai dari hari Rabu, 13 Juli 2011 Siang itu terik sekali di Singapura, setalah mendarat dan menaruh barang-barang kami di rumah salah satu jongArsitek! Singapura, kami segera bertolak untuk memulai perjalanan hari pertama. Hari ini dimulai dengan mengunjungi Tokio Marine Tower, letaknya berada ditengah CBD Singapur, di salah satu sudut perempatan jalan utamanya. Tokio Marine dibangun dengan mengikuti guidelines kota Singapura yang terbaru, menjadikannya memiliki ruang terbuka di lantai satu dan sebuah dek di lantai dua yang kelak dapat menerima jembatan pejalan kaki penghubung antara gedung. CSYA, biro arsitek yang mendesain Tokio Marine mengirim beberapa teman untuk menemani kami berkeliling gedung. Ditemani salah oleh seorang arsitek CSYA berarti kami dapat mengakses ruangan-ruangan di Tokio Marine, salah satunya adalah ruang hall outdoor di lantai atas yang memiliki pemandangan CBD kota Singapura, tempat parkir mobil otomatis dan ruangan kantor. Kini pembangunan kian menggiat di Singapura, dan rumah susun Duxton Pinacle adalah salah


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

satunya. Bangunan rumah susun yang didesain oleh ARC Studio Architecture + Urbanism, memiliki bentuk bangunan yang mudah dikenali dari beberapa arah pandang selain karena ketinggian bangunannya juga karena keberadaan taman gantung penghubung antar bangunan di lantai 26 dan lantai 50. Salah satu teman mengatakan bangunan tersebut terkenal dikalangan arsitek karena pemenang sayembaranya mengalahkan beberapa arsitek terkenal singapura. Kantor URA menjadi rute berikutnya, disana kami berkesempatan untuk mengunjungi pameran karya Richard Rogers sebelum akhirnya mengunjungi SOTA, sekolah seni Singapura yang baru saja selesai dibangun. Pamerannya berisi proyek-proyek yang telah dihasilkan Richard Rogers mulai dari bangunan sampai dengan proyek masterplan. Yang menarik dari pameran ini, selain menampilkan maket dan informasi proyek, terdapat booth tempat duduk yang dilengkapi dengan koleksi buku biografi dan proyek mengenai Richard Rogers dari beberapa penerbit. Menjelang sore kami bergerak menuju SOTA, school of the Arts, bangunannya mengundang dengan plaza terbuka di area pintu masuk. Satu yang kurang menyenangkan adalah bentuk ramp yang terputus-putus dan berkelok-kelok. Kegiatan selanjutnya adalah diskusi Fivefootway di Selegie, Night and Day Bar. Selegie bar dipenuhi oleh pengunjung Fivefootway, beberapa rekan dari Indonesia yang bekerja di Singapur tampak hadir disini. Suasana hiruk-pikuk pengunjung bergantian dengan pembicara yang sedang membawakan presentasi, beberapa orang berdiri, dan sebagian lainnya duduk berdempetan mewarnai ruang diskusi. Diskusi ini merupakan jadwal utama jongArsitek! pada hari Rabu. Empat orang dari jongArsitek! menampilkan presentasi dengan topik yang berbeda-beda, Danny Wicaksono
memberikan presentasi awal mengenai jongArsitek! dan beberapa eksplorasi desain yang telah dilakukannya, Paskalis Khrisno Ayodyantoro
menampilkan presentasi mengenai arsitektur tradisional yang sedang dikerjakan oleh kantornya dan beberapa komunitas yang diikutinya, Artiandi Akbar
berbicara mengenai proyek arsitektur, desain dan branding yang berkaitan satu sama lain, dan terakhir Wiyoga Nurdiansyah dari SUB
Architect yang menjelaskan mengenai proyek-proyek SUB. Ambiance muda bergelora malam ini, pencapaian para pembicara pada pekerjaannya masing-masing memang selalu menggugah semangat berkarya setiap menitnya. ***

39


Kamis, 14 Juli 2011 Kami berkesempatan menemui Prof. Johanes Widodo di NUS untuk berdiskusi dan melakukan tur keliling di fakultas Arsitektur NUS. Diskusi pagi ini lebih memberikan perhatian pada dunia akademis arsitektur. Sertifikasi profesi arsitek, jenis pemilihan materi kuliah, pembentukan kualitas di mata kuliah studio, kegiatan-kegiatan tambahan arsitektur diluar perkuliahan, menjadi beberapa isu yang didiskusikan. Dunia akademis arsitektur memang berkaitan dengan dunia keprofesian, pertanyaan mendasarnya “arsitek seperti apakah yang akan dihasilkan?�. Setelah berdiskusi, kami berkesempatan untuk berkeliling kampus melihat ruang-ruang kelas, beberapa alat-alat pembuatan maket dan juga hasil karya studio para mahasiswa. Fasilitas disini memang sudah cukup jauh berkembang dari apa yang kita miliki di Indonesia, tapi rasanya kita tidak perlu menyayangkan hal tersebut. Fasilitas tersebut memang dimaksudkan untuk mendorong para mahasiswa NUS untuk mencapai level mendesain yang lebih baik. Namun pencapaian akademis di kampus dapat terus berkembang tidak hanya dengan bantuan fasilitas kampus saja, melainkan juga dengan mengikuti kegiatan-kegiatan workshop diluar kampus. Di Indonesia, akhir-akhir ini kegiatan arsitektur kian marak, sehingga rasanya akan membantu geliat penyebaran wawasan arsitektur kita. Dan mungkin jongArsitek! akan berkesempatan membuat jongBerbagi! selanjutnya.

40

Dari kampus NUS kami bertolak menuju Replubic Poly untuk melanjutkan rute perjalanan di hari kedua. Replubic Poly merupakan sekolah politeknik yang didesain oleh Fumihiko Maki dan DP architect, desainnya formal rapi seperti sekolah pada umumnya namun ambience di ruangannya tidak seformal ruang sekolah pada umumnya. Ketika memasuki area kampus, kami merasakan suasana ruang publik yang cukup mengundang dengan adanya area plaza di bagian depan yang bersebelahan dengan area komersial kampus. Bangunannya pun menawarkan suasana yang santai dengan beberapa area terbuka, area ruang duduk, serta area belajar mahasiswa. Ruang dalamnya luas, menyenangkan dan tidak seperti berada di kampus, berbeda dengan kampus-kampus Indonesia dimana ruang-ruangnya yang luas dan megah hanya ditunjukkan untuk area entrance dan rektorat. Ruang-ruang di kampus ini memang milik mahasiswa. Di perjalanan menuju objek selanjutnya, rumah sakit Koo Tech Puat, kami mampir ke Mesjid Assyafaah. Mesjid Assyafaah tampil dengan gaya modern di daerah sub-urban yang masih minim bangunan. Dibangun oleh Forum Architect, mesjid ini memberikan ambiance ruang salat utama yang menarik hanya dengan permainan cahaya. Koo Tech Puat adalah rumah sakit yang memiliki suasana berbeda dengan rumah sakit pada umumnya. Ketika memasuki bangunan, ambience ruangan publik rumah sakit sama ketika kita memasuki ruangan publik sebuah mall atau bangunan umum lainnya. Bukan desain yang ‘nyeleneh’, tapi desain yang mempertanyakan kembali ambiance rumah sakit masa kini. Karena menarik sekali ketika ambience seperti itu diterapkan di sebuah rumah sakit, tentunya proses penyembuhan menjadi lebih cepat dan menyenangkan bagi para pasien. Kunjungan terakhir adalah Marina Bay Sands, another new landmark building in Singapore, especially for Marina Bay. Bentuk bangunan hotelnya menambah city skyline di Marina Bay dan menjadikan Marina Bay memiliki pemandangan istimewa sepanjang 360 derajat. Malam itu beberapa dari kami berkesempatan untuk naik ke Sands SkyPark menggunakan akses kamar kawan jongArsitek!, Bu Mike, salah satu dosen Trisakti yang kebetulan sedang berada di sana. Sands SkyPark memberikan pemandangan kota Singapur yang dapat dinikmati dengan berbagai aktivitas, kolam renang, restoran, dan bar. Pemandangan kota, citylights, kini menjadi jenis wisata yang diminati masyarakat dan memiliki potensi pasar. ***


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

41

Jumat, 15 Juli 2011 Perjalanan hari ini diselingi oleh beberapa kunjungan bebas atau bahasa umumnya adalah waktu belanja. Kami berpencar di hari ini, beberapa menuju IKEA, beberapa lagi menuju Orchard dan beberapa lainnya membuat rute liburan sendiri namun rute terakhir kami sama, menelusuri Marina Bay area sampai Clarke Quey. Bisa dibilang ini juga ekskursi lain kami, karena berkeliling kawasan tersebut berarti mencicipi urban desain kota Singapur. Setiap memandang, street furniture terhampar dimana-mana. Bisa berupa bangku taman, pot tanaman, lampu taman, bahkan patung ataupun instalasi seni lainnya. ***


Sabtu, 16 Juli 2011 Pagi ini kami mampir ke National Singapore Museum sebelum akhirnya menuju hotel Fort Canning. Fort Canning Hotel merupakan bangunan pemugaran yang dikerjakan oleh DP Architect. Beberapa ruang di hotel tersebut didesain ulang agar sesuai dengan standar kamar hotel di Singapur. Tentunya ditemani oleh salah seorang arsitek dari DP Architect sehingga kami dapat mengintip jenis-jenis kamar di hotel tersebut. Jadwal diskusi terakhir jongArsitek akan berlangsung pada siang ini. Diskusi dengan SIA dengan judul Rubanism and Urbanism: Architecture’s Challange of Our Time bertempat di kantor SIA. Beberapa arsitek telah berkumpul untuk mendengarkan diskusi yang dipimpin oleh Prof. Tay Kheng Soon, suasana diskusi kali ini lebih formal, yang datang lebih banyak arsitek senior. Semua peserta diskusi diharapkan untuk menyampaikan pemikirannya tentang perkembangan kota di Asia, khususnya Asia Tenggara. (Cuplikan bahan diskusi dapat dilihat pada notes jongJelajah! with SIA, Debate on : New Asian Architecture Beyond Catch Up (ketchup)) Pada diskusi tersebut di-setting kelompok pro dan kontra, sehingga suasana lebih hidup dan menegangkan bahkan beberapa orang tampak bersikuku karena perbedaan sudut pandang. Namun ketegangan berangsur mereda ketika diskusi telah mencapai sesi kesimpulan, beberapa kesepakatan dibuat dan jalan tengah menjadi jawaban dari pendapat-pendapat pro dan kontra.

42

Ketika keluar dari kantor SIA, matahari sore menyambut kami, tidak seterik pagi tadi ketika kami berjalan menuju sana. Sore ini acara bebas terakhir kami di Singapura, beberapa orang menuju tempat makan untuk menghilangkan letih sehabis diskusi, yang lainnya menghilangkan letih dengan berjalan menuju pusat-pusat perbelanjaan. Dan diakhiri dengan bertemu kembali di Marina Bay area, duduk-duduk di malam minggu, disuguhi dengan pemandangan orang-orang yang berseliweran, ditemani alunan musik dari arah Marina Bay Ampiteater. Kami akhirnya memutuskan untuk melewati Double Helix Bridge, arah pemandangan yang berbeda dari atas jembatan ini. Lelah, letih malam ini ditutup dengan memandang Marina Bay. Rupanya Marina Bay tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi saja, untunglah, jadi kami tidak bosan malam ini. *** Minggu, 17 Juli 2011, pulang. Bertemu dengan desainer-desainer lain memang menambah wawasan kami, namun bukan itu alasan dibalik perjalanan ini. Kami ingin berbagi, menularkan apa yang kami kerjakan selama ini, mengelorakan semangat berkarya. Desain kelak menjadi sumbangsih kita atas solusi dari masalah-masalah yang terjadi di sekitar kita karena dengan terus berkarya maka lingkungan binaan ini akan terus terjaga kelangsungannya. Beberapa jongArsitek! Singapur melepas kepulangan kami di bandara. Hari ini kami pulang, Apa yang kami bawa? Berbekal bahan-bahan diskusi, sharing pemikiran dan oleh-oleh, kami berjalan mantap memasuki pintu pesawat terbang tujuan Singapura-Jakarta. Desain menginspirasi!

