Jambi Independent 10 Desember 2009

Page 20

Jambi Independent

Kamis, 10 Desember 2009

Refleksi Hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember 2009 Harian Pagi Jambi Independent SIUPP: No.169/SK/Menpen/SIUPP/A, tanggal 26 April 1986 Alamat Redaksi/Sirkulasi/Iklan: Graha Pena Jambi Jl. Jenderal Sudirman No 100 Thehok Kota Jambi Telp Redaksi 0741 35272, Faks 0741 35267; Iklan/Pemasaran 0741 23330, 35265, Fax 0741 23740 Perwakilan Jakarta: Graha Pena Jakarta, Perintis: H Syamsul Watir (alm), General Manager: Ali Fauzi, Wakil General Manager/Pemimpin Perusahaan: Dulpiah, Pemimpin Redaksi: Joni Rizal, Redaktur Pelaksana: M. Surtan, Paisal Khumar, Koordinator Liputan: Paisal Khumar, Redaktur: Asriadi, Darmanto Zebua, Joni Rizal, M. Surtan, Paisal Khumar, Staf Redaksi: Alpadli Monas, Fachrul Rozi, Jumeidi, Fitrilidia, Risza SB, Surya Elviza, Finarman, Siti Masnidar, Yusnaini Copy Editor: MH. Abid, Fotografer: Rolanda Hasibuan, Eddy Junaedy, Event Organizer: Rahmad Hidayat, Sekretaris Redaksi: Eniwati, Grafis/Ilustrator: Djatmiko, Wartawan di Daerah: Chandra Purnomo (Tanjab Barat), Musrip Hulaimi (Tanjab Timur), Franciscus (Muarojambi), Johan Iswadi (Tebo), Dwi Setyowati (Bungo), Nova Diansyah (Merangin), Lukman Hakim (Sarolangun). Bagian Pracetak: Safarudin Aris, Ishak, Adam Surata, Asep Syaefudin. Bagian Iklan: Munawir (Kabag), Etika Utama, N Permana (Desain), A Ridwan, Wita. Bagian Pemasaran: Prawoto (Kabag), Tareju, Sarjono, Setiadi. Sirkulasi: Hamsir, Aris. Bagian Keuangan: Novita KS (Accounting), Megawati (Kasir), Liza Elvistia, Bagian Umum & Personalia: Soleh Rofiki (Kabag), Rusanna Watir, Edi Erlani, Wahyu Harga Langganan: Rp 87.500,- per bulan (dalam kota), Harga Eceran: Rp 3.500,- (Luar kota tambah ongkos kirim). Tarif Iklan Umum/Display Hitam Putih: Rp 30.000,- per mm kolom, Iklan Full Colour: Rp 40.000,- per mm kolom, Iklan Full Colour Halaman 1: Rp 92.000,- per mm kolom, Iklan Baris: Rp. 9.000 per baris. Nomor Rekening PT Jambi Independent Press; BNI Cabang Jambi No: 0069879445, BCA Cabang Jambi: 119.1327000, Danamon Cabang Jambi: 008251019, BII Cabang Jambi : 3564. Penerbit: PT Jambi Independent Press, Komisaris Utama: HM Alwi Hamu, Komisaris : Ny Hj Miarni S Watir, Ny Hj Sri Nurbani Retno Watir, Dwi Nurmawan, Direktur Utama: H Suparno Wonokromo, Direktur: Ali Fauzi. Percetakan: PT Jambi Press Intermedia. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

p Wartawan Jambi Independent dilarang menerima uang maupun barang dari sumber berita p Wartawan Jambi Independent dibekali ID card/surat tugas yang selalu dikenakan saat bertugas