Putri Kusumawardhani


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

43


Rem Koolhaas dan Dunia Akademis Arsitektur Indonesia Delta Yogo Perdana

44

Sekitar tiga setengah tahun lalu, ketika saya duduk ditahun pertama di sekolah arsitektur di Surabaya prinsip-prinsip order dari arsitektur klasik yang digunakan seperti unity, harmony, dan balance untuk menghasilkan produk yang estetis. Hal ini seolah menjadi pegangan utama dalam studio perancangan arsitektur. Masalah mulai timbul ketika mahasiswa mulai terjebak dengan pemahaman yang setengah-tengah. Keterbukaan arus informasi tak begitu dimanfaatkan untuk memperdalam prinsip-prinsip desain yang diajarkan. Keterbatasan kosa kata desain dan pemahaman makna estetetika membuat kebanyakan mahasiswa hanya berkutat pada konsep desain yang terkesan dipaksakan, tanpa ada argumen yang kuat akan desainnya. Tidak jelas apakah saat ini terjadi ketidakserasian antara kuliah asas dan metodelogi perancangan yang diberikan di sekolah arsitektur saya dengan preseden yang diangkat mahasiswa di studio perancangan yang menghasilkan pemikiran-pemikiran mahasiswa yang tanggung. Kebanyakan mahasiswa, termasuk saya, pada akhirnya terjebak dalam mata rantai kebingungan. Asas dan metodelogi perancangan yang berjalan lambat dan tertinggal jaman disandingkan dengan preseden arsitektur-arsitektur top dunia yang selalu berkembang pesat. Mahasiswa berada pada perangkap keseragaman konsep yang terorganisir dengan aturan-aturan bakunya, berorientasi pasar, pengikut tren belaka dan pemaknaan-pemaknaan yang dipaksakan.


jongArsitek! jongArsitek! E di si 4. 11E(di k om si 4. pi11 l a si( 22001111)) || ddeessaain in m meennggin inssppiriraassi i

Rem Koolhaas dan OMA-nya, beserta beberapa jebolan OMA seperti Gigon Guyer, Bjarke Ingels, Sauerbruch & Huton, Winy Maas dan Jacob van Rijs menjadi favorit di sekolah saya. Berawal dari kepopuleran nama OMA dan keterputusasaan saya di studio perancangan, saya mulai berkenalan lebih jauh dengan Rem Koolhaas melalui buku-buku perpustakaan dan internet. Saya bukan mahasiswa cerdas yang mampu mencerna tulisan-tulisan Rem Koolhaas atau menghayati video-video ceramahnya diinternet dalam sekejap. Butuh proses yang sampai saat ini pun belum selesai untuk menghayatinya. Koolhas tak menempatkan estetika dalam prioritas utama ketika ia berasritektur. Tentu hal ini amat membingungkan saya. Ia seolah mencari kebenaran yang diolah melalui program dan konsep. Estetika diatasi melalui program dan konsep. Saya kembali kepada tugas studio saya di sekolah arsitektur, menguraikan kembali kerangkakerangka estetetika. Seakan merasa dunia tak adil bahwa karya arsitektur Rem Koolhaas yang jika ditilik dalam kerangka-kerangka arsitektur, tak bisa diterima oleh hukum estetika itu tadi. Tak adilnya Rem Koolhaas justru dikenal dan diakui dunia sebagai arsitektur top. Untuk menikmati arsitektur Rem koolhaas sepertinya saya harus mengeluarkan seluruh isi otak saya ke atas meja, memilahnya dan membuang jauh-jauh konsep estetika lama yang diajarkan di sekolah saya dan mendekam terlalu lama diotak. Setelah otak saya kosong dari teori estetika itu, barulah indra saya boleh merasakan arsitektur Rem Koolhaas yang ternyata menakjubkan, entah itu karena proporsinya, materialnya atau bentuknya yang tak logis. Sampai sejauh ini mahasiswa terkesan menjauhi data-data, entah itu berupa diagram, grafik atau hal lainnya. Seharusnya dengan mengambil preseden karya-karya Rem Koolhaas, data dan diagram menjadi hal yang penting. Data dan diagram memberikan kesempatan kepada mahasiswa menjadikan arsitekturnya unik, karena memang sesungguhnya tak pernah ada arsitektur yanng identik sama. Teknik ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasikan konsepnya dan kegiatan studio menjadi lebih menarik (process-oriented). Hal ini seperti yang diyakini oleh Rem Koolhaas bahwa proses itu di atas segalanya bagi arsitek. Diagram harusnya mampu membangkitakan ide dan menghasilkan inspirasi yang baik. Pendekatan seperti ini mungkin terdengar terlalu mekanik, tetapi mungkin mampu menghasilkan konsep yang lebih rasional dibandingkan metode metafora yang banyak dipakai mahasiswa. Arsitektur Koolhaas dikatakan berhasil dengan menggunakan teropong konsep dan program, tentu tak lepas dari diagram-diagram. Aktivitas seharusnya diatur dan itu terjadi. Kunsthal adalah karya Rem Koolhaas yang sederhana dan kurang populer di kalangan mahasiswa jika dibandingkan CCTV. Dibalik kesederhanaannya sarat akan program. Sebagai bangunan tempat pameran seni tak menjadikan Koolhaas membuatnya menjadi heboh seperti yang dilakukan Frank Gehry, Frank Lloyd dan arsitek-arsitek lainnya pada proyek bangunan seni. Ruang dan aktivitas terlihat tepat dengan pola pergerakan dari taman membelah bangunan melalui ramp dan menciptakan kantong-kantong aktivitas yang aktif pada bangunan itu sendiri. Selain konsep continous circuit, tentu signange-nya yang menarik perhatianlah yang menarik dari bangunan ini. Itu luar biasanya Koolhaas, detail yang sering terlupakan mahasiswa seperti signage pun diperhatikan. Dengan melihat apa yang Koolhaas lakukan pada Kunsthal seharusnya mampu memperkaya mahasiswa dalam proses desain.

45


46


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

47

Saya tak yakin dengan pernah tinggalnya Rem Koolhaas di Indonesia membawa pengaruh yang besar bagi pemikiran arsitekturnya. Rem Koolhaas jelas merupakan produk arsitektur barat dengan pola pikir baratnya, walaupun beberapa proyeknya dilakukan di Asia. Menjadi pertanyaan besar adalah pantaskah pemikiran Rem Koolhaas disebarkan begitu saja kepada mahasiswamahasiswa Indonesia. Kita memiliki kekayaan arsitektur dari nenek moyang. Arsitektur nusantara namanya. Produk kita adalah arsitektur kayu, jauh berbeda dengan nenek moyang Rem Koolhaas yang memiliki produk arsitektur batu. Di salah satu kuliah umumnya, Profesor Josef Prijotomo mengatakan bahwa arsitektur tradisional telah mati dan tak perlu dibangkitkan kembali. Kita hidup di jaman baru yang seharusnya tak mengkotak-kotakkan sesuatu menurut teritori polistis dan penamaan belaka. Tak ada yang melarang rumah Gadang di bangun di Papua dan rumah Bali di bangun di Madura. Tak ada yang melarang bahwa rumah Joglo diberi ukiran batik khas Dayak. Lalu kenapa kita harus takut jika pemikiran Rem Koolhaas masuk dan meracuni para mahasiswa arsitektur Indonesia. Ini sama seperti kenapa para mahasiswa arsitektur terlena dengan pemikiran Vitruvius padahal kalau mau kita memiliki Wastu Citra. Pada akhirnya kehadiran Rem Koolhaas patut disikapi serius di dunia akademis. Terlepas dari apakah yang dilakukan oleh Rem Koolhaas adalah yang terbaik bagi dunia arsitektur tak terlalu menjadi soal. Bukankah arsitektur itu sendiri sangat dinamis, dimana pembaruan akan selalu hadir.


Pasar Stasiun Duri

HARMONIOUS BROTHERHOOD

Talisa Dwiyani

48

Pemilihan site ini tergolong unik karena melewati serangkaian proses yang pada mulanya tidak saya sadari. Site ini terletak pada Stasiun Duri di daerah Jakarta Barat. Sedikit cerita, rumah yang terletak di daerah Tangerang dan kampus yang terletak di daerah Depok, membuat saya di setiap hari Senin harus melaju dengan sebuah kereta commuter line jurusan Depok sebagai akhir dari perjalanan. Kereta yang melewati hampir lebih dari 12 stasiun ini salah satunya melewati Stasiun Duri. Ingat jelas di benak saya, pertama kali melewati stasiun ini cukup membuat saya tercengang. Bagaimana tidak karena pada saat kereta melintas, kereta seakan-akan menabrak sebuah pasar di depannya dan seakan menggilas semua barang dagangan yang berada disekitarnya. Bangunan stasiun yang wajar terlihat di stasiun lain, begitu berbeda disini tertutup aktivitas pasar yang menonjol. Lebih uniknya lagi, saat kereta datang, dagangan mereka untuk sementara waktu berada tepat persis di bawah kereta; celah yang ada antara rel dan bagian bawah kereta. Sayursayur dan buah aman, tidak rusak meski seakan terkangkangi oleh rangkaian gerbong kereta.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

49

Dari sepenggal cerita tersebut, terbesit ide apakah mungkin untuk mengintegrasikan sebuah pasar tumpah bagi masyarakat sekitar dan kehidupan pedagang ke depannya maupun stasiun bagi kereta dan kesejahteraan penumpangnya. Selama ini, bangunan stasiun yang ada terutama pada jalur Tangerang hingga Depok layaknya sebuah ‘template’ atau cetakan yg seragam. Bentuk dan rupa stasiun tidaklah jauh berbeda apapun itu karakter tempatnya. Intervensi desain arsitektur yang saya ajukan dalam sayembara kali ini, berdasarkan pada isu sosial yang seringkali kita temui mungkin tidak hanya di Stasiun Duri. Penggusuran bukanlah langkah yang tepat, relokasi yang seringkali ditolak warga dapat juga berujung pada kekerasan dan masalah lain sebagainya. Oleh karena itulah, desain ini dibuat untuk mengintegrasikan sebuah pasar tumpah tradisional dan peran lainnya sebagai sebuah stasiun. Menjadikan Pasar Duri dan Stasiun Duri sebagai sebuah kesatuan yakni Pasar Stasiun Duri.


50

Analisa site dilakukan dengan terlibat langsung ke lapangan, Kawasan sekitar stasiun tergolong area padat penghuni dengan tingkat ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Hunian mereka yang padat menjadikan tiap-tiap area kosong disekitarnya selalu dimanfaatkan termasuk area kosong di sekitar stasiun yang kini menjadi sebuah pasar tumpah. Stasiun memiliki empat jalur kereta, dua diantaranya di bagian paling Barat dan Timur sudah tidak lagi dipergunakan meski dua rel di tengah masih aktif. Hal ini pula yang membuat area stasiun terkesan lapang dibandingkan dengan ruang gerak mereka keseharian. Hingga pada akhirnya, kawasan ini disulap dengan kemunculan satu per satu pedagang baik itu sayuran, buah, daging dan ikan, serta perkakas rumah tangga lainnya. Semua pedagang mencari posisi strategisnya masing-masing, menjadikannya sebagai keseharian mereka hingga pada akhirnya menjadi satu-satunya tumpuan bagi pencarian nafkah keluarga,


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

51

Persoalan ini bukan sekedar persoalan yang mudah diselesaikan. Begitu banyak elemen yang terlibat dan tak sedikit yang memang benar-benar menggantungkan hidupnya pada perekonomian pasar ini. Pasar ini menghidupi dan mempermudah banyak orang, namun lokasinya yang berada bukan lagi persis di dekat stasiun tetapi terletak persis di perlintasan rel kereta apilah yang perlu pemecahan masalah. Pasar ini telah membentuk system. Pada dasarnya pasar adalah sebuah bentukan dari interaksi yang tercipta menjadi cerminan terhadap keadaan sosial di sekitarnya, terhadap lingkungan dan juga struktur sosial yang berlaku serta hubungan keruangan yang ada.


52

Melihat pada refrensi yang saya bagi dalam dua kategori yakni refrensi yang terkait dengan infrastruktur dan pasar. Dalam sebuah refrensi yang ditemukan untuk kategori pasar, konsep dari Artist’s Colony Market oleh Atelier Architects dapat menginspirasi penyelesaian masalah di lokasi ini. Desain ini berusaha menciptakan ruang yang habitable bagi berlangsungnya kegiatan pasar yang dijumpai pada gang kecil, yang dikenal dengan pop up market dan dinilai illegal. Perancang memahami sebuah pasar merupakan cermin dari komunitas setempat, memperlihatkan keacakan, namun di waktu yang sama sebenarnya memiliki struktur yang logis, dikenal dalam istilah temporily permanent. Tujuan desain ini adalah merehabilitasi dan merevitalisasi daerah setempat untuk menaikkan citra pasar menjadi sebuah komunitas yang berkualitas dan mendukung lingkungannya. Desain yang dibuat sangat sederhana yakni menghadirkan naungan dengan desain yang menarik dan fungsional bagi berlangsungnya pasar di bagian bawahnya. Refrensi yang kedua datang dari pendekatan secara infrastruktur. Banyak desain stasiun kereta yang tetap terasa seperti template secanggih apapun bentuknya. Namun, Hua Qiang Bei Road oleh Work AC meskipun bukan mendesain stasiun melainkan mendesain sebuah intervensi pada jalan sepanjang satu kilometer


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

di daerah Shenzhen, China dapat menjadi refrensi yang menarik. Desain ini merespon kemacetan yang terjadi akibat karakteristik area yang sedang bertumbuh dalam hal komersial. Desain ini menjadi semacam intervensi strategis dimana diciptakan lima lentera ikonik yang dapat dilewati dengan lebih tertib tanpa mengganggu jalan bagi mobil-mobil yang lewat ditengahnya. Dari dua refrensi ini, lahirlah Pasar Stasiun Duri dengan konsep Harmonious Brotherhood, menjadikan fungsi pasar dan fungsi stasiun seperti ikatan persaudaraan yang saling terkait dan berkesinambungan. Dengan pendekatan pada Affordance behavior yakni istilah dalam ilmu psikologi arsitektur terhadap tingkah laku manusia yang cenderung memanfaatkan suatu bidang tertentu dengan memasukkan persepsinya masing-masing dan bertindak sesuai persepsi itu. Pada pasar Duri, terdapat area perlintasan kereta yang sudah tidak terpakai walaupun dua lintasan lainnya masih sangat aktif, lahan tersebut cukup luas untuk beraktivitas sementara kawasan hunian yang padat serta tidak adanya public space lain yang menunjang, memicu timbulnya persepsi akan pemanfaatan lahan sebagai sebuah area bernilai ekonomi yang bernama pasar.

53

Konsep dasar datang dari upaya masyarakat lokal mendesain sendiri pasar mereka dengan tendatenda ala kadarnya, lintasan di sulap menjadi area jual beli hanya dengan alas terpal ataupun plastik. Dari kebutuhan dasar manusia untuk bernaung itulah, desain ini tercipta. Mentransformasikan sebuah tenda temporer yang berfungsi sebagai penahan panas matahari, hujan, dan kebutuhan bernaung menjadi sebuah bentukan naungan yang lebih habitable dan tertata dengan lebih baik. Dari kebutuhan dasar manusia tersebut, terbentuk naungan yang menyerupai huruf C, secara fungsional diperuntukkan bagi pedagang dan pembeli dengan adanya bidang-bidang kosong yang berfungsi sebagai lapak.


54


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Sisi bagian Barat diciptakan koloni-koloni ruang semi terbuka berbentuk seperti huruf C yang memungkinkan lebih dari 50 pedagang dapat saling berjualan. Koloni ini dapat terus ditambah sesuai dengan jumlah pedagang yang ada. Koloni ini pula dibuat dengan dinamika level lantai yang semakin naik dan bertemu dengan jembatan panjang yang menghubungkan antar kolonikoloni yang terdapat di bawahnya dan memecahnya kembali ke sisi Timur sebagai fungsi sebuah stasiun. Sisi bagian Barat memfasilitasi bukan hanya bagi pedagang dan pembeli yang berasal dari lingkungan sekitar, namun juga penumpang kereta yang dapat turun dan bergabung diantaranya. Penumpang dapat merasakan aktivitas pasar ini dengan kualitas ruang yang lebih baik dan tetap dapat melanjutkan perjalanannya dengan menyebrang jembatan yang kini telah hadir menjembatani pasar dan stasiun. Tiap tunggal koloni terbagi dalam kategori penjualan sayuran, buah, daging, ikan, dan alat rumah tangga lainnya. Diharapkan dalam sekali perjalanan pembeli dapat langsung memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan juga memfasilitasi penumpang yang selesai berbelanja untuk menghantarkan ke stasun menuju tujuan berikutnya dengan nyaman.

55

Sedangkan, Sisi bagian Timur di desain memiliki koloni yang lebih sedikit bidang-bidang kosong untuk meminimalisir affordance masyarakat sekitar untuk berjualan di area stasiun yang nantinya dapat menghambat sirkulasi utama menuju loket dan pintu keluar ataupun menuju kereta selanjutnya. Sisi ini difokuskan dalam perannya sebagai stasiun dimana terdapat tempat menunggu dan tempat-tempat duduk dalam bentuk anak-ananak tangga menuju area kedatangan kereta. Bangunan eksisting yang ada berupa tenda permanen tetap dipertahankan sebagai bagian dari desain.


56


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i Refrensi Mediaindonesia.com Hua Qiang Bei Road by www. archdaily.com Artist Colony Market by www. archdaily.com

57

Manusia yang bergerak, bertransisi, dan transit pada suatu waktu berkumpul dalam area ini, berkegiatan dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kehadiran Pasar Stasiun Duri sebagai harmonious brotherhood berusaha menyelesaikan permasalahan setempat dengan solusi desain yang dapat memungkinkannya dua peran dapat dilaksanakan di daerah setempat baik itu sebagai pasar maupun stasiun. Intervensi desain ini menjadikan sebuah infrastuktur perlintasan rel kereta dan bangunan stasiun menjadi bagian dari penguatan karakteristik lokasi setempat dan tidak lagi sekedar cetakan stasiun yang sama dimana-mana.


58


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Membangun Rumah Adat Ratenggaro Membangun Bangsa Paskalis Khrisno Ayodyantoro [1]

Tersenyum, seorang wanita menengok lama, kemudian melambai tangan. Dari jauh, kain hitam bercorak merah kecil dan hijau yang membalut dada hingga dengkulnya semakin memudar hilang oleh pemandangan bukit. Dengan paras berahang keras, rambut hitam, dan kulit sawo matang, ia masih tampak gembira menyapa kami yang baru saja berlalu meninggalkan asap abu abu dibelakang, padahal sebuah ember hitam tampak memberatkan kepalanya dan kakinya masih harus menempuh sekitar 3 kilometer yang telah kami lewati untuk mencuci dan mengambil air bersih, belum lagi anaknya yang masih kecil di gendong di punggungnya. Jalan masih berbatu dan tak cenderung mulus berlalu, beberapa kali pisang mas, plastik berisi baju ganti, dan botol botol air minum berlompatan seiring dengan jalan yang berlubang malaju dalam jalan aspal selebar 5 meter. Pohon pohon kedimbil bercampur dengan sengon dan kelapa setinggi 8 meter terus melambai dalam panorama padang rumput ketika musim penghujan atau pemandangan merah savanna pada musim kemarau, merundukkan cabang, saling berdempet dan terus menyembunyikan cerita cerita di baliknya. Laut biru dengan deburan ombak masih terbayang. Pasir putih membentang jauh, bersusah payah menahan derasnya ombak pantai selatan, ombak begitu besar menggulung memecah berkali kali, berusaha menembus tanah karang kapur di pulau kecil ini. Di balik pantai ini, sebuah delta sungai terbentuk dangkal, menahan deras air biru asin, sebuah karang tinggi berdiri di delta sungai, diatasnya berdiri batu batu karang laut berbongkah bongkah sebesar kepala manusia disusun membentuk pagar, ditanah atasnya berdiri rumah rumah bergumul topi topi alang besar dan tersebar batu batu karang kubur berbentuk pasak besar menyebar. Di kerumunan itu, pohon pohon beringin besar setinggi raksasa mengelilingi berhimpit seperti sesak dengan gurat gurat akar diantara batangnya. Di bayang bayangnya kerumunan itu ketakutan, mendempet, memadat, sehingga tepi tepi topi itu sesak melampaui garis pagar batu yang mencengkeramnya. Ini adalah sebuah vista, sebuah bukit tebing diatas pantai dan berpenghuni bernama kampung Ratenggaro. Itulah Pulau Sumba, Cerita tentang laut biru, tanah cadas, dengan sejarah kuda kuda liarnya yang semakin hilang.

59


60

[2] Kesepakatan telah dilaksanakan setelah berkali kali terjadi pertemuan adat dengan para tetua adat di kampong Ratenggaro (rate : kubur, garo = suku garo, dibaca kubur suku garo) di rumah kebun milik kepala suku yang tidak mudah. Rapat-rapat ini pun beberapa kali mengalami perselisihan karena setiap warga merasa tegang,takut, bahkan curiga satu sama lain dalam menyikapi pembangunan rumah penting mereka. Tahun 2011 ini masyarakat Ratenggaro sepakat menerima partisipasi bantuan dari luar, dan sepakat akan membangun 3 rumah adat mereka yang akan di mulai dengan pembangunan rumah kepala adat, atau disebut juga uma katoda (rumah kepala) pada tahun ini juga. Ratenggaro telah lama kehilangan rumahnya yang dahulu berjumlah 28 buah karena kebakaran hebat pada tahun 2004 yang tersisa 2. Kebakaran hebat yang melanda ratenggaro telah menyebabkan struktur kebudayaan desa berubah, Uma Katoda yang terbakar habis membuat masyarakat tidak dapat menentukan keputusan keputusan bersama, rumah yang dianggap netral dan pusat sebagai tempat pemilihan suara, menentukan waktu waktu penting kegiatan kampung seperti waktu bercocok tanam, waktu mendirikan rumah tidak dapat terlaksanakan. Beberapa penduduk merasa tidak memiliki kepercayaan diri, merasa bersalah dan merasa menjadi generasi terhukum karena mendapat petaka tidak memiliki rumah adatnya. Mereka


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

61

malu karena kebanggaan kampung telah hilang. Bertahun tahun mereka hidup dalam malu, hingga pada tahun 2011 ini mereka memiliki energi dan semangat baru setelah pada suatu hari ada bantuan partisipasi dari pihak luar untuk mendirikan satu rumah kepala adat. Prestasi kampung yang dulu dikenal sebagai kampung pejuang yang makmur dan disegani, menjadi memudar bertahun tahun karena kebakaran dan sistem modernisasi disegala bidang. Dari perubahan sistem barter seperti kayu besar dengan binatang ternak, atau kemudahan mengambil kayu konstruksi di halaman mereka, kini harus berurusan dengan uang dan biaya perijinan. Kehilangan hampir 20 rumah adat bukan hal yang mudah bagi satu penduduk kampung, hingga pada tahun 2011 ini dengan adanya sentuhan patisipatif kecil dari Yayasan Tirto Utomo bekerja sama dengan Rumah Asuh dan Robert Ramone dari Rumah Budaya Sumba, menyadarkan dan menjadi katalis semangat baru kampung Ratenggaro untuk maju kembali dan bahkan menjadi energi baru untuk membangun seluruh kampung. Dengan dorongan kepedulian ini tiba tiba saja satu kampung merasa terhenyak, dan merasa harus memperbaiki kampung mereka dengan tangan mereka sendiri. Dalam tahun 2011 mereka menolak bantuan penuh menggantinya dengan metode partisipatif sehingga masyarakat sendiri tetap menymbang dan memiliki sense of belonging terhadap rumah utama ini. Disamping satu rumah utama, mereka sepakat membangun 2 rumah lainnya dengan biaya sendiri dan menargetkan akan mendirikan seluruh rumah dalam 3 tahun mendatang.