Merelokasi PKL di Jambi TIM gabungan di bawah koordinasi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Jambi, Selasa pagi (8/12), merazia pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Sipin Ujung, tepatnya seputar minimarket MM. Hanya saja belasan bangunan milik PKL di sana sudah dibongkar sendiri oleh para pemiliknya pada malam sebelumnya. Target tim gabungan selanjutnya merazia PKL di kawasan Simpang Karya, Sukorejo, dan depan kampus Unja Telanaipura. Selain merazia, Pemkot Jambi juga menyediakan beberapa tempat untuk merelokasi PKL-PKL tadi. Misalnya Pasar TAC yang bisa menampung 40 PKL, Pasar Talang Banjar (60 PKL) dan eks Terminal Simpang Kawat (40 PKL). Razia memang diperlukan demi tertib dan bersihnya kawasankawasan tempat para PKL itu berjualan. Semoga saja PKL-PKL yang dirazia itu tidak kembali lagi menggelar dagangannya di tempat semula. Diharapkan mereka betah di tempat penampungan mereka. Asalkan tempat-tempat penampungan tadi cukup representatif, mereka pun betah di tempat barunya. Upaya Pemkot merazia PKL, apalagi dibarengi dengan menyediakan tempat-tempat penampungan yang representatif, patut mendapat apresiasi. Betapa tidak, bila sampai berlarut-larut penanganannya, sehingga jumlah PKL terlanjur banyak, maka akan menjadi masalah tersendiri bagi Pemkot. Seperti terjadi di banyak kota, tiap ada razia PKL pasti terjadi bentrok fisik antara petugas dengan para pemilik dagangan. Tak sedikit dari peristiwa bentrok itu timbul korban terutama di pihak PKL. Mengapa terjadi bentrok? Hal itu terjadi lantaran berlarutlarutnya penanganan PKL itu sendiri. Terlalu lamanya penanganan berarti adanya pembiaran PKL dari pihak Pemkot. Karena adanya unsur pembiaran dari Pemkot itu, jumlah PKL pun makin banyak. Seiring dengan itu, muncul pula penarikan beragam retribusi seperti keamanan dan kebersihan. Penarikan retribusi itu bisa jadi tidak masuk ke kas pemerintah. Namun bagi PKL, penarikan retribusi, siapapun yang melakukannya, dan juga pembiaran berdagang, sebagai wujud sahnya mereka berdagang. Karena itu, ketika dirazia mereka melawan petugas. Kerapnya terjadi bentrok antara pedagang dan petugas saat razia PKL di banyak kota, cukup menjadi pelajaran bagi Pemkot Jambi. Merelokasi PKL ke tempat-tempat yang representatif secara lebih dini tentu jauh lebih baik. Dengan demikian kerusuhan seperti terjadi di banyak kota dapat dihindari. Mengapa PKL-PKL itu mesti direlokasi di tempat-tempat yang representatif? Hal itu karena keberadaan PKL sangat membantu terkait upaya penyediaan lapangan kerja. Berapa banyak tenaga kerja yang terserap di sektor swasta itu. Di sana terserap tenaga kerja baik yang memproduksi barang, maupun yang berjualan. Itu belum termasuk tenaga kerja ikutannya seperti tukang angkut barang dan penyedia jasa transportasi lainnya. Dengan demikian, keberadaan para PKL tersebut bisa disebut menjadi katup pengaman meningkatnya jumlah pengangguran sekaligus kemiskinan. Di lain pihak, kemampuan pemerintah sendiri sangat terbatas dalam menyediakan lapangan kerja. Bukankah makin besarnya angka pengangguran dan kemiskinan seiring dengan makin besarnya potensi tindak kriminalitas?(*)

Kirim tulisan Anda ke alamat di bawah ini: OPINI Panjang tulisan kurang lebih 850 kata. Kirim ke: opini_injam@yahoo.com Sertakan data dan foto diri , nomor telepon yang bisa dihubungi, dan nomor rekening tabungan. SURAT PEMBACA Untuk email Surat Pembaca:

sp_injam@yahoo.com Tulis alamat disertai fotokopi identitas dan nomor telepon . Atau kirim langsung ke redaksi Jambi Independent, Jln Jenderal Sudirman No 100 Thehok, lewat faksimili 0741 35267. SMS INTERAKTIF Untuk SMS Interaktif, kirimkan keluhan, saran, dan kritik ke nomor HP 08127399566. Tuliskan nama dan alamat lengkap.