[3] Masyarakat Sumba, khususnya ratenggaro telah dengan bijak menentukan langkah langkah pembangunan rumah. Pembangunan rumah harus dimulai dengan rapat seluruh masyarakat kampung pada bulan febuari, dimana semua keturunan Ratenggaro wajib datang rapat tahunan dan memberi sumbangsih atau saran saran terhadap kampung mereka, dari rapat tahunan ini jadwal bercocok tanam, perkawinan, pemakaman hingga pembangunan rumah di tentukan, dan tentunya proses demokrasi kecil ini bukanlah hal yang mudah menggabungkan 300-500 kepala pemikiran dalam satu waktu. Setelah tanggal pembangunan rumah disepakati, maka yang dilakukan pertama adalah mencari Pohon Kedimbil untuk sebagai tiang utama. Pemilihan Pohon kedimbil pun tidak sembarangan, pohon ini harus memiliki tinggi lebih dari 10 meter dan sudah mencapai 80-100 cm diameter dengan asumsi berumur 60-80 tahun, sehingga pohon pohon ini ketika ditanam kembali akan sesuai dengan umur rumah dan membusuknya kayu untuk melakukan penggantian material atau pembangunan kembali. Pencarian dilakukan dengan melalui ijin dan doa persembahan ke alam dengan cara memotong hewan persembahan. Upacara ini adalah usaha untuk meminta ijin ke lingkungan sekitar untuk mengambil hasil bumi yaitu pohon untuk bahan konstruksi rumah dan dilain hal, pemotongan hewan dalam setiap upacara adalah salah satu cara mengganti jerih payah para pekerja sesuai dengan pekerjaannya. Setelah material telah terkumpul, material material ini dibawa dan dikumpulkan di halaman kampung, dan kemudian, diadakan persiapan pendirian konstuksi utama rumah. 62

Pendirian konstruksi utama rumah, terdiri dari 4 tiang utama, cincin tiang utama hingga rangka utama atap dalam satu hari. Pembangunan dalam sehari ini di gabung dalam satu hari sehingga pembangunan berat ini bisa dilakukan serentak dan banyak orang (300-500 orang) untuk menghemat waktu dan tenaga. Setelah pendirian rangka tiang utama hingga atap ini selesai, kemudian satu perwakilan keluarga akan naik ke atas rangka bambu atap yang bisa menjapai 14 meter untuk menyelesaikan ikatan rangka tambahan dan sekaligus berfungsi sebagai uji kekuatan konstruksi atap. Setelah selesai dengan rangka dan topping off ini, maka dalam 1-2 bulan mendatang hingga awal bulan musim penghujan (oktober), rumah sudah harus selesai di finishing baik itu menutup atap dengan alang, menyelesaikan penutup lantai bambu sehingga penduduk kampung pada awal musim penghujan bisa memulai aktifitas berladang atau berkebun, sehingga sesuai dengan jadwal tahunan kampung. Dapat kita bayangkan dengan jumlah pekerja yang tidak sedikit bisa mencapai 500 orang dalam membangun rumah adat, dalam kegotongroyongan dan ke hiruk pikuk, setiap proses pembangunan dapat disaksikan selalu penuh dengan teriakan semangat, tarian, dan tabuh tabuh kenderang. Budaya tarian atau di sebut ronggeng ini bisa dilihat sebagai penyemangat bagi pekerja yang berjumlah kolosal untuk tetap membangun dengan semangat gembira dan berjalan lancar. Proses pembangunan ini mengingatkan kita ketika banyak negara mulai khawatir dengan memburuknya kualitas bumi kita, setiap orang dan ahli mulai memikirkan tentang mengembalikan bumi yang kian rusak hingga pada suatu saat Al Gore menyentak lewat film The Inconvenient Truth yang mengguncang seluruh dunia di iringi dengan maraknya Green Architecture. Tetapi di tempat ini, kita lupa bahwa tradisi hidup dan membangun Masyarakat Sumba dan beratus ratus tempat di seluruh Nusantara adalah inspirasi bagaimana hidup dan selaras dengan alam dan lingkungan sekitar, bagaimana hidup dengan cukup.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

63


[4]

64

Hari hari ini adalah hari hari ke khawatiran kita yang tinggal di kota besar di Indonesia. Hari hari dimana kita khawatir setiap musim hujan, bersiap menerima banjir dari kota lain, atau ketika kita terjebak kemacetan luar biasa setiap harinya. Khawatir akan keamanan kita dengan sekitar kita kawasan perkotaan dengan jeruji teralis dan tembok tembok tinggi, khawatir akan masa depan anak cucu kita, apa yang tersisa, dan bagaimana mereka belajar bahkan hidup, dan bermain di kota kita. Khawatir dengan kualitas udara bahkan lingkungan kota yang semakin pekat polusi. Ratenggaro dan masyarakat sumba lainnya menyimpan beratus budaya unik dan memiliki sistem sosial yang menarik. Di dalamnya bahkan kita dapat belajar demokrasi terbentuk dalam setiap pertemuan pertemuan warganya, dalam setiap kalender tahunan, pada tahun baru, seluruh isi kampung wajib datang, berislaturahmi, dan mengadakan rapat rutin kampung. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya, dan membahas rencana bersama untuk kampungnya. Ratenggaro juga mengajarkan bagaimana berdampingan dengan masyarakat sekitarnya, membangun bersama sama, mendirikan satu tiang utama bersama dengan 500 orang lainnya dari kampung tetangga, saling membantu menyumbang berbagi hasil ternak atau ladang sebagai biaya pengganti kerja keras bersama sama, dan mengajarkan tentang arti kata cukup dengan menghargai alam ketika mengambil material secukupnya dari alam tanpa berlebihan. Masyarakat ratenggaro juga mengajarkan bagaimana menjaga kualitas lingkungan sekitar seperti pantai dengan tidak mengambil pasir darinya dan membangun di pantai selain keamanan pasang, juga sebagai bentuk mempertahankan pemberian Tuhan tanpa harus mengeksploitasinya dan membiarkan keindahan alam tersebut dapat dinikmati bagi siapa saja. Di kota kota besar, kita sebagai kaum rasional yang berpikir secara modern, dengan segala keuntungan diri mungkin lupa bagaimana berdialog dengan alam, kita di kota lebih percaya, manusia sebagai pusat alam semesta yang menganggap alam sekitar kita hanyalah pelengkap untuk dieksploitasi bukan sebagai sahabat hidup. Mobil berhenti. padang rumput luas sepoi berangin, dengan segelas kopi manis dari air panas termos, Sumba mengingatkan kita, satu tempat dengan berjuta inspirasi, akar kita, dan saudara kita. Seseruput kopi ini ditarik hingga ampas menyisa, dalam sore, masyarakat sumba bahkan tempat tempat lain yang menyebar di seluruh Indonesia, mengajarkan kembali tentang makna. Hidup sederhana. (*)


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

LINA BO BARDI

loved words, hated words: a design glossary

65

Lina Bo Bardi was not only a great architect but also a prolific writer, inventing concepts like “right to ugliness”, “Architettura Povera”, “process of simplicity”. Her favorite terms are inspired by Brazilian Sertão, the desert “land in trance” of an exploited and rebellious people, of the mythical Cangaçeiros. Her language is compelling, dry, extremely lucid, assertive, but always poetic. It is like the Sertão landscape. It is like her architecture. As Zevi points out, “Lina burnt values. Therefore she needed them and she was frantically in search for them. She would discover, cultivate and tear them apart to create other meanings. As a poet she was engrossed by and yet estranged from the everyday “World”. Laura Miotto works in Singapore as a designer of ephemeral architecture. Among her projects are the Living Galleries at the National Museum of Singapore, a permanent exhibition that won the Design Exchange Award Canada in 2007. The exhibition Quest for Immortality had the President Design Award 2010. Her work focuses on the exploration of the cultures of Singapore using design as an element of transformation and valorization.

That is why we collect here some of her most important definitions towards compiling a glossary of sorts; towards formulating a design “mantra” for our daily practice. These definitions are taken from her notes, project reports, articles and lectures. They are full of her “loved” and “hated” words like “kitsch”, “folklore” or “decoration”, definitions to be “banned from the dictionary” so to speak. They are powerful and pregnant words that opened up a different perspective during her time, and are still resonant and applicable today. Text from Laura Miotto and Savina Nicolini, co-authors of “Lina Bo Bardi. Aprirsi dell’accadimento”, Testo e immagine n° 51,Universale di architettura, Turin, Italy, 1998. ISBN: 8886498608 ISBN-13: 9788886498609 Savina Nicolini moved to Singapore in 2006, after working as a designer in Milan (Italy) and São Paulo (Brazil). She is currently in charge of preserving the heritage legacy of a TCM Medical Hall in the historical centre of Penang (Malaysia). The exchange between design and life lies at the centre of her projects which develop from a non-linear dialogue that is at once collective and individual, public and private.


Artistic freedom It is what Brecht defined as “the ability to say no”. The Artist’s freedom has always been “individual”. But real freeArchitect dom can only be collective. Freedom The architect is the designer of the that is aware of social responsibilities. House of Man and is the guide who Which transcends aesthetic boundarshould be the catalyst of a rebellion ies, “the concentration camp of westagainst the “Prison”. ern civilization”. He should see clearly that the majorThat takes into consideration the limitaity of his colleagues, perhaps unconsciously, are reducing human life to an tions and relevant achievements of Scientific Practice (scientific achieveadventure without imagination. ments and not technology degraded to They, with a kind of suspicious arrotechnocracy). gance, participate in an odd divorce from Nature that is against the vital needs of Life itself, becoming a sort of Beauty, Function and Form I do not accept any of these terms neichallenge of our origins. ther do I believe in them. They belong to an idealistic vision of Architecture in Architettura povera philosophical terms. “Architettura povera” does not mean Architecture is an existential quest to indigent but crafted, an architecture be addressed in a holistic way. Beauty expressing stronger Communication is not that important but poetry is. Poand Dignity by using the most limited etry is not related to beauty. and humble means.

Decoration We have to immediately replace this improper word with “Interior Architecture”. This work involves serious responsibilities: the internal layout of a house, the configuration of the quintessential habitat, where human beings develop and form their mentality. The place they will depart from to start their individual lives, to think, to work and even to struggle.

Home The old saying that home is the temple of the family is outdated. It is an idealistic statement. That “temple”, where women were often reduced to slavery, is a temple to be forgotten. Rather than temple, we should call it habitat, attributing to this word its biological meaning.

Landscape All that surrounds us.

Human scale Human scale is an arduous achievement of contemporary architectural awareness. This scale would be better achieved via a moral conviction of the importance of human relationships rather than using mathematical rules.

Inhuman scale The “inhuman” scale of certain monumental architectures is a typical expression of totalitarian and imperialist regimes. It is the result of an arrogant doctrine and it is not founded on unit of measurement. It would be also possible to create it using the Modulor, if you adopt that in place of the metric system.

Designer The designer that browses architectural magazines, seated at the drawing table with no “eyes” to look at reality, will create abstract cities. Cities designed for people that only exist in his imagination. Real people who have to inhabit these houses and cities, where they will feel as foreigners, will eventually abandon them or be transformed into amorphous beings, without desires and without character.

Mud Adobe for the Third World, steel and concrete for the ones above the Equator. Let alone insects like Barbeiros, mud is not a nice material. It is a sort of Memento Mori: “Pulvis es et pulvis reverteris” (You are dust, and unto dust you shall return). Kitsch The actual meaning of kitsch is fear - fear The Bible. of death: a sort of death denial sublimat- “Pour belle que soit la pièce la fin est ed in housewives’ tendencies to collect toujours sanglante: on y jette un peu de the flood of family tenderness against a terre dessus et c’en est fait pour toughost they don’t want to face. It is the hy- jours.” B. Pascal, Lettres provinciales. pocrisy of laces, Easter rabbits, embroi- Long live to François Hennebique! dered curtains, trinkets and souvenirs. Kitsch is irreversible. True kitsch is useless, impossible to integrate. [...] Popular Art defined kitsch by the upper class, it is never kitsch: even in its uttermost it is perfectly reversible. Kitsch does not belong to people, it belongs to the bourgeoisie and it is irreversible.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i Hammock Aboard gaiolas, the ferries that sail the Northern Rivers, the hammock is, as everywhere else in Brazil, both a bed and a seat. The perfect adherence Folklore Cockroaches, spiders, and so on to the body shape and its swinging Folklore is a word to be eliminated, a category belonging to the classification movement make it one of the most “Important notice: rude people do system of the Grand Central Culture, ideal resting devices. not talk, which means it is difficult to which eliminates, by assigning it to this understand them.” respective category, all dangerous and History Beyond pets there are visible or aluncomfortable positions of secondary History is not a matter of “cut and most invisible everyday animals, home popular cultures. paste”. It is current and relevant, if we animals, spiders, cockroaches, small When the popular crafts are “frozen” in make it alive again in its fundamental beatles, mice that populate our house, folklore, the real and vital cultural roots issues, which can be passed down waiting for insecticide spray. and ultimately become fruitful teachof a country dry up. It is clear (or not clear) that there are ings. This is the sign that internal or im(or could be) “grey” zones, intermedi- ported interests have taken over; and This idea of History is obviously not the ate zones between black and white. the possibility of a native culture is sub- monotonous one of the schoolbooks Zones that allow cohabitation, respect stituted by slogans, prostrated repeti- that suggests the past is dead and not and attention. tion and hopeless subjection to empty valuable any longer. It is not the one Zones where ants would not be telling us that the world started today, schemes. crushed, cockroaches would not be leaving us with the task of remaking This is what happened to the Italian trampled on, small animals would not popular culture during the time of Fas- the world as if were new, all alone, as be killed by a slap, like withered flow- cism. It was not that “folklore” disapif the past is a lost paradise. This Hisers on a plant or brunches peeled by tory is not abstract; on the contrary, it is peared, rather that the popular soul an absent-minded owner. was lost. rich and concrete.

Museums A corner of the memory? A tomb for famous mummies? A repository for or an archive of obsolete human works, made by men and for men, to be managed with a sense of compassion? None of these. New museums have to open their doors, let fresh air and light in. Between past and present there is no separation.

Non-Linear Time Linear time is a Western invention. Time is not linear. It is a marvelous entanglement, where, at any moment, one can select a point and invent a solution, without a beginning and an end.

People What we usually call “People” is the only social class that is not inhibited by external schemes and “cultural” Nature Nature is perpetual. The scientist inves- concepts. This is the only class that tigates it and through his study extracts maintains the habit of expressing the his truth. The artist gets inspiration from aesthetic man in a natural way. it. The architect, as an artist, uses this approach: he began building a column Right to the ugliness It is the essential basis of many civiinspired by a tree trunk and today the most advanced architects can design a lizations, from Africa to the Far East, who never embraced the “concept” of garden in the heart of a house. Beauty, the unavoidable concentration camp of western civilization.

Shibui (from and English-Japanese dictionary). Rough, puckerish, quiet, sober, tasteful. Theatre Theatre is life and, in the absence of “predetermined” facts, an “open” and naked set that would provide the audience a chance to “imagine” and to “participate” in the existential act that a theatre show represents. [...] The actual meaning of Theatre lies in its physical and tactile structure, in its non-abstract nature, which makes it profoundly different from cinema and television. At the same time theatre allows the full use of these means.


Mariska Pratimi Angga Rossi


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i


70


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

71


72


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

73



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i


76


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Sayembara HousingEstate kategori profesional

Ferdy Apriady Rikko Dian Putrawan

77



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i


menusantara house

Sayembara HousingEstate

M20135

kategori mahasiswa Rahmat Indriani

Hunian merupakan kesempatan untuk menjadi diri sendiri, seberapa pun gaya hidup kita di luar rumah, saat kembali dan pulang ke rumah maka sejatinya selalu menjadi tempat yang paling nyaman untuk menjadi diri sendiri secara utuh. hidup dalam konteks nusantara memberikan pemahaman tentang budaya yang tertanam di dalam diri, yg diterjemahkan di dalam arsitektur dimana keseharian mengiringi proses budaya yang berlangsung. sehingga manusia yang hidup di dalam ruang tersebut tetaplah menjadi dirinya sendiri secara utuh. dimana tempat anak-anak dan keluarga kita tumbuh menjadi manusia nusantara seutuhnya. Membangun di perumahan juga merupakan kesempatan bagi arsitek untuk mendesain lingkungan sosial dan sistem sosial bagi masyarakat Indonesia dengan dasar budaya sosial yang khas yang memberikan pemahaman tentang hubungan yang humanis dalam keseharianya yang memberikan warna baru pada kehidupan dalam konteks perkotaan ‌ ‌.merupakan kesempatan bagi arsitektur untuk menempatkan diri pada ranah kebudayaan‌dengan mengajak masyarakat untuk menjadi diri sendiri yaitu manusia nusantara yang unik sesuai konteks ruang hidupnya...


arsitektural

M20135

jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

nusantara didalam ruang

rumah tinggal merupakan unsur keruangan yang selalu memenuhi porsi keruangan kita di dalam keseharian sehingga kuantitas tersebut membuat kepekaan visual kita dalam merasakan ruang menjadi berkurang akan tetapi malah memberikan kepekaan yang lebih bagi indra-indra lainya dalam merasakan ruang. pada sistem keruangan nusantara interaksi antara elemen ruang terhadap objek di dalam ruang tersebut sangatlah erat. pada elemen lantai misalnya perluasan ruang dapat terjadi pada lantai yang dinaikan elevasinya menjadi sebuah selasar dimana terjadi ikatan ruang yang kuat antara objek dan elemen ruang tanpa furniture..kepekaan ruang melalui indra lainya inilah yang secara intuitif memberikan pengaruh pada design dengan pengkondisian ruang-ruang yang hangat dan unsur-unsur non visual sebagai pelingkup ruang tersebut sehingga memacu aktifitas-aktifitas yang cair dan mengalir yang sering ditemukan pada sistem keruangan di nusantara.

integrated space cross floor

Disain mengintegrasikan aktifitas di dalam rumah dalam ruang yang mengalir dan tidak terpisah antar lantai dalam sistem vertikal yaitu dengan silang lantai split level..yang memberikan vista menuju semua ruang tanpa batas sehingga terjadi interaksi yang hangat di dalam ruang. juga menyatukan aktifitas lantai satu dan dasar dengan meletakkan ruang keluarga pada posisi split level dimana sebagai bordes yang selalu di lalui penghuni rumah membuat aktufitas kekeluargaan jauh lebih hangat dan berkualitas dan memberikan perluasan ruang pada lahan yang terbatas.

sosial window in social culture Ruang luar sebagai ruang sosial dan ruang dalam sebagai aktifitas yang privat mencoba dipersatukan tanpa mengurangi esensi dari ruang tersebut sesuai fungsinya sebagai ruang prifat dan sosial. dimana merupakan hasil kajian tentang budaya sosial masyarakat nusantara yang khas yang coba di suntikan dalam konteks perkotaan. sehingga ruang ikut andil dalam pembentukan budaya sosial di lingkungan tinggal masyarakat.


M20135

natural energy consumption

organisasi ruang memberikan pemisahan zona antara ruang luar dan dalam akan tetapi dengan sifat yang terbukanya memberikan penyatuan antara ruang luar dan dalam. bagian tengah bangunan dikondisikan sebagai ruang luar dengan memberikan taman tengah yang memberikan efek sikologis dan kesejukan di dalamnya yang di integrasikan dengan void sehingga dapat dirasakan hingga lantai atas yang juga memberikan pencahayaan dan sirkulasi udara alami ke dalam ruang melalui void tengah. pada bagian belakang penggunaan skylight berguna memberikan pencahayaan pada kamar dan memasukan cahaya matahari pada ruang service

skema olah air skala pemukiman plant natural filterisasion

s serap hunian

sand natural filterisasion

llingkungan a n d ssosial c askala p epermukiman

s isap sentral

Arsitektur yang dihadirkan mencoba mengembalikan kodrat jati diri masyarakat nusantara sebagai mahluk sosial. mendisain pada skala perumahan merupakan kesempatan yang baik dalam berperan pada proses budaya masyarakat. dimana tercipta sebuah lingkungan sosial yang baik bagi masyarakat yg berhuni untuk berinteraksi dan memberikan kualitas hidup yang jauh lebih baik. dimana anak dan keluarga kita tumbuh dan berkembang,faktor lingkungan adalah faktor utama yang membentuk prilaku budaya tersebut sehingga harus ada upaya desain yang besar dalam menanggapi proses berkehidupan di dalam ruang.

permasalahan air pada daerah perkotaan menjadi isu yang di angkat.indonesia yang memiliki curah hujan yang tinggi dimanfaatkan dengan sistem penampungan air hujan pada atap yang terlebih dahulu di netralisasi oleh tanaman air dan langsung dialirkan pada sumur serapan yang terdapat pada hunian, sumur resapan tersebut terletak pada ruang lantai yang ditinggikan elevasinya yang memanfaatkan sistem f ilterisasi alami oleh tanah yang kemudian di isap oleh sumur isap yang bersifat sentral,sehingga sangat realistis bila di terapkan pada skala permukiman yang dapat menekan biaya pengolahan air apabila dilakukan dengan skala yang lebih besar guna di daur ulang dan dipergunakan kembali pada rumah ke rumah

carport serapan

pedestrian serapan


M20135

jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

toilet

+/- 0.00

+/- 0.00

+/- 0.00

+60.00

+60.00 +60.00

+/- 0.00

+60.00

+60.00

+60.00

+/- 0.00

- 10.00

skala 1:100

skylight

+/- 0.00

+60.00

- 10.00

- 10.00 public pedestrian

rencana tapak

+60.00

public pedestrian

U selasar keluarga

wall of light

roof garden sosial window

skylight

laman sosial pedestrian kursi serapair

eat in garden taman tengah selasar tengah

teras garasi

waremesh wall


M20135

perspektif type 9x18

perspektif type 10x18

perspektif type 14x18


M20135

jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i r jemur/service toilet

r makan +/- 0.00

toilet km prt

dapur

selasar +60.00

km tidur 1 +60.00

detail kreatif

garasi/teras +/- 0.00

r tamu

tamp

+60.00

- 10.00 carport

public pedestrian

denah lt dasar type 14x18 skala 1:100

detail kreatif

km tidur 2

U

potonga

km tidur 3 KM/WC

+ 365.00

selasar keluarga + 285.00

KM/WC

WIC

km tidur utama

r keluarga + 255.00

detail kreatif

denah lt 1 type 14x18 skala 1:100

potongan me


M20135

interior

makan dapat di mana saja tetapi aktifitas makan dalam masyarakat nusantara adalah hal yang penting dimana merupakan sebuah ruang sosial tempat dimana seisi keluarga berkumpul dan membaur bersama.

interior

ruang keluarga merupakan muara dari segala ruang dirumah, aktifitas yang terjadi didalamnya juga merupakan aktifitas yang cair sehingga pemposisianya menjamin seluruh penghuni rumah dapat berkumpul dengan h angat dan cair