Demokrasi dan Korupsi O l e h

“...democracies and the costly electoral cycles associated with them are fertile ground for political corruption. While in office, the political leadership and legislators, dependent on external sources of funding and their re-election campaigns, tend to be influenced by pressure groups” (S. Guhon, 1997). SUBSTANSI pernyataan praktisi birokrasi India, S. Guhon, tersebut tampaknya bisa dijadikan rujukan utama untuk menjelaskan praktik korupsi di Indonesia yang terjadi demikian marak dan merebak serta menjadi bagian dari “budaya” di semua lini dan level. Demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi. Peran politisi yang demikian dominan, mereka tidak hanya bermain di arena pengambilan kebijakan, melainkan juga di jajaran eksekutif, tampaknya menjadi problem krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Mengapa? Pertama, umumnya parpol dan politisi kita boleh dikatakan nir-ideologi, lebih berorientasi pragmatis ke arah dua subjek yang saling terkait: jabatan atau kekuasaan dan materi. Saat menjabat sungguh-sungguh dinikmati dengan memanfaatkan segala peluang dan sumber yang tersedia untuk mengakumulasi harta, termasuk mengembalikan berbagai biaya yang telah dihabiskan dalam proses-proses kontestasi untuk memperoleh jabatan. Kecenderungan sikap dan sifat serakah seperti itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari harta rakyat dirampas atau dirampok dengan tidak hentihenti dan tak bosan-bosannya. Korupsi biasanya dilakukan secara bersama-sama, baik bersama aparat di lingkungan kerjanya maupun dengan jaringannya di luar struktur formal.

LAODE IDA

GRAFIS:SUJATMIKO/JAMBI INDEPENDENT

Padahal, para pejabat itu, baik dari kalangan politisi maupun profesional dan karir, sebenarnya sudah memperoleh fasilitas atau kompensasi yang jauh lebih baik daripada rakyat. Kedua, kalau mau jujur, kalangan parpol tidak memiliki sumber pendanaan tetap dan pasti untuk menjalankan seluruh agendanya. Kecuali parpol-parpol yang sudah mapan yang sebagian sumber dananya diperoleh dari setoran para anggota legislatifnya (juga rutindariAPBN),umumnyaparpoltidak bisa mengandalkan kontribusi pendanaan dari rakyat yang diklaim sebagai anggotanya. Fenomena tersebut menjadi konsekuensi bagi rakyat yang merasa belum memiliki keterikatan moral-politik dan batin dengan parpol dan atau politisi. Sebab, politisi menjalankan agendanya yang tidak hanya jauh dari kepentingan rakyat, melainkan juga kerap berlawanan dengan tuntutan rakyat. Kecenderungan yang sama terjadi pada politisi. Kecuali mereka yang

secara ekonomi sudah mapan (biasanya dari kalangan pengusaha) yang bisa membiayai semua keperluannya untuk ikut kontes perebutan kursi atau jabatan, umumnya masih memerlukan topangan pendanaan dari sumber-sumber di luar dirinya yang notabene tidak gratis. Para pendana politik, yang biasanya dari kalangan pengusaha atau pemilik modal, pastilah mengharapkan imbalan dari pihak yang dibiayai saat menduduki jabatan tertentu. Parahnya, proses-proses perencanaan, implementasi, dan atau eksekusi anggaran negara masih demikian tertutup alias tidak transparan. Itu merupakan kondisi yang sangat memudahkan untuk dimainkan. Tendertender proyek memang dilakukan dengan lebih dulu diumumkan ke publik melalui media massa, namun sesungguhnya tidak lebih sebagai formalitas belaka. Sang pemenangnya sudah dan atau bisa dengan mudah diatur oleh para pemegang administrasi proyek. Dalam perspektif sosiologis, kecenderungan seperti itu sebenarnya sung-