M20135 r jemur/service r makan

toilet

r jemur/service toilet

toilet

+/- 0.00

r makan +/- 0.00

toilet km prt

km prt

dapur

selasar +60.00

dapur

selasar +60.00

km tidur 1

km tidur 1

+60.00

garasi/teras +/- 0.00

r tamu

+60.00

garasi/teras

+60.00

skala 1:100

- 10.00

- 10.00 public pedestrian

carport

carport

denah lt dasar type 10x18

km tidur 2

KM/WC KM/WC

skala 1:100

U

km tidur 3

+ 365.00

public pedestrian

denah lt dasar type 9x18

skala 1:100

km tidur 2

r tamu

potongan melintang type 10x18 +/- 0.00

+60.00

WIC

tidur 3 tampak depan km type 10x18

KM/WC skala 1:100

+ 365.00

KM/WC

WIC

r belajar

selasar keluarga + 285.00

km tidur utama

r keluarga + 250.00

selasar keluarga + 285.00

km tidur utama

r keluarga + 250.00

denah lt 1 type 10x18 skala 1:100

denah lt 1 memanjang type 9x18 type 10x18 potongan skala 1:100 skala 1:100

U


M20135 r jemur/service r makan

toilet

toilet

+/- 0.00

km prt

dapur

selasar +60.00

km tidur 1 +60.00

garasi/teras +/- 0.00

r tamu

potongan melintang type 10x18

+60.00

skala 1:100

- 10.00 public pedestrian

carport

denah lt dasar type 10x18 skala 1:100

km tidur 2

U

km tidur 3 KM/WC

+ 365.00

KM/WC

tampak depan type 10x18

skala 1:100

WIC

r belajar

selasar keluarga + 285.00

km tidur utama

r keluarga + 250.00

denah lt 1 type 10x18 skala 1:100

potongan memanjang type 10x18 skala 1:100

Asa Darmatriaji


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i



jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i


Merengkuh Perspektif Baru Lewat Rumah Rumah Tanpa Pintu

102

Oktavina Q. Ayun & Dita Kusumawardhani


jongArsitek! E dijongArsitek! si 4. 11 ( kEom di si pi l3. a si 5, 22001110) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Kreativitas artinya membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang lain. Ia muncul ketika kita mempertanyakan hal-hal yang dianggap lumrah dan mencoba mengkajinya dari sudut pandang yang berbeda. Adalah keberanian untuk keluar dari kotak konformitas yang membatasi diri kita dari gagasan-gagasan baru dan menciptakan sesuatu yang berbeda dari hasil perenungan tersebut. Berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, ‘Bagaimana jika pintu dalam sebuah rumah dihilangkan?’, jongArsitek! mencoba menantang kita untuk sejenak keluar dari zona berpikir yang sudah terkotak-kotak (dalam benar-atau-salah) dan mencicipi perspektif baru dalam memandang rumah sebagai karya arsitektur. Itulah yang akan kita temukan dalam pameran Rumah Rumah Tanpa Pintu yang diselenggarakan 1-20 Juli 2011 lalu, bertempat di dia.lo.gue art space, Kemang, Jakarta. Menurut Danny Wicaksono selaku kurator, tak ada makna filosofis dari ‘pintu’ yang dimaksud di sini. Ia adalah elemen pembentuk hubungan ruang, sekaligus alat untuk mengatur privasi sebuah ruang yang sehari-hari kita lalui. Pintu merupakan satu elemen yang tak pernah absen pada arsitektur (rumah) modern maupun tradisional di Indonesia. Padahal pintu bukan satusatunya elemen penentu. Privasi justru terlahir dari hasil interaksi pintu dengan dinding, lantai, serta bukaan dan elemen-elemen lain pada rumah. Oleh karena itu, jongArsitek! menantang 11 arsitek Indonesia yang berpartisipasi dalam pameran tersebut untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan menempatkan pintu sebagai objek yang asing, tak dikenal, non-eksisten dalam desain sebuah rumah.

103


104


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Ketika satu elemen di dalam arsitektur dihilangkan, maka otomatis elemen-elemen lain harus menyesuaikan supaya kebutuhan ruang tak dikorbankan dan ruang dapat berfungsi semestinya. Menarik, melihat interaksi dan penyesuaian elemen-elemen tersebut dieksplorasi secara bebas oleh kesebelas peserta, menghasilkan sebelas penyelesaian desain yang sama sekali berbeda. Latar belakang yang beragam dari kesebelas peserta, membuat pendekatan yang dilakukan serta konteks yang diangkat menjadi berbeda-beda pula. Kelompok arsitek Indonesian Dream, misalnya, menciptakan sebuah rumah yang setiap elemennya begitu fleksibel, sehingga tanpa disadari seseorang telah berada ‘di dalam’ atau ‘di luar’ rumah tanpa perlu melewati pintu terlebih dahulu. Fleksibilitas tak hanya tampak pada elemen-elemen yang menghasilkan ruang-ruang indefinitif, ‘Rumah Kura Kura’ ini juga memiliki konsep mobile, sehingga aplikasinya dapat diterapkan untuk hunian pasca bencana atau untuk mengatasi keterbatasan lahan. Fleksibilitas elemen ruang juga dihadirkan oleh 12akitek dalam karyanya yang diberi nama ‘Hinge and Height’. Dalam karya ini, makna pintu mengabur dengan elemen arsitektur yang lain dengan pemanfaatan engsel pada bidang-bidang modular yang terkoneksi satu sama lain serupa puzzle. Bidang modular ini kemudian dapat difungsikan sebagai lantai, dinding, bahkan atap, sesuai kebutuhan. Dapat dibayangkan, pergerakan dalam ruang menjadi sangat dinamis, batasan-batasan dapat muncul dan hilang seketika dengan mengubah lekukan dan kuncian antara bidang-bidang modular. Di sini interaksi antara manusia dan ruang menjadi lebih intens dan tak lagi sebatas interaksi pasif subyek-obyek. Realrich Sjarief bersama tim DOT Workshop menggunakan kaca mata yang berbeda dalam memandang arahan yang diberikan oleh kurator. Dari hasil riset yang dilakukan, ditemukan bahwa rumah-rumah tanpa pintu ternyata sebenarnya sudah lama hadir di tengah masyarakat urban. Pemiliknya adalah masyarakat yang termarjinalkan, mereka yang tak memiliki daya beli yang cukup untuk memperoleh tempat tinggal yang layak sehingga (mau tak mau) harus secara kreatif mendayagunakan benda-benda di sekeliling mereka untuk menghadirkan, setidaknya, sebidang atap di atas kepala untuk bernaung. Panel karya DOT Workshop dipenuhi dengan potret rumah-rumah tanpa pintu ini: ‘apartemen studio’ dari susunan pipa-pipa beton, rumah kardus di pinggir rel kereta api, hingga ‘riverview flat’ yang ternyata kolom-kolom jembatan. Di sini DOT Workshop berusaha menegaskan bahwa rakyat miskin pun berhak atas pemenuhan kebutuhan akan tempat

105


tinggal, dan bahwa permasalahan yang ada seharusnya berpotensi untuk dipecahkan oleh para arsitek. Mereka pun menghadirkan solusi berupa beberapa tipe hunian seluas 18 m2 dengan denah yang sangat sederhana. Tidak ada isu keamanan, tak ada lagi yang dapat dirampas dari keadaan yang sedemikian bersahaja.

106

Pendekatan yang lebih eksperimentatif diambil oleh Daliana Suryawinata, arsitek Indonesia yang bernaung di Belanda bersama dengan tim arsitek SHAU. Tak hanya pintu, mereka pun mengeliminasi dinding serta jendela dan menggantikannya dengan lapisan-lapisan manik-manik yang dirangkai seperti tasbih yang dapat dilewati pengguna. Ketebalan lapisan manikmanik meningkat sesuai dengan kebutuhan privasi. Ventilasi silang menjadi optimal, dan berkas-berkas cahaya yang menembus lapisan manik-manik menghadirkan efek puitis di dalam ruang. Pintu, di sini, menjadi sebuah momentum temporer yang ‘hadir’ hanya bila diperlukan. Mereka menyebutnya ‘a hypothetical space in a tropical zone’. Dalam pameran yang bersifat exercise design seperti ini, keberadaan klien memang ditiadakan supaya ruang gerak dalam bereksplorasi dapat lebih leluasa. Hal ini memungkinkan arsitek untuk memperhitungkan variabel-


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

variabel dan mengangkat isu-isu yang pada situasi lazim mungkin termarjinalkan. Di sini, sebuah rumah tanpa pintu tak hanya dibangun dengan mengisi kekosongan atas satu elemen dan menggantinya dengan elemen lain. Yang terjadi, hampir setiap elemen bertransformasi untuk mengatasi ketiadaan tersebut. Hipotesis dari para peserta untuk menjawab ketiadaan pintu dapat disimak melalui panel-panel karya serta maket yang beberapa dirancang interaktif. Pameran arsitektur semacam ini masih jarang kita temui di Indonesia. Dengan perkembangan arsitektur dunia yang semakin laju, arsitektur Indonesia harus dapat menghindarkan diri dari stagnansi dengan membuka diri terhadap berbagai upaya eksperimentasi yang memungkinkan

munculnya gagasan-gagasan baru. Pameran Rumah Rumah Tanpa Pintu ini adalah salah satu upaya yang dilakukan jongArsitek! sebagai generasi muda yang peduli pada kemajuan dunia arsitektur Indonesia untuk menghindari stagnansi tersebut.

rahkan arsitektur Indonesia melalui penyegaran persepsi dan pola pikir tentang ruang. Kita nantikan gebrakan jongArsitek! berikutnya.

Berbeda dengan peserta pameran lain, Setiadi Sopandi berkolaborasi dengan tiga kawannya yang notabene Memang tak semua gagasan mahasiswa dan menghadiryang muncul pada pamekan sebuah karya berjudul ran ini aplikatif pada rumah “Rumah Dinding�. Mereka tinggal jika dipandang secara meniadakan keberadaan pintu pragmatis, namun bukan tidak yang pada awalnya berperan mungkin pemikiran yang lahir sebagai pemisah fungsi ruang lantas membuka jalan terhadan memagari privasi tiap dap terciptanya teknologi ruang tersebut. Kehadiran maupun persepsi baru serta pintu disubstitusi dengan penerapannya pada arsitektur eksplorasi dinding yang dibuat Indonesia. Inilah pentingnya dengan dua alternative, kurva berpameran sambil beladan dinding dengan tekukan jar, untuk tetap membuka selayaknya labirin. Dengan wacana-wacana yang menjadi demikian, jarak tempuh untuk pintu gerbang bagi perkemmencapai satu ruang menjadi bangan. Lewat Rumah Rumah lebih panjang dibandingkan Tanpa Pintu, jongArsitek! dengan jarak yang ditempuh berharap dapat menggaipada rumah pada umumnya.

107


108


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Namun privasi ruang terjaga dengan maksimal. Andreas Susandika dalam karyanya “Rumah Ini Hanya Perlu 1 Pintu” mendefinisikan rumah tanpa pintu sebagai usaha untuk meminimalisasi pintu. Ia memandang pintu sebagai medium yang justru memberikan batasan pada masing-masing pengguna ruang. Apalagi pada sebuah rumah yang tingkat intimasinya tinggi, seharusnya pintu tersebut dihilangkan. Kalaupun ada sebuah pintu yang perlu dihadirkan, ia sebaiknya diletakkan sebagai pembatas property pribadi dan lingkungan sekitar. Menurutnya, pemisahan zona secara vertical dan horizontal akan membentuk privasi dan membedakan hirarki dengan sendirinya. Jadi, cukup satu pintu saja yang membatasi ruang dan biarkan ruang dalam saling berkontinuitas.

kos. Namun, bukannya tidak mungkin untuk mendobrak konsepsi ini. Wagiono Bustami dan tiga kawannya merancang ruang dalam menjadi ruang yang pribadi namun public. Kamar kos didesain dengan bentuk massa seperti boks dengan setengah bidang dinding pada kedua sisi yang dibiarkan terbuka. Sehingga dengan sendirinya ruang tersebut memiliki privasi namun tetap menyatu dengan ruang gerak di sekitarnya.

kota sebagai latar belakang. Terlihat sebuah massa gigantic yang dirancang seakan-akan menyusuri sebuah kota. Bentuknya yang organic dengan selubung berongga menjadi pelingkup ruang dalam. Permainan besar-kecil volume massa menjadi penentu ruang privat. Telah dibuktikan, bahwa tak perlulah pintu itu tetap ada dan biarkan arsitektur bersinergi dengan alam sekitarnya.