guh membenarkan teori Karl Marx bahwa sesungguhnya negara hanyalah instrumen dari kalangan pemilik modal. Sulit diharapkan untuk benar-benar peduli pada kepentingan atau kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Kondisi seperti itu memberi petunjuk jelas bahwa harta negara dan rakyat bangsa ini sungguh digerogoti oleh sekelompok elite yang terdiri atas pejabat dan jejaringnya. Mereka menjadi pengendali utama negara ini. Rakyat pun tak bisa protes, tidak boleh marah. Sebab, secara hukum atau konstitusi, para pejabat itu sudah memperoleh mandat melalui proses-proses demokrasi atau pemilihan langsung. Kecenderungan seperti itu, pada tingkat tertentu, akan melahirkan sikap skeptis masyarakat terhadap demokrasi. Seolah-olah demokrasi itu jahat. Atau, setidaknya “demokrasi untuk demokrasi itu sendiri”, yakni yang selalu menjadi pemenangnya adalah kekuatan pemilik modal dan politik yang minus ideologi. Padahal, sesungguhnya tidak seperti itu. Filosofi demokrasi adalah menjadikan hak-hak individu bisa terekspresi dan sekaligus semua pihak yang memperoleh mandat sebagai pejabat birokrasi dan politik harus berorientasi serta tunduk pada agenda penciptaan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak diberi mandat untuk berkorupsi atau bentuk-bentuk lain pengangkangan terhadap hak-hak rakyat. Sebenarnya, pejabat mana pun yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, serta kelompoknya, atas nama demokrasi, harus digilas melalui koridor hukum. Tapi, tampaknya, kita tengah berada di atas jalan yang salah (on the wrong track) karena demokrasi tanpa desain sesuai hakikatnya itu. Kita hanya memberi “cek kosong” kepada politisi untuk kemudian mengisi sendiri sesuka hati. Ya, dengan cara korupsi.(*) *). Laode Ida, sosiolog, wakil Ketua DPD; artikel ini pendapat pribadi

Negara Paling Korup KAPANKAH sebuah negara dikatakan paling korup? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Tetapi, paling tidak, kita dapat menggolongkannya ke dalam tiga dalil utama. Jawaban terhadap pertanyaan ini boleh jadi mewakili opini kita masing-masing dalam memperingati Hari Antikorupsi sedunia sebagai sebuah gerakan moral untuk memberantas korupsi yang makin hari makin sistemik. Tanpa Penegakan Hukum Dalil pertama negara paling korup tecermin dari bagaimana cara mereka menegakkan hukum. Umumnya, mereka mengaku sebagai negara hukum yang memiliki hukum, tetapi dalam praktik pemerintahannya, negara gagal menegakkan hukum dengan benar. Peraturan dan segala macam ketentuan hukum untuk mengatur warga negara dan aparatur pemerintah dalam negara semacam ini tidak lagi berdiri di atas kepentingan yang murni. Penegakan hukum menjadi karut-marut, dapat dibeli, bahkan diperlakukan seperti karet dalam tafsir-praktiknya. Hal seperti ini terjadi karena terlalu banyak kepentingan yang membuat hukum tidak lagi murni dan bersih dalam menegakkan keadilan. Keadilan dalam negara semacam ini bisa diatur dan diubah sesuai dengan kepentingan siapa yang hendak dibela atau atas pesanan siapa. Hukum menjadi order yang diperlakukan ibarat barang dagangan. Tidak heran menyaksikan aparat bertindak membingungkan dalam usahanya menegakkan hukum, diskriminatif, dan memperlihatkan perilaku yang saling bertentangan. Selalu ada standar ganda penegakan hukum. Bahkan, hukum dijadikan seperti karet yang bisa ditarik ulur sana-sini. Diper-