“Halang Gerak” merupakan judul yang dipilih untuk Rancangan yang tidak kalah merepresentasikan karya SUB menarik, “Paracity” digagas Architects. Kehadiran undakoleh Kotakotak. Konsep dasarnya bermula dari kerinduan undak tangga yang cukup akan masa lalu. Dimana pada mendominasi dipilih sebagai beberapa waktu lalu, semasa pengganti pintu. Tangga dipandang sebagai pembenmanusia masih hidup nomatuk privasi. Lebih jauh lagi, ia den, rasanya tidak perlulah menghadirkan elemen pintu. dapat membatasi ruang baik secara horizontal maupun verKehidupan yang berdampintical ̶ruang atas, ruang bawah, gan dengan alam sengaja ruang depan, ruang beladibaurkan begitu saja. Tanpa kang. Kehadiran pintu secara perlu ada rasa takut seperti apa yang dirasakan sekarang. nyata pun telah digantikan “Rumah Indekos” yang Namun setelah manusia men- oleh tangga yang berperan pula sebagai partisi imajiner. merupakan hasil karya empat genal konsepsi berpintu dan mahasiswa dari Bandung me- berjendela pada arsitektur, ia Mengantarkan dan menyamrupakan satu-satunya karya hadir tanpa tahu apakah keha- but pengguna ruang dengan cara yang sama sekali berbeda yang menjadikan rumah kos dirannya masih dibutuhkan. dari biasanya. Menghadirkan sebagai studi. Pemaksimalan Masih relevankah dengan sensasi baru yang melelahkan efektifitas ruang dan peneka- situasi kota yang kini sudah sekaligus menyenangkan. nan pada tingkat privasi yang arogan, tetap arogan dan setinggi cenderung mengarah makin arogan? Berangkat dari pada pembentukan individua- pemikiran ini, muncul sebuah litas para pengguna rumah rancangan yang menggunakan

109


CTBUH International Student Design Competition

Borneo Forest Tower Salman Zahrawan, Adam Angkawijaya, Adhy Wangsaatmadja & Raden Grenaldi

110

Pembalakan liar telah menjadi isu umum saat ini. Hal ini adalah salah satu penyebab deforestasi, yang memberikan dampak cukup besar bagi lingkungan hidup. Tidak hanya dalam lingkup lokal, tetapi juga dalam lingkup global, dimana hal ini mengakibatkan berkurangnya area hijau di bumi secara terus-menerus, sehingga penyedia oksigen tersebut kian berkurang .


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

111


Pembalakan liar telah menjadi isu umum saat ini. Hal ini adalah salah satu penyebab deforestasi, yang memberikan dampak cukup besar bagi lingkungan hidup. Tidak hanya dalam lingkup lokal, tetapi juga dalam lingkup global, dimana hal ini mengakibatkan berkurangnya area hijau di bumi secara terus-menerus, sehingga penyedia oksigen tersebut kian berkurang .

112

Kalimantan adalah salah satu tempat pembalakan liar terjadi dari banyak tempat di bumi. Indonesia diperkirakan kehilangan kawasan hutannya 1,7 juta hektar per tahun dan telah kehilangan 72% dari hutannya sampai sekarang. Pada 1997-2000, laju deforestasi bahkan mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Selama periode itu, Kalimantan mengalami deforestasi terbesar di Indonesia. Kalimantan telah kehilangan lebih dari 20 persen area hutan, dan sebagian besarnya hilang akibat pembalakan liar. Karena itu, area hutan di Borneo terus berkurang dengan cepat, dan dengan laju deforestasi tersebut Kalimantan diperkirakan akan kehilangan lebih dari 60 persen tutupan hutannya pada tahun 2020. Konsep Borneo Forest Tower lahir dari respon terhadap masalah di atas. Idenya adalah untuk merancang sebuah ‘menara pengawas’ yang menjaga hutan kalimantan dari setiap tindakan pembalakan liar dengan member-


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

dayakan masyarakat pribumi sebagai ‘penjaga’. Hal ini dilakukan dengan menciptakan ruang tinggal vertikal untuk penduduk asli Kalimantan (Suku Dayak). Dengan kata lain, masyarakat asli diberikan peran sebagai ‘mata’ bagi tanah mereka sendiri selagi mereka tinggal dan bernaung dalam ruang vertikal tersebut. Dengan memanfaatkan ketinggian menara, akan memudahkan bagi mereka untuk mengawasi cakupan hutan yang luas sementara mereka melakukan aktivitasnya sehari-hari. Selain ruang untuk tinggal, bangunan menara ini juga ditambahkan dengan ruang fasilitas penelitian serta pelestarian tanaman dan hewan daerah setempat, seperti burung enggang dan orangutan. Hal ini dilatari oleh isu terancam punahnya hewan khas kalimantan tersebut, khususnya orangutan. Fasilitas penelitian serta pelestarian tanaman dan hewan ini diharapkan dapat mencegah hal tersebut terjadi. Menara ini terletak di Kalimantan Timur, di mana sebagian besar pembalakan liar di Kalimantan terjadi pada saat ini. Tapak berada di samping Sungai Mahakam, sungai terpanjang kedua di Kalimantan dan Indonesia. Tapak harus berada dekat sungai, menyesuaikan dengan pola pertumbuhan desa-desa suku Dayak yang terletak tepat di samping sungai. Hal ini turut dipicu oleh penggunaan sungai di Kalimantan sebagai sarana transportasi yang utama bagi masyarakat setempat. Desain bentuk serta pola fasad bangunan mengacu pada perisai suku dayak, yang mengacu pada pola perisai asli. Desain ini dimaksudkan untuk meningkatkan semangat masyarakat lokal kalimantan dan rasa kepemilikan mereka terhadap hutannya, sehingga mereka akan lebih sadar dan pro-aktif untuk melindungi dan melestarikan hutan dan lingkungan. Analogi dalam desain tersebut juga bertujuan untuk melambangkan ‘pertahanan’ dan ‘perlindungan’ bagi lingkungan hidup hutan kalimantan.

113


114

Konsep organisasi ruang dari ruang tinggal pada bangunan ini didasari oleh organisasi ruang dari rumah adat Suku Dayak, yang disebut ‘Rumah Panjang’. Sebuah rumah panjang tradisional dihuni oleh sekelompok keluarga, setiap rumah dihuni oleh 10 sampai 50 keluarga. Karena itu, diharapkan organisasi ruang pada rancangan bangunan vertikal ini tidak asing bagi Suku Dayak tersebut, mengingat mereka sudah akrab dengan hidup dalam kelompok. Selain itu, area hijau ‘disuntikkan’ setiap 2-3 lantai pada rancangan bangunan ini, sehingga akan membawa lingkungan hidup sehat bagi penduduk asli dan memberikan ruang untuk bertani, sehingga mereka tidak kehilangan lingkungan asli mereka, meskipun pada ketinggian tersebut. Pada area hijau tersebut juga dirancang untuk menjadi habitat bagi burung enggang dan ruang pelestarian tanaman langka. Lantai bawah bangunan ini dirancang untuk menjadi kawasan pelestarian Orangutan. Di atas lantai tersebut, dirancang fasilitas penelitian untuk mendukung dan mengontrol tanaman dan pelestarian hewan. Konsep ini memiliki tujuan mengantisipasi isu global dengan menjaga hutan dan lingkungan hidup yang terbentuk di dalamnya, yang diwujudkan dengan membentuk ruang tinggal bagi Suku Dayak dan memberikan peran penting bagi mereka dalam mempertahankan lingkungan hidup tersebut, dengan bangunan tinggi sebagai media dan wadahnya. Dengan mendefinisikan kembali peran mereka dalam konteks global, dengan bentukan bangunan tinggi sebagai media, diharapkan tidak hanya akan membantu melestarikan lingkungan hidup saja, tetapi juga melestarikan kehidupan dan keberadaan Suku Dayak dan bagian mereka dalam konteks global ini.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

115


jongArsitek! Edisi 4 .11 (kom pi l a si 2011) | de sa i n m e n gi ns p ir a s i

116


117


jongProfile! Erick Kristanto

118

JA! Bagaimana awal mula karir Anda di US, dan mengapa memilih pindah ke China? EK : Setelah menamatkan pendidikan lanjut di Chicago saya mempunyai keinginan untuk menambah penagalaman di bidang arsitektur yang diluar comfort zone saya, itulah sebabnya saya memutuskan untuk pindah ke New York untuk bekerja di beberapa design-based architecture firms. Di waktu luang saya selama bekerja di NY, saya bertemu dengan beberapa arsitek muda berbakat dan membentuk suatu kolaborasi kecil untuk bertukar pikiran dan mengikuti berbagai kompetisi, dimana saya cukup beruntung untuk dapat memenangkan beberapa kompetisi regional maupun internasional. Pengalaman yang saya dapatkan selama itu sangat berharga dan membuka jalan pemikiran saya yg selalu bertolak pada keterbatasan.


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i Pada akhir term saya di NY saya berpikir untuk mengembangkan wawasan saya tentang Asia. Saya memutuskan untuk ke China. China adalah market yang terbesar didunia, terutama di bidang konstruksi. Disamping itu,saat ini China bisa dibilang berada di tengah perputaran sosial,budaya,dan ekonomi Asia. Sangatlah menarik melihat perubahan-perubahan yang dapat ditemui dalam kehidupan-kehidupan sehari-hari. Di bidang arsitektur, saat ini banyak arsitek yang menganggap China sebagai laboraturium untuk arsitektur,kesempatan untuk mewujudkan paper architecture menjadi built project sangatlah besar. Dilihat dari tipe proyek, disini juga mempunyai variasi proyek yang cukup banyak diluar residensial dan komersial. Disamping dari sisi proyek,hal lain yang menarik tentang China, terutama Beijing, adalah kesempatan bekerja di lingkup internasional. dalam arti besarnya kesempatan untuk bekerja dan berkolaborasi dengan arsitek/designer dari berbagai bangsa dengan latar belakang yang berbeda. Ini semua membuka pemikiran saya tentang cara pandang saya terhadap arsitektur dan hidup pada umumnya. Minat dan,perasaan senasib sepenanggungan para arsitek disini (sebagian besar berasal dari Negara yang dilanda krisis) mendasari terbentuknya komunitas arsitek muda di Beijing. JA! kami melihat karya Anda dalam kompetisi museum komik dan seni kartun di New York. Bisa diceritakan proses Anda dalam mendesain? Hal-hal apa saja yang mempengaruhi desain Anda? EK : Keputusan untuk mengikuti kompetisi ini berawal dari minat saya terhadap komik, kartun dan cerita-cerita fiksi. Dalam bidang arsitektur saya mencoba mengembangkan minat saya ini menjadi se-

119


120


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

121


buah konsep cara pandang terhadap arsitektur. Mengapa arsitektur harus menjadi sesuatu yang serius dan ‘sacred ‘? Padahal 90% orang yang akan menikmati arsitektur adalah orang awam. Dari sini saya melihat bahwa konsep yang penting untuk proyek ini adalah KOMUNIKASI. Hal jenius yang dapat diambil dari komik adalah cara berkomunikasi yang relatif mudah dicerna oleh segala kalangan, Proses terjadinya translasi dari tulisan menjadi grafik adalah suatu momen yang hebat karena dibutuhkan cara berkomunikasi yang efektif dan imajinasi yang tinggi. Dari sini awal konsep desain Museum of Comic and Cartoon Art New York. Belajar dari ide penerjemahan dalam komik, saya mecoba mengaplikasikannya dalam desain saya. Dalam komik saya sangat tertarik dengan bubble quotes yang digunakan untuk mengkomunikasikan pikiran yang ada dalam tokoh komik. Saya tertarik untuk menterjemahkan bubble quotes ini menjadi programs dari bangunan tersebut. Dengan translasi menjadi bentuk 3 dimensional akan terbentuk suatu komik yang tak hanya dapat dibaca tetapi juga dapat dirasakan sehingga para pengunjung menjadi bagian dari dalamnya. JA! Bisa diceritakan awal mula keterlibatan Anda dengan BIG? Pengalaman menarik apa yg didapatkan disini? EK : Beberapa tahun yang lalu saya mendapat email dari teman saya mengenai sebuah perusahaan di Copenhagen, Denmark yang mempunyai cara lain dalam menerjemahkan arsitektur. Setelah mencari tahu tentang perusahaan tersebut, saya sangat tertarik karena kita mempercayai hal yang sama tentang arsitektur. Maka sayapun mencoba untuk menghubungi mereka dan akhirnya setelah korespondensi yang cukup lama, saya dapat bekerja di kantor mereka di New York.