O l e h SONNY ELI ZALUCHU lukan usaha sangat keras untuk memperjuangkan rule of law. Semua orang enggan melakukannya karena mereka adalah pelanggar hukum juga. Memang negara terlihat memiliki dan menghasilkan banyak produk hukum dan legislasi. Tetapi, semua produk tersebut bukan ditujukan untuk menjamin usaha penegakan hukum bagi kepentingan umum (warga negara). Hukum itu demi melegitimasi kepentingan sepihak dan kekuasaan para penyelenggara negara. Itu sebabnya, dalil pertama dari negara paling korup adalah negara hukum yang tidak menegakkan hukum. Aparatur Korup Dalil kedua dari negara paling korup adalah memiliki aparatur yang korup. Di mana-mana di dalam sistem pemerintahan dan penyelenggaraan negara, tidak ada yang namanya bekerja untuk melayani kepentingan umum. Pegawai negeri yang digaji negara untuk melayani masyarakat memiliki banyak dalih untuk menjadikan semua urusan menjadi sangat birokratis dan mengondisikan masyarakat menempuh jalan pintas. Tujuannya jelas. Uang telah menjadi indikator di dalam menggerakkan birokrasi dan pelayanan umum. Sistem birokrasi berubah bentuk menjadi biro jasa yang serba memerlukan biaya dari satu meja ke meja lain. Mencoba mengikuti prosedur dengan cara yang biasa justru akan dihambat dan dipersulit. Papan dan pengumuman untuk tidak melakukan suap atau menggunakan

calo, tidak memiliki kekuatan untuk menghambat semua praktik tersebut. Dalam hal ini birokrasi tidak lagi digerakkan oleh semangat pengabdian dan responsibilitas. Tidak ada pula yang namanya integritas dan rasa bersalah melanggar hukum dan sumpah jabatan. Uang suap, pemberian, ucapan terima kasih, gratifikasi, makelar kasus, mafia pengadilan, konspirasi, dan kolusi menjadi ciri utama para aparatur dan birokrat di negara yang terkorup. Saking kuatnya budaya korupsi ini berakar di dalam karakter dan perilaku aparat, orang bersih yang masuk dalam sistem justru akan tersandera oleh sistem itu sehingga tidak punya pilihan lain kecuali melakukan hal yang sama atau tersingkir. Usaha penegakan hukum untuk menghukum para pelaku tidak pernah serius dilakukan karena kesalahan telah menjadi sistemik. Bahkan, para penegak hukum sendiri adalah korup. Itu sebabnya, dalil kedua untuk negara paling korup adalah negara yang aparaturnya korup. Pemimpin Fobia Apa hubungannya antara pemimpin dan negara terkorup? Ini yang disebut tanggung jawab kepemimpinan. Sebuah negara yang baik akan dihasilkan dari kepemimpinan yang baik. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk akan menghasilkan negara yang buruk. Negara dan sistem birokrasi yang ada di dalamnya adalah cermin perilaku para pemimpinnya. Dalil ketiga negara terkorup adalah negara yang memiliki pe-

mimpin fobia. Tipologi pemimpin seperti ini selalu identik dengan perilaku yang takut mengambil keputusan, bahkan cenderung memberangus segala perlengkapan untuk p e n e g a k a n h u k u m k a r e n a t akut usaha tersebut akan berbalik menghantam diri dan kroninya. Seorang penguasa dengan unsur fobia yang kuat, tidak akan peduli terhadap kepentingan umum, selain kepentingan diri sendiri. Pemimpin model ini tidak pernah memiliki rasa aman (secure feeling) dalam kekuasaannya. Dia sangat reaktif jika itu menyangkut dirinya, tetapi sangat pasif jika itu menyangkut kepentingan orang lain. Sedikit-sedikit dia membela diri dan gampang sekali memberikan pernyataan dengan penekanan tertentu sebagai sinyal ancaman untuk menakuti lawan-lawan politik. Demikianlah ciri pemimpin yang berkuasa di negara paling korup. Pergerakan politik yang berlangsung di sekelilingnya ditanggapi negatif sebagai kontra-kekuasaan. Bukannya menggunakan hal itu untuk mengoreksi diri atau bersinergi dengan kekuatan rakyat untuk melakukan perubahan radikal dalam sistem yang korup, sang pemimpin justru memasang kuda-kuda karena takut dirinya dilengserkan atau menjadi sasaran tembak. Semoga tiga dalil negara paling korup yang disajikan di atas tidak pernah menjadi kenyataan di negara kita.(*) *). Sonny Eli Zaluchu, kolumnis dan teolog. Sedang menyelesaikan program D.Th di STBI Semarang


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.