122

Banyak hal-hal berharga yang saya dapatkan semasa bekerja di BIG. Hal yang paling penting selain desain adalah bagaimana untuk menjalankan sebuah perusahaan arsitektur yang BESAR. Gaya manajemen yang serius-santai, marketing strategy yang sangat kuat, public relation yang sangat hebat, administrasi yang rapi dan ‘positive culture’ dalam kantor adalah hal-hal yang membuat BIG besar. BIG adalah suatu perwakilan Denmark untuk dunia, mereka membawa tradisi arsitektur Denmark dan mendifinisikan kembali dengan cara yang baru. Suatu kebiasaan untuk hidup sustainable dan peduli terhadap lingkungan yang berasal dari Denmark dibawa dan diterjemahkan menjadi suatu prinsip sustainable yang bisa dinikmati bersama. JA! Apa pendapat anda tentang krisis ekonomi di Eropa dan berpindahnya proyek-proyek besar ke Asia? Bagaimana strategi biro arsitek besar menghadapi hal ini? EK : Saya awam di bidang ekonomi namun krisis ekonomi dan bangkitnya asia adalah bagian dari siklus peradaban dunia. Jadi saya rasa bangkitnya asia dan munculnya proyek-proyek raksasa di asia akan terus terjadi sampai beberapa tahun kedepan. Berpindahnya proyek-proyek bergengsi ke Asia akan membawa dampak yang baik untuk arsitek lokal. Keterlibatan arsitek local dalam menangani proyek ini akan menambah jam terbang dan menambah kompetensi dalam menghandle proyek besar. Hal ini akan membantu membangun suatu budaya berarsitektur yang lebih advance di negara tersebut. Karena menurunnya kuantitas proyek di Eropa dan Amerika banyak perusahaan korporasi besar mengejar proyek dalam kolam yang sama dengan studio arsitektur kecil, Dampaknya untuk perusahaan arsitektur yang kurang bisa beradaptasi dengan situasi ini akan memotong jumlah pegawai,mengurangi jam kerja, bahkan menyatakan bangkrut. Untuk itu,strategi yang paling banyak diambil oleh perusahaan arsitektur besar adalah: ’ mengejar bola’ dan diversifikasi proyek, Kita bisa lihat belakangan ini munculnya kantor-kantor satelit dari perusahaan ternama dikarenakan oleh proyek-proyek di asia yang dapat mensupport cash-flow mereka. Dalam hal diversifikasi proyek, kita bisa lihat bahwa perusahaan-perushaan dengan idealisme tinggi seiring dengan


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

123


ekonomi yang melemah mulai mengerjakan proyek-proyek komersial dengan skala yang lebih kecil. JA! Setelah berkiprah diluar negeri, apakah ada rencana pulang ke Indonesia? Bagaimana pendapat Anda tentang perkembangan arsitektur di Indonesia? EK : Selalu ada dipikiran saya untuk pulang dan memulai practice di Indonesia. Saya rasa stabilitas di Indonesia semakin baik dan seiring dengan menanjaknya ekonomi di Indonesia akan semakin terbuka kesempatan-kesempatan bagi arsitek muda Indonesia untuk mewujudkan karya dan pemikiran mereka. Indonesia adalah negara yang kaya akan material, sejarah arsitektur yang panjang, dan perbendaharaan arsitektur vernakular Perkembangan arsitek di Indonesia saya rasa sangat bagus Dilihat dari lebih proaktifnya IAI, munculnya komunitas-komunitas arsitek muda yang haus akan progress, dan media-media arsitektur yang esensial dalam mendistribusikan ide dan informasi untuk memajukan arsitektur Indonesia. Saya sangat mengapresiasi teman-teman arsitek muda Indonesia yang mempunyai statement yang kuat tentang desain mereka dan tumbuhnya kesadaran akan arsitektur di Indonesia yang tidak hanya sebatas bangunan namun sebuah elemen untuk revitalisasi sosial, lingkungan, ekonomi dan budaya. Keberanian untuk mendifinisakan arsitektur dengan cara yang berbeda juga patut saya beri angkat topi.

124

Namun berdasarkan sejarah,kemajuan arsitektur secara umum akan selalu berada di urutan terakhir setelah berkembangnya bidang-bidang lain.Kemajuan arsitektur tidak dapat berkembang sendiri tanpa berkembangnya instansi-instansi yang lain seperti pemerintah, akademis,Industri, dan sebagainya. Sebuah jembatan yang baik antara arsitektur dengan instansi-instansi lain ini akan membuka jalur untuk untuk kemajuan yang lebih baik. Saya merasa bahwa arsitektur hanyalah satu unit yang harus bertugas untuk menghubungkan satu titik dengan titik yang lain untuk menciptakan suatu keseimbangan dalam semesta. Salam, Erick Kristanto

PROFILE Erick Kristanto was born and grew up in Indonesia. He received his Bachelor Degree in Architecture Engineering from Parahyangan Catholic University, Indonesia in 2005. Hoping to get a hands-on experience on architecture field, he joined an architecture company in Jakarta for a few years and later decided to pursue his Master Degree in architecture in Illinois Institute of Technology (IIT), Chicago, USA. After graduated, Erick moved to New York and worked at some design-based architecture firms such as FREE Architects and Bjarke Ingels Group (BIG). During his study and career growth so far, Erick had been awarded several architecture awards in student as well as professional level. While his goal is to develop as many new ideas as he can to contribute to the architecture field, he managed to start a collaborative work with another young architects in New York as well as overseas. His works has been published widely in United States, France, Netherland and Korea. Currently Erick is working in a small collaborative studio in Beijing for some projects in the region. Erick believes that architecture is about various ways of translating it with a consideration of context and environment


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

125


Interpretasi Arsitektur Kontekstual dalam Ketiadaan Identitas Rofianisa Nurdin 126

Kata pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Tapi saya sedang berdiri di tanah antah berantah yang seakan tak punya adat. Dan saya sedang kehilangan jati diri. Maka saya mulai berasumsi, sendirian. * “Bangunan kamu tidak kontekstual,” adalah vonis yang rasanya lebih mengerikan daripada keputusan bahwa kamu akan mati dalam usia muda. Karena definisi “muda” sekarang menjadi bias (katanya menjadi tua adalah ketika kita sudah tidak ingin merubah keadaan) dan semakin sedikit waktu yang kita punya semakin kita lebih menghargainya, maka saya jadi tidak terlalu khawatir soal itu. Hanya saja, divonis tidak kontekstual adalah suatu keputusan yang sepintas terdengar arogan dan terburu-buru. Ketika kita berbicara tentang konteks, tentu kita juga akan berbicara tentang interpretasi. Dan interpretasi itu..., yah, silahkan, sebut lagi kata kunci arsitektur Indonesia, yes, that overrated word: BERAGAM. Mungkin kita terlalu tinggi hati untuk dibilang “tak punya jati diri”. Maka kita mendewakan perbedaan, yang mana di kehidupan nyata telah mempartisi ruang sosial kita. Perpecahan, di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kembali ke persoalan interpretasi yang beragam. Beberapa tahun lalu saya bahkan tidak bisa mengeja kata pertama dengan baik, tapi mari, mari lebih fokus lagi. Sangat fokus seakan seluruh masyarakat Indonesia peduli dengan persoalan yang seringkali sangat dilematis sampaisampai mengurangi jatah waktu tidur ini. Bahwa menjawab sebuah permasalahan desain adalah hal utama, dan mengubahnya ke dalam sebuah solusi desain adalah hal selanjutnya, maka penafsiran adalah jembatan diantara keduanya. Dan bukankah,--terlepas dari tradisi meniru, mencontek, yang sudah turun-temurun di negeri ini,--tiap-tiap pribadi punya penafsiran yang berbeda terhadap segala sesuatu?


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Sebentar. Lupakah bahwa di awal saya sebenarnya ingin membahas tentang konteks, dan bukan interpretasi, walaupun pada satu titik, mereka berkaitan? Ya, publik akhir-akhir ini mudah dialihkan perhatiannya melalui tipuan-tipuan kata yang “terlihat� kritis dan cerdas. Dan sebentar lagi tulisan ini menjadi racauan teratur yang estetis tapi tak pantas menjadi kritikan berbobot. Lupakan. Jadi begini. Istilah kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus mempunyai kaitan dengan lingkungan. Keterkaitan tersebut dapat dibentuk melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada dalam lingkungan ke dalam bangunan yang baru sesudahnya. Maka, metode kontekstual dalam terminologi arsitektur menurut pemahaman saya bertujuan untuk mengaitkan dan menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik lingkungan sekitar. Dan setidaknya ada empat macam eksplorasi desain yang mengacu kepada arsitektur kontekstual, yaitu: Pertama, mengambil motif-motif desain setempat, seperti bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain yang digunakan. Kedua, menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda. Ketiga, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati yang lama. Keempat, mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras). Dalam arsitektur kontekstual hubungan yang simpatik tidak selalu ditunjukkan dengan desain harmonis yang biasanya dicapai dengan penggunaan kembali elemen desain yang dominan yang terdapat pada bangunan lama. Hubungan simpatik tersebut bisa dicapai dengan solusi desain yang kontras. Bentuk-bentuk asli pada bangunan lama tidak digunakan langsung, namun bisa diabstraksikan ke dalam bentuk baru yang berbeda. Pemahaman ini yang seringkali menjadi abu-abu. Karena sebuah bentuk seringkali hanyalah cangkang kosong yang tidak berarti, yang baru bermakna ketika seseorang menambahkan kata-kata manis dalam penjabaran konsepnya. * Tidak ada bentuk visual yang layak dicontoh dari deretan rumah-rumah yang berhimpitan ini. Atap-atap mereka berebut tempat. Ketika hujan, gang yang tak sengaja tercipta diantaranya menjadi tak bisa dilewati. Becek dan licin, karena jalannya disemen, bukan diaspal atau diberi cornblock. Adat yang dulu disakralkan di tanah ini mulai hilang. Sebagian dari mereka bahkan adalah pendatang. Kota ini kehilangan identitas. Yang lelah mencari kesamaan, berpura-pura bangga atas perbedaan yang katanya menyatukan mereka. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah, seperti ada adalah ketiadaan yang diada-adakan untuk meniadakan kekosongan. *

127


jongBincang! Julien De Smedt November 2011, jakarta

128

foto oleh : Khair unnisa K a u t sa r, A ga m dw i pra bow o


jongArsitek! E di si 4. 11 ( k om pi l a si 2 0 1 1 ) | d e s a in m e n g in s p ir a s i

udunProject! KeukenBDG, HousetheHouse, jongArsitek! BDGberkebun Agustus 2011, Bandung

129

fot o ol e h : l e o K a w u n , K a n ia De w i, Ag a m d w i p r a b o w o



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.